bab 3 iii -...

30
37 BAB III KRITIK INTERN DAN EKSTERN NOVEL “BELANTIK” 3. 1. Biografi Ahmad Tohari Ahmad Tohari lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas (Jawa Tengah), 13 Juni 1948. Pendidikan terakhhirnya adalah tamat SMA di Purwokerto (1966) dan pernah bekerja di majalah Kelurga dan Amanah. Ia pun pernah mengikuti International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat (1990) dan pada tahun 1995 menerima hadiah Sastra ASEAN. Karyanya antara lain : Kubah (1980), Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), Jantera Bianglala (1986), Di Kaki Bukit Cibalak (1986), Senyum Karyamin (1989), Bekisar Merah (1993), dan Lingkar Tanah Lingkar Air (1995). Karya-karya Ahmad Tohari bisa dikatakan sangat erat dengan nilai- nilai agamis, karena menurutnya sastra dan agama adalah wujud pertanggungjawaban terhadap peradaban. Agama menggunakan kitab suci, sedangkan sastra merupakan karya akal manusia. Ahmad Tohari percaya dan bahkan yakin bahwa karya sastra merupakan pilihan untuk berdakwah atau mencerahkan batin manusia agar senantiasa mau membaca ayat-ayat Tuhan. Dengan mengarang itulah Ahmad Tohari berharap ikut serta membangun moral masyarakat yang

Upload: dodan

Post on 12-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

37

BAB III

KRITIK INTERN DAN EKSTERN NOVEL “BELANTIK”

3. 1. Biografi Ahmad Tohari

Ahmad Tohari lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas (Jawa

Tengah), 13 Juni 1948. Pendidikan terakhhirnya adalah tamat SMA di

Purwokerto (1966) dan pernah bekerja di majalah Kelurga dan Amanah. Ia

pun pernah mengikuti International Writing Program di Iowa City, Amerika

Serikat (1990) dan pada tahun 1995 menerima hadiah Sastra ASEAN.

Karyanya antara lain : Kubah (1980), Ronggeng Dukuh Paruk (1982),

Lintang Kemukus Dini Hari (1985), Jantera Bianglala (1986), Di Kaki Bukit

Cibalak (1986), Senyum Karyamin (1989), Bekisar Merah (1993), dan

Lingkar Tanah Lingkar Air (1995).

Karya-karya Ahmad Tohari bisa dikatakan sangat erat dengan nilai-

nilai agamis, karena menurutnya sastra dan agama adalah wujud

pertanggungjawaban terhadap peradaban. Agama menggunakan kitab suci,

sedangkan sastra merupakan karya akal manusia.

Ahmad Tohari percaya dan bahkan yakin bahwa karya sastra

merupakan pilihan untuk berdakwah atau mencerahkan batin manusia agar

senantiasa mau membaca ayat-ayat Tuhan. Dengan mengarang itulah

Ahmad Tohari berharap ikut serta membangun moral masyarakat yang

Page 2: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

38

beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu,

korupsi dan menakut-nakuti yang lemah. 50

Bagi Ahmad Tohari, Tuhan harus dipahami dengan membaca simbol-

simbol-Nya yang tampak pada mereka yang terpinggirkan, yang menderita,

yang sakit secara sosial, politik, dan pendidikan. Sementara itu dapat

dikatakan bahwa kepengarangan Ahmad Tohari berangkat dari kesadaran

yang kukuh untuk memanfaatkan karya sastra sebagai peningkatan

masyarakat agar semakin beradab. Oleh karena itu, hampir seluruh karyanya

berbicara tentang nasib manusia yang menderita. Secara garis besar,

memang tampaklah bahwa karya-karya Ahmad Tohari berkisah tentang

penderitaan, keterpinggiran dan kenelangsaan.

3.2. Deskripsi Novel

Novel “Belantik” Karya Ahmad Tohari tampil dalam bentuk buku

dengan ukuran panjang 21 cm, lebar 14, 08 cm, tebal 0,8 cm. Buku ini berisi

142 hlm. Halaman 1 sampai 4 memuat tulisan judul, undang-undang Hak

cipta, cover dalam dan ucapan terimakasih serta terbitan buku tanpa

pengantar. Cerita dari novel ini langsung dimulai dari halaman 5 dan

berakhir pada halaman 142, tanpa disertai biografi penulis.

Mengenai cover luar dari Belantik tampil dengan cover lukisan

seorang wanita cantik, rambut terurai dan dihadang seorang laki-laki tua

serta di sisi depan tampak seorang perempuan separuh baya dengan muka

bulat, berambut kriting dan dandanan menor sedang tersenyum ceria.

50 Yudiono K. S., Ahmad Tohari, Karya dan Dunianya, Grasindo, Jakarta, 2003, hlm.1-2.

Page 3: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

39

Ilustrasi ini memberikan gambaran kepada pembaca mengenai sosok

seorang wanita cantik yang selalu ketakutan dan berada dalam

ketidaberdayaan karena dominasi seorang laki-laki.

Sedangkan tulisan Belantik ditulis dengan huruf tegak berwarna putih

dengan gaya yang formal. Tulisan ini dimaksudkan untuk mendukung

ilustrasi cerita sehingga tulisan ini dapat menjadi cover of interest atau

sampul yang menarik bagi pembaca.

Adapun kombinasi warna keseluruhan cover terdiri dari warna merah

marun, hijau, orange, kuning, biru dan putih yang menjadi warna dasar

judul, serta hitam warna dari pengarang.

3. 3. Kritik Intern terhadap novel “Belantik” karya Ahmad Tohari

3.3.1 Tema

Pada umumnya, tema sebuah karya sastra tidak dikemukakan

secara jelas (eksplisit) baik dalam bentuk kata maupun kalimat. Tetapi

kebanyakan tema disampaikan secara tidak langsung (implisit) dan

menyusupi keseluruhan cerita. Tema dalam sebuah karya sastra tidak

disampaikan begitu saja akan tetapi disampaikan melalui sebuah

jalinan cerita. Orang hanya akan menemukan tema sebuah cerita

setelah ia membaca dan menafsirkannya.

Tema pokok dari novel Belantik adalah nasib seorang wanita

cantik yang tidak berdaya akibat ulah mucikari yang ingin

memanfaatkan kecantikannya demi uang. Pengarang mengemukakan

tema tersebut melalui tokoh utama yaitu Lasi.

Page 4: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

40

Lasi, gadis cantik, yang berasal dari desa Karangsoga pada

mulanya adalah seorang janda yang ingin melepaskan diri dari

permasalahan ekonomi, kemudian ia pergi ke Jakarta dan jatuh di

tangan mucikari kelas atas Bu Lanting. Bu Lanting kemudian

mempertemukan Lasi dengan Pak Handarbeni, seorang tokoh politik

terkenal dan kaya raya. Namun karena ketidakberdayaannya kemudian

Lasi diserahkan lagi ke Pak Bambung. Peristiwa itu menyadarkan Lasi

betapa terkoyak martabatnya sebagai permpuan, tetapi terlanjur sulit

mengatasinya. Dalam kondisi batin yang limbung itulah Lasi

meninggalkan rumahnya tanpa sopir pribadi dan tanpa rencana pula

dengan bus umum menuju Karangsoga.

Di sanalah Lasi sempat mengadu kepada Eyang Mus (seorang

tokoh agama di Karangsoga) tentang kerumitan masalahannya.

