bab dua perspektif teori -...

67
43 BAB DUA PERSPEKTIF TEORI Pendahuluan Dalam Bab II perspektif teori ini akan dibahas teori besar yaitu perspektif teori Max Weber dan Pierre Bourdieu yang menjadi rujukan dalam penulisan disertasi ini. Dimana pemikiran Max Weber mengkritisi kehidupan spirit agama untuk memobilisir kegiatan ekonomi sebagai bentuk hubungan manusia dengan Tuhan, sehingga semangat prilaku kapitalisme muncul, tumbuh dan berkembang. Pengaruh ajaran agama Kristen Protestan yang dikembangkan oleh kelompok Calvinisme percaya adanya doktrin predestinasi, calling “panggilan” pelayanan kepada Tuhan, sikap asketisme seperti bekerja keras, tidak berfoya-foya, dan hidup sederhana, serta pola perilaku yang rasionalitas (berpikir logis dan inovatif) telah mendorong serta menggerakan perilaku seseorang untuk mencari keuntungan (profit), dan keuntungan yang dapat diperbarui untuk diakumulasikan usaha lebih lanjut. Usaha-usaha kapitalistis yang rasional dilakukan secara terus-menerus akan berakibat mengubah dunia menjadi lebih cepat pertumbuhan ekonominya yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan teori Pierre Bourdieu mengupas proses pengembangan pembentukan habitus sebagai realisasi sosial dalam proses “dialektika internalisasi eksternalitas dan eksternalitas internalitas” dalam aktivitas sosial. Ekternalitas adalah struktur objektif yang ada di luar pelaku sosial, sedangkan internalitas merupakan segala sesuatu yang melekat pada diri pelaku sosial. Dalam proses interaksi dialektis itulah struktur objektif dan subjektif, struktur dan agen bertemu dalam arena dan berdialektika dalam bentuk praktik. Dinamika dialektika yang dilakukan pelaku-pelaku sosial menjadikan

Upload: hoangdang

Post on 02-Mar-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

43

BAB DUA

PERSPEKTIF TEORI

Pendahuluan

Dalam Bab II perspektif teori ini akan dibahas teori besar yaitu

perspektif teori Max Weber dan Pierre Bourdieu yang menjadi rujukan

dalam penulisan disertasi ini. Dimana pemikiran Max Weber

mengkritisi kehidupan spirit agama untuk memobilisir kegiatan

ekonomi sebagai bentuk hubungan manusia dengan Tuhan, sehingga

semangat prilaku kapitalisme muncul, tumbuh dan berkembang.

Pengaruh ajaran agama Kristen Protestan yang dikembangkan oleh

kelompok Calvinisme percaya adanya doktrin predestinasi, calling “panggilan” pelayanan kepada Tuhan, sikap asketisme seperti bekerja

keras, tidak berfoya-foya, dan hidup sederhana, serta pola perilaku

yang rasionalitas (berpikir logis dan inovatif) telah mendorong serta

menggerakan perilaku seseorang untuk mencari keuntungan (profit),

dan keuntungan yang dapat diperbarui untuk diakumulasikan usaha

lebih lanjut. Usaha-usaha kapitalistis yang rasional dilakukan secara

terus-menerus akan berakibat mengubah dunia menjadi lebih cepat

pertumbuhan ekonominya yang berdampak pada peningkatan

kesejahteraan masyarakat.

Sedangkan teori Pierre Bourdieu mengupas proses

pengembangan pembentukan habitus sebagai realisasi sosial dalam

proses “dialektika internalisasi eksternalitas dan eksternalitas

internalitas” dalam aktivitas sosial. Ekternalitas adalah struktur objektif

yang ada di luar pelaku sosial, sedangkan internalitas merupakan segala

sesuatu yang melekat pada diri pelaku sosial. Dalam proses interaksi

dialektis itulah struktur objektif dan subjektif, struktur dan agen

bertemu dalam arena dan berdialektika dalam bentuk praktik.

Dinamika dialektika yang dilakukan pelaku-pelaku sosial menjadikan

Page 2: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

44

dasar pembentukan social capital yang mampu menggerakan para

pelaku (actor) sehingga mampu meningkatkan kinerja aktivitasnya

dalam memenuhi kebutuhannya melalui kegiatan ekonomi.

Perspektif Max Weber

Max Weber dilahirkan di Erfurt, Jerman, pada 21 April 1864.

Max Weber berasal dari keluarga kelas menengah yang terpandang di

kalangan politik Partai Liberal Nasional (National Liberal Party) yang

dipimpin bangsawan Hanover, Bennigsen. Keluarga itu menetap di

Charlottenburg, waktu itu merupakan kawasan bagian barat pinggir

kota Berlin, dan keluarga pedagang linen dan produsen tekstil.

Ayahnya, Max Weber, Sr., seorang ahli hukum yang cakap dan

penasehat kota praja yang sangat menyukai kesenangan duniawi.

Sedangkan ibu Weber, Helena Fasllenstein Weber, adalah seorang

wanita Protestan terpelajar dan liberal, wanita yang berusaha

menjalankan hidup prihatin (ascetic), tanpa kesenangan yang

didambakan suaminya. Menurut Noorkholis (2006), perbedaan antara

perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

orientasi intelektual dan perkembangan pribadi Weber kecil.

Pada awal perkembangan hidupnya, Weber cenderung lebih

berorientasi pada gaya hidup ayahnya, sehingga ibunya sangat

mengkuatirkan ketidakpedulian religius anaknya. Weber remaja

semakin kurang memiliki dasar yang sama dengan ibunya dalam

persoalan-persoalan serius. Tapi bukan berarti ia dekat dengan

ayahnya; atmosfer duniawi kehidupan intelektual modern

menjauhkannya dari pengaruh ayahnya dan dari kesolehan ibunya.

Setelah perkawinannya dengan Mariane, Weber menjalani

kehidupan sukses sebagai seorang ilmuwan muda di Berlin. Pemikiran-

pemikiran Weber sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya,

ayah, ibu maupun isterinya, serta guru-gurunya, koleganya maupun

lingkungan sosial dimana Weber berada. Pada tahun 1894,Weber

menerima jabatan professor penuh dalam bidang ekonomi di

Page 3: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

45

Universitas Freiburg.Weber meninggal pada tahun 1920 pada usia 56

tahun, selama hidupnya Weber banyak melakukan penelitian

mengenai peranan agama dan pengaruhnya terhadap etika ekonomi,

beliau menekankan penelitiannya pada dua segi utama, yaitu agama

yang mempengaruhi pandangan hidup manusia dan perubahan sosial

ekonomi yang mempengaruhi agama. Namun dilihat dari semua

karya-karyanya, Weber lebih mementingkan pengaruh agama dan

peranannya terhadap etika ekonomi.

Di awal penelitiannya, Weber mencoba melakukan

transformasi struktural sekaligus juga melakukan lintas structural antara bidang agama dan ekonomi. Berdasarkan data empiris statistik

yang diamati menunjukkan, perkembangan perusahan-perusahaan di

dunia Eropa modern, dimana banyak pimpinan-pimpinan perusahaan

dan para pemilik modal, maupun mereka yang tergolong sebagai buruh

terampil (ahli) tingkat tinggi, terlebih lagi karyawan-karyawan

perusahaan modern yang sangat terlatih dalam bidang teknis dan niaga

memeluk agama Kristen Protestan1. Ini menunjukkan bukanlah suatu

fakta yang kebetulan (temporer) melainkan suatu fakta sejarah.

Giddens (1985) mengatakan bahwa, beberapa negara Eropa sebagai

pusat perkembangan kapitalis di permulaan abad keenambelas

merupakan pusat yang sangat kuat unsur Protestannya2. Menurut

Weber kapitalis modern timbul sebagai hasil kumulatif kekuatan sosial,

politik, ekonomi dan agama atau dengan kata lain, ada hubungan yang

sangat signifikan antara kemajuan bidang pemikiran (immaterial) dan

kemajuan dalam bidang material. Weber menempatkan pengaruh

agama (khususnya agama Kristen Protestan) sebagai faktor yang

determinan. Agama merupakan faktor yang berpengaruh dan berdiri

sendiri. Menurut Tuner (1984), inilah yang membedakan antara

Weber dengan Marx yang menempatkan agama pada posisi nomor dua

dan dependen3.

Weber memiliki keinginan yang kuat dalam mempertanyakan

hubungan antara penghayatan agama dengan pola-pola perilaku

manusia artinya bagaimana hubungan “motivasi dan dorongan-

dorongan psikologis” dari setiap perilaku kehidupan termasuk aspek

Page 4: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

46

ekonomi. Kondisi psikologis dari setiap perilaku kegiatan ekonomi

berakar kuat dari pada tradisi atau doktrin-doktrin agamis (khususnya

agama Kristen Protestan). Secara literasi, ranah agama dan ekonomi

sangatlah bertolak belakang, dimana agama berada dalam ranah

ukhrawi sementara ekonomi dalam ranah duniawi. Masalah agama

tidaklah selalu dihubungkan dengan aspek teologis yaitu pemikiran

transendental yang menempatkan dogma keagamaan maupun Tuhan

sebagai kebenaran sejati. Akan tetapi, agama juga perlu dihubungkan

dengan aspek sosiologi yaitu memandang agama diterapkan secara

nyata dalam kehidupan manusia sebagai bagian subsistem dan pranata

dari sistem sosial kemasyarakatan. Dengan kata lain, konteks agama

dalam pandangan sosiologis ingin melihat bagaimana ajaran kebenaran

dan keyakinan agama itu dilakukan dan diwujudkan dalam norma,

nilai dan etika perilaku para pemeluknya dalam kehidupan sehari-

hari. Dwi Suyono (2005) menyatakan bahwa, ajaran mengenai norma,

nilai, dan etika adalah bentuk dari religiusitas dan kristalisasi ajaran

agama tersebut4.

Dalam ranah ekonomi, manusia cenderung bersaing dalam

mencapai kesejahteraan di arena privat sehingga manusia sebagai aktor

ekonomi sering digambarkan sebagai serigala sesama (homo homini lupus) dimana perilaku ekonomi selalu terjadi mengejar kegiatan

ekonomi dan mengejar keuntungan, memperlihatkan sikap acuh tak

acuh dan mengabaikan kehidupan agama, bahkan kadang-kadang

sampai melupakan serta memusuhi agamanya, karena kegiatan

ekonomi lebih mengutamakan pemenuhan material. Namun kenyataan

dalam agama Kristen Protestan tidak ada fenomena seperti itu dan

tidak nampak dan tidak ditemukan dalam agama Kristen Protestan.

Bahkan sebaliknya muncul dari agama Kristen Protestan suatu desakan

yang sangat kuat yang mendorong seseorang untuk terlibat dalam

kegiatan sehari-hari dengan penuh gairah dan antusias.

Analisis Weber tersebut, mendapat dukungan dari Warner

Sombart bahwa sistem-sistem keagamaan dan gereja memang dapat

memberikan pengaruh terhadap perilaku kehidupan ekonomi melalui

cara-cara yang berbeda. Kekuatan sistem keagamaan dan gereja akan

Page 5: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

47

mengarahkan pikiran (mind) dalam tercapainya tujuan hidup.

Pengaruh-pengaruh tersebut, baik langsung maupun tidak langsung

akan memberikan kecenderungan, rangsangan dan dorongan-dorongan

tertentu. Hal ini tidak mengherankan, apabila kemudian Green (1959)

menyatakan bahwa sejarah munculnya semangat kapitalisme adalah

berjalan bergandengan dengan sejarah gereja dan sistem-sistem

keagamaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semangat

kapitalis modern secara khas ditandai oleh suatu kombinasi unik dari

kegairahan kepada usaha untuk memperoleh kekayaan dengan

melakukan kegiatan ekonomi di satu pihak, disertai ketaatan yang

berakar pada suatu kepercayaan di pihak lain.

Tahun 1904, Weber menulis esai-esai tentang problem sosial

dan ekonomi Estates Junker, objektivitas dalam ilmu sosial, dan bagian

pertama Protestant Ethic and the Spirit of Capitalisme. Sekembali ke

Jerman, Max Weber merampungkan bagian kedua The Protestant Ethic, yang dalam sepucuk surat kepada Rickert ia sebut ”Asketisisme Protestan” sebagai fondasi peradaban kerja sebagai panggilan jiwa

modern-semacam konstruksi spiritual ekonomi modern (Noorkholish,

2009).

Pemikiran Weber dalam “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism” merupakan langkah pertamanya untuk memasuki bidang

sosiologi agama membahas masalah hubungan berbagai kepercayaan

keagamaan dan etika praktis, khususnya etika dalam kegiatan ekonomi

di kalangan masyarakat Barat sejak abad keenambelas hingga sekarang.

Dalam tesisnya itu, Weber membahas reformasi terhadap ajaran

gerejawi sehingga memunculkan agama Kristen Protestan. Weber

mengikuti reformasi yang dicetuskan oleh Martin Luther dan John

Calvin sebagai penggerak reformasi gereja. Reformasi ini menuntut

pembaharuan terhadap gereja terutama dalam bidang administratif,

moral dan hukum5. Pada waktu itu entitas gereja dipandang sudah

tidak netral dan terindikasi korup, sehingga Martin Luther menyatakan

bahwa gereja sendiri mengandung berbagai keburukkan yang ada di

dalamnya, terutama penyelewengan surat penghapusan dosa (aflat) dan

sistem kepausan, kehidupan para pejabat gereja (klerus) yang korup

Page 6: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

48

dan bersembunyi di balik jubah Paus dan menuntut penghapusan

kuasa Paus atas Jerman. Kekuasaan Paus yang terlalu absolut sudah

mengarah kepada aspek duniawi dimana Paus berhak menentukan

siapa yang masuk surga dan neraka, menentukan besaran pajak,

maupun menentukan aturan negara lainnya. Maka reformasi

digerakkan oleh Calvin, supaya kaum gerejawi kembali kepada ajaran

yang murni bukan lagi terjemahan yang kadang-kadang disusupi

kepentingan politis, serta upaya membersihkan aturan agama yang

dinilai menyimpang dan menempatkan gereja kembali lagi pada urusan

yang berhubungan dengan akherat (akrawi).

Dampak yang ditimbulkan reformasi ajaran-ajaran gerejawi

cukup besar mempengaruhi kinerja ekonomi moderen, yaitu

komponen-komponen kapitalisme rasional diperkuat oleh semangat

etika yang ada dalam agama Kristen Protestan khususnya dalam aliran

Calvinisme terutama sekte Puritanisme. Doktrin Calvinisme yang

terkenal adalah tentang kelahiran manusia di bumi dan takdir Tuhan

atas manusia yang “terpilih”6. Calvin mengatakan bahwa pada dasarnya

ketika manusia dilahirkan di bumi, manusia itu telah dilahirkan dan

ditakdirkan untuk masuk surga sebagai orang yang dipilih Tuhan atau

masuk neraka. Menurut Calvin, Tuhan sudah mengambil keputusan

tanpa mempertimbangkan kebajikan yang diperbuatnya apabila orang

itu baik atau buruk perbuatannya di dunia. Selanjutnya, ajaran

predestinasi, yaitu hanya sebagian orang yang akan dipilih untuk

diselamatkan dari siksaan dan pemilihan ini telah ditentukan

sebelumnya oleh Tuhan, sehingga umat Protestan tidak tahu apakah

mereka akan dipilih atau tidak, apapun yang terjadi diserahkan

sepenuhnya kepada Tuhan (sikap pasrah kepada Tuhan). Maka untuk

menepis kecemasan selama hidup apakah dirinya masuk surga sebagai

orang yang terpilih Tuhan atau masuk neraka, para pengikut Calvin

berusaha menjadi individu yang hidup secara “lurus” atau “benar” dan

rajin bekerja keras. Penganut Protestan hidup sederhana dan

menginvestasikan uang hasil keuntungan tidak digunakan untuk

berfoya-foya tetapi akan diinvestasikan kembali dalam usahanya.

Page 7: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

49

Dengan demikian, bagi penganut Calvin, kerja dilihat sebagai

suatu panggilan untuk melayani kehidupan masyarakat. Kerja tidak

sekedar pemenuhan kebutuhan tetapi sebagai tugas suci. Oleh karena

itu, untuk menjadi manusia yang terpilih, manusia harus mendapat

panggilan (calling). Konsep the calling atau “panggilan7” menurut

Weber berarti ajaran bahwa kewajiban moral yang paling tinggi dari

seseorang manusia adalah untuk melaksanakan tugas yang ditetapkan

Tuhan, maka satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan adalah

melaksanakan tugas dalam kehidupan sehari-hari dengan sebaik-

baiknya. Keberhasilan dalam melaksanakan hanya dapat diukur oleh

tingkat kemakmuran mereka. Tingkat kemakmuran ini juga menun-

jukkan apakah mereka diberkati oleh Tuhan dan apakah mereka akan

dipilih untuk lepas dari siksaan (neraka). Dengan kata lain, ketaatan

transendental penganut Protestan dapat diukur dari gairah dan etos

kerja yang dimilikinya8. Semakin banyak harta yang dimiliki, maka

semakin tebal keimanannya kepada Tuhan. Begitu juga sebaliknya

semakin sedikit harta yang dimiliki, maka dapat ditegaskan bahwa

keimanannya kepada Tuhan juga rendah. Logika inilah yang mendo-

rong semangat kapitalisme sebagai etika yang dimiliki Protestanisme.

Etika Protestan inilah yang menjadi cikal bakal kelahiran dan

perkembangan sistem kapitalisme. Weber (1958) mengedepankan

kapitalisme sebagai upaya manusia untuk mendapatkan kentungan

dalam melakukan kegiatan usaha yang dikelola secara pribadi dan

kapitalis harus mengandung aspek rasionalisasi, atau setidak-tidaknya

identik dengan suatu watak rasional. Kapitalisme secara pasti identik

dengan pencarian keuntungan (profit), dan keuntungan yang dapat

diperbarui untuk selamanya, dengan usaha-usaha kapitalis yang

rasional dan yang dilakukan secara terus-menerus. Karena memang

demikian seharusnya; dalam suatu tatanan masyarakat kapitalistis

secara keseluruhan, suatu usaha kapitalistis individual yang tidak

memanfaatkan kesempatan yang ada mengambil keuntungan pasti

akan mengalami malapetaka, yaitu kehancuran.

Dan apa yang paling penting dalam hubungan itu karena

adanya semangat baru “semangat kapitalis” yang mencoba mengatur

Page 8: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

50

kerja. Semangat kapitalis mencoba mengatur dunia ekonomi ke dalam

suatu sikap mencari keuntungan secara rasional dan sistematis, seperti

perusahaan yang telah mengalami reorganisasi produksi secara

rasional, yang diarahkan bagi efisiensi produksi sebanyak mungkin

adalah bukan karena pemasukan modal. Weber (2003) mengemukakan

suatu tindakan ekonomi kapitalistis sebagai suatu tindakan yang

didasarkan pada harapan-harapan untuk memperoleh keuntungan

dengan memanfaatkan segala kesempatan untuk transaksi, yaitu

“secara formal” kesempatan memperoleh keuntungan secara damai dan

berorientasi pada perolehan keuntungan melalui pertukaran.

Samuelson (1964) menekankan, lebih penting dari itu karena

disebabkan masuknya suatu “semangat baru” dari jiwa usaha, yaitu

semangat kapitalis.9

Doktrin Calvinisme dan Semangat Kapitalisme

”The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism” menunjukkan

adanya keterkaitan antara doktrin agama dengan semangat kapilatisme.

Etika Protestan tumbuh subur di daratan Eropa yang dikembangkan

oleh seseorang yang bernama Calvin. Calvinisme sebagai gerakan

reformasi di bidang keagamaan tidak bisa terlepas dari bidang lain, baik

di bidang politik, ekonomi dan sosial budaya. Dalam perkem-

bangannya, Calivinisme senantiasa bergesekan dengan persoalan-

persoalan hidup dan kehidupan merupakan persoalan yang unik,

kompleks dan dilematis.

Saat itu telah muncul ajaran yang mengatakan bahwa seseorang

pada intinya percaya kepada nasib yang telah ditakdirkan Tuhan.

