bab i-jadi_2 lagi
DESCRIPTION
ewqewezdadadadadadtrwtrfddcaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daging adalah salah satu bahan pangan yang mempunyai kadar protein yang tinggi.
Masalahnya daging mempunyai sifat yang mudah rusak (perishable food) dan tingkat
kerusakan sekitar 5-10%(Wahyuni,2005). Oleh karena itu diperlukan penanganan yang tepat
dan cepat berupa pengawetan dan pengolahan. Tujuannya adalah untuk memperpanjang
waktu penyimpanan, mempertahankan nilai gizi, serta memberi peluang penganekaragaman
jenis olahan makanan. Ada beberapa cara pengawetan yaitu: pendinginan, pelayuan,
pengasapan, pengeringan, pengalengan dan pembekuan.Usaha pengawetan daging diperlukan
untuk memenuhi selera atau kebutuhan konsumen serta mempermudah dalam
pengangkutan.Contoh hasil olahan dan pengawetan daging adalah abon, dendeng sayat,
dendeng giling, dendeng ragi, daging asap, kornet, sosis dan sebagainya.
Abon merupakan salah satu jenis makanan awetan berasal dari daging (sapi,
kerbau,ayam, ikan laut) yang disuwir-suwir dengan berbentuk serabut atau dipisahkan dari
seratnya. Kemudian ditambahkan dengan bumbu-bumbu selanjutnya digoreng.Abon pada
umumnya disukai karena karena memiliki warna,rasa dan tekstur yang khas. Kualitas abon
juga dipengaruhi oleh bahan baku,bahan tambahan,bumbu,proses perebusan,proses
penggorengan,proses pengepresan,pengemasan maupun distribusi.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Adapun permasalahan pada abon yaitu membandingkan kualitas abon yang telah
diberi penambahan keluwih dengan takaran yang berbeda baik dari segi tekstur ,kadar
air,kadar lemak,pH,cooking loss dan organoleptik(warna serta rasa).
1.3 Manfaat
Manfaat dari praktikum pengolahan daging menjadi abon yaitu agar dapat mengetahui
proses pengolahan daging dan perbedaan abon yang telah ditambah keluwih dari segi
tekstur ,kadar air,kadar lemak,pH,cooking loss dan organoleptik(warna serta rasa).
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Daging
Daging ayam tidak jauh berbeda dengan daging dari jenis lain secara struktural
tetapi ciri-ciri atau sifat kekhususannya dapat dibedakan. Daging ayam mempunyai ciri-ciri
khusus antara lain warna pada umumnya keputih-putihan atau merah pucat, mempunyai
serat daging halus dan panjang, konsistensi sedang, diantara serat daging tidak terdapat
depo lemak dan lemak berwarna putih kekuning-kuningan dengan konsistensi lembek.
Sifat lain dari daging ayam adalah mempunyai kekuatan gel yang lebih tinggi dari
pada daging kalkun, babi, sapi atau ikan pada pH 6,0-6,5 dan suhu 70°C. Pembentukan
gel pada protein di bagian urat atau otot membantu tekstur yang diinginkan dan stabilisasi
antara lemak dan air dalam produk olahan daging (Arny,2009)
Daging merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak (perishable food)
karena daging merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Preservasi
daging mempunyai tujuan antara lain untuk mengamankan daging dari kerusakan atau
pembusukan oleh mikroorganisme dan memperpanjang masa simpan (shelf life daging).
Preservasi berarti menghambat atau membatasi reaksi-reaksi enzimatis, khemis dan
kerusakan fisik daging (Soeparno, 2005)
Komposisi kimia daging adalah air 75% (65-80%); protein 18,5% (16-22%); substansi-
substansi non protein yang larut 3,5%; lemak 3% (1,5-13%) dan sangat bervariasi (Lawrie,
1995)
Komposisi kimia daging ayam rendah lemak adalah air 73,7% ; protein 20-23% ;lemak
4,7% ; abu 1% (Nurwantoro,2003)
2.2 Abon
Abon merupakan salah satu jenis makanan awetan berasal dari daging (sapi, kerbau,
ikan laut) yang disuwir-suwir dengan berbentuk serabut atau dipisahkan dari seratnya,
Kemudian ditambahkan dengan bumbu-bumbu selanjutnya digoreng. (Anonym.2010)
2.3 Keluwih
Keluwih (Artocarpus communis) dipilih karena mempunyai serat yang hampir
menyerupai daging, sedangkan sukun (Artocarpus altilis) dipilih karena satu bangsa dengan
keluwih meskipun seratnya tidak sama. Keunggulan dari produk abon keluwih adalah berasa
2
enak (khas), memiliki tampilan (tekstur) yang sama dengan abon daging murni, dan tahan
disimpan lama. (Wahyuni,2005)
Keluwih dan sukun merupakan buah yang mempunyai karbohidrat yang tinggi serta
merupakan bagian dari karbohidrat kompleks(polisakarida). (Wahyuni,2005)
2.4 Kadar lemak
Kadar lemak berhubungan dengan bahan baku yang digunakan, ada tidaknya
menggunakan minyak goreng dalam penggorengan.(Anonym.2010)
Standar Industri Indonesia untuk Abon No 0368-80,0368-85 Lemak (maksimum)
30% ,Gula (maksimum) 30%,Protein 20%,Air (maksimum)10%,Abu (maksimum)
9%,Aroma, warna dan rasa Khas,Logam berbahaya (Cu, Pb, Mg, Zn dan As) Negatif,Jumlah
bakteri (maksimum)3000/g,Bakteri bentuk koli Negatif,Jamur Negatif (Anonym,2010)
Kadar lemak daging bebek, mentok, burung dara muda dan kalkun ternyata lebih tinggi
dari daging ayam. Lemak unggas terdapat dalam tenunan otot dan lapisan daging di bawah
kulit serta di rongga perut. Bila ayam kebiri maka lemak akan lebih banyak tetapi lebih baik
distribusinya daripada ayam yang tidak dikebiri. Daging yang memiliki kandungan gizi yang
cukup tinggi, yaitu protein 10.2 – 20.2 persen dan lemak 6.2 – 12.6 persen.Kandungan kalori
daging ayam sekitar 151 kal/100 gr daging. Susunan asam amino di dalam protein daging
adalah lengkap dan yang paling menonjol adalah kandungan valin (6.7%) yang tinggi. Valin
sangat dibutuhkan anak-anak di bawah umur 4 tahun, karena sangat baik untuk
perkembangan otak. (Anonym,2010)
Hasil analisis uji produk akhir abon menunjukkan kadar air (7,33), kadar abu
(4,95),kadar lemak(28,35), serat kasar (2,44),kadar protein (20,67), gula sukrosa (30,97).
