bab 2 tinjauan pustaka -...

25
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tidur 2.1.1 Definisi tidur Tidur berasal dari kata latin “Somnus” yang berarti periode pemulihan, serta suatu keadaan fisiologis untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiran. Perbedaan tidur dengan keadaan tidak sadar lainnya adalah pada keadaan tidur siklusnya dapat diprediksi dan kurang respons terhadap rangsangan eksternal dan bersifat reversible (Rizema, 2011). Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana orang tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya. Tidur harus dibedakan dengan koma, yang merupakan keadaan bawah sadar dimana orang tersebut tidak dapat dibangunkan (Guyton dan Hall, 2007). 2.1.2 Fisiologi tidur Tidur adalah suatu periode istirahat bagi tubuh berdasarkan atas kemauan serta kesadaran dan secara utuh atau sebagian fungsi tubuh yang akan dihambat atau dikurangi. Tidur juga digambarkan sebagai suatu tingkah laku yang ditandai dengan karakteristik pengurangan gerakan tetapi bersifat reversible terhadap rangsangan dari luar. Tidur dibagi menjadi dua tahap, yaitu fase Rapid Eye Movement (REM) disebut juga active sleep dan fase Non Rapid Eye Movement (NREM) disebut juga quiet sleep. Non Rapid Eye Movement merupakan keadaan aktif yang terjadi melalui osilasi antara talamus dan korteks. Tiga sistem utama osilasi adalah kumparan

Upload: hoangdung

Post on 08-Jul-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41088/3/jiptummpp-gdl-sitiadrian-47128-3-bab2.pdf · Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tidur

2.1.1 Definisi tidur

Tidur berasal dari kata latin “Somnus” yang berarti periode pemulihan,

serta suatu keadaan fisiologis untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiran.

Perbedaan tidur dengan keadaan tidak sadar lainnya adalah pada keadaan tidur

siklusnya dapat diprediksi dan kurang respons terhadap rangsangan eksternal dan

bersifat reversible (Rizema, 2011). Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan

bawah sadar dimana orang tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian

rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya. Tidur harus dibedakan dengan

koma, yang merupakan keadaan bawah sadar dimana orang tersebut tidak dapat

dibangunkan (Guyton dan Hall, 2007).

2.1.2 Fisiologi tidur

Tidur adalah suatu periode istirahat bagi tubuh berdasarkan atas kemauan

serta kesadaran dan secara utuh atau sebagian fungsi tubuh yang akan dihambat

atau dikurangi. Tidur juga digambarkan sebagai suatu tingkah laku yang ditandai

dengan karakteristik pengurangan gerakan tetapi bersifat reversible terhadap

rangsangan dari luar.

Tidur dibagi menjadi dua tahap, yaitu fase Rapid Eye Movement (REM)

disebut juga active sleep dan fase Non Rapid Eye Movement (NREM) disebut juga

quiet sleep.

Non Rapid Eye Movement merupakan keadaan aktif yang terjadi melalui

osilasi antara talamus dan korteks. Tiga sistem utama osilasi adalah kumparan

Page 2: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41088/3/jiptummpp-gdl-sitiadrian-47128-3-bab2.pdf · Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi

6

tidur, delta osilasi, dan osilasi kortikal lambat. Kumparan tidur merupakan sebuah

ciri tahap tidur NREM yang dihasilkan dari hiperpolarisasi neuron GABAnergik

dalam nukleus retikulotalamus. Hiperpolarisasi ini menghambat proyeksi neuron

kortikotalamus. Sebagai penyebaran diferensiasi proyeksi kortikotalamus akan

kembali ke sinkronisasi talamus. Gelombang delta dihasilkan oleh interaksi dari

retikulotalamus dan sumber piramidokortikal sedangkan osilasi kortikal lambat

dihasilkan di jaringan neokorteks oleh siklus hiperpolarisasi dan depolarisasi

(Rizema, 2011).

Ciri EEG tambahan dari tidur fase REM adalah gelombang gigi gergaji.