Sementara itu Eyang Mus mengaku tidak dapat berbuat banyak, namun

kemudian Eyang Mus berhasil meyakinkan pemuda Kanjat untuk

membuktikan kemampuannya mengatasi masalah tersebut.

3.3.2 Amanat

Karya sastra selain berfungsi sebagai hiburan bagi

pembacanya, juga berfungsi sebagai sarana pendidikan. Dengan kata

lain, pengarang selain ingin menghibur pembaca (penikmat) juga ingin

mengajari pembaca. Ajaran yang ingin disampaikan pengarang itu

dinamakan amanat. Jadi amanat adalah unsur pendidikan, terutama

pendidikan moral, yang ingin disampaikan oleh pengarang pada

Page 5: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

41

pembaca lewat karya sastra yang ditulisnya. Unsur pendidikan ini tentu

saja tidak disampaikan secara langsung. Pembaca karya sastra baru

dapat mengetahui unsur pendidikannya setelah membaca seluruhnya.

Dalam novel belantik ini amanat atau pesan yang disampaikan

adalah nilai-nilai moral, kejujuran, kebenaran, dan kasih sayang.

Disamping itu belantik juga mengajak pembaca untuk tetap bersimpati

kepada mereka yang jujur, lurus, benar, tetapi mungkin juga lemah dan

terkalahkan. Hal ini tampak dari bagaimana penulis menceritakan

tokoh utama lagi yang tetap sopan dan rendah hati walaupan ia

bergelimang harta. Gambaran itu terlihat ketika ia pergi tanpa sopir

pribadi dan berjalan kaki di lorong-lorong untuk mencari rumah sopir

pribadinya. Gambaran lain seperti ketika sedang menangis karena

ketidakberdayaannya menghadapi Bu Lanting, Pak Handarbeni dan

Pak Bambung.

3.3.3. Penokohan

Peristiwa dalam karya fiksi seperti halnya peristiwa dalam

kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelaku

tertentu. Pelaku yang mengemban peristiwa dan cerita fiksi sehingga

peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebuit dengan tokoh.

Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut

dengan penokohan.51Dalam menentukan siapa tokoh utama dan siapa

51 Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, Sinar Baru Algesindo, Bandung ,2004, hlm 79.

Page 6: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

42

tokoh tambahan pembaca dapat melihat keseringan pementasannya

dalam suatu cerita.

Berdasarkan pedoman tersebut tidakalah salah apabila

kemudian karakter “Lasi” disebutkan sebagai tokoh utama, karena

karakter inilah yang paling dominan dan mewarnai perjalanan cerita

dari awal hingga akhir.

Dalam Novel ini tokoh “Lasi” digambarkan seorang janda

muda yang cantik, yang berasal dari desa Karangsoga. Lasi terpaksa

mengadu nasib ke Jakarta karena ingin lepas dari himpitan ekonomi.

Disamping itu Lasi mempunyai karakter rendah hati dan tidak

sombong .

Selain Lasi sebagai tokoh utama, ada tokoh pendamping dalam

novel ini. Bu Lanting misalnya, dalam novel ini Bu Lanting

merupakan seorang mucikari kelas atas, yang selalu menghantui

kehidupan Lasi dan berusaha memanfaatkan kecantikan Lasi untuk

dipersembahkan kepada laki-laki hidung belang. Bu Lanting adalah

sosok yang pendengki, pemboros, dan licik.

Pak Handarbeni dalam novel ini adalah suami Lasi yang kaya

raya. Ia adalah seorang usahawan dan tokoh politik kelas atas.

Bambung juga mewarnai cerita ini, Bambung adalah juga seorang

usahawan dan tokoh politik atas negeri ini, seperti halnya Handarbeni,

Bambung juga menginginkan Lasi untuk bisa menjadi istri

simpanannya.

Page 7: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

43

Sedangkan Kanjat, kekasih lama Lasi, merupakan seorang

pemuda yang mempunyai sifat baik hati, tampan dan taat beragama.

Serta seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di

lingkungannya. Eyang Mus adalah tetangga Lasi di Karangsoga. Ia

adalah seorang tokoh agama yang selalu menenangkan hati. Bu

Wiryaji dan Pak Mukri adalah orang tua Lasi yang bijaksana.

Selain berbagai karakter di atas adalah beberapa tokoh yang

mewarnai dunia novel ini, misalnya Pak Min, sopir pribadi

Handarbeni, Oning sekretaris pribadi Handarbeni. Ia adalah gadis

manis yang lucu dan masih kebocah-bocahan. Ada juga mayor

Brangas, seorang polisi yang menjemput Lasi, ia adalah suruhan dari

Lanting dan Bambung. Disamping itu juga ada Pardi, sopir truk

keluarga Kanjat. Ia adalah yang mengantar Kanjat bolak-balik

Karangsanga-Jakarta untuk mencari Lasi.

3.3.4. Alur

Merupakan rangkaian peristiwa yang sambung-menyambung

dalam sebuah cerita berdasarkan logika sebab akibat. Dalam sebuah

cerita terdapat berbagai peristiwa-peristiwa. Akan tetapi, peristiwa-

peristiwa dalam cerita itu tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan antara

peristiwa satu dengan peristiwa lainnya. Rangkaian peristiwa itulah

yang membentuk plot atau alur cerita. Jadi, plot itu memperlihatkan

bagaimana cerita berjalan.

Page 8: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

44

Alur dalam novel “Belantik” karya Ahmad Tohari adalah sebagai

berikut:

1. Halaman 5-12 : Pak Handarbeni resah, Lasi, bekisar merahnya

dipinjam oleh Bambung. Kemudian Bu Lanting seorang mucikari

menyarankan agar merelakan Lasi dipinjam oleh orang lain.

2. Halaman 13-38 : Lasi diajak ke Singapura oleh Bu Lanting untuk

menemani pacarnya yaitu Bambung. Akan tetapi Lasi diminta untuk

menemani Pak Bambung di sebuah perjamuan mewah di Singapura

oleh Bu Lanting.

3. Halaman 39-54 : Bu Lanting menjebak Lasi agar tetap menemani

Pak Bambung. Ia sengaja pindah ke hotel lain dengan alasan kencan

dengan bule. Lasi sempat sekamar dengan Pak Bambung namun itu

hanya sebatas menemani minum dan ngobrol. Keesokannya Pak

Bambung harus kembali ke Jakarta karena ada urusan mendadak.

4. Halaman 57-60 : Sesampai di Jakarta Lasi mendapat telepon dari Bu

Lanting, mengapa dia tidak memberikan apa-apa kepada pak

Bambung. Bu Lanting juga memberitahukan bahwa ia sudah cerai

dengan Handarbeni.

5. Halaman 61-69 : Begitu mendengar sudah dicerai oleh Handarbeni,

Lasi bingung, terkejut, kini dia milik Pak Bambung. Ia pergi naik

Taksi menuju rumah Pak Min, hanya minta tolong Mak Min untuk

memijatnya kemudian pulang naik bus kota.

6. Halaman 70-74 : Bus kota berhenti di terminal kemudian Lasi

Page 9: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

45

memilih bus yang menuju ke desa Karangsanga. Ia pulang menemui

keluarganya dan berharap bertemu dengan Kanjat.

