bab 5 menata kekerabatan melalui...

22
127 BAB 5 MENATA KEKERABATAN MELALUI PERKAWINAN Masyarakat suku Buna’ merasa erat terikat oleh adanya sistem kekerabatan yang didasarkan pada pengalaman dan pengamalan yang sudah berlangsung lama dan diyakini sebagai warisan dari leluhur. Kekerabatan ini diungkapkan dalam tiga macam pertalian yaitu hubungan darah (malu-ai), hubungan pemerintahan (dasa’ rak) dan hubungan perjanjian (hulo lep). 24 Kekerabatan ini dipererat pula oleh kesatuan bahasa, yaitu: bahasa buna’. Bahasa buna’ ini sebagaimana biasanya semua bahasa yang lain, mempunya kekhasan, namun ada kekhasan yang lain yaitu kesederhanaan yang menunjukkan keaslian dan ketuaan dari bahasa buna’ ini. Suku Buna’ merasa ada kekuatan dari bahasa ini bukan hanya sebagai pemersatu tetapi ada kekuatan terselubung yaitu kekuatan roh yang terungkap dari pemakai, orang buna’, sehingga dalam bahasa buna’ ini termuat modal rohani atau spiritual capital sebagai kesatuan dalam pengungkapan diri orang buna’. Dalam Bab tentang ”Menata Kekerabatan Melalui Perkawinan” ini diungkapkan hasil penelitian tentang kekerabatan yang mengeratkan suku buna’ dan uraian tentang bahasa buna’ yang menjadi kekuatan pengungkap kerohanian masyarakat itu sendiri. KEKERABATAN BERDASARKAN 24 Istilah hubungan malu ai merupakan kata majemuk, perpaduan dari dua kata: malu dan ai. Hubungan malu ai terjadi akibat perkawinan. Suku pemberi perempuan disebut malu, suku penerima perempuan, disebut ai ba’a yang disingkat dengan ungkapan ai.

Upload: vantuong

Post on 18-Mar-2019

251 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 5 MENATA KEKERABATAN MELALUI PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/6/D_902006009_BAB V.pdf · MENATA KEKERABATAN ... Contoh Berdirinya Satu Deu : Berdirinya Deu

127

BAB 5

MENATA KEKERABATAN MELALUI PERKAWINAN

Masyarakat suku Buna’ merasa erat terikat oleh adanya sistem kekerabatan yang didasarkan pada pengalaman dan pengamalan yang sudah berlangsung lama dan diyakini sebagai warisan dari leluhur. Kekerabatan ini diungkapkan dalam tiga macam pertalian yaitu hubungan darah (malu-ai), hubungan pemerintahan (dasa’ rak) dan hubungan perjanjian (hulo lep).24

Kekerabatan ini dipererat pula oleh kesatuan bahasa, yaitu: bahasa buna’. Bahasa buna’ ini sebagaimana biasanya semua bahasa yang lain, mempunya kekhasan, namun ada kekhasan yang lain yaitu kesederhanaan yang menunjukkan keaslian dan ketuaan dari bahasa buna’ ini. Suku Buna’ merasa ada kekuatan dari bahasa ini bukan hanya sebagai pemersatu tetapi ada kekuatan terselubung yaitu kekuatan roh yang terungkap dari pemakai, orang buna’, sehingga dalam bahasa buna’ ini termuat modal rohani atau spiritual capital sebagai kesatuan dalam pengungkapan diri orang buna’.

Dalam Bab tentang ”Menata Kekerabatan Melalui Perkawinan” ini diungkapkan hasil penelitian tentang kekerabatan yang mengeratkan suku buna’ dan uraian tentang bahasa buna’ yang menjadi kekuatan pengungkap kerohanian masyarakat itu sendiri. KEKERABATAN BERDASARKAN

24 Istilah hubungan malu ai merupakan kata majemuk, perpaduan dari dua kata: malu dan ai. Hubungan malu ai terjadi akibat perkawinan. Suku pemberi perempuan disebut malu, suku penerima perempuan, disebut ai ba’a yang disingkat dengan ungkapan ai.

Page 2: BAB 5 MENATA KEKERABATAN MELALUI PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/6/D_902006009_BAB V.pdf · MENATA KEKERABATAN ... Contoh Berdirinya Satu Deu : Berdirinya Deu

128

SISTEM SUKU: MALU-AI

Sistim kekerabatan di kalangan suku Buna’ berdasarkan suku rumah, disebut deu (rumah, suku). Setiap orang menjadi anggota dari satu deu dalam arti suku. Ada dua macam suku: malu (pemberi perempuan) dan ai-ba’a (penerima perempuan). Setiap suku dengan status ai-ba’a menyadari diri sebagai suku yang berasal dari suku malu.

Deu (suku) berdiri melalui perkawinan dua orang leluhur laki dan perempuan. Perkawinan kedua leluhur ini membentuk satu deu. Setiap suku mempunyai riwayat sendiri-sendiri tentang leluhur wanita dan leluhur laki-laki yang mendirikan deu (suku) mereka. Dan selanjutnya hubungan satu suku dengan suku yang lain melalui perkawinan itu merupakan riwayat setiap suku yang menjadi riwayat yang sakral karena menyangkut harga diri setiap deu bersama seluuh anggotanya.

Hubungan malu dengan ai-ba’a terjadi saat perkawinan dilaksanakan dalam tata cara yang asli yatu sul suli’ dara (menegakkan tombak dan kelewang). Seorang laki-laki meminang seorang perempuan dari kelompok lain lalu mengawininya dan kedua orang ini sebagai suami-isteri yang mendirikan satu suku sendiri yang sampai sekarang disebut deu. Ini merupakan suku yang pertama. Suku yang kedua berdiri maka suku pertama disebut deu A dan suku kedua disebut deu B.

Gambar 21. Awal terjadinya deu (suku) ai-ba’a yang berasal dari deu (suku) malu.

Malu

A

D

Ai-ba’a

B

Ai-ba’a

C

Ai-ba’a

D

Ai-ba’a

B

Ai-ba’a

C

Ai-ba’a

E Ai-

Page 3: BAB 5 MENATA KEKERABATAN MELALUI PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/6/D_902006009_BAB V.pdf · MENATA KEKERABATAN ... Contoh Berdirinya Satu Deu : Berdirinya Deu

129

Kalau terjadi perkawinan antara laki-laki dari deu A dengan seorang perempuan dari deu B, maka berdirilah deu (suku) ketiga, deu C. Hal ini dapat dilihat dalam gambar 5.

