bab 3 analisis data 3.1 analisis pengaruh shinto dalam...
TRANSCRIPT
24
Bab 3
Analisis Data
3.1 Analisis Pengaruh Shinto Dalam Tujuan Dilaksanakannya Tenjin Matsuri
Pada AsiaRoom (2007) dikatakan bahwa festival Tenjin Matsuri di Osaka
diadakan untuk mengusir roh-roh jahat pada musim panas dan dinyatakan sebagai
bentuk doa untuk roh Sugawara Michizane. Tenjin Matsuri dimulai tanggal 1 Juni tahun
951. Tenjin pada dasarnya memiliki arti Dewa surgawi (heavenly god) tetapi kemudian
kata ini secara khusus mengarah pada roh seorang sarjana dan udaijin istana yang
bernama Sugawara Michizane.
Gambar 3.1 Sugawara Michizane
Gambar 3.2 Kuil Temmangu
Sumber: http://www.honoluluacademy.org Sumber: http://upload.wikimedia.org
Michizane adalah seorang sarjana dan seorang udaijin (setara dengan perdana
menteri sekarang) yang bekerja dalam istana kaisar Uda. Dia kemudian menjadi korban
dari fitnah Fujiwara no Tokihira yang merupakan rekannya dalam mengurus hubungan
25
politik di istana. Pada tahun 901, dia dikirimkan ke Dazaifu, yaitu cabang istana yang
berada di Kyushu. Hidupnya begitu menderita dan akhirnya dia meninggal di sana dua
tahun setelahnya. Bersamaan dengan kematiannya, banyak kejadian aneh yang terjadi di
Kyoto, yaitu terjadinya bencana, halilintar menyambar istana kekaisaran dan Tokihira
yang mengfitnahnya kemudian mati pada usia 38 tahun yang lalu diikuti oleh kematian
anak-anak lelaki dan perempuannya. Orang-orang di Kyoto mempercayai bahwa semua
itu disebabkan oleh roh Michizane. Setelah istana terkena sambaran halilintar, pihak
istana percaya bahwa adanya hubungan antara roh Michizane dengan Dewa Halilintar.
Demi meredakan kemarahannya maka kuil Kitano di Kyoto disakralkan untuk Dewa
Tenjin tahun 949. Kurang dari 50 tahun setelahnya, kuil ini ditahbiskan atas namanya
untuk mendamaikan rohnya. Kemudian di dalam pikiran orang-orang, Michizane dan
Tenjin menjadi satu dan pikiran tentang Michizane adalah hantu yang ingin membalas
dendam pun mulai hilang (Ishikawa, 1986:95).
Menurut analisis penulis, tujuan diadakannya Tenjin Matsuri memiliki kaitan
yang erat dengan Shinto. Dalam ajaran Shinto dipercaya bahwa matsuri dapat digunakan
untuk mengusir roh jahat dan diperuntukkan untuk menentramkan dewa sebagaimana
yang telah dikatakan oleh Tanaka (1990:104). Hubungan lainnya juga dapat dilihat pada
cerita mengenai Sugawara Michizane, yaitu kepercayaan akan adanya kekuatan gaib
yang menyebabkan terjadinya bencana dan berbagai kejadian aneh yang dipercaya
merupakan akibat dari amarah roh Michizane yang penuh dengan dendam. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Ishikawa (1986:77) bahwa di dalam ajaran Shinto dipercaya adanya
suatu hal yang misterius dan gaib yang mempunyai kekuatan yang melampaui kekuatan
manusia di dunia yang disebut dengan kami. Kami mempunyai dua kepribadian yang
26
berlawanan yaitu pertama yang menyebabkan orang-orang merasa ketakutan, sedangkan
yang lainnya menyebabkan orang merasa tak berdaya tanpa kami. Selain itu pula
berdasarkan pembagian kami menurut The Cambridge Encyclopedia of Japan (1993),
roh Sugawara Michizane yang akhirnya diabadikan menjadi Dewa Tenjin termasuk ke
dalam golongan hitogami, yaitu orang-orang yang disembah sebagai kami setelah
kematiannya. Golongan kami ini biasanya meninggal dengan keadaan yang tidak baik
atau tragis yang mana pada akhirnya kemarahan mereka menyebabkan rentetan bencana.
Hal ini pula yang terjadi pada Dewa Tenjin yang sekarang menjadi dewa pendidikan dan
kaligrafi.
3.2 Analisis Pengaruh Shinto Dalam Ritual Tenjin Matsuri
Pada subbab ini penulis akan melakukan analisis terhadap ritual-ritual Tenjin
Matsuri yang memiliki pengaruh Shinto di dalamnya. Pada analisis ini penulis akan
membaginya ke dalam dua bagian, yaitu ritual pada pembukaan festival (yoimiya) dan
ritual pada puncak festival (honmiya).
3.2.1 Yoimiya (Pembukaan Festival)
Pembukaan festival pada Tenjin Matsuri diadakan pada tanggal 24 juli. Adapun
ritual-ritual yang diadakan akan dijelaskan berikut ini.
3.2.1.1 Yoimiyasai
Pada Rakunetto (2003) dijelaskan bahwa pada pagi hari sebelum dimulai acara
ritual hokonagashi-shinji terdapat yoimiyasai (pembukaan festival Tenjin Matsuri) yang
dimulai dengan dibukanya pintu kuil Temmangu, penyucian, persembahan makanan dan
27
pembacaan norito yang dilakukan oleh pendeta Shinto dan tarian miko serta iringan
musik gagaku.