Sebab hanya sedikit saja orang-orang yang terpilih untuk mendapatkan

kasih sayang yang abadi daripada-Nya. Ini merupakan sesuatu yang

telah diberikan kepada munusia tanpa dapat diambil atau diubah dari

sejak pertama penciptaan. Namun demikian, Weber (1958)

mengatakan, tetap masih ada anggapan bahwa kegiatan-kegiatan

manusia bisa mempengaruhi kebijakan Tuhan Yang Maha Suci. Ajaran

tentang predestinasi atau takdir, maka dalam menghadapi nasib dan

Page 9: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

51

mencari kepastian keselamatan, orang Calvinis berhadapan dengan

dirinya sendiri. Hanya saja dengan keyakinan penuh sebagai “terpilih”

dan “melakukan aktivitas duniawi secara intens” mereka merasakan

anugerah Tuhan yang akan mengantarkan keselamatannya. Kombinasi

tentang keyakinan, antara kemutlakan norma-norma yang sah dengan

determinisme yang mutlak serta transendensi Tuhan telah menjadi

karakter khas dari gerakan asketik Calvinis.

Weber (1958) menjelaskan bahwa, Calvinisme telah

menyumbangkan sesuatu yang positif dalam mengembangkan asketik, yaitu tentang perlunya pembuktian kepercayaan seseorang dalam

aktivitas duniawi. Dengan kenyataan yang terlihat dalam perilaku

orang-orang Calivinis, dapat dikatakan doktrin mereka tentang

anugerah secara psikologis telah mendukung sikap sistemik untuk

melakukan rasionalisasi kehidupan secara metodik. Pandangan

asketisme duniawi Protestan sangat menentang kesenangan yang

bersifat spontan, menentang pemakaian kekayaan yang bersifat

irrasional serta menentang sikap tidak jujur dan tamak untuk

mendapatkan kekayaan karena sikap demikian dianggap telah keluar

dari panggilan Tuhan. Weber (1958) mengatakan, mereka bersandar

kepada dasar-dasar ekonomi yang tidak sehat, lebih mementingkan

hidup bermewah-mewah daripada hidup sederhana.

Pengikut Calvinis dalam menghadapi panggilannya di dunia

memperlihatkan sikap hidup yang optimis, positif dan aktif. Sifat-sifat

yang dikutip Weber (Sudrajat,1994) sebagai ciri–ciri orang Protestan

yaitu tanggung jawab langsung kepada Tuhan, kejujuran dalam

perbuatan, kerja keras, sifat hemat, pembagian waktu secara metodik

dalam kehidupan sehari-hari, kalkulasi perdagangan yang rasional.

Bagi pengikut Calvinis berkeyakinan akan menghilangkan rasa

kuatir dan ragu-ragu dengan keselamatan yang dicarinya. Dengan

mengembangkan aktivitas dan karya yang baik dalam mengahadapi

realita di dunia, anugerah Tuhan dirasakan berada dalam dirinya.Bagi

pengikut Calvinis hanya orang-orang terpilih sajalah yang

mendapatkan kepastian keselamatannya. Menurut Weber (1958), hal

Page 10: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

52

itu dilakukan dengan cara mengagungkan Tuhan secara nyata dan

melakukan aktivitas duniawi secara baik.

Karya orang–orang Kristen dalam suatu panggilan

(Beruf,Calling) di samping menunjukkan adanya anugerah Tuhan, juga

sebagai sarana yang paling baik untuk meyakinkan proses kelahiran

kembali sekaligus sebagai benih bagi perluasan sikap yang disebut Max

Weber (1958) dengan sebutan “Semangat Kapitalisme”. Semangat

kapitalisme ditandai secara khusus oleh suatu kombinasi yang khas dari

ketaatan kepada usaha untuk memperoleh kekayaan dengan

melakukan kegiatan ekonomi yang halal, sehingga berusaha

menghindari pemanfaatan penghasilan untuk kenikmatan pribadi

semata-mata. Hal ini sebagai dasar dalam suatu kepercayaan atas

penyelesaian secara efisien sebagai suatu kewajiban dan kebajikan.

Salah satu unsur yang sangat mendasar dari “Semangat Kapitalisme” adalah terdapatnya sikap rasional berdasarkan kepada ide

tentang panggilan. Ide ini jelas terlahir dari kandungan semangat

asketik yang telah dikembangkan oleh orang puritan (seperti

Protestan). Bersumber kepada watak asketik yang menjadi ciri orang-

orang puritan, sekalipun bertolak dari pemikiran agama yang berbeda

telah melahirkan etika baru yang mewarnai perilaku ekonomi. Inilah

yang kemudian Max Weber sebut sebagai Semangat Kapitalisme modern. Suatu etika pendapatan yang rasional, sistematis dan metodik

berdasarkan moral agama. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat

penting dan faktor yang sangat menentukan dalam membentuk watak

dan perilaku manusia, terutama sekali berkaitan dengan perilaku

ekonomi. Weber (1958) mengatakan, keinginan orang puritan untuk

bekerja dalam panggilan “calling” dan menguasai moralitas duniawi

berarti merupakan bagian dari dunia yang besar, yaitu orde ekonomi.

Karena melalui arketisme berusaha melakukan perbaikan terhadap

dunia dan melakukan cita-citanya di dunia maka kekayaan material

menjadi semakin meningkat. Sukses di dunia bisnis dan mengumpul-

kan harta kekayaan demi kemuliaan Tuhan diyakini sebagai “tanda”

atau ”konfirmasi” bahwa mereka termasuk di antara orang-orang

terpilih, atau dalam istilah Weber ”suatu tanda keberkahan Tuhan”.

Page 11: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

53

Hubungan Antara Agama dan Rasionalitas

Di dunia ini ada lima agama10 besar (Konfusius, Hindu, Budha,

Kristen dan Islam) merupakan sistem pengaturan hidup yang

ditetapkan secara religius yang berhasil menghimpun sejumlah besar

pengikutnya yang secara signifikasi historis dan otonomnya bagi

perkembangan etika ekonomi.

Istilah “etika ekonomi” dalam Max Weber-Sosiologi terjemahan Noorkholish (2009), menunjuk pada dorongan praktis bagi

tindakan yang didasarkan pada konteks psikologis dan pragmatis

agama. Bahkan dalam bentuk-bentuk organisasi ekonomi yang sama

secara ekternal, boleh jadi sesuai dengan etika-etika ekonomi yang

sangat berlainan dan, menurut karakter unik etika ekonomi mereka

yang dapat membuahkan hasil yang berbeda-beda tergantung pada

mentalitas kapitalisme, cara produksi kapitalis dan kerangka sosio-

ekonomi kapitalis.11 Pada pokoknya ke semuanya itu merupakan tiga

segi dari satu gejala yang sama, yaitu usaha yang merujuk kepada

peningkatan produksi dan peningkatan intensitas modal dari sektor

penghasilan komoditi termasuk modal manusia sebagai tenaga kerja.

Usaha-usaha manusia untuk menafsirkan kehendak Tuhan

(termasuk kitab suci) dalam perkembangan jaman menimbulkan

berbagai penafsiran yang berbeda. Dalam agama Kristen, serta berbagai

agama di dunia adanya perbedaan-perbedaan penafsiran kehendak

Tuhan telah mendorong gerakan-gerakan yang pada awalnya hanya

seputar persoaalan-persoalan yang bersifat konsepsional dan masih

mengikuti tradisi-tradisi ritual agamanya secara umum, sehingga

muncul pandangan para ahli untuk mengkaji, salah satunya adalah

Weber (1905) dengan “The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism” ia mengungkapkan bahwa moral Protestan sebagai suatu

pencarian keuntungan atau kekayaan yang sangat keras berjuang dan

tidak terbatas lewat industrialisasi telah memunculkan pola perilaku

rasional.

Collins (1992) dalam ”Weber‟s Last Theory of Capitalism” mengatakan bahwa, sistem kapitalis yang rasionalis, menurut Weber

Page 12: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

54

adalah sistem yang menggunakan perhitungan akuntansi, yaitu sistem

perhitungan pengeluaran dan pemasukan dengan sistem perhitungan

berdasarkan tata pembukuan modern. Kapitalis yang rasional memiliki

beberapa komponen. Pertama, sistem perhitungn pengeluaran dan

pemasukan berdasarkan pembukuan modern. Kedua, tenaga kerja yang

bebas dan bisa berpindah dari satu tempat kerja ke tempat kerja

lainnya. Ketiga, adanya pengakuan hak milik pribadi. Keempat, pasar

perdagangan tidak dibatasi oleh aturan-aturan yang tidak rasional.

Kelima, adanya hukum yang mengikat anggota masyarakat serta

teknologi. Jadi kemampuan pemusatan mental serta perasaan yang

esensial tentang kewajiban untuk melakukan kerja tertentu, sering

dikombinasikan dengan suatu pendekatan ekonomi yang sangat teliti,

yang menghitung-hitung kemungkinan besarnya pendapatan dan

kontrol pribadi yang sangat mengagumkan.

Rasionalitas sebagai penghubung agama dan ekonomi kemudian

mengajak manusia untuk berinovasi dan berpikir logis dalam

mengambil suatu tindakan logis seperti menekankan penggunaan alat-

alat berteknologi untuk mencapai tujuannya. Dalam proses rasionalisasi

dari cita-cita kapitalisme, maka agama yang memiliki ajaran teratur

dan tersusun rapi berusaha untuk melembagakan sistem kepercayaan,

juga sistem nilai lain termasuk ekonomi untuk memberikan rasa puas

dan aman kepada pemeluknya. Agama sebagai penjelasan rasional dan

sekaligus mengatur nilai-nilai serta kepercayaan teologis. Di antara

bangunan kepercayaan inilah dibangun pemikiran-pemikiran rasional,

namun pemikiran rasional tidak mampu berdiri sendiri, tidak bisa

tegak sendiri, melainkan harus didampingi oleh kepercayaan.

Proses rasionalisasi yang disebut Weber (1905), berasal dari

agama itu sendiri, disamping perkembangan daya pikir manusia yang

dengan cepat dapat mengikuti proses tersebut. Daya pikir tersebut

dalam arti formal sehubungan dengan konsistensi (kemantapan dalam

bertindak) dan sifat sistematika maupun dalam arti substansi (kokoh/

kuat) dalam menyisihkan hal-hal yang tidak rasional dan mengandung

fantasi atau mitos. Dengan demikian, kegiatan perekonomian yang

bersifat kapitalis menurut Weber (1905), adalah rasionalitas yang

Page 13: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

55

didasarkan kepada perhitungan-perhitungan yang cermat yang disusun

secara sistematis dan sederhana berdasarkan situasi ekonomi yang

diharapkan. Artinya kapitalis rasional yang dikelola dengan sistem nilai

rasional atau sistem nilai orang-orang yang rasional dan diusahakan

dalam kegiatan ekonomi yang halal didasarkan pada nilai-nilai agama

yang dianutnya.

Aspek dari proses rasionalisasi yang perlu diperhatikan adalah

perkembangan “teologi rasional” yang akan mempengaruhi organisasi-

organisasi keagamaan. Teologi rasional berkembang dari rasionalitas

pemikiran. Perkembangan teologi rasional juga mencakup

pengembangan etika rasional yang didasarkan kepada implikasi empiris

pengalaman keagamaan dan tradisi. Dengan cara ini mereka masuk ke

dalam batasan situasi dimana manusia bertindak. Talcon Parson (1959),

menjelaskan konsepsi mereka tentang tujuan yang tepat dan sarana

untuk mencapainya menjadi terikat pada sifat-sifat praktis terhadap

kehidupan sehari-hari.

Etika Protestan (Weber, 1905) menunjukkan, teologi rasional

telah menjadi kelengkapan orientasi yang lebih dalam sehingga

mempengaruhi tindakan dan perilaku individu dan masyarakat. Weber

melihat perkembangan Protestanisme yang cenderung ke arah

asketisme yang mempunyai kesan dan pesan yang menentukan untuk

menghilangkan magis dan mitos dari pandangan keagamaan dan

memusatkan perhatian pada kemampuan bertindak dan perilaku

manusia. Calvinis menunjukkan sikap anti magis, hilangnya sistem

perantara yang memediasi hubungan Calvinis dengan Tuhan dan

memilih kalkulasi rasional dalam hidup. Weber (1958) menegaskan

bahwa, “pada prinsipnya, seseorang dapat menguasai segala sesuatu

melalui kalkulasi rasional.”

Di sini askese merupakan suatu kekuatan ”yang mencari hal-hal

yang baik, tetapi juga menciptakan yang jahat12”, apa yang jahat dalam

pengertian itu adalah kepemilikan dan godaan-godaannya. Askese

memandang pencarian kekayaan sebagai suatu tujuan dari dirinya

sendiri sebagai sesuatu yang patut dicela, tetapi hasil yang dicapai dari

Page 14: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

56

itu semua sebagai buah dari suatu pekerjaannya dalam suatu panggilan

merupakan tanda rahmat dari Allah. Dan bahkan yang lebih penting

lagi adalah penafsiran keagamaan dari karya sistematis, terus-menerus

dalam suatu panggilan duniawi sebagai suatu sarana paling tinggi

kepada askese. Pada waktu yang sama merupakan bukti yang paling

pasti dan paling dapat dibuktikan akan adanya kelahiran kembali dan

iman yang murni, pasti merupakan pengungkit yang dipakai paling

kuat bagi ekspansi sikap semacam itu menuju kehidupan, ini yang

disebut sebagai semangat kapitalisme.

Ritzer (2012) menjelaskan bahwa, rasionalisasi dunia adalah

proses penghapusan segala hal yang magis atau supranatural, sehingga

dunia ini tidak lagi terpana, terpukau oleh seluruh sifat magis, karisma

dan kekudusan, tetapi telah dipenuhi kekuatan-kekuatan yang bisa

diubah, dipakai dan dipergunakan. Hanya agama yang memiliki nabi-

nabi besar pembaharu dan rasionalis yang berhasil meng-hancurkan

kekuatan magis dan membentuk penyelenggaraan kehidupan yang

rasional. Para nabi itu telah membebaskan dunia dari magis dan

dengan berbuat demikian telah menciptakan dasar bagi ilmu dan

teknologi modern. Kapitalis yang rasional, menurut Weber adalah

kondisi-kondisi tertentu dalam masyarakat yang dapat menggerakkan

dengan cepat perkembangan kapitalisme (daratan Eropa dan Amerika),

tetapi ada pula masyarakat suatu wilayah yang perkembangan

kapitalismenya yang rasional sangat lambat seperti Cina dan India.

Pemahaman Nilai-nilai Ekonomi dalam Agama

Konfusianisme

Kepercayaan orang Tiongkok yaitu Konfusionisme dan

Taoisme, oleh Weber Konfusianisme dilukiskan lebih sebagai doktrin

dan ritus dan bukan sebagai agama, yang dipaksakan terhadap Cina

oleh birokratisnya. Konfusionisme dan Taoisme dipandang mencakup

etika konvensi, kontrol diri, derajat yang utilarian dan rasionalistik

serta dipertentangkan dengan bentuk kontemplasi mistik dan ekstasi

Page 15: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

57

organik sebagai kekacauan rasional atau barbaritas vulgar13. Masyarakat

Tiongkok memiliki akar budaya yang kuat dengan kehidupan nenek

moyang mereka sejak tahun 200M.

Konfusianisme sendiri pada dasarnya mengajarkan kehar-

monisan dan keselarasan dengan sekitarnya. Masyarakat konfusianisme

sendiri pada dasarnya merupakan masyarakat yang hierarkis dimana

peran sebuah pemimpin komunitas sangatlah kuat dalam membentuk

dan mengarahkan masyarakat yang dipimpinnya. Konfusianisme

meletakkan raja atau penguasa sebagai wakil dewa langit untuk

mengatur masyarakat. Ajaran nilai-nilai etos dalam konfusianisme

seperti Dao (orang-orang terpilih yang akan dipilih nenek moyang),

Ren (cara hidup manusia di dunia untuk saling berbagi dan memberi

terhadap sesama), Xin (ajaran manusia bertindak secara logis), Li (bersikap sopan santun dalam kehidupan), De (bertindak kebajikan di

dunia), dan Yi (hidup layak). Bila ajaran konfusianisme dikom-

perasikan dengan ajaran Calvinisme dalam kapitalis, terdapat beberapa

nilai ajaran konfusius yang sama yaitu Dao sama dengan calling

mengenai orang terpilih dan Xi yang memiliki kesamaan dengan rasionalisme. Namun meskipun ada persamaan tetapi ajaran Konfusius

dengan kapitalisme-Calvinis berbeda, karena ajaran konfusianisme

mengajarkan membentuk masyarakat yang harmonis, tetapi ajaran

Calvin adalah membentuk masyarakat kompetitif.

Tiongkok pada saat itu merupakan tempat tinggal para

pemimpin kekaisaran yang membentuk benteng-benteng di kota

Tiongkok, di situ merupakan pusat perdagangan, namun mereka tidak

mendapatkan otonomi politik dan warganya tidak memiliki hak-hak

khusus, hal ini disebabkan oleh kekuatan-kekuatan kekerabatan (klan)

yang muncul akibat keyakinan keagamaan terhadap roh-roh leluhur.

Sehingga perkembangan kapitalis yang rasional terhambat oleh ikatan

kesukuan dan sistem klan yang feodal dan patriarki.14 Unit-unit

kekerabatan yang besar memberikan bentuk-bentuk kerja sama

ekonomi sehingga justru membatasi pengaruh organisasi kerja atau

aktivitas kewirausahaan individu tertentu serta sistem kakaisaran yang

mendasarkan pemerintahan pada nilai-nilai keyakinan tradisional. Etos

Page 16: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

58

kerja bagi ajaran konfusianisme sebagai bentuk pengabdian dan

penghormatan kepada keluarga, pemimpin, dan negara dapat dilihat

pada nilai-nilai Yi (hidup layak), Li (sopan santun) dan Chi‟ib

(kebijaksanaan) sebagai pembentuk etos kerja15. Calhoun (2002)

menjelaskan, bentuk pengabdian tersebut adalah untuk mencari

kebahagiaan dan martabat setinggi-tingginya kepada keluarga,

pemimpin dan negara.16 Konfusianisme tidak melarang seseorang

menjadi kaya, asalkan kekayaan yang berhasil dikumpulkan didapat

melalui hasil yang benar melalui etika dan moral. Panggilan atau

calling bagi Konfusianisme adalah panggilan menjaga harga diri

keluarga, negara maupun pemimpin. Konfusianisme memberikan

pengaruh yang besar dalam pembentukan etos kerja ekonomi adanya

reformasi ajaran konfusianis melalui modernisasi ekonomi yang

dilakukan para pemimpin dan negara. Ajaran Konfusianisme dan

Taoisme yang menekankan keharmonisan dalam kehidupan digunakan

sebagai landasan etik pembangunan ekonomi. Konfusianisme di Jepang

menurut Morishima(1982), etos kerja dalam ajaran Konfusianisme

adalah Jen (kebajikan) untuk mencapai masyarakat harmonis. Jen (kebajikan) bersumber dari Chung (kesetiaan) dan Bsin (keyakinan)

dimodifikasi menjadi perubahan ekonomi dari masyarakat melayani

negara artinya kerja keras merupakan bentuk kesetiaan kepada kaisar17.

Ini menunjukkan fakta yang unik dalam etos kerja Konfusianisme,

dimana sistem ekonomi kapitalis dan sosialis bisa berjalan seiring,

sistem kapitalis yang mengedepankan kompetisi berjalan seiring

dengan keharmonisan dalam masyarakat sehingga sosialisme

digunakan sebagai dasar harmoni dan stabilitas ekonomi kapitalis.

Pemahaman Nilai-nilai Ekonomi dalam Agama Hindu-

Budha

Agama Hindu-Budha mengajarkan kebahagiaan dan

kolektivitas, itulah sebabnya matrialisme ekonomi tidak berlaku

sebagai tujuan etos kerja dalam tradisi ajaran agama Hindu-Budha.

Pengejaran materialisme ekonomi hanya akan membuat ketimpangan

Page 17: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

59

yang tidak disukai dalam ajaran agama Hindu-Budha karena akan

menimbulkan problem perpecahan. Keuntungan dalam ekonomi harus

dibagi terhadap sesama karena akan menimbulkan perdamaian umat.

