bab 5 - identifikasi permasalahan-konflik
DESCRIPTION
konflikTRANSCRIPT
V - 1
LAPORAN AKHIR
BAB – VIDENTIFIKASI PERMASALAHAN
PENGELOLAAN SDA
5.1 UMUM
Berdasarkan Inventarisasi dan Analisis masing-masing Aspek
Lingkungan Hidup yang ada di DKI Jakarta, maka dapat diidentifikasi
permasalahan masing-masing aspek tersebut jika dikaitkan dengan
Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di DKI
Jakarta. Aspek Lingkungan yang dimasukkan sebagai pembahasan
adalah yang paling tinggi tingkat permaslahannya dan sangat erat
dampak serta erat kaitannya secara langsung dengan kehidupan
ekosistem lain di Wilayah DKI Jakarta.
5.2 KONFLIK DAN PENYEBAB KONFLIK
5.2.1 PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN
Perubahan tata guna lahan juga dapat menjadi penyebab pencemaran
air tanah. Air hujan yang seharusnya masuk ke dalam tanah untuk
menambah kuantitas air tanah dapat menyebabkab menurunnya
konsentrasi pencemar tidak dapat diserap oleh tanah karena sudah
tertutup oleh pelapisan dan fungsi lainnya.
Selain kuantitas air yang menurun masuk ke dalam tanah, kualitas air
tanah yang dikonsumsi warga juga semakin buruk. Hasil klasifikasi
Indeks Pencemaran (IP) di 48 sumur yang tersebar di lima wilayah
menunjukkan 27 sumur tercatat cemar berat dan cemar sedang dan
21 sumur lainnya terindikasi cemar ringan dan dalam kondisi baik
Sejalan dengan uraian pada Bab 4 tentang inventarisasi Air
Tanah ,Wilayah yang mempunyai kualitas air tanah paling buruk
adalah Jakarta Utara. Tujuh dari delapan sumur yang dipantau di
wilayah ini masuk kategori cemar berat dan sedang. Pada umumnya
wilayah ini digunakan untuk pemukiman kawasan industri dan
permukiman padat. Adapun wilayah yang kualitas airnya masih cukup
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap I
V - 2
LAPORAN AKHIR
baik adalah Jakarta Selatan. Di wilayah ini umumnya digunakan untuk
permukiman teratur.
5.2.2 GEOLOGI
Beberapa konflik/permasalahan terjadi dalam pembangunan di DKI
Jakarta, di akibatkan masalah keretakan bangunan, amblesan tanah,
banjir, runtuhnya jalan dan sebagainya. Permasalahan tersebut erat
hubungannya dengan kondisi geologi teknik di DKI Jakarta. Seperti
yang telah disebutkann sebelumnya, daratan DKI Jakarta secara
geologi memiliki tanah alluvium yang sangat bervariasi sifat
keteknikannya baik pada sebaran ke arah vertikal maupun
mendatar.Berdasarkan identifikasi morfologinya, garis pantai purba
DKI Jakarta 5000 tahun yang lalu berada di sepanjang Jl. Daan Mogot –
Grogol - Monas – Senen - Pulo Gadung, sehingga di beberapa tempat di
sepanjang jalan tersebut dijumpai tanah endapan pematang pantai
dan di belakangnya dijumpai tanah endapan rawa yang bersifat lunak.
Tanah aluvium di DKI Jakarta bagian utara mempunyai umur baru
5.000 tahun belum mengalami pemampatan yang maksimal, sehingga
adanya pembangunan infrastruktur dan dipacu oleh pengambilan air
tanah dalam secara berlebihan telah menyebabkan terjadinya
amblesan tanah secara regional. Amblesan tanah telah mencapai
kecepatan > 5 cm/tahun bahkan di beberapa tempat mencapai >10
cm/tahun (di Rawa Buaya-Kapuk-Kamal). Dampak amblesan tanah
menimbulkan semakin meluasnya banjir dari tahun ke tahun,
terganggunya dan bahkan tidak berfungsinya sistem drainase dan
infrastruktur di DKI Jakarta. Di bagian selatan dari Jakarta yang
tersusun oleh aluvium volkanik pada umumnya mempunyai sifat
keteknikan tanah yang lebih baik di banding tanah aluvium yang ada di
Jakarta bagian utara, sehingga pembangunan infrastruktur maupun
konstruksi bangunan berat tidak mengalami kendala seperti yang ada
di Jakarta bagian utara. Saat ini kebutuhan lahan dipermukaan mulai
terasa sudah terbatas, sehingga pemanfaatan ruang bawah
permukaan mulai dilakukan untuk menampung permasalahan yang
tidak dapat terpecahkan di permukaan tanah sehingga muncul
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap I
V - 3
LAPORAN AKHIR
persoalan penataan ruang bawah tanah, dan isu dampak
lingkungannya.
5.2.3 KEPENDUDUKAN, SOSIAL, PEREKONOMIAN KOTA
Permasalahan Interaksi Sosial dan Kemasyarakatan
Sebagaimana umumnya kota megapolitan, kota yang berpenduduk di
atas 10 juta, Jakarta memiliki masalah stress, kriminalitas, dan
kemiskinan. Penyimpangan peruntukan lahan dan privatisasi lahan
telah menghabiskan persediaan taman kota sehingga menambah
tingkat stress warga Jakarta. Kemacetan lalu lintas, menurunnya
interaksi sosial karena gaya hidup individualistik juga menjadi
penyebab stress. Tata ruang kota yang tidak partisipatif dan tidak
humanis menyisakan ruang-ruang sisa yang mengundang tindak laku
kriminal. Penggusuran kampung miskin dan penggusuran lahan
usaha informal oleh pemerintah DKI adalah penyebab aktif kemiskinan
di DKI Jakarta. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2011, tercatat
bahwa penduduk DKI Jakarta berjumlah 9,6 juta jiwa. Jumlah penduduk
dan komposisi etnis di Jakarta, selalu berubah dari tahun ke tahun.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2011, tercatat bahwa setidaknya
terdapat tujuh etnis besar yang mendiami Jakarta. Suku Jawa
merupakan etnis terbesar dengan populasi 35,16% penduduk kota.
Etnis Betawi berjumlah 27,65% dari penduduk kota. Pembangunan
Jakarta yang cukup pesat sejak awal tahun 1970-an, telah banyak
menggusur perkampungan etnis Betawi ke pinggiran kota. Pada tahun
1961, orang Betawi masih membentuk persentase terbesar di wilayah
pinggiran seperti Cengkareng, Kebon Jeruk, Pasar Minggu, dan
Pulo Gadung.
