bab 7
DESCRIPTION
isbdTRANSCRIPT
BAB VII
MANUSIA, SAINS, TEKNOLOGI DAN SENI
1. Pengertian sains, teknologi dan seni
Sains
Sains berasal dari bahasa latin Scire, artinya mengetahui dan belajar.
Kata sains diindonesiakan menjadi ilmu pengetahuan. Sains adalah pengetahuan
yang sistematis. Lebih jauh sains dapat dirumuskan sebagai himpunan
pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui suatu proses pengkajian dan
dapat diterima oleh ratio.
Dalam pemikiran barat, sains memiliki karakteristik yaitu, obyektif,
netral dan bebas nilai, sekalipun diakui berpijak dari system nilai, tetapi sains
bebas dari pertimbangan-pertimbangan nilai.1
Ilmu selalu tersusun dari pengetahuan yang teratur, yang diperoleh
dengan pangkal tumpuan (obyek) tertentu dengan sistematis, metodis, rasional,
logis, empiris, umum, dan akumulatif. Untuk membuktikan apakah isi
pengetahuan itu benar, perlu berpangkal pada teori-teori kebenaran pengetahuan.
Teori pertama bertitik tolak adanya hubungan dalil, dimana pengetahuan dianggap
benar apabila dalil (preposisi) itu mempunyai hubungan dengan preposisi yang
terdahulu. Kedua, pengetahuan itu benar apabila ada kesesuaian dengan
kenyataan. Teori ketiga menyatakan, bahwa pengetahuan itu benar apabila
mempunyai konsekwensi praktis dalam diri yang mempunyai pengetahuan itu.2
Pembentukan ilmu akan berhadapan dengan obyek yang merupakan
bahan dalam penelitian, meliputi obyek material sebagai bahan yang menjadi
tujuan penelitian bulat dan utuh, serta obyek formal, yaitu sudt pandang yang
mengarahkan kepada persoalan yang menjadi pusat perhatian. Langkah-langkah
dalam memperoleh ilmu dan objek ilmu meliputi rangkaian kegiatan dantindakan.
Dimulai dengan pengamatan, yaitu suatu kegiatan yang diarahkan kepada fakta
yang mendukung apa yang dipikirkan untuk sistemasi, kemudian menggolong-
golongkan dan membuktikan dengan cara berfikir analitis, sintesis, induktif, dan
128
deduktif. Yang terakhir ialah pengujian kesimpulan dengan menghadapkan fakta-
fakta sebagai upaya mencari berbagai hal yang merupakan pengingkaran.
Untuk mencapai suatu pengetahuan yang ilmiah dan obyektif diperlukan
sikap ilmiah yang meliputi empat hal :
1. Tidak ada perasaan yang bersifat pamrih sehingga mencapai
pengetahuan ilmiah yang obyektif
2. Selektif, artinya mengadakan pemilihan terhadap problema yang
dihadapi supaya didukung oleh fakta atau gejala, dan mengadakan
pemilihan terhadap hipotesis yang ada.
3. Kepercayaan yang layak terhadap kenyataan yang tidak dapat
diubah maupun terhadap alat indera dan budi yang digunakan mencapai
ilmu
4. Merasa pasti bahwa setiap pendapat, teori, maupun aksioma
terdahulu telah mencapai kepastian, namun masih terbuka untuk
dibuktikan kembali.3
Permasalahan ilmu pengetahuan meliputi arti sumber, kebenaran
pengatahuan, serta sikap ilmuwan itu sendiri sebagai dasar untuk langkah
selanjutnya. Ilmu pengetahuan itu sendiri mencakup ilmu pengetahuan alam, ilmu
pengetahuan sosial dan kemanusiaan, dan sebagai apa yang disebut generic
meliputi segala usaha penelitian dasar dan terapan serta pengembangannya.
Penelitian dasar bertujuan utama menambah pengetahuan ilmiah, sedangkan
penelitian terapan adalah untuk menerapkan secara praktis pengetahuan ilmiah.
Pengembangan diartikan sebagai penggunaan sistematis dari pengetahuan yang
diperoleh penelitian untuk keperluan produksi bahan-bahan, cipta rencana sistem
metode atau proses yang berguna, tetapi yang tidak mencakup produksi atau
engineeringnya.4
Bagi para sarjana studi sains (science studies), sains adalah produk
sosial. Dia diproduksi melalui mekanisme interaksi dan negosiasi yang terbentuk
dari suatu sistem sosial yang sarat dengan bentukan-bentukan imajinatif, seperti
nilai, makna, cara pandang, ideologi, dan kepercayaan. Memahami sains melalui
dimensi sosial secara epistemologis menarik sekaligus menantang. Menarik
129
karena sains adalah karya manusia, di mana manusia itu sendiri adalah spesies
yang tidak pernah lepas dari dunia sosial. Menantang karena pengetahuan ilmiah
selama ini dipahami sebagai hasil murni kemampuan logika manusia yang lepas
dari faktor sosial.
Generasi awal
Berkembangnya sains modern di Eropa yang dipicu oleh semangat
Enlightenment telah menjadi perhatian banyak pemikir sosial abad ke-19. Dalam
catatan Sal Restivo, sains telah menjadi salah satu kajian dalam karya Karl Marx.
Bagi Marx, tidak hanya material dan bahasa yang digunakan para saintis dalam
mengamati fenomena alam adalah produk sosial, keberadaan para saintis juga
merupakan suatu fenomena sosial. Beberapa kontribusi terpenting Marx dalam
studi sains antara lain pemahaman relasi antara praktik matematika dan sistem
produksi. Bagi Marx, sains adalah produk kaum borjuis. Karena itu, apa yang
dilakukan Marx dalam memahami sains berlanjut pada agenda politik untuk
melakukan perubahan fundamental dalam sains modern. Pada titik ini, dalam
analisis Restivo, Marx bersikap inkonsisten. Pada satu sisi dia mengkritik sains
sebagai alat eksploitasi kaum pemilik modal, tetapi di sisi lain dia mendukung
penggunaan sains bagi tujuan-tujuan politik kaum proletar.
Cikal bakal studi sains dibentuk oleh Emile Durkheim dan Max Weber.
Seperti Marx, keduanya memahami sains dari sudut pandang sosiologis. Bagi
Durkheim, konsep-konsep ilmiah yang dihasilkan dalam sains memiliki status
representasi dan elaborasi kolektif. Weber sendiri memberi perhatian serius pada
keterkaitan antara kapitalisme, Protestanisme, dan sains modern. Pemikiran
Weber dan Durkheim memberi jalan bagi terbentuknya sosiologi sains sebagai
suatu disiplin dalam tradisi akademik di Eropa Barat dan Amerika Utara.
Mertonian vs Kuhnian
Munculnya sosiologi sains sebagai suatu disiplin pada awal abad ke-20
banyak dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Robert Merton adalah sosok
sentral dalam bidang ini dan dapat disebut sebagai bapak sosiologi sains. Merton
menyelesaikan studinya di Harvard pada tahun 1934 dengan disertasi yang
menjadi buku berjudul The Sociology of Science. Buku ini menjelaskan relasi
130
antara sains dan institusi sosial di mana sains itu berada. Tesis Merton
mengatakan bahwa sains modern hanya dapat tumbuh dan berkembang dalam
kondisi sosiokultural tertentu.
Hingga dekade 1970-an, paradigma Mertonian mendominasi
perkembangan sosiologi sains. Gagasan besar dalam sosiologi sains Mertonian
dapat dirangkum dalam norma sains (norms of science) yang terdiri atas empat
nilai fundamental yang membentuk etos sains.
Pertama universalisme, yakni kepercayaan bahwa klaim kebenaran lepas
dari kriteria personal seperti ras, kebangsaan, atau agama. Kedua komunisme
(bukan dalam makna ideologi), yakni setiap penemuan dalam sains menjadi milik
bersama dalam komunitas sains tersebut. Ketiga ketiadaan kepentingan, yakni
pengetahuan bersifat bebas nilai dan kepentingan. Keempat skeptisisme yang
terorganisasi, yakni bahwa perkembangan pengetahuan muncul dari sikap skeptis
kolektif para saintis terhadap setiap pemahaman atas fenomena alam.
Sosiologi sains Mertonian berlandaskan pada satu asumsi bahwa sifat
dan perkembangan sains ditentukan oleh faktor sosial dan faktor imanen. Yang
dimaksud dengan faktor imanen adalah perkembangan logika dalam sains (inner
logic). Dari sini kita bisa melihat bahwa dalam sosiologi sains Mertonian,
pengetahuan ilmiah masih lepas dari analisis sosial. Belakangan norma sains
Mertonian mendapat kritik tajam karena keempat norma tersebut tidak lebih dari
representasi ideologi sains itu sendiri.
Pada tahun 1962, Thomas Kuhn, seorang fisikawan yang kemudian
berkarier sebagai sejarawan sains, menerbitkan The Structure of Scientific
Revolution. Lewat buku ini Kuhn melontarkan istilah paradigma yang mengacu
pada cara pandang kelompok ilmiah tertentu terhadap suatu fenomena. Walaupun
tidak memiliki latar belakang sosiologi, karya Kuhn memberi kontribusi penting
dalam sosiologi sains. Kuhn memberi penjelasan alternatif terhadap apa yang
dilakukan Merton selama beberapa dekade sebelumnya. Karena itu, paradigma
Kuhnian sering diasosiasikan sebagai anti-Mertonian.
Karya Kuhn menarik banyak orang karena dia menggunakan model
politik dalam menjelaskan perkembangan sains. Kuhn memakai istilah revolusi
131
untuk menggambarkan proses invensi dalam sains dan memberi penekanan serius
pada aspek wacana ilmiah. Bagi Kuhn, revolusi ilmiah dan revolusi politik
memiliki karakter yang sama. Keduanya terbentuk dari persepsi yang ada di
masyarakat bahwa institusi di mana mereka berada sudah tidak bekerja dengan
baik. Persepsi ini lalu menstimulus lahirnya krisis yang menuju pada revolusi
dengan tujuan perubahan institusional.
Orientasi anti-Mertonian bagaimanapun tidak menjadikan Kuhn
sepenuhnya bertolak belakang dengan Merton. Kuhn masih menerima penjelasan
Merton tentang norma sains. Walaupun telah memicu perubahan dalam
pemahaman sains, Kuhn sendiri tidak lepas dari kritikan. Studi empiris yang
dilakukan Sal Restivo dan Randal Collins tentang paradigma sains Kuhnian
menyimpulkan bahwa pola perubahan dalam sains secara substansial berbeda
dengan apa yang dilontarkan oleh Kuhn. Model Kuhnian juga dikritik karena
mengacu pada revolusi sistem politik modern yang semata-mata terjadi melalui
sirkulasi kaum elite.
