bab i lidia
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum adalah merupakan keseluruhan peraturan tingkah laku yang
berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan dengan suatu
sanksi. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, tetapi
dapat juga terjadi karena pelanggaran hukum maka hukum harus ditegakkan.1
Pembangunan dan pembinaan hukum di Indonesia didasarkan atas
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
yang diarahkan agar dapat menciptakan kondisi yang lebih mantap, sehingga
masyarakat dapat menikmati suasana tertib dan adanya kepastian hukum yang
berintikan keadilan.
Dalam rangka pembangunan di bidang hukum ini, GBHN
mengamanatkan, antara lain:
a. Pembangunan hukum sebagai upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, dan ketertiban dalam negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, diarahkan untuk meningkatkan kesadaran hukum, menjamin penegakan, pelayanan, dan kepastian hukum, serta mewujudkan tata hukum nasional yang mengabdi pada kepentingan nasional.
b. Dalam rangka pembangunan hukum perlu lebih ditingkatkan upaya pembaharuan hukum secara terarah dan terpadu, antara lain melalui kodifikasi dan unifikasi bidang-bidang hukum tertentu, serta penyusunan perundang-undangan baru yang sangat dibutuhkan untuk mendukung pembangunan dalam berbagai bidang sesuai dengan tuntutan pembangunan, serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat.
1 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberty, 1986, hlm. 37.
1
Peraturan pokok hukum pidana yang sampai sekarang masih berlaku di
Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang diberlakukan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 junto Undang-Undang
Nomor 73 Tahun 1958 tentang pemberlakuan KUHP untuk seluruh Indonesia.
Dalam penerapan hukum pidana hakim terikat pada asas legalitas yang
dicantumkan pada Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang menyatakan: ”Tiada suatu
perbuatan dapat dipidana kecuali atas ketentuan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.”2
Menurut E. Utrecht, Pasal 1 Ayat (1) KUHP mengandung pengertian
bahwa : hanya perbuatan yang disebut tegas oleh peraturan perundangan
sebagai kejahatan atau pelanggaran, dapat dikenai hukuman (pidana). Apabila
terlebih dahulu tidak diadakan peraturan perundangan yang memuat hukuman
yang dapat dijatuhkan atas penjahat atau pelanggar, maka perbuatan yang
bersangkutan bukan perbuatan yang dapat dikenai hukuman.
Hukum Pidana dengan sanksi yang keras dikatakan mempunyai fungsi
yang subsider artinya apabila fungsi hukum lainnya kurang maka baru
dipergunakan Hukum Pidana, sering juga dikatakan bahwa Hukum Pidana itu
merupakan ultimum remedium atau obat terakhir. Persoalan Hukum Pidana
dalam konteks ultimum remedium perlu dikaji lebih lanjut, yaitu mengenai
penerapannya dalam penjatuhan sanksi pidana oleh hakim serta
perkembangannya saat ini.
2 Moeljatno, KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta : Bumi Aksara, 2003, hlm. 3
2
Van Bemmelen berpendapat bahwa yang membedakan antara Hukum
Pidana dengan bidang hukum lain ialah sanksi Hukum Pidana merupakan
pemberian ancaman penderitaan dengan sengaja dan sering juga pengenaan
penderitaan, hal mana dilakukan juga sekalipun tidak ada korban kejahatan.
Perbedaan demikian menjadi alasan untuk menganggap Hukum Pidana itu
sebagai ultimum remedium, yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah
laku manusia, terutama penjahat, serta memberikan tekanan psikologis agar
orang lain tidak melakukan kejahatan. Oleh karena sanksinya bersifat
penderitaan istimewa, maka penerapan hukum pidana sedapat mungkin
dibatasi dengan kata lain penggunaannya dilakukan jika sanksi-sanksi hukum
lain tidak memadai lagi.
Hukum Pidana dalam konteks ultimum remedium ini dapat diartikan
bahwa keberadaan pengaturan sanksi pidana diletakkan atau diposisikan
sebagai sanksi terakhir. Artinya, dalam suatu undang-undang yang pertama
kali diatur adalah sanksi administratif atau sanksi perdata, kemudian baru
diatur tentang sanksi pidana. Jadi apabila sanksi administrasi dan sanksi
perdata belum mencukupi untuk mencapai tujuan memulihkan kembali
keseimbangan di dalam masyarakat, maka baru diadakan juga sanksi pidana
sebagai senjata terakhir atau ultimum remedium.
Penerapan ultimum remedium ini dapat mengakomodasi kepentingan
pelaku tindak pidana, mengingat sanksi pidana itu keras dan tajam jadi selalu
diusahakan menjadi pilihan terakhir setelah sanksi lain dirasakan kurang.
Namun memang dalam perkembangannya penerapan ultimum remedium ini
3
mengalami kendala – kendala karena apabila suatu perbuatan sudah dianggap
benar – benar merugikan kepentingan negara maupun rakyat baik menurut
Undang-Undang yang berlaku maupun menurut perasaan sosiologis
masyarakat, maka justru sanksi pidanalah yang menjadi pilihan utama
(premium remedium).
Untuk dapat menegakan hukum pidana materil, diperlukan hukum acara
pidana yang disebut dengan hukum pidana formil. Hukum formil merupakan
ketentuan yang mengatur bagaimana cara agar hukum materil itu terwujud,
atau dapat diterapkan atau dilaksanakan terhadap subyek yang memenuhi
perbuatannya. Tanpa hukum formil maka tidaklah adagunanya hukum materil.
Hukum formil berisi ketentuan bagaimana alat-alat Negara penegak hukum
mencari kebenaran untuk selanjutnya melalui persidangan dipengadilan
memperoleh putusan hakim dan bagaimana mewujudkan keputusan hakim
tersebut.3
Proses penyelesaian suatu perkara pidana dilakukan dalam sebuah sistem
yang disebut dengan sistem peradilan pidana4yang terdiri dari empat
3 Sumitro, Inti Hukum Acara Pidana, Sebelas Maret Press, Surakarta, 1994, hlm. 30.4 Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan
ahli dalam Criminal Justice System di Amerika Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegak hukum. Ketidakpuasan ini terbukti dari meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Pada masa itu pendekatan yang dipergunakan dalam penegakan hukum adalah ”hukum dan ketertiban” (law and order approach) dan penegakan hukum dalam konteks pendekatan tersebut dikenal dengan istilah ”law enforcement”. Menurut Indriyanto Seno Adji, sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan terjemahan sekaligus penjelmaan dari Criminal Justice System, yang merupakan suatu sistem yang dikembangkan di Amerika Serikat yang dipelopori oleh praktisi hukum (law enforcement officers). Dengan kata lain sistem peradilan pidana merupakan istilah yang digunakan sebagai padanan dari Criminal Justice System. (Sumber: http://id.shvoong.com/law-and-politics/criminal-law/2027069-pengertian-sistem-peradilan-pidana/#ixzz1dgjtllRG, diakses pada tanggal 14 November 2011, pada pukul 21.03)
4
subsistem: kepolisian, kejaksaaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Masing-
masing subsistem mempunyai tugas dan wewenang masing-masing namun
memiliki tujuan akhir yang sama yaitu penanggulangan tindak pidana. Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai pedoman utama
dalam penyelasaian perkara pidana telah mendesain proses penyelesaian
perkara pidana dengan sedimikian rupa. Menurut KUHAP penyelesaian
perkara pidana bermula dari penyelidikan dan penyidikan oleh Kepolisian,
penuntutan oleh Jaksa Penunutut Umum, persidangan di Pengadilan, sampai
upaya hukum bila para pihak tidak menerima putusan yang dijatuhi hakim.
KUHAP bahkan juga mengatur bahwa putusan hakim harus dilaksanakan oleh
jaksa selaku eksekutor dan bahwa pelaksanaan putusan tersebut harus diawali
oleh hakim pengawas dan pengamat.
Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di
dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sekecil mungkin
ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan
adanya kecakapan teknik membuatnya.5 Oleh karena itu hakim tidak berarti
dapat berbuat sesuka hatinya, melainkan hakim juga harus mempertanggung
jawabkan putusannya. Dalam memberikan putusan terhadap suatu perkara
pidana, seharusnya putusan hakim tersebut berisi alasan-alasan dan
pertimbangan-pertimbangan yang bisa memberikan rasa keadilan bagi
terdakwa. Dimana dalam pertimbangan – pertimbangan itu dapat dibaca
5 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 94.
