bab dua perspektif teori -...
TRANSCRIPT
43
BAB DUA
PERSPEKTIF TEORI
Pendahuluan
Dalam Bab II perspektif teori ini akan dibahas teori besar yaitu
perspektif teori Max Weber dan Pierre Bourdieu yang menjadi rujukan
dalam penulisan disertasi ini. Dimana pemikiran Max Weber
mengkritisi kehidupan spirit agama untuk memobilisir kegiatan
ekonomi sebagai bentuk hubungan manusia dengan Tuhan, sehingga
semangat prilaku kapitalisme muncul, tumbuh dan berkembang.
Pengaruh ajaran agama Kristen Protestan yang dikembangkan oleh
kelompok Calvinisme percaya adanya doktrin predestinasi, calling “panggilan” pelayanan kepada Tuhan, sikap asketisme seperti bekerja
keras, tidak berfoya-foya, dan hidup sederhana, serta pola perilaku
yang rasionalitas (berpikir logis dan inovatif) telah mendorong serta
menggerakan perilaku seseorang untuk mencari keuntungan (profit),
dan keuntungan yang dapat diperbarui untuk diakumulasikan usaha
lebih lanjut. Usaha-usaha kapitalistis yang rasional dilakukan secara
terus-menerus akan berakibat mengubah dunia menjadi lebih cepat
pertumbuhan ekonominya yang berdampak pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Sedangkan teori Pierre Bourdieu mengupas proses
pengembangan pembentukan habitus sebagai realisasi sosial dalam
proses “dialektika internalisasi eksternalitas dan eksternalitas
internalitas” dalam aktivitas sosial. Ekternalitas adalah struktur objektif
yang ada di luar pelaku sosial, sedangkan internalitas merupakan segala
sesuatu yang melekat pada diri pelaku sosial. Dalam proses interaksi
dialektis itulah struktur objektif dan subjektif, struktur dan agen
bertemu dalam arena dan berdialektika dalam bentuk praktik.
Dinamika dialektika yang dilakukan pelaku-pelaku sosial menjadikan
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
44
dasar pembentukan social capital yang mampu menggerakan para
pelaku (actor) sehingga mampu meningkatkan kinerja aktivitasnya
dalam memenuhi kebutuhannya melalui kegiatan ekonomi.
Perspektif Max Weber
Max Weber dilahirkan di Erfurt, Jerman, pada 21 April 1864.
Max Weber berasal dari keluarga kelas menengah yang terpandang di
kalangan politik Partai Liberal Nasional (National Liberal Party) yang
dipimpin bangsawan Hanover, Bennigsen. Keluarga itu menetap di
Charlottenburg, waktu itu merupakan kawasan bagian barat pinggir
kota Berlin, dan keluarga pedagang linen dan produsen tekstil.
Ayahnya, Max Weber, Sr., seorang ahli hukum yang cakap dan
penasehat kota praja yang sangat menyukai kesenangan duniawi.
Sedangkan ibu Weber, Helena Fasllenstein Weber, adalah seorang
wanita Protestan terpelajar dan liberal, wanita yang berusaha
menjalankan hidup prihatin (ascetic), tanpa kesenangan yang
didambakan suaminya. Menurut Noorkholis (2006), perbedaan antara
perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada
orientasi intelektual dan perkembangan pribadi Weber kecil.
Pada awal perkembangan hidupnya, Weber cenderung lebih
berorientasi pada gaya hidup ayahnya, sehingga ibunya sangat
mengkuatirkan ketidakpedulian religius anaknya. Weber remaja
semakin kurang memiliki dasar yang sama dengan ibunya dalam
persoalan-persoalan serius. Tapi bukan berarti ia dekat dengan
ayahnya; atmosfer duniawi kehidupan intelektual modern
menjauhkannya dari pengaruh ayahnya dan dari kesolehan ibunya.
Setelah perkawinannya dengan Mariane, Weber menjalani
kehidupan sukses sebagai seorang ilmuwan muda di Berlin. Pemikiran-
pemikiran Weber sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya,
ayah, ibu maupun isterinya, serta guru-gurunya, koleganya maupun
lingkungan sosial dimana Weber berada. Pada tahun 1894,Weber
menerima jabatan professor penuh dalam bidang ekonomi di
Perspektif Teori
45
Universitas Freiburg.Weber meninggal pada tahun 1920 pada usia 56
tahun, selama hidupnya Weber banyak melakukan penelitian
mengenai peranan agama dan pengaruhnya terhadap etika ekonomi,
beliau menekankan penelitiannya pada dua segi utama, yaitu agama
yang mempengaruhi pandangan hidup manusia dan perubahan sosial
ekonomi yang mempengaruhi agama. Namun dilihat dari semua
karya-karyanya, Weber lebih mementingkan pengaruh agama dan
peranannya terhadap etika ekonomi.
Di awal penelitiannya, Weber mencoba melakukan
transformasi struktural sekaligus juga melakukan lintas structural antara bidang agama dan ekonomi. Berdasarkan data empiris statistik
yang diamati menunjukkan, perkembangan perusahan-perusahaan di
dunia Eropa modern, dimana banyak pimpinan-pimpinan perusahaan
dan para pemilik modal, maupun mereka yang tergolong sebagai buruh
terampil (ahli) tingkat tinggi, terlebih lagi karyawan-karyawan
perusahaan modern yang sangat terlatih dalam bidang teknis dan niaga
memeluk agama Kristen Protestan1. Ini menunjukkan bukanlah suatu
fakta yang kebetulan (temporer) melainkan suatu fakta sejarah.
Giddens (1985) mengatakan bahwa, beberapa negara Eropa sebagai
pusat perkembangan kapitalis di permulaan abad keenambelas
merupakan pusat yang sangat kuat unsur Protestannya2. Menurut
Weber kapitalis modern timbul sebagai hasil kumulatif kekuatan sosial,
politik, ekonomi dan agama atau dengan kata lain, ada hubungan yang
sangat signifikan antara kemajuan bidang pemikiran (immaterial) dan
kemajuan dalam bidang material. Weber menempatkan pengaruh
agama (khususnya agama Kristen Protestan) sebagai faktor yang
determinan. Agama merupakan faktor yang berpengaruh dan berdiri
sendiri. Menurut Tuner (1984), inilah yang membedakan antara
Weber dengan Marx yang menempatkan agama pada posisi nomor dua
dan dependen3.
Weber memiliki keinginan yang kuat dalam mempertanyakan
hubungan antara penghayatan agama dengan pola-pola perilaku
manusia artinya bagaimana hubungan “motivasi dan dorongan-
dorongan psikologis” dari setiap perilaku kehidupan termasuk aspek
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
46
ekonomi. Kondisi psikologis dari setiap perilaku kegiatan ekonomi
berakar kuat dari pada tradisi atau doktrin-doktrin agamis (khususnya
agama Kristen Protestan). Secara literasi, ranah agama dan ekonomi
sangatlah bertolak belakang, dimana agama berada dalam ranah
ukhrawi sementara ekonomi dalam ranah duniawi. Masalah agama
tidaklah selalu dihubungkan dengan aspek teologis yaitu pemikiran
transendental yang menempatkan dogma keagamaan maupun Tuhan
sebagai kebenaran sejati. Akan tetapi, agama juga perlu dihubungkan
dengan aspek sosiologi yaitu memandang agama diterapkan secara
nyata dalam kehidupan manusia sebagai bagian subsistem dan pranata
dari sistem sosial kemasyarakatan. Dengan kata lain, konteks agama
dalam pandangan sosiologis ingin melihat bagaimana ajaran kebenaran
dan keyakinan agama itu dilakukan dan diwujudkan dalam norma,
nilai dan etika perilaku para pemeluknya dalam kehidupan sehari-
hari. Dwi Suyono (2005) menyatakan bahwa, ajaran mengenai norma,
nilai, dan etika adalah bentuk dari religiusitas dan kristalisasi ajaran
agama tersebut4.
Dalam ranah ekonomi, manusia cenderung bersaing dalam
mencapai kesejahteraan di arena privat sehingga manusia sebagai aktor
ekonomi sering digambarkan sebagai serigala sesama (homo homini lupus) dimana perilaku ekonomi selalu terjadi mengejar kegiatan
ekonomi dan mengejar keuntungan, memperlihatkan sikap acuh tak
acuh dan mengabaikan kehidupan agama, bahkan kadang-kadang
sampai melupakan serta memusuhi agamanya, karena kegiatan
ekonomi lebih mengutamakan pemenuhan material. Namun kenyataan
dalam agama Kristen Protestan tidak ada fenomena seperti itu dan
tidak nampak dan tidak ditemukan dalam agama Kristen Protestan.
Bahkan sebaliknya muncul dari agama Kristen Protestan suatu desakan
yang sangat kuat yang mendorong seseorang untuk terlibat dalam
kegiatan sehari-hari dengan penuh gairah dan antusias.
Analisis Weber tersebut, mendapat dukungan dari Warner
Sombart bahwa sistem-sistem keagamaan dan gereja memang dapat
memberikan pengaruh terhadap perilaku kehidupan ekonomi melalui
cara-cara yang berbeda. Kekuatan sistem keagamaan dan gereja akan
Perspektif Teori
47
mengarahkan pikiran (mind) dalam tercapainya tujuan hidup.
Pengaruh-pengaruh tersebut, baik langsung maupun tidak langsung
akan memberikan kecenderungan, rangsangan dan dorongan-dorongan
tertentu. Hal ini tidak mengherankan, apabila kemudian Green (1959)
menyatakan bahwa sejarah munculnya semangat kapitalisme adalah
berjalan bergandengan dengan sejarah gereja dan sistem-sistem
keagamaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semangat
kapitalis modern secara khas ditandai oleh suatu kombinasi unik dari
kegairahan kepada usaha untuk memperoleh kekayaan dengan
melakukan kegiatan ekonomi di satu pihak, disertai ketaatan yang
berakar pada suatu kepercayaan di pihak lain.
Tahun 1904, Weber menulis esai-esai tentang problem sosial
dan ekonomi Estates Junker, objektivitas dalam ilmu sosial, dan bagian
pertama Protestant Ethic and the Spirit of Capitalisme. Sekembali ke
Jerman, Max Weber merampungkan bagian kedua The Protestant Ethic, yang dalam sepucuk surat kepada Rickert ia sebut ”Asketisisme Protestan” sebagai fondasi peradaban kerja sebagai panggilan jiwa
modern-semacam konstruksi spiritual ekonomi modern (Noorkholish,
2009).
Pemikiran Weber dalam “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism” merupakan langkah pertamanya untuk memasuki bidang
sosiologi agama membahas masalah hubungan berbagai kepercayaan
keagamaan dan etika praktis, khususnya etika dalam kegiatan ekonomi
di kalangan masyarakat Barat sejak abad keenambelas hingga sekarang.
Dalam tesisnya itu, Weber membahas reformasi terhadap ajaran
gerejawi sehingga memunculkan agama Kristen Protestan. Weber
mengikuti reformasi yang dicetuskan oleh Martin Luther dan John
Calvin sebagai penggerak reformasi gereja. Reformasi ini menuntut
pembaharuan terhadap gereja terutama dalam bidang administratif,
moral dan hukum5. Pada waktu itu entitas gereja dipandang sudah
tidak netral dan terindikasi korup, sehingga Martin Luther menyatakan
bahwa gereja sendiri mengandung berbagai keburukkan yang ada di
dalamnya, terutama penyelewengan surat penghapusan dosa (aflat) dan
sistem kepausan, kehidupan para pejabat gereja (klerus) yang korup
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
48
dan bersembunyi di balik jubah Paus dan menuntut penghapusan
kuasa Paus atas Jerman. Kekuasaan Paus yang terlalu absolut sudah
mengarah kepada aspek duniawi dimana Paus berhak menentukan
siapa yang masuk surga dan neraka, menentukan besaran pajak,
maupun menentukan aturan negara lainnya. Maka reformasi
digerakkan oleh Calvin, supaya kaum gerejawi kembali kepada ajaran
yang murni bukan lagi terjemahan yang kadang-kadang disusupi
kepentingan politis, serta upaya membersihkan aturan agama yang
dinilai menyimpang dan menempatkan gereja kembali lagi pada urusan
yang berhubungan dengan akherat (akrawi).
Dampak yang ditimbulkan reformasi ajaran-ajaran gerejawi
cukup besar mempengaruhi kinerja ekonomi moderen, yaitu
komponen-komponen kapitalisme rasional diperkuat oleh semangat
etika yang ada dalam agama Kristen Protestan khususnya dalam aliran
Calvinisme terutama sekte Puritanisme. Doktrin Calvinisme yang
terkenal adalah tentang kelahiran manusia di bumi dan takdir Tuhan
atas manusia yang “terpilih”6. Calvin mengatakan bahwa pada dasarnya
ketika manusia dilahirkan di bumi, manusia itu telah dilahirkan dan
ditakdirkan untuk masuk surga sebagai orang yang dipilih Tuhan atau
masuk neraka. Menurut Calvin, Tuhan sudah mengambil keputusan
tanpa mempertimbangkan kebajikan yang diperbuatnya apabila orang
itu baik atau buruk perbuatannya di dunia. Selanjutnya, ajaran
predestinasi, yaitu hanya sebagian orang yang akan dipilih untuk
diselamatkan dari siksaan dan pemilihan ini telah ditentukan
sebelumnya oleh Tuhan, sehingga umat Protestan tidak tahu apakah
mereka akan dipilih atau tidak, apapun yang terjadi diserahkan
sepenuhnya kepada Tuhan (sikap pasrah kepada Tuhan). Maka untuk
menepis kecemasan selama hidup apakah dirinya masuk surga sebagai
orang yang terpilih Tuhan atau masuk neraka, para pengikut Calvin
berusaha menjadi individu yang hidup secara “lurus” atau “benar” dan
rajin bekerja keras. Penganut Protestan hidup sederhana dan
menginvestasikan uang hasil keuntungan tidak digunakan untuk
berfoya-foya tetapi akan diinvestasikan kembali dalam usahanya.
Perspektif Teori
49
Dengan demikian, bagi penganut Calvin, kerja dilihat sebagai
suatu panggilan untuk melayani kehidupan masyarakat. Kerja tidak
sekedar pemenuhan kebutuhan tetapi sebagai tugas suci. Oleh karena
itu, untuk menjadi manusia yang terpilih, manusia harus mendapat
panggilan (calling). Konsep the calling atau “panggilan7” menurut
Weber berarti ajaran bahwa kewajiban moral yang paling tinggi dari
seseorang manusia adalah untuk melaksanakan tugas yang ditetapkan
Tuhan, maka satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan adalah
melaksanakan tugas dalam kehidupan sehari-hari dengan sebaik-
baiknya. Keberhasilan dalam melaksanakan hanya dapat diukur oleh
tingkat kemakmuran mereka. Tingkat kemakmuran ini juga menun-
jukkan apakah mereka diberkati oleh Tuhan dan apakah mereka akan
dipilih untuk lepas dari siksaan (neraka). Dengan kata lain, ketaatan
transendental penganut Protestan dapat diukur dari gairah dan etos
kerja yang dimilikinya8. Semakin banyak harta yang dimiliki, maka
semakin tebal keimanannya kepada Tuhan. Begitu juga sebaliknya
semakin sedikit harta yang dimiliki, maka dapat ditegaskan bahwa
keimanannya kepada Tuhan juga rendah. Logika inilah yang mendo-
rong semangat kapitalisme sebagai etika yang dimiliki Protestanisme.
Etika Protestan inilah yang menjadi cikal bakal kelahiran dan
perkembangan sistem kapitalisme. Weber (1958) mengedepankan
kapitalisme sebagai upaya manusia untuk mendapatkan kentungan
dalam melakukan kegiatan usaha yang dikelola secara pribadi dan
kapitalis harus mengandung aspek rasionalisasi, atau setidak-tidaknya
identik dengan suatu watak rasional. Kapitalisme secara pasti identik
dengan pencarian keuntungan (profit), dan keuntungan yang dapat
diperbarui untuk selamanya, dengan usaha-usaha kapitalis yang
rasional dan yang dilakukan secara terus-menerus. Karena memang
demikian seharusnya; dalam suatu tatanan masyarakat kapitalistis
secara keseluruhan, suatu usaha kapitalistis individual yang tidak
memanfaatkan kesempatan yang ada mengambil keuntungan pasti
akan mengalami malapetaka, yaitu kehancuran.
Dan apa yang paling penting dalam hubungan itu karena
adanya semangat baru “semangat kapitalis” yang mencoba mengatur
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
50
kerja. Semangat kapitalis mencoba mengatur dunia ekonomi ke dalam
suatu sikap mencari keuntungan secara rasional dan sistematis, seperti
perusahaan yang telah mengalami reorganisasi produksi secara
rasional, yang diarahkan bagi efisiensi produksi sebanyak mungkin
adalah bukan karena pemasukan modal. Weber (2003) mengemukakan
suatu tindakan ekonomi kapitalistis sebagai suatu tindakan yang
didasarkan pada harapan-harapan untuk memperoleh keuntungan
dengan memanfaatkan segala kesempatan untuk transaksi, yaitu
“secara formal” kesempatan memperoleh keuntungan secara damai dan
berorientasi pada perolehan keuntungan melalui pertukaran.
Samuelson (1964) menekankan, lebih penting dari itu karena
disebabkan masuknya suatu “semangat baru” dari jiwa usaha, yaitu
semangat kapitalis.9
Doktrin Calvinisme dan Semangat Kapitalisme
”The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism” menunjukkan
adanya keterkaitan antara doktrin agama dengan semangat kapilatisme.
Etika Protestan tumbuh subur di daratan Eropa yang dikembangkan
oleh seseorang yang bernama Calvin. Calvinisme sebagai gerakan
reformasi di bidang keagamaan tidak bisa terlepas dari bidang lain, baik
di bidang politik, ekonomi dan sosial budaya. Dalam perkem-
bangannya, Calivinisme senantiasa bergesekan dengan persoalan-
persoalan hidup dan kehidupan merupakan persoalan yang unik,
kompleks dan dilematis.
Saat itu telah muncul ajaran yang mengatakan bahwa seseorang
pada intinya percaya kepada nasib yang telah ditakdirkan Tuhan.
Sebab hanya sedikit saja orang-orang yang terpilih untuk mendapatkan
kasih sayang yang abadi daripada-Nya. Ini merupakan sesuatu yang
telah diberikan kepada munusia tanpa dapat diambil atau diubah dari
sejak pertama penciptaan. Namun demikian, Weber (1958)
mengatakan, tetap masih ada anggapan bahwa kegiatan-kegiatan
manusia bisa mempengaruhi kebijakan Tuhan Yang Maha Suci. Ajaran
tentang predestinasi atau takdir, maka dalam menghadapi nasib dan
Perspektif Teori
51
mencari kepastian keselamatan, orang Calvinis berhadapan dengan
dirinya sendiri. Hanya saja dengan keyakinan penuh sebagai “terpilih”
dan “melakukan aktivitas duniawi secara intens” mereka merasakan
anugerah Tuhan yang akan mengantarkan keselamatannya. Kombinasi
tentang keyakinan, antara kemutlakan norma-norma yang sah dengan
determinisme yang mutlak serta transendensi Tuhan telah menjadi
karakter khas dari gerakan asketik Calvinis.
Weber (1958) menjelaskan bahwa, Calvinisme telah
menyumbangkan sesuatu yang positif dalam mengembangkan asketik, yaitu tentang perlunya pembuktian kepercayaan seseorang dalam
aktivitas duniawi. Dengan kenyataan yang terlihat dalam perilaku
orang-orang Calivinis, dapat dikatakan doktrin mereka tentang
anugerah secara psikologis telah mendukung sikap sistemik untuk
melakukan rasionalisasi kehidupan secara metodik. Pandangan
asketisme duniawi Protestan sangat menentang kesenangan yang
bersifat spontan, menentang pemakaian kekayaan yang bersifat
irrasional serta menentang sikap tidak jujur dan tamak untuk
mendapatkan kekayaan karena sikap demikian dianggap telah keluar
dari panggilan Tuhan. Weber (1958) mengatakan, mereka bersandar
kepada dasar-dasar ekonomi yang tidak sehat, lebih mementingkan
hidup bermewah-mewah daripada hidup sederhana.