Genre konstruktivisme
Jika Max Weber membuka jalan bagi terbentuknya disiplin sosiologi
sains, khususnya paradigma Mertonian, pemikiran Emile Durkheim tentang
representasi kolektif memberi inspirasi bagi gerakan sosiologi sains pasca-
Mertonian atau yang disebut sebagai the new sociology of science. Sosiologi sains
baru tidak hanya mengkaji aspek institusional dalam sains, tetapi masuk ke dalam
wilayah yang lebih dalam. Di sini pengetahuan ilmiah dijadikan obyek analisis
sosial, sesuatu yang tidak dilakukan oleh Merton dan para muridnya. Karena itu,
sosiologi sains baru sering diidentikkan dengan sosiologi pengetahuan ilmiah
(sociology of scientific knowledge).
Ciri kuat dari sosiologi sains baru adalah penggunaan kerangka
konstruktivisme. Konsep konstruktivisme sosial yang menjelaskan produksi
pengetahuan ilmiah pertama kali digunakan Ludwik Fleck dalam bukunya, The
Genesis and Development of a Scientific Fact. Buku ini pertama kali terbit pada
tahun 1935 dalam bahasa Jerman. Setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
132
pada tahun 1979, barulah pemikiran Fleck mendapat perhatian serius dari para
sarjana studi sains.
Fleck memperkenalkan konsep gaya berpikir (thought style) yang
menyerupai konsep representasi kolektif Durkheimian. Gaya berpikir mengacu
pada perilaku berpikir, asumsi kultural dan keilmuan, pendidikan dan pelatihan
profesional, serta minat dan kesempatan, yang mana kesemuanya membentuk
persepsi dan cara menghasilkan teori (theorizing).
Strong Programme adalah salah satu kubu studi sains yang kental
dengan pendekatan konstruktivisme. Tokoh sentral Strong Programme adalah
David Bloor. Bagi Bloor, sains tidaklah berkembang secara linier seperti yang
dipahami secara luas. Sains berkembang membentuk cabang-cabang yang
kompleks sesuai dengan heterogenitas dalam sistem sosial. Diterimanya suatu
konsep ilmiah sebagai paradigma tunggal dalam memahami suatu fenomena tidak
lain karena adanya faktor dan konteks sosial tertentu yang bekerja dalam proses
penerimaan itu. Karena itu, pengetahuan dalam sains dapat berbeda mengikuti
bentukan sosial.
Tokoh lain dalam gerakan sosiologi sains baru adalah Bruno Latour.
Latour adalah salah satu penggagas actor-network theory (ANT) yang
menjelaskan lahirnya suatu pengetahuan melalui relasi antara masyarakat
(konstruktivisme sosial) dan alam (realisme). Dalam ANT, sosiolog sains
memberikan perhatian tidak semata-mata pada manusia (actant), tapi juga pada
benda dan obyek (non-actant) secara simetris. Bersama Steve Woolgar, Latour
melakukan studi etnografi di laboratorium endocrinology Salk Institute.
Hasil studi ini menghasilkan Laboratory Life: The Social Construction
of Scientific Facts. Dalam buku ini Latour dan Woolgar mengungkap budaya
dalam laboratorium yang membentuk korespondensi antara kelompok peneliti
sebagai suatu jaringan dengan seperangkat kepercayaan, perilaku, pengetahuan
yang sistematis, eksperimen, dan keterampilan yang terkait satu sama lain secara
kompleks. Menurut Latour dan Woolgar, dalam suatu laboratorium, kegiatan
observasi bersifat lokal dan memiliki budaya spesifik.
133
Andrew Pickering patut disebut dalam khazanah sosiologi sains baru.
Dalam Constructing Quarks, Pickering yang memiliki latar belakang fisika teori
menjelaskan secara sosiologis lahirnya konsep quark. Bagi kalangan fisikawan,
quark lahir dari bukti empirik yang didapatkan melalui eksperimen. Eksperimen
itu sendiri dapat dipahami secara sempurna karena bekerja dalam suatu sistem
yang tertutup (closed system).
Permasalahannya, menurut Pickering, eksperimen bukanlah suatu sistem
yang tertutup. Dia sangat tergantung pada teori yang menjadi landasannya. Di lain
pihak, pemilihan teori sebagai raison d’etre suatu eksperimen tergantung dari
penilaian (judgment) para saintis. Pada titik inilah praktik sains dibangun melalui
tiga elemen yang saling mempengaruhi satu sama lain, yakni eksperimen, teori,
dan penilaian. Karena itu, menurut Pickering, realitas quark adalah hasil dari
praktik fisika partikel, bukan sebaliknya. Konsep quark lahir dari proses penilaian
dan pemilihan teori dan tidak muncul begitu saja dari serangkaian eksperimen.
Kerangka konstruktivisme dalam studi sains telah memicu konflik
intelektual antara para saintis dan para sarjana studi sains. Penjelasan
konstruktivisme sosial dianggap ancaman terhadap integritas, legitimasi, dan
otonomi sains. Konstruktivisme, yang sering diasosiasikan sebagai relativisme,
dianggap menafikan apa yang telah dicapai sains dalam memahami fenomena
alam. Tetapi, seperti yang dijelaskan oleh Restivo, para konstruktivis dalam studi
sains bukanlah antirealisme. Tidak sedikit dari mereka yang mempertahankan
metode dan cara pandang dalam sains. Sebagai contoh adalah Strong Programme
yang secara epistemologis menggabungkan metode sains dan sosiologi dalam
memahami sains sebagai konstruksi sosial. Hal ini diperkuat oleh pernyataan
Bloor sendiri bahwa hanya dengan metode sains, para sosiolog dapat memahami
sains. Kasus Latour juga tak kalah menarik. Dalam edisi kedua Laboratory Life,
kata social dalam subjudul dihilangkan. Tidak lama setelah itu tuduhan sebagai
"pengkhianat" konstruktivisme ditujukan kepada Latour. Belakangan Latour
sendiri menolak untuk disebut sebagai konstruktivis. Bagi Latour, sains adalah
media untuk memahami masyarakat, bukan sebaliknya.
Sains dan budaya
134
Memasuki dekade tahun 1990-an, studi sains menjadi lebih semarak
dengan bergabungnya para antropolog dalam tradisi intelektual ini. Selama lebih
dari satu dekade terakhir, para sarjana studi sains dari disiplin ini memberi
kontribusi dalam memahami bagaimana pengetahuan dalam sains diproduksi
melalui proses pemaknaan dan praktik budaya.
Pemahaman budaya dalam sains dijelaskan oleh Timothy Lenoir. Lenoir
berargumen bahwa pengetahuan adalah hasil interpretasi di mana obyek
pengetahuan dan pengamat (interpreter) tidak berdiri secara terpisah satu sama
lainnya. Aktivitas interpretasi adalah praktik budaya yang melibatkan faktor
kognitif dan faktor sosial yang saling berimplikasi satu sama lain. Kedua faktor
ini senantiasa melekat pada para pelaku produksi pengetahuan (saintis). Dengan
pemahaman sains sebagai praktik budaya, Lenoir menolak klaim Merton tentang
universalisme dan disinterestedness dalam sains karena pengetahuan selalu
bersifat lokal, parsial, dan dilandasi kepentingan.
Secara antropologis, sistem pengetahuan terbentuk dari upaya manusia
untuk bertahan hidup melalui pemahaman regularitas yang terjadi di alam. Sandra
Harding mengidentifikasi empat jenis elemen budaya yang membentuk inti
kognitif dari sistem pengetahuan. Pertama, karena alam tidak bersifat seragam
(uniformly organized), regularitas alam yang berbeda yang dialami oleh sistem
kebudayaan yang berbeda lokasi akan menghasilkan sistem pengetahuan yang
berbeda pula. Kedua, bentuk kepentingan sosial berbeda dalam setiap sistem
budaya. Karena itu, setiap sistem budaya menghasilkan perbedaan dalam pola
pengetahuan. Ketiga, sistem budaya membentuk wacana dalam proses produksi
pengetahuan yang selanjutnya mempengaruhi cara pandang dan pola intervensi
masyarakat dalam sistem budaya tersebut. Terakhir, bentuk-bentuk organisasi
sosial dalam penelitian ilmiah yang berbeda secara kultural akan mempengaruhi
isi dari sistem pengetahuan.
Catatan Harding di atas mengindikasikan bahwa sains dikonstruksi
melalui budaya. Artinya, wacana sistem pengetahuan tidak pernah lepas dari
konteks budaya di mana sistem pengetahuan tersebut berada. Studi Pamela
Asquith dapat dijadikan satu contoh menarik. Asquith melakukan studi komparasi
135
kultural dan intelektual antara primatologi Barat (Eropa dan Amerika) dan
primatologi Jepang. Asquith mencari heterogenitas dalam sains dengan
membandingkan cara pandang, bentuk pertanyaan, dan metode penelitian
primatologi di kedua sistem budaya tersebut. Dari studi ini, Asquith mengamati
satu hal yang menarik. Dalam pandangan Kristen yang mempengaruhi para
primatologis Barat, hanya manusia yang memiliki jiwa. Pandangan ini
"menghalangi" primatologis Barat untuk melihat kualitas mental yang membentuk
perilaku sosial primata yang kompleks. Sebaliknya, sistem kepercayaan
masyarakat Jepang mempercayai bahwa setiap hewan memiliki jiwa. Hal ini
membuat primatologis Jepang memberi perhatian serius pada atribut motivasi,
perasaan, dan personalitas yang ditunjukkan oleh hewan primata yang mereka
amati. Perbedaan sistem kepercayaan tentang posisi manusia di dunia ini
menjadikan pengetahuan yang dihasilkan oleh primatologis Barat berbeda dengan
rekan sejawatnya di Jepang. Primatologi Barat cenderung bersifat fisiologis,
sementara primatologi Jepang lebih bersifat sosiologis dan antropormorfis.
Perbedaan ini berdampak pada perbedaan pengetahuan yang dihasilkan dalam
kedua tradisi primatologi tersebut walaupun mereka mengamati obyek yang
sejenis.