Menurut analisis penulis, konsep Shinto yang dapat dihubungkan adalah adanya
upacara pembukaan pintu kuil Temmangu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ross
(1983:65) bahwa upacara pembukaan pintu kuil menggambarkan kegiatan zaman dahulu
yaitu mengundang kami untuk turun ke bawah. Urutan ritual yang dilakukan pada
yoimiyasai sendiri memiliki persamaan dengan ritual Shinto. Seperti yang dijelaskan
oleh Ono (1992:51-57) bahwa terdapat empat unsur dalam upacara pemujaan Shinto,
yaitu:
1) Penyucian atau pembersihan (harai)
2) Persembahan (shinsen)
3) Doa ritual Shinto (norito)
4) Pesta simbolik (naorai)
Diantara keempat unsur upacara ritual Shinto yang dijelaskan oleh Ono diatas,
ritual yang dilakukan pada yoimiyasai memiliki ketiga unsur diatas, yaitu penyucian
(harai), persembahan (shinsen), dan doa ritual Shinto (norito). Ritual penyucian (harai)
adalah ritual yang bertujuan untuk membersihkan semua kotoran, kejahatan dan iblis
yang dapat mengganggu kehidupan yang sesuai dengan jalan kami dan kemanjuran suatu
pemujaan (Ono, 1992:51). Harai ini dilakukan bersamaan dengan pembacaan norito
yang berisi puji-pujian kuno. Norito dibawakan oleh pendeta dengan gaya dan cara kuno
yang merupakan bagian dari literatur Jepang yang paling kuno. Ritual tersebut dilakukan
dengan harapan atas perlindungan dari mara bahaya, permohonan untuk penghapusan
dosa atau kesialan dan ungkapan rasa syukur dan lain sebagainya (Ross, 1983:65).
28
Gambar 3.3 Harai
Gambar 3.4 Norito
Sumber: http://library.osu.edu Sumber: http://www.h5.dion.ne.jp
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya dalam Rakunetto (2003) bahwa
terdapat pula tarian miko dan iringan musik gagaku dalam ritual yoimiyasai. Berikut ini
adalah penjelasan mengenai musik dan tarian dalam ritual Shinto (Picken, 1994: 178):
Music and dance include several separate forms that are arts in their own right. Kagura is a classical Japanese dance performed by shrine maidens (miko). Dances have a central place in Japanese religion, it was a dance that enticed Amaterasu out of the cave. To the music of fue and the rhythm of drumbeats, the lion performs a sequence of dances.
Musik dan tarian termasuk beberapa bentuk yang terpisah yang memiliki unsur keseniannya sendiri. Kagura adalah sebuah tarian Jepang yang dipertunjukan oleh gadis perawan kuil (miko). Tarian-tarian ini mempunyai bagian penting dalam agama orang Jepang, tarian itu adalah sebuah tarian yang menarik Amaterasu untuk keluar dari gua. Seiring dengan alunan musik fue dan irama gendang, tarian singa mempertunjukkan rangkaian tariannya.
Para penari miko biasanya menggunakan suzu dalam tariannya. Suzu adalah
sebuah alat seperti tamborin dengan lonceng yang dibuat untuk dapat berbunyi secara
serempak dengan mengibaskannya. Di India dan Cina lonceng tersebut digunakan untuk
mengusir setan sedangkan dalam Shinto digunakan sebagai alat untuk ritual penyucian
Shinto (Picken, 1994:183).
29
Gambar 3.5 Tarian Miko
Sumber: http://www.jnto.go.jp
Alat musik gagaku biasanya dimainkan dalam festival maupun ritual keagamaan
Shinto. Gagaku adalah alat musik klasik Jepang yang terdiri dari bermacam alat musik
yang dapat dibagi ke dalam dua tipe, yaitu uchi-mono dan sankan. Uchi-mono (perkusi)
terdiri dari sanko (tiga gendang), taiko (gendang berukuran besar yang terletak di kuil
dan sebagai tanda dari dimulainya suatu ritual), kakko (gendang kecil), shoko (pelengkap
gendang) dan sasara (potongan-potongan kayu yang ditepuk bersamaan). Sankan terdiri
dari fue (sebuah suling bambu dengan 6 lubang), sho (alat musik lengkap dengan 17 pipa
bambu dengan panjang yang berbeda) dan hichikiri (sebuah instrumen dengan suling
lurus yang mempunyai 9 lubang) (Picken, 1994:183).
Gambar 3.6 Shoko
Sumber: www.o-gagaku.com
Gambar 3.7 Taiko
Sumber: www.o-gagaku.com
Gambar 3.8 Hichikiri
Sumber: www.o-gagaku.com
30
Gambar 3.9 Sho
Sumber: www.o-gagaku.com
Gambar 3.10 Kakko
Sumber: www.o-gagaku.com
Gambar 3.11 Fue
Sumber: www.o-gagaku.com
Dari penjelasan diatas mengenai tarian miko dan alat musik gagaku terlihat
bahwa keduanya memiliki hubungan dalam ritual Shinto. Selain itu menurut analisis
penulis, hubungan lainnya yang dapat dikaitkan adalah bahwa dalam kepercayaan Shinto
musik dan tarian bertujuan untuk memberikan kesenangan/hiburan kepada kami. Berasal
dari mitos Shinto bahwa para kami mencoba untuk menarik keluar Dewi Amaterasu
yang bersembunyi di dalam sebuah gua yang bernama Ama-no-Iwayado dan
menyebabkan kegelapan. Pada saat itu, kami yang bernama Takami-musubi bersama
kami lainnya mendiskusikan cara untuk menarik dewi Amaterasu keluar dan cara yang
dipakai adalah dengan mengadakan festival di luar gua. Suara-suara musik terdengar
oleh Amaterasu dan membuatnya penasaran hingga keluar dari gua. Hal ini sesuai
dengan yang telah dijelaskan oleh Ross (1983:67).
