bab 7

59
BAB VII MANUSIA, SAINS, TEKNOLOGI DAN SENI 1. Pengertian sains, teknologi dan seni Sains Sains berasal dari bahasa latin Scire, artinya mengetahui dan belajar. Kata sains diindonesiakan menjadi ilmu pengetahuan. Sains adalah pengetahuan yang sistematis. Lebih jauh sains dapat dirumuskan sebagai himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui suatu proses pengkajian dan dapat diterima oleh ratio. Dalam pemikiran barat, sains memiliki karakteristik yaitu, obyektif, netral dan bebas nilai, sekalipun diakui berpijak dari system nilai, tetapi sains bebas dari pertimbangan-pertimbangan nilai. 1 Ilmu selalu tersusun dari pengetahuan yang teratur, yang diperoleh dengan pangkal tumpuan (obyek) tertentu dengan sistematis, metodis, rasional, logis, empiris, umum, dan akumulatif. Untuk membuktikan apakah isi pengetahuan itu benar, perlu berpangkal pada teori-teori kebenaran pengetahuan. Teori pertama bertitik tolak adanya hubungan dalil, dimana pengetahuan dianggap benar apabila dalil (preposisi) itu mempunyai hubungan dengan preposisi yang terdahulu. Kedua, pengetahuan itu benar apabila ada kesesuaian dengan kenyataan. Teori ketiga menyatakan, bahwa 128

Upload: elsa-lorensa-ii

Post on 13-Jul-2016

11 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

isbd

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 7

BAB VII

MANUSIA, SAINS, TEKNOLOGI DAN SENI

1. Pengertian sains, teknologi dan seni

Sains

Sains berasal dari bahasa latin Scire, artinya mengetahui dan belajar.

Kata sains diindonesiakan menjadi ilmu pengetahuan. Sains adalah pengetahuan

yang sistematis. Lebih jauh sains dapat dirumuskan sebagai himpunan

pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui suatu proses pengkajian dan

dapat diterima oleh ratio.

Dalam pemikiran barat, sains memiliki karakteristik yaitu, obyektif,

netral dan bebas nilai, sekalipun diakui berpijak dari system nilai, tetapi sains

bebas dari pertimbangan-pertimbangan nilai.1

Ilmu selalu tersusun dari pengetahuan yang teratur, yang diperoleh

dengan pangkal tumpuan (obyek) tertentu dengan sistematis, metodis, rasional,

logis, empiris, umum, dan akumulatif. Untuk membuktikan apakah isi

pengetahuan itu benar, perlu berpangkal pada teori-teori kebenaran pengetahuan.

Teori pertama bertitik tolak adanya hubungan dalil, dimana pengetahuan dianggap

benar apabila dalil (preposisi) itu mempunyai hubungan dengan preposisi yang

terdahulu. Kedua, pengetahuan itu benar apabila ada kesesuaian dengan

kenyataan. Teori ketiga menyatakan, bahwa pengetahuan itu benar apabila

mempunyai konsekwensi praktis dalam diri yang mempunyai pengetahuan itu.2

Pembentukan ilmu akan berhadapan dengan obyek yang merupakan

bahan dalam penelitian, meliputi obyek material sebagai bahan yang menjadi

tujuan penelitian bulat dan utuh, serta obyek formal, yaitu sudt pandang yang

mengarahkan kepada persoalan yang menjadi pusat perhatian. Langkah-langkah

dalam memperoleh ilmu dan objek ilmu meliputi rangkaian kegiatan dantindakan.

Dimulai dengan pengamatan, yaitu suatu kegiatan yang diarahkan kepada fakta

yang mendukung apa yang dipikirkan untuk sistemasi, kemudian menggolong-

golongkan dan membuktikan dengan cara berfikir analitis, sintesis, induktif, dan

128

Page 2: BAB 7

deduktif. Yang terakhir ialah pengujian kesimpulan dengan menghadapkan fakta-

fakta sebagai upaya mencari berbagai hal yang merupakan pengingkaran.

Untuk mencapai suatu pengetahuan yang ilmiah dan obyektif diperlukan

sikap ilmiah yang meliputi empat hal :

1. Tidak ada perasaan yang bersifat pamrih sehingga mencapai

pengetahuan ilmiah yang obyektif

2. Selektif, artinya mengadakan pemilihan terhadap problema yang

dihadapi supaya didukung oleh fakta atau gejala, dan mengadakan

pemilihan terhadap hipotesis yang ada.

3. Kepercayaan yang layak terhadap kenyataan yang tidak dapat

diubah maupun terhadap alat indera dan budi yang digunakan mencapai

ilmu

4. Merasa pasti bahwa setiap pendapat, teori, maupun aksioma

terdahulu telah mencapai kepastian, namun masih terbuka untuk

dibuktikan kembali.3

Permasalahan ilmu pengetahuan meliputi arti sumber, kebenaran

pengatahuan, serta sikap ilmuwan itu sendiri sebagai dasar untuk langkah

selanjutnya. Ilmu pengetahuan itu sendiri mencakup ilmu pengetahuan alam, ilmu

pengetahuan sosial dan kemanusiaan, dan sebagai apa yang disebut generic

meliputi segala usaha penelitian dasar dan terapan serta pengembangannya.

Penelitian dasar bertujuan utama menambah pengetahuan ilmiah, sedangkan

penelitian terapan adalah untuk menerapkan secara praktis pengetahuan ilmiah.

Pengembangan diartikan sebagai penggunaan sistematis dari pengetahuan yang

diperoleh penelitian untuk keperluan produksi bahan-bahan, cipta rencana sistem

metode atau proses yang berguna, tetapi yang tidak mencakup produksi atau

engineeringnya.4

Bagi para sarjana studi sains (science studies), sains adalah produk

sosial. Dia diproduksi melalui mekanisme interaksi dan negosiasi yang terbentuk

dari suatu sistem sosial yang sarat dengan bentukan-bentukan imajinatif, seperti

nilai, makna, cara pandang, ideologi, dan kepercayaan. Memahami sains melalui

dimensi sosial secara epistemologis menarik sekaligus menantang. Menarik

129

Page 3: BAB 7

karena sains adalah karya manusia, di mana manusia itu sendiri adalah spesies

yang tidak pernah lepas dari dunia sosial. Menantang karena pengetahuan ilmiah

selama ini dipahami sebagai hasil murni kemampuan logika manusia yang lepas

dari faktor sosial.

Generasi awal

Berkembangnya sains modern di Eropa yang dipicu oleh semangat

Enlightenment telah menjadi perhatian banyak pemikir sosial abad ke-19. Dalam

catatan Sal Restivo, sains telah menjadi salah satu kajian dalam karya Karl Marx.

Bagi Marx, tidak hanya material dan bahasa yang digunakan para saintis dalam

mengamati fenomena alam adalah produk sosial, keberadaan para saintis juga

merupakan suatu fenomena sosial. Beberapa kontribusi terpenting Marx dalam

studi sains antara lain pemahaman relasi antara praktik matematika dan sistem

produksi. Bagi Marx, sains adalah produk kaum borjuis. Karena itu, apa yang

dilakukan Marx dalam memahami sains berlanjut pada agenda politik untuk

melakukan perubahan fundamental dalam sains modern. Pada titik ini, dalam

analisis Restivo, Marx bersikap inkonsisten. Pada satu sisi dia mengkritik sains

sebagai alat eksploitasi kaum pemilik modal, tetapi di sisi lain dia mendukung

penggunaan sains bagi tujuan-tujuan politik kaum proletar.

Cikal bakal studi sains dibentuk oleh Emile Durkheim dan Max Weber.

Seperti Marx, keduanya memahami sains dari sudut pandang sosiologis. Bagi

Durkheim, konsep-konsep ilmiah yang dihasilkan dalam sains memiliki status

representasi dan elaborasi kolektif. Weber sendiri memberi perhatian serius pada

keterkaitan antara kapitalisme, Protestanisme, dan sains modern. Pemikiran

Weber dan Durkheim memberi jalan bagi terbentuknya sosiologi sains sebagai

suatu disiplin dalam tradisi akademik di Eropa Barat dan Amerika Utara.

Mertonian vs Kuhnian

Munculnya sosiologi sains sebagai suatu disiplin pada awal abad ke-20

banyak dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Robert Merton adalah sosok

sentral dalam bidang ini dan dapat disebut sebagai bapak sosiologi sains. Merton

menyelesaikan studinya di Harvard pada tahun 1934 dengan disertasi yang

menjadi buku berjudul The Sociology of Science. Buku ini menjelaskan relasi

130

Page 4: BAB 7

antara sains dan institusi sosial di mana sains itu berada. Tesis Merton

mengatakan bahwa sains modern hanya dapat tumbuh dan berkembang dalam

kondisi sosiokultural tertentu.

Hingga dekade 1970-an, paradigma Mertonian mendominasi

perkembangan sosiologi sains. Gagasan besar dalam sosiologi sains Mertonian

dapat dirangkum dalam norma sains (norms of science) yang terdiri atas empat

nilai fundamental yang membentuk etos sains.

Pertama universalisme, yakni kepercayaan bahwa klaim kebenaran lepas

dari kriteria personal seperti ras, kebangsaan, atau agama. Kedua komunisme

(bukan dalam makna ideologi), yakni setiap penemuan dalam sains menjadi milik

bersama dalam komunitas sains tersebut. Ketiga ketiadaan kepentingan, yakni

pengetahuan bersifat bebas nilai dan kepentingan. Keempat skeptisisme yang

terorganisasi, yakni bahwa perkembangan pengetahuan muncul dari sikap skeptis

kolektif para saintis terhadap setiap pemahaman atas fenomena alam.

Sosiologi sains Mertonian berlandaskan pada satu asumsi bahwa sifat

dan perkembangan sains ditentukan oleh faktor sosial dan faktor imanen. Yang

dimaksud dengan faktor imanen adalah perkembangan logika dalam sains (inner

logic). Dari sini kita bisa melihat bahwa dalam sosiologi sains Mertonian,

pengetahuan ilmiah masih lepas dari analisis sosial. Belakangan norma sains

Mertonian mendapat kritik tajam karena keempat norma tersebut tidak lebih dari

representasi ideologi sains itu sendiri.

Pada tahun 1962, Thomas Kuhn, seorang fisikawan yang kemudian

berkarier sebagai sejarawan sains, menerbitkan The Structure of Scientific

Revolution. Lewat buku ini Kuhn melontarkan istilah paradigma yang mengacu

pada cara pandang kelompok ilmiah tertentu terhadap suatu fenomena. Walaupun

tidak memiliki latar belakang sosiologi, karya Kuhn memberi kontribusi penting

dalam sosiologi sains. Kuhn memberi penjelasan alternatif terhadap apa yang

dilakukan Merton selama beberapa dekade sebelumnya. Karena itu, paradigma

Kuhnian sering diasosiasikan sebagai anti-Mertonian.