Studi komparasi kultural juga dilakukan Sharon Traweek yang
membandingkan praktik fisika energi tinggi di Amerika Serikat dan Jepang. Jika
Asquith mencari pengaruh budaya terhadap bentuk pengetahuan, Traweek
mengamati bagaimana nilai budaya direpresentasikan melalui model organisasi
sains. Pada studi ini, Traweek melihat nilai individualisme dan persaingan yang
melandasi sistem organisasi riset Amerika. Adapun di Jepang, nilai-nilai
komunalisme dan kerja sama sangat dominan. Perbedaan dalam nilai budaya ini
terefleksi dalam banyak hal yang mencakup proses pembelajaran dan pengajaran,
organisasi laboratorium dan kelompok, gaya kepemimpinan, dan proses
pengambilan keputusan. Walaupun Traweek tidak menjelaskan apakah perbedaan
nilai budaya ini mempengaruhi pengetahuan yang dihasilkan, setidaknya studi
Traweek menunjukkan bahwa nilai budaya melekat erat pada sistem organisasi
ilmiah.
136
Jika Asquith dan Traweek mengamati praktik sains dalam dua sistem
budaya, Karen Knorr-Cetina membandingkan dua praktik sains modern, yaitu
fisika partikel dan biologi molekuler. Knorr-Cetina mengamati bagaimana
fragmentasi dan diversitas dalam sains modern membentuk dua budaya
pengetahuan (epistemic culture) yang berbeda dalam aspek cara mengetahui
(machineries of knowing). Dari hasil studinya selama beberapa tahun di
laboratorium-laboratorium di Eropa dan Amerika Utara, Knorr-Cetina
mengungkap perbedaan struktur simbolik dari kedua bidang ilmiah tersebut.
Struktur simbolik ini terepresentasi melalui cara pendefinisian entitas, sistem
klasifikasi, dan cara di mana strategi epistemik, prosedur empirik, dan strategi
sosial dipahami. Analisis ini menghasilkan pemahaman bahwa dalam proses
produksi pengetahuan, proses tanda, pengerjaan eksperimen, relasi antara waktu
dan ruang, dan relasi antara tubuh dan mesin secara kultural berbeda antara
praktik fisika partikel dan biologi molekuler. Melalui studi komparasi silang
disiplin ini, Knorr-Cetina mengatakan bahwa sains modern tidaklah menyatu
seperti yang diklaim kaum positivis.
Sains dan Studi Sains
Konsep dan teori yang dikembangkan dalam studi sains berangkat dari
pemahaman sains sebagai institusi sosial dan pengetahuan ilmiah sebagai produk
sosial. Melalui pemahaman ini, studi sains membuka suatu jendela baru di mana
kita bisa memandang perkembangan sains dari perspektif yang lebih luas. Dalam
perspektif ini, sains tidak lagi muncul sebagai suatu entitas yang integratif, rigid,
dan berkembang secara linier, melainkan bagai suatu tanaman bercabang-cabang
yang tumbuh di atas tanah sosial.
Pemahaman sains melalui dimensi sosial yang ditawarkan studi sains
berdampak pada demistifikasi sains secara institusional ataupun epistemologikal.
Ini merupakan implikasi politis yang tidak dapat dihindari. Ketergantungan
1 Zen MT., Sains, Teknologi, dan hari depan manusia, PT Gramedia, Jakarta, 19822 Soelaeman M Moenandar, IR, MS, Ilmu Sosial Dasar, Teori dan Konsep Ilmu Sosial, (Bandung, PT Eresco) 19953 Ibid, hal 1594 Bachtiar Rifai, Tb.H., “Ketahanan nasional dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi”, Berita LIPI No. 4, 1975
137
masyarakat kontemporer terhadap sains telah menempatkan sains pada posisi
sakral dan bersifat ideologis. Mistifikasi sains yang begitu kental dalam
masyarakat ini memungkinkan praktik hegemoni kekuasaan dan kepentingan
bersembunyi dengan rapi di balik jargon-jargon ilmiah. Tanpa menafikan apa
yang telah dihasilkan sains bagi umat manusia, studi sains memberi penyadaran
kepada diri kita bahwa sains adalah hasil karya manusia dalam berinteraksi
dengan alam. Sains bukanlah sekumpulan ayat-ayat suci yang turun dari langit.
Pengetahuan ilmiah adalah wujud kreativitas dan imajinasi manusia dalam
memahami ruang dan waktu di mana dia berada. Pemahaman dimensi sosial sains
dapat menjadi lensa untuk melihat bahwa pengetahuan tidaklah tunggal dan
monolitik. Kepercayaan bahwa hanya ada satu cara melihat alam justru melawan
hakikat manusia sebagai makhluk multikultural.
Lalu, apakah studi sains menawarkan relativisme? Donna Haraway
memberi jawaban menarik. Haraway menolak relativisme sekaligus universalisme
yang diklaim para saintis. Haraway berargumen bahwa obyektivitas dalam sains
tidaklah tunggal. Karena itu Haraway menawarkan praktik difraksi, di mana
obyektivitas dan realisme agensi dalam produksi pengetahuan memiliki posisi
yang sama pentingnya. Ini yang disebut Ron Eglash sebagai obyektivitas ganda
(multiple objectivity). Haraway mengajak kita untuk menggunakan domain
budaya lain dalam sains yang selama ini termarginalisasi oleh dominasi narasi
budaya Barat. Hawaray menginginkan adanya suatu budaya sains yang lebih
kompleks dan beragam tanpa harus menjadi antirealisme.
Selama beberapa dekade, studi sains telah memberi kontribusi pada
pemahaman yang lebih komprehensif tentang sains dan relasinya dengan
masyarakat. Lepas dari konflik antara para saintis dan sarjana studi sains dalam
episode Science Wars, apa yang dihasilkan dalam studi sains sedikit banyak telah
mempengaruhi perjalanan sains secara dinamis. Sebaliknya, sains pun telah
memberi banyak kontribusi bagi studi sains untuk tumbuh dan berkembang
sebagai suatu disiplin. Karena tanpa sains, studi sains tidak berarti apa-apa.5
5 Sulfikar Amir, Membuka Kotak Hitam Teknologi, [email protected]
138
Teknologi dan Seni
Istilah teknologi sebenarnya sudah mengandung sains dan teknik atau
engineering sebab produk teknologi tidak mungkin ada tanpa didasari sains.
Dalam sudut pandang budaya, teknologi merupakan salah satu unsur budaya
sebagai hasil penerapan praktis dari sains. Dalam kenyatannya teknologi tidak
bisa netral karena memerlukan sentuhan estetika yang bersifat subyektif, yang
disebut sebagai seni.
Secara konvensional, teknologi telah menjadi pusat perhatian ilmu sosial
dan melihat dampaknya terhadap masyarakat, atau secara lebih spesifik, atas
dampaknya pada tenaga kerja dan organisasi. Ini sejalan dengan pendapat
determinisme teknologi yang dihubungkan dengan beberapa bentuk Marxisme :
teknologi amiliki kapasitas untuk menentukan jalannya evolusi sejarah. Dalam
pandangan ini, yang seharusnya menjadi perhatian ilmu sosial adalah pengaruh
teknologi bagi masyarakat. Pandangan ini melahirkan pendapat bahwa evolusi
teknologi adalah sebuah proses dimana perkembangan-perkembangan baru
diilhami oleh penemuan (teknis) yang telah ada.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teknologi tidak terlepas dari
masyarakat, bahwa ‘masyarakat’ juga bisa mempengaruhi jalannya perkembangan
teknologi; dan bahwa tesis dari kelompok determinis dapat dijatuhkan oleh
banyak sekali contoh dimana efek teknologi yang menyimpang dari yang
dikehendaki semula, atau bahwa keseluruhan efek yang berbeda itu lahir dari
sebuah teknologi yang sama.6
Teknologi memperlihatkan fenomenanya dalam masyarakat sebagai hal
impersonal dan memiliki otonomi mengubah setiap bidang kehidupan manusia
mnejadi lingkup teknis. Jacques Ellul7 tidak menyebut teknologi, tetapi teknik,
meskipun arti dan maksudnya sama. Menurut Ellul istilah teknik digunakan tidak
hanya untuk mesin, teknologi, atau prosedur untuk memproleh hasilnya,
melainkan totalitas metode yang dicapai secara rasional dan mempunyai efisiensi
(untuk memberikan tingkat perkembangan) dalam setiap bidang aktifitas manusia.
6 MacKenzie, D, Inventing Accuracy : A Historical Sociology of Nuclear Missile Guidance, Cambridge, 19877 Ellul Jacques, The Tecnological Society, Terj John Wilkinson, New York, 1964
139
Batasan ini bukan bentuk teoritis, tetapi perolehan dari aktifitas masing-masing
dan observasi dari apa yang disebut manusia modern dengan perlengkapan
tekniknya. Jadi teknik menurut Ellul adalah berbagai usaha, metode, dan cara
untuk memperoleh hasil yang sudah distandarisasi dan diperhitungkan
sebelumnya.
Fenomena teknik pada masyarakat kini, menurut Sastrapratedja8 memiliki
cirri-ciri sebagai berikut :
- Rasionalitas, artinya tindakan spontan oleh teknik diubah menjadi
tindakan yang direncanakan dengan perhitungan rasional.
- Artificial, artinya selalu membuat sesuatu yang buatan, tidak alamiah
- Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan
dilaksanakan serba otomatis. Demikian pula dengan teknik mampu
mengeliminasi kegiatan non teknis menjadi kegiatan teknis.
- Teknik berkembang pada suatu kebudayaan
- Monisme, artinya semua teknik bersatu saling berinteraksi, dan saling
bergantung
- Universalisme, artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan
ediologi, bahkan dapat menguasai kebudayaan
- Otonomi, artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri.
2. Makna Sain, Teknologi, dan Seni Bagi Manusia
Sains dan teknologi saling membutuhkan, karena sains tanpa teknologi
bagai pohon tanpa buah, sedangkan teknologi tanpa sains bagaikan pohon tak
berakar. Sains hanya mengajarkan fakta dan non fakta pada manusia, ia tidak
mampu mengajarkan apa yang harus atau tidak boleh dilakukan oleh manusia.
Jadi fungsi sains hanya mengkoordinasikan semua pengalaman-pengalaman
manusia dan menempatkannya kedalam suatu system yang logis, sedangkan
fungsi seni memberi semacam persepsi mengenai suatu keberaturan dalam hidup
8 Sastrapratedja, Teknologi dan Akibatnya Pada Manusia, Ceramah di UI Jakarta 24 september 1980
140
dengan menempatkan suatu keberaturan padanya. Sedangkan tujuan sains dan
teknologi adalah untuk memudahkan manusia dalam menjalani kehidupannya.
Teknologi bagi Perkembangan Sosial dan Ekonomi
Pentingnya teknologi bagi perkembangan sosial dan ekonomi tidak
diragukan lagi. Namun upaya-upaya analitis dan pemahaman di bidang ini sangat
jauh tertinggal dibandingkan dengan bidang-bidang lain. Hal ini untuk sebagian
disebabkan kompleksitas proses perubahan teknologi serta kesulitan dalam
menemukan pengukuran dan definisi yang tepat.