Selama fase REM yang berperan adalah sistem kolinergik yang dapat ditingkatkan

dengan reseptor agonis dan dihambat dengan antikolinergik. Fase REM (tahap R)

ditandai oleh atonia otot, aktivasi kortikal, desinkronisasi bertegangan rendah dari

EEG dan gerakan cepat dari mata. Fase REM memiliki komponen saraf

parasimpatomimetik dan saraf simpatik yang ditandai oleh otot rangka berkedut,

peningkatan denyut jantung, variabilitas pelebaran pupil, dan peningkatan laju

pernapasan. Atonia otot terdapat pada seluruh fase REM sebagai hasil dari inhibisi

neuron motor alfa oleh kelompok-kelompok seruleus peri-lokus neuron yang

secara kolektif disebut sebagai korteks retikuler sel kecil (Rizema, 2011).

Fungsi tidur NREM masih merupakan dugaan beberapa teori telah

diajukan salah satu teorinya menyatakan bahwa penurunan metabolisme akan

memfasilitasi peningkatan penyimpanan glikogen. Teori lain memanfaatkan

plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi dan hiperpolarisasi dari

osilasi akan berkonsolidasi dengan proses memori dan menghilangkan sinaps

yang berlebihan. Selama fase NREM permintaan metabolik otak berkurang. Hal

Page 3: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41088/3/jiptummpp-gdl-sitiadrian-47128-3-bab2.pdf · Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi

7

ini ditunjukkan oleh penelitian menggunakan oksigen positron emission

tomography (PET) yaitu selama fase NREM aliran darah ke seluruh otak semakin

menurun. Selama fase REM aliran darah meningkat di talamus dan visual utama,

kortek motorik dan sensorik relatif menurun di prefrontal dan daerah parietal

asosiasional. Peningkatan aliran darah ke daerah visual utama dari korteks dapat

menjelaskan sifat alamiah bermimpi saat REM, penurunan aliran darah ke korteks

prefrontal dapat menjelaskan penerimaan isi mimpi (Riadi et al, 2009).

Saat ini banyak dilakukan penelitian tidur menggunakan alat

polysomnography. Elektroda yang dipakai untuk pemeriksaan tidur dengan cara

ini minimal berjumlah empat buah yaitu satu untuk melihat gambaran gelombang

dari elektroencephalograpy (EEG) dua saluran untuk elektrokulogram (EOG) dan

satu untuk elektromiogram (EMG). Elektroda EEG biasanya diletakkan pada C3

atau C4. Elektrokulogram biasanya direkam dari kedua mata dengan elektroda

diletakkan 1 cm di sebelah kantus kanan dan kiri. Untuk EEG dan EOG reference

electroda diletakkan ipsilateral atau kontralateral dari cuping telinga atau pada

mastoid sedangkan EMG direkam secara bilateral dari otot atau submental di

dagu. Rekaman polysomnograpy dilakukan pada saat pasien tidur dan hasil

standard akan menunjukkan kadar oksigen darah, pernapasan, dan REM sesuai

dengan waktu tidur.

Gelombang tidur yang terlihat pada gambaran polisomnogram akan

berbeda sesuai dengan fase tidur (gambar 2.1). Pada keadaan perpindahan dari

fase terjaga akan terlihat gambaran gelombang alfa. Fase pertama NREM akan

memperlihatkan gambaran gelombang teta. Fase kedua NREM akan

memperlihatkan gambaran spindle waves. Fase ketiga NREM akan

Page 4: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41088/3/jiptummpp-gdl-sitiadrian-47128-3-bab2.pdf · Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi

8

memperlihatkan gambaran spindle waves ditambah dengan slow waves. Fase

empat NREM akan memperlihatkan gelombang yang sama seperti fase ketiga

namun ditambah gambaran gelombang delta yang merupakan ciri fase 4 NREM.

Fase REM bukan merupakan fase tidur karena pada keadaan tidur didapatkan

sleep spindle (S) atau kompleks K maupun delta yang tidak terdapat pada keadaan

REM. Fase REM juga bukan keadaan terjaga karena pada EEG tidak didapatkan

gelombang alfa yang lebih dari 25% maupun EMG yang tinggi. Syarat terjadinya

REM adalah didapatkannya gelombang campuran (alfa, beta dan teta) tak teratur

dan tidak ada kompleks K (Riadi et al, 2009, Rizema, 2011).