Dalam proses pembentukan deu malu dan deu ai-ba’a seperti

yang ditampilkan dalam gambar 5 ini, laki-laki dari deu A kawin dengan perempuan dari deu B dan keduanya membentuk satu deu baru, deu C. Dalam keadaan ini, deu C akan menamakan deu A sebagai deu malu mone gomo (suku asal leluhur laki-laki) dan deu B sebagai deu malu pana gomo (suku asal leluhur perempuan). Dua deu itu, A dan B, sama-sama malu dari deu C. Jadi deu A dan B melihat deu C sebagai ai-ba’a. Begitu seterusnya terjadi dan adanya suku-suku dalam status malu dan ai-ba’a ini sudah tidak ditambah lagi sampai sekarang dan generasi sekarang ini hanya mengenal saja adanya talik malu-ai, (kaitan hubungan suku pemberi perempuan = malu, dan suku penerima perempuan = ai-ba’a) sebagai warisan leluhur. Proses pembentukan suku-suku atas pembahagian malu dan ai-ba’a ini sudah berlangsung

Gambar 22. Terjadinya deu : Deu malu dan deu ai-ba’a melalui proses perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan melalui

perkawinan sul suli’ dara (menegakkan tombak dan kelewang). Ini bentuk perkawinan patrilineal.

Keturunan diperhitungkan berdasarkan garis keturunan bapa.

Deu B

Perempuan

Deu C

Deu A

Laki-laki

Laki-laki dan perempuan dari A +

B

Page 4: BAB 5 MENATA KEKERABATAN MELALUI PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/6/D_902006009_BAB V.pdf · MENATA KEKERABATAN ... Contoh Berdirinya Satu Deu : Berdirinya Deu

130

lama dan tidak diketahui lagi kapan mulai terjadi sehingga hubungan ini dimasukkan ke dalam kesadaran masyarakat sebagai suatu kesadaran yang sakral, tidak dapat diganggu gugat lagi. Dasar dari sistem kekerabatan yang tampak dalam hubungan deu malu-ai ini ialah keyakinan akan satunya asal-usul dari orang-orang suku Buna’. Selanjutnya dari satu keturunan ini berkembang di mana ada leluhur yang mendirikan suku atau deu dengan sistim perkawinan sul suli’ dara. Seorang laki-laki mengambil seorang perempuan ke dalam kelompoknya sendiri dan memperisteri perempuan itu dengan menjamin keselamatan isteri itu yang disimbolkan dengan penegakan sul (tombak) dan didekatnya digantungkan suli’ (kelewang). Dengan perkawinan antara kedua leluhur ini terjadilah satu deu (rumah suku). Berdiri pula deu yang lain dengan sistem yang sama. Proses ini dapat dilihat dalam gambar 6.

Perkawinan dua orang ini menjadi awal dari suku baru (deu) dan turunan keduanya akan mengenang mereka sebagai bei mone (nenek laki) dan bei pana (nenek perempuan) pendiri suku. Sebagai contoh, di Lakmaras saat ini ada suku (deu) bernama Tes gatal (cucu dari Tes), berarti suku itu didirikan oleh seorang nenek laki-laki bernama Tes. Dari suku Tes Gatal seorang laki-laki bernama Bere meminang seorang perempuan bernama Bui dari suku Mali Gatal (cucu dari Mali) secara sul suli’ dara. Bere bersama isterinya Bui mendirikan satu deu (suku) baru dengan nama Bere Gatal (cucu dari Bere bersama isterinya Bui). Dengan cara ini, deu Tes gatal menjadi deu malu (suku pemberi perempuan) dari deu Bere gatal dan deu Bere gatal menjadi deu ai-ba’a dari deu Tes gatal. Proses ini dijelaskan dalam gambar 7.

Bei

Pana Bei

Mon

Bei

Bei

Mone

Bei

Pana Bei

Mon

Bei

Bei

Mone

Gambar 23. Perkawinan Leluhur : Seorang leluhur laki-laki (Bei Mone) memperisteri seorang leluhur perempuan (Bei Pana) dan nanti keturunan mereka inilah yang menamakan diri satu deu (suku).

Bei

Pana

Bei

Mone

Bei

Mone

Bei

Mone

Page 5: BAB 5 MENATA KEKERABATAN MELALUI PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/6/D_902006009_BAB V.pdf · MENATA KEKERABATAN ... Contoh Berdirinya Satu Deu : Berdirinya Deu

131

Dalam posisi ini Deu Bere gatal menjadi ai-ba’a dari deu Tes

gatal. Deu Tes gatal menjadi malu dari deu Bere gatal. Deu Bere gatal melihat Deu Tes gatal sebagai malu mone gomo dan deu Mali gatal dilihat sebagai malu pana gomo. Deu Tes gatal dan deu Mali gatal sama-sama melihat deu Bere gatal sebagai ai-ba’a.

Untuk menjelaskan hubungan malu-ai ini maka diambil contoh dari gambar 7 dan dilihat satu per satu dari posisi deu atau suku masing-masing. Dari posisi deu Tes gatal, Deu Mali gatal menjadi malu, karena dari deu Mali gatal berasal seorang perempuan, bernama Bui. Selanjutnya, deu Bere gatal menjadi ai-ba’a, karena laki-laki Bere yang berasal dari Tes gatal ini yang menjadi pendiri deu Bere gatal. Dari posisi Deu Bere gatal, deu Tes gatal dilihat sebagai malu, secara lebih khusus disebut malu mone gomo karena dari deu Tes gatal inilah berasal leluhur laki-laki bernama Bere. Deu Mali gatal dilihat sebagai malu, dan secara khusus disebut malu pana gomo dan secara lebih

Deu

Tes gatal

Deu

Mali

gatal

Deu

Bere

Bere Bui

Gambar 24: Contoh Berdirinya Satu Deu : Berdirinya Deu Bere gatal sebagai hasil perkawinan antara Bei Mone (leluhur laki-laki) bernama Bere dan Bei

Pana (leluhur perempuan) bernama Bui dan suku baru ini disebut Bere Gatal d (l l h ) b

Page 6: BAB 5 MENATA KEKERABATAN MELALUI PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/6/D_902006009_BAB V.pdf · MENATA KEKERABATAN ... Contoh Berdirinya Satu Deu : Berdirinya Deu

132

khusus lagi disebut malu bul (pangkal atau sumber malu) karena leluhur perempuan bernama Bui berasal dari deu Mali gatal ini.

Hubungan malu – ai ini sekarang masih dipertahankan secara ketat karena dianggap warisan leluhur yang berkaitan dengan kehidupan pribadi dan kehidupan suku atau deu. Dengan demikian hubungan malu-ai inilah yang menjadi dasar seluruh kekerabatan dari orang-orang suku Buna’, termasuk masyarakat DHL. Tidak ada satu orang pun dalam kesatuan suku Buna’ yang tidak menjadi anggota dari salah satu suku atau deu. Eratnya hubungan kekerabatan di kalangan suku Buna’ terjadi dan terpelihara karena didasarkan atas hubngan suku malu-ai ini. Kalau dua orang Buna’ bertemu di mana saja maka mereka akan saling menanyakan masing-masing dari suku (deu) mana. Kalau sudah saling mengenal suku atau deu masing-masing maka urusan apa pun saja selanjutnya dilihat berdasarkan hubungan deu ini.