5
motivasi yang jelas dari tujuan putusan diambil, yaitu untuk menegakkan
hukum (kepastian hukum) dan memberikan keadilan.6
Dalam memberikan pertimbangan untuk memutuskan suatu perkara
pidana diharapkan hakim tidak menilai dari satu pihak saja sehingga dengan
demikian ada hal-hal yang patut dalam penjatuhan putusan hakim apakah
pertimbangan tersebut memberatkan ataupun meringankan pidana, yang
melandasi pemikiran hakim, sehingga hakim sampai pada putusannya.
Pertimbangan hakim sebenarnya tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan
bagian amar putusan hakim dan justru bagian pertimbangan itulah yang
menjadi roh dari seluruh materi isi putusan, bahkan putusan yang tidak
memuat pertimbangan yang cukup dapat menjadi alasan untuk diajukannya
suatu upaya hukum baik itu banding maupun kasasi, yang dapat menimbulkan
potensi putusan tersebut akan dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih
tinggi.
Dalam penjatuhan pidana oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana,
pada dasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek tujuan, yaitu sebagai
berikut7:
1. Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman suatu kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya;
2. Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya jera dan tidak akan melakukan tindak pidana dikemudian hari;
3. Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang dilakukan oleh pelakunya;
4. Mempersiapkan mental masyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku tindak pidana dapat diterima dalam pergaulan masyarakat.
6 Nanda Agung Dewantara, Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu Masalah Perkara Pidana, Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1987, hlm. 50.
7 Ahmad Rifai, Op Cit, hlm 111.
6
Dalam proses penjatuhan putusan tersebut, seorang hakim harus
meyakini apakah seorang terdakwa melakukan tindak pidana ataukah tidak,
dengan tetap berpedoman pada pembuktian untuk menentukan kesalahan dari
perbuatan yang dilakukan oleh pelaku pidana. Setelah menerima dan
memeriksa suatu perkara, selanjutnya hakim akan menjatuhkan keputusan,
yang dinamakan dengan putusan hakim, pernyataan hakim yang merupakan
sebagai pernyataan pejabat negara yang diberi wewenang untuk putusan itu.
Jadi putusan hakim bukanlah semata-mata didasarkan pada ketentuan yuridis
saja, melainkan juga didasarkan pada hati nurani.8
Untuk melihat bagaimana bentuk pertimbangan hakim dalam
memutuskan suatu perkara maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
terhadap bagiamana pertimbangan hakim terhadap putusan perkara
Nomor:192/PID.B/2011.PN.PDG di Pengadilan Negeri Padang.
Dari uraian diatas, menarik bagi penulis untuk membahasnya lebih jauh
dalam bentuk skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Pertimbangan
Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Tindak Pidana Penipuan
Dan Penggelapan Yang Dilakukan Oleh Warga Negara Asing di
Pengadilan Negeri Kls I A Padang ”.
B. Perumusan Masalah
8 Bambang Sutiyoso,. Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2010, hlm 95
7
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, yang menjadi
pokok permasalahan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
1. Apa saja dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap
tindak pidana penipuan dan penggelapan yang dilakukan oleh warga
negara asing?
2. Kendala – kendala apa yang dihadapi hakim dalam menjatuhkan putusan
terhadap tindak pidana penipuan dan penggelapan yang dilakukan oleh
warga negara asing?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana penipuan dan
penggelapan yang dilakukan oleh warga negara asing.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis kendala – kendala yang dihadapi
hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana penipuan
dan penggelapan yang dilakukan oleh warga negara asing.
D. Manfaat Penelitian
8
Manfaat penelitian yang akan penulis lakukan adalah :
1. Manfaat secara teoritis
a. Untuk menambah ilmu pengetahuan, memperluas cakrawala
berpikir penulis serta melatih kemampuan dalam melakukan
penelitian secara ilmiah dan merumuskan hasil penelitian dalam
bentuk tulisan.
b. Untuk memperkaya kasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam
bidang hukum itu sendiri maupun penegakan hukum pada
umumnya, serta dapat menerapkan ilmu yang selama ini telah
didapat dalam perkuliahan dan dapat berlatih dalam melakukan
penelitian yang baik.
c. Penelitian ini secara khusus bermanfaat bagi penulis yaitu dalam
rangka menganalisa dan menjawab keingintahuan penulis
terhadap perumusan masalah dalam penelitian. Selain itu,
penelitian ini juga bermanfaat dalam memberikan kontribusi
pemikiran dalam menunjang perkembangan ilmu hukum
khususnya hukum pidana.
2. Manfaat secara praktis
Memberikan kontribusi serta manfaat bagi individu, masyarakat
maupun pihak-pihak yang berkepentingan dalam menambah
pengetahuan yang berhubungan dengan pertimbangan dalam putusan
hakim.
E. Metode Penelitian
9
Metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan data
dan informasi yang diperlukan mencakup:
1. Sifat Penelitian
Penelitian ini adalah suatu penelitian yang bersifat deskripif yaitu suatu
penelitian yang menggambarkan tentang pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana penipuan dan penggelapan
yang dilakukan oleh warga negara asing.
2. Metode Pendekatan
Pendekatan masalah yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis
normatif sebagai pendekatan utama dan di dukung dengan pendekatan
yuridis empiris yaitu pendekatan masalah melalui penelitian hukum
dengan melihat norma hukum yang berlaku dan menghubungkan dengan
fakta yang ada dalam masyarakat sehubungan dengan permasalahan
yang ditemui dalam penelitian.9
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder
a. Data Primer
Data Primer adalah data yang belum diolah dan diperoleh langsung
dari kegiatan penelitian yang dilakukan. Data primer yang
dikumpulkan adalah data yang berkenaan dengan dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak
pidana penipuan dan penggelapan serta apa saja faktor-faktor yang
9 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.133.
10
mempengaruhi putusan hakim terhadap tindak pidana penipuan dan
penggelapan yang dilakukan oleh warga negara asing.
b. Data Sekunder
Data yang sudah diolah dan diperoleh dari penelitian kepustakaan
yang berupa buku – buku, jurnal – jurnal hukum, dan peraturan
perundang- undangan.
Data sekunder terdiri atas :
1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan – bahan yang isinya
mengikat, mempunyai kekuatan hukum serta dikeluarkan atau
dirumuskan oleh legislator, pemerintah dan lainnya yang
berwenang untuk itu. Bahan hukum primer ini terdiri dari :
a) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan
Hukum Pidana
b) Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang – Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP )
c) Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
d) Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan
Umum
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan – bahan yang menjelaskan
bahan hukum primer, bahan hukum yang meliputi buku – buku,
literatur – literatur, yang menunjang bahan hukum primer.
11
3) Bahan Hukum Tersier, terdiri dari kamus hukum dan
ensiklopedi.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan 2 ( dua ) cara yaitu :
1) Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Penelitian kepustakaan (Library research) artinya data yang
diperoleh dalam penelitian ini didapat dengan cara membaca karya –
karya ilmiah yang terkait dengan persoalan yang akan dikaji.
Kemudian mencatat bagian yang memuat kajian tentang penelitian.10
2) Penelitian Lapangan (Field Research)
Pada penelitian ini peneliti memperoleh data dengan cara melihat
kenyataan tentang dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
putusan terhadap tindak pidana penipuan dan penggelapan serta apa
saja kendala – kendala yang dihadapi hakim dalam menjatuhkan
putusan terhadap tindak pidana penipuan dan penggelapan yang
dilakukan oleh warga negara asing. Penelitian lapangan ini
dilakukan dengan teknik wawancara dengan pihak yang terkait
dengan judul penelitian yaitu hakim di Pengadilan Negeri Klas I A
Padang.
10 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 3.
