bab i pendahuluanetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87200/potongan/s3-2015... · bab pendahuluan...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
Bab pendahuluan berisi penjelasan tentang latar belakang dilakukannya
penelitian, perumusan masalah, keaslian penelitian, tujuan dan faedah penelitian.
Motivasi yang mendorong dilakukannya penelitian dengan topik: “Asesmen
peran informasi geospasial dalam proses boundary making dan sengketa batas
daerah pada era otonomi daerah di Indonesia” adalah keinginan untuk
mengeksplorasi lebih dalam peran dan kontribusi disiplin ilmuTeknik Geodesi
dan Geomatika dalam penetapan dan penegasan batas wilayah, terutama karena
sering terjadinya sengketa batas daerah dalam kegiatan penegasan batas daerah
pada era otonomi daerah yang luasdi Indonesia. Asesmen yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah kegiatan yang mencakup: identifikasi, analisis dan evaluasi.
Hasil asesmen diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu solusi untuk
meminimalkan terjadinya sengketa batas daerah di masa mendatang.
I.1. Latar belakang
Jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998 melahirkan era Reformasi. Era
reformasi di Indonesia yang dimulai pada tahun 1999 telah mengubah paradigma
penyelenggaraan pemerintahan daerah dari yang selama Orde Baru (1966-1998)
sangat didominasi dengan pendekatan sentralistik menuju ke desentralisasi yang
lebih luas (Hariyono, 2013). Pada era reformasi ini lahirlah satu paket undang-
undang otonomi daerah yaitu Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Otonomi Daerah) dan UU No.25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Lahirnya paket undang-undang
tersebut merupakan kebijakan desentralisasi di bidang politik, administrasi dan
fiskal menandai dimulainya Era Otonomi Daerah (OTDA) yang lebih luas di
Indonesia (Suyanto, 2007).
Sejak berlakunya paket undang-undang tersebut,daerah mempunyai peluang
yang lebih mandiri dalam mengelola daerahnya sesuai kewenangan yang
diberikan oleh pemerintah pusat. Pada UU No.22 tahun 1999 yang kemudian
2
diganti dengan UU No.32 tahun 2004 dan diganti lagi dengan UU No.23 tahun
2014, hanya ada enam kewenangan yang tidak diberikan ke daerah yaitu bidang-
bidang: (1) politik luar negeri, (2)fiskal dan moneter, (3) pertahanan, (4)
keamanan, (5) hukum dan (6) keagamaan. Dengan demikian, semenjak era OTDA
yang luas, daerah mempunyai porsi kewenangan yang sangat besar dibandingkan
dengan era sebelumnya. Dalam ilmu politik, pelimpahan kewenangan kepada
daerah dikenal sebagai asas otonomi daerah yang merupakan bentuk kongkrit dari
penyelenggaraan pemerintahan dengan asas desentralisasi politik (devolusi) dan
desentralisasi administratif (dekonsentrasi) (Imawan, 2007).
Adanya pelimpahan wewenang yang luas kepada daerah untuk mengelola
wilayahnya menciptakan suatu tantangan sekaligus peluang bagi pemerintah
daerah. Salah satu pemanfaatan peluang tersebut adalah melakukan pemekaran
wilayah, sehingga pada era OTDA yang luas banyak muncul daerah otonom baru
(DOB) hasil pemekaran. Kebijakan pemekaran wilayah selama sepuluh tahun
pelaksanaan otonomi daerah (tahun 1999 sampai dengan kebijakan moratorium
pemekaran tahun 2009) telah menghasilkan 205 DOB yang terdiri atas 7 provinsi,
164 kabupaten dan 34 kota (Kemendagri, 2010).
Penelitian Decentralization Support Facility (2007) menyimpulkan ada
berbagai faktor penyebab yang mendorong munculnya pemekaran, yaitu: faktor
kesejarahan, ketimpangan pembangunan, luasnya rentang kendali pelayanan
publik dan tidak terakomodasinya representasi politik. Faktor penyebab
pemekaran lainnya yang berupa penarik adalah limpahan fiskal yang berasal dari
APBN berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Penentuan DAU memperhatikan kebutuhan daerah yang tercermin dari data
jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografis dan tingkat pendapatan
masyarakat dan potensi ekonomi daerah (Salamm, 2007).
Setiap pemekaran wilayah, sebagai implementasi kebijakan otonomi daerah
yang luas, pada dasarnya membawa implikasi dan konsekuensi yang luas sebagai
akibat adanya perubahan-perubahan seperti: struktur pemerintahan, anggaran
belanja pemerintah, batas wilayah dan luas wilayah, nama daerah, pembagian
sumber penerimaan dan pendapatan daerah dengan daerah induk (Chalid, 2005).
3
Dalam hal batas wilayah, konsekuensi dari terjadinya pemekaran wilayah, antara
lain perlunya penataan kembali batas wilayah daerah otonom baik daerah induk
maupun DOB hasil pemekaran. Batas wilayah daerah otonom (provinsi dan
kabupaten/kota) di Indonesia selanjutnya disebut batas daerah.
Merujuk pada teori batas wilayah menurut Jones (1945), penataan batas
daerah dapat dimasukan dalam terminologi boundary making yang memiliki
pengertian sebagai suatu proses mewujudkan adanya garis batas wilayah
administrasi daerah otonom. Dua tahapan boundary making yang sangat penting
adalah penetapan (delimitation) dan penegasan (demarcation) (Donaldson dan
Williams, 2008). Sebagai suatu proses, boundary making memiliki karakteristik
yang sistematik dan memiliki tiga aspek yaitu aspek politik, hukum dan teknis
(geospasial) (Jones, 1945; Srebro dan Shoshany, 2013).
Penerapan azaz desentralisasi sebenarnya sudah diadopsi dalam sistem
pemerintahan daerah sejak awal kemerdekaan yaitu dengan diundangkan lima
Undang-undang (UU) tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah sebagai dasar
untuk pelimpahan kewenangan dan pembagian wilayah, yaitu: (1) UU No.1 tahun
1945, (2) UU No.22 tahun 1948, (3) UU No.1 tahun 1957, (4) UU No.18 tahun
1965 dan (5) UU No.5 tahun 1974 (Suyanto, 2007). Namun dalam lima undang-
undang tersebut kontrol pemerintah pusat masih sangat kuat sehingga otonomi
daerah hanya bersifat desentralisasi administratif belaka. Daerah tidak lebih dari
hanya kepanjangan tangan untuk melaksanakan program-program pemerintah
pusat, sementara kebijakan yang bersifat politik tetap diatur oleh pemerintah
pusat (Soeaidy, 2007). Akibat dari kewenangan daerah yang masih terbatas, maka
batas daerah yang berfungsi sebagai pemisah kewenangan antar daerah bukan
merupakan faktor determinan sehingga relatif sedikit terjadi permasalahan
(sengketa) yang terkait batas daerah (Kristiyono, 2008).
Berbeda dalam hal memaknai batas daerah pada era sebelum Reformasi,
dalam era OTDA yang luas, batas daerah merupakan salah satu faktor determinan
bagi setiap daerah, karena keberadaan garis batas menentukan batas kewenangan
pengelolaan wilayah dan kewenangan pengelolaan sumberdaya yang ada di
daerah tersebut.
4
Sebagai ilustrasi bahwa pada era OTDA yang luas batas daerah menjadi
faktor determinan, adalah merujuk pada UU No.32 tahun 2004 pasal 21 ayat (f)
yang kemudian diganti dengan UU No.23 tahun 2014 pasal 289 ayat (4), bahwa
Daerah mendapatkan dana bagi hasil (DBH) dari pengelolaan sumberdaya alam
dan sumberdaya lainnya yang berada di Daerah. Hak DBH diatur pada pasal 14
ayat (e) UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan
Daerah. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa DBH penerimaan pertambangan
minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah
dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, dibagi dengan komposisi 84,5% untuk Pemerintah dan
15,5% untuk Daerah. Demikian juga dalam hal DBH penerimaan pertambangan
gas bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan (pasal 14 ayat
f), dibagi dengan komposisi 69,5% untuk Pemerintah dan 30,5% untuk Daerah.
Berdasarkan pasal 14 UU No.33 tahun 2004 seperti diuraikan sebelumnya,
faktor alokasi DBH memicu setiap daerah menuntut kepastian posisi keberadaan
SDA yang berarti menuntut ketegasan letak batas di lapangan, sehingga ketegasan
letak batas menjadi faktor determinan yang menentukan kepastian daerah sebagai
penghasil SDA (Zainie, 2007). Secara umum, pentingnya kejelasan dan ketegasan
batas daerah adalah: (1) agar ada kejelasan cakupan wilayah dalam pengelolaan
kewenangan administrasi pemerintahan daerah, (2) untuk menghindari tumpang
tindih tata ruang daerah, (3) efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, (4)
kejelasan luas wilayah, (5) kejelasan dalam hal administrasi kependudukan, (6)
kejelasan dalam hal daftar pemilih (Pemilu, Pilkada), (7) kejelasan dalam hal
administrasi pertanahan, (8) kejelasan dalam hal perijinan pengelolaan SDA
(Subowo, 2009).
Dua tahapan penting boundary making yang dilaksanakan pada sepuluh
tahun awal era OTDA di Indonesia adalah penetapan dan penegasan batas daerah
(Subowo, 2009). Penetapan batas daerah merupakan bagian dari proses
pembentukan DOB. Salah satu proses dalam pembentukan DOB tersebut adalah
proses boundary making untuk menetapkan batas daerah yang dibentuk, sehingga
proses boundary making batas daerah di Indonesia adalah merupakan bagian dari
5
proses besar pemekaran wilayah yang berdimensi politik, hukum, ekonomi, sosial
dan teknispemetaan.
Secara praktis, dalam proses membagi-bagi permukaan bumi atas dasar
satuan politik memerlukan ketersediaan IG khususnya peta, sehingga sering
dikatakan bahwa peta merupakan infrastruktur dalam proses boundary making
(Adler, 1995). Dalam hal peta, di Indonesia sejarah pemetaan sudah berlangsung
cukup lama. Peta paling awal di Indonesia diperkirakan dibuat pada abad ke-13.
Kegiatan survei pemetaan di Indonesia pada awalnya dilakukan pada masa
kolonial Belanda yang menduduki Indonesia selama kurang lebih 350 tahun.
Setelah kemerdekaan, pada tahun 1969 didirikan lembaga Badan Koordinasi
Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) yang bertugas membangun sistem
koordinasi survei dan pemetaan di Indonesia (Ikawati dan Setiawati, 2009).
Pada awal pembentukan Bakosurtanal, baru sekitar 15 % dari wilayah
daratan Indonesia yang dibuat peta topografi skala 1: 50.000 yang terkontrol
secara geodetik dan hanya sekitar 26 % peta topografi kompilasi skala 1:100.000
dan 1:500.000, sedangkan sisanya berupa peta-peta sketsa. Dalam waktu dua dasa
warsa setelah berdirinya Bakosurtanal, kegiatan survei dan pemetaan yang
dilakukan Bakosurtanal terus berkembang seiring dengan perkembangan
teknologi geospasial (fotogrametri, satelit penginderaan jauh dan teknologi
penentuan posisi GPS) sehingga kegiatan survei pemetaan dapat dilakukan lebih
cepat, cakupan lebih luas serta skala yang lebih besar (Ikawati dan Setiawati,
2009). Sampai tahun 2008, cakupan peta rupabumi Indonesia (peta RBI) skala
1:250.000 telah mencapai seluruh wilayah Indonesia, sedangkan wilayah lain
pada umumnya sudah dipetakan pada skala 1:100.000 sampai 1:25.000 (Pusat
Pemetaan Rupabumi dan Toponimi BIG, 2013). Peta RBI yang diproduksi oleh
Bakosurtanal yang kemudian pada tahun 2011 berganti nama dimenjadi Badan
Informasi Geospasial (BIG), digunakan untuk berbagai keperluan antara lain
untuk keperluan boundary making dalam pembentukan DOB (Khafid, 2013).
Pembentukan DOB pelaksanaanya diatur dalam suatu peraturan perundang-
undangan. Dalam hal pemekaran wilayah yang didasarkan atas UU No.22 tahun
1999, pelaksanaanya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.129 tahun 2000
6
tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan
Penggabungan Daerah. Setelah UU No.22 tahun 1999 diganti dengan UU No.32
tahun 2004, maka PP No129 tahun 2000 juga diganti dengan PP No.78 tahun
2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
Kedua PP tersebut menjadi pedoman dan kerangka kerja dalam pembentukan
daerah.
Setelah DOB terbentuk dengan disahkannya Undang-undang tentang
Pembentukan Daerah (UUPD), pada setiap UUPD mengamanatkan kepada
Menteri Dalam Negeri untuk melakukan penegasan batas secara pasti di lapangan.
Untuk pelaksanaan penegasan batas daerah Menteri Dalam Negeri mengeluarkan
suatu pedoman teknis penegasan batas daerah. Pada awalnya pedoman teknis
tersebut berupa surat edaran Menteri Dalam Negeri yang ditujukan kepada
Gubernur dan Bupati/Walikota yaitu surat edaran No.126/2742/SJ tanggal 27
November 2002 tentang Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Daerah,
kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.1
tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah yang kemudian pada tahun
2012 diganti lagi dengan Permendagri No.76 tahun 2012(Subowo, 2012).
Sesuai perkembangan politik, ekonomi dan budaya masyarakat dunia
maupun lokal suatu negara dalam memaknai batas, maka sering terjadi konflik
atau sengketa terkait batas wilayah (Prescott, 2010). Di Indonesia seiring dengan
perkembangan politik otonomi daerah seperti telah diuraikan sebelumnya, banyak
terjadi sengketa batas mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota sampai desa
(Kausar, 2009). Penambahan daerah melalui pemekaran wilayah berpotensi
menimbulkan sengketa terutama akibat tidak jelasnya keberadaan batas daerah
(Harmantyo, 2007). Di samping itu, sengketa batas daerah juga dipicu karena
daerah kabupaten/kota sering menterjemahkan otonomi sebagai kewenangan
untuk menggali pendapatan daerah yang sebanyak banyaknya melalui pajak dan
retribusi serta eksploitasi SDA dengan mengabaikan kepentingan jangka panjang
dan generasi mendatang (Dwiyanto, dkk., 2003).
Sampai dengan akhir tahun 2012 tercatat ada 82 kasus sengketa batas daerah
yang belum dapat diselesaikan. Bahkan 449 segmen dari 640 segmen batas daerah
7
yang belum ditegaskan diduga memiliki potensi sengketabatas (Kemendagri,
2012). Ada empat aspek penyebab sengketa batas daerah yaitu: (1) aspek yuridis,
(2) aspek ekonomi, (3) aspek politik-pemerintahan dan (4) aspek sosio-kultural.
Permasalahan aspek yuridis adalah terkait dengan ketidaksinkronan antara UUPD
yang satu dengan lainnya, ketidaksinkronan antara batang tubuh dengan
lampirannya terutama peta lampiran pada UUPD dan permasalahan kualitas peta
sebagai infrastruktur yang digunakan dalam proses pembentukan DOB.
Permasalahan aspek ekonomi pada dasarnya adalah berkaitan dengan masalah
pembagian DAU dan DBH sumberdaya alam (kehutanan, pertambangan umum,
perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi dan
pertambangan panas bumi) (Mustofa, 2010). Kedua parameter tersebut sangat
dipengaruhi oleh letak garis batas daerah di lapangan yang menentukan kepastian
suatu daerah sebagai daerah penghasil.
Aspek ketiga penyebab sengketa batas daerah adalah aspek politik-
pemerintahan. Aspek ini berkaitan dengan sumberdaya politik di daerah yang
diperselisihkan, seperti jumlah pemilih dan perolehan suara bagi anggauta DPRD
provinsi/kabupaten/kota dan adanya duplikasi pelayanan pemerintahan, jarak ke
pusat pelayanan pemerintahan, atau keinginan suatu wilayah untuk bergabung
dengan/dilayani oleh pemerintah daerah yang berdekatan yang pada akhirnya
bermuara pada sistem keterwakilan daerah. Aspek keempat, yaitu sosio-kultural,
utamanya adalah terkait adanya persepsi di masyarakat bahwa garis batas daerah
akan memisahkan etnis dan hilangnya hak atas tanah ulayat/tanah adat, disamping
adanya permasalahan kecemburuan sosial, isu pendatang dan penduduk asli,
potensi sejarah riwayat konflik yang berkepanjangan. Ke-empat aspek
permasalahan tersebut dapat terjadi secara kombinasi antara satu aspek dengan
lainnya atau kombinasi dari keseluruhan aspek (Subowo, 2009).
Berdasarkan fakta adanya berbagai permasalahan besar pemekaran wilayah
yang timbul selama pelaksanaan otonomi daerah, pada tanggal 3 September 2009
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di dalam Sidang Paripurna DPR-RI
mengeluarkan kebijakan Moratorium (penghentian sementara) pembentukan
DOB. Sebagai tindak lanjut kebijakan tersebut, Pemerintah telah menyusun suatu
8
Desain Besar Penataan Daerah (Desartada) di Indonesia untuk tahun 2010 sampai
dengan tahun 2025. Desartada ini telah disetujui dalam Rapat Kerja antara
Pemerintah dan Komisi II DPR-RI pada tanggal 21 Sepetember 2010
(Wasistiono, dkk., 2010).
Salah satu dimensi fundamental yang digunakan dalam menyusun kerangka
pikir Desartada adalah dimensi geografis. Dimensi geografis menggambarkan
bahwa setiap daerah otonomi berdiri di atas sebuah wilayah geografis tertentu
yang memenuhi syarat, baik dilihat kejelasan cakupan wilayah dan batas-batasnya
pada saat daerah dibentuk maupun proyeksinya kedepan untuk menampung dan
mendukung aktivitas manusia yang ada di atasnya. Dimensi geografis tersebut
harus tercermin dalam suatu peta (informasi geospasial) baik peta dasar maupun
peta tematik wilayah. Untuk membentuk suatu daerah otonom provinsi, kabupaten
dan kota diperlukan syarat minimum tentang luas dan karakteristik geografis
(Wasistiono, dkk., 2010).
Salah satu tujuan kebijakan Desartada adalah merumuskan prosedur baru
bagi pembentukan daerah otonom untuk proses pembentukan DOB di masa depan
(Wasistiono, dkk., 2010). Untuk itu perlu terlebih dahulu dilakukan evaluasi
secara menyeluruh, sungguh-sungguh dan konsisten terhadap hasil-hasil
pemekaran daerah selama tahun 1999 sampai dengan tahun 2009. Dalam hal ini
melakukan evaluasi menyeluruh berarti melakukan asesmen, yaitu melakukan
taksiran yang bersifat deskriptif yang menggambarkan sesuatu secara holistik
(menyeluruh) yang digunakan untuk menyusun suatu program yang dibutuhkan
dan bersifat realistik sesuai kenyataan secara obyektif (Banta, 1996).
Salah satu aspek yang perlu dievaluasi adalah informasi geospasial karena
secara teori dan praktek, informasi geospasial (peta) merupakan infrastruktur
penting dalam boundary making dan bila ketersediaannya tidak memadai bisa
berkontribusi menjadi penyebab sengketa (Blake, 1995). Disamping itu, peta juga
merupakan bukti yang memainkan peranan penting dalam menjawab pertanyaan-
pertanyaan mengenai letak garis batas khususnya di proses peradilan (Akweenda,
1990).
9
Beberapa contoh kasus sengketa batas daerah di Indonesia yang muncul
pada era otonomi daerah yang luas yang bersumber dari peta adalah kasus
sengketa batas daerah: (1) antara Kabupaten Kediri dan Kabupaten Blitar
(Kemendagri, 2012), (2) antara Kabupaten Magelang dengan Kota Magelang
(Kristiyono, 2008), (3) antara Kabupaten Nunukan dengan Kabupaten Tana
Tidung (Kemendagri, 2012), antara Kabupaten Tebodengan Kabupaten Bungo
(Nurbardi, 2008), (4) sengketa batas antara Provinsi Jambi dengan Provinsi
Kepulauan Riau terkait kepemilikan Pulau Berhala (Sumaryo, 2012) dan sengketa
batas antara Kabupaten Kampar dan Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau di
kwasan sumur minyak Langgak (LPPM-UIR, 2014).
I.2.Perumusan masalah
Dua tahapan penting boundary making yang dilaksanakan pada sepuluh
tahun awal era OTDA di Indonesia adalah penetapan dan penegasan batas daerah.
Penetapan batas daerah merupakan bagian dari proses pembentukan DOB.
Pembentukan DOB pelaksanaanya diatur dalam PP No.129 tahun 2000
tentangPersyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan
Penggabungan Daerah yang kemudian diganti dengan PP No.78 tahun 2007
tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.
Setelah DOB dibentuk dan batas daerah ditetapkan melalui Undang-undang
Pembentukan Daerah (UUPD), Pemerintah, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri
diberi amanat oleh UUPD untuk melaksanakan penegasan batas daerah.
Pelaksanaannya berpedoman pada Permendagri No.1 tahun 2006 tentang
Pedoman Penegasan Batas Daerah.
Secara teori dan empirik, dalam proses penetapan diperlukan IG sebagai
infrastruktur untuk memilih letak dan mendefinisikan batas wilayah (Jones, 1945).
Di sisi lain, dalam teori diagnosis penyebab konflik Moore (1986) disebutkan
bahwa data/informasi dapat berkontribusi menjadi penyebab sengketa. Dalam
proses penegasan batas daerah di Indonesia, fakta yang ada menunujukkan banyak
terjadi sengketa batas daerah. Dalam hal sengketa batas, secara teori dan empirik,
10
IG dapat berkontribusi menjadi penyebab sengketa batas wilayah (Blake, 1995;
Prescott, 1987).
Berdasar permasalahan yang telah diuraikan, sangat dimungkinkan
kerangka kerja yang diatur dalam PP No.129 tahun 2000 dan PP No.78 tahun
2007 berpengaruh terhadap proses penyelenggaraan maupun kualitas hasil
penetapan. Selain itu dimungkinkan juga regulasi yang mengatur pelaksanaan
penegasan batas daerah (Permendagri No.1 tahun 2006) juga berpengaruh
terhadap pelaksanaan penegasan batas daerah. Tidak tertutup kemungkinan,
keduanya berdampak lanjutan terhadap terjadinya sengketa batas daerah.
Pertanyaan penelitian yang perlu dijawab sehubungan dengan permasalahan
penelitian tersebut adalah:
1) Apakah regulasi PP No.129 tahun 2000, PP N0.78 tahun 2007 dan
Permendagri No.1 tahun 2006 berpengaruh terhadap kerangka kerja
pelaksanaan dan hasil penetapan dan penegasan batas daerah pada
sepuluh tahun pelaksanaan otonomi daerah yang luas di Indonesia ?
2) Bagaimana kondisi IG yang ada di Indonesia dalam hal ketersediaannya
untuk mendukung penetapan batas daerah dalam pembentukan DOB pada
sepuluh tahun pelaksanaan otonomi daerah yang luas di Indonesia ?
3) Bagaimana penggunaan IG dalam proses, dan sebagai luaran (output)
dalam penetapan batas daerah pada era otonomi daerah yang lauas di
Indonesia?
4) Apakah IG berkontribusi terhadap munculnya sengketa batas daerah pada
penegasan batas daerah di era otonomi daerah yang luas di Indonesia?
Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dilakukan
identifikasi terhadap kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah,
identifikasi terhadap ketersediaan IG yang digunakan dan dihasilkan dalam proses
penetapan batas daerah, evaluasi terhadap penggunaan IG dalam proses penetapan
batas daerah dan analisis kontribusi IG dalam terjadinya sengketa batas daerah
pada sepuluh tahun era otonomi daerah di Indonesia.
11
Mengingat kompleksitas yang tinggi dalam proses boundary making batas
daerah yang terkait dengan era dan proses politik serta perkembangan informasi
geospasial, maka penelitian ini hanya difokuskan pada:
1. Era otonomi daerah dibatasi pada periode dimulainya otonomi daerah
tahun 1999 sampai dikeluarkannya kebijakan moratorium pemekaran
wilayah oleh Pemerintah dan DPR tahun 2009.
2. Obyek penelitianyang dilakukan dalam penelitian ini hanya berfokus
pada batas daerah yang secara geografis terletak di daratdengan
pertimbangan :
a. batas daerah di darat bukan batas imajiner sehingga dapat dilakukan
demarkasi di lapangan dan secara fisik dapat dipasang tanda-tanda
batas yang dapat dikenali di lapangan,
b. keberadaan batas wilayah di darat langsung bersentuhan dengan
berbagai aspek kehidupan manusia seperti sosial, ekonomi, politik,
dan budaya,
c. fakta yang ada menunjukkan bahwa sengketa batas daerah lebih
banyak terjadi pada batas daerah di darat,
d. batas laut daerah tidak dikenal sebelumnya.
3. Asesmen peran IGpada penelitian ini difokuskan kepada peta dasar yang
digunakan dalam penetapan dan peta tematik hasil penetapan yaitu peta
wilayah administrasi yang merupakan lampiran UUPD. Hal ini dilakukan
dengan mendasarkan pada pendapat Jones (1945) bahwa tahapan
delimitasi (penetapan) merupakan tahapan yang sangat krusial dan harus
disiapkan secara sungguh-sungguh karena hasilnya mempengaruhi tahap
penagasan (demarkasi).
4. Dokumen UUPD beserta peta wilayah administrasi lampiran UUPD yang
diteliti adalah UUPD yang dibentuk atas dasar PP No.129 tahun 2000
dan PP No.78 tahun 2007. Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan
bahwa kedua PP tersebut berisi berbagai persyaratan pembentukan DOB
termasuk persyaratan IG.
12
I.3. Keaslian penelitian
Untuk memberi gambaran perbedaan penelitian yang dilakukan dengan
penelitian sebelumnya, terlebih dahulu diilustrasikan hubungan antara ranah
keilmuan boundary making, geospasial, dan konflik. Hubungan tersebut dapat
digambarkan dalam bentuk tiga lingkaran yang berpotongan seperti diilustrasikan
pada Gambar 1.1. Dari perpotongan tiga lingkaran tersebut terbentuksuatu area
permasalahan yang dapat diteliti dengan berbagai pendekatan dan sudut pandang.
Gambar 1.1.Obyek penelitian pada area permasalahan dari hubungan antararanah keilmuan boundary making, geospasial dan konflik/sengketa
Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk batas daerah dan batas
wilayah internasional disajikan pada Tabel 1.1.
Boundary making
Geospasial Konflik
Penelitian sebelumnya fokus pada aspek boundary making
Penelitian sebelumnya fokus pada aspek konflik/sengketa
Area permasalahan yang dapat diteliti
Penelitian yang dilakukan fokus pada informasi geospa sial
Asesmen Peran Informasi Geospasial dalam Proses BoundaryMaking dan Sengketa Batas Daerah pada
Era Otonomi Daerah di Indonesia
13
Tabel 1.1. Penelitian batas daerah dan batas internasional
No Peneliti Tahun Judul Metode Hasil 1 Welfizar 2004 Analisis
Alternatif Kebijakan Penyelesaian Konflik Perubahan Batas Wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam.
Deskriptif Sengketa batas disebabkan adanya penolakan terhadap Peraturan Pemerintah No.84 tahun 1999 tentang Perubahan Batas Wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam namun aspirasi tersebut tidak diakomodasi oleh pemerintah.
2 Mursyi dyansah
2007 Konflik tapal batas antara Kabupaten Banjar dengan Kabupaten Tanah Bumbu di Provinsi Kalimantan Selatan.
Deskriptif dengan analisis segitiga dimensi konflik.
Faktor penyebab konflik: (1) struktural,(2) perbedaan pendapat penggunaan peta dasar sebagai acuan; (3) perubahan nilai kognitif masyarakat Dayak tentang tapal batas.
3 Kristiyo no
2008 Konflik dalam Penegasan Batas Daerah antara Kota Magelang dengan Kabupaten Magelang, Analisis Terhadap Faktor-faktor Penyebab dan Dampaknya.
Deskriptif Penyebab konflik, faktor pemicu konflik dan faktor akselator yang menyebabkan belum terwujudnya batas yang jelas dan pasti. Dampak konflik berupa dualisme kewenangan.