Ibu Theresia Ili dan suaminya Leo Mali yang sudah lama ber-urbanisasi dan tinggal di kota Atambua, di luar wilayah suku Buna’, memberikan penjelasan berikut tentang hubungan malu-ai ini:

Namanya orang Buna’ tidak bisa lepas dari hubungan malu-ai. Kami yang di kota ini selalu bertemu dan saling membantu atas dasar tradisi suku, khususnya hubungan malu-ai ini. Ini bukan sukuis tetapi satu warisan leluhur yang melekat dalam hati kami. Kalau kami urus anak-anak kami sesama suku Buna’ di kota Atambua ini, kami sebagai orang tua pertama-tama melihat apakah mereka dua itu, pemuda dan pemudi ada hubungan keluarga yang berasal dari satu suku, satu deu. Kalau dari satu deu, langsung kami katakan tidak bisa. Kawin dalam suku, tidak boleh. Leluhur larang. Kalau langgar, tidak selamat. Keluarga itu akan celaka. Jadi hubungan suku atas dasar malu-ai ini tetap kami pegang biarpun jauh dari daerah kami, Lamaknen. (Hasil wawancara tgl. 4 Januari 2011 di Atambua).

Di kalangan masyarakat DHL hubungan kekerabatan atas dasar

hubungan malu-ai ini sangat kuat sampai saat penelitian ini dilakukan mulai dari tahun 2006 sampai 2011. Pembuatan rumah tinggal (deu), pengolahan lahan garapan (mar), acara kelahiran (hoto tuka), acara perkawinan (ton) dan urusan kematian (en heser) anggota masyarakat DHL selalu didasarkan atas hubungan malu-ai ini. Pemilihan kepada desa di dua desa ini, Henes dan Lakmaras selalu berdasarkan keaggotaan

Page 7: BAB 5 MENATA KEKERABATAN MELALUI PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/6/D_902006009_BAB V.pdf · MENATA KEKERABATAN ... Contoh Berdirinya Satu Deu : Berdirinya Deu

133

suku atau deu. Kepala desa selalu dilihat dari deu apa dia berasal. Urusan pemerintahan desa lebih mudah berdasarkan pendekatan malu-ai. Di kota Atambua sebagai ibu kota Kabupaten Belu, orang-orang suku Buna’ ini memegang peranan penting di kantor-kantor karena alasan ’deu’ ini. Kelompok orang-orang suku Buna’ dianggap sebagai kelompok yang ’sukuis’ dan suka menguasai orang lain dari kelompok masyarakat lain dari etnis di luar suku Buna’ karena orang-orang Buna’ mempunyai rasa keterikaan suku itu begitu kuat dan cenderung eksklusif dalam pergaulan dengan orang lain. Kalau sesama orang suku Buna’ bertemu, sering kelompok ini memakai bahasa mereka, bahasa Buna’ dan kurang memperhatikan perasaan orang lain.

Dalam masa jabatan Bapak A.A. Bere Tallo (almarhum) sebagai Bupati Kepala Daerah Kabupaten Belu, tahun l959 – 1969, ada keluhan dari orang-orang di luar suku Buna’ di Atambua bahwa pegawai-pegawai di kantor-kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Belu umumnya kebanyakan orang Buna’. Mulai dari pesuruh, sopir sampai kepala-kepala Dinas dan Kantor pada waktu itu kebanyakan orang Buna’. Semasa hidupnya, tahun 1998, di kediaman beliau di Weluli, Lamaknen, beliau pernah memberikan komentar di depan peneliti tentang isu ’Buna’ ini:

”Orang Buna’ ini hidup di daerah yang sangat sulit alamnya. Kering dan tandus. Ini menyebabkan orang Buna’ terkenal sebagai pekerja keras. Tanah pertanian di Lamaknen ini tidak subur. Air hampir tidak ada sehingga untuk bertani di musim kemarau, tidak ada kemungkingan. Orang Buna’ ini biar susah tapi terikat dengan wilayah mereka, Lamaknen ini. Hal ini ada karena mereka terikat dengan kuburan leluhur dan adat istiadat. Hubungan malu-ai menyatukan orang Buna’. Waktu jadi Bupati, saya dituduh sukuis. Bukan. Saya beri kesempatan kepada orang-orang dari suku lain juga di luar suku Buna’. Saya lihat orang-orang Buna’ yang ada di kantor itu orang-orangnya tabah dan tekun. Dan kekhususan orang Buna’ ini ialah: terus terang, tegas. Kalau dia pencuri, langsung ketahuan dia pencuri. Itu lihat dari dia punya muka. Tapi kalau dia tidak curi, tidak korupsi, kita tidak bisa tuduh. Dan orang Buna’ takut curi uang kantor itu karena dia takut leluhur, takut roh-roh dan tentu sekali takut Tuhan. Alasan mereka itu jujur, tabah dan tekun itulah yang

Page 8: BAB 5 MENATA KEKERABATAN MELALUI PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/6/D_902006009_BAB V.pdf · MENATA KEKERABATAN ... Contoh Berdirinya Satu Deu : Berdirinya Deu

134

menyebabkan saya pilih banyak dari mereka untuk kerja di kantor bersama saya.” Jadi ikatan dasar dalam kekerabatan itu ialah malu – ai dan ada

lagi ikatan dasar lain yang turut mempengaruhi kekerabatan ialah: ikatan berdasarkan perjanjian dan ikatan berdasarkan pemerintahan. Ikatan berdasarkan perjanjian disebut hulo lep (sejenis bambu) dan ikatan berdasarkan pemerintahan disebut dasa’ rak (urutan berdasarkan hirarki).

DASA’ RAK : KEKERABATAN BERDASARKAN PERJANJIAN PEMERINTAHAN

Berdasarkan ceritera lisan yang dituturkan dalam berbagai kesempatan urusan adat, suku Buna’ ini berasal dari satu rumpun yang terbagi-bagi atas suku kecil dan kelompok yang berpisah ke berbagai tempat di Pulau Timor. Ada catatan tertulis dari Bapak A.A.Bere Tallo tahun 1957 dan dilengkapi dengan berbagai sumber, antara lain mako’an Koli Uka yang sempat diwawancarai oleh penulis tahun 2008 dan seorang tua adat di Apis, Ampou Leto. Penuturan mereka dipadukan dengan catatan dari Bapak A.A. Bere Tallo dan jalannya ceritera sebagai berikut.

Leluhur suku Buna’ itu berasal dari Hot Esen, Gepal Kere’ Giral Uen (Matahari Yang Tinggi, bertelinga satu, bermata satu) sebagai satu Roh Mahatinggi yang menciptakan matahari, bulan bintang, langit dan bumi serta lautan. Perkawinan antara bintang dan bulan, melahirkan manusia pertama. Manusia pertama ini berkembang biak dan mempunyai keturunan yang kemudian berkelompok menjadi enam kelompok. Enam kelompok itu bernama: Luta Rato Jopata; Lakulo’ Samoro; Sibiri’ Kailau; Roikun Robulan; Oburo Maboro; Ton Ba’ Ton Wai’.25

25 Ungkapan ini selalu diuraikan dalam tutur adat tentang sejarah leluhur orang Buna’. Ceritera ini sudah pernah ditulis sebagai manuskrip oleh A.A.Bere Tallo dengan judul “Pandangan Umum Wilayah Belu”, tahun 1957 dikonfirmasi dengan wawancara lisan dengan mako’an Koli Uka dan Pit Bere Sorun di Abis tahun 2008. Ada catatan tertulis tentang informasi ini dalam manuskrip dari A.D.M. Parera, Sedjarah Politik Pemerintahan Asli (Sedjarah Radja-radja) di Timor, Pemda Prop. NTT, Kupang, 1971, hal. 56-57.