Schumpeter, salah seorang ahli ekonomi terkemuka yang meletakkan
kemajuan teknologi dalam analisisnya, menekankan pentingnya produk-produk,
proses, dan bentuk-bentuk organisasi atau produksi baru- factor-faktor yang telah
terbukti berhubungan dengan perubahan besar dalam struktur ekonomi di negara-
negara maju sejak terjadimya revolusi industri. Munculnya industri-industri besar
seperti baja dan kereta api pada abad 19, mobil, bahan-bahan sintetis dan
elektronik pada abad 20, tergantung pada interaksi dari penemuan, inovasi, dan
aktivitas kewirausahaan, yang digambarkan dengan tepat oleh Freeman9 sebagai
sistem teknologi.
Sejak permulaan masa pasca resesi 1973, pemikiran bahwa teknologi
pasca kapitalis maju sedang menghadapi gelombang panjang periode bolak-balik
antara kemakmuran dan stagnasi, yang masing-masing menerjang bergantian
dalam waktu sekitar 50-60 tahun, telah diperbaharui. Beberapa komentar
mengatakan bahwa sistem teknologi baru adalahpenyebab utama terjadinya
gelombang naik, yang kemudian mulai menurun seiring dengan tercapainya
kematangan industri. Sementara ahli ekonomi lain mengatakan bahwa kemajuan
teknologi adalah sebuah konsekwensi, buka penyebabnya. Diluar literature,
sedang terjadi perdebatan mengenai arah dari kausalitas dari hubungan-hubungan
statistic yang diamatiantara pertumbuhan industri dan langkah inovasi teknis.
Pada level ekonomi makro, model pertumbuhan neoklasik tradisional
menganggap kemajuan teknologi sebagai bagian dari factor residu dalam
menerangkan peningkatan output, setelah mempertimbangkan efek-efek
9 Freeman, C. the Economics of Industrial Innovation, 2nd edn, London, 1982
141
perubahan dalam volume dari factor-faktor produksi. Residu ini biasanya besat
dan secara implisit mempersatukan factor-faktor seperti pendidikan dari angkatan
kerja dan keahlian manajemen yang memberi sumbangan bagi perbaikan efisiensi,
sebagai pelengkap dari kemajuan teknologi. Dalam pendekatan ini perubhan
teknologi benar-benar ‘dilepaskan’ yaitu dianggap tidak berkaitan dengan
variable-variabel ekonomi yang lain.
Aliran yang disebut model capital vintage, yang digunakan secara luas
pada awal 1970-an, menganggap kemajuan teknnologi paling tidak secara
sebagian ditambahkan dalam investasi tetap yang baru. Pabrik dan mesin-mesin
membawa perbaikan produktifitas dan hasil dari kemajuan teknologis tergantung
pada tingkat investasinya. Pendekatan yang terakhir inipun tidak melangkah
terlalu jauh dalam menangkap proses-proses dan kekuatan-kekuatan
dimanateknik-teknik baru diserap ke dalam sistem produksi. Model evolusioner
yang dipimpin oleh Nelson dan Winter berusaha menggali kondisi dimana
entrepreneur akan berusaha memakai teknik-teknik yang telah disempurnakan.
Tetapi pendekatan-pendekatan semacam ini baru memasuki masa awal
perkembangannya.
Perdebatan tentang bagaimana teknik-teknik baru ditemukan dan
dipakai biasanya terjadi pada level kajian kasus ekonomi mikro. Penemuan bisa
berupa produk baru atau penyempurnaan dari produk sebelumnya, atau sebuah
prosedur baru dalam pengolahan produk yang telah ada, yang punya kemungkinan
dianggap sebagai penemuan, yaitu, dipakainya ide itu untuk pertamakalinya
secara komersial. Dalam banyak kasus, penemuan ilmiah membuka jalan bagi
penemuan-penemuan lain yang, jika diyakini memiliki potensi per,imtaan pasar,
dipakai secara komersial ; pada abad 19 seorang innovator seringkali adalah
seorang independent, tetapi setelahnya penekanannya telah bergeser kea rah karya
ilmiah dan teknologi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar. Jika
sebuah penemuan sukses, lalu diikuti oleh periode penyebaran, dimana
perusahaan lain memakai atau memodifikasi inovasi tersebut dan memasarkan
produk atau prosesnya. Seringkali pada tahap inilah terjadi benturan ekonomi
yang dahsyat. Freeman menggambarkan proses ini dengan kasus plastic, dimana
142
karya riset ilmiah dasarnya di Jerman pada awal tahun 1920-an atas molekul-
molekul rantai panjang langsung menghasilkan polystyrene dan karet styrene, dan
secara tidak langsung atas penemuan sejumlah produk baru pada tahun 1930-an.
Penemuan-penemuan lebih lanjut dan penyebarannya secara besar-besaran ke
seluruh dunia terjadi setelah PD II, dengan dibantu oleh terjadinya pergeseran dari
batu bara ke minyak sebagai bahan baker industri. Pada tahun 1970-an industri
mulai mengalami kematangan dengan terjadinya penurunan permintaan dan laju
perkembangan teknologi.
Pengukuran kegiatan inovatif dan penemuan mengalami banyak
kesulitan. Ukuran-ukuran input mencakup pegawai yang dipekerjakan serta
pengeluaran financial, meskipun ada kesewenangan dalam mendefinisikan
perbatasan antara tindakan riset dan perkembangan. Ukuran-ukuran output dari
penemuan meliputi statistic paten, tetapi ini perlu ditafsirkan dengan hati-hati
mengingat adanya perbedaan dalam kecondongan untuk mematenkan antara
perusahaan-perusahaan, industri, negara, dengan persepsi yang berbeda tentang
amankan mereka dengan perlindungan paten, dan perbedaan dalam perundangan
paten nasional. Penggunaan sejumlah inovasi sebagai ukuran output biasanya
membutuhkan beberapa penaksiran dari nilai ‘penting’ relative dari inovasi itu
masing-masing. Meskipun terdapat keterbatasan, dengan menggunakan beberapa
indicator bisa dipakai sebagai landasan perbandingan antar industri atau antar
negara.
Selepas periode pasca perang, pemerintah semakin mengakui
pentingnya mencapai atau mempertahankan daya saing internasional atas
teknologi. Munculnya Jepang sebagai kekuatan ekonomi besar sebagian besar
disebabkan oleh kebijakan yang secara sadar berusaha mengimpor teknologi
modern asing serta menyempurnakannya di dalam negeri. Kebanyakan negara
memiliki cara yang berbeda dalam mendorong perusahaan-perusahaan untuk
mengembangkan dan mempergunakan teknologi baru, dan kebijakan untuk
melatih tenaga kerja dalam menggunkan teknik-teknik baru tersebut. Dalam
konteks ini perhatian diberikan terutama pada teknologi mikro elektronik dan
ketakutan bahwa teknologi ini bisa memperburuk permasalahan pengangguran
143
yang biasanya datang setelah ketakutan-ketakutan akan konsekwensi tertinggal
dalam bidang teknologi, di mata pemerintah dan juga di mata serikat
perdagangan.
Ramalan-ramalan tentang dampak teknologi baru sangat tidak dapat
dipercaya. Potensi penghematan biaya dari tenaga nuklir telah didramatisasi
seperti yang disinggung di atas, senetara potensi terpendam computer dulunya
sangat diremehkan. Apapun yang terjadi bisa dikatakan bahwa kemajuan
teknologi tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.10
Alvin Toffler11 mengumpamakan teknologi sebagai mesin yang besar
atau sebagai akselerator yang dahsyat dan ilmu pengetahuan sebagai bahan
bakarnya. Dengan meningkatnya ilmu pengetahuan secara kuantitatif dan
kualitatif, maka kian meningkat pula proses akselerasi yang ditimbulkan oleh
mesin pengubah, terlebih teknologi mampu menghasilkan teknologi yang lebih
banyak dan lebih baik lagi.
Luasnya berbagai bidang teknik digambarkan Ellul12 sebagai berikut :
1. teknik meliputi bidang ekonomi, artinya teknik mampu
menghasilkan barang-barang industri. Dengan teknik mampu
mengkonsentrasikan capital sehingga terjadi sentralisasi ekonomi. Bahkan
ilmu ekonomi sendiri terserap oleh teknik.
2. teknik meliputi bidang organisasional seperti administrasi,
pemerintahan, manajemen, hukum, dan militer. Contohnya dalam organisasi
negara, bagi seorang teknisi, negara hanyalah merupakan ruang lingkup
untuk aplikasi alat-alat yang dihasilkan teknik. Negara tidak sepenuhnya
bermakna sebagai ekspresi kehendak rakyat tetapi dianggap perusahaan
yang harus memberikan jasa dan dibuat berfungsi secara efisien.
3. teknik meliputi bidang manusiawi, seperti pendidikan, kerja,
olehraga, hiburan, dan obat-obatan. Teknik telah menguasai seluruh sector
kehidupan manusia. Manusia semakin harus beradaptasi dengan dunia
teknik dan tidak ada lagi unsur pribadi manusia yang bebas dari pengaruh
10 Clark, J.A, dalam Ensiklopedia Ilmu-ilmu Sosial, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 200011 Alvin Toffler, Future Shock, Bantam Books.,New York, 197112 ibid
144
teknik. Pada masyarakat teknologi, ada tendensi bahwa kemajuan adalah
suatu proses dehumanisasi secara perlahan-lahan sampai akhirnya manusia
takhluk pada teknik.
3. Manusia Sebagai Subyek dan Obyek Ipteks
Sumber ilmu adalah wahyu sedangkan akal merupakan instrument untuk
menggali dan membuktikan kebenaran wahyu. Dengan potensi akal, manusia
diberi kebebasan untuk memilih dan mengembangkan mana yang benar dan mana
yang salah. Dengan potensinya, manusia dapat menggali rahasia alam semesta,
yang hasil pengembangannya disebut sains, teknologi, dan seni.
Atas dasar itu ilmu ada yang bersifat abadi (perennial knowledge) yang
tingkat kebenarannya mutlak (absolute), karena bersumber dari Tuhan, dan ilmu
yang bersifat perolehan (aquired knowledge) yang tingkat kebenarannya bersifat
nisbi (relative) karena hanya penafsiran dan dugaan-dugaan sementara oleh
manusia.
Manusia diciptakan sebagai subyek dan obyek IPTEKS. Manusia satu-
satunya makhluk Tuhan yang mampu merangkaikan fenomena alam beserta
prosesnya secara kreatif, sehingga menjadi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
kemudahan dalam menjalani hidupnya.