14
Tabel 1.1 lanjutan
No Peneliti Tahun Judul Metode Hasil 4 Siswani 2008 Problem Yuridis
Pemekaran Daerah Kabupaten Serdang Bedagai
Pendekatan yuridis empiris dan historis
Penyebab sengketa: (1) Persekutuan Masyarakat Adat Batak Timur menolak bergabung dengan kabupaten Serdang Bedagai, (2) Kabupaten Deli Serdang belum mau menyerahkan aset daerah, dana daerah serta sebagian pegawai PNS ke Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai.
5 Nurbardi 2008 Konflik Batas Wilayah di Era Otonomi Daerah dan Upaya Penyelesaiannya, Studi Kasus Konflik Batas Wilayah antara Kabupaten Tebo Dengan Kabupaten Bungo Provinsi Jambi
Deskriptif dengan pendekatan yuridis sosiologis
Penyebab konflik batas wilayah: faktor hukum dan faktor non hukum. Penyelesain hukum diusulkan melalui Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Non Hukum melalui musyawarah, kerjasama antar daerah, sosial budaya.
6 Harman tyo
2007 Pemekaran Daerah dan Konflik Keruangan, Kebijakan Otonomi Daerah dan Implementasinya di Indonesia
Komparatif dan deskriptif kualitatif
(1) Jumlah ideal DOB di Indonesia,
(2) diproyeksikan 2760 potensi konflik akibat pemekaran,
(3) garis batas darat potensial terjadi konflik keruangan.
15
Tabel 1.1. lanjutan
No. Peneliti Tahun Judul Metode Hasil
7 Al-Sayel, dkk. 2009 International Boundary Making- Three Case Studies
Deskriptif, analisis komparatif
Pada tiga kasus demarkasi batas internasional, yaitu Indonesia- Timor Leste, Nigeria- Kamerun dan Saudi- Yaman, citra satelit berperan penting untuk rekonstruksi batas pada tahap demarkasi. Dokumentasi hasil boundary making pada tiga kasus boundary making kurang sesuai standar spesifikasi ISO seperti ISO 19131 untuk standard spesifikasi produk, ISO 19115 untuk standard metadata.
8 Fatile 2011 Management of Inter and Intra States Boundary Conflicts in Nigeria an Empirical Approach
Deskriptif, pendekatan empiris
Mencatat dua instrumen utama untuk pengelolaan batas wilayah federal dan batas wilayah lokal di Negeria, yaitu: instrumen hukum dan instrumen teknis berupa hasil survei pemetaan dari kegiatan demarkasi.
9 Mahendra 2011 Harmonisasi Hukum Pengembangan Kawasan Perbatasan NKRI Berbasis Teknologi Geospasial
Deskriptif, pendekatan empiris dari aspek hukum, kelembaga an dan teknologi
(1) Perlu UU khusus yang mengatur batas wilayah NKRI,
(2) Kawasan perbatasan NKRI terlalu banyak institusi yang mengelola sehingga tidak fokus, diusulkan satu lembaga,
(3) Dalam pengelolaan perbatasan NKRI perlu berbasis teknologi geospasial.
16
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan seperti pada Tabel 1.1.
menunjukkan bahwa penelitian nomer 1 sampai dengan nomer 5 adalah penelitian
dengan obyek sengketa dan penelitian nomer 6 sampai dengan nomer 9 adalah
penelitian obyek boundary making khususnya pada tahap manajemen kawasan
perbatasan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sejauh ini penelitian yang
telah dilakukan, baik batas daerah maupun batas internasional diteliti dari sudut
pandang aspek boundary making dan sengketa dengan pendekatan deskriptif.
Penelitian yang dilakukan tersebut pada umumnya bertujuan untuk mencari
penyebab terjadinya sengketa, memetakan aktor yang berpengaruh dalam
sengketa dan kemudian menganalisis dampaknya baik terhadap pemerintah
daerah/negara yang bersengketa maupun terhadap kehidupan masyarakat di
wilayah perbatasan.
Dalam penelitian ini, kajian batas wilayah yang dilakukan adalah
mengidentifikasi, menganalisis dan mengevaluasi peran IG di dalam proses
boundary making khususnya dalam tahap penetapan dan penegasan batas daerah
pada era OTDA yang luas di Indonesia. Penelitian yang dilakukan dalam disertasi
ini sangat berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang lebih fokus pada
aspek sengketa.
I.4. Tujuan penelitian
Berdasar rumusan masalah seperti diuraikan sebelumnya, maka tujuan
penelitian ini adalah:
1) Teridentifikasi kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah
pada sepuluh tahun pelaksanaan otonomi daerah yang luas di Indonesia,
2) Teridentifikasi kondisi IG yang ada di Indonesia dalam hal
ketersediaannya untuk mendukung penetapan batas daerah dalam
pembentukan DOB,
3) Diperoleh hasil evaluasi penggunaan IG pada proses dan sebagai luaran
(output) dalam penetapan batas daerah pada era otonomi daerah yang
luas di Indonesia,
17
4) Diperoleh analisis kontribusi IG terhadap munculnya sengketa batas
daerah dalam tahap penegasan batas daerah pada era otonomi daerah
yang luas di Indonesia.
I.5. Faedah yang diharapkan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan faedah:
1) Kontribusi bagi perkembangan kajian aplikasi ilmu Geodesi dan
Geomatika dalam studi batas wilayah (boundary making) yaitu
penguatan peran dan perumusan kebutuhan informasi geospasial untuk
penetapan batas daerah otonom di Indonesia ke masa depan,
2) Kontribusi bagi perumusan desain model kerangka kerja penetapan dan
penegasan batas daerah. Hal ini terkait dengan diundangkannya UU No.
23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No.
32 tahun 2004,
3) Sebagai bahan pertimbangan penyusunan kebijakan nasional dalam
mengurangi potensi terjadinya sengketa batas daerah.
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan tentang tinjauan pustaka. Pada tinjauan pustaka
diuraikan tentang perkembangan teori boundary making batas wilayah
internasional mulai abad 19 sampai abad 20 dan relevansinya pada abad 21.
Dalam tinjauan pustaka juga diberikan gambaran peran dan kontribusi geospasial
(IG dan teknologi geospasial) dalam konteks batas wilayah. Selanjutnya ditinjau
berbagai kasus sengketa batas wilayah baik batas wilayah internasional sebagai
batas kedaulatan antar negara maupun sengketa batas daerah di Indonesia yang
merupakan batas wilayah administrasi pengelolaan otonomi pemerintahan.
II.1. Boundary making batas wilayah internasional
Dalam sub bab ini diuraikan tentang batas wilayah internasional meliputi
perkembangan teori boundary makingdan relevansi teori boundary making untuk
abad 21.
II.1.1.Perkembangan teori boundary making
Sejarah batas wilayah internasional bermula dari zaman kolonial, ketika
bangsa Eropa seperti Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda dan Perancis pada abad
ke 16 mulai melakukan alokasi dan kesepakatan terhadap pembagian wilayah
secara umum untuk menguasai wilayah yang diduduki. Pada tahap alokasi ini
dihasilkan suatu garis yang disebut sebagai garis alokasi (allocation lines) yang
menentukan lingkaran pengaruh atau ‘spheres of influence’ terhadap wilayah yang
dikuasainya (Jones, 1945). Alokasi menghasilkan overlapping area sehingga antar
negara kolonial harus melakukan kesepakatan untuk melakukan delimitasi garis
batas dan hasil delimitasi garis batas tersebut dituangkan dalam perjanjian
(treaty). Pada kemudian hari setelah negara-negara yang dijajah merdeka, garis
hasil delimitasi dalam treaty ditetapkan menjadi batas wilayah negara yang
merdeka.Hal ini sesuai dengan prinsip hukum internasional “uti possidetis juris”
bahwa wilayah untuk negara yang baru merdeka adalah mewarisi wilayah negara
19
penjajah yang berkuasa sebelumnya atas satu wilayah tertentu. Batas wilayah
negara yang sekarang ada di dunia pada dasarnya merupakan warisan garis batas
dari zaman kolonial (Caflisch, 2006). Dari pengalaman empirik praktek penentuan
batas internasional kemudian berkembang teori dasar boundary makingmoderen.
Menurut Srebro dan Shoshany (2013), teori boundary making moderen yang
digunakan dalam praktek batas internasional pada awalnya dibangun secara
berturut-turut oleh Curzon (1907) yang bukunya dipublikasikan pertama kali pada
tahun 1896, Holdich (1916), Fawcett (1918) dan McMahon (1935). Penulis
tersebut adalah orang-orang yang terlibat langsung dalam berbagai kasus
boundary making batas internasional dan kemudian mempublikasikannya.
Sebagai catatan bahwa penulis tersebut telah mengenalkan perbedaan istilah yang
sangat penting dalam tahapan boundary making yaitu perbedaan antara delimitasi
dan demarkasi. Menurut mereka delimitasi merupakan kerja persiapan untuk
mendefinisikan garis batas di dalam perjanjian dalam bentuk narasi dengan
kalimat atau dalam bentuk gambar di peta, sedangkan demarkasi merupakan
kegiatan meletakan garis batas di lapangan setelah perjanjian ditandatangani.
Menurut Donaldson dan Williams (2008), publikasi yang dilakukan oleh
Lapradelle (1928) dan Jones (1945) merupakan fase kedua perkembangan teori
boundary making. Lapradelle (1928) dalam Donaldson dan Williams (2008) dan
Srebro dan Shoshany (2013) menjelaskan bahwa boundary making meliputi tiga
tahapan, yaitu: preparation, decision dan execution. Kemudian Jones (1945)
membagi tahapan boundary making menjadi empat tahap, yaitu: (1) alokasi
(allocation),(2) delimitasi (delimitation), (3) demarkasi (demarcation) dan (4)
mengadministrasikan batas wilayah (administration). Menurut Jones (1945),
alokasi adalah keputusan politik untuk mengalokasi wilayah teritorial, delimitasi
merupakan tahap memilih dan mendefinisikan garis batas wilayah di dalam
perjanjian yang lebih dominan menyangkut aspek hukum, demarkasi adalah
memasang tanda batas di lapangan yang menyangkut aspek teknis survei
pemetaan dan administrasi adalah mengadministrasikan batas wilayah. Prescott
(1987) menyebutkan bahwa pengertian preparation, decision dan execution yang
dikemukakan oleh Lapradelle (1928) sama maknanya dengan allocation,
20
delimitation dan demarcation yang dikemukakan oleh Jones (1945). Tahapan
boundary making Jones (1945) oleh Pratt (2006) digambarkan dalam bentuk
diagram seperti disajikan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Tahapan boundary making Jones (1945) menurut Pratt (2006)
Teori lain yang lebih baru ditulis oleh Nichols (1983) dalam bukunya Tidal
Boundary Delimitation yang digunakan untuk boundary making batas wilayah
maritim. Buku ini diterbitkan oleh Department of Surveying Engineering,
University of New Brunswick, Canada tahun 1983 sebagai laporan penelitian No.
103. Menurut Nichols (1983) proses boundary making batas wilayah maritim
disebut delimitation (delimitasi). Delimitasi adalah proses mewujudkan batas
wilayah maritim bisa melalui deklarasi, perjanjian atau judicial settlement.
Kegiatannya terdiri atas tiga komponen yaitu: pendefinisian (definition), deliniasi
(delineation) dan demarkasi (demarcation). Proses delimitasi batas wilayah
maritim menurut Nichols (1983) digambarkan pada Gambar 2.2.
ALLOCATION (Alokasi)
DELIMITATION (Delimitisasi)
DEMARCATION (Demarkasi)
ADAMINISTRATION (Administrasi)
21
Gambar 2.2. Komponen-komponen delimitasi batas wilayah maritim (Nichols, 1983)
Dalam perkembangan teori boundary making batas internasional telah
terjadi evolusi yang dimulai sejak peletakan dasar-dasar teori boundary making
moderen di akhir abab 19 sampai awal abad 21. Pada era pasca kolonial
khususnya setelah Perang Dunia I dan Perang Dunia II banyak negara koloni
bangsa Eropa di Asia, Afrika dan Amerika Latin memperoleh kemerdekaan. Garis
alokasi yang telah didelimitasi warisan kolonial berubah menjadi batas
internasional (Caflisch, 2006; Pratt, 2006; Srebro dan Shoshany, 2013). Setelah
negara-negara jajahan merdeka, tahapan alokasi dianggap sudah berakhir, tetapi
dua tahap penting tetap ada sampai saat ini yaitu delimitasi dan demarkasi.
Setelah tahap demarkasi selesai dilakukan, berkembang tahap pemeliharaan
(maintenance) dan manajemen perbatasan (border management). Dalam tahap
manajemen perbatasan dikelola berbagai bidang meliputi manajemen akses,
manajemen keamanan, manajemen lingkungan, manajemen sumberdaya dan
manajemen infrastruktur, sehingga tahapan boundary making Jones (1945) pada
awal abad 21 telah berkembang seperti digambarkan pada Gambar 2.3. (Pratt,
2011).
DELIMITASI
DEFINISI DELINIASI DEMARKASI
POLITIK- HUKUM HUKUM- TEKNIS
HUKUM SURVEI
22
Gambar 2.3. Pengembangan model boundary making Jones menurut Pratt (2011)
Pada era pasca tahun 1989 terlihat fenomena munculnya negara-negara baru
di luar konteks dekolonisasi, yaitu negara baru yang dihasilkan dari pembubaran
negara federasi Uni Soviet dan Republik Federasi Sosialis Yugoslavia (SFRY).
Akibat pembubaran negara federasi tersebut maka batas wilayah administarsi pada
negara federasi berubah menjadi batas internasional melalui perjanjian (treaty)
atau kesepakatan (Kolossov, 1992).
Penerapan prinsiputi possidetis jurisdalam konteks kolonialdalam situasi
non-kolonial masih menjadi kontroversi, tetapi melakukan "upgrade" status bekas
batas administrasi internal suatu negara menjadi batas internasional dalam kasus
di wilayah SFRY dan Uni Soviet, dalam kenyataannya tetap diterima oleh
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Dalam konteks batas internasional negara
baru hasil pembubaran suatu negara federasi tersebut, secara praktek teori
boundary making Jones tetap digunakan sebagai acuan untuk melakukan
delimitasi dan demarkasi batas negara-negara baru bekas federasi. Hal ini
menunjukkan bahwa delimitasi dan demarkasi sesuai teorinya Jones tetap
ALOKASI
DELIMITASI
DEMARKASI
PEMELI
HARAAN
MANAJEMEN
AKSES, KEAMANAN, LINGKUNGAN,
SUMBERDAYA, INFRASTRUK
TUR
23
digunakan dalam melakukan "upgrade" status bekas batas administrasi internal
suatu negara menjadi batas internasional (Vadmir, 2010).
II.1.2. Relevansi teori boundary making
Dalam perkembangan aplikasi teori boundary making, teori Jones (1945)
terutama dalam hal kosa kata delimitasi dan demarkasi telah memiliki pengaruh
yang kuat dan sangat menonjol dalam praktek maupun dalam hukum
internasional. Hal ini ditandai dengan banyaknya keputusan-keputusan oleh
Mahkamah Internasional dan Resolusi PBB mengenai batas wilayah
menggunakan kosa kata delimitasi dan demarkasi. Sebagai contoh dalam
keputusan Mahkamah Internasional tahun 1962 tentang sengketa batas Thailand-
Kamboja dalam memperebutkan Candi Preah Viheardan Resolusi PBB No.687
tahun 1991 tentang pembentukan Komisi Demarkasi Irak-Kuwait (Donaldson dan
Williams, 2008).
Walaupun teori Jones (1945) telah memiliki pengaruh kuat sejak teori
tersebut dipublikasikan dan kemudian diaplikasikan dalam praktek penentuan
batas wilayah internasional, namun banyak dipertanyakan relevansi teori tersebut
untuk diaplikasikan pada abad 21 terutama terkait dengan adanya pandangan
borderless, perkembangan teknologi geospasial dan kegagalan kasus penyelesaian
sengketa batas Eritrea-Ethiopia (Donaldson dan Williams, 2008). Oleh sebab itu
Donaldson dan Williams (2008) kemudian melakukan analisis terhadap relevansi
teori boundary making Jones (1945) untuk diaplikasikan pada abad 21. Hasil
penelitian tersebut, kemudian dipublikasikan dalam artikelberjudul: Delimitation
and Demarcation: Analysing the Legacy of Stephen B Jones’s Boundary Making
dan diterbitkan dalam jurnal Geopolitik, 13:4, 676-700.
Beberapa kesimpulan hasil analisis relevansi teori Jones (1945) untuk abad
21 yang dilakukan oleh Donaldson dan Williams (2008) dapat dirangkum sebagai
berikut:
1) Tahapan delimitasi dan demarkasi merupakan tahapan yang mendasar di
dalam boundary making dan secara praktis masih digunakan sebagai
pedoman dalam penentuan batas dan penyelesaian sengketa batas di
berbagai belahan dunia. Dalam proses delimitasi, batas harus
24
didefinisikan secara tertulis dalam perjanjian bilateral sehingga delimitasi
memiliki aspek legal. Jones dengan tegas menyatakan bahwa delimitasi
merupakan proses dua tahap (two-stage process) yaitu memilih garis
batas dan mendefinisikan garis batas. Selain itu Jones juga mengingatkan
agar dalam pemilihan dan pendefinisan garis batas harus sedapat
mungkin mengurangi friksisehingga menghasilkan suatu batas yang
memberi peluang terbaik untuk dimulainya hubungan yang harmonis
antara negara yang berbatasan.
2) Sebagai suatu kerangka kerja yang sistematik, maka Jones (1945)
memberikan catatan penting, yaitu: “karena boundary making adalah
suatu proses yang berkesinambungan, mulai dari tahap awal alokasi
sampai tahapan akhir administrasi, maka kesalahan di suatu tahapan
berpengaruh pada tahapan berikutnya. Oleh sebab itu informasi yang
benar tentang daerah perbatasan harus diketahui seawal mungkin di
dalam proses boundary making”.
3) Pengertian demarkasi menurut Jones tidak sesederhana hanya mencari
lokasi untuk memasang pilar seperti yang tertulis dalam perjanjian atau
tergambar di peta, namun adalah suatu proses adaptasi dari batas yang
sudah didelimitasi dalam perjanjian ke dalam kondisi lokal di area
perbatasan. Karena itu para demarkator sebenarnya adalah sebagai
penyesuai akhir (the final adjusment) garis batas hasil delimitasi ke
kondisi realitas lapangan. Dalam proses demarkasi diperlukan ahli-ahli
teknis seperti kartografer, surveyor dan geografer yang sering disebut
demarkator. Donaldson dan Williams (2008) memberi catatan bahwa
teori boundary making yang ditulis Jones merupakan tonggak sejarah
yang sangat penting di dalam mendekatkan aspek-aspek teknis
(demarkasi) ke aspek legal (delimitasi).
4) Proses boundary making Jones (1945) pada dasarnya merupakan
kegiatan yang memiliki konsep yang bersifat kontraktual (contractual
concept), artinya bahwa antara dua negara harus sepakat terhadap suatu
25
garis batas dan tetap mempertahankan posisinya setelah terjadi
kesepakatan.
5) Pada abad 21 telah terjadi perkembangan teknologi geospasial yang
sangat pesat yang sudah berbeda dibanding pada saat teori Jones ditulis
tahun 1945. Perkembangan tersebut adalah penentuan posisi dengan
Global Positioning System (GPS), teknologi satelit untuk mendapatkan
citra (image) dengan resolusi tinggi dan teknologi komputer yang telah
membawa abad dua puluh satu ini pada era teknologi dijital. Perubahan
tersebut dapat mengubah baik peralatan maupun metode yang digunakan
dalam proses delimitasi, demarkasi maupun administrasi batas wilayah.
6) Di bagian akhir analisis yang dilakukan oleh Donaldson dan Williams
(2008) menyimpulkan bahwatahap delimitasi dan demarkasi sesuai teori
Jones (1945) tetap merupakan panduan yang ideal dalam boundary
making di masa depan dan merupakan kerangka yang sangat baik untuk
melakukan analisis terhadap sengketa batas wilayah yang diakibatkan
kesalahan dan kekurangan informasi perbatasan.Walaupun abad 21
merupakan era globalisasi khususnya dalam perdagangan dan arus
informasi yang memunculkan pandangan borderless, namun keberadaan
batas negara tetap penting untuk menandai batas kedaulatan dan hukum
suatu negara dengan negara lain.
Berdasarkan tinjauan pustaka seperti yang telah diuraikan sebelumnya,
disimpulkan ada tiga teori boundary making batas wilayah internasional yang
menonjol, yaitu teori yang dikemukakan oleh Lapradelle (1928), Jones (1945) dan
Nichols (1983). Relevansi hasil tinjauan pustaka dengan penelitian yang
dilakukan dapat diperoleh dari jawaban atas dua pertanyaan berikut ini. Pertama,
dapatkan teori boundary making batas internasional digunakan sebagai pijakan
penelitian dengan obyek peran IG dalam proses boundary making batas daerah
dan sengketa batas daerah di Indonesia?. Uraian berikut adalah untuk menjawab
pertanyaan tersebut.
26
Karakteristik boundary making pada dasarnya merupakan suatu proses yang
terkait dengan aspek poltik, hukum dan teknis. Merujuk pada Sutisna, dkk.,
(2008), perbandingan aspek politik, hukum dan teknis antara batas internasional
dan batas daerah adalah seperti uraian singkat yang disajikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1.Perbandingan aspek politik, hukum dan teknis antara batas
internasional dan batas daerah (Sutisna, dkk., 2008)
Aspek Batas internasional Batas daerah Politik Politik internasional, hubungan
antar negara, pemisah kedaulatan
Politik nasional dalam rangka desentralisasi, hubungan antar daerah, pemisah kewenangan pengelolaan administrasi wilayah
Hukum Rezim hukum internasional: uti possidetis juris, UNCLOS 1982, perjanjian antar negara
Rezim hukum nasional: UUD-1945, UU No. 32 th. 2004 kemudian diganti dengan UU No.23 th. 2014, Peraturan Pemerintah dan Permendagri
Teknis (geospasial)
Geospasial (jarak, azimuth, sudut, peta, GPS/GNSS, remote sensing, SIG)
Geospasial (jarak, azimuth, sudut, peta, GPS/GNSS, remote sensing, SIG)
Tabel 2.1 menunjukkan bahwa dalam aspek politik dan hukum terlihat jelas
ada perbedaan antara boundary making batas internasional dengan batas daerah,
namun dalam aspek teknis (geospasial) keduanya sama karena geospasial (data,
IG dan teknologi) pada dasarnya bersifat universal. Karena obyek penelitian
adalah IG, maka penulis berpendapat teori boundary making batas internasional
dapat digunakan sebagai pijakan dalam penelitian ini.
Pertanyaan yang kedua, teori boundary making menurut siapa yang dapat
digunakan? Penulis berpendapat bahwa karena obyek penelitian juga terkait
sengketa, maka teori yang dikemukakan oleh Jones (1945) dapat dipilih sebagai
pijakan dalam penelitian ini. Pemilihan tersebut didasarkan atas hasil analisis
yang telah dilakukan oleh Donaldson dan Williams (2008) yang menyebutkan
bahwa teori boundary making Jones (1945) merupakan kerangka yang baik untuk
27
melakukan analisis sengketa batas wilayah yang diakibatkan kesalahan dan
kekurangan informasi perbatasan.
II.2. IG dalam konteks batas wilayah
Boundary making pada hakekatnya merupakan proses partisi atau membagi-
bagi permukaan bumi. Permukaan bumi tersebut bisa mulai dari persil (bidang
tanah) sampai wilayah administrasi seperti desa, kecamatan, kabupaten/kota dan
provinsi, bahkan sampai wilayah kedaulatan negara. Secara praktis, proses
membagi-bagi permukaan bumi dapat dilakukan secara langsung di lapangan
dengan cara pengukuran dan dengan metode tidak langsung yang dilakukan pada
media peta (O’Leary, 2006). Kegiatan partisi permukaan bumi masuk kedalam
lingkup ilmu geodesi praktis melalui kegiatan survei dan pemetaan (surveying)
dan adjudikasi. Oleh sebab itu peran ilmu geodesi dalam bentuk kegiatan survei
pemetaan dan adjudikasi sangat penting dalam boundary making (Rais, 2002).
Kesepakatan batas wilayah internasional biasanya diwujudkan dalam suatu
dokumen traktat atau perjanjian. Secara formal dan legal,kesepakatan batas
wilayah dinyatakan dalam daftar koordinat titik-titik batas dan digambarkan
dalam dokumen yang berujud peta yang terdapat pada traktat atau perjanjian
(Blake, 1995). Karena posisi titik-titik batas merupakan hasil suatu kesepakatan
antar negara, maka kesepakatan tersebut seharusnya mencakup sistem koordinat
dan datum geodetik yang digunakan. Untuk pendefinisian koordinat titik-titik
batas tanpa menyertakan spesifikasi datum geodetik adalah sesuatu yang tidak
bisa dimaafkan (Pratt, 2006).
Dalam banyak kasus, terutama hasil perjanjian yang dilakukan di masa lalu,
koordinat titik-titik batas yang dicantumkan dalam dokumen perjanjian tidak
menyebutkan secara eksplisit datum geodetik yang digunakan dalam menentukan
koordinat titik-titik batas. Dalam penelitian Lathrop (1997), dari 147 dokumen
perjanjian batas internasional yang tersimpan di the American Society of
International Law’s Study International Maritime Boundaries, ditemukan tidak
kurang dari 55 % yang tidak menyebutkan datum geodetik yang digunakan
sebegai referensi koordinat titik-titik batas. Meskipun demikian, dalam kurun
28
waktu sepuluh tahun terakhir sebagian besar perjanjian batas maritim yang telah
ditandatangani telah menyebutkan secara spesifik datum geodetiknya, kecuali
perjanjian yang dilakukan oleh Indonesia dan Vietnam pada tahun 2003 di laut
Natuna (Pratt, 2006).
Ketidakjelasan datum geodetik batas wilayah pada saat delimitasi membawa
implikasi dalam kegiatan demarkasi dan manajemen perbatasan. Permasalahan
yang muncul akibat ketidakjelasan dan perbedaan datum geodetik adalah
pergeseran koordinat titik batas akibat adanya datum shift, perbedaan jarak antar
titik batas, efek terhadap segmen garis batas, dan efek pada kegiatan demarkasi
dan manajemen batas (Pratt, 2006; Abidin, dkk., 2005; Rimayanti dan Lukita,
2010 sertaTrismadi, 2010). Dokumen perjanjian antara Indonesia dan Singapura
untuk 6 titik batas laut teritorial tidak secara jelas mencantumkan datum geodetik
yang digunakan (Abidin, dkk, 2005). Penelitian telah dilakukan oleh Abidin, dkk.,
(2005), Rimayanti dan Lukita (2010) dalam kasus ketidakjelasan datum geodetik
pada 6 titik tersebut dengan cara melakukan perhitungan posisi 6 koordinat titik
batas pada beberapa alternatif datum yaitu Kertau 48, Kertau 68, Genuk dan
South Asia terhadap posisinya dalam datum WGS84. Hasil perhitungan
menggunakan alternatif 4 datum tersebut menunjukkan adanya pergeseran posisi
bervariasi antara 25,98 m sampai 214,7 m.
Pergeseran posisi koordinat akibat datum geodetik menyebabkan kesalahan
dalam kegiatan delimitasi garis batas di atas peta dan kesalahan dalam demarkasi
titik batas di lapangan. Kesalahan ini tentunya bisa berakibat menguntungkan atau
merugikan masing-masing pihak. Pergeseran koordinat geografis satu detik bisa
menyebakan pergeseran di lapangan sekitar 30 m. Pada daerah yang terletak pada
lintang sekitar 550 utara pergeserannya sekitar 15 m. Untuk daerah laut terbuka
pergeseran tersebut mungkin dapat diabaikan, namun pada area yang prospektif
untuk sumberdaya alam seperti minyak, gas dan mineral, sebaiknya ketelitian
koordinat disarankan 0,1 detik sehingga pergeseran titik di lapangan hanya sekitar
1,5 m (Pratt, 2006).