Karya Kuhn menarik banyak orang karena dia menggunakan model

politik dalam menjelaskan perkembangan sains. Kuhn memakai istilah revolusi

131

Page 5: BAB 7

untuk menggambarkan proses invensi dalam sains dan memberi penekanan serius

pada aspek wacana ilmiah. Bagi Kuhn, revolusi ilmiah dan revolusi politik

memiliki karakter yang sama. Keduanya terbentuk dari persepsi yang ada di

masyarakat bahwa institusi di mana mereka berada sudah tidak bekerja dengan

baik. Persepsi ini lalu menstimulus lahirnya krisis yang menuju pada revolusi

dengan tujuan perubahan institusional.

Orientasi anti-Mertonian bagaimanapun tidak menjadikan Kuhn

sepenuhnya bertolak belakang dengan Merton. Kuhn masih menerima penjelasan

Merton tentang norma sains. Walaupun telah memicu perubahan dalam

pemahaman sains, Kuhn sendiri tidak lepas dari kritikan. Studi empiris yang

dilakukan Sal Restivo dan Randal Collins tentang paradigma sains Kuhnian

menyimpulkan bahwa pola perubahan dalam sains secara substansial berbeda

dengan apa yang dilontarkan oleh Kuhn. Model Kuhnian juga dikritik karena

mengacu pada revolusi sistem politik modern yang semata-mata terjadi melalui

sirkulasi kaum elite.

Genre konstruktivisme

Jika Max Weber membuka jalan bagi terbentuknya disiplin sosiologi

sains, khususnya paradigma Mertonian, pemikiran Emile Durkheim tentang

representasi kolektif memberi inspirasi bagi gerakan sosiologi sains pasca-

Mertonian atau yang disebut sebagai the new sociology of science. Sosiologi sains

baru tidak hanya mengkaji aspek institusional dalam sains, tetapi masuk ke dalam

wilayah yang lebih dalam. Di sini pengetahuan ilmiah dijadikan obyek analisis

sosial, sesuatu yang tidak dilakukan oleh Merton dan para muridnya. Karena itu,

sosiologi sains baru sering diidentikkan dengan sosiologi pengetahuan ilmiah

(sociology of scientific knowledge).

Ciri kuat dari sosiologi sains baru adalah penggunaan kerangka

konstruktivisme. Konsep konstruktivisme sosial yang menjelaskan produksi

pengetahuan ilmiah pertama kali digunakan Ludwik Fleck dalam bukunya, The

Genesis and Development of a Scientific Fact. Buku ini pertama kali terbit pada

tahun 1935 dalam bahasa Jerman. Setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris

132

Page 6: BAB 7

pada tahun 1979, barulah pemikiran Fleck mendapat perhatian serius dari para

sarjana studi sains.

Fleck memperkenalkan konsep gaya berpikir (thought style) yang

menyerupai konsep representasi kolektif Durkheimian. Gaya berpikir mengacu

pada perilaku berpikir, asumsi kultural dan keilmuan, pendidikan dan pelatihan

profesional, serta minat dan kesempatan, yang mana kesemuanya membentuk

persepsi dan cara menghasilkan teori (theorizing).

Strong Programme adalah salah satu kubu studi sains yang kental

dengan pendekatan konstruktivisme. Tokoh sentral Strong Programme adalah

David Bloor. Bagi Bloor, sains tidaklah berkembang secara linier seperti yang

dipahami secara luas. Sains berkembang membentuk cabang-cabang yang

kompleks sesuai dengan heterogenitas dalam sistem sosial. Diterimanya suatu

konsep ilmiah sebagai paradigma tunggal dalam memahami suatu fenomena tidak

lain karena adanya faktor dan konteks sosial tertentu yang bekerja dalam proses

penerimaan itu. Karena itu, pengetahuan dalam sains dapat berbeda mengikuti

bentukan sosial.

Tokoh lain dalam gerakan sosiologi sains baru adalah Bruno Latour.

Latour adalah salah satu penggagas actor-network theory (ANT) yang

menjelaskan lahirnya suatu pengetahuan melalui relasi antara masyarakat

(konstruktivisme sosial) dan alam (realisme). Dalam ANT, sosiolog sains

memberikan perhatian tidak semata-mata pada manusia (actant), tapi juga pada

benda dan obyek (non-actant) secara simetris. Bersama Steve Woolgar, Latour

melakukan studi etnografi di laboratorium endocrinology Salk Institute.

Hasil studi ini menghasilkan Laboratory Life: The Social Construction

of Scientific Facts. Dalam buku ini Latour dan Woolgar mengungkap budaya

dalam laboratorium yang membentuk korespondensi antara kelompok peneliti

sebagai suatu jaringan dengan seperangkat kepercayaan, perilaku, pengetahuan

yang sistematis, eksperimen, dan keterampilan yang terkait satu sama lain secara

kompleks. Menurut Latour dan Woolgar, dalam suatu laboratorium, kegiatan

observasi bersifat lokal dan memiliki budaya spesifik.

133

Page 7: BAB 7

Andrew Pickering patut disebut dalam khazanah sosiologi sains baru.

Dalam Constructing Quarks, Pickering yang memiliki latar belakang fisika teori

menjelaskan secara sosiologis lahirnya konsep quark. Bagi kalangan fisikawan,

quark lahir dari bukti empirik yang didapatkan melalui eksperimen. Eksperimen

itu sendiri dapat dipahami secara sempurna karena bekerja dalam suatu sistem

yang tertutup (closed system).

Permasalahannya, menurut Pickering, eksperimen bukanlah suatu sistem

yang tertutup. Dia sangat tergantung pada teori yang menjadi landasannya. Di lain

pihak, pemilihan teori sebagai raison d’etre suatu eksperimen tergantung dari

penilaian (judgment) para saintis. Pada titik inilah praktik sains dibangun melalui

tiga elemen yang saling mempengaruhi satu sama lain, yakni eksperimen, teori,

dan penilaian. Karena itu, menurut Pickering, realitas quark adalah hasil dari

praktik fisika partikel, bukan sebaliknya. Konsep quark lahir dari proses penilaian

dan pemilihan teori dan tidak muncul begitu saja dari serangkaian eksperimen.

Kerangka konstruktivisme dalam studi sains telah memicu konflik

intelektual antara para saintis dan para sarjana studi sains. Penjelasan

konstruktivisme sosial dianggap ancaman terhadap integritas, legitimasi, dan

otonomi sains. Konstruktivisme, yang sering diasosiasikan sebagai relativisme,

dianggap menafikan apa yang telah dicapai sains dalam memahami fenomena

alam. Tetapi, seperti yang dijelaskan oleh Restivo, para konstruktivis dalam studi

sains bukanlah antirealisme. Tidak sedikit dari mereka yang mempertahankan

metode dan cara pandang dalam sains. Sebagai contoh adalah Strong Programme

yang secara epistemologis menggabungkan metode sains dan sosiologi dalam

memahami sains sebagai konstruksi sosial. Hal ini diperkuat oleh pernyataan

Bloor sendiri bahwa hanya dengan metode sains, para sosiolog dapat memahami

sains. Kasus Latour juga tak kalah menarik. Dalam edisi kedua Laboratory Life,

kata social dalam subjudul dihilangkan. Tidak lama setelah itu tuduhan sebagai

"pengkhianat" konstruktivisme ditujukan kepada Latour. Belakangan Latour

sendiri menolak untuk disebut sebagai konstruktivis. Bagi Latour, sains adalah

media untuk memahami masyarakat, bukan sebaliknya.

Sains dan budaya

134

Page 8: BAB 7

Memasuki dekade tahun 1990-an, studi sains menjadi lebih semarak

dengan bergabungnya para antropolog dalam tradisi intelektual ini. Selama lebih

dari satu dekade terakhir, para sarjana studi sains dari disiplin ini memberi

kontribusi dalam memahami bagaimana pengetahuan dalam sains diproduksi

melalui proses pemaknaan dan praktik budaya.

Pemahaman budaya dalam sains dijelaskan oleh Timothy Lenoir. Lenoir

berargumen bahwa pengetahuan adalah hasil interpretasi di mana obyek

pengetahuan dan pengamat (interpreter) tidak berdiri secara terpisah satu sama

lainnya. Aktivitas interpretasi adalah praktik budaya yang melibatkan faktor

kognitif dan faktor sosial yang saling berimplikasi satu sama lain. Kedua faktor

ini senantiasa melekat pada para pelaku produksi pengetahuan (saintis). Dengan

pemahaman sains sebagai praktik budaya, Lenoir menolak klaim Merton tentang

universalisme dan disinterestedness dalam sains karena pengetahuan selalu

bersifat lokal, parsial, dan dilandasi kepentingan.

Secara antropologis, sistem pengetahuan terbentuk dari upaya manusia

untuk bertahan hidup melalui pemahaman regularitas yang terjadi di alam. Sandra

Harding mengidentifikasi empat jenis elemen budaya yang membentuk inti

kognitif dari sistem pengetahuan. Pertama, karena alam tidak bersifat seragam

(uniformly organized), regularitas alam yang berbeda yang dialami oleh sistem

kebudayaan yang berbeda lokasi akan menghasilkan sistem pengetahuan yang

berbeda pula. Kedua, bentuk kepentingan sosial berbeda dalam setiap sistem

budaya. Karena itu, setiap sistem budaya menghasilkan perbedaan dalam pola

pengetahuan. Ketiga, sistem budaya membentuk wacana dalam proses produksi

pengetahuan yang selanjutnya mempengaruhi cara pandang dan pola intervensi

masyarakat dalam sistem budaya tersebut. Terakhir, bentuk-bentuk organisasi

sosial dalam penelitian ilmiah yang berbeda secara kultural akan mempengaruhi

isi dari sistem pengetahuan.

Catatan Harding di atas mengindikasikan bahwa sains dikonstruksi

melalui budaya. Artinya, wacana sistem pengetahuan tidak pernah lepas dari

konteks budaya di mana sistem pengetahuan tersebut berada. Studi Pamela

Asquith dapat dijadikan satu contoh menarik. Asquith melakukan studi komparasi

135

Page 9: BAB 7

kultural dan intelektual antara primatologi Barat (Eropa dan Amerika) dan

primatologi Jepang. Asquith mencari heterogenitas dalam sains dengan

membandingkan cara pandang, bentuk pertanyaan, dan metode penelitian

primatologi di kedua sistem budaya tersebut. Dari studi ini, Asquith mengamati

satu hal yang menarik. Dalam pandangan Kristen yang mempengaruhi para

primatologis Barat, hanya manusia yang memiliki jiwa. Pandangan ini

"menghalangi" primatologis Barat untuk melihat kualitas mental yang membentuk

perilaku sosial primata yang kompleks. Sebaliknya, sistem kepercayaan

masyarakat Jepang mempercayai bahwa setiap hewan memiliki jiwa. Hal ini

membuat primatologis Jepang memberi perhatian serius pada atribut motivasi,

perasaan, dan personalitas yang ditunjukkan oleh hewan primata yang mereka

amati. Perbedaan sistem kepercayaan tentang posisi manusia di dunia ini

menjadikan pengetahuan yang dihasilkan oleh primatologis Barat berbeda dengan

rekan sejawatnya di Jepang. Primatologi Barat cenderung bersifat fisiologis,

sementara primatologi Jepang lebih bersifat sosiologis dan antropormorfis.