12
5. Metode Pengolahan dan Analisis Data
a. Pengolahan Data
Pengolahan data adalah kegiatan merapikan hasil pengumpulan data
di lapangan sehingga siap untuk dianalisis.11 Data yang dibutuhkan
terkait objek yang diteliti dikumpulkan dan diklasifikasikan.12
Setelah dikumpulkan seluruh data dengan lengkap dari lapangan,
kemudian dianalisis terhadap dokumen – dokumen, catatan – catatan,
berkas – berkas, informasi dikumpulkan yang diharapkan akan dapat
meningkatkan mutu kehandalan data yang hendak dianalisis.13
b. Analisis Data
Sebagai tindak lanjut proses pengolahan data, untuk dapat
memecahkan dan menguraikan masalah yang akan diteliti
berdasarkan bahan hukum yang diperoleh, maka diperlukan adanya
teknik analisa bahan hukum. Setelah didapatkan data – data yang
diperlukan, maka penulis melakukan analisis secara kualitatif yakni
dengan menganalisis data yang ada untuk menjawab permasalahan
berdasarkan teori – teori peraturan perundang – undangan dan logika
sehingga dapat ditarik kesimpulan.
F. Sistematika Penulisan
11 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, 1999, hlm. 72.12 Bambang Sunggono, Op Cit. hlm.126.13 Amirudin dan Zainal Asikin, Op Cit. hlm. 168-169.
13
Bab I Pendahuluan, berisikan antara lain Latar Belakang Masalah,
Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode
Penelitian, Sistematika Penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka, yang terdiri dari Tinjauan Umum Tentang
Tindak Pidana dan Pemidanaan, yang meliputi Pengertian Tindak Pidana,
Unsur – Unsur Tindak Pidana, Pengertian Pidana dan Pemidanaan, Jenis –
Jenis Pidana, serta Teori – Teori Pemidanaan. Tinjauan Tentang Tindak
Pidana Penipuan dan Penggelapan, yang meliputi Unsur – Unsur Tindak
Pidana Penipuan dan Unsur – Unsur Tindak Pidana Penggelapan. Serta
Tinjauan Tentang Putusan Hakim yang terdiri dari Pengertian Putusan Hakim,
Macam – Macam Putusan Hakim dan Hal – Hal yang dipertimbangkan oleh
Hakim dalam Mengambil Suatu Putusan Pada Perkara Pidana
Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan, yang meliputi Dasar
Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Tindak Pidana
Penipuan dan Penggelapan yang dilakukan oleh Warga Negara Asing, serta
Kendala – Kendala yang dihadapi Hakim dalam Menjatuhkan Putusan
terhadap Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan yang dilakukan oleh
Warga Negara Asing.
Bab IV Penutup, yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran.
BAB II
14
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana dan
Pemidanaan
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam
hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Walaupun istilah ini
terdapat dalam WvS Belanda dengan demikian juga WvS Hindia Belanda
( KUHP ), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud
dengan strafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha untuk
memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada
keseragaman pendapat14.
Pengertian tindak pidana menurut para ahli :
1. Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang
didefenisikan beliau sebagai “ perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum larangan mana disertai ancaman ( sanksi ) yang
berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan
tersebut “. Adapun istilah perbuatan pidana lebih tepat, alasannya
adalah :
a) Bahwa yang dilarang itu adalah perbuatannya ( perbuatan
manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan
oleh kelakuan orang ), artinya larangan itu ditujukan pada
14 Drs. Adami Chazawi, S.H., Pelajaran Hukum Pidana, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 67.
15
perbuatannya. Sedangkan ancaman pidananya itu ditujukan
pada orangnya.
b) Antara larangan ( yang ditujukan pada perbuatan ) dengan
ancaman pidana ( yang ditujukan pada orangnya ) ada
hubungan yang erat, dan oleh karena itu perbuatan ( yang
berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi,
melanggar larangan ) dengan orang yang menimbulkan
perbuatan tadi ada hubungan erat pula.
c) Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah maka
lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian
abstrak yang menunjuk pada dua keadaan kongkrit yaitu :
pertama adanya kejadian tertentu ( perbuatan ) dan kedua
adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian
itu15.
2. E. Mezger mengemukakan “Die straftat ist der inbegriff der
voraussetzungender strafe” (tindak pidana adalah keseluruhan
syarat untuk adanya pidana).
3. J. Baumann mengemukakan Verbrechen im weiteren, allgemeinen
sinne adalah “die tatbestandmaszige rechwidrige und schuld-hafte
handlung” (perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat
melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan).
15 Ibid, hlm. 71.
16
4. Karni mengemukakan delik itu perbuatan yang mengandung
perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang
yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut
dipertanggungjawabkan.
5. Wirjono Prodjodikoro mengemukakan definisi pendek tentang
tindak pidana, yakni tindak pidana berarti suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenakan pidana.
6. Sedangkan menurut Simorangkir, tindak pidana sama dengan
delik, ialah perbuatan yang melanggar peraturan - peraturan
pidana, diancam dengan hukuman oleh undang - undang dan
dilakukan oleh seseorang dengan bersalah, orang mana harus
dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat dikatakan bahwa tindak
pidana dapat dipahami sebagai suatu perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang yang dapat menimbulkan akibat dilakukannya tindakan
hukuman atau pemberian sanksi terhadap perbuatan tersebut16.
2. Unsur – Unsur Tindak Pidana
Membicarakan mengenai unsur – unsur tindak pidana, dapat dibedakan
setidak –tidaknya dari dua sudut pandang, yakni dari sudut teoritis dan dari
sudut undang – undang. Maksud teoritis ialah berdasarkan pendapat para
ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sedangkan sudut
undang – undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu
16http://zona-prasko.blogspot.com/2011/05/pengertian-tindak-pidana-menurut- para.html, diakses pada tanggal 03 Desember 2011, pada pukul 21.14.
17
dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal – pasal peraturan
perundang – undangan yang ada17.
a. Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritis
1. Menurut Moeljatno, unsur – unsur tindak pidana adalah :
- Perbuatan
- Yang dilarang ( oleh aturan hukum )
- Ancaman pidana ( bagi yang melanggar larangan )
Perbutaan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang adalah
aturan hukum. Berdasarkan kata mejemuk perbuatan pidana, maka
pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan
dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana
menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataan
benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana adalah
pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana18.
2. D. Simons mengemukakan, unsur – unsur tindak pidana adalah :
- Perbutaan manusia
- Diancam dengan pidana ( stratbaar gesteld )
- Melawan hukum ( onrechtmatig )
- Dilakukan dengan kesalahan ( met schuld in verband stand )
- Oleh orang yang mampu bertanggungjawab (
toerekeningsvatbaar persoon )
17 Drs. Adami Chazawi, S.H., Pelajaran Hukum Pidana, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 78.
18 Ibid, hlm. 79.
18
3. Van Hamel mendefinisikan unsur – unsur tindak pidana :
- Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang
- Melawan hukum
- Dilakukan dengan kesalahan
- Patut dipidana
4. Menurut E. Mezger unsur – unsur tindak pidana adalah :
- Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia
- Sifat melawan hukum
- Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang
- Diancam dengan pidana19
b. Unsur Rumusan Tindak Pidana dalam Undang – Undang
Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana
tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, dan Buku III adalah
pelanggaran. Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam
KUHP itu, maka dapat diketahui adanya 8 unsur tindak pidana, yaitu :
1. Unsur tingkah laku
Tindak pidana adalah mengenai larangan berbuat, oleh karena
itu, perbuatan atau tingkah laku harus disebutkan dalam rumusan.
Tingkah laku adalah unsur mutlak tindak pidana. Tingkah laku
dalam tindak pidana terdiri dari tingkah laku aktif atau positif (
handelen ), juga dapat disebut perbuatan materiil ( materiel feit )
dan tingkah laku pasif atau negatif ( nalaten ).
19 http://zona-prasko.blogspot.com/2011/05/pengertian-tindak-pidana-menurut-para.html, diakses pada tanggal 03 Desember 2011, pada pukul 22.06.
19
Tingkah laku aktif adalah suatu bentuk tingkah laku yang untuk
mewujudkannya atau melakukannya diperlukan wujud gerakan
atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh. Sedangkan
tingkah laku pasif adalah berupa tingkah laku membiarkan (
nalaten ), suatu bentuk tingkah laku yang tidak melakukan
aktivitas tertentu tubuh atau bagian tubuh, yang seharusnya
seseorang itu dalam keadaan-keadaan tertentu harus melakukan
perbuatan aktif, dan dengan tidak berbuat demikian seseorang itu
disalahkan karena tidak melaksanakan kewajiban hukumnya.