Selain peta dasar, IG lain yang digunakan dalam boundary making dalam 25
tahun terakhir adalah foto udara dan citra satelit. Keunggulan foto udara dan citra
29
satelit dibanding peta adalah dapat membawa para negosiator seolah-olah berada
pada kondisi nyata di lapangan dalam bernegosiasi di meja perundingan. Citra
satelit yang digunakan sebaiknya yang memiliki resolusi spasial tinggi dan
resolusi temporal yang pendeksehingga sangat membantu untuk mengenali medan
dalam proses deliniasi garis batas (Adler, 1995). Peran citra satelit dalam batas
internasional diteliti oleh Al-Sayel, dkk., (2009) dalam tiga kasus demarkasi batas
internasional yaitu batas Indonesia-Timor Leste, Nigeria- Kamerun dan Kerajaan
Arab Saudi- Republik Yaman. Berdasar tiga kasus tersebut disimpulkankan
bahwa dalam kegiatan demarkasi terhadap batas yang telah didelimitasi pada
zaman kolonial, citra satelit memainkan peran penting untuk rekonstruksi batas.
Dalam hal teknologi pengelolaan IG, Sistem Informasi Geografis (SIG)
telah banyak digunakan untuk studi teritorial dan resolusi konflik batas
internasional. Starr (2000) menggunakan SIG untuk studi pada 151 batas negara
yang terdiri atas 301 segmen batas untuk menganalisis sifat dasar batas
internasional “opportunity” dan “willingness” dikaitkan dengan konflik. Hasil
studi yang dilakukan Starr menunjukkan bahwa hubungan antara sifat dasar batas
internasional dengan konflik bersifat tidak linier. SIG misalnya telah digunakan
untuk mendokumentasikan dan menganalisis pola sistematis terjadinya
pembersihan etnis di Balkan (Starr dan Thomas, 2005).
Penggunaan SIG untuk negosiasi konflik batas yang sangat menonjol adalah
ketika dilakukan perundingan antara Serbia Bosnia dengan Kroasia/Harzegovina
di Dayton yang difasilitasi Amerika Serikat dan PBB. Selama perjanjian
perdamaian, para negosiator menggunakan peta-peta dijital dan SIG yang
disiapkan oleh the US Army Topographic Engineering Center dan the US
Defense Mapping Agency. Dalam proses perundingan digunakan lebih 100.000
lembar peta yang secara cepat didijitasi di tempat menjadi peta dijital yang
kemudian bersama data citra satelit dan Digital Elevation Model (DEM)
digunakan dalam manipulasi real time untuk melakukan buffer di segmen batas
yang kritis agar segera dapat dirundingkan dan mendapat persetujuan. Selain itu
dalam proses perundingan digunakan juga perangkat lunak visualisasi medan
menggunakan citra satelit resolusi tinggi sehingga para negosiator secara virtual
30
terbang melintasi area yang akan ditetapkan batasnya. Tuntutan kualitas produk,
kemudahan dalam pemakaian dan dukungan kecepatan dan fleksibilitas dapat
diperoleh dengan adanya teknologi digital dalam menyediakan peta, sehingga
memberikan kontribusi signifikan terhadap keberhasilan perundingan di Dayton.
Pelajaran penting dari Dayton adalah pemetaan dijital yang tunggal (satu sumber)
dan akurat membuat obyek yang dirundingkan tidak bias. Disamping itu inovasi
penggunaan SIG sebagai alat, membuat koordinasi para negosiator menjadi lebih
dekat sehingga sangat membantu untuk keberhasilan perundingan. Pelajaran
penting lain dari Dayton adalah terbentuknya kerjasama profesional antara
masyarakat survei pemetaan dengan masyarakat diplomat (Johnson, 1999).
Penggunaan analisis geospasial (SIG) dalam resolusi konflik batas wilayah
telah dilakukan oleh Sodeinde (2001) dalam penelitiannya untuk membantu
menyelesaikan konflik penegasan batas antara Nigeria dan Kamerun. Penelitian
tersebut berjudul:”Boundary Conflict Resolution through the Spatial Analysis of
Social, Commercial and Cultural Interaction of People Leaving a Long Boundary
Area” dilakukan untuk membantu menyelesaikan persoalan konflik penegasan
batas antara Negeria dan Kamerun. Analisis spasial dengan cara superimposing
tema-tema bahasa, kehidupan sosial, budaya dan perdagangan dari masyarakat
yang hidup disepanjang daerah perbatasan dan Teknik Fuzzy digunakan untuk
membantu pengambilan keputusan dalam menentukan garis demarkasi terbaik
untuk disepakati.
Dalam hal peran geospasial dalam pengelolaan perbatasan di Indonesia
Mahendra (2011) melakukan penelitian disertasi berjudul “Harmonisasi Hukum
Pengembangan Kawasan Perbatasan NKRI Berbasis Teknologi Geospasial”.
Masalah yang diteliti adalah tentang pengelolaan kawasan perbatasan NKRI yang
selama ini kurang mendapat perhatian oleh penyelenggara negara, terlalu banyak
lembaga yang mengurus sehingga tidak ada yang fokus. Permasalahan tersebut
mengakibatkan sebagian besar kawasan perbatasan NKRI dalam kondisi yang
terbelakang, utamanya dari sisi kesejahteraan, keamanan dan infrastuktur. Dalam
penelitian yang menyangkut aspek hukum, kelembagaan dan teknologi, Mahendra
(2011) menawarkan konsep pembaharuan pengembangan kawasan perbatasan
31
NKRI yang komprehensif, efektif dan efisien dan berbasis teknologi geospasial.
Konsep pembaharuan tersebut secara singkat dinamakan konsep One Regulation
One Body. One regulation yaitu satu Undang-undang wilayah NKRI dan one body
yaitu satu badan pengelola yang disebut Badan Nasional Kawasan Perbatasan-RI
(BNKP-RI). Konsep pengembangan perbatasan berbasis teknologi geospasial
bermakna bahwa perencanaan, pembangunan, pengembangan dan pengelolaan
kawasan perbatasan NKRI wajib didasarkan atas data dan informasi geospasial
yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sengketa batas wilayah internasional pada dasarnya merupakan manifestasi
tidak tuntasnya perjanjian atau terjadi ketidaksepakatan akibat tumpang tindih
klaim secara kartometrik atau adanya ketegangan militer didaerah perbatasan.
Kegagalan peran IG hasil delimitasi terjadi dalam kasus sengketa batas antara
negara Eritrea dan negara Ethiopia di Afrika yang berlangsung sejak tahun 1998
sampai tahun 2000. Untuk penyelesaian yang menyeluruh akhirnya kedua negara
sepakat membentuk Komisi Perbatasan (Eritrea-Ethiopia Boundary Commission
atau EEBC) yang ditugaskan untuk melakukan delimitasi ulang atas dasar
perjanjian tahun 1900, 1902 dan 1908. EEBC kemudian melakukan delimitasi
ulang atas dasar perjanjian 1900, 1902 dan 1908 menggunakan data terbaru
berupa foto udara resolusi tinggi dan data Digital Terrain Model (DTM) yang
akhirnya dapat menentukan 146 titik batas yang digambarkan pada peta skala
1:25.000 yang berkualitas tinggi. Namun permasalahan yang muncul adalah fihak
Ethiopia tetap menolak untuk menyetujui hasil delimitasi EEBC karena merasa
tidak dilibatkan dalam proses redelimitasi perjanjian 1900, 1902 dan 1908
(Wood, 2000).
Berdasar uraian tentang geospasial dalam konteks batas wilayah seperti
telah diuraian sebelumnya dan relevansinya dengan penelitian yang dilakukan
adalah memberi gambaran bahwa IG berperan penting dalam proses boundary
making mulai tahap alokasi, delimitasi, demakasi dan manajemen batas wilayah.
Walaupun demikian ketersediaan IG yang baik dan akurat ternyata tidak
menjamin konflik dapat segera diselesaikan selama penyebab konflik adalah
karena adanya faktor kepentingan dan struktural.
32
II.3. Kasus sengketa batas wilayah
Pada sub bab ini ditinjau berbagai kasus sengketa batas wilayah yang terjadi
yaitu sengketa batas wilayah internasional dan sengketa batas daerah di Indonesia.
a. Sengketa batas wilayah internasional
Untuk batas internasional, sengketa teritorial terjadi pada zaman kolonial
ketika para negara kolonialis berebut wilayah yang dijadikan daerah koloninya.
Setelah negara-negara jajahan merdeka, warisan garis alokasi batas wilayah yang
telah didelimitasi oleh penjajah sebelumnya dalam bentuk perjanjian (treaty),
didemarkasi oleh negara-negara yang merdeka tersebut. Sengketa posisi batas
internasional yang terjadi di berbagai tempat di belahan dunia seperti Asia,
Afrika, Amerika Latin dan Amerika Tengah pada umumnya banyak terjadi pada
saat melakukan kegiatan demarkasi batas wilayah (Caflisch, 2006). Uraian berikut
adalah berbagai kasus sengketa batas internasional yang terjadi di kawasan Asia,
Afrika, Amerika Latin dan Amerika Tengah.
Batas internasional wilayah darat Republik Indonesia (RI) dan Malaysia di
Kalimantan membentang sepanjang kurang lebih 2000 km. Batas ini merupakan
warisan batas wilayah koloni Inggris dan Belanda di Pulau Kalimantan melalui
The Boundary Convention tahun 1891 dan 1928 serta The Boundary Agreement
tahun 1915. Setelah adanya Memorandum of Understanding antara RI dan
Malaysia tahun 1975, dilakukan serangkaian kegiatan penegasan dan pemasangan
pilar-pilar batas. Dalam kegiatan penegasan batas tersebut, sampai saat ini masih
menyisakan sengketa penegasan batas yang sering disebut sebagai Outstanding
Boundary Problems (OBP). Permasalahan sengketa ini pada umumnya
disebabkan oleh adanya perbedaan interpretasi terhadap perjanjian batas warisan
Belanda-Inggris. Perbedaan interpretasi terhadap posisi titik dan garis batas pada
peta batas yang dimuat dalam lampiran perjanjian, antara lain disebabkan oleh
perbedaan kurun waktu yang cukup panjang yang hampir satu abad antara saat
perjanjian dibuat dengan saat demarkasi sehingga telah terjadi perubahan bentang
alam di lapangan (Widodo, dkk., 2004).
33
Batas wilayah internasional negara RI dengan Republik Demokrasi Timor
Leste (RDTL), merupakan warisan batas wilayah kolonial Belanda dan Portugis
di Pulau Timor. Perjanjian delimitasi batas antara Belanda dan Portugis dilakukan
pertama kali tahun 1854, selanjutnya melalui serangkaian perundingan akhirnya
delimitasi final disetujui pada tahun 1904 (Deeley, 2001).
Setelah Timor Leste merdeka melalui referendum pada tahun 1999, RI-
RDTL sepakat melakukan penegasan batas wilayah dengan dasar perjanjian tahun
1904 dan the 1914 Arbitral Award of the Permanent Court of Arbitration(Deeley,
2001). Penegasan batas wilayah negara RI dengan RDTL, diawali dengan
pertemuan ke-1 Technical Sub Committee on Border Demarcation and Regulation
(TSC-BDR) RI dan United Nations Transitional Adminstration for East Timor
(UNTAET) tahun 2001. Secara umum dapat dicapai kesepahaman dan
kesepakatan bersama terhadap aspek legal dokumen perjanjian, namun ada
beberapa segmen yang masih merupakan area yang ambiguity (Sutisna dan
Handoyo, 2004).
Delimitasi tahun 1904 yang menggunakan batas alam seperti sungai,
pengertian thalweg dan beberapa istilah dalam perjanjian seperti “climbing”,
“descending”, “through thesummits”, “passing” dan“passing through” yang
kemudian digunakan untuk demarkasi satu abad kemudian, berpotensi
menimbulkan ambigu, beda interpretasi dan sengketa, karena telah terjadi
perubahan bentang alam. Di samping itu juga ditemukan permasalahan
ketidaksesuaian batas wilayah antara yang dituliskan di dalam treaty dengan yang
digambar di peta, sebagai contoh di treaty tertulis bahwa batas wilayah mengikuti
thalweg Noel Besi tetapi di peta digambar mengikuti Nano Tuinan (Deeley, 2001;
Sutisna dan Handoyo, 2004).
Batas wilayah negara RI-Papua Nugini (PNG) adalah warisan batas wilayah
kolonial Belanda dan Inggris di pulau Irian sesuai konvensi tahun 1895, saat ini
boleh dikatakan sudah well-demarcated. Adanya perbedaan posisi titik dan garis
batas disebabkan karena perbedaan penggunaan teknologi penentuan posisi yang
digunakan. Demarkasi yang pernah dilakukan oleh Belanda dan Inggris di awal
abad 20 menggunakan metode astronomi dan di awal abad 21 penegasan untuk
34
perapatan titik-titik batas yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan PNG
menggunakan teknologi satelit GPS. Di samping itu potensi sengketa batas antara
RI dengan PNG ke depan adalah masalah perbedaan datum geodesi (Sutisna dan
Kusumo, 2008). Sengketa batas yang terjadi pada umumnya terkait dengan
manajemen perbatasan kedua negara yang menurut Prescott (1987) merupakan
sengketa fungsional. Sengketa fungsional batas wilayah RI-PNG yang sering
terjadi adalah pelanggaran batas, kriminalitas dan gangguan keamanan,
pembersihan pilar batas, pembangunan pos batas, pengibaran bendera PNG di
wilayah Indonesia dan mengaku sebagai penduduk PNG (Wardoyo dan Sri,
2004).
Di Kawasan Indochina, Thailand dan Kamboja adalah dua negara
bertetangga bekas jajahan Perancis yang memiliki batas sepanjang 798 km. Kedua
negara pada dasarnya memiliki budaya yang sama namun juga memiliki sejarah
sengketa batas yang sudah berlangsung lama (Silverman, 2011). Sengketa batas
yang paling menonjol adalah sengketa batas kedaulatan di kawasan Candi
Brahmana yang diberi nama Preah Vihear (menurut bahasa Khmer) atau Phra
Viharn (menurut bahasa Thai) yang dimulai sejak tahun 1904 dan 1907. Pada
perjanjian 1907, dilampirkan peta yang menyepakati bahwa batas kedua negara
terletak pada watershed (garis punggung bukit) Dang Raek, namun hasil
kesepakatan tersebut belum selesai ditegaskan di lapangan.
Kamboja merdeka pada tanggal 9 November 1953, setahun kemudian
pasukan Kamboja menduduki Candi Preah Vihear setelah tentara Perancis
meninggalkan daerah sengketa (Amer, 1997). Sengketa tersebut terjadi karena
Thailand mengklaim bahwa letak candi adalah di sebelah barat garis batas sesuai
peta Thailand, sementara Kamboja mengklaim bahwa Candi Preah Vihear terletak
di sebelah timur dari garis batas menurut peta lampiran perjanjian tahun 1907
(Singh, 1962). Tanggal 15 Juni 1962 International Court of Justice memutuskan
bahwa Candi Preah Vihear adalah di bawah kedaulatan Kamboja, namun
keputusan ini menyisakan masalah kedaulatan pada wilayah seluas 1,8 mil persegi
di sekitar candi sehingga mengakibatkan sengketa batas wilayah antara kedua
negara terus berlangsung (Silverman, 2011). Perang terbuka antara pasukan kedua
35
negara terjadi pada Agustus dan Oktober 2008, April 2009, Januari 2010 dan
Februari 2011. Proses penyelesaian sengketa melalui meja perundingan terus
berlangsung sampai akhir tahun 2011 (Yoosuk, 2011). Setelah bersengketa lama
dengan Thailand, Kamboja akhirnya dapat memiliki areal candi kuno Preah
Vihear karena pada tanggal 11 November 2013. Mahkamah Internasional di Den
Haag memutuskan bahwa Kamboja memiliki kedaulatan (sovereignty) atas
seluruh kawasan Preah Vihear (ICJ, 2013, www.icj-cij.org/homepage, diakses
tanggal 5 Februari 2014).
Konflik batas wilayah juga terjadi di Afrika. Di benua ini banyak terjadi
konflik dan bersifat sangat kompleks. Tipe-tipe konflik yang terjadi di Afrika
(Bujra, 2002) adalah: (1) konflik batas wilayah teritorial, (2) konflik internal suatu
negara akibat pengaruh negara lain, (3) perang sipil, (4) konflik politik dan
idiologi dan (5) konflik etnis. Konflik-konflik yang terjadi bisa menimbulkan
perang, kekerasan dan ketidakstabilan wilayah secara regional (Loisel, 2004).
Antara tahun 1884 sampai dengan tahun 1885 melalui Konferensi Berlin, bangsa-
bangsa Eropa yang menjajah Afrika membagai-bagi wilayah di Afrika secara
sewenang-wenang dengan memasang tanda-tanda buatan tanpa melibatkan bangsa
Afrika kecuali pengamat dari Afrika Selatan (Aghemelo and Ibhasebhor, 2006;
Jadesola, 2012).
Komunitas penduduk lokal bangsa Afrika biasa hidup berkelompok secara
etnis dan teritori etnis adalah teritori wilayah. Batas wilayah warisan kolonial
yang tidak berkesesuaian dengan teritori etnis, dikemudian hari menjadi sumber
konflik batas wilayah (Loisel, 2004), sehingga banyak negara-negara di Afrika
yang bertetangga berkonflik satu sama lain. Penyebab konflik dipicu berbagai hal
antara lain masalah pelintas batas, perebutan sumberdaya alam, ketidakjelasan
batas wilayah dan kesulitan mengimplementasi batas peninggalan kolonial dan
masalah etnis (Loisel, 2004; Ikome, 2012).
Di benua Afrika tercatat ada 56 kasus sengketa batas wilayah antar negara
yang melibatkan 62 negara (Jadesola, 2012). Beberapa sengketa batas wilayah
antar negara di Afrika status sampai tahun 2000 disajikan pada Tabel 2.2.
Sengketa batas wilayah yang paling menonjol adalah sengketa yang kedua antara
36
Ethiopia dengan Eritrea yang berlangsung dalam waktu dua tahun (tahun 1998
sampai dengan tahun 2000) menelan korban jiwa antara 70.000 sampai 120.000
orang tentara dan penduduk sipil (Wood, 2000).
Tabel 2.2. Konflik batas wilayah antar negara di Afrika status sampai tahun 2000 (Ikome, 2012)
No. Negara yang berkonflik
Periode, tahun No. Negara yang berkonflik Periode, tahun
1 Ethiopia dengan Somalia
1950s.d1961; 1963 s.d 1977; 1977 s.d 1978
10 Malawi dengan Tanzania
1967
2 Cameroon dengan Nigeria
1963 s.d 2002 11 Mali dengan Burkina Faso
1963; 1974 s.d 1975; 1985 s.d 1986
3 Algeria dengan Tunisia
1961 s.d 1970 12 Ghana-Upper Volta-Burkina Faso
1964 s.d 1966
4 Algeria dengan Morocco
1962 s.d 1970 13 Dahomey- Bissau- Niger
1963 s.d 1965
5 Ethiopia dengan Kenya
1963 s.d 1970 14
Kenya- Somalia 1962 s.d 1984
6 Côte d’Ivoire dengan Liberia
1960 s.d 1961 15 Tunisia dengan Libya
1990 s.d 1994
7 Mali dengan Mauritania
1960 s.d 1963 16 Equatorial Guinea-Gabon
1972
8 Chad dengan Libya
1935 s.d 1994 17 Ethiopia dengan Eritrea
1952 s.d 1992 1998 s.d 2000
9 Guinea Bissau dengan Senegal
1980 s.d 1992
Masih di benua Afrika, di Nigeria yang merupakan negara federasi, banyak
terjadi sengketa batas wilayah antar negara federal maupun antara pemerintah
lokal dalam negara federal. Kondisi tersebut menarik minat Fatile (2011)
melakukan penelitian manajemen konflik batas wilayahantar negara-negara
federal dan lokal di negara Negeria dengan topik: Management of Inter and Intra
States Boundary Conflicts in Nigeria. Dalam penelitian ini sebagai populasi studi
adalah seluruh negara bagian di negara Nigeria yang terdiri atas 36 negara bagian
(state) dan 774 pemerintah lokal (local government areas atau LGAs) dengan 450
37
kelompok etnis. Sampel penelitian dipilih wilayah Southwest Nigeria (purposive
sampling) yang terdiri atas 6 negera federal dan 137 LGAs dan jumlah
penduduknya 19,70 % dari jumlah penduduk Nigeria. Pertimbangan Southwest
Nigeria dipilih sebagai sampel penelitian adalah: (1) Southwest Nigeria
merupakan wilayah yang dihuni etnis Yoruba salah satu etnis terbesar di Nigeria,
(2) tingkat pendidikan penduduk di Southwest Nigeria relatif lebih tinggi
dibanding wilayah lain di Negeria, (3) Southwest Nigeria adalah daerah beriklim
tropis dengan curah hujan dan kelembaban tinggi sehingga merupakan daerah
penghasil berbagai komoditas tanaman penting terutama coklat.
Metodologi penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif-
deskriptif dan metode pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner, wawancara
(in-depth interview), Focus Group Discussion (FGD), analisis dokumen dan
observasi. Teknik analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif
menggunakan metode statistik-deskriptif. Hasil penelitian menyimpulkan: (1) ada
korelasi antara pembentukan negara federasiatau pemerintahan lokal (LGAs) baru
dengan terjadinya sengketa batas, dan ada kecenderungan setiap pembentukan
negara federasi maupun LGAs baru memicu terjadinya sengketa batas bahkan
konflik lebih besar bisa terjadi bila tidak segera ditangani, (2) ada korelasi antara
ketidaksepakatan pengelolaan sumberdaya yang terletak di sepanjang garis batas
yang dilakukan oleh pemerintahan di berbagai tingkatan (federal maupun lokal)
dengan terjadinya sengketa batas, (3) ada suatu korelasi antara kurangnya
perhatian terhadap kebutuhan pemetaan batas negara federal maupun lokal dengan
konflik komunal di Nigeria, (4) ada hubungan antara strategi penyelesaian
sengketa yang dilakukan oleh Komisi Nasional Perbatasan dengan keharmonisan
hubungan antar pemerintahan lokal di Nigeria.
Di Amerika Latin, sengketa batas wilayah antar negara juga tidak terlepas
dari sejarah kolonial. Negara-negara di Amerika Latin adalah koloni Spanyol dan
Portugal pada kurang lebih dua abad yang lalu. Spanyol dan Portugal mewariskan
garis-garis alokasi yang sudah didelimitasi. Sengketa batas wilayah teritorial yang
terjadi di Amerika Latin pada umumnya disebabkan karena: (1) banyak batas
wilayah antar negara hasil delimitasi peninggalan Spanyol dan Portugal yang
38
belum didemarkasi, (2) secara geopolitik adanya rebutan pengaruh antara negara-
negara besar Amerika Serikat beserta sekutunya dengan Uni Soviet pada masa
Perang Dingin terhadap negara-negara di Amerika Latin sehingga meningkatkan
ketegangan militer di kawasan tersebut (Dominguez, dkk., 2003).
Setelah perang dingin berakhir tahun 1990, beberapa negara di Amerika
Latin dengan cepat dapat menyelesaikan sengketa batas wilayah, namun beberapa
yang lain belum dapat menyelesaikan, bahkan berlanjut. Hal ini disebabkan
beberapa faktor. Faktor pertama adalah geografis. Karena Amerika Latin secara
geografis adalah daerah hujan tropis yang periodenya panjang, maka secara fisik
dan logistik menyulitkan untuk melakukan kegiatan demarkasi lapangan,
disamping itu biaya demarkasi menjadi mahal. Faktor kedua adalah peta-peta
delimitasi batas wilayah peninggalan kolonial yang tidak akurat. Faktor ketiga,
sering adanya campur tangan pemerintah Amerika Serikat untuk menghentikan
proses perundingan penyelesaian sengketa batas wilayah (Dominguez, dkk.,
2003).
Setelah merdeka dari Spanyol tahun 1821, setiap negara di Amerika Tengah
menentukan batas kedaulatan masing-masing negara mengikuti batas administrasi
kolonial Spanyol dengan mengacu doktrin “uti possidetis juris”, namun karena
penentuan batas wilayah masing-masing negara tersebut tidak dilanjutkan dengan
kegiatan demarkasi di lapangan, maka kemudian muncul sengketa batas walaupun
pada periode yang tidak terlalu lama karena pada tahun 1838 sudah berakhir.
Dalam perkembangannya, kompetisi klaim wilayah teritorial terus terjadi dan
tidak bisa dihentikan sehingga menimbulkan sengketa batas teritorial antara
negara-negara di Amerika Tengah. Salah satu sengketa yang sampai menimbulkan
perang yaitu Perang Soccer pada tahun 1969 adalah sengketa batas antara negara
El Savador dengan Honduras (Orozco, 2004).
Beberapa konflik batas wilayah yang besar yang terjadi antara negara-
negara di Amerika Tengah disajikan pada Tabel 2.3.
39
Tabel 2.3. Beberapa konflik batas wilayah yang besar yang terjadi antara negara-
negara di Amerika Tengah (Orozco, 2004)
No. Negara yang bersengketa
Tahun mulai sengketa
Tahun eskalasi sengketa menjadi konflik besar
Status
1 Guetamala dengan Honduras 1843 1928 Selesai tahun 1933
2 Costarica dengan Panama 1879 1921 Selesai tahun 1934
3 Honduras dengan El Salvador (Perang Soccer)
1910 1969 Selesai tahun 1999
4 Honduras dengan Nicaragua 1912 1957 Selesai tahun 1963
5 Costarica dengan Nicaragua 1981 1985 Selesai tahun 1985
b. Kasus sengketa batas daerah di Indonesia
Sejak era otonomi daerah, keberadaan batas daerah semakin dirasakan
penting oleh setiap daerah otonom. Ketidakjelasan posisi garis batas berpotensi
menimbulkan sengketa batas daerah. Pada tahun 2012, Kementrian Dalam Negeri
menyebutkan bahwa selama pelaksanaan kebijakan pemekaran wilayah terdapat
banyak kasus sengketa batas daerah. Menurut Subowo (2009) dan Pakpahan
(2011), sengketa batas daerah di Indonesia pada umumnya terjadi pada saat
kegiatan penegasan batas daerah. Beberapa kasus sengketa batas daerah di
berbagai wilayah di Indonesia seperti di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Maluku
telah diteliti secara akademik seperti uraian berikut.
Di Pulau Jawa sengketa batas daerah terjadi antara Kota Magelang dengan
Kabupaten Magelang. Kristiyono (2008) melakukan penelitian dengan topik
Konflik dalam Penegasan Batas Daerah antara Kota Magelang dengan Kabupaten
Magelang, analisis terhadap faktor-faktor penyebab dan dampaknya. Dalam
penelitian tersebut ditemukan bahwa faktor penyebabnya berdimensi banyak serta
saling berkaitan antara faktor yang satu dengan yang lainnya. Faktor tersebut
40
meliputi: faktor-faktor yang bersifat struktural, faktor kepentingan, hubungan
antar manusia dan konflik data/peta, yang semuanya dapat dikategorikan menjadi
faktor latar belakang, faktor pemicu konflik dan faktor akselelator. Konflik yang
terjadi menyebabkan belum terwujudnya batas yang jelas dan pasti antara kedua
daerah tersebut baik secara administratif maupun fisik, yang selanjutnya berakibat
pada timbulnya “dampak konflik” berupa terjadinya dualisme kewenangan
pemberian data yuridis atas tanah-tanah tertentu pada sebagian proses pengurusan
bukti kepemilikan hak atas tanah (sertifikat) khususnya di tingkat desa /kelurahan
yang batas wilayahnya tidak tegas.
Di Pulau Sumatera, terjadi sengketa batas daerah terjadi di beberapa daerah.