3.2.1.2 Hokonagashi-Shinji
Pada Rakunetto (2003) disebutkan setelah ritual yoimiyasai dilanjutkan dengan
ritual hokonagashi-shinji. Hokonagashi-shinji adalah ritual berupa penghanyutan
kamihoko di sungai yang menandai dimulainya Tenjin Matsuri. Pada ritual hokonagashi-
shinji, seorang shindo (seorang anak laki-laki yang telah terpilih dalam penyeleksian
yang dilakukan oleh masyarakat di sana) bertugas untuk menghanyutkan hoko dari atas
31
sungai dekat jembatan Tenjin-bashi. Sebelum dilakukannya penghanyutan hoko, acara
ini diisi kembali dengan ritual Shinto yang diadakan di dekat sungai tempat akan
dihanyutkannya hoko, yaitu berupa penyucian dengan tamagushi, persembahan makanan,
pembacaan norito dan ada pula tarian miko yang diiringi dengan gagaku.
Berdasarkan analisis penulis di dalam ritual hokonagashi-shinji mempunyai
pengaruh Shinto, yaitu selain upacara pemujaan Shinto yang juga dilakukan pada ritual
tersebut, hal lainnya dapat dilihat pada penggunaan benda yang disebut hoko. Seperti
yang telah disebutkan oleh Ono (1992:25) bahwa hoko merupakan salah satu benda
dalam agama Shinto yang dipercaya dapat melindungi kami dari roh jahat dan sebagai
simbol kekuatan kami untuk melindungi keadilan dan kedamaian.
Gambar 3.12 Hokonagashi-shinji
Sumber: http://www.osaka-info.jp
3.2.2 Honmiya (Puncak Festival)
Ritual pada puncak perayaan festival Tenjin Matsuri ini terbagi menjadi dua
prosesi, yaitu prosesi darat (riku-togyo) dan prosesi perahu (funa-togyo) yang
dilangsungkan pada tanggal 25 Juli.
32
3.2.2.1 Natsu taisai
Menurut Osaka-Info (2006) natsu taisai merupakan upacara mendoakan
keselamatan peserta festival dan ritual pemindahan go-shinrei (roh dewa) ke dalam
gohoren. Sebuah burung phoenix emas yang berada di atas atap merupakan sebuah
dekorasi gohoren yang merupakan kereta sejenis mikoshi untuk go-shinrei (roh dewa)
dari Sugawara Michizane. Gohoren ini lalu akan dibawa ke otabisho (tempat
peristirahatan sementara).
Gambar 3.13 Gohoren
Sumber: http://farstrider.net
Menurut analisis penulis, pengaruh Shinto yang terdapat dalam natsu taisai
terdapat pada ritual pemindahan go-shinrei yang merupakan roh Dewa Tenjin ke dalam
sebuah gohoren yang berfungsi sebagai tempat tinggal sementara untuk Dewa Tenjin
selama festival berlangsung. Seperti yang dijelaskan oleh Ono (1992:68-69) bahwa di
dalam matsuri biasanya terdapat pemindahan roh kami ke dalam sebuah tempat tinggal
sementara yang biasa disebut dengan mikoshi dan yang dipakai dalam ritual ini adalah
gohoren. Hubungan Shinto dalam ritual ini, yaitu pada pemindahan roh Dewa Tenjin
yang mana merupakan salah satu kami dalam Shinto.
33
3.2.2.2 Riku-togyo (Prosesi Darat)
Prosesi ini merupakan salah satu bagian utama dari acara festival Tenjin Matsuri.
Prosesi diikuti sekitar 3.000 pengikut kuil Osaka Temmangu dan menempuh jarak
sekitar 4 kilometer dari kuil utama menuju tempat menaiki perahu di sungai Okawa.
Prosesi darat dibagi menjadi tiga kelompok.
Kelompok pertama terdiri dari penabuh moyo-oshidaiko, danjiri-bayashi yang
diikuti penunggang kuda yang berperan sebagai sarutahiko, shojo-dashi, furyuu-
hanagasa, nishiki-bata, shishimai, ushihiki-doji, uneme dan chigo. Kelompok kedua
merupakan prosesi yang diikuti oleh o-masakaki, kamihoko, bunsha dan gohoren,
sedangkan kelompok ketiga antara lain terdiri dari otori-mikoshi dan tama-mikoshi.
3.2.2.2.1 Moyo-oshidaiko dan Danjiri-bayashi
Menurut Osaka-Info (2006) moyo-oshidaiko adalah taiko berukuran besar yang
ditabuh oleh penabuh (ganji) yang berpakaian kuning tua dan penutup kepala merah tua.
Moyo-oshidaiko terdiri dari enam orang penabuh yang berjajar masing-masing tiga
orang saling berhadapan. Orang-orang yang membawa para ganji dan taikonya disebut
dengan katsugikata dan tempatnya disebut taiko-dai. Ada suatu gerakan ciri khas dalam
membawa taiko-dai ini yaitu dengan menggerakannya seperti permainan jungkat-jungkit
atau disebut dengan gerakan kara-usu.