Page 9: BAB 5 MENATA KEKERABATAN MELALUI PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/6/D_902006009_BAB V.pdf · MENATA KEKERABATAN ... Contoh Berdirinya Satu Deu : Berdirinya Deu

135

Enam kelompok ini mengadakan ikatan perjanjian sebagai hulo – lep di tempat yang sekarang ini berada di wilayah Timor Leste, Turul Tuk Siol Wa. Dari Turul Tuk Siol Wa inilah enam kelompok suku Buna’ itu menyebar dan menempati wilayah Lamaknen sampai sekarang. Mako’an Koli Uka menegaskan, istilah Lamaknen itu berasal dari kata bahasa Tetun, bukan bahasa Buna’. Penamaan itu diberikan oleh orang-orang Tetun yang menjadi tetangga suku Buna’ dan berdasarkan tutur adat dari orang Buna’ sendiri bahwa orang Buna’ itu gabungan dari enam kelompok, maka diberikan nama Lamaknen, berasal dari kata dalam bahasa Tetun, nen artinya enam dan lamak artinya kelompok.

Untuk mengurus enam kelompok yang tersebar di wilayah Lamaknen ini para leluhur menentukan susunan pemerintahan yang terbagi atas Na’i (raja) yang dikenal dengan istilah Bein Goni’il artinya empat besar, Gewal, Lakmaras, Henes, Nualain. Saat sekarang ini empat besar itu dijadikan masing-masing satu desa sejak tahun 1961. Dari antara empat Na’i waktu itu, salah satunya disepakati sebagai Loro (terang, raja agung) yaitu Gewal berfungsi sebagai penyatu dan tidak membawahi yang lain. Di luar dari empat kelompok ini, kelompok yang lain menjadi tala hol gomo (penguasa wilayah leluhur) dan kanu hasan gomo (penguasa sawah dan ladang).

Setiap tala hol gomo dan kanu hasan gomo itu menjadi satu desa, sama dengan desa-desa yang lain sambil tetap mempertahankan statusnya sebagai Na’i (raja). Dengan perubahan dari wilayah yang dikuasai oleh seorang Na’i menjadi wilayah desa, maka terbentuklah desa-desa di Lamaknen sejak tahun 1966 dengan nama-nama: Kewar, Lakmaras, Henes, Nualain, Fulur, Leowalu, Duarato, Ekin, Lo’ona, Dirun ditambah dengan dua desa yang lain, Magil dan Leo sogo (Lamak Senulu). Dua desa yang disebut terakhir ini, Magil dan Leo sogo merupakan rumpun suku Buna’ yang datang ke Lamaknen berbeda waktu dengan kelompok sebelumnya. 26 26 Pada thn. 1966, berdasarkan SK Bupati KDH Tk. II Belu, tgl. 31 Maret 1966, No.Pem.6/1966, sistim kerajaan (ke-na’i-an; na’i = raja) di Belu diganti dg sistim Desa, termasuk Lamaknen. Di Lamaknen ada 12 Desa, masing-masing dngan kepala desa (kepdes):1. Kewar, kepdes, Matheus Bere Bau’; 2. Lakmaras kepdes, Johanes Mau; 3. Fulur, kepdes Lambertus Ati; 4. Duarato kep des

Page 10: BAB 5 MENATA KEKERABATAN MELALUI PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/6/D_902006009_BAB V.pdf · MENATA KEKERABATAN ... Contoh Berdirinya Satu Deu : Berdirinya Deu

136

Kekerabatan berdasarkan hubungan dasa’ rak (hirarki dalam pemerintahan) ini tidak menurunkan derajat seorang menjadi atasan dan bawahan. Hubungan suku atas dasar malu-ai selalu menjadi hubugan yang utama sehingga dalam kesatuan adat dalam pemerintahan, dikenal ‘dato’ (bangsawan) dan ‘renu’ (rakyat) tetapi dalam pergaulan sehari-hari, hubungan persaudaraan berdasarkan malu-ai lebih dominan.

HULO LEP : KEKERABATAN BERDASARKAN PERJANJIAN PERSAUDARAAN

Kekerabatan jenis ketiga dikenal kekerabatan berdasarkan perjanjian antara kelompok yang ditandakan dengan upacara do a (minum darah). Dalam tutur adat secara lisan, upacara hulo lep yang pertama diadakan oleh enam kelompok suku Buna’ yang diadakan di Turul Tuk Siol Wa, diperkirakan terjadi sekitar abad ke 17. 27 Menurut Mako’an Pit Bere Sorun dari Lakmaras yang tinggal di kampung Abis, tutur adat tentang asal-usul dan perjanjian persaudaraan leluhur ini banyak versi, tetapi intinya sama, ada sumpah adat dengan cara minum darah, do a. Dalam wawancara di Abis, Oktober tahun 2008 itu Mako’an Pit Bere Sorun menjelaskan:

Kami punya adat sampai sekarang ini masih mempertahankan hubungan berdasarkan hulo lep. Awal mulanya enam kelompok yang bersaudara itu mengadakan sumpah adat di

Nikolas Nahak; 5. Loonuna kepdes Gabriel Oes; 6. Makir kepdes (kosong); 7. Nualain kepdes Asa Tuan; 8. Henes kepdes Martinus Dasi; 9. Leowalu kepdes Arnol Boko; 10. Ekin kepdes P.Bere Bakurai; 11. Dirun kepdes Gaspar Lesu; 12. Lamaksenulu kepdes Bene Bere Mau. 27 Pekiraan waktu oleh Bpk. A.A. Bere Tallo berdasarkan tutur adat dan berbagai peristiwa yang terjadi di Timor bahagian Timur waktu itu, yaitu pergeseran penduduk karena perang antara suku yang baru datang dengan suku yang sudah lebih dahulu mendiami Timor bahagian Timur lalu menggeser penduduk yang lebih awal itu ke pedalaman Pulau Timor. Suku yang oleh Suku Buna’ disebut dalam tutur adat lisan, kenurawan, diperkirakan orang Melus, leluhur orang Dawan atau suku Atoni yang sekarang ini berada di wilayah Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan dan Kupang. Hal ini dicatat pula oleh A.D.M. Parera dalam manuskripnya, Sedjarah Politik Pemerintahan Asli di Timor, 1971, hal. 30-31.