Pengikut Calvinis dalam menghadapi panggilannya di dunia
memperlihatkan sikap hidup yang optimis, positif dan aktif. Sifat-sifat
yang dikutip Weber (Sudrajat,1994) sebagai ciri–ciri orang Protestan
yaitu tanggung jawab langsung kepada Tuhan, kejujuran dalam
perbuatan, kerja keras, sifat hemat, pembagian waktu secara metodik
dalam kehidupan sehari-hari, kalkulasi perdagangan yang rasional.
Bagi pengikut Calvinis berkeyakinan akan menghilangkan rasa
kuatir dan ragu-ragu dengan keselamatan yang dicarinya. Dengan
mengembangkan aktivitas dan karya yang baik dalam mengahadapi
realita di dunia, anugerah Tuhan dirasakan berada dalam dirinya.Bagi
pengikut Calvinis hanya orang-orang terpilih sajalah yang
mendapatkan kepastian keselamatannya. Menurut Weber (1958), hal
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
52
itu dilakukan dengan cara mengagungkan Tuhan secara nyata dan
melakukan aktivitas duniawi secara baik.
Karya orang–orang Kristen dalam suatu panggilan
(Beruf,Calling) di samping menunjukkan adanya anugerah Tuhan, juga
sebagai sarana yang paling baik untuk meyakinkan proses kelahiran
kembali sekaligus sebagai benih bagi perluasan sikap yang disebut Max
Weber (1958) dengan sebutan “Semangat Kapitalisme”. Semangat
kapitalisme ditandai secara khusus oleh suatu kombinasi yang khas dari
ketaatan kepada usaha untuk memperoleh kekayaan dengan
melakukan kegiatan ekonomi yang halal, sehingga berusaha
menghindari pemanfaatan penghasilan untuk kenikmatan pribadi
semata-mata. Hal ini sebagai dasar dalam suatu kepercayaan atas
penyelesaian secara efisien sebagai suatu kewajiban dan kebajikan.
Salah satu unsur yang sangat mendasar dari “Semangat Kapitalisme” adalah terdapatnya sikap rasional berdasarkan kepada ide
tentang panggilan. Ide ini jelas terlahir dari kandungan semangat
asketik yang telah dikembangkan oleh orang puritan (seperti
Protestan). Bersumber kepada watak asketik yang menjadi ciri orang-
orang puritan, sekalipun bertolak dari pemikiran agama yang berbeda
telah melahirkan etika baru yang mewarnai perilaku ekonomi. Inilah
yang kemudian Max Weber sebut sebagai Semangat Kapitalisme modern. Suatu etika pendapatan yang rasional, sistematis dan metodik
berdasarkan moral agama. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat
penting dan faktor yang sangat menentukan dalam membentuk watak
dan perilaku manusia, terutama sekali berkaitan dengan perilaku
ekonomi. Weber (1958) mengatakan, keinginan orang puritan untuk
bekerja dalam panggilan “calling” dan menguasai moralitas duniawi
berarti merupakan bagian dari dunia yang besar, yaitu orde ekonomi.
Karena melalui arketisme berusaha melakukan perbaikan terhadap
dunia dan melakukan cita-citanya di dunia maka kekayaan material
menjadi semakin meningkat. Sukses di dunia bisnis dan mengumpul-
kan harta kekayaan demi kemuliaan Tuhan diyakini sebagai “tanda”
atau ”konfirmasi” bahwa mereka termasuk di antara orang-orang
terpilih, atau dalam istilah Weber ”suatu tanda keberkahan Tuhan”.
Perspektif Teori
53
Hubungan Antara Agama dan Rasionalitas
Di dunia ini ada lima agama10 besar (Konfusius, Hindu, Budha,
Kristen dan Islam) merupakan sistem pengaturan hidup yang
ditetapkan secara religius yang berhasil menghimpun sejumlah besar
pengikutnya yang secara signifikasi historis dan otonomnya bagi
perkembangan etika ekonomi.
Istilah “etika ekonomi” dalam Max Weber-Sosiologi terjemahan Noorkholish (2009), menunjuk pada dorongan praktis bagi
tindakan yang didasarkan pada konteks psikologis dan pragmatis
agama. Bahkan dalam bentuk-bentuk organisasi ekonomi yang sama
secara ekternal, boleh jadi sesuai dengan etika-etika ekonomi yang
sangat berlainan dan, menurut karakter unik etika ekonomi mereka
yang dapat membuahkan hasil yang berbeda-beda tergantung pada
mentalitas kapitalisme, cara produksi kapitalis dan kerangka sosio-
ekonomi kapitalis.11 Pada pokoknya ke semuanya itu merupakan tiga
segi dari satu gejala yang sama, yaitu usaha yang merujuk kepada
peningkatan produksi dan peningkatan intensitas modal dari sektor
penghasilan komoditi termasuk modal manusia sebagai tenaga kerja.
Usaha-usaha manusia untuk menafsirkan kehendak Tuhan
(termasuk kitab suci) dalam perkembangan jaman menimbulkan
berbagai penafsiran yang berbeda. Dalam agama Kristen, serta berbagai
agama di dunia adanya perbedaan-perbedaan penafsiran kehendak
Tuhan telah mendorong gerakan-gerakan yang pada awalnya hanya
seputar persoaalan-persoalan yang bersifat konsepsional dan masih
mengikuti tradisi-tradisi ritual agamanya secara umum, sehingga
muncul pandangan para ahli untuk mengkaji, salah satunya adalah
Weber (1905) dengan “The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism” ia mengungkapkan bahwa moral Protestan sebagai suatu
pencarian keuntungan atau kekayaan yang sangat keras berjuang dan
tidak terbatas lewat industrialisasi telah memunculkan pola perilaku
rasional.
Collins (1992) dalam ”Weber‟s Last Theory of Capitalism” mengatakan bahwa, sistem kapitalis yang rasionalis, menurut Weber
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
54
adalah sistem yang menggunakan perhitungan akuntansi, yaitu sistem
perhitungan pengeluaran dan pemasukan dengan sistem perhitungan
berdasarkan tata pembukuan modern. Kapitalis yang rasional memiliki
beberapa komponen. Pertama, sistem perhitungn pengeluaran dan
pemasukan berdasarkan pembukuan modern. Kedua, tenaga kerja yang
bebas dan bisa berpindah dari satu tempat kerja ke tempat kerja
lainnya. Ketiga, adanya pengakuan hak milik pribadi. Keempat, pasar
perdagangan tidak dibatasi oleh aturan-aturan yang tidak rasional.
Kelima, adanya hukum yang mengikat anggota masyarakat serta
teknologi. Jadi kemampuan pemusatan mental serta perasaan yang
esensial tentang kewajiban untuk melakukan kerja tertentu, sering
dikombinasikan dengan suatu pendekatan ekonomi yang sangat teliti,
yang menghitung-hitung kemungkinan besarnya pendapatan dan
kontrol pribadi yang sangat mengagumkan.
Rasionalitas sebagai penghubung agama dan ekonomi kemudian
mengajak manusia untuk berinovasi dan berpikir logis dalam
mengambil suatu tindakan logis seperti menekankan penggunaan alat-
alat berteknologi untuk mencapai tujuannya. Dalam proses rasionalisasi
dari cita-cita kapitalisme, maka agama yang memiliki ajaran teratur
dan tersusun rapi berusaha untuk melembagakan sistem kepercayaan,
juga sistem nilai lain termasuk ekonomi untuk memberikan rasa puas
dan aman kepada pemeluknya. Agama sebagai penjelasan rasional dan
sekaligus mengatur nilai-nilai serta kepercayaan teologis. Di antara
bangunan kepercayaan inilah dibangun pemikiran-pemikiran rasional,
namun pemikiran rasional tidak mampu berdiri sendiri, tidak bisa
tegak sendiri, melainkan harus didampingi oleh kepercayaan.
Proses rasionalisasi yang disebut Weber (1905), berasal dari
agama itu sendiri, disamping perkembangan daya pikir manusia yang
dengan cepat dapat mengikuti proses tersebut. Daya pikir tersebut
dalam arti formal sehubungan dengan konsistensi (kemantapan dalam
bertindak) dan sifat sistematika maupun dalam arti substansi (kokoh/
kuat) dalam menyisihkan hal-hal yang tidak rasional dan mengandung
fantasi atau mitos. Dengan demikian, kegiatan perekonomian yang
bersifat kapitalis menurut Weber (1905), adalah rasionalitas yang
Perspektif Teori
55
didasarkan kepada perhitungan-perhitungan yang cermat yang disusun
secara sistematis dan sederhana berdasarkan situasi ekonomi yang
diharapkan. Artinya kapitalis rasional yang dikelola dengan sistem nilai
rasional atau sistem nilai orang-orang yang rasional dan diusahakan
dalam kegiatan ekonomi yang halal didasarkan pada nilai-nilai agama
yang dianutnya.
Aspek dari proses rasionalisasi yang perlu diperhatikan adalah
perkembangan “teologi rasional” yang akan mempengaruhi organisasi-
organisasi keagamaan. Teologi rasional berkembang dari rasionalitas
pemikiran. Perkembangan teologi rasional juga mencakup
pengembangan etika rasional yang didasarkan kepada implikasi empiris
pengalaman keagamaan dan tradisi. Dengan cara ini mereka masuk ke
dalam batasan situasi dimana manusia bertindak. Talcon Parson (1959),
menjelaskan konsepsi mereka tentang tujuan yang tepat dan sarana
untuk mencapainya menjadi terikat pada sifat-sifat praktis terhadap
kehidupan sehari-hari.
Etika Protestan (Weber, 1905) menunjukkan, teologi rasional
telah menjadi kelengkapan orientasi yang lebih dalam sehingga
mempengaruhi tindakan dan perilaku individu dan masyarakat. Weber
melihat perkembangan Protestanisme yang cenderung ke arah
asketisme yang mempunyai kesan dan pesan yang menentukan untuk
menghilangkan magis dan mitos dari pandangan keagamaan dan
memusatkan perhatian pada kemampuan bertindak dan perilaku
manusia. Calvinis menunjukkan sikap anti magis, hilangnya sistem
perantara yang memediasi hubungan Calvinis dengan Tuhan dan
memilih kalkulasi rasional dalam hidup. Weber (1958) menegaskan
bahwa, “pada prinsipnya, seseorang dapat menguasai segala sesuatu
melalui kalkulasi rasional.”
Di sini askese merupakan suatu kekuatan ”yang mencari hal-hal
yang baik, tetapi juga menciptakan yang jahat12”, apa yang jahat dalam
pengertian itu adalah kepemilikan dan godaan-godaannya. Askese
memandang pencarian kekayaan sebagai suatu tujuan dari dirinya
sendiri sebagai sesuatu yang patut dicela, tetapi hasil yang dicapai dari
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
56
itu semua sebagai buah dari suatu pekerjaannya dalam suatu panggilan
merupakan tanda rahmat dari Allah. Dan bahkan yang lebih penting
lagi adalah penafsiran keagamaan dari karya sistematis, terus-menerus
dalam suatu panggilan duniawi sebagai suatu sarana paling tinggi
kepada askese. Pada waktu yang sama merupakan bukti yang paling
pasti dan paling dapat dibuktikan akan adanya kelahiran kembali dan
iman yang murni, pasti merupakan pengungkit yang dipakai paling
kuat bagi ekspansi sikap semacam itu menuju kehidupan, ini yang
disebut sebagai semangat kapitalisme.
Ritzer (2012) menjelaskan bahwa, rasionalisasi dunia adalah
proses penghapusan segala hal yang magis atau supranatural, sehingga
dunia ini tidak lagi terpana, terpukau oleh seluruh sifat magis, karisma
dan kekudusan, tetapi telah dipenuhi kekuatan-kekuatan yang bisa
diubah, dipakai dan dipergunakan. Hanya agama yang memiliki nabi-
nabi besar pembaharu dan rasionalis yang berhasil meng-hancurkan
kekuatan magis dan membentuk penyelenggaraan kehidupan yang
rasional. Para nabi itu telah membebaskan dunia dari magis dan
dengan berbuat demikian telah menciptakan dasar bagi ilmu dan
teknologi modern. Kapitalis yang rasional, menurut Weber adalah
kondisi-kondisi tertentu dalam masyarakat yang dapat menggerakkan
dengan cepat perkembangan kapitalisme (daratan Eropa dan Amerika),
tetapi ada pula masyarakat suatu wilayah yang perkembangan
kapitalismenya yang rasional sangat lambat seperti Cina dan India.
Pemahaman Nilai-nilai Ekonomi dalam Agama
Konfusianisme
Kepercayaan orang Tiongkok yaitu Konfusionisme dan
Taoisme, oleh Weber Konfusianisme dilukiskan lebih sebagai doktrin
dan ritus dan bukan sebagai agama, yang dipaksakan terhadap Cina
oleh birokratisnya. Konfusionisme dan Taoisme dipandang mencakup
etika konvensi, kontrol diri, derajat yang utilarian dan rasionalistik
serta dipertentangkan dengan bentuk kontemplasi mistik dan ekstasi
Perspektif Teori
57
organik sebagai kekacauan rasional atau barbaritas vulgar13. Masyarakat
Tiongkok memiliki akar budaya yang kuat dengan kehidupan nenek
moyang mereka sejak tahun 200M.
Konfusianisme sendiri pada dasarnya mengajarkan kehar-
monisan dan keselarasan dengan sekitarnya. Masyarakat konfusianisme
sendiri pada dasarnya merupakan masyarakat yang hierarkis dimana
peran sebuah pemimpin komunitas sangatlah kuat dalam membentuk
dan mengarahkan masyarakat yang dipimpinnya. Konfusianisme
meletakkan raja atau penguasa sebagai wakil dewa langit untuk
mengatur masyarakat. Ajaran nilai-nilai etos dalam konfusianisme
seperti Dao (orang-orang terpilih yang akan dipilih nenek moyang),
Ren (cara hidup manusia di dunia untuk saling berbagi dan memberi
terhadap sesama), Xin (ajaran manusia bertindak secara logis), Li (bersikap sopan santun dalam kehidupan), De (bertindak kebajikan di
dunia), dan Yi (hidup layak). Bila ajaran konfusianisme dikom-
perasikan dengan ajaran Calvinisme dalam kapitalis, terdapat beberapa
nilai ajaran konfusius yang sama yaitu Dao sama dengan calling
mengenai orang terpilih dan Xi yang memiliki kesamaan dengan rasionalisme. Namun meskipun ada persamaan tetapi ajaran Konfusius
dengan kapitalisme-Calvinis berbeda, karena ajaran konfusianisme
mengajarkan membentuk masyarakat yang harmonis, tetapi ajaran
Calvin adalah membentuk masyarakat kompetitif.
Tiongkok pada saat itu merupakan tempat tinggal para
pemimpin kekaisaran yang membentuk benteng-benteng di kota
Tiongkok, di situ merupakan pusat perdagangan, namun mereka tidak
mendapatkan otonomi politik dan warganya tidak memiliki hak-hak
khusus, hal ini disebabkan oleh kekuatan-kekuatan kekerabatan (klan)
yang muncul akibat keyakinan keagamaan terhadap roh-roh leluhur.
Sehingga perkembangan kapitalis yang rasional terhambat oleh ikatan
kesukuan dan sistem klan yang feodal dan patriarki.14 Unit-unit
kekerabatan yang besar memberikan bentuk-bentuk kerja sama
ekonomi sehingga justru membatasi pengaruh organisasi kerja atau
aktivitas kewirausahaan individu tertentu serta sistem kakaisaran yang
mendasarkan pemerintahan pada nilai-nilai keyakinan tradisional. Etos
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
58
kerja bagi ajaran konfusianisme sebagai bentuk pengabdian dan
penghormatan kepada keluarga, pemimpin, dan negara dapat dilihat
pada nilai-nilai Yi (hidup layak), Li (sopan santun) dan Chi‟ib
(kebijaksanaan) sebagai pembentuk etos kerja15. Calhoun (2002)
menjelaskan, bentuk pengabdian tersebut adalah untuk mencari
kebahagiaan dan martabat setinggi-tingginya kepada keluarga,
pemimpin dan negara.16 Konfusianisme tidak melarang seseorang
menjadi kaya, asalkan kekayaan yang berhasil dikumpulkan didapat
melalui hasil yang benar melalui etika dan moral. Panggilan atau
calling bagi Konfusianisme adalah panggilan menjaga harga diri
keluarga, negara maupun pemimpin. Konfusianisme memberikan
pengaruh yang besar dalam pembentukan etos kerja ekonomi adanya
reformasi ajaran konfusianis melalui modernisasi ekonomi yang
dilakukan para pemimpin dan negara. Ajaran Konfusianisme dan
Taoisme yang menekankan keharmonisan dalam kehidupan digunakan
sebagai landasan etik pembangunan ekonomi. Konfusianisme di Jepang
menurut Morishima(1982), etos kerja dalam ajaran Konfusianisme
adalah Jen (kebajikan) untuk mencapai masyarakat harmonis. Jen (kebajikan) bersumber dari Chung (kesetiaan) dan Bsin (keyakinan)
dimodifikasi menjadi perubahan ekonomi dari masyarakat melayani
negara artinya kerja keras merupakan bentuk kesetiaan kepada kaisar17.
Ini menunjukkan fakta yang unik dalam etos kerja Konfusianisme,
dimana sistem ekonomi kapitalis dan sosialis bisa berjalan seiring,
sistem kapitalis yang mengedepankan kompetisi berjalan seiring
dengan keharmonisan dalam masyarakat sehingga sosialisme
digunakan sebagai dasar harmoni dan stabilitas ekonomi kapitalis.
Pemahaman Nilai-nilai Ekonomi dalam Agama Hindu-
Budha
Agama Hindu-Budha mengajarkan kebahagiaan dan
kolektivitas, itulah sebabnya matrialisme ekonomi tidak berlaku
sebagai tujuan etos kerja dalam tradisi ajaran agama Hindu-Budha.
Pengejaran materialisme ekonomi hanya akan membuat ketimpangan
Perspektif Teori
59
yang tidak disukai dalam ajaran agama Hindu-Budha karena akan
menimbulkan problem perpecahan. Keuntungan dalam ekonomi harus
dibagi terhadap sesama karena akan menimbulkan perdamaian umat.
Maka tidaklah mengherankan apabila kehidupan perekonomian
dipengaruhi oleh ajaran dharma (budi pekerti dan moral) yang disebut
dharmanomic.
Dalam ajaran agama Hindu ada 2 macam dharma yaitu dharma
yang baik “asuri sampat” dan dharma yang buruk “daivi sampat”.
Dikatomi baik-buruk mencerminkan bahwa setiap orang memiliki
dharma baik yang akan senantiasa dilingkupi kebahagiaan dan dharma
yang buruk akan senantiasa dilingkupi nafsu jahat duniawi. Demikian
juga dalam cerita Mahabharata dan Ramayana yang menggambarkan
antara perbuatan baik melawan perbuatan yang buruk, dimana dharma
kebaikan akan memenangkan keburukan yaitu kejahatan akan selalu
kalah dengan kebaikan. Oleh karena itu, pelaku ekonomi dalam
memenuhi kehidupan sehari-hari didasarkan pada nilai-nilai kejujuran
dan kesetiaan, kepimpinan yang mampu mengatasi masalah individual
dan kolektif, adil dan menepati janji, serta hormat-menghormati
dengan orang lain.
Di India perkembangan kapitalisme rasional terhambat
perkembangannya oleh sistem kasta. Pembedaan masyarakat dalam
kasta-kasta menjadi dasar sistem pemerintahan dan ekonomi.