Perbedaan ini berdampak pada perbedaan pengetahuan yang dihasilkan dalam

kedua tradisi primatologi tersebut walaupun mereka mengamati obyek yang

sejenis.

Studi komparasi kultural juga dilakukan Sharon Traweek yang

membandingkan praktik fisika energi tinggi di Amerika Serikat dan Jepang. Jika

Asquith mencari pengaruh budaya terhadap bentuk pengetahuan, Traweek

mengamati bagaimana nilai budaya direpresentasikan melalui model organisasi

sains. Pada studi ini, Traweek melihat nilai individualisme dan persaingan yang

melandasi sistem organisasi riset Amerika. Adapun di Jepang, nilai-nilai

komunalisme dan kerja sama sangat dominan. Perbedaan dalam nilai budaya ini

terefleksi dalam banyak hal yang mencakup proses pembelajaran dan pengajaran,

organisasi laboratorium dan kelompok, gaya kepemimpinan, dan proses

pengambilan keputusan. Walaupun Traweek tidak menjelaskan apakah perbedaan

nilai budaya ini mempengaruhi pengetahuan yang dihasilkan, setidaknya studi

Traweek menunjukkan bahwa nilai budaya melekat erat pada sistem organisasi

ilmiah.

136

Page 10: BAB 7

Jika Asquith dan Traweek mengamati praktik sains dalam dua sistem

budaya, Karen Knorr-Cetina membandingkan dua praktik sains modern, yaitu

fisika partikel dan biologi molekuler. Knorr-Cetina mengamati bagaimana

fragmentasi dan diversitas dalam sains modern membentuk dua budaya

pengetahuan (epistemic culture) yang berbeda dalam aspek cara mengetahui

(machineries of knowing). Dari hasil studinya selama beberapa tahun di

laboratorium-laboratorium di Eropa dan Amerika Utara, Knorr-Cetina

mengungkap perbedaan struktur simbolik dari kedua bidang ilmiah tersebut.

Struktur simbolik ini terepresentasi melalui cara pendefinisian entitas, sistem

klasifikasi, dan cara di mana strategi epistemik, prosedur empirik, dan strategi

sosial dipahami. Analisis ini menghasilkan pemahaman bahwa dalam proses

produksi pengetahuan, proses tanda, pengerjaan eksperimen, relasi antara waktu

dan ruang, dan relasi antara tubuh dan mesin secara kultural berbeda antara

praktik fisika partikel dan biologi molekuler. Melalui studi komparasi silang

disiplin ini, Knorr-Cetina mengatakan bahwa sains modern tidaklah menyatu

seperti yang diklaim kaum positivis.

Sains dan Studi Sains

Konsep dan teori yang dikembangkan dalam studi sains berangkat dari

pemahaman sains sebagai institusi sosial dan pengetahuan ilmiah sebagai produk

sosial. Melalui pemahaman ini, studi sains membuka suatu jendela baru di mana

kita bisa memandang perkembangan sains dari perspektif yang lebih luas. Dalam

perspektif ini, sains tidak lagi muncul sebagai suatu entitas yang integratif, rigid,

dan berkembang secara linier, melainkan bagai suatu tanaman bercabang-cabang

yang tumbuh di atas tanah sosial.

Pemahaman sains melalui dimensi sosial yang ditawarkan studi sains

berdampak pada demistifikasi sains secara institusional ataupun epistemologikal.

Ini merupakan implikasi politis yang tidak dapat dihindari. Ketergantungan

1 Zen MT., Sains, Teknologi, dan hari depan manusia, PT Gramedia, Jakarta, 19822 Soelaeman M Moenandar, IR, MS, Ilmu Sosial Dasar, Teori dan Konsep Ilmu Sosial, (Bandung, PT Eresco) 19953 Ibid, hal 1594 Bachtiar Rifai, Tb.H., “Ketahanan nasional dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi”, Berita LIPI No. 4, 1975

137

Page 11: BAB 7

masyarakat kontemporer terhadap sains telah menempatkan sains pada posisi

sakral dan bersifat ideologis. Mistifikasi sains yang begitu kental dalam

masyarakat ini memungkinkan praktik hegemoni kekuasaan dan kepentingan

bersembunyi dengan rapi di balik jargon-jargon ilmiah. Tanpa menafikan apa

yang telah dihasilkan sains bagi umat manusia, studi sains memberi penyadaran

kepada diri kita bahwa sains adalah hasil karya manusia dalam berinteraksi

dengan alam. Sains bukanlah sekumpulan ayat-ayat suci yang turun dari langit.

Pengetahuan ilmiah adalah wujud kreativitas dan imajinasi manusia dalam

memahami ruang dan waktu di mana dia berada. Pemahaman dimensi sosial sains

dapat menjadi lensa untuk melihat bahwa pengetahuan tidaklah tunggal dan

monolitik. Kepercayaan bahwa hanya ada satu cara melihat alam justru melawan

hakikat manusia sebagai makhluk multikultural.

Lalu, apakah studi sains menawarkan relativisme? Donna Haraway

memberi jawaban menarik. Haraway menolak relativisme sekaligus universalisme

yang diklaim para saintis. Haraway berargumen bahwa obyektivitas dalam sains

tidaklah tunggal. Karena itu Haraway menawarkan praktik difraksi, di mana

obyektivitas dan realisme agensi dalam produksi pengetahuan memiliki posisi

yang sama pentingnya. Ini yang disebut Ron Eglash sebagai obyektivitas ganda

(multiple objectivity). Haraway mengajak kita untuk menggunakan domain

budaya lain dalam sains yang selama ini termarginalisasi oleh dominasi narasi

budaya Barat. Hawaray menginginkan adanya suatu budaya sains yang lebih

kompleks dan beragam tanpa harus menjadi antirealisme.

Selama beberapa dekade, studi sains telah memberi kontribusi pada

pemahaman yang lebih komprehensif tentang sains dan relasinya dengan

masyarakat. Lepas dari konflik antara para saintis dan sarjana studi sains dalam

episode Science Wars, apa yang dihasilkan dalam studi sains sedikit banyak telah

mempengaruhi perjalanan sains secara dinamis. Sebaliknya, sains pun telah

memberi banyak kontribusi bagi studi sains untuk tumbuh dan berkembang

sebagai suatu disiplin. Karena tanpa sains, studi sains tidak berarti apa-apa.5

5 Sulfikar Amir, Membuka Kotak Hitam Teknologi, [email protected]

138

Page 12: BAB 7

Teknologi dan Seni

Istilah teknologi sebenarnya sudah mengandung sains dan teknik atau

engineering sebab produk teknologi tidak mungkin ada tanpa didasari sains.

Dalam sudut pandang budaya, teknologi merupakan salah satu unsur budaya

sebagai hasil penerapan praktis dari sains. Dalam kenyatannya teknologi tidak

bisa netral karena memerlukan sentuhan estetika yang bersifat subyektif, yang

disebut sebagai seni.

Secara konvensional, teknologi telah menjadi pusat perhatian ilmu sosial

dan melihat dampaknya terhadap masyarakat, atau secara lebih spesifik, atas

dampaknya pada tenaga kerja dan organisasi. Ini sejalan dengan pendapat

determinisme teknologi yang dihubungkan dengan beberapa bentuk Marxisme :

teknologi amiliki kapasitas untuk menentukan jalannya evolusi sejarah. Dalam

pandangan ini, yang seharusnya menjadi perhatian ilmu sosial adalah pengaruh

teknologi bagi masyarakat. Pandangan ini melahirkan pendapat bahwa evolusi

teknologi adalah sebuah proses dimana perkembangan-perkembangan baru

diilhami oleh penemuan (teknis) yang telah ada.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teknologi tidak terlepas dari

masyarakat, bahwa ‘masyarakat’ juga bisa mempengaruhi jalannya perkembangan

teknologi; dan bahwa tesis dari kelompok determinis dapat dijatuhkan oleh

banyak sekali contoh dimana efek teknologi yang menyimpang dari yang

dikehendaki semula, atau bahwa keseluruhan efek yang berbeda itu lahir dari

sebuah teknologi yang sama.6

Teknologi memperlihatkan fenomenanya dalam masyarakat sebagai hal

impersonal dan memiliki otonomi mengubah setiap bidang kehidupan manusia

mnejadi lingkup teknis. Jacques Ellul7 tidak menyebut teknologi, tetapi teknik,

meskipun arti dan maksudnya sama. Menurut Ellul istilah teknik digunakan tidak

hanya untuk mesin, teknologi, atau prosedur untuk memproleh hasilnya,

melainkan totalitas metode yang dicapai secara rasional dan mempunyai efisiensi

(untuk memberikan tingkat perkembangan) dalam setiap bidang aktifitas manusia.

6 MacKenzie, D, Inventing Accuracy : A Historical Sociology of Nuclear Missile Guidance, Cambridge, 19877 Ellul Jacques, The Tecnological Society, Terj John Wilkinson, New York, 1964

139

Page 13: BAB 7

Batasan ini bukan bentuk teoritis, tetapi perolehan dari aktifitas masing-masing

dan observasi dari apa yang disebut manusia modern dengan perlengkapan

tekniknya. Jadi teknik menurut Ellul adalah berbagai usaha, metode, dan cara

untuk memperoleh hasil yang sudah distandarisasi dan diperhitungkan

sebelumnya.

Fenomena teknik pada masyarakat kini, menurut Sastrapratedja8 memiliki

cirri-ciri sebagai berikut :

- Rasionalitas, artinya tindakan spontan oleh teknik diubah menjadi

tindakan yang direncanakan dengan perhitungan rasional.

- Artificial, artinya selalu membuat sesuatu yang buatan, tidak alamiah

- Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan

dilaksanakan serba otomatis. Demikian pula dengan teknik mampu

mengeliminasi kegiatan non teknis menjadi kegiatan teknis.

- Teknik berkembang pada suatu kebudayaan

- Monisme, artinya semua teknik bersatu saling berinteraksi, dan saling

bergantung

- Universalisme, artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan

ediologi, bahkan dapat menguasai kebudayaan

- Otonomi, artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri.

2. Makna Sain, Teknologi, dan Seni Bagi Manusia

Sains dan teknologi saling membutuhkan, karena sains tanpa teknologi

bagai pohon tanpa buah, sedangkan teknologi tanpa sains bagaikan pohon tak

berakar. Sains hanya mengajarkan fakta dan non fakta pada manusia, ia tidak

mampu mengajarkan apa yang harus atau tidak boleh dilakukan oleh manusia.