Krisis Dunia Modern
Menurut E.F Schumacher13, dalam Kecil itu indah, dunia modern yang
dibentuk oleh teknologi menghadapi tiga krisis sekaligus. Pertama, sifat
kemanusiaan berontak terhadap pola-pola politik, organisasi, dan teknologi yang
tidak berperikemanusiaan, yang terasa menyesakkan nafas dan melemahkan
badan. Kedua, lingkungan hidup menderita dan menunjukkan tanda-tanda
setengah binasa. Ketiga, penggunaan sumber daya alam yang tidak dapat
dipulihkan, seperti bahan baker, fosil, sedemikian rupa sehingga akan terjadi
kekurangan sumber daya alam tersebut.
Fenomena Pengaruh IPTEK
13 Schumacher, Kecil itu Indah, terj LP3Es, Jakarta, 1979, hal 139
145
Manusia pada saat ini telah begitu jauh dipengaruhi oleh teknologi
muncul fenomena diantaranya :
1. Situasi tertekan.
Manusia mengalami ketegangan akibat penyerangan teknik-teknik
mekanisme teknik. Manusia melebur dengan mekanisme teknik, sehingga waktu
manusia dan pekerjaannya mengalami pergeseran. Peleburan manusia dengan
mekanisme teknik menuntut kualitas manusia, tetapi manusia itu sendiri tidak
hadir di dalamnya. Contoh pada sistem industri ban berjalan, buruh yang sakit,
atau keluarganya meninggal, tidak dapat begitu saja meninggalkan pekerjaannya,
karena akan membuat macet garis produksi dan upah bagi temannya. Keadaan
tertekan demikian akan menghilangkan nilai-nilai sosial dan tidak manusiawi lagi.
2. Perubahan ruang dan lingkungan manusia.
Teknik telah mengubah lingkungan dan hakekat manusia. Contoh yang
sederhana manusia dalam hal makan atau tidur tidak ditentukan lapar atau
mengantuk, tetapi diatur oleh jam. Alat-alat transportasi telah mengubah jarak dan
pola komunikasi manusia.lingkungan manusia menjadi terbatas, tidak
berhubungan dengan padang rumput, pantai, pohon-pohon atau gunung secara
langsung, yang ada hanyalah bangunan tinggi yang padat, sehingga sinar matahari
pagi hari tidak sempat lagi menyentuh kulit manusia.
3. Perubahan waktu dan gerak manusia
Akibat teknik manusia terlepas dari hakikat kehidupan. Sebelumnya
waktu diatur dan diukur sesuai dengan kebutuhan dan peristiwa-peristiwa dalam
hidup manusia, sifatnya alamiah dan kongkret. Tetapi sekarang waktu menjadi
abstrak dengan pembagian jam, menit, dan detik. Waktu hanya mempunyai
kuantitas belaka tidak ada nilai kualitas manusiawi atau sosial, sehingga irama
kehidupan harus tunduk pada waktu yang mekanistis dengan mengorbankan nilai
kualitas manusiawi dan sosial.
4. Terbentuknya masyarakat massa
Akibat teknik, manusia hanya membentuk masyarakat massa, artinya
ada kesenjangan sebagai masyarakat kolektif. Hal ini dibuktikan bila ada
perubahan norma dalam masyarakat maka akan muncul kegoncangan. Masyarakat
146
kita masih memegang nilai-nilai asli (primordial) seperti agama atau adat istiadat
secara ideologis, akan tetapi struktur masyarakat ataupun dunia norma pokoknya
tetap saja hukum ekonomi, politik atu persaingan kelas. Proses ekularisasi sedang
berjalan secara tidak disadari. Proses massafikasi yang melanda kita dewasa ini,
telah menghilangkan nilai-nilai hubungan sosial suatu komunitas. Padahal
individu membutuhkan hubungan sosial.terjadi neurosa obsesional atau gangguan
syaraf menurut beberapa ahli, sebagai akibat hilangnya nilai-nilai hubungan
sosial, yaitu kegagalan adaptasi dan penggantian relasi-relasi komunal dengan
relasi yang bersifat teknik. Struktur sosiologis missal dipaksakan oleh kekuatan-
kekuatan teknik dan kebijaksanaan ekonomi (produk industri), yang melampaui
kemampuan manusia.
5. Teknik-teknik manusiawi dalam arti ketat.
Teknik-teknik manusiawi harus memberikan kepada manusia suatu
kehidupan manusia yang sehat dan seimbang, bebas dari tekanan-tekanan. Teknik
harus menyelaraskan diri dengan kepentingan manusia bukan sebaliknya. Melalui
teknik bukan berarti menghilangkan kodrat manusia itu sendiri, tetapi poerlu
memanusiakan teknik. Kondisi sekarang sering manusia menjadi obyek teknik
dan harus selalu menyesuaikan diri dengan teknik.
4. Pembangunan dan Perkembangan Ipteks
Pengaruh IPTEK pada tatanan kehidupan masyarakat
Perkembangan IPTEK yang sedemikian pesatnya mampu menciptakan
perubahan-perubahan yang mempengaruhi langsung pada tatanan kehidupan
masyarakat, khususnya dalam empat bidang berikut :
a. perubahan dibidang intelektual, masyarakat meninggalkan
kebiasaan-kebiasaan lama atau kepercayaan-kepercayaan tradisional dan
mengambil kebiasaan dan kepercayaan baru, setidaknya melakukan
reaktualisasi
b. perubahan dalam organisasi-organisasi sosial yang
mengarah pada kehidupan politik
147
c. perubahan dan benturan-benturan terhadap tata nilai dan
tata lingkungannya
d. perubahan di bidang industri dan kemampuan di medan
perang.
Alvin Toffler14 menyatakan saat ini negara-negara teknologi maju telah
memasuki tahap superindustrialisme, melalui inovesi teknologi tiga tahap, yaitu
ide kreatif, penerapan praktisnya, dan difusi atau penyebarannya dalam
masyarakat. Ketiga tahap ini merupakan siklus yang menimbulkan bermacam-
macam ide kreatif baru sehingga merupakan reaksi berantai yang disebut proses
perubahan.
Dengan semakin meningkatnya teknologi, tempat proses perubahan itu
tidak dapat dipandang normal lagi, dan tercapailah akselerasi ekstern maupun
intern (psikologis) yang merupakan kekuatan sosial yang kurang mendalam
dipahami.
Accelerasi dan Trancience
Dalam hal akselerasi, apabila masa depan itu menyerbu masa kini
dengan kecepatan yang terlampau tinggi, maka masyarakat atas dapat mengidap
penyakit ‘progeria’, yakni tingkat menua yang lanjut sekalipun secara kronologis
usianya belum tua. Bagi masyarakat semacam itu, perubahan tersebut seolah-olah
tidak dapat dikendalikan lagi, kemudian dicari semacam kekebalan diplomatic
terhadap perubahan. Tak mustahil pula akan timbul future shock atau kejutan
masa depan, yaitu suatu penderitaan fisik dan atau mental yang timbul apabila
sistem adaptif fisik dari organisme manusia itu, beserta proses pembuat
keputusannya, terlampau banyak dilewati daya dukungannya.
Akselerasi perubahan secara drastic dapat mengubah mengalirkan
situasi. Dalam hal ini situasi dapat dianalisis menurut lima komponen dasar, yaitu
benda, tempat, menusia, organisasi, dan ide. Hubungan lima komponen itu,
ditambah dengan factor waktu, membentuk kerangka pengalaman sosial.
Toffler juga menyatakan ada kekuatan lain yang dapat mengubah wajah
dan eksistensi manusia selain akselerasi, yaitu transience (keadaan bersifat
14 Ibid
148
sementara). Transience merupakan alat kasar yang berguna dalam mengukur laju
mengalirnya situasi, dan menjembatani teori-teori sosiologis tentang perubahan
psikologi insasi perseorangan. Masyarakat menurut transience, dibagi kedalam
dua kelompok, high transience dan low transience. Eksplorasi mengenai
kehidupan masyarakat high transience menghasilkan :
1. Benda : hubungan “manusia-benda” tidak awet dan masyarakatnya
merupakan masyarakat pembuang. Bandingkan misalnya vulpen yang
bertinta yang permanent dengan ball point yang dibuang setelah habis.
2. tempat : hubungan “manusia-tempat” menjadi lebih sering, lebih
rapuh, dan lebih sementara, jarak fisik semakin tidak berarti, masyarakat
amat mobil dengan ‘nomad baru’. Secara kiasan tempat pun seolah-ilah
cepat terpakai habis, tidak berbeda dengan minuman atau makanan dalam
kaleng.
3. manusia, hubungan ‘manusia-manusia’ pun pada umumnya
menjadi sangat sementara dan coraknya fungsional. Kontak antar manusia
tidak menyagkut secara keseluruhan personalitas, melainkan bersifat
dangkal dan terbatas’ secara kiasan terdapat ‘orang yang dapat dibuang’.
4. organisasi, organisasi ada kecenderungan menjadi superbirokrasi di
masa depan. Manusia dapat kehilangan individualitasnya dan
personalitasnya dalam mesin organisasi yang besar, namun hakekat
sistemnya sendiri telah banyak mengalami perubahan. Hubungan
‘manusia-organisasi’ pun seolah-olah mengalir dan beraneka ragam,
menjadi sementara, baik hubungan formalnya maupun informalnya.
5. ide, hubungan ‘manusia-ide’ bersifat sementara karena ide dan
image timbul dan menghilang dengan lebih cepat. Gelombang demi
gelombang ide menyusupi hampir segala bidang aktifitas manusia.
Counter play normative
Untuk itu semua diperlukan counter play yang bersifat normative bagi
manusia. Tuhan, keadilan, dan perikemanusiaan, hendaklah mulai berfungsi
dalam situasi manusia yang kongkret, artinya jelas, langsung dapat dilihat,
menyangkut hal urgen, berpijak pada kenyataan. Demikian pula pandangan
149
terhadap teknologi harus menekankan pada keserasian antara teknologi dengan
kepentingan manusia dan integritas ekosistem. Hal ini dapat berlangsung dengan
cara :
- memberikan banyak alternative pilihan teknologi
- adanya interaksi yang serasi antara manusia, mesin-
mesin, dan biosfer agar ekosistem terpelihara.
- Teknologi harus baik secara termodinamis demi
tercapainya keseimbangan energi, ekonomi, dan ekologi.
- Teknologi harus menopang hidup manusia, bukan
sebaliknya.