Kepatuhan selama hidup terhadap nasib seseorang dipancangkan lebih
kuat dalam janji agama Hindu tentang kelahiran kembali dibandingkan
dengan etika sosial lainnya karena Hindusime tidak mengabaikannya
dengan ajaran-ajaran mengenai nilai moral stabilitas pekerjaan dan
kepatuhan yang sabar, seperti pada bentuk-bentuk kekristenan
patriakal, tetapi mengkaitkannya dengan kepentingan pribadi individu
atas penyelamatan. Doktrin penyelematan Hindu menjanjikan
kelahiran kembali sebagai raja, ningrat, dan seterusnya. Pengabaian
kewajiban-kewajiban kasta seseorang, karena didesak oleh aspirasi-
aspirasi yang terlalu tinggi, pasti akan membawa celaka baik dalam
kehidupan sekarang maupun masa datang. Menurut Andreski (1989),
efek-efek sistem kasta pada ekonomi adalah negatif, sebab tatanan
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
60
kasta hakekatnya adalah tradisionalistik dan antirasional. Dalam agama
Hindu di India, selama doktrin karma tetap kokoh, paham-paham
revolusioner atau progresivisme tidak dapat lahir.
Sedangkan konsep ajaran agama Budha, pengertian keuntungan
dimaknai sebagai kepentingan pribadi (suka) dan kepentingan bersama
(bita). Etos kerja ekonomi dibangun dalam ajaran Budha yang mampu
membahagiakan diri sendiri dan orang lain. Konsep tersebut merujuk
pada pengertian bahwa sumber daya ekonomi sangat terbatas sehingga
setiap orang harus bisa manahan ego keserakahan untuk bertindak
berlebihan18. Maka bila dianalogikan dengan konsep calling, dalam
ajaran Budha adalah kebahagiaan dalam pemahaman etos kinerja
ekonomi dan kebahagiaan meliputi pemenuhan jiwa dan duniawi
sehingga setiap orang bisa merasakan kesetaraan yang sepadan dengan
orang lain. Ajaran Bhudisme justru masih melihat dimensi spiritual
sebagai dimensi etik.
Pemahaman Nilai-nilai Ekonomi dalam Agama Islam
Weber meninggal tahun 1920 sebelum menyelesaikan tesisnya
mengenai perbandingan Calvinisme dengan agama-agama lain,
termasuk agama Islam, Kristen periode awal dan Katolik abad
pertengahan. Namun Weber sebelum meninggal sudah ada catatan
tesisnya tetapi belum sempurna mengenai agama Islam yang
menyangkut tentang sistem agama, sosial kemasyarakatan, dan
perekonomian.
Menurut Weber mengenai etos kerja Islam dalam rangka
Weberian yaitu Islam tidak mendukung adanya iklim sosial-
masyarakat kapitalis seperti hukum rasional, pasar kerja bebas, kota
yang otonom, ekonomi uang dan kelas borjuis. Semua pra-kondisi
kapitalisme rasional-modern yang terjadi di negara-negara Barat,
tidaklah muncul di masyarakat Islam Timur Tengah. Bahkan dalam
tesa sosiologis tentang Islam, tulisan Weber seringkali menulis dengan
gaya yang sangat reduksianis, utamanya tentang etika dalam agama-
Perspektif Teori
61
agama di dunia yang sangat dipengaruhi oleh realitas sosial yang
membentuknya, dalam konteks ini Weber memberikan contoh ketika
melihat relasi antara muatan teologis dalam agama Islam sangat
ditentukan oleh para kesatria perang.19 Menurut Weber, Islam
memeliki keyakinan predeterminasi, bukan predistinasi, dan berlaku
pada nasib orang muslim di dunia, bukan di akhirat kelak, Jika doktrin
predestinasi diyakini Calvinis untuk memotivasi etos kerja keras.
Namun doktrin predistinasi tidak memainkan peran dalam Islam.
Akibatnya, orang Islam bersikap kurang positif terhadap aktivitas di
dunia bisnis dan pada akhirnya terjatuh pada sikap fatalistik.
Pandangan Weber tentang agama Islam merupakan agama yang
menentukan keberlangsungan dari struktur-struktur agama Islam, dan
lebih jauh Weber menyimpulkan bahwa Islam adalah sebuah agama
monoteistik. Monoteistik terakhir dari tradisi Ibrahim (Abrahamic
Religions) yang kemudian berkembang dan bergeser menjadi semacam
agama yang menekankan adanya prestise sosial, dan hal ini sangat
berbeda sekali dengan sekte Calvinis Puritan, Islam tidak memiliki
afinitas teologis dengan pengembangan kapitalisme. Dalam konteks ini,
Weber berargumentasi bahwa sifat alami institusi politik muslim yang
patrimonial, yang menghalangi munculnya pra-kondisi kapitalisme
yang ditandai hukum rasional, pasar kerja bebas, kota yang otonom,
ekonomi uang, dan kelas bourjuis. Semua pra-kondisi kapitalisme
rasional-modern yang ada di Barat yang menurut Weber tidaklah
muncul di masyarakat Islam Timur Tengah.
Temuan awal yang belum sempurna dari Weber menjelaskan
bahwa, nilai-nilai ekonomi dalam agama Islam tidak berkembang
mengikuti kondisi pra-kapitalisme karena pengaruh patrimonialisme
dan dogma agama, dan justru menimbulkan kritik yang
berkepanjangan. Pandangan Weber tentang Islam baik secara teologis
maupun sosiologis sulit diterima terutama oleh kalangan Islam atau
setidak-tidaknya oleh mereka yang memahami Islam dengan “baik”
Kritik tesis Weber tentang agama Islam banyak dilakukan oleh
pakar sosiologi agama yang menolak dan meragukan catatan tesis
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
62
terakhir Weber karena substansi catatan terakhirnya yang masih
sebatas asumsi subyektif yang belum terbukti validasinya, antara lain
kritik oleh Bryan.S.Tuner dan Taufik Abdullah. Kritik Bryan.S.Tuner
tentang tesa sosiologis yang dihasilkan oleh Max Weber yang
menjadikan masalah terdiri dari dua hal20. Pertama, analisanya tentang
etika Islam, yang dianggapnya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan
lepas dari analisanya dari struktur sosial ekonomi Islam. Kedua, argumennya tidak menunjukkan sebagai seorang yang mengidealisasi
sejarah yang ada dalam agama Islam.
Kritik dari Abdulah (1979) menyatakan, Weber kurang begitu
serius (mendalami) atau tidak begitu banyak waktu yang dia luangkan
untuk mempelajari Islam karena sebelum tuntas sudah meninggal,
sehingga penafsiran-penafsiran Weber tentang Islam tidaklah bertolak
dari kurangnya pengetahuan saja, tetapi terutama dari dasar konseptual
dan sikap ilmiah yang tidak tepat. Menurut Abdullah21, agama tidak
sekedar gejala sosiologis yang bisa dikategorikan begitu saja menurut
seorang pengamat. Sebab bagi penganutnya, agama menyangkut
masalah makna sebagai landasan untuk melihat dan mengerti realitas.
Ada hubungan dialektika antara sistem makna yang dipercayakan
agama dan pengertian yang dihayati oleh para pemeluk, yang secara
obyektif juga terkait oleh konteks ralitasnya. Perubahan sosial-
ekonomi dapat merupakan unsur yang menyebabkan terjadinya
kemajemukan pemahaman terhadap doktrin yang utuh itu.22
Terbukti dalam etos kerja yang dibentuk agama Islam mengenal
nilai-nilai iklas, cinta, dan istiqomah begitu mendominasi, karena akan
menyeimbangkan antara kebutuhan ukrawi dan duniawi. Sifat-sifat
etos kerja yang dikutip Weber sebagai ciri khas Protestan seperti
tanggung jawab langsung kepada Tuhan, kejujuran dalam perbuatan,
kerja keras, sifat hemat, pembagian waktu secara metodik dalam
kehidupan sehari-hari, kalkulasi perdagangan yang rasional, semua
juga ditentukan dalam etika Islam.23 Dalam Islam pun ada konsep
panggilan “calling” yaitu bila seseorang yang berhasil dalam kehidupan
dinyatakan sebagai “diberkahi Tuhan” atau ”berkat dari Tuhan”.
Bekerja keras juga diutamakan dalam Islam dan dinyatakan dalam
Perspektif Teori
63
konsep “ikhtiar”.24 Namun ajaran Islam menolak tentang “takdir”
sebagai konsep Calvinisme dan ajaran Islam juga tidak mengajarkan
harta kekayaan sebagai petanda penyelamatan masuk surga atau
neraka. Islam tidak mengenal eksploitasi konsep Weber yang
membenarkan eksploitasi untuk menjamin peningkatan produktivitas
serta peningkatan pelayanan yang penuh ketaatan dan rajin bagi para
majikan untuk mencapai kekayaan yang berlimpah sebagai tanda
keselamatan dirinya dan kaum buruh.
Ajaran Islam tidak melarang orang kaya asalkan orang tersebut
dapat menguasai dirinya, sebab di dalam ajaran Islam menjelaskan
kekayaan itu tidak dicari untuk sekedar dikumpulkan tetapi dicari
untuk berbakti kepada Tuhan dan untuk melaksanakan perbuatan baik,
yang bermanfaat dan penuh kasih sayang. Kekayaan pribadi adalah
amanah suci yang harus dinikmati oleh semuanya, terutama fakir
miskin yang membutuhkan dalam bentuk zakat maupun sedekah25
sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan spiritual.
Perspektif Pierre Bourdieu
Pierre Bourdieu adalah seorang ahli filsafat dan ahli sosiologi
yang memiliki kedudukan penting dalam sosiologi Perancis.Bourdieu
lahir pada tahun 193026 di Denguin, Pyrenia Atlantik sebuah kota kecil
selatan Perancis, lahir dari keluarga pada umumnya. Ayah Bourdieu
adalah seorang pegawai pos. Pemikiran-pemikiran Bourdieu
dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya di Perancis. Dimana
pada saat itu terjadi ketidakadilan dalam bidang pendidikan antara
pelajar dari keluarga menengah ke bawah dengan pelajar dari golongan
atas. Di sini terjadi ketimpangan dalam penerimaan ilmu pengetahuan
yang semakin lama semakin terakumulasi, sehingga semakin
merugikan golongan masyarakat menengah ke bawah.
Teori Bourdieu lahir dijiwai oleh keinginannya untuk
memadukan semangat antara objektivisme dan subjektivisme. Dalam
aliran pemikiran objektivisme, terlalu menekankan pada peranan
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
64
struktur yang menentukan aktor dan lingkungan sosialnya, di sini
kaum objektivisme lebih melihat secara makro atau bisa disebut
dengan aliran strukturalis seperti Durkheim, Marx, Saussure dan
lainnya. Di sisi lain, pemikiran subjektivisme lebih melihat pada sisi
mikro, yaitu menekankan pada tindakan aktor dalam analisisnya,
tokoh subjektivisme misalnya seperti Weber, Sartre, dan lainnya.
Bourdieu menentang kedua pemikiran ini dan ingin menggabungkan
di antara keduanya. Karena menurut Bourdieu, tidak semua hal
dipengaruhi secara mutlak atau dominan oleh struktur maupun oleh
aktor, tetapi ada pengaruh timbal balik dari keduanya. Sehingga
Bourdieu berusaha untuk membuat hubungan dialektik antara struktur
objektivisme dan fenomena subjektivisme.
Subjektivisme mewakili bangunan pengetahuan tentang dunia
sosial yang didasarkan pada pengalaman utama dan persepsi-persepsi
individu. Subjektivisme meliputi aliran-aliran pemikiran seperti
fenomenologi, teori tindakan rasional dan bentuk-bentuk tertentu
sosiologi interpretatif, antropologi dan analisis bahasa (yang disebut
Volosinov “subjektivisme individualistik”)27. Subjektivisme maupun
objektivisme gagal memahami apa yang disebut Bourdieu “objektivitas
subjektif” (the objectivity of the subjektive) dalam Bourdieu (1990a).
Subjektivisme gagal memahami landasan sosial yang membentuk
kesadaran, sedangkan objektivisme melakukan yang sebaliknya,
kegagalan mengenai realitas sosial di tataran tertentu yang dibentuk
oleh konsepsi dan representasi yang dilakukan individu-individu
terhadap dunia sosial.
Pada dasarnya dalam pandangan Bourdieu, yang disebut sebagai
objektivisme adalah suatu pengetahuan objektif yang mengandung
dominasi, dan dalam kondisi ini, individu tidak bisa menolaknya.
Sedangkan pengertian dari subjektivisme sendiri adalah mengarah pada
tindakan individu yang bertindak atau melakukan sesuatu diluar
struktur, dimengerti untuk menjelaskan suatu pengetahuan/
pengalaman dari sudut pandang sendiri, dimana seseorang bisa
mengerti melalui bahasa yang kita pahami.
Perspektif Teori
65
Upaya Bourdieu untuk menjembatani antara objektivisme
dengan subjektivisme, dapat dilihat dari konsep Bourdieu tentang
habitus dan lingkungan (ranah) dan hubungan dialektik antara
keduanya. Habitus28 berada di dalam pikiran aktor sedangkan
lingkungan berada di luar pikiran aktor. Meskipun sebenarnya semua
konsep dari Bourdieu saling berkaitan dan mempengaruhi.
Pierre Bourdieu: (Habitus x Capital) + Arena = Praktik
Bagian terpenting dalam pemikiran Bourdieu adalah upaya
mengatasi pilihan “wajib” dan “ritual”, antara subjektivisme dan
objektivisme. Dua momen, objektivitas dan subjektivitas, berada dalam
hubungan dialektis.29 Cara berpikir yang berusaha lepas dari pengaruh
objktivisme dan subjectivisme dalam upaya memahami realitas sosial.
Realitas sosial, dalam bahasa Bourdieu, merupakan sebuah proses
“dialektika internalisasi eksternalitas dan eksternalitas internalitas.”
Dalam proses interaksi dialektis itulah struktur objektif dan
pengertian-pengertian subjektif, struktur dan agen bertemu.
Pertemuan itu disebut Bourdieu dengan praktik. Praktik sosial
dipahami oleh Bourdieu sebagai hasil dinamika dialektis antara
internalisasi eksterior dan eksternalisasi interior.30 Eksterior adalah
struktur objektif yang ada di luar pelaku sosial, sedangkan interior
merupakan segala sesuatu yang melekat pada diri pelaku sosial. Segala
sesuatu yang diamati dan dialami yang ada di luar diri pelaku sosial
(eksterior) bergerak dinamis secara dialektis dengan pengungkapan
dari segala sesuatu yang telah diinternalisasi menjadi bagian dari diri
pelaku sosial (interior).
Bila dikaitkan antara habitus, arena dan kapital, dimana kapital
menurut Bourdieu juga memiliki arti luas, mencakup hal material dan
immaterial yang dapat memiliki nilai simbolik secara budaya, misal
prestise, status dan otoritas yang merujuk sebagai kapital simbolik.
Kapital ini harus berada di dalam sebuah ranah. Karena dalam rumusan
generatif Bourdieu, ada keterkaitan antara habitus, kapital dan ranah
yang bersifat langsung. Dimana nilai yang diberikan pada kapital
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
66
dihubungkan dengan berbagai karakteristik sosial dan habitus adalah
sebagai berikut: (Habitus x Kapital) + Ranah = Praktik.
Habitus
Wacquant (1998) menyatakan bahwa, term habitus bukan
ciptaan Bourdieu sendiri, tetapi term ini Bourdieu ambil dari tradisi
filsafat: “Habitus adalah sebuah konsep filosofis tua, digunakan sesekali
oleh antara lain Aristoteles (dalam term/istilah/hexis), Hegel, Weber,
Durkheim, Mauss dan Husserl. Bourdieu mengambilnya dalam analisis
pada tahun 1967 atas pemikiran sejarahwan seni Erwin Panofsky dan
telah menyempurnakan baik secara empiris dan secara teoritis, dalam
setiap karya utamanya. Habitus merupakan upaya Bourdieu yang
paling ambisius untuk menjelaskan praktik-praktik secara khusus
(mikro) dan umum (makro) pada setiap konteks sosial budaya, namun
bukan dalam hal narasi sejarah (sebagai mana Marxisme), psikoanalisis
(Oedipus Complex), Strukturalisme (Levi-Strauss tentang objektif) atau
sesuatu yang membuat sesuatu itu otentik (Heidegger).
Singkat kata, konsep habitus merepresentasikan “niat teoritis
untuk keluar dari filsafat kesadaran tanpa membuang agen, dalam
hakikatnya sebagai operator praktis bagi pengonstruksian obyek.”
(Bourdieu, 1985). Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai: sistem
disposisi yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan (transposable), struktur yang distrukturkan yang diasumsikan berfungsi sebagai
penstruktur struktur-struktur (structured structures predisposed to function as structuring structures), yaitu sebagai prinsip-prinsip yang
melahirkan dan mengorganisasikan praktik-praktik dan representasi-
representasi yang bisa diadaptasikan secara obyektif kepada hasil-
hasilnya tanpa mengendalikan suatu upaya sadar untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu atau penguasaan cepat atas cara dan operasi
yang diperlukan untuk mencapainya. Karena sifatnya “teratur” dan
“berkala” secara obyektif, tapi bukan produk kepatuhan-aturan,
prinsip-prinsip ini bisa disatupadukan secara kolektif tanpa harus
Perspektif Teori
67
menjadi produk tindakan pengorganisasian seorang pelaku (Bourdieu,
1990a;1997).
Habitus kadangkala digambarkan sebagai logika permainan
(feel for the game), sebuah rasa praktis (practice sense) yang
mendorong agen-agen bertindak dan bereaksi dalam situasi-situasi
spesifik dengan suatu cara yang tidak selalu bisa dikalkulasi
sebelumnya, dan bukan sekedar kepatuhan sadar pada aturan-aturan.
Ia lebih mirip seperangkat disposisi yang melahirkan praktik dan
persepsi. Berdasarkan definisi Bourdieu, disposisi-disposisi yang
dipresentasikan maka habitus bersifat: (a) bertahan lama dalam arti
bertahan di sepanjang rentang waktu tertentu dari kehidupan seorang
agen; (b) bisa dialihpindahkan alam arti sanggup melahirkan praktik-
praktik di berbagai arena aktivitas yang seragam; (c) merupakan
struktur yang distrukturkan dalam arti mengikutsertakan kondisi-
kondisi sosial objektif pembentukannya; inilah yang menyebabkan
terjadinya kemiripan habitus pada diri agen-agen yang berasal dari
kelas sosial yang sama dan menjadi justifikasi bagi pembicaraan tentang
habitus sebuah kelas di dalam distinction ; dan (d) merupakan “struktur
yang menstrukturkan” artinya mampu melahirkan praktik-praktik
yang sesuai dengan situasi-situasi khusus dan tertentu.
Menurut Bourdieu (1990a) dalam ‟The Logic of Practise‟. bahwa
habitus tidak menutup kemungkinan bagi para peserta agen untuk
melakukan kalkulasi strategis, hanya caranya berfungsi agak berbeda
yaitu “Sistem disposisi ini - sebuah masa lalu yang ada sekarang (a present past) yang cenderung menghadirkan lagi dirinya di masa depan
dengan mengaktifkan kembali dalam praktik-praktik yang
distrukturkan secara sama. Suatu kaidah internal yang melaluinya
keniscayaan eksternal yang tidak bisa direduksi menjadi penghalang
langsung didorong mundur terus-menerus adalah prinsip utama bagi
kelangsungan dan keteraturan yang sudah bisa ditangkap obyektivisme
di dalam praktik-praktik sosial namun tidak pernah bisa dipahaminya.
Sistem disposisi ini juga sanggup menjelaskan sebab-musabab
terjadinya transformasi-transformasi teratur yang tidak bisa dijelaskan
entah melalui determinisme ekstrinsik dan instan dari sosiologisme
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
68
mekanistik, maupun lewat determinasi murni internal yang tidak kalah
instannya dari subjektivisme spontanistik” (Bourdieu, 1990a ).