Jadi fungsi sains hanya mengkoordinasikan semua pengalaman-pengalaman

manusia dan menempatkannya kedalam suatu system yang logis, sedangkan

fungsi seni memberi semacam persepsi mengenai suatu keberaturan dalam hidup

8 Sastrapratedja, Teknologi dan Akibatnya Pada Manusia, Ceramah di UI Jakarta 24 september 1980

140

Page 14: BAB 7

dengan menempatkan suatu keberaturan padanya. Sedangkan tujuan sains dan

teknologi adalah untuk memudahkan manusia dalam menjalani kehidupannya.

Teknologi bagi Perkembangan Sosial dan Ekonomi

Pentingnya teknologi bagi perkembangan sosial dan ekonomi tidak

diragukan lagi. Namun upaya-upaya analitis dan pemahaman di bidang ini sangat

jauh tertinggal dibandingkan dengan bidang-bidang lain. Hal ini untuk sebagian

disebabkan kompleksitas proses perubahan teknologi serta kesulitan dalam

menemukan pengukuran dan definisi yang tepat.

Schumpeter, salah seorang ahli ekonomi terkemuka yang meletakkan

kemajuan teknologi dalam analisisnya, menekankan pentingnya produk-produk,

proses, dan bentuk-bentuk organisasi atau produksi baru- factor-faktor yang telah

terbukti berhubungan dengan perubahan besar dalam struktur ekonomi di negara-

negara maju sejak terjadimya revolusi industri. Munculnya industri-industri besar

seperti baja dan kereta api pada abad 19, mobil, bahan-bahan sintetis dan

elektronik pada abad 20, tergantung pada interaksi dari penemuan, inovasi, dan

aktivitas kewirausahaan, yang digambarkan dengan tepat oleh Freeman9 sebagai

sistem teknologi.

Sejak permulaan masa pasca resesi 1973, pemikiran bahwa teknologi

pasca kapitalis maju sedang menghadapi gelombang panjang periode bolak-balik

antara kemakmuran dan stagnasi, yang masing-masing menerjang bergantian

dalam waktu sekitar 50-60 tahun, telah diperbaharui. Beberapa komentar

mengatakan bahwa sistem teknologi baru adalahpenyebab utama terjadinya

gelombang naik, yang kemudian mulai menurun seiring dengan tercapainya

kematangan industri. Sementara ahli ekonomi lain mengatakan bahwa kemajuan

teknologi adalah sebuah konsekwensi, buka penyebabnya. Diluar literature,

sedang terjadi perdebatan mengenai arah dari kausalitas dari hubungan-hubungan

statistic yang diamatiantara pertumbuhan industri dan langkah inovasi teknis.

Pada level ekonomi makro, model pertumbuhan neoklasik tradisional

menganggap kemajuan teknologi sebagai bagian dari factor residu dalam

menerangkan peningkatan output, setelah mempertimbangkan efek-efek

9 Freeman, C. the Economics of Industrial Innovation, 2nd edn, London, 1982

141

Page 15: BAB 7

perubahan dalam volume dari factor-faktor produksi. Residu ini biasanya besat

dan secara implisit mempersatukan factor-faktor seperti pendidikan dari angkatan

kerja dan keahlian manajemen yang memberi sumbangan bagi perbaikan efisiensi,

sebagai pelengkap dari kemajuan teknologi. Dalam pendekatan ini perubhan

teknologi benar-benar ‘dilepaskan’ yaitu dianggap tidak berkaitan dengan

variable-variabel ekonomi yang lain.

Aliran yang disebut model capital vintage, yang digunakan secara luas

pada awal 1970-an, menganggap kemajuan teknnologi paling tidak secara

sebagian ditambahkan dalam investasi tetap yang baru. Pabrik dan mesin-mesin

membawa perbaikan produktifitas dan hasil dari kemajuan teknologis tergantung

pada tingkat investasinya. Pendekatan yang terakhir inipun tidak melangkah

terlalu jauh dalam menangkap proses-proses dan kekuatan-kekuatan

dimanateknik-teknik baru diserap ke dalam sistem produksi. Model evolusioner

yang dipimpin oleh Nelson dan Winter berusaha menggali kondisi dimana

entrepreneur akan berusaha memakai teknik-teknik yang telah disempurnakan.

Tetapi pendekatan-pendekatan semacam ini baru memasuki masa awal

perkembangannya.

Perdebatan tentang bagaimana teknik-teknik baru ditemukan dan

dipakai biasanya terjadi pada level kajian kasus ekonomi mikro. Penemuan bisa

berupa produk baru atau penyempurnaan dari produk sebelumnya, atau sebuah

prosedur baru dalam pengolahan produk yang telah ada, yang punya kemungkinan

dianggap sebagai penemuan, yaitu, dipakainya ide itu untuk pertamakalinya

secara komersial. Dalam banyak kasus, penemuan ilmiah membuka jalan bagi

penemuan-penemuan lain yang, jika diyakini memiliki potensi per,imtaan pasar,

dipakai secara komersial ; pada abad 19 seorang innovator seringkali adalah

seorang independent, tetapi setelahnya penekanannya telah bergeser kea rah karya

ilmiah dan teknologi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar. Jika

sebuah penemuan sukses, lalu diikuti oleh periode penyebaran, dimana

perusahaan lain memakai atau memodifikasi inovasi tersebut dan memasarkan

produk atau prosesnya. Seringkali pada tahap inilah terjadi benturan ekonomi

yang dahsyat. Freeman menggambarkan proses ini dengan kasus plastic, dimana

142

Page 16: BAB 7

karya riset ilmiah dasarnya di Jerman pada awal tahun 1920-an atas molekul-

molekul rantai panjang langsung menghasilkan polystyrene dan karet styrene, dan

secara tidak langsung atas penemuan sejumlah produk baru pada tahun 1930-an.

Penemuan-penemuan lebih lanjut dan penyebarannya secara besar-besaran ke

seluruh dunia terjadi setelah PD II, dengan dibantu oleh terjadinya pergeseran dari

batu bara ke minyak sebagai bahan baker industri. Pada tahun 1970-an industri

mulai mengalami kematangan dengan terjadinya penurunan permintaan dan laju

perkembangan teknologi.

Pengukuran kegiatan inovatif dan penemuan mengalami banyak

kesulitan. Ukuran-ukuran input mencakup pegawai yang dipekerjakan serta

pengeluaran financial, meskipun ada kesewenangan dalam mendefinisikan

perbatasan antara tindakan riset dan perkembangan. Ukuran-ukuran output dari

penemuan meliputi statistic paten, tetapi ini perlu ditafsirkan dengan hati-hati

mengingat adanya perbedaan dalam kecondongan untuk mematenkan antara

perusahaan-perusahaan, industri, negara, dengan persepsi yang berbeda tentang

amankan mereka dengan perlindungan paten, dan perbedaan dalam perundangan

paten nasional. Penggunaan sejumlah inovasi sebagai ukuran output biasanya

membutuhkan beberapa penaksiran dari nilai ‘penting’ relative dari inovasi itu

masing-masing. Meskipun terdapat keterbatasan, dengan menggunakan beberapa

indicator bisa dipakai sebagai landasan perbandingan antar industri atau antar

negara.

Selepas periode pasca perang, pemerintah semakin mengakui

pentingnya mencapai atau mempertahankan daya saing internasional atas

teknologi. Munculnya Jepang sebagai kekuatan ekonomi besar sebagian besar

disebabkan oleh kebijakan yang secara sadar berusaha mengimpor teknologi

modern asing serta menyempurnakannya di dalam negeri. Kebanyakan negara

memiliki cara yang berbeda dalam mendorong perusahaan-perusahaan untuk

mengembangkan dan mempergunakan teknologi baru, dan kebijakan untuk

melatih tenaga kerja dalam menggunkan teknik-teknik baru tersebut. Dalam

konteks ini perhatian diberikan terutama pada teknologi mikro elektronik dan

ketakutan bahwa teknologi ini bisa memperburuk permasalahan pengangguran

143

Page 17: BAB 7

yang biasanya datang setelah ketakutan-ketakutan akan konsekwensi tertinggal

dalam bidang teknologi, di mata pemerintah dan juga di mata serikat

perdagangan.

Ramalan-ramalan tentang dampak teknologi baru sangat tidak dapat

dipercaya. Potensi penghematan biaya dari tenaga nuklir telah didramatisasi

seperti yang disinggung di atas, senetara potensi terpendam computer dulunya

sangat diremehkan. Apapun yang terjadi bisa dikatakan bahwa kemajuan

teknologi tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.10

Alvin Toffler11 mengumpamakan teknologi sebagai mesin yang besar

atau sebagai akselerator yang dahsyat dan ilmu pengetahuan sebagai bahan

bakarnya. Dengan meningkatnya ilmu pengetahuan secara kuantitatif dan

kualitatif, maka kian meningkat pula proses akselerasi yang ditimbulkan oleh

mesin pengubah, terlebih teknologi mampu menghasilkan teknologi yang lebih

banyak dan lebih baik lagi.

Luasnya berbagai bidang teknik digambarkan Ellul12 sebagai berikut :

1. teknik meliputi bidang ekonomi, artinya teknik mampu

menghasilkan barang-barang industri. Dengan teknik mampu

mengkonsentrasikan capital sehingga terjadi sentralisasi ekonomi. Bahkan

ilmu ekonomi sendiri terserap oleh teknik.

2. teknik meliputi bidang organisasional seperti administrasi,

pemerintahan, manajemen, hukum, dan militer. Contohnya dalam organisasi

negara, bagi seorang teknisi, negara hanyalah merupakan ruang lingkup

untuk aplikasi alat-alat yang dihasilkan teknik. Negara tidak sepenuhnya

bermakna sebagai ekspresi kehendak rakyat tetapi dianggap perusahaan

yang harus memberikan jasa dan dibuat berfungsi secara efisien.

3. teknik meliputi bidang manusiawi, seperti pendidikan, kerja,

olehraga, hiburan, dan obat-obatan. Teknik telah menguasai seluruh sector

kehidupan manusia. Manusia semakin harus beradaptasi dengan dunia

teknik dan tidak ada lagi unsur pribadi manusia yang bebas dari pengaruh

10 Clark, J.A, dalam Ensiklopedia Ilmu-ilmu Sosial, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 200011 Alvin Toffler, Future Shock, Bantam Books.,New York, 197112 ibid

144

Page 18: BAB 7

teknik. Pada masyarakat teknologi, ada tendensi bahwa kemajuan adalah

suatu proses dehumanisasi secara perlahan-lahan sampai akhirnya manusia

takhluk pada teknik.

3. Manusia Sebagai Subyek dan Obyek Ipteks

Sumber ilmu adalah wahyu sedangkan akal merupakan instrument untuk

menggali dan membuktikan kebenaran wahyu. Dengan potensi akal, manusia

diberi kebebasan untuk memilih dan mengembangkan mana yang benar dan mana

yang salah. Dengan potensinya, manusia dapat menggali rahasia alam semesta,

yang hasil pengembangannya disebut sains, teknologi, dan seni.