7. Halaman 75- 85 : Eyang Mus menceritakan kedatangan Lasi yang

sedang banyak masalah. Beliau meminta Kanjat menemuinya, Kanjat

bersedia, di rumah Lasi bercerita tentang kehidupannya di Jakarta.

Malah Kanjat berniat untuk mengawini Lasi. Namun Lasi menolak

dengan alasan di janda dua kali sedang Kanjat masih perjaka.

8. Halaman 86-94 : Lasi memutuskan untuk bersembunyi di rumah

pamannya di Sulawesi Tengah. Diantar oleh Kanjat, namun sebelum

melakukan perjalanan jauh ke Sulawesi dinikahkan terlebih dahulu.

9. Halaman 95-98 : Lasi menginap di Surabaya karena kapal laut yang

akan ke Sulawesi akan berangkat dua hari lagi. Mereka terlibat

percakapan yang serius tapi penuh kasih sayang.

10. Halaman 98-100 :Tiba-tiba Bu Lanting dan Mayor Brangas datang ke

penginapan tersebut dan memaksa Lasi untuk ikut bersama mereka.

Sementara Kanjat tak kuasa menahannya, karena mereka terlibat

percekcokan hebat.

11. Halaman 102-112: Perjalanan dari Surabaya ke Jakarta Las i terus

menangis, sesampainya di rumah ia masih saja ngambek hingga

kurang lebih satu bulan lamanya. Akan tetapi kemudian ia tersadar

bahwa dirinya terlambat datang bulan dan ia memastikan kalau

dirinya hamil. Sementara Bu Lanting terus menggodanya, namun ia

bertekad untuk menjaga kesucian kandungannya. Kemudian Lasi

Page 10: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

46

memberitahukan kabar gembira tersebut kepada Kanjat lewat telepon.

12. Halaman 112-127: Bambung mengunjungi Lasi, tetapi dengan sikap

ramah dan sopan Lasi menyambutnya. Tidak lama kemudian Lasi

memberitahukan perihal kehamilannya. Antara percaya dan tidak

Bambung pergi meninggalkan Lasi dan segera menelepon Bu

Lanting. Mencurahkan kemarahannya kepada Bu Lanting.

13. Halaman 121-127: Kanjat memberitahukan kepada Bu Wiryaji, Eyang

Mus dan Mukri perihal Lasi. Kanjat tidak berbuat apa-apa, ia hanya

pasrah dan berdoa menunggu saat bersama tiba.

14. Halaman 128-132: Radio menyiarkan perihal pergulatan para elit yang

sedang berlangsung, disamping itu Kanjat juga telibat pembicaraan

serius tentang Bambung dengan teman-teman di kantornya. Bambung

diperiksa oleh kepolisian karena suatu hal. Dan Kanjat memutuskan

untuk menyusul Lasi ke Jakarta, kemudian ia mengajak Pardi, sopir

truknya untuk menemani dalam pencarian itu.

15. Halaman 133-138: Pardi dan Kanjat sampai di Jakarta dan akhirnya ia

menemukan ciri-ciri rumah yang di huni oleh Lasi. Melalui

pembicaraan panjang lebar dengan satpam maka akhirnya Kanjat

mengetahui keberadaan Lasi dan segera menyusul Lasi di pengadilan.

Lasi dan kanjat bertemu di pengadilan tersebut dan Kanjat berjanji

akan mengusahakan kebebasannya.

15. Halaman 139-142: Lasi dapat dibebaskan oleh seorang pengacara,

teman

Page 11: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

47

Kanjat. Dan segera mereka memutuskan untuk kembali ke

Karangsanga, meskipun Bu Lanting sempat menghadang. Ajakan Bu

Lanting tidak digubris mereka. Mereka segera melanjutkan perjalanan

ke Karangsoga dengan suasana riang dan mengharukan dengan truk

pengangkut gula.

3.3.5. Latar

Peristiwa yang dialami tokoh-tokoh cerita terjadi di tempat

tertentu, waktu tertentu dan dalam suasana tertentu pula. Tempat,

waktu, dan suasana terjaadinya peristiwa dalam cerita dinamakan

setting atau latar. Jadi, setting mencakup tiga hal, yaitu setting tempat,

setting waktu dan setting suasana.52

1. Setting tempat

Setting tempat adalah tempat peristiwa itu terjadi. Novel

Belantik ini menggambarkan setting tempat di Karangsanga, Jakarta,

dan Singapura. Misalnya, hal ini terdapat dalam ungkapan:

“Menunggu kedatangan Bu Lanting yang sudah menghubunginya lewat telepon tadi siang, Lasi duduk tak tenang di beranda rumahnya yang megah di Slipi, Jakarta Barat. Kunjungan Bu Lanting menyenangkan hati Lasi karena perempuan gemuk itu satu-satunya teman akrabnya.”

2. Setting waktu

Setting waktu adalah kapan peristiwa itu terjadi. Dalam novel

ini setting waktu adalah pagi, sore dan malam hari.

Contoh misalnya:

52 Arul Wiyanto, Op. Cit., hlm. 82.

Page 12: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

48

“Jam setengah lima pagi bus itu mencapai ruas jalan raya yang membelah desa Karangsanga pada sebuah mulut jalan desa bus itu berhenti dan Lasi turun. Berdiri sejenak untuk memulihkan kesadaran, ia melangkah masuk kampung. Sepi, udara terasa dingin. Langit timur mulai temaram. Lasi turun berjalan dalam keremangan kabut, berteman suara langkah sendiri.”

3. Setting Suasana

Peristiwa itu terjadi dalam suasana apa? Suasana ada 2 macam,

yaitu suasana lahir dan batin. Dalam novel ini, suasana juga

melingkupi lahir dan batin, misalnya terapat dalam ungkapan:

“Rasa haru dan rasa rindu muncul bersama hati Lasi. Air matanya menitik. Dadanya menyesak. Tetapi ia terus melangkah. Ada cericit tikus busuk di selokan tepi jalan. Atau keletak suara tetes embun yang jatuh menimpa sampah daun. Dan suasana menjelang pagi yang tenang dan terasa akrab membuatnya merasa sepenuhnya kembali direngkuh oleh kesejukan tanah kelahiran.”

3.3.6. Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah cara khas dalam menyampaikan pikiran

dan perasaan. Dengan cara yang khas itu kalimat-kalimat yang

dihasilkannya menjadi hidup. Karena itu, gaya bahasa dapat

menimbulkan perasaan tertentu, dapat menimbulkan reaksi tertentu

dan dapat menimbulkan tanggapan pikiran pembaca. Semuanya itu

menyebabkan karya sastra menjadi indah dan bernilai seni. 53

Bahasa yang digunakan novel ni terdiri dari percampuran

bahasa Indonesia, Ingris, Arab dan Jawa. Meskipun bahasa Indonesia

mendominasi dalam novel ini, akan tetapi terdapat sisipan bahasa

53 Ibid., hlm. 84.

Page 13: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

49

Inggris yang dengan mudah dipahami oleh pembaca. Seperti yang

digunakan novel ini

Seperti pada halaman 26 dan 28:

“Dalam pesawat menuju Singapura, gairah Bu Lanting terlihat pada semangat cas-cis-cus-nya yang tak bisa disela. Ngomong dan ngomong terus. Pelayanan yang ditawarkan pramugari ditolaknya dengan “No thank you. I need nothing. Sementara Lasi hanya diam. Kadang tersenyum demi mengenakkan Bu Lanting.”54

Bahasa Arab dalam novel ini sifatnya lebih kepada ungkapan

seperti salam (assalamu’ alaikum) puji-pujiaan (al-hamdulillaah)

walimah, hasaballah (hasbunallah wa nikmal wakil). Sedangkan bahasa

Jawa banyak sekali dipergunakan baik dalam percakapan-percakapan,

ataupun dalam tembang-tembang Jawa atau nyanyian-nyanyian jawa.