Jadi, menurut Bourdieu (Ritzes, 1996), secara dialektik habitus
adalah: “the product internalization of the structures of social world”,
atau habitus merupakan struktur sosial yang terinternalisasi dalam diri
seseorang. Habitus sifatnya juga berbeda-beda, tergantung pada posisi
seseorang dalam dunia sosialnya; dan inilah yang menjelaskan mengapa
tidak semua orang memiliki habitus yang sama, walaupun
kecenderungan dari mereka yang memiliki disposisi yang sama dalam
satu dunia sosial yang sama akan memiliki habitus yang (relative) sama.
Pengertian yang sama ini mengacu pada adanya habitus yang sama
yang dimiliki secara kolektif oleh sekelompok orang. Selain merupakan
fenomena kolektif dan memiliki dimensi historis, habitus juga
memiliki sifat durable dan transporable, yaitu bisa berpindah-pindah
dari satu field (arena) ke field (arena) yang lain.
Capital
Menurut Wacquant (2006) mengenai modal (capital), Bourdieu
berangkat dari pendasaran yang menyatakan bahwa konsep masyarakat
(society) itu didasarkan pada kelas (social life:class-based). Bourdieu
(1989) menyatakan bahwa subjek atau individu menempati suatu posisi
dalam ruang sosial multidimensional. Ruang itu tidak didefinisikan
oleh keanggotaan kelas, namun melalui jumlah setiap jenis modal yang
dia miliki. Modal itu mencakup nilai jejaring sosial, yang bisa
digunakan untuk memproduksi kekuasaan (power) atau memproduksi
ketidaksetaraan. Mereka membutuhkan waktu dan tenaga bagi para
pelaku untuk membentuk dan selanjutnya mendapatkan keuntungan
dari modal. Tentu saja, modal juga harus berisi nilai yang menjadi
obyek kepentingan. Karena itu, modal memiliki implikasi strategi-
strategi investasi, baik pada tingkat individu maupun kelompok. Modal
merupakan “game masyarakat”, bukan hanya game yang murni
ekonomi namun juga bersifat immaterial, yaitu seluruh game.
Perspektif Teori
69
Kapital dimungkinkan untuk menjelaskan praktik dunia sosial
yang tidak hanya diarahkan pada perolehan modal ekonomi namun
juga seluruh bentuk modal. Berbagai bentuk modal material dan
immaterial ini harus dipahami secara umum sebagai sumber daya di
dalam masyarakat. Perolehan sumber daya-sumber daya ini memberi
akses ke kekuasaan dan pada akhirnya ke kemakmuran materi. Melalui
cara ini, Bourdieu mengarahkan fokusnya pada ekonomi dalam
praktik, yaitu menuju kalkulasi ekonomi yang bukan hanya ada di
belakang praktik-praktik ekonomi namun juga pada praktik yang lebih
tersembunyi dan simbolis.
Perumusan ulang Bourdieu terhadap konsep modal-nya Marx
terdiri dari dua observasi (Calhoun 1993). Pertama, ada banyak bentuk
modal yang berbeda, mulai dari material (fisik, ekonomi) sampai
immaterial (budaya, simbol, sosial). Kedua, dengan berbagai tingkat
kesulitan, dimungkinkan untuk mengubah satu bentuk modal ke
bentuk lainnya, yang disebut transformasi antar modal.
Ini mencakup pemutusan konseptual dengan ekonomisme dari
Marx serta ahli ekonomi Klasik, monopolisasi bidang ekonomi yang
dihasilkan dari etnosentrisme, dan dimungkinkan dengan
mengisolasikan ekonomi keekonomian dari ekonomi budaya
(Bourdieu: 1990a; Lash: 1993). Alternatifnya Bourdieu, seperti sudah
disebutkan, adalah melepaskan dari substantialisme dan materialisme
sedemikian dengan menempatkan kekuatan ekonomi di belakang
seluruh tindakan manusia, tanpa harus menganggap hal ini dihasilkan
dari kepentingan diri sendiri, seperti dikatakan para ahli ekonomi
(Bourdieu, 1977; Snook 1990; May, 1996). Dengan kata lain, analisis
seharusnya tidak hanya menjelaskan tindakan-tindakan yang dapat
dikapitalisasikan yang disebut Marx “pembayaran tunai tanpa
perasaan” (Bourdieu, 1977), namun juga tindakan-tindakan yang
ditandai oleh tanpa rasa kepentingan, dimana orang-orang mencoba
menutupi dorongan ekonomi yang ada di belakang usaha mereka
untuk mendapatkan modal. Seperti dicatat di atas, bagi Bourdieu,
seluruh bentuk modal selalu bisa diubah menjadi modal ekonomi.
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
70
Pada saat yang sama, dia mencatat paradoks bahwa meski
kalkulasi ekonomi ada di belakang semua tindakan, namun setiap
tindakan tidak dapat direduksi ke kalkulasi ekonomi (Bourdieu, 1979).
Intinya adalah bahwa bagi para pelaku, nilai itu sendirilah yang
penting untuk berpartisipasi dan untuk menginvestasikan waktu,
tenaga serta uang di dalam “game ekonomi” yang karenanya
mendapatkan legitimasi dengan sendirinya (Bourdieu, 1990). Jika
dirangkum, bagi Bourdieu, istilah “kepentingan” masih mendua,
dimana dia tidak dapat dituduh sebagai pemilih rasional murni.
Bourdieu (1996) dalam artikel “The Forms of Capital”
menjawab pertanyaan apa yang dimaksud dengan modal dan apa saja
bentuk-bentuk modal. Sudah sangat dipahami kalau modal merupakan
unsur yang harus ada dalam dunia bisnis. Definisi dan cakupan modal
terus berkembang. Hasilnya adalah konsep modal-nya Marx terdiri dari
dua observasi (Calhoun, 1993). Pertama, ada banyak bentuk modal
yang berbeda, mulai dari material (fisik, ekonomi) sampai immaterial
(budaya, simbol, sosial). Kedua, dengan berbagai tingkat kesulitan,
dimungkinkan untuk mengubah satu bentuk modal ke bentuk lainnya.
Bourdieu (1986), mengartikan modal secara umum sebagai “kerja
manusia yang terakumulasi” yang berpotensi menghasilkan bentuk-
bentuk laba yang berbeda-beda. Pekerjaan ini dapat dipandang sebagai
sejarah yang terakumulasi, yang ditransfer melalui waktu dalam
bentuk yang terbendakan – yaitu materi, atau dalam bentuk yang
terwujud, yaitu sebagai bagian dari seseorang.
Dengan kata lain, modal tertanam di dalam struktur obyektif
dan subyektif, dan karena itu menjadi penjamin bagi keteraturan dan
stabilitas dunia sosial. Memang, pada waktu tertentu, berbagai bentuk
modal dapat dikatakan menjadi “struktur yang tetap ada” dari dunia
sosial, yang dipahami sebagai “serangkaian batasan”, yang tertanam di
dalam realita dunia tersebut, yang mengatur fungsinya dalam cara yang
abadi, yang menentukan peluang kesuksesan bagi praktik-praktik
(Bourdieu 1986).
Perspektif Teori
71
Konsep modal yang telah diperluas sedemikian adalah jauh dari
definisi ekonomi tradisional mengenai kata tersebut sebagai sumber
daya yang memfasilitasi produksi dan yang secara bersamaan tidak
dikonsumsi di dalam proses produksi, yaitu sebagai faktor produksi
(Coleman 1994). Bourdieu berpandangan bahwa modal merupakan
hubungan sosial. Modal merupakan energi sosial yang hanya ada dan
membuahkan hasil-hasil dalam ranah perjuangan dimana modal
memproduksi dan mereduksi. Modal memiliki beberapa ciri penting
yakni: (1) Modal terakumulasi melalui investasi, (2) Modal bisa
diberikan kepada yang lain melalui warisan, (3) Modal dapat memberi
keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya
untuk mengoperasikan penempatannya (Patrice Bonnewitz, 1998
dalam Haryatmoko, 2003)31. Di dalam pengertian ini, modal tidak dapat
dipisahkan dari produksi, tanpa memandang apakah kita mengacu pada
modal fisik (gedung, mesin dll.), modal keuangan ataupun modal
manusia (pendidikan dan rekualifikasi).
Menurut Bourdieu (2004), terdapat empat jenis modal, yaitu
modal ekonomi, modal sosial (social capital), modal budaya, dan modal
simbolik. Penjelasan modal tersebut adalah: (1) Modal ekonomi, yang
mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan
dan benda-benda) dan uang yang dengan mudah digunakan untuk
segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Penggunaan terminologi ekonomi oleh Bourdieu tidak
mengacu pada ekonomisme atau reduksionisme ekonomi apapun.
Bourdieu melihat arena ekonomi hanya sebagai salah satu arena di
antara arena-arena lain, tanpa memberikan keunggulan di dalam teori
umumnya tentang arena (2) Modal budaya, yang mencakup
keseluruhan kualifikasi intelektual yang dapat diproduksi melalui
pendidikan formal maupun warisan keluarga, misal kemampuan
menampilkan diri di depan publik, pemilikan benda-benda budaya
yang bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasil
pendidikan, kemampuan inovasi, kemampuan ber-entrepreneurship,
juga sertifikat (gelar kesarjanaan), tata krama atau sopan santun, cara
bergaul dan sebagainya yang berperan di dalam penentuan dan
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
72
reproduksi kedudukan-kedudukan sosial; (3) Modal sosial Social capital, menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu
atau kelompok) dalam hubungan dengan pihak lain yang memiliki
kuasa; dan (4) Modal simbolik, mengacu kepada derajat akumulasi
prestise, ketersohoran, status, otoritas, konsekuensi atau kehormatan,
dan dibangun di atas dialektika pengetahuan (connaissance) dan
pengenalan (reconnaissance).
Kalau diamati, tidak semua modal yang disebutkan oleh
Bourdieu memiliki muatan ekonomi dengan sendirinya. Artinya,
modal itu menjadi bernilai bukan karena nilai ekonomi yang melekat
pada modal itu sendiri. Tetapi, karena memiliki sifat-sifat sosial
tertentu yang kemudian melahirkan nilai ekonomi. Misalnya, orang
bisa memiliki jaringan yang luas dan kuat karena mereka memiliki
sifat jujur dan dapat dipercaya. Jujur dan dapat dipercaya bukanlah
aspek ekonomi, tetapi persoalan yang terkait dengan pandangan hidup.
Jadi, pandangan hidup yang dimiliki seseorang dapat melahirkan nilai
ekonomi yang bisa digunakan sebagai modal untuk melakukan
kegiatan ekonomi. Hal itu memperlihatkan posisi lemah dari teori
ekonomi yang selalu mengesampingkan aspek non ekonomi (budaya,
sosial, dan politik), seperti modal merupakan komponen penting dari
kegiatan bisnis, sering tidak memadai manakala hanya dipandang dari
sisi ekonomi, karena terjadinya pemilikan modal bukan berasal dari sisi
ekonomi tetapi bisa bermula dari faktor sosial, termasuk di dalamnya
social capital.
Berkembangannya eksploitasi modal secara terus-menerus akan
mempengaruhi sistem sosial yang berlaku, sehingga memunculkan pola
perilaku kapitalisme. Menurut Heilbroner (1991), menolak
memperlakukan kapital hanya dalam kategori hal-hal yang material
berupa barang atau uang. Menurutnya, jika kapital hanya berupa
barang–barang produksi atau uang yang diperlukan guna membeli
material dan kerja, maka kapital akan sama tuanya dengan peradaban.
Oleh karena itu, menurut Heilbroner, kapital bukan suatu benda
material melainkan suatu proses yang memakai benda-benda material
sebagai tahap-tahap dalam eksistensi dinamiknya yang berkelanjutan.
Perspektif Teori
73
Jadi kapital merupakan suatu proses sosial, bukan proses fisik. Kapital
memang mengambil bentuk fisik, tetapi maknanya hanya bisa
dipahami jika kita memandang hanya benda-benda material ini
mewujudkan dan menyimbolkan suatu totalitas yang meluas.
Heilbroner (1991) menelaah secara mendalam pengertian
hakiki dari kapital yang mampu menjelaskan formasi sosial sampai
sekarang adalah kapitalisme. Menurutnya kapitalisme sebagai suatu
sistem dapat diterangkan dalam 2 (dua) konsep yaitu hakekat dan
logika.
Hakekat kapitalisme sebagai sifat dasar yang mengacu pada
perilaku pembentukan institusi atau “pemilikan pribadi” yang
ditunjukan oleh dua aspek utama yang saling berhubungan yaitu
perilaku individu dalam mengumpulkan kapital atau kekayaan yang
dapat mendominasi penguasaan kapital. Proses yang berulang dan
ekpansif ini memang diarahkan untuk membuat barang-barang dan
jasa-jasa dengan pengorganisasian niaga dan produksi, yang oleh Marx
digambarkan dengan simbul M – C - M atau metabolisme M – C- M;
transformasi “capital as money (M)” ; ke dalam “capital as commodity (C )”; yang diikuti re-transformasi ke dalam “capital as more money
(M)”. Oleh karena itu, hakekat kapitalisme menurut Heilbroner (1991),
adalah dorongan tanpa henti dan tanpa puas untuk mengakumulasi
kapital sebagai sublimasi dorongan bawah sadar manusia untuk
merealisasi diri, mendominasi, dan berkuasa. Dorongan ini berakar
pada jati diri manusia, maka kapitalisme lebih merupakan salah satu
modus eksistensi manusia. Mungkin inilah sebabnya mengapa
kapitalisme mampu bertahan dan malah menjadi hegenomi peradaban
manusia.
Logika kapitalisme mengacu pada pola perubahan yang
dihasilkan dan dikendalikan oleh hakekat kapitalisme melalui
pemilikan pribadi dan perluasan diri kapital secara terus-menerus
melaui proses pola M-C-M sehingga menghasilkan akumulasi modal,
ekspansi modal, dst. Dorongan tanpa henti dan tanpa puas untuk
mengakumulasikan kapital. Logika kapitalis merupakan logika berpikir
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
74
rasional yang dikendalikan oleh hakekat kapitalis untuk memenangkan
kompetisi dalam pemilikan/penguasaan kapital dalam masyarakat di
pasar.
Arena (Field)
Field atau arena menurut pandangan Bourdieu merupakan
sistem dan hubungan-hubungan (relasi). “Berpikir berdasarkan arena
berarti berpikir secara relasional,” dan arena tidak bisa dipisahkan dari
ruang sosial (social space). Ruang sosial merupakan suatu ruang
integrasi, yang berisi sistem arena-arena. Lebih lanjut Bourdieu
mengungkapkan bahwa sistem arena32, adalah:
“hampir dapat dibayangkan, sederhananya, sebagai sebuah sistem planet, karena ruang sosial benar-benar merupakan suatu arena integral. Setiap arena memiliki struktur dan kekuatan-kekuatan sendiri, serta ditempatkan dalam suatu arena yang lebih besar yang juga memiliki kekuatan, strukturnya sendiri, dan seterusnya”.
Hal ini sesuai dengan pandangan Bourdieu (2004) bahwa, aset
non fisik merupakan aset yang dimiliki individu (pengusaha industri
kecil) dalam lingkungan sosialnya yang digunakan untuk menentukan
posisi dalam ranah33. Ranah (field) lebih dipandang oleh Bourdieu
(dalam Ritzer dan Goodman,2010) secara relasional daripada struktural
antar-individu. Ranah bukanlah interaksi atau ikatan lingkungan,
bukan pula intersubyektif. Ranah adalah jaringan relasi antar-posisi
objektif di dalamnya (Bourdieu dan Waquant, 1992; Ritzer dan
Goodman, 2010). Ranah merupakan: (1) arena kekuatan sebagai upaya
perjuangan untuk merebutkan sumber daya atau modal dan juga untuk
memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hierarki kekuasaan; (2)
semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur
posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang
terbentuk secara spontan.
Menurut Bourdieu, ranah (field) lebih dipandang secara
relasional daripada secara struktural. Ranah merupakan jaringan relasi
Perspektif Teori
75
antar-posisi objektif di dalamnya (Bourdieu dan Waquant, 1992; Ritzer
dan Goodman, 2010). Keberadaan relasi-relasi ini terpisah dari
kesadaran dan kehendak individu. Lebih lanjut Bourdieu (dalam Ritzer
dan Goodman,2010) menyatakan bahwa, ada tiga langkah proses
menganalisis ranah, yaitu: (1) menggambarkan keutamaan ranah
(lingkungan) kekuasaan (politik) untuk menemukan hubungan setiap
lingkungan khusus dengan lingkungan politik; (2) menggambarkan
struktur objektif hubungan antar berbagai posisi di dalam ranah
tertentu; dan (3) analisis harus mencoba menentukan ciri-ciri
kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam ranah.
Menurut pandangan Bourdieu, arena itu sendiri semacam arena
pertempuran (buttle field), yang dalam arena itu berbagai jenis kapital
akan saling digunakan untuk dikonversikan dan dikompetisikan.
Dikonversikan dalam pengertian bahwa jenis-jenis kapital tertentu bisa
digunakan dan diubah menjadi jenis-jenis capital lainnya. Seperti
misalnya, kapital ekonomi bisa dikonversikan menjadi kapital sosial,
sehingga orang yang memiliki kekuatan ekonomi bisa memiliki
peluang untuk memperoleh kekuatan modal sosial simbolik dalam
wujud seperti kehormatan atau prestice, dan dalam konteks tertentu
bisa pula sebaliknya. Agen yang memiliki kapital budaya dapat
mengkonversikan menjadi kapital ekonom; dan sebaliknya.
Field sebagai suatu kunci yang berkaitan dengan ruang metafor
dalam teori sosiologi Bourdieu. Field menentukan atau mendefinisikan
settingan struktur sosial yang mana di situ tempat beroperasinya
habitus.34 Bourdieu menekankan pada pernyataan bahwa “hubungan
antar posisi objektif”‟. Maka keberadaan hubungan ini terlepas dari
kesadaran dan kemauan individu. Arena (field) bukanlah interaksi atau
ikatan, arena bukan pula intersubyektif antara individu.
Konsep arena (fields) merupakan refleksi dari dimensi
metateori pemikiran Bourdieu yang melihat fields sebagai konsep yang
terbuka dapat ditandai dan dikoreksi bagi suatu bentuk variasi teori
antara subjektivisme dan objektivisme. Bourdieu melancarkan kritik
terhadap subjektivisme dan objektivisme, dan mengatasi keduanya
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
76
melalui cara konseptualisasi “hubungan antara sosial dan struktur
budaya dan praktik”. Sebagai teori, Bourdieu menyusun tiga langkah
proses untuk menganalisis arena (field) yaitu (1) Konsep field sebagai
koreksi terhadap positivisme. Menurut Bourdieu dan Wacquant (1992),
arena (field) merupakan suatu kontruksi konseptual yang didasarkan
atas ratio mode relational (relational mode of reasoning). Bourdieu dan
Wacquant menggambarkan logika relational dengan menganjurkan
para peneliti (rasearcher) mencari-cari, menemukan sesuatu yang
mendasar dan menemukan suatu relasi-relasi tidak terlihat yang dapat
membentuk aksi bentuk daripada pembendaharaan (pengetahuan)
yang telah terberi dalam kategori pengetahuan umum. Karena itulah
Bourdieu lebih memilih term field ketimbang populasi, group,
organisasi atau instansi-intansi. Rupanya ia ingin menarik
perhatiannya pada bentuk pola-pola laten dari kepentingan dan
pertarungan yang membentuk keberadaan realitas empirik. (2) konsep
field adalah sebagai suatu penyaluran (conduit) dari polemik Bourdieu
yang menentang dua sudut pandang yaitu reduksionisme kelas dan
materialisme yang vulgar. Dengan konsep field, Bourdieu sebenarnya
hendak membawa suatu perpektif kelas sosial dalam konteks
masyarakat modern, akan tetapi latar belakang kelas sosial. Milleu, atau
konteks semuanya tidak pernah berefek/berakibat langsung atas
tingkah laku individual, justru latar belakang kelas milleu, atau konteks
semuanya malah menjadi diperantarai (mediated) oleh struktur arena
itu sendiri. (3) Sebagai konsep, field ditandai sebagai penolakan
Bourdieu pada cara interpretasi kaum idealis terhadap praktik-praktik
kebudayaan yang begitu terlalu subtansialis; tidak memperhatikan
atribut-atribut kebudayaan dan praktiknya.