Atas dasar itu ilmu ada yang bersifat abadi (perennial knowledge) yang

tingkat kebenarannya mutlak (absolute), karena bersumber dari Tuhan, dan ilmu

yang bersifat perolehan (aquired knowledge) yang tingkat kebenarannya bersifat

nisbi (relative) karena hanya penafsiran dan dugaan-dugaan sementara oleh

manusia.

Manusia diciptakan sebagai subyek dan obyek IPTEKS. Manusia satu-

satunya makhluk Tuhan yang mampu merangkaikan fenomena alam beserta

prosesnya secara kreatif, sehingga menjadi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk

kemudahan dalam menjalani hidupnya.

Krisis Dunia Modern

Menurut E.F Schumacher13, dalam Kecil itu indah, dunia modern yang

dibentuk oleh teknologi menghadapi tiga krisis sekaligus. Pertama, sifat

kemanusiaan berontak terhadap pola-pola politik, organisasi, dan teknologi yang

tidak berperikemanusiaan, yang terasa menyesakkan nafas dan melemahkan

badan. Kedua, lingkungan hidup menderita dan menunjukkan tanda-tanda

setengah binasa. Ketiga, penggunaan sumber daya alam yang tidak dapat

dipulihkan, seperti bahan baker, fosil, sedemikian rupa sehingga akan terjadi

kekurangan sumber daya alam tersebut.

Fenomena Pengaruh IPTEK

13 Schumacher, Kecil itu Indah, terj LP3Es, Jakarta, 1979, hal 139

145

Page 19: BAB 7

Manusia pada saat ini telah begitu jauh dipengaruhi oleh teknologi

muncul fenomena diantaranya :

1. Situasi tertekan.

Manusia mengalami ketegangan akibat penyerangan teknik-teknik

mekanisme teknik. Manusia melebur dengan mekanisme teknik, sehingga waktu

manusia dan pekerjaannya mengalami pergeseran. Peleburan manusia dengan

mekanisme teknik menuntut kualitas manusia, tetapi manusia itu sendiri tidak

hadir di dalamnya. Contoh pada sistem industri ban berjalan, buruh yang sakit,

atau keluarganya meninggal, tidak dapat begitu saja meninggalkan pekerjaannya,

karena akan membuat macet garis produksi dan upah bagi temannya. Keadaan

tertekan demikian akan menghilangkan nilai-nilai sosial dan tidak manusiawi lagi.

2. Perubahan ruang dan lingkungan manusia.

Teknik telah mengubah lingkungan dan hakekat manusia. Contoh yang

sederhana manusia dalam hal makan atau tidur tidak ditentukan lapar atau

mengantuk, tetapi diatur oleh jam. Alat-alat transportasi telah mengubah jarak dan

pola komunikasi manusia.lingkungan manusia menjadi terbatas, tidak

berhubungan dengan padang rumput, pantai, pohon-pohon atau gunung secara

langsung, yang ada hanyalah bangunan tinggi yang padat, sehingga sinar matahari

pagi hari tidak sempat lagi menyentuh kulit manusia.

3. Perubahan waktu dan gerak manusia

Akibat teknik manusia terlepas dari hakikat kehidupan. Sebelumnya

waktu diatur dan diukur sesuai dengan kebutuhan dan peristiwa-peristiwa dalam

hidup manusia, sifatnya alamiah dan kongkret. Tetapi sekarang waktu menjadi

abstrak dengan pembagian jam, menit, dan detik. Waktu hanya mempunyai

kuantitas belaka tidak ada nilai kualitas manusiawi atau sosial, sehingga irama

kehidupan harus tunduk pada waktu yang mekanistis dengan mengorbankan nilai

kualitas manusiawi dan sosial.

4. Terbentuknya masyarakat massa

Akibat teknik, manusia hanya membentuk masyarakat massa, artinya

ada kesenjangan sebagai masyarakat kolektif. Hal ini dibuktikan bila ada

perubahan norma dalam masyarakat maka akan muncul kegoncangan. Masyarakat

146

Page 20: BAB 7

kita masih memegang nilai-nilai asli (primordial) seperti agama atau adat istiadat

secara ideologis, akan tetapi struktur masyarakat ataupun dunia norma pokoknya

tetap saja hukum ekonomi, politik atu persaingan kelas. Proses ekularisasi sedang

berjalan secara tidak disadari. Proses massafikasi yang melanda kita dewasa ini,

telah menghilangkan nilai-nilai hubungan sosial suatu komunitas. Padahal

individu membutuhkan hubungan sosial.terjadi neurosa obsesional atau gangguan

syaraf menurut beberapa ahli, sebagai akibat hilangnya nilai-nilai hubungan

sosial, yaitu kegagalan adaptasi dan penggantian relasi-relasi komunal dengan

relasi yang bersifat teknik. Struktur sosiologis missal dipaksakan oleh kekuatan-

kekuatan teknik dan kebijaksanaan ekonomi (produk industri), yang melampaui

kemampuan manusia.

5. Teknik-teknik manusiawi dalam arti ketat.

Teknik-teknik manusiawi harus memberikan kepada manusia suatu

kehidupan manusia yang sehat dan seimbang, bebas dari tekanan-tekanan. Teknik

harus menyelaraskan diri dengan kepentingan manusia bukan sebaliknya. Melalui

teknik bukan berarti menghilangkan kodrat manusia itu sendiri, tetapi poerlu

memanusiakan teknik. Kondisi sekarang sering manusia menjadi obyek teknik

dan harus selalu menyesuaikan diri dengan teknik.

4. Pembangunan dan Perkembangan Ipteks

Pengaruh IPTEK pada tatanan kehidupan masyarakat

Perkembangan IPTEK yang sedemikian pesatnya mampu menciptakan

perubahan-perubahan yang mempengaruhi langsung pada tatanan kehidupan

masyarakat, khususnya dalam empat bidang berikut :

a. perubahan dibidang intelektual, masyarakat meninggalkan

kebiasaan-kebiasaan lama atau kepercayaan-kepercayaan tradisional dan

mengambil kebiasaan dan kepercayaan baru, setidaknya melakukan

reaktualisasi

b. perubahan dalam organisasi-organisasi sosial yang

mengarah pada kehidupan politik

147

Page 21: BAB 7

c. perubahan dan benturan-benturan terhadap tata nilai dan

tata lingkungannya

d. perubahan di bidang industri dan kemampuan di medan

perang.

Alvin Toffler14 menyatakan saat ini negara-negara teknologi maju telah

memasuki tahap superindustrialisme, melalui inovesi teknologi tiga tahap, yaitu

ide kreatif, penerapan praktisnya, dan difusi atau penyebarannya dalam

masyarakat. Ketiga tahap ini merupakan siklus yang menimbulkan bermacam-

macam ide kreatif baru sehingga merupakan reaksi berantai yang disebut proses

perubahan.

Dengan semakin meningkatnya teknologi, tempat proses perubahan itu

tidak dapat dipandang normal lagi, dan tercapailah akselerasi ekstern maupun

intern (psikologis) yang merupakan kekuatan sosial yang kurang mendalam

dipahami.

Accelerasi dan Trancience

Dalam hal akselerasi, apabila masa depan itu menyerbu masa kini

dengan kecepatan yang terlampau tinggi, maka masyarakat atas dapat mengidap

penyakit ‘progeria’, yakni tingkat menua yang lanjut sekalipun secara kronologis

usianya belum tua. Bagi masyarakat semacam itu, perubahan tersebut seolah-olah

tidak dapat dikendalikan lagi, kemudian dicari semacam kekebalan diplomatic

terhadap perubahan. Tak mustahil pula akan timbul future shock atau kejutan

masa depan, yaitu suatu penderitaan fisik dan atau mental yang timbul apabila

sistem adaptif fisik dari organisme manusia itu, beserta proses pembuat

keputusannya, terlampau banyak dilewati daya dukungannya.

Akselerasi perubahan secara drastic dapat mengubah mengalirkan

situasi. Dalam hal ini situasi dapat dianalisis menurut lima komponen dasar, yaitu

benda, tempat, menusia, organisasi, dan ide. Hubungan lima komponen itu,

ditambah dengan factor waktu, membentuk kerangka pengalaman sosial.

Toffler juga menyatakan ada kekuatan lain yang dapat mengubah wajah

dan eksistensi manusia selain akselerasi, yaitu transience (keadaan bersifat

14 Ibid

148

Page 22: BAB 7

sementara). Transience merupakan alat kasar yang berguna dalam mengukur laju

mengalirnya situasi, dan menjembatani teori-teori sosiologis tentang perubahan

psikologi insasi perseorangan. Masyarakat menurut transience, dibagi kedalam

dua kelompok, high transience dan low transience. Eksplorasi mengenai

kehidupan masyarakat high transience menghasilkan :

1. Benda : hubungan “manusia-benda” tidak awet dan masyarakatnya

merupakan masyarakat pembuang. Bandingkan misalnya vulpen yang

bertinta yang permanent dengan ball point yang dibuang setelah habis.

2. tempat : hubungan “manusia-tempat” menjadi lebih sering, lebih

rapuh, dan lebih sementara, jarak fisik semakin tidak berarti, masyarakat

amat mobil dengan ‘nomad baru’. Secara kiasan tempat pun seolah-ilah

cepat terpakai habis, tidak berbeda dengan minuman atau makanan dalam

kaleng.

3. manusia, hubungan ‘manusia-manusia’ pun pada umumnya

menjadi sangat sementara dan coraknya fungsional. Kontak antar manusia

tidak menyagkut secara keseluruhan personalitas, melainkan bersifat

dangkal dan terbatas’ secara kiasan terdapat ‘orang yang dapat dibuang’.

4. organisasi, organisasi ada kecenderungan menjadi superbirokrasi di

masa depan. Manusia dapat kehilangan individualitasnya dan

personalitasnya dalam mesin organisasi yang besar, namun hakekat

sistemnya sendiri telah banyak mengalami perubahan. Hubungan

‘manusia-organisasi’ pun seolah-olah mengalir dan beraneka ragam,

menjadi sementara, baik hubungan formalnya maupun informalnya.

5. ide, hubungan ‘manusia-ide’ bersifat sementara karena ide dan

image timbul dan menghilang dengan lebih cepat. Gelombang demi

gelombang ide menyusupi hampir segala bidang aktifitas manusia.

Counter play normative

Untuk itu semua diperlukan counter play yang bersifat normative bagi

manusia. Tuhan, keadilan, dan perikemanusiaan, hendaklah mulai berfungsi

dalam situasi manusia yang kongkret, artinya jelas, langsung dapat dilihat,

menyangkut hal urgen, berpijak pada kenyataan. Demikian pula pandangan

149

Page 23: BAB 7

terhadap teknologi harus menekankan pada keserasian antara teknologi dengan

kepentingan manusia dan integritas ekosistem. Hal ini dapat berlangsung dengan

cara :

- memberikan banyak alternative pilihan teknologi

- adanya interaksi yang serasi antara manusia, mesin-

mesin, dan biosfer agar ekosistem terpelihara.