2. Unsur melawan hukum
Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangnya
dari suatu perbuatan, yang sifat tercela mana dapat bersumber pada
undang-undang ( melawan hukum formil ) dan dapat bersumber
pada masyarakat ( melawan hukum materil ). Karena bersumber
pada masyarakat, yang sering juga disebut dengan bertentangan
dengan asas-asas hukum masyarakat, maka sifat tercela tersebut
tidak tertulis.
3. Unsur kesalahan
Kesalahan ( schuld ) adalah unsur mengenai keadaan atau
gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan,
karena itu unsur ini selalu melekat pada diri pelaku dan bersifat
subyektif. Dalam hal ini berbeda dengan unsur melawan hukum
yang dapat bersifat obyektif dan dapat bersifat subyektif,
20
bergantung pada redaksi rumusan dan sudut pandang terhadap
rumusan tindak pidana tersebut.
4. Unsur akibat konstitutif
Unsur akibat konstitutif ini terdapat pada :
a) Tindak pidana materil atau tindak pidana dimana akibat
menjadi syarat selesainya tindak pidana
b) Tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai
syarat pemberat pidana
c) Tindak pidana dimana akibat merupakan syarat
dipidananya pembuat perbedaan lain ialah, unsur akibat
konstitutif pada tindak pidana materil adalah berupa unsur
pokok tindak pidana, artinya jika unsur ini tidak timbul,
maka tindak pidananya tidak terjadi, yang terjadi hanyalah
percobaannya.
5. Unsur keadaan yang menyertai
Unsur keadaan yang menyertai adalah unsur tindak pidana
yang berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana
perbuatan dilakukan.
Unsur keadaan yang menyertai ini dalam kenyataan rumusan
tindak pidana dapat :
a) Mengenai cara melakukan perbuatan
b) Mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan
21
c) Mengenai obyek tindak pidana
d) Mengenai subyek tindak pidana
e) Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana
f) Mengenai waktu dilakukannya tindak pidana
6. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana
Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan. Tindak
pidana aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut
pidana jika adanya pengaduan dari yang berhak mengadu.
Pengaduan substansinya adalah sama dengan laporan, ialah berupa
keterangan atau informasi mengenai telah terjadinya tindak pidana
yang disampaikan kepada pejabat penyelidik atau penyidik yakni
kepolisian, atau dalam hal tindak pidana khusus ke kantor
Kejaksaan Negeri setempat.
7. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana
Unsur ini adalah berupa alasan untuk diperberatnya pidana, dan
bukan unsur syarat selesainya tindak pidana sebagaimana pada
tindak pidana materil. Untuk syarat tambahan untuk memperberat
pidana bukan merupakan unsur pokok tindak pidana yang
bersangkutan, artinya tindak pidana tersebut dapat terjadi tanpa
adanya unsur ini.
8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana
22
Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana adalah berupa
unsur keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan
dilakukan, yang menentukan untuk dapat dipidananya perbuatan.
Artinya bila setelah perbuatan dilakukan keadaan ini tidak timbul,
maka terhadap perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum dan
karenanya si pembuat tidak dapat dipidana20.
3. Pengertian Pidana dan Pemidanaan
Kebanyakan kalangan menerjemahkan Pidana sebagai hukuman,
padahal hukuman bukan hanya ada dalam Hukum Pidana, tetapi hampir
setiap bidang hukum juga mengenakan hukuman kepada pelanggar
normanya. Lebih janggal kalau pidana diartikan sebagai hukuman, maka
Hukum Pidana diterjemahkan sebagai Hukum Hukuman. Pidana dalam
Hukum Pidana tidak memiliki arti yang konvensional seperti yang
dikemukakan diatas, akan tetapi memiliki pengertian khusus yang tidak
sama dengan hukuman pada lapangan / bidang hukum lain diluar Hukum
Pidana.
Selain Pidana, dikenal pula Pemidanaan, atau yang dimaksud sebagai
pengenaan / pemberian / penjatuhan pidana. Pemidanaan lebih berkonotasi
pada proses penjatuhan pidana dan proses menjalankan pidana, sehingga
ada dalam ruang lingkup Hukum Panitensier.
Kedua persoalan itu ( pidana dan pemidanaan ) sangatlah penting dikaji,
selain memiliki makna sentral sebagai bagian integral dari substansi
20 Drs. Adami Chazawi, S.H., Pelajaran Hukum Pidana, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 111.
23
Hukum Pidana, sekaligus memberi gambaran luas tentang karakteristik
Hukum Pidana21.
4. Jenis – Jenis Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) telah menetapkan
jenis-jenis pidana yang termaktub dalam Pasal 10. Diatur dua pidana yaitu
pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas empat jenis
pidana, dan pidana tambahan terdiri atas tiga jenis pidana.
Jenis-jenis pidana menurut Pasal 10 KUHP ialah sebagai berikut :
a. Pidana Pokok meliputi
1. Pidana Mati
Menarik untuk dipahami adalah jenis pidana mati, yang
dalam Rancangan KUHP baru disebut bersifat khusus.
Penerapan pidana mati dalam praktek sering menimbulkan
perdebatan diantara yang setuju dan yang tidak setuju.
Bagaimanapun pendapat yang tidak setuju adanya pidana mati,
namun kenyataan yuridis formal pidana mati memang
dibenarkan. Ada beberapa pasal di dalam KUHP yang berisi
ancaman pidana mati, seperti makar pembunuhan terhadap
Presiden ( Pasal 104 ), pembunuhan berencana ( Pasal 340 ),
dan sebagainya. Bahkan beberapa pasal KUHP mengatur
tindak pidana yang diancam pidana mati ( R. Soesilo, 1974 : 31
), misalnya :
21 http://budi399.wordpress.com/2010/06/12/pidana-dan-pemidanaan, diakses pada tanggal 04 Desember 2011, pada pukul 13.06
24
a. Makar membunuh kepala negara, Pasal 104
b. Mengajak negara asing guna menyerang Indonesia, Pasal
111 Ayat (2)
c. Memberi pertolongan kepada musuh waktu Indonesia
dalam perang, Pasal 124 Ayat (3)
d. Membunuh kepala negara sahabat, Pasal 140 Ayat (1)
e. Pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu, Pasal 140
Ayat (3) dan Pasal 340
f. Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih
berkawan, pada waktu malam atau dengan jalan
membongkar dan sebagainya, yang menjadikan ada orang
berluka atau mati, Pasal 365 Ayat (4)
g. Pembajakan di laut, di pesisir, di pantai, dan di kali
sehingga ada orang mati, Pasal 444
h. Dalam waktu perang menganjurkan huru-hara,
pemberontakan, dan sebagainya antara pekerja-pekerja
dalam perusahaan pertahanan negara, Pasal 124 bis
i. Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan
keperluan angkatan perang, Pasal 127 dan 129
j. Pemerasan dengan pemberatan, Pasal 268 Ayat (2)
Membahas pidana mati akan lebih afdol apabila kita juga
menyimak ketentuan Naskah Rancangan KUHP baru sebagai
25
jus constituendum. Hal-hal yang perlu diketahui antara lain
sebagai berikut :
a. Pidana mati dilaksanakan oleh regu tembak dengan
menembak terpidana sampai mati.
b. Pelaksanaan pidana mati tidak dilakukan di muka umum.
c. Pidana mati tidak dapat dijatuhkan kepada anak di bawah
umur delapan belas tahun.
d. Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang
sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau
orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.
e. Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah ada
persetujuan Presiden atau penolakan grasi oleh Presiden.
f. Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa
percobaan selama sepuluh tahun, jika :
a) Reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu
besar
b) Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan
untuk memperbaikinya
c) Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana
tidak terlalu penting
d) Ada alasan yang meringankan.
g. Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap
dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah
26
menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling
lama dua puluh tahun dengan keputusan Menteri
Kehakiman.
h. Jika terpidana selama masa percobaan tidak menunjukkan
sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan
untuk memperbaiki maka pidana mati dapat dilaksanakan
atas perintah Jaksa Agung.
i. Jika setelah permohonan grasi ditolak, pelaksanaan pidana
mati tidak dilaksanakan selama sepuluh tahun bukan karena
terpidana melarikan diri maka pidana mati tersebut dapat
diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan
Menteri Kehakiman22.
