bab i pendahuluanetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87200/potongan/s3-2015... · bab pendahuluan...

114
1 BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan berisi penjelasan tentang latar belakang dilakukannya penelitian, perumusan masalah, keaslian penelitian, tujuan dan faedah penelitian. Motivasi yang mendorong dilakukannya penelitian dengan topik: “Asesmen peran informasi geospasial dalam proses boundary making dan sengketa batas daerah pada era otonomi daerah di Indonesia” adalah keinginan untuk mengeksplorasi lebih dalam peran dan kontribusi disiplin ilmuTeknik Geodesi dan Geomatika dalam penetapan dan penegasan batas wilayah, terutama karena sering terjadinya sengketa batas daerah dalam kegiatan penegasan batas daerah pada era otonomi daerah yang luasdi Indonesia. Asesmen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegiatan yang mencakup: identifikasi, analisis dan evaluasi. Hasil asesmen diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu solusi untuk meminimalkan terjadinya sengketa batas daerah di masa mendatang. I.1. Latar belakang Jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998 melahirkan era Reformasi. Era reformasi di Indonesia yang dimulai pada tahun 1999 telah mengubah paradigma penyelenggaraan pemerintahan daerah dari yang selama Orde Baru (1966-1998) sangat didominasi dengan pendekatan sentralistik menuju ke desentralisasi yang lebih luas (Hariyono, 2013). Pada era reformasi ini lahirlah satu paket undang- undang otonomi daerah yaitu Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU Otonomi Daerah) dan UU No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Lahirnya paket undang-undang tersebut merupakan kebijakan desentralisasi di bidang politik, administrasi dan fiskal menandai dimulainya Era Otonomi Daerah (OTDA) yang lebih luas di Indonesia (Suyanto, 2007). Sejak berlakunya paket undang-undang tersebut,daerah mempunyai peluang yang lebih mandiri dalam mengelola daerahnya sesuai kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Pada UU No.22 tahun 1999 yang kemudian

Upload: tranthuan

Post on 03-Mar-2019

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

Bab pendahuluan berisi penjelasan tentang latar belakang dilakukannya

penelitian, perumusan masalah, keaslian penelitian, tujuan dan faedah penelitian.

Motivasi yang mendorong dilakukannya penelitian dengan topik: “Asesmen

peran informasi geospasial dalam proses boundary making dan sengketa batas

daerah pada era otonomi daerah di Indonesia” adalah keinginan untuk

mengeksplorasi lebih dalam peran dan kontribusi disiplin ilmuTeknik Geodesi

dan Geomatika dalam penetapan dan penegasan batas wilayah, terutama karena

sering terjadinya sengketa batas daerah dalam kegiatan penegasan batas daerah

pada era otonomi daerah yang luasdi Indonesia. Asesmen yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah kegiatan yang mencakup: identifikasi, analisis dan evaluasi.

Hasil asesmen diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu solusi untuk

meminimalkan terjadinya sengketa batas daerah di masa mendatang.

I.1. Latar belakang

Jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998 melahirkan era Reformasi. Era

reformasi di Indonesia yang dimulai pada tahun 1999 telah mengubah paradigma

penyelenggaraan pemerintahan daerah dari yang selama Orde Baru (1966-1998)

sangat didominasi dengan pendekatan sentralistik menuju ke desentralisasi yang

lebih luas (Hariyono, 2013). Pada era reformasi ini lahirlah satu paket undang-

undang otonomi daerah yaitu Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah (UU Otonomi Daerah) dan UU No.25 tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Lahirnya paket undang-undang

tersebut merupakan kebijakan desentralisasi di bidang politik, administrasi dan

fiskal menandai dimulainya Era Otonomi Daerah (OTDA) yang lebih luas di

Indonesia (Suyanto, 2007).

Sejak berlakunya paket undang-undang tersebut,daerah mempunyai peluang

yang lebih mandiri dalam mengelola daerahnya sesuai kewenangan yang

diberikan oleh pemerintah pusat. Pada UU No.22 tahun 1999 yang kemudian

2

diganti dengan UU No.32 tahun 2004 dan diganti lagi dengan UU No.23 tahun

2014, hanya ada enam kewenangan yang tidak diberikan ke daerah yaitu bidang-

bidang: (1) politik luar negeri, (2)fiskal dan moneter, (3) pertahanan, (4)

keamanan, (5) hukum dan (6) keagamaan. Dengan demikian, semenjak era OTDA

yang luas, daerah mempunyai porsi kewenangan yang sangat besar dibandingkan

dengan era sebelumnya. Dalam ilmu politik, pelimpahan kewenangan kepada

daerah dikenal sebagai asas otonomi daerah yang merupakan bentuk kongkrit dari

penyelenggaraan pemerintahan dengan asas desentralisasi politik (devolusi) dan

desentralisasi administratif (dekonsentrasi) (Imawan, 2007).

Adanya pelimpahan wewenang yang luas kepada daerah untuk mengelola

wilayahnya menciptakan suatu tantangan sekaligus peluang bagi pemerintah

daerah. Salah satu pemanfaatan peluang tersebut adalah melakukan pemekaran

wilayah, sehingga pada era OTDA yang luas banyak muncul daerah otonom baru

(DOB) hasil pemekaran. Kebijakan pemekaran wilayah selama sepuluh tahun

pelaksanaan otonomi daerah (tahun 1999 sampai dengan kebijakan moratorium

pemekaran tahun 2009) telah menghasilkan 205 DOB yang terdiri atas 7 provinsi,

164 kabupaten dan 34 kota (Kemendagri, 2010).

Penelitian Decentralization Support Facility (2007) menyimpulkan ada

berbagai faktor penyebab yang mendorong munculnya pemekaran, yaitu: faktor

kesejarahan, ketimpangan pembangunan, luasnya rentang kendali pelayanan

publik dan tidak terakomodasinya representasi politik. Faktor penyebab

pemekaran lainnya yang berupa penarik adalah limpahan fiskal yang berasal dari

APBN berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

Penentuan DAU memperhatikan kebutuhan daerah yang tercermin dari data

jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografis dan tingkat pendapatan

masyarakat dan potensi ekonomi daerah (Salamm, 2007).

Setiap pemekaran wilayah, sebagai implementasi kebijakan otonomi daerah

yang luas, pada dasarnya membawa implikasi dan konsekuensi yang luas sebagai

akibat adanya perubahan-perubahan seperti: struktur pemerintahan, anggaran

belanja pemerintah, batas wilayah dan luas wilayah, nama daerah, pembagian

sumber penerimaan dan pendapatan daerah dengan daerah induk (Chalid, 2005).

3

Dalam hal batas wilayah, konsekuensi dari terjadinya pemekaran wilayah, antara

lain perlunya penataan kembali batas wilayah daerah otonom baik daerah induk

maupun DOB hasil pemekaran. Batas wilayah daerah otonom (provinsi dan

kabupaten/kota) di Indonesia selanjutnya disebut batas daerah.

Merujuk pada teori batas wilayah menurut Jones (1945), penataan batas

daerah dapat dimasukan dalam terminologi boundary making yang memiliki

pengertian sebagai suatu proses mewujudkan adanya garis batas wilayah

administrasi daerah otonom. Dua tahapan boundary making yang sangat penting

adalah penetapan (delimitation) dan penegasan (demarcation) (Donaldson dan

Williams, 2008). Sebagai suatu proses, boundary making memiliki karakteristik

yang sistematik dan memiliki tiga aspek yaitu aspek politik, hukum dan teknis

(geospasial) (Jones, 1945; Srebro dan Shoshany, 2013).

Penerapan azaz desentralisasi sebenarnya sudah diadopsi dalam sistem

pemerintahan daerah sejak awal kemerdekaan yaitu dengan diundangkan lima

Undang-undang (UU) tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah sebagai dasar

untuk pelimpahan kewenangan dan pembagian wilayah, yaitu: (1) UU No.1 tahun

1945, (2) UU No.22 tahun 1948, (3) UU No.1 tahun 1957, (4) UU No.18 tahun

1965 dan (5) UU No.5 tahun 1974 (Suyanto, 2007). Namun dalam lima undang-

undang tersebut kontrol pemerintah pusat masih sangat kuat sehingga otonomi

daerah hanya bersifat desentralisasi administratif belaka. Daerah tidak lebih dari

hanya kepanjangan tangan untuk melaksanakan program-program pemerintah

pusat, sementara kebijakan yang bersifat politik tetap diatur oleh pemerintah

pusat (Soeaidy, 2007). Akibat dari kewenangan daerah yang masih terbatas, maka

batas daerah yang berfungsi sebagai pemisah kewenangan antar daerah bukan

merupakan faktor determinan sehingga relatif sedikit terjadi permasalahan

(sengketa) yang terkait batas daerah (Kristiyono, 2008).

Berbeda dalam hal memaknai batas daerah pada era sebelum Reformasi,

dalam era OTDA yang luas, batas daerah merupakan salah satu faktor determinan

bagi setiap daerah, karena keberadaan garis batas menentukan batas kewenangan

pengelolaan wilayah dan kewenangan pengelolaan sumberdaya yang ada di

daerah tersebut.

4

Sebagai ilustrasi bahwa pada era OTDA yang luas batas daerah menjadi

faktor determinan, adalah merujuk pada UU No.32 tahun 2004 pasal 21 ayat (f)

yang kemudian diganti dengan UU No.23 tahun 2014 pasal 289 ayat (4), bahwa

Daerah mendapatkan dana bagi hasil (DBH) dari pengelolaan sumberdaya alam

dan sumberdaya lainnya yang berada di Daerah. Hak DBH diatur pada pasal 14

ayat (e) UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan

Daerah. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa DBH penerimaan pertambangan

minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah

dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan, dibagi dengan komposisi 84,5% untuk Pemerintah dan

15,5% untuk Daerah. Demikian juga dalam hal DBH penerimaan pertambangan

gas bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan (pasal 14 ayat

f), dibagi dengan komposisi 69,5% untuk Pemerintah dan 30,5% untuk Daerah.

Berdasarkan pasal 14 UU No.33 tahun 2004 seperti diuraikan sebelumnya,

faktor alokasi DBH memicu setiap daerah menuntut kepastian posisi keberadaan

SDA yang berarti menuntut ketegasan letak batas di lapangan, sehingga ketegasan

letak batas menjadi faktor determinan yang menentukan kepastian daerah sebagai

penghasil SDA (Zainie, 2007). Secara umum, pentingnya kejelasan dan ketegasan

batas daerah adalah: (1) agar ada kejelasan cakupan wilayah dalam pengelolaan

kewenangan administrasi pemerintahan daerah, (2) untuk menghindari tumpang

tindih tata ruang daerah, (3) efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, (4)

kejelasan luas wilayah, (5) kejelasan dalam hal administrasi kependudukan, (6)

kejelasan dalam hal daftar pemilih (Pemilu, Pilkada), (7) kejelasan dalam hal

administrasi pertanahan, (8) kejelasan dalam hal perijinan pengelolaan SDA

(Subowo, 2009).

Dua tahapan penting boundary making yang dilaksanakan pada sepuluh

tahun awal era OTDA di Indonesia adalah penetapan dan penegasan batas daerah

(Subowo, 2009). Penetapan batas daerah merupakan bagian dari proses

pembentukan DOB. Salah satu proses dalam pembentukan DOB tersebut adalah

proses boundary making untuk menetapkan batas daerah yang dibentuk, sehingga

proses boundary making batas daerah di Indonesia adalah merupakan bagian dari

5

proses besar pemekaran wilayah yang berdimensi politik, hukum, ekonomi, sosial

dan teknispemetaan.

Secara praktis, dalam proses membagi-bagi permukaan bumi atas dasar

satuan politik memerlukan ketersediaan IG khususnya peta, sehingga sering

dikatakan bahwa peta merupakan infrastruktur dalam proses boundary making

(Adler, 1995). Dalam hal peta, di Indonesia sejarah pemetaan sudah berlangsung

cukup lama. Peta paling awal di Indonesia diperkirakan dibuat pada abad ke-13.

Kegiatan survei pemetaan di Indonesia pada awalnya dilakukan pada masa

kolonial Belanda yang menduduki Indonesia selama kurang lebih 350 tahun.

Setelah kemerdekaan, pada tahun 1969 didirikan lembaga Badan Koordinasi

Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) yang bertugas membangun sistem

koordinasi survei dan pemetaan di Indonesia (Ikawati dan Setiawati, 2009).

Pada awal pembentukan Bakosurtanal, baru sekitar 15 % dari wilayah

daratan Indonesia yang dibuat peta topografi skala 1: 50.000 yang terkontrol

secara geodetik dan hanya sekitar 26 % peta topografi kompilasi skala 1:100.000

dan 1:500.000, sedangkan sisanya berupa peta-peta sketsa. Dalam waktu dua dasa

warsa setelah berdirinya Bakosurtanal, kegiatan survei dan pemetaan yang

dilakukan Bakosurtanal terus berkembang seiring dengan perkembangan

teknologi geospasial (fotogrametri, satelit penginderaan jauh dan teknologi

penentuan posisi GPS) sehingga kegiatan survei pemetaan dapat dilakukan lebih

cepat, cakupan lebih luas serta skala yang lebih besar (Ikawati dan Setiawati,

2009). Sampai tahun 2008, cakupan peta rupabumi Indonesia (peta RBI) skala

1:250.000 telah mencapai seluruh wilayah Indonesia, sedangkan wilayah lain

pada umumnya sudah dipetakan pada skala 1:100.000 sampai 1:25.000 (Pusat

Pemetaan Rupabumi dan Toponimi BIG, 2013). Peta RBI yang diproduksi oleh

Bakosurtanal yang kemudian pada tahun 2011 berganti nama dimenjadi Badan

Informasi Geospasial (BIG), digunakan untuk berbagai keperluan antara lain

untuk keperluan boundary making dalam pembentukan DOB (Khafid, 2013).

Pembentukan DOB pelaksanaanya diatur dalam suatu peraturan perundang-

undangan. Dalam hal pemekaran wilayah yang didasarkan atas UU No.22 tahun

1999, pelaksanaanya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.129 tahun 2000

6

tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan

Penggabungan Daerah. Setelah UU No.22 tahun 1999 diganti dengan UU No.32

tahun 2004, maka PP No129 tahun 2000 juga diganti dengan PP No.78 tahun

2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.

Kedua PP tersebut menjadi pedoman dan kerangka kerja dalam pembentukan

daerah.

Setelah DOB terbentuk dengan disahkannya Undang-undang tentang

Pembentukan Daerah (UUPD), pada setiap UUPD mengamanatkan kepada

Menteri Dalam Negeri untuk melakukan penegasan batas secara pasti di lapangan.

Untuk pelaksanaan penegasan batas daerah Menteri Dalam Negeri mengeluarkan

suatu pedoman teknis penegasan batas daerah. Pada awalnya pedoman teknis

tersebut berupa surat edaran Menteri Dalam Negeri yang ditujukan kepada

Gubernur dan Bupati/Walikota yaitu surat edaran No.126/2742/SJ tanggal 27

November 2002 tentang Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Daerah,

kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.1

tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah yang kemudian pada tahun

2012 diganti lagi dengan Permendagri No.76 tahun 2012(Subowo, 2012).

Sesuai perkembangan politik, ekonomi dan budaya masyarakat dunia

maupun lokal suatu negara dalam memaknai batas, maka sering terjadi konflik

atau sengketa terkait batas wilayah (Prescott, 2010). Di Indonesia seiring dengan

perkembangan politik otonomi daerah seperti telah diuraikan sebelumnya, banyak

terjadi sengketa batas mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota sampai desa

(Kausar, 2009). Penambahan daerah melalui pemekaran wilayah berpotensi

menimbulkan sengketa terutama akibat tidak jelasnya keberadaan batas daerah

(Harmantyo, 2007). Di samping itu, sengketa batas daerah juga dipicu karena

daerah kabupaten/kota sering menterjemahkan otonomi sebagai kewenangan

untuk menggali pendapatan daerah yang sebanyak banyaknya melalui pajak dan

retribusi serta eksploitasi SDA dengan mengabaikan kepentingan jangka panjang

dan generasi mendatang (Dwiyanto, dkk., 2003).

Sampai dengan akhir tahun 2012 tercatat ada 82 kasus sengketa batas daerah

yang belum dapat diselesaikan. Bahkan 449 segmen dari 640 segmen batas daerah

7

yang belum ditegaskan diduga memiliki potensi sengketabatas (Kemendagri,

2012). Ada empat aspek penyebab sengketa batas daerah yaitu: (1) aspek yuridis,

(2) aspek ekonomi, (3) aspek politik-pemerintahan dan (4) aspek sosio-kultural.

Permasalahan aspek yuridis adalah terkait dengan ketidaksinkronan antara UUPD

yang satu dengan lainnya, ketidaksinkronan antara batang tubuh dengan

lampirannya terutama peta lampiran pada UUPD dan permasalahan kualitas peta

sebagai infrastruktur yang digunakan dalam proses pembentukan DOB.

Permasalahan aspek ekonomi pada dasarnya adalah berkaitan dengan masalah

pembagian DAU dan DBH sumberdaya alam (kehutanan, pertambangan umum,

perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi dan

pertambangan panas bumi) (Mustofa, 2010). Kedua parameter tersebut sangat

dipengaruhi oleh letak garis batas daerah di lapangan yang menentukan kepastian

suatu daerah sebagai daerah penghasil.

Aspek ketiga penyebab sengketa batas daerah adalah aspek politik-

pemerintahan. Aspek ini berkaitan dengan sumberdaya politik di daerah yang

diperselisihkan, seperti jumlah pemilih dan perolehan suara bagi anggauta DPRD

provinsi/kabupaten/kota dan adanya duplikasi pelayanan pemerintahan, jarak ke

pusat pelayanan pemerintahan, atau keinginan suatu wilayah untuk bergabung

dengan/dilayani oleh pemerintah daerah yang berdekatan yang pada akhirnya

bermuara pada sistem keterwakilan daerah. Aspek keempat, yaitu sosio-kultural,

utamanya adalah terkait adanya persepsi di masyarakat bahwa garis batas daerah

akan memisahkan etnis dan hilangnya hak atas tanah ulayat/tanah adat, disamping

adanya permasalahan kecemburuan sosial, isu pendatang dan penduduk asli,

potensi sejarah riwayat konflik yang berkepanjangan. Ke-empat aspek

permasalahan tersebut dapat terjadi secara kombinasi antara satu aspek dengan

lainnya atau kombinasi dari keseluruhan aspek (Subowo, 2009).

Berdasarkan fakta adanya berbagai permasalahan besar pemekaran wilayah

yang timbul selama pelaksanaan otonomi daerah, pada tanggal 3 September 2009

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di dalam Sidang Paripurna DPR-RI

mengeluarkan kebijakan Moratorium (penghentian sementara) pembentukan

DOB. Sebagai tindak lanjut kebijakan tersebut, Pemerintah telah menyusun suatu

8

Desain Besar Penataan Daerah (Desartada) di Indonesia untuk tahun 2010 sampai

dengan tahun 2025. Desartada ini telah disetujui dalam Rapat Kerja antara

Pemerintah dan Komisi II DPR-RI pada tanggal 21 Sepetember 2010

(Wasistiono, dkk., 2010).

Salah satu dimensi fundamental yang digunakan dalam menyusun kerangka

pikir Desartada adalah dimensi geografis. Dimensi geografis menggambarkan

bahwa setiap daerah otonomi berdiri di atas sebuah wilayah geografis tertentu

yang memenuhi syarat, baik dilihat kejelasan cakupan wilayah dan batas-batasnya

pada saat daerah dibentuk maupun proyeksinya kedepan untuk menampung dan

mendukung aktivitas manusia yang ada di atasnya. Dimensi geografis tersebut

harus tercermin dalam suatu peta (informasi geospasial) baik peta dasar maupun

peta tematik wilayah. Untuk membentuk suatu daerah otonom provinsi, kabupaten

dan kota diperlukan syarat minimum tentang luas dan karakteristik geografis

(Wasistiono, dkk., 2010).

Salah satu tujuan kebijakan Desartada adalah merumuskan prosedur baru

bagi pembentukan daerah otonom untuk proses pembentukan DOB di masa depan

(Wasistiono, dkk., 2010). Untuk itu perlu terlebih dahulu dilakukan evaluasi

secara menyeluruh, sungguh-sungguh dan konsisten terhadap hasil-hasil

pemekaran daerah selama tahun 1999 sampai dengan tahun 2009. Dalam hal ini

melakukan evaluasi menyeluruh berarti melakukan asesmen, yaitu melakukan

taksiran yang bersifat deskriptif yang menggambarkan sesuatu secara holistik

(menyeluruh) yang digunakan untuk menyusun suatu program yang dibutuhkan

dan bersifat realistik sesuai kenyataan secara obyektif (Banta, 1996).

Salah satu aspek yang perlu dievaluasi adalah informasi geospasial karena

secara teori dan praktek, informasi geospasial (peta) merupakan infrastruktur

penting dalam boundary making dan bila ketersediaannya tidak memadai bisa

berkontribusi menjadi penyebab sengketa (Blake, 1995). Disamping itu, peta juga

merupakan bukti yang memainkan peranan penting dalam menjawab pertanyaan-

pertanyaan mengenai letak garis batas khususnya di proses peradilan (Akweenda,

1990).

9

Beberapa contoh kasus sengketa batas daerah di Indonesia yang muncul

pada era otonomi daerah yang luas yang bersumber dari peta adalah kasus

sengketa batas daerah: (1) antara Kabupaten Kediri dan Kabupaten Blitar

(Kemendagri, 2012), (2) antara Kabupaten Magelang dengan Kota Magelang

(Kristiyono, 2008), (3) antara Kabupaten Nunukan dengan Kabupaten Tana

Tidung (Kemendagri, 2012), antara Kabupaten Tebodengan Kabupaten Bungo

(Nurbardi, 2008), (4) sengketa batas antara Provinsi Jambi dengan Provinsi

Kepulauan Riau terkait kepemilikan Pulau Berhala (Sumaryo, 2012) dan sengketa

batas antara Kabupaten Kampar dan Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau di

kwasan sumur minyak Langgak (LPPM-UIR, 2014).

I.2.Perumusan masalah

Dua tahapan penting boundary making yang dilaksanakan pada sepuluh

tahun awal era OTDA di Indonesia adalah penetapan dan penegasan batas daerah.

Penetapan batas daerah merupakan bagian dari proses pembentukan DOB.

Pembentukan DOB pelaksanaanya diatur dalam PP No.129 tahun 2000

tentangPersyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan

Penggabungan Daerah yang kemudian diganti dengan PP No.78 tahun 2007

tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.

Setelah DOB dibentuk dan batas daerah ditetapkan melalui Undang-undang

Pembentukan Daerah (UUPD), Pemerintah, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri

diberi amanat oleh UUPD untuk melaksanakan penegasan batas daerah.

Pelaksanaannya berpedoman pada Permendagri No.1 tahun 2006 tentang

Pedoman Penegasan Batas Daerah.

Secara teori dan empirik, dalam proses penetapan diperlukan IG sebagai

infrastruktur untuk memilih letak dan mendefinisikan batas wilayah (Jones, 1945).

Di sisi lain, dalam teori diagnosis penyebab konflik Moore (1986) disebutkan

bahwa data/informasi dapat berkontribusi menjadi penyebab sengketa. Dalam

proses penegasan batas daerah di Indonesia, fakta yang ada menunujukkan banyak

terjadi sengketa batas daerah. Dalam hal sengketa batas, secara teori dan empirik,

10

IG dapat berkontribusi menjadi penyebab sengketa batas wilayah (Blake, 1995;

Prescott, 1987).

Berdasar permasalahan yang telah diuraikan, sangat dimungkinkan

kerangka kerja yang diatur dalam PP No.129 tahun 2000 dan PP No.78 tahun

2007 berpengaruh terhadap proses penyelenggaraan maupun kualitas hasil

penetapan. Selain itu dimungkinkan juga regulasi yang mengatur pelaksanaan

penegasan batas daerah (Permendagri No.1 tahun 2006) juga berpengaruh

terhadap pelaksanaan penegasan batas daerah. Tidak tertutup kemungkinan,

keduanya berdampak lanjutan terhadap terjadinya sengketa batas daerah.

Pertanyaan penelitian yang perlu dijawab sehubungan dengan permasalahan

penelitian tersebut adalah:

1) Apakah regulasi PP No.129 tahun 2000, PP N0.78 tahun 2007 dan

Permendagri No.1 tahun 2006 berpengaruh terhadap kerangka kerja

pelaksanaan dan hasil penetapan dan penegasan batas daerah pada

sepuluh tahun pelaksanaan otonomi daerah yang luas di Indonesia ?

2) Bagaimana kondisi IG yang ada di Indonesia dalam hal ketersediaannya

untuk mendukung penetapan batas daerah dalam pembentukan DOB pada

sepuluh tahun pelaksanaan otonomi daerah yang luas di Indonesia ?

3) Bagaimana penggunaan IG dalam proses, dan sebagai luaran (output)

dalam penetapan batas daerah pada era otonomi daerah yang lauas di

Indonesia?

4) Apakah IG berkontribusi terhadap munculnya sengketa batas daerah pada

penegasan batas daerah di era otonomi daerah yang luas di Indonesia?

Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dilakukan

identifikasi terhadap kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah,

identifikasi terhadap ketersediaan IG yang digunakan dan dihasilkan dalam proses

penetapan batas daerah, evaluasi terhadap penggunaan IG dalam proses penetapan

batas daerah dan analisis kontribusi IG dalam terjadinya sengketa batas daerah

pada sepuluh tahun era otonomi daerah di Indonesia.

11

Mengingat kompleksitas yang tinggi dalam proses boundary making batas

daerah yang terkait dengan era dan proses politik serta perkembangan informasi

geospasial, maka penelitian ini hanya difokuskan pada:

1. Era otonomi daerah dibatasi pada periode dimulainya otonomi daerah

tahun 1999 sampai dikeluarkannya kebijakan moratorium pemekaran

wilayah oleh Pemerintah dan DPR tahun 2009.

2. Obyek penelitianyang dilakukan dalam penelitian ini hanya berfokus

pada batas daerah yang secara geografis terletak di daratdengan

pertimbangan :

a. batas daerah di darat bukan batas imajiner sehingga dapat dilakukan

demarkasi di lapangan dan secara fisik dapat dipasang tanda-tanda

batas yang dapat dikenali di lapangan,

b. keberadaan batas wilayah di darat langsung bersentuhan dengan

berbagai aspek kehidupan manusia seperti sosial, ekonomi, politik,

dan budaya,

c. fakta yang ada menunjukkan bahwa sengketa batas daerah lebih

banyak terjadi pada batas daerah di darat,

d. batas laut daerah tidak dikenal sebelumnya.

3. Asesmen peran IGpada penelitian ini difokuskan kepada peta dasar yang

digunakan dalam penetapan dan peta tematik hasil penetapan yaitu peta

wilayah administrasi yang merupakan lampiran UUPD. Hal ini dilakukan

dengan mendasarkan pada pendapat Jones (1945) bahwa tahapan

delimitasi (penetapan) merupakan tahapan yang sangat krusial dan harus

disiapkan secara sungguh-sungguh karena hasilnya mempengaruhi tahap

penagasan (demarkasi).

4. Dokumen UUPD beserta peta wilayah administrasi lampiran UUPD yang

diteliti adalah UUPD yang dibentuk atas dasar PP No.129 tahun 2000

dan PP No.78 tahun 2007. Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan

bahwa kedua PP tersebut berisi berbagai persyaratan pembentukan DOB

termasuk persyaratan IG.

12

I.3. Keaslian penelitian

Untuk memberi gambaran perbedaan penelitian yang dilakukan dengan

penelitian sebelumnya, terlebih dahulu diilustrasikan hubungan antara ranah

keilmuan boundary making, geospasial, dan konflik. Hubungan tersebut dapat

digambarkan dalam bentuk tiga lingkaran yang berpotongan seperti diilustrasikan

pada Gambar 1.1. Dari perpotongan tiga lingkaran tersebut terbentuksuatu area

permasalahan yang dapat diteliti dengan berbagai pendekatan dan sudut pandang.

Gambar 1.1.Obyek penelitian pada area permasalahan dari hubungan antararanah keilmuan boundary making, geospasial dan konflik/sengketa

Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk batas daerah dan batas

wilayah internasional disajikan pada Tabel 1.1.