Maka tidaklah mengherankan apabila kehidupan perekonomian

dipengaruhi oleh ajaran dharma (budi pekerti dan moral) yang disebut

dharmanomic.

Dalam ajaran agama Hindu ada 2 macam dharma yaitu dharma

yang baik “asuri sampat” dan dharma yang buruk “daivi sampat”.

Dikatomi baik-buruk mencerminkan bahwa setiap orang memiliki

dharma baik yang akan senantiasa dilingkupi kebahagiaan dan dharma

yang buruk akan senantiasa dilingkupi nafsu jahat duniawi. Demikian

juga dalam cerita Mahabharata dan Ramayana yang menggambarkan

antara perbuatan baik melawan perbuatan yang buruk, dimana dharma

kebaikan akan memenangkan keburukan yaitu kejahatan akan selalu

kalah dengan kebaikan. Oleh karena itu, pelaku ekonomi dalam

memenuhi kehidupan sehari-hari didasarkan pada nilai-nilai kejujuran

dan kesetiaan, kepimpinan yang mampu mengatasi masalah individual

dan kolektif, adil dan menepati janji, serta hormat-menghormati

dengan orang lain.

Di India perkembangan kapitalisme rasional terhambat

perkembangannya oleh sistem kasta. Pembedaan masyarakat dalam

kasta-kasta menjadi dasar sistem pemerintahan dan ekonomi.

Kepatuhan selama hidup terhadap nasib seseorang dipancangkan lebih

kuat dalam janji agama Hindu tentang kelahiran kembali dibandingkan

dengan etika sosial lainnya karena Hindusime tidak mengabaikannya

dengan ajaran-ajaran mengenai nilai moral stabilitas pekerjaan dan

kepatuhan yang sabar, seperti pada bentuk-bentuk kekristenan

patriakal, tetapi mengkaitkannya dengan kepentingan pribadi individu

atas penyelamatan. Doktrin penyelematan Hindu menjanjikan

kelahiran kembali sebagai raja, ningrat, dan seterusnya. Pengabaian

kewajiban-kewajiban kasta seseorang, karena didesak oleh aspirasi-

aspirasi yang terlalu tinggi, pasti akan membawa celaka baik dalam

kehidupan sekarang maupun masa datang. Menurut Andreski (1989),

efek-efek sistem kasta pada ekonomi adalah negatif, sebab tatanan

Page 18: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

60

kasta hakekatnya adalah tradisionalistik dan antirasional. Dalam agama

Hindu di India, selama doktrin karma tetap kokoh, paham-paham

revolusioner atau progresivisme tidak dapat lahir.

Sedangkan konsep ajaran agama Budha, pengertian keuntungan

dimaknai sebagai kepentingan pribadi (suka) dan kepentingan bersama

(bita). Etos kerja ekonomi dibangun dalam ajaran Budha yang mampu

membahagiakan diri sendiri dan orang lain. Konsep tersebut merujuk

pada pengertian bahwa sumber daya ekonomi sangat terbatas sehingga

setiap orang harus bisa manahan ego keserakahan untuk bertindak

berlebihan18. Maka bila dianalogikan dengan konsep calling, dalam

ajaran Budha adalah kebahagiaan dalam pemahaman etos kinerja

ekonomi dan kebahagiaan meliputi pemenuhan jiwa dan duniawi

sehingga setiap orang bisa merasakan kesetaraan yang sepadan dengan

orang lain. Ajaran Bhudisme justru masih melihat dimensi spiritual

sebagai dimensi etik.

Pemahaman Nilai-nilai Ekonomi dalam Agama Islam

Weber meninggal tahun 1920 sebelum menyelesaikan tesisnya

mengenai perbandingan Calvinisme dengan agama-agama lain,

termasuk agama Islam, Kristen periode awal dan Katolik abad

pertengahan. Namun Weber sebelum meninggal sudah ada catatan

tesisnya tetapi belum sempurna mengenai agama Islam yang

menyangkut tentang sistem agama, sosial kemasyarakatan, dan

perekonomian.

Menurut Weber mengenai etos kerja Islam dalam rangka

Weberian yaitu Islam tidak mendukung adanya iklim sosial-

masyarakat kapitalis seperti hukum rasional, pasar kerja bebas, kota

yang otonom, ekonomi uang dan kelas borjuis. Semua pra-kondisi

kapitalisme rasional-modern yang terjadi di negara-negara Barat,

tidaklah muncul di masyarakat Islam Timur Tengah. Bahkan dalam

tesa sosiologis tentang Islam, tulisan Weber seringkali menulis dengan

gaya yang sangat reduksianis, utamanya tentang etika dalam agama-

Page 19: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

61

agama di dunia yang sangat dipengaruhi oleh realitas sosial yang

membentuknya, dalam konteks ini Weber memberikan contoh ketika

melihat relasi antara muatan teologis dalam agama Islam sangat

ditentukan oleh para kesatria perang.19 Menurut Weber, Islam

memeliki keyakinan predeterminasi, bukan predistinasi, dan berlaku

pada nasib orang muslim di dunia, bukan di akhirat kelak, Jika doktrin

predestinasi diyakini Calvinis untuk memotivasi etos kerja keras.

Namun doktrin predistinasi tidak memainkan peran dalam Islam.

Akibatnya, orang Islam bersikap kurang positif terhadap aktivitas di

dunia bisnis dan pada akhirnya terjatuh pada sikap fatalistik.

Pandangan Weber tentang agama Islam merupakan agama yang

menentukan keberlangsungan dari struktur-struktur agama Islam, dan

lebih jauh Weber menyimpulkan bahwa Islam adalah sebuah agama

monoteistik. Monoteistik terakhir dari tradisi Ibrahim (Abrahamic

Religions) yang kemudian berkembang dan bergeser menjadi semacam

agama yang menekankan adanya prestise sosial, dan hal ini sangat

berbeda sekali dengan sekte Calvinis Puritan, Islam tidak memiliki

afinitas teologis dengan pengembangan kapitalisme. Dalam konteks ini,

Weber berargumentasi bahwa sifat alami institusi politik muslim yang

patrimonial, yang menghalangi munculnya pra-kondisi kapitalisme

yang ditandai hukum rasional, pasar kerja bebas, kota yang otonom,

ekonomi uang, dan kelas bourjuis. Semua pra-kondisi kapitalisme

rasional-modern yang ada di Barat yang menurut Weber tidaklah

muncul di masyarakat Islam Timur Tengah.

Temuan awal yang belum sempurna dari Weber menjelaskan

bahwa, nilai-nilai ekonomi dalam agama Islam tidak berkembang

mengikuti kondisi pra-kapitalisme karena pengaruh patrimonialisme

dan dogma agama, dan justru menimbulkan kritik yang

berkepanjangan. Pandangan Weber tentang Islam baik secara teologis

maupun sosiologis sulit diterima terutama oleh kalangan Islam atau

setidak-tidaknya oleh mereka yang memahami Islam dengan “baik”

Kritik tesis Weber tentang agama Islam banyak dilakukan oleh

pakar sosiologi agama yang menolak dan meragukan catatan tesis

Page 20: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

62

terakhir Weber karena substansi catatan terakhirnya yang masih

sebatas asumsi subyektif yang belum terbukti validasinya, antara lain

kritik oleh Bryan.S.Tuner dan Taufik Abdullah. Kritik Bryan.S.Tuner

tentang tesa sosiologis yang dihasilkan oleh Max Weber yang

menjadikan masalah terdiri dari dua hal20. Pertama, analisanya tentang

etika Islam, yang dianggapnya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan

lepas dari analisanya dari struktur sosial ekonomi Islam. Kedua, argumennya tidak menunjukkan sebagai seorang yang mengidealisasi

sejarah yang ada dalam agama Islam.

Kritik dari Abdulah (1979) menyatakan, Weber kurang begitu

serius (mendalami) atau tidak begitu banyak waktu yang dia luangkan

untuk mempelajari Islam karena sebelum tuntas sudah meninggal,

sehingga penafsiran-penafsiran Weber tentang Islam tidaklah bertolak

dari kurangnya pengetahuan saja, tetapi terutama dari dasar konseptual

dan sikap ilmiah yang tidak tepat. Menurut Abdullah21, agama tidak

sekedar gejala sosiologis yang bisa dikategorikan begitu saja menurut

seorang pengamat. Sebab bagi penganutnya, agama menyangkut

masalah makna sebagai landasan untuk melihat dan mengerti realitas.

Ada hubungan dialektika antara sistem makna yang dipercayakan

agama dan pengertian yang dihayati oleh para pemeluk, yang secara

obyektif juga terkait oleh konteks ralitasnya. Perubahan sosial-

ekonomi dapat merupakan unsur yang menyebabkan terjadinya

kemajemukan pemahaman terhadap doktrin yang utuh itu.22

Terbukti dalam etos kerja yang dibentuk agama Islam mengenal

nilai-nilai iklas, cinta, dan istiqomah begitu mendominasi, karena akan

menyeimbangkan antara kebutuhan ukrawi dan duniawi. Sifat-sifat

etos kerja yang dikutip Weber sebagai ciri khas Protestan seperti

tanggung jawab langsung kepada Tuhan, kejujuran dalam perbuatan,

kerja keras, sifat hemat, pembagian waktu secara metodik dalam

kehidupan sehari-hari, kalkulasi perdagangan yang rasional, semua

juga ditentukan dalam etika Islam.23 Dalam Islam pun ada konsep

panggilan “calling” yaitu bila seseorang yang berhasil dalam kehidupan

dinyatakan sebagai “diberkahi Tuhan” atau ”berkat dari Tuhan”.

Bekerja keras juga diutamakan dalam Islam dan dinyatakan dalam

Page 21: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

63

konsep “ikhtiar”.24 Namun ajaran Islam menolak tentang “takdir”

sebagai konsep Calvinisme dan ajaran Islam juga tidak mengajarkan

harta kekayaan sebagai petanda penyelamatan masuk surga atau

neraka. Islam tidak mengenal eksploitasi konsep Weber yang

membenarkan eksploitasi untuk menjamin peningkatan produktivitas

serta peningkatan pelayanan yang penuh ketaatan dan rajin bagi para

majikan untuk mencapai kekayaan yang berlimpah sebagai tanda

keselamatan dirinya dan kaum buruh.

Ajaran Islam tidak melarang orang kaya asalkan orang tersebut

dapat menguasai dirinya, sebab di dalam ajaran Islam menjelaskan

kekayaan itu tidak dicari untuk sekedar dikumpulkan tetapi dicari

untuk berbakti kepada Tuhan dan untuk melaksanakan perbuatan baik,

yang bermanfaat dan penuh kasih sayang. Kekayaan pribadi adalah

amanah suci yang harus dinikmati oleh semuanya, terutama fakir

miskin yang membutuhkan dalam bentuk zakat maupun sedekah25

sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan spiritual.

Perspektif Pierre Bourdieu

Pierre Bourdieu adalah seorang ahli filsafat dan ahli sosiologi

yang memiliki kedudukan penting dalam sosiologi Perancis.Bourdieu

lahir pada tahun 193026 di Denguin, Pyrenia Atlantik sebuah kota kecil

selatan Perancis, lahir dari keluarga pada umumnya. Ayah Bourdieu

adalah seorang pegawai pos. Pemikiran-pemikiran Bourdieu

dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya di Perancis. Dimana

pada saat itu terjadi ketidakadilan dalam bidang pendidikan antara

pelajar dari keluarga menengah ke bawah dengan pelajar dari golongan

atas. Di sini terjadi ketimpangan dalam penerimaan ilmu pengetahuan

yang semakin lama semakin terakumulasi, sehingga semakin

merugikan golongan masyarakat menengah ke bawah.

Teori Bourdieu lahir dijiwai oleh keinginannya untuk

memadukan semangat antara objektivisme dan subjektivisme. Dalam

aliran pemikiran objektivisme, terlalu menekankan pada peranan

Page 22: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

64

struktur yang menentukan aktor dan lingkungan sosialnya, di sini

kaum objektivisme lebih melihat secara makro atau bisa disebut

dengan aliran strukturalis seperti Durkheim, Marx, Saussure dan

lainnya. Di sisi lain, pemikiran subjektivisme lebih melihat pada sisi

mikro, yaitu menekankan pada tindakan aktor dalam analisisnya,

tokoh subjektivisme misalnya seperti Weber, Sartre, dan lainnya.

Bourdieu menentang kedua pemikiran ini dan ingin menggabungkan

di antara keduanya. Karena menurut Bourdieu, tidak semua hal

dipengaruhi secara mutlak atau dominan oleh struktur maupun oleh

aktor, tetapi ada pengaruh timbal balik dari keduanya. Sehingga

Bourdieu berusaha untuk membuat hubungan dialektik antara struktur

objektivisme dan fenomena subjektivisme.

Subjektivisme mewakili bangunan pengetahuan tentang dunia

sosial yang didasarkan pada pengalaman utama dan persepsi-persepsi

individu. Subjektivisme meliputi aliran-aliran pemikiran seperti

fenomenologi, teori tindakan rasional dan bentuk-bentuk tertentu

sosiologi interpretatif, antropologi dan analisis bahasa (yang disebut

Volosinov “subjektivisme individualistik”)27. Subjektivisme maupun

objektivisme gagal memahami apa yang disebut Bourdieu “objektivitas

subjektif” (the objectivity of the subjektive) dalam Bourdieu (1990a).

Subjektivisme gagal memahami landasan sosial yang membentuk

kesadaran, sedangkan objektivisme melakukan yang sebaliknya,

kegagalan mengenai realitas sosial di tataran tertentu yang dibentuk

oleh konsepsi dan representasi yang dilakukan individu-individu

terhadap dunia sosial.

Pada dasarnya dalam pandangan Bourdieu, yang disebut sebagai

objektivisme adalah suatu pengetahuan objektif yang mengandung

dominasi, dan dalam kondisi ini, individu tidak bisa menolaknya.

Sedangkan pengertian dari subjektivisme sendiri adalah mengarah pada

tindakan individu yang bertindak atau melakukan sesuatu diluar

struktur, dimengerti untuk menjelaskan suatu pengetahuan/

pengalaman dari sudut pandang sendiri, dimana seseorang bisa

mengerti melalui bahasa yang kita pahami.

Page 23: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

65

Upaya Bourdieu untuk menjembatani antara objektivisme

dengan subjektivisme, dapat dilihat dari konsep Bourdieu tentang

habitus dan lingkungan (ranah) dan hubungan dialektik antara

keduanya. Habitus28 berada di dalam pikiran aktor sedangkan

lingkungan berada di luar pikiran aktor. Meskipun sebenarnya semua

konsep dari Bourdieu saling berkaitan dan mempengaruhi.

Pierre Bourdieu: (Habitus x Capital) + Arena = Praktik

Bagian terpenting dalam pemikiran Bourdieu adalah upaya

mengatasi pilihan “wajib” dan “ritual”, antara subjektivisme dan

objektivisme. Dua momen, objektivitas dan subjektivitas, berada dalam

hubungan dialektis.29 Cara berpikir yang berusaha lepas dari pengaruh

objktivisme dan subjectivisme dalam upaya memahami realitas sosial.

Realitas sosial, dalam bahasa Bourdieu, merupakan sebuah proses

“dialektika internalisasi eksternalitas dan eksternalitas internalitas.”

Dalam proses interaksi dialektis itulah struktur objektif dan

pengertian-pengertian subjektif, struktur dan agen bertemu.

Pertemuan itu disebut Bourdieu dengan praktik. Praktik sosial

dipahami oleh Bourdieu sebagai hasil dinamika dialektis antara

internalisasi eksterior dan eksternalisasi interior.30 Eksterior adalah

struktur objektif yang ada di luar pelaku sosial, sedangkan interior

merupakan segala sesuatu yang melekat pada diri pelaku sosial. Segala

sesuatu yang diamati dan dialami yang ada di luar diri pelaku sosial

(eksterior) bergerak dinamis secara dialektis dengan pengungkapan

dari segala sesuatu yang telah diinternalisasi menjadi bagian dari diri

pelaku sosial (interior).

Bila dikaitkan antara habitus, arena dan kapital, dimana kapital

menurut Bourdieu juga memiliki arti luas, mencakup hal material dan

immaterial yang dapat memiliki nilai simbolik secara budaya, misal

prestise, status dan otoritas yang merujuk sebagai kapital simbolik.

Kapital ini harus berada di dalam sebuah ranah. Karena dalam rumusan

generatif Bourdieu, ada keterkaitan antara habitus, kapital dan ranah

yang bersifat langsung. Dimana nilai yang diberikan pada kapital

Page 24: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

66

dihubungkan dengan berbagai karakteristik sosial dan habitus adalah

sebagai berikut: (Habitus x Kapital) + Ranah = Praktik.

Habitus

Wacquant (1998) menyatakan bahwa, term habitus bukan

ciptaan Bourdieu sendiri, tetapi term ini Bourdieu ambil dari tradisi

filsafat: “Habitus adalah sebuah konsep filosofis tua, digunakan sesekali

oleh antara lain Aristoteles (dalam term/istilah/hexis), Hegel, Weber,

Durkheim, Mauss dan Husserl. Bourdieu mengambilnya dalam analisis

pada tahun 1967 atas pemikiran sejarahwan seni Erwin Panofsky dan

telah menyempurnakan baik secara empiris dan secara teoritis, dalam

setiap karya utamanya. Habitus merupakan upaya Bourdieu yang

paling ambisius untuk menjelaskan praktik-praktik secara khusus

(mikro) dan umum (makro) pada setiap konteks sosial budaya, namun

bukan dalam hal narasi sejarah (sebagai mana Marxisme), psikoanalisis

(Oedipus Complex), Strukturalisme (Levi-Strauss tentang objektif) atau

sesuatu yang membuat sesuatu itu otentik (Heidegger).

Singkat kata, konsep habitus merepresentasikan “niat teoritis

untuk keluar dari filsafat kesadaran tanpa membuang agen, dalam

hakikatnya sebagai operator praktis bagi pengonstruksian obyek.”

(Bourdieu, 1985). Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai: sistem

disposisi yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan (transposable), struktur yang distrukturkan yang diasumsikan berfungsi sebagai

penstruktur struktur-struktur (structured structures predisposed to function as structuring structures), yaitu sebagai prinsip-prinsip yang

melahirkan dan mengorganisasikan praktik-praktik dan representasi-

representasi yang bisa diadaptasikan secara obyektif kepada hasil-

hasilnya tanpa mengendalikan suatu upaya sadar untuk mencapai

tujuan-tujuan tertentu atau penguasaan cepat atas cara dan operasi

yang diperlukan untuk mencapainya. Karena sifatnya “teratur” dan

“berkala” secara obyektif, tapi bukan produk kepatuhan-aturan,

prinsip-prinsip ini bisa disatupadukan secara kolektif tanpa harus

Page 25: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

67

menjadi produk tindakan pengorganisasian seorang pelaku (Bourdieu,

1990a;1997).

Habitus kadangkala digambarkan sebagai logika permainan

(feel for the game), sebuah rasa praktis (practice sense) yang

mendorong agen-agen bertindak dan bereaksi dalam situasi-situasi

spesifik dengan suatu cara yang tidak selalu bisa dikalkulasi

sebelumnya, dan bukan sekedar kepatuhan sadar pada aturan-aturan.

Ia lebih mirip seperangkat disposisi yang melahirkan praktik dan

persepsi. Berdasarkan definisi Bourdieu, disposisi-disposisi yang

dipresentasikan maka habitus bersifat: (a) bertahan lama dalam arti

bertahan di sepanjang rentang waktu tertentu dari kehidupan seorang

agen; (b) bisa dialihpindahkan alam arti sanggup melahirkan praktik-

praktik di berbagai arena aktivitas yang seragam; (c) merupakan

struktur yang distrukturkan dalam arti mengikutsertakan kondisi-

kondisi sosial objektif pembentukannya; inilah yang menyebabkan

terjadinya kemiripan habitus pada diri agen-agen yang berasal dari

kelas sosial yang sama dan menjadi justifikasi bagi pembicaraan tentang

habitus sebuah kelas di dalam distinction ; dan (d) merupakan “struktur

yang menstrukturkan” artinya mampu melahirkan praktik-praktik

yang sesuai dengan situasi-situasi khusus dan tertentu.