- Teknologi harus baik secara termodinamis demi

tercapainya keseimbangan energi, ekonomi, dan ekologi.

- Teknologi harus menopang hidup manusia, bukan

sebaliknya.

IPTEK, Globalisasi dan Kemiskinan

Wajah Mendua Teknologi

Ketika teknologi belum dikenal dalam alam budaya tradisional, orang

hidup hanya kawatir akan resiko yang berasal dari alam (eksternal), seperti banjir,

gempa bumi, tsunami, yang disebut sebagai resiko alamiah. Namun ketika

teknologi menjadi bagian dari hidup manusia modern, ada resiko lain yang

muncul, yaitu, bobolnya rekening bank, hilangnya file karena virus, kecelakaan

mobil, pesawat, sampai meledaknya reactor nuklir. Giddens (1999) menyebutnya

sebagai manufactured risk, yaitu resiko yang melekat pada teknologi.15 Demikian

kompleksnya resiko ini, hingga kadang nampak alamiah seperti pemanasan global

yang kini diributkan, atau banjur dan tanah lonsor yang penyebabnya bukanlah

bencana alamiah semata.

Ketika teknologi mendorong menggelindingnya roda globalisasi, roda

itu melindas sisi-sisi yang lain. Satu sisi adalah manufactured risk, sisi lainnya

adalah keterasingan (alienasi) yang semakin besar antara manusia dengan

teknologi yang diciptakannya sendiri. artinya, walaupun bisa menggunakannya,

kita tidak kemudian berarti paham bagaimana sebenarnya teknologi itu brkrtja dan

15 Giddens, A (1999), Globalization : The Reith Lectures, London : BBC News Online. Versi Elektronik (April 2003)

150

Page 24: BAB 7

apa dampak-dampaknya, baik langsung maupun tudak langsung, baik bagi

penggunanya maupun orang lain, juga bagi lingkungan.

Pada 19 Mei 1994, Calgene Inc., satu perusahaan bioteknologi modern,

diberi ijin oleh badan pengawas obat dan makanan AS (FDA) untuk memasarkan

sayuran jenis baru bernama Falvr Savr. Flavr Savr adalah tomat yang sudah

dimodifikasi secara genetic, sehingga menjadi lebih awet. Caranya dengan

‘membalik’ rengkaian rantai genetic sehingga tomat ‘diperintah’ untuk tetap awer.

Sayangnya gen yang dibalik ini tidak stabil. Untuk menstabilkan, disisipkanlah

satu gen bakteri. Itulah kenapa ia disebut ‘transgenik’ karena secara genetic, gen

yang dipunyai sudah melintasu gen tumbuhan. Fakta adanya gen bakteri dalam

tomat itu membuat tomat tidak bisa lagi sepenuhnya dikatakan ‘tumbuhan’, tetapi

jelas pula bahwa ia bukan ‘hewan’ atau ‘bakteri.

Donna Haraway (1997)16 mencatat tangga 19 Mei itu sebagai hari yang

akan mengubah perjalanan hidup ilmu pengetahuan dan masyarakat. Dia

menempatkan tomat transgenic dalam satu deret bersama nilon dan plutonium

yang terbukti sudah mengubah sejarah manusia dalam menggunakan bahan-bahan

sisntetis. Sesudah pakaian (nilon) dan barang produksi (plutonium), kini pangan

(tomat transgenic) yang disintetiskan.

Ada argument bahwa Bioteknologi mencakup budidaya selektif, hybrid,

hingga tumbuhan dan organisme yang dimodifikasi secara genetic. Kelebihannya

adalah bahwa prose situ memungkinkan produksi lebih tinggi, namun diharapkan

tetap akarab dengan lingkungan, penggunaan m,inim pestisida, pupuk kimia, dan

efek rumah kaca. Argument lainnya adalah penyelamatan keragaman hayati dan

percepatan proses evolusi tumbuhan lewat seleksi karakteristik gen yang baik dan

dominant.

Tentu saja hal positif ini hanyalah separuh dari cerita karena ada hal lain

yang tidak bisa diabaikan. Pertama, pertanian modern yang bersifat monokultural

sangat rawan terhadap masalah lingkungan. Keanekaragaman hayati treancam

hilang. Demikian juga dengan bahaya kerusakan dan pencemaran tanah, ait, dan

16 Haraway, D, (19970, Modest_Witness@Second_Millenium.FemaleMan©_Meets_OncoMouse™: Feminism & Technoscience, London: Roedledge.

151

Page 25: BAB 7

udara. Ekosistem menjadi lebih rentan pada hama dan penyalut. Muncullan efek

domino manufactured risk yang makin hari makin bertambah panjang proses

genetisasi memang mencakup lokalisasi mutasi gen, tetapi tetap tak terelakkan

proses perpindahan dan bahkan mutasi gen antar tumbuhan transgenic

Kedua, perkembangan bioteknologi ini sebagian besar didominasi oloeh

perusahaan besar multinasional seperti halnya industri software. Perusahaan-

perusahaan ini mendominasi pasar dan tentu busa dipahami jika mereka

membangun visi global di industri pertanian dan pangan. Para pakar bioetika

boleh saja terus mempertanyakan klaim alamiah vs non alamiah dari tumbuh-

tumbuhan sejenis Flavr Savr dan bahkan binatang yang dikloning.

Bioteknologi pada ujungnya memang mengubah pertanian dari ‘proses

produksi untuk konsumsi’ menjadi ‘produksi untuk perdagangan’. Untuk itulah

dibutuhkan tomat dan sayuran lain yang awet, dibutuhkan ayam potong yang lebih

besar, sapi perah yang menghasilkan susu lebih banyak, juga tanaman dan ternak

yang lebih cepat menghasilkan panenan. Untuk tujuan-tujuan itulah Fukuyama17

menyebut bahwa bioteknologi nampaknya lebih mengabdi kepada kepentingan

dagang daripada sains.

Teknologi informasi.

Sosiolog ternama Anthony Giddens18 pernah berujar ‘……..teknologi

komunikasi elektronik yang serba segera ini bukan sekedar alat untuk

menyampaikan berita dan informasi secara cepat. Ia mengubah selueuh hidup kita

sampai yang sekecil-kecilnya.’

Globalisasi serta perkembangan Iptek yang luar biasa telah membuat

dunia serba terbuka. Namun hanya yang siap yang bisa meraih kesempatan.

Singapura yang tidak memiliki kekayaan sumber daya alam misalnya, telah sejak

lama memilih mengembangkan sumber daya manusia dan bidang jasa. Salah

satunya lewat sistem pendidikan yang tidak hanya dwibahasa, tapi juga

dwikultural sejak SD. Mereka sadar betul, dalam dunia datar dimana manusia

17 Fukuyama, F, Our Posthuman Future : Consequences of thr Biotechnology Revolution, London : Profil Book, 2002.18 Giddens, A. (1999), Globalization: The Reith Lectures, London : BBC News Online. Versi Elektronik (April 2003( bisa diakses di http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week1/week1.htm

152

Page 26: BAB 7

sedemikian mudah bermigrasi yang diperlukan adalah manusia yang bisa

mengelola, memimpin, sekaligus mudah beradaptasi dalam budaya berbeda.

Contoh lain adalah India yang sudah lama menguasai pangsa pasar

sumberdaya di bidang teknologi informasi, dan Filipina dibidang akuntansi.

Bandingkan dengan Indonesia yang sampai sekarang hanya mampu mengirim

sumberdaya manusia tingkat pembantu dan buruh.

Disamping persiapan sumber daya manusia, Hollywood melalui

film-film futuristiknya juga berulangkali menggambarkan kondisi masa depan

dimana robotpun bisa berperasaan dan berpikiran independent. Demikian pula

Michael Chricton yang terkenal dengan fiksi ilmiahnya, membuat novel berjudul

Prey (2002) tentang sisi lain kemajuan teknologi nano. Kelalaian menjalankan

prosedur operasional di laboratorium ternyata mengubah teknologi yang dipuja

menjadi bencana.

Teknologi nano

Teknologi nano sebenarnya merujuk pada suatu materi yang berukuran -

9 meter atau satu dibagi semiliar meter. Ibaratnya sehelai rambut ukuran materi

nano dibayangkan sebagai rambut yang dibelah 50.000. dengan kemampuan

manusia merekayasa materi sekecil itu tentu saja banyak sekali dampak

perubahannya.

Tahun 2006-1008, misalnya dikembangkan superchip yang bila

dipasang pada ban atau kulkas, sehingga ban yang kurang angin atau kulkas yang

terlalu penuh akan memberi tanda. Kehadiran kawat nano juga membuat

computer makin kecil, makin hemat energi, namun dengan kemampuan 10 – 100

kali lipat sekarang. Tahun 2013 -2019 teknik pengobatan akan berubah total d

berkat teknologi nano dalam wujud biologi molekuler. Tahun 2030 berbagai

penyakit bisa disembuhkan sehingga hidup manusi diasumsikan kian sejahtera.

Teknologi nano pula yang telah mempengaruhi empat ilmu pengetahuan

dan teknologi yang disebut Joseph F Coates, John B Mahaffie, dan Andy Hines

dalam bukunya 2025 : Scenarios of US and Global Society Reshaped by Science

and Tecnology yang diterbitkan Oakhill Press (1996) sebagai kunci pendorong

153

Page 27: BAB 7

perubahan sampai 2025. keempatnya adalah teknologi informasi, material,

genetika dan energi.

Ditengah gegap gempita perkembangan inilah bangsa Indonesia harus

siap berkompetisi. Meski kondisinya terngah terpuruk saat ini, namun perjalanan

sejarah menunjukkan masih ada jalan terang. Kamboja misalnya, tahun 1200

termasuk negara terkaya. Demikian juga Peru dan Meksiko yang sangat

mencengangkan pada tahun 1500, atau Lebanon yang makmur pada tahun 1960-

1n. sebaliknya Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura yang dulu miskin kini

menjadi negara kaya yang mempengaruhi dunia. Mengapa?

Jawabannya pengelolaan sumber daya manusia. Kamboja, Peru,

Meksiko, dan Lebanon mengabaikan sumber daya manusia, sedangkan Jepang,

Amerika dan Singapura terus mengembangkannya.

Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia pula yang kini

ditempuh Taiwan, Irlandia dan China. Begitu Taiwan berupaya menghapus buta

sains dan membebaskan ujian masuk universitas, massa kritikal yang

berpendidikan berkembang pesat. Irlandia dalam waktu kurang dari satu generasi

berhasil menjadi negara kaya di Eropa. Caranya dengan menggratiskan sekolah

menengah awal 1960-an sehingga anak-anak kelas bawah bisa mengakses

pendidikan dan kemudian menggratiskan pendidikan tinggi sejak tahun 2996.

Kini sembilan dari sepuluh perusahaan farmasi terbesar dunia memiliki pabrik

disana, juga 16 dari 20 industri peralatan medis dan 7 dari 10 perusahaan piranti

lunak.