Misalnya terdapat dalam ungkapan-ungkapan sebagai berikut:

“Pak, saya hanya bisa menirukan nasehat atau wewarah yang dulu disampaikan almarhum ayah. Yah, sekedar wewarah seorang petani tua tidak pernah mengunyah genting sekolah.”

“Wewarah apa? Dulu ayah sering bilang, agar bisa hidup tenang, orang harus selalu

eling dan nrima ing pandum, tidak ngumbar kanepson atau mengumbar keinginan.”

Atau dalam nyanyian- nyanyian Jawa, misalnya: Bumine goyang-bumine goyang arane lindu Wong ora sembahyang, wong ora sembahyang bakale wudhu Dadi wong urip dari wong urip sing ati-ati Aja nuruti, aja nuruti senenging ati...

3.4. Sinopsis Novel “Belantik”

Novel belantik diawali dengan kisah Pak Handarbeni yang resah

setelah didesak oleh Bu Lanting yang mengabarkan keinginannya Pak

54 Tohari, Ahmad, Belantik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 26.

Page 14: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

50

Bambung meminjam Lasi. Lelaki kaya raya itu sadar bahwa dirinya

tidak mampu lagi membanggakan kejantanannya, sampai-sampai

memberi kesempatan kepada Lasi untuk memperolehnya dari lelaki

manapun. Akan tetapi, wibawanya terasa goyah ketika ada lelaki lain di

dekatnya yang benar-benar menginginkan Lasi. Sementara itu Lasi yang

belum tercerabut dari latar tradisi desa Karangsanga ternyata tidak

memahami makna pinjam-meminjam itu dan pada akhirnya tidak

sanggup melakukan penyimpangan moral itu walaupun sudah terjepit

dalam lingkungan sekelompok orang yang justru menikmatinya, seperti

Pak Han, Bu Lanting dan Pak Bambung. Ternyata Lasi masih mampu

mempertahankan harga dirinya sebagai istri Pak Handarbeni meskipun

bersedia mendampingi Pak Bambung dalam sebuah perjalanan mewah di

Singapura dan bahkan sempat sekamar dengan lelaki-lelaki itu karena

permainan Bu Lanting yang memang seorang mucikari. Beruntung pula

kesempatan berada di Singapura itu amat terbatas karena secara

mendadak Pak bambung harus kembali ke Jakarta.

Tidak lama kemudian, Lasi mereguk pengalaman baru yang sulit

dipahaminya, yaitu diceraikan oleh Pak Han dan diserahkan kepada Pak

Bambung. Peristiwa itu menyadarkan Lasi betapa terkoyak martabatnya

sebagai permpuan, tetapi terlanjur sulit mengatasinya. Dalam kondisi batin

yang limbung itulah Lasi melangkah meninggalkan rumahnya tanpa sopir

pribadi dan tanpa rencana pula dengan bus umum sampailah ke desa

Karangsoga di saat fajar merekah.

Page 15: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

51

Di sanalah Lasi sempat mengadu atau sesambat kepada Eyang Mus

tentang kerumitan masalah dirinmya sebagai seorang janda yang baru saja

dicerai Pak Handarbeni dan dengan mudah diserahkan atau dipercayakan

kepada Pak Bambung yang bernafsu menikahinya. Di satu sisi, tetap

menyadari martabatnya sebagai seorang perempuan, dan disisi lain lagi

merasa ketakutan melepasakan diri dari “kekuasaan” Bu Lanting dan Pak

Bambung yang telah memberinya kekayaan berlimpah. Sementara itu

Eyang Mus berhasil meyakinkan pemuda Kanjat untuk membuktikan

kemampuannya mengatasi masalah tersebut. Salah satu kemungkinan itu

adalah pergi bersembunyi ke paman Ngalwi di daerah transmigrasi

Sulawesi Selatan.

Pada mulanya, Kanjat pun kebingungan mencari-cari cara terbaik

dan pada akhirnya menyetujui usulan Lasi yang ingin bersembunyi ke

paman Ngalwi di Sulawesi Selatan. Ketika Kanjat menyampaikan rencana

itu ke hadapan Eyang Mus, berkembang persoalan teknis kepergian

mereka yang saat itu bukanlah pasangan suami istri. Alasannya adalah

nilai kepantasan yang masih dipegang dan berlaku di Karangsanga

berkaitan dengan perjalanan jauh sepasanga laki perempuan yang bukan

atau belum sah sebagai suami-istri. Alasan itu hampir menyurutkan

semangat Kanjat, tetapi kemudian justru merupakan landasan terbaik bagi

Eyang Mus dan orang-orang terdekat untuk menikahkan Lasi dengan

Kanjat.

Page 16: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

52

Persoalan ternyata belum selesai disini, terbukti dengan

munculnya ulah Bu Lanting yang merasa dilecehkan oleh kepergian Lasi.

Dengan bantuan aparat kepolisian, mereka berhasil menyusul Lasi dan

Kanjat di Surabaya dan dengan paksa memboyong ke Jakarta. Kanjat pun

tidak mampu mengatasi masalah seketika karena berhadapan dengan

polisi dan kekuasaan.

Di akhir cerita dikisahkan bahwa Lasi berada di salah satu rumah

mewah Pak Bambung, kehamilannya yang makin besar, keselamatan janin

dari kemungkinan nafsu Pak Bambung, dan perkembangan politik tingkat

tinggi di Jakarta yang menggiring Pak Bambung dan kelompoknya

berurusan dengan Kejaksaan Agung. Sementara itu, Kanjat yang

menyadari keterbatasan dirinya harus bersabar hingga berita-berita koran,

siaran radio, dan obrolan orang seputar kehancuran prestasi kelompok

Bambung di kancah politik nasional memang membesarkan semangat

Kanjat yang pada akhirnya bertekad mencari Lasi di Jakarta. Padahal

sebenarnya Kanjat sendiri belum mengetahui tempat tinggal Lasi, kecuali

dikatakan sebuah rumah mewah dengan ciri-ciri tertentu di sekitar hotel

Indonesia. Namun, tekad Kanjat semakin mantap setelah menyimak berita-

berita koran terbitan Jakarta yang mengabarkan Bambung dan beberapa

orang dekatnya sudah ditahan di Kejaksaan Agung.

Dengan bantuan sopir Pardi yang sudah lama bekerja pada

keluarga Kanjat, berangkatlah lelaki pahlawan desa Karangsanga itu ke

Jakarta. Ternyata tidak mudah menemukan Lasi di celah belantara Jakarta

Page 17: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

53

yang bagi Kanjat sendiri adalah wilayah asing. Untunglah pengalaman

Pardi sebagai sopir truk gula kelapa yang sudah sekian tahun mondar-

mandir Karangsanga-Jakarta merupakan modal kerja yang sangat

menguntungkan. Mula-mula mereka hanya menemukan rumah Pak

Bambung yang diperkirakan dihuni Lasi, tetapi nyatanya sepi. Tidak lama

kemudian, mereka mendapatkan informasi keberadaan Lasi di rumah

tahanan kejaksaan sebagai calon saksi, dan setelah lima belas hari

mengurus proses administrasi hukumnya maka berhasillah Kanjat

membebaskan perempuan itu dari status tahanan sementara dan mengajak

pulang ke Karangsoga.