Menurut Bourdieu (1990a) dalam ‟The Logic of Practise‟. bahwa

habitus tidak menutup kemungkinan bagi para peserta agen untuk

melakukan kalkulasi strategis, hanya caranya berfungsi agak berbeda

yaitu “Sistem disposisi ini - sebuah masa lalu yang ada sekarang (a present past) yang cenderung menghadirkan lagi dirinya di masa depan

dengan mengaktifkan kembali dalam praktik-praktik yang

distrukturkan secara sama. Suatu kaidah internal yang melaluinya

keniscayaan eksternal yang tidak bisa direduksi menjadi penghalang

langsung didorong mundur terus-menerus adalah prinsip utama bagi

kelangsungan dan keteraturan yang sudah bisa ditangkap obyektivisme

di dalam praktik-praktik sosial namun tidak pernah bisa dipahaminya.

Sistem disposisi ini juga sanggup menjelaskan sebab-musabab

terjadinya transformasi-transformasi teratur yang tidak bisa dijelaskan

entah melalui determinisme ekstrinsik dan instan dari sosiologisme

Page 26: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

68

mekanistik, maupun lewat determinasi murni internal yang tidak kalah

instannya dari subjektivisme spontanistik” (Bourdieu, 1990a ).

Jadi, menurut Bourdieu (Ritzes, 1996), secara dialektik habitus

adalah: “the product internalization of the structures of social world”,

atau habitus merupakan struktur sosial yang terinternalisasi dalam diri

seseorang. Habitus sifatnya juga berbeda-beda, tergantung pada posisi

seseorang dalam dunia sosialnya; dan inilah yang menjelaskan mengapa

tidak semua orang memiliki habitus yang sama, walaupun

kecenderungan dari mereka yang memiliki disposisi yang sama dalam

satu dunia sosial yang sama akan memiliki habitus yang (relative) sama.

Pengertian yang sama ini mengacu pada adanya habitus yang sama

yang dimiliki secara kolektif oleh sekelompok orang. Selain merupakan

fenomena kolektif dan memiliki dimensi historis, habitus juga

memiliki sifat durable dan transporable, yaitu bisa berpindah-pindah

dari satu field (arena) ke field (arena) yang lain.

Capital

Menurut Wacquant (2006) mengenai modal (capital), Bourdieu

berangkat dari pendasaran yang menyatakan bahwa konsep masyarakat

(society) itu didasarkan pada kelas (social life:class-based). Bourdieu

(1989) menyatakan bahwa subjek atau individu menempati suatu posisi

dalam ruang sosial multidimensional. Ruang itu tidak didefinisikan

oleh keanggotaan kelas, namun melalui jumlah setiap jenis modal yang

dia miliki. Modal itu mencakup nilai jejaring sosial, yang bisa

digunakan untuk memproduksi kekuasaan (power) atau memproduksi

ketidaksetaraan. Mereka membutuhkan waktu dan tenaga bagi para

pelaku untuk membentuk dan selanjutnya mendapatkan keuntungan

dari modal. Tentu saja, modal juga harus berisi nilai yang menjadi

obyek kepentingan. Karena itu, modal memiliki implikasi strategi-

strategi investasi, baik pada tingkat individu maupun kelompok. Modal

merupakan “game masyarakat”, bukan hanya game yang murni

ekonomi namun juga bersifat immaterial, yaitu seluruh game.

Page 27: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

69

Kapital dimungkinkan untuk menjelaskan praktik dunia sosial

yang tidak hanya diarahkan pada perolehan modal ekonomi namun

juga seluruh bentuk modal. Berbagai bentuk modal material dan

immaterial ini harus dipahami secara umum sebagai sumber daya di

dalam masyarakat. Perolehan sumber daya-sumber daya ini memberi

akses ke kekuasaan dan pada akhirnya ke kemakmuran materi. Melalui

cara ini, Bourdieu mengarahkan fokusnya pada ekonomi dalam

praktik, yaitu menuju kalkulasi ekonomi yang bukan hanya ada di

belakang praktik-praktik ekonomi namun juga pada praktik yang lebih

tersembunyi dan simbolis.

Perumusan ulang Bourdieu terhadap konsep modal-nya Marx

terdiri dari dua observasi (Calhoun 1993). Pertama, ada banyak bentuk

modal yang berbeda, mulai dari material (fisik, ekonomi) sampai

immaterial (budaya, simbol, sosial). Kedua, dengan berbagai tingkat

kesulitan, dimungkinkan untuk mengubah satu bentuk modal ke

bentuk lainnya, yang disebut transformasi antar modal.

Ini mencakup pemutusan konseptual dengan ekonomisme dari

Marx serta ahli ekonomi Klasik, monopolisasi bidang ekonomi yang

dihasilkan dari etnosentrisme, dan dimungkinkan dengan

mengisolasikan ekonomi keekonomian dari ekonomi budaya

(Bourdieu: 1990a; Lash: 1993). Alternatifnya Bourdieu, seperti sudah

disebutkan, adalah melepaskan dari substantialisme dan materialisme

sedemikian dengan menempatkan kekuatan ekonomi di belakang

seluruh tindakan manusia, tanpa harus menganggap hal ini dihasilkan

dari kepentingan diri sendiri, seperti dikatakan para ahli ekonomi

(Bourdieu, 1977; Snook 1990; May, 1996). Dengan kata lain, analisis

seharusnya tidak hanya menjelaskan tindakan-tindakan yang dapat

dikapitalisasikan yang disebut Marx “pembayaran tunai tanpa

perasaan” (Bourdieu, 1977), namun juga tindakan-tindakan yang

ditandai oleh tanpa rasa kepentingan, dimana orang-orang mencoba

menutupi dorongan ekonomi yang ada di belakang usaha mereka

untuk mendapatkan modal. Seperti dicatat di atas, bagi Bourdieu,

seluruh bentuk modal selalu bisa diubah menjadi modal ekonomi.

Page 28: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

70

Pada saat yang sama, dia mencatat paradoks bahwa meski

kalkulasi ekonomi ada di belakang semua tindakan, namun setiap

tindakan tidak dapat direduksi ke kalkulasi ekonomi (Bourdieu, 1979).

Intinya adalah bahwa bagi para pelaku, nilai itu sendirilah yang

penting untuk berpartisipasi dan untuk menginvestasikan waktu,

tenaga serta uang di dalam “game ekonomi” yang karenanya

mendapatkan legitimasi dengan sendirinya (Bourdieu, 1990). Jika

dirangkum, bagi Bourdieu, istilah “kepentingan” masih mendua,

dimana dia tidak dapat dituduh sebagai pemilih rasional murni.

Bourdieu (1996) dalam artikel “The Forms of Capital”

menjawab pertanyaan apa yang dimaksud dengan modal dan apa saja

bentuk-bentuk modal. Sudah sangat dipahami kalau modal merupakan

unsur yang harus ada dalam dunia bisnis. Definisi dan cakupan modal

terus berkembang. Hasilnya adalah konsep modal-nya Marx terdiri dari

dua observasi (Calhoun, 1993). Pertama, ada banyak bentuk modal

yang berbeda, mulai dari material (fisik, ekonomi) sampai immaterial

(budaya, simbol, sosial). Kedua, dengan berbagai tingkat kesulitan,

dimungkinkan untuk mengubah satu bentuk modal ke bentuk lainnya.

Bourdieu (1986), mengartikan modal secara umum sebagai “kerja

manusia yang terakumulasi” yang berpotensi menghasilkan bentuk-

bentuk laba yang berbeda-beda. Pekerjaan ini dapat dipandang sebagai

sejarah yang terakumulasi, yang ditransfer melalui waktu dalam

bentuk yang terbendakan – yaitu materi, atau dalam bentuk yang

terwujud, yaitu sebagai bagian dari seseorang.

Dengan kata lain, modal tertanam di dalam struktur obyektif

dan subyektif, dan karena itu menjadi penjamin bagi keteraturan dan

stabilitas dunia sosial. Memang, pada waktu tertentu, berbagai bentuk

modal dapat dikatakan menjadi “struktur yang tetap ada” dari dunia

sosial, yang dipahami sebagai “serangkaian batasan”, yang tertanam di

dalam realita dunia tersebut, yang mengatur fungsinya dalam cara yang

abadi, yang menentukan peluang kesuksesan bagi praktik-praktik

(Bourdieu 1986).

Page 29: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

71

Konsep modal yang telah diperluas sedemikian adalah jauh dari

definisi ekonomi tradisional mengenai kata tersebut sebagai sumber

daya yang memfasilitasi produksi dan yang secara bersamaan tidak

dikonsumsi di dalam proses produksi, yaitu sebagai faktor produksi

(Coleman 1994). Bourdieu berpandangan bahwa modal merupakan

hubungan sosial. Modal merupakan energi sosial yang hanya ada dan

membuahkan hasil-hasil dalam ranah perjuangan dimana modal

memproduksi dan mereduksi. Modal memiliki beberapa ciri penting

yakni: (1) Modal terakumulasi melalui investasi, (2) Modal bisa

diberikan kepada yang lain melalui warisan, (3) Modal dapat memberi

keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya

untuk mengoperasikan penempatannya (Patrice Bonnewitz, 1998

dalam Haryatmoko, 2003)31. Di dalam pengertian ini, modal tidak dapat

dipisahkan dari produksi, tanpa memandang apakah kita mengacu pada

modal fisik (gedung, mesin dll.), modal keuangan ataupun modal

manusia (pendidikan dan rekualifikasi).

Menurut Bourdieu (2004), terdapat empat jenis modal, yaitu

modal ekonomi, modal sosial (social capital), modal budaya, dan modal

simbolik. Penjelasan modal tersebut adalah: (1) Modal ekonomi, yang

mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan

dan benda-benda) dan uang yang dengan mudah digunakan untuk

segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi

berikutnya. Penggunaan terminologi ekonomi oleh Bourdieu tidak

mengacu pada ekonomisme atau reduksionisme ekonomi apapun.

Bourdieu melihat arena ekonomi hanya sebagai salah satu arena di

antara arena-arena lain, tanpa memberikan keunggulan di dalam teori

umumnya tentang arena (2) Modal budaya, yang mencakup

keseluruhan kualifikasi intelektual yang dapat diproduksi melalui

pendidikan formal maupun warisan keluarga, misal kemampuan

menampilkan diri di depan publik, pemilikan benda-benda budaya

yang bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasil

pendidikan, kemampuan inovasi, kemampuan ber-entrepreneurship,

juga sertifikat (gelar kesarjanaan), tata krama atau sopan santun, cara

bergaul dan sebagainya yang berperan di dalam penentuan dan

Page 30: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

72

reproduksi kedudukan-kedudukan sosial; (3) Modal sosial Social capital, menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu

atau kelompok) dalam hubungan dengan pihak lain yang memiliki

kuasa; dan (4) Modal simbolik, mengacu kepada derajat akumulasi

prestise, ketersohoran, status, otoritas, konsekuensi atau kehormatan,

dan dibangun di atas dialektika pengetahuan (connaissance) dan

pengenalan (reconnaissance).

Kalau diamati, tidak semua modal yang disebutkan oleh

Bourdieu memiliki muatan ekonomi dengan sendirinya. Artinya,

modal itu menjadi bernilai bukan karena nilai ekonomi yang melekat

pada modal itu sendiri. Tetapi, karena memiliki sifat-sifat sosial

tertentu yang kemudian melahirkan nilai ekonomi. Misalnya, orang

bisa memiliki jaringan yang luas dan kuat karena mereka memiliki

sifat jujur dan dapat dipercaya. Jujur dan dapat dipercaya bukanlah

aspek ekonomi, tetapi persoalan yang terkait dengan pandangan hidup.

Jadi, pandangan hidup yang dimiliki seseorang dapat melahirkan nilai

ekonomi yang bisa digunakan sebagai modal untuk melakukan

kegiatan ekonomi. Hal itu memperlihatkan posisi lemah dari teori

ekonomi yang selalu mengesampingkan aspek non ekonomi (budaya,

sosial, dan politik), seperti modal merupakan komponen penting dari

kegiatan bisnis, sering tidak memadai manakala hanya dipandang dari

sisi ekonomi, karena terjadinya pemilikan modal bukan berasal dari sisi

ekonomi tetapi bisa bermula dari faktor sosial, termasuk di dalamnya

social capital.

Berkembangannya eksploitasi modal secara terus-menerus akan

mempengaruhi sistem sosial yang berlaku, sehingga memunculkan pola

perilaku kapitalisme. Menurut Heilbroner (1991), menolak

memperlakukan kapital hanya dalam kategori hal-hal yang material

berupa barang atau uang. Menurutnya, jika kapital hanya berupa

barang–barang produksi atau uang yang diperlukan guna membeli

material dan kerja, maka kapital akan sama tuanya dengan peradaban.

Oleh karena itu, menurut Heilbroner, kapital bukan suatu benda

material melainkan suatu proses yang memakai benda-benda material

sebagai tahap-tahap dalam eksistensi dinamiknya yang berkelanjutan.

Page 31: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

73

Jadi kapital merupakan suatu proses sosial, bukan proses fisik. Kapital

memang mengambil bentuk fisik, tetapi maknanya hanya bisa

dipahami jika kita memandang hanya benda-benda material ini

mewujudkan dan menyimbolkan suatu totalitas yang meluas.

Heilbroner (1991) menelaah secara mendalam pengertian

hakiki dari kapital yang mampu menjelaskan formasi sosial sampai

sekarang adalah kapitalisme. Menurutnya kapitalisme sebagai suatu

sistem dapat diterangkan dalam 2 (dua) konsep yaitu hakekat dan

logika.

Hakekat kapitalisme sebagai sifat dasar yang mengacu pada

perilaku pembentukan institusi atau “pemilikan pribadi” yang

ditunjukan oleh dua aspek utama yang saling berhubungan yaitu

perilaku individu dalam mengumpulkan kapital atau kekayaan yang

dapat mendominasi penguasaan kapital. Proses yang berulang dan

ekpansif ini memang diarahkan untuk membuat barang-barang dan

jasa-jasa dengan pengorganisasian niaga dan produksi, yang oleh Marx

digambarkan dengan simbul M – C - M atau metabolisme M – C- M;

transformasi “capital as money (M)” ; ke dalam “capital as commodity (C )”; yang diikuti re-transformasi ke dalam “capital as more money

(M)”. Oleh karena itu, hakekat kapitalisme menurut Heilbroner (1991),

adalah dorongan tanpa henti dan tanpa puas untuk mengakumulasi

kapital sebagai sublimasi dorongan bawah sadar manusia untuk

merealisasi diri, mendominasi, dan berkuasa. Dorongan ini berakar

pada jati diri manusia, maka kapitalisme lebih merupakan salah satu

modus eksistensi manusia. Mungkin inilah sebabnya mengapa

kapitalisme mampu bertahan dan malah menjadi hegenomi peradaban

manusia.

Logika kapitalisme mengacu pada pola perubahan yang

dihasilkan dan dikendalikan oleh hakekat kapitalisme melalui

pemilikan pribadi dan perluasan diri kapital secara terus-menerus

melaui proses pola M-C-M sehingga menghasilkan akumulasi modal,

ekspansi modal, dst. Dorongan tanpa henti dan tanpa puas untuk

mengakumulasikan kapital. Logika kapitalis merupakan logika berpikir

Page 32: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

74

rasional yang dikendalikan oleh hakekat kapitalis untuk memenangkan

kompetisi dalam pemilikan/penguasaan kapital dalam masyarakat di

pasar.

Arena (Field)

Field atau arena menurut pandangan Bourdieu merupakan

sistem dan hubungan-hubungan (relasi). “Berpikir berdasarkan arena

berarti berpikir secara relasional,” dan arena tidak bisa dipisahkan dari

ruang sosial (social space). Ruang sosial merupakan suatu ruang

integrasi, yang berisi sistem arena-arena. Lebih lanjut Bourdieu

mengungkapkan bahwa sistem arena32, adalah:

“hampir dapat dibayangkan, sederhananya, sebagai sebuah sistem planet, karena ruang sosial benar-benar merupakan suatu arena integral. Setiap arena memiliki struktur dan kekuatan-kekuatan sendiri, serta ditempatkan dalam suatu arena yang lebih besar yang juga memiliki kekuatan, strukturnya sendiri, dan seterusnya”.

Hal ini sesuai dengan pandangan Bourdieu (2004) bahwa, aset

non fisik merupakan aset yang dimiliki individu (pengusaha industri

kecil) dalam lingkungan sosialnya yang digunakan untuk menentukan

posisi dalam ranah33. Ranah (field) lebih dipandang oleh Bourdieu

(dalam Ritzer dan Goodman,2010) secara relasional daripada struktural

antar-individu. Ranah bukanlah interaksi atau ikatan lingkungan,

bukan pula intersubyektif. Ranah adalah jaringan relasi antar-posisi

objektif di dalamnya (Bourdieu dan Waquant, 1992; Ritzer dan

Goodman, 2010). Ranah merupakan: (1) arena kekuatan sebagai upaya

perjuangan untuk merebutkan sumber daya atau modal dan juga untuk

memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hierarki kekuasaan; (2)

semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur

posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang

terbentuk secara spontan.

Menurut Bourdieu, ranah (field) lebih dipandang secara

relasional daripada secara struktural. Ranah merupakan jaringan relasi

Page 33: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

75

antar-posisi objektif di dalamnya (Bourdieu dan Waquant, 1992; Ritzer

dan Goodman, 2010). Keberadaan relasi-relasi ini terpisah dari

kesadaran dan kehendak individu. Lebih lanjut Bourdieu (dalam Ritzer

dan Goodman,2010) menyatakan bahwa, ada tiga langkah proses

menganalisis ranah, yaitu: (1) menggambarkan keutamaan ranah

(lingkungan) kekuasaan (politik) untuk menemukan hubungan setiap

lingkungan khusus dengan lingkungan politik; (2) menggambarkan

struktur objektif hubungan antar berbagai posisi di dalam ranah

tertentu; dan (3) analisis harus mencoba menentukan ciri-ciri

kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam ranah.

Menurut pandangan Bourdieu, arena itu sendiri semacam arena

pertempuran (buttle field), yang dalam arena itu berbagai jenis kapital

akan saling digunakan untuk dikonversikan dan dikompetisikan.

Dikonversikan dalam pengertian bahwa jenis-jenis kapital tertentu bisa

digunakan dan diubah menjadi jenis-jenis capital lainnya. Seperti

misalnya, kapital ekonomi bisa dikonversikan menjadi kapital sosial,

sehingga orang yang memiliki kekuatan ekonomi bisa memiliki

peluang untuk memperoleh kekuatan modal sosial simbolik dalam

wujud seperti kehormatan atau prestice, dan dalam konteks tertentu

bisa pula sebaliknya. Agen yang memiliki kapital budaya dapat

mengkonversikan menjadi kapital ekonom; dan sebaliknya.

Field sebagai suatu kunci yang berkaitan dengan ruang metafor

dalam teori sosiologi Bourdieu. Field menentukan atau mendefinisikan

settingan struktur sosial yang mana di situ tempat beroperasinya

habitus.34 Bourdieu menekankan pada pernyataan bahwa “hubungan

antar posisi objektif”‟. Maka keberadaan hubungan ini terlepas dari

kesadaran dan kemauan individu. Arena (field) bukanlah interaksi atau

ikatan, arena bukan pula intersubyektif antara individu.