Danjiri-bayashi juga termasuk kelompok musik yang berada dalam parade riku-
togyo. Danjiri yang dipakai dalam Tenjin Matsuri disebut mitsuyane danjiri (danjiri
beratap tiga). Danjiri ini ditarik oleh orang-orang dari pasar Temma dan para penjual
lokal. Mereka semua memakai yukata dan handuk khas orang Jepang di kepala yang
bertuliskan ”Ichiba”. Danjiri-bayashi memainkan o-daiko (gendang besar Jepang),
34
kodaiko (gendang kecil Jepang) dan kane (lonceng-lonceng Jepang) dan juga diiringi
oleh ryu-odori (tari naga) yang tampil sesuai irama.
Menurut analisis penulis, pengaruh Shinto yang berada dalam moyo-oshidaiko
dan danjiri-bayashi adalah sebagai salah bentuk persembahan untuk menghibur kami.
Sesuai dengan yang telah dijelaskan oleh Ono (1992:71) bahwa di dalam matsuri
biasanya terdapat berbagai macam hiburan yang disediakan sebagai bentuk persembahan
untuk untuk menghibur kami yang disebut dengan kan-nigiwai (hiburan kami).
Gambar 3.14 Moyo-oshidaiko
Sumber: http://www.rss88.com
Gambar 3.15 Danjiri-bayashi
Sumber: http://farstrider.net
3.2.2.2.2 Sarutahiko
Setelah iringan moyo-oshidaiko dan danjiri-bayashi maka urutan dibelakangnya
adalah orang yang memakai kostum sarutahiko. Pada Osaka-Info (2006) dikatakan
bahwa sarutahiko yang memiliki ciri berwajah merah, berhidung panjang dan berambut
putih yang menunggangi kuda ini bertujuan sebagai penunjuk jalan bagi dewa. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat dalam kutipan penjelasan dari Schumacher (1999) mengenai
dewa sarutahiko berikut ini.
Sarutahiko or sarutahiko no kami commonly translated as "monkey man." The long-nosed Shinto deity of the crossroads who takes on the visage of a monkey; also considered by some to be the ancestor of the long-nosed Tengu mountain
35
goblin. The celestial Shinto goddess Ame-no-Uzume-no-Mikoto was the first to meet the earthly kami named Sarutahiko. She determines that he is not an enemy, after which he guides Ninigi and other Shinto deities on their descent from heaven to earth. She is accorded honors by Ninigi for her encounter with Sarutahiko. Sarutahiko atau sarutahiko no kami biasanya diartikan sebagai “manusia monyet”. Seorang dewa Shinto petunjuk jalan yang berhidung panjang dan roman mukanya menyerupai monyet yang juga dianggap oleh beberapa orang sebagai nenek moyang/leluhur hantu gunung Tengu yang berhidung panjang. Dewi surga Shinto Ame-no-Uzume-no-Mikoto adalah yang pertama kalinya menemui dewa bumi yang bernama Sarutahiko. Dewi itu memutuskan bahwa ia bukanlah seorang musuh karena ia pernah memandu Ninigi dan dewa-dewa Shinto lain pada perjalanan mereka turun dari surga ke bumi. Dewi diberikan kehormatan oleh ninigi untuk menemui sarutahiko.
Gambar 3.16 Sarutahiko
Sumber: http://photoguide.jp/
Menurut analisis penulis, kostum sarutahiko yang dipakai dalam prosesi darat
(riku-togyo) memiliki hubungan dengan Shinto. Seperti yang telah disebutkan tadi dalam
kutipan di atas oleh Schumacher (1999) bahwa sarutahiko merupakan salah satu kami
dalam Shinto, yaitu dewa petunjuk jalan dan dalam parade riku-togyo berfungsi sebagai
petunjuk jalan bagi dewa.
36
3.2.2.2.3 Shojo-dashi
Berikut ini adalah penjelasan mengenai Shojo-dashi dalam Scifi Japan (2006):
Shojo is a baboon spirit whose body and clothing are entirely red. It is said he is that color because he is always drunk on sake. He stands at the head of the kirin dance and exorcises evil spirits so that God can go along the purified path. In feudal times, there was an outbreak of smallpox and many people used Shojo dolls as talismans to ward off the evil god they thought was responsible for the diseases.
Shojo adalah sebuah makhluk yang memiliki seluruh tubuh dan pakaian yang berwarna merah. Dikatakan bahwa warna yang dia miliki tersebut adalah karena dia selalu meminum sake. Dia memimpin tarian kirin dan mengusir roh jahat agar dewa dapat terus melewati jalan penyucian. Pada masa feudal, berjangkitnya penyakit cacar dan banyak orang yang memakai boneka shojo sebagai jimat untuk menghindari dewa iblis yang mereka duga sebagai penyebab dari penyakit tersebut.