(Mark Ehrman, Sara C, 2009)

Gambar 2.1 Gambaran Polisomnogram Sesuai Fase Tidur

Gelombang tidur yang terlihat pada polisomnogram akan memperlihatkan

frekuensi dan amplitudo yang berbeda. Pada keadaan perpindahan dari keadaan

terjaga menuju tidur, gelombang alfa yang akan muncul dengan frekuensi 8-12 Hz

dengan amplitudo <50 mikrovolt. Gelombang teta memiliki frekuensi 4-8 Hz dan

amplitudo 50-100 mikrovolt. Spindle waves, slow waves dan delta waves memiliki

amplitudo 100-200 mikrovolt dengan frekuensi 0,5-4 Hz.

Page 5: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41088/3/jiptummpp-gdl-sitiadrian-47128-3-bab2.pdf · Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi

9

Pada manusia, tidur dibagi menjadi lima fase yaitu :

1. Tahapan terjaga

Fase ini disebut juga fase nol yang ditandai dengan subjek dalam keadaan

tenang mata tertutup dengan karakteristik gelombang alfa (8–12,5 Hz)

mendominasi seluruh rekaman, tonus otot yang tinggi dan beberapa gerakan mata.

Keadaan ini biasanya berlangsung antara lima sampai sepuluh menit (Mark

Ehrman, Sara C, 2009).

2. Fase 1

Fase ini merupakan fase perpindahan dari fase jaga ke fase tidur disebut juga

twilight sensation. Fase ini ditandai dengan berkurangnya gelombang alfa dan

munculnya gelombang teta (4-7 Hz), atau disebut juga gelombang low voltage mix

frequencies (LVM). Pada EOG tidak tampak kedip mata atau REM, tetapi lebih

banyak gerakan rolling (R) yang lambat dan terjadi penurunan potensial EMG.

Pada orang normal fase 1 ini tidak berlangsung lama yaitu antara lima sampai

sepuluh menit kemudian memasuki fase berikutnya (Mark Ehrman, Sara C, 2009).

3. Fase 2

Pada fase ini, tampak kompleks K pada gelombang EEG, sleep spindle (S)

atau gelombang delta (maksimum 20%). Elektrokulogram sama sekali tidak

terdapat REM atau R dan kedip mata. EMG potensialnya lebih rendah dari fase 1.

Fase 2 ini berjalan relatif lebih lama dari fase 1 yaitu antara 20 sampai 40 menit

dan bervariasi pada tiap individu (Mark Ehrman, Sara C, 2009).

4. Fase 3

Pada fase ini gelombang delta menjadi lebih banyak (maksimum 50%) dan

gambaran lain masih seperti pada fase 2. Fase ini lebih lama pada dewasa tua,

Page 6: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41088/3/jiptummpp-gdl-sitiadrian-47128-3-bab2.pdf · Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi

10

tetapi lebih singkat pada dewasa muda. Pada dewasa muda setelah 5 – 10 menit

fase 3 akan diikuti fase 4 (Mark Ehrman, Sara C, 2009).

5. Fase 4

Pada fase ini gelombang EEG didominasi oleh gelombang delta (gelombang

delta 50%) sedangkan gambaran lain masih seperti fase 2. Pada fase 4 ini

berlangsung cukup lama yaitu hampir 30 menit (Mark Ehrman, Sara C, 2009)

6. Fase REM .

Gambaran EEG tidak lagi didominasi oleh delta tetapi oleh LVM seperti fase

1, sedangkan pada EOG didapat gerakan mata (EM) dan gambaran EMG tetap

sama seperti pada fase 3. Fase ini sering dinamakan fase REM yang biasanya

berlangsung 10 –15 menit (Mark Ehrman, Sara C, 2009).

Gambaran fase tidur ini dapat dilihat pada gambar 2.2

(National Heart and Lung Institute, 2009)

Gambar 2.2 Gelombang EEG

Fase REM umumnya dapat dicapai dalam waktu 90-110 menit kemudian

akan mulai kembali ke fase permulaan fase 2 sampai fase 4 yang lamanya 75-90

menit. Setelah itu muncul kembali fase REM kedua yang biasanya lebih lama dari

Page 7: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41088/3/jiptummpp-gdl-sitiadrian-47128-3-bab2.pdf · Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi

11

eye movement (EM) dan lebih banyak dari REM pertama. Keadaan ini akan

berulang kembali setiap 75 – 90 menit tetapi pada siklus yang ketiga dan keempat,

fase 2 menjadi lebih panjang fase 3 dan fase 4 menjadi lebih pendek. Siklus ini

terjadi 4 – 5 kali setiap malam dengan irama yang teratur sehingga orang normal

dengan lama tidur 7 – 8 jam setiap hari terdapat 4-5 siklus dengan lama tiap siklus

75 – 90 menit (Mark Ehrman, Sara C, 2009).