IPTEK, Globalisasi dan Kemiskinan
Wajah Mendua Teknologi
Ketika teknologi belum dikenal dalam alam budaya tradisional, orang
hidup hanya kawatir akan resiko yang berasal dari alam (eksternal), seperti banjir,
gempa bumi, tsunami, yang disebut sebagai resiko alamiah. Namun ketika
teknologi menjadi bagian dari hidup manusia modern, ada resiko lain yang
muncul, yaitu, bobolnya rekening bank, hilangnya file karena virus, kecelakaan
mobil, pesawat, sampai meledaknya reactor nuklir. Giddens (1999) menyebutnya
sebagai manufactured risk, yaitu resiko yang melekat pada teknologi.15 Demikian
kompleksnya resiko ini, hingga kadang nampak alamiah seperti pemanasan global
yang kini diributkan, atau banjur dan tanah lonsor yang penyebabnya bukanlah
bencana alamiah semata.
Ketika teknologi mendorong menggelindingnya roda globalisasi, roda
itu melindas sisi-sisi yang lain. Satu sisi adalah manufactured risk, sisi lainnya
adalah keterasingan (alienasi) yang semakin besar antara manusia dengan
teknologi yang diciptakannya sendiri. artinya, walaupun bisa menggunakannya,
kita tidak kemudian berarti paham bagaimana sebenarnya teknologi itu brkrtja dan
15 Giddens, A (1999), Globalization : The Reith Lectures, London : BBC News Online. Versi Elektronik (April 2003)
150
apa dampak-dampaknya, baik langsung maupun tudak langsung, baik bagi
penggunanya maupun orang lain, juga bagi lingkungan.
Pada 19 Mei 1994, Calgene Inc., satu perusahaan bioteknologi modern,
diberi ijin oleh badan pengawas obat dan makanan AS (FDA) untuk memasarkan
sayuran jenis baru bernama Falvr Savr. Flavr Savr adalah tomat yang sudah
dimodifikasi secara genetic, sehingga menjadi lebih awet. Caranya dengan
‘membalik’ rengkaian rantai genetic sehingga tomat ‘diperintah’ untuk tetap awer.
Sayangnya gen yang dibalik ini tidak stabil. Untuk menstabilkan, disisipkanlah
satu gen bakteri. Itulah kenapa ia disebut ‘transgenik’ karena secara genetic, gen
yang dipunyai sudah melintasu gen tumbuhan. Fakta adanya gen bakteri dalam
tomat itu membuat tomat tidak bisa lagi sepenuhnya dikatakan ‘tumbuhan’, tetapi
jelas pula bahwa ia bukan ‘hewan’ atau ‘bakteri.
Donna Haraway (1997)16 mencatat tangga 19 Mei itu sebagai hari yang
akan mengubah perjalanan hidup ilmu pengetahuan dan masyarakat. Dia
menempatkan tomat transgenic dalam satu deret bersama nilon dan plutonium
yang terbukti sudah mengubah sejarah manusia dalam menggunakan bahan-bahan
sisntetis. Sesudah pakaian (nilon) dan barang produksi (plutonium), kini pangan
(tomat transgenic) yang disintetiskan.
Ada argument bahwa Bioteknologi mencakup budidaya selektif, hybrid,
hingga tumbuhan dan organisme yang dimodifikasi secara genetic. Kelebihannya
adalah bahwa prose situ memungkinkan produksi lebih tinggi, namun diharapkan
tetap akarab dengan lingkungan, penggunaan m,inim pestisida, pupuk kimia, dan
efek rumah kaca. Argument lainnya adalah penyelamatan keragaman hayati dan
percepatan proses evolusi tumbuhan lewat seleksi karakteristik gen yang baik dan
dominant.
Tentu saja hal positif ini hanyalah separuh dari cerita karena ada hal lain
yang tidak bisa diabaikan. Pertama, pertanian modern yang bersifat monokultural
sangat rawan terhadap masalah lingkungan. Keanekaragaman hayati treancam
hilang. Demikian juga dengan bahaya kerusakan dan pencemaran tanah, ait, dan
16 Haraway, D, (19970, Modest_Witness@Second_Millenium.FemaleMan©_Meets_OncoMouse™: Feminism & Technoscience, London: Roedledge.
151
udara. Ekosistem menjadi lebih rentan pada hama dan penyalut. Muncullan efek
domino manufactured risk yang makin hari makin bertambah panjang proses
genetisasi memang mencakup lokalisasi mutasi gen, tetapi tetap tak terelakkan
proses perpindahan dan bahkan mutasi gen antar tumbuhan transgenic
Kedua, perkembangan bioteknologi ini sebagian besar didominasi oloeh
perusahaan besar multinasional seperti halnya industri software. Perusahaan-
perusahaan ini mendominasi pasar dan tentu busa dipahami jika mereka
membangun visi global di industri pertanian dan pangan. Para pakar bioetika
boleh saja terus mempertanyakan klaim alamiah vs non alamiah dari tumbuh-
tumbuhan sejenis Flavr Savr dan bahkan binatang yang dikloning.
Bioteknologi pada ujungnya memang mengubah pertanian dari ‘proses
produksi untuk konsumsi’ menjadi ‘produksi untuk perdagangan’. Untuk itulah
dibutuhkan tomat dan sayuran lain yang awet, dibutuhkan ayam potong yang lebih
besar, sapi perah yang menghasilkan susu lebih banyak, juga tanaman dan ternak
yang lebih cepat menghasilkan panenan. Untuk tujuan-tujuan itulah Fukuyama17
menyebut bahwa bioteknologi nampaknya lebih mengabdi kepada kepentingan
dagang daripada sains.
Teknologi informasi.
Sosiolog ternama Anthony Giddens18 pernah berujar ‘……..teknologi
komunikasi elektronik yang serba segera ini bukan sekedar alat untuk
menyampaikan berita dan informasi secara cepat. Ia mengubah selueuh hidup kita
sampai yang sekecil-kecilnya.’
Globalisasi serta perkembangan Iptek yang luar biasa telah membuat
dunia serba terbuka. Namun hanya yang siap yang bisa meraih kesempatan.
Singapura yang tidak memiliki kekayaan sumber daya alam misalnya, telah sejak
lama memilih mengembangkan sumber daya manusia dan bidang jasa. Salah
satunya lewat sistem pendidikan yang tidak hanya dwibahasa, tapi juga
dwikultural sejak SD. Mereka sadar betul, dalam dunia datar dimana manusia
17 Fukuyama, F, Our Posthuman Future : Consequences of thr Biotechnology Revolution, London : Profil Book, 2002.18 Giddens, A. (1999), Globalization: The Reith Lectures, London : BBC News Online. Versi Elektronik (April 2003( bisa diakses di http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week1/week1.htm
152
sedemikian mudah bermigrasi yang diperlukan adalah manusia yang bisa
mengelola, memimpin, sekaligus mudah beradaptasi dalam budaya berbeda.
Contoh lain adalah India yang sudah lama menguasai pangsa pasar
sumberdaya di bidang teknologi informasi, dan Filipina dibidang akuntansi.
Bandingkan dengan Indonesia yang sampai sekarang hanya mampu mengirim
sumberdaya manusia tingkat pembantu dan buruh.
Disamping persiapan sumber daya manusia, Hollywood melalui
film-film futuristiknya juga berulangkali menggambarkan kondisi masa depan
dimana robotpun bisa berperasaan dan berpikiran independent. Demikian pula
Michael Chricton yang terkenal dengan fiksi ilmiahnya, membuat novel berjudul
Prey (2002) tentang sisi lain kemajuan teknologi nano. Kelalaian menjalankan
prosedur operasional di laboratorium ternyata mengubah teknologi yang dipuja
menjadi bencana.
Teknologi nano
Teknologi nano sebenarnya merujuk pada suatu materi yang berukuran -
9 meter atau satu dibagi semiliar meter. Ibaratnya sehelai rambut ukuran materi
nano dibayangkan sebagai rambut yang dibelah 50.000. dengan kemampuan
manusia merekayasa materi sekecil itu tentu saja banyak sekali dampak
perubahannya.
Tahun 2006-1008, misalnya dikembangkan superchip yang bila
dipasang pada ban atau kulkas, sehingga ban yang kurang angin atau kulkas yang
terlalu penuh akan memberi tanda. Kehadiran kawat nano juga membuat
computer makin kecil, makin hemat energi, namun dengan kemampuan 10 – 100
kali lipat sekarang. Tahun 2013 -2019 teknik pengobatan akan berubah total d
berkat teknologi nano dalam wujud biologi molekuler. Tahun 2030 berbagai
penyakit bisa disembuhkan sehingga hidup manusi diasumsikan kian sejahtera.
Teknologi nano pula yang telah mempengaruhi empat ilmu pengetahuan
dan teknologi yang disebut Joseph F Coates, John B Mahaffie, dan Andy Hines
dalam bukunya 2025 : Scenarios of US and Global Society Reshaped by Science
and Tecnology yang diterbitkan Oakhill Press (1996) sebagai kunci pendorong
153
perubahan sampai 2025. keempatnya adalah teknologi informasi, material,
genetika dan energi.
Ditengah gegap gempita perkembangan inilah bangsa Indonesia harus
siap berkompetisi. Meski kondisinya terngah terpuruk saat ini, namun perjalanan
sejarah menunjukkan masih ada jalan terang. Kamboja misalnya, tahun 1200
termasuk negara terkaya. Demikian juga Peru dan Meksiko yang sangat
mencengangkan pada tahun 1500, atau Lebanon yang makmur pada tahun 1960-
1n. sebaliknya Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura yang dulu miskin kini
menjadi negara kaya yang mempengaruhi dunia. Mengapa?
Jawabannya pengelolaan sumber daya manusia. Kamboja, Peru,
Meksiko, dan Lebanon mengabaikan sumber daya manusia, sedangkan Jepang,
Amerika dan Singapura terus mengembangkannya.
Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia pula yang kini
ditempuh Taiwan, Irlandia dan China. Begitu Taiwan berupaya menghapus buta
sains dan membebaskan ujian masuk universitas, massa kritikal yang
berpendidikan berkembang pesat. Irlandia dalam waktu kurang dari satu generasi
berhasil menjadi negara kaya di Eropa. Caranya dengan menggratiskan sekolah
menengah awal 1960-an sehingga anak-anak kelas bawah bisa mengakses
pendidikan dan kemudian menggratiskan pendidikan tinggi sejak tahun 2996.
Kini sembilan dari sepuluh perusahaan farmasi terbesar dunia memiliki pabrik
disana, juga 16 dari 20 industri peralatan medis dan 7 dari 10 perusahaan piranti
lunak.
China pada tahun 1980-an menyeleksi mahasiswa-mahasiswanya yang
berbakat fisika. Mereka dikirim keluar negeri melalui program yang dipelopori
oleh Tsung Dao Lee, peraih nobel Fisika dari China. Dalam waktu hamper 10
tahun sudah 915 mahasiswa dikirim untuk program doctor, lalu membangun
sistem pendidikan dan riset begitu pulang ke negaranya. Disamping fisikan negara
ini juga mengirim ribuan mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu ke berbagai
negara.