2. Pidana Penjara
Dalam pasal 10 KUHP ada 2 ( dua ) jenis pidana hilang
kemerdekaan bergerak, yakni pidana penjara dan pidana
kurungan. Dari sifatnya menghilangkan dan atau membatasi
kemerdekaan bergerak, dalam arti menempatkan terpidana
dalam suatu tempat ( Lembaga Permasyarakatan ) dimana
terpidana tidak bebas untuk keluar masuk dan di dalamnya
wajib untuk tunduk, mentaati dan menjalankan semua
peraturan tata tertib yang berlaku, maka kedua jenis pidana itu
22 Bambang Waluyo, S.H., Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm.10.
27
tampaknya sama. Akan tetapi dua jenis pidana itu
sesungguhnya berbeda jauh.
3. Pidana Kurungan
Dalam beberapa hal pidana kurungan adalah sama dengan
pidana penjara, yaitu :
a) Sama, berupa pidana hilang kemerdekaan bergerak.
b) Mengenal maksimum umum, maksimum khusus dan
minimum umum, dan tidak mengenal minimum khusus.
Maksimum umum pidana penjara 15 tahun yang karena
alasan-alasan tertentu dapat diperpanjang menjadi
maksimum 20 tahun, dan pidana kurungan 1 tahun yang
dapat diperpanjang maksimum 1 tahun 4 bulan. Minimum
umum pidana penjara maupun pidana kurungan selama 1
hari. Sedangkan maksimum khusus disebutkan pada setiap
rumusan tindak pidana tertentu sendiri-sendiri, yang tidak
sama bagi setiap tindak pidana, bergantung dari
pertimbangan berat ringannya tindak pidana yang
bersangkutan.
c) Orang yang dipidana kurungan dan pidana penjara
diwajibkan untuk menjalankan (bekerja) pekerjaan tertentu,
walaupun untuk narapidana kurungan adalah lebih ringan
daripada narapidana penjara.
28
d) Tempat menjalani pidana penjara adalah sama dengan
tempat menjalani pidana kurungan, walaupun ada sedikit
perbedaan, yaitu harus dipisah ( Pasal 28 ).
e) Pidana kurungan dan pidana penjara mulai berlaku, apabila
terpidana tidak ditahan, yaitu pada hari putusan hakim
( setelah mempunyai kekuatan tetap ) dijalankan /
dieksekusi, yaitu pada saat pejabat kejaksaan mengeksekusi
dengan cara melakukan tindakan paksa memasukkan
terpidana ke dalam Lembaga Permasyarakatan.
4. Pidana Denda
Ada beberapa keistimewaan tertentu dari pidana denda, jika
dibandingkan dengan jenis-jenis lain dalam kelompok pidana
pokok. Keistimewaan itu adalah :
a) Dalam hal pelaksanaan pidana denda tidak menutup
kemungkinan dilakukan atau dibayar oleh orang lain, yang
dalam hal pelaksanaan pidana lainnya kemungkinan seperti
ini tidak bisa terjadi. Jadi dalam hal ini pelaksanaan pidana
denda dapat melanggar prinsip dasar dari pemidanaan
sebagai akibat yang harus dipikul / diderita oleh pelaku
sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas perbuatan
( tindak pidana ) yang dilakukannya.
b) Pelaksanaan pidana denda boleh diganti dengan menjalani
pidana kurungan ( kurungan pengganti denda, Pasal 30
29
Ayat (2) ). Dalam putusan hakim yang menjatuhkan pidana
denda, dijatuhkan juga pidana kurungan pengganti denda
sebagai alternatif pelaksanaannya, dalam arti jika denda
tidak dibayar terpidana wajib menjalani pidana kurungan
pengganti denda itu. Dalam hal ini terpidana bebas
memilihnya. Lama pidana kurungan pengganti denda ini
minimal umum 1 hari dan maksimal umum 6 bulan.
c) Dalam hal pidana denda tidak terdapat maksimum
umumnya, yang ada hanyalah minimum umum yang
menurut Pasal 30 Ayat (1) adalah tiga rupiah tujuh puluh
lima sen. Sedangkan maksimum khususnya ditentukan pada
masing-masing rumusan tindak pidana yang bersangkutan,
yang dalam hal ini sama dengan jenis lain dari kelompok
pidana pokok23.
b. Pidana Tambahan meliputi
1. Pencabutan Beberapa Hak-Hak Tertentu
Menurut hukum, pencabutan seluruh hak yang dimiliki
seseorang yang dapat mengakibatkan kematian perdata (
burgerlijke daad ) tidak diperkenankan ( Pasal 3 BW ).
Undang-undang hanya memberikan kepada Negara wewenang
( melalui alat / lembaganya ) untuk melakukan pencabutan hak
23 Drs. Adami Chazawi, S.H., Pelajaran Hukum Pidana, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 32.
30
tertentu saja, yang menurut pasal 35Ayat (1) KUHP, hak-hak
yang dapat dicabut tersebut adalah :
a) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang
tertentu ;
b) Hak menjalankan jabatan dalam Angkatan Bersenjata /
TNI;
c) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan
berdasarkan aturan-aturan umum;
d) Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas
penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas,
pengampu atau pengampu pengawas aras anak yang bukan
anak sendiri;
e) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian
atau pengampuan atas anak sendiri;
f) Hak menjalankan mata pencaharian.
Hak-hak tertentu yang dapat dicabut oleh hakim, sifatnya
tidak untuk selama-lamanya melainkan dalam waktu tertentu
saja, kecuali bila yang bersangkutan dijatuhi pidana penjara
seumur hidup atau pidana mati.
Pasal 38 menentukan tentang lamanya waktu bila hakim
menjatuhkan juga pidana pencabutan hak-hak tertentu, yaitu :
a) Bila pidana pokok yang dijatuhkan hakim pada yang
bersangkutan yaitu berupa pidana mati atau pidana penjara
31
seumur hidup, maka lamanya pencabutan hak-hak tertentu
itu berlaku seumur hidup.
b) Jika pidana pokok yang dijatuhkan adalah berupa pidana
penjara sementara atau kurungan, maka lamanya
pencabutan hak-hak tertentu itu maksimum 5 tahun dan
minimum 2 tahun lebih lama daripada pidana pokoknya.
c) Jika pidana pokok yang dijatuhkan adalah berupa pidana
denda, maka pidana pencabutan hak-hak tertentu adalah
paling sedikit 2 tahun dan paling lama 5 tahun.
2. Perampasan Barang-Barang Tertentu
Perampasan barang sebagai suatu pidana hanya
diperkenankan atas barang-barang tertentu saja, tidak
diperkenankan untuk semua barang. Undang-undang tidak
mengenal perampasan untuk semua kekayaan.
Barang yang dapat dirampas melalui putusan hakim pidana,
ada 2 jenis ( Pasal 39 ), yaitu :
a) Barang-barang yang berasal / diperoleh dari suatu kejahatan
( bukan dari pelanggaran ), yang disebut dengan corpora
delictie, misalnya uang palsu dari kejahatan pemalsuan
uang, surat cek palsudari kejahatan pemalsuan surat;
b) Barang-barang yang digunakan dalam melakukan
kejahatan, yang disebut dengan instrumenta delictie,
misalnya pisau yang digunakan dalam kejahatan
32
pembunuhan atau penganiayaan, anak kunci palsu yang
digunakan dalam pencurian, dan lain sebagainya.
Ada 3 prinsip dari pidana perampasan barang tertentu,
ialah:
a) Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan terhadap 2 jenis
barang tersebut dalam Pasal 39 itu saja;
b) Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan oleh hakim pada
kejahatan saja, dan tidak pada pelanggaran, kecuali pada
beberapa tindak pidana pelanggaran, misalnya pasal: 502,
519, 549, ( jenis pelanggaran );
c) Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan oleh hakim atas
barang-barang milik terpidana saja. Kecuali ada beberapa
ketentuan :
- yang menyatakan secara tegas terhadap barang yang
bukan milik terpidana ( pasal 250 bis )
- tidak secara tegas menyebutkan terhadap baik barang
milik terpidana atau bukan ( misalnya pasal : 275, 205,
519 ).