Boundary making

Geospasial Konflik

Penelitian sebelumnya fokus pada aspek boundary making

Penelitian sebelumnya fokus pada aspek konflik/sengketa

Area permasalahan yang dapat diteliti

Penelitian yang dilakukan fokus pada informasi geospa sial

Asesmen Peran Informasi Geospasial dalam Proses BoundaryMaking dan Sengketa Batas Daerah pada

Era Otonomi Daerah di Indonesia

13

Tabel 1.1. Penelitian batas daerah dan batas internasional

No Peneliti Tahun Judul Metode Hasil 1 Welfizar 2004 Analisis

Alternatif Kebijakan Penyelesaian Konflik Perubahan Batas Wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam.

Deskriptif Sengketa batas disebabkan adanya penolakan terhadap Peraturan Pemerintah No.84 tahun 1999 tentang Perubahan Batas Wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam namun aspirasi tersebut tidak diakomodasi oleh pemerintah.

2 Mursyi dyansah

2007 Konflik tapal batas antara Kabupaten Banjar dengan Kabupaten Tanah Bumbu di Provinsi Kalimantan Selatan.

Deskriptif dengan analisis segitiga dimensi konflik.

Faktor penyebab konflik: (1) struktural,(2) perbedaan pendapat penggunaan peta dasar sebagai acuan; (3) perubahan nilai kognitif masyarakat Dayak tentang tapal batas.

3 Kristiyo no

2008 Konflik dalam Penegasan Batas Daerah antara Kota Magelang dengan Kabupaten Magelang, Analisis Terhadap Faktor-faktor Penyebab dan Dampaknya.

Deskriptif Penyebab konflik, faktor pemicu konflik dan faktor akselator yang menyebabkan belum terwujudnya batas yang jelas dan pasti. Dampak konflik berupa dualisme kewenangan.

14

Tabel 1.1 lanjutan

No Peneliti Tahun Judul Metode Hasil 4 Siswani 2008 Problem Yuridis

Pemekaran Daerah Kabupaten Serdang Bedagai

Pendekatan yuridis empiris dan historis

Penyebab sengketa: (1) Persekutuan Masyarakat Adat Batak Timur menolak bergabung dengan kabupaten Serdang Bedagai, (2) Kabupaten Deli Serdang belum mau menyerahkan aset daerah, dana daerah serta sebagian pegawai PNS ke Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai.

5 Nurbardi 2008 Konflik Batas Wilayah di Era Otonomi Daerah dan Upaya Penyelesaiannya, Studi Kasus Konflik Batas Wilayah antara Kabupaten Tebo Dengan Kabupaten Bungo Provinsi Jambi

Deskriptif dengan pendekatan yuridis sosiologis

Penyebab konflik batas wilayah: faktor hukum dan faktor non hukum. Penyelesain hukum diusulkan melalui Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Non Hukum melalui musyawarah, kerjasama antar daerah, sosial budaya.

6 Harman tyo

2007 Pemekaran Daerah dan Konflik Keruangan, Kebijakan Otonomi Daerah dan Implementasinya di Indonesia

Komparatif dan deskriptif kualitatif

(1) Jumlah ideal DOB di Indonesia,

(2) diproyeksikan 2760 potensi konflik akibat pemekaran,

(3) garis batas darat potensial terjadi konflik keruangan.

15

Tabel 1.1. lanjutan

No. Peneliti Tahun Judul Metode Hasil

7 Al-Sayel, dkk. 2009 International Boundary Making- Three Case Studies

Deskriptif, analisis komparatif

Pada tiga kasus demarkasi batas internasional, yaitu Indonesia- Timor Leste, Nigeria- Kamerun dan Saudi- Yaman, citra satelit berperan penting untuk rekonstruksi batas pada tahap demarkasi. Dokumentasi hasil boundary making pada tiga kasus boundary making kurang sesuai standar spesifikasi ISO seperti ISO 19131 untuk standard spesifikasi produk, ISO 19115 untuk standard metadata.

8 Fatile 2011 Management of Inter and Intra States Boundary Conflicts in Nigeria an Empirical Approach

Deskriptif, pendekatan empiris

Mencatat dua instrumen utama untuk pengelolaan batas wilayah federal dan batas wilayah lokal di Negeria, yaitu: instrumen hukum dan instrumen teknis berupa hasil survei pemetaan dari kegiatan demarkasi.

9 Mahendra 2011 Harmonisasi Hukum Pengembangan Kawasan Perbatasan NKRI Berbasis Teknologi Geospasial

Deskriptif, pendekatan empiris dari aspek hukum, kelembaga an dan teknologi

(1) Perlu UU khusus yang mengatur batas wilayah NKRI,

(2) Kawasan perbatasan NKRI terlalu banyak institusi yang mengelola sehingga tidak fokus, diusulkan satu lembaga,

(3) Dalam pengelolaan perbatasan NKRI perlu berbasis teknologi geospasial.

16

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan seperti pada Tabel 1.1.

menunjukkan bahwa penelitian nomer 1 sampai dengan nomer 5 adalah penelitian

dengan obyek sengketa dan penelitian nomer 6 sampai dengan nomer 9 adalah

penelitian obyek boundary making khususnya pada tahap manajemen kawasan

perbatasan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sejauh ini penelitian yang

telah dilakukan, baik batas daerah maupun batas internasional diteliti dari sudut

pandang aspek boundary making dan sengketa dengan pendekatan deskriptif.

Penelitian yang dilakukan tersebut pada umumnya bertujuan untuk mencari

penyebab terjadinya sengketa, memetakan aktor yang berpengaruh dalam

sengketa dan kemudian menganalisis dampaknya baik terhadap pemerintah

daerah/negara yang bersengketa maupun terhadap kehidupan masyarakat di

wilayah perbatasan.

Dalam penelitian ini, kajian batas wilayah yang dilakukan adalah

mengidentifikasi, menganalisis dan mengevaluasi peran IG di dalam proses

boundary making khususnya dalam tahap penetapan dan penegasan batas daerah

pada era OTDA yang luas di Indonesia. Penelitian yang dilakukan dalam disertasi

ini sangat berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang lebih fokus pada

aspek sengketa.

I.4. Tujuan penelitian

Berdasar rumusan masalah seperti diuraikan sebelumnya, maka tujuan

penelitian ini adalah:

1) Teridentifikasi kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah

pada sepuluh tahun pelaksanaan otonomi daerah yang luas di Indonesia,

2) Teridentifikasi kondisi IG yang ada di Indonesia dalam hal

ketersediaannya untuk mendukung penetapan batas daerah dalam

pembentukan DOB,

3) Diperoleh hasil evaluasi penggunaan IG pada proses dan sebagai luaran

(output) dalam penetapan batas daerah pada era otonomi daerah yang

luas di Indonesia,

17

4) Diperoleh analisis kontribusi IG terhadap munculnya sengketa batas

daerah dalam tahap penegasan batas daerah pada era otonomi daerah

yang luas di Indonesia.

I.5. Faedah yang diharapkan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan faedah:

1) Kontribusi bagi perkembangan kajian aplikasi ilmu Geodesi dan

Geomatika dalam studi batas wilayah (boundary making) yaitu

penguatan peran dan perumusan kebutuhan informasi geospasial untuk

penetapan batas daerah otonom di Indonesia ke masa depan,

2) Kontribusi bagi perumusan desain model kerangka kerja penetapan dan

penegasan batas daerah. Hal ini terkait dengan diundangkannya UU No.

23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No.

32 tahun 2004,

3) Sebagai bahan pertimbangan penyusunan kebijakan nasional dalam

mengurangi potensi terjadinya sengketa batas daerah.

18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang tinjauan pustaka. Pada tinjauan pustaka

diuraikan tentang perkembangan teori boundary making batas wilayah

internasional mulai abad 19 sampai abad 20 dan relevansinya pada abad 21.

Dalam tinjauan pustaka juga diberikan gambaran peran dan kontribusi geospasial

(IG dan teknologi geospasial) dalam konteks batas wilayah. Selanjutnya ditinjau

berbagai kasus sengketa batas wilayah baik batas wilayah internasional sebagai

batas kedaulatan antar negara maupun sengketa batas daerah di Indonesia yang

merupakan batas wilayah administrasi pengelolaan otonomi pemerintahan.

II.1. Boundary making batas wilayah internasional

Dalam sub bab ini diuraikan tentang batas wilayah internasional meliputi

perkembangan teori boundary makingdan relevansi teori boundary making untuk

abad 21.

II.1.1.Perkembangan teori boundary making

Sejarah batas wilayah internasional bermula dari zaman kolonial, ketika

bangsa Eropa seperti Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda dan Perancis pada abad

ke 16 mulai melakukan alokasi dan kesepakatan terhadap pembagian wilayah

secara umum untuk menguasai wilayah yang diduduki. Pada tahap alokasi ini

dihasilkan suatu garis yang disebut sebagai garis alokasi (allocation lines) yang

menentukan lingkaran pengaruh atau ‘spheres of influence’ terhadap wilayah yang

dikuasainya (Jones, 1945). Alokasi menghasilkan overlapping area sehingga antar

negara kolonial harus melakukan kesepakatan untuk melakukan delimitasi garis

batas dan hasil delimitasi garis batas tersebut dituangkan dalam perjanjian

(treaty). Pada kemudian hari setelah negara-negara yang dijajah merdeka, garis

hasil delimitasi dalam treaty ditetapkan menjadi batas wilayah negara yang

merdeka.Hal ini sesuai dengan prinsip hukum internasional “uti possidetis juris”

bahwa wilayah untuk negara yang baru merdeka adalah mewarisi wilayah negara

19

penjajah yang berkuasa sebelumnya atas satu wilayah tertentu. Batas wilayah

negara yang sekarang ada di dunia pada dasarnya merupakan warisan garis batas

dari zaman kolonial (Caflisch, 2006). Dari pengalaman empirik praktek penentuan

batas internasional kemudian berkembang teori dasar boundary makingmoderen.

Menurut Srebro dan Shoshany (2013), teori boundary making moderen yang

digunakan dalam praktek batas internasional pada awalnya dibangun secara

berturut-turut oleh Curzon (1907) yang bukunya dipublikasikan pertama kali pada

tahun 1896, Holdich (1916), Fawcett (1918) dan McMahon (1935). Penulis

tersebut adalah orang-orang yang terlibat langsung dalam berbagai kasus

boundary making batas internasional dan kemudian mempublikasikannya.

Sebagai catatan bahwa penulis tersebut telah mengenalkan perbedaan istilah yang

sangat penting dalam tahapan boundary making yaitu perbedaan antara delimitasi

dan demarkasi. Menurut mereka delimitasi merupakan kerja persiapan untuk

mendefinisikan garis batas di dalam perjanjian dalam bentuk narasi dengan

kalimat atau dalam bentuk gambar di peta, sedangkan demarkasi merupakan

kegiatan meletakan garis batas di lapangan setelah perjanjian ditandatangani.

Menurut Donaldson dan Williams (2008), publikasi yang dilakukan oleh

Lapradelle (1928) dan Jones (1945) merupakan fase kedua perkembangan teori

boundary making. Lapradelle (1928) dalam Donaldson dan Williams (2008) dan

Srebro dan Shoshany (2013) menjelaskan bahwa boundary making meliputi tiga

tahapan, yaitu: preparation, decision dan execution. Kemudian Jones (1945)

membagi tahapan boundary making menjadi empat tahap, yaitu: (1) alokasi

(allocation),(2) delimitasi (delimitation), (3) demarkasi (demarcation) dan (4)

mengadministrasikan batas wilayah (administration). Menurut Jones (1945),

alokasi adalah keputusan politik untuk mengalokasi wilayah teritorial, delimitasi

merupakan tahap memilih dan mendefinisikan garis batas wilayah di dalam

perjanjian yang lebih dominan menyangkut aspek hukum, demarkasi adalah

memasang tanda batas di lapangan yang menyangkut aspek teknis survei

pemetaan dan administrasi adalah mengadministrasikan batas wilayah. Prescott

(1987) menyebutkan bahwa pengertian preparation, decision dan execution yang

dikemukakan oleh Lapradelle (1928) sama maknanya dengan allocation,

20

delimitation dan demarcation yang dikemukakan oleh Jones (1945). Tahapan

boundary making Jones (1945) oleh Pratt (2006) digambarkan dalam bentuk

diagram seperti disajikan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Tahapan boundary making Jones (1945) menurut Pratt (2006)

Teori lain yang lebih baru ditulis oleh Nichols (1983) dalam bukunya Tidal

Boundary Delimitation yang digunakan untuk boundary making batas wilayah

maritim. Buku ini diterbitkan oleh Department of Surveying Engineering,

University of New Brunswick, Canada tahun 1983 sebagai laporan penelitian No.

103. Menurut Nichols (1983) proses boundary making batas wilayah maritim

disebut delimitation (delimitasi). Delimitasi adalah proses mewujudkan batas

wilayah maritim bisa melalui deklarasi, perjanjian atau judicial settlement.

Kegiatannya terdiri atas tiga komponen yaitu: pendefinisian (definition), deliniasi

(delineation) dan demarkasi (demarcation). Proses delimitasi batas wilayah

maritim menurut Nichols (1983) digambarkan pada Gambar 2.2.

ALLOCATION (Alokasi)

DELIMITATION (Delimitisasi)

DEMARCATION (Demarkasi)

ADAMINISTRATION (Administrasi)

21

Gambar 2.2. Komponen-komponen delimitasi batas wilayah maritim (Nichols, 1983)

Dalam perkembangan teori boundary making batas internasional telah

terjadi evolusi yang dimulai sejak peletakan dasar-dasar teori boundary making

moderen di akhir abab 19 sampai awal abad 21. Pada era pasca kolonial

khususnya setelah Perang Dunia I dan Perang Dunia II banyak negara koloni

bangsa Eropa di Asia, Afrika dan Amerika Latin memperoleh kemerdekaan. Garis

alokasi yang telah didelimitasi warisan kolonial berubah menjadi batas

internasional (Caflisch, 2006; Pratt, 2006; Srebro dan Shoshany, 2013). Setelah

negara-negara jajahan merdeka, tahapan alokasi dianggap sudah berakhir, tetapi

dua tahap penting tetap ada sampai saat ini yaitu delimitasi dan demarkasi.

Setelah tahap demarkasi selesai dilakukan, berkembang tahap pemeliharaan

(maintenance) dan manajemen perbatasan (border management). Dalam tahap

manajemen perbatasan dikelola berbagai bidang meliputi manajemen akses,

manajemen keamanan, manajemen lingkungan, manajemen sumberdaya dan

manajemen infrastruktur, sehingga tahapan boundary making Jones (1945) pada

awal abad 21 telah berkembang seperti digambarkan pada Gambar 2.3. (Pratt,

2011).

DELIMITASI

DEFINISI DELINIASI DEMARKASI

POLITIK- HUKUM HUKUM- TEKNIS

HUKUM SURVEI

22

Gambar 2.3. Pengembangan model boundary making Jones menurut Pratt (2011)

Pada era pasca tahun 1989 terlihat fenomena munculnya negara-negara baru

di luar konteks dekolonisasi, yaitu negara baru yang dihasilkan dari pembubaran

negara federasi Uni Soviet dan Republik Federasi Sosialis Yugoslavia (SFRY).

Akibat pembubaran negara federasi tersebut maka batas wilayah administarsi pada

negara federasi berubah menjadi batas internasional melalui perjanjian (treaty)

atau kesepakatan (Kolossov, 1992).

Penerapan prinsiputi possidetis jurisdalam konteks kolonialdalam situasi

non-kolonial masih menjadi kontroversi, tetapi melakukan "upgrade" status bekas

batas administrasi internal suatu negara menjadi batas internasional dalam kasus

di wilayah SFRY dan Uni Soviet, dalam kenyataannya tetap diterima oleh

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Dalam konteks batas internasional negara

baru hasil pembubaran suatu negara federasi tersebut, secara praktek teori

boundary making Jones tetap digunakan sebagai acuan untuk melakukan

delimitasi dan demarkasi batas negara-negara baru bekas federasi. Hal ini

menunjukkan bahwa delimitasi dan demarkasi sesuai teorinya Jones tetap

ALOKASI

DELIMITASI

DEMARKASI

PEMELI

HARAAN

MANAJEMEN

AKSES, KEAMANAN, LINGKUNGAN,

SUMBERDAYA, INFRASTRUK

TUR

23

digunakan dalam melakukan "upgrade" status bekas batas administrasi internal

suatu negara menjadi batas internasional (Vadmir, 2010).

II.1.2. Relevansi teori boundary making

Dalam perkembangan aplikasi teori boundary making, teori Jones (1945)

terutama dalam hal kosa kata delimitasi dan demarkasi telah memiliki pengaruh

yang kuat dan sangat menonjol dalam praktek maupun dalam hukum

internasional. Hal ini ditandai dengan banyaknya keputusan-keputusan oleh

Mahkamah Internasional dan Resolusi PBB mengenai batas wilayah

menggunakan kosa kata delimitasi dan demarkasi. Sebagai contoh dalam

keputusan Mahkamah Internasional tahun 1962 tentang sengketa batas Thailand-

Kamboja dalam memperebutkan Candi Preah Viheardan Resolusi PBB No.687

tahun 1991 tentang pembentukan Komisi Demarkasi Irak-Kuwait (Donaldson dan

Williams, 2008).

Walaupun teori Jones (1945) telah memiliki pengaruh kuat sejak teori

tersebut dipublikasikan dan kemudian diaplikasikan dalam praktek penentuan

batas wilayah internasional, namun banyak dipertanyakan relevansi teori tersebut

untuk diaplikasikan pada abad 21 terutama terkait dengan adanya pandangan

borderless, perkembangan teknologi geospasial dan kegagalan kasus penyelesaian

sengketa batas Eritrea-Ethiopia (Donaldson dan Williams, 2008). Oleh sebab itu

Donaldson dan Williams (2008) kemudian melakukan analisis terhadap relevansi

teori boundary making Jones (1945) untuk diaplikasikan pada abad 21. Hasil

penelitian tersebut, kemudian dipublikasikan dalam artikelberjudul: Delimitation

and Demarcation: Analysing the Legacy of Stephen B Jones’s Boundary Making

dan diterbitkan dalam jurnal Geopolitik, 13:4, 676-700.

Beberapa kesimpulan hasil analisis relevansi teori Jones (1945) untuk abad

21 yang dilakukan oleh Donaldson dan Williams (2008) dapat dirangkum sebagai

berikut:

1) Tahapan delimitasi dan demarkasi merupakan tahapan yang mendasar di

dalam boundary making dan secara praktis masih digunakan sebagai

pedoman dalam penentuan batas dan penyelesaian sengketa batas di

berbagai belahan dunia. Dalam proses delimitasi, batas harus

24

didefinisikan secara tertulis dalam perjanjian bilateral sehingga delimitasi

memiliki aspek legal. Jones dengan tegas menyatakan bahwa delimitasi

merupakan proses dua tahap (two-stage process) yaitu memilih garis

batas dan mendefinisikan garis batas. Selain itu Jones juga mengingatkan

agar dalam pemilihan dan pendefinisan garis batas harus sedapat

mungkin mengurangi friksisehingga menghasilkan suatu batas yang

memberi peluang terbaik untuk dimulainya hubungan yang harmonis

antara negara yang berbatasan.

2) Sebagai suatu kerangka kerja yang sistematik, maka Jones (1945)

memberikan catatan penting, yaitu: “karena boundary making adalah

suatu proses yang berkesinambungan, mulai dari tahap awal alokasi

sampai tahapan akhir administrasi, maka kesalahan di suatu tahapan

berpengaruh pada tahapan berikutnya. Oleh sebab itu informasi yang

benar tentang daerah perbatasan harus diketahui seawal mungkin di

dalam proses boundary making”.

3) Pengertian demarkasi menurut Jones tidak sesederhana hanya mencari

lokasi untuk memasang pilar seperti yang tertulis dalam perjanjian atau

tergambar di peta, namun adalah suatu proses adaptasi dari batas yang

sudah didelimitasi dalam perjanjian ke dalam kondisi lokal di area

perbatasan. Karena itu para demarkator sebenarnya adalah sebagai

penyesuai akhir (the final adjusment) garis batas hasil delimitasi ke

kondisi realitas lapangan. Dalam proses demarkasi diperlukan ahli-ahli

teknis seperti kartografer, surveyor dan geografer yang sering disebut

demarkator. Donaldson dan Williams (2008) memberi catatan bahwa

teori boundary making yang ditulis Jones merupakan tonggak sejarah

yang sangat penting di dalam mendekatkan aspek-aspek teknis

(demarkasi) ke aspek legal (delimitasi).

4) Proses boundary making Jones (1945) pada dasarnya merupakan

kegiatan yang memiliki konsep yang bersifat kontraktual (contractual

concept), artinya bahwa antara dua negara harus sepakat terhadap suatu

25

garis batas dan tetap mempertahankan posisinya setelah terjadi

kesepakatan.

5) Pada abad 21 telah terjadi perkembangan teknologi geospasial yang

sangat pesat yang sudah berbeda dibanding pada saat teori Jones ditulis

tahun 1945. Perkembangan tersebut adalah penentuan posisi dengan

Global Positioning System (GPS), teknologi satelit untuk mendapatkan

citra (image) dengan resolusi tinggi dan teknologi komputer yang telah

membawa abad dua puluh satu ini pada era teknologi dijital. Perubahan

tersebut dapat mengubah baik peralatan maupun metode yang digunakan

dalam proses delimitasi, demarkasi maupun administrasi batas wilayah.

6) Di bagian akhir analisis yang dilakukan oleh Donaldson dan Williams

(2008) menyimpulkan bahwatahap delimitasi dan demarkasi sesuai teori

Jones (1945) tetap merupakan panduan yang ideal dalam boundary

making di masa depan dan merupakan kerangka yang sangat baik untuk

melakukan analisis terhadap sengketa batas wilayah yang diakibatkan

kesalahan dan kekurangan informasi perbatasan.Walaupun abad 21

merupakan era globalisasi khususnya dalam perdagangan dan arus

informasi yang memunculkan pandangan borderless, namun keberadaan

batas negara tetap penting untuk menandai batas kedaulatan dan hukum

suatu negara dengan negara lain.

Berdasarkan tinjauan pustaka seperti yang telah diuraikan sebelumnya,

disimpulkan ada tiga teori boundary making batas wilayah internasional yang

menonjol, yaitu teori yang dikemukakan oleh Lapradelle (1928), Jones (1945) dan

Nichols (1983). Relevansi hasil tinjauan pustaka dengan penelitian yang

dilakukan dapat diperoleh dari jawaban atas dua pertanyaan berikut ini. Pertama,

dapatkan teori boundary making batas internasional digunakan sebagai pijakan

penelitian dengan obyek peran IG dalam proses boundary making batas daerah

dan sengketa batas daerah di Indonesia?. Uraian berikut adalah untuk menjawab

pertanyaan tersebut.

26

Karakteristik boundary making pada dasarnya merupakan suatu proses yang

terkait dengan aspek poltik, hukum dan teknis. Merujuk pada Sutisna, dkk.,

(2008), perbandingan aspek politik, hukum dan teknis antara batas internasional

dan batas daerah adalah seperti uraian singkat yang disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1.Perbandingan aspek politik, hukum dan teknis antara batas

internasional dan batas daerah (Sutisna, dkk., 2008)

Aspek Batas internasional Batas daerah Politik Politik internasional, hubungan

antar negara, pemisah kedaulatan

Politik nasional dalam rangka desentralisasi, hubungan antar daerah, pemisah kewenangan pengelolaan administrasi wilayah

Hukum Rezim hukum internasional: uti possidetis juris, UNCLOS 1982, perjanjian antar negara

Rezim hukum nasional: UUD-1945, UU No. 32 th. 2004 kemudian diganti dengan UU No.23 th. 2014, Peraturan Pemerintah dan Permendagri

Teknis (geospasial)

Geospasial (jarak, azimuth, sudut, peta, GPS/GNSS, remote sensing, SIG)

Geospasial (jarak, azimuth, sudut, peta, GPS/GNSS, remote sensing, SIG)

Tabel 2.1 menunjukkan bahwa dalam aspek politik dan hukum terlihat jelas

ada perbedaan antara boundary making batas internasional dengan batas daerah,

namun dalam aspek teknis (geospasial) keduanya sama karena geospasial (data,

IG dan teknologi) pada dasarnya bersifat universal. Karena obyek penelitian

adalah IG, maka penulis berpendapat teori boundary making batas internasional

dapat digunakan sebagai pijakan dalam penelitian ini.

Pertanyaan yang kedua, teori boundary making menurut siapa yang dapat

digunakan? Penulis berpendapat bahwa karena obyek penelitian juga terkait

sengketa, maka teori yang dikemukakan oleh Jones (1945) dapat dipilih sebagai

pijakan dalam penelitian ini. Pemilihan tersebut didasarkan atas hasil analisis

yang telah dilakukan oleh Donaldson dan Williams (2008) yang menyebutkan

bahwa teori boundary making Jones (1945) merupakan kerangka yang baik untuk

27

melakukan analisis sengketa batas wilayah yang diakibatkan kesalahan dan

kekurangan informasi perbatasan.

II.2. IG dalam konteks batas wilayah

Boundary making pada hakekatnya merupakan proses partisi atau membagi-

bagi permukaan bumi. Permukaan bumi tersebut bisa mulai dari persil (bidang

tanah) sampai wilayah administrasi seperti desa, kecamatan, kabupaten/kota dan

provinsi, bahkan sampai wilayah kedaulatan negara. Secara praktis, proses

membagi-bagi permukaan bumi dapat dilakukan secara langsung di lapangan

dengan cara pengukuran dan dengan metode tidak langsung yang dilakukan pada

media peta (O’Leary, 2006). Kegiatan partisi permukaan bumi masuk kedalam

lingkup ilmu geodesi praktis melalui kegiatan survei dan pemetaan (surveying)

dan adjudikasi. Oleh sebab itu peran ilmu geodesi dalam bentuk kegiatan survei

pemetaan dan adjudikasi sangat penting dalam boundary making (Rais, 2002).

Kesepakatan batas wilayah internasional biasanya diwujudkan dalam suatu

dokumen traktat atau perjanjian. Secara formal dan legal,kesepakatan batas

wilayah dinyatakan dalam daftar koordinat titik-titik batas dan digambarkan

dalam dokumen yang berujud peta yang terdapat pada traktat atau perjanjian

(Blake, 1995). Karena posisi titik-titik batas merupakan hasil suatu kesepakatan

antar negara, maka kesepakatan tersebut seharusnya mencakup sistem koordinat

dan datum geodetik yang digunakan. Untuk pendefinisian koordinat titik-titik

batas tanpa menyertakan spesifikasi datum geodetik adalah sesuatu yang tidak

bisa dimaafkan (Pratt, 2006).

Dalam banyak kasus, terutama hasil perjanjian yang dilakukan di masa lalu,

koordinat titik-titik batas yang dicantumkan dalam dokumen perjanjian tidak

menyebutkan secara eksplisit datum geodetik yang digunakan dalam menentukan

koordinat titik-titik batas. Dalam penelitian Lathrop (1997), dari 147 dokumen

perjanjian batas internasional yang tersimpan di the American Society of

International Law’s Study International Maritime Boundaries, ditemukan tidak

kurang dari 55 % yang tidak menyebutkan datum geodetik yang digunakan

sebegai referensi koordinat titik-titik batas. Meskipun demikian, dalam kurun

28

waktu sepuluh tahun terakhir sebagian besar perjanjian batas maritim yang telah

ditandatangani telah menyebutkan secara spesifik datum geodetiknya, kecuali

perjanjian yang dilakukan oleh Indonesia dan Vietnam pada tahun 2003 di laut

Natuna (Pratt, 2006).

Ketidakjelasan datum geodetik batas wilayah pada saat delimitasi membawa

implikasi dalam kegiatan demarkasi dan manajemen perbatasan. Permasalahan

yang muncul akibat ketidakjelasan dan perbedaan datum geodetik adalah

pergeseran koordinat titik batas akibat adanya datum shift, perbedaan jarak antar

titik batas, efek terhadap segmen garis batas, dan efek pada kegiatan demarkasi

dan manajemen batas (Pratt, 2006; Abidin, dkk., 2005; Rimayanti dan Lukita,

2010 sertaTrismadi, 2010). Dokumen perjanjian antara Indonesia dan Singapura

untuk 6 titik batas laut teritorial tidak secara jelas mencantumkan datum geodetik

yang digunakan (Abidin, dkk, 2005). Penelitian telah dilakukan oleh Abidin, dkk.,

(2005), Rimayanti dan Lukita (2010) dalam kasus ketidakjelasan datum geodetik

pada 6 titik tersebut dengan cara melakukan perhitungan posisi 6 koordinat titik

batas pada beberapa alternatif datum yaitu Kertau 48, Kertau 68, Genuk dan

South Asia terhadap posisinya dalam datum WGS84. Hasil perhitungan

menggunakan alternatif 4 datum tersebut menunjukkan adanya pergeseran posisi

bervariasi antara 25,98 m sampai 214,7 m.