Welfizar (2004), melakukan penelitian dengan topik Analisis Alternatif Kebijakan
Penyelesaian Konflik Perubahan Batas Wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten
Agam. Hasil penelitian yang dilakukan Welfizar menyimpulkan bahwa
implementasi Peraturan Pemerintah (PP) No.84 tahun 1999 tentang Perubahan
Batas Wilayah Kota Bukit Tinggi dan Kabupaten Agam menunjukkan adanya
penolakan dari masyarakat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Agam. Welfizar
mencoba mengetahui faktor yang menyebabkan konflik batas daerah tersebut dan
mengidentifikasi alternatif kebijakan untuk penyelesainnya. Faktor yang
menyebabkan konflik batas daerah tersebut adalah tidak didengarkannya aspirasi
masyarakat oleh para pengambil keputusan. Aspirasi tersebut menuntut agar
perubahan batas wilayah disesuaikan dengan batas adat yang telah ada. Alternatif
kebijakan untuk penyelesaian batas tersebut diusulkan agar dilakukan kerja sama
antara kedua daerah, sehingga tidak ada lagi yang merasa rugi atau untung.
Penelitian terkait sengketa batas daerah di Pulau Sumatera dilakukan oleh
Siswani (2008) dengan topik Problem Yuridis Pemekaran Daerah Kabupaten
Serdang Bedagai. Kabupaten Serdang Bedagai adalah kabupaten pemekaran dari
Kabupaten Deli Serdang. Sengketa antar Kabupaten Serdang Bedagai dengan
Kabupaten Deli Serdang terkait batas wilayah disebabkan oleh tuntutan
Persekutuan Masyarakat Adat Batak Timur yang menolak bergabung dengan
kabupaten Serdang Bedagai dengan alasan jarak pelayanan ke ibu kota kabupaten
Serdang Bedagai menjadi lebih jauh. Penyebab lain karena Kabupaten Deli
41
Serdang belum mau menyerahkan aset daerah, dana daerah serta sebagian
pegawai PNS ke Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai sebagaimana ditetapkan
dalam UUPD kabupaten Serdang Bedagai. Penyelesaian sengketa batas berlarut
sampai akhirnya kelompok persekutuan masyarakat adat Batak Timur
mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Walaupun akhirnya Mahkamah
Konstitusi menolak gugatan tersebut dengan amar putusan yang antara lain
menyebutkan bahwa menurut legal standing, persekutuan masyarakat adat Batak
Timur bukan merupakan kesatuan hukum adat, sehingga tidak dapat memiliki
hak konstitusional sebagai diatur dalam UUD 1945. Selain itu alasan jarak yang
jauh dari ibu kota Kabupaten Serdang Bedagai oleh Mahkamah Konstitusi
dianggap bukan salah satu hak konstitusional.
Penelitian sengketa batas daerah yang lain di Pulau Sumatera dilakukan oleh
Nurbardi (2008) tentang konflik batas wilayah antara Kabupaten Tebo dengan
Kabupaten Bungo Provinsi Jambi dan mencari upaya penyelesainnya. Hasil
penelitiannya menyimpulkan bahwa konflik batas wilayah antara daerah
Kabupaten Tebo dengan Kabupaten Bungo dipengaruhi oleh faktor hukum dan
faktor non hukum. Konflik ini dikenal dengan “tragedi 9 September 2002”.
Kabupaten Tebo merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten induk Bungo Tebo
yang disahkan berdasarkan UUPD No.54 tahun 1999 tentangPembentukan
Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi, dan
Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi. Hingga saat ini masalah tapal
batas tersebut masih menjadi polemik yang belum terselesaikan terutama soal
pengaturan tapal batas di sepanjang 2 (dua) daerah tersebut yaitu di Desa Bebeko
dan Ala Ilir.
Penelitian terkait sengketa batas daerah di Pulau Kalimantan dilakukan oleh
Mursyidyansah (2007) mengenai konflik tapal batas antara Kabupaten Banjar
dengan Kabupaten Tanah Bumbu di Provinsi Kalimantan Selatan. Penelitian yang
dilakukan bertujuan mengetahui sebab utama konflik dan upaya penyelesaian
yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Dalam penelitian
tersebut dilakukan analisis sebab utama konflik dengan “analisa segitiga dimensi
konflik” yang melibatkan dimensi personal, struktural dan kultural. Melalui
42
analisis tersebut dapat diketahui faktor-faktor penyebab konflik, yaitu: (1) secara
struktural, karena setelah pemekaran,wilayah Kota Baru secara geografis memiliki
keterbatasan dalam pengelolaan wilayah, pengelolaan kepentingan ekonomi dan
pengelolaan sumber daya alam, dan ketidakjelasan tapal batas; (2) secara
personal, yaitu adanya perbedaan pendapat tentang penggunaan peta dasar sebagai
acuan,(3) secara kultural, yaitu adanya perubahan nilai yakni nilai kognitif yang
diyakini masyarakat Dayak tentang tapal batas.
Sengketa batas daerah di Maluku diteliti oleh Qodir dan Sulaksono (2012)
dengan topik Politik Rente dan Konflik di Daerah Pemekaran Kasus Maluku
Utara mencari faktor-faktor penyebab terjadinya konflik, aktor-aktor yang
bermain dalam konflik dan dampak yang timbul akibat konflik yang terjadi di
daerah pemekaran Maluku Utara. Dalam penelitian ini Qodir dan Sulaksono
mengajukan rumusan masalah penelitian: “Bagaimanakah peta konflik sosial,
budaya, politik dan ekonomi daerah pemekaran di Maluku Utara dan pengaruhnya
terhadap pemekaran karena unsur paling penting dari pemekaran adalah
mendekatkan pelayanan publik, yang telah berlangsung sejak tahun 1999?”. Hasil
penelitian Qodir dan Sulaksono menyimpulkan adanya peran politisi lokal yang
kalah dalam pemilihan kepala daerah sering menghembuskan persoalan konflik di
daerah dengan menyatakan terjadi money politics atau buruknya pelayanan publik
sehingga butuh pemerintahan yang bersih dan efektif sehingga daerah perlu
dimekarkan. Pemikiran sebagian elit lokal adalah bagaimana sebuah daerah mekar
dahulu, kemudian dilakukanalokasi wilayah daerah yang dimekarkan, ditentukan
calon lokasi ibukota dan menentukan siapa yang menjadi pejabat di suatu daerah.
Penelitian sengketa batas daerah di berbagai daerah di Indonesia yang telah
dilakukan, kajiannya lebih berfokus pada mencari penyebab sengketa, memetakan
aktor sengketa dan dampak sengketa terhadap pelayanan publik. Walaupun ada
penelitian yang menemukan bahwa salah satu faktor penyebab sengketa adalah
data/IG, namun tidak dikaji lebih mendalam tentang aspek IG tersebut. Hal ini
bisa difahami karena latar belakang disiplin ilmu para peneliti adalah ilmu sosial
(politik dan hukum).
43
Berdasar tinjauan pustaka tentang konflik/sengketa batas internasional
disimpulkan bahwa sengketa terjadi karena tahap demarkasi baru dilaksanakan
beberapa lama setelah tahap delimitasi. Delimitasi batas yang dilakukan oleh
negara kolonial pada abad ke 19 di negara-negara jajahannya di Afrika, Asia
maupun Amerika Latin pada umumnya baru didemarkasi pada abad ke 20 setelah
negara-negara tersebut merdeka. Hal tersebut menyebabkan: (1) garis batas hasil
delimitasi yang digambarkan pada peta lampiran perjanjian, menimbulkan
permasalahan yang serius dalam interpretasi fitur-fitur peta lama bila dicocokan
dengan kondisi saat demarkasi, (2) deskripsi batas secara verbal dalam perjanjian
tidak sesuai lagi bila digunakan untuk demarkasi, karena deskripsi verbal batas
didasarkan atas fitur-fitur geografis pada saat delimitasi dilakukan dan ketika
demarkasi dilakukan beberapa puluh tahun kemudian, fitur-fitur tersebutbaik fitur
buatan maupun alam telah banyak terjadi perubahan, (3) terdapat kontradiksi
antara definisi batas yang dideskripsikan secara verbal dengan batas yang
digambarkan di peta, atau kontradiksi dalam hal nama-nama geografis (toponim)
di dalam teks perjanjian dan di peta.
Untuk sengketa batas daerah, kondisinya hampir sama dengan sengketa
batas internasional, yaitu sengketa batas daerah terjadi karena demarkasi batas
daerah baru dilaksanakan beberapa lama setelah tahap delimitasi dilakukan.
Dalam kondisi peta batas hasil delimitasi tidak tersedia atau tersedia tapi
kondisinya tidak memenuhi syarat untuk demarkasi sehingga mengakibatkan
sengketa posisional garis batas daerah. Relevansi dari tinjuan pustaka kasus
sengketa batas wilayah dengan penelitian yang dilakukan adalah mendapat
gambaran empirik bahwa IG dapat berkontribusi terhadap terjadinya sengketa
batas daerah.
44
BAB III
LANDASAN TEORI
Uraian bab ini diawali dengan pengertian batas wilayah internasional dan
batas daerah, kemudian uraian tentang tiga teori penting sebagai dasar penelitian
yaitu teori boundary making Jones (1945), geospasial dan teori konflik/sengketa.
Selanjutnya itu dijelaskan juga pengertian asesmen.
III.1.Batas wilayah
Sejarah keberadaan batas wilayah sebenarnya telah berkembang seiring
dengan perkembangan peradaban manusia. Pada zaman manusia hidup dari
berburu, manusia sudah menetapkan batas wilayah perburuannya. Ketika manusia
mulai hidup dengan bercocok tanam secara menetap, manusia mulai menetapkan
batas-batas bidang tanah yang menjadi wilayah garapannya. Catatan sejarah yang
ada menunjukkan bahwa Herodotus, seorang bangsa Mesir yang hidup pada tahun
1400 Sebelum Masehi ditugaskan untuk melakukan pengukuran batas-batas
bidang tanah untuk keperluan pajak (Ghilani dan Wolf, 2007).
Dalam studi tentang batas wilayah dan perbatasan, menurut Rankin dan
Schofield (2004) serta Pratt (2011) ada dua kosa kata yang memiliki perbedaan
penting yaitu batas wilayah (boundary) dan wilayah perbatasan (border).Dalam
istilah bahasa Inggris, boundary pada umumnya dimaknai sebagai suatu garis
yang memisahkan wilayah teritorial antara dua negara baik di darat maupun di
laut, sedangkan border dimaknai sebagai suatu area perlintasan untuk masuk ke
atau keluar dari suatu negara. Ada kalanya makna boundary dan border bisa
berimpit, tetapi secara umum bila berbicara tentang border selalu dimaknai
sebagai suatu kawasan (area) yang dalamnya berhubungan dengan infrastruktur
(jalan, dermaga dan bandara), imigrasi, karantina, pos penjagaan keamanan dan
fasilitas bea cukai. Dalam kasus internasional, pengertian border untuk pelabuhan
laut dan bandar udara bisa terletak puluhan bahkan ratusan kilometer dari
boundary (garis batas) negara yang bersangkutan (Pratt, 2011).
45
Dalam disertasi ini, pengertian boundary adalah sebagai garis batas wilayah.
Terkait dengan pengertian tersebut, istilah boundary making memiliki pengertian
sebagai suatu proses dalam mewujudkan adanya garis batas wilayah yang
memisahkan kedaulatan suatu negara atau memisahkan wilayah administrasi
pemerintahan di suatu negara (Pratt, 2011). Sebagai suatu proses, boundary
making memiliki dua ciri yang khas, pertama merupakan proses yang melibatkan
tiga aspek yaitu politik, hukum dan teknis (geospasial). Kedua, boundary making
merupakan suatu proses yang dalam tahapannya bersifat sistematis (Donaldson
dan Williams, 2008).
Konsep tentang batas wilayah tidak terlepas dari konsep tentang wilayah itu
sendiri. Istilah wilayah mengacu pada unit spasial dengan batas-batas tertentu
yang komponen-komponen dalamnya memiliki keterkaitan dan hubungan
fungsional satu dengan lainnya (Rustiadi, dkk., 2011). Konsep wilayah yang
paling klasik mengacu pada tipologi wilayah, yang membagi wilayah ke dalam
tiga kategori yaitu wilayah homogen (uniform), wilayah nodal atau fungsional dan
wilayah perencanaan (Hagget, dkk., 1977). Salah satu konsep wilayah nodal
adalah yang dikemukakan oleh Blair (1991) yaitu konsep wilayah fungsional
administratif. Pewilayahan konsep wilayah fungsional administratif dilakukan
dengan merujuk kepada satuan politik administrasi di atas permukaan bumi
sebagai unit-unit wilayah dalam berbagai tingkatan mulai dari wilayah negara,
provinsi (province), kabupaten (district), kota (municipality), kecamatan dan desa
(Rustiadi, dkk., 2011).
Di Indonesia, pembagian wilayah fungsional dilakukan dengan mengacu
pada peraturan perundangan mulai dari UUD-1945 sampai peraturan perundangan
di bawahnya. Satuan politik administrasi pemerintahan dimulai dari wilayah
NKRI sebagai wilayah kedaulatan dan hak berdaulat (UU No.43 tahun 2008
tentang Wilayah Negara). Selanjutnya wilayah NKRI dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota yang mempunyai
pemerintahan daerahmasing-masing. Daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota
merupakan daerah otonom yang dibentuk dengan undang-undang. Atas dasar
konsep pewilayahan tersebut maka pengertian batas wilayah meliputi batas
46
wilayah negara dan batas wilayah daerah otonom. Dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri No.1 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah yang
kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.76 tahun 2012,
yang dimaksud dengan batas daerah adalah batas wilayah daerah provinsi
dan/atau batas wilayah daerah kabupaten/kota sebagai daerah otonom yang
selanjutnya hanya disebut batas daerah.
Dalam disertasi ini, istilah batas wilayah digunakan untuk pengertian batas
wilayah secara umum atau batas wilayah negara, sedangkan istilah batas daerah
digunakan untuk batas wilayah administrasi pemerintahan antar daerah provinsi
dan/atau antar daerah kabupaten/kota. Batas daerah meliputi batas daerah di darat
dan batas daerah di laut. Mengacu kepada Permendagri No.76 tahun 2012, batas
daerah di darat didefinisikan sebagai pembatas wilayah administrasi pemerintahan
antar daerah yang diwujudkan dalam rangkaian titik-titik koordinat sebagai
representasi tanda-tanda alam seperti igir/punggung gunung/pegunungan
(watershed), median sungai dan/atau unsur buatan di lapangan (seperti jalan,
pemukiman, pelabuhan) yang tertuang dalam bentuk peta. Batas daerah di laut
didefinisikan sebagai pembatas kewenangan pengelolaan sumberdaya di laut
untuk daerah yang bersangkutan dalam bentuk rangkaian titik-titik koordinat
diukur dari garis pantai.
III.2. Teori boundary making
Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa teori boundary making dari
Jones (1945) dipilih sebagai pijakan dalam penelitian ini. Oleh sebab itu secara
lebih rinci diuraikan sistematika tahapan boundary making Jones tersebut.
Tahapan delimitasi dan demarkasi menurut Jones diilustrasikan pada Gambar 3.1,
sedangkan tahapan administrasi diilustrasikan pada Gambar 3.3. Selain itu
diuraikan juga model kerangka kerja dan karakteristik boundary making Jones.
47
Gambar 3.1: Diagram tahapan kegiatan delimitasi dan demarkasi Jones (dirangkum dari: Jones, 1945; Adler, 1995; Al-Sayel, dkk., 2009)
IG sebagai masukan yang harus diperhatikan
PETA DASAR/ PETA LAINNYA
PENINJAUAN LAPANGAN
FOTO UDARA/CITRA
Memilih dan mendefinisikan batas
Perjanjian delimitasi batas
PENYELESAIAN SENGKETA
Mediasi, inquiry, konsiliasi, Mahkamah
Internasional atau Arbitrase
Pedoman untuk demarkasi
Pekerjaan Laboratorium Pekerjaan Lapangan
Logistik
Monumen tasi dan deskripsi titik batas
Kartografi dan Peta batas
Hitungan koordinat
Fotogrametri/ pengolahan citra
Pengukuran dan penentuan
posisi titik batas
ALOKASI
Setuju
Tidak setuju
Survey demarkasi bersama
Tidak setuju
hukum
Outstanding Boundary Problems (OBP)
Tidak setuju
Re-survei Setuju
Pilihan penyelesaian teknis
BASIS DATA
Pembentukan Komite Demarkasi bersama
Demarcation agreement
Negosiasi
48
III.2.1. Tahapan boundary making
Penjelasan tahapan kegiatan alokasi, delimitasi, demarkasi (Gambar 3.1)
dan administrasi (Gambar 3.3) pada boundary makingmenurut Jones adalah
sebagai berikut:
1. Alokasi.
Alokasi adalah tahap proses politik untuk menentukan pembagian wilayah
teritorial antara dua negara (Jones, 1945). Pada zaman kolonialisasi, dua negara
tersebut adalah dua negara kolonial, dalam hal ini setiap negara kolonial yang
menguasai wilayah tertentu harus mencapai kesepakatan terhadap pembagian
wilayah secara umum dengan negara lain. Pada tahap alokasi ini dihasilkan suatu
garis yang menurut Caflisch (2006) disebut sebagai garis alokasi (allocation lines)
yang menentukan lingkaran pengaruh atau spheres of influence terhadap wilayah
yang dikuasainya.Tahap ini tentu saja melibatkan proses keputusan politik dan
kepentingan antara negara kolonial yang tidak mudah, bahkan sering harus
melalui peperangan.
Setelah terjadi kesepakatan alokasi wilayah, selanjutnya diantara negara kolonial
biasanya melakukan kesepakatan tertulis dalam bentuk perjanjian (treaty). Pada
zaman moderen, alokasi biasanya menghasilkan kompromi pembagaian wilayah
antara dua negara yang berbatasan (Srebro dan Shoshany, 2013).
Garis alokasi didefinisikan dengan beberapa cara. Pertama, didefinisikan
atas dasar batas yang melekat kepada batas yang sudah ada, misalnya batas
wilayah suku atau batas wilayah desa atau garis sepanjang suatu punggung bukit.
Kedua, garis alokasi didasarkan atas batas wilayah administratif atau batas
internasioanl yang sudah ada. Ketiga, garis alokasi menggunakan kenampakan
geografis alami seperti sungai, danau, selat, rangkaian pegunungan (ke-empat,
garis alokasi didasarkan atas metode geometris seperti yang dilakukan pada
zaman kolonial yaitu menggunakan garis lintang atau garis bujur astronomi
(Srebrodan Shoshany, 2013).
2. Delimitasi.
Delimitasi adalah tahap setelah alokasi.Definisi tentang delimitasi
dikemukakan pertama kali oleh McMohan tahun 1896, yaitu mendefiniskan batas
49
suatu negara yang dilakukan dengan narasi yang dituliskan di kertas atau
digambarkan di peta (Srebrodan Shoshany, 2013). Definisi delimitasi yang lain
dikemukakan oleh Curzon tahun 1907 (Srebrodan Shoshany, 2013), yaitu:
delimitasi adalah seluruh proses pendahuluan untuk menentukan dan mewujudkan
batas di dalam perjanjian (treaty). Dua kegiatan penting dan mendasar dalam
delimitasi batas yaitu memilih letak garis batas dan mendefinisikan titik-titik batas
secara presisi dalam perjanjian atau dokumen formal lainya seperti peta dan/atau
koordinat (Jones, 1945; Donaldson dan Williams, 2008). Pemilihan letak garis
batas biasanya merupakan kompromi antara pertimbangan geografis dengan
kepentingan politik, sedangkan mendefinisikan garis batas merupakan suatu
proses yang sepenuhnya bersifat teknis (Jones, 1945). Proses ini terdiri atas
penentuan posisi titik-titik batas secara teliti dan kemudian menarik garis yang
menghubungkan titik-titik batas tersebut di peta.
Sebagai implementasi dari tahapan alokasi, tahap delimitasi merupakan
tahapan yang sangat kompleks, karena selain aspek politik, juga mencakup aspek
hukum dan aspek teknis pemetaan. Pada tahap delimitasi diperlukan ahli hukum
(lawyer) untuk menterjemahkan dan menginterpretasikan pembagian wilayah
yang sudah dituangkan dalam proses alokasi menjadi pembagian yang lebih teliti
lagi. Selain itu untuk menentukan posisi titik dan garis yang teliti dibutuhkan ahli
teknis seperti kartografer, surveyor geodesi atau geografer (Adler, 1995).
Kesalahan serius bisa terjadi pada tahap delimitasi yaitu ketika memilih
letak yang tidak sesuai atau mendefinisikan batas dengan tidak benar pada lokasi
yang sudah sesuai. Kesalahan-kesalahan tersebut bisa disebabkan hal-hal sebagai
berikut: (a) tidak mengenali lokasi perbatasan yang dipilih, (b) tidak mengenali
dengan baik kekhasan kenampakan geografis yang ada di lokasi perbatasan yang
dipilih baik dari aspek alamiah maupun manusianya, (c) kurangnya pengetahuan
cara mendefinisikan batas serta kesulitan-kesulitan di dalam mendefinisikan batas
(Jones, 1945). Pada tahap delimitasi, walaupun sudah ada kesepakatan garis
alokasi secara umum, namun tetap dilakukan negosiasi untuk mencapai
kesepakatan tentang letak garis batas scara lebih pasti yang dituliskan dalam
perjanjian dan digambarkan di peta. Pada tahap ini dimungkinkan terjadi sengketa
50
dalam memilih letak garis batas. Pemilihan dan pendefinisian batas diperlukan IG
sebagai infrastruktur. IG itu berupa petadasar. Sesuai dengan perkembangan
teknologi geospasial saat ini, maka IG tersebut juga bisa dilengkapi dengan foto
udara atau citra satelit (image).
Dalam hal metode delimitasi batasada dua metode yang sangat umum
digunakan yaitu; (1) metode turning pointsdan (2) metode natural features yang
menggunakan fenomena alam seperti sungai dan watershed (punggung bukit).
Pendefinisian garis batas dengan metode turning points adalah metode yang
sangat logis karena setiap garis dapat didefinisikan dengan segmen dan panjang
segmen bisa bervariasi tergantung bentuk garisnya (Adler, 2000; Jones, 1945).
Pada metode ini yang perlu didefinisikan lebih dahulu dengan akurat adalah titik-
titik batasnya, kemudian garis batas didefinisikan dengan cara menghubungkan
dua titik batas yang telah didefinisikan tersebut dengan garis lurus (lihat Gambar
3.2). Pemilihan turning points harus dilakukan sehingga setiap segmen dapat di
“stake out” di lapangan dan intervisibility antar turning points secara teknis tidak
terlalu panjang, tetapi menguntungkan dalam kegiatan administrasi batas
dikemudian hari.
Gambar 3.2. Metode turning points (Jones, 1945)
Turning points dipilih pada titik-titik yang mudah dikenali baik di peta
maupun di lapangan. Kalau turning points dipilih hanya pada kenampakan yang
mudah dikenali di peta, tetapi sulit dikenali di lapangan maka menyulitkan ketika
dilakukan demarkasi. Turning points didefinisikan dengan koordinat geografis
1
2
3
1,2,3 :turning points
23 : seksi (segmen)
51
(lintang dan bujur) dengan referensi datum yang jelas dan pasti. Ketidakpastian
dan ketidakjelasan datum yang digunakan dalam mendefinisikan koordinat
turning points menjadi masalah dikemudian hari terutama pada tahap demarkasi.
3. Demarkasi.
Setelah penentuan titik dan garis batas di peta dalam tahap delimitasi,
selanjutnya dilakukan proses demarkasi. Demarkasi adalah menentukan posisi
titik dan garis batas yang sesungguhnya di lapangan. Titik-titik batas yang sudah
disepakati dalam proses delimitasi ditransformasi ke lapangan dan secara fisik
ditandai dengan pembangunan tugu atau pilar batas, pos jaga, tembok atau
fasilitas lainnya (Jones, 1945). Demarkasi ini dilakukan secara bersama antara
negara yang berbatasan yang dilakukan oleh Komite Teknis Survei Demarkasi
untuk menentukan koordinat titik batas melalui aktivitas survei pengukuran dan
pemetaan menggunakan teknologi, peralatan dan metode yang memadai. Dalam
survei lapangan, peran surveyor geodesi sangatlah vital agar dihasilkan titik-titik
dengan koordinat yang akurat. Selain itu, penggunaan teknologi serta pendekatan
ilmiah yang memadai perlu dilakukan untuk memperoleh posisi titik-titik batas
yang akurat dan presisi.
4. Administrasi.
Proses panjang boundary making yang dimulai dari negosiasi oleh para
arsitek batas (the boundary architecs), dilanjutkan dengan delimitasi yang
hasilnya antara lain berupa peta kesepakatan batas wilayah sebagai lampiran
treaty, kemudian dilakukan demarkasi oleh ”the boundary engineers”. Proses
panjang tersebut merupakan kulminasi dari proses politik, hukum dan teknis
survei pemetaan. Output dari proses delimitasi dan demarkasi adalah dokumen-
dokumen yang bersifat statis dan dinamis yang penting diadministrasikan untuk
keperluan masa datang, sehingga tahapan berikutnya adalah administrasi batas
wilayah. Tahapan administrasi batas wilayah disajikan pada Gambar 3.3.
52
Gambar 3.3. Tahapan administrasi pada teori Jones (dirangkum dari: Jones, 1945; Adler, 1995; Al-Sayel, dkk., 2009)
Pada tahapan administrasi ini, aktivitas pemeliharaan titik-titik batas
dilakukan oleh masing-masing negara bertetangga yang dipisahkan oleh garis
batas tersebut.Pada tahap administrasi lebih ditekankan pada mengadministrasikan
dokumen statik dari kegiatan sebelumnya serta pemeliharaan titik-titik batas hasil
demarkasi agar tidak rusak atau berpindah posisinya (dokumen dinamik). Sesuai
perkembangan teknologi informasi maka SIG digunakan sebagai alat untuk
pemeliharaan dan pembaharuan basis data wilayah perbatasan.
III.2.2. Model kerangka kerja boundary making
Model kerangka kerja boundary making batas internasional dapat
dikelompokan menjadi dua yaitu model kerangka kerja yang bersifat politis dan
yang bersifat profesional. Secara umum model kerangka kerja boundary making
meliputi tiga tahap yaitu: (1) negosiasi, termasuk di dalamnya alokasi garis batas,
(2) perjanjian (treaty) atau kesepakatan (agreement) serta delimitasi dan
ADMINISTRASI
Dokumentasi (statik)
Pemeliharaan (dinamik)
Laporan Pemetaan
Administrasi SIG (alat) updating
Securing your knowledge
Lampiran perjanjian
BASIS DATA
53
demarkasi garis batas, (3) administrasi yang di dalamnya termasuk kegiatan
pemeliharaan garis batas. Dalam implementasinya, model kerangka kerja untuk
tahapan yang bersifat politis dan kerangka kerja yang bersifat profesional
digambarkan seperti pada Gambar 3.4. (Srebro dan Shoshany, 2013).
Gambar 3.4. Model kerangka kerja boundary making batas internasional (Srebro dan Shoshany, 2013)
Model kerangka kerja mencakup semua tahapan proses boundary making
meliputi komponen dan kegiatan yang harus dimasukkan dalam proses, termasuk
teknologi yang dianjurkan untuk digunakan sesuai perkembangan teknologi yang
ada. Model kerangka kerja boundary making pada Gambar 3.4. tidak selalu
mencerminkan tahapan yang linear berkesinambungan mulai dari alokasi,
Kerangka kerja yang bersifat politis Kerangka kerja profesional
ALOKASI
PERJANJIAN (TREATY)
ADMINISTRASI PERBATASAN
(frontier administration)
PEKERJAAN PERSIAPAN
DELIMITASI
DOKUMENTASI BATAS BERSAMA
(joint boundary documentation)
PEMELIHARAAN GARIS BATAS
(boundary line maintenance)
DEMARKASI
optional final delimitation
54
delimitasi, kesepakatan perjanjian, demarkasi, dokumnetasi dan pemeliharaan,
namun dapat saja terjadi non-linear.