Page 11: BAB 5 MENATA KEKERABATAN MELALUI PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/6/D_902006009_BAB V.pdf · MENATA KEKERABATAN ... Contoh Berdirinya Satu Deu : Berdirinya Deu

137

Turul Tuk Siol Wa. Itu sudah lama lalu. Kemudian antara kampung pun diadakan sumpah serupa. Cara bersumpah itu lain sekali. Menurut ceritera, setiap kelompok dari enam kelompok itu mengutus seorang yang dituakan dan mereka enam orang, masing-masing ambil kulit luar dari hulo atau lep ( dua-duanya sejenis bambu kecil dan sering dipakai untuk membuat sumpitan) dan kulit bamdu itu tajam sekali, dipakai itu untuk sayat ujung jari kelingking (don gulo’) dan kulit di atas tumit (duol atit). Darah itu ditadah di dalam satu boge’ (talam dari kayu) dicampur dengan sopi lalu diedarkan dan setiap orang minum dari boge’ itu. Bunyi sumpah itu begini: Mete lorowen mete hot mil, i dini kere’ i dini uen, dini eme ama dini kau’ ka’a. Ciro uen na, zonal gene man eno’ gene man, toek no’ bare lal no’ bare, hone tama ni’ hakur hulakter, hot gita mal ni’ muk gutuba ni’, ba’i giri pili ba’i rozomok. (Terjemahan bebas: Hari ini, kita jadi satu, jadi ibu-bapa, jadi adik-kakak. Barang siapa kemudian hari, tidak memegang isi perkara ini dan melanggarnya, matahari tidak memihak dia, bumi tidak menopang dia, dia punya kaki patah, dia hancur lebur). Atas dasar sumpah setia seperti inilah kami sampai sekarang, orang Buna’, tidak boleh bertengkar atau saling memusuhi apalagi saling membunuh. Dan dari kelompok itu ada dua bersaudara, Sabu Mau’ dan Ti Mau’ yang kemudian berpindah sampai ke Pulau Sabu dan Rote, sama-sama diikat dengan sumpah itu sehingga kami yang namanya orang Buna’ di Belu ini tidak boleh saling memarahi dengan orang-orang Sabu dan Rote.

Ceritera tentang sumpah adat pada masa leluhur ini masih

begitu kuat dalam ingatan para tua-tua adat yang mewarisi tutur adat dari para pendahulu mereka sampai orang-orang dari generasi muda sekarang pun masih memahami makna ceritera itu dan mentaatinya dalam pergaulan harian. Secara lebih khusus ada kebiasaan yang menjadi pegangan dalam hidup bertetangga antara warga desa Henes dengan warga desa Lakmaras tempat diadakan penelitian ini. Dua desa ini menamakan diri ‘sai pir’ artinya: pergi datang. Maksud istilah sai pir ialah: warga kedua kelompok yang secara administratif pemerintahan dipisahkan menjadi dua desa, Henes dan Lakmaras, tidak pernah

Page 12: BAB 5 MENATA KEKERABATAN MELALUI PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/6/D_902006009_BAB V.pdf · MENATA KEKERABATAN ... Contoh Berdirinya Satu Deu : Berdirinya Deu

138

mengenal batas desa. Aquilina Mutik (47) 28 seorang ibu asal desa Lakmaras yang pernah menjadi kepala desa di Lakmaras menjelaskan di Lakmaras bulan Oktober 2009:

Kami orang-orang muda ini tidak pernah mau melanggar pertalian suku antara warga desa Henes dan Lakmaras. Bicara pun tidak pernah. Saya sebagai kepala desa waktu itu, cukup tahu siapa rakyat desa Lakmaras atas dasar pembayaran pajak tanah dan pajak padang rumput. Dia (rakyat) tinggal di Henes atau Lakmaras, tidak ada masalah. Ada yang tinggal di Henes tapi bayar pajak di Lakmaras, sebaliknya ada yang tinggal di Lakmaras tapi bayar pajak di Henes. Siapa berani tegur? Dua desa ini satu, hanya oleh pemerintah dibagi dua. Berani buat batas, pasti mati. Jadi untuk bicara saja pun tidak berani, apalagi bertindak untuk letakkan batas. Petugas dari Kabupaten datang tanya di mana batas, mau buat peta, saya bilang, kamu perkirakan sendiri dan buat peta. Saya tidak tahu batas di mana sehingga tidak bisa tunjuk batas. Sesudah diberi penjelasan sedikit, mereka mengerti dan mereka buat sendiri. Saya luput. Di kebun-kebun, kalau kebun itu milik orang Lakmaras, seorang dari Henes yang kebetulan lewat dan melihat pepaya masak, dia lapar, petik dan makan, tidak boleh tegur. Itu bukan curi. Kalau kebetulan tuan kebun ada, minta, dan pasti diberi, asal untuk makan di tempat itu dan tidak dibawa pulang. Kalau tuan kebun tidak ada, makan saja, kulit dibiarkan di situ dan ambil satu ranting pohon, tindis dengan batu, itu tanda bahwa buah-buahan itu tidak dipetik oleh pencuri tapi oleh salah seorang yang kebetulan lewat dan kelaparan di jalan. Ini perwujudan dari isi sumpah hulo lep, kau’ ka’a yang pernah diadakan oleh para leluhur. Kami takut mugen (arwah leluhur), takut pan muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi) dan Hot Esen (Matahari yang tinggi) sehingga tidak berani langgar. Sudah ada banyak

28 Aquilina Mutik, Ibu keluarga, seorang sarjana pendidikan, lahir di Lakmaras, 28 Januari 1964, pernah menjabat sebagai Kepala Desa Lakmaras, tahun 2002-2006. Dia diwawancara pada bulan Oktober 2009, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui hand-phone untuk konfirmasi beberapa data tentang desa Lakmaras. Suaminya, Theodorus Bere Laku’, sarjana muda (D3) Administrasi Pembangunan Masyarakat, status PNS pada Pemda Belu, lahir tgl. 31 Desember 1963 di Builalu – Lamaknen. Dia menjadi nara sumber tentang status seorang mane-pou dalam urusan hak menggarap tanah pertanian milik suku si-isterinya, Aquilina Mutik.

Page 13: BAB 5 MENATA KEKERABATAN MELALUI PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/6/D_902006009_BAB V.pdf · MENATA KEKERABATAN ... Contoh Berdirinya Satu Deu : Berdirinya Deu

139

ceritera tentang kecelakaan yang dialami orang yang mengabaikan isi sumpah adat leluhur ini. Ada yang jatuh dari pohon, ada yang dipagut ular, ada yang disambar kilat. Jadi isi sumpah leluhur itu kami pegang teguh dan tidak main-main.

Dasar ketaatan pada isi sumpah adat itu ternyata terletak pada

kepercayaan akan adanya mugen (arwah leluhur), pan muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi) dan Hot Esen (Matahari yang tinggi) yang diyakini dalam kepercayaan asli, turut menjaga ditegakkannya isi sumpah itu oleh semua anak-cucu. Taat berarti aman, melanggar berarti celaka. DALE BUNA: KEKERABATAN BERDASARKAN PERSAMAAN BAHASA

Ikatan yang ada berdasarkan kesatuan bahasa ternyata sangat kuat. Suku ini yang menamakan diri En Buna’ (manusia Buna’) memakai bahasa Buna’ yang oleh sekelompok peneliti di bidang bahasa digolongkan dalam rumpun bahasa Trans-New Guinea yang masih ada kesamaan dengan bahasa-bahasa di Papua – Kepala burung, Alor dan Pantar (Lewis, M.Paul. ed. 2009). Bahasa Buna’ ini mempunyai keunikan sebagai satu bahasa yang masih sangat sederhana dibandingkan dengan bahasa-bahasa tetangga seperti Tetun di Belu dan Dawan di Timor Indonesia bahagian Barat.