Gambar 3.17 Shojo-dashi
Sumber: http://www.osaka-info.jp
Shojo-dashi adalah kendaraan festival yang membawa boneka shojo yang sedang
memegang sebuah kipas dan memiliki wajah serta rambut yang merah. Shojo adalah
tokoh karakter dongeng yang berasal dari negeri Cina yang berupa sosok makhluk yang
mirip dengan binatang orang utan berambut panjang merah dan sangat menyukai
minuman sake. Dalam dongeng tersebut menceritakan tentang seorang anak yang
bermimpi dan dalam mimpi tersebut dikatakan bahwa sikap baktinya kepada orang tua
akan dibalas jika ia pergi dan menjual sake di pasar. Lalu semua terjadi seperti yang ada
37
di dalam mimpinya, tetapi kemudian ada seorang pembeli yang selalu datang dan
sebanyak apapun sake yang diminumnya, wajahnya tidak pernah berubah menjadi merah
seperti halnya orang pada umumnya jika meminum sake terlalu banyak. Anak penjual
sake itu bingung dan pria itu mengungkapkan bahwa ia sebenarnya adalah shojo yang
tinggal di dalam laut dan kemudian ia menghilang. Malam itu, anak itu membawa
beberapa sakenya ke pantai dan shojo muncul dengan wujud aslinya dan meminum
semua sake itu dan menari merayakannya. Shojo memuji akan sikap berbaktinya dan
memberinya sebuah botol sake yang tidak akan pernah habis.
Menurut analisis penulis, diikutsertakannya shojo-dashi dalam parade Tenjin
Matsuri adalah dihubungkan dengan adanya tujuan dalam Tenjin Matsuri, yaitu untuk
mengusir setan atau roh jahat sebagaimana yang telah dijelaskan dalam SciFi Japan
(2006) bahwa adanya kepercayaan orang Jepang tentang boneka shojo yang dapat
menjadi jimat untuk menghindari dewa iblis. Seperti yang dikatakan oleh Tanaka
(1990:104) bahwa salah satu tujuan dalam matsuri adalah untuk mengusir atau
menghilangkan roh jahat dan matsuri sendiri merupakan salah satu perwujudan dari
kepercayaan Shinto.
3.2.2.2.4 Fuuryu-hanagasa dan Nishiki-bata
Berikut ini adalah kutipan mengenai Fuuryu-hanagasa (Yoneyama, 1979:93):
大きい花傘を出す。長柄のさしかけに金襴の幕を垂らし、梅鉢の紋が金
糸で縫取ってある。これも神具のひとつ。
Payung berhiaskan bunga yang besar (fuuryu-hanagasa) muncul. Dengan gagang yang panjang, tergantung sebuah tirai dengan kain berwarna emas dan terdapat lambang umeboshi (buah plum) yang dijahit dengan benang emas. Benda ini pun termasuk salah satu benda kami.
38
Gambar 3.18 Fuuryu-hanagasa
Sumber : http://www.osaka-info.jp
Gambar 3.19 Nishiki-bata
Sumber : http://www.osaka-info.jp
Fuuryu-hanagasa merupakan salah satu parade dalam riku-togyo yang
merupakan sebuah kumpulan hiasan bunga berwarna merah dan putih yang dibuat
berbentuk payung. Payung ini dibawa oleh beberapa orang berkostum putih dan dibawa
dengan sebuah kereta hias. Di depan fuuryu-hanagasa ini juga terdapat barisan yang
membawa bendera yang disebut nishiki-bata yang kira-kira memiliki tinggi lebih dari 2
meter. Selain fuuryu-hanagasa, menurut Yoneyama (1979:93) benda yang disebut
dengan nishiki-bata ini juga termasuk dalam salah satu benda kami. Pada kedua benda
tersebut terdapat lambang umeboshi, yaitu sebuah lambang buah plum yang merupakan
pohon kesukaan Dewa Tenjin.
Menurut analisis penulis, dalam fuuryu-hanagasa dan nishiki-bata terdapat unsur
Shinto di dalamnya, yaitu dilihat dari hubungan yang dimiliki oleh keduanya yang
merupakan salah satu dari benda kami sebagaimana yang telah disebutkan oleh
Yoneyama (1979:93) diatas. Sebagaimana diketahui bahwa kami merupakan Dewa bagi
agama Shinto dan juga kembali lagi pada tujuan diadakannya matsuri, yaitu sebagai
bentuk penyembahan kepada kami (Sasaki, 1987:43).
39
3.2.2.2.5 Ushihiki-doji
Ushihiki-doji berasal dari kata ushi (sapi), hiki (menarik) dan doji (anak laki-laki),
secara keseluruhan memiliki arti sapi yang ditarik oleh anak laki-laki. Sapi merupakan
salah satu hewan yang memiliki hubungan dengan Dewa Tenjin (Yoneyama, 1979:93).
Berikut ini kutipan penjelasan dari Osaka-Info (2006) tentang hubungan antara Dewa
Tenjin dengan sapi yang terdapat dalam festival Tenjin Matsuri:
There are many stories as to why Sugawara Michizane and Ox related; he was born in the year of the ox and after he dead an ox carried his coffin and the place it stopped was designed as his grave. Banyak cerita yang menghubungkan Sugawara Michizane dengan sapi, yaitu dia lahir pada tahun sapi dan setelah kematiannya, seekor sapi membawa peti jenazahnya dan berhenti di suatu tempat yang akhirnya menjadi tempat pemakamannya.
Gambar 3.20 Ushihiki-doji
Sumber: http://photoguide.jp/
Menurut analisis penulis, keterkaitan antara ushihiki-doji dengan Shinto adalah
sapi merupakan hewan yang memiliki hubungan dengan salah satu kami Shinto, yaitu
Dewa Tenjin. Sebagaimana dengan yang dikatakan oleh Holtom (1991:179) bahwa
Dewa Tenjin merupakan salah satu kami dalam Shinto yang dikenal sebagai dewa
pendidikan dan kaligrafi.