Pergeseran posisi koordinat akibat datum geodetik menyebabkan kesalahan

dalam kegiatan delimitasi garis batas di atas peta dan kesalahan dalam demarkasi

titik batas di lapangan. Kesalahan ini tentunya bisa berakibat menguntungkan atau

merugikan masing-masing pihak. Pergeseran koordinat geografis satu detik bisa

menyebakan pergeseran di lapangan sekitar 30 m. Pada daerah yang terletak pada

lintang sekitar 550 utara pergeserannya sekitar 15 m. Untuk daerah laut terbuka

pergeseran tersebut mungkin dapat diabaikan, namun pada area yang prospektif

untuk sumberdaya alam seperti minyak, gas dan mineral, sebaiknya ketelitian

koordinat disarankan 0,1 detik sehingga pergeseran titik di lapangan hanya sekitar

1,5 m (Pratt, 2006).

Selain peta dasar, IG lain yang digunakan dalam boundary making dalam 25

tahun terakhir adalah foto udara dan citra satelit. Keunggulan foto udara dan citra

29

satelit dibanding peta adalah dapat membawa para negosiator seolah-olah berada

pada kondisi nyata di lapangan dalam bernegosiasi di meja perundingan. Citra

satelit yang digunakan sebaiknya yang memiliki resolusi spasial tinggi dan

resolusi temporal yang pendeksehingga sangat membantu untuk mengenali medan

dalam proses deliniasi garis batas (Adler, 1995). Peran citra satelit dalam batas

internasional diteliti oleh Al-Sayel, dkk., (2009) dalam tiga kasus demarkasi batas

internasional yaitu batas Indonesia-Timor Leste, Nigeria- Kamerun dan Kerajaan

Arab Saudi- Republik Yaman. Berdasar tiga kasus tersebut disimpulkankan

bahwa dalam kegiatan demarkasi terhadap batas yang telah didelimitasi pada

zaman kolonial, citra satelit memainkan peran penting untuk rekonstruksi batas.

Dalam hal teknologi pengelolaan IG, Sistem Informasi Geografis (SIG)

telah banyak digunakan untuk studi teritorial dan resolusi konflik batas

internasional. Starr (2000) menggunakan SIG untuk studi pada 151 batas negara

yang terdiri atas 301 segmen batas untuk menganalisis sifat dasar batas

internasional “opportunity” dan “willingness” dikaitkan dengan konflik. Hasil

studi yang dilakukan Starr menunjukkan bahwa hubungan antara sifat dasar batas

internasional dengan konflik bersifat tidak linier. SIG misalnya telah digunakan

untuk mendokumentasikan dan menganalisis pola sistematis terjadinya

pembersihan etnis di Balkan (Starr dan Thomas, 2005).

Penggunaan SIG untuk negosiasi konflik batas yang sangat menonjol adalah

ketika dilakukan perundingan antara Serbia Bosnia dengan Kroasia/Harzegovina

di Dayton yang difasilitasi Amerika Serikat dan PBB. Selama perjanjian

perdamaian, para negosiator menggunakan peta-peta dijital dan SIG yang

disiapkan oleh the US Army Topographic Engineering Center dan the US

Defense Mapping Agency. Dalam proses perundingan digunakan lebih 100.000

lembar peta yang secara cepat didijitasi di tempat menjadi peta dijital yang

kemudian bersama data citra satelit dan Digital Elevation Model (DEM)

digunakan dalam manipulasi real time untuk melakukan buffer di segmen batas

yang kritis agar segera dapat dirundingkan dan mendapat persetujuan. Selain itu

dalam proses perundingan digunakan juga perangkat lunak visualisasi medan

menggunakan citra satelit resolusi tinggi sehingga para negosiator secara virtual

30

terbang melintasi area yang akan ditetapkan batasnya. Tuntutan kualitas produk,

kemudahan dalam pemakaian dan dukungan kecepatan dan fleksibilitas dapat

diperoleh dengan adanya teknologi digital dalam menyediakan peta, sehingga

memberikan kontribusi signifikan terhadap keberhasilan perundingan di Dayton.

Pelajaran penting dari Dayton adalah pemetaan dijital yang tunggal (satu sumber)

dan akurat membuat obyek yang dirundingkan tidak bias. Disamping itu inovasi

penggunaan SIG sebagai alat, membuat koordinasi para negosiator menjadi lebih

dekat sehingga sangat membantu untuk keberhasilan perundingan. Pelajaran

penting lain dari Dayton adalah terbentuknya kerjasama profesional antara

masyarakat survei pemetaan dengan masyarakat diplomat (Johnson, 1999).

Penggunaan analisis geospasial (SIG) dalam resolusi konflik batas wilayah

telah dilakukan oleh Sodeinde (2001) dalam penelitiannya untuk membantu

menyelesaikan konflik penegasan batas antara Nigeria dan Kamerun. Penelitian

tersebut berjudul:”Boundary Conflict Resolution through the Spatial Analysis of

Social, Commercial and Cultural Interaction of People Leaving a Long Boundary

Area” dilakukan untuk membantu menyelesaikan persoalan konflik penegasan

batas antara Negeria dan Kamerun. Analisis spasial dengan cara superimposing

tema-tema bahasa, kehidupan sosial, budaya dan perdagangan dari masyarakat

yang hidup disepanjang daerah perbatasan dan Teknik Fuzzy digunakan untuk

membantu pengambilan keputusan dalam menentukan garis demarkasi terbaik

untuk disepakati.

Dalam hal peran geospasial dalam pengelolaan perbatasan di Indonesia

Mahendra (2011) melakukan penelitian disertasi berjudul “Harmonisasi Hukum

Pengembangan Kawasan Perbatasan NKRI Berbasis Teknologi Geospasial”.

Masalah yang diteliti adalah tentang pengelolaan kawasan perbatasan NKRI yang

selama ini kurang mendapat perhatian oleh penyelenggara negara, terlalu banyak

lembaga yang mengurus sehingga tidak ada yang fokus. Permasalahan tersebut

mengakibatkan sebagian besar kawasan perbatasan NKRI dalam kondisi yang

terbelakang, utamanya dari sisi kesejahteraan, keamanan dan infrastuktur. Dalam

penelitian yang menyangkut aspek hukum, kelembagaan dan teknologi, Mahendra

(2011) menawarkan konsep pembaharuan pengembangan kawasan perbatasan

31

NKRI yang komprehensif, efektif dan efisien dan berbasis teknologi geospasial.

Konsep pembaharuan tersebut secara singkat dinamakan konsep One Regulation

One Body. One regulation yaitu satu Undang-undang wilayah NKRI dan one body

yaitu satu badan pengelola yang disebut Badan Nasional Kawasan Perbatasan-RI

(BNKP-RI). Konsep pengembangan perbatasan berbasis teknologi geospasial

bermakna bahwa perencanaan, pembangunan, pengembangan dan pengelolaan

kawasan perbatasan NKRI wajib didasarkan atas data dan informasi geospasial

yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Sengketa batas wilayah internasional pada dasarnya merupakan manifestasi

tidak tuntasnya perjanjian atau terjadi ketidaksepakatan akibat tumpang tindih

klaim secara kartometrik atau adanya ketegangan militer didaerah perbatasan.

Kegagalan peran IG hasil delimitasi terjadi dalam kasus sengketa batas antara

negara Eritrea dan negara Ethiopia di Afrika yang berlangsung sejak tahun 1998

sampai tahun 2000. Untuk penyelesaian yang menyeluruh akhirnya kedua negara

sepakat membentuk Komisi Perbatasan (Eritrea-Ethiopia Boundary Commission

atau EEBC) yang ditugaskan untuk melakukan delimitasi ulang atas dasar

perjanjian tahun 1900, 1902 dan 1908. EEBC kemudian melakukan delimitasi

ulang atas dasar perjanjian 1900, 1902 dan 1908 menggunakan data terbaru

berupa foto udara resolusi tinggi dan data Digital Terrain Model (DTM) yang

akhirnya dapat menentukan 146 titik batas yang digambarkan pada peta skala

1:25.000 yang berkualitas tinggi. Namun permasalahan yang muncul adalah fihak

Ethiopia tetap menolak untuk menyetujui hasil delimitasi EEBC karena merasa

tidak dilibatkan dalam proses redelimitasi perjanjian 1900, 1902 dan 1908

(Wood, 2000).

Berdasar uraian tentang geospasial dalam konteks batas wilayah seperti

telah diuraian sebelumnya dan relevansinya dengan penelitian yang dilakukan

adalah memberi gambaran bahwa IG berperan penting dalam proses boundary

making mulai tahap alokasi, delimitasi, demakasi dan manajemen batas wilayah.

Walaupun demikian ketersediaan IG yang baik dan akurat ternyata tidak

menjamin konflik dapat segera diselesaikan selama penyebab konflik adalah

karena adanya faktor kepentingan dan struktural.

32

II.3. Kasus sengketa batas wilayah

Pada sub bab ini ditinjau berbagai kasus sengketa batas wilayah yang terjadi

yaitu sengketa batas wilayah internasional dan sengketa batas daerah di Indonesia.

a. Sengketa batas wilayah internasional

Untuk batas internasional, sengketa teritorial terjadi pada zaman kolonial

ketika para negara kolonialis berebut wilayah yang dijadikan daerah koloninya.

Setelah negara-negara jajahan merdeka, warisan garis alokasi batas wilayah yang

telah didelimitasi oleh penjajah sebelumnya dalam bentuk perjanjian (treaty),

didemarkasi oleh negara-negara yang merdeka tersebut. Sengketa posisi batas

internasional yang terjadi di berbagai tempat di belahan dunia seperti Asia,

Afrika, Amerika Latin dan Amerika Tengah pada umumnya banyak terjadi pada

saat melakukan kegiatan demarkasi batas wilayah (Caflisch, 2006). Uraian berikut

adalah berbagai kasus sengketa batas internasional yang terjadi di kawasan Asia,

Afrika, Amerika Latin dan Amerika Tengah.

Batas internasional wilayah darat Republik Indonesia (RI) dan Malaysia di

Kalimantan membentang sepanjang kurang lebih 2000 km. Batas ini merupakan

warisan batas wilayah koloni Inggris dan Belanda di Pulau Kalimantan melalui

The Boundary Convention tahun 1891 dan 1928 serta The Boundary Agreement

tahun 1915. Setelah adanya Memorandum of Understanding antara RI dan

Malaysia tahun 1975, dilakukan serangkaian kegiatan penegasan dan pemasangan

pilar-pilar batas. Dalam kegiatan penegasan batas tersebut, sampai saat ini masih

menyisakan sengketa penegasan batas yang sering disebut sebagai Outstanding

Boundary Problems (OBP). Permasalahan sengketa ini pada umumnya

disebabkan oleh adanya perbedaan interpretasi terhadap perjanjian batas warisan

Belanda-Inggris. Perbedaan interpretasi terhadap posisi titik dan garis batas pada

peta batas yang dimuat dalam lampiran perjanjian, antara lain disebabkan oleh

perbedaan kurun waktu yang cukup panjang yang hampir satu abad antara saat

perjanjian dibuat dengan saat demarkasi sehingga telah terjadi perubahan bentang

alam di lapangan (Widodo, dkk., 2004).

33

Batas wilayah internasional negara RI dengan Republik Demokrasi Timor

Leste (RDTL), merupakan warisan batas wilayah kolonial Belanda dan Portugis

di Pulau Timor. Perjanjian delimitasi batas antara Belanda dan Portugis dilakukan

pertama kali tahun 1854, selanjutnya melalui serangkaian perundingan akhirnya

delimitasi final disetujui pada tahun 1904 (Deeley, 2001).

Setelah Timor Leste merdeka melalui referendum pada tahun 1999, RI-

RDTL sepakat melakukan penegasan batas wilayah dengan dasar perjanjian tahun

1904 dan the 1914 Arbitral Award of the Permanent Court of Arbitration(Deeley,

2001). Penegasan batas wilayah negara RI dengan RDTL, diawali dengan

pertemuan ke-1 Technical Sub Committee on Border Demarcation and Regulation

(TSC-BDR) RI dan United Nations Transitional Adminstration for East Timor

(UNTAET) tahun 2001. Secara umum dapat dicapai kesepahaman dan

kesepakatan bersama terhadap aspek legal dokumen perjanjian, namun ada

beberapa segmen yang masih merupakan area yang ambiguity (Sutisna dan

Handoyo, 2004).

Delimitasi tahun 1904 yang menggunakan batas alam seperti sungai,

pengertian thalweg dan beberapa istilah dalam perjanjian seperti “climbing”,

“descending”, “through thesummits”, “passing” dan“passing through” yang

kemudian digunakan untuk demarkasi satu abad kemudian, berpotensi

menimbulkan ambigu, beda interpretasi dan sengketa, karena telah terjadi

perubahan bentang alam. Di samping itu juga ditemukan permasalahan

ketidaksesuaian batas wilayah antara yang dituliskan di dalam treaty dengan yang

digambar di peta, sebagai contoh di treaty tertulis bahwa batas wilayah mengikuti

thalweg Noel Besi tetapi di peta digambar mengikuti Nano Tuinan (Deeley, 2001;

Sutisna dan Handoyo, 2004).

Batas wilayah negara RI-Papua Nugini (PNG) adalah warisan batas wilayah

kolonial Belanda dan Inggris di pulau Irian sesuai konvensi tahun 1895, saat ini

boleh dikatakan sudah well-demarcated. Adanya perbedaan posisi titik dan garis

batas disebabkan karena perbedaan penggunaan teknologi penentuan posisi yang

digunakan. Demarkasi yang pernah dilakukan oleh Belanda dan Inggris di awal

abad 20 menggunakan metode astronomi dan di awal abad 21 penegasan untuk

34

perapatan titik-titik batas yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan PNG

menggunakan teknologi satelit GPS. Di samping itu potensi sengketa batas antara

RI dengan PNG ke depan adalah masalah perbedaan datum geodesi (Sutisna dan

Kusumo, 2008). Sengketa batas yang terjadi pada umumnya terkait dengan

manajemen perbatasan kedua negara yang menurut Prescott (1987) merupakan

sengketa fungsional. Sengketa fungsional batas wilayah RI-PNG yang sering

terjadi adalah pelanggaran batas, kriminalitas dan gangguan keamanan,

pembersihan pilar batas, pembangunan pos batas, pengibaran bendera PNG di

wilayah Indonesia dan mengaku sebagai penduduk PNG (Wardoyo dan Sri,

2004).

Di Kawasan Indochina, Thailand dan Kamboja adalah dua negara

bertetangga bekas jajahan Perancis yang memiliki batas sepanjang 798 km. Kedua

negara pada dasarnya memiliki budaya yang sama namun juga memiliki sejarah

sengketa batas yang sudah berlangsung lama (Silverman, 2011). Sengketa batas

yang paling menonjol adalah sengketa batas kedaulatan di kawasan Candi

Brahmana yang diberi nama Preah Vihear (menurut bahasa Khmer) atau Phra

Viharn (menurut bahasa Thai) yang dimulai sejak tahun 1904 dan 1907. Pada

perjanjian 1907, dilampirkan peta yang menyepakati bahwa batas kedua negara

terletak pada watershed (garis punggung bukit) Dang Raek, namun hasil

kesepakatan tersebut belum selesai ditegaskan di lapangan.

Kamboja merdeka pada tanggal 9 November 1953, setahun kemudian

pasukan Kamboja menduduki Candi Preah Vihear setelah tentara Perancis

meninggalkan daerah sengketa (Amer, 1997). Sengketa tersebut terjadi karena

Thailand mengklaim bahwa letak candi adalah di sebelah barat garis batas sesuai

peta Thailand, sementara Kamboja mengklaim bahwa Candi Preah Vihear terletak

di sebelah timur dari garis batas menurut peta lampiran perjanjian tahun 1907

(Singh, 1962). Tanggal 15 Juni 1962 International Court of Justice memutuskan

bahwa Candi Preah Vihear adalah di bawah kedaulatan Kamboja, namun

keputusan ini menyisakan masalah kedaulatan pada wilayah seluas 1,8 mil persegi

di sekitar candi sehingga mengakibatkan sengketa batas wilayah antara kedua

negara terus berlangsung (Silverman, 2011). Perang terbuka antara pasukan kedua

35

negara terjadi pada Agustus dan Oktober 2008, April 2009, Januari 2010 dan

Februari 2011. Proses penyelesaian sengketa melalui meja perundingan terus

berlangsung sampai akhir tahun 2011 (Yoosuk, 2011). Setelah bersengketa lama

dengan Thailand, Kamboja akhirnya dapat memiliki areal candi kuno Preah

Vihear karena pada tanggal 11 November 2013. Mahkamah Internasional di Den

Haag memutuskan bahwa Kamboja memiliki kedaulatan (sovereignty) atas

seluruh kawasan Preah Vihear (ICJ, 2013, www.icj-cij.org/homepage, diakses

tanggal 5 Februari 2014).

Konflik batas wilayah juga terjadi di Afrika. Di benua ini banyak terjadi

konflik dan bersifat sangat kompleks. Tipe-tipe konflik yang terjadi di Afrika

(Bujra, 2002) adalah: (1) konflik batas wilayah teritorial, (2) konflik internal suatu

negara akibat pengaruh negara lain, (3) perang sipil, (4) konflik politik dan

idiologi dan (5) konflik etnis. Konflik-konflik yang terjadi bisa menimbulkan

perang, kekerasan dan ketidakstabilan wilayah secara regional (Loisel, 2004).

Antara tahun 1884 sampai dengan tahun 1885 melalui Konferensi Berlin, bangsa-

bangsa Eropa yang menjajah Afrika membagai-bagi wilayah di Afrika secara

sewenang-wenang dengan memasang tanda-tanda buatan tanpa melibatkan bangsa

Afrika kecuali pengamat dari Afrika Selatan (Aghemelo and Ibhasebhor, 2006;

Jadesola, 2012).

Komunitas penduduk lokal bangsa Afrika biasa hidup berkelompok secara

etnis dan teritori etnis adalah teritori wilayah. Batas wilayah warisan kolonial

yang tidak berkesesuaian dengan teritori etnis, dikemudian hari menjadi sumber

konflik batas wilayah (Loisel, 2004), sehingga banyak negara-negara di Afrika

yang bertetangga berkonflik satu sama lain. Penyebab konflik dipicu berbagai hal

antara lain masalah pelintas batas, perebutan sumberdaya alam, ketidakjelasan

batas wilayah dan kesulitan mengimplementasi batas peninggalan kolonial dan

masalah etnis (Loisel, 2004; Ikome, 2012).

Di benua Afrika tercatat ada 56 kasus sengketa batas wilayah antar negara

yang melibatkan 62 negara (Jadesola, 2012). Beberapa sengketa batas wilayah

antar negara di Afrika status sampai tahun 2000 disajikan pada Tabel 2.2.

Sengketa batas wilayah yang paling menonjol adalah sengketa yang kedua antara

36

Ethiopia dengan Eritrea yang berlangsung dalam waktu dua tahun (tahun 1998

sampai dengan tahun 2000) menelan korban jiwa antara 70.000 sampai 120.000

orang tentara dan penduduk sipil (Wood, 2000).

Tabel 2.2. Konflik batas wilayah antar negara di Afrika status sampai tahun 2000 (Ikome, 2012)

No. Negara yang berkonflik

Periode, tahun No. Negara yang berkonflik Periode, tahun

1 Ethiopia dengan Somalia

1950s.d1961; 1963 s.d 1977; 1977 s.d 1978

10 Malawi dengan Tanzania

1967

2 Cameroon dengan Nigeria

1963 s.d 2002 11 Mali dengan Burkina Faso

1963; 1974 s.d 1975; 1985 s.d 1986

3 Algeria dengan Tunisia

1961 s.d 1970 12 Ghana-Upper Volta-Burkina Faso

1964 s.d 1966

4 Algeria dengan Morocco

1962 s.d 1970 13 Dahomey- Bissau- Niger

1963 s.d 1965

5 Ethiopia dengan Kenya

1963 s.d 1970 14

Kenya- Somalia 1962 s.d 1984

6 Côte d’Ivoire dengan Liberia

1960 s.d 1961 15 Tunisia dengan Libya

1990 s.d 1994

7 Mali dengan Mauritania

1960 s.d 1963 16 Equatorial Guinea-Gabon

1972

8 Chad dengan Libya

1935 s.d 1994 17 Ethiopia dengan Eritrea

1952 s.d 1992 1998 s.d 2000

9 Guinea Bissau dengan Senegal

1980 s.d 1992

Masih di benua Afrika, di Nigeria yang merupakan negara federasi, banyak

terjadi sengketa batas wilayah antar negara federal maupun antara pemerintah

lokal dalam negara federal. Kondisi tersebut menarik minat Fatile (2011)

melakukan penelitian manajemen konflik batas wilayahantar negara-negara

federal dan lokal di negara Negeria dengan topik: Management of Inter and Intra

States Boundary Conflicts in Nigeria. Dalam penelitian ini sebagai populasi studi

adalah seluruh negara bagian di negara Nigeria yang terdiri atas 36 negara bagian

(state) dan 774 pemerintah lokal (local government areas atau LGAs) dengan 450

37

kelompok etnis. Sampel penelitian dipilih wilayah Southwest Nigeria (purposive

sampling) yang terdiri atas 6 negera federal dan 137 LGAs dan jumlah

penduduknya 19,70 % dari jumlah penduduk Nigeria. Pertimbangan Southwest

Nigeria dipilih sebagai sampel penelitian adalah: (1) Southwest Nigeria

merupakan wilayah yang dihuni etnis Yoruba salah satu etnis terbesar di Nigeria,

(2) tingkat pendidikan penduduk di Southwest Nigeria relatif lebih tinggi

dibanding wilayah lain di Negeria, (3) Southwest Nigeria adalah daerah beriklim

tropis dengan curah hujan dan kelembaban tinggi sehingga merupakan daerah

penghasil berbagai komoditas tanaman penting terutama coklat.

Metodologi penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif-

deskriptif dan metode pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner, wawancara

(in-depth interview), Focus Group Discussion (FGD), analisis dokumen dan

observasi. Teknik analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif

menggunakan metode statistik-deskriptif. Hasil penelitian menyimpulkan: (1) ada

korelasi antara pembentukan negara federasiatau pemerintahan lokal (LGAs) baru

dengan terjadinya sengketa batas, dan ada kecenderungan setiap pembentukan

negara federasi maupun LGAs baru memicu terjadinya sengketa batas bahkan

konflik lebih besar bisa terjadi bila tidak segera ditangani, (2) ada korelasi antara

ketidaksepakatan pengelolaan sumberdaya yang terletak di sepanjang garis batas

yang dilakukan oleh pemerintahan di berbagai tingkatan (federal maupun lokal)

dengan terjadinya sengketa batas, (3) ada suatu korelasi antara kurangnya

perhatian terhadap kebutuhan pemetaan batas negara federal maupun lokal dengan

konflik komunal di Nigeria, (4) ada hubungan antara strategi penyelesaian

sengketa yang dilakukan oleh Komisi Nasional Perbatasan dengan keharmonisan

hubungan antar pemerintahan lokal di Nigeria.

Di Amerika Latin, sengketa batas wilayah antar negara juga tidak terlepas

dari sejarah kolonial. Negara-negara di Amerika Latin adalah koloni Spanyol dan

Portugal pada kurang lebih dua abad yang lalu. Spanyol dan Portugal mewariskan

garis-garis alokasi yang sudah didelimitasi. Sengketa batas wilayah teritorial yang

terjadi di Amerika Latin pada umumnya disebabkan karena: (1) banyak batas

wilayah antar negara hasil delimitasi peninggalan Spanyol dan Portugal yang

38

belum didemarkasi, (2) secara geopolitik adanya rebutan pengaruh antara negara-

negara besar Amerika Serikat beserta sekutunya dengan Uni Soviet pada masa

Perang Dingin terhadap negara-negara di Amerika Latin sehingga meningkatkan

ketegangan militer di kawasan tersebut (Dominguez, dkk., 2003).

Setelah perang dingin berakhir tahun 1990, beberapa negara di Amerika

Latin dengan cepat dapat menyelesaikan sengketa batas wilayah, namun beberapa

yang lain belum dapat menyelesaikan, bahkan berlanjut. Hal ini disebabkan

beberapa faktor. Faktor pertama adalah geografis. Karena Amerika Latin secara

geografis adalah daerah hujan tropis yang periodenya panjang, maka secara fisik

dan logistik menyulitkan untuk melakukan kegiatan demarkasi lapangan,

disamping itu biaya demarkasi menjadi mahal. Faktor kedua adalah peta-peta

delimitasi batas wilayah peninggalan kolonial yang tidak akurat. Faktor ketiga,

sering adanya campur tangan pemerintah Amerika Serikat untuk menghentikan

proses perundingan penyelesaian sengketa batas wilayah (Dominguez, dkk.,

2003).

Setelah merdeka dari Spanyol tahun 1821, setiap negara di Amerika Tengah

menentukan batas kedaulatan masing-masing negara mengikuti batas administrasi

kolonial Spanyol dengan mengacu doktrin “uti possidetis juris”, namun karena

penentuan batas wilayah masing-masing negara tersebut tidak dilanjutkan dengan

kegiatan demarkasi di lapangan, maka kemudian muncul sengketa batas walaupun

pada periode yang tidak terlalu lama karena pada tahun 1838 sudah berakhir.

Dalam perkembangannya, kompetisi klaim wilayah teritorial terus terjadi dan

tidak bisa dihentikan sehingga menimbulkan sengketa batas teritorial antara

negara-negara di Amerika Tengah. Salah satu sengketa yang sampai menimbulkan

perang yaitu Perang Soccer pada tahun 1969 adalah sengketa batas antara negara

El Savador dengan Honduras (Orozco, 2004).

Beberapa konflik batas wilayah yang besar yang terjadi antara negara-

negara di Amerika Tengah disajikan pada Tabel 2.3.

39

Tabel 2.3. Beberapa konflik batas wilayah yang besar yang terjadi antara negara-

negara di Amerika Tengah (Orozco, 2004)

No. Negara yang bersengketa

Tahun mulai sengketa

Tahun eskalasi sengketa menjadi konflik besar

Status

1 Guetamala dengan Honduras 1843 1928 Selesai tahun 1933

2 Costarica dengan Panama 1879 1921 Selesai tahun 1934

3 Honduras dengan El Salvador (Perang Soccer)

1910 1969 Selesai tahun 1999

4 Honduras dengan Nicaragua 1912 1957 Selesai tahun 1963

5 Costarica dengan Nicaragua 1981 1985 Selesai tahun 1985

b. Kasus sengketa batas daerah di Indonesia

Sejak era otonomi daerah, keberadaan batas daerah semakin dirasakan

penting oleh setiap daerah otonom. Ketidakjelasan posisi garis batas berpotensi

menimbulkan sengketa batas daerah. Pada tahun 2012, Kementrian Dalam Negeri

menyebutkan bahwa selama pelaksanaan kebijakan pemekaran wilayah terdapat

banyak kasus sengketa batas daerah. Menurut Subowo (2009) dan Pakpahan

(2011), sengketa batas daerah di Indonesia pada umumnya terjadi pada saat

kegiatan penegasan batas daerah. Beberapa kasus sengketa batas daerah di

berbagai wilayah di Indonesia seperti di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Maluku

telah diteliti secara akademik seperti uraian berikut.