Bahasa Buna’ ini sangat mengikat para pemakainya dengan alasan, bahasa Buna’ ini mempunyai fungsi: pertama, sebagai bahasa ibu dan kedua, sebagai bahasa adat dan ketiga, sebagai bahasa doa.

Pertama, sebagai bahasa ibu, bahasa Buna’ dipakai dalam pergaulan harian. Masyarakat DHL (Desa Henes dan Lakmaras) sebagai bahagian dari masyarakat suku Buna’, sehari-hari memakai bahasa Buna’ sebagai bahasa percakapan. Anak-anak sekolah suku Buna’ hanya memakai bahasa Indonesia di sekolah sedangkan di rumah tetap memakai bahasa Buna’ sampai sekarang. Di sekolah tingkat dasar, anak-anak sangat sulit mempelajari bahasa Indonesia karena struktur tatabahasa kedua bahasa ini sangat berbeda. Bahasa Indonesia memakai hukum DM (yang Diterangkan mendahului yang Menerangkan sedangkan bahasa Buna’, terbalik, memakai hukum MD (yang

Page 14: BAB 5 MENATA KEKERABATAN MELALUI PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/6/D_902006009_BAB V.pdf · MENATA KEKERABATAN ... Contoh Berdirinya Satu Deu : Berdirinya Deu

140

Menerangkan mendahului yang Diterangkan). (J.S.Badudu, 2003). Bahasa Indonesia, “Makan sirih”, dalam bahasa Buna’ “Molo a”, molo artinya sirih, a artinya makan. Jadi tidak mengherangkan kalau anak-anak yang baru belajar bahasa Indonesia atau orang tua-tua yang kurang tahu bahasa Indonesia, mengatakan, “Sirih makan”, terjemahan lurus dari “Molo a”. Bahasa Indonesia, “Naik kuda”, bahasa Buna’, “Kura sa’e”, dan orang Buna’ yang kurang tahu bahasa Indonesia sering berkata, “Kuda naik”, maksudnya “Naik kuda”. Begitu juga sering terdengar, “Saya Atambua pergi”, maksudnya “Saya pergi ke Atambua”, tapi karena terpengaruh oleh bahasa Buna’, “Neto Atambua mal”, (neto = saya; mal = pergi), maka tidaklah mengherankan kalau secara tidak sadar orang Buna’ berbahasa Indonesia secara salah karena terpengaruh oleh struktur tatabahasa yang memang berbeda dengan tatabahasa Indonesia.

Ada lagi kekhasan yang lain dalam arti betapa sederhananya bahasa Buna’ ini, ialah: setiap huruf hidup ada arti. Huruf hidup yang pertama, a mempunyai tiga arti dalam bahasa Indonesia: (1) makanan, (2) nasi (kata benda) dan (3) makan (kata kerja). Kalimat bahasa Indonesia, “Makan nasi”, dalam bahasa Buna’, “a a”. Huruf a yang pertama berarti nasi, dan huruf a yang kedua, kata kerja, makan. Seorang anak SD suku Buna’ sering berkata dalam bahasa Indonesia, “Nasi makan” dan ini jelas pengaruh bahasa ibunya, Buna’. Huruf hidup yang kedua, e. Huruf e ini artinya garam. Kalimat “Makan garam”, dalam bahasa Buna’, “E a”. (E = garam; a = makan). “Kita makan garam”, dalam bahasa Buna’, “I e a”. (I artinya kita). Huruf hidup yag ketiga, i. Huruf ini merupakan kata dengan dua arti: (1) kita; (2) gigit (kata kerja). Kalimat bahasa Indonesaia, “Menggigit kita”, dalam bahasa Buna’, “I i “ (i yang pertama artinya kita; i yang kedua artinya menggigit). Huruf hidup yang keempat, o. Huruf ini, o, ( kata bahasa Buna’) dalam bahasa Indonesia ada tiga arti: (1) udang, (2) darahmu/engkau punya darah, (3) ada pada engkau. Kalimat “O u”, artinya: udang hidup. (o = udang; u = hidup/kata kerja). Kalimat “I o” artinya, “Pada kita” atau “Kita punya darah”. Huruf hidup yang kelima, u, mempunyai tiga arti: (1) rumput, dan (2) hidup (kata kerja) dan (3) hidup - kehidupan (kata benda). Kalimat bahasa Buna’, “U u” artinya: Rumput hidup, u yang pertama artinya rumput, u yang kedua artinya hidup. Keunikan bahasa Buna’ ini dapat dibuktikan dengan lebih

Page 15: BAB 5 MENATA KEKERABATAN MELALUI PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/6/D_902006009_BAB V.pdf · MENATA KEKERABATAN ... Contoh Berdirinya Satu Deu : Berdirinya Deu

141

banyak contoh lagi baik kata-katanya maupun susunan kalimatnya (Anton Bele, 2009). Sebagai contoh tambahan, ada banyak kata yang hanya terdiri dari dua huruf: ba = menggulung daun pandan (heran ba); bi = (1) bintang, (2) berulat; be = sibak/buka; bo’ = potong; bu = fufuk (binatang kecil sejenis kutu atau hama yang merusak biji jagung). Sa = menyapu; si = daging; su = susu; se = tebas; so’ = kering, tajam.

Ada satu hal yang perlu diteliti lebih lanjut oleh ahli bahasa, ialah suatu asumsi dari peneliti bahwa bahasa Buna’ termasuk dalam bahasa tua yang menjadi akar atau awal dari bahasa proto- dan deutro-melayu: dalam bahasa Melayu /Indonesia, kata rumput, dua vokal u terwakili dalam bahasa Buna’, u yang artinya rumput. Dalam bahasa Melayu dan Jawa, kata hidup, urip, dalam bahasa Buna’, u artinya hidup. Dalam bahasa Melayu/Indonesia, makan, dalam bahasa Buna’, a sebagai suatu ungkapan bunyi yang sangat sederhana dan mendasar, menggambarkan mulut yang terbuka untuk memasukkan makanan, mulut terbuka dan ada letusan bunyi ‘a’, dan huruf yang mewakili satu bunyi saja ini menjadi kata dalam bahasa Buna’. Dalam bahasa Melayu/Indonesia, kita, dalam bahasa Buna’, i. Dalam bahasa Melayu/Indonesia, gigit, dalam bahasa Buna, i. Kata gigit, dengan satu huruf saja i memberikan kesan, pengucap itu sebagai pencetus awal kata i yang artinya gigit melihat orang menggigit atau binatang menggigit biasanya gigi kelihatan dan bunyi yang tercetus hanyalah bunyi ‘i’. Lalu bunyi i ini menjadi satu kata untuk menggigit. Perlu digali lebih lanjut tentang keunikan yang ada dalam bahasa Buna’ ini. Hal ini baru merupakan asumsi awal dari peneliti untuk membuka horison bagi peneliti lain di bidang bahasa.