Orang Tionghoa telah hadir di Jakarta sejak abad ke-17. Mereka biasa
tinggal mengelompok di daerah-daerah pemukiman yang dikenal
dengan istilah Pecinan. Pecinan atau Kampung Cina dapat dijumpai di
Glodok, Pinangsia, dan Jatinegara, selain perumahan-perumahan baru
di wilayah Kelapa Gading, Pluit, dan Sunter. Orang Tionghoa banyak
yang berprofesi sebagai pengusaha atau pedagang. Disamping etnis
Tionghoa, etnis Minangkabau juga banyak yang berdagang, di
antaranya perdagangan grosir dan eceran di pasar-pasar tradisional
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap I
V - 4
LAPORAN AKHIR
kota Jakarta. Masyarakat dari Indonesia Timur, terutama etnis Bugis,
Makassar, dan Ambon, terkonsentrasi di wilayah Tanjung Priok. Di
wilayah ini pula, masih banyak terdapat masyarakat keturunan
Portugis, serta orang-orang yang berasal dari Luzon, Filipina.
Permasalahan lingkungan sosial lebih dikarenakan karena interaksi
antar penduduk. Jakarta sendiri memiliki jumlah penduduk komuter
lebih banyak di siang hari dan lebih sedikit pada malam hari. Namu hal
ini bukan berarti Jakarta tidak memiliki amsalah. Sebagai kota
megapolitan yang menjanjikan keberhasilan dan hidup yang lebih baik,
Jakarta harus bertahan menghadapi serbuan pendatang yang bersaha
mengadu peruntungan dengan mencari pekerjaan. Beberapa masalah
yang dapat diidentifikasi antara lain kesenjangan sosial, krimiinalitas,
kemiskinan dan pemukiman kumuh.
Kesenjangan sosial berawal dari lebarnya jangkauan pendapatan yang
ada di Jakarta tanpa usaha pemerataan atau subsidi yang tepat.
Sistem ekonomi yang dipilih oleh Indonesia membuat para kaya tidak
terikat untuk melakukan subsidi untuk si miskin. Pajak negara yang
seharusnya dapat menyelesaikan masalah ini sekarang malah
menimbulkan masalah baru. Kepekaan moral yang didapat pada
jenjang pendidikan sebaiknya lebih dilatih lagi untuk menyembuhkan
penyakit ini. Kemiskinan merupakan kambing hitam dari segala
masalah yang muncul di bangsa ini. padahal penyebab kemiskinan
tidak hanya bersumber dari budaya masyarakat malsa dan bodoh
namun juga peranan regulasi pemerintah yang salah. Banyaknya
kebijakan instan yang menambah kemalasan orang miskin menjadikan
kemiskinan terpelihara dan tumbuh subur di Negara ini. belenggu
kemiskinan memang bkan merupakan sesuatu yang mudah untuk
dilepaskan, namun peran aktif masyarakat dapat saja merubah nasib
bersama. Adanya kebijakan yang bersifat bottom up sangat diperlukan
untuk menyelesaikan masalah ini dan meningkatkan kesejahteraan
rakyat seperti janji pemerintah pada UUD 1945, Kriminalitas adalah
masalah lanjutan dari timbulnya kemiskinan. Sulitnya mencari
lapangan pkerjaan dan kondisi moral yang lemah menjadikan
kriminalitas sebagai jalan pintas yang diambil orang untuk dapat
meraup untung sebanyak banyaknya. Namun nyatanya sekarang
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap I
V - 5
LAPORAN AKHIR
kriminalitas tak hanya dilakukan oleh orang miskin namun juga orang
yang ingin memperkaya diri seperti para koruptor. Seharusnya
pemerintah dan dinas sosial dapat lebih tegas dengan masalah moral
ini. adanya pembinaan dan sanksi sosial yang kuat diharapkan dapat
mengurangi masalah ini. Permukiman kumuh merupakan masalah baru
dan tumbuh bagai jamur di musim hujan. Banyaknya penduduk yang
datang namun tidak dapat berkembang memaksa mereka tetap
tinggal namun dengan melakukan berbagai hal antara lain
menggunakan lahan tak terpakai dan kolong jembatan sebagai tempat
tinggal. Bahkan bantaran sungai dan pinggir rel kereta juga turut di
manfaatkan. Kondisi ini sangat tidak seat dan tidak baik bagi tata kota.
Adanya kebijakan rusun murah dan penertiban bangunan tanpa IMB
merupakan jalan terbaik yang bisa dilakukan pemerintah dan
seharusnya pemerintah lebih tegas akan hal ini.
Dampak Pencemaran Lingkungan Hidup Bagi Kehidupan Sosial
Aspek Lingkungan yang paling banyak memberikan dampak social bagi
masyarakatadalah Udara. Dalam hal ini adalah Pencemaran Udara.
Kualitas udara di Jakarta sudah cenderung tercemar dan mulai
terkonsentrasi di beberapa titik. Berdasarkan PP Nomor 41 Tahun
1999, terdapat satu indikator kualitas udara berdasarkan partikel debu
maksimum 60 mikrogram per meter kubik. Sementara kondisi udara di
Jakarta saat ini, mencapai 150 mikrogram per meter kubik. Standar
WHO bahkan 20 mikrogram per meter kubik. Ini tandanya tujuh kali
lipat dari kondisi yang ada di Jakarta. Sangat jauh dari bersih. Belum
lagi indikator lain seperti sulfur dioksida, nitrogen dioksida, dan hydro
karbon. Konsentrasi hydro karbon di Jakarta sangat tinggi. Hal ini bisa
dilihat dari bau bahan bakar yang sangat pekat tercium apabila kita
mengendarai motor. Karena itu, Pemprov DKI harus kembali
melaksanakan apa yang diamanatkan dalam Perda Nomor 2 Tahun
2005 tentang penanganan pencemaran udara. Selain itu, juga perlu
penanganan terkait sistem transportasi publik.
Reaksi dari Masyarakat Terhadap Pencemaran Udara
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap I
V - 6
LAPORAN AKHIR
Dalam kondisi yang tidak bersahabat tersebut tentu saja mengundang
berbagai reaksi atau respon dari masyrakat. Respon tersebut dapat
berupa :
Melihat kondisi udara di ibu kota negara kita ini sudah sangat
tercemar, reaksi masyarakat di Jakarta melihat kondisi tersebut
adalah dengan menggunakan masker yang dapat mengurangi
mengurangi rasa tidak nyaman ketika menghirup nafas karena
cuaca yang sudah tercemar asap kendaraan bermotor dan juga
untuk mencegah timbulnya berbagai penyakit yang ditimbulkan
akibat asap kendaraan ini.