Di Pulau Jawa sengketa batas daerah terjadi antara Kota Magelang dengan

Kabupaten Magelang. Kristiyono (2008) melakukan penelitian dengan topik

Konflik dalam Penegasan Batas Daerah antara Kota Magelang dengan Kabupaten

Magelang, analisis terhadap faktor-faktor penyebab dan dampaknya. Dalam

penelitian tersebut ditemukan bahwa faktor penyebabnya berdimensi banyak serta

saling berkaitan antara faktor yang satu dengan yang lainnya. Faktor tersebut

40

meliputi: faktor-faktor yang bersifat struktural, faktor kepentingan, hubungan

antar manusia dan konflik data/peta, yang semuanya dapat dikategorikan menjadi

faktor latar belakang, faktor pemicu konflik dan faktor akselelator. Konflik yang

terjadi menyebabkan belum terwujudnya batas yang jelas dan pasti antara kedua

daerah tersebut baik secara administratif maupun fisik, yang selanjutnya berakibat

pada timbulnya “dampak konflik” berupa terjadinya dualisme kewenangan

pemberian data yuridis atas tanah-tanah tertentu pada sebagian proses pengurusan

bukti kepemilikan hak atas tanah (sertifikat) khususnya di tingkat desa /kelurahan

yang batas wilayahnya tidak tegas.

Di Pulau Sumatera, terjadi sengketa batas daerah terjadi di beberapa daerah.

Welfizar (2004), melakukan penelitian dengan topik Analisis Alternatif Kebijakan

Penyelesaian Konflik Perubahan Batas Wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten

Agam. Hasil penelitian yang dilakukan Welfizar menyimpulkan bahwa

implementasi Peraturan Pemerintah (PP) No.84 tahun 1999 tentang Perubahan

Batas Wilayah Kota Bukit Tinggi dan Kabupaten Agam menunjukkan adanya

penolakan dari masyarakat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Agam. Welfizar

mencoba mengetahui faktor yang menyebabkan konflik batas daerah tersebut dan

mengidentifikasi alternatif kebijakan untuk penyelesainnya. Faktor yang

menyebabkan konflik batas daerah tersebut adalah tidak didengarkannya aspirasi

masyarakat oleh para pengambil keputusan. Aspirasi tersebut menuntut agar

perubahan batas wilayah disesuaikan dengan batas adat yang telah ada. Alternatif

kebijakan untuk penyelesaian batas tersebut diusulkan agar dilakukan kerja sama

antara kedua daerah, sehingga tidak ada lagi yang merasa rugi atau untung.

Penelitian terkait sengketa batas daerah di Pulau Sumatera dilakukan oleh

Siswani (2008) dengan topik Problem Yuridis Pemekaran Daerah Kabupaten

Serdang Bedagai. Kabupaten Serdang Bedagai adalah kabupaten pemekaran dari

Kabupaten Deli Serdang. Sengketa antar Kabupaten Serdang Bedagai dengan

Kabupaten Deli Serdang terkait batas wilayah disebabkan oleh tuntutan

Persekutuan Masyarakat Adat Batak Timur yang menolak bergabung dengan

kabupaten Serdang Bedagai dengan alasan jarak pelayanan ke ibu kota kabupaten

Serdang Bedagai menjadi lebih jauh. Penyebab lain karena Kabupaten Deli

41

Serdang belum mau menyerahkan aset daerah, dana daerah serta sebagian

pegawai PNS ke Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai sebagaimana ditetapkan

dalam UUPD kabupaten Serdang Bedagai. Penyelesaian sengketa batas berlarut

sampai akhirnya kelompok persekutuan masyarakat adat Batak Timur

mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Walaupun akhirnya Mahkamah

Konstitusi menolak gugatan tersebut dengan amar putusan yang antara lain

menyebutkan bahwa menurut legal standing, persekutuan masyarakat adat Batak

Timur bukan merupakan kesatuan hukum adat, sehingga tidak dapat memiliki

hak konstitusional sebagai diatur dalam UUD 1945. Selain itu alasan jarak yang

jauh dari ibu kota Kabupaten Serdang Bedagai oleh Mahkamah Konstitusi

dianggap bukan salah satu hak konstitusional.

Penelitian sengketa batas daerah yang lain di Pulau Sumatera dilakukan oleh

Nurbardi (2008) tentang konflik batas wilayah antara Kabupaten Tebo dengan

Kabupaten Bungo Provinsi Jambi dan mencari upaya penyelesainnya. Hasil

penelitiannya menyimpulkan bahwa konflik batas wilayah antara daerah

Kabupaten Tebo dengan Kabupaten Bungo dipengaruhi oleh faktor hukum dan

faktor non hukum. Konflik ini dikenal dengan “tragedi 9 September 2002”.

Kabupaten Tebo merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten induk Bungo Tebo

yang disahkan berdasarkan UUPD No.54 tahun 1999 tentangPembentukan

Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi, dan

Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi. Hingga saat ini masalah tapal

batas tersebut masih menjadi polemik yang belum terselesaikan terutama soal

pengaturan tapal batas di sepanjang 2 (dua) daerah tersebut yaitu di Desa Bebeko

dan Ala Ilir.

Penelitian terkait sengketa batas daerah di Pulau Kalimantan dilakukan oleh

Mursyidyansah (2007) mengenai konflik tapal batas antara Kabupaten Banjar

dengan Kabupaten Tanah Bumbu di Provinsi Kalimantan Selatan. Penelitian yang

dilakukan bertujuan mengetahui sebab utama konflik dan upaya penyelesaian

yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Dalam penelitian

tersebut dilakukan analisis sebab utama konflik dengan “analisa segitiga dimensi

konflik” yang melibatkan dimensi personal, struktural dan kultural. Melalui

42

analisis tersebut dapat diketahui faktor-faktor penyebab konflik, yaitu: (1) secara

struktural, karena setelah pemekaran,wilayah Kota Baru secara geografis memiliki

keterbatasan dalam pengelolaan wilayah, pengelolaan kepentingan ekonomi dan

pengelolaan sumber daya alam, dan ketidakjelasan tapal batas; (2) secara

personal, yaitu adanya perbedaan pendapat tentang penggunaan peta dasar sebagai

acuan,(3) secara kultural, yaitu adanya perubahan nilai yakni nilai kognitif yang

diyakini masyarakat Dayak tentang tapal batas.

Sengketa batas daerah di Maluku diteliti oleh Qodir dan Sulaksono (2012)

dengan topik Politik Rente dan Konflik di Daerah Pemekaran Kasus Maluku

Utara mencari faktor-faktor penyebab terjadinya konflik, aktor-aktor yang

bermain dalam konflik dan dampak yang timbul akibat konflik yang terjadi di

daerah pemekaran Maluku Utara. Dalam penelitian ini Qodir dan Sulaksono

mengajukan rumusan masalah penelitian: “Bagaimanakah peta konflik sosial,

budaya, politik dan ekonomi daerah pemekaran di Maluku Utara dan pengaruhnya

terhadap pemekaran karena unsur paling penting dari pemekaran adalah

mendekatkan pelayanan publik, yang telah berlangsung sejak tahun 1999?”. Hasil

penelitian Qodir dan Sulaksono menyimpulkan adanya peran politisi lokal yang

kalah dalam pemilihan kepala daerah sering menghembuskan persoalan konflik di

daerah dengan menyatakan terjadi money politics atau buruknya pelayanan publik

sehingga butuh pemerintahan yang bersih dan efektif sehingga daerah perlu

dimekarkan. Pemikiran sebagian elit lokal adalah bagaimana sebuah daerah mekar

dahulu, kemudian dilakukanalokasi wilayah daerah yang dimekarkan, ditentukan

calon lokasi ibukota dan menentukan siapa yang menjadi pejabat di suatu daerah.

Penelitian sengketa batas daerah di berbagai daerah di Indonesia yang telah

dilakukan, kajiannya lebih berfokus pada mencari penyebab sengketa, memetakan

aktor sengketa dan dampak sengketa terhadap pelayanan publik. Walaupun ada

penelitian yang menemukan bahwa salah satu faktor penyebab sengketa adalah

data/IG, namun tidak dikaji lebih mendalam tentang aspek IG tersebut. Hal ini

bisa difahami karena latar belakang disiplin ilmu para peneliti adalah ilmu sosial

(politik dan hukum).

43

Berdasar tinjauan pustaka tentang konflik/sengketa batas internasional

disimpulkan bahwa sengketa terjadi karena tahap demarkasi baru dilaksanakan

beberapa lama setelah tahap delimitasi. Delimitasi batas yang dilakukan oleh

negara kolonial pada abad ke 19 di negara-negara jajahannya di Afrika, Asia

maupun Amerika Latin pada umumnya baru didemarkasi pada abad ke 20 setelah

negara-negara tersebut merdeka. Hal tersebut menyebabkan: (1) garis batas hasil

delimitasi yang digambarkan pada peta lampiran perjanjian, menimbulkan

permasalahan yang serius dalam interpretasi fitur-fitur peta lama bila dicocokan

dengan kondisi saat demarkasi, (2) deskripsi batas secara verbal dalam perjanjian

tidak sesuai lagi bila digunakan untuk demarkasi, karena deskripsi verbal batas

didasarkan atas fitur-fitur geografis pada saat delimitasi dilakukan dan ketika

demarkasi dilakukan beberapa puluh tahun kemudian, fitur-fitur tersebutbaik fitur

buatan maupun alam telah banyak terjadi perubahan, (3) terdapat kontradiksi

antara definisi batas yang dideskripsikan secara verbal dengan batas yang

digambarkan di peta, atau kontradiksi dalam hal nama-nama geografis (toponim)

di dalam teks perjanjian dan di peta.

Untuk sengketa batas daerah, kondisinya hampir sama dengan sengketa

batas internasional, yaitu sengketa batas daerah terjadi karena demarkasi batas

daerah baru dilaksanakan beberapa lama setelah tahap delimitasi dilakukan.

Dalam kondisi peta batas hasil delimitasi tidak tersedia atau tersedia tapi

kondisinya tidak memenuhi syarat untuk demarkasi sehingga mengakibatkan

sengketa posisional garis batas daerah. Relevansi dari tinjuan pustaka kasus

sengketa batas wilayah dengan penelitian yang dilakukan adalah mendapat

gambaran empirik bahwa IG dapat berkontribusi terhadap terjadinya sengketa

batas daerah.

44

BAB III

LANDASAN TEORI

Uraian bab ini diawali dengan pengertian batas wilayah internasional dan

batas daerah, kemudian uraian tentang tiga teori penting sebagai dasar penelitian

yaitu teori boundary making Jones (1945), geospasial dan teori konflik/sengketa.

Selanjutnya itu dijelaskan juga pengertian asesmen.

III.1.Batas wilayah

Sejarah keberadaan batas wilayah sebenarnya telah berkembang seiring

dengan perkembangan peradaban manusia. Pada zaman manusia hidup dari

berburu, manusia sudah menetapkan batas wilayah perburuannya. Ketika manusia

mulai hidup dengan bercocok tanam secara menetap, manusia mulai menetapkan

batas-batas bidang tanah yang menjadi wilayah garapannya. Catatan sejarah yang

ada menunjukkan bahwa Herodotus, seorang bangsa Mesir yang hidup pada tahun

1400 Sebelum Masehi ditugaskan untuk melakukan pengukuran batas-batas

bidang tanah untuk keperluan pajak (Ghilani dan Wolf, 2007).

Dalam studi tentang batas wilayah dan perbatasan, menurut Rankin dan

Schofield (2004) serta Pratt (2011) ada dua kosa kata yang memiliki perbedaan

penting yaitu batas wilayah (boundary) dan wilayah perbatasan (border).Dalam

istilah bahasa Inggris, boundary pada umumnya dimaknai sebagai suatu garis

yang memisahkan wilayah teritorial antara dua negara baik di darat maupun di

laut, sedangkan border dimaknai sebagai suatu area perlintasan untuk masuk ke

atau keluar dari suatu negara. Ada kalanya makna boundary dan border bisa

berimpit, tetapi secara umum bila berbicara tentang border selalu dimaknai

sebagai suatu kawasan (area) yang dalamnya berhubungan dengan infrastruktur

(jalan, dermaga dan bandara), imigrasi, karantina, pos penjagaan keamanan dan

fasilitas bea cukai. Dalam kasus internasional, pengertian border untuk pelabuhan

laut dan bandar udara bisa terletak puluhan bahkan ratusan kilometer dari

boundary (garis batas) negara yang bersangkutan (Pratt, 2011).

45

Dalam disertasi ini, pengertian boundary adalah sebagai garis batas wilayah.

Terkait dengan pengertian tersebut, istilah boundary making memiliki pengertian

sebagai suatu proses dalam mewujudkan adanya garis batas wilayah yang

memisahkan kedaulatan suatu negara atau memisahkan wilayah administrasi

pemerintahan di suatu negara (Pratt, 2011). Sebagai suatu proses, boundary

making memiliki dua ciri yang khas, pertama merupakan proses yang melibatkan

tiga aspek yaitu politik, hukum dan teknis (geospasial). Kedua, boundary making

merupakan suatu proses yang dalam tahapannya bersifat sistematis (Donaldson

dan Williams, 2008).

Konsep tentang batas wilayah tidak terlepas dari konsep tentang wilayah itu

sendiri. Istilah wilayah mengacu pada unit spasial dengan batas-batas tertentu

yang komponen-komponen dalamnya memiliki keterkaitan dan hubungan

fungsional satu dengan lainnya (Rustiadi, dkk., 2011). Konsep wilayah yang

paling klasik mengacu pada tipologi wilayah, yang membagi wilayah ke dalam

tiga kategori yaitu wilayah homogen (uniform), wilayah nodal atau fungsional dan

wilayah perencanaan (Hagget, dkk., 1977). Salah satu konsep wilayah nodal

adalah yang dikemukakan oleh Blair (1991) yaitu konsep wilayah fungsional

administratif. Pewilayahan konsep wilayah fungsional administratif dilakukan

dengan merujuk kepada satuan politik administrasi di atas permukaan bumi

sebagai unit-unit wilayah dalam berbagai tingkatan mulai dari wilayah negara,

provinsi (province), kabupaten (district), kota (municipality), kecamatan dan desa

(Rustiadi, dkk., 2011).

Di Indonesia, pembagian wilayah fungsional dilakukan dengan mengacu

pada peraturan perundangan mulai dari UUD-1945 sampai peraturan perundangan

di bawahnya. Satuan politik administrasi pemerintahan dimulai dari wilayah

NKRI sebagai wilayah kedaulatan dan hak berdaulat (UU No.43 tahun 2008

tentang Wilayah Negara). Selanjutnya wilayah NKRI dibagi atas daerah-daerah

provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota yang mempunyai

pemerintahan daerahmasing-masing. Daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota

merupakan daerah otonom yang dibentuk dengan undang-undang. Atas dasar

konsep pewilayahan tersebut maka pengertian batas wilayah meliputi batas

46

wilayah negara dan batas wilayah daerah otonom. Dalam Peraturan Menteri

Dalam Negeri No.1 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah yang

kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.76 tahun 2012,

yang dimaksud dengan batas daerah adalah batas wilayah daerah provinsi

dan/atau batas wilayah daerah kabupaten/kota sebagai daerah otonom yang

selanjutnya hanya disebut batas daerah.

Dalam disertasi ini, istilah batas wilayah digunakan untuk pengertian batas

wilayah secara umum atau batas wilayah negara, sedangkan istilah batas daerah

digunakan untuk batas wilayah administrasi pemerintahan antar daerah provinsi

dan/atau antar daerah kabupaten/kota. Batas daerah meliputi batas daerah di darat

dan batas daerah di laut. Mengacu kepada Permendagri No.76 tahun 2012, batas

daerah di darat didefinisikan sebagai pembatas wilayah administrasi pemerintahan

antar daerah yang diwujudkan dalam rangkaian titik-titik koordinat sebagai

representasi tanda-tanda alam seperti igir/punggung gunung/pegunungan

(watershed), median sungai dan/atau unsur buatan di lapangan (seperti jalan,

pemukiman, pelabuhan) yang tertuang dalam bentuk peta. Batas daerah di laut

didefinisikan sebagai pembatas kewenangan pengelolaan sumberdaya di laut

untuk daerah yang bersangkutan dalam bentuk rangkaian titik-titik koordinat

diukur dari garis pantai.

III.2. Teori boundary making

Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa teori boundary making dari

Jones (1945) dipilih sebagai pijakan dalam penelitian ini. Oleh sebab itu secara

lebih rinci diuraikan sistematika tahapan boundary making Jones tersebut.

Tahapan delimitasi dan demarkasi menurut Jones diilustrasikan pada Gambar 3.1,

sedangkan tahapan administrasi diilustrasikan pada Gambar 3.3. Selain itu

diuraikan juga model kerangka kerja dan karakteristik boundary making Jones.

47

Gambar 3.1: Diagram tahapan kegiatan delimitasi dan demarkasi Jones (dirangkum dari: Jones, 1945; Adler, 1995; Al-Sayel, dkk., 2009)

IG sebagai masukan yang harus diperhatikan

PETA DASAR/ PETA LAINNYA

PENINJAUAN LAPANGAN

FOTO UDARA/CITRA

Memilih dan mendefinisikan batas

Perjanjian delimitasi batas

PENYELESAIAN SENGKETA

Mediasi, inquiry, konsiliasi, Mahkamah

Internasional atau Arbitrase

Pedoman untuk demarkasi

Pekerjaan Laboratorium Pekerjaan Lapangan

Logistik

Monumen tasi dan deskripsi titik batas

Kartografi dan Peta batas

Hitungan koordinat

Fotogrametri/ pengolahan citra

Pengukuran dan penentuan

posisi titik batas

ALOKASI

Setuju

Tidak setuju

Survey demarkasi bersama

Tidak setuju

hukum

Outstanding Boundary Problems (OBP)

Tidak setuju

Re-survei Setuju

Pilihan penyelesaian teknis

BASIS DATA

Pembentukan Komite Demarkasi bersama

Demarcation agreement

Negosiasi

48

III.2.1. Tahapan boundary making

Penjelasan tahapan kegiatan alokasi, delimitasi, demarkasi (Gambar 3.1)

dan administrasi (Gambar 3.3) pada boundary makingmenurut Jones adalah

sebagai berikut:

1. Alokasi.

Alokasi adalah tahap proses politik untuk menentukan pembagian wilayah

teritorial antara dua negara (Jones, 1945). Pada zaman kolonialisasi, dua negara

tersebut adalah dua negara kolonial, dalam hal ini setiap negara kolonial yang

menguasai wilayah tertentu harus mencapai kesepakatan terhadap pembagian

wilayah secara umum dengan negara lain. Pada tahap alokasi ini dihasilkan suatu

garis yang menurut Caflisch (2006) disebut sebagai garis alokasi (allocation lines)

yang menentukan lingkaran pengaruh atau spheres of influence terhadap wilayah

yang dikuasainya.Tahap ini tentu saja melibatkan proses keputusan politik dan

kepentingan antara negara kolonial yang tidak mudah, bahkan sering harus

melalui peperangan.

Setelah terjadi kesepakatan alokasi wilayah, selanjutnya diantara negara kolonial

biasanya melakukan kesepakatan tertulis dalam bentuk perjanjian (treaty). Pada

zaman moderen, alokasi biasanya menghasilkan kompromi pembagaian wilayah

antara dua negara yang berbatasan (Srebro dan Shoshany, 2013).

Garis alokasi didefinisikan dengan beberapa cara. Pertama, didefinisikan

atas dasar batas yang melekat kepada batas yang sudah ada, misalnya batas

wilayah suku atau batas wilayah desa atau garis sepanjang suatu punggung bukit.

Kedua, garis alokasi didasarkan atas batas wilayah administratif atau batas

internasioanl yang sudah ada. Ketiga, garis alokasi menggunakan kenampakan

geografis alami seperti sungai, danau, selat, rangkaian pegunungan (ke-empat,

garis alokasi didasarkan atas metode geometris seperti yang dilakukan pada

zaman kolonial yaitu menggunakan garis lintang atau garis bujur astronomi

(Srebrodan Shoshany, 2013).

2. Delimitasi.

Delimitasi adalah tahap setelah alokasi.Definisi tentang delimitasi

dikemukakan pertama kali oleh McMohan tahun 1896, yaitu mendefiniskan batas

49

suatu negara yang dilakukan dengan narasi yang dituliskan di kertas atau

digambarkan di peta (Srebrodan Shoshany, 2013). Definisi delimitasi yang lain

dikemukakan oleh Curzon tahun 1907 (Srebrodan Shoshany, 2013), yaitu:

delimitasi adalah seluruh proses pendahuluan untuk menentukan dan mewujudkan

batas di dalam perjanjian (treaty). Dua kegiatan penting dan mendasar dalam

delimitasi batas yaitu memilih letak garis batas dan mendefinisikan titik-titik batas

secara presisi dalam perjanjian atau dokumen formal lainya seperti peta dan/atau

koordinat (Jones, 1945; Donaldson dan Williams, 2008). Pemilihan letak garis

batas biasanya merupakan kompromi antara pertimbangan geografis dengan

kepentingan politik, sedangkan mendefinisikan garis batas merupakan suatu

proses yang sepenuhnya bersifat teknis (Jones, 1945). Proses ini terdiri atas

penentuan posisi titik-titik batas secara teliti dan kemudian menarik garis yang

menghubungkan titik-titik batas tersebut di peta.

Sebagai implementasi dari tahapan alokasi, tahap delimitasi merupakan

tahapan yang sangat kompleks, karena selain aspek politik, juga mencakup aspek

hukum dan aspek teknis pemetaan. Pada tahap delimitasi diperlukan ahli hukum

(lawyer) untuk menterjemahkan dan menginterpretasikan pembagian wilayah

yang sudah dituangkan dalam proses alokasi menjadi pembagian yang lebih teliti

lagi. Selain itu untuk menentukan posisi titik dan garis yang teliti dibutuhkan ahli

teknis seperti kartografer, surveyor geodesi atau geografer (Adler, 1995).

Kesalahan serius bisa terjadi pada tahap delimitasi yaitu ketika memilih

letak yang tidak sesuai atau mendefinisikan batas dengan tidak benar pada lokasi

yang sudah sesuai. Kesalahan-kesalahan tersebut bisa disebabkan hal-hal sebagai

berikut: (a) tidak mengenali lokasi perbatasan yang dipilih, (b) tidak mengenali

dengan baik kekhasan kenampakan geografis yang ada di lokasi perbatasan yang

dipilih baik dari aspek alamiah maupun manusianya, (c) kurangnya pengetahuan

cara mendefinisikan batas serta kesulitan-kesulitan di dalam mendefinisikan batas

(Jones, 1945). Pada tahap delimitasi, walaupun sudah ada kesepakatan garis

alokasi secara umum, namun tetap dilakukan negosiasi untuk mencapai

kesepakatan tentang letak garis batas scara lebih pasti yang dituliskan dalam

perjanjian dan digambarkan di peta. Pada tahap ini dimungkinkan terjadi sengketa

50

dalam memilih letak garis batas. Pemilihan dan pendefinisian batas diperlukan IG

sebagai infrastruktur. IG itu berupa petadasar. Sesuai dengan perkembangan

teknologi geospasial saat ini, maka IG tersebut juga bisa dilengkapi dengan foto

udara atau citra satelit (image).

Dalam hal metode delimitasi batasada dua metode yang sangat umum

digunakan yaitu; (1) metode turning pointsdan (2) metode natural features yang

menggunakan fenomena alam seperti sungai dan watershed (punggung bukit).

Pendefinisian garis batas dengan metode turning points adalah metode yang

sangat logis karena setiap garis dapat didefinisikan dengan segmen dan panjang

segmen bisa bervariasi tergantung bentuk garisnya (Adler, 2000; Jones, 1945).

Pada metode ini yang perlu didefinisikan lebih dahulu dengan akurat adalah titik-

titik batasnya, kemudian garis batas didefinisikan dengan cara menghubungkan

dua titik batas yang telah didefinisikan tersebut dengan garis lurus (lihat Gambar

3.2). Pemilihan turning points harus dilakukan sehingga setiap segmen dapat di

“stake out” di lapangan dan intervisibility antar turning points secara teknis tidak

terlalu panjang, tetapi menguntungkan dalam kegiatan administrasi batas

dikemudian hari.

Gambar 3.2. Metode turning points (Jones, 1945)

Turning points dipilih pada titik-titik yang mudah dikenali baik di peta

maupun di lapangan. Kalau turning points dipilih hanya pada kenampakan yang

mudah dikenali di peta, tetapi sulit dikenali di lapangan maka menyulitkan ketika

dilakukan demarkasi. Turning points didefinisikan dengan koordinat geografis

1

2

3

1,2,3 :turning points

23 : seksi (segmen)

51

(lintang dan bujur) dengan referensi datum yang jelas dan pasti. Ketidakpastian

dan ketidakjelasan datum yang digunakan dalam mendefinisikan koordinat

turning points menjadi masalah dikemudian hari terutama pada tahap demarkasi.

3. Demarkasi.

Setelah penentuan titik dan garis batas di peta dalam tahap delimitasi,

selanjutnya dilakukan proses demarkasi. Demarkasi adalah menentukan posisi

titik dan garis batas yang sesungguhnya di lapangan. Titik-titik batas yang sudah

disepakati dalam proses delimitasi ditransformasi ke lapangan dan secara fisik

ditandai dengan pembangunan tugu atau pilar batas, pos jaga, tembok atau

fasilitas lainnya (Jones, 1945). Demarkasi ini dilakukan secara bersama antara

negara yang berbatasan yang dilakukan oleh Komite Teknis Survei Demarkasi

untuk menentukan koordinat titik batas melalui aktivitas survei pengukuran dan

pemetaan menggunakan teknologi, peralatan dan metode yang memadai. Dalam

survei lapangan, peran surveyor geodesi sangatlah vital agar dihasilkan titik-titik

dengan koordinat yang akurat. Selain itu, penggunaan teknologi serta pendekatan

ilmiah yang memadai perlu dilakukan untuk memperoleh posisi titik-titik batas

yang akurat dan presisi.

4. Administrasi.

Proses panjang boundary making yang dimulai dari negosiasi oleh para

arsitek batas (the boundary architecs), dilanjutkan dengan delimitasi yang

hasilnya antara lain berupa peta kesepakatan batas wilayah sebagai lampiran

treaty, kemudian dilakukan demarkasi oleh ”the boundary engineers”. Proses

panjang tersebut merupakan kulminasi dari proses politik, hukum dan teknis

survei pemetaan. Output dari proses delimitasi dan demarkasi adalah dokumen-

dokumen yang bersifat statis dan dinamis yang penting diadministrasikan untuk

keperluan masa datang, sehingga tahapan berikutnya adalah administrasi batas

wilayah. Tahapan administrasi batas wilayah disajikan pada Gambar 3.3.

52

Gambar 3.3. Tahapan administrasi pada teori Jones (dirangkum dari: Jones, 1945; Adler, 1995; Al-Sayel, dkk., 2009)

Pada tahapan administrasi ini, aktivitas pemeliharaan titik-titik batas

dilakukan oleh masing-masing negara bertetangga yang dipisahkan oleh garis

batas tersebut.Pada tahap administrasi lebih ditekankan pada mengadministrasikan

dokumen statik dari kegiatan sebelumnya serta pemeliharaan titik-titik batas hasil

demarkasi agar tidak rusak atau berpindah posisinya (dokumen dinamik). Sesuai

perkembangan teknologi informasi maka SIG digunakan sebagai alat untuk

pemeliharaan dan pembaharuan basis data wilayah perbatasan.

III.2.2. Model kerangka kerja boundary making

Model kerangka kerja boundary making batas internasional dapat

dikelompokan menjadi dua yaitu model kerangka kerja yang bersifat politis dan

yang bersifat profesional. Secara umum model kerangka kerja boundary making

meliputi tiga tahap yaitu: (1) negosiasi, termasuk di dalamnya alokasi garis batas,

(2) perjanjian (treaty) atau kesepakatan (agreement) serta delimitasi dan

ADMINISTRASI

Dokumentasi (statik)

Pemeliharaan (dinamik)

Laporan Pemetaan

Administrasi SIG (alat) updating

Securing your knowledge

Lampiran perjanjian

BASIS DATA

53

demarkasi garis batas, (3) administrasi yang di dalamnya termasuk kegiatan

pemeliharaan garis batas. Dalam implementasinya, model kerangka kerja untuk

tahapan yang bersifat politis dan kerangka kerja yang bersifat profesional

digambarkan seperti pada Gambar 3.4. (Srebro dan Shoshany, 2013).