Page 16: BAB 5 MENATA KEKERABATAN MELALUI PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/6/D_902006009_BAB V.pdf · MENATA KEKERABATAN ... Contoh Berdirinya Satu Deu : Berdirinya Deu

142

Tentang keunikan bahasa Buna’ ini, seorang pemimpin Gereja

Katolik di Keuskupan Atambua, Bapak Uskup Mgr. Anton Pain Ratu SVD, pernah berkata pada tahun 1987 dalam kunjungan kerja beliau ke wilayah Lamaknen bersama peneliti.

“Wah, bahasa Buna’ ini sukar sekali. Dan ganjil. Bagaimana tiap huruf ada arti dan kalau kita ucap salah-salah, orang tidak mengerti dan orang tertawa. Karena bahasanya sukar itulah maka dari pihak pimpinan Gereja Katolik, kalau sudah tempatkan satu misionaris (Pastor) dari luar, entah dari Indonesia sendiri atau dari Eropah, seperti Pater Barth (orang Jerman, alm.) atau Pater Roth (orang Jerman) di wilayah suku Buna’ seperti di Lamaknen ini, dan kalau dia sudah fasih berbahasa Buna’, sulit sekali untuk dipindahkan dengan pertimbangan, orang baru yang menggantikan nanti setengah mati, belajar bahasa Buna’ ini. Dan umat juga nanti susah, tidak dapat penggembalaan dari orang yang mengerti bahasa mereka. Jadi kami pimpinan Gereja Katolik atau pimpinan Konggregasi Pastor-pastor cenderung untuk mempertahankan Pastor yang sudah menguasai bahasa Buna’ di wilayah orang Buna’ ini.”

Jadi bahasa Buna’ ini merupakan bahasa persatuan yang menyatukan orang Buna’ sebagai satu kesatuan yang unik dan kuat.

Gambar 25 Mgr. Anton Pain Ratu SVD, Uskup Atambua Emeritus Beliau mengatakan bahwa bahasa Buna’ itu sukar sekali karena tiap huruf

hidup bisa ada arti.

Page 17: BAB 5 MENATA KEKERABATAN MELALUI PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/6/D_902006009_BAB V.pdf · MENATA KEKERABATAN ... Contoh Berdirinya Satu Deu : Berdirinya Deu

143

Dalam pergaulan harian, mungkin oleh kosa kata dan struktur bahasa yang sederhana, para pengguna bahasa Buna’ ini cenderung berbicara singkat-singkat dan kedengarannya kasar. Bahasa Buna’ tidak mengenal tingkatan bahasa halus dan kasar. Hanya dalam ungkapan kepada orang yang lebih tua, ada ungkapan yang diperhalus tetapi tidak ada tingkatan khusus dalam ungkapan baik kepada orang yang sederajat maupun kepada yang lebih tinggi tingkatannya. Hal ini mempengaruhi juga watak orang-orang Buna’ yang suka bicara singkat dan tidak mau berbelit-belit yang oleh orang-orang luar yang bukan suku Buna’ beranggapan bahwa orang Buna’ itu wataknya kasar. Hal ini terungkap dalam wawancara peneliti dengan Pater Vincent Wun SVD (59) 29 yang dilakukan pada tanggal 30 Maret 2011 melalui percakapan jarak jauh. Ini kesannya tentang orang Buna’:

“Orang Buna’ itu sepintas lalu kita sangka kasar. Itu watak orang yang hidup di tanah yang gersang dan tanah bukit-bukit. Bahasa mereka juga bahasa yang kata-katanya singkat, tegas. Bayangkan, kalau kita suruh seorang pemuda Buna’ buat apa-apa, dia bilang “Cia’ “ artinya, “Tidak mau”, dia langsung katakan singkat begitu dan tetap tidak mau. Kalau dia bilang “Ni’ “ (“Tidak”), yah tetap tidak. Mereka ini orang-orangnya terkesan bicara kasar, gerak kasar, tapi hatinya lembut. Saya delapan tahun saya sebagai Pastor di antara orang Buna’ di Nualain, dan sangat mengenal watak oran-orang Buna’. Saya memang belajar bahasa Buna’ dan kotbah dalam bahasa Buna’, tapi ada banyak kata dengan banyak arti, saya tidak bisa tangkap. Yah, bahasa Buna’ itu memang sukar.”

Kedua bahasa Buna’ sebagai bahasa adat yang memperat tali kekerabatan orang Buna’. Dalam setiap tutur adat yang didaraskan oleh Mako’an (ahli adat suku Buna’), bahasa Buna’ dengan kata-kata khusus yang berpadanan arti dirangkai dalam syair yang bunyinya berirama

29 Pater Vincent Wun SVD, seorang imam berasal dari Niki-niki, Timor-Tengah-Selatan, dari suku Dawan campuran Tionghoa, lahir 17 Juli 1951. Ditahbiskan menjadi imam pada tgl 9 Juli 1982. Menjadi Pastor Paroki di Nualain, wilayah suku Buna’ selama delapan tahun, 1984 – 1993. Pengalamannya selama delapan tahun bergaul dengan orang-orang Buna’ merupakan kesan yang mendalam bagi dirinya tentang perilaku orang-orang Buna’.

Page 18: BAB 5 MENATA KEKERABATAN MELALUI PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/6/D_902006009_BAB V.pdf · MENATA KEKERABATAN ... Contoh Berdirinya Satu Deu : Berdirinya Deu

144

dalam bentuk lagu yang datar. Untuk menerima tamu dilaksanakan acara pail (sapaan adat) yang meriwayatkan asal-usul dan kedudukan tamu yang disambut. Untuk upacara kematian, didaraskan riwayat asal-usul leluhur dan tujuan pengantaran arwah orang mati ke tempat tinggal para leluhur. Bahasa yang digunakan dalam adat ini sulit dimengerti oleh orang kebanyakan tetapi karena padanan kata dan irama yang mempunyai kekuatan mistik tersendiri membuat para pendengar dan para peserta upacara tetap menghayatinya tanpa banyak mengerti artinya. Masyarakat di desa Henes dan Lakmaras mempunyai satu orang Mako’an (ahli tutur adat) yang muda bernama Markus Tay Giral (62) menggantikan Mako’an yang sudah meninggal dunia tinggal di Abis.

“Saya laksanakan tugas sebagai Mako’an ini tidak melalui pendidikan khusus macam sekolah. Saya ikut-ikut mereka

Dalam keterangannya sebagai Mako’an, penutur adat, Bapak

Markus Tay Giral ini menjelaskan pada bulan Oktober tahun 2008 di Lakmaras:

Gambar 26. Mako’an: Masyarakat di desa Henes dan Lakmaras mempunyai satu orang Mako’an bernama Markus Tay Giral (62) menggantikan Mako’an

yang sudah meninggal dunia tinggal di Abis. Mako’an Markus Tay Giral sedang berdoa.

(Sumber: Eustachius Mali Tae)

Page 19: BAB 5 MENATA KEKERABATAN MELALUI PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/6/D_902006009_BAB V.pdf · MENATA KEKERABATAN ... Contoh Berdirinya Satu Deu : Berdirinya Deu

145

(Mako’an) yang sudah tua dan sudah meninggal semua. Untuk tahu bahasa adat dan silsilah leluhur harus banyak dengar dan ikut mereka yang tua-tua. Saya ikut mereka sehingga masyarakat percaya saya dan panggil saya ke sana-sini untuk bawakan tutur adat”.