Perjalanan kembali ke Karangsoga tidak ditempuh Lasi dengan

sedan mewah dan sopir pribadi Pak Min seperti ketika masih menjadi istri

Handarbeni, tidak juga dengan bus umum seperti ketika nekat

meninggalkan rumah mewahnya setelah diceraikan suaminya, tetapi ikhlas

bersama kanjat menumpang truk gula kelapa yang disopiri Pardi. Akhirnya

Lasi dan Kanjat pulang ke desa kelahirannya dan hidup bersama di

Karangsoga.

Page 18: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

54

Page 19: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

55

BAB III

UNSUR INTERN DAN EKSTERN NOVEL “BELANTIK”

3. 1. Biografi Ahmad Thohari

Ahmad Tohari lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas (Jawa

Tengah), 13 Juni 1948. Pendidikan terakhhirnya adalah tamat SMA di

Purwokerto (1966) dan pernah bekerja di majalah Kelurga dan Amanah. Ia

pun pernah mengikuti International Writing Program di Lowa City,

Amerika Serikat (1990) dan pada tahun 1995 menerima hadiah Sastra

ASEAN. Karyanya: Kubah (1980), Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang

Kemukus Dini Hari (1985), Jantera Bianglala (1986), Di Kaki Bukit

Cibalak (1986), Senyum Karyamin (1989), Bekisar Merah (1993), dan

Lingkar Tanah Lingkar Air (1995).

Karya-karya Ahmad Tohari bisa dikatakan sangat erat dengan nilai-

nilai agamis, karena menurutnya sastra dan agama adalah wujud

pertanggungjawaban terhadap peradaban. Agama menggunakan kitab suci,

sedangkan sastra merupakan karya akal manusia.

Ahmad Tohari percaya dan bahkan yakin bahwa karya sastra

merupakan pilihan untuk berdakwah atau mencerahkan batin manusia agar

senantiasa mau membaca ayat-ayat Tuhan. Dengan amenagrang ituklah

Ahmad Tohari berharap ikut serta membangun moral masyarakat yang

beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu,

korupsi dan menakut-nakuti yang lemah.

Bagi Ahmad Tohari, Tuhan harus dipahami dengan membaca simbol-

simbol-Nya yang tampak pada mereka yang terpinggirkan, yang menderita,

yang sakit secara sosial, politik, dan pendidikan. Sementara itu dapat

dikatakan bahwa kepengarangan Ahmad Tohari berangkat dari kesadaran

yang kukuh untuk memanfaatkan karya sastra sebagai peningkatan

masyarakat agar semakin beradab. Oleh karena itu, hampir seluruh karyanya

berbicara tentang nasib manusia yang menderita. Secara garis besar,

memang tampaklah bahwa karya-karya Ahmad Tohari berkisah tentang

penderitaan, keterpinggiran dan kenelangsaan.

Page 20: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

56

3.2. Deskripsi Novel

Novel “Belantik Karya Ahmad Tohari” tampil dalam bentuk buku

dengan ukuran panjang 21 cm, lebar 14, 08 cm, tebal 0,8 cm. Buku ini berisi

142 hlm. Halaman 1 sampai 4 memuat tulisan judul, undang-undang Hak

cipta, cover dalam dan ucapan terimakasih serta terbitan buku tanpa

pengantar. Cerita dari novel ini langsung dimulai dari halaman 5 dan

berakhir pada halaman 142, tanpa disertai biografi penulis.

Mengenai cover luar dari Belantik tampil dengan cover lukisan

seorang wanita cantik, rambut terurai dan dihadang seorang laki-laki tua

serta di sisi depan tampak seorang perempuan separuh baya dengan muka

bulat, berambut kriting dan dandanan menor sedang tersenyum ceria.

Ilustrasi ini memberikan gambaran kepada pembaca mengenai sosok

seorang wanita cantik yang selalu ketakutan dan berada dalam

ketidaberdayaan karena dominasi seorang laki-laki.

Sedangkan tulisan Belantik ditulis dengan huruf tegak berwarna putih

dengan gaya yang formal. Tulisan ini dimaksudkan untuk mendukung

ilustrasi cerita sehingga tulisan ini dapat menjadi cover of interest bagi

pembaca.

Adapun kombinasi warna keseluruhan cover terdiri dari warna merah

marun, hijau, orange, kuning, biru dan putih yang menjadi warna dasar

judul, serta hitam warna dari pengarang.

3. 3. kritik intern terhadap novel “Belantik” karya Ahmad Tohari

3.3.1 Tema

Pada umumnya, tema sebuah karya sastra tidak dikemukakan

secara jelas (eksplisit) baik dalam bentuk kata maupun kalimat. Tetapi

kebanyakan tema disampaikan secara tidak langsung (implisit) dan

menyusupi keseluruhan cerita. Tema dalam sebuah karya sastra tidak

disampaikan begitu saja akan tetapi disampaikan melalui sebuah

jalinan cerita.Kita hanya akan menemukan tema sebuah cerita setelah

kita membaca dan menafsirkannya.

Page 21: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

57

Tema pokok dari novel Belantik adalah nasib seorang wanita

cantik yang tidak berdaya akibat ulah mucikari yang ingin

memanfaatkan kecantikannya demi uang. Pengarang mengemukakan

tema tersebut melalui tokoh utama yaitu Lasi.

Lasi, gadis cantik, yang berasal dari desa Karangsongo pada

mulanya adalah seorang janda yang ingin melepaskan diri dari

permasalahan ekonomi, kemudian ia pergi ke Jakarta dan jatuh di

tangan mucikari jelas atas Bu Lanting. Bu Lanting kemudian

mempertemukan Lasi dengan Pak Handarbeni, seorang tokoh politik

terkenal dan kaya raya. Namun ketidakberdayaannya kemudian Lasi

diserahkan lagi ke Pak Bambung. Peristiwa itu menyadarkan Lasi

betapa terkoyak martabatnya sebagai permpuan, tetapi terlanjur sulit

mengatasinya. Dalam kondisi batin yang limbung itulah Lasi

meninggalkan rumahnya tanpa sopir pribadi dan tanpa rencana pula

dengan bus umum menuju Karangsongo.

Di sanalah Lasi sempat mengadu kepada Eyang Mus (seorang

tokoh agama di Karangsongo) tentang kerumitan masalahannya.

Sementara itu Eyang Mus mengaku tidak dapat berbuat banyak, namun

kemudian Eyang Mus berhasil meyakinkan pemuda Kanjat untuk

membuktikan kemampuannya mengatasi masalah tersebut.

3.3.2 Amanat

karya sastra selain berfungsi sebagai hiburan bagi pembacanya,

juga berfungsi sebagai sarana pendidikan. Degan kata lain’pengarang

selain inginmenghibur pembaca (penikmat) juga inign mengajari

pembaca.Ajaran yang ingin disampaikan pengarang itu dinamakan

amanat.Jadi amanat adalah unsur pendidikan, terutama pendidikan

moral, yam\ng ingin disampaikan oleh pengarang pada pembaca lewat

karya sastra yang ditulisnya. Unsur pendidikan ini tentu saja tidak

disampaikan secara langsung. Pembaca karya sastra baru dapat

mengetahui unsur pendidikannya setelah membaca seluruhnya.