Fenomena di Indonesia
154
Dengan standar pengajaran yang masih buruk karena kurangnya
pelatihan, rendahnya gaji guru, dan terutama rendahnya pemahaman untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia, Indonesia sebenarnya pantas
bersyukur karena msih saja ditemukan manusia unggulan. Tim olimpiade fisika
Indonesia misalnya, dalam kurun waktu 12 tahun telah mengirim 70 siswa
yangberasal dari berbagai daerah. Dari jumlah itu sudah diperoleh 22 medali
emas, 11 perak dan 34 perunggu.
Para pemenang olimpiade ini sekarang tersebar diberbagai perguruan
tinggi terbaik dunia dan menunjukkan prestasi luar biasa. Ada yang PhD pada usia
23 tahun, lulus S1 pada usia 16 tahun, dan menjadi professor usia 25 tahun.
Semua itu menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi sumber daya manusia
yng tinggi.
Sayang sekali potensi yang baik ini belum dieksplorasi dengan baik.
Padahal, bila jumlah penduduk Indonesia diasumsikan 250 juta, akan ada 12,5 juta
(5% dari populasi) yang memiliki IQ superior diatas 120. mereka ini berpotensi
menjadi manajer atau professor. Selain itu seharusnya masih ada 250.000 (0,1%)
yang ber-IQ diatas 150 sehingga berpotensi menjadi pemimpin besar sekaliber
Abraham Lincohn dan Thomas Jefferson, serta 25.000 (0,01 %) yang ber-IQ
diatas 160 sekelas Albert Einstein.
Masalahnya, bagaimana mencari dan mengasah mereka?
Yang pertama, perlu sistem seleksi yang ketat namun transparan dan
terorganisasi baik sehingga anak-anak yang berbakat dapat diidentifikasi sedini
mungkin. Pencarian anak berbakat juga bisa dilakukan dengan memperbanyak
kegiatan lomba sain dan matematika. Mereka yang menang ditampung di pusat-
pusat pelatihan khusus sehingga kemampuannya makin terasah.
Kedua, menyiapkan sekolah unggulan dengan guru-guru yang kompeten
dan kurikulum yang mengoptimalkan kemampuan anak. Semua ini untuk
mengarahkan mereka menjadi pemimpin di berbagi bidang. Ketiga, mengirim
siswa-siswa unggul keluar negeri. Indonesia bisa mencontoh Kazakhtan yang tiap
tahun mengirim 3000 siswanya keluar negeri. Merekalah yang 10-20 tahun lagi
diharapkan membangun negaranya setelah pulang.
155
Keempat , memperbaiki kesejahteraan guru dan memberi kesempatan
belajar seluas-luasnya sehingga bisa mendoromg anak-anak pintar memilih
profesi guru. Di Taiwan misalnya, menjadi guru sangat diminati karena gaji guru
yang bekerja hingga pukul 15.00 sama dengan insinyur yang bekerja hingga pukul
21.00.
Kelima menterjemahkan berbagai buku ilmiah popular, menyebarkan
hingga ke pelosok, dan menjualnya dengan harga sangat murah. Karena hnya
dengan buku yang baik para siswa dapat mengoptimalkan kemampuannya.
5. Dampak Penyalahgunaan Ipteks Bagi Kehidupan
Konsekwensi negative yang tidak diharapkan dari pembangunan ilmu
pengetahuan dan teknologi menghasilkan reaksi romantis yang mengajak kembali
kea lam yang berbeda. Sebuah restorasi atas kemurnian alam yang tidak
terkontaminasi dan teralienasi oleh intervensi manusia. Semua sikap terhadap ala
mini mewakili pola dominasi hirarkis dan penaklukan, dominasi melalui
pemilikan dan control, ataupun melalui pencemaran nama baik, eksploitasi serta
identitas dengan memelihara alam sebagai surga untuk banyak orang.19
Kemajuan teknologi serta dampaknya pada pembangunan dan ekspansi
ekonomi telah mengubah kehidupan dan pikiran manusia, pergerakan sosial telah
menggeser tata hierarkhi organis, rahim bumi, dan sumber daya yang dimiliki
bersama menjadi dasar untuk ekonomi pasar yang intensif.
Reduksionisme
Ilmu pengetahuan yang modern memiliki dasar pijakan pada
reduksionisme.20 Reduksionisme merupakan suatu keyakinan dalam ilmu
pengetahuan yang mereduksi kemampuan manusia yang menolak kemungkinan
adanya cara produksi pengetahuan lain maupun pengetahuan orang lain. Paham
ini dasar ontologinya adalah homogenitas, bertentangan dengan paham pluralitas
atau dialektika.
19 Margaret Farley, “Feminist Theology and Bioethics” dalam Loades, Ann, Feminist Theology : A Reader (London : SPCK&W/JKP,1990) hal 246.20 Vandana Shiva, Bebas Dari Pembangunan (Jakarta : YOI & KONPHALINDO, 1997), hal 6
156
Ilmu pengetahuan modern yang dimitoskan sebagai universal, bebas
nilai, dan obyektif pada dasarnya sangat berakar pada budaya barat dan sangat
patriarkhis. Yang menjadi persoalan adalah bahwa pengetahuan dibangun
berdasarkan kesenjangan natara yang tahu (spesialis) dengan yang awam(bukan
spesialis). Reduksionis menghendaki adanya keseragaman dalam hal pendekatan,
yaitu hanya ada satu cara dan tidak mentolerir yang lain. Reduksionis mencabut
kemampuan alam dan potensi manusia serta menggantinya dengan teknologi.
Rekayasa Teknologi
Penerapan IPTEK dalam rekayasa pertanian berupa revolusi hijau,
rekayasa kelautan berupa revolusi biru, industrialisasi, merupakan bukti
kemampuan manusia dalam mengembangkan daya dukung lingkungan alam.
Tetapi disisi lain hal ini juga menimbulkan dampak negative berupa kerusakan
ekosistem, ketidakseimbangan lingkungan bahkan pencemaran yang akhirnya
menjadi bencana bagi umat manusia.
Disamping itu imbas dibidang sosial berupa semakin melebarnya
kesenjangan sosial. Orang kaya yang menguasai IPTEK akan semakin kaya dan si
miskin yang tidak mampu menguasai IPTEK akan semakin terpuruk dan menjadi
korban penindasan kelompok yang kaya. Ini terjadi bukan hanya dalam konteks
suatu Negara, tapi di percaturan dunia, Negara yang tidak menguasai IPTEK akan
terus dieksploitasi oleh Negara-negara maju, diambil SDA-nya, juga tenaga
kerjanya yang murah, selanjutnya dijadikan pasar hasil industri oleh mereka.
Relasi antara manusia dan teknologi tidaklah sesederhana mengatakan
bahwa teknologi adalah media untuk mengubah manusia. Manusia tidak pernah
bersikap pasif terhadap teknologi. Respons imajinatif senantiasa mewarnai
interaksi timbal balik antara manusia dan teknologi, sebuah interaksi yang selalu
melibatkan dimensi sosial, politik, dan kultural. Pada titik inilah relasi antara
manusia dan teknologi menjadi diskursus menarik sekaligus penting. Menarik
karena kompleksitasnya. Penting karena teknologi selalu menjadi bagian dari
setiap episode sejarah manusia.
157
Dilema determinisme.
Bagi para praktisi teknologi, fungsi teknologi tidak perlu dipertanyakan
lagi. Teknologi diciptakan untuk membantu mengatasi keterbatasan fisik manusia.
Dia berperan sebagai media untuk mencapai kepuasaan material. Teknologi
dibentuk oleh parameter efisiensi dan efektivitas sedemikian rupa untuk mencapai
suatu tujuan tertentu. Pemahaman demikian berangkat dari asumsi bahwa
teknologi modern muncul dari rasionalitas dan kemampuan logika manusia dalam
mengadopsi prinsip-prinsip pengetahuan ilmiah sains ke dalam artifak teknologis.
Pandangan instrumentalis di atas mungkin bisa diterima dalam tingkat
pragmatis, tapi tidak dalam tingkat filosofis karena pandangan ini tidak cukup
untuk menjelaskan makna dan implikasi teknologi bagi manusia. Lebih penting
lagi, pandangan instrumentalis memiliki kecenderungan untuk mendewakan
teknologi dan meletakkannya sebagai faktor penentu dalam perubahan sosial dan
simbol kemajuan peradaban manusia. Sikap ini melahirkan pandangan
determinisme teknologi yang bersifat ideologis. Determinisme teknologi dalam
pandangan instrumentalis ini mesti dicermati karena dia menafikan aspek moral
dan etika dalam relasi antara manusia dan teknologi.
Determinisme teknologi itu sendiri bukan hal yang baru. Dalam catatan
Merritt Roe Smith, paham determinisme teknologi telah muncul sejak awal
revolusi industri. Gagasan ini memikat para pemikir era Pencerahan dan semakin
tumbuh subur di budaya masyarakat Amerika Utara di mana semangat kemajuan
melekat dengan kuat. Determinisme teknologi berangkat dari satu asumsi bahwa
teknologi adalah kekuatan kunci dalam mengatur masyarakat. Dalam paham ini
struktur sosial dianggap sebagai kondisi yang terbentuk oleh materialitas
teknologi. Paham ini begitu dominan dalam masyarakat kontemporer, termasuk
dalam lingkungan akademik.
Selama tiga dekade terakhir, para sarjana studi sosial teknologi telah
memberi respons kritis terhadap paham determinisme teknologi. Dalam analisis
Andrew Feenberg, setidaknya dua premis dalam determinisme teknologi yang
bermasalah. Pertama adalah asumsi bahwa teknologi berkembang secara unilinear
dari konfigurasi sederhana ke yang lebih kompleks. Kedua adalah asumsi bahwa
158
masyarakat harus tunduk kepada perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia
teknologi. Kedua premis tersebut sulit diterima karena pola-pola teknologi itu
sendiri banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial, kultural, dan politik di mana
teknologi itu berada.
Kritik terhadap determinisme teknologi merupakan respons terhadap
implikasi politis ideologis yang dihasilkan oleh paham ini. Ini terjadi karena
determinisme teknologi cenderung memaksakan suatu bentuk universalitas
struktur institusional teknologi ke dalam masyarakat. Universalisasi institutional
ini menjadi media hegemoni modernitas. Seperti yang diwaspadai oleh Rosalind
Williams, determinisme teknologi memungkinkan motivasi politis, ekonomi, dan
ideologis para pemilik modal masuk ke dalam sistem teknologi dan mengurangi
otoritas masyarakat dalam memilih arah teknologi. Bagi David Noble,
determinisme teknologi tidak hanya memberi penjelasan yang tidak akurat tentang
relasi antara manusia dan teknologi, tetapi juga terlalu menyederhanakan dan
bahkan mematikan makna dalam kehidupan manusia. Menurut Noble, pada satu
sisi determinisme teknologi menawarkan janji-janji modernitas, tetapi di sisi lain
memaksakan suatu bentuk fatalisme.