( Chandrianto, 2011)
Keluwih dan sukun merupakan buah yang mempunyai karbohidrat yang tinggi serta
merupakan bagian dari karbohidrat kompleks (polisakarida). Serat inilah yang menyebabkan
naiknya kadar lemak pada abon dengan level substitusi keluwih yang semakin besar, di mana
serat pangan mempunyai karakteristik mengabsorbsi lemak minyak. (Wahyuni,2005)
2.5 WHC (Water Holding Capacity)
Soeparno (2005) mengatakan bahwa Water Holding Capacity (WHC) adalah
kemampuan daging untuk mengikat airnya sendiri atau air yang ditambahkan selama
mengalami perlakuan di luar seperti pemotongan daging, pemanasan, pendinginan dan
tekanan. WHC mempengaruhi sebagian sifat fisik daging seperti warna, tekstur, kesegaran,
3
juiceness dan keempukan. Kemampuan daging untuk mengikat air tergantung jumlah gugus
reaktif protein daging.
Purnomo (1997) dalam Arny Yanti (2009) mengatakan bahwa kemampuan menahan
air (Water Holding Capacity) dari daging merupakan pertimbangan utama yang dapat
mempengaruhi nilai pH seperti pada daging yang akan digunakan dalam industri yang
melibatkan proses penghancuran mikroorganisme. Setiap mikroorganisme mempunyai
kisaran pH di mana pertumbuhan masih memungkinkan dan masing-masing biasanya
mempunyai pH optimum. Kebanyakan mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH 6,0
- 8,0 dan pH luaran kisaran 2,0 sampai 10,0 biasanya bersifat merusak. Beberapa
mikrooragisme dalam bahan pangan tertentu seperti khamir dan bakteri asam laktat
tumbuh dengan baik pada kisaran nilai pH 3,0 - 6,0.
Pengukuran daya ikat air menggunakan metode Hamm (1972). Pertama menimbang
sampel sebanyak 0,3 g, dan kemudian sampel dipres dengan dua plat kaca yang telah dilapisi
kertas saring Whatman 42 dengan beban 35 kg selama 5 menit. Kertas saring digambar
dengan kertas grafik, dari gambar tersebut diperoleh area basah setelah dikurangi area yang
tertutup daging (dari total area). Kandungan air pada area basah dihitung dengan
menggunakan rumus:
mgH2O = [(area basah (cm2)/0,0948)] –8,0 = x.
Daya ikat air (Water Holding Capacity) dihitung dengan rumus :
% daya ikat air = % kadar air sampel - % kadar air basah
% kadar area basah = (x/berat sampel) 100%.
(Bintoro et. al.. 2006)
2.6 Cooking loss
Susut masak daging dipengaruhi oleh daya ikat air dan kadar air. Semakin tinggi daya
ikat air, semakin rendah kadar air daging tersebut. Hal ini diikuti oleh turunnya persentase
susut masak daging. Rataan susut masak daging yang didapatkan menurun sebanding dengan
penurunan kadar air. Daging yang mempunyai angka susut masak rendah, memiliki kualitas
yang baik karena kemungkinan keluarnya nutrisi daging selama pemasakan juga rendah. pada
umumnya nilai susut masak daging sapi bervariasi antara 1,5–54,5% dengan kisaran 15–40%.
Daging bersusut masak rendah mempunyai kualitas yang relatif baik dibandingkan dengan
daging bersusut masak besar, karena resiko kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih
sedikit. Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan
kadar air daging, yaitu banyaknya air yang terikat didalam dan di antara otot. Daya ikat air
4
(WHC) yang rendah akan mengakibatkan nilai susut masak yang tinggi. WHC sangat
dipengaruhi oleh nilai pH daging. Menurut soeparno (2005) apabila nilai pH lebih tinggi atau
lebih rendah dari titik isoelektrik daging (5,0-5,1) maka nilai susut masak daging tersebut
akan rendah (Permadi, 2008)
2.7 Tekstur
Keempukan dan tekstur daging kemungkinan besar merupakan penentu yang paling
penting pada pada kualitas daging. Faktor yang mempengaruhi keempukan daging
digolongkan `menjadi faktor antemortem seperti genetik termasuk bangsa, spesies dan
fisiologi, faktor umur, manajemen, jenis kelamin dan stress. Sedangkan factor postmortem
yang diantaranya meliputi metode chilling, refrigerasi, pelayuan dan pembekuan termasuk
factor lama dan temperature penyimpanan dan metode pengolahan termasuk metode
pemasakan dan penambahan bahan pengempuk. Jadi keempukan bias bervariasi diantaranya
spesies, bangsa, ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas dan diantara otot serta
pada otot yang sama(Soeparno,2005).