Page 22: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

58

Dalam novel belantik ini amanat atau pesan yang disampaikan

adalah nilai-nilai moral, kejujuran, kebenaran,dan kasih

sayang.Disamping itu belantik juga mengajak pembaca untuktetap

bersimpati kepa mereka yang jujur,lurus, benar ,tetapi mungkln juga

lemah dan terkalahkan.Hal ini tampak tampak dari bagaimana penulis

menceritakan tokoh utama lagi yang tetap sopan dan rendah hati

walaupan ia bergelimang harta.Gambaran itu terlihat ketika ia pergi

tanpa sopir pribadi dan berjalan kaki di lorng-lorong untuk mencari

rumah sopir pribadinya.Gmbaran lai seperti ketika lagi menangis

karena ketidakberdayaannya menghadapi Bu lanting,pak Handarbeni

dan pak Bambung.

3.33 Penokohan

Peristiwa dalam karua fiksi seperti halnya perisatiwa dalam kehidupan

sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu.Pelaku yang

mengemban peristiwa dan cerita fiksi sehingga peristiwa itu mmpu menjalin suatu

cerita disebuit dengan tpkoh.Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau

pelaku itu disebut dengan penokohan.5Dalam menentukan siapa tokoh utama dan

siapa tokoh tambahan pembaca dapat melihat keseringan pementasanya dalam

suatu cerita.

Berdasarkan pedoman tersebut tidakalah salah apabila kemudian

karakter “lasi” disebutkan sebagai tokoh utama, karena kaakter lsilah yang paling

dominan dan mewarnai perjalanan cerita dari awal hingga akhir.

Dalam Novel ini tokoh “lasi” digambarkan seorang janda muda yang

catik,yang berasal dari desa karang soga. Lasi terpaksa mengadu nasib kejakarta

karena ingin lepas dari himpitan ekonomi.Disamping itu lasi mempunyai karakter

rendah hati dan tidak sombong .

Selain lasi ebagai tokoh utama,ada tokoh pendamping dalam novel

ini.Bu lanting misalnya,dalam novel ini Bu lanting merupakan eorang mutikari

kelas atas,yang selalu menghantui kehidupan lasi dan berusaha memanfaatkan

5 Aminuddin,pengantar apresiasi karya sastra,Sinar Baru Algensirdo,Bndunjg ,2004.hlm 79.

Page 23: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

59

kecantikan lasi untuk dipersembahkan kepada laki-laki hidung belang. Bu lanting

adalah sosok yang pendengki, pemboros, dan licik.

Pak Handarbeni dalam Novel ini adalah suami lasi yang kaya raya.Ia

adalah seorang usahawan dan tokoh politik kelas atas. Bambung juga mewarnai

cerita ini, Bambung adalah juga seorang usahawan dan tokoh politik atas negeri

ini ;seperti halnya Handarbeni, Bambung juga menginginkan lasi untuk bisa

menjadi istri simpananya.

Sedangkan Kanjat, kekasih lama Lasi, merupakan seorang pemuda

yang mempunyai sifat baik hati, tampan dan taat beragama. Serta seorang dosen

di sebuah perguruan tinggi swasta di lingkungannya. Eyag Mus adalah tetangga

Lasi di Karangsanga. Ia adalah seorang tokoh agama yang selalu menangkan hati.

Bu Wirjati dan Pak Mukri adalah orang tua kandung Lasi yang bijaksana.

Selain berbagai karakter di atas adalah beberapa tokoh yang mewarnai

dunia novel ini, misalnya Pak Min, supir pribadi Handarbeni, Oning sekretasris

pribadi Handarbeni. Ia adalah gadis manis yang lucu dan masih kebocah-bocahan.

Ada juga mayor Brangas, seorang polisi yang menjemput Lasi, ia adalah suruan

dari Lanting dan Bambung. Disamping itu juga ada Pardi, Supir truk keluarga

Kanjat. Ia adalah yang mengantar Kanjat bolak-balik Karangsanga-Jakarta untuk

mencari Lasi.

3.3.4 Alur

Merupakan rangkaian peristiwa yang sambung-menyambung dalam

sebuah cerita berdasarkan logika sebab akibat. Dalam sebuah cerita terdapat

berbagai peristiwa-peristiwa. Akan tetapi, peristiwa-peristiwa dalam ceita itu tidak

berdiri sendiri, tetapi berkaitan antara peristiwa satu dengan peristiwa lainnya.

Rangkaian peristiwa itulah yang membentuk plot atau alur ceita. Jadi, plot itu

memperlihatkan bagaimana cerita berjalan.

Alur dalam novel “Belantik” karya Ahmad Tohari adalah sebagai berikut:

3. Hal 5-12 : pak handarbeni resah Lasi bekisar merahnya dipinjam oleh

Bambung kemudian Bu Lanting seorang Mucikari menyarankan agar

merelakan Lasi dipinjam oleh orang lain.

Page 24: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

60

4. hal 13-38 : Lasi diajak ke Singapura oleh Bu Lanting untuk

menemani pacarnya yaitu Bambung. Akan tetapi Lasi diminta untuk

menemani Pak Bambung di sebuah perjamuan mewah di Singapura oleh Bu

Lanting.

5. hal 39-54 : Bu Lanting menjebak Lasi agar tetap menemani Pak

Bambung. Ia sengaja pindah ke hotel lain dengan alasan kencan dengan bule.

Lasi sempat sekamar dengan Pak Bambung namun itu hanya sebatas

menemani minum dan ngobrol. Keesokannya pak Bambung harus kembali ke

Jakarta karena ada urusan mendadak.

6. hal 57-60 : sesampai di Jakarta Lasi mendapat telepon dari Bu

Lanting, mengapa dia tidak memberikan apa-apa kepada pak Bambung. Bu

Lanting juga memberitahukan bahwa ia sudah cerai dengan Handarbeni.

7. hal-61-69 : begitu mendengar sudah dicerai oleh Handarbei, Lasi

bingung, terkejut kini dia milik Pak Bambung. Ia pergi naik taksi menuju

rumah Pak Min, hamya minta tolong Mak Min untuk memijatnya kemudian

pulang naik bus kota.

8. hal 70-74 : Bus kota berhenti di terminal kemudian Lasi memilih bus

yang menuju ke desa Karangsanga. Ia pulang menemui keluarganya dan

berharap bertemu Kanjat teman.

9. hal 75- 85 : eyang Mus menceritakan kedatangan Lasi yang sedang

banyak masalah. Beliau meminta Kanjat menemuinya, Kanjat bersedia di

rumah Lasi bercerita tentang kehidupannya di Jakarta. Malah Kanjat berniat

untuk mengawini Lasi. Namun Lasi menolak dengan alasan di janda dua kali

sedang Kanjat masih perjaka.

10. hal 86-94 : Lasi memutuskan untuk bersembunyi di rumah

pamannaya di Sulawesi Tengah. Diantar oleh Kanjat, namun sebelum

melakukan perjalanan jauh ke sulawesi dinikahkan terlebih dahulu.

11. hal 95-98 : Lasi menginap di Surabaya karena kapal laut yang akan ke

Sulawesi akan berangkat dua hari lagi. Mereka terlibat percakapan yang serius

tapi penuh kasih sayang.