Fenomenologi teknologi
Bagaimanakah relasi antara manusia dan teknologi terjadi?
Fenomenologi adalah kendaraan untuk mencari jawabannya. Studi fenomenologi
teknologi mengeksplorasi pengalaman manusia dan secara spesifik menjelaskan
bagaimana struktur pengalaman yang bersifat multidimensi tersebut tersusun.
Setidaknya itu yang dilakukan Don Ihde untuk memahami relasi antara manusia
dan teknologi secara komprehensif.
Berangkat dari eksistensialisme Heideggerian, Ihde mengembangkan
"ontologi relativistis" untuk memahami keberadaan manusia dalam wilayah
teknologi. Ontologi relativistis bukan relativisme, melainkan lebih sebagai media
untuk menganalisis relasionalitas antara manusia yang mengalami (human
experiencer) dan wilayah yang dialami (the field of experience). Analisis
relasionalitas ini dilakukan melalui dua kategori persepsi, yakni persepsi mikro
yang bersifat indrawi dan persepsi makro yang bersifat kultural atau hermeneutik.
159
Bagi Ihde, kedua jenis persepsi ini saling terikat satu sama lain. Persepsi mikro
tidak pernah lepas dari konteks persepsi makro. Sebaliknya, persepsi makro tidak
akan pernah ada tanpa dorongan persepsi mikro.
Melalui fenomenologi persepsi ini, Ihde menawarkan konsep
multistabilitas untuk menggali lebih dalam ke wilayah kompleksitas budaya
teknologi. Konsep multistabilitas menekankan bahwa relasi antara manusia dan
teknologi tidak tunggal. Relasi ini dapat muncul dalam berbagai bentuk walaupun
dengan artefak teknologi yang sama. Multistabilitas meletakkan teknologi tidak
dalam satu posisi hermeneutik, tapi dalam berbagai titik relasi dengan manusia.
Karena itu, teknologi bersifat multi-interpretatif tergantung pada konteks kultural
di mana dia berada. Dengan kata lain, makna sebuah artefak teknologi akan selalu
berubah sesuai dengan masyarakat yang memaknainya.
Bentukan sosial teknologi
Prinsip-prinsip dalam fenomenologi teknologi tidak menjadi barang
eksklusif dalam studi filsafat. Jika kita menilik secara saksama, fenomenologi
menjadi dasar metodologi studi sosial teknologi, khususnya sosiologi teknologi
dalam memahami relasi antara teknologi dan masyarakat. Bagi para sosiolog
teknologi, teknologi merupakan cermin dari proses imbal-balik yang kompleks
yang terjadi di masyarakat. Dalam perspektif ini, berhasil atau gagalnya teknologi
bukanlah hal yang penting karena pada dasarnya teknologi adalah hasil sebuah
kompromi. Proses-proses sosial yang membentuk teknologi adalah refleksi dari
cara kita hidup dan mengatur masyarakat.
Kekuasaan dalam konfigurasi
Relasi kekuasaan dan teknologi adalah sebuah tema besar dalam studi
sosial teknologi. Setidaknya tiga kasus menarik bisa kita amati dalam domain ini
untuk melihat bagaimana kekuasaan dan teknologi saling bereproduksi satu sama
lain.
Kasus pertama adalah analisis Langdon Winner tentang jembatan di
Long Island, New York, yang ditulis dalam artikelnya Do Artifacts Have Politics?
Di sepanjang jalan bebas hambatan di Long Island terdapat sekitar puluhan
jembatan penyeberangan. Selintas tidak ada hal yang istimewa dari jembatan-
160
jembatan tersebut. Tetapi, jika diamati dengan saksama, proporsi jembatan
tersebut tidaklah "normal". Tinggi jembatan tersebut hanya sekitar 2,7 meter
sehingga hanya mobil sedan yang dapat lewat di bawahnya.
Menurut Winner, keganjilan desain tersebut bukanlah karena alasan-
alasan teknis, misalnya efisiensi material atau efektivitas sistem konstruksi.
Jembatan-jembatan tersebut di desain dan dibangun dengan konfigurasi demikian
untuk menghasilkan suatu dampak sosial tertentu. Ini dilakukan dengan sengaja
oleh pendesainnya, yakni Robert Moses, seorang tokoh sentral dalam
pembangunan kota New York di awal abad ke-20.
Dari investigasinya, Winner menemukan suatu agenda rasialis dan
diskriminatif di balik desain jembatan Long Island. Jembatan-jembatan tersebut
dibangun sesuai dengan spesifikasi yang diberikan oleh Moses untuk menghalangi
masuknya bis ke wilayah tersebut. Hal ini untuk membatasi akses kaum kelas
bawah kulit hitam dan hispanik yang biasanya menggunakan bis umum menuju ke
Jones Beach, sebuah pantai cantik berpasir putih di sebelah timur Long Island.
Secara materialistis, jembatan Long Island, adalah artefak yang terdiri
dari elemen-elemen yang netral. Namun, ketika elemen-elemen ini membentuk
suatu konfigurasi, dengan serta-merta netralitas tersebut sirna. Dengan konfigurasi
tertentu, artefak teknologi berubah menjadi media hegemoni, dominasi, dan
kontrol untuk memenuhi kepentingan sang pencipta konfigurasi tersebut. Dari
perspektif ini kita bisa melihat tiga artefak di atas sebagai refleksi dari relasi
manusia dan teknologi melalui kekuasaan yang meliputi tiga tujuan. Pada kasus
jembatan Long Island, teknologi berfungsi sebagai media praktik kekuasaan. Pada
kasus mesin kontrol numerik, teknologi menjadi alat untuk melanggengkan
kekuasaan. Adapun pada kasus penjara Panopticon, teknologi berfungsi untuk
memproduksi kekuasaan.
Budaya dan teknologi
Kekuasaan tidak lahir dari kondisi vakum. Dia muncul dari suatu
konsteks budaya tertentu sehingga kekuasaan selalu bersifat kontekstual dan lokal.
Karena itu, seperti yang dikatakan Bryan Pfaffenberger, penjelasan praktik
kekuasaan dalam teknologi tidak akan pernah memuaskan jika kesadaran tentang
161
sistem budaya diabaikan. Pfaffenberger berargumen bahwa fungsi politis dari
suatu teknologi baru dapat tercapai jika teknologi tersebut dibungkus dalam mitos
dan ritual dan menjadi alat kontrol produksi dan resepsi makna.
Argumen Pfaffenberger didukung oleh David Hess melalui konsep
relasi kekuasaan dan budaya. Hess menggunakan konsep ini untuk memahami
kompleksitas operasi kekuasaan di masyarakat. Menurut Hess, tanpa adanya
perspektif budaya, analisis kekuasaan akan menjadi tumpul dan hanya hanya
terfokus pada sejumlah kategori sosial yang terbatas. Hasilnya adalah pengamatan
dimensi kekuasaan yang sempit.
Mendekati kekuasaan melalui budaya dalam teknologi mengantarkan
kita ke konsep konstruksi budaya. Konstruksi budaya tersusun melalui proses
interpretasi-reinterpretasi dan produksi-reproduksi simbol, identitas, dan makna di
dalam masyarakat. Aliran dari keluaran proses ini lalu ditransformasikan ke dalam
artefak teknologi.
Dalam kerangka konstruksi budaya ini, pengembangan teknologi
menyerupai apa yang disebut Claude Levi-Strauss sebagai bricolage. Bricolage
adalah aktivitas penggabungan elemen-elemen yang ada untuk memenuhi suatu
tuntutan lingkungan. Menurut Hess, teknologi modern tidak berbeda jauh dengan
prinsip bricolage di mana interpretasi budaya membentuk versi teknologi di
masyarakat. Dalam pola ini, seorang praktisi teknologi adalah seorang bricoleur.
Dia menghasilkan suatu teknologi baru melalui rekonstruksi elemen-elemen yang
sudah ada untuk dibentuk menjadi suatu teknologi "baru" dalam konteks budaya
di mana dia berada. Dalam kata lain, orisinalitas teknologi ditentukan oleh konsep
makna yang digunakan.
Pada tingkat praksis, konsep konstruksi budaya dalam teknologi tidak
hanya untuk memahami lebih mendalam bagaimana teknologi berinteraksi dengan
makna, ritual, dan nilai. Oleh Linda Layne, konstruksi budaya dapat dijadikan
"tool" untuk membuat teknologi lebih manusiawi dan dapat diterima dengan baik
di masyarakat. Di sini Layne menawarkan apa yang dia sebut sebagai "cultural
fix" di mana nilai-nilai budaya di adopsi ke dalam konfigurasi teknologi. Hal ini
dapat dilakukan melalui pemahaman makna dalam masyarakat untuk
162
mengidentifikasi kesenjangan antara teknologi dan masyarakat dan mencari
solusinya.
Kompleksitas teknologi modern telah melampaui batas dimensi indrawi
manusia dalam mencerna. Kondisi ini membentuk sikap "taken for granted"
dalam masyarakat kontemporer terhadap teknologi, suatu sikap yang menerima
teknologi dengan mata tertutup. Tragisnya, sikap ini secara perlahan menggali
jurang dalam yang dapat menjebloskan manusia ke dalam bencana kemanusiaan.
Namun demikian, kita tidak perlu menjadi paranoid dan bersikap
antiteknologi. Alasan untuk menolak sikap ini jelas karena manusia tidak akan
pernah lepas dari teknologi. Yang dibutuhkan adalah suatu tingkat pemahaman
teknologi yang lebih mendalam. Pada tingkat ini, teknologi tidak lagi dilihat pada
aspek materialitasnya yang sering bersifat ilusif melainkan sebagai suatu bentuk
upaya penyingkapan daya yang tersembunyi di alam seperti yang dilontarkan
Martin Heidegger. Penyingkapan ini bagai pedang bermata dua. Dia
mengantarkan manusia kepada bentuk "kebenaran" tentang potensi-potensi yang
tersembunyi di alam. Di sisi lain dia memancing nafsu dan keserakahan manusia
untuk terus melakukan dominasi dan kontrol terhadap alam21.
21 Sulfikar Amir, Menjelajahi Sains Lewat Dunia Sosial, [email protected]
163