Tekstur merupakan salah satu parameter mutu yang cukup penting pada saat daging
ayam dikonsumsi. Ketika hewan telah mati, darah akan berhenti bersirkulasi, sehingga tidak
ada supply oksigen dan nutrisi pada otot. Tanpa keduanya, otot akan berusaha memenuhi kebutuhan
energinya dan akan menjadi keras, yang sering disebut dengan rigormortis. Kemudian otot akan
kembali menjadi lunak. Apapun yang mempengaruhi terjadinya rigormortis ataupun
pelunakan kembali tersebut, peristiwa ini akan mempengaruhi keempukan daging. Contohnya
adalah ketika ayam mengalami stress. Otot akan kehilangan energi lebih cepat dan rigor
mortis akan terjadi lebih cepat pula. Hal tersebut akan mengakibatkan daging akan menjadi
lebih keras (liat). Peristiwa ini juga terjadi jika terjadi pre slaughter tunning yang tinggi,
sertawaktu scaling yang lebih lama atau suhunya yang terlalu tinggi(Rindang, 2012).
Tekstur suatu citra berperan penting dalam banyak tugas pada sistem visual seperti
pemeriksaan permukaan, pengelompokan objek, pemeriksaan kualitas, dan lain-lain. Untuk
melakukan tugas-tugas tersebut, diperlukan suatu analisis mengenai tekstur yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasikan suatu pola-pola yang berulang-ulang dan teratur, pola-
pola intensitas, dan lain-lain. Salah satu manfaat dari tekstur tersebut adalah untuk
mengelompokkan citra ke dalam kelas tertentu(Resnawati, 2008).
Kesan keempukan secara keseluruhan meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek.
Pertama kemudahan awal penetrasi gigi kedalam daging; kedua, mudahnya daging dikunyah
5
menjadi fragmen/potongan-potongan yang lebih kecil dan ketiga, jumlah residu yang
tertinggal setelah pengunyahan(Soeparno,2005).
Tekstur abon dipengaruhi oleh jenis daging dan pemasakan daging. Pemanasan
daging akan mempengaruhi tingkat suiran daging yang berhubungan erat dengan tekstur
abon. Jenis daging yang digunakan harus memiliki sedikit tendon, sebab akan berpengaruh
pada meratanya tingkat suiran. Perebusan akan menghasilkan tekstur daging lebih empuk
daripada yang dikukus dalam hal tingkat keempukan daging masak. Pengukusan
mengakibatkan tekstur daging yang kompak atau padat sehingga mempengaruhi penyuiran
daging menjadi lebih teratur(Widayanto,2002).
Abon keluwih mempunyai tampilan (tekstur)yang hampir menyerupai abon daging
sapi. (Wahyuni,2005)
2.8 Kadar air
Kadar air pada abon yang dihasilkan dipengaruhi oleh proses pengolahan yakni pada
tahap penggorengan, dikarenakan air yang terdapat dalam bahan menguap atau keluar
sewaktu bahan digoreng. Hal ini disebabkan air bebas yang terdapat dalam bahan langsung
diuapkan oleh panas wajan dan minyak sebagai media perantara, sehingga sebagian bebas air
yang terdapat dalam jaringan bahan dapat menguap atau berkurang. Ridayanti (2005)
Menurut Widayanto (2002) Rumus Kadar Air :
Kadar air (%) = x 100%
Ket :
P = berat wadah dan sampel mula-mula
Q = berat wadah dan sampel setelah dikeringkan
Produk akan kehilangan air selama pemanasan pada suhu 50-60°C. Kehilangan air
pada rentang suhu ini dapat mencapai 80%. Penurunan kadar air dapat terjadi selama proses
pembuatan abon. Kadar air abon yang rendah mengakibatkan peningkatan kadar protein
abon.(Riyanto,2006)
Semakin tinggi level keluwih atau sukun, kadar airnya semakin menurun. Hal ini
disebabkan keluwih dan sukun lebih mudah kering selama proses pemanasan dibandingkan
dengan daging sapi, dan juga sifat protein daging sapi yang mampu menahan airnya selama
proses pemanasan berlangsung. Penurunan ini menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda
nyata terhadap kadar air. (Wahyuni,2005)
6
2.9 pH
pH daging ayam dengan lama pengukusan selama 2 menit adalah 5,9 setelah
mengalami penyimpanan selama 12 jam. Cepat lambatnya penurunan pH dipengaruhi oleh
spesies, tipe otot, stress sebelum pemotongan dan suhu lingkungan. (Lawrie, 2005)
pH daging akan mengalami perubahan (menurun) sesuai dengan waktu penyimpanan,
semakin lama penyimpanan akan semakin menurun sampai tercapai pH akhir yaitu antara 5,4
– 5,8. (Soeparno, 1992)
Adanya perbedaan pH disebabkan perbedaan laju glikolisis,semakin tinggi kadar
glikogen daging maka semakin cepat proses glikolisis sehingga pH semakin naik. Nilai pH
berpengaruh terhadap daya ikat air dan keempukan daging. (Budiyanto, 2009)
Pengukuran pH dilakukan dengan mencacah 5 gram daging, kemudian dimasukkan ke
dalam gelas piala yang berisi 10 ml air suling. Elektrode gelas dari pH meter dicelupkan ke
dalam gelas piala tersebut dan dibaca nilai pH. (Budiyanto, 2009)
Nilai pH digunakan untuk menunjukkan tingkat keasaman dan kebasaan suatu
substansi. Jaringan otot hewan pada saat hidup mempunyai nilai pH sekitar 5,1 sampai 7,2
dan menurun setelah pemotongan karena mengalami glikolisis dan dihasilkan asam laktat
yang akan mempengaruhi pH. pH ultimat daging tercapai setelah glikolisis otot menjadi habis
atau setelah enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada pH rendah atau glikogen tidak
lagi sensitif terhadap serangan-serangan enzim glikolitik. pH ultimat normal daging
postmortem adalah sekitar 5,5 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein
daging termasuk protein myofibril. (Lawrie, 2005)
2.10 Organoleptik
Semakin coklat warna abon biasanya mutunya akan semakin baik. Sebaliknya abon
yang berwarna muda biasanya dalam proses pembuatannya dicampur bahan lain.