Page 25: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

61

12. hal 98-100 : tiba-tiba Bu Lanting dan Mayor Brangas datang ke

penginapan tersebut dan memaksa lasi untuk ikut bersama mereka. sementara

Kanjat tak kuasa menahannya, karena mereka terlibat percekcokan hebat.

13. hal 102-112 : perjalanan dari Surabaya ke Jakarta Lasi terius menangis,

sesampainya di rumah ia masih saja ngambek hingga kurang lebih satu bulan

lamanya. Akan tetapi kemudian ia tersadar bahwa dirinya datang bulan dan ia

memastikan kalau dirinya hamil. Sementara Bu Lanting terus saja

menggodanya, namun ia bertekad untuk menjaga kesucian kandungannya.

Kemudian Lasi memberitauhukan kabar gembira tersebut kepada Kanjat lewat

telepon.

14. hal 112-127 : Bambung mengunjungi Lasi, tetapi dengan sikap ramah

dan sopan Lasi menyambutnya. Tidak lama kemudian Lasi memberitahukan

perihal kehamilannya. Antara percaya dan tidak Bambung pergi meninggalkan

Lasi dan segera menelepon Bu Lanting. Mencurahkan kemarahannya kepada

Bu Lanting.

15. hal 121-127 : Kanjat memberitahukan kepada Bu Wiryati, Eyang Mus

dan Mukri perihal Lasi. Kanjat tidak berbuat apa-apa, ia hanya pasrah dberdoa

menunggu saat bersama tiba.

16. hal 128-132 : radio menyiarkan perihal pergulatan para elit yang sedang

berlangsung, disamping itu Kanjat juga telibat pembicaraan serius tentang

Bambung dengan teman-teman di kantornya. Bambung diperiksa oleh

kepolisian karena suatu hal. Dan Kanjat memutuskan untuk menyusul Lasi ke

Jakarta, kemudian ia mengajak Pardi, supir truknya untuk menemani dalam

pencarian itu.

17. hal 133-138 : pardi dan Kanjat sampai di Jakarta dan akhirnya ia

menemukan ciri-ciri rumah yang di huni oleh Lasi. Melalui pembicaraan

panjang lebar dengan satpam maka akhirnya Kanjat mengetahui kebradaan

lasi dan segera menyusul Lasi di pengadilan. Lasi dan kanjat bertemu di

pengadilan tersebut dan Kanjat berjanji akan mengusahakan kebebasannya.

18. hal 139-142 : lasi dapat dibebaskan oleh seorang pengacara, teman

kanjat. Dan segera mereka memutuskan untuk kembali ke Karangsanga.

Page 26: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

62

Meskipun Bu Lanting sempat menghadang. Ajakan Bu Lanting tidak digubris

mereka. mereka segera melanjutkan perjalanan ke Karangsanga dengan

suasana riang dan mengharukan dengan truk pengangkut gula.

3.3.5 Latar

Peristiwa yang dialami tokoh-tokohh cerita terjadi di tempat tertentu,

waktu tertentu dan dalam suasana tertentu pula. Tempat, waktu, dan suasana

terjaadinya peristiwa dalam cerita dinamakan setting atau latar. Jadi, setting

mencakup tiga hal, yaitu setting tempat, setting waktu dan setting suasana.6

1. Setting tempat

Setting tempat adalah tempat peristiwa itu terjadi. Novel Belantik ini

menggambarkan setting tempat di Karangsanga, Jakarta, dan Singapura.

Misalnya, hal ini terdapat dalam ungkapan:

“Menunggu kedatangan Bu Lanting yang sudah

menghubunginya lewat telepon tadi siang, Lasi duduk tak tenang di

beranda rumahnya yang megah di Slipi, Jakarta Barat. Kunjungan Bu

Lanting menyenangkan hati Lasi karena perempuan gemuk itu satu-

satunya teman akrabnya.”

2. Setting waktu

Setting waktu adalah kapan peristiwa itu terjadi. Dalam novel ini

setting waktu adalah pagi, sore dan malam hari.

Contoh misalnya:

“Jam setengah lima pagi bus itu mencapai ruas jalan raya yang membelah desa Karangsanga pada sebuah mulut jalan desa bus itu berhenti dan Lasi turun. Berdiri sejenak untuk memulihkan kesadaran, ia melangkah masuk kampung. Sepi, udara terasa dingin. Langit timur mulai temaram. Lasi turun berjalan dalam keremangan kabut, berteman suara langkah sendiri.

3. Setting Suasana

Peristiwa itu terjadi dalam suasana apa? Suasana ada 2 macam, yaitu

suasana lahir dan batin. Dalam novel ini, suasana juga melingkupi lahir dan

batin, misalnya terapat dalam ungkapan:

“Rasa haru dan rasa rindu muncul bersama hati Lasi. Air matanya menitik. Dadanya menyesak. Tetapi ia terus melangkah. Ada cericit tikus busuk di

6 Op.cit., Arul Wijayanto, hlm. 82.

Page 27: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

63

selokan tepi jalan. Atau keletak suara tetes embun yang jatuh menimpa sampah daun. Dan suasana menjelang pagi yang tenang dan terasa akrab membuatnya merasa sepenuhnya kembali di rengkuh oleh kesejukan tanah kelahiran.”

3.3.6 Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah cara khas dalam menyampaikan pikiran

dan perasaan. Dengan cara yang khas itu kalimat-kalimat yang

dihasilkannya menjadi hidup. Karena itu, gaya bahasa dapat

menimbulkan perasaan tertentu, dapat menimbulkan reaksi tertentu

dan dapat menimbulkan tanggapan pikiran pembaca. Semuanya itu

menyebabkan karya sastra menjadi indah dan bernilai seni. 7

Bahasa yang digunakan novel ni terdiri dari percampuran

bahasa Indonesia, Ingris, Arab dan Jawa. Meskipun bahasa Indonesia

mendominasi dalam novel ini, akan tetapi terdapat sisipan bahasa

Inggris yang dengan mudah dipahami oleh pembaca. Seperti yang

digunakan novel ini

Seperti pada halaman 26 dan 28: “Dalam pesawat menuju Singapura, gairah Bu Lanting terlihat pada semangat cas-cis-cus-nya yang tak bisa disela. Ngomong dan ngomong terus. Pelayanan yang ditawarkan pramugari ditolaknya dengan “No thank you. I meet notting. Sementara Lasi hanya diam. Kadang tersenyum demi mengenakkan Bu lanting.8

Bahasa Arab dalam novel ini sifatnya lebih kepada ungkapan seperti salam (assalamu’ alaikum) puji-pujiaan (al-hamdulilaah) walimah, hasaballah (haasbunallah wa nikmal wakil). Sedangkan bahasa jawa banyak sekali dipergunakan baik dalam percakapan-percakapan, ataupun dalam tembang-tembang Jawa atau nyanyian-nyanyian jawa. Misalnya terdapat dalam ungkapan-ungkapan sebagai berikut:

“Pak, saya hanya bisa menirukan nasehat atau wewarah yang dulu disampaikan almarhum ayah. Yah, sekedar wewarah seorang petani tua tidak pernah mengunyah genting sekolah.”

“Wewarah apa? Dulu aayah sering bilang, agar bisa hidup tenang, orang harus selalu

eling dan nrima ing pandum, tidak ngumbar kanepson atau mengumbar keinginan.”