Gambar 3.4. Model kerangka kerja boundary making batas internasional (Srebro dan Shoshany, 2013)

Model kerangka kerja mencakup semua tahapan proses boundary making

meliputi komponen dan kegiatan yang harus dimasukkan dalam proses, termasuk

teknologi yang dianjurkan untuk digunakan sesuai perkembangan teknologi yang

ada. Model kerangka kerja boundary making pada Gambar 3.4. tidak selalu

mencerminkan tahapan yang linear berkesinambungan mulai dari alokasi,

Kerangka kerja yang bersifat politis Kerangka kerja profesional

ALOKASI

PERJANJIAN (TREATY)

ADMINISTRASI PERBATASAN

(frontier administration)

PEKERJAAN PERSIAPAN

DELIMITASI

DOKUMENTASI BATAS BERSAMA

(joint boundary documentation)

PEMELIHARAAN GARIS BATAS

(boundary line maintenance)

DEMARKASI

optional final delimitation

54

delimitasi, kesepakatan perjanjian, demarkasi, dokumnetasi dan pemeliharaan,

namun dapat saja terjadi non-linear.

Proses linear dicirikan adanya hubungan dan kerjasama yang proporsional

antara politisi/negarawan dan tenaga ahli profesional (hukum dan teknis

pemetaan). Alokasi adalah tugas politisi/negarawan tetapi diperlukan bantuan

persiapan teknis dari para ahli profesional. Perjanjian dihasilkan oleh

politisi/negarawan, namun di dalamnya berisi hasil-hasil delimitasi batas yang

merupakan kerja yang dilakukan oleh ahli profesional pemetaan. Demarkasi dan

dokumentasi hasil-hasilnya merupakan kerja profesional survei pemetaan, namun

harus disahkan oleh politisi/negarawan. Administrasi merupakan tanggung jawab

dari politisi/negarawan, di dalamnya termasuk kegiatan pemeliharaan garis batas

yang menjadi tanggung jawab ahli pemetaan (surveyor) (Srebro dan Shoshany,

2013).

Proses non-linear kerangka kerja batas internasional sering dilakukan

terutama pada zaman kolonial, ketika pengetahuan tentang kondisi IG di area

yang dilakukan delimitasi masih sangat terbatas. bahkan kadang belum tersedia,

sehingga proses boundary making dilakukan secara iteratif. Pada umumnya

daerah koloni adalah daerah yang remote dari negara kolonial dan teknologi

geospasial pada era kolonialisasi belum berkembang seperti pada abad 21 ini

(pasca era kolonial). Pada zaman kolonial, delimitasi awal dilakukan sesuai

dengan hasil alokasi yang dilakukan oleh para politisi dengan bantuan IG

seadanya. Oleh sebab itu sering dilakukan delimitasi menggunakan garis lintang

atau bujur astronomi yang dipandang lebih mudah untuk ditegaskan di lapangan.

Selanjutnya, ketika dilakukan demarkasi terhadap delimitasi awal, tim demarkasi

(surveyor) diberi wewenang untuk melakukan perubahan terhadap garis batas

dengan memperhatikan kondisi lapangan sesuai kondisi geografis atau kondisi

etnografis. Hasil demarkasi yang dilakukan oleh surveyor tersebut selanjutnya

dimasukan ke dalam bagian perjanjian yang disusun oleh politis/negarawan

sebagai dokumen legal (Srebro dan Shoshany, 2013).

Sebagai contoh model boundary makingnon-linear adalah batas antara

koloni Inggris dan Belanda di Pulau Papua. Garis alokasi atas Pulau Papua antara

55

Inggris dan Belanda pada tahun 1895 oleh para politisi/negarawan digunakan

garis bujur 1410 BT (Bujur Timur). Garis bujur 1410 BT oleh para profesional

digunakan sebagi delimitasi awal. Selanjutnya dilakukan demarkasi oleh

profesional masing-masing pihak menggunakan metode astronomi geodesi,

didapat perbedaan ukuran di lapangan antara pihak Belanda dan Inggris sebesar

398 m. Kemudian oleh para profesional disepakati bahwa letak garis bujur 1410

BT adalah di pusat perbedaan tersebut. Namun ketika garis bujur yang disepakti

tersebut akan dipasang di lapangan, ditemukan lagi bahwa posisi baru ini tidak

cocok untuk pendirian tugu/pilar, maka setelah konferensi lanjutan ditetapkan

sebuah lokasi lain. Lokasi tersebut karena alasan kepentingan praktis diletakan

pada jarak sekitar 31 m di sebelah barat posisi hasil pembagian perbedaan jarak

tersebut. Pada posisi titik batas terakhir yang disepakati profesional tersebut

kemudian dipasang tugu batas yang akhirnya disepakati oleh para

politisi/negarawan kedua belah pihak dan dimasukan kedalam perjanjian antara

Inggris dan Belanda tahun 1934 sebagai titik batas yang berlaku selamanya

(Sumaryo, 2010).

Kerangka kerja boundary making menurut Donaldson dan Williams, (2008)

adalah mengikuti pendekatan sistematik. Menurut Srebro dan Shoshany (2013)

proses boundary making mengikuti model yang disebut metode yang sistematik

(systematic methodological)yang dikembangkan berdasarkan atas pengalaman

kasus-kasus batas wilayah yang terjadi di dunia. Model tersebut diawali dari tahap

persiapan, delimitasi, demarkasi dan pemeliharaa. Dalam model tersebut

diperlukan kerja profesional mulai dari awal sampai akhir. Pada tahap

pemeliharaan terlebih dahulu perlu diperhatikan dokumentasi batas wilayah.

Aspek teknis geodesi perlu diperhatian dengan baik sebelum dimulai tahap

delimitasi dan perjanjian.

Ketidakjelasan garis batas dalam tahap alokasi mengakibatkan masalah

dalam tahap delimitasi dan akibat selanjutnya perjanjian menjadi tertunda. Jika

pendefinisian garis batas dalam tahap delimitasi tidak mencukupi kebutuhan yang

digunakan sebagai pedoman pada tahap demarkasi, maka konflik bisa terjadi

sebelum atau selama kegiatan demarkasi. Jika demarkasi tidak didokumentasikan

56

dengan baik dan satu sama lain tidak sepakat, maka hal tersebut bisa

menyebabkan konflik bahkan perang antar negara di kemudian hari.

III.2.3. Karakteristik boundary making

Berdasar telaah teori dan pustaka seperti telah diuraikan sebelumnya (Jones,

1945; Adler, 1995, 2000; Donaldson dan Williams, 2008; Srebro dan Shoshany,

2013), boundary making memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Boundary making memiliki tiga aspek yaitu: politik, hukum dan teknis

(Geospasial) seperti diilustrasikan pada Gambar 3.5.

Gambar 3.5. Aspek politik, hukum dan teknis (geospasial) dalam boundary

making

2. Boundary making memiliki kerangka kerja yang tahapannya terdiri atas:

alokasi, delimitasi, demarkasi dan administrasi/pemeliharaan.

3. Tahapan tersebut bersifat berkesinambungan dan sistematik.

Boundary making

POLITIK

HUKUM GEOSPASIAL

57

4. Tiga aspek yaitu politik, hukum dan geospasial pada setiap tahapan

bersifat proporsional. Aspek geospasial dan hukum sering disebut aspek

profesional.

5. Kerangka kerja boundary making yang berkesinambungan-sistematik

sertabersifat proporsional antara aspek politik dan aspek profesional,

disebut kerangka kerja yang bersifat linear dan sebaliknya disebut

kerangka kerja yang bersifat non-linear.

6. Bersifat kontraktual (contractual concept), artinya harus ada kesepakatan

terhadap suatu garis batas dan tetap mempertahankan posisinya setelah

terjadi kesepakatan.

III.3. Geospasial

Secara tradisional, survei dan pemetaan (surveying) didefinisikan sebagai

ilmu (science), seni (art) dan teknologi untuk penentuan posisi relatif titik-titik di

atas, pada atau di bawah permukaan bumi. Ilmu dan teknologi terus berkembang.

Pertengahan abad ke dua puluh adalah permulaan revolusi teknologi yang

didorong oleh kebutuhan peralatan pertahanan selama perang dunia kedua.

Perkembangan teknologi yang pada umumnya diawali untuk keperluan militer,

selanjutnya terus dikembangkan juga untuk keperluan non militer (Vanicek dan

Krakiwsky, 1982).

Perkembangan teknologi satelit ruang angkasa untuk penentuan posisi dan

perekaman data permukaan bumi, serta perkembangan teknologi komputer dan

teknologi informasi telah mendorong perubahan paradigma survei pemetaan

(Ghilani dan Wolf, 2007). Perubahan paradigma survei pemetaan ditandai adanya

kecenderungan umum bahwa survei pemetaanyang awalnya hanya dalam cakupan

penyediaan data survei dan pemetaan, berkembang cakupannya untuk

memodelkan dan mengelola informasi yang terkait suatu lokasi mulai dari

pengumpulan, penyajian, pengolahan, pengelolaan dan diseminasi data dan IG

yang dilakukan secara digital (Konecny, 2003). Untuk memodelkan dan

mengelola informasi yang terkait suatu lokasi diperlukan ilmu komputer dan

58

teknologi informasi yang selanjutnya berkembang ilmu Sistem Informasi SIG

(Hannah, dkk., 2000).

Perkembangan paradigma survei pemetaan tersebut melahirkan istilah baru

yang disebut Geomatika yaitu “sain dan teknologi yang mempelajari tentang

pengukuran obyek-obyek di muka bumi yang melibatkan pemakaian komputer

dan teknologi komunikasi dan informasi dalam pengumpulan (survei), pengolahan

dan analisis, presentasi (penggambaran), penyimpanan (storage), managemen dan

distribusi informasi ruang permukaan bumi untuk mendukung berbagai

pengambilan keputusan” (Konecny, 2003). Berdasarkan istilah geomatika ini

kemudian berkembang istilah spasial dan geospasial (Kavanagh, 2003).

Terminologi spasial digunakan untuk menyatakan lokasi data pada suatu ruang,

tidak hanya ruang kebumian, sedang terminologi geospasial digunakan untuk

menyatakan lokasi data pada ruang kebumian (Laurini dan Thompson, 1992;

Burkholder, 2008).

Merujuk pada UU No.4 tahun 2011 tentang IG, geospasial adalah aspek

keruangan yang menunjukkan lokasi, letak, dan posisi suatu obyek atau kejadian

yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi yang dinyatakan dalam

sistem koordinat tertentu (Anonim, 2011b). Dalam geospasial mencakup tiga hal

yaitu: (1) data geospasial, (2) teknologi geospasial dan(3) IG (Burkholder, 2008).

Data geospasial didefinisikan sebagai nilai numerik yang merepresentasikan

lokasi atau posisi, ukuran dan bentuk suatu obyek atau kejadian di bumi

(Burkholder, 2008).

Menurut Kavanagh (2003), teknologi geospasial dapat dibagi dalam dua

kelompok yaitu teknologi untuk pengumpulan data geospasial dan teknologi

untuk analisis, pengelolaan, penyimpanan (storage), penampilan, desain dan

perencanaan IG. Teknologi akusisi data meliputi teknologi terestris (teodolit, total

station, sipat datar), GPS, pemotretan udara dengan pesawat terbang serta

perekaman data muka bumi dengan satelit. Managemen dan perencanaan,

pengolahan, penggambaran, penyimpanan dan distribusi data geospasial ditangani

melalui SIG dan berbagai program komputer seperti perangkat lunak fotogrametri,

perangkat lunak untuk analisis citra satelit dan perangkat lunak Auto-CAD Map

59

(Kavanagh, 2003). IG adalah data geospasial yang sudah diolah sehingga dapat

digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan

keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang

kebumian (UU No.4 tahun 2011 tentang IG).

III.3.1. Informasi geospasial

Salah satu IG yang memiliki peran penting dalam boundary making adalah

peta.

1. Pengertian peta.

Peta adalah suatu penyajian grafis dari seluruh atau sebagaian permukaan

bumi pada bidang datar dengan skala dan sistem proyeksi peta tertentu

(Muehrcke, 1978; Maling, 1989; Soendjojo dan Riqqi, 2012). Peta merupakan

model dua dimensi yang memiliki skala yang merepresentasikan permukaan bumi

tiga demensi untuk menampilkan dan menggambarkan obyek-obyek yang dipilih.

Selain menggambarkan fenomena unsur muka bumi yang bersifat alamiah dan

buatan manusia, peta juga digunakan untuk menggambarkan fakta-fakta atau

kejadian yang bersifat spasial termasuk fakta yang berasosiasi dengan politik

seperti batas wilayah (Hyde, 1993).

Secara umum peta berfungsi untuk: (1) menyatakan posisi/lokasi suatu

tempat di permukaan bumi yang dinyatakan dengan koordinat planimetris (X,Y)

dan ketinggian dari suatu bidang referensi (muka laut), (2) memperlihatkan pola

distribusi dan pola spasial dari fenomena alam, buatan manusia dan suatu

peristiwa/kejadian, (3) merekam dan menyimpan data dan informasi muka bumi

serta menvisualisasikan data dan informasi bumi menjadi peta (Soendjojo dan

Riqqi, 2012).

Secara tradisi, peta dikelompokan menjadi dua yaitu peta dasar atau sering

juga disebut peta topografi dan peta tematik. Peta dasar menyajikan gambaran

umum muka bumi berupa unsur-unsur alam dan unsur-unsur buatan manusia

(Soendjojo dan Riqqi, 2012). Mengacu kepada UU No.4 tahun 2011 tentang IG,

peta dasar yang khusus menggambarkan unsur-unsur permukaan bumi yang

terletak di darat disebut peta rupa bumi Indonesia (peta RBI), sedang yang

60

menggambarkan unsur-unsur permukaan bumi yang terletak di wilayah pesisir

disebut peta Lingkungan Pantai Indonesia (peta LPI) dan yang menggambarkan

unsur-unsur permukaan bumi wilayah laut disebut peta Lingkungan Laut Nasional

(peta LLN) (Anonim, 2011b). Peta tematik menyajikan unsur-unsur tertentu dari

permukaan bumi sesuai dengan tema dari peta yang bersangkutan. Peta batas

wilayah termasuk dalam kelompok peta tematik karena yang disajikan adalah

hanya unsur-unsur yang terkait tema batas wilayah. Peta tematik yang lain

misalnya peta geologi, peta gayaberat, peta lereng, peta penggunaan lahan, peta

kependudukan, peta rawan longsor dan peta rawan banjir.

Peta merupakan produk kartografi. Kartografi adalah pembuatan data

spasial yang dapat diakses, menekankan visualisasinya dan memungkinkan

berinteraksi dengannya, yang berhubungan dengan masalah-masalah geospasial,

(Kraak dan Ormeling, 2013). Penyajian gambar permukaan bumi menjadi wujud

peta dapat disajikan dalam bentuk grafis disebut peta garis dan dalam bentuk

foto/citra yang disebut peta foto. Pada peta garis unsur-unsur muka bumi disajikan

dengan cara menggunakan simbol titik, garis dan area. Penyajian simbol tersebut

mengikuti kaidah generalisasi, yaitu ada unsur yang dipertahankan, dihilangkan,

dan dieksagerasi (exaggeration) (Kraak dan Ormeling, 2013).

Simbol-simbol dalam peta garis dilengkapi dengan keterangan dalam bentuk

teks untuk menjelaskan arti dari simbol-simbol yang digambarkan tersebut.

Keterangan-keterangan tersebut diletakan di luar batas tepi peta yang dikenal

sebagai informasi tepi peta. Pada bagian informasi tepi peta banyak keterangan-

keterangan penting yang harus dicantumkan agar suatu peta dapat digunakan

dengan mudah oleh pengguna peta. Keterangan pada informasi tepi peta ada yang

bersifat wajib dan keterangan yang bersifat tambahan. Keterangan wajib

merupakan keterangan penting dan harus dicantumkan, sedang keterangan

tambahan adalah keterangan yang dianggap perlu dan sebaiknya dicantumkan

apabila ruang masih memungkinkan (Soendjojo dan Riqqi, 2012).

2. Aspek geometrik peta.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu fungsi peta adalah

untuk menyatakan posisi/lokasi suatu tempat di permukaan bumi. Oleh sebab itu

61

posisi di peta harus merepresentasikan posisi sebenarnya di muka bumi.

Permasalahannya, muka bumi adalah bidang lengkung tiga dimensi sedangkan

peta adalah bidang datar dua dimensi. Menggambarkan bidang lengkung ke dalam

bidang datar terjadi penyimpangan yang disebut distorsi seperti diilustrasikan

pada Gambar 3.6. (Schofield, 2002).

Pada Gambar 3.6, bila AB yang terletak pada area yang sempit di

permukaan bumi diproyeksikan secara ortogonal ke bidang datar (peta) diperoleh

ab. Panjang ab sama dengan AB sehingga pada area yang sempit terlihat tidak

terjadi distorsi. Bila areanya semakin luas, maka proyeksi CD ke bidang datar

menjadi cd. Dalam hal ini cd tidak sama dengan CD, berarti terjadi distorsi.

Permasalahan yang harus diperhatikan dalam pemetaan adalah mereduksi distorsi

menjadi sekecil mungkin (Schofield, 2002).

Untuk mereduksi distorsi dilakukan dengan cara: (a) membagi permukaan

bumi menjadi bagian-bagian yang tidak terlalu luas, (b) menggunakan bidang

datar atau bidang yang dapat didatarkan tanpa atau minim distorsi yang disebut

bidang proyeksi. Secara keilmuan, cara (b) disebut sistem proyeksi peta. Proyeksi

peta adalah metode penyajian permukaan bumi pada suatu bidang datar dari

koordinat geografis pada bola atau koordinat geodetis pada elipsoid (Soendjojo

dan Riqqi, 2012; Prihandito, 2010).

Gambar 3.6. Prinsip dasar pemetaan (Schofield, 2002)

Bidang datar b a c d

C

Permukaan bumi

A B D

62

Dalam pemetaan, tahapan konseptual pemetaan diawali dengan melakukan

pengukuran posisi titik-titik di permukaan bumi, selanjutnya posisi titik-titik di

muka yang berupa koordinat geodetis/geografis dipindahkan ke bidang datar

(peta) seperti diilustrasikan pada Gambar 3.8.(Abidin, 2014). Pada Gambar 3.8.,

(ϕ, λ) adalah parameter lintang dan bujur geografis dan (x,y) adalah parameter

koordinat kartesian pada bidang proyeksi.

Koordinat geodetik (ϕ,λ) dan koordinat peta (x,y) tergantung pada datum

geodetik dan sistem proyeksi yang dipilih. Datum geodetik tersedia banyak baik

yang lokal maupun yang global, demikian juga sistem proyeksi peta. Kebijakan

pemilihan datum geodetik dan sistem proyeksi peta menjadi wewenang lembaga

pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pemetaan di suatu negara. Di

Indonesia sesuai UU No.4 tahun 2011 tentang IG, lembaga yang berwenang

menentukan pemakaian datum geodetik dan sistem proyeksi peta yang digunakan

adalah BIG.

Gambar 3.7. Tahapan konseptual pemetaan (Abidin, 2014)

Pendefinisian sistem referensi koordinat (datum geodetik)

Elipsoid referensi

Bumi

Proyeksi peta

Domain pengukuran

Sistem koordinat geografis: lintang, bujur (ϕ, λ)

y

x

Sistem koordinat proyeksi: utara,timur (x, y), Domain hitungan

Peta

63

Mengacu Gambar 3.7, aspek geometrik peta adalah berhubungan dengan

transformasi matematis dari koordinat geodetis/geografis di permukaan bumi ke

koordinat proyeksi di bidang datar, hal tersebut meliputi: datum geodetik,

proyeksi peta, koordinat, orientasi dan skala.

III.3.2. Datum geodetik

Datum geodetik adalah sejumlah parameter yang digunakan untuk

mendefinisikan bentuk dan ukuran elipsoid referensi yang digunakan untuk

penentuan koordinat geodetik, serta kedudukan dan orientasinya dalam ruang

terhadap tubuh bumi. Gambar 3.9. adalah sejumlah parameter yang digunakan

untuk mendefinisikan datum geodetik (Abidin, 2001), yaitu:

1) Bentuk dan ukuran ellipsoid referensi (parameter a, f) yang digunakan

untuk pendefinisian koordinat geodetik. Dalam hal ini a = setengah

sumbu panjang elipsoid, b : setengah sumbu pendek dan f :

penggepengan elipsoid = (a-b)/a.

2) kedudukan dan orientasinya dalam ruang terhadap tubuh bumi.

Sistem referensi koordinat elipsoid atau datum geodetik seperti ilustrasi

pada Gambar 3.8. mempunyai karakteristik sebagai berikut (Abidin, 2001):

1) Titik nol sistem koordinat adalah pusat elipsoid,

2) Sumbu X adalah perpotongan meridian nol dengan bidang ekuator

elipsoid

3) Sumbu Z berimpit dengan sumbu pendek elipsoid,

4) Sumbu Y pada bidang ekuator, tegak lurus sumbu-sumbu X dan Z dan

membentuk sistem koordinat tangan kanan (right handed system).

64

Gambar 3.8. Datum geodetik (Anonim, 2006)

Peninjauan dari lokasi origin sistem koordinat yang digunakan dapat

dibedakan antara datum geodetik geosentrik (global) dan datum geodetik

toposentrik (lokal). Pada datum geosentrik digunakan elipsoid referensi yang

dipilih paling sesuai dengan ukuran bumi dan pusat koordinat (origin) elipsoid

ditempatkan pada titik pusat bumi. Datum geodetik geosentrik didefinisikan

minimal berdasarkan delapan parameter (Schofield, 2002; Kelompok Kerja

Geodesi Bakosurtanal, 2007):

1) Parameter a dan f untuk mendefinisikan bentuk dan ukuran elipsoid

referensi yang digunakan (2 parameter),

2) (Xo,Yo, Zo) untk mendefisiskan koordinat titik pusat elipsoid terhadap

pusat bumi (3 parameter),

3) (ɛx, ɛy, ɛ z) untuk mendefinisikan arah-arah sumbu X, Y dan Z elipsoid

dalam ruang terhadap sumbu-sumbu bumi (3 parameter).

Datum geodetik toposentrik (lokal) menggunakan elipsoid referensi yang

dipilih paling sesuai dengan ukuran bumi setempat (geoid lokal). Koordinat pusat

elipsoid ditempatkan tidak berimpit dengan pusat bumi seperti pada Gambar 3.9.

Earth’sCenter of Mass

Z Conventional International Origin

(CIO)

International Zero Meridian

X

Y

ω

b

a

65

Gambar 3.9. Datum lokal pada penampang potongan meridian (Schofield, 2002)

Pada masa lalu,pendefinisian datum geodetik lokalumumnya dilaksanakan

dengan metode astronomi-geodetik dengan langkah-langkah sebagai berikut

(Fahrurrazi, 2011):

1) Pendefinisian dimensi elipsoid acuan: a, f,

2) Pendifinisian origin dan orientasi sumbu-sumbu koordinat serta skala

melalui:

a) Pendefinisian titik datum (Po) yang meliputi: koordinat geodetik

(φo, λo, ho), undulasi geoid No, dan defleksi vertikal ɛ (ξo, ηo);

Koordinat geodetik tersebut diturunkan dari data pengamatan

koordinat astronomik (Φo, Λo) dan tinggi ortometrik (Ho) dengan

persamaan 3.1.

φo = Φo − ξo ,λo = Λo − ηo sec φo , ho = Ho + No.............................. (3.1)

vertikal normal

muka bumi

elipsoid

geoid

ɛ(ξo, ηo)

ΦPo φPo

Po: titik datum lokal

pusat bumi

b

a pusat elipsoid

ho

66

(apabila didefinisikan No= 0, ξo = ηo = 0 maka elipsoid acuan

didefinisikan berimpit dengan geoid di titik datum)

b) Di titik datum juga dilakukan pengukuran azimut awal Ao (jaring

triangulasi) dengan metode astro-geodetik yang kemudian

dikoreksi dengan efek defleksi vertikal untuk menuhi kondisi

azimut Laplace sehingga diperoleh azimut geodetik seperti pada

persamaan 3.2.

αo = Ao − (Λo − λo) sin φo = Ao − ηo tan φo ................................ (3.2)

c) Untuk jaring triangulasi, skala direalisasikan melalui pengukuran

jarak basis (sisi triangulasi).

Datum geodetik lokal yang pernah didefinisikan dan diterapkan di Indonesia

untuk tujuan pemetaan, ialah Datum Genuk (1862), Datum Bukit Serindung

(1886), Datum Bukit Rimpah (1917), Datum Gunung Segara (1937), Datum

Montjong Lowe (1911), dan Datum T21 Sorong. Setelah Indonesia merdeka,

didefinisikan dua datum relatif yaitu Datum Indonesia 1974 dan Datum Pulau

Pisang. Datum Pulau Pisang hanya digunakan untuk penentuan perbatasan dengan

Malaysia dan Singapura.

Setelah berkembangnya teknologi penentuan posisi dengan sistem satelit

GPS ada kecenderungan global bahwa dalam sistem pemetaan termasuk dalam

pemetaan batas wilayah di berbagai negara digunakan datum geodetik World

Geodetic System 1984 atau dsingkat WGS84 (Adler, 2000). Datum WGS84

disajikan pada Gambar 3.10.

67

Gambar 3.10 Datum geodetik WGS 84 (NIMA, 2000 dalam Abidin, 2001)

Empat parameter utama datum WGS84 disajikan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Empat parameter utama elipsoid WGS 84 (NIMA, 2000 dalam Abidin, 2001)

Di Indonesia pada tahun 1996 ditetapkan Datum Geodetik Nasional 1995

(DGN 95) sebagai datum geodetik resmi untuk keperluan pemetaan di Indonesia.

Parameter

Notasi Nilai

Setengah sumbu panjang

a 6.378.137,0 m

Penggepengan f = (a-b)/a

1/f 298,257223563

Kecepatan sudut bumi

ω 7292115,0 x 10 -11 rad/det

Konstanta gravitasi bumi (termasuk massa atmosfer)

GM 3986004,418 x 108 m3det-2

Greenwich ω

X WGS 84

Y WGS 84

Z WGS 84

IERS Reference Meridian (IRM)

IERS Reference Pole (IRP)

ekuator

pusat massa bumi

68

DGN 95 merupakan datum geosentrik yang realisasinya diikatkan ke kerangka

referensi ITRF 91 (International Terrestrial Reference Frame1991) melalui

hitungan dari data Jaring Kontrol Horisontal Orde nol sebanyak 60 titik.

Selanjutnya koordinat ITRF 91 yang diperoleh ditransformasikan ke sistem

koordinat WGS 84. Ketelitian relatif hasil hitungan jarak basis antar titik-titik

pada jaring kontrol horisontal nasional orde nol adalah 0,1 sampai 2 ppm, dengan

simpangan baku dalam fraksi sentimeter pada tiga komponen koordinat kartesian

dari seluruh titik. Realisasi dari DGN 95 di lapangan adalah berupa kerangka

dasar yang diwakili oleh jaring kontrol horisontal nasional orde nol, orde satu

beserta perapatannya (Kelompok Kerja Geodesi, 2007). DGN 95 adalah datum

geosentrik yang menggunakan elipsoid referensi yang sama seperti yang digunkan

oleh WGS 84, maka masalah transformasi koordinat antara DGN 95 dan WGS 84

relatif tidak ada (Abidin, 2001).

Pada 17 Oktober 2013, suatu datum baru ditetapkan untuk menggantikan

DGN 95 melalui Peraturan Kepala BIG yang disebut Sistem Referensi

Geospasial Indonesia 2013 (SRGI 2013) (Sukmayadi dan Syafi’i, 2014). SRGI

adalah suatu terminologi modern yang sama dengan terminologi Datum Geodesi

Nasional (DGN) yang lebih dulu didefinisikan, yaitu suatu sistem koordinat

nasional yang konsisten dan kompatibel dengan sistem koordinat global SRGI

2013 mempertimbangkan perubahan koordinat berdasarkan fungsi waktu, karena

adanya dinamika bumi (Subarya, 2014). Secara spesifik, SRGI 2013 adalah sistem

koordinat kartesian 3-dimensi X,Y,Z yang geosentrik. Implementasi praktis di

permukaan bumi dinyatakan dalam koordinat geodetik lintang, bujur, tinggi,

skala, gayaberat, dan orientasinya beserta nilai laju kecepatan dalam koordinat

planimetrik (toposentrik) (Abidin, 2014).