Selain menggunakan masker, masyarakat juga beraksi dengan
mengaspirasikan suaranya kepada pemerintah DKI Jakarta untuk
membatasi jumlah kendaraan bermotor di wilayah Jakarta karena
salah satu penyebab utama dari pencemaran udara di Jakarta
adalah jumlah kendaraan bermotor melebihi kapasitas penduduk
Jakarta itu sendiri atau juga masyarakat dapat menyuarakan untuk
menggunakan bahan bakar alternatif untuk kendaraan bermotor
baik itu untuk kendaraan pribadi ataupun umum yang lebih ramah
lingkungan sehingga tidak menimbulkan polusi.
Dampak Pencemaran Udara Bagi Kesehatan Masyarakat dan
Kesehatan Lingkungan Sosial
Hasil dari pencemaran udara ini tentunya bersifat negatif karena
sangat merugikan bagi masyarakatnya.Salah satunya yang merugikan
adalah dari segi kesehatan. Penyakit yang dapat ditimbulkan dari
pencemaran udara ini antara lain :
Kanker paru - paru dan kanker liver (hati).
Bronchitis, ashma, dan gangguan nafas.
Iritasi mata, iritasi pada selaput lendir di hidung, dan iritasi kulit
Sakit kepala, tenggorokan kering, dan batuk.
Selain berbahaya bagi kesehatan, pencemaran akibat asap kendaraan
bermotor ini pun dapat berdampak pada lingkungan seperti :
Aspek rumah kaca.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap I
V - 7
LAPORAN AKHIR
Dapat menyebabkan peningkatan panas di bumi karena gas – gas
dalam rumah kaca seperti uap air dan karbondiosida tidak terlepas
ke angkasa luar melainkan terperangkap didalam lapisan bumi.
Penipisan lapisan ozon.
Zat – zat dalam asap kendaraan bermotor dapat menyebabkan tipis
dan berlubangnya lapizan ozon sehingga menyebabkan Global
Warming dan juga meningkatkan jumlah penyakit kanker kulit,
penyakit katarak, kanker kulit, menurunkan immunitas tubuh serta
produksi pertanian dan perikanan.
Hujan asam.
Dampak Pencemaran Udara Bagi Kesehatan Masyarakat dan
Kesehatan Lingkungan Sosial
Pencemaran udara akibat asap kendaraan bermotor ini dapat
berdampak secara psikologis bagi masyarakatnya, gangguan yang
dapat ditimbulkan antara lain :
Gangguan emosional.
Gangguan emosional tersebut antara lain kejengkelan dan
kebingungan. Suasana yang tidak nyaman tersebut menyebabkan
orang-orang mudah merasa jengkel terhadap suasana di sekitarnya
yang dapat mengakibatkan terganggunya hubungan interpersonal
dengan orang lain, seperti mudah emosi bila orang lain melakukan
kesalahan atau bercanda dengan kita.
Gangguan gaya hidup.
Gaya hidup orang-orang yang tinggal di sekitar tempat terjadinya
pencemaran dapat terganggu. Contohnya yaitu gangguan tidur atau
istirahat, selain itu orang-orang yang tinggal di tempat yang
sekitarnya terdapat pencemaran juga menjadi mudah kehilangan
konsentrasi sehingga orang tersebut menjadi sulit untuk
berkonsentrasi.
Gangguan kecerdasan.
Hal ini biasanya terjadi pada anak-anak di bawah umur yang sedang
dalam usia pertumbuhan. Awal mulanya ketika masih bayi sering
menghirup ataupun mengkonsumsi zat-zat berbahaya lainnya
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap I
V - 8
LAPORAN AKHIR
sampai di luar batas kewajaran karena di sekitar tempat tinggalnya
terdapat pencemaran lingkungan. Sewaktu masih bayi gangguan ini
masih sulit untuk di deteksi dan gangguan kecerdasan ini mulai
tampak ketika anak tersebut mulai memasuki kehidupan
sekolahnya.
Gangguan kejiwaan.
Asap kendaraan bermotor juga dapat berimbas pada kejiwaan, salah
satu contohnya adala stress. Dengan kondisi keadaan Jakarta yang
sering macet dan asap kendaraan yang melebihi batas dapat
menyebabkan orang menjadi stress dalam memulai aktivitasnya.
5.2.4 UDARA
Pencemaran udara merupakan salah satu masalah besar yang
dihadapi oleh DKI Jakarta. Pada penelitian ini dipelajari zat-zat polutan
yang terdapat dikawasan pemukiman, industri dan komcrsil serta
kesesuaian tata guna lahan berdasarkan konsentrasi udara ambien
dan unsur-unsur meteorologis yang mempengaruhinya. Konsentrasi
udara ambien tertinggi sebagian besar tejadi di kawasan komersi!.
Polutan SO, tertinggi lerdapat di kawasan Komersil yaitu 12 ppb
konsentrasi tersebut masih berada di bawah baku mulu yaitu 91 ppb.
Parameter CO lertinggijuga terjadi di kawasan komersil yailu 28.1 ppm,
nilai [ersebut sudah melebihi baku mutu yaitu 7.2 ppm. Konsentrasi
NO, dan Hidrokarbon tertinggi juga terjadi di kawasan komersil,
konsentrasi NO, tertinggi adalah 140 ppb yang nilainya melcbihi baku
mutu yailu 69 ppb dan konsentrasi Hidrokarbon tertinggi yaitu 3840
ppb juga melebihi baku mutu yaitu 240 ppb. Scdangkan untuk
parameter PM-IO Konsentrasi tertinggi teljadi di kawasan industri Yaitu
113 ~g/m3, nilai tersebut masih berada di bawah baku mutu yaitu 150
mg/m3 Kesesuaian tata guna lahan berdasarkan konsentrasi udara
ambien untuk wilayah Pluit adalah tidak sesuai sebagai peruntukkan
Garis isoline menunjukkan bahwa di wilayah Pluit konsentrasi
pencemarnya sama dengan wilayah komersil untuk parameler SO, dan
NO2 sedangkan untuk parameter CO dan HC konsentrasinya sama
dengan wilayah industri.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap I
V - 9
LAPORAN AKHIR
Penyebab paling signifikan dari polusi udara di Jakarta adalah
kendaraan bermotor yang menyumbang andil sebesar ±70 persen. Hal
ini berkorelasi langsung dengan perbandingan antara jumlah
kendaraan bermotor, jumlah penduduk dan luas wilayah DKI Jakarta.