Kemudian, bagaimana hubungan antara arena dengan habitus, ini dapat dijelaskan sebagai berikut: arena bisa mengkondisikan
habitus; dan sebaliknya habitus mampu membentuk arena sebagai
sesuatu yang bermakna dan bernilai. Sedangkan proses interelasi antara
habitus dan arena itu sendiri dijembatani oleh apa yang disebut sebagai
“praktik”. Jadi di sini ada hubungan yang bersifat timbal balik secara
dialektis. Hubungan habitus dan arena secara sederhana dapat
Perspektif Teori
77
menggambarkan hubungan antar-individu (agen) dan masyarakat
(struktur). Dalam hubungan seperti itu, habitus atau arena (field) tidak
memiliki kapasitas secara sepihak (unilateral) untuk menentukan
tindakan sosial (social action). Namun sebaliknya, tindakan sosial
ditentukan oleh proses relasi dialektis dari keduanya, yaitu habitus –
yang juga bisa dikatakan struktur mental- dan arena (field), yang bisa
dikatakan sebagai struktur sosial. Jadi menurut Bourdieu (Ritzer, 1996),
jika menyangkut konsep habitus dan arena, yang paling penting adalah
hubungan dialektik di antara keduanya (habitus dan arena). Lebih dari
itu, dalam hubungan dialektika itu, baik habitus ataupun arena,
keduanya saling mendefinisikan satu sama lain.
Praktik
Praktik merupakan konsep Bourdieu yang digunakan untuk
menjelaskan tentang penolakan terhadap dominasi objektif maupun
dominasi subjektif. Konsep praktik berarti bagaimana seseorang diberi
stimulus kemudian akan melakukan suatu respon. Praktik menurut
Bourdieu merupakan kritik tentang pandangan kaum objektivis yang
menekankan pandangannya bahwa struktur yang paling berkuasa dan
menentukan tindakan aktor akan membentuk lingkungan, sehingga
tindakan aktor tidak akan bebas melainkan terbatas. Demikian pula
Bourdieu menolak pandangan kaum subjektivis yang menekankan
bahwa individu dapat bertindak bebas tanpa dipengaruhi oleh struktur.
Praktik sosial dirumuskan sebagai hasil dinamika dialektika
antara internalisasi eksterior dengan eksternalisasi interior.
Internalisasi eksterior dimaksudkan sebagai internalisasi segala sesuatu
yang dialami dan diamati dari luar diri pelaku sosial. Sedangkan
eksternalisasi interior berarti pengungkapan dari segala sesuatu yang
telah terinternalisasi dan menjadi bagian dari diri pelaku sosial35.
Praktik sosial dipandang sebagai integrasi antara habitus dikalikan
kapital dan ditambahkan ranah. Kapital sebagai sebuah konsentrasi
kekuatan spesifik yang beroperasi dalam ranah dan setiap ranah
menuntut individu untuk memiliki modal khusus agar dapat hidup
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
78
secara proporsional dan bertahan di dalamnya. Dalam ranah
pertarungan sosial akan terjadi, mereka yang memiliki modal dan
habitus yang sama dengan kebanyakan individu akan lebih mampu
melakukan tindakan mempertahankan atau mengubah struktur
dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki modal.
Menurut pandangan Bourdieu, bila seseorang individu atau
aktor dipengaruhi oleh strukturnya, ia juga melakukan kebebasan
untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Sehingga akan
menentukan praktik atau tindakan individu atau aktor adalah ranah
dimana dia berada dan habitus masing-masing individu. Praktik
individu atau kelompok sosial, karenanya harus dianalisis sebagai hasil
interaksi habitus dan ranah.
Jenkins (1992), menjelaskan ada beberapa karakteristik yang
terdapat dalam praktik, yaitu: (1) Praktik terdapat dalam ruang waktu.
Praktik, ”secara intriestik didefinisikan oleh temponya” kata
Bourdieu36. Praktik tidak bisa dipahami di luar konteks ruang dan
waktu. Waktu dikonstruksikan secara sosial dan gerakan individu atau
kelompok dalam ruang sosial otomatis gerakan dalam waktu. (2)
Praktik diatur dan digerakkan secara tidak sadar atau tidak sepenuhnya
sadar. Tindakan sosial menurut Bourdieu, lebih cenderung merupakan
hasil proses improvisasi individual dan kemampuan untuk berperan
dalam interaksi sosial. Hal ini terjadi karena dalam kehidupan sosial,
kebanyakan agen atau aktor (individu atau kelompok) cenderung
menerima dunia sosial dengan apa adanya. Agen tidak memikirkan
kembali mengapa harus berbuat seperti ini atau mengapa harus begitu.
Pemikiran Pierre Bourdieu tentang Social Capital
Dalam memahami pemikiran Bourdieu tentang social capital, perlu melihat pokok perhatiannya dahulu dan sekarang adalah
pemahaman atas hierarki sosial dalam banyak hal. Bourdieu membahas
gagasan-gagasan yang banyak dipengaruhi oleh Marxis dan di awal
tulisan-tulisan Bourdieu (Field, 2003) tentang social capital menjadi
Perspektif Teori
79
bagian analisis yang lebih luas tentang beragam landasan tatanan sosial.
Bourdieu melihat posisi agen dalam arena sosial ditentukan oleh
jumlah dan bobot modal relatif mereka, dan strategi tertentu yang
mereka jalankan untuk mencapai tujuan-tujuannya.
Konsep social capital menurut Bourdieu (1977) pada awalnya
mendefinisikan sebagai berikut: Modal hubungan sosial yang jika
diperlukan akan memberikan “dukungan-dukungan” bermanfaat:
modal harga diri dan kehormatan yang seringkali diperlukan jika orang
ingin menarik para klien ke dalam posis-posisi yang penting secara
sosial, dan yang bisa menjadi alat tukar, misalnya dalam karier politik.
Kemudian Bourdieu bersama Wacquant (1992) memperbaiki
pandangannya, dengan menyampaikan kesimpulan dalam pernyataan
sebagai berikut: “Social capital adalah jumlah sumber daya, aktual atau
maya, yang berkumpul pada seorang individu atau kelompok karena
memiliki jaringan tahan lama berupa hubungan banyak terinstitu-
sionalisasikan”.
Menurut Bourdieu agar social capital tersebut dapat bertahan
nilainya, individu harus mengupayakannya. Maka untuk memahami
pemikran Bourdieu tentang social capital, diperlukan pula pokok
perhatian dahulu dan sekarang yaitu pemahaman atas hierarki sosial.
Ketimpangan harus dijelaskan oleh produksi dan reproduksi modal.
Bourdieu menyatakan “modal” adalah akumulasi kerja yang
memerlukan waktu dan akumulasi (Field, 2010). Sehingga melihat
modal dari aspek ekonomi saja tidaklah cukup, karena pertukaran
ekonomi digerakkan untuk mencari laba, sehingga hanya untuk
mengejar kepentingan sendiri. Bourdieu (1986) menyatakan bahwa,
mustahil memahami dunia sosial tanpa mengetahui peran modal dalam
segala bentuknya, dan tidak sekedar dalam satu bentuk yang diakui
oleh teori ekonomi.
Kemudian, Bourdieu (1980) memasukkan beberapa pendekatan
umum yang sama pada pemaparannya tentang social capital. Bourdieu
menyatakan bahwa istilah social capital adalah “satu-satunya cara”
untuk menjabarkan “prinsip-prinsip aset sosial” yang menjadi lebih
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
80
jelas manakala “individu yang berlainan memperoleh hasil yang sangat
tidak setara dari modal yang kurang lebih ekuivalen (ekonomi atau
budaya) menurut sejauh mana mereka mampu memobilisasi sekuat
tenaga modal dari suatu kelompok (keluarga, mantan siswa sekolah
elite, klub pilihan, kebangsawanan dan lain sebagainya).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dengan cara yang khas social capital berfungsi memproduksi ketimpangan, namun hal ini dilakukan
secara independen dari modal ekonomi dan modal budaya, yang
menjadi bagian yang tidak terlepaskan darinya. Sejauh bentuk-bentuk
modal yang berlainan tidak dapat diubah, atau lebih tepatnya, tidak
dapat direduksi menjadi modal ekonomi, itu semua karena perbedaan
jangkauan mereka dalam”„mengungkapkan aspek ekonomi”. Semakin
transparan nilai ekonomi, semakin besar konvertibilitasnya, namun
semakin rendah kesahihannya yang menjadi sumber diferensiasi sosial
(Bourdieu, 1986). Daripada konvertibilitas, Bourdieu lebih tertarik
pada bagaimana jenis-jenis modal yang berlainan secara bersama-sama
membedakan “kelas-kelas utama berdasarkan atas kondisi eksistensi;
dan dalam masing-masing kelas tersebut, meningkatkan ‟perbedaan
sekunder‟ pada basis dari ‟perbedaan distribusi modal secara
keseluruhan mereka diantara jenis modal berlainan” (Bourdieu, 1986).
Berbeda dari dua modal lainnya yang lebih dulu populer dalam bidang
ilmu sosial, yakni modal ekonomi (economic financial capital) dan
modal manusia (human capital), social capital baru dapat aksis bila
social capital berinteraksi dengan struktur sosial.37 Sifat ini jelas
berbeda antara modal ekonomi dan modal manusia. Dengan modal
ekonomi yang dimiliki seseorang/perusahaan dapat melakukan
kegiatan (ekonomi) tanpa harus terpengaruh dengan struktur sosial,
demikian pula dengan modal manusia.
Bourdieu (1986) menyatakan bahwa, volume social capital yang
dimiliki oleh seseorang tergantung pada ukuran jejaring koneksi yang
dapat dimobilisasikannya serta pada volume modal (ekonomi, budaya,
atau simbolis) yang dimilikinya. Ini artinya bahwa, meski relatif tidak
dapat direduksi ke modal ekonomi dan budaya yang dimiliki oleh agen
tertentu, atau bahkan oleh seluruh agen yang terhubung, social capital
Perspektif Teori
81
tidak pernah independen seluruhnya dari agen karena pertukaran-
pertukaran membentuk pengenalan satu sama lain.
Keuntungan yang timbul dari keanggotaan di suatu kelompok
adalah dasar dari solidaritas yang memungkinkan keuntungan tersebut
terjadi. Ini bukan berarti bahwa keuntungan tersebut dikejar secara
sengaja, meski pada kasus kelompok-kelompok seperti klub-klub
terpilih, yang sengaja dibuat untuk mengkonsentrasikan social capital dan untuk menghasilkan manfaat sepenuhnya akan berimplikasi di
dalam konsentrasi tersebut dan untuk mengamankan keuntungan dari
keanggotaan – yaitu keuntungan materi, misalnya seluruh jenis jasa
yang timbul dari hubungan yang bermanfaat, dan keuntungan
simbolis, misalnya keuntungan yang dihasilkan dari asosiasi dengan
kelompok yang prestisius.
Menurut Bourdieu (1980; 1986), hubungan yang erat dan tahan
lamanya adalah ikatan yang sama vitalnya: social capital merepresentasikan agregate sumber daya aktual atau potensi yang
dikaitkan dengan kepemilikan jaringan yang tahan lama, nilai ikatan
yang dijalin seorang individu (atau volume social capital yang dimiliki
agen tertentu tergantung pada jumlah koneksi yang dapat mereka
mobilisasi dan volume modal (budaya, sosial dan ekonomi) yang
dimiliki masing-masing koneksi. Dalam mempertahankan pandangan
tentang modal sebagai produk akumulasi kerja. Bourdieu menegaskan
bahwa koneksi memerlukan kerja. Solidaritas dalam jaringan hanya
mungkin terjadi karena keanggotaan di dalamnya meningkatkan laba,
baik laba material maupun laba simbolik.
Dengan demikian, mempertahankan hal tersebut diperlukan
“strategi investasi secara individu maupun kolektif” yang bertujuan
mentrasformasikan hubungan-hubungan yang terus berlangsung,
seperti hubungan di kampung atau tempat kerja, atau hubungan keke-
rabatan, menjadi “hubungan sosial yang secara langsung dapat diguna-
kan dalam jangka pendek atau jangka panjang”; karena hal itu hanya
efektif dalam jangka panjang yang dirasakan secara subjektif
(Bourdieu,1980;1986), misalnya pertukaran hadiah: “upaya untuk
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
82
mempersonalisasikan hadiah” mengubah nilai yang sepenuhnya
bersifat moneter dan juga titik temu pada skala yang lebih luas,
sehingga menjadi “investasi solid, yang labanya akan muncul dalam
jangka panjang dalam bentuk uang dan bentuk lainnya”, dengan
investasi yang berbentuk “upaya sosiabilitas tiada henti” (Bourdieu,
1986).
Pierre Bourdieu tentang Social Capital
Setelah Pierre Bourdieu 1970 menulis teori social capital dalam
bahasa Perancis dangan judul „le Capital Social:Notes‟ namun karena
publikasi ditulis dalam bahasa Perancis membuat tidak banyak
ilmuwan sosial (khususnya sosiologi dan ekonomi) yang menaruh
perhatian (Portes,1998:3). Setelah James S.Coleman mempublikasikan
topik yang sama pada tahun 1993, barulah diikuti para intelektual
lainnya. Sehingga masyarakat ilmiah berkeyakinan bahwa Coleman
(1988) sebagai ilmuwan pertama yang memperkenalkan konsep social capital, seperti yang Coleman tulis dalam jurnal American Journal of Sociology yang berjudul “Social Capital in the Creation of Human Capital”. Kemudian Poldan (dalam Walis, Kilerby, dan Dollery, 2004)
menerangkan bahwa social capital adalah sangat dekat untuk menjadi
konsep gabungan bagi seluruh disiplin ilmu sosial, yakni modal
ekonomi (economic/financial capital) dan modal manusia (human capital), dan social capital baru eksis bila berinteraksi dengan struktur
sosial.
Berdasarkan pengertian social capital di atas, muncul beragam
definisi dengan bentangan yang sangat luas. Oleh karena itu Bourdieu
(Yustika, 2006), sebagai peletak fondasi konsep social capital, mendefinisikan social capital sebagai “agregat” sumber daya aktual
ataupun potensial yang diikat untuk mewujudkan jaringan yang awet
(durable) sehingga menginstusionalkan hubungan persahabatan
(acquaintance) yang saling menguntungkan. Melalui pemaknaan
tersebut, Bourdieu berkeyakinan bahwa jaringan sosial (social network) tidaklah alami (natural given), melainkan dikonstruksi
Perspektif Teori
83
melalui strategi investasi yang berorientasi kepada kelembagaan
hubungan kelompok (group relations) yang dapat dipakai sebagai
sumber terpecaya untuk meraih keuntungan (benefit). Selanjutnya,
Bourdieu mengemukakan dalam kaitannya dengan definisi tersebut
bahwa social capital juga memisahkan dua elemen: (a) hubungan sosial
itu sendiri yang mengizinkan individu untuk mengklaim akses
terhadap sumber daya yang dimiliki oleh asosiasi mereka; dan (b)
jumlah dan kualitas dari sumber data tersebut. Dengan gambaran
tersebut, melalui social capital, aktor dapat meraih sukses langsung
terhadap sumber daya ekonomi (pinjaman yang bersubsidi, saran-saran
investasi, pasar yang terlindungi), atau mereka dapat berafiliasi dengan
institusi yang membahas nilai-nilai terpercaya/value credentials atau
pelembagaan modal budaya (Portes, 1998).
Setelah Bourdieu kemudian muncul Coleman, dan diikuti para
ilmuwan lainnya, mencoba mendefinisikan social capital menurut
versinya, walaupun pada prinsipnya tidak mengubah definisi dari
pendahulunya. Seperti Uphoff (dalam Dhesi, 2000) yang menyatakan
social capital dapat ditentukan sebagai akumulasi dari beragam tipe
dari aspek sosial, psikologi, budaya, kelembagaan, dan aset yang tidak
terlihat (intangible) yang mempengaruhi perilaku kerja sama.
Menurut Hjerppe (2003) dan Chou (2006), Social capital sering
dibagi ke dalam dua bentuk atau jenis, yaitu social capital kognitif dan
struktural. Social capital kognitif meliputi norma-norma dan
kepercayaan, sedangkan social capital struktural meliputi jaringan-
jaringan sosial baik formal maupun informal. Menurut Field (2011)
dengan jaringan (social capital struktural) dan kepercayaan (social capital kognitif) tinggi akan berfungsi lebih baik dan lebih mudah
daripada dalam jaringan dengan kepercayaan yang rendah. Siapa pun
yang mengalami pengkianatan dari mitra dekat akan tahu betapa sulit
bagi dua orang untuk bekerja sama ketika perilaku mereka tidak
dilandasi kepercayaan. Namun kepercayaan tidak hanya didasarkan
atas hubungan tatap muka antara dua orang atau lebih. Kepercayaan
bisa menjadi atribut institusi dan kelompok maupun individu, dan
sering didasarkan pada reputasi yang diperantai pihak ketiga (Dasgupta
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
84
2000). Demikian juga kehidupan bisnis industri kecil selalu
menekankan pada kepercayaan dan jaringan dalam memenuhi
kebutuhan proses produksi, misalnya kebutuhan bahan baku dibayar di
belakang hari setelah hasil produksinya sudah laku terjual.
Selanjutnya Weijland (1999) memklarifikasi, social capital sebagai berikut, yaitu Social capital sebagai bonding mengarahkan
perhatian pada pentingnya keluarga, teman dekat, dan anggota
kelompok etnis atau pekerjaan yang sama, kemudian social capital bridging mengenai adanya network yang melintasi ikatan-ikatan yang
lebih luas, sedangkan social capital linking untuk mempertanyakan
kapasitas dukungan dari pihak-pihak yang menempati posisi-posisi
ekonomi dan sosial yang berbeda-beda, serta institusi yang lebih formal
di kota tersebut.
Glaeser et al (2000) dan Mateju (2002) menyatakan bahwa,
peluang untuk melakukan penelitian social capital tersebut masih
terbuka lebar terutama karena adanya perbedaan alat ukur yang
digunakan dalam mengukur kepercayaan, baik oleh para ahli sosiologi
maupun para ekonom. Para sosiolog pada umumnya fokus mengkaji
variabel-variabel yang berkaitan dengan relasi dan kohesi sosial,
sumber dan proses terbentuknya norma, kepercayaan, peran aktor,
partisipasi sosial, eksplorasi kekuatan jaringan, struktur sosial,
perubahan sosial dan sebagainya. Sedangkan para ekonom lebih
tertarik pada kepercayaan melalui data akuntansi untuk membedakan
pertumbuhan ekonomi, keadilan, pemerataan dan kesejahteraan.
Porter (Cho & Moon, 2003) menunjukkan bahwa, daya saing
suatu perusahaan itu tidak hanya tumbuh karena kontribusi faktor
produksi alamiah akan tetapi juga sangat tergantung kepada
kemampuan dalam melakukan inovasi dan pembaharuan. Ini berarti,
dalam proses penciptaan dan penguatan daya saing perusahaan
terhadap peran dan kontribusi dari aset lain yang tergolong sebagai
asset non fisik (intangible assets) yang selama ini diabaikan. Aset non
fisik (intangible assets) menurut MC. Kinsey dalam Satria (2003) terdiri
Perspektif Teori
85
dari pengetahuan, relasi dan jejaring, dan reputasi yang dimiliki oleh
perusahaan.