Spesifikasi SRGI 2013 adalah: (1) datum semi dinamik (2) mengacu ke

kerangka referensi global ITRF 2008, (3) epok referensi nilai koordinat ditetapkan

1 Januari 2012, (4) elipsoid referensi WGS 1984. Perbedaan yang mendasar

antara datum SRGI 2013 dengan datum DGN 95 adalah datum DGN 95

merupakan datum yang bersifat statik artinya koordinat dianggap tidak berubah

dengan waktu, sedang SRGI 2013 merupakan datum semi dinamik, artinya

69

koordinat dianggap selalu berubah dengan waktu, tapi direpresentasikan pada

epok referensi tertentu. Pada saat ditetapkan SRGI 2013 menggunakan model

deformasi berdasarkan 4 lempeng tektonik, 7 blok tektonik dan 126 data gempa

(Abidin, 2014).

Dalam konteks batas wilayah, peran datum geodetik sangat penting karena

pendefinisian titik-titik batas dilakukan dengan nilai koordinat yang harus jelas

datum geodetiknya. Ketidakjelasan datum geodetik dalam pendefisian koordinat

titik batas bisa menimbulkan permasalahan baik dalam tahap penetapan maupun

penegasan. Pendefinisian koordinat titik-titik batas tanpa menyertakan spesifikasi

datum geodetik adalah sesuatu yang tidak bisa dimaafkan(Pratt, 2006).

III.3.3. Sistem koordinat

Ada dua sistem koordinat yang biasanya digunakan dalam peta batas

wilayah yaitu koordinat geografis dan koordinat grid (Rusworth, 1998). Berikut

uraian singkat dari sistem koordinat geografis dan sistem koordinat grid.

1. Sistem koordinat geodetik/geografis.

Dalam sistem koordinat geografis, bumi didefinisikan berbentuk bola.

Sebenarnya bentuk bumi lebih mendekati elipsoid, namun untuk kemudahan

perhitungan, model elipsoid sering disederahanakan menjadi model bola dengan

syarat volume bola sama dengan volume elipsoid (Vanicek dan Krakiwsky, 1982).

Apabila pendefinisian koordinat digunakan model elipsoid sistem koordinat

disebut sistem koordinat geodetik. Sistem koordinat geografis nampaknya istilah

yang bersifat umum dan sering diterapkan baik sistem koordinat geodetik maupun

sistem koordinat yang menggunakan model bumi bola (Fahrurrazi, 2011).

70

Gambar 3.11. Posisi titik A (φ, λ) pada sistem geodetik (Fahrurrazi, 2011)

Pada sistem koordinat geodetik kedudukan suatu titik (A) di muka bumi

seperti disajikan pada Gambar 3.11. dinyatakan dengan tiga komponen koordinat:

lintang geodetik (φA), bujur geodetik (λB) dan tinggi terhadap permukaan elipsoid

(hA). Dalam hal ini, koordinat titik A juga dapat dinyatakan dengan besaran-

besaran jarak koordinat kartesian tiga dimensi yaitu (XA, YA, ZA). Kedua

koordinat ini dapat saling ditransformasikan satu dengan lainnya menggunakan

formula matematis seperti diuraikan oleh Burkholder (2008). Dalam konteks batas

wilayah, bila suatu titik batas diketahui dalam sistem koordinat geodetis, maka

dapat ditentukan nilai koordinat kartesian tiga dimensi dan berlaku sebaliknya.

Menurut Burkholder (2008) formula konversi dari koordinat geodetik (φ,λ, h) ke

koordinat kartesian X,Y, Z didebut BK1 dan sebaliknya disebut formula BK2.

Formula BK1 dan BK2 disajikan pada Lampiran 1.

Z

XA O

meridian nol

ekuator

meridian A X

Y

Z

A

nA

φA

λA

hA

κ

YA

Z

A

71

2. Koordinat proyeksi.

Sistem koordinat proyeksi atau koordinat grid merupakan koordinat

kartesian dua dimensi. Koordinat suatu titik di bidang proyeksi dinyatakan dengan

parameter (x) yang disebut absis dan parameter (y) yang disebut ordinat.

Hubungan koordiant geografis dengan koordinat proyeksi (grid) diilustrasikan

seperti Gambar 3.12.

Gambar 3.12. Hubungan koordinat geografis P (φ, λ) dengan koordinat proyeksi

P (x,y)

Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa di Indonesia digunakan sistem

proyeksi peta UTM, sehingga berikut ini dijelaskan secara ringkas sistem

koordinat grid pada proyeksi UTM:

1) Sistem grid UTM bersifat universal, membagi seluruh permukaan bumi

menjadi 60 bagian yang disebut zona UTM, sehingga setiap zona UTM

mempunyai lebar zone 60. Setiap zona UTM, bidang proyeksi silinder

memotong bumi (secant),

P (φP, λP)

λP

φP

P (x, y)

O (0, 0)

X

Y

Z

x

y

Sistem koordinat geografis, lintang, bujur (φP, λP)

Sistem koordinat peta, absis, ordinat (x, y)

PROYEKSI PETA

Bidang referensi elipsoid Bidang peta

72

2) Setiap zona mempunyai koordinat sendiri, yaitu titik potong meridian

sentral dengan garis ekuator yang disebut sebagai titik nol sejati (true

origin),

3) Dalam setiap grid metrik, meridian sentral diberi absis sebesar 500.000

meter Timur (mT), sedang untuk ordinat, agar idak dijumpai angka

negatif maka disebelah selatan ekuator diberi ordinat sebesar

10.000.000 meter Utara (mU), disebelah utara ekualtor diberi ordinat 0

mU (Gambar 3.13.),

Gambar 3.13 Sistem koordinat grid pada proyeksi peta UTM (Prihandito, 2010)

4) Grid merupakan garis-garis pada muka peta yang tergambar saling

tegak lurus dan perpotongannya merupakan koordinat sistem referensi

kartesian. Garis-garis tegak sejajar dengan meridian tengah, sedang

Ekuator 0 mU/

9.900.000 mU

9.800.000 mU

100.000 mU

200.000 mU

True origin

Utara

Timur

500.

000

mT

600.

000

mT

700.

000

mT

400.

000

mT

300.

000

mT

Mer

idia

n te

ngah

10.000.000 mU

73

garis-garis mendatar, tegak lurus dengan garis-garis tegak (Soendjojo

dan Riqqi, 2012),

5) Setiap zona pada setiap sistem grid UTM mempunyai pertampalan ke

samping sekitar 40 km, sehingga setiap titik yang berada di daerah

pertampalan akan mempunyai dua nilai koordinat,

6) Faktor skala pada meridian sentral, k = 0,9996,

7) Muka peta RBI dibatasi dengan garis tepi peta dalam bentuk gratikul.

Pada setiap ujung peta dicantumkan koordinat geografis (lintang dan

bujur), dan juga kordinat kartesian hasil transformasi dari koordinat

geografis ke koordinat Transverse Mercator.

8) Pada muka peta dibuat garis-garis gratikul yang panjang ukurannya

tergantung pada skala peta yang disajikan (Gambar 3.14.). Gratikul

adalah garis-garis kerangka peta yang merupakan proyeksi garis paralel

dari lintang (line of latitude) dan garis meridian dari bujur (line of

longitude) yang tergambar pada muka peta dan garis tepi peta.

Gambar 3.14 Gratikul (biru) dan grid (hitam) pada sistem koordinat UTM

(Soendjojo dan Riqqi, 2012)

Nilai garis gratikul diperlihatkan dengan selang tertentu di sepanjang garis

tepi peta. Umumnya, nilai garis gratikul ditulis penuh pada sudut-sudut peta

74

dalam satuan derajat, menit dan detik yang merupakan koordinat geografis.

Kegunaan garis gratikul adalah untuk membaca posisi koordinat geografis di peta.

(Soendjojo dan Riqqi, 2012).

Dalam konteks batas wilayah, bila suatu titik batas diketahui dalam

koordinat geografisnya maka dapat ditentukan sistem koordinat proyeksi peta

(UTM) dan sebaliknya bila diketahui dalam sistem koordinat proyeksi peta

(UTM) maka dapat ditentukan koordinat geografisnya. Hubungan sistem

koordinat geodetikdengan sistem koordinat proyeksi peta (UTM) dan sebaliknya

diberikan dalam rumus-rumus BK10 dan BK11 seperti dikemukakan oleh

Burkholder (2008) yang disajikan pada Lampiran 2.

III.3.4. Proyeksi peta

1. Pengertian proyeksi peta.

Suatu peta dikatakan ideal bila: (1) luas benar, (2) bentuk benar, (3) arah

benar dan (4) jarak benar. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam

pemetaan selalu terjadi distorsi sehingga keempat syarat tersebut tidak dapat

dipenuhi semuanya. Dalam hal ini salah satu persyaratan ideal harus dikorbankan,

sehingga yang dapat dilakukan hanyalah mereduksi distorsi sekecil mungkin

untuk memenuhi satu atau lebih syarat ideal. Salah satu cara mereduksi distorsi

tersebut adalah dengan sistem proyeksi peta.

Secara umum dalam proyeksi peta dapat diklasifikasi atas dasar beberapa

kriteria. Kriteria berdasarkan bidang proyeksi yang digunakan yaitu: (1) bidang

kerucut, disebut proyeksi kerucut, (2) bidang silinder, disebut proyeksi silinder

dan, (3) bidang datar disebut proyeksi zenital. Ditinjau dari orientasi atau

kedudukan garis karakteristik atau sumbu simetri, dikenal ada tiga yaitu: (1)

normal, garis karakteristik membentuk sudut dengan sumbu bumi, (2) miring bila

garis karakteristik membentuk sudut tertentu dengan sumbu bumi, (3) transversal,

bila garis karakteristik tegak lurus sumbu bumi. Garis karakteristik pada bidang

kerucut adalah sumbu simetri bidang kerucut, garis karakteristik silinder adalah

sumbu simetri bidang silinder dan garis karakteritik proyeksi zenital adalah garis

yang melalui pusat bumi dan tegak lurus bidang proyeksi. Ditinjau dari distorsi

75

yang diakibatkan, proyeksi peta dapat diklasifikasi menjadi tiga yaitu: (1)

proyeksi konform bila sudut di muka bumi sama dengan bidang proyeksi, (2)

proyeksi equivalence, luas di peta sama dengan luas di muka bumi, (3) proyeksi

equidistance, jarak di peta sama dengan jarak di muka bumi.Ditinjau berdasarkan

persinggungan bidang proyeksi terhadap bumi, diklasifikasi menjadi: (1) tangent,

bidang proyeksi menyinggung bola bumi, (2) secant, bidang proyeksi memotong

bola bumi dan (3) polysuperficial, terdiri atas banyak bidang proyeksi (Prihandito,

2010; Soendjojo dan Riqqi, 2012).

Sejak tahun 1979, dalam rangka pembuatan peta RBI digunakan proyeksi

Universal Transverse Mercator (UTM) (Ikawati dan Setiawati, 2009). Proyeksi

UTM adalah modifikasi dari proyeksi Transverse Mercator. Kedudukan silinder

terhadap bola bumi adalah memotong bola bumi dan sumbu silinder tegak lurus

sumbu bumi (Gambar 3.15).

Proyeksi UTM memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Prihandito, 2010;

Soendjojo dan Riqqi, 2012):

1) Silinder, transversal, secant dan konform,

2) Memotong bola bumi di dua meridian standar, k = 1,

3) Permukaan bumi dibagi 60 zona dengan lebar zona 60. Masing-masing zona

UTM dibatasi lebar 60 bujur dan 80 lintang,

4) Zona-zona UTM diberi nomor, dimulai dari nomer 1 pada zone yang

dibatasi 1800 bujur barat (BB) sampai 1740 BB, terus ke arah timur sampai

zone nomor 60 antara 1740 bujur timur (BT) sampai 1800 BT,

5) Batas lintangnya adalah 800 lintang selatan (Nichols) dan 840 lintang utara

(Widodo et al.). Pembagian dimulai dari 800 LS ke utara sampai 720 LS

yang dawali dengan kode C, berturut-turut diberi kode D, E dan seterusnya

sampai kode X untuk daerah yang dibatasi 720 LU sampai 840 LU.

Sebagai catatan, kode huruf I dan O tidak digunakan.

76

Gambar 3.15. Kedudukan silinder terhadap bola bumi pada proyeksi UTM

(Campbell, 2001)

2. Peta Rupa Bumi Indonesia (peta RBI)

Dalam penerapan sistem grid UTM untuk pembuatan peta RBI, seluruh

wilayah Indonesia dibagi dalam sembilan zona yaitu zona 46 sampai dengan zona

54, mulai dari meridian 900 BT sampai dengan 1440 BT dengan batas paralel 60

LU dan 110 LS. Pada setiap zona memilik meridian tengah. Pembagian zona UTM

di Indonesia disajikan pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Pembagian zona UTM di Indonesia (Prihandito, 2010)

Nomor Zona UTM Batas Zona ( BT) Meridian Tengah (BT)

46 900 s.d 960 930 47 960 s.d1020 990 48 1020 s.d1080 1050 49 1080 s.d1140 1110 50 1140 s.d1200 1170 51 1200 s.d1260 1230 52 1260 s.d1320 1290 53 1320 s.d1380 1350 54 1380 s.d1440 1410

Silinder

Bola

77

Tata letak peta RBI secara nasional disusun secara sistematis sebagai

berikut (Prihandito, 2010):

8) Satuan blok UTM berukuran 60 bujur x 80 lintang diberi nomor dengan

angka dan huruf misalnya 50 M.

9) Peta skala 1:1.000.000 dibuat dengan ukuran 60 bujur x 40 lintang,

sehingga dalam satu blok ukuran 60 bujur x 80 lintang terdapat dua

lembar peta skala 1:1.000.000.

10) Setiap blok ukuran 60 bujur x 40 lintang dibagi menjadi 16 lembar peta

skala 1:250.000 yang berukuran ukuran 10 30’ bujur x 10 lintang.

Tabel 3.3. Pembagian skala, jumlah lembar dan sistem penomoran lembar peta RBI pada muka peta ukuran 10 30’ x 10 skala 1:250.000 dengan nomor lembar

peta misalnya 1508

Ukuran Skala Nomor lembar peta Jumlah lembar

Keterangan

10 30’ x 10 1:250.000 1508

1 -

30’ x 3 0’

1:100.000

1508-1; 1508-2; 1508-3; 1508-4; 1508-5;1508-6

6

pada lembar 1508

15’ x 15 ‘ 1:50.000 1508-21; 1508-22; 1508-23; 1508-24

24 pada lembar 1508-2

7’ 30” x 7’ 30” 1:25.000 1508-211;1508-212; 1508-213; 1508-214

96 pada lembar 1508-22

Pembagian skala dan pemberian nomor lembar peta dimulai pada skala

1:250.000 dengan cara seperti disajikan pada Tabel 3.3. Dalam penomoran, dua

dijit pertama nomor kolom yang dibatasi garis bujur dan dua dijit kedua nomor

baris yang dibatasi garis lintang (Gambar 3.16.). Sistem penomeran lembar peta

seperti Tabel 3.4. dapat ilustrasikan pada Gambar 3.16.

78

Gambar 3.16. Sistem penomeran lembar peta RBI

Dalam penomoran lembar peta, nomer lembar peta RBI skala 1:250.000

digunakan sebagai induk untuk penomoran lembar peta skala 1:100.000, skala

1:50.000 dan skala 1:25.000.

III.3.5. Skala peta

Peta merupakan model miniatur dari permukaan bumi, sehingga besaran

suatu jarak di muka bumi harus digambarkan di peta dengan ukuran lebih kecil

dengan perbandingan tertentu sesuai tujuan pembuatan peta. Skala peta adalah

perbandingan jarak di peta dengan jarak sebenarnya di lapangan (International

Cartographic Association, 1973 dalam Maling, 1989). Bila skala adalah S, jarak

di peta dp dan jarak sebenarnya di lapangan dL, maka skala peta dihitung dengan

persamaan 3.3.

S = dp/dL. ............................................................................................ (3.3)

2

4

30’ 30’ 30’

1030

Nomor 1508-6 Nomor 1508-4

Nomor 1508-1

5 6

1 2 3 1

Skala

1 2

3 Nomor 1508-3

4

10

Nomor lembar 1508, skala 1: 250.000

Nomor 1508-242, skala 1:25.000 Nomor 1508-22, skala 1:50.000

15’

15’

30’

30’

4 3

79

Pada persamaan (3.3), bila dp di peta diukur dan S diketahui, maka jarak di

lapangan dL dapat ditentukan. Bila informasi S tidak ada, maka dL tidak dapat

ditentukan. Atau kalau S diketahui, namun skala tersebut tidak benar, dLtetap

dapat dihitung namun dL tidak merepresentasikan jarak yang sebenarnya. Dalam

konteks batas daerah, bila dp merupakan panjang segmen batas yang tergambar di

peta, maka bila tidak ada informasi skala (S), maka panjang segmen batas di

lapangan tidak bisa ditentukan. Atau kalau S dicantumkan namun tidak benar,

maka panjang segmen batas di lapangan juga tidak benar.

Cara menampilkan atau mengekspresikan skala di peta dapat dilakukan

dengan tiga cara. Pertama, dengan pernyataan dalam bentuk verbal (word

statement). Dalam word statement, frase kata ditulis singkat, jelas dan sedapat

mungkin tidak menimbulkan multi tafsir, sebagai contoh: “1 cm di peta sama

dengan 0,5 km di lapangan”. Kedua, dengan perbadingan (ratio), yaitu

perbandingan antara jarak di peta dengan jarak sebenarnya di lapangan. Dalam

perbandingan, unit satuan jarak di peta harus sama dengan unit satuan jarak di

lapangan, sebagai contoh pada skala 1:50.000, artinya jarak 1 cm di peta sama

dengan 50.000 cm di lapangan. Ketiga, dengan digambar secara grafis. Kelebihan

skala yang ditampilkan secara grafis, bila dilakukan perbesaran atau pengecilan,

maka perubahan skala akan secara otomatis mengikuti secara proporsional dengan

peta yang diperbesar atau diperkecil (Muehrcke, 1978). Dalam praktek, tampilan

skala peta dengan perbandingan dan dengan secara grafis dilakukan secara

bersamaan seperti Gambar 3.17.

Gambar 3.17. Tampilan skala peta secara perbandingan (ratio) dan secara grafis

(Soendjojo dan Riqqi, 2012)

Skala perbadingan Skala grafis

80

Skala peta juga berkorelasi dengan cakupan area yang dipetakan dan

kerincian atau kedetailan informasi yang terkandung di dalam peta seperti

diilustrasikan dengan grafik pada Gambar 3.18. (Muehrcke, 1978). Pada gambar

3.17, ditunjukkan bahwa semakin kecil skala peta maka cakupan area yang

dipetakan semakin luas/global, sebaliknya semakin besar skala peta maka cakupan

area yang dipetakan semakin sempit/lokal. Di sisi lain, semakin kecil skala peta,

informasi yang ditampilkan makin kurang rinci yang ditunjukkan dengan feature

reduction factor makin besar dan sebaliknya makin besar skala peta maka feature

reduction factor makin sedikit.

Gambar 3.18. Grafik hubungan skala peta dengan cakupan area dan kerincian

informasi (feature reduction factor) (Muehrcke, 1978)

III.3.6. Toponim

Tiap unsur rupabumi selalu diberi nama. Pemberian nama bertujuan untuk

identifikasi lingkungan fisik di sekitar manusia dalam rangka komunikasi sesama

manusia atau untuk acuan dengan menunjuk suatu obyek geografis tertentu. Nama

unsur rupabumi disebut toponim yang berasal dari bahasa Inggris toponym (Rais,

dkk., 2008). Ilmu yang mempunyai obyek studi tentang toponim umum dan

kecil besar

Global/luas

Lokal/sempit

banyak

sedikit

Cak

upan

are

a

Feat

ure

redu

ctio

n fa

ctor

Skala peta

81

toponim khusus nama-nama unsur rupabumi adalah Toponimi (Raper, 1996).

Aurousseau (1957) seorang ahli toponimi dari Inggris mendefinisikan toponimi

adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji riwayat atau asal-usul (sejarah) nama

tempat tinggal atau nama bukan tempat tinggal manusia dan nama kenampakan

geografis di suatu daerah atau negara. Nama unsur rupabumi selalu terkait dengan

hubungan antara manusia (Man) dengan tanah tempat tinggalnya (The Land) di

suatu wilayah. Oleh sebab itu sebagai suatu ilmu, maka toponimi selalu berkaitan

erat dengan kajian tentang linguistik (bahasa), antropolgi, kebudayaan, sejarah,

politik, psikologi dan kartografi (Kerfoot, 2009).

Nama unsur rupabumi terdiri atas dua elemen, yaitu elemen generik dan

elemen spesifik. Elemen generik adalah nama yang menerangkan dan/atau

menggambarkan bentuk umum suatu unsur rupabumi dalam bahasa tertentu di

daerah tertentu. Sebagai contoh: sungai (dalam bahasan Indonesia), krueng

(sungai dalam bahasa Aceh), dolok (gunung dalam bahasa Batak). Elemen

spesifik adalah nama diri dari elemen generik yang sudah disebutkan sebelumnya,

sebagai contoh: Merapi adalah nama spesifik dari elemen generik yang berupa

gunung, Yogyakarta adalah nama spesifik dari elemen generik yang berupa

wilayah administrasi kota.

Toponim juga dapat dikelompokan menjadi dua yaitu endonim (endonym)

dan eksonim (exonym). Endonim adalah nama unsur rupabumi dalam bahasa

resminya. Eksonim adalah nama diri unsur rupabumi yang dipakai dalam suatu

bahasa tertentu untuk entitas geografis yang berada di luar daerah dimana bahasa

tersebut mempunyai status resmi yang berbeda dalam bentuk dari nama yang

dipakai dalam bahasa resminya. Sebagai contoh, Negeri Belanda dan Selandia

Baru adalah eksonim bahasa Indonesia untuk masing-masing endonim Nederland

dan New Zealand. Resolusi UN Conference on the Standardization of

Geographical Names mengusulkan agar dikurangi pemakaian eksonim dalam

penggunaan nama-nama geografis secara internasional (Rais, dkk., 2008).

Toponim dapat saja berubah. Perubahan nama-nama geografis dapat

disebabkan oleh perang atau penaklukan suatu wilayah sehingga nama-nama

geografis yang ada kemudian diubah oleh pemenangnya, atau pasca kolonial,

82

ketika suatu negara merdeka, nama-nama geografis diubah sehingga tidak lagi

menggunakan nama-nama geografis yang digunakan oleh penjajah sebelumnya.

Perubahan nama geografis juga bisa disebabkan oleh mengikuti nama-nama asli

atau karena mengikuti suatu sistem standardisasi, misalnya sistem Romanisasi

(Kerfoot, 2009).

Nama-nama geografis adalah elemen yang sangat penting dalam data spasial

dan kartografi. Peta yang menggambarkan unsur-unsur rupabumi harus

mencantumkan toponim. Tidak lengkapnya atau kesalahan toponim pada suatu

peta mengakibatkan peta tersebut sulit digunakan sebagai alat komunikasi

(Kerfoot, 2009). Oleh sebab itu pencantuman toponim di peta harus mengacu

suatu standar tertentu. Di dalam ilmu kartografi, pemberian nama unsur rupabumi

harus mengikuti tata cara baku secara internasional yang mengacu kepada United

Nation Geographical Names (UNGN) (Rais, dkk., 2008; Soendjojo dan Riqqi,

2012). Di Indonesia untuk pembakuan nama rupabumi telah dibentuk Tim

Nasional Pembakuan Nama Rupabumi melalui Peraturan Presiden No.12 tahun

2006 tentang Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi (Rais, dkk., 2008).

Dalam boundary making, baik pada tahap delimitasi maupun demarkasi,

pendefinisian batas wilayah dapat dilakukan secara deskriptif menggunakan

nama-nama geografis (toponim) dan secara geometris dengan koordinat geografis,

azimuth dan jarak, atau dilakukan secara bersama-sama secara deskriptif dan

secara geometris (Jones, 1945). Sebagai contoh penggunaan nama-nama geografis

dan parameter geometris di dalam pendefinisian batas wilayah adalah seperti

tertulis di dalam Article III Treaty tahun 1904 antara Belanda dan Portugis di

Pulau Timor ditulis sebagai berikut (Deeley, 2001):

“ The boundary between O’Kussi and Ambeno belongs to Portugal and the Dutch

dominions on the Island of Timor are formed by a line:

1. Proceeding from the mouth of the Noel [river] Besi, from where the

summit of Pulu [island] Batek can be sighted, on a 30º47’NW

astronomical azimuth, following the thalweg of the Noel Besi, that of

the Noel Niema and of the Bidjael Sunan, up to its source;..................

83

Berdasar contoh treaty tersebut, nama-nama unsur rupabumi endonim untuk

sungai (Noel Besi, Noel Niema), nama pulau (Pulu Batek), nama bukit (summit)

yaitu Bidjael Sunan digunakan untuk mendefinisikan batas wilayah, selain

parameter azimut astronomis.

Dalam dokumen resmi, nama geografis harus ditulis secara akurat/tepat dan

mengikuti standar baku yang telah ditetapkan. Hal ini sangat diperlukan terutama

untuk komunikasi dan akses data, informasi dan pengetahuan secara internasional

dalam dunia yang saat ini bersifat global dan dijital. Keakuratan nama geografis

baik dari aspek pencatatan, penyimpanan, otoritasi dan penyebarannya

(authorization and dissemination) adalah dasar yang sangat penting dalam

pembuatan dokumen, peta dan basis data untuk berbagai keperluan seperti

perencanaan wilayah, pembangunan infrastruktur, pariwisata, penanganan

bencana dan batas wilayah. Kesalahan, ketidaktepatan dan ketidaksesuaian serta

kesalahan pengucapan kata nama geografis eksonim dalam konotasi politik dan

sejarah seperti batas wilayah internasional berpotensi menimbulkan sengketa

(Kerfoot, 2009).

III.3.7. Kartometrik

Kartometrik (cartometric) berasal dari kartometri (cartometry) adalah

pengukuran dan perhitungan nilai-nilai numeris dari peta (International

Cartographic Association, 1973 dalam Maling, 1989). Ada empat jenis

pengukuran dasar dalam kartometrik yaitu: (1) pengukuran jarak, (2) pengukuran

luas, (3) pengukuran arah dan (4) penghitungan jumlah obyek yang tergambar di

peta. Beberapa besaran lain dapat diturunkan dari kombinasi pengukuran dasar

tersebut. Sebagai contoh besaran volume adalah diperoleh dari pengukuran tinggi

(jarak vertikal) dengan pengukuran luas. Lereng diperoleh dari pengukuran tinggi

dengan pengukuran jarak datar. Kerapatan (density) suatu obyek diperoleh dari

pengukuran jumlah suatu obyek dan pengukuran luas. Posisi suatu titik diperoleh

dari pengukuran jarak dan jarak (Maling, 1989).

Kartometrik yang banyak digunakan dalam batas wilayah, adalah: (1)

pengukuran panjang garis (segmen), (2) pengukuran jarak, (3) pengukuran arah,

(4) pengukuran luas, (5) pengukuran tinggi dan (6) pengukuran posisi (Adler,

84

1995).Dalam kartometrik ini, faktor skala peta memegang peran yang sangat

penting.

III.3.8. Angka signifikan (significant figure) untuk estimasi ketelitian data numerik

Analisis kartometrik biasanya menghasilkan data numerik. Dalam

penggunaan data numerik yang merupakan hasil suatu pengukuran, nilai yang

dicatat dan dilaporkan harus dapat memberi gambaran dijit mana yang nilainya

sudah yakin benar dan dijit mana yang diragukan. Untuk itu harus difahami

pengertian tentang bilangan angka signifikan (significant figure).