40
3.2.2.2.6 Shishimai
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa salah satu tarian yang terdapat
dalam acara riku-togyo adalah tarian shishimai atau tarian singa.
Berikut ini penjelasan mengenai shishimai menurut (Schumacher 1999):
In Japan, the shishimai or lion dance is often seen at shrine festivals and at New Year's, when performers visit each home in the neighborhood to cast charms against evil spirits and diseases while receiving offerings. A shishigashira, or lion's head, is the headdress worn by the performers. Shishimai dances became widespread in Japan thereafter as both a form of festival entertainment and as a means to ward off evil spirits, to pray for peace, bountiful harvests, and good health.
Di Jepang, shishimai atau tarian singa sering terlihat pada festival-festival kuil dan tahun baru, saat pemain mengunjungi setiap rumah untuk memasukkan jimat melawan roh-roh jahat dan penyakit selama menerima persembahan. Shishigashira atau kepala singa adalah topeng kepala yang dipakai oleh pemainnya. Tarian Shishimai berkembang luas di Jepang yang kemudian dipakai dalam pertunjukan festival dan sebagai alat untuk menghindari roh-roh jahat, untuk memohon kedamaian, hasil panen yang melimpah-ruah, dan kesehatan yang baik.
Gambar 3.21 Shishimai
Sumber: http://www.rss88.com
Shishimai merupakan tarian ritual Shinto yang dilaksanakan pada matsuri dan
tahun baru. Tarian ini biasanya dilaksanakan dua kali pada tahun baru yaitu hari pertama
dilaksanakan oleh singa merah dan pada hari kedua dilaksanakan oleh singa merah dan
41
putih. Pada saat pertunjukan mereka mengunjungi setiap rumah dan dalam kepercayaan
Shinto hal ini dipercaya dapat mengusir keluar setan atau roh jahat yang berada di rumah
dan dapat menghasilkan panen yang banyak pada tahun tersebut (Yoneyama, 1979:92).
Sebuah shishigashira atau kepala singa adalah sebuah hiasan kepala yang
dipakai oleh para pemain shishimai. Shishigashira, selain itu secara kebiasaan
ditempatkan dekat seorang bayi laki-laki yang baru lahir karena kekuatan gaib singa
dipercaya dapat melindungi anak bayi tersebut dari roh-roh jahat dan kemalangan.
shishimai atau tarian singa dimainkan dengan memakai hiasan kepala atau bermacam-
macam topeng. Topeng shishi mempunyai banyak bentuk, beberapa dengan tanduk-
tanduk. Setelah tarian shishimai diikuti pula dengan tarian payung atau kasa-odori.
Menurut analisis penulis, hubungan yang dimiliki antara shishimai dengan
Shinto adalah seperti yang telah dijelaskan oleh Yoneyama (1979:92), yaitu adanya
kepercayaan dalam Shinto bahwa tarian shishimai dapat digunakan untuk mengusir
setan atau roh jahat dan dapat menghasilkan panen yang banyak pada tahun tersebut.
3.2.2.2.7 Uneme dan Chigo
Pada Osaka-Info (2006) dijelaskan bahwa dalam parade riku-togyo terdapat
uneme dan chigo. Uneme adalah barisan para wanita yang berpakaian zaman Heian dan
kain tipis di atas kepalanya. Terdapat sepuluh wanita yang telah terpilih oleh masyarakat
berparade dengan chigo. Chigo adalah anak usia 3 sampai 7 tahun yang memakai eboshi
atau tenkan (sebuah mahkota emas) yang biasa dipakai oleh para dewi dan malaikat-
malaikat. Uneme dan chigo ikut berpartisipasi dalam parade sebagai pelayan-pelayan
kami dalam hal ini adalah Dewa Tenjin.
42
Gambar 3.22 Uneme
Sumber: http://photoguide.jp/
Gambar 3.23 Chigo
Sumber: http://photoguide.jp/
Menurut analisis penulis, pada uneme dan chigo memiliki hubungan dengan
pengaruh Shinto, yaitu dilihat dari segi fungsi mereka sebagai pelayan Dewa Tenjin.
Seperti yang telah dijelaskan pula sebelumnya bahwa Dewa Tenjin merupakan salah
satu kami dalam Shinto dan sebagai kami yang dipuja dalam Tenjin Matsuri.
3.2.2.2.8 O-masakaki, Bunsha dan Kamihoko-dashi
Osaka-Info (2006) menyebutkan bahwa parade-parade berikutnya juga diisi oleh
o-masakaki, bunsha dan kamihoko-dashi. O-masakaki adalah parade yang diisi oleh tiga
ratus pohon sakaki yang didedikasikan untuk festival Tenjin Matsuri.
Gambar 3.24 O-masakaki
Sumber: http://www.osaka-info.jp
43
Menurut analisis penulis o-masakaki memiliki hubungan dengan pengaruh
Shinto, yaitu seperti yang telah dijelaskan oleh Ono (1992:52) bahwa sakaki merupakan
tumbuhan sakral atau suci yang biasanya dipakai sebagai salah satu simbol penyucian
dalam upacara Shinto.
Bunsha adalah sebuah kendaraan hias yang membawa buku-buku sebagai bacaan
untuk Dewa Tenjin di otabisho (tempat peristirahatan sementara). Bunsha dibawa oleh
orang-orang yang memakai kostum kamishimo (sebuah seragam upacara pada zaman
Edo).