Atau dalam nyanyian- nyanyian jawa, misalnya:

7 Ibid. hlm. 84. 8 Ahmad Tohari, Belantik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 26.

Page 28: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

64

Bumine goyang-bumine goyang arane lindu Wong ora sembahyang, wong ora sembahyang bakale wudhu Dadi wong urip dari wong urip sing ati-ati Aja nuruti nuruti, aja nuruti senenging ati...

3.4 Sinopsis Novel “Belantik”

Novel belantik diawali dengan kisah Pak Handarbeni yang resah setelah

didesak oleh Bu Lanting yang mengabarkan keinginannya Pak bambung

meminjam Lasi. Lelaki kaya raya itu sadar bahwa dirinya tidak mampu

lagi membanggakan kejantanannya, sampai-sampai memberi kesempatan

kepada Lasi untuk memperolehnya dari lelaki manapun. Akan tetapi,

wibawanya terasa goyah ketika ada lelaki lain di dekatnya yang benar-

benar menginginkan Lasi. Sementara itu Lasi yang belum tercerabut dari

latar tradisi desa Karangsanga ternyata tidak memahami makna pinjam-

meminjam itu dan pada akhirnya tidak sanggup melakukan penyimpangan

moral itu walaupun sudah terjepit dalam lingkungan sekelompok orang

yang justru menikmatinya, seperti Pak Han, Bu Lanting dan Pak

Bambung. Ternyata Lasi masih mampu mempertahankan harga dirinya

sebagai istri Pak Handarbeni meskipun bersedia mendampingi Pak

Bambung dalam sebuah perjalanan mewah di Singapura dan bahkan

sempat sekamar dengan lelaki-lelaki itu karena permainan Bu Lanting

yang memang seorang mucikari. Beruntung pula kesempatan berada di

Singapura itu amat terbatas karena secara mendadak Pak bambung harus

kembali ke Jakarta.

Tidak lama kemudian, Lasi mereguk pengalaman baru yang sulit

dipahaminya, yaitu diceraikan oleh Pak Han dan diserahkan kepada Pak

bambung. Peristiwa itu menyadarkan Lasi betapa terkoyak martabatnya

sebagai permpuan, tetapi terlanjur sulit mengatasinya. Dalam kondisi batin

yang limbung itulah Lasi melangkah meninggalkan rumahnya tanpa sopir

pribadi dan tanpa rencana pula dengan bus umum sampailah ke desa

Karangsanga di saat fajar merekah.

Di sanalah Lasi sempat mengadu atau sesambat kepada Eyang Mus

tentang kerumitan masalah dirinmya sebagai seorang janda yang baru saja

Page 29: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

65

dicerai Pak Handarbeni dan dengan mudah diserahkan atau dipercayakan

kepada Pak Bambung yang bernafsu menikahinya. Di satu sisi, tetap

menyadari martabatnya sebagai seorang perempuan, dan disisi lain lagi

merasa ketakutan melepasakan diri dari “kekuasaan” Bu Lanting dan Pak

Bambung yang telah memberinya kekayaan berlimpah. Sementara itu

Eyang Mus berhasil meyakinkan pemuda Kanjat untuk membuktikan

kemampuannya mengatasi masalah tersebut. Salah sstu kemungkinan itu

adalah pergi bersembunyi ke paman Ngalwi di daerah transmigrasi

Sulawesi Selatan.

Pada mulanya, Kanjat pun kebingungan mencari-cari cara terbaik

dan pada akhirnya menyetujui usulan Lasi yang ingin bersembunyi ke

paman Ngalwi di Sulawesi Selatan. Ketika Kanjat menyampaikan rencana

itu ke hadapan Eyang Mus, berkembang persoalan teknis kepergian

mereka yang saat itu bukanlah pasangan suami istri. Alasannya adalah

nilai kepantasan yang masiuh dipegang dan berlaku di Karangsanga

berkaitan dengan perjalanan dengan perjalanan jauh sepasanga laki

perempuan yang bukan atau belum sah sebagai suami-istri. Alasan itu

hampir menyurutkan semangat Kanjat, tetapi kemudian justru merupakan

landasan terbaik bagi Eyang Mus dan orang-orang terdekat untuk

menikahkan Lasi dengan Kanjat.

Persoalan ternyata belum selesai disini, terbukti dengan

munculnya ulah Bu Lanting yang merasa dilecehkan oleh kepergian Lasi.

Dengan bantuan aparat kepolisian, mereka berhasil menyusul Lasi dan

Kanjat di Surabaya dan dengan paksa memboyong ke Jakarta. Kanjat pun

tidak mampu mengatasi masalah seketika karena berhadapan dengan

polisi dan kekuasaan.

Di akhir ceita dikisahkan bahwa Lasi berada di salah satu rumah

mewah Pak bambung, kehamilannya yang makin besar, keselamatan janin

dari kemungkinan nafsu Pak Bambung, dan perkembangan politik tingkat

tinggi di Jakarta yang menggiring Pak Bambung dan kelompoknya

berurusan kejaksaan agung. Sementara itu, Kanjat yang menyadsari

Page 30: bab 3 iii - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/30/jtptiain-gdl-s1...38 beradab, yaitu masyarakat tidak suka berbohong, yang tidak suka menipu, korupsi

66

keterbatasan dirinya harus bersabar hungga beritta-beita koran, siaran

radio, dan obroloan orang seputar kehancuran prestasi kelompok bambung

di kancah politik nasional memang membesarkan semangat kanjat yang

pada akhirnya bertekad mencari Lasi di Jakarta. Padahal sebenarnya

Kanjat sendiri belum mengetahui tempat tinggal Lasi, kecuali dikatakan

sebuah sebuah rumah mewah dengan ciri-ciri tertentu di sekitar hotel

Indonesia. Namun, tekad Kanjat semakin mantap setelah menyimak beita-

berita koran terbitan jakarta yang mengabarkan Bambung dan beberapa

orang dekatnya sudah ditahan di kejaksaan agung.

Dengan bantuan sopir Pardi yang suah lama bekerj apada keluarga

Kanjat, berangkatlah lelaki pahlawan desa Karangsanga itu ke Jakarta.

Ternyata tidak mudah menemukan Lasi di celah belantara Jakarta yang

bagi Kanjat sendiri adalah wilayah asing. Untunglah pengalaman Pardi

sebagai sopir truk gula kelapa yang sudah sekian tahun mondar-mandir

Karangsanga-Jakarta mrp modal kerja yang sangat menguntunkan. Mula-

mula mereka hanya menemukan rumah Pak Bambung yang diperkirakan

dihuni Lasi, tetapi nyatanya sepi. Tidak lama ditemukan, mereka

mendapatkan informasi keberadaan Lasi dirumah tahanan kejaksaan

sebagai calon saksi, dan setelah lima belas hari mengurus proses

administrasi hukumnya maka berhasillah Kanjt membebaskan perempuan

itu dari status tahanan sementara dan mengajak pulang ke Karangsanga.

Perjalanan kembali ke karangsanga tidak ditempuh Lasi dengan

sedan mewah dan sopir pribadi Pak Min seperti ketika masih menjadi istri

handarbeni, tidak juga dengan bus umum seperti ketika nekat

meninggalkan rumah mewahnya setelah diceraiakn suaminya, tetapi ikhlas

bersama kanjat menumpang truk gula kelapa yang disopiri Pardi.