Konsep arena (fields) merupakan refleksi dari dimensi

metateori pemikiran Bourdieu yang melihat fields sebagai konsep yang

terbuka dapat ditandai dan dikoreksi bagi suatu bentuk variasi teori

antara subjektivisme dan objektivisme. Bourdieu melancarkan kritik

terhadap subjektivisme dan objektivisme, dan mengatasi keduanya

Page 34: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

76

melalui cara konseptualisasi “hubungan antara sosial dan struktur

budaya dan praktik”. Sebagai teori, Bourdieu menyusun tiga langkah

proses untuk menganalisis arena (field) yaitu (1) Konsep field sebagai

koreksi terhadap positivisme. Menurut Bourdieu dan Wacquant (1992),

arena (field) merupakan suatu kontruksi konseptual yang didasarkan

atas ratio mode relational (relational mode of reasoning). Bourdieu dan

Wacquant menggambarkan logika relational dengan menganjurkan

para peneliti (rasearcher) mencari-cari, menemukan sesuatu yang

mendasar dan menemukan suatu relasi-relasi tidak terlihat yang dapat

membentuk aksi bentuk daripada pembendaharaan (pengetahuan)

yang telah terberi dalam kategori pengetahuan umum. Karena itulah

Bourdieu lebih memilih term field ketimbang populasi, group,

organisasi atau instansi-intansi. Rupanya ia ingin menarik

perhatiannya pada bentuk pola-pola laten dari kepentingan dan

pertarungan yang membentuk keberadaan realitas empirik. (2) konsep

field adalah sebagai suatu penyaluran (conduit) dari polemik Bourdieu

yang menentang dua sudut pandang yaitu reduksionisme kelas dan

materialisme yang vulgar. Dengan konsep field, Bourdieu sebenarnya

hendak membawa suatu perpektif kelas sosial dalam konteks

masyarakat modern, akan tetapi latar belakang kelas sosial. Milleu, atau

konteks semuanya tidak pernah berefek/berakibat langsung atas

tingkah laku individual, justru latar belakang kelas milleu, atau konteks

semuanya malah menjadi diperantarai (mediated) oleh struktur arena

itu sendiri. (3) Sebagai konsep, field ditandai sebagai penolakan

Bourdieu pada cara interpretasi kaum idealis terhadap praktik-praktik

kebudayaan yang begitu terlalu subtansialis; tidak memperhatikan

atribut-atribut kebudayaan dan praktiknya.

Kemudian, bagaimana hubungan antara arena dengan habitus, ini dapat dijelaskan sebagai berikut: arena bisa mengkondisikan

habitus; dan sebaliknya habitus mampu membentuk arena sebagai

sesuatu yang bermakna dan bernilai. Sedangkan proses interelasi antara

habitus dan arena itu sendiri dijembatani oleh apa yang disebut sebagai

“praktik”. Jadi di sini ada hubungan yang bersifat timbal balik secara

dialektis. Hubungan habitus dan arena secara sederhana dapat

Page 35: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

77

menggambarkan hubungan antar-individu (agen) dan masyarakat

(struktur). Dalam hubungan seperti itu, habitus atau arena (field) tidak

memiliki kapasitas secara sepihak (unilateral) untuk menentukan

tindakan sosial (social action). Namun sebaliknya, tindakan sosial

ditentukan oleh proses relasi dialektis dari keduanya, yaitu habitus –

yang juga bisa dikatakan struktur mental- dan arena (field), yang bisa

dikatakan sebagai struktur sosial. Jadi menurut Bourdieu (Ritzer, 1996),

jika menyangkut konsep habitus dan arena, yang paling penting adalah

hubungan dialektik di antara keduanya (habitus dan arena). Lebih dari

itu, dalam hubungan dialektika itu, baik habitus ataupun arena,

keduanya saling mendefinisikan satu sama lain.

Praktik

Praktik merupakan konsep Bourdieu yang digunakan untuk

menjelaskan tentang penolakan terhadap dominasi objektif maupun

dominasi subjektif. Konsep praktik berarti bagaimana seseorang diberi

stimulus kemudian akan melakukan suatu respon. Praktik menurut

Bourdieu merupakan kritik tentang pandangan kaum objektivis yang

menekankan pandangannya bahwa struktur yang paling berkuasa dan

menentukan tindakan aktor akan membentuk lingkungan, sehingga

tindakan aktor tidak akan bebas melainkan terbatas. Demikian pula

Bourdieu menolak pandangan kaum subjektivis yang menekankan

bahwa individu dapat bertindak bebas tanpa dipengaruhi oleh struktur.

Praktik sosial dirumuskan sebagai hasil dinamika dialektika

antara internalisasi eksterior dengan eksternalisasi interior.

Internalisasi eksterior dimaksudkan sebagai internalisasi segala sesuatu

yang dialami dan diamati dari luar diri pelaku sosial. Sedangkan

eksternalisasi interior berarti pengungkapan dari segala sesuatu yang

telah terinternalisasi dan menjadi bagian dari diri pelaku sosial35.

Praktik sosial dipandang sebagai integrasi antara habitus dikalikan

kapital dan ditambahkan ranah. Kapital sebagai sebuah konsentrasi

kekuatan spesifik yang beroperasi dalam ranah dan setiap ranah

menuntut individu untuk memiliki modal khusus agar dapat hidup

Page 36: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

78

secara proporsional dan bertahan di dalamnya. Dalam ranah

pertarungan sosial akan terjadi, mereka yang memiliki modal dan

habitus yang sama dengan kebanyakan individu akan lebih mampu

melakukan tindakan mempertahankan atau mengubah struktur

dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki modal.

Menurut pandangan Bourdieu, bila seseorang individu atau

aktor dipengaruhi oleh strukturnya, ia juga melakukan kebebasan

untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Sehingga akan

menentukan praktik atau tindakan individu atau aktor adalah ranah

dimana dia berada dan habitus masing-masing individu. Praktik

individu atau kelompok sosial, karenanya harus dianalisis sebagai hasil

interaksi habitus dan ranah.

Jenkins (1992), menjelaskan ada beberapa karakteristik yang

terdapat dalam praktik, yaitu: (1) Praktik terdapat dalam ruang waktu.

Praktik, ”secara intriestik didefinisikan oleh temponya” kata

Bourdieu36. Praktik tidak bisa dipahami di luar konteks ruang dan

waktu. Waktu dikonstruksikan secara sosial dan gerakan individu atau

kelompok dalam ruang sosial otomatis gerakan dalam waktu. (2)

Praktik diatur dan digerakkan secara tidak sadar atau tidak sepenuhnya

sadar. Tindakan sosial menurut Bourdieu, lebih cenderung merupakan

hasil proses improvisasi individual dan kemampuan untuk berperan

dalam interaksi sosial. Hal ini terjadi karena dalam kehidupan sosial,

kebanyakan agen atau aktor (individu atau kelompok) cenderung

menerima dunia sosial dengan apa adanya. Agen tidak memikirkan

kembali mengapa harus berbuat seperti ini atau mengapa harus begitu.

Pemikiran Pierre Bourdieu tentang Social Capital

Dalam memahami pemikiran Bourdieu tentang social capital, perlu melihat pokok perhatiannya dahulu dan sekarang adalah

pemahaman atas hierarki sosial dalam banyak hal. Bourdieu membahas

gagasan-gagasan yang banyak dipengaruhi oleh Marxis dan di awal

tulisan-tulisan Bourdieu (Field, 2003) tentang social capital menjadi

Page 37: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

79

bagian analisis yang lebih luas tentang beragam landasan tatanan sosial.

Bourdieu melihat posisi agen dalam arena sosial ditentukan oleh

jumlah dan bobot modal relatif mereka, dan strategi tertentu yang

mereka jalankan untuk mencapai tujuan-tujuannya.

Konsep social capital menurut Bourdieu (1977) pada awalnya

mendefinisikan sebagai berikut: Modal hubungan sosial yang jika

diperlukan akan memberikan “dukungan-dukungan” bermanfaat:

modal harga diri dan kehormatan yang seringkali diperlukan jika orang

ingin menarik para klien ke dalam posis-posisi yang penting secara

sosial, dan yang bisa menjadi alat tukar, misalnya dalam karier politik.

Kemudian Bourdieu bersama Wacquant (1992) memperbaiki

pandangannya, dengan menyampaikan kesimpulan dalam pernyataan

sebagai berikut: “Social capital adalah jumlah sumber daya, aktual atau

maya, yang berkumpul pada seorang individu atau kelompok karena

memiliki jaringan tahan lama berupa hubungan banyak terinstitu-

sionalisasikan”.

Menurut Bourdieu agar social capital tersebut dapat bertahan

nilainya, individu harus mengupayakannya. Maka untuk memahami

pemikran Bourdieu tentang social capital, diperlukan pula pokok

perhatian dahulu dan sekarang yaitu pemahaman atas hierarki sosial.

Ketimpangan harus dijelaskan oleh produksi dan reproduksi modal.

Bourdieu menyatakan “modal” adalah akumulasi kerja yang

memerlukan waktu dan akumulasi (Field, 2010). Sehingga melihat

modal dari aspek ekonomi saja tidaklah cukup, karena pertukaran

ekonomi digerakkan untuk mencari laba, sehingga hanya untuk

mengejar kepentingan sendiri. Bourdieu (1986) menyatakan bahwa,

mustahil memahami dunia sosial tanpa mengetahui peran modal dalam

segala bentuknya, dan tidak sekedar dalam satu bentuk yang diakui

oleh teori ekonomi.

Kemudian, Bourdieu (1980) memasukkan beberapa pendekatan

umum yang sama pada pemaparannya tentang social capital. Bourdieu

menyatakan bahwa istilah social capital adalah “satu-satunya cara”

untuk menjabarkan “prinsip-prinsip aset sosial” yang menjadi lebih

Page 38: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

80

jelas manakala “individu yang berlainan memperoleh hasil yang sangat

tidak setara dari modal yang kurang lebih ekuivalen (ekonomi atau

budaya) menurut sejauh mana mereka mampu memobilisasi sekuat

tenaga modal dari suatu kelompok (keluarga, mantan siswa sekolah

elite, klub pilihan, kebangsawanan dan lain sebagainya).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa dengan cara yang khas social capital berfungsi memproduksi ketimpangan, namun hal ini dilakukan

secara independen dari modal ekonomi dan modal budaya, yang

menjadi bagian yang tidak terlepaskan darinya. Sejauh bentuk-bentuk

modal yang berlainan tidak dapat diubah, atau lebih tepatnya, tidak

dapat direduksi menjadi modal ekonomi, itu semua karena perbedaan

jangkauan mereka dalam”„mengungkapkan aspek ekonomi”. Semakin

transparan nilai ekonomi, semakin besar konvertibilitasnya, namun

semakin rendah kesahihannya yang menjadi sumber diferensiasi sosial

(Bourdieu, 1986). Daripada konvertibilitas, Bourdieu lebih tertarik

pada bagaimana jenis-jenis modal yang berlainan secara bersama-sama

membedakan “kelas-kelas utama berdasarkan atas kondisi eksistensi;

dan dalam masing-masing kelas tersebut, meningkatkan ‟perbedaan

sekunder‟ pada basis dari ‟perbedaan distribusi modal secara

keseluruhan mereka diantara jenis modal berlainan” (Bourdieu, 1986).

Berbeda dari dua modal lainnya yang lebih dulu populer dalam bidang

ilmu sosial, yakni modal ekonomi (economic financial capital) dan

modal manusia (human capital), social capital baru dapat aksis bila

social capital berinteraksi dengan struktur sosial.37 Sifat ini jelas

berbeda antara modal ekonomi dan modal manusia. Dengan modal

ekonomi yang dimiliki seseorang/perusahaan dapat melakukan

kegiatan (ekonomi) tanpa harus terpengaruh dengan struktur sosial,

demikian pula dengan modal manusia.

Bourdieu (1986) menyatakan bahwa, volume social capital yang

dimiliki oleh seseorang tergantung pada ukuran jejaring koneksi yang

dapat dimobilisasikannya serta pada volume modal (ekonomi, budaya,

atau simbolis) yang dimilikinya. Ini artinya bahwa, meski relatif tidak

dapat direduksi ke modal ekonomi dan budaya yang dimiliki oleh agen

tertentu, atau bahkan oleh seluruh agen yang terhubung, social capital

Page 39: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

81

tidak pernah independen seluruhnya dari agen karena pertukaran-

pertukaran membentuk pengenalan satu sama lain.

Keuntungan yang timbul dari keanggotaan di suatu kelompok

adalah dasar dari solidaritas yang memungkinkan keuntungan tersebut

terjadi. Ini bukan berarti bahwa keuntungan tersebut dikejar secara

sengaja, meski pada kasus kelompok-kelompok seperti klub-klub

terpilih, yang sengaja dibuat untuk mengkonsentrasikan social capital dan untuk menghasilkan manfaat sepenuhnya akan berimplikasi di

dalam konsentrasi tersebut dan untuk mengamankan keuntungan dari

keanggotaan – yaitu keuntungan materi, misalnya seluruh jenis jasa

yang timbul dari hubungan yang bermanfaat, dan keuntungan

simbolis, misalnya keuntungan yang dihasilkan dari asosiasi dengan

kelompok yang prestisius.

Menurut Bourdieu (1980; 1986), hubungan yang erat dan tahan

lamanya adalah ikatan yang sama vitalnya: social capital merepresentasikan agregate sumber daya aktual atau potensi yang

dikaitkan dengan kepemilikan jaringan yang tahan lama, nilai ikatan

yang dijalin seorang individu (atau volume social capital yang dimiliki

agen tertentu tergantung pada jumlah koneksi yang dapat mereka

mobilisasi dan volume modal (budaya, sosial dan ekonomi) yang

dimiliki masing-masing koneksi. Dalam mempertahankan pandangan

tentang modal sebagai produk akumulasi kerja. Bourdieu menegaskan

bahwa koneksi memerlukan kerja. Solidaritas dalam jaringan hanya

mungkin terjadi karena keanggotaan di dalamnya meningkatkan laba,

baik laba material maupun laba simbolik.

Dengan demikian, mempertahankan hal tersebut diperlukan

“strategi investasi secara individu maupun kolektif” yang bertujuan

mentrasformasikan hubungan-hubungan yang terus berlangsung,

seperti hubungan di kampung atau tempat kerja, atau hubungan keke-

rabatan, menjadi “hubungan sosial yang secara langsung dapat diguna-

kan dalam jangka pendek atau jangka panjang”; karena hal itu hanya

efektif dalam jangka panjang yang dirasakan secara subjektif

(Bourdieu,1980;1986), misalnya pertukaran hadiah: “upaya untuk

Page 40: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

82

mempersonalisasikan hadiah” mengubah nilai yang sepenuhnya

bersifat moneter dan juga titik temu pada skala yang lebih luas,

sehingga menjadi “investasi solid, yang labanya akan muncul dalam

jangka panjang dalam bentuk uang dan bentuk lainnya”, dengan

investasi yang berbentuk “upaya sosiabilitas tiada henti” (Bourdieu,

1986).

Pierre Bourdieu tentang Social Capital

Setelah Pierre Bourdieu 1970 menulis teori social capital dalam

bahasa Perancis dangan judul „le Capital Social:Notes‟ namun karena

publikasi ditulis dalam bahasa Perancis membuat tidak banyak

ilmuwan sosial (khususnya sosiologi dan ekonomi) yang menaruh

perhatian (Portes,1998:3). Setelah James S.Coleman mempublikasikan

topik yang sama pada tahun 1993, barulah diikuti para intelektual

lainnya. Sehingga masyarakat ilmiah berkeyakinan bahwa Coleman

(1988) sebagai ilmuwan pertama yang memperkenalkan konsep social capital, seperti yang Coleman tulis dalam jurnal American Journal of Sociology yang berjudul “Social Capital in the Creation of Human Capital”. Kemudian Poldan (dalam Walis, Kilerby, dan Dollery, 2004)

menerangkan bahwa social capital adalah sangat dekat untuk menjadi

konsep gabungan bagi seluruh disiplin ilmu sosial, yakni modal

ekonomi (economic/financial capital) dan modal manusia (human capital), dan social capital baru eksis bila berinteraksi dengan struktur

sosial.

Berdasarkan pengertian social capital di atas, muncul beragam

definisi dengan bentangan yang sangat luas. Oleh karena itu Bourdieu

(Yustika, 2006), sebagai peletak fondasi konsep social capital, mendefinisikan social capital sebagai “agregat” sumber daya aktual

ataupun potensial yang diikat untuk mewujudkan jaringan yang awet

(durable) sehingga menginstusionalkan hubungan persahabatan

(acquaintance) yang saling menguntungkan. Melalui pemaknaan

tersebut, Bourdieu berkeyakinan bahwa jaringan sosial (social network) tidaklah alami (natural given), melainkan dikonstruksi

Page 41: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

83

melalui strategi investasi yang berorientasi kepada kelembagaan

hubungan kelompok (group relations) yang dapat dipakai sebagai

sumber terpecaya untuk meraih keuntungan (benefit). Selanjutnya,

Bourdieu mengemukakan dalam kaitannya dengan definisi tersebut

bahwa social capital juga memisahkan dua elemen: (a) hubungan sosial

itu sendiri yang mengizinkan individu untuk mengklaim akses

terhadap sumber daya yang dimiliki oleh asosiasi mereka; dan (b)

jumlah dan kualitas dari sumber data tersebut. Dengan gambaran

tersebut, melalui social capital, aktor dapat meraih sukses langsung

terhadap sumber daya ekonomi (pinjaman yang bersubsidi, saran-saran

investasi, pasar yang terlindungi), atau mereka dapat berafiliasi dengan

institusi yang membahas nilai-nilai terpercaya/value credentials atau

pelembagaan modal budaya (Portes, 1998).

Setelah Bourdieu kemudian muncul Coleman, dan diikuti para

ilmuwan lainnya, mencoba mendefinisikan social capital menurut

versinya, walaupun pada prinsipnya tidak mengubah definisi dari

pendahulunya. Seperti Uphoff (dalam Dhesi, 2000) yang menyatakan

social capital dapat ditentukan sebagai akumulasi dari beragam tipe

dari aspek sosial, psikologi, budaya, kelembagaan, dan aset yang tidak

terlihat (intangible) yang mempengaruhi perilaku kerja sama.

Menurut Hjerppe (2003) dan Chou (2006), Social capital sering

dibagi ke dalam dua bentuk atau jenis, yaitu social capital kognitif dan

struktural. Social capital kognitif meliputi norma-norma dan

kepercayaan, sedangkan social capital struktural meliputi jaringan-

jaringan sosial baik formal maupun informal. Menurut Field (2011)

dengan jaringan (social capital struktural) dan kepercayaan (social capital kognitif) tinggi akan berfungsi lebih baik dan lebih mudah

daripada dalam jaringan dengan kepercayaan yang rendah. Siapa pun

yang mengalami pengkianatan dari mitra dekat akan tahu betapa sulit

bagi dua orang untuk bekerja sama ketika perilaku mereka tidak

dilandasi kepercayaan. Namun kepercayaan tidak hanya didasarkan

atas hubungan tatap muka antara dua orang atau lebih. Kepercayaan

bisa menjadi atribut institusi dan kelompok maupun individu, dan

sering didasarkan pada reputasi yang diperantai pihak ketiga (Dasgupta

Page 42: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

84

2000). Demikian juga kehidupan bisnis industri kecil selalu

menekankan pada kepercayaan dan jaringan dalam memenuhi

kebutuhan proses produksi, misalnya kebutuhan bahan baku dibayar di

belakang hari setelah hasil produksinya sudah laku terjual.

Selanjutnya Weijland (1999) memklarifikasi, social capital sebagai berikut, yaitu Social capital sebagai bonding mengarahkan

perhatian pada pentingnya keluarga, teman dekat, dan anggota

kelompok etnis atau pekerjaan yang sama, kemudian social capital bridging mengenai adanya network yang melintasi ikatan-ikatan yang

lebih luas, sedangkan social capital linking untuk mempertanyakan

kapasitas dukungan dari pihak-pihak yang menempati posisi-posisi

ekonomi dan sosial yang berbeda-beda, serta institusi yang lebih formal

di kota tersebut.

Glaeser et al (2000) dan Mateju (2002) menyatakan bahwa,

peluang untuk melakukan penelitian social capital tersebut masih

terbuka lebar terutama karena adanya perbedaan alat ukur yang

digunakan dalam mengukur kepercayaan, baik oleh para ahli sosiologi

maupun para ekonom. Para sosiolog pada umumnya fokus mengkaji

variabel-variabel yang berkaitan dengan relasi dan kohesi sosial,

sumber dan proses terbentuknya norma, kepercayaan, peran aktor,

partisipasi sosial, eksplorasi kekuatan jaringan, struktur sosial,

perubahan sosial dan sebagainya. Sedangkan para ekonom lebih

tertarik pada kepercayaan melalui data akuntansi untuk membedakan

pertumbuhan ekonomi, keadilan, pemerataan dan kesejahteraan.