Fungsi yang ketiga bahasa Buna’ ialah bahasa doa. Dalam setia

upacara sakral ungkapan berupa sapaan kepada mugen (arwah leluhur), muk gomo (roh-roh penghuni langit dan bumi) dan Hot Esen (Matahari Yang Tinggi) didaraskan doa dalam bentuk bahasa syair dengan kata-kata yang bermakna sangat dalam. Sebagai contoh, Yang Maha Tinggi disapa dengan ungkapan, Hot ligi o le esen, Bei Gepal kere’ gial uen, Esen hitu gene, as hitu gene. (Terjemahan bebas: Matahari, terbuka dan bersinar di tempat yang tinggi, Nenek bertelinga satu, bermata tunggal, berdiam di ketinggian berlapis tujuh).Mulai dari upacara kelahiran, perkawinan dan kematian doa-doa khusus sudah terhafal oleh Mako’an dan didaraskan dengan lancar sambil membuat gerak-gerik sesuai maksud doa-doa itu sendiri.

Gambar 27. Mako’an Markus Tay sedang memimpin ibadat agama Hot Esen dikitari oleh anggota suku yang mempunyai hajatan

(Sumber: Eustachius Mali Tae)

Page 20: BAB 5 MENATA KEKERABATAN MELALUI PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/6/D_902006009_BAB V.pdf · MENATA KEKERABATAN ... Contoh Berdirinya Satu Deu : Berdirinya Deu

146

Doa dalam bahasa harian, tidak ada. Semuanya itu dalam bahasa yang tinggi sehingga kedengarannya berwibawa tetapi tidak dimengerti oleh peserta upacara. Suasana mistik inilah yang diungkapkan dalam bahasa Buna’ yang khusus dan akibatnya doa-doa dalam bahasa harian bukanlah dianggap doa tetapi bahasa pembicaraan biasa yang tidak mempunyai nilai sakral.Secara sederhana dapat dikatakan bahasa Buna’ merupakan bahasa ‘primitif’, sederhana, miskin kosa kata, tetapi di situlah letaknya keunikan bahasa ini yang untuk sementara penulis mengganggapnya sebagai satu gambaran munculnya suatu bahasa sebagai tiruan bunyi yang dibakukan dalam gerak mulut dan bibir sesuai bunyi yang dicetuskan. Keunikan bahasa ini melekat pada pemakainya dan menjadi alat komunikasi yang dipakai untuk secara horisontal berkontak dengan sesama manusia dan secara vertikal berkontak dengan alam roh. KESIMPULAN

Dasar dari keberlanjutan hidup kelompok suku Buna’ di desa Henes dan Lakmaras ini ialah kekerabatan yang nampak dalam keterkaitan antara suku. Masyarakat merasa bahwa keberadaan mereka itu ditentukan oleh leluhur yang telah merintis kebiasaan dalam sistem malu-ai dan sistem dasa’ rak atau hirarki dalam pemerintahan berdasarkan suku ini. Sampai sekarang suku-suku rumah itu masih tetap saling menopang dalam berbagai urusan kehidupan harian dan hal ini membuat masyarakat hidup dalam kebersamaan tanpa mau menonjolkan kelebihan satu suku di atas suku yang lain.

Ikatan suku-suku di DHL ada yang berdasarkan hubungan darah (malu-ai) ada yang berdasarkan perjanjian atau sumpah adat (hulo-lep). Masyarakat dua desa ini ternyata direkatkan oleh dua macam dasar ini sehingga sangat kokoh. Mereka menyadari diri sebagai satu keturunan dari leluhur yang bersaudara dan sewaktu berkembang menjadi suku-suku yang berpisah untuk menghuni tempat yang berjauhan, leluhur mengadakan sumpah untuk tidak saling meninggalkan satu sama lain. Dampak dari ikatan malu-ai dan hulo-lep ini secara positif ialah: kedua kelompok yang dipisahkan atas dua desa ini tidak pernah mempermasalahkan tanah, baik wilayah desa maupun tanah perkebunan. Mereka merasakan sebagai milik bersama untuk

Page 21: BAB 5 MENATA KEKERABATAN MELALUI PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/6/D_902006009_BAB V.pdf · MENATA KEKERABATAN ... Contoh Berdirinya Satu Deu : Berdirinya Deu

147

kepentingan bersama. Siapa berani melanggar kebiasaan ini merasa melanggar bukan hanya ketentuan manusiawi, tetapi melanggar kehendak dari leluhur (mugen), kehendak dari roh-roh (pan muk gomo) dan yang terpenting ialah kehendak Tuhan (Hot Esen).

Kekerabatan diperkokoh oleh adanya bahasa pemersatu, bahasa Buna’ yang mengungkapkan kepribadian dan harga diri yang terdalam, baik dalam pergaulan harian maupun dalam ungkapan adat dan doa-doa. Sampai tahun-tahun 2000-an ini, masyarakat DHL masih hidup dalam alam pikiran dari ratusan tahun lampau yang dihidupi oleh para leluhur mereka. Hal ini mengherankan karena arus modernisasi dalam bentuk pendidikan, ekonomi dan agama sudah lama masuk ke dalam masayarakat ini, paling tidak sudah lebih dari seratus tahun, sejak tahun 1900-an. Satu hal yang sangat nyata ialah: ikatan secara manusiawi, baik ikatan keluarga maupun ikatan pemerintahan adat, ternyata didasarkan atas keyakinan terdalam yang tidak dapat diganggu-gugat, ialah keyakinan atas dasar kepercayaan pada dunia roh: leluhur, roh dan Tuhan. Kalau kekerabatan itu hanya berdasarkan ikatan keturunan saja tanpa dikokohkan dengan riwayat leluhur, maka ikatan akan rapuh dan mudah timbul berbagai percekcokan dan perpisahan. Kalau kekerabatan itu hanya didasarkan atas kharisma kepemimpinan seseorang atau atas dasar harta dan kuasa yang dimiliki seseorang pemimpin, maka kekerabatan itu tidak akan bertahan lama seperti keadaan yang dialami oleh masyarakat DHL sekarang ini.

Jadi kalau tanpa ikatan-ikatan ini, baik ikatan darah dan sumpah persaudaraan maupun ikatan berdasarkan bahasa, masyarakat DHL tidak mungkin tetap bersatu seperti sekarang ini. Ada dasar yang terdalam yang begitu menyatu dalam cita dan rasa berkelompok dan dasar itu adalah dasar rohani, dasar yang diletakkan dalam kesadaran bersama, ialah: kesadaran rohani, kesadaran akan adanya dan peranan dunia rohani yang berada di balik semua gejala hidup bermasyarakat yang nampak dalam hidup sehari-hari.

Page 22: BAB 5 MENATA KEKERABATAN MELALUI PERKAWINANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/725/6/D_902006009_BAB V.pdf · MENATA KEKERABATAN ... Contoh Berdirinya Satu Deu : Berdirinya Deu

148