China pada tahun 1980-an menyeleksi mahasiswa-mahasiswanya yang

berbakat fisika. Mereka dikirim keluar negeri melalui program yang dipelopori

oleh Tsung Dao Lee, peraih nobel Fisika dari China. Dalam waktu hamper 10

tahun sudah 915 mahasiswa dikirim untuk program doctor, lalu membangun

sistem pendidikan dan riset begitu pulang ke negaranya. Disamping fisikan negara

ini juga mengirim ribuan mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu ke berbagai

negara.

Fenomena di Indonesia

154

Page 28: BAB 7

Dengan standar pengajaran yang masih buruk karena kurangnya

pelatihan, rendahnya gaji guru, dan terutama rendahnya pemahaman untuk

meningkatkan kualitas sumber daya manusia, Indonesia sebenarnya pantas

bersyukur karena msih saja ditemukan manusia unggulan. Tim olimpiade fisika

Indonesia misalnya, dalam kurun waktu 12 tahun telah mengirim 70 siswa

yangberasal dari berbagai daerah. Dari jumlah itu sudah diperoleh 22 medali

emas, 11 perak dan 34 perunggu.

Para pemenang olimpiade ini sekarang tersebar diberbagai perguruan

tinggi terbaik dunia dan menunjukkan prestasi luar biasa. Ada yang PhD pada usia

23 tahun, lulus S1 pada usia 16 tahun, dan menjadi professor usia 25 tahun.

Semua itu menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi sumber daya manusia

yng tinggi.

Sayang sekali potensi yang baik ini belum dieksplorasi dengan baik.

Padahal, bila jumlah penduduk Indonesia diasumsikan 250 juta, akan ada 12,5 juta

(5% dari populasi) yang memiliki IQ superior diatas 120. mereka ini berpotensi

menjadi manajer atau professor. Selain itu seharusnya masih ada 250.000 (0,1%)

yang ber-IQ diatas 150 sehingga berpotensi menjadi pemimpin besar sekaliber

Abraham Lincohn dan Thomas Jefferson, serta 25.000 (0,01 %) yang ber-IQ

diatas 160 sekelas Albert Einstein.

Masalahnya, bagaimana mencari dan mengasah mereka?

Yang pertama, perlu sistem seleksi yang ketat namun transparan dan

terorganisasi baik sehingga anak-anak yang berbakat dapat diidentifikasi sedini

mungkin. Pencarian anak berbakat juga bisa dilakukan dengan memperbanyak

kegiatan lomba sain dan matematika. Mereka yang menang ditampung di pusat-

pusat pelatihan khusus sehingga kemampuannya makin terasah.

Kedua, menyiapkan sekolah unggulan dengan guru-guru yang kompeten

dan kurikulum yang mengoptimalkan kemampuan anak. Semua ini untuk

mengarahkan mereka menjadi pemimpin di berbagi bidang. Ketiga, mengirim

siswa-siswa unggul keluar negeri. Indonesia bisa mencontoh Kazakhtan yang tiap

tahun mengirim 3000 siswanya keluar negeri. Merekalah yang 10-20 tahun lagi

diharapkan membangun negaranya setelah pulang.

155

Page 29: BAB 7

Keempat , memperbaiki kesejahteraan guru dan memberi kesempatan

belajar seluas-luasnya sehingga bisa mendoromg anak-anak pintar memilih

profesi guru. Di Taiwan misalnya, menjadi guru sangat diminati karena gaji guru

yang bekerja hingga pukul 15.00 sama dengan insinyur yang bekerja hingga pukul

21.00.

Kelima menterjemahkan berbagai buku ilmiah popular, menyebarkan

hingga ke pelosok, dan menjualnya dengan harga sangat murah. Karena hnya

dengan buku yang baik para siswa dapat mengoptimalkan kemampuannya.

5. Dampak Penyalahgunaan Ipteks Bagi Kehidupan

Konsekwensi negative yang tidak diharapkan dari pembangunan ilmu

pengetahuan dan teknologi menghasilkan reaksi romantis yang mengajak kembali

kea lam yang berbeda. Sebuah restorasi atas kemurnian alam yang tidak

terkontaminasi dan teralienasi oleh intervensi manusia. Semua sikap terhadap ala

mini mewakili pola dominasi hirarkis dan penaklukan, dominasi melalui

pemilikan dan control, ataupun melalui pencemaran nama baik, eksploitasi serta

identitas dengan memelihara alam sebagai surga untuk banyak orang.19

Kemajuan teknologi serta dampaknya pada pembangunan dan ekspansi

ekonomi telah mengubah kehidupan dan pikiran manusia, pergerakan sosial telah

menggeser tata hierarkhi organis, rahim bumi, dan sumber daya yang dimiliki

bersama menjadi dasar untuk ekonomi pasar yang intensif.

Reduksionisme

Ilmu pengetahuan yang modern memiliki dasar pijakan pada

reduksionisme.20 Reduksionisme merupakan suatu keyakinan dalam ilmu

pengetahuan yang mereduksi kemampuan manusia yang menolak kemungkinan

adanya cara produksi pengetahuan lain maupun pengetahuan orang lain. Paham

ini dasar ontologinya adalah homogenitas, bertentangan dengan paham pluralitas

atau dialektika.

19 Margaret Farley, “Feminist Theology and Bioethics” dalam Loades, Ann, Feminist Theology : A Reader (London : SPCK&W/JKP,1990) hal 246.20 Vandana Shiva, Bebas Dari Pembangunan (Jakarta : YOI & KONPHALINDO, 1997), hal 6

156

Page 30: BAB 7

Ilmu pengetahuan modern yang dimitoskan sebagai universal, bebas

nilai, dan obyektif pada dasarnya sangat berakar pada budaya barat dan sangat

patriarkhis. Yang menjadi persoalan adalah bahwa pengetahuan dibangun

berdasarkan kesenjangan natara yang tahu (spesialis) dengan yang awam(bukan

spesialis). Reduksionis menghendaki adanya keseragaman dalam hal pendekatan,

yaitu hanya ada satu cara dan tidak mentolerir yang lain. Reduksionis mencabut

kemampuan alam dan potensi manusia serta menggantinya dengan teknologi.

Rekayasa Teknologi

Penerapan IPTEK dalam rekayasa pertanian berupa revolusi hijau,

rekayasa kelautan berupa revolusi biru, industrialisasi, merupakan bukti

kemampuan manusia dalam mengembangkan daya dukung lingkungan alam.

Tetapi disisi lain hal ini juga menimbulkan dampak negative berupa kerusakan

ekosistem, ketidakseimbangan lingkungan bahkan pencemaran yang akhirnya

menjadi bencana bagi umat manusia.

Disamping itu imbas dibidang sosial berupa semakin melebarnya

kesenjangan sosial. Orang kaya yang menguasai IPTEK akan semakin kaya dan si

miskin yang tidak mampu menguasai IPTEK akan semakin terpuruk dan menjadi

korban penindasan kelompok yang kaya. Ini terjadi bukan hanya dalam konteks

suatu Negara, tapi di percaturan dunia, Negara yang tidak menguasai IPTEK akan

terus dieksploitasi oleh Negara-negara maju, diambil SDA-nya, juga tenaga

kerjanya yang murah, selanjutnya dijadikan pasar hasil industri oleh mereka.

Relasi antara manusia dan teknologi tidaklah sesederhana mengatakan

bahwa teknologi adalah media untuk mengubah manusia. Manusia tidak pernah

bersikap pasif terhadap teknologi. Respons imajinatif senantiasa mewarnai

interaksi timbal balik antara manusia dan teknologi, sebuah interaksi yang selalu

melibatkan dimensi sosial, politik, dan kultural. Pada titik inilah relasi antara

manusia dan teknologi menjadi diskursus menarik sekaligus penting. Menarik

karena kompleksitasnya. Penting karena teknologi selalu menjadi bagian dari

setiap episode sejarah manusia.

157

Page 31: BAB 7

Dilema determinisme.

Bagi para praktisi teknologi, fungsi teknologi tidak perlu dipertanyakan

lagi. Teknologi diciptakan untuk membantu mengatasi keterbatasan fisik manusia.

Dia berperan sebagai media untuk mencapai kepuasaan material. Teknologi

dibentuk oleh parameter efisiensi dan efektivitas sedemikian rupa untuk mencapai

suatu tujuan tertentu. Pemahaman demikian berangkat dari asumsi bahwa

teknologi modern muncul dari rasionalitas dan kemampuan logika manusia dalam

mengadopsi prinsip-prinsip pengetahuan ilmiah sains ke dalam artifak teknologis.

Pandangan instrumentalis di atas mungkin bisa diterima dalam tingkat

pragmatis, tapi tidak dalam tingkat filosofis karena pandangan ini tidak cukup

untuk menjelaskan makna dan implikasi teknologi bagi manusia. Lebih penting

lagi, pandangan instrumentalis memiliki kecenderungan untuk mendewakan

teknologi dan meletakkannya sebagai faktor penentu dalam perubahan sosial dan

simbol kemajuan peradaban manusia. Sikap ini melahirkan pandangan

determinisme teknologi yang bersifat ideologis. Determinisme teknologi dalam

pandangan instrumentalis ini mesti dicermati karena dia menafikan aspek moral

dan etika dalam relasi antara manusia dan teknologi.

Determinisme teknologi itu sendiri bukan hal yang baru. Dalam catatan

Merritt Roe Smith, paham determinisme teknologi telah muncul sejak awal

revolusi industri. Gagasan ini memikat para pemikir era Pencerahan dan semakin

tumbuh subur di budaya masyarakat Amerika Utara di mana semangat kemajuan

melekat dengan kuat. Determinisme teknologi berangkat dari satu asumsi bahwa

teknologi adalah kekuatan kunci dalam mengatur masyarakat. Dalam paham ini

struktur sosial dianggap sebagai kondisi yang terbentuk oleh materialitas

teknologi. Paham ini begitu dominan dalam masyarakat kontemporer, termasuk

dalam lingkungan akademik.

Selama tiga dekade terakhir, para sarjana studi sosial teknologi telah

memberi respons kritis terhadap paham determinisme teknologi. Dalam analisis

Andrew Feenberg, setidaknya dua premis dalam determinisme teknologi yang

bermasalah. Pertama adalah asumsi bahwa teknologi berkembang secara unilinear

dari konfigurasi sederhana ke yang lebih kompleks. Kedua adalah asumsi bahwa

158

Page 32: BAB 7

masyarakat harus tunduk kepada perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia

teknologi. Kedua premis tersebut sulit diterima karena pola-pola teknologi itu

sendiri banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial, kultural, dan politik di mana

teknologi itu berada.