(Wahyuni,2005)
Abon keluwih mempunyai rasa yang khas dan penampilan (tekstur) yang sama
dengan abon daging sapi seratus persen. (Wahyuni,2005)
7
BAB III
Materi dan Metode
A. Bahan yang digunakan dalam pembuatan abon adalah sebagai berikut:
1. Bawang merah 15 %
2. Bawang putih 10 %
3. Cabe merah 2,5 %
4. Kemiri 2,5 %
5. Ketumbar 2,5 %
6. Jinten 0,1 %
7. Asam 2,5 %
8. Lengkuas 2,5 %
9. Daun salam 2 – 4 lembar untuk 1 kg daging
10. Daun jeruk 3 lembar untuk 1 kg daging
11. Batang sereh 1 – 2 buah untuk 1 kg daging
12. Santan 2 gelas dari ¾ butir kelapa untuk 1 kg daging
13. Keluwih 25 % dan 50 % dari jumlah daging yang digunakan (merupakan perlakuan)
14. Garam 3 %
15. Gula 25 %
Peralatan yang digunakan dalam praktikum dalam pembuatan abon adalah sebagai berikut :
1. Panci
2. Kompor
3. Cobek dan ulegnya
4. Telenan
5. Pisau
6. Alat menggoreng (wajan, sotil, serok)
7. Blender bumbu
8. Pengepres abon/spinner
9. Kain saring
10. Baskom plastik
8
B. Cara pembuatan abon :
1. Daging ayam dibersihkan dari lemak, dipisahkan kulitnya dan dicuci kemudian
direbus sampai empuk atau mudah diserat (Lama perebusan daging ayam 10 menit),
kemudian dilakukan penyeratan daging menyerupai benang,
2. Keluwih dikupas, dibagi menjadi 4 - 6 bagian memanjang dan direbus 10 – 15 menit,
kemudian diserati seperti daging
3. Menyiapkan bumbu sesuai prosentase : ketumbar, bawang merah, bawang putih, cabe
merah, kemiri, asam, jinten, lengkuas, sereh, daun salam, daun jeruk purut. Ketumbar,
bawang merah, bawang putih, cabe merah, jinten, lengkuas dan kemiri dihaluskan,
sedang bumbu yang lain tidak, kecuali batang sereh dikeprek, garam dan gula merah
disisir halus,
4. Menyiapkan santan, dari 250 gram kelapa parut dengan 250 ml air
5. Merebus campuran santan dan bumbu sampai kental, kemudian dagingnya
dimasukkan dan dipanaskan sampai asat/kering, catat waktunya!!
6. Menggoreng daging tersebut dengan minyak goreng sampai kering, agar abon
menjadi renyah atau warna abon menjadi coklat. Goreng 250 gram daging No.5
dengan minyak goreng 500 ml selama ± 5 menit, yang penting hanya sampai coklat
tidak boleh gosong, catat waktunya dan suhu penggorengan!!
7. Abon yang sudah digoreng kemudian dikeluarkan minyaknya dengan alat
pengepres/spinner selama 5 menit, sehingga diperoleh abon yang kering dan renyah,
8. Mengemas abon dengan plastik yang cukup tebal dan rapat, agar uap air dalam udara
tidak masuk ke dalam plastik, karena hal ini bisa menyebabkan abon menjadi
lembab, dan mudah tengik sehingga tidak awet.
9. Menganalisa produk abon, yaitu :
a. pH
b. kadar air
c. kadar lemak
d. organoleptik warna dan bau (nilailah dari 1 sampai 9/tidak menyukai sampai sangat
menyukai)
9
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Abon
Dengan meluasnya konsumsi daging, sehingga telah banyak bentuk hasil olahan yang
berasal dari daging seperti daging korned, sosis, dendeng, abon dan daging asap dan lain-lain.
Bentuk-bentuk pengolahan ini pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh tingkat ekonomi yang
mengolahnya sehingga hasil olahan tersebut dapat juga merupakan cerminan dari tingkat
ekonomi yang mengkonsumsinya.
Abon daging merupakan makanan kering yang terbuat dari suiran-suiran daging dan
bumbu-bumbu. Pembuatan dengan cara daging direbus atau dikukus, kemudian disuir,
dicampur dengan bumbu dan digoreng sampai matang menjadi bumbu. Abon yang sudah jadi
kemudian dilakukan uji kualitas yang meliputi WHC(Water Holding Capacity), kadar lemak,
pH, tekstur, kadar air dan cooking loss.