3. Pengumuman Putusan Hakim
Setiap putusan hakim, memang harus diucapkan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum ( pasal 195 KUHAP,
dulu pasal 317 HIR ), yang bila tidak maka putusan itu batal
demi hukum. Pidana pengumuman putusan hakim ini adalah
33
suatu publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan seseorang
dari pengadilan pidana.
Dalam pidana pengumuman putusan hakim ini, hakim
bebas menentukan perihal cara melaksanakan pengumuman itu,
dapat melalui surat kabar, plakat yang ditempelkan pada papan
pengumuman, melalui media radio maupun televisi, yang
pembiayaannya dibebankan pada terpidana.
Maksud dari pengumuman putusan hakim yang demikian
ini, adalah ditujukan sebagai usaha preventif, mencegah bagi
orang-orang tertentu agar tidak melakukan tindak pidana yang
sering dilakukan orang. Maksud yang lain, adalah
memberitahukan kepada masyarakat umum agar berhati-hati
bergaul dan berhubungan dengan orang-orang yang dapat
disangka tidak jujur, agar tidak menjadi korban dari kejahatan (
tindak pidana )24.
5. Teori – Teori Pemidanaan
Ada berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan ini, namun
yang banyak itu dapat dikelompokkan ke dalam 3 golongan besar, yaitu :
a) Teori Absolut atau Pembalasan ( Retributive )
Pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan
suatu kejahatan atau tindak pidana ( quia peccatum est ).
Penganut teori ini adalah :
24 Ibid, hlm. 44.
34
1) Immanuel Kant ( Philosophy of Law )
Seseorang harus dipidana oleh Hakim karena ia telah
melakukan kejahatan ( Kategorische Imperiatief ).
2) Hegel
Pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi
dari adanya kejahatan. Kejahatan adalah pengingkaran terhadap
ketertiban hukum negara yang merupakan perwujudan dari
cita-susila, maka pidana merupakan Negation der Negation
(pengingkaran terhadap pengingkaran).
Teori Hegel ini dikenal sebagai quasi mahte-matics, yaitu :
- wrong being (crime) is the negation of right
- punishment is the negation of that negation
Menurut Nigel Walker, penganut teori retributif dibagi
dalam beberapa golongan :
- Penganut teori retributif murni (the pure retributivist),
Artinya pidana harus sepadan dengan kesalahan.
- Penganut teori retributif tidak murni, dapat dibagi :
Penganut teori retributif yang terbatas (the limiting
retributivist)
Pidana tidak harus sepadan dengan kesalahan,
namun tidak melebihi batas kesepadanan dengan
kesalahan terdakwa. Kebanyakan KUHP disusun
sesuai dengan teori ini yaitu dengan menetapkan
35
pidana maksimum sebagai batas atas tanpa
mewajibkan pengadilan untuk mengenakan batas
maksimum tersebut.
Penganut teori retributif yang distributif
Pidana jangan dikenakan pada orang yang tidak
bersalah, tetapi tidak harus sepadan dan dibatasi
oleh kesalahan ( strict liability ).
b) Teori Relatif atau Tujuan (Utilitarian)
Penjatuhan pidana tidak untuk memuaskan tuntutan absolut
(pembalasan) dari keadilan, tetapi pembalasan itu sebagai sarana untuk
melindungi kepentingan masyarakat, teori itu disebut :
1) Teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence) ; atau
2) Teori reduktif (untuk mengurangi frekuensi kejahatan) ;atau
3) Teori tujuan (utilitarian theory), pengimbalan mempunyai tujuan
tertentu yang bermanfaat.
Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (orang berbuat
kejahatan) melainkan ne peccetur (agar orang tidak melakukan
kejahatan).
Seneca
Nemo prudens punit quia peccatum est, sed ne peccetur (No
reasonable man punishes because there has been a wrong doing, but
in order that there should be no wrong doing : Tidak seorang pun
36
layak dipidana karena telah melakukan suatu perbuatan jahat, tetapi ia
dipidana agar tidak ada perbuatan jahat).
Tujuan Pidana untuk pencegahan kejahatan :
1) Prevensi spesial / pencegahan spesial (special deterrence)
Pengaruh pidana terhadap terpidana (Bedakan : tersangka,
terdakwa, terpidana, narapidana)
2) Prevensi general / pencegahan umum (general deterrence)
Pengaruh pidana / pemidanaan terhadap masyarakat pada
umumnya
c) Teori Gabungan
Pembalasan sebagai asas pidana dan beratnya pidana tidak boleh
melampaui pembalasan yang adil. Dalam ajaran ini diperhitungkan
adanya pembalasan, prevensi general, serta perbaikan sebagai tujuan
pidana. Penganut teori ini : Pellegrino Rossi, Binding, Merkel, Kohler,
Richard Schmid dan Beling.
Tujuan Pidana (Pemidanaan) :
1) To prevent recidivism (mencegah terjadinya pengulangan
tindak pidana)
2) To deter other from the performance of similar acts (mencegah
orang lain melakukan perbuatan yang sama seperti yang
dilakukan si terpidana)
37
3) To provide a channel for the expression of retaliatory motives
(menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-motif balas
dendam)
4) To avoidance of blood feuds (untuk menghindari balas dendam)
5) The educational effect (adanya pengaruh yang bersifat
mendidik)
6) The peace-keeping function (mempunyai fungsi memelihara
perdamaian)
7) To create a possibility for the release of emotions that are
aroused by the crime (menciptakan kemungkinan bagi
pelepasan emosi-emosi yang ditimbulkan atau diguncang-
guncangkan adanya kejahatan)
8) A ceremonial reaffirmation of the societal values that are
violated and challenged by the crime (penegasan kembali nilai-
nilai kemasyarakatan yang telah dilanggar dan dirubah oleh
adanya kejahatan)
9) To reinforcing social values (memperkuat kembali nilai-nilai
social)
10) To allaying public fear of crime (menentramkan rasa takut
masyarakat terhadap kejahatan)
11) To conflict resolution (penyelesaian konflik)
12) To influencing offenders and possibility other than offenders
toward more or less Law-conforming behavior (mempengaruhi
38
para pelanggar dan orang lain ke arah perbuatan yang kurang
lebih sesuai dengan hukum)25.
B. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan
1. Unsur – Unsur Tindak Pidana Penipuan
2. Unsur – Unsur Tindak Pidana Penggelapan
Tindak Pidana Penggelapan diatur pada Bab XXIV (buku II) KUHP, terdiri
dari 5 pasal (372 s/d 376). Salah satunya yakni Pasal 372 KUHP, merupakan
tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok yang rumusannya berbunyi:
"Barang siapa dengan sengaja menguasai secara melawan hukum sesuatu benda
yang seharusnya atau sebagian merupakan kepunyaan oranglain yang berada
padanya bukan karena kejahatan, karena bersalah melakukan penggelapan,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun atau dengan
pidana denda setinggi-tingginya 900 (sembilan ratus) rupiah."
Tidak Pidana Penggelapan ini dalam mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
1. unsur subjektif : dengan sengaja;
2. unsur objektif : 1. barangsiapa; 2. menguasai secara melawan hukum; 3.
suatu benda; 4, sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain; 5. berada
padanya bukan karena kejahatan.
Bentuk pokok pembentuk undang-undang telah mencantumkan unsur
kesengajaan atau opzettelijk sebagai salah satu unsur dalam tindak pidana
25http://donxsaturniev.blogspot.com/2010/08/teori-teori-pemidanaan.html , diakses pada tanggal 04 Desember 2011, pada pukul 20.40
39
penggelapan. Unsur dengan sengaja merupakan satu-satunya unsur subjektif
didalam tindak pidana penggelapan, yakni unsur yang melekat pada subjek tindak
pidana ataupun yang melekat pada pribadi pelakunya. Dan dengan sendirinya
unsur opzettelijk harus didakwakan didalam surat dakwaan, dan karena unsur
tersebut didakwaan terhadap seorang terdakwa, dengan sendirinya juga harus
dibuktikan di sidang pengadilan yang memeriksa perkara terdakwa.