Kritik terhadap determinisme teknologi merupakan respons terhadap

implikasi politis ideologis yang dihasilkan oleh paham ini. Ini terjadi karena

determinisme teknologi cenderung memaksakan suatu bentuk universalitas

struktur institusional teknologi ke dalam masyarakat. Universalisasi institutional

ini menjadi media hegemoni modernitas. Seperti yang diwaspadai oleh Rosalind

Williams, determinisme teknologi memungkinkan motivasi politis, ekonomi, dan

ideologis para pemilik modal masuk ke dalam sistem teknologi dan mengurangi

otoritas masyarakat dalam memilih arah teknologi. Bagi David Noble,

determinisme teknologi tidak hanya memberi penjelasan yang tidak akurat tentang

relasi antara manusia dan teknologi, tetapi juga terlalu menyederhanakan dan

bahkan mematikan makna dalam kehidupan manusia. Menurut Noble, pada satu

sisi determinisme teknologi menawarkan janji-janji modernitas, tetapi di sisi lain

memaksakan suatu bentuk fatalisme.

Fenomenologi teknologi

Bagaimanakah relasi antara manusia dan teknologi terjadi?

Fenomenologi adalah kendaraan untuk mencari jawabannya. Studi fenomenologi

teknologi mengeksplorasi pengalaman manusia dan secara spesifik menjelaskan

bagaimana struktur pengalaman yang bersifat multidimensi tersebut tersusun.

Setidaknya itu yang dilakukan Don Ihde untuk memahami relasi antara manusia

dan teknologi secara komprehensif.

Berangkat dari eksistensialisme Heideggerian, Ihde mengembangkan

"ontologi relativistis" untuk memahami keberadaan manusia dalam wilayah

teknologi. Ontologi relativistis bukan relativisme, melainkan lebih sebagai media

untuk menganalisis relasionalitas antara manusia yang mengalami (human

experiencer) dan wilayah yang dialami (the field of experience). Analisis

relasionalitas ini dilakukan melalui dua kategori persepsi, yakni persepsi mikro

yang bersifat indrawi dan persepsi makro yang bersifat kultural atau hermeneutik.

159

Page 33: BAB 7

Bagi Ihde, kedua jenis persepsi ini saling terikat satu sama lain. Persepsi mikro

tidak pernah lepas dari konteks persepsi makro. Sebaliknya, persepsi makro tidak

akan pernah ada tanpa dorongan persepsi mikro.

Melalui fenomenologi persepsi ini, Ihde menawarkan konsep

multistabilitas untuk menggali lebih dalam ke wilayah kompleksitas budaya

teknologi. Konsep multistabilitas menekankan bahwa relasi antara manusia dan

teknologi tidak tunggal. Relasi ini dapat muncul dalam berbagai bentuk walaupun

dengan artefak teknologi yang sama. Multistabilitas meletakkan teknologi tidak

dalam satu posisi hermeneutik, tapi dalam berbagai titik relasi dengan manusia.

Karena itu, teknologi bersifat multi-interpretatif tergantung pada konteks kultural

di mana dia berada. Dengan kata lain, makna sebuah artefak teknologi akan selalu

berubah sesuai dengan masyarakat yang memaknainya.

Bentukan sosial teknologi

Prinsip-prinsip dalam fenomenologi teknologi tidak menjadi barang

eksklusif dalam studi filsafat. Jika kita menilik secara saksama, fenomenologi

menjadi dasar metodologi studi sosial teknologi, khususnya sosiologi teknologi

dalam memahami relasi antara teknologi dan masyarakat. Bagi para sosiolog

teknologi, teknologi merupakan cermin dari proses imbal-balik yang kompleks

yang terjadi di masyarakat. Dalam perspektif ini, berhasil atau gagalnya teknologi

bukanlah hal yang penting karena pada dasarnya teknologi adalah hasil sebuah

kompromi. Proses-proses sosial yang membentuk teknologi adalah refleksi dari

cara kita hidup dan mengatur masyarakat.

Kekuasaan dalam konfigurasi

Relasi kekuasaan dan teknologi adalah sebuah tema besar dalam studi

sosial teknologi. Setidaknya tiga kasus menarik bisa kita amati dalam domain ini

untuk melihat bagaimana kekuasaan dan teknologi saling bereproduksi satu sama

lain.

Kasus pertama adalah analisis Langdon Winner tentang jembatan di

Long Island, New York, yang ditulis dalam artikelnya Do Artifacts Have Politics?

Di sepanjang jalan bebas hambatan di Long Island terdapat sekitar puluhan

jembatan penyeberangan. Selintas tidak ada hal yang istimewa dari jembatan-

160

Page 34: BAB 7

jembatan tersebut. Tetapi, jika diamati dengan saksama, proporsi jembatan

tersebut tidaklah "normal". Tinggi jembatan tersebut hanya sekitar 2,7 meter

sehingga hanya mobil sedan yang dapat lewat di bawahnya.

Menurut Winner, keganjilan desain tersebut bukanlah karena alasan-

alasan teknis, misalnya efisiensi material atau efektivitas sistem konstruksi.

Jembatan-jembatan tersebut di desain dan dibangun dengan konfigurasi demikian

untuk menghasilkan suatu dampak sosial tertentu. Ini dilakukan dengan sengaja

oleh pendesainnya, yakni Robert Moses, seorang tokoh sentral dalam

pembangunan kota New York di awal abad ke-20.

Dari investigasinya, Winner menemukan suatu agenda rasialis dan

diskriminatif di balik desain jembatan Long Island. Jembatan-jembatan tersebut

dibangun sesuai dengan spesifikasi yang diberikan oleh Moses untuk menghalangi

masuknya bis ke wilayah tersebut. Hal ini untuk membatasi akses kaum kelas

bawah kulit hitam dan hispanik yang biasanya menggunakan bis umum menuju ke

Jones Beach, sebuah pantai cantik berpasir putih di sebelah timur Long Island.

Secara materialistis, jembatan Long Island, adalah artefak yang terdiri

dari elemen-elemen yang netral. Namun, ketika elemen-elemen ini membentuk

suatu konfigurasi, dengan serta-merta netralitas tersebut sirna. Dengan konfigurasi

tertentu, artefak teknologi berubah menjadi media hegemoni, dominasi, dan

kontrol untuk memenuhi kepentingan sang pencipta konfigurasi tersebut. Dari

perspektif ini kita bisa melihat tiga artefak di atas sebagai refleksi dari relasi

manusia dan teknologi melalui kekuasaan yang meliputi tiga tujuan. Pada kasus

jembatan Long Island, teknologi berfungsi sebagai media praktik kekuasaan. Pada

kasus mesin kontrol numerik, teknologi menjadi alat untuk melanggengkan

kekuasaan. Adapun pada kasus penjara Panopticon, teknologi berfungsi untuk

memproduksi kekuasaan.

Budaya dan teknologi

Kekuasaan tidak lahir dari kondisi vakum. Dia muncul dari suatu

konsteks budaya tertentu sehingga kekuasaan selalu bersifat kontekstual dan lokal.

Karena itu, seperti yang dikatakan Bryan Pfaffenberger, penjelasan praktik

kekuasaan dalam teknologi tidak akan pernah memuaskan jika kesadaran tentang

161

Page 35: BAB 7

sistem budaya diabaikan. Pfaffenberger berargumen bahwa fungsi politis dari

suatu teknologi baru dapat tercapai jika teknologi tersebut dibungkus dalam mitos

dan ritual dan menjadi alat kontrol produksi dan resepsi makna.

Argumen Pfaffenberger didukung oleh David Hess melalui konsep

relasi kekuasaan dan budaya. Hess menggunakan konsep ini untuk memahami

kompleksitas operasi kekuasaan di masyarakat. Menurut Hess, tanpa adanya

perspektif budaya, analisis kekuasaan akan menjadi tumpul dan hanya hanya

terfokus pada sejumlah kategori sosial yang terbatas. Hasilnya adalah pengamatan

dimensi kekuasaan yang sempit.

Mendekati kekuasaan melalui budaya dalam teknologi mengantarkan

kita ke konsep konstruksi budaya. Konstruksi budaya tersusun melalui proses

interpretasi-reinterpretasi dan produksi-reproduksi simbol, identitas, dan makna di

dalam masyarakat. Aliran dari keluaran proses ini lalu ditransformasikan ke dalam

artefak teknologi.

Dalam kerangka konstruksi budaya ini, pengembangan teknologi

menyerupai apa yang disebut Claude Levi-Strauss sebagai bricolage. Bricolage

adalah aktivitas penggabungan elemen-elemen yang ada untuk memenuhi suatu

tuntutan lingkungan. Menurut Hess, teknologi modern tidak berbeda jauh dengan

prinsip bricolage di mana interpretasi budaya membentuk versi teknologi di

masyarakat. Dalam pola ini, seorang praktisi teknologi adalah seorang bricoleur.

Dia menghasilkan suatu teknologi baru melalui rekonstruksi elemen-elemen yang

sudah ada untuk dibentuk menjadi suatu teknologi "baru" dalam konteks budaya

di mana dia berada. Dalam kata lain, orisinalitas teknologi ditentukan oleh konsep

makna yang digunakan.

Pada tingkat praksis, konsep konstruksi budaya dalam teknologi tidak

hanya untuk memahami lebih mendalam bagaimana teknologi berinteraksi dengan

makna, ritual, dan nilai. Oleh Linda Layne, konstruksi budaya dapat dijadikan

"tool" untuk membuat teknologi lebih manusiawi dan dapat diterima dengan baik

di masyarakat. Di sini Layne menawarkan apa yang dia sebut sebagai "cultural

fix" di mana nilai-nilai budaya di adopsi ke dalam konfigurasi teknologi. Hal ini

dapat dilakukan melalui pemahaman makna dalam masyarakat untuk

162

Page 36: BAB 7

mengidentifikasi kesenjangan antara teknologi dan masyarakat dan mencari

solusinya.

Kompleksitas teknologi modern telah melampaui batas dimensi indrawi

manusia dalam mencerna. Kondisi ini membentuk sikap "taken for granted"

dalam masyarakat kontemporer terhadap teknologi, suatu sikap yang menerima

teknologi dengan mata tertutup. Tragisnya, sikap ini secara perlahan menggali

jurang dalam yang dapat menjebloskan manusia ke dalam bencana kemanusiaan.

Namun demikian, kita tidak perlu menjadi paranoid dan bersikap

antiteknologi. Alasan untuk menolak sikap ini jelas karena manusia tidak akan

pernah lepas dari teknologi. Yang dibutuhkan adalah suatu tingkat pemahaman

teknologi yang lebih mendalam. Pada tingkat ini, teknologi tidak lagi dilihat pada

aspek materialitasnya yang sering bersifat ilusif melainkan sebagai suatu bentuk

upaya penyingkapan daya yang tersembunyi di alam seperti yang dilontarkan

Martin Heidegger. Penyingkapan ini bagai pedang bermata dua. Dia

mengantarkan manusia kepada bentuk "kebenaran" tentang potensi-potensi yang

tersembunyi di alam. Di sisi lain dia memancing nafsu dan keserakahan manusia

untuk terus melakukan dominasi dan kontrol terhadap alam21.

21 Sulfikar Amir, Menjelajahi Sains Lewat Dunia Sosial, [email protected]

163