Gambar 3.25 Bunsha
Sumber: http://farstrider.net
Menurut analisis penulis, pengaruh Shinto yang terdapat pada bunsha adalah
terlihat pada tujuan dibawakannya buku bacaan tersebut adalah untuk menghibur Dewa
Tenjin sebagai dewa pendidikan dan kaligrafi dalam agama Shinto.
Kamihoko-dashi adalah kendaraan hias yang membawa kamihoko. Hoko yang
dibawa dalam parade berbeda dengan hoko yang digunakan pada ritual hokonagashi-
shinji. Kamihoko-dashi ini bertujuan untuk memberkati sepanjang perjalanan parade
prosesi yang akan berjalan nantinya. Pada zaman dahulu, hoko adalah benda berharga
44
bersifat sakral yang dapat membantu untuk menyucikan wabah. Pada waktu festival,
mereka membawa hoko diatas sebuah kendaraan hias yang mana ukurannya sepuluh kali
lebih besar daripada hoko yang digunakan untuk ritual hokonagashi-shinji. Ada
sebanyak 16 lelaki muda yang menarik kendaraan ini.
Gambar 3.26 Kamihoko-dashi
Sumber: http://www.osaka-info.jp
Menurut analisis penulis, kamihoko-dashi dalam parade ini juga memiliki
hubungan dengan pengaruh Shinto. Seperti yang telah disebutkan pula sebelumnya pada
subbab mengenai hokonagashi-shinji bahwa hoko merupakan salah satu benda dalam
agama Shinto yang dipercaya dapat melindungi kami dari roh jahat dan sebagai simbol
kekuatan kami untuk melindungi keadilan dan kedamaian (Ono, 1992:25).
3.2.2.2.9 Otori-mikoshi dan Tama-mikoshi
Pada Osaka-Info (2006) dikatakan bahwa barisan terakhir pada prosesi riku-
togyo adalah otori-mikoshi dan tama-mikoshi. Kedua mikoshi tersebut memiliki berat
sekitar dua ton. Perbedaan di keduanya adalah terletak pada hiasan di atas atap atau
puncaknya. Pada otori-mikoshi diatasnya dihiasi dengan burung phoenix sedangkan
tama-mikoshi memiliki hiasan bola emas di atas atapnya. Sama seperti dalam parade
mikoshi matsuri lainnya, sebelum masuk ke dalam parade riku-togyo, mikoshi dalam
45
festival ini digerakkan dengan digoncang-goncangkan oleh para pembawanya. Selain
otori-mikoshi dan tama-mikoshi terdapat pula garu-mikoshi yang berasal dari bahasa
inggris ”gal mikoshi”. Garu-mikoshi adalah mikoshi yang dibawa oleh para wanita
yang sebelumnya telah melalui sebuah pemilihan.
Gambar 3.27 Otori-mikoshi
Sumber: http://www.osaka-info.jp
Gambar 3.28 Tama-mikoshi
Sumber: http://www.osaka-info.jp
Menurut analisis penulis, terdapat pengaruh Shinto dalam otori-mikoshi dan
tama-mikoshi. Sesuai dengan yang dijelaskan oleh Ishikawa (1986:99) bahwa mikoshi
merupakan salah satu bagian yang penting dalam suatu kegiatan matsuri. Mikoshi
berfungsi sebagai kuil kecil bagi dewa. Tujuan para pembawa mikoshi secara kasar
menggoncang-goncangkannya adalah untuk membawa dewa yang telah turun ke kuil
agar masuk ke dalam mikoshi tersebut dan diharapkan roh-roh baik dapat masuk serta
roh-roh jahat dapat keluar. Selain itu alasan digoncangkannya mikoshi tersebut adalah
karena orang-orang Jepang dahulunya percaya bahwa kekuatan dewa ditingkatkan
dengan menggoncang-goncangkannya.
46
3.2.2.3 Funatogyo (Prosesi Perahu)
Prosesi perahu merupakan puncak perayaan Tenjin Matsuri. Pada Osaka-Info
(2006) Perahu dalam Tenjin Matsuri dibagi dalam lima kelompok, yaitu Hoansen,
Gubusen, Hohaisen, Reigaisen dan Kousen
1) Hoansen
Hōansen merupakan kelompok perahu yang terdiri dari gohoren hoansen,
tama-mikoshi hōansen, dan otori-mikoshi hōansen.
2) Gubusen
Gubusen merupakan kelompok perahu pendamping perahu hoansen dan
dinaiki oleh para penabuh moyo-oshidaiko dan pemain musik danjiri-
bayashi serta kagarikou gubusen (perahu yang bertugas dalam
penerangan dan kembang api)
3) Hohaisen
Hohaisen merupakan kelompok perahu yang dinaiki oleh para sponsor
dan undangan yang menyambut perahu Hoansen.
4) Reigaisen
Reigaisen merupakan kelompok perahu yang bergerak bebas dan terdiri
dari perahu dayung dondoko-bune (perahu yang merupakan satu-satunya
perahu dayung dalam prosesi funa-togyo yang berisi permainan musik
taiko dan kane), omukae-ningyo-bune, ningyo-bune (perahu yang
membawa boneka sarutahiko).
5) Kousen merupakan kelompok perahu yang terdiri dari kamihoko kousen
(perahu yang membawa kamihoko), hanagasa kousen, bunsha kousen
47
(perahu yang membawa kereta bunsha yang berisi buku bacaan untuk
Dewa Tenjin), tenjin-kousen (yang berisi tarian shishimai), omiki-kousen
(perahu yang membawa shojo-dashi), dan fuku-ume kousen (perahu yang
berisi ushibiki-douji).