Pengertian yuridis mengenai penggelapan dimuat dalam pasal 372
sebagaimana yang telah dirumuskan sebelumnya diatas, disebut atau diberi
kualifikasi penggelapan. Rumusan di atas tidak memberi arti sebagai membuat
sesuatu menjadi gelap atau tidak terang, seperti arti kata yang sebenarnya.
Perkataan verduistering yang ke dalam bahasa kita diterjemahkan secara harfiah
dengan penggelapan itu, bagi masyarakat Belanda diberikan arti secara luas
(figurlijk), bukan diartikan seperti arti kata yang sebenarnya sebagai yang
membuat sesuatu menjadi tidak terang atau gelap
C. Tinjauan Tentang Putusan Hakim
1. Pengertian Putusan Hakim
Setelah pemeriksaan perkara yang meliputi proses mengajukan
gugatan penggugat, jawaban tergugat, replik penggugat, duplik tergugat,
pembuktian dan kesimpulan yang diajukan baik oleh penggugat maupu
oleh tergugat selesai dan pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi
yang ingin dikemukakan, maka hakim akan menjatuhkan putusan terhadap
perkara tersebut. Putusan pengadilan merupakan suatu yang sangat
diinginkan atau dinanti-nanti oleh pihak-pihak yang berperkara untuk
40
menyelesaikan sengketa mereka dengan sebaik-baiknya. Sebab dengan
putusan pengadilan tersebut pihak-pihak yang bersengketa mengharapkan
adanya kepastian hukum-hukum keadilan dalam perkara yang mereka
hadapi. Untuk memberikan putusan pengadilan yang benar-benar
menciptakan kepastian dan mencerminkan keadilan hakim sebagai
aparatur negara dan sebagai wakil Tuhan yang melaksanakan peradilan
harus mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum
yang akan ditetapkan baik peraturan hukum tertulis dalam perundang-
undangan maupun peraturan hukum tidak tertulis atau hukum adat.
Arti putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai
pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu diucapkan dipersidangan
dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau
sengketa antara pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja tetapi juga
pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tulisan dan diucapkan oleh
hakim di muka sidang karena jabatan ketika bermusyawarah hakim wajib
mencukupkan semua alasan-alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh
kedua belah pihak. Hakim wajib mengadili semua bagian gugatan. Hakim
menjatuhkan putusan atas ha-hal yang tidak diminta atau mengabulkan
lebih dari yang digugat.
Bentuk penyelesaian perkara dibedakan atas 2 yaitu:
a) Putusan / vonis
b) Penetapan / beschikking
41
Suatu putusan diambil untuk suatu perselisihan atau sengketa
sedangkan suatu penetapan diambil berhubungan dengan suatu
permohonan yaitu dalam rangka yang dinamakan yuridiksi voluntain26.
2. Macam – Macam Putusan Hakim
Putusan hakim dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:
a) Putusan sela (tussen vonnis)
Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan
akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau
mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara.
Dalam hukum acara dikenal macam putusan sela yaitu:
Putusan preparatuir
Yaitu putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan untuk
melancarkan segala sesuatu guna mengadakan putusan akhir.
Putusan inferlocutoin
Yaitu putusan yang isinya memerintahkan pembuktian karena
putusan ini menyangkut pembuktian maka putusan ini akan
mempengaruhi putusan akhir.
Putusan lucidentiel
Yaitu putusan yang berhubungan dengan insiden yaitu
peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa.
Putusan provisional
26http://ikhsanu.blogspot.com/2009/06/makalah-hukum-acara-perdata-putusan.html , diakses pada tanggal 06 Desember 2011, pada pukul 11.45
42
Yaitu putusan yang menjawab tuntutan provisi yaitu
permintaan pihak yang berperkara agar diadakan tindakan
pendahulu guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan
akhir dijatuhkan.
b) Putusan akhir
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara pada
tingkat pemeriksaan pengadilan, meliputi pengadilan tingkat
pertama, pengadilan tinggi dan MA.
Macam-macam putusan akhir antara lain:
Putusan condemnatior
Yaitu putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah
untuk memenuhi prestasi.
Putusan declarator
Yaitu putusan yang amarnya menyatakan suatu keadaan
sebagai keadaan yang sah menurut hukum.
Putusan konstitutif
Yaitu putusan yang amarnya menciptakan suatu keadaan baru.
Dari ketiga sifat putusan diatas maka putusan yang
memerlukan pelaksanaan (eksekusi) hanya yang bersifat
condemnatior27.
27http://ikhsanu.blogspot.com/2009/06/makalah-hukum-acara-perdata-putusan.html , diakses pada tanggal 06 Desember 2011, pada pukul 12.05
43
3. Hal – Hal yang dipertimbangkan oleh Hakim
dalam Mengambil Suatu Putusan Pada Perkara Pidana
BAB III
44
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Pengadilan Negeri Padang
Bikin Tentang Kedudukan Dan Struktur Dari Pengadilan Negeri Padang,
mulai dari Ketua hingga jajaran terendah.
B. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan
Putusan Terhadap Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan yang
Dilakukan Oleh Warga Negara Asing
Tindak Pidana Penggelapan diatur dalam pasal 372 KUHP. Yang termasuk
penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagian atau
seluruhnya) di mana penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi
penguasaan itu terjadi secara sah. Misalnya, penguasaan suatu barang oleh pelaku
terjadi karena pemiliknya menitipkan barang tersebut. Atau penguasaan barang
oleh pelaku terjadi karena tugas atau jabatannya, misalnya petugas penitipan
barang. Tujuan dari penggelapan adalah memiliki barang atau uang yang ada
dalam penguasannya yang mana barang/ uang tersebut pada dasarnya adalah milik
orang lain.
Sementara itu Tindak Pidana penipuan diatur dalam pasal 378 KUHP. Yaitu
dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,
ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan
barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan
piutang. Dilihat dari obyek dan tujuannya, penipuan lebih luas dari penggelapan.
45
Jika penggelapan terbatas pada barang atau uang, penipuan termasuk juga untuk
memberikan hutang maupun menghapus piutang.
Di bawah ini kami pengaturan penggelapan dan penipuan dalam KUHP.
Tabel 3.1Pengaturan Penggelapan, dan Penipuan dalam KUHP
Perbuatan KUHP RumusanPenggelapan pasal 372 Barang siapa dengan
sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Penipuan pasal 378 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Gambaran Terhadap Kasus :
46
Paparkan secara jelas, dan ringkas alur dari kasus dan fakta yang ditemukan dalam persidangan
Berdasarkan Putusan No:192/PID.B/2011.PN.PDG. ditemukan dasar
pertimbangan Hakim adalah sebagai berikut :
1. Bahwa perbuatan hukum antara terdakwa adalah perbuatan dalam
lapangan hukum keperdataan, dimana permasalahan-permasalahan
diantara mereka haruslah diselesaikan melalui ranah hukum perdata,
sedangkan penyelesaian melalui jalur hukum pidana dapat dilakukan
apabila penyelesaian melalui ranah keperdataan tidak dapat diselesaikan.
Hal ini bersesuaikan dengan sifat hukum pidana yang merupakan upaya
terakhir (Asas Ultimum Remedium)
2. Dalam hal unsur-unsur tindak pidana terpenuhi tetapi perbuatan itu
bukanlah merupakan suatu tindak pidana, maka sesuai dengan ketentuan
pasal 191 ayat (2) Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP) terdakwa harus diputus
lepas dari segala tuntutan hukum ( Ontslag Van Alle Rechtsvervolging )
3. Karena terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum maka hak terdakwa
adalah kemampuan, kedudukan, dan harkat dan martabatnya harus di
pulihkan serta biaya perkara ini dibebankan kepada Negara.
4. Terdakwa dalam perkara ini ditahan maka sesuai dengan ketentuan pasal
191 ayat (3) KUHAP terdakwa haruslah diperintahkan untuk segera
dikeluarakan dari tahanan
5. Barang bukti dalam perkara ini akan di pertimbangkan kemudian dalam
amar putusan ini
47
6. Dalam pasal 191 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang nomor 8 tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP) dan
ketentuan hukum yang bersangkutan
Berdasarkan pertimbangan hakim diatas dapat terdapat beberapa hal yang
harus dianalisa secara yuridis, yaitu :
1. Perbuatan Hukum dalam Lapangan Hukum.
Untuk mengetahui suatu perbuatan hukum apakah berada dalam
lapangan hukum dapat dilahat berdasarkan peristiwa hukum yang terjadi.