1. Kadar lemak
Hasil pengamatan kadar lemak abon adalah kadar lemak paling rendah terdapat pada
daging tanpa perlakuan yaitu sebesar 11,3%,sedangkan kadar lemak paling tinggi terdapat
pada daging abon dengan penambahan keluwih 50% yaitu kadar lemak yang ditunjukkan
sebesar 12,5%. Hasil ini sesuai dengan (anonym,2010)bahwa Standar Industri Indonesia
untuk Abon No 0368-80,0368-85 Lemak (maksimum) 30% ,Gula (maksimum) 30%,Protein
20%,Air (maksimum)10%,Abu (maksimum) 9%,Aroma, warna dan rasa Khas,Logam
berbahaya (Cu, Pb, Mg, Zn dan As) Negatif,Jumlah bakteri (maksimum)3000/g,Bakteri
bentuk koli Negatif,Jamur Negatif. Hasil penelitian ( Chandrianto, 2011) juga menunjukkan
bahwa hasil analisis uji produk akhir abon menunjukkan kadar air (7,33), kadar abu
(4,95),kadar lemak(28,35), serat kasar (2,44),kadar protein (20,67), gula sukrosa (30,97).
Peningkatan kadar lemak abon yang ditambah dengan keluwih diduga karena adanya
penambahan keluwih yang memiliki serat tersebut dapat menyebabkan naiknya kadar lemak,
semakin tinggi level keluwih semakin tinggi pula kadar lemaknya. Hal ini sesuai dengan
pendapat wahyuni( 2005)yang menyatakan bahwa keluwih dan sukun merupakan buah yang
mempunyai karbohidrat yang tinggi serta merupakan bagian dari karbohidrat kompleks
(polisakarida). Serat inilah yang menyebabkan naiknya kadar lemak pada abon dengan level
substitusi keluwih yang semakin besar, di mana serat pangan mempunyai karakteristik
mengabsorbsi lemak minyak.
10
2. Daya Ikat Air (Water Holding Capacity)
Hasil pengamatan daya ikat air (water holding capacity) dari daging ayam yang dibuat
abon adalah diperoleh rataan % daya ikat air (WHC) sebesar 29, 42%. Hasil yang diperoleh
ini menunjukkan bahwa nilai daya ikat air dari daging ayam yang akan dibuat abon tergolong
rendah. Hasil ini sesuai dengan kusmajadi (2000) bahwa daya ikat air daging ayam broiler
pada awal pemotongan tinggi yaitu 45,37%, kemudian mengalami penurunan daya ikat air
yang nyata berbeda (P<0,05) dengan semakin lamanya jangka waktu penyimpanan yaitu
pada jangka waktu pemotongan 2 jam daya ikat air sudah mencapai 29,31 %, pada jangka
waktu pemotongan 4 jam daya ikat sebesar 25,57% dan pada jangka waktu pemotongan 12
jam daya ikat air mencapai 17,89%. Hasil penelitian Bintoro et. al. (2006) Rata-rata nilai
daya ikat air daging ayam segar yaitu sebesar 50,562, tidak berbeda secara statistik uji-t
dengan nilai DIA(Daya Ikat Air) daging ayam bangkai yaitu sebesar 52,702. Kesamaan nilai
daya ikat air dari daging ayam segar dan ayam bangkai, diduga karena protein yang
terdapat dalam kedua daging tersebut mempunyai daya yang sama dalam mengikat air.
Daya ikat air daging ayam dari hasil pengamatan rendah diduga karena pengaruh dari
perlakuan penyimpanan pada lemari pendingin selain karena pengaruh dari lama jangka
waktu penyimpanan. Suhu penyimpanan yang terlalu rendah dibawah 00 (beku) akan
menyebabkan banyaknya air terikat yang keluar dari daging pada saat dilakukan thawing atau
pengembalian ke kondisi semula. Menurut Suradi(2000) bahwa perubahan daya ikat air
daging selama penyimpanan diduga karena terjadinya perubahan ion -ion yang diikat
oleh protein daging. Penurunan daya ikat air disebabkan oleh makin banyaknya asam
laktat yang terakumulasi akibatnya banyak protein miofibriler yang rusak, sehingga
diikuti dengan kehilangan kemampuan protein untuk mengikat air. Utami, dkk. (2011)
menyatakan bahwa penurunan kemampuan daging untuk mengikat air juga berkaitan
dengan nilai pH daging. Daya Ikat Air dipengaruhi oleh pH, pada pH yang lebih tinggi dari
pH isolektrik protein daging, sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus
muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberi lebih banyak
ruang untuk molekul air, semakin banyak molekul air dalam daging Daya Ikat Air daging
akan naik.
Menurut Nurwanto dan Sri Mulyani (2003) WHC atau daya ikat air merupakan
kemampuan daging untuk menahan air yang terdapat dalam jaringan. Besar kecilnya WHC
berpengaruh terhadap terhadap warna, keempukan, kekenyalan, kesan jus, rasa dan tekstur
daging. Salah satu istilah yang terkait dengan WHC adalah drip yaitu kehilangan cairan dari
daging. Drip biasanya terjadi selam pengankutan, pameran dan penyimpanan. Adanya drip
11
menyebabkan kerugian seperti penurunan berat daging, berkurangnya kelezatan dan
berkurangnya nilai gizi.
3. Cooking loss
Berdasarkan hasil pengamtan penghitungan cooking loss didapat sebagai berikut :
Berat daging ayam sebelum dimasak : 25,16 gram
Berat daging ayam sesudah dimasak : 23,22 gram
Berat daging ayam sebelum dimasak - Berat daging ayam sesudah dimasak
Cl = x 100%
Berat daging ayam sebelum dimasak
25,16 - 23,22
= x 100%
25,16
= 7,71%
Susut masak dapat digunakan untuk meramalkan jumlah kandungan cairan dalam
daging masak (Soeparno, 1992). Daging yang mempunyai susut masak yang rendah
mempunyai kualitas fisik yang relatif lebih baik daripada daging dengan susut masak yang
lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan lebih sedikit. Suradji (2005)
menunjukan bahwa terjadinya penurunan susut masak daging ayam broiler dengan semakin
lamanya jangka waktu setelah pemotongan. Hal ini menunjukan bahwa jangka waktu mati
mempengaruhi susut masak daging ayam broiler, sebagaimana pernyataan Lawrie (1979)
bahwa susut masak dipengaruhi oleh waktu post mati.