Waktu tidur dapat dibagi tiga bagian yaitu sepertiga awal, sepertiga

tengah, sepertiga akhir. Pada orang normal, sepertiga awal tidur lebih banyak

dalam fase 3 dan 4, sepertiga tengah lebih banyak tidur dangkal (fase 2) serta

sepertiga akhir lebih banyak fase REM. Siklus tidur pada tiap individu berbeda

dan relatif dipengaruhi oleh usia, sebagai contoh pola tidur pada laki – laki muda

(20 – 29 tahun ), pertengahan (40-49 tahun) dan tua (70 – 90 tahun) akan

memberikan gambaran pola tidur yang berbeda (Potter dan Perry, 2006).

Pengamatan dari siklus tidur-bangun manusia memperlihatkan

keterkaitannya dengan usia. Bayi yang baru lahir tidur dari 16 hingga 20 jam per

hari, dan anak-anak 10-12 jam. Total waktu tidur menurun menjadi 9-10 jam pada

usia 10 tahun dan menjadi 7-7,5 jam menjelang dewasa. Penurunan bertahap

sekitar 6 jam berkembang pada akhir kehidupan dewasa. Namun, adanya

perbedaan individual dalam panjang dan kedalaman tidur disebabkan oleh faktor

genetik, kondisi hidup, jumlah aktivitas fisik, dan status psikologis (Ropper dan

Brown, 2005).

Pertambahan umur seseorang dapat menyebabkan total waktu tidur

menurun sedangkan waktu terjaga tetap. Pada orang tua tidur sering terlihat

gelisah dan waktu terjaganya menjadi lebih lama. Sedangkan pada orang muda

Page 8: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41088/3/jiptummpp-gdl-sitiadrian-47128-3-bab2.pdf · Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi

12

15% waktu tidurnya dihabiskan pada fase 4. Fase 4 biasanya tidak ditemukan

pada orang tua, demikian juga lama fase REM akan mengalami penurunan yaitu

28 % dari pascapubertas menjadi 18% pada orang tua. Hal ini menunjukkan

bahwa tidur menjadi lebih singkat sehingga menyebabkan berkurangnya

kesegaran sesuai bertambahnya usia (Riadi et al, 2009).

Secara farmakologik dapat dinyatakan bahwa REM dan NREM

mempunyai kaitan-kaitan dengan metabolisme amine, terutama 5-

hydroxytryptamine (serotonin) dan norepinepherine. Monoamine oxidase

inhibitor mengurangi REM. Terbukti pula bahwa NREM dibina oleh mekanisme

setononergik dan REM dipelihara oleh mekanisme adrenergik (Mardjono &

Sidharta, 2000).

Tidur NREM dan REM diatur dalam formasi retikuler dan dipengaruhi

oleh acetylcoline dan dua amine biogenik yaitu 5- hydroxytryptamine (serotonin)

dan norepinephrine. Neuron serotonergik terletak di dalam dekat regio raphe pada

pons. Neuron norepinephrine kaya konsentrasinya di locus cereleus. (Ropper &

Brown, 2005).

2.1.3 Kualitas tidur

Kualitas tidur adalah perasaan segar dan siap menghadapi hidup baru

setelah bangun tidur. Konsep ini meliputi beberapa karakteristik seperti waktu

yang diperlukan untuk memulai tidur, kedalaman tidur dan ketenangan (Septiyadi,

2007).