Berdasarkan data Komisi Kepolisian Indonesia, jumlah kendaraan
bermotor yang terdaftar di DKI Jakarta (tidak termasuk kendaraan milik
TNI dan Polri) pada bulan Juni 2009 adalah 9.993.867 kendaraan,
sedangkan jumlah penduduk DKI Jakarta pada bulan Maret 2009
adalah 8.513.385 jiwa. Perbandingan data tersebut menunjukkan
bahwa kendaraan bermotor di DKI Jakarta lebih banyak daripada
penduduknya. Pertumbuhan jumlah kendaraan di DKI Jakarta juga
sangat tinggi, yaitu mencapai 10,9 persen per tahun. Angka-angka
tersebut menjadi sangat signifikan karena ketersediaan prasarana
jalan di DKI Jakarta ternyata belum memenuhi ketentuan ideal. Panjang
jalan di DKI Jakarta hanya sekitar 7.650 kilometer dengan luas 40,1
kilometer persegi atau hanya 6,26 persen dari luas wilayahnya.
Padahal, perbandingan ideal antara prasarana jalan dan luas wilayah
adalah 14 persen. Dengan kondisi yang tidak ideal tersebut, dapat
dengan mudah dipahami apabila kemacetan makin sulit diatasi dan
pencemaran udara semakin meningkat.
Penyebab lain dari meningkatnya laju polusi di Jakarta adalah
kurangnya ruang terbuka hijau (RTH) kota. RTH kota adalah bagian
dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang
diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna
mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan
oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan,
kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan. RTH kota memiliki
banyak fungsi, di antaranya adalah sebagai bagian dari sistem sirkulasi
udara (paru-paru kota), pengatur iklim mikro, peneduh, produsen
oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat satwa, penyerap polutan
media udara, air dan tanah, serta penahan angin. Kurangnya RTH kota
akan mengakibatkan kurangnya kemampuan ekosistem kota untuk
menyerap polusi.
Sebagaimana kita ketahui, Sumber pencemar udara terbesar di kota
Jakarta adalah berasal sektor transportasi atau kendaraan bermotor
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap I
V - 10
LAPORAN AKHIR
dimana jumlah dan jenis kendaraan bermotor dari tahun ke tahun
terus meningkat. Peningkatan jumlah dan jenis kendaraan bermotor
akan meningkatkan pula emisi pencemar yang dikeluarkan ke udara
berupa karbon monoksida (CO), hidrokarbon (HC), dan asap.
Kondisi udara yang tercemar tentunya akan mempengaruhi kesehatan
manusia dan juga ekosistemnya. Untuk itu Pemerintah Daerah dan
masyarakat Jakarta terus berupaya melaksanakan pengendalian
pencemaran udara dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Nomor 2
Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Selanjutnya,
sebagai petunjuk pelaksanaan khusus untuk program uji emisi telah
ditetapkan Peraturan Gubernur Nomor 92 Tahun 2007 tentang Uji
Emisi dan Perawatan Kendaraan Bermotor.
Selain itu, maslah lain yang menyertai masalah Polusi Udara polusi
suara (bising). Baru-baru ini banyak penelitian tentang naiknya tingkat
kebisingan di kota-kota besar. Kebisingan tidak hanya berdampak pada
kesehatan alat pendengaran manusia, namun gelombang suara yang
terlalu tinggi ternyata juga dapat merusak konstriksi bangunan dan
mengganggu alat telekomunikasi nirkabel serta gelombang radio. Oleh
karena itu di kota besar saat ini banyak tinjauan tentang pengendalian
tingkat kebisingan dengan mengusahakan beberapa metode seperti
peredam bunyi bagi kendaraan, kaca kedap suara pada konstruksi
gedung dan pelindung telinga. Polusi suara dapat saja mencapai
tingkat tak terkendali, sayangnya sampai saat ini belum ada regulasi
yang ketat akan hal ini.
5.2.5 HUTAN KOTA DAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH)
Banyak fenomena masalah lingkungan seperti banjir, dan polusi udara
muncul di Jakarta karena masalah kurangnya ruang terbuka hijau dan
menurunnya Tata Guna Lahan misalnya yang berfungsi sebagai hutan,
baik hutan di darat, maupun hutan di lingkungan perairan. Untuk itu,
salah satu elemen ruang terbuka hijau yang harus dipertahankan di
dalam kota adalah Hutan Kota.
Hutan Kota adalah suatu areal yang ditumbuhi pohon-pohon dalam
wilayah perkotaan pada tanah negara atau tanah hak masyarakat dan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap I
V - 11
LAPORAN AKHIR
dapat berfungsi sebagai pembentuk iklim mikro baik didalam maupun
diluar lingkungan sekitarnya, mengatur tata air dan udara, sebagai
habitat burung-burung serta memiliki estetika dan ditetapkan oleh
pejabat yang berwenang sebagai hutan kota dengan luas minimal 0,25
Ha.
Menurut PP No. 63 tahun 2002 Hutan Kota adalah suatu hamparan
lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di
dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak,
yang ditetapkan sebagai Hutan Kota oleh pejabat yang berwenang
dengan tujuan untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan
ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan
budaya.
Hutan kota sebaiknya mencirikan tanaman endemik (species khas)
yang ada di suatu kota. Seperti tanaman khas Jakarta. Bukankah
banyak nama kelurahan di Jakarta berasal dari nama tanaman.
Misalnya kelurahan di Jakarta Utara dengan toponimi (asal usul nama
tempat) nama tanaman Marunda di Cilincing, Kelapa Gading, Kapuk
Muara, Tanjung Priok (pohon tanjung dan priuk), Kebon Bawang,
Sungai Bambu. Atau kelurahan di Jakarta Selatan, Cipete Selatan,
Pondok Labu, Srengseng Sawah, Pondok Pinang, Rawa Jati, Duren Tiga,
Karet dan sebagainya
Alangkah indahnya jika ada tanaman khas/unik Jakarta ditambah
sungai kecil mengalir didalamnya, di tengah kota. Di dalamnya, banyak
anak-anak latihan silat, main musik, atau pasutri tua berjalan sambil
bergandengan tangan. Hutan Kota dapat menyajikan Suasana yang
humanis, hijau, seger dan indah. Di masa depan cucu-cucu kita nanti
akan lebih mencari dan menyenangi Hutan juga sehat dan Kota
daripada mall, selain gratis bisa bermain sepuasnya bersama keluarga.