Selain yang telah disebutkan diatas terdapat pula perahu lainnya, yaitu perahu
yang berfungsi sebagai panggung persembahan kagura honousen (musik dan tari sakral)
dan perahu seperti nohgaku-sen, rakugo-sen dan bunraku-sen yang tidak ikut dalam
prosesi melainkan tertambat di pinggir sungai.
Pada waktu perahu yang dinaiki para sponsor dan undangan saling berpapasan,
para penumpang harus melakukan salam tepuk tangan gembira yang disebut osaka-jime,
tapi penumpang diharuskan untuk hening ketika berpapasan dengan perahu yang
membawa gohoren. Perahu yang membawa gohoren tidak boleh dilihat orang dari atas,
sehingga bagian sisi kiri dan sisi kanan jembatan diberi penghalang agar penonton yang
berada di atas jembatan tidak bisa melihat perahu yang membawa gohoren yang lewat
tepat di bawahnya. Puncak acara diisi dengan pesta kembang api (hanabi).
3.2.2.3.1 Omukae-ningyo-bune
Pada era Genroku (1688-1703), boneka berpakaian tradisional dengan tinggi 2
meter yang disebut omukae-ningyo mulai dipasang di atas lunas perahu yang mengikuti
prosesi perahu dalam Tenjin Matsuri. Pada zaman sekarang ini tinggi boneka omukae-
ningyo yang dibuat ada yang mencapai sampai lebih dari empat meter lebih. Boneka
omukae-ningyo dulu berjumlah 44 buah, tapi pada jaman restorasi meiji dan masa
perang banyak boneka omukae-ningyo yang dibakar akibatnya sekarang hanya bersisa
menjadi 15 buah dan 14 buah boneka tersebut berada di Osaka. Kebanyakan bentuk
48
karakter yang dipakai pada boneka omukae-ningyo adalah berasal dari karakter-karakter
dalam kabuki dan noh serta ada pula yang diambil dari tokoh-tokoh sejarah Jepang dan
Cina. Dari jumlah 15 buah boneka omukae-ningyo yang tersisa, yang dipakai pada
perayaan Tenjin Matsuri hanya beberapa boneka omukae-ningyo.
Gambar 3.29 Omukae-ningyo
Sumber: http://www.osaka-info.jp
Menurut analisis penulis, dalam boneka omukae-ningyo terdapat pengaruh Shinto
karena boneka omukae-ningyo ini dipajang dalam lunas perahu dengan tujuan digunakan
untuk menjemput roh kami. Seperti yang diungkapkan oleh Sasaki (1987:43) bahwa
matsuri ditujukan sebagai bentuk pemujaan yang berhubungan dengan penyembahan
dan kedatangan kami.
3.2.2.3.2 Bunraku-sen, Nohgaku-bune, Rakugo-sen dan Kagura honousen
Di dalam prosesi perahu (funa-togyo) terdapat beberapa perahu yang diisi dengan
kelompok hiburan berupa drama-drama Jepang dan tarian maupun iringan musik, seperti
bunraku-sen, nohgaku-bune, rakugo-sen dan kagura honousen. Bunraku-sen adalah
perahu yang membawa kelompok bunraku, yaitu permainan cerita boneka tradisional
Jepang. Nohgaku-bune adalah perahu yang berisi panggung pertunjukan noh yang
dimainkan oleh para pemain dari asosiasi pemain noh di Jepang cabang Osaka. Cerita
49
noh yang ditampilkan adalah sebuah cerita versi pendek mengenai Dewa Tenjin yang
terkenal sebagai raijin. Pertunjukkan diadakan pada malam hari dengan cahaya dari
kembang api. Rakugo-sen adalah perahu yang berisi panggung pertunjukkan para
pemain rakugo dan kagura honousen adalah perahu yang berisi panggung pertunjukan
kagura (musik dan tarian Shinto) yang ditampilkan oleh miko.
Menurut analisis penulis, dalam bunraku-sen, nohgaku-bune, rakugo-sen dan
kagura honousen terdapat pengaruh Shinto, yaitu sebagai hiburan bagi kami. Seperti
yang dikatakan oleh Ono (1992:71) bahwa di dalam matsuri terdapat berbagai macam
hiburan yang disediakan sebagai bentuk persembahan untuk untuk menghibur kami
yang disebut dengan kan-nigiwai. Berbagai macam hiburan, seperti tarian, drama, dan
musik juga dianggap sebagai persembahan kepada kami dan bertujuan untuk
memberikan hiburan kepada kami.
3.2.2.4 Kangyo-sai
Kangyo-sai adalah ritual menggembalikan dewa dari tempat sementara ke tempat
semula yaitu jinja. Dalam ritual ini dewa yang dipindahkan dari otabisho dengan
menggunakan gohoren dikembalikan kembali ke kuil Temmangu.
Menurut analisis penulis, dalam ritual kangyo-sai terdapat konsep Shinto di
dalamnya karena di dalam ajaran Shinto, pada ritual terakhir matsuri terdapat kami okuri
yaitu berkenaan dengan pengiriman kembali kami ke tempat di mana mereka berasal.
Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Herbert (42:1982) bahwa kami okuri
merupakan ritual terakhir matsuri dalam Shinto, yakni pengiriman kembali dewa ke
tempat dewa – dewa berasal.