Porter (Cho & Moon, 2003) menunjukkan bahwa, daya saing

suatu perusahaan itu tidak hanya tumbuh karena kontribusi faktor

produksi alamiah akan tetapi juga sangat tergantung kepada

kemampuan dalam melakukan inovasi dan pembaharuan. Ini berarti,

dalam proses penciptaan dan penguatan daya saing perusahaan

terhadap peran dan kontribusi dari aset lain yang tergolong sebagai

asset non fisik (intangible assets) yang selama ini diabaikan. Aset non

fisik (intangible assets) menurut MC. Kinsey dalam Satria (2003) terdiri

Page 43: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

85

dari pengetahuan, relasi dan jejaring, dan reputasi yang dimiliki oleh

perusahaan.

Kegiatan ekonomi sering tidak dapat bekerja secara sempurna

dan memuaskan manakala hanya menekankan pada faktor ekonomi

(modal, tanah, tenaga kerja, dan usahawan). Modal yang merupakan

komponen sangat penting dalam kegiatan bisnis/industri, sering tidak

memadai manakala hanya dipandang dari sisi ekonomi. Karena tumbuh

dan berkembangnya modal tidak hanya berasal dari sisi ekonomi,

tetapi bisa bermula dari faktor sosial, termasuk di dalamnya social capital.

Bourdieu dan Wacquant (1992) menyampaikan kesimpulan

dalam pernyataan sebagai berikut; Social capital adalah jumlah sumber

daya aktual atau maya, yang berkumpul pada seorang individu atau

kelompok karena memiliki jaringan tahan lama berupa hubungan

timbal balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit banyak

terlembagakan. Namun menurut Fukuyama (2000), bahwa penyebaran

nilai atau norma tidak serta merta menjadi social capital apabila nilai

atau norma termaksud tidak mengandung kebenaran. Lebih lanjut

Fukuyama (1999) mengatakan bahwa, norma akan menjadi social capital bilamana padanya terdapat unsur-unsur substantif, seperti

kebijakan,kebenaran berkata, kejujuran, saling mempercayai.

Demikian pula dengan pengusaha industri kecil sebagai entitas

ekonomi, maka yang pertama-tama menentukan konsep sosiologi

ekonomi adalah menyangkut pada bagaimana norma, kepercayaan,

kejujuran maupun jejaring yang dianutnya terwujud sebagai social capital38. Social capital yang tercipta di lingkungan industri kecil adalah

bersumber dari anasir-anasir nilai yang dimiliki setiap pengusaha

industri kecil bertata laku yang bersenyawa dalam interaksi di

lingkungan bisnis, karena dalam kegiatan bisnis para industri kecil

mendapat penerimaan maka menjadi tradisi kehidupan bisnis dimana

para pebisnis industri kecil dan selanjutnya menjadi dasar acuan

bertindak para pengusaha industri kecil dalam melaksanakan kegiatan

bisnis yang disebut sebagai norma. Norma ini tumbuh di lingkungan

Page 44: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

86

bisnis industri kecil disebabkan juga oleh keyakinan agama yang dianut

pelaku industri kecil. Pelaku industri kecil dan pelanggan atau

konsumen maupun pemasok bahan baku sebagai manusia tentu

memerlukan orang lain, dan untuk itu ada kecenderungan untuk dapat

bekerja sama dan saling berinteraksi termasuk dalam hal bertransaksi.

Karena nilai dan norma diperlukan mengatur dalam berperilaku,

sehingga dapat hidup bersama-sama yang saling menguntungkan.

Penelitian dari Wejland (1999) mengenai klaster usaha mikro

pedesaan, terutama di Jawa dan Makasar, menemukan bahwa di

komunitas desa, hubungan sosial lazim menjadi subyek hubungan

patronase yang terkait dengan hierarki sosial politik, kepemilikan

lahan dan ikatan keluarga tradisional. Ketika ingin mendirikan

industrinya sendiri, para buruh yang sebelumnya bekerja bagi orang

lain harus melepaskan dirinya dari kewajiban-kewajiban terkait

sebelum mengembangkan social capital-nya sendiri, dimana jaringan

keluarga sangat penting, yang juga terlihat di Makasar. Secara bersama-

sama, faktor-faktor penting dari kajian ini membentuk sebuah

kerangka pikir untuk melakukan analisis tingkat mikro mengenai

karakter dan efektifitas social capital yang digunakan oleh para

pengusaha skala kecil di kota Makasar. Ini menunjukkan pentingnya

dinamika-dinamika seperti politik lokal, struktur sosial, dan norma

budaya di dalam menentukan ketergantungan perusahaan-perusahaan

pada bentuk social capital yang berbeda-beda, seperti kualitas, atribut,

dan substansi ikatan-ikatan serta hubungan-hubungan, dan bagaimana

semua hal tersebut saling terjalin dengan kepercayaan, norma, dan

sikap.

Pengembangan Paradigma Social Capital

Elemen-elemen pokok social capital antara lain: (1) norma atau

nilai; (2) hubungan saling kepercayaan (trust); (3) jaringan usaha/sosial

(business/social networks); (4) pranata (institutions), dan (5)

resiprositas (pertukaran timbal balik) [Bourdieu,1977; Suseno, 1987;

Cambel,Wood, dan Kelly 1999; Coleman, 1988; Ostrom, 1993;

Page 45: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

87

Putnam, 1993; Fukuyama, 1995; Cox, 1995; Adams & Someswar,1996;

Grootaet,1998; Pretty & Ward, 1999; Krishna & Uphoff, 1999; Lubis,

2002; Lawang, 2004; Baharudin, 2006, Hasbullah, 2006].

Norma dan Nilai

Banyaknya definisi social capital turut mempengaruhi

keberadaan konsep norma atau nilai. Menurut definisi dari Coleman

(dalam Yustika, 2006), Putnam (1995) dan Fukuyama (1999), bahwa

norma atau nilai adalah terdapat pada institusi sosial dan menjadi

“tambatan” (tempat terikatnya) social capital. Sedangkan Kasper W.et

al.(1998) menempatkan nilai sebagai bentuk sebuah dukungan bagi

lembaga kemasyarakatan, sehingga meningkatkan kesempatan dari

social order.

Nilai dan norma sebagai satu kesatuan komponen penting

institusi sosial selalu berpasangan dengan norma dan dihubungkan

dengan kebutuhan pokok (Lawang,2005). Dalam upaya memenuhi

kebutuhan pokok, pada diri dan komunitas pengusaha industri kecil

terkandung nilai-nilai yang sangat fundamental bagi kehidupannya

dan bagi kelangsungan komunitas pengusaha industri kecil. Maka

daripada itu, nilai memerlukan perlindungan dari norma. Karena

norma merupakan standar tentang hal-hal yang dipandang baik dan

benar dan norma mengandung ide tentang kewajiban dan keharusan

(Jaffries,1980:340 dalam Lawang 2005).

Menurut Fukuyama (1999), norma merupakan bagian dari

social capital yang timbul tidak diciptakan oleh birokrasi atau

pemerintah. Sedangkan Bertens (2001, 2003) menyatakan nilai

merupakan sesuatu yang baik, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu

yang berharga, sesuatu yang worth while. Nilai dicari karena dapat

memenuhi sesuatu keinginan, dan menurut kodratnya, nilai bersifat

positif. Selanjutnya Porter (2000) menerangkan bahwa values, dengan

atitudes dan beliefs (nilai, sikap & kepercayaan ) adalah sebagai budaya

ekonomi (economic culture) yang menjadi faktor kemajuan ekonomi.

Sedangkan Rutherford (1994) & Manig (dalam Yustika, 2006)

menyatakan bahwa, kelembagaan merefleksikan sistem nilai dan

Page 46: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

88

norma dalam masyarakat; tetapi nilai dan norma itu bukanlah

kelembagaan itu sendiri.

Di sisi lain, Fountain (1998) mengatakan, norma yang penting

adalah norma timbal balik dimana orang-orang bertindak demi

manfaat bagi orang lain dan mengharapkan mendapatkan bantuan

sebagai balasan saat dibutuhkan. Oleh karena itu, pada kasus

kepercayaan yang tinggi, ekspektasi bahwa orang lain akan memberi

balasan yang tinggi dan orang-orang cenderung benar-benar mengikuti

norma-norma kebajikan di dalam tindakan-tindakan mereka (Knack

dan Keefer, 1997) dan penyebaran nilai atau norma tidak serta merta

menjadi social capital apabila nilai atau norma termaksud tidak

mengandung unsur kebenaran (Fukuyama,1999;2000). Oleh karena

itu,social capital merujuk pada norma atau nilai umum yang

mempengaruhi interaksi di antara jejaring individu-sosial (Putnam,

2000; Bowles dan Gintis, 2002). Dalam praktiknya, social capital bisa

berbentuk interaksi sosial, kepercayaan, dan visi bersama (Molina-

Morales dan Martinez-Fernandez, 2010). Interaksi sosial adalah kontak

atau hubungan yang dijaga oleh seorang pelaku dari satu perusahaan

dengan para pelaku lain dari perusahaan-perusahaan lain di dalam

komunitas.

Menurut Bertens (2000), untuk memenuhi sistem hukum dan

menurut norma moral sekurang-kurangnya harus memenuhi tiga tolok

ukur yakni (a) tidak bertentangan dengan suara hati nurani, yakni

sesuatu (nilai) yang terkait dengan keyakinan terdalam. Hati nurani

adalah menyangkut tentang integritas pribadi manusia. Karena hati

nurani bersifat subyektif, sehingga tidak terbuka dengan orang lain,

sebagai norma moral, hati nurani acapkali sulit untuk dipakai sebagai

ukuran umum; (b) untuk obyektivitasnya maka perlu disertai norma-

norma yang lain, yaitu memperlakukan orang lain, sebagaimana diri

sendiri ingin diperlakukan atau tidak memperlakukan sesuatu

tindakkan tertentu pada orang lain, karena diri sendiri tidak ingin

diperlakukan sebagaimana tindakan tertentu tersebut dari orang lain

(c) guna efektivitasnya diperlukan penilaian umum atau penilaian

masyarakat atau sebagai audit sosial, yang luas dan terbuka. Etika

Page 47: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

89

dalam konteks praktis bermakna sama dengan nilai-nilai dan norma-

norma yang ditatalakukan atau yang tidak ditatalakukan walaupun

seharusnya diwujudkan sebagai pelaku.

Ada penelitian mengenai norma dan nilai dalam social capital yaitu penelitian Lincolin Arsyad (2005) yang menunjukkan bagaimana

pengaruh kearifan lokal (termasuk social capital) terhadap

pembangunan ekonomi di Bali, khususnya dalam penyaluran kredit,

beberapa BPR (Bank Perkreditan Rakyat) yang menyerap sistem dari

adat setempat yang merupakan bagian penting dari social capital, justru

memiliki kinerja yang lebih baik dari BPR yang mengikuti aturan

resmi dari pemerintah. Dalam penelitian diungkapkan bahwa kepala

adat ikut berperan serta dalam pemilihan pengurus BPR dan

didasarkan musyawarah, sehingga pengurus yang terpilih adalah

orang-orang yang jujur, rela berkorban, memiliki integritas yang tinggi

terhadap moral, dan tidak cacat di mata masyarakat.

Hubungan Saling Percaya (Trust)

Hubungan saling percaya merupakan nilai yang ditunjukkan

oleh adanya perilaku jujur, teratur dan kerja sama berdasarkan norma-

norma yang dianut bersama. Pada dasarnya kepercayaan harus dimiliki

dan menjadi bagian yang kuat untuk membentuk social capital yang

baik, yang dapat ditandai dengan kuatnya lembaga-lembaga sosial yang

menciptakan kehidupan yang harmonis dan dinamis.

Mitstal (1996) menyatakan bahwa, kepercayaan sebagai milik

individual, hubungan sosial, atau sistem sosial dengan perhatian yang

tidak seimbang dengan perilaku yang didasarkan pada tindakan-

tindakan di tingkat individu. Bila dilihat sebagai karakteristik individu,

kepercayaan adalah variabel kepribadian, sehingga menempatkan

penekanan pada karakteristik individu seperti perasaan, emosi, dan

nilai-nilai (Wolfe, 1976). Kepercayaan (rasa percaya) bisa dijelaskan

sebagai keyakinan terhadap keandalan orang lain. Rasa percaya yang

dimiliki orang-orang terhadap orang lain secara umum dapat disebut

kepercayaan umum. Selain itu, kepercayaan terhadap institusi-institusi

yang berbeda seperti kepolisian, pemerintah, gereja, bank, dan media

Page 48: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

90

yang juga disebut kepercayaan institusional. Rasa percaya dan norma-

norma terkait secara kuat: norma-norma kebajikan yang memandu

perilaku orang-orang bisa dianggap sebagai sifat bisa dipercaya yang

meningkatkan kepercayaan terhadap orang lain

Pada perorangan, anda percaya untuk melakukan sesuatu yang

didasarkan pada apa yang anda ketahui dari disposisi, reputasinya dan

sebagainya bukan hanya karena ia mengatakan dan melakukannya.

Pada tingkat kolektif, jika anda tidak mempercayai suatu badan atau

organisasi yang berafiliasi individu, anda tidak akan mempercayai dia

untuk memenuhi perjanjian (Dasgupta, 2000). Selain itu, individu

mempertimbangkan latar belakang, budaya, dan sistem sosial lain

ketika mencari untuk menentukan apakah akan percaya padanya. Itu

adalah keterkaitan yang menunjukkan bagaimana membangun

kepercayaan di tingkat mikro countributes sebagai determinan bentuk

yang lebih abstrak kepercayaan pada tingkat makro (Luhman, 1988).

Menurut Coleman (1988), Putnam (1993), dan Sztompka

(1999). kepercayaan sebagai salah satu komponen kunci dari social capital. Kepercayaan memainkan peranan penting dalam konsep

Fukuyama tentang social capital. Fukuyama mendefinisikan

kepercayaan sebagai dasar social capital. Dalam model Putnam,

hubungan saling percaya di antara pelaku ekonomi berevolusi dari

berbagai budaya dan menjadi tertanam dalam ekonomi lokal, yang

kemudian membentuk jaringan keterlibatan masyarakat. Hubungan

sebab akibat yang menghubungkan kepercayaan dan jaringan yang ada

dalam asosiasi/lembaga. Sedangkan Cohen, J. (1999) dan Woolcock

(1998) berpendapat bahwa, bentuk kepercayaan kemungkinan bentuk

yang unggul dan dapat dikembangkan oleh orang-orang dari tempat

lain dan budaya yang berbeda, dan bahkan orang-orang dengan ide-ide

yang berbeda pula. Kepercayaan dan norma-norma, keadilan, dan kerja

sama adalah manfaat yang dipelihara dan memfasilitasi serta

memperkuat kinerja kelembagaan yang efisien, tetapi tidak ada secara

independen dari hubungan sosial. Konsekuensi mungkin menjadi salah

satu indikator dari jenis social capital yang ada tetapi tidak boleh

disamakan dengan social capital itu sendiri.

Page 49: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

91

Kepercayaan terkait erat dengan kondisi social capital menurut

Luhman (1988), Nahapiet dan Ghoshal (1998), Glasser et.al (2000), dan

Adler & Kwon ( 2002) memperlakukan kepercayaan sebagai aspek

kunci dalam dimensi relasional social capital. Tetapi yang berbeda ini

terkait dengan persepsi tentang hubungan antara kepercayaan dan

social capital.

Sedemikian pentingnya kepercayaan, Glasser et.al (2000)

menyatakan bahwa kepercayaan merupakan modal dasar dan dapat

memperkuat kohesi social capital. Dengan adanya kepercayaan, maka

timbul harapan. Melalui harapan yang didasari oleh kepercayaan, juga

memungkinkan terjadinya pertukaran. Kepercayaan melibatkan resiko

berbicara; Jelasnya, kedua belah pihak tahu bahwa tindakan dari satu

pihak dapat secara material mempengaruhi yang lain, namun keduanya

berbagi ide, keprihatinan atau masalah walaupun sudah jelas. Ada tiga

tingkat kepercayaan yang saling berhubungan. Pertama, tingkat

perorangan, anda percaya sebuah individual untuk melakukan sesuatu

yang didasarkan pada apa yang anda ketahui dari disposisi, reputasinya

dan sebagainya bukan hanya karena ia mengatakan dan akan

melakukannya. Kedua, tingkat kolektif, jika anda tidak mempercayai

suatu badan atau organisasi yang berafiliasi individu. Ketiga, individu

mempertimbangkan latar belakang, budaya, dan sistem sosial lain

ketika mencari untuk menentukan apakah akan percaya padanya, itu

adalah keterkaitan yang menunjukkan bagaimana membangun

kepercayaan di tingkat kontribusi mikro sebagai bentuk determinan

yang lebih abstrak kepercayaan pada tingkat makro (Luhman, 1988).

Coleman (1990) mengisyaratkan bahwa, sebagai seorang

rasional tentang perilaku manusia, kepercayaan hanya dapat

diproduksi dalam informasi, kecil, tertutup, dan homogen masyarakat

yang mampu menerapkan saksi normatif. Tidak dijelaskan bagaimana

ketepatan untuk menciptakan kepercayaaan di dalam masyarakat,

terutama dalam keragaman masyarakat. Selain hubungan sosial,

norma-norma bersama menjadi sumber kepercayaan. Granovetter

(1985) berpendapat bahwa, hubungan sosial dan kewajiban yang

melekat pada mereka adalah dua sumber utama kepercayaan dalam

Page 50: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

92

kehidupan ekonomi. Selanjutnya, Wolfe (1989) berpendapat bahwa

individu menciptakan aturan-aturan moral mereka yaitu, kewajiban

bersama- melalui interaksi sosial yang mereka alami dengan orang lain.

Kemudian Fox (1997) menyatakan bahwa, kepercayaan sebagai

karakteristik dari sistem sosial. Dia berpendapat percaya dan

ketidakpercayaan adalah yang terkandung dalam aturan, peran, dan

hubungan yang memaksa atau berusaha untuk diterima oleh orang

lain. Selanjutnya Farrell dan Knight (2003) berpendapat bahwa

lembaga-lembaga menciptakan aturan, insentif dan sanksi bagi orang-

orang untuk berperilaku dalam cara yang dapat dipercaya, sehingga

menumbuhkan kepercayaan. Selain itu, lembaga dapat menyebarkan

informasi tentang perilaku yang diharapkan untuk mempengaruhi

keyakinan sosial tentang kepercayaan.

Ada 2 (dua) pandangan yang berbeda dari beberapa peneliti

tentang hubungan antara kepercayaan dengan social capital yaitu

Pertama, menganggap kepercayaan sebagai prasyarat social capital. Kedua, menganggap kepercayaan sebagai sebuah produk atau manfaat

social capital. Demikian juga, Francois (2001) berpendapat bahwa,

kepercayaan adalah komponen yang relevan dalam budaya ekonomi

masyarakat. Hubungan sebab akibat yang menghubungkan

kepercayaan dan jaringan yang ada dalam asosiasi/lembaga. Sedangkan

Cohen (1999) berpendapat bahwa, bentuk kepercayaan kemungkinan

bentuk unggul dan dapat dikembangkan oleh orang-orang dari tempat

lain dan budaya yang berbeda bahkan orang-orang dengan ide-ide

yang berbeda pula. Kepercayaan dan norma-norma, keadilan, dan kerja

sama adalah manfaat yang dipelihara dan memfasilitasi serta

memperkuat kinerja kelembagaan yang efisien, tetapi tidak ada secara

independen dari hubungan sosial. Konsekuensi mungkin menjadi salah

satu indikator dari jenis social capital yang ada tetapi tidak boleh

disamakan dengan social capital itu sendiri (Woolcock,1998).

Para peneliti lain menganggap ikatan kuat justru merugikan

bukannya menguntungkan (Cross dan Parker 2004; Borgatti dan Cross

2003; Gargiulo dan Benassi 1999) karena: Pertama, hilangnya pelaku

jejaring inti yang tak terduga akan meningkatkan kerentanan

Page 51: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

93

organisasi-organisasi jaringan, karena integrasi para partner tertutup

yang kuat cenderung menyatu dengan masalah ketergantungan sumber

daya (Porter dan Sensenbrenner 1993). Pada saat yang bersamaan,

perubahan-perubahan institusional mungkin meruntuhkan ikatan

sosial, yang menyebabkan ketidakstabilan yang tinggi, karena

pengelolaan hubungan jaringan mungkin tidak berjalan baik ke mode

hubungan yang lain (Mu, Peng, dan Love 2008; Cross et al., 2001).