Kegiatan ekonomi sering tidak dapat bekerja secara sempurna
dan memuaskan manakala hanya menekankan pada faktor ekonomi
(modal, tanah, tenaga kerja, dan usahawan). Modal yang merupakan
komponen sangat penting dalam kegiatan bisnis/industri, sering tidak
memadai manakala hanya dipandang dari sisi ekonomi. Karena tumbuh
dan berkembangnya modal tidak hanya berasal dari sisi ekonomi,
tetapi bisa bermula dari faktor sosial, termasuk di dalamnya social capital.
Bourdieu dan Wacquant (1992) menyampaikan kesimpulan
dalam pernyataan sebagai berikut; Social capital adalah jumlah sumber
daya aktual atau maya, yang berkumpul pada seorang individu atau
kelompok karena memiliki jaringan tahan lama berupa hubungan
timbal balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit banyak
terlembagakan. Namun menurut Fukuyama (2000), bahwa penyebaran
nilai atau norma tidak serta merta menjadi social capital apabila nilai
atau norma termaksud tidak mengandung kebenaran. Lebih lanjut
Fukuyama (1999) mengatakan bahwa, norma akan menjadi social capital bilamana padanya terdapat unsur-unsur substantif, seperti
kebijakan,kebenaran berkata, kejujuran, saling mempercayai.
Demikian pula dengan pengusaha industri kecil sebagai entitas
ekonomi, maka yang pertama-tama menentukan konsep sosiologi
ekonomi adalah menyangkut pada bagaimana norma, kepercayaan,
kejujuran maupun jejaring yang dianutnya terwujud sebagai social capital38. Social capital yang tercipta di lingkungan industri kecil adalah
bersumber dari anasir-anasir nilai yang dimiliki setiap pengusaha
industri kecil bertata laku yang bersenyawa dalam interaksi di
lingkungan bisnis, karena dalam kegiatan bisnis para industri kecil
mendapat penerimaan maka menjadi tradisi kehidupan bisnis dimana
para pebisnis industri kecil dan selanjutnya menjadi dasar acuan
bertindak para pengusaha industri kecil dalam melaksanakan kegiatan
bisnis yang disebut sebagai norma. Norma ini tumbuh di lingkungan
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
86
bisnis industri kecil disebabkan juga oleh keyakinan agama yang dianut
pelaku industri kecil. Pelaku industri kecil dan pelanggan atau
konsumen maupun pemasok bahan baku sebagai manusia tentu
memerlukan orang lain, dan untuk itu ada kecenderungan untuk dapat
bekerja sama dan saling berinteraksi termasuk dalam hal bertransaksi.
Karena nilai dan norma diperlukan mengatur dalam berperilaku,
sehingga dapat hidup bersama-sama yang saling menguntungkan.
Penelitian dari Wejland (1999) mengenai klaster usaha mikro
pedesaan, terutama di Jawa dan Makasar, menemukan bahwa di
komunitas desa, hubungan sosial lazim menjadi subyek hubungan
patronase yang terkait dengan hierarki sosial politik, kepemilikan
lahan dan ikatan keluarga tradisional. Ketika ingin mendirikan
industrinya sendiri, para buruh yang sebelumnya bekerja bagi orang
lain harus melepaskan dirinya dari kewajiban-kewajiban terkait
sebelum mengembangkan social capital-nya sendiri, dimana jaringan
keluarga sangat penting, yang juga terlihat di Makasar. Secara bersama-
sama, faktor-faktor penting dari kajian ini membentuk sebuah
kerangka pikir untuk melakukan analisis tingkat mikro mengenai
karakter dan efektifitas social capital yang digunakan oleh para
pengusaha skala kecil di kota Makasar. Ini menunjukkan pentingnya
dinamika-dinamika seperti politik lokal, struktur sosial, dan norma
budaya di dalam menentukan ketergantungan perusahaan-perusahaan
pada bentuk social capital yang berbeda-beda, seperti kualitas, atribut,
dan substansi ikatan-ikatan serta hubungan-hubungan, dan bagaimana
semua hal tersebut saling terjalin dengan kepercayaan, norma, dan
sikap.
Pengembangan Paradigma Social Capital
Elemen-elemen pokok social capital antara lain: (1) norma atau
nilai; (2) hubungan saling kepercayaan (trust); (3) jaringan usaha/sosial
(business/social networks); (4) pranata (institutions), dan (5)
resiprositas (pertukaran timbal balik) [Bourdieu,1977; Suseno, 1987;
Cambel,Wood, dan Kelly 1999; Coleman, 1988; Ostrom, 1993;
Perspektif Teori
87
Putnam, 1993; Fukuyama, 1995; Cox, 1995; Adams & Someswar,1996;
Grootaet,1998; Pretty & Ward, 1999; Krishna & Uphoff, 1999; Lubis,
2002; Lawang, 2004; Baharudin, 2006, Hasbullah, 2006].
Norma dan Nilai
Banyaknya definisi social capital turut mempengaruhi
keberadaan konsep norma atau nilai. Menurut definisi dari Coleman
(dalam Yustika, 2006), Putnam (1995) dan Fukuyama (1999), bahwa
norma atau nilai adalah terdapat pada institusi sosial dan menjadi
“tambatan” (tempat terikatnya) social capital. Sedangkan Kasper W.et
al.(1998) menempatkan nilai sebagai bentuk sebuah dukungan bagi
lembaga kemasyarakatan, sehingga meningkatkan kesempatan dari
social order.
Nilai dan norma sebagai satu kesatuan komponen penting
institusi sosial selalu berpasangan dengan norma dan dihubungkan
dengan kebutuhan pokok (Lawang,2005). Dalam upaya memenuhi
kebutuhan pokok, pada diri dan komunitas pengusaha industri kecil
terkandung nilai-nilai yang sangat fundamental bagi kehidupannya
dan bagi kelangsungan komunitas pengusaha industri kecil. Maka
daripada itu, nilai memerlukan perlindungan dari norma. Karena
norma merupakan standar tentang hal-hal yang dipandang baik dan
benar dan norma mengandung ide tentang kewajiban dan keharusan
(Jaffries,1980:340 dalam Lawang 2005).
Menurut Fukuyama (1999), norma merupakan bagian dari
social capital yang timbul tidak diciptakan oleh birokrasi atau
pemerintah. Sedangkan Bertens (2001, 2003) menyatakan nilai
merupakan sesuatu yang baik, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu
yang berharga, sesuatu yang worth while. Nilai dicari karena dapat
memenuhi sesuatu keinginan, dan menurut kodratnya, nilai bersifat
positif. Selanjutnya Porter (2000) menerangkan bahwa values, dengan
atitudes dan beliefs (nilai, sikap & kepercayaan ) adalah sebagai budaya
ekonomi (economic culture) yang menjadi faktor kemajuan ekonomi.
Sedangkan Rutherford (1994) & Manig (dalam Yustika, 2006)
menyatakan bahwa, kelembagaan merefleksikan sistem nilai dan
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
88
norma dalam masyarakat; tetapi nilai dan norma itu bukanlah
kelembagaan itu sendiri.
Di sisi lain, Fountain (1998) mengatakan, norma yang penting
adalah norma timbal balik dimana orang-orang bertindak demi
manfaat bagi orang lain dan mengharapkan mendapatkan bantuan
sebagai balasan saat dibutuhkan. Oleh karena itu, pada kasus
kepercayaan yang tinggi, ekspektasi bahwa orang lain akan memberi
balasan yang tinggi dan orang-orang cenderung benar-benar mengikuti
norma-norma kebajikan di dalam tindakan-tindakan mereka (Knack
dan Keefer, 1997) dan penyebaran nilai atau norma tidak serta merta
menjadi social capital apabila nilai atau norma termaksud tidak
mengandung unsur kebenaran (Fukuyama,1999;2000). Oleh karena
itu,social capital merujuk pada norma atau nilai umum yang
mempengaruhi interaksi di antara jejaring individu-sosial (Putnam,
2000; Bowles dan Gintis, 2002). Dalam praktiknya, social capital bisa
berbentuk interaksi sosial, kepercayaan, dan visi bersama (Molina-
Morales dan Martinez-Fernandez, 2010). Interaksi sosial adalah kontak
atau hubungan yang dijaga oleh seorang pelaku dari satu perusahaan
dengan para pelaku lain dari perusahaan-perusahaan lain di dalam
komunitas.
Menurut Bertens (2000), untuk memenuhi sistem hukum dan
menurut norma moral sekurang-kurangnya harus memenuhi tiga tolok
ukur yakni (a) tidak bertentangan dengan suara hati nurani, yakni
sesuatu (nilai) yang terkait dengan keyakinan terdalam. Hati nurani
adalah menyangkut tentang integritas pribadi manusia. Karena hati
nurani bersifat subyektif, sehingga tidak terbuka dengan orang lain,
sebagai norma moral, hati nurani acapkali sulit untuk dipakai sebagai
ukuran umum; (b) untuk obyektivitasnya maka perlu disertai norma-
norma yang lain, yaitu memperlakukan orang lain, sebagaimana diri
sendiri ingin diperlakukan atau tidak memperlakukan sesuatu
tindakkan tertentu pada orang lain, karena diri sendiri tidak ingin
diperlakukan sebagaimana tindakan tertentu tersebut dari orang lain
(c) guna efektivitasnya diperlukan penilaian umum atau penilaian
masyarakat atau sebagai audit sosial, yang luas dan terbuka. Etika
Perspektif Teori
89
dalam konteks praktis bermakna sama dengan nilai-nilai dan norma-
norma yang ditatalakukan atau yang tidak ditatalakukan walaupun
seharusnya diwujudkan sebagai pelaku.
Ada penelitian mengenai norma dan nilai dalam social capital yaitu penelitian Lincolin Arsyad (2005) yang menunjukkan bagaimana
pengaruh kearifan lokal (termasuk social capital) terhadap
pembangunan ekonomi di Bali, khususnya dalam penyaluran kredit,
beberapa BPR (Bank Perkreditan Rakyat) yang menyerap sistem dari
adat setempat yang merupakan bagian penting dari social capital, justru
memiliki kinerja yang lebih baik dari BPR yang mengikuti aturan
resmi dari pemerintah. Dalam penelitian diungkapkan bahwa kepala
adat ikut berperan serta dalam pemilihan pengurus BPR dan
didasarkan musyawarah, sehingga pengurus yang terpilih adalah
orang-orang yang jujur, rela berkorban, memiliki integritas yang tinggi
terhadap moral, dan tidak cacat di mata masyarakat.
Hubungan Saling Percaya (Trust)
Hubungan saling percaya merupakan nilai yang ditunjukkan
oleh adanya perilaku jujur, teratur dan kerja sama berdasarkan norma-
norma yang dianut bersama. Pada dasarnya kepercayaan harus dimiliki
dan menjadi bagian yang kuat untuk membentuk social capital yang
baik, yang dapat ditandai dengan kuatnya lembaga-lembaga sosial yang
menciptakan kehidupan yang harmonis dan dinamis.
Mitstal (1996) menyatakan bahwa, kepercayaan sebagai milik
individual, hubungan sosial, atau sistem sosial dengan perhatian yang
tidak seimbang dengan perilaku yang didasarkan pada tindakan-
tindakan di tingkat individu. Bila dilihat sebagai karakteristik individu,
kepercayaan adalah variabel kepribadian, sehingga menempatkan
penekanan pada karakteristik individu seperti perasaan, emosi, dan
nilai-nilai (Wolfe, 1976). Kepercayaan (rasa percaya) bisa dijelaskan
sebagai keyakinan terhadap keandalan orang lain. Rasa percaya yang
dimiliki orang-orang terhadap orang lain secara umum dapat disebut
kepercayaan umum. Selain itu, kepercayaan terhadap institusi-institusi
yang berbeda seperti kepolisian, pemerintah, gereja, bank, dan media
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
90
yang juga disebut kepercayaan institusional. Rasa percaya dan norma-
norma terkait secara kuat: norma-norma kebajikan yang memandu
perilaku orang-orang bisa dianggap sebagai sifat bisa dipercaya yang
meningkatkan kepercayaan terhadap orang lain
Pada perorangan, anda percaya untuk melakukan sesuatu yang
didasarkan pada apa yang anda ketahui dari disposisi, reputasinya dan
sebagainya bukan hanya karena ia mengatakan dan melakukannya.
Pada tingkat kolektif, jika anda tidak mempercayai suatu badan atau
organisasi yang berafiliasi individu, anda tidak akan mempercayai dia
untuk memenuhi perjanjian (Dasgupta, 2000). Selain itu, individu
mempertimbangkan latar belakang, budaya, dan sistem sosial lain
ketika mencari untuk menentukan apakah akan percaya padanya. Itu
adalah keterkaitan yang menunjukkan bagaimana membangun
kepercayaan di tingkat mikro countributes sebagai determinan bentuk
yang lebih abstrak kepercayaan pada tingkat makro (Luhman, 1988).
Menurut Coleman (1988), Putnam (1993), dan Sztompka
(1999). kepercayaan sebagai salah satu komponen kunci dari social capital. Kepercayaan memainkan peranan penting dalam konsep
Fukuyama tentang social capital. Fukuyama mendefinisikan
kepercayaan sebagai dasar social capital. Dalam model Putnam,
hubungan saling percaya di antara pelaku ekonomi berevolusi dari
berbagai budaya dan menjadi tertanam dalam ekonomi lokal, yang
kemudian membentuk jaringan keterlibatan masyarakat. Hubungan
sebab akibat yang menghubungkan kepercayaan dan jaringan yang ada
dalam asosiasi/lembaga. Sedangkan Cohen, J. (1999) dan Woolcock
(1998) berpendapat bahwa, bentuk kepercayaan kemungkinan bentuk
yang unggul dan dapat dikembangkan oleh orang-orang dari tempat
lain dan budaya yang berbeda, dan bahkan orang-orang dengan ide-ide
yang berbeda pula. Kepercayaan dan norma-norma, keadilan, dan kerja
sama adalah manfaat yang dipelihara dan memfasilitasi serta
memperkuat kinerja kelembagaan yang efisien, tetapi tidak ada secara
independen dari hubungan sosial. Konsekuensi mungkin menjadi salah
satu indikator dari jenis social capital yang ada tetapi tidak boleh
disamakan dengan social capital itu sendiri.
Perspektif Teori
91
Kepercayaan terkait erat dengan kondisi social capital menurut
Luhman (1988), Nahapiet dan Ghoshal (1998), Glasser et.al (2000), dan
Adler & Kwon ( 2002) memperlakukan kepercayaan sebagai aspek
kunci dalam dimensi relasional social capital. Tetapi yang berbeda ini
terkait dengan persepsi tentang hubungan antara kepercayaan dan
social capital.
Sedemikian pentingnya kepercayaan, Glasser et.al (2000)
menyatakan bahwa kepercayaan merupakan modal dasar dan dapat
memperkuat kohesi social capital. Dengan adanya kepercayaan, maka
timbul harapan. Melalui harapan yang didasari oleh kepercayaan, juga
memungkinkan terjadinya pertukaran. Kepercayaan melibatkan resiko
berbicara; Jelasnya, kedua belah pihak tahu bahwa tindakan dari satu
pihak dapat secara material mempengaruhi yang lain, namun keduanya
berbagi ide, keprihatinan atau masalah walaupun sudah jelas. Ada tiga
tingkat kepercayaan yang saling berhubungan. Pertama, tingkat
perorangan, anda percaya sebuah individual untuk melakukan sesuatu
yang didasarkan pada apa yang anda ketahui dari disposisi, reputasinya
dan sebagainya bukan hanya karena ia mengatakan dan akan
melakukannya. Kedua, tingkat kolektif, jika anda tidak mempercayai
suatu badan atau organisasi yang berafiliasi individu. Ketiga, individu
mempertimbangkan latar belakang, budaya, dan sistem sosial lain
ketika mencari untuk menentukan apakah akan percaya padanya, itu
adalah keterkaitan yang menunjukkan bagaimana membangun
kepercayaan di tingkat kontribusi mikro sebagai bentuk determinan
yang lebih abstrak kepercayaan pada tingkat makro (Luhman, 1988).
Coleman (1990) mengisyaratkan bahwa, sebagai seorang
rasional tentang perilaku manusia, kepercayaan hanya dapat
diproduksi dalam informasi, kecil, tertutup, dan homogen masyarakat
yang mampu menerapkan saksi normatif. Tidak dijelaskan bagaimana
ketepatan untuk menciptakan kepercayaaan di dalam masyarakat,
terutama dalam keragaman masyarakat. Selain hubungan sosial,
norma-norma bersama menjadi sumber kepercayaan. Granovetter
(1985) berpendapat bahwa, hubungan sosial dan kewajiban yang
melekat pada mereka adalah dua sumber utama kepercayaan dalam
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
92
kehidupan ekonomi. Selanjutnya, Wolfe (1989) berpendapat bahwa
individu menciptakan aturan-aturan moral mereka yaitu, kewajiban
bersama- melalui interaksi sosial yang mereka alami dengan orang lain.
Kemudian Fox (1997) menyatakan bahwa, kepercayaan sebagai
karakteristik dari sistem sosial. Dia berpendapat percaya dan
ketidakpercayaan adalah yang terkandung dalam aturan, peran, dan
hubungan yang memaksa atau berusaha untuk diterima oleh orang
lain. Selanjutnya Farrell dan Knight (2003) berpendapat bahwa
lembaga-lembaga menciptakan aturan, insentif dan sanksi bagi orang-
orang untuk berperilaku dalam cara yang dapat dipercaya, sehingga
menumbuhkan kepercayaan. Selain itu, lembaga dapat menyebarkan
informasi tentang perilaku yang diharapkan untuk mempengaruhi
keyakinan sosial tentang kepercayaan.
Ada 2 (dua) pandangan yang berbeda dari beberapa peneliti
tentang hubungan antara kepercayaan dengan social capital yaitu
Pertama, menganggap kepercayaan sebagai prasyarat social capital. Kedua, menganggap kepercayaan sebagai sebuah produk atau manfaat
social capital. Demikian juga, Francois (2001) berpendapat bahwa,
kepercayaan adalah komponen yang relevan dalam budaya ekonomi
masyarakat. Hubungan sebab akibat yang menghubungkan
kepercayaan dan jaringan yang ada dalam asosiasi/lembaga. Sedangkan
Cohen (1999) berpendapat bahwa, bentuk kepercayaan kemungkinan
bentuk unggul dan dapat dikembangkan oleh orang-orang dari tempat
lain dan budaya yang berbeda bahkan orang-orang dengan ide-ide
yang berbeda pula. Kepercayaan dan norma-norma, keadilan, dan kerja
sama adalah manfaat yang dipelihara dan memfasilitasi serta
memperkuat kinerja kelembagaan yang efisien, tetapi tidak ada secara
independen dari hubungan sosial. Konsekuensi mungkin menjadi salah
satu indikator dari jenis social capital yang ada tetapi tidak boleh
disamakan dengan social capital itu sendiri (Woolcock,1998).
Para peneliti lain menganggap ikatan kuat justru merugikan
bukannya menguntungkan (Cross dan Parker 2004; Borgatti dan Cross
2003; Gargiulo dan Benassi 1999) karena: Pertama, hilangnya pelaku
jejaring inti yang tak terduga akan meningkatkan kerentanan
Perspektif Teori
93
organisasi-organisasi jaringan, karena integrasi para partner tertutup
yang kuat cenderung menyatu dengan masalah ketergantungan sumber
daya (Porter dan Sensenbrenner 1993). Pada saat yang bersamaan,
perubahan-perubahan institusional mungkin meruntuhkan ikatan
sosial, yang menyebabkan ketidakstabilan yang tinggi, karena
pengelolaan hubungan jaringan mungkin tidak berjalan baik ke mode
hubungan yang lain (Mu, Peng, dan Love 2008; Cross et al., 2001).
Kedua, ikatan-ikatan kuat dapat mengurangi aliran informasi baru di
antara para partner yang saling terkait karena ikatan-ikatan yang
berlebihan ke partner jaringan yang sama memiliki arti bahwa hanya
ada sedikit atau bahkan tidak ada hubungan ke partner luar yang
mungkin memberi kontribusi ide-ide alternatif (Burt 1992).