1. Pengertian angka signifikan (significant figure).

Secara definisi angka signifikan dalam suatu nilai numerik adalah jumlah

dijit tertentu ditambah satu, biasanya yang terakhir, yang digunakan sebagai

estimasi akurasi pengkuran (Burkholder, 2008; Mikhail and Gracie, 1981). Jumlah

angka siginifikan jangan dikacaukan dengan jumlah tempat desimal. Sebagai

contoh, angka signifikan dua adalah pada bilangan-bilangan berikut: 40; 52; 4,2;

5,2; 0,42; 0,042; 0,0052. Angka signifikan tiga misalnya pada bilangan berikut:

836; 83,6; 80,6; 0,806; 0,0806; 0,00800. Angka signifikan merupakan cerminan

dari akurasi (accuracy) yaitu suatu yang mencerminkan kedekatan terhadap nilai

sebenarnya (true value) dan presisi (precision) yang mencerminkan konsistensi

dalam prosedur pengukuran. Sebagai catatan, bilangan significant figure dalam

suatu pengukuran atau nilai hitungan tergantung pada presisi dari teknik/metode

yang digunakan, namun satu hal penting yang harus diingat bahwa akurasi data

ukuran lapangan tidak dapat ditingkatkan ketelitiannya dengan proses hitungan

(Schofield, 2002). Perlu diingat bahwa estimasi suatu akurasi ditunjukkan dengan

± setengah significant figure (Mikhail dan Gracie, 1981). Pemahaman significant

figure dan estimasi akurasi suatu nilai numerik hasil ukuran dapat dijelaskan

sebagai berikut.

Jika misalnya di dalam suatu dokumen dicantumkan empat dijit pertama

dari nilai 137,824 adalah yakin benar dan dua digit terakhir diragukan, maka

pencantuman nilai harus dinyatakan hanya lima angka yang signifikan, yaitu

85

137,82 (1,3,7 dan 8 yakin, 2 diragukan ), sehingga angka signifikan adalah 5.

Beberapa contoh pemahaman significant figure (Adler, 1995):

a) Suatu pengukuran jarak di peta 5,3 cm (2 significant figure), artinya

jarak tersebut diukur dengan estimasi akurasi ± 0,5 mm.

b) Bila suatu koordinat adalah X = 546.375,5 m dan Y = 688.723,4 m

(7 significant figure) maka estimasi akurasinya adalah ± 0,05 m. Bila

koordinat ditentukan X = 546.375,53 m dan Y = 688.723,41 m (9

significant figure) maka estimasi akurasinya adalah ± 0,005 m = 5 mm

c) Dalam koordinat geografis, koordinat dinyatakan dalam parameter

lintang dan bujur. Misalkan suatu titik memiliki lintang 3o 20’LU dan

bujur 112o 10’ BT, maka estimasi akurasinya adalah ± 0,5’ atau ± 30’’.

Bila 1” setara dengan 30 m di permukaan bumi, maka estimasi akurasi

setiap parameter koordinat adalah ± (30 x 30 m) = ± 900 m atau

estimasi akurasi posisinya adalah √ (900 m)2+ 900 m)2 = ± 1273 m.

Bila koordinat yang diberikan adalah lintang 3o 20’ 24’’ LU dan bujur

112o 10’ 17’’ BT, maka estimasi akurasinya menjadi ± 0,5‘’ yang setara

dengan ±15 m di permukaan bumi untuk setiap parameter, sehingga

estimasi akurasi posisinya adalah ± 21 m.

Jumlah angka signifikan dalam bilangan hasil pengukuran besaran secara

langsung biasanya tidak sulit untuk ditentukan, secara prinsip tergantung pada

satuan terkecil alat yang digunakan (Mikhail dan Gracie, 1981). Sebagai contoh,

bila suatu jarak diukur dengan pita ukur dalam satuan cm dengan estimasi bacaan

pada satuan milimeter, seperti misalnya jarak ukuran 462,513 m, maka 5 digit

pertama nilainya adalah pasti (yakin benar) namun digit yang ke-enam adalah

perkiraan yang kadang-kadang diragukan, sehingga bilangan angka signifikannya

adalah 6.

2. Implikasi significant figure dalam batas wilayah

Dalam dokumen yang terkait batas wilayah, misalnya dokumen perjanjian

batas internasional antar negara atau dokumen undang-undang pembentukan

daerah di Indonesia, atau dalam penyelesaian sengketa batas wilayah melalui

pengadilan, dalam banyak kasus sering digunakan data numerik berupa koordinat

86

baik koordinat grid maupun koordinat geografis, azimuth dan jarak. Data tersebut

harus dapat dipetanggungjawabkan dalam hal akurasi dan presisinya untuk

merumuskan dokumen maupun suatu keputusan terkait batas wilayah.

Banyak kasus perjanjian batas wilayah internasional menunjukkan bahwa

para pembuat perjanjian batas tidak selalu perhatian/peduli dengan implikasi

significant figure. Salah satu kasus delimitasi batas dengan koordinat yang terjadi

di Afrika adalah batas antara Uganda dan Tanzania di barat Danau Victoria. Batas

tersebut didelimitasi dengan suatu garis mengikuti 10 LS. Dengan demikian,

akurasi dari delimitasi adalah ± 0,50 atau sekitar ± 55 km di lapangan. Setelah

garis tersebut didemarkasi, garis batas terletak 400 m di sebelah utara garis yang

ditetapkan dalam treaty. Kesimpulan dari kasus ini bahwa garis batas hasil

demarkasi merepresentasikan posisi batas yang sebenarnya dibandingkan hasil

delimitasi 10 LS yang sangat tidak akurat, karena hanya merupakan posisi

pendekatan. Jika delimitasi ditetapkan misalnya pada 10 20’25’’LU, maka

estimasi akurasinya adalah ± 0,5’’ yang setara dengan ±15 m, sehingga

penyimpangan garis demarkasi sebesar 400 m menjadi masalah (Adler, 1995).

Kasus yang lain adalah delimtasi pada perjanjian antara Belanda dan Inggris

di Papua (Nugini). Batas antara Nugini Belanda dan Nugini Australia ditetapkan

pada 141O BT. Hala ini berarti estimasi akurasinya sebesar ± 0,50 atau sekitar ± 55

km di lapangan. Survei demarkasi dengan metode astronomi geodesi oleh

Belanda untuk posisi garis bujur 141° BT di garis pantai utara Nugini ternyata

mendapatkan posisi lain dengan perbedaan jarak 398 m terhadap hasil survei yang

dilakukan oleh pihak Australia pada tahun 1928. Melalui perjanjian bersama,

diputuskan untuk membagi dua perbedaan jarak 398 m tersebut seperti disepakati

oleh perwakilan negara masing-masing (Sumaryo, 2010). Seandainya garis batas

Nugini Belanda dan Nugini Inggris ditetapakan 1410 00’ 00’’ BT, maka estimasi

akurasinya adalah ± 0,5‘’ yang setara dengan ±15 m, sehingga pengukuran

demarkasi yang berbeda 398 m tentu menjadi sesuatu yang tidak dapat diterima

(Sumaryo, 2010).

Kasus perjanjian batas wilayah internasional lain yang menggambarkan

ketidakpedulian dari para pembuat perjanjian tentang arti dari significant figure

87

adalah pada perjanjian batas di berbagai negara di Afrika (Brownlie, 1979).

Ketidakpedulian arti significant figure ditunjukkan pada perjanjian yang relatif

moderen dalam Treaty to Resolve Pending Boundary Differences and Maintain

the Rio Grande and theColorado Rivers as the International Boundary between

Mexico and the United States ofAmerica (UN Treaty Series, 1973: 87). Tabel

koordinat dalam perjanjian tersebut ditulis: Station 1: North 209.008,07 m dan

East 81.418,18 m dalam proyeksi Lambert di Texas, Zone Selatan. Berdasar data

numeris tersebut maka estimasi akurasinya adalah sebesar ±0,005 m dalam setiap

koordinat. Dalam perjanjian tersebut juga dituliskan data numeris tentang luas

yaitu 7,75 acre = 3,13 hektar = 31.300 m2. Data numeris luas tersebut berarti

estimasi akurasinya adalah ±50 m2, sedangkan estimasi akurasiluas bila dihitung

dari angka koordinat adalah ±0,5 m2. Hal ini merupakan contoh significant figure

yang tidak kompatibel (incompatibility) antara angka luas yang tidak teliti dengan

angka-angka kordinat yang sangat teliti (Adler, 1995).

Suatu perjanjian yang cukup baik ditemukan pada protokol antara Myanmar

dan China yang mendeskripsikan salah satu pilar batas sebagai berikut (UN

Treaty Series, 1976:265 dalam Alder, 1995):

Single pillar of medium size, placed in latitude N 25°32’46”.31 and longitude E 98°09’18”.03 on top of a conical shape hill. In magnetic azimuth of 149° and at adistance of 5.4m measured on the spot, there is a rectangular concrete block and inmagnetic azimuth of 55°30’ and a distance of 202 meters, measured on the spot thereis a high peak...

Berdasar angka-angka numeris pada perjanjian tersebut, estimasi akurasi

untuk setiap parameter posisi adalah sebesar ± 0,005‘’ yang setara dengan ±0,15

m, estimasi akurasi pengukuran jarak sebasar ± 0,05 m dan estimasi akurasi

azimuth magnetik sebesar ± 30’. Estimasi akurasi tersebut adalah realistik pada

kondisi teknologi geospasial saat ini (Adler, 1995).

III.3.9. Peran IG dalam boundary making

Merujuk pada uraian yang telah disampaikan pada bab tinjauan pustaka,

bahwa dalam setiap tahapan proses boundary making mulai dari alokasi,

delimitasi, demarkasi dan administrasi/manajemen, diperlukan geospasial baik

88

data, informasi maupun teknologi geospasial. Peran IG khususnya peta dalam

boundary making dapat diilustrasikan dalam Gambar 3.19.

Secara garis besar, peran IG (peta) dalam setiap tahapan boundary making

dijelaskan sebagai berikut:

1. Peta pada tahap alokasi.

Tahap alokasi biasanya dilakukan oleh negarawan dan diplomat yang

mewakili negara/pemerintah masing-masing pihak. Pada tahap ini dominasi

kegiatan lebih pada kegiatan politik dan diplomatik, lobi-lobi dan negosiasi antara

negara yang berkepentingan. Keperluan peta biasanya sebatas untuk bahan

negosiasi dan biasanya tidak terlalu dipersoalan masalah ketelitian, skala, datum,

sistem koordiant dan aspek kartografis lainnya. Peta yang diperlukan adalah peta

skala menengah atau kecil untuk mengetahui posisi relatif daerah yang

dirundingkan terhadap daerah disekitarnya dalam kaitannya dengan aspek

geopolitik (Jones, 1945). Walaupun demikian tersedianya peta tetap sangat

penting sebagai sumber informasi bagi para negarawan dan pihak-pihak yang

berkepentingan untuk bernegosiasi. Data lain selain peta yang bisa digunakan

untuk bahan negosiasi adalah foto udara/peta foto dan citra satelit. Untuk itu para

politisi dan diplomat perlu mendapat masukan dan advis dari ahli dalam bidang

geodesi, kartografi atau geografi (Blake, 1995).

2. Peta pada tahap delimitasi.

Memilih letak batas dan mendefinisikan titik-titik batas pada tahap

delimitasi, diperlukan peta sebagai infrastruktur untuk dapat melakukan dua

kegiatan tersebut. Pemilihan letak memerlukan pertimbangan geografis selain

politis (Jones, 1945). Dalam pertimbangan geografis tentunya peta yang

diperlukan adalah peta yang menggambarkan feature permukaan bumi secara

lengkap baik feature alamiah seperti sungai, danau dan watersheed maupun

feature buatan manusia. Peta semacam ini disebut peta dasar yaitu peta yang

menggambarkan IG secara umum. Pada peta dasar ini digambarkan posisi

planimetris yang akurat dan bentuk medan (topografi) serta pola drainase

digambarkan dengan garis-garis kontur. Skala dan kualitas peta dasar sangat

89

penting pada tahap ini. Oleh sebab itu harus digunakan peta dasar resmi (official

base map) yang dibuat oleh lembaga pemerintah di negara yang bersangkutan.

Gambar 3.19. Peran IGdalam boundary making (Adler, 1995)

Pemilihan skala sangat penting karena menentukan tingkat kerincian

informasi peta dasar yang digunakan. Peta dasar dengan skala minimal 1: 250.000

cukup memadai untuk delimitasi batas distrik (Jones, 1945). Dalam delimitasi

batas internasional, selain diperlukan peta dasar, diperlukan juga peta tematik

yang terkait penduduk seperti peta distribusi penduduk. Selain itu peta tematik

aspek dinamik penduduk seperti tingkat pertumbuhan, migrasi dan urbanisasi

merupakan faktor yang signifikan dalam delimitasi batas antar negara.

ALOKASI

DELIMITASI

Traktat atau perjanjian dan peta hasil delimitasi batas wilayah

Pedoman identifikasi dari delimitasi ke lapangan

DEMARKASI

ADMINISTRASI

BASIS DATA SIG

IG

90

Hasil akhir dari tahap delimitasi adalah dokumen perjanjian (treaty). Peta

kesepakatan batas wilayah biasanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

perjanjian. Bila peta menjadi bagian dari teks perjanjian, maka peta tersebut

merupakan bagian dari delimitasi, bila tidak maka peta tersebut hanya sebagai

suatu ilustrasi dari teks perjanjian.

Satu hal yang perlu diingat tentang peta, bahwa secara sendirian peta tidak

dapat digunakan sebagai produk yang bersifat legal (hukum). Kekuatan legal dari

peta hanya dapat diperoleh bila peta tersebut merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari perjanjian atau keputusan pengadilan dan kekuatannya sebagai

alat pembuktian bervariasi sesuai kualitas teknis peta yang bersangkutan (Adler,

2000). Brownlie (1979) menyatakan bahwasuatu peta memiliki nilai pembuktian

yang sebanding (proporsional) dengan kualitas teknisnya. Dengan demikian

semakin baik kualitas teknis suatu peta, maka peta tersebut memiliki nilai yang

semakin kuat sebagai alat bukti. Hal ini juga berlaku untuk peta batas wilayah.

Dalam putusan pengadilan, biasanya suatu peta merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dari suatu dokumen delimitasi. Bagaimanapun suatu delimitasi

berpotensi menimbulkan sengketa di masa datang, misalnya dalam hal koordinat

geografis titik batas yang tidak menyebutkan datum yang spesifik yang digunakan

dalam peta atau dalam hal pemilihan skala peta batas yang bisa berimplikasi pada

posisi. Pada peta skala 1:200.000, kesalahan posisi di peta sebesar 0,2 mm setara

dengan pergeseran sebasar 40 m di lapangan (Pratt, 2006).

Peta lampiran dan tanda-tanda batas yang dibuat di peta merupakan hasil

tahap delimitasi dan koordinat titik batas yang diberikan dalam perjanjian

digunakan sebagai pedoman untuk menentukan lokasi titik-titik batas di lapangan.

Peta lampiran hasil delimitasi yang kualitasnya bagus dapat langsung digunakan

sebagai panduan untuk memasang titik-titik batas di lapangan. Peta delimitasi

sebaiknya memiliki skala yang cukup besar sehingga permukaan bumi seperti

kontur dapat digambarkan lebih detail untuk memudahkan demarkasi di lapangan.

Titik-titik batas sebaiknya ditandai di peta delimitasi sebelum secara nyata

dipasang di lapangan. Peta dasar minimal skala 1:50.000 sangat baik digunakan

91

untuk membuat peta delimitasi (Jones, 1945). Peran peta dalam tahap delimitasi

dapat dirangkum seperti Tabel 3.4.

Tabel 3.4 . Peta dalam tahap delimitasi (dirangkum dari Jones, 1945)

No Tahap delimitasi Peta yang diperlukan

Fungsi peta

1 Alokasi dan pre-delimitasi

Tersedia peta walaupun skala kecil untuk mengetahui posisi relatif wilayah yang dialokasi

Negosiasi dan perundingan

2 Proses delimitasi Peta dasar resmi (official maps) menggambarkan topografi, skala cukup besar minimal 1:250.000

Sebagai infrastruktur untuk memilih letak batas dan mendefinsikan titik batas dalam koordinat

3 Hasil delimitasi a) Peta delimitasi, skala besar minimal 1: 50.000. Dalam peta ini digambarkan garis batas hasil kesepakatan delimitasi dan mencatumkan koordinat titik-titik batas yang disepakati pada datum geodesi tertentu dan dilengkapi toponim sepanjang koridor batas

b) Deskripsi garis batas dalam bentuk verbal dengan toponim dan parameter geometris seperti nilai koordinat, azimuth atau panjang segmen batas.

a) Menggambarkan garis batas hasil delimitasi.

b) Sebagai pedoman untuk menentukan titik batas dalam kegiatan penegasan batas di lapangan.

3. Peta dalam tahap demarkasi

Tahap demarkasi pada dasarnya merupakan suatu kegiatan memindahkan

titik-titik batas di peta hasil delimitasi ke lapangan. Dalam banyak kasus sering

ada perbedaan antara teks delimitasi dengan peta delimitasi yang bisa

menimbulkan masalah dalam demarkasi. Namun hal ini sama sekali tidak

mengurangi nilai peta delimitasi sebagai pedoman untuk demarkasi (Jones, 1945).

92

Pada tahap demarkasi dilakukan transformasi titik batas ke lapangan dan

survei pemetaan sepanjang koridor batas dengan lebar koridor yang disepakati

oleh kedua belah pihak. Dalam pengertian teknis di bidang survei pemetaan,

mentransformasi titik dan garis di suatu peta ke lapangan disebut dengan istilah

staking out. Dalam proses melakukan stak out, aspek geometrik yang sangat

penting yang harus ada dalam peta yang ditransformasi adalah skala peta yang

benar serta diketahuinya koordinat titik-titik yang akan ditransformasi pada datum

geodesi yang dipilih (Kavanagh, 2003; Schofield, 2002).

Setelah survei lapangan selesaikemudian dibuat peta demarkasi yang

menggambarkan topografi sepanjang garis batas pada lebar koridor yang telah

ditentukan bersama. Peta demarkasi dibuat dari pengukuran langsung dengan

standard spesifikasi teknis pemetaan yang ditentukan bersama. Peta demarkasi

merupakan tampilan akhir dari proses boundary making dan peta ini digunakan

untuk keperluan administrasi dan pemeliharaan batas. Dalam peta demarkasi,

semua titik-titik batas dan garis batas yang menghubungkan titik-titik tersebut

harus secara jelas digambarkan. Peta yang diperlukan skala minimal 1:100.000

atau lebih besar sehingga titik-titik dan garis batas dapat digambarkan dengan

jelas. Pada daerah yang padat penduduk, peta demarkasi dapat dibuat dengan

skala besar sampai 1: 5000.

4. Peta pada tahap administrasi

Tahap administrasi pada dasarnya merupakan kegiatan mendokumentasikan

proses dan hasil tahapan alokasi, delimitasi dan demarkasi. Hasilnya berupa basis

data batas wilayah termasuk data peta (geospasial), koordinat titik-titik batas,

deskripsi batas, baik batas buatan seperti pilar maupun deskripsi batas yang

berupa fenomena alam seperti punggung bukit dan sungai. Selain

mendokumentasikan proses dan hasil alokasi, delimitasi dan demarkasi, kegiatan

administrasi batas juga mencakup pemeliharaan titik-titik batas. Peta-peta batas

maupun deskripsi batas yang didokumentasikan dengan baik sangat penting untuk

kegiatan pemeliharaan batas wilayah. Untuk itu sesuai dengan perkembangan

teknologi komputer dan informasi, biasanya basis data disusun secara dijital dan

untuk pengelolaannya digunakan SIG. Berbagai data dan informasi yang disusun

93

dalam basis data dijital meliputi: (a) data spasial seperti koordinat titik-titik batas,

peta batas pada koridor tertentu sepanjang garsis batas, deskripsi pilar batas,

deskripsi batas alam, (b) data non spasial meliputi dokumen treaty maupun nota-

nota kesepakatan, dokumen laporan dari setiap tahapan boundary making,

undang-undang dan berbagai peraturan dari masing-masing negara yang

berbatasan terkait batas wilayah (Donaldson dan Williams, 2008; Wood, 2000).

III.4. Teori Konflik

Pada sub bab ini dibahas tentang pengertian konflik dan sengketa secara

umum, sengketa batas wilayah dan hubungan antara sengketa batas wilayah

dengan peta.

III.4.1. Pengertian konflik dan sengketa

Secara umum konflik adalah salah satu bentuk perilaku persaingan antar

individu atau antar kelompok orang. Menurut Moore (1986) potensi terjadinya

konflik ada bila dua atau lebih aktor bersaing secara berlebihan atau tidak adanya

kesesuaian tujuan dalam kondisi sumberdaya yang terbatas (Forbes, 2001).

Masyarakat sering memiliki perspektif atau pandangan yag berbeda tentang

situasi kehidupan sosial, politik, ekonomi dan masalah-masalahnya dan perbedaan

pandangan dalam hal tujuan dan cara mencapai tujuan, sehingga sering

menimbulkan konflik (Fisher, dkk., 2001).

Selain kosa kata konflik terdapat kata yang memiliki pengertian yang

hampir sama yaitu sengketa (disputes).Sengketadidefinisikan sebagai suatu

ketidaksepahaman (disagreement) yang spesifik. Hal tersebut biasanya

disebabkan oleh adanya suatu regulasi atau kebijakan dimana klaim atau tuntutan

suatu kelompok ditolak oleh kelompok lain sehingga menimbulkan

sengketa.Dalam hal konflik batas wilayah, ketidaksepahaman yang terjadi

disebabkan oleh adanya suatu kebijakan politik,misalnya dalam bentuk perjanjian

antar negara atau kebijakan otonomi daerah dalam bentuk regulasi seperti undang-

undang pembentukan daerah di Indonesia, sehingga istilah konflik batas wilayah

94

oleh para ahli konflik lebih tepat disebut sengketa batas wilayah (boundary

disputes) (Forbes, 2001).

III.4.2. Diagnosis konflik

Mengelola konflik atau sengketa yang paling efektif adalah dilakukan

dengan dua langkah sederhana, yaitu: (1) melakukan diagnosis untuk mengetahui

akar penyebab sengketa dan (2) memutuskan untuk melakukan sesuatu atau tidak

melakukan sesuatu terhadap sengketa tersebut. Layaknya seperti seorang dokter,

sebelum melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan terhadap pasiennya,

terlebih dahulu seorang dokter melakukan diagnosis untuk mendapat gambaran

akar penyebab penyakit yang diderita pasiennya. Demikian juga terhadap konflik.

Salah satu model diagnosis konflik yang banyak dipakai di dalam rangka resolusi

konflik adalah model yang dikembangkan oleh More (1986) di CDR Associates of

Boulder, Colorado (Furlong, 2005).

Moore mengembangkan suatu model peta konflik dalam bentuk lingkaran

konflik (the Circle of Conflict) seperti disajikan pada Gambar 3.20. Dalam the

Circle of Conflict, Moore mengidentifikasi lima penyebab utama terjadinya

konflik, yaitu: (1) persoalan hubungan antara orang atau kelompok, (2) persoalan

dengan data, (3) tidak diperhatikannya atau tidak ada kesesuaian nilai (value), (4)

kekuatan terstruktur dari luar yang menekan para aktor dalam sengketa, (5)

persoalan kepentingan yaitu tidak diperhatikannya atau tidak ada kesesuaian

KONFLIK HUBUNGAN

KONFLIK NILAI

KONFLIK DATA

KONFLIK KEPENTINGAN

KONFLIKSTRUKTURAL

UNNECESSARY CONFLICT

GENUINE CONFLICT

95

dalam hal keinginan (Forbes, 2001; Furlong, 2005).

Gambar 3.20. The Circle of Conflict menurut Moore, 1986 (Forbes, 2001; Furlong, 2005)

Konflik data, konflik nilai dan konflik hubungan sebenarnya merupakan

konflik yang semestinya bisa tidak terjadi (unnecessary conflict), artinya kalau

data dan informasi tersedia sesuai kebutuhan, nilai-nilai yang ada difahami secara

baik dan emosi serta perilaku negatif dapat dijaga, maka tidak terjadi konflik.

Genuine conflict adalah konflik yang melekat pada sifat dasar manusia, yaitu

konflik kepentingan dan konflik struktural. Faktor kepentingan dan struktural

adalah dua faktor yang saling berhubungan dan selalu ada dalam kehidupan

manusia (Forbes, 2001).

Rangkuman karakteristik masing-masing penyebab konflik disajikan pada

Tebel3.5

Tabel 3.5. Karakteristik penyebab konflik menurut Moore, 1986 (Forbes, 2001; Furlong, 2005).

UNNECESSARY CONFLICT Hubungan

1) Pengalaman negatif di masa lalu

2) Kesalahpahaman 3) Komunikasi yang buruk

atau kegagalan komunikasi

4) Perilaku negatif yang berulang

5) Emosi yang kuat

Nilai 1) Sistem

kepercayaan 2) Salah dan benar 3) Baik dan jahat 4) Adil dan tidak adil

Data 1) Kurangnya data dan

informasi 2) Salah data/informasi 3) Terlalu banyak

informasi 4) Beda cara pandang

terhadap data yang relevan

5) Beda interpretasi terhadap data

GENUINE CONFLICT Kepentingan

1) Masalah substantif (sumberdaya alam, waktu, keuangan)

2) Prosedural 3) Psikologis

Struktural 1) Bagaimana suatu situasi sudah

diatur 2) Hubungan geografis / hubungan

fisik (jarak atau kedekatan) 3) Kendala waktu 4) Ketidakseimbangan kekuatan /

kewenangan 5) Ketimpangan kontrol terhadap

96

sumberdaya 6) Definisi peran/aturan main

Model lingkaran konflik yang dikemukakan oleh Moore merupakan model

yang sangat kuat guna melakukan diagnosis untuk mengidentifikasi akar

penyebab konflik. Akar penyebab konflik langsung dapat dikelompokan dalam

kategori yang sudah ditentukan. Oleh sebab itu model the Circle of Conflict

Moore sering digunakan pada berbagai tipe konflik termasuk sengketa batas

wilayah (Forbes, 2001).

III.4.3. Sengketa batas wilayah

Menurut Prescott (1987), sengketa batas wilayah secara umum dapat

dikelompokan dalam tiga jenis: (1) sengketa teritorial yaitu sengketayang terjadi

bila ada suatu wilayah belum dialokasi sehingga pada proses alokasi terjadi

sengketa pada level politisi/negara, (2)sengketa posisional yaitu sengketa yang

terjadi setelah alokasi batas wilayah baik sebelum delimitasi atau sering muncul

setelah delimitasi pada saat kegiatan demarkasi, (3) sengketa fungsional yaitu

sengketa yang terjadi pada tahap manajemen perbatasan seperti pengelolaan

sumberdaya yang bernilai ekonomi dan pengelolaan lalu lintas orang dan barang

(cross-border).

Dalam konteks boundary making batas daerah di Indonesia, sengketa batas

terjadi pada saat tahapan penegasan batas daerah, sehingga termasuk dalam jenis

sengketa posisional. Sengketa ini terjadi karena mempermasalahkan atau adanya

ketidaksepahaman dalam masalah ketepatan posisi garis batas (Subowo, 2009).

III.4.4. Hubungan sengketa batas wilayah dengan peta

Blake (1995) menyatakan bahwa pentingnya peta dalam sengketa batas

wilayah adalah dalam empat hal, yaitu: (1) peta dapat menjadi faktor yang

berkontribusi sebagai penyebab sengketa, (2) peta digunakan oleh para pihak yang

bersengketa untuk mengajukan usulan posisi batas wilayah masing-masing, (3)

peta digunakan sebagai alat dalam penyelesaian sengketa, (4) peta digunakan

97

untuk memberi gambaran tentang keputusan pengadilan terkait sengketa batas

wilayah. Pada tahap demarkasi, sengketa yang terjadi adalah sengketa posisional

yaitu sengketa saling klaim letak titik atau garis batas. Oleh sebab itu mengacu

pada teori penyebab konflik menurut Moore (1986), kesalahan atau kurangnya IG

pada peta dapat dikelompokkan kedalamfaktor penyebab sengketa karena data.

Contoh kurangnya data dan informasi pada peta misalnya di dalam peta tidak

dicantumkan skala, atau skala yang dicantumkantidak benar. Contoh lain

kekurangan informasi pada peta misalnya tidak ada sistem koordinat dan tidak

jelas datum geodetiknya. Selain itu, karena peta merupakan gambaran unsur-unsur

geografis baik alamiah maupun buatan manusia yang biasanya ada atribut nama-

nama geografis (toponim), maka perbedaan klaim posisi titik dan garis batas juga

sangat dimungkinkan karena kesalahan dalam toponimi (Prescott, 2010).

III.5. Asesmen

Kata asesmen berasal dari bahasa Inggris, assessment yang artinya taksiran.