Danar (2010) menyatakan jangka waktu pemotongan 10 jam tidak memberikan efek
yang nyata terhadap susut masak daging ayam broiler, demikian pula antara jangka waktu
pemotongan 4 jam sampai dengan 12 jam, namunsusut masak daging ayam broiler antara
jangka waktu pemotongan 0 jam (32,48%)dan 2 jam (32,81%) setelah pemotongan nyata
lebih rendah dibandingkan dengan jangka waktu pemotongan 12 jam (34,76%). Penurunan
susut masak ini disebabkan terjadinya penurunan pH daging post mortem yang
mengakibatkan banyak protein miofibriler yang rusak, sehingga diikuti dengan kehilangan
kemampuan protein untuk mengikat air yang pada akhirnya semakin besarnya susut masak.
12
Berdasarkan (Permadi,2008) menyatakan Sampel daging yang tersedia ditimbang
(berat awal) pada timbangan digital sebelum direbus dalam air yang mendidih. Daging
direbus hingga suhu dalam daging mencapai 81˚C. Setelah mencapai suhu tersebut dinginkan
daging dan timbang kembali pada timbang digital (berat akhir). Susut masak daging
didapatkan dari hasil hitung : % Susut masak = Berat sebelum pemasakan –Berat setelah
pemasakan x 100. Berdasarkan hasil penelitian menyatakan Susut masak merupakan
perbedaan (selisih) bobot awal dengan bobot akhir setelah dimasak. Susut masak pada daging
yang diamati adalah 40,31%, 40,21%, dan 42,6%. Soeparno (1994), menyatakan bahwa pada
umumnya nilai susut masak daging sapi bervariasi antara 1,5–54,5% dengan kisaran 15–40%.
Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa susut masak dari daging petama dan daging
kedua, tidak memunjukkan hasil yang jauh berbeda karena berasal dari ternak yang sama.
Rata- rata susut masak dari ketiga daging adalah 41,03%, ini tidak jauh menyimpang dari
standar susut masak daging pada umumnya. Perbedaan antara susut masak daging1, daging2,
dan daging 3 disebabkan oleh panjang serabut otot dari tiap daging yang berbeda. Soeparno,
1994 mengatakan bahwa susut masak dipengaruhi panjang serabut otot. Semakin panjang
serabut otot suatu daging, maka susut masak semakin rendah, demikian sebaliknya, semakin
pendek serabut otot suatu daging, maka susut masak semakin besar. Susut masak juga
dipengaruhi oleh umur dan bangsa ternak.
4. Tekstur
Tekstur daging merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kekerasan dan
keempukan daging. Didukung dengan literature oleh Resnawati(2008) yang menyebutkan
bahwa struktur daging sebagian besar terdiri dari protein muskulus (aktin dan miosin) dan
jaringan pengikat (kolagen dan rekulin). Hasil pengamatan didapat data bahwa prinsip dari
pengukuran tekstur daging ayam adalah melalui penekanan pada sampel dengan diketahui
berat contoh sehingga didapatkan nilai skala dengan waktu 10 detik. Pengamatan pada tekstur
daging tersebut dilakukan dengan menggunakan alat Penetrometer pada sampel daging yang
berukuran 1 cm X 1 cm X 1cm.
Pengamatan pada uji tekstur dilakukan dengan cara pertama – tama daging dipotong
dengan ukuran sekitar (1x1x1) cm dan diletakkan pada tempat sampel yang ada pada alat
penetrometer. Stop kontak pada penetrometer dihubungkan dengan sumber listrik dan
Penetrometer dihidupkan dengan menekan tombol power. Cone dan plunger dipasang dengan
menekan tombol release, kemudian diatur waktu. Jarum skala diputar pada posisi 0 dengan
memutar piringan skala. Pemutar kasar dan halus pada penetrometer diputar sehingga ujung
13
cone hampir menyentuh permukaaan sampel. Tombol start pada penetrometer ditekan dan
ditunggu sesuai waktu yang telah diatur (10 detik) dan Skala penetrometer dibaca dengan
menekan tangkai dibelakang piringan skala.
Soeparno (2005) mengemukakan bahwa komponen-komponen yang menentukan ciri-
ciri kualitas dan kuantitas daging adalah lemak,jaringan adipose, tulang, tulang
rawan,jaringan ikat dan tendo. Tekstur daging dipengaruhi oleh umur, aktivitas, jenis kelamin
dan makanan. Tekstur daging menunjukkan ukuran ikatan-ikatan serabut otot yang dibatasi
oleh septum-septum perimiseal jaringan ikat yang membagi otot secara longitudinal. Tekstur
otot dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu tekstur kasar dengan ikatan-ikatan serabut yang
besar dan tekstur halus dengan ikatan-ikatan serabut yang kecil. Tingkat kekasaran tekstur
meningkat dengan bertambahnya umur. Otot ternak jantan mempunyai tekstur yang lebih
besar daripada otot ternak betina. Bangsa ternak juga mempengaruhi tekstur otot.