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kriteria
seseorang memiliki social capital yang rendah atau kuat tergantung
dari tingkat kepercayaan seseorang terhadap orang lain dan kepada
masyarakat di sekitarnya, yaitu (a) bila seseorang hanya percaya kepada
nilai/norma yang diwariskan oleh keluarga dan tidak percaya kepada
masyarakat, kurang percaya kepada tokoh panutan masyarakat dan
kurang percaya kepada lembaga formal dan informal maka dapat
dikatakan bahwa orang tersebut memiliki social capital yang rendah,
(b) bila seseorang hanya percaya pada norma/nilai yang disepakati oleh
komunitasnya seperti famili, kerabat dekat, tetangga dan tokoh
panutan masyarakat yang masih ada hubungan famili dan kekerabatan
serta orang luar yang sudah dikenal, termasuk terhadap pemerintah
yang dipimpin orang yang masih ada hubungan kekerabatan atau yang
dikenalnya, maka ini menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki
sosial capital yang sedang, dan (c) bila seseorang lebih percaya kepada
semua orang yang memiliki etika dan perilaku yang baik dalam
masyarakat, percaya pada norma/nilai yang berlaku untuk kepentingan
orang banyak, percaya kepada tokoh masyarakat serta pemerintah
yang selalu memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak tanpa
memandang hubungan keluarga, suku, etnis, dan agama, maka dapat
dikatakan bahwa orang tersebut memiliki social capital yang kuat.
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
94
Jejaring Usaha
Menurut Prabaatmodjo (1996), ada 3 hal yang melatar-
belakangi terbentuknya jaringan usaha: Pertama, berdasarkan
perspektif pertukaran yang dikembangkan oleh Blau. Menurut model
ini jaringan usaha dipandang sebagai struktur sosial yang terbentuk
karena adanya relasi sosial diantara para pelakunya, misalnya, melalui
pertukaran secara langsung atau tidak langsung mengenai segala
sesuatu yang dianggap berharga. Kedua, model ketergantungan sumber
daya. Model ini menjelaskan bahwa terbentuknya jaringan usaha
adalah hasil upaya strategis unit usaha dalam mengamankan sumber
daya penting yang dikuasai pihak lain. Ketiga, model transaction cost economy dari Williamson. Model ini menjelaskan, dengan jaringan
usaha, perusahaan dapat memperoleh kebutuhannya secara efisien
melalui pasar atau hierarki.
Pandangan jaringan (network view) menurut Woollcock dan
Narayan (2000) menegaskan bahwa, pandangan ini menggabungkan
dua level, sisi atas (upside) dan sisi bawah (downside), yang menekan-
kan pentingnya asosiasi vertikal dan horizontal di antara orang-orang
dan relasinya dengan entitas organisasi lain, semacam kelompok
komunitas dan perusahaan (firm). Secara jelas, konsep ini sebetulnya
mengoperasikan dua sifat penting dari social capital, yakni sebagai
ikatan sosial (social bonding) dan jembatan sosial ( social bridging).
Sosial bonding merupakan tipe modal sosial dengan
karakteristik adanya ikatan-ikatan yang kuat sebagai perekat dalam
suatu kehidupan di masyarakat. Seperti, hubungan kekerabatan dalam
suatu keluarga dengan keluarga yang lain, yang masih dalam satu etnis
tertentu, dan hubungan seperti itu dapat menumbuhkan rasa
kebersamaan yang diwujudkan rasa empati, rasa simpati, rasa
kewajiban, rasa percaya, resiprorsitas, pengakuan timbal balik, dan
nilai kebudayaan yang mereka percaya.
Social bridging (jembatan sosial) sebagai suatu ikatan sosial
yang tumbuh sebagai reaksi atas berbagai macam perbedaan karak-
teristik dalam kelompoknya. Social bridging dapat tumbuh dan
Perspektif Teori
95
berkembang karena muncul berbagai kelemahan yang ada di sekitar-
nya, sehingga akan memberikan pilihan untuk membangun kekuatan
baru dari kelemahan yang ada. Menurut Hasbullah (2008), ada tiga hal
yang mendorong munculnya social bridging yaitu (a) adanya
persamaan sehingga setiap anggota dalam suatu kelompok memiliki
hak dan kewajiban yang sama dan keputusan yang diambil didasarkan
pada kesepakatan yang egaliter, (b) adanya kebebasan bagi setiap
anggota kelompok bebas bicara dalam mengemukakan pendapat dan
ide yang dapat memajukan kelompok, dan (c) adanya nilai-nilai
kemajemukan dan humanisme artinya nilai-nilai kemanusiaan, meng-
hormati hak asasi setiap anggota dan orang lain sebagai dasar pengem-
bangan komunitas sosial dalam suatu masyarakat. Sikap kemajemukan
seperti terbangun suatu kesadaran yang kuat bahwa hidup yang
berwarna-warni, dengan beragam suku, agama, warna kulit dan cara
hidup dalam masyarakat sebagai kekayaan manusia. Sikap humanisme
seperti berkehendak membantu orang lain merasakan penderitaan
orang lain, berempati terhadap situasi dan kondisi orang lain.
Sedangkan Davis dan Aldrich (2000), Gulati et al (2000) dalam
penelitiannya menyimpulkan bahwa, jaringan usaha dengan
perusahaan-perusahaan mitra, tidak hanya merupakan peluang untuk
membangun rasa percaya, partisipasi politik dan interaksi sosial, akan
tetapi juga mendorong pembentukan jaringan personal dan
meningkatkan hasil dari jaringan personal. Rasa memiliki terhadap
asosiasi sukarela dapat memperbaiki peluang anggota untuk
membangun koneksi dengan orang-orang yang berbeda. Maka dari
pada itu, keanggotaan dalam organissi dapat berhasil meningkatkan
heterogenitas jaringan personal para pemilik perusahaan.
Meningkatnya heterogenitas ini, pada gilirannya dapat berperan
penting dalam memperbaiki akses ke berbagai sumber daya, dan
sebagai hasilnya, dapat meningkatkan sukses dan kelangsungan usaha.
Jaringan usaha ini meliputi sejumlah relasi, baik relasi horizontal
maupun vertikal, dengan berbagai lembaga seperti pemasok,
pelanggan, pesaing atau lembaga lain apakah dalam industri yang sama
maupun pada industri yang berbeda.
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
96
Dalam jejaring terdapat simpul (nodes) dan hubungan (links). Sjaifudin dalam Soen‟an (2002), mendefinisikan jejaring usaha sebagai
alat yang dapat dipergunakan untuk melepaskan usaha, terutama di
sektor manufaktur, dari keterbatasan sumber daya yang sering menjadi
faktor penghambat bagi perusahaan untuk berkembang. Sedangkan
menurut Soen‟an (2002), jaringan usaha dimaksudkan sebagai suatu
bentuk organisasi di bidang ekonomi yang dimanfaatkan untuk
mengatur koordinasi serta mewujudkan kerja sama antar unsur atau
antar unit, baik dalam intra organisasi maupun antar organisasi. Unsur-
unsur tersebut dapat berupa unit usaha atau non unit usaha yang
merupakan unsur dalam rangkaian yang memfasilitasi pengoperasian
unit usaha. Bentuk keterkaitan unit usaha tersebut dapat berupa
komunikasi informasi di antara unit usaha, asosiasi, dan kerja sama
usaha (joint venture).
Menurut Warner (2004), Mauled Moelyono (2007), untuk
mendukung keberhasilan jaringan usaha perlu memenuhi beberapa
syarat agar jaringan usaha yang dibentuk terus dipertahankan: (1)
adanya disiplin, kejujuran, sikap saling percaya, dan sikap kesungguhan
yang kuat di antara semua pihak yang berkepentingan dalam
melaksanakan kerja sama yang telah disepakati, (2) adanya tekad yang
kuat memberi dan menerima kontribusi dan menerima dukungan,
untuk meraih kemajuan dalam kebersamaan, (3) mengedepankan sikap
transparansi dalam setiap tindakan yang melibatkan kepentingan
bersama, dan (4) berusaha kuat menangani setiap masalah dan
perbedaan demi kepentingan bersama dengan mengajukan kebutuhan
pihak mitra dan mengajukan kebutuhan perusahaan (kita) serta
percaya dan tekun.
Penelitian-penelitian lain mengkonfirmasikan pentingnya
ikatan jaringan yang kuat, khususnya pada sebuah perusahaan Burt
(1992), Uzzi (1997), Leana dan Van Buren (1999), Ahuja (2000), Gulati,
et al (2000), Wellman & Frank ( 2001) Hite dan Hesterly 2001, Autio,
dan Sapienza (2001), Lin (2001), Lechner dan Dowling (2003); Moran
(2005), Elfring dan Hulsink (2007), dengan menekankan bahwa ikatan
tersebut mengikat para partner dan hubungan yang lebih panjang dan
Perspektif Teori
97
akrab yang bermanfaat bagi keduanya untuk memperkuat rasa saling
percaya dan identifikasi kognitif serta untuk berkontribusi bagi
penghematan waktu, secara tradisional dianggap sebagai proksi ikatan
lemah, karena merujuk pada jenis jaringan dimana para pelaku bisnis
adalah terikat oleh hubungan impersonal yang bermanfaat sebagai
penghubung ke pasar yang lebih luas. Ikatan sosial kuat dan lemah
dapat dianalisis berdasarkan kriteria, yaitu: frekuensi kontak, intensitas
emosional hubungan tersebut, serta tingkat intimasi dan komitmen
timbal balik di antara para pelaku yang terlibat di dalam hubungan.
Yang memiliki beberapa manfaat potensial yang dapat diperoleh dari
keberadaan anggota dalam jejaring di antaranya, melaui jejaring
anggota dapat memanfaatkan saluran berbagai pengetahuan yang
efektif dan efisien, dan melalui jejaring anggota akan mudah
mendapatkan informasi, sumber daya, pasar dan teknologi. Struktur
jaringan mengacu pada kepadatan relatif linkes antara orang-orang di
dalamnya yang memfasilitasi arus informasi dan penyediaan dukungan
sosial ke struktur sosial dimana seseorang berada.
Sedangkan menurut studi Ayda Eraydin & Bilge Armatli-
Koroglu (2005), ada empat alasan utama mengapa keterlibatan
perusahaan lokal di dalam jaringan-jaringan nasional dan global yang
lebih luas sangat penting bagi pertumbuhan jangka panjang. Pertama, dengan bantuan jaringan-jaringan ini, dimungkinkan untuk
menciptakan ide-ide baru, tidak hanya menggunakan pengetahuan dan
keahlian lokal, tetapi juga keahlian eksternal untuk mengubah ide-ide
tersebut menjadi produk-produk yang bisa dipasarkan dan kontribusi
lingkungan pergaulan lokal memiliki batas-batas dan mereka harus
didukung oleh jaringan-jaringan antar-perusahaan yang lebih luas
sebagai suatu cara akses ke informasi mengenai teknologi-teknologi
yang berubah cepat dan peluang-peluang pasar (Revilla-Diez, 2002,
Camagni ,1991). Kedua, dalam rangka menutupi masalah-masalah
sehubungan dengan menurunnya permintaan domestik, maka
dibutuhkan aktivitas-aktivitas berorientasi ekspor, yang harus
didukung oleh jaringan-jaringan transfer teknologi (Kautonen 1996).
Ketiga, aktivitas-aktivitas non regional bisa meningkatkan kontribusi
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
98
langkah-langkah yang berorientasi secara regional dan karena itu
memberikan dukungan yang lebih kuat bagi manajemen inovasi dan
daya saing perusahaan-perusahaan regional. Tidak dimungkinkan bagi
perusahaan-perusahaan, khususnya perusahaan kecil dan menengah,
untuk hanya bergantung pada pembelajaran lokal dan pengetahuan
tersirat; pada saat bersamaan, mereka harus dilengkapi kompetensi
R&D formal dan akses ke pengetahuan universal melalui jenis-jenis
jaringan non regional dan global yang berbeda-beda (Glasmeier 1991,
1994; Kautonen 1996,Asheim dan Isaksen 2002,). Keempat, seorang
pelaku adalah bagian dari suatu sistem teritorial, tetapi jika pelaku
tersebut bergabung ke sistem global, maka ia memiliki peluang untuk
mendapatkan manfaat dari sinergi-sinergi yang ditawarkan situasi ini.
Yang terakhir, hasil-hasil dari beberapa penelitian menunjukkan
bahwa hubungan-hubungan eksternal sangat penting untuk mencegah
tersumbatnya teknologi.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian dari berbagai pakar tersebut
di atas, maka dapat disimpulkan ukuran tinggi atau rendahnya social capital yang dimiliki seseorang dalam membangun jejaring dengan
kriteria yaitu:(a) memiliki social capital rendah, bila seseorang
memiliki tujuan membangun jejaring untuk memenuhi kepentingan
sendiri tanpa peduli kepentingan orang lain, sasaran jaringan masih
terbatas pada lingkungan keluarga. Motivasi membangun jejaring
karena ikut-ikutan, tidak ada inisiatif untuk mengembangkan jaringan
lebih lanjut serta tidak peduli bila terjadi konflik di lingkungannya, (b)
memiliki social capital sedang, bila tujuan membangun jejaring untuk
memenuhi kepentingan sendiri dengan memperhatikan orang lain,
sasaran jaringan tidak hanya dalam lingkungan keluarga tetapi
lingkungan yang lebih luas, sumber motivasi membangun jejaring
berasal dari keluarga, tetangga dan teman-teman dekat serta bila terjadi
konflik ada kecenderungan akan meninggalkan jaringan dan berpindah
atau membangun jaringan lain yang lebih menguntungkan disrinya, (c)
bila social capital yang tinggi, seseorang membangun dan ikut dalam
suatu jaringan dengan tujuan membantu orang lain tanpa
mengorbankan kepentingan dirinya, sasaran jaringan yang diikuti
Perspektif Teori
99
adalah komunitas umum yang tidak dibatasi oleh ikatan keluarga,
kesukuan/etnis, wilayah dan sebagainya, dan motivasi ikut dalam
jaringan ada pada diri sendiri dengan penuh kesadaran dalam upaya
mencapai tujuan bersama dan bila terjadi konflik dalam jaringan ikut
terlibat langsung menyelesaikan konflik yang terjadi.
Pranata (Institutions)
Menurut North (1994), pranata atau kelembagaan adalah
sebagai aturan yang membatasi perilaku menyimpang menusia,
kelembagaan dapat meminimalisasi perilaku manusia yang
menyimpang telah berhasil menciptakan ketertiban dan mengurangi
ketidakpastian dalam melakukan pertukaran (exchange). Kelembagaan
merupakan faktor terpenting dalam mendorong pertumbuhan suatu
negara dan kelembagaan berbeda dengan faktor pendidikan, sumber
daya alam, penduduk dan teknologi yang dipandang dapat menjelaskan
fenomena perbedaan pencapaian kemajuan ekonomi (pertumbuhan
ekonom) antarnegara. Jika faktor pendidikan (human capital), sumber
daya alam, kepadatan penduduk dan teknologi lebih merupakan faktor
sederhana yang dapat dipisahkan dengan realita sosial, maka
kelembagaan (rules of the game) justru hidup dan berjalan atas realitas
sosial masyarakat.
Secara definitif, kelembagaan dapat dipilah dalam dua
klasifikasi (Yustika,2006). Pertama, bila berkaitan dengan proses, maka
kelembagaan merujuk kepada upaya untuk mendisain pola interaksi
antar-pelaku ekonomi sehingga mereka dapat melakukan kegiatan
transaksi. Kedua, jika berhubungan dengan tujuan, maka kelembagaan
berkonsentrasi untuk menciptakan efisiensi ekonomi berdasarkan
struktur kekuasaan ekonomi, politik, dan sosial antar-pelaku.
Tugas terpenting dari kelembagaan adalah menciptakan pasar
(market-creating) yang dapat melindungi hak kepemilikan dan
melaksanakan kontrak. Oleh karena itu, menurut Rodrik dan
Subramanian (2003), dalam suatu perekonomian yang berbasis pasar,
fungsi terpenting kelembagaan adalah sebagai berikut: (i) meregulasi
pasar (market regulating), khususnya untuk mengatasi persoalan-
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
100
persoalan ekternalitas (externalities), economies of scale dan informasi
yang tidak sempurna (imperfectinformation); (ii) menstabilisasi pasar
(market stabilizing), yang bertujuan untuk menurunkan inflasi,
minimalisasi volatiliotas makro ekonomi, dan mencegah krisis
keuangan; dan (iii) melegitimasi pasar (market legitimizing), yakni
kebijakan untuk menopang “kegagalan pasar” seperti asuransi dan
perlindungan sosial, redistribusi, dan manajemen konflik.
Namun kenyataannya dalam kehidupan masyarakat, perlu
disadari bahwa kelembagaan yang ada tidak statis, tetapi dinamis sesuai
dengan perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan serta
perkembangan interaksi ekonomi yang mempertemukan antar
kepentingan maupun perubahan nilai-nilai dan budaya masyarakat
seiring dengan perubahan jaman. Menurut Yustika (2006), perubahan
kelembagaan memiliki dua dimensi. Pertama, perubahan konfigurasi
antar-pelaku ekonomi akan memicu terjadinya perubahan
kelembagaan (institutional change), artinya perubahan kelembagaan
dianggap sebagai dampak dari perubahan kepentingan/konfigurasi
pelaku ekonomi. Kedua, perubahan kelembagaan sengaja didesain
untuk mempengaruhi (mengatur) kegiatan ekonomi, artinya
kelembagaan ditempatkan secara aktif sebagai instrumen untuk
mengatur kegiatan ekonomi (termasuk aktor-aktor yang terlibat di
dalamnya).
Sedangkan arah dari setiap perubahan kelembagaan yaitu
menuju ke peningkatan perbedaan prinsip-prinsip dan pola-pola umum
di dalam kelembagaan yang saling berhubungan. Sementara itu, pada
waktu yang bersamaan terjadi peningkatan kebutuhan untuk
melakukan integrasi di dalam sistem sosial yang kompleks. Dengan
demikian, perubahan kelembagaan merupakan proses transformasi
permanen yang merupakan bagian dari pembangunan. Selanjutnya
North (1984) menyatakan bahwa, perubahan kelembagaan
menggunakan marginalis standar yang menekankan pada perubahan
harga relatif. Digambarkan oleh North bahwa pada kebangkitan
ekonomi negara barat menunjukkan perubahan kelembagaan ”datang
dari suatu perubahan di dalam daya tawar yang relatif terhadap
Perspektif Teori
101
peraturan yang melawan konstitusi (pemilih) dan pembicaraan yang
luas”. North seterusnya mengatakan bahwa perubahan harga relatif
digerakkan oleh perubahan demografis, perubahan dalam penyediaan
pengetahuan dan perubahan dalam teknologi militer. Dinamika
perubahan kelembagaan dalam teori North berakar dari interaksi yang
berlangsung terus-menerus antara lembaga-lembaga dan organisasi
dalam konteks bersaing ketika sumber-sumber semakin langka.
Berdasarkan pemahaman tersebut, perubahan kelembagaan
dapat dianggap sebagai proses yang terjadi secara terus-menerus yang
bertujuan untuk memperbaiki kualitas interaksi (ekonomi) antar-
pelakunya. Ini menunjukkan terjadinya proses transformasi
permanen39, maka perubahan kelembagaan dapat menjadi faktor
pengaruh utama terhadap perubahan strtuktur dalam sistem sosial
tertentu. Jika norma yang mengatur interaksi sosial berubah, maka
seluruh pola hubungan sosial dan jaringan sosial yang sudah
dikembangkan oleh anggota masyarakat dapat pula berubah.