Remaja usia 12-18 tahun memerlukan waktu tidur 8-9 jam per hari. Waktu

tidur masih berperan penting bagi kesehatan seperti pada masa kanak-kanak

mereka. Walaupun ditemukan bahwa banyak remaja memerlukan waktu tidur

Page 9: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41088/3/jiptummpp-gdl-sitiadrian-47128-3-bab2.pdf · Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi

13

yang mungkin lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya, tuntutan sosial

membuat mereka sulit mendapatkan waktu dan kualitas tidur yang sesuai. Saat

seseorang mencapai tahap dewasa, mereka cenderung memerlukan waktu 6-7 jam

per hari dengan tidur yang lebih sering pada siang hari (Robotham, 2011).

Sebuah pandangan yang mengatakan semakin lama orang tidur, maka akan

semakin mendapatkan kesehatan yang optimal, ternyata merupakan pandangan

yang salah. Sebuah penelitian tentang korelasi waktu tidur dan tingkat kematian

yang dilakukan oleh Institusi Amaerica Cancer Society yang bekerja sama dengan

UCSD mengatakan bahwa orang dengan kebiasaan tidur lebih dari 8 jam sehari

cenderung memiliki resiko tinggi untuk meninggal dengan cepat. Orang yang

tidur 8 jam sehari dalam penelitian tersebut dikatakan memiliki resiko 12%

meninggal lebih cepat, dan resiko meningkat menjadi 17% pada orang-orang yang

tidur 9 jam sehari. Resiko lebih besar, yaitu 34% terjadi pada orang-orang yang

tidur 10 jam sehari (Arief, 2009).

Kualitas tidur yang baik akan membuat remaja sehat. Sebaliknya kualitas

tidur yang buruk justru akan memengaruhi kesehatannya, baik fisik maupun

mental. Dr. Susan Redline dari Case Western Reserve, mengatakan bahwa

kualitas dan kuantitas tidur dapat memengaruhi proses homeostatis. Jika proses ini

terganggu maka bisa menjadi salah satu faktor meningkatnya resiko penyakit

kardiovaskular (Rizema, 2011).

Kualitas dan kuantitas tidur yang kurang pada anak dapat mengakibatkan

terjadinya rasa kantuk yang berlebihan di siang hari dan penurunan tingkat atensi

di siang hari. Gangguan pola tidur dapat menimbulkan efek negatif pada performa

di sekolah, fungsi kognitif, dan mood sehingga dapat menimbulkan konsekuensi

Page 10: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41088/3/jiptummpp-gdl-sitiadrian-47128-3-bab2.pdf · Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi

14

serius lainnya seperti peningkatan angka kejadian kecelakaan mobil dan motor

(Millman, 2005).

Pada 20 tahun terakhir ini, para peneliti mengenai tidur menyadari

perbedaan perubahan pola tidur pada remaja. Penelitian yang dilakukan di

Amerika oleh National Sleep Foundation mendapatkan berbagai fakta yaitu, lebih

dari 36% remaja berusia 18-29 tahun dilaporkan mengalami kesulitan bangun pagi

(dibandingkan dengan 20% pada usia 30-64 tahun dan 9% diatas usia 65 tahun).

Fakta lain yaitu hampir 22% remaja sering sekali terlambat masuk kelas atau

bekerja karena sulit bangun pagi (dibandingkan 11% pada pekerja berusia 30-64

tahun dan 5% di atas usia 65 tahun). Selain itu sebanyak 4% remaja mengeluhkan

kantuk saat bekerja, setidaknya 2 hari dalam seminggu atau lebih (Arief, 2009).

2.1.4 Penilaian kualitas tidur

Kualitas tidur memengaruhi kesehatan dan kualitas hidup secara

keseluruhan (Yi dkk, 2006). Kualitas tidur diukur menggunakan pengukuran

kualitas tidur dapat berupa kuisioner maupun sleep diary, noctural

polysomnography, dan multiple sleep latency test (Hermawati dkk, 2010).

Pengukuran kualitas tidur telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Yi, Si,

dan Shin (2006) melakukan pengukuran kualitas tidur yang disebut dengan Sleep

Quality Scale (SQS). Busye, dkk (1989) dalam Rush (2000), melakukan

penelitian tentang pengukuran kualitas tidur menggunakan instrumen pengukuran

kualitas tidur yang disebut Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI).

PSQI adalah instrumen efektif yang digunakan untuk mengukur kualitas

tidur dan pola tidur pada orang dewasa. PSQI dikembangkan untuk mengukur dan

membedakan individu dengan kualitas tidur baik dan kualitas tidur buruk.