Kedua, ikatan-ikatan kuat dapat mengurangi aliran informasi baru di

antara para partner yang saling terkait karena ikatan-ikatan yang

berlebihan ke partner jaringan yang sama memiliki arti bahwa hanya

ada sedikit atau bahkan tidak ada hubungan ke partner luar yang

mungkin memberi kontribusi ide-ide alternatif (Burt 1992).

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kriteria

seseorang memiliki social capital yang rendah atau kuat tergantung

dari tingkat kepercayaan seseorang terhadap orang lain dan kepada

masyarakat di sekitarnya, yaitu (a) bila seseorang hanya percaya kepada

nilai/norma yang diwariskan oleh keluarga dan tidak percaya kepada

masyarakat, kurang percaya kepada tokoh panutan masyarakat dan

kurang percaya kepada lembaga formal dan informal maka dapat

dikatakan bahwa orang tersebut memiliki social capital yang rendah,

(b) bila seseorang hanya percaya pada norma/nilai yang disepakati oleh

komunitasnya seperti famili, kerabat dekat, tetangga dan tokoh

panutan masyarakat yang masih ada hubungan famili dan kekerabatan

serta orang luar yang sudah dikenal, termasuk terhadap pemerintah

yang dipimpin orang yang masih ada hubungan kekerabatan atau yang

dikenalnya, maka ini menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki

sosial capital yang sedang, dan (c) bila seseorang lebih percaya kepada

semua orang yang memiliki etika dan perilaku yang baik dalam

masyarakat, percaya pada norma/nilai yang berlaku untuk kepentingan

orang banyak, percaya kepada tokoh masyarakat serta pemerintah

yang selalu memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak tanpa

memandang hubungan keluarga, suku, etnis, dan agama, maka dapat

dikatakan bahwa orang tersebut memiliki social capital yang kuat.

Page 52: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

94

Jejaring Usaha

Menurut Prabaatmodjo (1996), ada 3 hal yang melatar-

belakangi terbentuknya jaringan usaha: Pertama, berdasarkan

perspektif pertukaran yang dikembangkan oleh Blau. Menurut model

ini jaringan usaha dipandang sebagai struktur sosial yang terbentuk

karena adanya relasi sosial diantara para pelakunya, misalnya, melalui

pertukaran secara langsung atau tidak langsung mengenai segala

sesuatu yang dianggap berharga. Kedua, model ketergantungan sumber

daya. Model ini menjelaskan bahwa terbentuknya jaringan usaha

adalah hasil upaya strategis unit usaha dalam mengamankan sumber

daya penting yang dikuasai pihak lain. Ketiga, model transaction cost economy dari Williamson. Model ini menjelaskan, dengan jaringan

usaha, perusahaan dapat memperoleh kebutuhannya secara efisien

melalui pasar atau hierarki.

Pandangan jaringan (network view) menurut Woollcock dan

Narayan (2000) menegaskan bahwa, pandangan ini menggabungkan

dua level, sisi atas (upside) dan sisi bawah (downside), yang menekan-

kan pentingnya asosiasi vertikal dan horizontal di antara orang-orang

dan relasinya dengan entitas organisasi lain, semacam kelompok

komunitas dan perusahaan (firm). Secara jelas, konsep ini sebetulnya

mengoperasikan dua sifat penting dari social capital, yakni sebagai

ikatan sosial (social bonding) dan jembatan sosial ( social bridging).

Sosial bonding merupakan tipe modal sosial dengan

karakteristik adanya ikatan-ikatan yang kuat sebagai perekat dalam

suatu kehidupan di masyarakat. Seperti, hubungan kekerabatan dalam

suatu keluarga dengan keluarga yang lain, yang masih dalam satu etnis

tertentu, dan hubungan seperti itu dapat menumbuhkan rasa

kebersamaan yang diwujudkan rasa empati, rasa simpati, rasa

kewajiban, rasa percaya, resiprorsitas, pengakuan timbal balik, dan

nilai kebudayaan yang mereka percaya.

Social bridging (jembatan sosial) sebagai suatu ikatan sosial

yang tumbuh sebagai reaksi atas berbagai macam perbedaan karak-

teristik dalam kelompoknya. Social bridging dapat tumbuh dan

Page 53: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

95

berkembang karena muncul berbagai kelemahan yang ada di sekitar-

nya, sehingga akan memberikan pilihan untuk membangun kekuatan

baru dari kelemahan yang ada. Menurut Hasbullah (2008), ada tiga hal

yang mendorong munculnya social bridging yaitu (a) adanya

persamaan sehingga setiap anggota dalam suatu kelompok memiliki

hak dan kewajiban yang sama dan keputusan yang diambil didasarkan

pada kesepakatan yang egaliter, (b) adanya kebebasan bagi setiap

anggota kelompok bebas bicara dalam mengemukakan pendapat dan

ide yang dapat memajukan kelompok, dan (c) adanya nilai-nilai

kemajemukan dan humanisme artinya nilai-nilai kemanusiaan, meng-

hormati hak asasi setiap anggota dan orang lain sebagai dasar pengem-

bangan komunitas sosial dalam suatu masyarakat. Sikap kemajemukan

seperti terbangun suatu kesadaran yang kuat bahwa hidup yang

berwarna-warni, dengan beragam suku, agama, warna kulit dan cara

hidup dalam masyarakat sebagai kekayaan manusia. Sikap humanisme

seperti berkehendak membantu orang lain merasakan penderitaan

orang lain, berempati terhadap situasi dan kondisi orang lain.

Sedangkan Davis dan Aldrich (2000), Gulati et al (2000) dalam

penelitiannya menyimpulkan bahwa, jaringan usaha dengan

perusahaan-perusahaan mitra, tidak hanya merupakan peluang untuk

membangun rasa percaya, partisipasi politik dan interaksi sosial, akan

tetapi juga mendorong pembentukan jaringan personal dan

meningkatkan hasil dari jaringan personal. Rasa memiliki terhadap

asosiasi sukarela dapat memperbaiki peluang anggota untuk

membangun koneksi dengan orang-orang yang berbeda. Maka dari

pada itu, keanggotaan dalam organissi dapat berhasil meningkatkan

heterogenitas jaringan personal para pemilik perusahaan.

Meningkatnya heterogenitas ini, pada gilirannya dapat berperan

penting dalam memperbaiki akses ke berbagai sumber daya, dan

sebagai hasilnya, dapat meningkatkan sukses dan kelangsungan usaha.

Jaringan usaha ini meliputi sejumlah relasi, baik relasi horizontal

maupun vertikal, dengan berbagai lembaga seperti pemasok,

pelanggan, pesaing atau lembaga lain apakah dalam industri yang sama

maupun pada industri yang berbeda.

Page 54: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

96

Dalam jejaring terdapat simpul (nodes) dan hubungan (links). Sjaifudin dalam Soen‟an (2002), mendefinisikan jejaring usaha sebagai

alat yang dapat dipergunakan untuk melepaskan usaha, terutama di

sektor manufaktur, dari keterbatasan sumber daya yang sering menjadi

faktor penghambat bagi perusahaan untuk berkembang. Sedangkan

menurut Soen‟an (2002), jaringan usaha dimaksudkan sebagai suatu

bentuk organisasi di bidang ekonomi yang dimanfaatkan untuk

mengatur koordinasi serta mewujudkan kerja sama antar unsur atau

antar unit, baik dalam intra organisasi maupun antar organisasi. Unsur-

unsur tersebut dapat berupa unit usaha atau non unit usaha yang

merupakan unsur dalam rangkaian yang memfasilitasi pengoperasian

unit usaha. Bentuk keterkaitan unit usaha tersebut dapat berupa

komunikasi informasi di antara unit usaha, asosiasi, dan kerja sama

usaha (joint venture).

Menurut Warner (2004), Mauled Moelyono (2007), untuk

mendukung keberhasilan jaringan usaha perlu memenuhi beberapa

syarat agar jaringan usaha yang dibentuk terus dipertahankan: (1)

adanya disiplin, kejujuran, sikap saling percaya, dan sikap kesungguhan

yang kuat di antara semua pihak yang berkepentingan dalam

melaksanakan kerja sama yang telah disepakati, (2) adanya tekad yang

kuat memberi dan menerima kontribusi dan menerima dukungan,

untuk meraih kemajuan dalam kebersamaan, (3) mengedepankan sikap

transparansi dalam setiap tindakan yang melibatkan kepentingan

bersama, dan (4) berusaha kuat menangani setiap masalah dan

perbedaan demi kepentingan bersama dengan mengajukan kebutuhan

pihak mitra dan mengajukan kebutuhan perusahaan (kita) serta

percaya dan tekun.

Penelitian-penelitian lain mengkonfirmasikan pentingnya

ikatan jaringan yang kuat, khususnya pada sebuah perusahaan Burt

(1992), Uzzi (1997), Leana dan Van Buren (1999), Ahuja (2000), Gulati,

et al (2000), Wellman & Frank ( 2001) Hite dan Hesterly 2001, Autio,

dan Sapienza (2001), Lin (2001), Lechner dan Dowling (2003); Moran

(2005), Elfring dan Hulsink (2007), dengan menekankan bahwa ikatan

tersebut mengikat para partner dan hubungan yang lebih panjang dan

Page 55: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

97

akrab yang bermanfaat bagi keduanya untuk memperkuat rasa saling

percaya dan identifikasi kognitif serta untuk berkontribusi bagi

penghematan waktu, secara tradisional dianggap sebagai proksi ikatan

lemah, karena merujuk pada jenis jaringan dimana para pelaku bisnis

adalah terikat oleh hubungan impersonal yang bermanfaat sebagai

penghubung ke pasar yang lebih luas. Ikatan sosial kuat dan lemah

dapat dianalisis berdasarkan kriteria, yaitu: frekuensi kontak, intensitas

emosional hubungan tersebut, serta tingkat intimasi dan komitmen

timbal balik di antara para pelaku yang terlibat di dalam hubungan.

Yang memiliki beberapa manfaat potensial yang dapat diperoleh dari

keberadaan anggota dalam jejaring di antaranya, melaui jejaring

anggota dapat memanfaatkan saluran berbagai pengetahuan yang

efektif dan efisien, dan melalui jejaring anggota akan mudah

mendapatkan informasi, sumber daya, pasar dan teknologi. Struktur

jaringan mengacu pada kepadatan relatif linkes antara orang-orang di

dalamnya yang memfasilitasi arus informasi dan penyediaan dukungan

sosial ke struktur sosial dimana seseorang berada.

Sedangkan menurut studi Ayda Eraydin & Bilge Armatli-

Koroglu (2005), ada empat alasan utama mengapa keterlibatan

perusahaan lokal di dalam jaringan-jaringan nasional dan global yang

lebih luas sangat penting bagi pertumbuhan jangka panjang. Pertama, dengan bantuan jaringan-jaringan ini, dimungkinkan untuk

menciptakan ide-ide baru, tidak hanya menggunakan pengetahuan dan

keahlian lokal, tetapi juga keahlian eksternal untuk mengubah ide-ide

tersebut menjadi produk-produk yang bisa dipasarkan dan kontribusi

lingkungan pergaulan lokal memiliki batas-batas dan mereka harus

didukung oleh jaringan-jaringan antar-perusahaan yang lebih luas

sebagai suatu cara akses ke informasi mengenai teknologi-teknologi

yang berubah cepat dan peluang-peluang pasar (Revilla-Diez, 2002,

Camagni ,1991). Kedua, dalam rangka menutupi masalah-masalah

sehubungan dengan menurunnya permintaan domestik, maka

dibutuhkan aktivitas-aktivitas berorientasi ekspor, yang harus

didukung oleh jaringan-jaringan transfer teknologi (Kautonen 1996).

Ketiga, aktivitas-aktivitas non regional bisa meningkatkan kontribusi

Page 56: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

98

langkah-langkah yang berorientasi secara regional dan karena itu

memberikan dukungan yang lebih kuat bagi manajemen inovasi dan

daya saing perusahaan-perusahaan regional. Tidak dimungkinkan bagi

perusahaan-perusahaan, khususnya perusahaan kecil dan menengah,

untuk hanya bergantung pada pembelajaran lokal dan pengetahuan

tersirat; pada saat bersamaan, mereka harus dilengkapi kompetensi

R&D formal dan akses ke pengetahuan universal melalui jenis-jenis

jaringan non regional dan global yang berbeda-beda (Glasmeier 1991,

1994; Kautonen 1996,Asheim dan Isaksen 2002,). Keempat, seorang

pelaku adalah bagian dari suatu sistem teritorial, tetapi jika pelaku

tersebut bergabung ke sistem global, maka ia memiliki peluang untuk

mendapatkan manfaat dari sinergi-sinergi yang ditawarkan situasi ini.

Yang terakhir, hasil-hasil dari beberapa penelitian menunjukkan

bahwa hubungan-hubungan eksternal sangat penting untuk mencegah

tersumbatnya teknologi.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian dari berbagai pakar tersebut

di atas, maka dapat disimpulkan ukuran tinggi atau rendahnya social capital yang dimiliki seseorang dalam membangun jejaring dengan

kriteria yaitu:(a) memiliki social capital rendah, bila seseorang

memiliki tujuan membangun jejaring untuk memenuhi kepentingan

sendiri tanpa peduli kepentingan orang lain, sasaran jaringan masih

terbatas pada lingkungan keluarga. Motivasi membangun jejaring

karena ikut-ikutan, tidak ada inisiatif untuk mengembangkan jaringan

lebih lanjut serta tidak peduli bila terjadi konflik di lingkungannya, (b)

memiliki social capital sedang, bila tujuan membangun jejaring untuk

memenuhi kepentingan sendiri dengan memperhatikan orang lain,

sasaran jaringan tidak hanya dalam lingkungan keluarga tetapi

lingkungan yang lebih luas, sumber motivasi membangun jejaring

berasal dari keluarga, tetangga dan teman-teman dekat serta bila terjadi

konflik ada kecenderungan akan meninggalkan jaringan dan berpindah

atau membangun jaringan lain yang lebih menguntungkan disrinya, (c)

bila social capital yang tinggi, seseorang membangun dan ikut dalam

suatu jaringan dengan tujuan membantu orang lain tanpa

mengorbankan kepentingan dirinya, sasaran jaringan yang diikuti

Page 57: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

99

adalah komunitas umum yang tidak dibatasi oleh ikatan keluarga,

kesukuan/etnis, wilayah dan sebagainya, dan motivasi ikut dalam

jaringan ada pada diri sendiri dengan penuh kesadaran dalam upaya

mencapai tujuan bersama dan bila terjadi konflik dalam jaringan ikut

terlibat langsung menyelesaikan konflik yang terjadi.

Pranata (Institutions)

Menurut North (1994), pranata atau kelembagaan adalah

sebagai aturan yang membatasi perilaku menyimpang menusia,

kelembagaan dapat meminimalisasi perilaku manusia yang

menyimpang telah berhasil menciptakan ketertiban dan mengurangi

ketidakpastian dalam melakukan pertukaran (exchange). Kelembagaan

merupakan faktor terpenting dalam mendorong pertumbuhan suatu

negara dan kelembagaan berbeda dengan faktor pendidikan, sumber

daya alam, penduduk dan teknologi yang dipandang dapat menjelaskan

fenomena perbedaan pencapaian kemajuan ekonomi (pertumbuhan

ekonom) antarnegara. Jika faktor pendidikan (human capital), sumber

daya alam, kepadatan penduduk dan teknologi lebih merupakan faktor

sederhana yang dapat dipisahkan dengan realita sosial, maka

kelembagaan (rules of the game) justru hidup dan berjalan atas realitas

sosial masyarakat.

Secara definitif, kelembagaan dapat dipilah dalam dua

klasifikasi (Yustika,2006). Pertama, bila berkaitan dengan proses, maka

kelembagaan merujuk kepada upaya untuk mendisain pola interaksi

antar-pelaku ekonomi sehingga mereka dapat melakukan kegiatan

transaksi. Kedua, jika berhubungan dengan tujuan, maka kelembagaan

berkonsentrasi untuk menciptakan efisiensi ekonomi berdasarkan

struktur kekuasaan ekonomi, politik, dan sosial antar-pelaku.

Tugas terpenting dari kelembagaan adalah menciptakan pasar

(market-creating) yang dapat melindungi hak kepemilikan dan

melaksanakan kontrak. Oleh karena itu, menurut Rodrik dan

Subramanian (2003), dalam suatu perekonomian yang berbasis pasar,

fungsi terpenting kelembagaan adalah sebagai berikut: (i) meregulasi

pasar (market regulating), khususnya untuk mengatasi persoalan-

Page 58: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

100

persoalan ekternalitas (externalities), economies of scale dan informasi

yang tidak sempurna (imperfectinformation); (ii) menstabilisasi pasar

(market stabilizing), yang bertujuan untuk menurunkan inflasi,

minimalisasi volatiliotas makro ekonomi, dan mencegah krisis

keuangan; dan (iii) melegitimasi pasar (market legitimizing), yakni

kebijakan untuk menopang “kegagalan pasar” seperti asuransi dan

perlindungan sosial, redistribusi, dan manajemen konflik.

Namun kenyataannya dalam kehidupan masyarakat, perlu

disadari bahwa kelembagaan yang ada tidak statis, tetapi dinamis sesuai

dengan perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan serta

perkembangan interaksi ekonomi yang mempertemukan antar

kepentingan maupun perubahan nilai-nilai dan budaya masyarakat

seiring dengan perubahan jaman. Menurut Yustika (2006), perubahan

kelembagaan memiliki dua dimensi. Pertama, perubahan konfigurasi

antar-pelaku ekonomi akan memicu terjadinya perubahan

kelembagaan (institutional change), artinya perubahan kelembagaan

dianggap sebagai dampak dari perubahan kepentingan/konfigurasi

pelaku ekonomi. Kedua, perubahan kelembagaan sengaja didesain

untuk mempengaruhi (mengatur) kegiatan ekonomi, artinya

kelembagaan ditempatkan secara aktif sebagai instrumen untuk

mengatur kegiatan ekonomi (termasuk aktor-aktor yang terlibat di

dalamnya).

Sedangkan arah dari setiap perubahan kelembagaan yaitu

menuju ke peningkatan perbedaan prinsip-prinsip dan pola-pola umum

di dalam kelembagaan yang saling berhubungan. Sementara itu, pada

waktu yang bersamaan terjadi peningkatan kebutuhan untuk

melakukan integrasi di dalam sistem sosial yang kompleks. Dengan

demikian, perubahan kelembagaan merupakan proses transformasi

permanen yang merupakan bagian dari pembangunan. Selanjutnya

North (1984) menyatakan bahwa, perubahan kelembagaan

menggunakan marginalis standar yang menekankan pada perubahan

harga relatif. Digambarkan oleh North bahwa pada kebangkitan

ekonomi negara barat menunjukkan perubahan kelembagaan ”datang

dari suatu perubahan di dalam daya tawar yang relatif terhadap

Page 59: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

101

peraturan yang melawan konstitusi (pemilih) dan pembicaraan yang

luas”. North seterusnya mengatakan bahwa perubahan harga relatif

digerakkan oleh perubahan demografis, perubahan dalam penyediaan

pengetahuan dan perubahan dalam teknologi militer. Dinamika

perubahan kelembagaan dalam teori North berakar dari interaksi yang

berlangsung terus-menerus antara lembaga-lembaga dan organisasi

dalam konteks bersaing ketika sumber-sumber semakin langka.

Berdasarkan pemahaman tersebut, perubahan kelembagaan

dapat dianggap sebagai proses yang terjadi secara terus-menerus yang

bertujuan untuk memperbaiki kualitas interaksi (ekonomi) antar-

pelakunya. Ini menunjukkan terjadinya proses transformasi

permanen39, maka perubahan kelembagaan dapat menjadi faktor

pengaruh utama terhadap perubahan strtuktur dalam sistem sosial

tertentu. Jika norma yang mengatur interaksi sosial berubah, maka

seluruh pola hubungan sosial dan jaringan sosial yang sudah

dikembangkan oleh anggota masyarakat dapat pula berubah.