Proses linear dicirikan adanya hubungan dan kerjasama yang proporsional
antara politisi/negarawan dan tenaga ahli profesional (hukum dan teknis
pemetaan). Alokasi adalah tugas politisi/negarawan tetapi diperlukan bantuan
persiapan teknis dari para ahli profesional. Perjanjian dihasilkan oleh
politisi/negarawan, namun di dalamnya berisi hasil-hasil delimitasi batas yang
merupakan kerja yang dilakukan oleh ahli profesional pemetaan. Demarkasi dan
dokumentasi hasil-hasilnya merupakan kerja profesional survei pemetaan, namun
harus disahkan oleh politisi/negarawan. Administrasi merupakan tanggung jawab
dari politisi/negarawan, di dalamnya termasuk kegiatan pemeliharaan garis batas
yang menjadi tanggung jawab ahli pemetaan (surveyor) (Srebro dan Shoshany,
2013).
Proses non-linear kerangka kerja batas internasional sering dilakukan
terutama pada zaman kolonial, ketika pengetahuan tentang kondisi IG di area
yang dilakukan delimitasi masih sangat terbatas. bahkan kadang belum tersedia,
sehingga proses boundary making dilakukan secara iteratif. Pada umumnya
daerah koloni adalah daerah yang remote dari negara kolonial dan teknologi
geospasial pada era kolonialisasi belum berkembang seperti pada abad 21 ini
(pasca era kolonial). Pada zaman kolonial, delimitasi awal dilakukan sesuai
dengan hasil alokasi yang dilakukan oleh para politisi dengan bantuan IG
seadanya. Oleh sebab itu sering dilakukan delimitasi menggunakan garis lintang
atau bujur astronomi yang dipandang lebih mudah untuk ditegaskan di lapangan.
Selanjutnya, ketika dilakukan demarkasi terhadap delimitasi awal, tim demarkasi
(surveyor) diberi wewenang untuk melakukan perubahan terhadap garis batas
dengan memperhatikan kondisi lapangan sesuai kondisi geografis atau kondisi
etnografis. Hasil demarkasi yang dilakukan oleh surveyor tersebut selanjutnya
dimasukan ke dalam bagian perjanjian yang disusun oleh politis/negarawan
sebagai dokumen legal (Srebro dan Shoshany, 2013).
Sebagai contoh model boundary makingnon-linear adalah batas antara
koloni Inggris dan Belanda di Pulau Papua. Garis alokasi atas Pulau Papua antara
55
Inggris dan Belanda pada tahun 1895 oleh para politisi/negarawan digunakan
garis bujur 1410 BT (Bujur Timur). Garis bujur 1410 BT oleh para profesional
digunakan sebagi delimitasi awal. Selanjutnya dilakukan demarkasi oleh
profesional masing-masing pihak menggunakan metode astronomi geodesi,
didapat perbedaan ukuran di lapangan antara pihak Belanda dan Inggris sebesar
398 m. Kemudian oleh para profesional disepakati bahwa letak garis bujur 1410
BT adalah di pusat perbedaan tersebut. Namun ketika garis bujur yang disepakti
tersebut akan dipasang di lapangan, ditemukan lagi bahwa posisi baru ini tidak
cocok untuk pendirian tugu/pilar, maka setelah konferensi lanjutan ditetapkan
sebuah lokasi lain. Lokasi tersebut karena alasan kepentingan praktis diletakan
pada jarak sekitar 31 m di sebelah barat posisi hasil pembagian perbedaan jarak
tersebut. Pada posisi titik batas terakhir yang disepakati profesional tersebut
kemudian dipasang tugu batas yang akhirnya disepakati oleh para
politisi/negarawan kedua belah pihak dan dimasukan kedalam perjanjian antara
Inggris dan Belanda tahun 1934 sebagai titik batas yang berlaku selamanya
(Sumaryo, 2010).
Kerangka kerja boundary making menurut Donaldson dan Williams, (2008)
adalah mengikuti pendekatan sistematik. Menurut Srebro dan Shoshany (2013)
proses boundary making mengikuti model yang disebut metode yang sistematik
(systematic methodological)yang dikembangkan berdasarkan atas pengalaman
kasus-kasus batas wilayah yang terjadi di dunia. Model tersebut diawali dari tahap
persiapan, delimitasi, demarkasi dan pemeliharaa. Dalam model tersebut
diperlukan kerja profesional mulai dari awal sampai akhir. Pada tahap
pemeliharaan terlebih dahulu perlu diperhatikan dokumentasi batas wilayah.
Aspek teknis geodesi perlu diperhatian dengan baik sebelum dimulai tahap
delimitasi dan perjanjian.
Ketidakjelasan garis batas dalam tahap alokasi mengakibatkan masalah
dalam tahap delimitasi dan akibat selanjutnya perjanjian menjadi tertunda. Jika
pendefinisian garis batas dalam tahap delimitasi tidak mencukupi kebutuhan yang
digunakan sebagai pedoman pada tahap demarkasi, maka konflik bisa terjadi
sebelum atau selama kegiatan demarkasi. Jika demarkasi tidak didokumentasikan
56
dengan baik dan satu sama lain tidak sepakat, maka hal tersebut bisa
menyebabkan konflik bahkan perang antar negara di kemudian hari.
III.2.3. Karakteristik boundary making
Berdasar telaah teori dan pustaka seperti telah diuraikan sebelumnya (Jones,
1945; Adler, 1995, 2000; Donaldson dan Williams, 2008; Srebro dan Shoshany,
2013), boundary making memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Boundary making memiliki tiga aspek yaitu: politik, hukum dan teknis
(Geospasial) seperti diilustrasikan pada Gambar 3.5.
Gambar 3.5. Aspek politik, hukum dan teknis (geospasial) dalam boundary
making
2. Boundary making memiliki kerangka kerja yang tahapannya terdiri atas:
alokasi, delimitasi, demarkasi dan administrasi/pemeliharaan.
3. Tahapan tersebut bersifat berkesinambungan dan sistematik.
Boundary making
POLITIK
HUKUM GEOSPASIAL
57
4. Tiga aspek yaitu politik, hukum dan geospasial pada setiap tahapan
bersifat proporsional. Aspek geospasial dan hukum sering disebut aspek
profesional.
5. Kerangka kerja boundary making yang berkesinambungan-sistematik
sertabersifat proporsional antara aspek politik dan aspek profesional,
disebut kerangka kerja yang bersifat linear dan sebaliknya disebut
kerangka kerja yang bersifat non-linear.
6. Bersifat kontraktual (contractual concept), artinya harus ada kesepakatan
terhadap suatu garis batas dan tetap mempertahankan posisinya setelah
terjadi kesepakatan.
III.3. Geospasial
Secara tradisional, survei dan pemetaan (surveying) didefinisikan sebagai
ilmu (science), seni (art) dan teknologi untuk penentuan posisi relatif titik-titik di
atas, pada atau di bawah permukaan bumi. Ilmu dan teknologi terus berkembang.
Pertengahan abad ke dua puluh adalah permulaan revolusi teknologi yang
didorong oleh kebutuhan peralatan pertahanan selama perang dunia kedua.
Perkembangan teknologi yang pada umumnya diawali untuk keperluan militer,
selanjutnya terus dikembangkan juga untuk keperluan non militer (Vanicek dan
Krakiwsky, 1982).
Perkembangan teknologi satelit ruang angkasa untuk penentuan posisi dan
perekaman data permukaan bumi, serta perkembangan teknologi komputer dan
teknologi informasi telah mendorong perubahan paradigma survei pemetaan
(Ghilani dan Wolf, 2007). Perubahan paradigma survei pemetaan ditandai adanya
kecenderungan umum bahwa survei pemetaanyang awalnya hanya dalam cakupan
penyediaan data survei dan pemetaan, berkembang cakupannya untuk
memodelkan dan mengelola informasi yang terkait suatu lokasi mulai dari
pengumpulan, penyajian, pengolahan, pengelolaan dan diseminasi data dan IG
yang dilakukan secara digital (Konecny, 2003). Untuk memodelkan dan
mengelola informasi yang terkait suatu lokasi diperlukan ilmu komputer dan
58
teknologi informasi yang selanjutnya berkembang ilmu Sistem Informasi SIG
(Hannah, dkk., 2000).
Perkembangan paradigma survei pemetaan tersebut melahirkan istilah baru
yang disebut Geomatika yaitu “sain dan teknologi yang mempelajari tentang
pengukuran obyek-obyek di muka bumi yang melibatkan pemakaian komputer
dan teknologi komunikasi dan informasi dalam pengumpulan (survei), pengolahan
dan analisis, presentasi (penggambaran), penyimpanan (storage), managemen dan
distribusi informasi ruang permukaan bumi untuk mendukung berbagai
pengambilan keputusan” (Konecny, 2003). Berdasarkan istilah geomatika ini
kemudian berkembang istilah spasial dan geospasial (Kavanagh, 2003).
Terminologi spasial digunakan untuk menyatakan lokasi data pada suatu ruang,
tidak hanya ruang kebumian, sedang terminologi geospasial digunakan untuk
menyatakan lokasi data pada ruang kebumian (Laurini dan Thompson, 1992;
Burkholder, 2008).
Merujuk pada UU No.4 tahun 2011 tentang IG, geospasial adalah aspek
keruangan yang menunjukkan lokasi, letak, dan posisi suatu obyek atau kejadian
yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi yang dinyatakan dalam
sistem koordinat tertentu (Anonim, 2011b). Dalam geospasial mencakup tiga hal
yaitu: (1) data geospasial, (2) teknologi geospasial dan(3) IG (Burkholder, 2008).
Data geospasial didefinisikan sebagai nilai numerik yang merepresentasikan
lokasi atau posisi, ukuran dan bentuk suatu obyek atau kejadian di bumi
(Burkholder, 2008).
Menurut Kavanagh (2003), teknologi geospasial dapat dibagi dalam dua
kelompok yaitu teknologi untuk pengumpulan data geospasial dan teknologi
untuk analisis, pengelolaan, penyimpanan (storage), penampilan, desain dan
perencanaan IG. Teknologi akusisi data meliputi teknologi terestris (teodolit, total
station, sipat datar), GPS, pemotretan udara dengan pesawat terbang serta
perekaman data muka bumi dengan satelit. Managemen dan perencanaan,
pengolahan, penggambaran, penyimpanan dan distribusi data geospasial ditangani
melalui SIG dan berbagai program komputer seperti perangkat lunak fotogrametri,
perangkat lunak untuk analisis citra satelit dan perangkat lunak Auto-CAD Map
59
(Kavanagh, 2003). IG adalah data geospasial yang sudah diolah sehingga dapat
digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan
keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang
kebumian (UU No.4 tahun 2011 tentang IG).
III.3.1. Informasi geospasial
Salah satu IG yang memiliki peran penting dalam boundary making adalah
peta.
1. Pengertian peta.
Peta adalah suatu penyajian grafis dari seluruh atau sebagaian permukaan
bumi pada bidang datar dengan skala dan sistem proyeksi peta tertentu
(Muehrcke, 1978; Maling, 1989; Soendjojo dan Riqqi, 2012). Peta merupakan
model dua dimensi yang memiliki skala yang merepresentasikan permukaan bumi
tiga demensi untuk menampilkan dan menggambarkan obyek-obyek yang dipilih.
Selain menggambarkan fenomena unsur muka bumi yang bersifat alamiah dan
buatan manusia, peta juga digunakan untuk menggambarkan fakta-fakta atau
kejadian yang bersifat spasial termasuk fakta yang berasosiasi dengan politik
seperti batas wilayah (Hyde, 1993).
Secara umum peta berfungsi untuk: (1) menyatakan posisi/lokasi suatu
tempat di permukaan bumi yang dinyatakan dengan koordinat planimetris (X,Y)
dan ketinggian dari suatu bidang referensi (muka laut), (2) memperlihatkan pola
distribusi dan pola spasial dari fenomena alam, buatan manusia dan suatu
peristiwa/kejadian, (3) merekam dan menyimpan data dan informasi muka bumi
serta menvisualisasikan data dan informasi bumi menjadi peta (Soendjojo dan
Riqqi, 2012).
Secara tradisi, peta dikelompokan menjadi dua yaitu peta dasar atau sering
juga disebut peta topografi dan peta tematik. Peta dasar menyajikan gambaran
umum muka bumi berupa unsur-unsur alam dan unsur-unsur buatan manusia
(Soendjojo dan Riqqi, 2012). Mengacu kepada UU No.4 tahun 2011 tentang IG,
peta dasar yang khusus menggambarkan unsur-unsur permukaan bumi yang
terletak di darat disebut peta rupa bumi Indonesia (peta RBI), sedang yang
60
menggambarkan unsur-unsur permukaan bumi yang terletak di wilayah pesisir
disebut peta Lingkungan Pantai Indonesia (peta LPI) dan yang menggambarkan
unsur-unsur permukaan bumi wilayah laut disebut peta Lingkungan Laut Nasional
(peta LLN) (Anonim, 2011b). Peta tematik menyajikan unsur-unsur tertentu dari
permukaan bumi sesuai dengan tema dari peta yang bersangkutan. Peta batas
wilayah termasuk dalam kelompok peta tematik karena yang disajikan adalah
hanya unsur-unsur yang terkait tema batas wilayah. Peta tematik yang lain
misalnya peta geologi, peta gayaberat, peta lereng, peta penggunaan lahan, peta
kependudukan, peta rawan longsor dan peta rawan banjir.
Peta merupakan produk kartografi. Kartografi adalah pembuatan data
spasial yang dapat diakses, menekankan visualisasinya dan memungkinkan
berinteraksi dengannya, yang berhubungan dengan masalah-masalah geospasial,
(Kraak dan Ormeling, 2013). Penyajian gambar permukaan bumi menjadi wujud
peta dapat disajikan dalam bentuk grafis disebut peta garis dan dalam bentuk
foto/citra yang disebut peta foto. Pada peta garis unsur-unsur muka bumi disajikan
dengan cara menggunakan simbol titik, garis dan area. Penyajian simbol tersebut
mengikuti kaidah generalisasi, yaitu ada unsur yang dipertahankan, dihilangkan,
dan dieksagerasi (exaggeration) (Kraak dan Ormeling, 2013).
Simbol-simbol dalam peta garis dilengkapi dengan keterangan dalam bentuk
teks untuk menjelaskan arti dari simbol-simbol yang digambarkan tersebut.
Keterangan-keterangan tersebut diletakan di luar batas tepi peta yang dikenal
sebagai informasi tepi peta. Pada bagian informasi tepi peta banyak keterangan-
keterangan penting yang harus dicantumkan agar suatu peta dapat digunakan
dengan mudah oleh pengguna peta. Keterangan pada informasi tepi peta ada yang
bersifat wajib dan keterangan yang bersifat tambahan. Keterangan wajib
merupakan keterangan penting dan harus dicantumkan, sedang keterangan
tambahan adalah keterangan yang dianggap perlu dan sebaiknya dicantumkan
apabila ruang masih memungkinkan (Soendjojo dan Riqqi, 2012).
2. Aspek geometrik peta.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu fungsi peta adalah
untuk menyatakan posisi/lokasi suatu tempat di permukaan bumi. Oleh sebab itu
61
posisi di peta harus merepresentasikan posisi sebenarnya di muka bumi.
Permasalahannya, muka bumi adalah bidang lengkung tiga dimensi sedangkan
peta adalah bidang datar dua dimensi. Menggambarkan bidang lengkung ke dalam
bidang datar terjadi penyimpangan yang disebut distorsi seperti diilustrasikan
pada Gambar 3.6. (Schofield, 2002).
Pada Gambar 3.6, bila AB yang terletak pada area yang sempit di
permukaan bumi diproyeksikan secara ortogonal ke bidang datar (peta) diperoleh
ab. Panjang ab sama dengan AB sehingga pada area yang sempit terlihat tidak
terjadi distorsi. Bila areanya semakin luas, maka proyeksi CD ke bidang datar
menjadi cd. Dalam hal ini cd tidak sama dengan CD, berarti terjadi distorsi.
Permasalahan yang harus diperhatikan dalam pemetaan adalah mereduksi distorsi
menjadi sekecil mungkin (Schofield, 2002).
Untuk mereduksi distorsi dilakukan dengan cara: (a) membagi permukaan
bumi menjadi bagian-bagian yang tidak terlalu luas, (b) menggunakan bidang
datar atau bidang yang dapat didatarkan tanpa atau minim distorsi yang disebut
bidang proyeksi. Secara keilmuan, cara (b) disebut sistem proyeksi peta. Proyeksi
peta adalah metode penyajian permukaan bumi pada suatu bidang datar dari
koordinat geografis pada bola atau koordinat geodetis pada elipsoid (Soendjojo
dan Riqqi, 2012; Prihandito, 2010).
Gambar 3.6. Prinsip dasar pemetaan (Schofield, 2002)
Bidang datar b a c d
C
Permukaan bumi
A B D
62
Dalam pemetaan, tahapan konseptual pemetaan diawali dengan melakukan
pengukuran posisi titik-titik di permukaan bumi, selanjutnya posisi titik-titik di
muka yang berupa koordinat geodetis/geografis dipindahkan ke bidang datar
(peta) seperti diilustrasikan pada Gambar 3.8.(Abidin, 2014). Pada Gambar 3.8.,
(ϕ, λ) adalah parameter lintang dan bujur geografis dan (x,y) adalah parameter
koordinat kartesian pada bidang proyeksi.
Koordinat geodetik (ϕ,λ) dan koordinat peta (x,y) tergantung pada datum
geodetik dan sistem proyeksi yang dipilih. Datum geodetik tersedia banyak baik
yang lokal maupun yang global, demikian juga sistem proyeksi peta. Kebijakan
pemilihan datum geodetik dan sistem proyeksi peta menjadi wewenang lembaga
pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pemetaan di suatu negara. Di
Indonesia sesuai UU No.4 tahun 2011 tentang IG, lembaga yang berwenang
menentukan pemakaian datum geodetik dan sistem proyeksi peta yang digunakan
adalah BIG.
Gambar 3.7. Tahapan konseptual pemetaan (Abidin, 2014)
Pendefinisian sistem referensi koordinat (datum geodetik)
Elipsoid referensi
Bumi
Proyeksi peta
Domain pengukuran
Sistem koordinat geografis: lintang, bujur (ϕ, λ)
y
x
Sistem koordinat proyeksi: utara,timur (x, y), Domain hitungan
Peta
63
Mengacu Gambar 3.7, aspek geometrik peta adalah berhubungan dengan
transformasi matematis dari koordinat geodetis/geografis di permukaan bumi ke
koordinat proyeksi di bidang datar, hal tersebut meliputi: datum geodetik,
proyeksi peta, koordinat, orientasi dan skala.
III.3.2. Datum geodetik
Datum geodetik adalah sejumlah parameter yang digunakan untuk
mendefinisikan bentuk dan ukuran elipsoid referensi yang digunakan untuk
penentuan koordinat geodetik, serta kedudukan dan orientasinya dalam ruang
terhadap tubuh bumi. Gambar 3.9. adalah sejumlah parameter yang digunakan
untuk mendefinisikan datum geodetik (Abidin, 2001), yaitu:
1) Bentuk dan ukuran ellipsoid referensi (parameter a, f) yang digunakan
untuk pendefinisian koordinat geodetik. Dalam hal ini a = setengah
sumbu panjang elipsoid, b : setengah sumbu pendek dan f :
penggepengan elipsoid = (a-b)/a.
2) kedudukan dan orientasinya dalam ruang terhadap tubuh bumi.
Sistem referensi koordinat elipsoid atau datum geodetik seperti ilustrasi
pada Gambar 3.8. mempunyai karakteristik sebagai berikut (Abidin, 2001):
1) Titik nol sistem koordinat adalah pusat elipsoid,
2) Sumbu X adalah perpotongan meridian nol dengan bidang ekuator
elipsoid
3) Sumbu Z berimpit dengan sumbu pendek elipsoid,
4) Sumbu Y pada bidang ekuator, tegak lurus sumbu-sumbu X dan Z dan
membentuk sistem koordinat tangan kanan (right handed system).
64
Gambar 3.8. Datum geodetik (Anonim, 2006)
Peninjauan dari lokasi origin sistem koordinat yang digunakan dapat
dibedakan antara datum geodetik geosentrik (global) dan datum geodetik
toposentrik (lokal). Pada datum geosentrik digunakan elipsoid referensi yang
dipilih paling sesuai dengan ukuran bumi dan pusat koordinat (origin) elipsoid
ditempatkan pada titik pusat bumi. Datum geodetik geosentrik didefinisikan
minimal berdasarkan delapan parameter (Schofield, 2002; Kelompok Kerja
Geodesi Bakosurtanal, 2007):
1) Parameter a dan f untuk mendefinisikan bentuk dan ukuran elipsoid
referensi yang digunakan (2 parameter),
2) (Xo,Yo, Zo) untk mendefisiskan koordinat titik pusat elipsoid terhadap
pusat bumi (3 parameter),
3) (ɛx, ɛy, ɛ z) untuk mendefinisikan arah-arah sumbu X, Y dan Z elipsoid
dalam ruang terhadap sumbu-sumbu bumi (3 parameter).
Datum geodetik toposentrik (lokal) menggunakan elipsoid referensi yang
dipilih paling sesuai dengan ukuran bumi setempat (geoid lokal). Koordinat pusat
elipsoid ditempatkan tidak berimpit dengan pusat bumi seperti pada Gambar 3.9.
Earth’sCenter of Mass
Z Conventional International Origin
(CIO)
International Zero Meridian
X
Y
ω
b
a
65
Gambar 3.9. Datum lokal pada penampang potongan meridian (Schofield, 2002)
Pada masa lalu,pendefinisian datum geodetik lokalumumnya dilaksanakan
dengan metode astronomi-geodetik dengan langkah-langkah sebagai berikut
(Fahrurrazi, 2011):
1) Pendefinisian dimensi elipsoid acuan: a, f,
2) Pendifinisian origin dan orientasi sumbu-sumbu koordinat serta skala
melalui:
a) Pendefinisian titik datum (Po) yang meliputi: koordinat geodetik
(φo, λo, ho), undulasi geoid No, dan defleksi vertikal ɛ (ξo, ηo);
Koordinat geodetik tersebut diturunkan dari data pengamatan
koordinat astronomik (Φo, Λo) dan tinggi ortometrik (Ho) dengan
persamaan 3.1.
φo = Φo − ξo ,λo = Λo − ηo sec φo , ho = Ho + No.............................. (3.1)
vertikal normal
muka bumi
elipsoid
geoid
ɛ(ξo, ηo)
ΦPo φPo
Po: titik datum lokal
pusat bumi
b
a pusat elipsoid
ho
66
(apabila didefinisikan No= 0, ξo = ηo = 0 maka elipsoid acuan
didefinisikan berimpit dengan geoid di titik datum)
b) Di titik datum juga dilakukan pengukuran azimut awal Ao (jaring
triangulasi) dengan metode astro-geodetik yang kemudian
dikoreksi dengan efek defleksi vertikal untuk menuhi kondisi
azimut Laplace sehingga diperoleh azimut geodetik seperti pada
persamaan 3.2.
αo = Ao − (Λo − λo) sin φo = Ao − ηo tan φo ................................ (3.2)
c) Untuk jaring triangulasi, skala direalisasikan melalui pengukuran
jarak basis (sisi triangulasi).
Datum geodetik lokal yang pernah didefinisikan dan diterapkan di Indonesia
untuk tujuan pemetaan, ialah Datum Genuk (1862), Datum Bukit Serindung
(1886), Datum Bukit Rimpah (1917), Datum Gunung Segara (1937), Datum
Montjong Lowe (1911), dan Datum T21 Sorong. Setelah Indonesia merdeka,
didefinisikan dua datum relatif yaitu Datum Indonesia 1974 dan Datum Pulau
Pisang. Datum Pulau Pisang hanya digunakan untuk penentuan perbatasan dengan
Malaysia dan Singapura.
Setelah berkembangnya teknologi penentuan posisi dengan sistem satelit
GPS ada kecenderungan global bahwa dalam sistem pemetaan termasuk dalam
pemetaan batas wilayah di berbagai negara digunakan datum geodetik World
Geodetic System 1984 atau dsingkat WGS84 (Adler, 2000). Datum WGS84
disajikan pada Gambar 3.10.
67
Gambar 3.10 Datum geodetik WGS 84 (NIMA, 2000 dalam Abidin, 2001)
Empat parameter utama datum WGS84 disajikan pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Empat parameter utama elipsoid WGS 84 (NIMA, 2000 dalam Abidin, 2001)
Di Indonesia pada tahun 1996 ditetapkan Datum Geodetik Nasional 1995
(DGN 95) sebagai datum geodetik resmi untuk keperluan pemetaan di Indonesia.
Parameter
Notasi Nilai
Setengah sumbu panjang
a 6.378.137,0 m
Penggepengan f = (a-b)/a
1/f 298,257223563
Kecepatan sudut bumi
ω 7292115,0 x 10 -11 rad/det
Konstanta gravitasi bumi (termasuk massa atmosfer)
GM 3986004,418 x 108 m3det-2
Greenwich ω
X WGS 84
Y WGS 84
Z WGS 84
IERS Reference Meridian (IRM)
IERS Reference Pole (IRP)
ekuator
pusat massa bumi
68
DGN 95 merupakan datum geosentrik yang realisasinya diikatkan ke kerangka
referensi ITRF 91 (International Terrestrial Reference Frame1991) melalui
hitungan dari data Jaring Kontrol Horisontal Orde nol sebanyak 60 titik.
Selanjutnya koordinat ITRF 91 yang diperoleh ditransformasikan ke sistem
koordinat WGS 84. Ketelitian relatif hasil hitungan jarak basis antar titik-titik
pada jaring kontrol horisontal nasional orde nol adalah 0,1 sampai 2 ppm, dengan
simpangan baku dalam fraksi sentimeter pada tiga komponen koordinat kartesian
dari seluruh titik. Realisasi dari DGN 95 di lapangan adalah berupa kerangka
dasar yang diwakili oleh jaring kontrol horisontal nasional orde nol, orde satu
beserta perapatannya (Kelompok Kerja Geodesi, 2007). DGN 95 adalah datum
geosentrik yang menggunakan elipsoid referensi yang sama seperti yang digunkan
oleh WGS 84, maka masalah transformasi koordinat antara DGN 95 dan WGS 84
relatif tidak ada (Abidin, 2001).
Pada 17 Oktober 2013, suatu datum baru ditetapkan untuk menggantikan
DGN 95 melalui Peraturan Kepala BIG yang disebut Sistem Referensi
Geospasial Indonesia 2013 (SRGI 2013) (Sukmayadi dan Syafi’i, 2014). SRGI
adalah suatu terminologi modern yang sama dengan terminologi Datum Geodesi
Nasional (DGN) yang lebih dulu didefinisikan, yaitu suatu sistem koordinat
nasional yang konsisten dan kompatibel dengan sistem koordinat global SRGI
2013 mempertimbangkan perubahan koordinat berdasarkan fungsi waktu, karena
adanya dinamika bumi (Subarya, 2014). Secara spesifik, SRGI 2013 adalah sistem
koordinat kartesian 3-dimensi X,Y,Z yang geosentrik. Implementasi praktis di
permukaan bumi dinyatakan dalam koordinat geodetik lintang, bujur, tinggi,
skala, gayaberat, dan orientasinya beserta nilai laju kecepatan dalam koordinat
planimetrik (toposentrik) (Abidin, 2014).
Spesifikasi SRGI 2013 adalah: (1) datum semi dinamik (2) mengacu ke
kerangka referensi global ITRF 2008, (3) epok referensi nilai koordinat ditetapkan
1 Januari 2012, (4) elipsoid referensi WGS 1984. Perbedaan yang mendasar
antara datum SRGI 2013 dengan datum DGN 95 adalah datum DGN 95
merupakan datum yang bersifat statik artinya koordinat dianggap tidak berubah
dengan waktu, sedang SRGI 2013 merupakan datum semi dinamik, artinya
69
koordinat dianggap selalu berubah dengan waktu, tapi direpresentasikan pada
epok referensi tertentu. Pada saat ditetapkan SRGI 2013 menggunakan model
deformasi berdasarkan 4 lempeng tektonik, 7 blok tektonik dan 126 data gempa
(Abidin, 2014).