Keluwih yang dicampurkan dalam pembuatan abon ayam pada saat praktikum
memiliki serat yang hampir sama dengan serat daging ayam,oleh karena itu jika ditambahkan
keluwih dalam pembuatan abon tidak akan berpengaruh besar terhadap tekstur abon itu
sendiri. Hal ini sesuai literatur Wahyuni(2005) yang menyatakan bahwa abon keluwih yang
dihasilkan seperti serat-serat kapas yang hampir mendekati tekstur abon daging. Abon
keluwih mempunyai tampilan (tekstur)yang hampir menyerupai abon daging sapi.
5. Kadar air
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, kadar air dapat ditentukan langsung dengan
menggunakan pengeringan pada oven dengan suhu 1050 C. Sampel sebanyak ± 3 gram
dikeringkan selama 16-24 jam dalam oven sampai beratnya konstan,kemudian didinginkan
diluar, disimpan di dalam eksikator selama 15 menit tetap kering dan ditimbang. Menurut
Widayanto(2002) presentase kadar air dapat dihitung dengan rumus :
Dengan menggunakan rumus diatas didapatkan hasil perhitungan presentase kadar air dalam
daging segar dan daging abon sebagai berikut :
Dari hasil analisa didapatkan kadar air daging segar sebesar 71,74%, dan rata-rata
pada daging abon perlakuan A (100% abon daging ayam) adalah 14,25 %, perlakuan B (75%
abon daging + 25% abon keluwih) adalah 15,52% dan perlakuan C (50% abon daging + 50%
14
Kadar air (%) = x 100%
Ket :P = berat wadah dan sampel mula-mulaQ = berat wadah dan sampel setelah
abon keluwih) adalah 25,62%. Menurut Ridayanti (2005) kadar air pada abon yang
dihasilkan dipengaruhi oleh proses pengolahan yakni pada tahap penggorengan, dikarenakan
air yang terdapat dalam bahan menguap atau keluar sewaktu bahan digoreng. Hal ini
disebabkan air bebas yang terdapat dalam bahan langsung diuapkan oleh panas wajan dan
minyak sebagai media perantara, sehingga sebagian bebas air yang terdapat dalam jaringan
bahan dapat menguap atau berkurang.
Selama proses pembuatan abon, daging melalui tahap penggorengan dan pemanasan.
Suhu penggorengan yang digunakan mencapai 150°C selama 10 -15 menit. Riyanto(2006)
menyebutkan bahwa produk akan kehilangan air selama pemanasan dengan suhu 50-60°C.
Kehilangan air pada rentang suhu ini dapat mencapai 80%. Penurunan kadar air dapat terjadi
selama proses pembuatan abon. Kadar air abon yang rendah mengakibatkan peningkatan
kadar protein abon.
Dalam pembuatan abon yang telah dilakukan,kadar air yang dihasilkan masih lebih
dari 10%.Sedangkan menurut standar industri Indonesia untuk abon No 0368-80,0368-
85,kadar air maksimum abon adalah 10%( Anonim,2010). Kadar air yang dihasilkan kurang
sesuai atau terlalu tinggi jika dibandingkan dengan standar abon Indonesia tersebut.
Sedangkan abon dengan penambahan keluwih 50% juga menyebabkan kadar air meningkat
bahkan tertinggi diantara yang lain,hal ini mungkin terjaadi karena adanya kesalahan
pengamatan ataupun dalam penghitungan kadar air karena jika dibandingkan dengan literatur
seharusnya penambahan keluwih justru menurunkan kadar air. (Wahyuni,2005) menyebutkan
bahwa semakin tinggi level keluih atau sukun, kadar airnya semakin menurun. Hal ini
disebabkan keluih dan sukun lebih mudah kering selama proses pemanasan dibandingkan
dengan daging sapi, dan juga sifat protein daging sapi yang mampu menahan airnya selama
proses pemanasan berlangsung. Penurunan ini menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda
nyata terhadap kadar air.
6. pH
pH daging segar 1 = 5,4 pH daging ulangan 2 = 5,5
pH abon ulangan
0% pH = 5,7 pH = 5,7
25% pH = 5,7 pH = 5,7
50% pH = 5,8 pH = 5,7
15
Dari hasil pengamatan dibandingkan dengan literatur(Soeparno, 1992)hasilnya sesuai,
yakni pH daging segar tidak mungkin berada pada pH 5,3. Hasil pengukuran saat praktikum
yakni pH daging ayam yang akan digunakan sebagai abon adalah 5,4 dan ph ulangan 5,5.
Hasil pengukuran ini didapat dengan cara menggunakan sampel daging segar seberat 3 gram
dan untuk ulangannya sama, ditamabah air sebanyak 20 ml dan diukur menggunakan pH
meter. Sedanagakan abon dengan perlakuan 0% (daging ayam tanpa perlakuan ) memiliki pH
5,7 dan ulangannya 5,7. Abon dengan perlakuan 25% memiliki pH 5,7 dan ulangannya 5,7.
Pada abon dengan pelkuan 50% memiliki kadar pH 5,8 dan ulangannya 5,7.
Pada abon dengan penambahan keluwih 50% pH-nya menunjukkan angka tertinggi
yang ini kemungkinan terjadi karena adanya penambahan bumbu maupun penambahan
keluwih itu sendiri. Hasil ini sesuai jika dibandingkan dengan literatur Wahyuni(2005)yang
menyebutkan bahwa perubahan pH dapat disebabakn oleh lama simpan daging segar yang
tidak tahu kapan proses pemotongan serta adanya proses pengukusan/ perebusan,pemasakan
dan penambahan bumbu-bumbu masakan dapat menaikkan pH-nya.