Taksiran bisa bersifat deskriptif yang menggambarkan sesuatu secara holistik

(menyeluruh) dengan sifat atau cara kerja yang komprehensif.Asesmen adalah

kegiatan yang mencakup: identifikasi, analisis dan evaluasi (Soendari, 2009).

Prinsip-prinsip dalam asesmen meliputi: (1) proses asesmen bersifat sistematis

dan komprehensif, (2) obyek asesmen berupa informasi (data, fakta, kejadian)

untuk diketahui gejala dan intensitasnya, kendala-kendala dan kelemahan, (3)

dalam asesmen ada pembanding informasi tersebut dengan suatu

parameter/ukuran dengan menggunakan instrumen, (4) adanya pelaku (asesor)

yang mengumpulkan informasi, (5) digunakan untuk menyusun suatu program

yang dibutuhkan yang bersifat realistik sesuai kenyataan secara obyektif. Secara

umum tujuan suatu kegiatan asesmen adalah: (1) memperoleh data yang relevan,

obyektif, akurat dan komprehensif, (2) mengetahui profil sesuatu secara utuh

terutama permasalahan dan hambatan, potensi, kebutuhan dan daya dukung

lingkungan yang dibutuhkan, (3) menentukan layanan yang dibutuhkan dalam

rangka memenuhi kebutuhan (Banta, 1996).

98

Dalam melakukan asesmen, sangat diperlukan instrumen. Salah satu

instrumen yang sering digunakan adalah checklist karena cukup ekonomis dan

mudah. Check list adalah suatu daftar yang berisi faktor-faktor yang akan

diselidiki sehingga merupakan salah satu alat observasi, yang ditujukan untuk

memperoleh data, berbentuk daftar berisi faktor-faktor yang ingin diamati oleh

peneliti. Dalam pelaksanaannya, peneliti tinggal memberi tanda check pada daftar

faktor-faktor yang diamati di lembar observasi, sehingga memungkinkan peneliti

dapat melakukan tugasnya secara cepat dan objektif (Narbuko dan Achmadi,

2007).

Checklist adalah suatu penilaian yang didasarkan atas suatu standar yang

dideskripsikan terlebih dahulu. Standar produk bisa bersifat internal yang lebih

diarahkan untuk kontrol kualitas produk dan standar yang bersifat eksternal yang

lebih bersifat kepada standar penggunaan produk. Ada tiga jenis instrumen

checklistyang bisa digunakan yaitu: checklistobservasi demonstrasi, checklist

penilaian produk, checklist profil ukuran kinerja yang dapat diterima (Surono,

2012). Dalam hal ini, IG adalah suatu produk sehingga instrumen yang sesuai

adalah checklist penilaian produk dengan standar yang ditentukan bersifat

eksternal.

99

BAB IV

METODE PENELITIAN

Bab ini berisi uraian mengenai metode penelitian. Sebelum menjelaskan

metode penelitian terlebih dahulu dijelaskan model konseptual penelitian yang

digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan penelitian.

IV.1. Model konseptual penelitian

Model konseptual adalah suatu penggunaan simbol-simbol untuk

mendeskripsikan permasalahan dunia nyata yang kompleks dalam bentuk skema

konsep sehingga permasalahan yang kompleks menjadi lebih mudah difahami

(Khatri, dkk., 2001). Model konseptual penelitian yang disajikan pada Gambar

4.1. pada dasarnya merupakan desain model untuk melakukan asesmen. Kerangka

pikir model konseptual dapat dijelaskan pada bagian berikut.

Di bagian kiri gambar skema model konseptual, dilakukan asesmen

terhadap kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah pada proses

boundary making di Indonesia pada era otonomi daerah untuk mengidentifikasi

sifat dari kerangka kerja tersebut. Tolok ukur yang digunakan untuk asesmen

tersebut adalah model kerangka kerja penetapan dan penegasan pada teori

boundary making Jones.

Di bagian kanan, tahapan penetapan merupakan bagian dari proses

pembentukan DOB. Dalam proses tersebut diperlukan inputIG berupa peta dasar

yang digunakan untuk memilih letak dan mendefinisikan batas DOB yang

dibentuk. Hasil penetapan batas adalah peta wilayah administrasi DOB yang

dilampirkan dalam UUPD. Selanjutnya peta wilayah administrasi lampiran UUPD

digunakan sebagai pedoman untuk staking outdalam penegasan batas daerah di

lapangan. Mengingat pentingnya peran IG proses boundary making, maka perlu

dilakukan asesmen untuk mengidentifikasi peran IG dalam tahap penetapan batas

daerah.

100

Gambar 4.1. Model konseptual penelitian

101

Asesmen peran IG dalam penetapan batas daerah dilakukan selama

pelaksanaan otonomi daerah dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2009. Asesmen

tersebut dilakukan dengan pendekatan sistem, yaitu asesmen peran IG pada

masukan (input), pada proses dan pada luaran (output). Asesmen IG pada

masukan hanya difokuskan pada peta RBI dengan parameter ketersediaan skala

dan kualitasnya. Tolok ukur yang digunakan adalah skala minimal yang harus

tersedia mengacu pada Spesifikasi Teknis peta wilayah DOB provinsi, kabupaten

dan kota yang dikeluarkan oleh Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal

tahun 2008 dan 2009.

Asesmen penggunaan IG pada proses penetapan diidentifikasi dari

penggunaanya untuk memilih dan mendefinisikan garis batas daerah, sedangkan

asesmen IG pada luaran penetapan adalah mengidentifikasi kualitas peta lampiran

UUPD. Dalam asesmen kualitas peta lampiran UUPD, diidentifikasi parameter

geometris dan kelengkapan muatan peta menggunakan tolok ukur Spesifikasi

Teknis peta wilayah DOB provinsi, kabupaten dan kota yang dikeluarkan oleh

Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal tahun 2008 dan 2009.

Dalam pelaksanaan penegasan batas daerah dimungkinkan terjadi sengketa

posisional batas daerah. Diagnosis penyebab sengketa dilakukan dengan

pendekatan Lingkaran Konflik Moore (1986) untuk mengetahui penyebab

sengketa dan menganalisis kontribusi IG terhadap munculnya sengketa batas

daerah pada penegasan batas daerah di era otonomi daerah di Indonesia.

IV.2. Pelaksanaan penelitian

Secara garis besar jalannya penelitian digambarkan pada Gambar 4.2.

Gambar 4.1. Model konseptual penelitian

102

Gambar 4.2. Diagram alir pelaksanaan penelitian

103

Mengacu pada Gambar 4.2 jalannya pelaksanaan penelitian diuraikan pada

sub bab berikut.

IV.2.1. Pengumpulan data

Data yang dikumpulkan dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: (1) data

yang terkait dengan tahap penetapan, (2) data yang terkait dengan tahap

penegasan dan (3) data sengketa batas daerah. Data yang diteliti pada dasarnya

adalah berupa dokumen. Dokumen tersebut dapat dikelompokan menjadi dua

yaitu dokumen tekstual dan dokumen spasial (peta).

1. Data tahap penetapan

a) Dokumen tekstual meliputi peraturan perundangan yang terkait penetapan

batas daerah pada periode tahun 1999 sampai dengan 2009 yaitu:

1) UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,

2) UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai

pengganti UU No. 22 tahun 1999,

3) UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai

pengganti UU No.32 tahun 2004,

4) Peraturan Pemerintah (PP) yaitu PP No.129 tahun 2000 tentang

persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan,

dan penggabungan daerah,

5) PP No.78 tahun 2007 tentang tata cara pembentukan, penghapusan,

dan penggabungan daerah,

6) UUPD yang dibentuk pada periode tahun 1999 sampai dengan

tahun 2009.

b) Data dokumen spasial berupa:

1) Peta wilayah administrasi lampiran UUPD tahun 1999 sampai

dengan tahun 2009,

2) Peta indeks ketersediaan peta rupa bumi Indonesia (peta RBI)

tahun 2000 sampai dengan tahun 2009 diperoleh dari Badan IG.

104

2. Data tahap penegasan:

a) Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.126/2742/SJ tanggal 27 Nopember

2002 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah,

b) Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 tahun 2006 tentang Pedoman

Penegasan Batas Daerah,

c) Peraturan Menteri Dalam Negeri No.76 tahun 2012 tentang Pedoman

Penegasan Batas Daerah.

3. Laporan sengketa batas daerah diperoleh dari Direktorat Wilayah dan

Administrasi Perbatasan Kementrian Dalam Negeri dalam bentuk matriks

permasalahan batas daerah.

IV.2.2. Asesmen kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah

1. Asesmen kerangka kerja penetapan batas daerah

Asesmen kerangka kerja penetapan batas daerah dilakukan terhadap

kerangka kerja pada PP No.129 tahun 2000 dan PP No.78 tahun 2007, karena

kerangka kerja penetapan batas daerah di Indonesia pada dasarnya merupakan

bagian dari kerangka kerja pembentukan DOB. Selanjutnya asesmen kerangka

kerja penegasan dilakukan dengan merujuk pada kerangka kerja Permendagri

No.1 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. Sebagai tolok ukur

dalam asesmen kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah digunakan

model kerangka kerja boundary making Jones (1945) yang diuraikan oleh Srebro

dan Shoshany (2013) seperti telah dijelaskan pada landasan teori.

Dalam pelaksanaannya, kerangka kerja pada PP No.129 tahun 2000 dan PP

No.78 tahun 2007 dibandingkan dengan kerangka kerja penetapan batas wilayah

menurut Jones 1945. Ada dua model kerangka kerja boundary making menurut

Jones, yaitu model yang bersifat linear dan bersifat non-linear, sehingga hasil

asesmen yang diperoleh apakah kerangka kerja penetapan batas daerah di

Indonesia pada periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2009 bersifat linear atau

non-linear.

105

Karaketristik kerangka kerja penetapan batas daerah yang bersifat linear

adalah proporsional antara kerja yang bersifat politis dan profesional (geospasial),

yaitu:

a) alokasi dan penetapan adalah kerja politisi tetapi diperlukan bantuan

persiapan teknis dari profesional bidang geospasial,

b) UUPD dihasilkan oleh politisi, namun dalamnya berisi hasil-hasil

delimitasi batas hasil kerja yang dilakukan oleh profesional geospasial,

c) peta wilayah lampiran UUPD memenuhi standar spesifikasi yang

ditentukan.

Karakteristik kerangka kerja penetapan yang tidak memenuhi kriteria

tersebut adalah non-linear.

Variabel yang diidentifikasi pada penetapan batas daerah adalah:

a) Penggunaan IG pada penetapan,

b) Keterlibatan profesional geospasial dalam memilih letak dan

mendefinisikan batas daerah,

c) Kualitas peta wilayah lampiran UUPD.

2. Asesmen kerangka kerja penegasan batas daerah

Penegasan batas daerah merupakan kegiatan penting pasca terbentuknya

suatu DOB sebagai amanat UUPD. Dalam penelitian ini, dilakukan asesmen

terhadap kerangka kerja penegasan batas daerah pada era otonomi daerah di

Indonesi merujuk pada Permendagri No.1 tahun 2006 tentang Pedoman

Penegasan Batas Daerah. Kriteria dan tolok ukur yang digunakan untuk asesmen

penegasan batas daerah adalah kerangka kerja tahapan penegasan batas wilayah

menurut teori boundary making Jones. Sesuai dengan karaketristik boundary

making yang memiliki sifat berkesinambungan-sistematik (Jones, 1945;

Donaldson dan Williams, 2008; Srebro dan Shoshany, 2013), maka kriteria

kerangka kerja penegasan batas daerah adalah bersifat linear dan non-linear. Dua

variabel yang diidentifikasi untuk menentukan kerangka kerja penegasan bersifat

linear yaitu:

106

a) berkesinambungan-sistematik artinya dalam kegiatan penegasan batas

daerah tidak lagi dilakukan kegiatan penetapan,

b) proporsi kegiatan yang bersifat teknis geospasial lebih dominan

dibanding kegiatan yang bersifat politis.

Bila kerangka kerja penegasan batas daerah tidak memenuhi dua hal

tersebut, maka kerangka kerja penegasan batas daerah bersifat non-linear.

IV.2.3.Pengelompokan UUPD beserta peta lampiran UUPD atas dasar PP No.129 tahun 2000 dan PP No.78 tahun 2007.

Sesuai fokus penelitian, data UUPD yang dipilih sebagai obyek penelitian

adalah data UUPD yang didasarkan atas PP No.129 tahun 2000 dan PP No.78

tahun 2007. Oleh sebab itu sebelum dilakukan asesmen terhadap peran IG dalam

penetapan batas daerah, terlebih dahulu dilakukan reduksi dan pengelompokan

data dokumen pembentukan DOB berupa UUPD beserta peta wilayah lampiran

UUPD yang bersangkutan.

Setelah data UUPD yang tidak dibentuk dengan dasar PP No.129 tahun

2000 dan PP No.78 tahun 2007 disisihkan, selanjutnya data UUPD dikelompokan

menjadi dua kelompok, pertama, data UUPD yang dibentuk dengan dasar PP

No.129 tahun 2000 dan kedua, data UUPD yang dibentuk dengan dasar PP No.78

tahun 2007.

IV.2.4. AsesmenperanIG dalam penetapan batasdaerah

Asesmen untuk mengidentifikasi peran IG dalam penetapan batas daerah

dilakukan pada masing-masing kelompok data seperti telah diuraikan pada sub

bab IV.2.3. Dalam bentuk diagram, model sistematis asesmen peran IG dalam

penetapan batas daerah disajikan pada Gambar 4.3.

107

Gambar 4.3. Asesmen peran IG pada tahap penetapan batas daerah

Asesmen peran IG dalam penetapan batas daerah dibagi dalam tiga tahap:

1) asesmen kondisi informasi peta dasar (peta RBI) pada input penetapan

yang difokuskan pada kondisi peta RBI pada periode tahun 2000 sampai

dengan tahun 2009 untuk mendukung penetapan batas daerah,

2) asesmen penggunaan IG dalam proses penetapan yang dianalisis melalui

dokumen UUPD khususnya pasal cakupan dan batas wilayah yang

diterbitkan pada periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 dan

periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2009,

3) asesmen peta wilayah administrasi lampiran UUPD pada output

penetapan yang bertujuan untuk mengetahui kualitas peta lampiran

UUPD bila digunakan untuk mentransformasi titik dan garis batas di

peta batas ke lapangan pada kegiatan penegasan batas daerah.

Metode asesmen dilakukan dengan metode check list atau daftar cocok,

yaitu mengamati parameter obyek yang dinilai kemudian dicocokan dengan

standar (tolok ukur) yang ditentukan atau dideskripsikan. Instrumen yang

digunakan adalah checklist penilaian produk peta untuk keperluan penetapan batas

input prose

output

PARAMETER YANG DINILAI

PENETAPAN BATAS DAERAH

108

daerah. Kriteria dan tolok ukur asesmen peran IG disesuaikan pada tahapan input,

proses dan output berikut ini:

a. Input tahap penetapan batas daerah. IG yang digunakan sebagai input

dalam tahapan penetapan batas daerah adalah peta RBI. Dalam asesmen

terhadap parameter ketersediaan peta RBI digunakan tolok ukur variabel

skala pada Spesifikasi Teknis Peta Wilayah Daerah Otonom Provinsi,

Kabupaten dan Kota yang diterbitkan oleh Pusat Pemetaan Batas Wilayah

Bakosurtanal (sekarang BIG) pada tahun 2008 dan 2009 (PPBW-

Bakosurtanal, 2008, 2009a, 2009b). Dalam dokumen tersebut ditentukan

skala minimal untuk peta wilayah provinsi, untuk kabupaten dan untuk kota

seperti disajikan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Kriteria dan tolok ukur asesmen IG sebagaiinput tahap penetapan batas daerah

Parameter Variabel Tolok ukur Hasil asesmen

Ketersediaan peta dasar resmi (peta RBI)

Skala

1) Minimal 1: 250.000 untuk provinsi

2) Minimal 1: 100.000 untuk kabupaten

3) Skala minimal 1: 50.000 untuk kota

1) Sangat memadai bila tersedia skala > 1:250.000 untuk provinsi, > 1:100.000 untuk kabupaten dan > 1: 50.000 untuk kota

2) Memadai bila tersedia skala peta dasar 1:250.000 untuk provinsi, 1:100.000 untuk kabupaten dan 1: 50.000 untuk kota

3) Tidak memadai bila skala < 1:250.000 untuk provinsi, < 1:100.000 untuk kabupaten dan <1: 50.000 untuk kota

b. Pada prosestahap penetapan batas daerah. Dua kegiatan penting pada

proses penetapan batas yaitu memilih letak garis batas dan mendefinisikan

titik-titik batas. Pemilihan letak batas dan pendefinisian titik batas dilakukan

pada peta dasar resmi (Jones, 1945). Merujuk pada pendapat Jones tersebut,

109

maka parameter yang perlu diidentifikasi dalam penetapan batas daerah

adalah adanya kegiatan memilih letak garis batas dan mendefinisikan titik

batas menggunakan peta RBI. Kriteria dan tolok ukur yang digunakan untuk

asesmen IG pada proses tahap penetapan disajikan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Kriteria dan tolok ukur asesmen peran IG padaproses penetapan batas daerah

Parameter

Variabel Tolok ukur (menurut Jones, 1945)

Hasil asesmen

Memilih letak

Pasal cakupan wilayah pada UUPD

1) Ditentukan letak batas dan dituliskan dalam bentuk narasi

2) Digambarkan letak garis batas di peta lampiran

1) Sesuai bila disebutkan letak batas, digambarkan dalam peta lampiran UUPD dan titik-titik batas didefinisikan koordinatnya pada sistem koordinat dan datum tertentu

2) Kurang sesuai bila disebutkan letak batas dalam UUPD, digambarkan dalam peta lampiran UUPD

3) Tidak sesuai bila tidak menyebutkan letak batas, tidak digambarkan dalam peta lampiran UUPD dan titik batas tidak didefinisikan koordinatnya pada sistem koordinat dan datum tertentu

Mendefinisikan titik dan garis batas

Pasal batas wilayah pada UUPD

Pendefinisian titik-titik batas dengan kordinat pada sistem koordinat dan datum tertentu

c. Pada outputpenetapan batas daerah. Luaran proses penetapan batas yang

berupa IG adalah peta batas wilayah yang dilampirkan dalam UUPD. Untuk

mengetahui kualitas peta batas wilayah lampiran UUPD dilakukan asesmen

menggunakan kriteria dan tolok ukur yang mengacu pada Spesifikasi Teknis

Peta Wilayah Daerah Otonom Provinsi, Kabupaten dan Kota yang diterbitkan

oleh Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal (sekarang BIG) pada tahun

110

2008 dan 2009 (PPBW- Bakosurtanal, 2008, 2009a, 2009b). Parameter

penting peta hasil tahap penetapan agar titik dan garis batas di peta dapat

ditransformasi ke lapangan pada Spesifikasi Teknis Peta Wilayah Daerah

Otonom tersebut meliputi parameter geometris dan kelengkapan muatan peta.

Parameter geometris adalah skala peta dan sistem referensi geospasial

meliputi: (1) datum geodetikdan datum vertikal yang berupa bidang yang

menjadi acuan posisi horisontal dan tinggi, (2)sistem referensi koordinat yang

merupakan sistem untuk menentukan posisi suatu obyek secara unik di muka

bumi dan (3) sistem proyeksi yaitu sistem yang secara matematis digunakan

untuk penggambaran muka bumi yang tidak beraturan ke bidang datar.

Parameter tersebut dirangkum dalam Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Kriteria yang bersifat geometris yang harus ada untuk peta batas wilayah lampiran UUPD sehingga peta tersebut dapat digunakan dalam penegasan

batas daerah (sumber: PPBW-Bakosurtanal, 2008, 2009a, 2009b)

Daerah Parameter

Provinsi Kabupaten Kota

Skala Minimal 1: 250.000

Minimal 1:100.000

Minimal 1:50.000

Datum horisontal DGN-1999 DGN-1995 DGN-1995 Datum vertikal Muka laut rata-

rata pada chart datum setempat untuk setiap daerah atau pulau

Muka laut rata-rata pada chart datum setempat untuk setiap daerah atau pulau

Muka laut rata-rata pada chart datum setempat untuk setiap daerah atau pulau

Sistem koordinat Transverse Mercator, sistem geografis dan grid (UTM)

Transverse Mercator, sistem geografis dan grid (UTM)

Transverse Mercator, sistem geografis dan grid (UTM)

Parameter kelengkapan muatan peta meliputi kerincian kelas unsur dan

simbolisasi. Unsur-unsur rupa bumi yang perlu digambar meliputi unsur gedung

dan bangunan, unsur perhubungan, unsur relief, unsur batas wilayah (negara,

provinsi, kabupaten/kota, kecamatan), unsur sungai dan perairan, nama-nama

geografis dan keterangan garis batas, arah utara, legenda, sumber data, riwayat

111

peta, pembagian wilayah administrasi dan nama-nama geografis (toponim).

Kerincian kelas unsur dan simbolisasi, penggambaran, pencetakan meliputi

ukuran kertas, jenis kertas, warna, format cakupan peta mengacu kepada SNI Peta

RBI No.19-6502.4-2000 untuk peta RBI skala 1:250.000, SNI No.19-6502.3-2000

untuk peta RBI skala 1:50.000 dan SNI No.19-6502.2- 2000 untuk peta RBI skala

1:25.000.

Kriteria dan tolok ukur yang digunakan untuk asesmen terhadap peta

lampiran UUPD DOB disajikan pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Kriteria dan tolok ukur asesmen peta lampiran UUPD DOB

Parameter

Variabel

Tolok ukur Spesifikasi Teknis Peta Wilayah Daerah Otonom Provinsi, Kabupaten, Kota yang diterbitkan PPBW-Bakosurtanal Tahun 2008,2009.

Hasil asesmen

Kualitas peta hasil penetapan (peta wilayah lampiran UUPD) untuk keperluan penegasan

Geometris

1) Skala minimal untuk provinsi 1: 250.000, kabupaten 1: 100.000, kota 1:50.000

2) datum geodesi DGN-95 3) datum vertikal muka laut

rata-rata 4) proyeksi peta dan grid peta

pada sistem UTM

1) Sesuai bila mencantumkan semua parameter sesuai spesifikasi dan digambar pada format A0.

2) Tidak sesuai, bila

tidak mencantumkan secara keseluruhan parameter geometris dan tidak digambar pada format A0.

Kelengkapan muatan peta yang harus digambarkan

1) Unsur permukiman 2) Unsur perhubungan 3) Unsur relief dan titik kontrol 4) Unsur batas wilayah 5) Unsur perairan 6) Toponim (nama perairan,

nama pulau, nama sungai, nama gunung, nama selat, nama ibu kota, nama daerah provinsi, kab/kota, kecamatan, desa.

Ukuran peta Ukuran kertas A0

112

IV.2.5. Diagnosis penyebab sengketa batas daerah

Dalam penelitian ini data sengketa batas daerah yang berupa matriks

permasalahan batas daerah. Pada awalnya data tersebut berupa laporan

permasalahan sengketa batas yang dilaporkan oleh daerah-daerah yang

bersengketa kepada Kementrian Dalam Negeri ketika dilakukan kegiatan

penegasan batas daerah. Oleh Direktorat Wilayah Administrasi dan Perbatasan,

Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Kementrian Dalam Negeri laporan

tersebut disusun menjadi bentuk matriks permasalahan perbatasan. Matriks

tersebut akan digunakan oleh Kementrian Dalam Negeri untuk menentukan arah

kebijakan dan langkah-langkah penyelesaian serta menentukan prioritas sengketa

yang harus diselesaikan. Data sengketa batas daerah yang diperoleh pada

penelitian ini seluruhnya berjumlah 62 kasus sengketa batas daerah antar

kabupaten/kota (Kemendagri, 2012). Setelah dipelajari terdapat 17 kasus sengketa

batas daerah yang informasinya dinilai tidak lengkap, sehingga untuk keperluan

penelitian ini hanya dipilih 45 kasus.

Data 45 kasus sengketa batas daerah tersebut selanjutnya diklasifikasi

menjadi tiga kategori A, B dan C atas dasar kriteria tahun pembentukan daerah

otonom dengan mengingat tahun UUPD daerah yang bersengketa seperti disajikan

pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Kategori sengketa batas daerah atas dasar kriteria tahun pembentukan daerah otonom dengan mengingat tahun UUPD daerah

yang bersengketa

Kategori Kriteria Keterangan

A Sengketa batas daerah antar DOB yang sama-sama dibentuk pada era otonomi daerah (tahun 1999 sampai dengan tahun 2009).

Disajikan pada Lampiran 5

B Sengketa batas daerah antara DOB yang dibentuk pada era OTDA (tahun 1999 sampai dengan tahun 2009) dengan daerah otonom yang dibentuk sebelum tahun 1999.

Disajikan pada Lampiran 6

113

Tabel 4.5.Lanjut

Kategori Kriteria Keterangan

C Sengketa batas daerah antara daerah otonom yang sama-sama dibentuk sebelum tahun 1999 (sebelum OTDA) namun munculnya sengketa terjadi pada saat penegasan di era OTDA.

Disajikan pada Lampiran 7

Pada setiap kategori A, B dan C, dilakukan diagnosis sengketa batas daerah

untuk: (1)mengidentifikasifaktor penyebabsengketa, (2) menentukan jenis

sengketa.Diagnosis penyebab sengketa dilakukan dengan pendekatan teori

lingkaran konflik menurut Moore (1986). Berdasar hasil diagnosis penyebab

sengketa selanjutnya diklasifikasi jenis sengketa. Jenis sengketa batas daerah

diklasifikasi sebagai berikut: (1) sengketa batas daerah yang disebabkan faktor

kepentingan, (2) sengketa batas daerah yang disebabkan faktor struktural, (3)

sengketa batas daerah yang disebabkan faktor IG, (4) sengketa batas daerah yang

disebabkan faktor hubungan, (5) sengketa batas daerah yang disebabkan faktor

nilai, (6) sengketa batas daerah yang disebabkan kombinasi minimal dua faktor

tersebut.

IV.2.6. Wawancara

Dalam penelitian ini dilakukan kegiatan wawancara. Tujuan wawancara

adalah untuk mendapat data atau informasi suatu obyek yang sedang diteliti atau

klarifikasi terhadap suatu hasil asesmen yang telah dilakukan. Empat hal penting

yang menjadi obyek penelitian yaitu peta RBI, penetapan batas daerah, penegasan

batas daerah dan sengketa batas daerah. Obyek penelitian tersebut terkait dengan

tiga institusi yaitu:

1) Peta RBI terkait dengan institusi BIG, dalam hal ini Pusat Pemetaan

Rupabumi dan Toponimi (PPRT-BIG),

2) Penetapan batas daerah yang merupakan bagian dari proses pembentukan

DOB terkait dengan Direktorat Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus,

Direktorat Jenderal OTDA, Kementrian Dalam Negeri,

114

3) Penegasan batas daerah dan sengketa batas daerah terkait institusi

Direktorat Wilayah dan Administrasi Perbatasan, Direktorat Jenderal

Pemerintahan Umum, Kementrian Dalam negeri.

Oleh sebab itu, wawancara dilakukan pada responden di tiga institusi tersebut.

Responden yang dipilih dalam wawancara dipilih dengan kriteria sebagai

berikut:

1) Pejabat atau pegawai yang tugas pokok dan fungsinya terkait dengan

obyek penelitian,

2) Telah bertugas di bidang yang terkait dengan obyek penelitian paling

sedikit tiga tahun.

Wawancara dilakukan secara indepth interview. Wawancara terhadap

pejabat di PPRT-BIG dilakukan untuk mendapat informasi tentang proses

pembuatan, ketersedian serta kualitas peta RBI. Wawancara yang dilakukan

terhadap pejabat di Direktorat Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus, Direktorat

Jenderal OTDA, Kementrian Dalam Negeri, dilakukan untuk mendapat informasi

dan klarifikasi tentang penggunaan peta RBI dalam proses penetapan batas daerah

dalam rangka pemekaran wilayah pada sepuluh tahun era otonomi daerah di

Indonesia (tahun 1999 sampai dengan tahun 2009). Wawancara yang dilakukan

terhadap pejabat di Direktorat Wilayah dan Administrasi Perbatasan, Direktorat

Jenderal Pemerintahan Umum, Kementrian Dalam Negeri, dilakukan untuk

mendapat informasi dan klarifikasi tentang penegasan batas daerah dan sengketa

batas daerah.