Dalam konteks batas wilayah, peran datum geodetik sangat penting karena
pendefinisian titik-titik batas dilakukan dengan nilai koordinat yang harus jelas
datum geodetiknya. Ketidakjelasan datum geodetik dalam pendefisian koordinat
titik batas bisa menimbulkan permasalahan baik dalam tahap penetapan maupun
penegasan. Pendefinisian koordinat titik-titik batas tanpa menyertakan spesifikasi
datum geodetik adalah sesuatu yang tidak bisa dimaafkan(Pratt, 2006).
III.3.3. Sistem koordinat
Ada dua sistem koordinat yang biasanya digunakan dalam peta batas
wilayah yaitu koordinat geografis dan koordinat grid (Rusworth, 1998). Berikut
uraian singkat dari sistem koordinat geografis dan sistem koordinat grid.
1. Sistem koordinat geodetik/geografis.
Dalam sistem koordinat geografis, bumi didefinisikan berbentuk bola.
Sebenarnya bentuk bumi lebih mendekati elipsoid, namun untuk kemudahan
perhitungan, model elipsoid sering disederahanakan menjadi model bola dengan
syarat volume bola sama dengan volume elipsoid (Vanicek dan Krakiwsky, 1982).
Apabila pendefinisian koordinat digunakan model elipsoid sistem koordinat
disebut sistem koordinat geodetik. Sistem koordinat geografis nampaknya istilah
yang bersifat umum dan sering diterapkan baik sistem koordinat geodetik maupun
sistem koordinat yang menggunakan model bumi bola (Fahrurrazi, 2011).
70
Gambar 3.11. Posisi titik A (φ, λ) pada sistem geodetik (Fahrurrazi, 2011)
Pada sistem koordinat geodetik kedudukan suatu titik (A) di muka bumi
seperti disajikan pada Gambar 3.11. dinyatakan dengan tiga komponen koordinat:
lintang geodetik (φA), bujur geodetik (λB) dan tinggi terhadap permukaan elipsoid
(hA). Dalam hal ini, koordinat titik A juga dapat dinyatakan dengan besaran-
besaran jarak koordinat kartesian tiga dimensi yaitu (XA, YA, ZA). Kedua
koordinat ini dapat saling ditransformasikan satu dengan lainnya menggunakan
formula matematis seperti diuraikan oleh Burkholder (2008). Dalam konteks batas
wilayah, bila suatu titik batas diketahui dalam sistem koordinat geodetis, maka
dapat ditentukan nilai koordinat kartesian tiga dimensi dan berlaku sebaliknya.
Menurut Burkholder (2008) formula konversi dari koordinat geodetik (φ,λ, h) ke
koordinat kartesian X,Y, Z didebut BK1 dan sebaliknya disebut formula BK2.
Formula BK1 dan BK2 disajikan pada Lampiran 1.
Z
XA O
meridian nol
ekuator
meridian A X
Y
Z
A
nA
φA
λA
hA
κ
YA
Z
A
71
2. Koordinat proyeksi.
Sistem koordinat proyeksi atau koordinat grid merupakan koordinat
kartesian dua dimensi. Koordinat suatu titik di bidang proyeksi dinyatakan dengan
parameter (x) yang disebut absis dan parameter (y) yang disebut ordinat.
Hubungan koordiant geografis dengan koordinat proyeksi (grid) diilustrasikan
seperti Gambar 3.12.
Gambar 3.12. Hubungan koordinat geografis P (φ, λ) dengan koordinat proyeksi
P (x,y)
Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa di Indonesia digunakan sistem
proyeksi peta UTM, sehingga berikut ini dijelaskan secara ringkas sistem
koordinat grid pada proyeksi UTM:
1) Sistem grid UTM bersifat universal, membagi seluruh permukaan bumi
menjadi 60 bagian yang disebut zona UTM, sehingga setiap zona UTM
mempunyai lebar zone 60. Setiap zona UTM, bidang proyeksi silinder
memotong bumi (secant),
P (φP, λP)
λP
φP
P (x, y)
O (0, 0)
X
Y
Z
x
y
Sistem koordinat geografis, lintang, bujur (φP, λP)
Sistem koordinat peta, absis, ordinat (x, y)
PROYEKSI PETA
Bidang referensi elipsoid Bidang peta
72
2) Setiap zona mempunyai koordinat sendiri, yaitu titik potong meridian
sentral dengan garis ekuator yang disebut sebagai titik nol sejati (true
origin),
3) Dalam setiap grid metrik, meridian sentral diberi absis sebesar 500.000
meter Timur (mT), sedang untuk ordinat, agar idak dijumpai angka
negatif maka disebelah selatan ekuator diberi ordinat sebesar
10.000.000 meter Utara (mU), disebelah utara ekualtor diberi ordinat 0
mU (Gambar 3.13.),
Gambar 3.13 Sistem koordinat grid pada proyeksi peta UTM (Prihandito, 2010)
4) Grid merupakan garis-garis pada muka peta yang tergambar saling
tegak lurus dan perpotongannya merupakan koordinat sistem referensi
kartesian. Garis-garis tegak sejajar dengan meridian tengah, sedang
Ekuator 0 mU/
9.900.000 mU
9.800.000 mU
100.000 mU
200.000 mU
True origin
Utara
Timur
500.
000
mT
600.
000
mT
700.
000
mT
400.
000
mT
300.
000
mT
Mer
idia
n te
ngah
10.000.000 mU
73
garis-garis mendatar, tegak lurus dengan garis-garis tegak (Soendjojo
dan Riqqi, 2012),
5) Setiap zona pada setiap sistem grid UTM mempunyai pertampalan ke
samping sekitar 40 km, sehingga setiap titik yang berada di daerah
pertampalan akan mempunyai dua nilai koordinat,
6) Faktor skala pada meridian sentral, k = 0,9996,
7) Muka peta RBI dibatasi dengan garis tepi peta dalam bentuk gratikul.
Pada setiap ujung peta dicantumkan koordinat geografis (lintang dan
bujur), dan juga kordinat kartesian hasil transformasi dari koordinat
geografis ke koordinat Transverse Mercator.
8) Pada muka peta dibuat garis-garis gratikul yang panjang ukurannya
tergantung pada skala peta yang disajikan (Gambar 3.14.). Gratikul
adalah garis-garis kerangka peta yang merupakan proyeksi garis paralel
dari lintang (line of latitude) dan garis meridian dari bujur (line of
longitude) yang tergambar pada muka peta dan garis tepi peta.
Gambar 3.14 Gratikul (biru) dan grid (hitam) pada sistem koordinat UTM
(Soendjojo dan Riqqi, 2012)
Nilai garis gratikul diperlihatkan dengan selang tertentu di sepanjang garis
tepi peta. Umumnya, nilai garis gratikul ditulis penuh pada sudut-sudut peta
74
dalam satuan derajat, menit dan detik yang merupakan koordinat geografis.
Kegunaan garis gratikul adalah untuk membaca posisi koordinat geografis di peta.
(Soendjojo dan Riqqi, 2012).
Dalam konteks batas wilayah, bila suatu titik batas diketahui dalam
koordinat geografisnya maka dapat ditentukan sistem koordinat proyeksi peta
(UTM) dan sebaliknya bila diketahui dalam sistem koordinat proyeksi peta
(UTM) maka dapat ditentukan koordinat geografisnya. Hubungan sistem
koordinat geodetikdengan sistem koordinat proyeksi peta (UTM) dan sebaliknya
diberikan dalam rumus-rumus BK10 dan BK11 seperti dikemukakan oleh
Burkholder (2008) yang disajikan pada Lampiran 2.
III.3.4. Proyeksi peta
1. Pengertian proyeksi peta.
Suatu peta dikatakan ideal bila: (1) luas benar, (2) bentuk benar, (3) arah
benar dan (4) jarak benar. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam
pemetaan selalu terjadi distorsi sehingga keempat syarat tersebut tidak dapat
dipenuhi semuanya. Dalam hal ini salah satu persyaratan ideal harus dikorbankan,
sehingga yang dapat dilakukan hanyalah mereduksi distorsi sekecil mungkin
untuk memenuhi satu atau lebih syarat ideal. Salah satu cara mereduksi distorsi
tersebut adalah dengan sistem proyeksi peta.
Secara umum dalam proyeksi peta dapat diklasifikasi atas dasar beberapa
kriteria. Kriteria berdasarkan bidang proyeksi yang digunakan yaitu: (1) bidang
kerucut, disebut proyeksi kerucut, (2) bidang silinder, disebut proyeksi silinder
dan, (3) bidang datar disebut proyeksi zenital. Ditinjau dari orientasi atau
kedudukan garis karakteristik atau sumbu simetri, dikenal ada tiga yaitu: (1)
normal, garis karakteristik membentuk sudut dengan sumbu bumi, (2) miring bila
garis karakteristik membentuk sudut tertentu dengan sumbu bumi, (3) transversal,
bila garis karakteristik tegak lurus sumbu bumi. Garis karakteristik pada bidang
kerucut adalah sumbu simetri bidang kerucut, garis karakteristik silinder adalah
sumbu simetri bidang silinder dan garis karakteritik proyeksi zenital adalah garis
yang melalui pusat bumi dan tegak lurus bidang proyeksi. Ditinjau dari distorsi
75
yang diakibatkan, proyeksi peta dapat diklasifikasi menjadi tiga yaitu: (1)
proyeksi konform bila sudut di muka bumi sama dengan bidang proyeksi, (2)
proyeksi equivalence, luas di peta sama dengan luas di muka bumi, (3) proyeksi
equidistance, jarak di peta sama dengan jarak di muka bumi.Ditinjau berdasarkan
persinggungan bidang proyeksi terhadap bumi, diklasifikasi menjadi: (1) tangent,
bidang proyeksi menyinggung bola bumi, (2) secant, bidang proyeksi memotong
bola bumi dan (3) polysuperficial, terdiri atas banyak bidang proyeksi (Prihandito,
2010; Soendjojo dan Riqqi, 2012).
Sejak tahun 1979, dalam rangka pembuatan peta RBI digunakan proyeksi
Universal Transverse Mercator (UTM) (Ikawati dan Setiawati, 2009). Proyeksi
UTM adalah modifikasi dari proyeksi Transverse Mercator. Kedudukan silinder
terhadap bola bumi adalah memotong bola bumi dan sumbu silinder tegak lurus
sumbu bumi (Gambar 3.15).
Proyeksi UTM memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Prihandito, 2010;
Soendjojo dan Riqqi, 2012):
1) Silinder, transversal, secant dan konform,
2) Memotong bola bumi di dua meridian standar, k = 1,
3) Permukaan bumi dibagi 60 zona dengan lebar zona 60. Masing-masing zona
UTM dibatasi lebar 60 bujur dan 80 lintang,
4) Zona-zona UTM diberi nomor, dimulai dari nomer 1 pada zone yang
dibatasi 1800 bujur barat (BB) sampai 1740 BB, terus ke arah timur sampai
zone nomor 60 antara 1740 bujur timur (BT) sampai 1800 BT,
5) Batas lintangnya adalah 800 lintang selatan (Nichols) dan 840 lintang utara
(Widodo et al.). Pembagian dimulai dari 800 LS ke utara sampai 720 LS
yang dawali dengan kode C, berturut-turut diberi kode D, E dan seterusnya
sampai kode X untuk daerah yang dibatasi 720 LU sampai 840 LU.
Sebagai catatan, kode huruf I dan O tidak digunakan.
76
Gambar 3.15. Kedudukan silinder terhadap bola bumi pada proyeksi UTM
(Campbell, 2001)
2. Peta Rupa Bumi Indonesia (peta RBI)
Dalam penerapan sistem grid UTM untuk pembuatan peta RBI, seluruh
wilayah Indonesia dibagi dalam sembilan zona yaitu zona 46 sampai dengan zona
54, mulai dari meridian 900 BT sampai dengan 1440 BT dengan batas paralel 60
LU dan 110 LS. Pada setiap zona memilik meridian tengah. Pembagian zona UTM
di Indonesia disajikan pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Pembagian zona UTM di Indonesia (Prihandito, 2010)
Nomor Zona UTM Batas Zona ( BT) Meridian Tengah (BT)
46 900 s.d 960 930 47 960 s.d1020 990 48 1020 s.d1080 1050 49 1080 s.d1140 1110 50 1140 s.d1200 1170 51 1200 s.d1260 1230 52 1260 s.d1320 1290 53 1320 s.d1380 1350 54 1380 s.d1440 1410
Silinder
Bola
77
Tata letak peta RBI secara nasional disusun secara sistematis sebagai
berikut (Prihandito, 2010):
8) Satuan blok UTM berukuran 60 bujur x 80 lintang diberi nomor dengan
angka dan huruf misalnya 50 M.
9) Peta skala 1:1.000.000 dibuat dengan ukuran 60 bujur x 40 lintang,
sehingga dalam satu blok ukuran 60 bujur x 80 lintang terdapat dua
lembar peta skala 1:1.000.000.
10) Setiap blok ukuran 60 bujur x 40 lintang dibagi menjadi 16 lembar peta
skala 1:250.000 yang berukuran ukuran 10 30’ bujur x 10 lintang.
Tabel 3.3. Pembagian skala, jumlah lembar dan sistem penomoran lembar peta RBI pada muka peta ukuran 10 30’ x 10 skala 1:250.000 dengan nomor lembar
peta misalnya 1508
Ukuran Skala Nomor lembar peta Jumlah lembar
Keterangan
10 30’ x 10 1:250.000 1508
1 -
30’ x 3 0’
1:100.000
1508-1; 1508-2; 1508-3; 1508-4; 1508-5;1508-6
6
pada lembar 1508
15’ x 15 ‘ 1:50.000 1508-21; 1508-22; 1508-23; 1508-24
24 pada lembar 1508-2
7’ 30” x 7’ 30” 1:25.000 1508-211;1508-212; 1508-213; 1508-214
96 pada lembar 1508-22
Pembagian skala dan pemberian nomor lembar peta dimulai pada skala
1:250.000 dengan cara seperti disajikan pada Tabel 3.3. Dalam penomoran, dua
dijit pertama nomor kolom yang dibatasi garis bujur dan dua dijit kedua nomor
baris yang dibatasi garis lintang (Gambar 3.16.). Sistem penomeran lembar peta
seperti Tabel 3.4. dapat ilustrasikan pada Gambar 3.16.
78
Gambar 3.16. Sistem penomeran lembar peta RBI
Dalam penomoran lembar peta, nomer lembar peta RBI skala 1:250.000
digunakan sebagai induk untuk penomoran lembar peta skala 1:100.000, skala
1:50.000 dan skala 1:25.000.
III.3.5. Skala peta
Peta merupakan model miniatur dari permukaan bumi, sehingga besaran
suatu jarak di muka bumi harus digambarkan di peta dengan ukuran lebih kecil
dengan perbandingan tertentu sesuai tujuan pembuatan peta. Skala peta adalah
perbandingan jarak di peta dengan jarak sebenarnya di lapangan (International
Cartographic Association, 1973 dalam Maling, 1989). Bila skala adalah S, jarak
di peta dp dan jarak sebenarnya di lapangan dL, maka skala peta dihitung dengan
persamaan 3.3.
S = dp/dL. ............................................................................................ (3.3)
2
4
30’ 30’ 30’
1030
Nomor 1508-6 Nomor 1508-4
Nomor 1508-1
5 6
1 2 3 1
Skala
1 2
3 Nomor 1508-3
4
10
Nomor lembar 1508, skala 1: 250.000
Nomor 1508-242, skala 1:25.000 Nomor 1508-22, skala 1:50.000
15’
15’
30’
30’
4 3
79
Pada persamaan (3.3), bila dp di peta diukur dan S diketahui, maka jarak di
lapangan dL dapat ditentukan. Bila informasi S tidak ada, maka dL tidak dapat
ditentukan. Atau kalau S diketahui, namun skala tersebut tidak benar, dLtetap
dapat dihitung namun dL tidak merepresentasikan jarak yang sebenarnya. Dalam
konteks batas daerah, bila dp merupakan panjang segmen batas yang tergambar di
peta, maka bila tidak ada informasi skala (S), maka panjang segmen batas di
lapangan tidak bisa ditentukan. Atau kalau S dicantumkan namun tidak benar,
maka panjang segmen batas di lapangan juga tidak benar.
Cara menampilkan atau mengekspresikan skala di peta dapat dilakukan
dengan tiga cara. Pertama, dengan pernyataan dalam bentuk verbal (word
statement). Dalam word statement, frase kata ditulis singkat, jelas dan sedapat
mungkin tidak menimbulkan multi tafsir, sebagai contoh: “1 cm di peta sama
dengan 0,5 km di lapangan”. Kedua, dengan perbadingan (ratio), yaitu
perbandingan antara jarak di peta dengan jarak sebenarnya di lapangan. Dalam
perbandingan, unit satuan jarak di peta harus sama dengan unit satuan jarak di
lapangan, sebagai contoh pada skala 1:50.000, artinya jarak 1 cm di peta sama
dengan 50.000 cm di lapangan. Ketiga, dengan digambar secara grafis. Kelebihan
skala yang ditampilkan secara grafis, bila dilakukan perbesaran atau pengecilan,
maka perubahan skala akan secara otomatis mengikuti secara proporsional dengan
peta yang diperbesar atau diperkecil (Muehrcke, 1978). Dalam praktek, tampilan
skala peta dengan perbandingan dan dengan secara grafis dilakukan secara
bersamaan seperti Gambar 3.17.
Gambar 3.17. Tampilan skala peta secara perbandingan (ratio) dan secara grafis
(Soendjojo dan Riqqi, 2012)
Skala perbadingan Skala grafis
80
Skala peta juga berkorelasi dengan cakupan area yang dipetakan dan
kerincian atau kedetailan informasi yang terkandung di dalam peta seperti
diilustrasikan dengan grafik pada Gambar 3.18. (Muehrcke, 1978). Pada gambar
3.17, ditunjukkan bahwa semakin kecil skala peta maka cakupan area yang
dipetakan semakin luas/global, sebaliknya semakin besar skala peta maka cakupan
area yang dipetakan semakin sempit/lokal. Di sisi lain, semakin kecil skala peta,
informasi yang ditampilkan makin kurang rinci yang ditunjukkan dengan feature
reduction factor makin besar dan sebaliknya makin besar skala peta maka feature
reduction factor makin sedikit.
Gambar 3.18. Grafik hubungan skala peta dengan cakupan area dan kerincian
informasi (feature reduction factor) (Muehrcke, 1978)
III.3.6. Toponim
Tiap unsur rupabumi selalu diberi nama. Pemberian nama bertujuan untuk
identifikasi lingkungan fisik di sekitar manusia dalam rangka komunikasi sesama
manusia atau untuk acuan dengan menunjuk suatu obyek geografis tertentu. Nama
unsur rupabumi disebut toponim yang berasal dari bahasa Inggris toponym (Rais,
dkk., 2008). Ilmu yang mempunyai obyek studi tentang toponim umum dan
kecil besar
Global/luas
Lokal/sempit
banyak
sedikit
Cak
upan
are
a
Feat
ure
redu
ctio
n fa
ctor
Skala peta
81
toponim khusus nama-nama unsur rupabumi adalah Toponimi (Raper, 1996).
Aurousseau (1957) seorang ahli toponimi dari Inggris mendefinisikan toponimi
adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji riwayat atau asal-usul (sejarah) nama
tempat tinggal atau nama bukan tempat tinggal manusia dan nama kenampakan
geografis di suatu daerah atau negara. Nama unsur rupabumi selalu terkait dengan
hubungan antara manusia (Man) dengan tanah tempat tinggalnya (The Land) di
suatu wilayah. Oleh sebab itu sebagai suatu ilmu, maka toponimi selalu berkaitan
erat dengan kajian tentang linguistik (bahasa), antropolgi, kebudayaan, sejarah,
politik, psikologi dan kartografi (Kerfoot, 2009).
Nama unsur rupabumi terdiri atas dua elemen, yaitu elemen generik dan
elemen spesifik. Elemen generik adalah nama yang menerangkan dan/atau
menggambarkan bentuk umum suatu unsur rupabumi dalam bahasa tertentu di
daerah tertentu. Sebagai contoh: sungai (dalam bahasan Indonesia), krueng
(sungai dalam bahasa Aceh), dolok (gunung dalam bahasa Batak). Elemen
spesifik adalah nama diri dari elemen generik yang sudah disebutkan sebelumnya,
sebagai contoh: Merapi adalah nama spesifik dari elemen generik yang berupa
gunung, Yogyakarta adalah nama spesifik dari elemen generik yang berupa
wilayah administrasi kota.
Toponim juga dapat dikelompokan menjadi dua yaitu endonim (endonym)
dan eksonim (exonym). Endonim adalah nama unsur rupabumi dalam bahasa
resminya. Eksonim adalah nama diri unsur rupabumi yang dipakai dalam suatu
bahasa tertentu untuk entitas geografis yang berada di luar daerah dimana bahasa
tersebut mempunyai status resmi yang berbeda dalam bentuk dari nama yang
dipakai dalam bahasa resminya. Sebagai contoh, Negeri Belanda dan Selandia
Baru adalah eksonim bahasa Indonesia untuk masing-masing endonim Nederland
dan New Zealand. Resolusi UN Conference on the Standardization of
Geographical Names mengusulkan agar dikurangi pemakaian eksonim dalam
penggunaan nama-nama geografis secara internasional (Rais, dkk., 2008).
Toponim dapat saja berubah. Perubahan nama-nama geografis dapat
disebabkan oleh perang atau penaklukan suatu wilayah sehingga nama-nama
geografis yang ada kemudian diubah oleh pemenangnya, atau pasca kolonial,
82
ketika suatu negara merdeka, nama-nama geografis diubah sehingga tidak lagi
menggunakan nama-nama geografis yang digunakan oleh penjajah sebelumnya.
Perubahan nama geografis juga bisa disebabkan oleh mengikuti nama-nama asli
atau karena mengikuti suatu sistem standardisasi, misalnya sistem Romanisasi
(Kerfoot, 2009).
Nama-nama geografis adalah elemen yang sangat penting dalam data spasial
dan kartografi. Peta yang menggambarkan unsur-unsur rupabumi harus
mencantumkan toponim. Tidak lengkapnya atau kesalahan toponim pada suatu
peta mengakibatkan peta tersebut sulit digunakan sebagai alat komunikasi
(Kerfoot, 2009). Oleh sebab itu pencantuman toponim di peta harus mengacu
suatu standar tertentu. Di dalam ilmu kartografi, pemberian nama unsur rupabumi
harus mengikuti tata cara baku secara internasional yang mengacu kepada United
Nation Geographical Names (UNGN) (Rais, dkk., 2008; Soendjojo dan Riqqi,
2012). Di Indonesia untuk pembakuan nama rupabumi telah dibentuk Tim
Nasional Pembakuan Nama Rupabumi melalui Peraturan Presiden No.12 tahun
2006 tentang Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi (Rais, dkk., 2008).
Dalam boundary making, baik pada tahap delimitasi maupun demarkasi,
pendefinisian batas wilayah dapat dilakukan secara deskriptif menggunakan
nama-nama geografis (toponim) dan secara geometris dengan koordinat geografis,
azimuth dan jarak, atau dilakukan secara bersama-sama secara deskriptif dan
secara geometris (Jones, 1945). Sebagai contoh penggunaan nama-nama geografis
dan parameter geometris di dalam pendefinisian batas wilayah adalah seperti
tertulis di dalam Article III Treaty tahun 1904 antara Belanda dan Portugis di
Pulau Timor ditulis sebagai berikut (Deeley, 2001):
“ The boundary between O’Kussi and Ambeno belongs to Portugal and the Dutch
dominions on the Island of Timor are formed by a line:
1. Proceeding from the mouth of the Noel [river] Besi, from where the
summit of Pulu [island] Batek can be sighted, on a 30º47’NW
astronomical azimuth, following the thalweg of the Noel Besi, that of
the Noel Niema and of the Bidjael Sunan, up to its source;..................
83
Berdasar contoh treaty tersebut, nama-nama unsur rupabumi endonim untuk
sungai (Noel Besi, Noel Niema), nama pulau (Pulu Batek), nama bukit (summit)
yaitu Bidjael Sunan digunakan untuk mendefinisikan batas wilayah, selain
parameter azimut astronomis.
Dalam dokumen resmi, nama geografis harus ditulis secara akurat/tepat dan
mengikuti standar baku yang telah ditetapkan. Hal ini sangat diperlukan terutama
untuk komunikasi dan akses data, informasi dan pengetahuan secara internasional
dalam dunia yang saat ini bersifat global dan dijital. Keakuratan nama geografis
baik dari aspek pencatatan, penyimpanan, otoritasi dan penyebarannya
(authorization and dissemination) adalah dasar yang sangat penting dalam
pembuatan dokumen, peta dan basis data untuk berbagai keperluan seperti
perencanaan wilayah, pembangunan infrastruktur, pariwisata, penanganan
bencana dan batas wilayah. Kesalahan, ketidaktepatan dan ketidaksesuaian serta
kesalahan pengucapan kata nama geografis eksonim dalam konotasi politik dan
sejarah seperti batas wilayah internasional berpotensi menimbulkan sengketa
(Kerfoot, 2009).
III.3.7. Kartometrik
Kartometrik (cartometric) berasal dari kartometri (cartometry) adalah
pengukuran dan perhitungan nilai-nilai numeris dari peta (International
Cartographic Association, 1973 dalam Maling, 1989). Ada empat jenis
pengukuran dasar dalam kartometrik yaitu: (1) pengukuran jarak, (2) pengukuran
luas, (3) pengukuran arah dan (4) penghitungan jumlah obyek yang tergambar di
peta. Beberapa besaran lain dapat diturunkan dari kombinasi pengukuran dasar
tersebut. Sebagai contoh besaran volume adalah diperoleh dari pengukuran tinggi
(jarak vertikal) dengan pengukuran luas. Lereng diperoleh dari pengukuran tinggi
dengan pengukuran jarak datar. Kerapatan (density) suatu obyek diperoleh dari
pengukuran jumlah suatu obyek dan pengukuran luas. Posisi suatu titik diperoleh
dari pengukuran jarak dan jarak (Maling, 1989).
Kartometrik yang banyak digunakan dalam batas wilayah, adalah: (1)
pengukuran panjang garis (segmen), (2) pengukuran jarak, (3) pengukuran arah,
(4) pengukuran luas, (5) pengukuran tinggi dan (6) pengukuran posisi (Adler,
84
1995).Dalam kartometrik ini, faktor skala peta memegang peran yang sangat
penting.
III.3.8. Angka signifikan (significant figure) untuk estimasi ketelitian data numerik
Analisis kartometrik biasanya menghasilkan data numerik. Dalam
penggunaan data numerik yang merupakan hasil suatu pengukuran, nilai yang
dicatat dan dilaporkan harus dapat memberi gambaran dijit mana yang nilainya
sudah yakin benar dan dijit mana yang diragukan. Untuk itu harus difahami
pengertian tentang bilangan angka signifikan (significant figure).
1. Pengertian angka signifikan (significant figure).
Secara definisi angka signifikan dalam suatu nilai numerik adalah jumlah
dijit tertentu ditambah satu, biasanya yang terakhir, yang digunakan sebagai
estimasi akurasi pengkuran (Burkholder, 2008; Mikhail and Gracie, 1981). Jumlah
angka siginifikan jangan dikacaukan dengan jumlah tempat desimal. Sebagai
contoh, angka signifikan dua adalah pada bilangan-bilangan berikut: 40; 52; 4,2;
5,2; 0,42; 0,042; 0,0052. Angka signifikan tiga misalnya pada bilangan berikut:
836; 83,6; 80,6; 0,806; 0,0806; 0,00800. Angka signifikan merupakan cerminan
dari akurasi (accuracy) yaitu suatu yang mencerminkan kedekatan terhadap nilai
sebenarnya (true value) dan presisi (precision) yang mencerminkan konsistensi
dalam prosedur pengukuran. Sebagai catatan, bilangan significant figure dalam
suatu pengukuran atau nilai hitungan tergantung pada presisi dari teknik/metode
yang digunakan, namun satu hal penting yang harus diingat bahwa akurasi data
ukuran lapangan tidak dapat ditingkatkan ketelitiannya dengan proses hitungan
(Schofield, 2002). Perlu diingat bahwa estimasi suatu akurasi ditunjukkan dengan
± setengah significant figure (Mikhail dan Gracie, 1981). Pemahaman significant
figure dan estimasi akurasi suatu nilai numerik hasil ukuran dapat dijelaskan
sebagai berikut.