Page 11: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41088/3/jiptummpp-gdl-sitiadrian-47128-3-bab2.pdf · Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi

15

Kualitas tidur merupakan fenomena yang kompleks dan melibatkan beberapa

dimensi yang seluruhnya dapat tercakup dalam PSQI. Dimensi tersebut antara

lain;

1. Kualitas tidur subjektif

Evaluasi kualitas tidur secara subjektif merupakan evaluasi singkat terhadap

tidur seseorang tentang apakah tidurnya sangat baik atau sangat buruk (Buysse et

al., 1989).

2. Latensi tidur

Latensi tidur adalah durasi mulai dari berangkat tidur hingga tertidur.

Seseorang dengan kualitas tidur baik menghabiskan waktu kurang dari 15 menit

untuk dapat memasuki tahap tidur selanjutnya secara lengkap. Sebaliknya, lebih

dari 20 menit menandakan level insomnia yaitu seseorang yang mengalami

kesulitan dalam memasuki tahap tidur selanjutnya (Buysse et al., 1989).

3. Durasi tidur

Durasi tidur dihitung dari waktu seseorang tidur sampai terbangun di pagi hari

tanpa menyebutkan terbangun pada tengah malam. Orang dewasa yang dapat tidur

selama lebih dari 7 jam setiap malam dapat dikatakan memiliki kualitas tidur yang

baik (Buysse et al., 1989).

4. Efisiensi kebiasaan tidur

Efisiensi kebiasaan tidur adalah rasio persentase antara jumlah total jam tidur

dibagi dengan jumlah jam yang dihabiskan di tempat tidur. Seseorang dikatakan

mempunyai kualitas tidur yang baik apabila efisiensi kebiasaan tidurnya lebih dari

85% (Buysse et al., 1989).

Page 12: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41088/3/jiptummpp-gdl-sitiadrian-47128-3-bab2.pdf · Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi

16

5. Gangguan tidur

Gangguan tidur merupakan kondisi terputusnya tidur yang mana pola tidur-

bangun seseorang berubah dari pola kebiasaannya, hal ini menyebabkan

penurunan baik kuantitas maupun kualitas tidur seseorang (Buysse et al., 1989).

6. Penggunaan obat

Penggunaan obat-obatan yang mengandung sedatif mengindikasikan adanya

masalah tidur. Obat-obatan mempunyai efek terhadap terganggunya tidur pada

tahap REM. Oleh karena itu, setelah mengkonsumsi obat yang mengandung

sedatif, seseorang akan dihadapkan pada kesulitan untuk tidur yang disertai

dengan frekuensi terbangun di tengah malam dan kesulitan untuk kembali tertidur,

semuanya akan berdampak langsung terhadap kualitas tidurnya (Buysse et

al.,1989).

7. Disfungsi di siang hari

Seseorang dengan kualitas tidur yang buruk menunjukkan keadaan mengantuk

ketika beraktivitas di siang hari, kurang antusias atau perhatian, tidur sepanjang

siang, kelelahan, depresi, mudah mengalami distres, dan penurunan kemampuan

beraktivitas (Buysse et al., 1989).

Semua dimensi tersebut dinilai dalam bentuk pertanyaan dan memiliki bobot

penilaian masing-masing sesuai dengan standar baku (Smyth, 2012).

Kuisioner PSQI terdiri dari 9 pertanyaan dengan masing-masing

pertanyaan memiliki skor 0-3. Total skor diperoleh dengan menjumlahkan skor

komponen 1-7 dengan rentang 0-21. Skor diatas 5 mengindikasikan pola tidur

yang buruk. Kuisioner ini telah diuji validitas dan reabilitas (Cronbach’s alpha)

yaitu 0,83 (Smyth, 2012).