Fungsi Hutan Kota
1. Dapat dijadikan obyek penelitian, kawasan konservasi, tempat
pariwisata ataupun sebagai salah satu ruang aktivitas publik bagi
masyarakat kota
2. Pelestarian Plasma Nutfah
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap I
V - 12
LAPORAN AKHIR
3. Penahan dan Penyaring Partikel Padat dari Udara, Timbal, Debu
Semen, Karbon-monoksida
4. sebagai penyerap zat yang berbahaya yang mungkin terkandung
dalam sampah seperti logam berat, pestisida serta bahan beracun
dan berbahaya lainnya
5. Penghasil Oksigen
6. Peredam Kebisingan
7. Mengurangi Bahaya Hujan Asam
8. Penyerap dan Penapis Bau
9. Mengatasi Genangan air
10. Mengatasi Intrusi Air Laut
11. Pelestarian Air Tanah
12. Penapis Cahaya Silau
13. Meningkatkan Keindahan/estetika
14. Sebagai Habitat Burung
15. Mengurangi Stres dan Depresi ( sarana refreshing)
16. Mengamankan Pantai Terhadap Abrasi
Kondisi Ideal Hutan Kota di Wilayah DKI Jakarta
PP No 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota pasal 8 menyatakan
Persentase luas hutan kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus)
dari wilayah perkotaan. Jakarta mempunyai persentase luas hutan kota
sebesar 0,4 persen dari total luas wilayah. Masih Kurang 9,6% dari luas
Jakarta atau sebesar 63,5 km2.
5.2.6 AIR PERMUKAAN
Seperti sudah diuraikan dan rekapiltulasi pada Bab 4 tentang
inventarisasi Air Permukaan, bahwa hampir semua badan air ( Air
Permukaan : Sungai, Kali, Waduk, Situ, dan lain-lain) di DKI Jakarta
sudah mengalami pencemaran dari yang berat sampai ringan. Selain
itu, dari berbagai macam literatur yang ada, dan juga dari Inventarisasi
data yang didapat dari BPLHD DKI Jakarta ( seperti sudah diuraikan
pada Bab IV) , beberapa tahun belakangan ini pencemaran air baku,
baik air tanah maupun air permukaan semakin meningkat.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap I
V - 13
LAPORAN AKHIR
Pencemaran tersebut disebabkan masuknya air limbah domestik
maupun industri, dan sampah akibat penanganan sanitasi yang tidak
baik. Disadari, saat ini permukaan yang dapat dijadikan sebagai air
baku sudah semakin langka. Fenomena tersebut melatarbelakangi
ditetapkannya tahun 2008 oleh PBB sebagai Tahun Sanitasi
Internasional dalam rangka Hari Air Dunia 2008.
Meskipun pada 2006 Indonesia sudah mencapai target Millenniun
Development Goals (MDGs) bidang sanitasi namun kualitas sumber air
permukaan Indonesia masih sangat buruk. Indonesia sudah mencapai
69% pelayanan sanitasi sementara MDGs mentargetkan pada 2015
harus mencapai 65,5%.
Pesatnya perkembangan kawasan perkotaan, selain memberikan
dampak positif bagi perkembangan ekonomi, ternyata pada sisi lainnya
dapat mengakibatkan timbulnya permasalahan lingkungan, apabila
kegiatan pembangunan yang dilakukan tidak memperhitungkan faktor
daya dukung lahan. Bencana banjir (flood) ataupun genangan air
(inundation) merupakan salah satu contohnya. Bencana ini juga terjadi
karena curah hujan yang tinggi.
Permasalahan banjir pada umumnya sangat terkait erat dengan
berkembangnya kawasan perkotaan yang selalu diiringi dengan
peningkatan jumlah penduduk, aktifitas dan kebutuhan lahan, baik
untuk permukiman maupun kegiatan ekonomi. Karena keterbatasan
lahan di perkotaan, terjadi intervensi kegiatan perkotaan pada lahan
yang seharusnya berfungsi sebagai daerah konservasi dan ruang
terbuka hijau. Akibatnya, daerah resapan air semakin sempit sehingga
terjadi peningkatan aliran permukaan dan erosi. Hal ini berdampak
pada pendangkalan (penyempitan) sungai, sehingga air meluap dan
memicu terjadinya bencana banjir, khususnya pada daerah hilir.
Terkait dengan permasalahan tersebut diatas, bencana banjir yang
terjadi di DKI Jakarta, pada hakekatnya memiliki korelasi dengan
pesatnya perkembangan kawasan perkotaan di Jabodetabek Punjur,
yang pada kenyataannya tidak lagi sesuai dengan fungsi yang
seharusnya. Penyimpangan / ketidaksesuaian perkembangan kawasan
ini didapati pada daerah hulu maupun hilir Jabodetabek Punjur. Pada
Kawasan Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur) yang secara geografis
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap I
V - 14
LAPORAN AKHIR
merupakan daerah hulu, penyimpangan tersebut tercermin dari
adanya pertambahan daerah terbangun secara signifikan.
Seharusnya, fungsi kawasan Bopunjur merupakan kawasan konservasi
air dan tanah, yang memberikan perlindungan bagi kawasan
dibawahnya untuk menjamin ketersediaan air tanah, air permukaan
dan penanggulangan banjir bagi kawasan Bopunjur dan daerah hilirnya
(KepPres No. 114, tahun 1999).
Adapun penyimpangan pemanfaatan lahan untuk kawasan
Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) sebagai
daerah hilir, antara lain ditunjukan dengan perubahan pemanfaatan
menjadi daerah terbangun pada lahan yang seharusnya berfungsi
sebagai ruang terbuka hijau dan tempat
resapan/penyimpanan/penampungan air. Terjadinya penyimpangan
pemanfaatan lahan, baik pada daerah hulu maupun hilir Jabodetabek
Punjur, tentunya tidak terlepas dari adanya tuntutan kepentingan
sektor ekonomi yang mengabaikan faktor lingkungan. Selain itu,
masalah permukiman liar di sepanjang sungai dan budaya masyarakat
yang memposisikan sungai sebagai tempat pembuangan (limbah dan
sampah) juga menyebabkan kondisi sungai tidak terpelihara. Hal ini
menunjukkan betapa kompleksnya permasalahan banjir.