Jika misalnya di dalam suatu dokumen dicantumkan empat dijit pertama
dari nilai 137,824 adalah yakin benar dan dua digit terakhir diragukan, maka
pencantuman nilai harus dinyatakan hanya lima angka yang signifikan, yaitu
85
137,82 (1,3,7 dan 8 yakin, 2 diragukan ), sehingga angka signifikan adalah 5.
Beberapa contoh pemahaman significant figure (Adler, 1995):
a) Suatu pengukuran jarak di peta 5,3 cm (2 significant figure), artinya
jarak tersebut diukur dengan estimasi akurasi ± 0,5 mm.
b) Bila suatu koordinat adalah X = 546.375,5 m dan Y = 688.723,4 m
(7 significant figure) maka estimasi akurasinya adalah ± 0,05 m. Bila
koordinat ditentukan X = 546.375,53 m dan Y = 688.723,41 m (9
significant figure) maka estimasi akurasinya adalah ± 0,005 m = 5 mm
c) Dalam koordinat geografis, koordinat dinyatakan dalam parameter
lintang dan bujur. Misalkan suatu titik memiliki lintang 3o 20’LU dan
bujur 112o 10’ BT, maka estimasi akurasinya adalah ± 0,5’ atau ± 30’’.
Bila 1” setara dengan 30 m di permukaan bumi, maka estimasi akurasi
setiap parameter koordinat adalah ± (30 x 30 m) = ± 900 m atau
estimasi akurasi posisinya adalah √ (900 m)2+ 900 m)2 = ± 1273 m.
Bila koordinat yang diberikan adalah lintang 3o 20’ 24’’ LU dan bujur
112o 10’ 17’’ BT, maka estimasi akurasinya menjadi ± 0,5‘’ yang setara
dengan ±15 m di permukaan bumi untuk setiap parameter, sehingga
estimasi akurasi posisinya adalah ± 21 m.
Jumlah angka signifikan dalam bilangan hasil pengukuran besaran secara
langsung biasanya tidak sulit untuk ditentukan, secara prinsip tergantung pada
satuan terkecil alat yang digunakan (Mikhail dan Gracie, 1981). Sebagai contoh,
bila suatu jarak diukur dengan pita ukur dalam satuan cm dengan estimasi bacaan
pada satuan milimeter, seperti misalnya jarak ukuran 462,513 m, maka 5 digit
pertama nilainya adalah pasti (yakin benar) namun digit yang ke-enam adalah
perkiraan yang kadang-kadang diragukan, sehingga bilangan angka signifikannya
adalah 6.
2. Implikasi significant figure dalam batas wilayah
Dalam dokumen yang terkait batas wilayah, misalnya dokumen perjanjian
batas internasional antar negara atau dokumen undang-undang pembentukan
daerah di Indonesia, atau dalam penyelesaian sengketa batas wilayah melalui
pengadilan, dalam banyak kasus sering digunakan data numerik berupa koordinat
86
baik koordinat grid maupun koordinat geografis, azimuth dan jarak. Data tersebut
harus dapat dipetanggungjawabkan dalam hal akurasi dan presisinya untuk
merumuskan dokumen maupun suatu keputusan terkait batas wilayah.
Banyak kasus perjanjian batas wilayah internasional menunjukkan bahwa
para pembuat perjanjian batas tidak selalu perhatian/peduli dengan implikasi
significant figure. Salah satu kasus delimitasi batas dengan koordinat yang terjadi
di Afrika adalah batas antara Uganda dan Tanzania di barat Danau Victoria. Batas
tersebut didelimitasi dengan suatu garis mengikuti 10 LS. Dengan demikian,
akurasi dari delimitasi adalah ± 0,50 atau sekitar ± 55 km di lapangan. Setelah
garis tersebut didemarkasi, garis batas terletak 400 m di sebelah utara garis yang
ditetapkan dalam treaty. Kesimpulan dari kasus ini bahwa garis batas hasil
demarkasi merepresentasikan posisi batas yang sebenarnya dibandingkan hasil
delimitasi 10 LS yang sangat tidak akurat, karena hanya merupakan posisi
pendekatan. Jika delimitasi ditetapkan misalnya pada 10 20’25’’LU, maka
estimasi akurasinya adalah ± 0,5’’ yang setara dengan ±15 m, sehingga
penyimpangan garis demarkasi sebesar 400 m menjadi masalah (Adler, 1995).
Kasus yang lain adalah delimtasi pada perjanjian antara Belanda dan Inggris
di Papua (Nugini). Batas antara Nugini Belanda dan Nugini Australia ditetapkan
pada 141O BT. Hala ini berarti estimasi akurasinya sebesar ± 0,50 atau sekitar ± 55
km di lapangan. Survei demarkasi dengan metode astronomi geodesi oleh
Belanda untuk posisi garis bujur 141° BT di garis pantai utara Nugini ternyata
mendapatkan posisi lain dengan perbedaan jarak 398 m terhadap hasil survei yang
dilakukan oleh pihak Australia pada tahun 1928. Melalui perjanjian bersama,
diputuskan untuk membagi dua perbedaan jarak 398 m tersebut seperti disepakati
oleh perwakilan negara masing-masing (Sumaryo, 2010). Seandainya garis batas
Nugini Belanda dan Nugini Inggris ditetapakan 1410 00’ 00’’ BT, maka estimasi
akurasinya adalah ± 0,5‘’ yang setara dengan ±15 m, sehingga pengukuran
demarkasi yang berbeda 398 m tentu menjadi sesuatu yang tidak dapat diterima
(Sumaryo, 2010).
Kasus perjanjian batas wilayah internasional lain yang menggambarkan
ketidakpedulian dari para pembuat perjanjian tentang arti dari significant figure
87
adalah pada perjanjian batas di berbagai negara di Afrika (Brownlie, 1979).
Ketidakpedulian arti significant figure ditunjukkan pada perjanjian yang relatif
moderen dalam Treaty to Resolve Pending Boundary Differences and Maintain
the Rio Grande and theColorado Rivers as the International Boundary between
Mexico and the United States ofAmerica (UN Treaty Series, 1973: 87). Tabel
koordinat dalam perjanjian tersebut ditulis: Station 1: North 209.008,07 m dan
East 81.418,18 m dalam proyeksi Lambert di Texas, Zone Selatan. Berdasar data
numeris tersebut maka estimasi akurasinya adalah sebesar ±0,005 m dalam setiap
koordinat. Dalam perjanjian tersebut juga dituliskan data numeris tentang luas
yaitu 7,75 acre = 3,13 hektar = 31.300 m2. Data numeris luas tersebut berarti
estimasi akurasinya adalah ±50 m2, sedangkan estimasi akurasiluas bila dihitung
dari angka koordinat adalah ±0,5 m2. Hal ini merupakan contoh significant figure
yang tidak kompatibel (incompatibility) antara angka luas yang tidak teliti dengan
angka-angka kordinat yang sangat teliti (Adler, 1995).
Suatu perjanjian yang cukup baik ditemukan pada protokol antara Myanmar
dan China yang mendeskripsikan salah satu pilar batas sebagai berikut (UN
Treaty Series, 1976:265 dalam Alder, 1995):
Single pillar of medium size, placed in latitude N 25°32’46”.31 and longitude E 98°09’18”.03 on top of a conical shape hill. In magnetic azimuth of 149° and at adistance of 5.4m measured on the spot, there is a rectangular concrete block and inmagnetic azimuth of 55°30’ and a distance of 202 meters, measured on the spot thereis a high peak...
Berdasar angka-angka numeris pada perjanjian tersebut, estimasi akurasi
untuk setiap parameter posisi adalah sebesar ± 0,005‘’ yang setara dengan ±0,15
m, estimasi akurasi pengukuran jarak sebasar ± 0,05 m dan estimasi akurasi
azimuth magnetik sebesar ± 30’. Estimasi akurasi tersebut adalah realistik pada
kondisi teknologi geospasial saat ini (Adler, 1995).
III.3.9. Peran IG dalam boundary making
Merujuk pada uraian yang telah disampaikan pada bab tinjauan pustaka,
bahwa dalam setiap tahapan proses boundary making mulai dari alokasi,
delimitasi, demarkasi dan administrasi/manajemen, diperlukan geospasial baik
88
data, informasi maupun teknologi geospasial. Peran IG khususnya peta dalam
boundary making dapat diilustrasikan dalam Gambar 3.19.
Secara garis besar, peran IG (peta) dalam setiap tahapan boundary making
dijelaskan sebagai berikut:
1. Peta pada tahap alokasi.
Tahap alokasi biasanya dilakukan oleh negarawan dan diplomat yang
mewakili negara/pemerintah masing-masing pihak. Pada tahap ini dominasi
kegiatan lebih pada kegiatan politik dan diplomatik, lobi-lobi dan negosiasi antara
negara yang berkepentingan. Keperluan peta biasanya sebatas untuk bahan
negosiasi dan biasanya tidak terlalu dipersoalan masalah ketelitian, skala, datum,
sistem koordiant dan aspek kartografis lainnya. Peta yang diperlukan adalah peta
skala menengah atau kecil untuk mengetahui posisi relatif daerah yang
dirundingkan terhadap daerah disekitarnya dalam kaitannya dengan aspek
geopolitik (Jones, 1945). Walaupun demikian tersedianya peta tetap sangat
penting sebagai sumber informasi bagi para negarawan dan pihak-pihak yang
berkepentingan untuk bernegosiasi. Data lain selain peta yang bisa digunakan
untuk bahan negosiasi adalah foto udara/peta foto dan citra satelit. Untuk itu para
politisi dan diplomat perlu mendapat masukan dan advis dari ahli dalam bidang
geodesi, kartografi atau geografi (Blake, 1995).
2. Peta pada tahap delimitasi.
Memilih letak batas dan mendefinisikan titik-titik batas pada tahap
delimitasi, diperlukan peta sebagai infrastruktur untuk dapat melakukan dua
kegiatan tersebut. Pemilihan letak memerlukan pertimbangan geografis selain
politis (Jones, 1945). Dalam pertimbangan geografis tentunya peta yang
diperlukan adalah peta yang menggambarkan feature permukaan bumi secara
lengkap baik feature alamiah seperti sungai, danau dan watersheed maupun
feature buatan manusia. Peta semacam ini disebut peta dasar yaitu peta yang
menggambarkan IG secara umum. Pada peta dasar ini digambarkan posisi
planimetris yang akurat dan bentuk medan (topografi) serta pola drainase
digambarkan dengan garis-garis kontur. Skala dan kualitas peta dasar sangat
89
penting pada tahap ini. Oleh sebab itu harus digunakan peta dasar resmi (official
base map) yang dibuat oleh lembaga pemerintah di negara yang bersangkutan.
Gambar 3.19. Peran IGdalam boundary making (Adler, 1995)
Pemilihan skala sangat penting karena menentukan tingkat kerincian
informasi peta dasar yang digunakan. Peta dasar dengan skala minimal 1: 250.000
cukup memadai untuk delimitasi batas distrik (Jones, 1945). Dalam delimitasi
batas internasional, selain diperlukan peta dasar, diperlukan juga peta tematik
yang terkait penduduk seperti peta distribusi penduduk. Selain itu peta tematik
aspek dinamik penduduk seperti tingkat pertumbuhan, migrasi dan urbanisasi
merupakan faktor yang signifikan dalam delimitasi batas antar negara.
ALOKASI
DELIMITASI
Traktat atau perjanjian dan peta hasil delimitasi batas wilayah
Pedoman identifikasi dari delimitasi ke lapangan
DEMARKASI
ADMINISTRASI
BASIS DATA SIG
IG
90
Hasil akhir dari tahap delimitasi adalah dokumen perjanjian (treaty). Peta
kesepakatan batas wilayah biasanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
perjanjian. Bila peta menjadi bagian dari teks perjanjian, maka peta tersebut
merupakan bagian dari delimitasi, bila tidak maka peta tersebut hanya sebagai
suatu ilustrasi dari teks perjanjian.
Satu hal yang perlu diingat tentang peta, bahwa secara sendirian peta tidak
dapat digunakan sebagai produk yang bersifat legal (hukum). Kekuatan legal dari
peta hanya dapat diperoleh bila peta tersebut merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari perjanjian atau keputusan pengadilan dan kekuatannya sebagai
alat pembuktian bervariasi sesuai kualitas teknis peta yang bersangkutan (Adler,
2000). Brownlie (1979) menyatakan bahwasuatu peta memiliki nilai pembuktian
yang sebanding (proporsional) dengan kualitas teknisnya. Dengan demikian
semakin baik kualitas teknis suatu peta, maka peta tersebut memiliki nilai yang
semakin kuat sebagai alat bukti. Hal ini juga berlaku untuk peta batas wilayah.
Dalam putusan pengadilan, biasanya suatu peta merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari suatu dokumen delimitasi. Bagaimanapun suatu delimitasi
berpotensi menimbulkan sengketa di masa datang, misalnya dalam hal koordinat
geografis titik batas yang tidak menyebutkan datum yang spesifik yang digunakan
dalam peta atau dalam hal pemilihan skala peta batas yang bisa berimplikasi pada
posisi. Pada peta skala 1:200.000, kesalahan posisi di peta sebesar 0,2 mm setara
dengan pergeseran sebasar 40 m di lapangan (Pratt, 2006).
Peta lampiran dan tanda-tanda batas yang dibuat di peta merupakan hasil
tahap delimitasi dan koordinat titik batas yang diberikan dalam perjanjian
digunakan sebagai pedoman untuk menentukan lokasi titik-titik batas di lapangan.
Peta lampiran hasil delimitasi yang kualitasnya bagus dapat langsung digunakan
sebagai panduan untuk memasang titik-titik batas di lapangan. Peta delimitasi
sebaiknya memiliki skala yang cukup besar sehingga permukaan bumi seperti
kontur dapat digambarkan lebih detail untuk memudahkan demarkasi di lapangan.
Titik-titik batas sebaiknya ditandai di peta delimitasi sebelum secara nyata
dipasang di lapangan. Peta dasar minimal skala 1:50.000 sangat baik digunakan
91
untuk membuat peta delimitasi (Jones, 1945). Peran peta dalam tahap delimitasi
dapat dirangkum seperti Tabel 3.4.
Tabel 3.4 . Peta dalam tahap delimitasi (dirangkum dari Jones, 1945)
No Tahap delimitasi Peta yang diperlukan
Fungsi peta
1 Alokasi dan pre-delimitasi
Tersedia peta walaupun skala kecil untuk mengetahui posisi relatif wilayah yang dialokasi
Negosiasi dan perundingan
2 Proses delimitasi Peta dasar resmi (official maps) menggambarkan topografi, skala cukup besar minimal 1:250.000
Sebagai infrastruktur untuk memilih letak batas dan mendefinsikan titik batas dalam koordinat
3 Hasil delimitasi a) Peta delimitasi, skala besar minimal 1: 50.000. Dalam peta ini digambarkan garis batas hasil kesepakatan delimitasi dan mencatumkan koordinat titik-titik batas yang disepakati pada datum geodesi tertentu dan dilengkapi toponim sepanjang koridor batas
b) Deskripsi garis batas dalam bentuk verbal dengan toponim dan parameter geometris seperti nilai koordinat, azimuth atau panjang segmen batas.
a) Menggambarkan garis batas hasil delimitasi.
b) Sebagai pedoman untuk menentukan titik batas dalam kegiatan penegasan batas di lapangan.
3. Peta dalam tahap demarkasi
Tahap demarkasi pada dasarnya merupakan suatu kegiatan memindahkan
titik-titik batas di peta hasil delimitasi ke lapangan. Dalam banyak kasus sering
ada perbedaan antara teks delimitasi dengan peta delimitasi yang bisa
menimbulkan masalah dalam demarkasi. Namun hal ini sama sekali tidak
mengurangi nilai peta delimitasi sebagai pedoman untuk demarkasi (Jones, 1945).
92
Pada tahap demarkasi dilakukan transformasi titik batas ke lapangan dan
survei pemetaan sepanjang koridor batas dengan lebar koridor yang disepakati
oleh kedua belah pihak. Dalam pengertian teknis di bidang survei pemetaan,
mentransformasi titik dan garis di suatu peta ke lapangan disebut dengan istilah
staking out. Dalam proses melakukan stak out, aspek geometrik yang sangat
penting yang harus ada dalam peta yang ditransformasi adalah skala peta yang
benar serta diketahuinya koordinat titik-titik yang akan ditransformasi pada datum
geodesi yang dipilih (Kavanagh, 2003; Schofield, 2002).
Setelah survei lapangan selesaikemudian dibuat peta demarkasi yang
menggambarkan topografi sepanjang garis batas pada lebar koridor yang telah
ditentukan bersama. Peta demarkasi dibuat dari pengukuran langsung dengan
standard spesifikasi teknis pemetaan yang ditentukan bersama. Peta demarkasi
merupakan tampilan akhir dari proses boundary making dan peta ini digunakan
untuk keperluan administrasi dan pemeliharaan batas. Dalam peta demarkasi,
semua titik-titik batas dan garis batas yang menghubungkan titik-titik tersebut
harus secara jelas digambarkan. Peta yang diperlukan skala minimal 1:100.000
atau lebih besar sehingga titik-titik dan garis batas dapat digambarkan dengan
jelas. Pada daerah yang padat penduduk, peta demarkasi dapat dibuat dengan
skala besar sampai 1: 5000.
4. Peta pada tahap administrasi
Tahap administrasi pada dasarnya merupakan kegiatan mendokumentasikan
proses dan hasil tahapan alokasi, delimitasi dan demarkasi. Hasilnya berupa basis
data batas wilayah termasuk data peta (geospasial), koordinat titik-titik batas,
deskripsi batas, baik batas buatan seperti pilar maupun deskripsi batas yang
berupa fenomena alam seperti punggung bukit dan sungai. Selain
mendokumentasikan proses dan hasil alokasi, delimitasi dan demarkasi, kegiatan
administrasi batas juga mencakup pemeliharaan titik-titik batas. Peta-peta batas
maupun deskripsi batas yang didokumentasikan dengan baik sangat penting untuk
kegiatan pemeliharaan batas wilayah. Untuk itu sesuai dengan perkembangan
teknologi komputer dan informasi, biasanya basis data disusun secara dijital dan
untuk pengelolaannya digunakan SIG. Berbagai data dan informasi yang disusun
93
dalam basis data dijital meliputi: (a) data spasial seperti koordinat titik-titik batas,
peta batas pada koridor tertentu sepanjang garsis batas, deskripsi pilar batas,
deskripsi batas alam, (b) data non spasial meliputi dokumen treaty maupun nota-
nota kesepakatan, dokumen laporan dari setiap tahapan boundary making,
undang-undang dan berbagai peraturan dari masing-masing negara yang
berbatasan terkait batas wilayah (Donaldson dan Williams, 2008; Wood, 2000).
III.4. Teori Konflik
Pada sub bab ini dibahas tentang pengertian konflik dan sengketa secara
umum, sengketa batas wilayah dan hubungan antara sengketa batas wilayah
dengan peta.
III.4.1. Pengertian konflik dan sengketa
Secara umum konflik adalah salah satu bentuk perilaku persaingan antar
individu atau antar kelompok orang. Menurut Moore (1986) potensi terjadinya
konflik ada bila dua atau lebih aktor bersaing secara berlebihan atau tidak adanya
kesesuaian tujuan dalam kondisi sumberdaya yang terbatas (Forbes, 2001).
Masyarakat sering memiliki perspektif atau pandangan yag berbeda tentang
situasi kehidupan sosial, politik, ekonomi dan masalah-masalahnya dan perbedaan
pandangan dalam hal tujuan dan cara mencapai tujuan, sehingga sering
menimbulkan konflik (Fisher, dkk., 2001).
Selain kosa kata konflik terdapat kata yang memiliki pengertian yang
hampir sama yaitu sengketa (disputes).Sengketadidefinisikan sebagai suatu
ketidaksepahaman (disagreement) yang spesifik. Hal tersebut biasanya
disebabkan oleh adanya suatu regulasi atau kebijakan dimana klaim atau tuntutan
suatu kelompok ditolak oleh kelompok lain sehingga menimbulkan
sengketa.Dalam hal konflik batas wilayah, ketidaksepahaman yang terjadi
disebabkan oleh adanya suatu kebijakan politik,misalnya dalam bentuk perjanjian
antar negara atau kebijakan otonomi daerah dalam bentuk regulasi seperti undang-
undang pembentukan daerah di Indonesia, sehingga istilah konflik batas wilayah
94
oleh para ahli konflik lebih tepat disebut sengketa batas wilayah (boundary
disputes) (Forbes, 2001).
III.4.2. Diagnosis konflik
Mengelola konflik atau sengketa yang paling efektif adalah dilakukan
dengan dua langkah sederhana, yaitu: (1) melakukan diagnosis untuk mengetahui
akar penyebab sengketa dan (2) memutuskan untuk melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu terhadap sengketa tersebut. Layaknya seperti seorang dokter,
sebelum melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan terhadap pasiennya,
terlebih dahulu seorang dokter melakukan diagnosis untuk mendapat gambaran
akar penyebab penyakit yang diderita pasiennya. Demikian juga terhadap konflik.
Salah satu model diagnosis konflik yang banyak dipakai di dalam rangka resolusi
konflik adalah model yang dikembangkan oleh More (1986) di CDR Associates of
Boulder, Colorado (Furlong, 2005).
Moore mengembangkan suatu model peta konflik dalam bentuk lingkaran
konflik (the Circle of Conflict) seperti disajikan pada Gambar 3.20. Dalam the
Circle of Conflict, Moore mengidentifikasi lima penyebab utama terjadinya
konflik, yaitu: (1) persoalan hubungan antara orang atau kelompok, (2) persoalan
dengan data, (3) tidak diperhatikannya atau tidak ada kesesuaian nilai (value), (4)
kekuatan terstruktur dari luar yang menekan para aktor dalam sengketa, (5)
persoalan kepentingan yaitu tidak diperhatikannya atau tidak ada kesesuaian
KONFLIK HUBUNGAN
KONFLIK NILAI
KONFLIK DATA
KONFLIK KEPENTINGAN
KONFLIKSTRUKTURAL
UNNECESSARY CONFLICT
GENUINE CONFLICT
95
dalam hal keinginan (Forbes, 2001; Furlong, 2005).
Gambar 3.20. The Circle of Conflict menurut Moore, 1986 (Forbes, 2001; Furlong, 2005)
Konflik data, konflik nilai dan konflik hubungan sebenarnya merupakan
konflik yang semestinya bisa tidak terjadi (unnecessary conflict), artinya kalau
data dan informasi tersedia sesuai kebutuhan, nilai-nilai yang ada difahami secara
baik dan emosi serta perilaku negatif dapat dijaga, maka tidak terjadi konflik.
Genuine conflict adalah konflik yang melekat pada sifat dasar manusia, yaitu
konflik kepentingan dan konflik struktural. Faktor kepentingan dan struktural
adalah dua faktor yang saling berhubungan dan selalu ada dalam kehidupan
manusia (Forbes, 2001).
Rangkuman karakteristik masing-masing penyebab konflik disajikan pada
Tebel3.5
Tabel 3.5. Karakteristik penyebab konflik menurut Moore, 1986 (Forbes, 2001; Furlong, 2005).
UNNECESSARY CONFLICT Hubungan
1) Pengalaman negatif di masa lalu
2) Kesalahpahaman 3) Komunikasi yang buruk
atau kegagalan komunikasi
4) Perilaku negatif yang berulang
5) Emosi yang kuat
Nilai 1) Sistem
kepercayaan 2) Salah dan benar 3) Baik dan jahat 4) Adil dan tidak adil
Data 1) Kurangnya data dan
informasi 2) Salah data/informasi 3) Terlalu banyak
informasi 4) Beda cara pandang
terhadap data yang relevan
5) Beda interpretasi terhadap data
GENUINE CONFLICT Kepentingan
1) Masalah substantif (sumberdaya alam, waktu, keuangan)
2) Prosedural 3) Psikologis
Struktural 1) Bagaimana suatu situasi sudah
diatur 2) Hubungan geografis / hubungan
fisik (jarak atau kedekatan) 3) Kendala waktu 4) Ketidakseimbangan kekuatan /
kewenangan 5) Ketimpangan kontrol terhadap
96
sumberdaya 6) Definisi peran/aturan main
Model lingkaran konflik yang dikemukakan oleh Moore merupakan model
yang sangat kuat guna melakukan diagnosis untuk mengidentifikasi akar
penyebab konflik. Akar penyebab konflik langsung dapat dikelompokan dalam
kategori yang sudah ditentukan. Oleh sebab itu model the Circle of Conflict
Moore sering digunakan pada berbagai tipe konflik termasuk sengketa batas
wilayah (Forbes, 2001).
III.4.3. Sengketa batas wilayah
Menurut Prescott (1987), sengketa batas wilayah secara umum dapat
dikelompokan dalam tiga jenis: (1) sengketa teritorial yaitu sengketayang terjadi
bila ada suatu wilayah belum dialokasi sehingga pada proses alokasi terjadi
sengketa pada level politisi/negara, (2)sengketa posisional yaitu sengketa yang
terjadi setelah alokasi batas wilayah baik sebelum delimitasi atau sering muncul
setelah delimitasi pada saat kegiatan demarkasi, (3) sengketa fungsional yaitu
sengketa yang terjadi pada tahap manajemen perbatasan seperti pengelolaan
sumberdaya yang bernilai ekonomi dan pengelolaan lalu lintas orang dan barang
(cross-border).
Dalam konteks boundary making batas daerah di Indonesia, sengketa batas
terjadi pada saat tahapan penegasan batas daerah, sehingga termasuk dalam jenis
sengketa posisional. Sengketa ini terjadi karena mempermasalahkan atau adanya
ketidaksepahaman dalam masalah ketepatan posisi garis batas (Subowo, 2009).
III.4.4. Hubungan sengketa batas wilayah dengan peta
Blake (1995) menyatakan bahwa pentingnya peta dalam sengketa batas
wilayah adalah dalam empat hal, yaitu: (1) peta dapat menjadi faktor yang
berkontribusi sebagai penyebab sengketa, (2) peta digunakan oleh para pihak yang
bersengketa untuk mengajukan usulan posisi batas wilayah masing-masing, (3)
peta digunakan sebagai alat dalam penyelesaian sengketa, (4) peta digunakan
97
untuk memberi gambaran tentang keputusan pengadilan terkait sengketa batas
wilayah. Pada tahap demarkasi, sengketa yang terjadi adalah sengketa posisional
yaitu sengketa saling klaim letak titik atau garis batas. Oleh sebab itu mengacu
pada teori penyebab konflik menurut Moore (1986), kesalahan atau kurangnya IG
pada peta dapat dikelompokkan kedalamfaktor penyebab sengketa karena data.
Contoh kurangnya data dan informasi pada peta misalnya di dalam peta tidak
dicantumkan skala, atau skala yang dicantumkantidak benar. Contoh lain
kekurangan informasi pada peta misalnya tidak ada sistem koordinat dan tidak
jelas datum geodetiknya. Selain itu, karena peta merupakan gambaran unsur-unsur
geografis baik alamiah maupun buatan manusia yang biasanya ada atribut nama-
nama geografis (toponim), maka perbedaan klaim posisi titik dan garis batas juga
sangat dimungkinkan karena kesalahan dalam toponimi (Prescott, 2010).
III.5. Asesmen
Kata asesmen berasal dari bahasa Inggris, assessment yang artinya taksiran.
Taksiran bisa bersifat deskriptif yang menggambarkan sesuatu secara holistik
(menyeluruh) dengan sifat atau cara kerja yang komprehensif.Asesmen adalah
kegiatan yang mencakup: identifikasi, analisis dan evaluasi (Soendari, 2009).