Berdasarkan kasus Tindak Pidana Penipuan Dan Penggelapan Yang
Dilakukan Oleh Warga Negara Asing di Pengadilan Negeri Kls I A
Padang dimana terdakwa di didakwa berdasarkan pasal 372 KUHP yang
unsur-unsurnya sebagai berikut :
a. Barang siapa
Barang siapa adalah setiap pelaku (dader) baik perorangan
(persoon) maupun badang hukum (rechts persoon) yang dapat
mempertanggung jawabkan perbuatanya, maka setiap orang ini
juga disebut sebagai subyek hukum yang mana dalam perkara ini
yang dimaksudkan dengan setiap orang adalah terdakwa Chandler
Russel Howard panggilan Russel. Bahwa penuntut umum telah
menghadapkan terdakawa Chandler Russel Howard panggilan
Russel kemukakan persidangan, yang berdasarkan keterangan
saksi-saksi serta keterangan terdakawa sendiri, dapat disimpulkan
bahwa orang yang dihadapkan dipersidangan benar-benar
48
terdakwalah orang yang dimaksud penuntut umu sesuai dengan
identitasnya yang tercamtum dalam surat dakwaan, dan ternyata
sehat jasmani dan rohaninya, telah dewasa dan cakap hukum
hingga menurut majelis hakim mampu mempertanggung
jawabkan segala perbuatannya di depan hukum. Bahwa dengan
demikian unsur “ barang siapa” telah terbukti dan terpenuhi.
b. Melawan Hukum untuk memiliki suatu
barang
Melawan Hukum untuk memiliki suatu barang memiliki arti
bahwa seseorang mempunyai maksud yang tidak baik untuk
memiliki barang orang lain yang bukan merupakan haknya.
Menimbang dari fakta yang terungkap dipersidangan benar antara
terdakwa Chandler Russel Howard panggilan Russel, Delvinus
Sabolak dan saksi Garry Edward Scott panggilan Scottie
mengadakan perjanjian investasi saham di PT Mentawai Surfaris
Indotama yang dituangkan dalam Agrement atau Surat perjanjian,
tertanggal 18 April 2010 yang telah ditanda tangani mereka
bertiga di jalan Sultan Syahrir Gang Bambu Kecamatan Padang
Selatan Kota Padang dan setelah perjanjian tersebut ditanda
tangani, Scottie mengirimkan uang kepada Russel sebesar 30.000
dollar Australia, karena Scottie investasi sahamnya bertambah
sebesar 5% dengan menambah uang 10.000 dolar Australia lagi,
sehingga menjadi 15% dengan dana investasi sebesar 30.000
49
dollar Australia yang dikirim ke rekening bank Mandiri atas nama
Russel. Investasi kepemilikan saham Scottie di PT Mentawai
Surfaris Indotama tidak terlaksana karena terdakwa PT Mentawai
Surfaris Indotama belum membawa Scottie kehadapan notaris
agar dibuat kata kepemilikan sahamnya karena menurut aturan di
notaris Scottie hanya memiliki visa holiday atau visa kunjungan
maka sebelum diterbitkanya Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS)
diterbitkan pihak imigrasi maka Scottie belum bisa bekerja atau
sebagai pemegang saham di PT Mentawai Surfaris Indotama.
Sedangkan dalam fakta persidangan KITAS Scottie baru berlaku
sejak tanggal 15 September 2010 s/d Agustus 2011. Sebelum
Scottie dicatat sebagai pemilik saham pada PT Mentawai Surfaris
Indotama terdapat uang yang telah dikirimkan Scottie kedalam
rekening bank atas nama Russel sebesar 30.000 dollar Australia
dan tanpa ada izin dari Scottie oleh Russel dipergunakan untuk
biaya operasional perusahaan PT Mentawai Surfaris Indotama.
Bahwa dengan demikian unsur “Melawan Hukum untuk
memiliki suatu barang” telah terbukti dan terpenuhi
c. Yang seluruhnya atau kepunyaan orang
lain
Yang seluruhnya atau kepunyaan orang lain mempunyai arti
bahwa ada suatu barang atau benda yang seluruhnya atau
sebahagian itu merupakan milik orang lain diluar dirinya sendiri.
50
Bahwa dalam fakta yang terungkap benar antara Russel dengan
Scottie mengadakan perjanjian investasi saham di PT Mentawai
Surfaris Indotama yang dituangkan dalam agreement atau Surat
perjanjian, tertanggal 18 April 2010 yang telah ditanda tangani
mereka bertiga di jalan Sultan Syahrir Gang Bambu Kecamatan
Padang Selatan Kota Padang dan setelah perjanjian tersebut
ditanda tangani, Scottie mengirimkan uang kepada Russel sebesar
30.000 dollar Australia, karena Scottie investasi sahamnya
bertambah sebesar 5% dengan menambah uang 10.000 dolar
Australia lagi, sehingga menjadi 15% dengan dana investasi
sebesar 30.000 dollar Australia yang dikirim ke rekening bank
Mandiri atas nama Russel. Investasi kepemilikan saham Scottie di
PT Mentawai Surfaris Indotama tidak terlaksana karena terdakwa
PT Mentawai Surfaris Indotama belum membawa Scottie
kehadapan notaris agar dibuat kata kepemilikan sahamnya karena
menurut aturan di notaris Scottie hanya memiliki visa holiday
atau visa kunjungan maka sebelum diterbitkanya Kartu Izin
Tinggal Terbatas (KITAS) diterbitkan pihak imigrasi maka
Scottie belum bisa bekerja atau sebagai pemegang saham di PT
Mentawai Surfaris Indotama. Sedangkan dalam fakta persidangan
KITAS Scottie baru berlaku sejak tanggal 15 September 2010 s/d
Agustus 2011. Sebelum Scottie dicatat sebagai pemilik saham
pada PT Mentawai Surfaris Indotama terdapat uang yang telah
51
dikirimkan Scottie kedalam rekening bank atas nama Russel
sebesar 30.000 dollar Australia dan tanpa ada izin dari Scottie
oleh Russel dipergunakan untuk biaya operasional perusahaan PT
Mentawai Surfaris Indotama. Bahwa dengan demikian unsur
“Yang seluruhnya atau kepunyaan orang lain” telah terbukti
dan terpenuhi
d. Yang ada dalam kekuasaannya bukan
karena kejahatan
Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan
berdasarkan fakta persidangan uang sebesar 30.000 dollar
Australia yang dikuasai oleh Russel adalah uang dari Scottie
berdasarkan perrjanjian investas saham sebesar 15% yang dibuat
dan ditanda tangani pada tanggal 18 April 2010 namun dalam
realisasinya Scottie tidak dibawa kehadapan notaris untuk
dibuatkan akta kepemilikan saham di PT Mentawai Surfaris
Indotama dikarenakan pada waktu akan ke kantor notaris Scottie
belum memiliki KITAS dari Imigrasi. Bahwa dengan demikian
unsur “Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan”
terbukti dan terpenuhi.
Berdasarkan Unsur yang terdapat dalam surat dakwaan secara
meyakinkan dan jelas seluruh unsure terpenuhi dan terbukti. Namun hakim
berpendapat bahwa perbuatan terdakwa bukanlah suatu tindak pidana walau
52
seluruh unsur tindak pidannya telah terbukti dan terpenuhi. Hakim berpendapat
bahwa perbuatan terdakwa termasuk kedalam lapangan hukum perdata.
2. Putusan ( Ontslag Van Alle Rechtsvervolging)
3. Hak-hak terdakwa terhadap putusan Ontslag Van Alle
Rechtsvervolging
4. Dasar Hukum Putusan
C. Kendala – Kendala yang Dihadapi Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan
Terhadap Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan yang Dilakukan
Oleh Warga Negara Asing
53
BAB IV
PENUTUP
B. Kesimpulan
C. Saran
54