Akibat dari bencana banjir yang terjadi setiap tahun adalah kerugian
ekonomi dan kadang-kadang juga jatuhnya korban jiwa. Banjir yang
terjadi di daerah perkotaan telah mengakibatkan kerugian, bukan saja
rusaknya harta benda yang terendam air banjir, tetapi juga kemacetan
lalu lintas, merebaknya penyakit menular, hilangnya waktu produktif,
dll. Sementara itu, kerugian akibat banjir di daerah pertanian berupa
gagal panen, yang seringkali harus pula dilakukan penanaman ulang.
Meningkatnya limpasan langsung yang memperbesar debit banjir
maksimum di satu pihak, ternyata juga berarti berkurangnya air hujan
yang meresap ke dalam tanah yang berdampak pada mengecilnya
debit minimum pada sebuah sungai. Hal ini berdampak pada masalah
kekurangan air di berbagai daerah pada musim kemarau, baik untuk
memenuhi kebutuhan pokok air bersih maupun untuk pertanian.
Masalah drainasi termasuk di dalamnya adalah sistem drainasi desa
dan kota pada daerah genangan banjir. Sistem ini dibutuhkan untuk
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap I
V - 15
LAPORAN AKHIR
memindahkan air dari aliran permukaan setempat. Tanpa daerah banjir
atau drainasi kota, aliran permukaan setempat dapat menyebabkan
banjir besar terutama jika outlet drainasi alam yang menuju ke sungai
utama tertutup. Sistem drainasi meliputi drainasi gravitasi ( saluran
terbuka atau pipa-pipa dalam tanah ), pintu gorong-gorong yang
melalui tanggul pengendali banjir, dan sistem-sistem pemompaan
untuk memindahkan air dari suatu bagian yang rendah pada daerah
banjir menuju sungai yang letaknya mungkin sangat lebih tinggi.
Selain upaya untuk memperkecil aliran permukaan (run off) yang
masuk ke sungai, untuk mengelola sistem drainase yang lain dapat
dilakukan secara simultan karena beberapa masalah drainase yang
lain yang muncul dan saling berkaitan dengan aliran permukaan (run
off), diantaranya :
1. Penyempitan sungai akibat sedimentasi dari partikel-pertikel yang
terbawa, yang berdampak pada meningkatnya aliran air
permukaan (run-off).
2. Perubahan lahan alami ke lahan terbangun menimbulkan bahaya
erosi dan menurunkan infiltrasi air tanah.
3. Terjadinya genangan di kawasan pantai lama yang mengalami
amblesan (land subsidance) Apabila land subsidance mencapai 2
m, sementara kenaikan muka air laut mencapai 60 cm, diperlukan
upaya untuk memompa air di daerah genangan yang
kedalamannya mencapai 2,6 m di bawah permukaan laut.
4. Hingga tahun 2011, situ-situ mengalami penyusutan yang cukup
signifikan (sebesar 65,8%).
Untuk mengatasi hal tersebut, maka arahan penataan ruang pada
kawasan Jabodetabekpunjur adalah mengembalikan fungsi kawasan
bopunjur sebagai kawasan resapan air, tentu saja pengembalian
fungsinya harus menggunakan pendekatan teknologi, mengingat
sangat tidak mungkin (terlalu mahal) apabila mengembalikan kawasan
resapan air dengan pendekatan vegetatif, kecuali ada reformasi
agraria pada kawasan ini.
Sedangkan untuk mengatasi permasalahan rob, pada kawasan utara
provinsi Jakarta maka mau tidak mau pemerintah bersama masyarakat
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap I
V - 16
LAPORAN AKHIR
harus berupaya keras untuk meningkatkan fungsi hijau pada kawasan
ini, penanaman mangrove pada kawasan pesisir sebagai pertahanan
alami terhadap abrasi serta ancaman banjir rob merupakan salah satu
opsi yang dapat diusulkan dalam rangka antisipasi banjir di DKI.
Salah satu contoh Waduk Pluit yang tercemar limbah saat bertepatan
dengan hari Lingkungan Hidup sedunia seperti dapat dilihat pada
Gambar 5.1. Waduk yang berfungsi sebagai pengendali banjir, tempat
penampungan air hujan dan cadangan air tanah tercemar limbah
pabrik dan sampah rumah tangga.
Gambar 5.1 Limbah Waduk Pluit
5.2.7 AIR TANAH
Memperhatikan uraian tentang Air Tanah pada Bab 4 yang membahas
tentang inventarisasi dan ketersediaan Air Tanah di DKI Jakarta, maka
dapat diidentifikasi pencemaran air tanah disebabkan oleh :
1. Limbah Industri dan Interusi
industri dan domestik (rumah tangga) maupun interusi air laut adalh
faktor yang sangat berpotensi untuk mencemari air tanah.
Pembuangan limbah baik padat maupun cair yang tidak menggunakan
aturan masih dilakukan oleh beberapa industri, terutama industri kecil.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap I
V - 17
LAPORAN AKHIR
Pabrik besar pun masih banyak melanggar regulasi dan membuang
begitusaja limbahnya ke sungai. Standarisasi bak penampung dan
pengolah limbah seharusnya sangat diperhatikan dan akan lebih baik
pula apabila dalam suatu wilayah memiliki fasilitas pengolahan limbah
rumahtangga yang baik sehingga tidak mencemari air tanah. Masalah
lain ada di pesisir yaitu intrusi air laut. Penurapan berlebih memicu air
laut untuk dapat masuk ke lapisan aquifer sehingga membuat air
tanah yang dikonsumsi terasa pahit. Hal ini bukan tidak dapat diatasi
baik dengan melakukan injeksi maupun perbaikan aquifer sehingga
kelestarian air tanah terjaga.
2. Penurunan Muka Air Tanah
DKI Jakarta menghadapi permasalahan penurunan muka air tanah
yang cukup serius .Untuk itu, dalam penyelesaiannya harus
mengutamakan kegiatan konservasi, pendayagunaan dan
pengendalian daya rusak. Dalam melakukan konservasi salah satu
contohnya adalah Citarum dengan melaksanakan agro forestry,
pembudidayaan hutan karena lebih efektif dalam mengurangi erosi.