7. Organoleptik (Warna serta Rasa)
Mutu organoleptik dapat dijadikan sebagai salah satu parameter untuk menentukan
kualitas abon karena dengan adanya uji organoleptik maka dapat diketahui tingkat kesukaan
panelis terhadap abon. Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan abon dengan penambahan
keluwih lebih disukai karena dari segi rasa memiliki rasa yang khas.Warna yang dihasilkan
juga disukai panelis karena menarik dengan warna coklat tua karena adanaya reaksi
maillard(reaksi pencoklatan).Hal ini sesuai literatur Wahyuni(2005) yang menyebutkan
bahwa abon keluwih mempunyai rasa yang khas dan penampilan (tekstur) yang sama dengan
abon daging sapi seratus persen.
Selain itu,warna abon juga dapat menjadi petunjuk mutu abon. Menurut
Wahyuni(2005)Semakin coklat warna abon biasanya mutunya akan semakin baik. Sebaliknya
abon yang berwarna muda biasanya dalam proses pembuatannya dicampur bahan lain.
16
BAB V
PENUTUP
KESIMPULAN
Kualitas daging ayam segar yang digunakan sebagai bahan abon cukup baik
meskipun agak sedikit rendah kualitasnya karena adanya pengaruh
penyimpanan sebelum digunakan.
Penambahan keluwih pada pembuatan abon mempengaruhi peningkatan kadar
lemak,kadar air dan juga pH pada abon,serta meningkatkan kesukaan panelis
terhadap abon tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
17
Anonym . 2010. Abon http://digilib.uns.ac.id/index.php
Arny Yanti M. Lay Rihi. 2009. Pengaruh Lama Penyimpanan Pada Suhu Dingin Terhadap
Ph, Water Holding Capacity, Tekstur, Dan Total Plate Count Bakso Ayam
Rumput Laut. Program Studi Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya Malang
Bintoro, V. P., B. Dwiloka dan A. Sofyan. 2006. Perbandingan Daging Ayam Segar Dan
Daging Ayam Bangka Dengan Memakai Uji Fisiko Kimia Dan Mikrobiologi.
J.Indon.Trop.Anim.Agric. 31 [4].
Budiyanto, Agus dan S. Usmiati.2009. Pengaruh Enzim Papain Terhadap Mutu Daging
Kambing slama penyimpanan. Balai Pertanian: Bogor.
Chandrianto , Rosyid Meica.2011. Pengendalian Mutu Proses Pembuatan Abon Lele di IRT
Karmina Judul Seragam. UNS-F. Pertanian Prog. Teknologi Hasil Pertanian
Danar,N.2010. Kualitas Daging Ayam Boiler yang Mendapatkan Tepung Bawang Putih dan
Tepung Temulawak dalam Ransum. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah
Mada.Yogyakarta.
Hasrati, E. dan Rini R.. 2011. KAJIAN PENGGUNAAN DAGING IKAN I'IAS (Cyprinus
Carpio Linn) TERHADAP TEKSTUR DAN CITA RASA BAKSO DAGING
SAPI. Jurnal llmu-ilmu Pertanian Vol 7 No I.
Lawrie. R.A.2005. Ilmu Daging. UI press: Jakarta
Nurwantoro Dan Sri M.. 2003. Buku Ajar Dasar Teknologi Ternak.Fakultas Peternakan
Diponegoro Semarang.
Permadi ,yonif wahyu. 2008. Pengaruh Heat Strees Terhadap Daya Ikat Air Dan Susut
Masak Daging Ayam Broiler. Fakultas kedokteran hewan. Universitas
diponegoro. Semarang
Purwati. 2007. Efektifitas Plastik Polipropilen Rigid Kedap Udara Dalam Menghambat
Perubahan Kualitas Daging Ayam Dan Daging Sapi Selama Penyimpanan Beku.
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Resnawati. Heti.2008. Uji Organoleptik terhadap Daging Paha Ayam Pedaging yang Diberi
Ransum Mengandung berbagai Taraf Cacing Tanah (lumbricus rubellus).Balai
Penelitian Ternak . Bogor
Ridayanti. 2005. Pembuatan Abon Ampas Tahu sebagai Upaya Pemanfaatan Limbah
Produksi Pangan. Teknologi Pangan dan Gizi, Teknologi Pertanian Universitas
Djuanda, Bogor.
18
Rindang, 2012. Ilmu Bahan Makanan Unggas. http://www.scribd.com /doc/ 75214641
/unggas. (Diakses 1 Mei 2012)
Riyanto, I.2006. Analisa Kadar, Daya Cerna dan Karakteristik Protein Daging Ayam Kampung dan Hasil Olahannya. Program Studi Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Soeparno. 2005. Ilmu Dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Suradi, Kusmajadi. 2000. Perubahan Sifat Fisik Daging Ayam Broiler Post Mortem Selama
Penyimpanan Temperatur Ruang. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
Utami, D. P., Pudjomartatmo dan Adi M. P. N.. 2011. Manfaat Bromelin dari Ekstrak Buah
Nanas (Ananas comosus L. Merr) dan Waktu Pemasakan untuk Meningkatkan
Kualitas Daging Itik Afkir. Sains Peternakan Vol. 9 (2) : 82-87.
Wahyuni , tri hesti .2005. Perbandingan Antara Substitusi Keluwih (Artocarpus Communis)
dan sukun (Artocarpus Altilis) Terhadap Kualitas Abon Sapi. Departemen
Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan
Widayanto,2002. Komposisi Kimia dan Karakteristik Organoleptik Abon Daging Domba dan
Daging Kambing yang Dimasak dengan Metode Pemasakan Berbeda . IPB.
Bogor
19