Prinsip-prinsip dalam asesmen meliputi: (1) proses asesmen bersifat sistematis
dan komprehensif, (2) obyek asesmen berupa informasi (data, fakta, kejadian)
untuk diketahui gejala dan intensitasnya, kendala-kendala dan kelemahan, (3)
dalam asesmen ada pembanding informasi tersebut dengan suatu
parameter/ukuran dengan menggunakan instrumen, (4) adanya pelaku (asesor)
yang mengumpulkan informasi, (5) digunakan untuk menyusun suatu program
yang dibutuhkan yang bersifat realistik sesuai kenyataan secara obyektif. Secara
umum tujuan suatu kegiatan asesmen adalah: (1) memperoleh data yang relevan,
obyektif, akurat dan komprehensif, (2) mengetahui profil sesuatu secara utuh
terutama permasalahan dan hambatan, potensi, kebutuhan dan daya dukung
lingkungan yang dibutuhkan, (3) menentukan layanan yang dibutuhkan dalam
rangka memenuhi kebutuhan (Banta, 1996).
98
Dalam melakukan asesmen, sangat diperlukan instrumen. Salah satu
instrumen yang sering digunakan adalah checklist karena cukup ekonomis dan
mudah. Check list adalah suatu daftar yang berisi faktor-faktor yang akan
diselidiki sehingga merupakan salah satu alat observasi, yang ditujukan untuk
memperoleh data, berbentuk daftar berisi faktor-faktor yang ingin diamati oleh
peneliti. Dalam pelaksanaannya, peneliti tinggal memberi tanda check pada daftar
faktor-faktor yang diamati di lembar observasi, sehingga memungkinkan peneliti
dapat melakukan tugasnya secara cepat dan objektif (Narbuko dan Achmadi,
2007).
Checklist adalah suatu penilaian yang didasarkan atas suatu standar yang
dideskripsikan terlebih dahulu. Standar produk bisa bersifat internal yang lebih
diarahkan untuk kontrol kualitas produk dan standar yang bersifat eksternal yang
lebih bersifat kepada standar penggunaan produk. Ada tiga jenis instrumen
checklistyang bisa digunakan yaitu: checklistobservasi demonstrasi, checklist
penilaian produk, checklist profil ukuran kinerja yang dapat diterima (Surono,
2012). Dalam hal ini, IG adalah suatu produk sehingga instrumen yang sesuai
adalah checklist penilaian produk dengan standar yang ditentukan bersifat
eksternal.
99
BAB IV
METODE PENELITIAN
Bab ini berisi uraian mengenai metode penelitian. Sebelum menjelaskan
metode penelitian terlebih dahulu dijelaskan model konseptual penelitian yang
digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan penelitian.
IV.1. Model konseptual penelitian
Model konseptual adalah suatu penggunaan simbol-simbol untuk
mendeskripsikan permasalahan dunia nyata yang kompleks dalam bentuk skema
konsep sehingga permasalahan yang kompleks menjadi lebih mudah difahami
(Khatri, dkk., 2001). Model konseptual penelitian yang disajikan pada Gambar
4.1. pada dasarnya merupakan desain model untuk melakukan asesmen. Kerangka
pikir model konseptual dapat dijelaskan pada bagian berikut.
Di bagian kiri gambar skema model konseptual, dilakukan asesmen
terhadap kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah pada proses
boundary making di Indonesia pada era otonomi daerah untuk mengidentifikasi
sifat dari kerangka kerja tersebut. Tolok ukur yang digunakan untuk asesmen
tersebut adalah model kerangka kerja penetapan dan penegasan pada teori
boundary making Jones.
Di bagian kanan, tahapan penetapan merupakan bagian dari proses
pembentukan DOB. Dalam proses tersebut diperlukan inputIG berupa peta dasar
yang digunakan untuk memilih letak dan mendefinisikan batas DOB yang
dibentuk. Hasil penetapan batas adalah peta wilayah administrasi DOB yang
dilampirkan dalam UUPD. Selanjutnya peta wilayah administrasi lampiran UUPD
digunakan sebagai pedoman untuk staking outdalam penegasan batas daerah di
lapangan. Mengingat pentingnya peran IG proses boundary making, maka perlu
dilakukan asesmen untuk mengidentifikasi peran IG dalam tahap penetapan batas
daerah.
101
Asesmen peran IG dalam penetapan batas daerah dilakukan selama
pelaksanaan otonomi daerah dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2009. Asesmen
tersebut dilakukan dengan pendekatan sistem, yaitu asesmen peran IG pada
masukan (input), pada proses dan pada luaran (output). Asesmen IG pada
masukan hanya difokuskan pada peta RBI dengan parameter ketersediaan skala
dan kualitasnya. Tolok ukur yang digunakan adalah skala minimal yang harus
tersedia mengacu pada Spesifikasi Teknis peta wilayah DOB provinsi, kabupaten
dan kota yang dikeluarkan oleh Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal
tahun 2008 dan 2009.
Asesmen penggunaan IG pada proses penetapan diidentifikasi dari
penggunaanya untuk memilih dan mendefinisikan garis batas daerah, sedangkan
asesmen IG pada luaran penetapan adalah mengidentifikasi kualitas peta lampiran
UUPD. Dalam asesmen kualitas peta lampiran UUPD, diidentifikasi parameter
geometris dan kelengkapan muatan peta menggunakan tolok ukur Spesifikasi
Teknis peta wilayah DOB provinsi, kabupaten dan kota yang dikeluarkan oleh
Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal tahun 2008 dan 2009.
Dalam pelaksanaan penegasan batas daerah dimungkinkan terjadi sengketa
posisional batas daerah. Diagnosis penyebab sengketa dilakukan dengan
pendekatan Lingkaran Konflik Moore (1986) untuk mengetahui penyebab
sengketa dan menganalisis kontribusi IG terhadap munculnya sengketa batas
daerah pada penegasan batas daerah di era otonomi daerah di Indonesia.
IV.2. Pelaksanaan penelitian
Secara garis besar jalannya penelitian digambarkan pada Gambar 4.2.
Gambar 4.1. Model konseptual penelitian
103
Mengacu pada Gambar 4.2 jalannya pelaksanaan penelitian diuraikan pada
sub bab berikut.
IV.2.1. Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: (1) data
yang terkait dengan tahap penetapan, (2) data yang terkait dengan tahap
penegasan dan (3) data sengketa batas daerah. Data yang diteliti pada dasarnya
adalah berupa dokumen. Dokumen tersebut dapat dikelompokan menjadi dua
yaitu dokumen tekstual dan dokumen spasial (peta).
1. Data tahap penetapan
a) Dokumen tekstual meliputi peraturan perundangan yang terkait penetapan
batas daerah pada periode tahun 1999 sampai dengan 2009 yaitu:
1) UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
2) UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai
pengganti UU No. 22 tahun 1999,
3) UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai
pengganti UU No.32 tahun 2004,
4) Peraturan Pemerintah (PP) yaitu PP No.129 tahun 2000 tentang
persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan,
dan penggabungan daerah,
5) PP No.78 tahun 2007 tentang tata cara pembentukan, penghapusan,
dan penggabungan daerah,
6) UUPD yang dibentuk pada periode tahun 1999 sampai dengan
tahun 2009.
b) Data dokumen spasial berupa:
1) Peta wilayah administrasi lampiran UUPD tahun 1999 sampai
dengan tahun 2009,
2) Peta indeks ketersediaan peta rupa bumi Indonesia (peta RBI)
tahun 2000 sampai dengan tahun 2009 diperoleh dari Badan IG.
104
2. Data tahap penegasan:
a) Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.126/2742/SJ tanggal 27 Nopember
2002 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah,
b) Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 tahun 2006 tentang Pedoman
Penegasan Batas Daerah,
c) Peraturan Menteri Dalam Negeri No.76 tahun 2012 tentang Pedoman
Penegasan Batas Daerah.
3. Laporan sengketa batas daerah diperoleh dari Direktorat Wilayah dan
Administrasi Perbatasan Kementrian Dalam Negeri dalam bentuk matriks
permasalahan batas daerah.
IV.2.2. Asesmen kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah
1. Asesmen kerangka kerja penetapan batas daerah
Asesmen kerangka kerja penetapan batas daerah dilakukan terhadap
kerangka kerja pada PP No.129 tahun 2000 dan PP No.78 tahun 2007, karena
kerangka kerja penetapan batas daerah di Indonesia pada dasarnya merupakan
bagian dari kerangka kerja pembentukan DOB. Selanjutnya asesmen kerangka
kerja penegasan dilakukan dengan merujuk pada kerangka kerja Permendagri
No.1 tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. Sebagai tolok ukur
dalam asesmen kerangka kerja penetapan dan penegasan batas daerah digunakan
model kerangka kerja boundary making Jones (1945) yang diuraikan oleh Srebro
dan Shoshany (2013) seperti telah dijelaskan pada landasan teori.
Dalam pelaksanaannya, kerangka kerja pada PP No.129 tahun 2000 dan PP
No.78 tahun 2007 dibandingkan dengan kerangka kerja penetapan batas wilayah
menurut Jones 1945. Ada dua model kerangka kerja boundary making menurut
Jones, yaitu model yang bersifat linear dan bersifat non-linear, sehingga hasil
asesmen yang diperoleh apakah kerangka kerja penetapan batas daerah di
Indonesia pada periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2009 bersifat linear atau
non-linear.
105
Karaketristik kerangka kerja penetapan batas daerah yang bersifat linear
adalah proporsional antara kerja yang bersifat politis dan profesional (geospasial),
yaitu:
a) alokasi dan penetapan adalah kerja politisi tetapi diperlukan bantuan
persiapan teknis dari profesional bidang geospasial,
b) UUPD dihasilkan oleh politisi, namun dalamnya berisi hasil-hasil
delimitasi batas hasil kerja yang dilakukan oleh profesional geospasial,
c) peta wilayah lampiran UUPD memenuhi standar spesifikasi yang
ditentukan.
Karakteristik kerangka kerja penetapan yang tidak memenuhi kriteria
tersebut adalah non-linear.
Variabel yang diidentifikasi pada penetapan batas daerah adalah:
a) Penggunaan IG pada penetapan,
b) Keterlibatan profesional geospasial dalam memilih letak dan
mendefinisikan batas daerah,
c) Kualitas peta wilayah lampiran UUPD.
2. Asesmen kerangka kerja penegasan batas daerah
Penegasan batas daerah merupakan kegiatan penting pasca terbentuknya
suatu DOB sebagai amanat UUPD. Dalam penelitian ini, dilakukan asesmen
terhadap kerangka kerja penegasan batas daerah pada era otonomi daerah di
Indonesi merujuk pada Permendagri No.1 tahun 2006 tentang Pedoman
Penegasan Batas Daerah. Kriteria dan tolok ukur yang digunakan untuk asesmen
penegasan batas daerah adalah kerangka kerja tahapan penegasan batas wilayah
menurut teori boundary making Jones. Sesuai dengan karaketristik boundary
making yang memiliki sifat berkesinambungan-sistematik (Jones, 1945;
Donaldson dan Williams, 2008; Srebro dan Shoshany, 2013), maka kriteria
kerangka kerja penegasan batas daerah adalah bersifat linear dan non-linear. Dua
variabel yang diidentifikasi untuk menentukan kerangka kerja penegasan bersifat
linear yaitu:
106
a) berkesinambungan-sistematik artinya dalam kegiatan penegasan batas
daerah tidak lagi dilakukan kegiatan penetapan,
b) proporsi kegiatan yang bersifat teknis geospasial lebih dominan
dibanding kegiatan yang bersifat politis.
Bila kerangka kerja penegasan batas daerah tidak memenuhi dua hal
tersebut, maka kerangka kerja penegasan batas daerah bersifat non-linear.
IV.2.3.Pengelompokan UUPD beserta peta lampiran UUPD atas dasar PP No.129 tahun 2000 dan PP No.78 tahun 2007.
Sesuai fokus penelitian, data UUPD yang dipilih sebagai obyek penelitian
adalah data UUPD yang didasarkan atas PP No.129 tahun 2000 dan PP No.78
tahun 2007. Oleh sebab itu sebelum dilakukan asesmen terhadap peran IG dalam
penetapan batas daerah, terlebih dahulu dilakukan reduksi dan pengelompokan
data dokumen pembentukan DOB berupa UUPD beserta peta wilayah lampiran
UUPD yang bersangkutan.
Setelah data UUPD yang tidak dibentuk dengan dasar PP No.129 tahun
2000 dan PP No.78 tahun 2007 disisihkan, selanjutnya data UUPD dikelompokan
menjadi dua kelompok, pertama, data UUPD yang dibentuk dengan dasar PP
No.129 tahun 2000 dan kedua, data UUPD yang dibentuk dengan dasar PP No.78
tahun 2007.
IV.2.4. AsesmenperanIG dalam penetapan batasdaerah
Asesmen untuk mengidentifikasi peran IG dalam penetapan batas daerah
dilakukan pada masing-masing kelompok data seperti telah diuraikan pada sub
bab IV.2.3. Dalam bentuk diagram, model sistematis asesmen peran IG dalam
penetapan batas daerah disajikan pada Gambar 4.3.
107
Gambar 4.3. Asesmen peran IG pada tahap penetapan batas daerah
Asesmen peran IG dalam penetapan batas daerah dibagi dalam tiga tahap:
1) asesmen kondisi informasi peta dasar (peta RBI) pada input penetapan
yang difokuskan pada kondisi peta RBI pada periode tahun 2000 sampai
dengan tahun 2009 untuk mendukung penetapan batas daerah,
2) asesmen penggunaan IG dalam proses penetapan yang dianalisis melalui
dokumen UUPD khususnya pasal cakupan dan batas wilayah yang
diterbitkan pada periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2007 dan
periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2009,
3) asesmen peta wilayah administrasi lampiran UUPD pada output
penetapan yang bertujuan untuk mengetahui kualitas peta lampiran
UUPD bila digunakan untuk mentransformasi titik dan garis batas di
peta batas ke lapangan pada kegiatan penegasan batas daerah.
Metode asesmen dilakukan dengan metode check list atau daftar cocok,
yaitu mengamati parameter obyek yang dinilai kemudian dicocokan dengan
standar (tolok ukur) yang ditentukan atau dideskripsikan. Instrumen yang
digunakan adalah checklist penilaian produk peta untuk keperluan penetapan batas
input prose
output
PARAMETER YANG DINILAI
PENETAPAN BATAS DAERAH
108
daerah. Kriteria dan tolok ukur asesmen peran IG disesuaikan pada tahapan input,
proses dan output berikut ini:
a. Input tahap penetapan batas daerah. IG yang digunakan sebagai input
dalam tahapan penetapan batas daerah adalah peta RBI. Dalam asesmen
terhadap parameter ketersediaan peta RBI digunakan tolok ukur variabel
skala pada Spesifikasi Teknis Peta Wilayah Daerah Otonom Provinsi,
Kabupaten dan Kota yang diterbitkan oleh Pusat Pemetaan Batas Wilayah
Bakosurtanal (sekarang BIG) pada tahun 2008 dan 2009 (PPBW-
Bakosurtanal, 2008, 2009a, 2009b). Dalam dokumen tersebut ditentukan
skala minimal untuk peta wilayah provinsi, untuk kabupaten dan untuk kota
seperti disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Kriteria dan tolok ukur asesmen IG sebagaiinput tahap penetapan batas daerah
Parameter Variabel Tolok ukur Hasil asesmen
Ketersediaan peta dasar resmi (peta RBI)
Skala
1) Minimal 1: 250.000 untuk provinsi
2) Minimal 1: 100.000 untuk kabupaten
3) Skala minimal 1: 50.000 untuk kota
1) Sangat memadai bila tersedia skala > 1:250.000 untuk provinsi, > 1:100.000 untuk kabupaten dan > 1: 50.000 untuk kota
2) Memadai bila tersedia skala peta dasar 1:250.000 untuk provinsi, 1:100.000 untuk kabupaten dan 1: 50.000 untuk kota
3) Tidak memadai bila skala < 1:250.000 untuk provinsi, < 1:100.000 untuk kabupaten dan <1: 50.000 untuk kota
b. Pada prosestahap penetapan batas daerah. Dua kegiatan penting pada
proses penetapan batas yaitu memilih letak garis batas dan mendefinisikan
titik-titik batas. Pemilihan letak batas dan pendefinisian titik batas dilakukan
pada peta dasar resmi (Jones, 1945). Merujuk pada pendapat Jones tersebut,
109
maka parameter yang perlu diidentifikasi dalam penetapan batas daerah
adalah adanya kegiatan memilih letak garis batas dan mendefinisikan titik
batas menggunakan peta RBI. Kriteria dan tolok ukur yang digunakan untuk
asesmen IG pada proses tahap penetapan disajikan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Kriteria dan tolok ukur asesmen peran IG padaproses penetapan batas daerah
Parameter
Variabel Tolok ukur (menurut Jones, 1945)
Hasil asesmen
Memilih letak
Pasal cakupan wilayah pada UUPD
1) Ditentukan letak batas dan dituliskan dalam bentuk narasi
2) Digambarkan letak garis batas di peta lampiran
1) Sesuai bila disebutkan letak batas, digambarkan dalam peta lampiran UUPD dan titik-titik batas didefinisikan koordinatnya pada sistem koordinat dan datum tertentu
2) Kurang sesuai bila disebutkan letak batas dalam UUPD, digambarkan dalam peta lampiran UUPD
3) Tidak sesuai bila tidak menyebutkan letak batas, tidak digambarkan dalam peta lampiran UUPD dan titik batas tidak didefinisikan koordinatnya pada sistem koordinat dan datum tertentu
Mendefinisikan titik dan garis batas
Pasal batas wilayah pada UUPD
Pendefinisian titik-titik batas dengan kordinat pada sistem koordinat dan datum tertentu
c. Pada outputpenetapan batas daerah. Luaran proses penetapan batas yang
berupa IG adalah peta batas wilayah yang dilampirkan dalam UUPD. Untuk
mengetahui kualitas peta batas wilayah lampiran UUPD dilakukan asesmen
menggunakan kriteria dan tolok ukur yang mengacu pada Spesifikasi Teknis
Peta Wilayah Daerah Otonom Provinsi, Kabupaten dan Kota yang diterbitkan
oleh Pusat Pemetaan Batas Wilayah Bakosurtanal (sekarang BIG) pada tahun
110
2008 dan 2009 (PPBW- Bakosurtanal, 2008, 2009a, 2009b). Parameter
penting peta hasil tahap penetapan agar titik dan garis batas di peta dapat
ditransformasi ke lapangan pada Spesifikasi Teknis Peta Wilayah Daerah
Otonom tersebut meliputi parameter geometris dan kelengkapan muatan peta.
Parameter geometris adalah skala peta dan sistem referensi geospasial
meliputi: (1) datum geodetikdan datum vertikal yang berupa bidang yang
menjadi acuan posisi horisontal dan tinggi, (2)sistem referensi koordinat yang
merupakan sistem untuk menentukan posisi suatu obyek secara unik di muka
bumi dan (3) sistem proyeksi yaitu sistem yang secara matematis digunakan
untuk penggambaran muka bumi yang tidak beraturan ke bidang datar.
Parameter tersebut dirangkum dalam Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Kriteria yang bersifat geometris yang harus ada untuk peta batas wilayah lampiran UUPD sehingga peta tersebut dapat digunakan dalam penegasan
batas daerah (sumber: PPBW-Bakosurtanal, 2008, 2009a, 2009b)
Daerah Parameter
Provinsi Kabupaten Kota
Skala Minimal 1: 250.000
Minimal 1:100.000
Minimal 1:50.000
Datum horisontal DGN-1999 DGN-1995 DGN-1995 Datum vertikal Muka laut rata-
rata pada chart datum setempat untuk setiap daerah atau pulau
Muka laut rata-rata pada chart datum setempat untuk setiap daerah atau pulau
Muka laut rata-rata pada chart datum setempat untuk setiap daerah atau pulau
Sistem koordinat Transverse Mercator, sistem geografis dan grid (UTM)
Transverse Mercator, sistem geografis dan grid (UTM)
Transverse Mercator, sistem geografis dan grid (UTM)
Parameter kelengkapan muatan peta meliputi kerincian kelas unsur dan
simbolisasi. Unsur-unsur rupa bumi yang perlu digambar meliputi unsur gedung
dan bangunan, unsur perhubungan, unsur relief, unsur batas wilayah (negara,
provinsi, kabupaten/kota, kecamatan), unsur sungai dan perairan, nama-nama
geografis dan keterangan garis batas, arah utara, legenda, sumber data, riwayat
111
peta, pembagian wilayah administrasi dan nama-nama geografis (toponim).
Kerincian kelas unsur dan simbolisasi, penggambaran, pencetakan meliputi
ukuran kertas, jenis kertas, warna, format cakupan peta mengacu kepada SNI Peta
RBI No.19-6502.4-2000 untuk peta RBI skala 1:250.000, SNI No.19-6502.3-2000
untuk peta RBI skala 1:50.000 dan SNI No.19-6502.2- 2000 untuk peta RBI skala
1:25.000.
Kriteria dan tolok ukur yang digunakan untuk asesmen terhadap peta
lampiran UUPD DOB disajikan pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Kriteria dan tolok ukur asesmen peta lampiran UUPD DOB
Parameter
Variabel
Tolok ukur Spesifikasi Teknis Peta Wilayah Daerah Otonom Provinsi, Kabupaten, Kota yang diterbitkan PPBW-Bakosurtanal Tahun 2008,2009.
Hasil asesmen
Kualitas peta hasil penetapan (peta wilayah lampiran UUPD) untuk keperluan penegasan
Geometris
1) Skala minimal untuk provinsi 1: 250.000, kabupaten 1: 100.000, kota 1:50.000
2) datum geodesi DGN-95 3) datum vertikal muka laut
rata-rata 4) proyeksi peta dan grid peta
pada sistem UTM
1) Sesuai bila mencantumkan semua parameter sesuai spesifikasi dan digambar pada format A0.
2) Tidak sesuai, bila
tidak mencantumkan secara keseluruhan parameter geometris dan tidak digambar pada format A0.
Kelengkapan muatan peta yang harus digambarkan
1) Unsur permukiman 2) Unsur perhubungan 3) Unsur relief dan titik kontrol 4) Unsur batas wilayah 5) Unsur perairan 6) Toponim (nama perairan,
nama pulau, nama sungai, nama gunung, nama selat, nama ibu kota, nama daerah provinsi, kab/kota, kecamatan, desa.
Ukuran peta Ukuran kertas A0
112
IV.2.5. Diagnosis penyebab sengketa batas daerah
Dalam penelitian ini data sengketa batas daerah yang berupa matriks
permasalahan batas daerah. Pada awalnya data tersebut berupa laporan
permasalahan sengketa batas yang dilaporkan oleh daerah-daerah yang
bersengketa kepada Kementrian Dalam Negeri ketika dilakukan kegiatan
penegasan batas daerah. Oleh Direktorat Wilayah Administrasi dan Perbatasan,
Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Kementrian Dalam Negeri laporan
tersebut disusun menjadi bentuk matriks permasalahan perbatasan. Matriks
tersebut akan digunakan oleh Kementrian Dalam Negeri untuk menentukan arah
kebijakan dan langkah-langkah penyelesaian serta menentukan prioritas sengketa
yang harus diselesaikan. Data sengketa batas daerah yang diperoleh pada
penelitian ini seluruhnya berjumlah 62 kasus sengketa batas daerah antar
kabupaten/kota (Kemendagri, 2012). Setelah dipelajari terdapat 17 kasus sengketa
batas daerah yang informasinya dinilai tidak lengkap, sehingga untuk keperluan
penelitian ini hanya dipilih 45 kasus.
Data 45 kasus sengketa batas daerah tersebut selanjutnya diklasifikasi
menjadi tiga kategori A, B dan C atas dasar kriteria tahun pembentukan daerah
otonom dengan mengingat tahun UUPD daerah yang bersengketa seperti disajikan
pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5. Kategori sengketa batas daerah atas dasar kriteria tahun pembentukan daerah otonom dengan mengingat tahun UUPD daerah
yang bersengketa
Kategori Kriteria Keterangan
A Sengketa batas daerah antar DOB yang sama-sama dibentuk pada era otonomi daerah (tahun 1999 sampai dengan tahun 2009).
Disajikan pada Lampiran 5
B Sengketa batas daerah antara DOB yang dibentuk pada era OTDA (tahun 1999 sampai dengan tahun 2009) dengan daerah otonom yang dibentuk sebelum tahun 1999.
Disajikan pada Lampiran 6
113
Tabel 4.5.Lanjut
Kategori Kriteria Keterangan
C Sengketa batas daerah antara daerah otonom yang sama-sama dibentuk sebelum tahun 1999 (sebelum OTDA) namun munculnya sengketa terjadi pada saat penegasan di era OTDA.
Disajikan pada Lampiran 7
Pada setiap kategori A, B dan C, dilakukan diagnosis sengketa batas daerah
untuk: (1)mengidentifikasifaktor penyebabsengketa, (2) menentukan jenis
sengketa.Diagnosis penyebab sengketa dilakukan dengan pendekatan teori
lingkaran konflik menurut Moore (1986). Berdasar hasil diagnosis penyebab
sengketa selanjutnya diklasifikasi jenis sengketa. Jenis sengketa batas daerah
diklasifikasi sebagai berikut: (1) sengketa batas daerah yang disebabkan faktor
kepentingan, (2) sengketa batas daerah yang disebabkan faktor struktural, (3)
sengketa batas daerah yang disebabkan faktor IG, (4) sengketa batas daerah yang
disebabkan faktor hubungan, (5) sengketa batas daerah yang disebabkan faktor
nilai, (6) sengketa batas daerah yang disebabkan kombinasi minimal dua faktor
tersebut.
IV.2.6. Wawancara
Dalam penelitian ini dilakukan kegiatan wawancara. Tujuan wawancara
adalah untuk mendapat data atau informasi suatu obyek yang sedang diteliti atau
klarifikasi terhadap suatu hasil asesmen yang telah dilakukan. Empat hal penting
yang menjadi obyek penelitian yaitu peta RBI, penetapan batas daerah, penegasan
batas daerah dan sengketa batas daerah. Obyek penelitian tersebut terkait dengan
tiga institusi yaitu:
1) Peta RBI terkait dengan institusi BIG, dalam hal ini Pusat Pemetaan
Rupabumi dan Toponimi (PPRT-BIG),
2) Penetapan batas daerah yang merupakan bagian dari proses pembentukan
DOB terkait dengan Direktorat Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus,
Direktorat Jenderal OTDA, Kementrian Dalam Negeri,
114
3) Penegasan batas daerah dan sengketa batas daerah terkait institusi
Direktorat Wilayah dan Administrasi Perbatasan, Direktorat Jenderal
Pemerintahan Umum, Kementrian Dalam negeri.
Oleh sebab itu, wawancara dilakukan pada responden di tiga institusi tersebut.
Responden yang dipilih dalam wawancara dipilih dengan kriteria sebagai
berikut:
1) Pejabat atau pegawai yang tugas pokok dan fungsinya terkait dengan
obyek penelitian,
2) Telah bertugas di bidang yang terkait dengan obyek penelitian paling
sedikit tiga tahun.
Wawancara dilakukan secara indepth interview. Wawancara terhadap
pejabat di PPRT-BIG dilakukan untuk mendapat informasi tentang proses
pembuatan, ketersedian serta kualitas peta RBI. Wawancara yang dilakukan
terhadap pejabat di Direktorat Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus, Direktorat
Jenderal OTDA, Kementrian Dalam Negeri, dilakukan untuk mendapat informasi
dan klarifikasi tentang penggunaan peta RBI dalam proses penetapan batas daerah
dalam rangka pemekaran wilayah pada sepuluh tahun era otonomi daerah di
Indonesia (tahun 1999 sampai dengan tahun 2009). Wawancara yang dilakukan
terhadap pejabat di Direktorat Wilayah dan Administrasi Perbatasan, Direktorat
Jenderal Pemerintahan Umum, Kementrian Dalam Negeri, dilakukan untuk
mendapat informasi dan klarifikasi tentang penegasan batas daerah dan sengketa
batas daerah.