Menurut data yang diuraikan pada Bab Inventarisasi Air Tanah, kondisi
air tanah Jakarta saat ini sangat parah. Pengambilan air tanah cukup
tinggi hingga diatas 50 persen. Padahal seharusnya, 40 persen karena
daya tampung air tanah mencapai 40 juta meter kubik pertahun.
"Sementara pengambilannya mencapai sekitar 27 juta meter kubik
pertahun dan penyerapan air tanah hanya sekitar 17 juta meter kubik
pertahun.
Saat ini pengelolaan air jadi persoalan yang krusial bagi DKI Jakarta.
Beragam masalah yang berhubungan dengan air seakan mengepung
masyarakat kota yang kian tua renta dari berbagai penjuru. Dari laut,
sebagian wilayah kota selalu terancam genangan rob. Sedangkan di
bawah tanah ekspansi intrusi air laut kian mendesak ke rongga-rongga
tanah hingga berpotensi merusak fondasi bangunan. Sementara banjir
yang sudah rutin melanda ibukota, lingkup genangannya terus meluas.
3. Pencemaran Fisik, Kimia , dan Biologi
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap I
V - 18
LAPORAN AKHIR
Namun, sesungguhnya ancaman serius yang tampak luput dari
perhatian adalah ancaman defisit air bersih yang kian meningkat. Ini
terjadi karena 13 sungai yang mengalir di Jakarta sudah tak layak
untuk dijadikan bahan baku air bersih, sementara air tanah selain
volume kian berkurang juga kualitasnya terus menurun (tercemar
secara fisik, kimia, dan biologi). Beberapa penelitian mengungkapkan
sebagian besar air tanah di Jakarta sudah tercemar bakteri e-coli.
Dari uraian yang disajikan di Inventarisasi data lokasi air tanah di DKI
Jakarta, maka lokasi-lokasi yang termasuk parah tingkat permasalahan
air tanahnya adalah : Daerah yang tergolong zona rawan dan sangat
rawan antara lain Cengkareng, Petamburan, Kebon Jeruk, Kembangan,
Taman Sari, dan Gambir. Selain itu, Menteng, Setiabudi, Matraman,
Johar Baru, Pulo Gadung, dan Cakung.
Krisis air tanah terjadi antara lain karena air hujan yang turun tidak
bisa terserap dalam tanah. Akibatnya, sebagian besar air hujan
mengalir di permukaan tanah (run off), dan selanjutnya mengalir ke
sungai. Banyaknya lahan untuk ruang terbuka hijau (RTH) yang
dikonversi menyebabkan minimnya penyerapan air ke dalam tanah. Air
hujan yang jatuh ke tanah akan langsung terbuang ke laut.
4. Perubahan Tata Guna Lahan
Perubahan Tata Guna Lahan juga dapat menjadi penyebab
pencemaran air tanah. Air hujan yang seharusnya masuk ke dalam
tanah untuk menambah kuantitas air tanah dapat menyebabkab
menurunnya konsentrasi pencemar tidak dapat diserap oleh tanah
karena sudah tertutup oleh pelapisan dan fungsi lainnya.
Selain kuantitas air yang menurun masuk ke dalam tanah, kualitas air
tanah yang dikonsumsi warga juga semakin buruk. Hasil klasifikasi
Indeks Pencemaran (IP) di 48 sumur yang tersebar di lima wilayah
menunjukkan 27 sumur tercatat cemar berat dan cemar sedang dan
21 sumur lainnya terindikasi cemar ringan dan dalam kondisi baik
Sejalan dengan uraian pada Bab 4 tentang inventarisasi Air
Tanah ,Wilayah yang mempunyai kualitas air tanah paling buruk
adalah Jakarta Utara. Tujuh dari delapan sumur yang dipantau di
wilayah ini masuk kategori cemar berat dan sedang. Pada umumnya
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap I
V - 19
LAPORAN AKHIR
wilayah ini digunakan untuk pemukiman kawasan industri dan
permukiman padat. Adapun wilayah yang kualitas airnya masih cukup
baik adalah Jakarta Selatan. Di wilayah ini umumnya digunakan untuk
permukiman teratur.
5.2.8 KEANEKARAGAMAN HAYATI
Kurang efektifnya pengawasan dan pengendalian dalam pengelolaan
sumber daya alam yang ada, yang menyebabkan kerusakan
Keanekaragaman Hayati. Kondisi ini, sebagai contoh yang sedang
marak, adalah ditandai dengan maraknya pengambilan terumbu
karang dan pemboman ikan, perambahan hutan, kebakaran hutan dan
lahan, serta pertambangan tanpa izin. Permasalahan lain adalah belum
jelasnya pengaturan pemanfaatan sumber daya genetik (transgenik)
yang mengancam keanekaragaman hayati dan kesehatan manusia,
serta permasalahan ketergantungan yang tinggi pada sumber daya
fosil.
Disamping itu, tingkat kualitas lingkungan hidup di darat, air, dan
udara secara keseluruhan masih rendah, seperti tingginya tingkat
pencemaran lingkungan dari limbah industri baik di perkotaan maupun
di perdesaan, serta kegiatan transportasi dan rumah tangga baik
berupa bahan berbahaya dan beracun (B3) maupun non-B3. Tingginya
ketergantungan energi pada sumber daya fosil, merupakan
permasalahan penting yang mengakibatkan peningkatan emisi gas
rumah kaca yang berdampak pada kenaikan permukaan laut,
perubahan iklim lokal dan pola curah hujan, serta terjadinya hujan
asam; belum tergantikannya bahan perusak lapisan ozon (BPO) seperti
chloro fluoro carbon (CFC), halon, dan metil bromida; serta kurangnya
pemahaman dan penerapan Agenda 21 di tingkat nasional dan lokal.
Permasalahan-permasalahan tersebut diatas timbul antara lain karena
rendahnya kapasitas kelembagaan, belum mantapnya peraturan
perundangan, serta lemahnya penataan dan penegakan hukum dalam
pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup.
Kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, sejalan dengan
otonomi daerah, masih belum sepenuhnya jelas, karena peraturan
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap I
V - 20
LAPORAN AKHIR
pelaksanaan yang merinci fungsi dan kewenangan Pemerintah Daerah
belum lengkap. Selain itu, terdapat permasalahan dalam hal kualitas
sumber daya manusia untuk pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup.