Menurut North (1993) dalam Dharmawan (2001), perubahan-
perubahan yang berlangsung dengan adanya rintangan-rintangan
informal/informal constraint (norma-norma, konvensi, atau kejujuran
personal) dapat memberikan implikasi yang sama seperti perubahan
dalam peraturan formal masyarakat. Perubahan dapat terjadi secara
bertahap (gradual) dan kadang-kadang secara cepat karena individu
mengembangkan pola-pola perilaku alternatif (tindakan ekonomi dan
sosial) sebagai respons atas proses evaluasi biaya dan keuntungan baru
yang dirasakan.
Perubahan kelembagaan sesungguhnya bisa terjadi karena
munculnya masalah kelangkaan dan perilaku individu yang sulit
ditebak. Kelangkaan di sini tidak sekedar persoalan keterbatasan
sumber daya (ekonomi) yang tersedia, tetapi juga keterbatasan aturan
main (rules of the game) yang mengakibatkan pelaku ekonomi tidak
memiliki akses untuk melakukan transaksi secara sepadan. Demikian
pula perubahan kelembagaan juga bisa terjadi dari perubahan tuntutan
pemilih (demands of constituents) atau perubahan kekuasaan pemasok
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
102
kelembagaan (suppliers of institutions), yaitu aktor pemerintah. Jadi
perubahan kelembagaan dapat terjadi dari sisi permintaan dan
penawaran. Perubahan kelembagaan dari sisi bawah (demand) merupakan hasil dari pertarungan antar-pelakunya, sedangkan
perubahan kelembagaan dari sisi atas (supply) merupakan hasil regulasi
dari pihak-pihak yang memiliki otaritas (misalnya pemerintah).
North menyatakan, terdapat tantangan mendasar dalam
menciptakan kelembagaan yang efisien (Hira dan Hira,2000), yakni
dengan menyingkirkan aspek-aspek informal dengan halangan formal
(aligning informal with formal constraint) dan menciptakan serta
merawat kebijakan yang akan mendukung tercapainya kelembagaan
yang efisien (creating and maintaining a policy that will support adaptively efficient institutions). Menyangkut rintangan yang pertama,
North meyakini bahwa masyarakat menilai suatu sistem tersebut adil
(fair), kemudian meminjamkan stabilitas informal ke peraturan formal
sehingga akan mengurangi masalah tindakan kolektif. Rintangan
kedua, North merujuk kepada kebutuhan terhadap adanya transparansi
dan akuntabilitas dana dalam rangka mengurangi biaya informasi
pemilih (reducing the information cost of the voter).
Dalam ekonomi pasar yang semakin terkonsentrasi maka
perubahan kelembagaan akan terjadi namun dalam konteks yang
negatif. Dimana pelaku ekonomi kecil yang menguasai pasar akan
mendikte aturan main (kelembagaan) melalui serangkaian kesepakatan
terbatas yang dibuat antar mereka sendiri. Jika proses ini terjadi tanpa
upaya untuk menciptakan hambatan formal (formal constraint) dalam
wujud regulasi pemerintah, maka perubahaan kelembagaan yang
terjadi akan merugikan sebagian pelaku ekonomi.
Untuk mengukur tinggi rendahnya social capital seseorang
dalam kehidupan masyarakat, dapat dilihat sejauh mana seseorang
terlibat dalam pranata yang ada dalam masyarakat yang dapat
dikelompokkan sebagai berikut: (a) bila tujuan seseorang terlibat
dalam organisasi hanya sekedar ikut-ikutan dan frekuensi terlibat
dalam kegiatan jarang ikut terlibat dan hanya mengikuti tidak lebih
Perspektif Teori
103
dari satu organisasi, maka dapat dikatakan orang tersebut memiliki
social capital rendah, (b) bila tujuan seseorang ikut terlibat dalam
organisasi untuk menambah pengetahuan dan pengalaman pribadi dan
frekuensi keterlibatan kadang-kadang ikut dan mengikuti 2 atau 3
organisasi, ini menunjukkan social capital yang dimiliki seseorang
sedang dan (c) bila seseorang mempunyau tujuan terlibat dalam
organisasi untuk menambah dan berbagi pengetahuan dan pengalaman
antar sesama anggota dengan frekuensi kehadiran sering, terlibat dan
mengikuti lebih dari 3 organisasi dapat dikatakan bahwa orang tersebut
memiliki social capital yang tinggi.
Hubungan Timbal Balik (Resiprocity)
Resiprositas menunjukkan pada individu yang secara sukarela
memberikan manfaat pada orang lain dalam proses pertukaran yang
dalam waktu tertentu orang lain diharapkan berbuat serupa.
Resiprositas sebagai salah satu elemen social capital senantiasa diwarnai
oleh kecenderungan saling tukar kebaikan antar individu dalam suatu
kelompok atau antar kelompok itu sendiri. Pola pertukaran ini
bukanlah sesuatu yang dilakukan secara hubungan timbal balik
seketika seperti dalam proses jual beli, melainkan suatu kombinasi
jangka pendek dan jangka panjang dalam nuansa altruism (semangat
untuk membantu dan mementingkan kepentingan orang lain), tetapi
resiprositas seseorang tidak sebatas mendapat barang atau jasa namun
dapat menunaikan kepentingan sosial yaitu berupa penghargaan, baik
ketika berperan sebagai pemberi ataupun penerima.
Sejalan dengan itu Dalton (1968), menyatakan resiprositas
adalah bentuk pertukaran sosial-ekonomi. Dalam pertukaran ini,
pemberian dan penerimaan barang atau jasa sebagai kewajiban sosial.
Terdapat kewajiban seseorang untuk memberi, menerima dan
mengembalikan kembali pemberian dalam bentuk yang sama ataupun
berbeda sesuai dengan kesepakatan dan ini memiliki muatan nilai-
nilai, norma dan kepercayaan dari masing-masing individu.
Sedangkan menurut Gouldner (2009), resiprositas merupakan
kewajiban moral untuk merespon melalui pola timbal balik dari
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
104
seseorang untuk membantu satu sama lain dan menghindari melukai
satu sama lain. Dalam komunikasi timbal balik terdapat proses
interaksi yakni proses dimana setiap individu menggunakan simbol-
simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dan
lingkungan mereka. Norma timbal balik atau resiprositas merupakan
norma sosial yang kuat yang menentukan bahwa kita memperlakukan
orang lain seperti kita memperlakukan diri kita.
Secara sederhana resiprositas merupakan pertukaran timbal
balik antar-individu atau antar-kelompok, tetapi Polanyi (1968)
menyatakan, karakteristik pelaku pertukaran merupakan rasa timbal
balik (resiprositas) sangat besar yang difasilitasi oleh bentuk simetri
institusional ciri utama organisasi orang-orang yang tidak terpelajar.
Oleh karena itu resiprositas menjadi ciri sistem ekonomi masyarakat
sederhana dan tradisional dan distribusi menjadi ciri sistem ekonomi
feodal.
Menurut Altman dan Taylor (Budyana 2011) bahwa,
resiprositas merupakan kumpulan peristiwa-peristawa pelaku tidak
perlu adanya penjelasan mengenai peristiwa itu. Bukti dari Cohn dan
Strassberg (Budyatna,2011) menguatkan dan menambah penye-
marataan efek resiprositas pengungkapan. Pada tahap-tahap awal
hubungan resiprositas dianggap penting karena hal ini menunjukkan
dan membangun kepercayaan. Seseorang atau banyak orang dari suatu
kelompok memiliki semangat membantu yang lain tanpa
mengharapkan imbalan seketika. Semangat untuk membantu bagi
keuntungan orang lain. Imbalannya tidak diharapkan seketika dan
tanpa batas waktu tertentu. Pada masyarakat, dan pada kelompok-
kelompok sosial yang terbentuk, yang di dalamnya memiliki social capital yang tinggi. Ini akan juga direfleksikan dengan tingkat
keperdulian sosial yang tinggi, saling membantu dan saling
memperhatikan. Pada masyarakat yang demikian, problem sosial akan
dapat lebih mudah diselesaikan.
Menurut Sahlins (1974) dalam “Stone Age Economic”
menyebutkan, ada tiga bentuk resiprositas, yaitu: resiprositas umum
Perspektif Teori
105
(generalized reciprocity), resiprositas sebanding (balanced reciprocity), dan resiprositas negatif (negative reciprocity). Resiprositas umum (generalized reciprocity), merupakan suatu tindakan dimana satu
pelaku memberikan barang atau jasa kepada pihak lain tanpa
menentukan batas waktu pengembalian dan masing-masing pihak
saling percaya bahwa satu sama lain akan saling memberi dan akan
dibalas pada saat mendatang. Tidak ada ketentuan hukum, kecuali nilai
moral yang mengatur seseorang untuk memberi atau mengembalikan.
Resiprositas sebanding (balanced reciprocity) merupakan pertukaran
barang atau jasa yang menghendaki mempunyai nilai banding. Pada
pertukaran ini disertai dengan penentuan saat pertukaran berlangsung,
waktu untuk memberikan dan menerima serta mengembalikan. Pada
pertukaran ini, masing-masing pelaku memerlukan barang atau jasa,
namun masing-masing tidak mengaharpkan pemberian nilai lebih
banyak dibanding dengan yang sedianya akan diterima, dan norma
atau aturan tidak tertulis bermanfaat untuk mengontrol pelaku-
pelakunya dalam bertransaksi, bila terjadi pelanggaran dalam
perjanjian hubungan timbal balik akan berakibat pada hukuman atau
tekanan moral di komunitasnya, demikian pula bila keputusan untuk
melakukan kerja sama, kerja sama yang tumbuh karena rasa
kesetiakawanan di dalam komunitas, sehingga menjadi suatu pranata
yang harus ditaati antara para pelaku.
Resiprositas negatif (negative reciprocity) ini merupakan
hubungan timbal balik seperti dalam mekanisme harga di pasar atau
jual beli, dimana antara penjual dan pembeli masing-masing sepakat,
pembeli sepakat dengan harga yang ditetapkan penjual dan penjual
sepakat pula barang atau jasa yang dijual dengan harga yang telah
disepakai oleh pembeli barang atau jasa.
Berdasarkan perpektif Weber dan Bourdieu terhadap nilai-nilai
Gus-Ji-gang bagi masyarakat Kudus dalam kehidupan sehari-hari dapat
digambarkan pada Gambar 2.1 di bawah ini:
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
106
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran Konseptual
CATATAN-CATATAN KAKI
1 Max Weber, The Protestant Ethic and the spirit of Capitalism, translated by Talcott Parsons.(New York: Charles Scribness Son‟s, 1958), hlm.35.
2 Anthony Giddens,Kapitalisme dan Teori Sosial Modern;Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, diterjemahkan untuk edisi Indonesia oleh Suheba Kamadibrata, (Jakarta: UI Press, 1985),hlm.153.
Perspektif Teori
107
3 Bryan S.Tuner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analisis Atas Tesa Sosiologi Weber,
diterjemahkan oleh GA Tocialu, (Jakarta: Rajawali Press, 1984), hlm.7.
4 Dwi Suyono, ”Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan”. (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 247.
5 Ajat Sudrajat.”Etika Protestan dan Kapitalisme Barat, Relevansinya dengan Islam Indonesia”. (Jakarta:Bumi Aksara,1994).hlm.53.
6 Stanislav Anderski,”Max Weber: Kapitalisme, Birokrasi dan Agama”. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989).
7 Konsep panggilan dalam agama Protestan adalah untuk membuat urusan-urusan biasa dari kehidupan sehari-hari berada dalam pengaruh agama. Panggilan bagi seseorang adalah suatu usaha yang dilakukan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan, dengan cara perilaku yang bermoral dalam kehidupan sehari-hari. Panggilan adalah konsep agama tentang suatu tugas yang telah ditetapkan Tuhan, suatu tugas hidup, suatu lapangan yang jelas dimana seseorang harus bekerja. Ajat Sudrajat,”Ethika Protestan dan Kapitalisme Barat, Relevansinya dengan Islam Indonesia”,(Jakarta:Bumi Aksara,1994),hlm.1.
8 McClearly,” Rachel Religion and Economy”, Journal of Economic Perspective 20,2(2006), hlm 49-72.
9 Kurt Samuelson, Religion and Economic Action: A Critique of Max Weber. (New York;Harper Torch Books and Row Publication,1964),hl,.68-69.
10 Agama merupakan cara-cara yang sangat indah, yang telah dipergunakan secara bersama-sama oleh aneka umat manusia sejagat raya untuk meningkatkan pengetahuan dan cintanya yang mendalam kepada Tuhan. Baca Ajat Sudrajat ”Etika Protestan dan Kapitalisme Barat Relevansinya dengan Islam Indonesia”. (Jakarta:Bumi Aksara.1994).hlm.12.
11 Syah Nawab Haider Naqvi. ”Etika dan Ilmu Ekonomi: suatu Sintesa Islami” diterjemahkan oleh Husin Anis dan Asep Hidayat, (Bandung: Mizan,1985).hlm.11.
12 Diadaptasi oleh Weber dari Faust, Adegan I. Goethe yang menggambarkan Mephistopheles sebagai: ”die Kraft, die state das Bose will, und stets das Gute Schafft”-catatan terjemahan I.dalam Max Weber.”Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme”.(Pt.Pustaka Promethea,2003) cet.kedua 2003), hlm.253.
13 Carlo Antoni,” Pandangan Tentang Agama dan Kelas”, dalam Dennis Wrong. (Ed).” Max Weber Sebuah Khasanah” (Jogyakarta: Ikon Teralitera, 2003), hlm.210.
14 Patriarki digunakan untuk mendiskripsikan dominasi laki-laki atas perempuan, sebuah dominasi yang muncul dalam berbagai macam masyarakat serta untuk menjelaskan jenis pengorganisasian rumah tangga yang didalamnya laki-laki tertua akan mendominasi seluruh anggota rumah tangga, termasuk atas laki-laki yang lebih muda. Baca lebih lanjut, Nicholas Abercrombie,dkk “Kamus Sosiologi” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) hlm.406.
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
108
15 Asniah.”Ambiguitas dalam implementasi Konfusianisme dalam Modernisasi di Korea
Selatan”. (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2006).hlm.45.
16 Calhoun.”Clasical Sosiologcal Theory”.(Massacusetts:Blackwell Published, 2002). hlm.43.
17 Michio Morishima.”Why Has Jepang Succeeded:Western Technology and the Japanse Ethos”.(Cambridge:Cambridge University Press,1982),hlm.56
18 Changkhwanyuen Preecha, ”Budhist Analysis of Capitalim”. The Chulalongkorn Journal of Budhist Studies 3,2 (2006). hlm.247-259.
19 Bryan S.Tuner.Relasi Agama & Teori Sosiologi Kontemporer:.Terj.”Inyiak Ridwan Muzir (yojakarta:IRCiSoD,2012), hlm.29.
20 BryanS.Turner. ”Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis Atas Tesa Sosiologi Weber”. Terj.”G A.Ticoalu (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1984).hlm.13-14.
21 Taufik Abdullah.”Islam dan Masyarakat”. (Jakarta:LP3ES,1996)
22 Ibid,10.
23 Ajat sudrajat.”Etika Protestan dan Kapitalisme Barat Relevansinya dengan Islam Indonesia”. Jakarta: Bumi Aksara, 1994).hlm.112.
24 Hans-Dieter Evers (ed). ”Modernixation in South-East Asia”.(London:Oxford University Press.1973),hlm.160.
25 Syed Nawab Haider Naqvi. ‟Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesa Islami”. terj. Husein Anis danase Hikmat.(Bandung:Mazan,1995).hlm.112-113.
26 Pierre Bourdieu lahir tahun 1930 di Bearn Perancis. Dia mempelajari filsafat di Ecole Normale Superiure di Paris sebelum memulai kerjanya di bidang antropologi dan sosiologi. Ia lalu menjabat Dekan Sosiologi di College de France yang prestisius dan menjadi Direktur Penelitian di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales en Sciences Sociales dan Direktur Centre de Sociologie Erupeene.
27 V.N Volosinov.”Marxisme and the Philosophy of Language, diterjemahkan oleh L.,Matejka dan I.R.Titunik (Cambridge, Mass:Harvard University Press,1996), hlm 49. Volosinov mempertentangkan „subjektivisme individualistik‟ dengan „objektivisme abstrak‟, bersesuaian secara umum dengan linguistik struktural.
28 Habitus sebagai gagasan, tidaklah diciptakan sendiri oleh Bourdieu, namun merupakan gagasan filosofis tradisional yang ia hidupkan kembali (Warquant,1998, Ritzer dan Goodman,2010:581). Dalam tradisi filsafat, habitus diartikan sebagai kebiasaan yang sering disebut dengan habitual yakni penampilan diri, yang menampak (appearance); tata pembawaan terkait dengan kondisi tipikal tubuh seperti, cara kita makan, berjalan, berbicara, dan bahkan dalam cara kita membuang ingus kita. Lihat,Bourdieu dalam Arizal Mutahir (2010),“Intelektuan Kolektif Pierre Bourdieu,Sebuah Gerakan untuk melawan Dominasi‟ hal.62. … mendefinisikan habitus adalah sistem yang tahan lama (durable) dan disposisi yang dapat berubah–ubah (transposable) menyangkut apa yang kita terima, nilai dan
Perspektif Teori
109
cara bertindak dalam dunia sosial atau pengalaman bersama yang dimiliki bersama oleh agen sebagai subyek meskipun agen mempunyai keunikan masing-masing.
29 Richard Jenkes.Pierre Bourdieu,(Routledge.New York,USA,1992).hlm.67.lihat juga Richard Harker,Cheleen Mahar,Chris Wilkes (ed).(Habitus X Modal) + Ranah = Praktik, Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, terjemahan Pipit Maizier, (Yogyakarta: Jalasutra. 2005).hlm.19
30 Haryatmoko, 2003. Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa.Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu, Basis No.11-12 Tahun ke 52, Nopember-Desember 2003, hlm.11.
31 Richard Harker,Cheleen Mahar, Chris Wilkes (ed).” (Habitus X Modal)+ranah= Praktik. Pengantar Paling Komprehensif kepada pemikiran Pierre Bourdieu”, terjemahan Pipit Maizier, (Jalasutra, Yogyakarta, 2005),hal. 46.
32 Ranah atau arena (field) adalah sebagai ruang yang terstruktur dengan kaidah-kaidah keberfungsiannya sendiri, yang terlepas dari kaidah politik dan kaidah ekonomi, Selanjutnya baca Pierre Bourdieu: Arena Produksi Kultural, Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Peterjemah Yudi Santoso. (Kreasi Wacana Offset, cet kedua,Agustus 2012),hal xvii-xviii.
33 Swartz, David. “Culture and Power:The Sociology of Pierre Bourdieu. (Chicago:University of Chicago.1997). pp.117.
34 Suma Riella Rusdiarti, ”Bahasa, Pertarungan dan Kekuasaan”, dalam Basis,Nomor 11-12.Tahun ke 52,Nov-Des 2003; hlm.33.
35 „is intrinsically defined by its tempo”, Baoudieu,1997.Outline of Theory of Practice, translated Richard Nice,Cambridge University Press,USA,hlm.8.
36 Struktur sosial di sini diterjemahkan sebagai: (i) seperangkat unit-unit sosial (posisi-posisi) yang mempunyai perbedaan tipe-tipe sumber daya yang bernilai; (ii) secara hirarkhis berhubungan relatif dengan pemilik otoritas (kontrol dan akses terhadap sumber daya); (iii) bagian tertentu atas aturan-aturan (rule) dan prosedur dalam memanfaatkan sumber daya; dan (iv) dipercaya kepada pelaku (agents) untuk bertindak berdasarkan aturan-aturan dan prosedur tersebut.Untuk selanjutnya baca, Nan Lin,Social Capital: A Theory of Structure and Action, (Cambridge University Press,Cambridge, UK.2001).hlm.23.
37 Kapital sosial adalah serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjadinya kerja sama di antara mereka. Diambil dari Fukuyama (The Great, 1999).
38 Tranformasi permanen merupakan kesadaran bahwa aspek-aspek sosial terus berkembang sebagai respons dari perubahan pada bidang-bidang lainnya, seperti ekonomi, budaya, politik, hukum, dan sebagainya.