Menurut North (1993) dalam Dharmawan (2001), perubahan-

perubahan yang berlangsung dengan adanya rintangan-rintangan

informal/informal constraint (norma-norma, konvensi, atau kejujuran

personal) dapat memberikan implikasi yang sama seperti perubahan

dalam peraturan formal masyarakat. Perubahan dapat terjadi secara

bertahap (gradual) dan kadang-kadang secara cepat karena individu

mengembangkan pola-pola perilaku alternatif (tindakan ekonomi dan

sosial) sebagai respons atas proses evaluasi biaya dan keuntungan baru

yang dirasakan.

Perubahan kelembagaan sesungguhnya bisa terjadi karena

munculnya masalah kelangkaan dan perilaku individu yang sulit

ditebak. Kelangkaan di sini tidak sekedar persoalan keterbatasan

sumber daya (ekonomi) yang tersedia, tetapi juga keterbatasan aturan

main (rules of the game) yang mengakibatkan pelaku ekonomi tidak

memiliki akses untuk melakukan transaksi secara sepadan. Demikian

pula perubahan kelembagaan juga bisa terjadi dari perubahan tuntutan

pemilih (demands of constituents) atau perubahan kekuasaan pemasok

Page 60: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

102

kelembagaan (suppliers of institutions), yaitu aktor pemerintah. Jadi

perubahan kelembagaan dapat terjadi dari sisi permintaan dan

penawaran. Perubahan kelembagaan dari sisi bawah (demand) merupakan hasil dari pertarungan antar-pelakunya, sedangkan

perubahan kelembagaan dari sisi atas (supply) merupakan hasil regulasi

dari pihak-pihak yang memiliki otaritas (misalnya pemerintah).

North menyatakan, terdapat tantangan mendasar dalam

menciptakan kelembagaan yang efisien (Hira dan Hira,2000), yakni

dengan menyingkirkan aspek-aspek informal dengan halangan formal

(aligning informal with formal constraint) dan menciptakan serta

merawat kebijakan yang akan mendukung tercapainya kelembagaan

yang efisien (creating and maintaining a policy that will support adaptively efficient institutions). Menyangkut rintangan yang pertama,

North meyakini bahwa masyarakat menilai suatu sistem tersebut adil

(fair), kemudian meminjamkan stabilitas informal ke peraturan formal

sehingga akan mengurangi masalah tindakan kolektif. Rintangan

kedua, North merujuk kepada kebutuhan terhadap adanya transparansi

dan akuntabilitas dana dalam rangka mengurangi biaya informasi

pemilih (reducing the information cost of the voter).

Dalam ekonomi pasar yang semakin terkonsentrasi maka

perubahan kelembagaan akan terjadi namun dalam konteks yang

negatif. Dimana pelaku ekonomi kecil yang menguasai pasar akan

mendikte aturan main (kelembagaan) melalui serangkaian kesepakatan

terbatas yang dibuat antar mereka sendiri. Jika proses ini terjadi tanpa

upaya untuk menciptakan hambatan formal (formal constraint) dalam

wujud regulasi pemerintah, maka perubahaan kelembagaan yang

terjadi akan merugikan sebagian pelaku ekonomi.

Untuk mengukur tinggi rendahnya social capital seseorang

dalam kehidupan masyarakat, dapat dilihat sejauh mana seseorang

terlibat dalam pranata yang ada dalam masyarakat yang dapat

dikelompokkan sebagai berikut: (a) bila tujuan seseorang terlibat

dalam organisasi hanya sekedar ikut-ikutan dan frekuensi terlibat

dalam kegiatan jarang ikut terlibat dan hanya mengikuti tidak lebih

Page 61: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

103

dari satu organisasi, maka dapat dikatakan orang tersebut memiliki

social capital rendah, (b) bila tujuan seseorang ikut terlibat dalam

organisasi untuk menambah pengetahuan dan pengalaman pribadi dan

frekuensi keterlibatan kadang-kadang ikut dan mengikuti 2 atau 3

organisasi, ini menunjukkan social capital yang dimiliki seseorang

sedang dan (c) bila seseorang mempunyau tujuan terlibat dalam

organisasi untuk menambah dan berbagi pengetahuan dan pengalaman

antar sesama anggota dengan frekuensi kehadiran sering, terlibat dan

mengikuti lebih dari 3 organisasi dapat dikatakan bahwa orang tersebut

memiliki social capital yang tinggi.

Hubungan Timbal Balik (Resiprocity)

Resiprositas menunjukkan pada individu yang secara sukarela

memberikan manfaat pada orang lain dalam proses pertukaran yang

dalam waktu tertentu orang lain diharapkan berbuat serupa.

Resiprositas sebagai salah satu elemen social capital senantiasa diwarnai

oleh kecenderungan saling tukar kebaikan antar individu dalam suatu

kelompok atau antar kelompok itu sendiri. Pola pertukaran ini

bukanlah sesuatu yang dilakukan secara hubungan timbal balik

seketika seperti dalam proses jual beli, melainkan suatu kombinasi

jangka pendek dan jangka panjang dalam nuansa altruism (semangat

untuk membantu dan mementingkan kepentingan orang lain), tetapi

resiprositas seseorang tidak sebatas mendapat barang atau jasa namun

dapat menunaikan kepentingan sosial yaitu berupa penghargaan, baik

ketika berperan sebagai pemberi ataupun penerima.

Sejalan dengan itu Dalton (1968), menyatakan resiprositas

adalah bentuk pertukaran sosial-ekonomi. Dalam pertukaran ini,

pemberian dan penerimaan barang atau jasa sebagai kewajiban sosial.

Terdapat kewajiban seseorang untuk memberi, menerima dan

mengembalikan kembali pemberian dalam bentuk yang sama ataupun

berbeda sesuai dengan kesepakatan dan ini memiliki muatan nilai-

nilai, norma dan kepercayaan dari masing-masing individu.

Sedangkan menurut Gouldner (2009), resiprositas merupakan

kewajiban moral untuk merespon melalui pola timbal balik dari

Page 62: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

104

seseorang untuk membantu satu sama lain dan menghindari melukai

satu sama lain. Dalam komunikasi timbal balik terdapat proses

interaksi yakni proses dimana setiap individu menggunakan simbol-

simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dan

lingkungan mereka. Norma timbal balik atau resiprositas merupakan

norma sosial yang kuat yang menentukan bahwa kita memperlakukan

orang lain seperti kita memperlakukan diri kita.

Secara sederhana resiprositas merupakan pertukaran timbal

balik antar-individu atau antar-kelompok, tetapi Polanyi (1968)

menyatakan, karakteristik pelaku pertukaran merupakan rasa timbal

balik (resiprositas) sangat besar yang difasilitasi oleh bentuk simetri

institusional ciri utama organisasi orang-orang yang tidak terpelajar.

Oleh karena itu resiprositas menjadi ciri sistem ekonomi masyarakat

sederhana dan tradisional dan distribusi menjadi ciri sistem ekonomi

feodal.

Menurut Altman dan Taylor (Budyana 2011) bahwa,

resiprositas merupakan kumpulan peristiwa-peristawa pelaku tidak

perlu adanya penjelasan mengenai peristiwa itu. Bukti dari Cohn dan

Strassberg (Budyatna,2011) menguatkan dan menambah penye-

marataan efek resiprositas pengungkapan. Pada tahap-tahap awal

hubungan resiprositas dianggap penting karena hal ini menunjukkan

dan membangun kepercayaan. Seseorang atau banyak orang dari suatu

kelompok memiliki semangat membantu yang lain tanpa

mengharapkan imbalan seketika. Semangat untuk membantu bagi

keuntungan orang lain. Imbalannya tidak diharapkan seketika dan

tanpa batas waktu tertentu. Pada masyarakat, dan pada kelompok-

kelompok sosial yang terbentuk, yang di dalamnya memiliki social capital yang tinggi. Ini akan juga direfleksikan dengan tingkat

keperdulian sosial yang tinggi, saling membantu dan saling

memperhatikan. Pada masyarakat yang demikian, problem sosial akan

dapat lebih mudah diselesaikan.

Menurut Sahlins (1974) dalam “Stone Age Economic”

menyebutkan, ada tiga bentuk resiprositas, yaitu: resiprositas umum

Page 63: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

105

(generalized reciprocity), resiprositas sebanding (balanced reciprocity), dan resiprositas negatif (negative reciprocity). Resiprositas umum (generalized reciprocity), merupakan suatu tindakan dimana satu

pelaku memberikan barang atau jasa kepada pihak lain tanpa

menentukan batas waktu pengembalian dan masing-masing pihak

saling percaya bahwa satu sama lain akan saling memberi dan akan

dibalas pada saat mendatang. Tidak ada ketentuan hukum, kecuali nilai

moral yang mengatur seseorang untuk memberi atau mengembalikan.

Resiprositas sebanding (balanced reciprocity) merupakan pertukaran

barang atau jasa yang menghendaki mempunyai nilai banding. Pada

pertukaran ini disertai dengan penentuan saat pertukaran berlangsung,

waktu untuk memberikan dan menerima serta mengembalikan. Pada

pertukaran ini, masing-masing pelaku memerlukan barang atau jasa,

namun masing-masing tidak mengaharpkan pemberian nilai lebih

banyak dibanding dengan yang sedianya akan diterima, dan norma

atau aturan tidak tertulis bermanfaat untuk mengontrol pelaku-

pelakunya dalam bertransaksi, bila terjadi pelanggaran dalam

perjanjian hubungan timbal balik akan berakibat pada hukuman atau

tekanan moral di komunitasnya, demikian pula bila keputusan untuk

melakukan kerja sama, kerja sama yang tumbuh karena rasa

kesetiakawanan di dalam komunitas, sehingga menjadi suatu pranata

yang harus ditaati antara para pelaku.

Resiprositas negatif (negative reciprocity) ini merupakan

hubungan timbal balik seperti dalam mekanisme harga di pasar atau

jual beli, dimana antara penjual dan pembeli masing-masing sepakat,

pembeli sepakat dengan harga yang ditetapkan penjual dan penjual

sepakat pula barang atau jasa yang dijual dengan harga yang telah

disepakai oleh pembeli barang atau jasa.

Berdasarkan perpektif Weber dan Bourdieu terhadap nilai-nilai

Gus-Ji-gang bagi masyarakat Kudus dalam kehidupan sehari-hari dapat

digambarkan pada Gambar 2.1 di bawah ini:

Page 64: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

106

Gambar 2.1

Kerangka Pemikiran Konseptual

CATATAN-CATATAN KAKI

1 Max Weber, The Protestant Ethic and the spirit of Capitalism, translated by Talcott Parsons.(New York: Charles Scribness Son‟s, 1958), hlm.35.

2 Anthony Giddens,Kapitalisme dan Teori Sosial Modern;Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, diterjemahkan untuk edisi Indonesia oleh Suheba Kamadibrata, (Jakarta: UI Press, 1985),hlm.153.

Page 65: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

107

3 Bryan S.Tuner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analisis Atas Tesa Sosiologi Weber,

diterjemahkan oleh GA Tocialu, (Jakarta: Rajawali Press, 1984), hlm.7.

4 Dwi Suyono, ”Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan”. (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 247.

5 Ajat Sudrajat.”Etika Protestan dan Kapitalisme Barat, Relevansinya dengan Islam Indonesia”. (Jakarta:Bumi Aksara,1994).hlm.53.

6 Stanislav Anderski,”Max Weber: Kapitalisme, Birokrasi dan Agama”. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989).

7 Konsep panggilan dalam agama Protestan adalah untuk membuat urusan-urusan biasa dari kehidupan sehari-hari berada dalam pengaruh agama. Panggilan bagi seseorang adalah suatu usaha yang dilakukan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan, dengan cara perilaku yang bermoral dalam kehidupan sehari-hari. Panggilan adalah konsep agama tentang suatu tugas yang telah ditetapkan Tuhan, suatu tugas hidup, suatu lapangan yang jelas dimana seseorang harus bekerja. Ajat Sudrajat,”Ethika Protestan dan Kapitalisme Barat, Relevansinya dengan Islam Indonesia”,(Jakarta:Bumi Aksara,1994),hlm.1.

8 McClearly,” Rachel Religion and Economy”, Journal of Economic Perspective 20,2(2006), hlm 49-72.

9 Kurt Samuelson, Religion and Economic Action: A Critique of Max Weber. (New York;Harper Torch Books and Row Publication,1964),hl,.68-69.

10 Agama merupakan cara-cara yang sangat indah, yang telah dipergunakan secara bersama-sama oleh aneka umat manusia sejagat raya untuk meningkatkan pengetahuan dan cintanya yang mendalam kepada Tuhan. Baca Ajat Sudrajat ”Etika Protestan dan Kapitalisme Barat Relevansinya dengan Islam Indonesia”. (Jakarta:Bumi Aksara.1994).hlm.12.

11 Syah Nawab Haider Naqvi. ”Etika dan Ilmu Ekonomi: suatu Sintesa Islami” diterjemahkan oleh Husin Anis dan Asep Hidayat, (Bandung: Mizan,1985).hlm.11.

12 Diadaptasi oleh Weber dari Faust, Adegan I. Goethe yang menggambarkan Mephistopheles sebagai: ”die Kraft, die state das Bose will, und stets das Gute Schafft”-catatan terjemahan I.dalam Max Weber.”Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme”.(Pt.Pustaka Promethea,2003) cet.kedua 2003), hlm.253.

13 Carlo Antoni,” Pandangan Tentang Agama dan Kelas”, dalam Dennis Wrong. (Ed).” Max Weber Sebuah Khasanah” (Jogyakarta: Ikon Teralitera, 2003), hlm.210.

14 Patriarki digunakan untuk mendiskripsikan dominasi laki-laki atas perempuan, sebuah dominasi yang muncul dalam berbagai macam masyarakat serta untuk menjelaskan jenis pengorganisasian rumah tangga yang didalamnya laki-laki tertua akan mendominasi seluruh anggota rumah tangga, termasuk atas laki-laki yang lebih muda. Baca lebih lanjut, Nicholas Abercrombie,dkk “Kamus Sosiologi” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) hlm.406.

Page 66: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

108

15 Asniah.”Ambiguitas dalam implementasi Konfusianisme dalam Modernisasi di Korea

Selatan”. (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2006).hlm.45.

16 Calhoun.”Clasical Sosiologcal Theory”.(Massacusetts:Blackwell Published, 2002). hlm.43.

17 Michio Morishima.”Why Has Jepang Succeeded:Western Technology and the Japanse Ethos”.(Cambridge:Cambridge University Press,1982),hlm.56

18 Changkhwanyuen Preecha, ”Budhist Analysis of Capitalim”. The Chulalongkorn Journal of Budhist Studies 3,2 (2006). hlm.247-259.

19 Bryan S.Tuner.Relasi Agama & Teori Sosiologi Kontemporer:.Terj.”Inyiak Ridwan Muzir (yojakarta:IRCiSoD,2012), hlm.29.

20 BryanS.Turner. ”Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis Atas Tesa Sosiologi Weber”. Terj.”G A.Ticoalu (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1984).hlm.13-14.

21 Taufik Abdullah.”Islam dan Masyarakat”. (Jakarta:LP3ES,1996)

22 Ibid,10.

23 Ajat sudrajat.”Etika Protestan dan Kapitalisme Barat Relevansinya dengan Islam Indonesia”. Jakarta: Bumi Aksara, 1994).hlm.112.

24 Hans-Dieter Evers (ed). ”Modernixation in South-East Asia”.(London:Oxford University Press.1973),hlm.160.

25 Syed Nawab Haider Naqvi. ‟Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesa Islami”. terj. Husein Anis danase Hikmat.(Bandung:Mazan,1995).hlm.112-113.

26 Pierre Bourdieu lahir tahun 1930 di Bearn Perancis. Dia mempelajari filsafat di Ecole Normale Superiure di Paris sebelum memulai kerjanya di bidang antropologi dan sosiologi. Ia lalu menjabat Dekan Sosiologi di College de France yang prestisius dan menjadi Direktur Penelitian di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales en Sciences Sociales dan Direktur Centre de Sociologie Erupeene.

27 V.N Volosinov.”Marxisme and the Philosophy of Language, diterjemahkan oleh L.,Matejka dan I.R.Titunik (Cambridge, Mass:Harvard University Press,1996), hlm 49. Volosinov mempertentangkan „subjektivisme individualistik‟ dengan „objektivisme abstrak‟, bersesuaian secara umum dengan linguistik struktural.

28 Habitus sebagai gagasan, tidaklah diciptakan sendiri oleh Bourdieu, namun merupakan gagasan filosofis tradisional yang ia hidupkan kembali (Warquant,1998, Ritzer dan Goodman,2010:581). Dalam tradisi filsafat, habitus diartikan sebagai kebiasaan yang sering disebut dengan habitual yakni penampilan diri, yang menampak (appearance); tata pembawaan terkait dengan kondisi tipikal tubuh seperti, cara kita makan, berjalan, berbicara, dan bahkan dalam cara kita membuang ingus kita. Lihat,Bourdieu dalam Arizal Mutahir (2010),“Intelektuan Kolektif Pierre Bourdieu,Sebuah Gerakan untuk melawan Dominasi‟ hal.62. … mendefinisikan habitus adalah sistem yang tahan lama (durable) dan disposisi yang dapat berubah–ubah (transposable) menyangkut apa yang kita terima, nilai dan

Page 67: BAB DUA PERSPEKTIF TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/2/D_902012109_BAB II.pdf · perilaku orang tua Weber tersebut membawa dampak besar pada

Perspektif Teori

109

cara bertindak dalam dunia sosial atau pengalaman bersama yang dimiliki bersama oleh agen sebagai subyek meskipun agen mempunyai keunikan masing-masing.

29 Richard Jenkes.Pierre Bourdieu,(Routledge.New York,USA,1992).hlm.67.lihat juga Richard Harker,Cheleen Mahar,Chris Wilkes (ed).(Habitus X Modal) + Ranah = Praktik, Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, terjemahan Pipit Maizier, (Yogyakarta: Jalasutra. 2005).hlm.19

30 Haryatmoko, 2003. Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa.Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu, Basis No.11-12 Tahun ke 52, Nopember-Desember 2003, hlm.11.

31 Richard Harker,Cheleen Mahar, Chris Wilkes (ed).” (Habitus X Modal)+ranah= Praktik. Pengantar Paling Komprehensif kepada pemikiran Pierre Bourdieu”, terjemahan Pipit Maizier, (Jalasutra, Yogyakarta, 2005),hal. 46.

32 Ranah atau arena (field) adalah sebagai ruang yang terstruktur dengan kaidah-kaidah keberfungsiannya sendiri, yang terlepas dari kaidah politik dan kaidah ekonomi, Selanjutnya baca Pierre Bourdieu: Arena Produksi Kultural, Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Peterjemah Yudi Santoso. (Kreasi Wacana Offset, cet kedua,Agustus 2012),hal xvii-xviii.

33 Swartz, David. “Culture and Power:The Sociology of Pierre Bourdieu. (Chicago:University of Chicago.1997). pp.117.

34 Suma Riella Rusdiarti, ”Bahasa, Pertarungan dan Kekuasaan”, dalam Basis,Nomor 11-12.Tahun ke 52,Nov-Des 2003; hlm.33.

35 „is intrinsically defined by its tempo”, Baoudieu,1997.Outline of Theory of Practice, translated Richard Nice,Cambridge University Press,USA,hlm.8.

36 Struktur sosial di sini diterjemahkan sebagai: (i) seperangkat unit-unit sosial (posisi-posisi) yang mempunyai perbedaan tipe-tipe sumber daya yang bernilai; (ii) secara hirarkhis berhubungan relatif dengan pemilik otoritas (kontrol dan akses terhadap sumber daya); (iii) bagian tertentu atas aturan-aturan (rule) dan prosedur dalam memanfaatkan sumber daya; dan (iv) dipercaya kepada pelaku (agents) untuk bertindak berdasarkan aturan-aturan dan prosedur tersebut.Untuk selanjutnya baca, Nan Lin,Social Capital: A Theory of Structure and Action, (Cambridge University Press,Cambridge, UK.2001).hlm.23.

37 Kapital sosial adalah serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjadinya kerja sama di antara mereka. Diambil dari Fukuyama (The Great, 1999).

38 Tranformasi permanen merupakan kesadaran bahwa aspek-aspek sosial terus berkembang sebagai respons dari perubahan pada bidang-bidang lainnya, seperti ekonomi, budaya, politik, hukum, dan sebagainya.