Sementara itu, masih rendahnya akses masyarakat terhadap data dan
informasi sumber daya alam berakibat pula pada terbatasnya peran
serta masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan
pelestarian lingkungan hidup. Lemahnya kontrol dan keterlibatan
masyarakat, serta penegakan hukum dalam pengelolaan sumber daya
alam dan pelestarian lingkungan hidup, juga merupakan masalah
penting lain yang menyebabkan hak-hak masyarakat dalam
memanfaatkan sumber daya alam menjadi terbatas dan sering
menimbulkan konflik antar pelaku. Peranan wanita sebagai salah satu
kelompok yang rentan terhadap pencemaran lingkungan belum
banyak diberdayakan. Selain itu kearifan tradisional dalam pelestarian
lingkungan hidup perlu terus dipertahankan. Demikian pula sosialisasi
kepada masyarakat mengenai prinsip-prinsip pencegahan dan
pengendalian pencemaran lingkungan hidup harus terus ditingkatkan.
Beberapa sosiolog bahkan berpendapat bahwa masyarakat Indonesia
yang mendiami wilayah negara kepulauan pun sesungguhnya belum
menjadi bangsa bahari. Karena sebagian besar masih
menggantungkan penghidupan pada sumber daya yang terdapat di
daratan. Selain itu, dalam perilaku kehidupan sehari-hari juga belum
menunjukkan kecenderungan yang menjadikan laut sebagai sandaran
penghidupan yang patut dijaga dan dipelihara kelestariannya.
Rusaknya Ekosistem Wilayah Pesisir sebagai Penyebab Utama
Rusaknya Keanekaragaman Hayati
Tapi pada kenyataannya sebagian besar masyarakat Indonesia masih
menjadikan laut sebagai tempat pembuangan akhir sampah dan
limbah. Minimnya sarana pengolahan limbah dan sampah, serta
rendahnya kesadaran masyarakat dalam menangani sampah dan
limbah secara baik dan benar telah menjadikan laut ini sebagai
sasaran buangan limbah dari berbagai macam aktivitas manusia.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap I
V - 21
LAPORAN AKHIR
Akumulasi limbah dan sampah di dalam laut, pada akhirnya langsung
atau pun tidak langsung mengganggu keselamatan dan kelestarian
sumber daya alam yang terdapat di perairan laut. Pada hal menurut
para ilmuan, ekosistem laut memiliki pengaruh yang besar terhadap
keberlangsungan hidup di muka bumi ini. Perilaku manusia semena-
mena, menjadi faktor utama penyebab degradasi mutu lingkungan di
perairan laut. Adaptasi alami aneka biota laut terhadap perubahan
kondisi lingkungan, semakin sulit terjadi akibat tingginya kadar
pencemaran limbah. Baik yang terbawa oleh aliran sungai, dari
pembuangan sampah penduduk pesisir pantai atau dari kapal-kapal
yang melintas di perairan laut.
Penangkapan ikan dengan tidak mematuhi kaidah lingkungan, serta
perusakan terumbu karang juga memiliki kontribusi besar bagi
keanekaragaman hayati perairan.
Kesalahan Pengelolaan Limbah Saat ini, pencemaran laut oleh limbah
dan sampah telah menjadi masalah serius. Di wilayah DKI Jakarta saja,
misalnya, pencemaran air laut Jakarta telah mencapai radius 60 km
atau seluas kawasan Pulau Pramuka di Kepulauan Seribu. Pencemaran
itu disebabkan dari limbah domestik perkotaan maupun industri,
kemudian mencemari Sembilan sungai di Jakarta yang bermuara di
Teluk Jakarta.
Beberapa penelitian mengungkapkan perairan Teluk Jakarta terindikasi
mengandung logam berat Pb (timbal), Cd (cadmium), dan Cu
(tembaga). Dalam hal mutu, kualitas air laut di sekitar Kepulauan
Seribu nilai rata-rata kandungan organiknya antara 20,88-38,46 mg/I.
Kandungan amonia yang tidak terdeteksi mencapai 0,38 mg/I,
sedangkan baku mutu air laut untuk amonia <0,3 mg/l. Kandungan
logam berat untuk Cu berkisar 0,03-0,08 mg/I dan Zn (seng) berkisar
0,15-0,40 mg/I. Sedangkan kandungan nikel, timah hitam, cadmium,
chromium, dan fenol tidak terdeteksi.
Dengan kondisi air seperti ini maka mutunya menjadi tidak layak untuk
di minum. Akar penyebabnya adalah pengelolaan limbah yang salah.
Kesalahan itu tidak hanya dilakukan oleh masyarakat pesisir pantai
yang masih tradisional, tapi juga oleh fasilitas pariwisata yang sudah
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap I
V - 22
LAPORAN AKHIR
dikelola dengan cara modern. Banyak hotel, tempat penginapan,
cottage modern, namun tetap tradisional dalam pengelolaan limbah.
Jika kebiasaan ini tidak segera diubah dengan memperbaiki pola
pengelolaan limbah, lambat laun wisatawan enggan berkunjung karena
lokasinya sudah tercemar. Pencemaran laut oleh limbah dan sampah
memang telah menjadi persoalan dunia dewasa ini. Sebab selain dapat
mengurangi mutu obyek wisata, juga menjadi ancaman bagi kehidupan
fauna dan flora laut.
Beberapa laporan penelitian menyebutkan, sampah plastik kini telah
menjadi faktor pembunuh beberapa jenis hewan laut, termasuk
terumbu karang. Pengelolaan limbah dan sampah di kawasan pesisir
terutama di kawasan wisata memang tidak bisa sembarangan. Dengan
cara pengendapan ke dalam tanah, jelas tidak cukup, sebab pasti
kandungan racun yang mengendap ke tanah, bakal terbawa aliran air
hujan ke laut. Dengan demikian, sama saja dengan tidak diolah.
Pengelolaan limbah seperti ini jelas salah, dan akibatnya kelestarian
fauna dan flora laut terus terancam, apalagi bila kemudian bercampur
dengan olie dan minyak buangan kapal-kapal.
Mengubah kebiasaan membuang limbah dan sampah ke laut memang
tidak mudah. Namun tentu bukan hal yang mustahil, sebab
sesungguhnya perilaku masyarakat dapat diubah asalkan ada upaya
serius dari semua pihak. Salah satu pendekatan kearah perubahan
perilaku adalah dengan penegakkan hukum yang konsisten dan
kontinyu, dan pemerintah dalam hal ini Kementerian Negara
Lingkungan Hidup tampak berusaha menyiapkan perangkat hukum,
seperti Undang-Undang Pengelolaan Sampah, dan sebagainya yang
dapat dijadikan acuan bersama.
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Tahap I