Page 13: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41088/3/jiptummpp-gdl-sitiadrian-47128-3-bab2.pdf · Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi

17

2.1.5 Faktor-faktor yang memengaruhi tidur

1. Usia

Menurut penelitian terdapat hubungan antara siklus bangun tidur manusia

dengan usia. Total kebutuhan tidur neonatus biasanya 16-20 jam dalam satu hari

dan pada anak-anak biasanya 10-12 jam per hari. Total Sleep Time (TST) mulai

menurun menjadi 9-10 jam pada umur 10 tahun dan 7-7,5 jam pada remaja. Paa

dewasa terjadi penurunan yang sangat signifikan menjadi 6,5 jam per hari. Pada

dewasa juga terjadi penurunan tidur REM dan menurut Maryland University,

melatonin juga mengalami penurunan seiring dengan usia. National Sleep

Foundation juga mengatakan bahwa usia berkaitan dengan penyakit-penyakit

kronis seperti hipertensi yang dapat menyebabkan obstructive sleep apneu (OSA)

yang merupakan salah satu kondisi yang mengganggu kualitas tidur dari

seseorang (Michael V, 2009, Maryland, 2013).

2. Stres

Stres bisa berpengaruh di banyak hal, salah satunya adalah tidur. Pada

keadaan stres, otak akan beradaptasi melalui dua mekanisme yaitu melalui jalur

Corticotropin Releasing Hormone (CRH) dan Locus Ceruleus Noreponephire

(LC-NE). Stres dapat menyebabkan peningkatan hormon kortisol dan NE melalui

dua mekanisme yaitu melalui jalur CRH dan LC-NE. Dalam keadaan stres kedua

hormon ini dapat menyebabkan sulit untuk tidur pada malam hari terutama

hormon kortisol. Normalnya pada kortisol meningkat pada pagi hari setelah

bangun tidur dan menurun pada saat tidur. Pada keadaan stres di malam hari,

kortisol mengalami peningkatan. Sehingga hormon kortisol meningkatkan

produksi hormon adrenergik yang menyebabkan orang dalam keadaan siap siaga.

Page 14: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41088/3/jiptummpp-gdl-sitiadrian-47128-3-bab2.pdf · Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi

18

Hal ini menyebabkan orang menjadi sulit tidur. (Chrousus dan Gold 1992, Purba

et al 1995, Hudson et al, 2010).

3. Olahraga

Menurut beberapa studi, olahraga dapat mengurangi waktu untuk memulai

tidur (Sleep Onset) dan meningkatkan durasi tidur. Adapun beberapa studi yang

mengatakan bahwa olahraga aerobik terus menerus seperti berlari dan angkat

bebdan tidak berpengaruh terhadap tidur. Namun ada juga penelitian pada orang

insomnia dewasa yang berolahraga selama 4-24 minggu mengalami perubahan

pola tidur yang signifikan. Durasi tidurnya menjadi lebih panjang, onset tidurnya

menjadi lebih cepat dan kualitas tidur semakin membaik. (Guilleminault et al,

1995, Reid et al, 2010, Passos et al, 2012).

Walaupun mekanisme masih belum jelas, namun ada beberapa teori yang

dapat menjelaskan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Menurut Horne & Staff,

apabila olahraga dilakukan sore hari maka akan terjadi reduksi dari gejala

gangguan tidur. Olahraga menstimuli tubuh untuk meningkatkan suhu tubuh dan

post-exercise menurunkan suhu tubuh sehingga dapat menyebabkan orang lebih

mudah untuk jatuh dalam keadaan tidur. Olahraga juga dapat mengurangi gejala

depresi dan ansietas yang merupakan salah satu penyebab gangguan tidur. (Horne

& Staff, 1983).

Olahraga juga dapat menyebabkan insomnia apabila dilakukan pada

malam hari. Menurut penelitian Dwi Heri et al, olahraga di malam hari dapat

menginduksi terjadinya insomnia yang ringan. Penelitian ini juga didukung oleh

teori Youngstedt, olahraga pada malam hari dapat menyebabkan tubuh

melepaskan adrenalin dan nor-adrenalin, dua stimulan tubuh yang meningkatkan

Page 15: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41088/3/jiptummpp-gdl-sitiadrian-47128-3-bab2.pdf · Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi

19

denyut jantung dan suhu tubuh sehingga orang menjadi dalam keadaan waspada

dan terjada dan tidak bisa tidur. (Youngstedt, 2008, Dwi Heri et al, 2012).

4. Kehamilan

Gangguan tidur lazim terjadi pada perempuan yang sedang hamil. Terdapat

beberapa faktor hormonal yang turut berperan dalam gangguan ini, termasuk

perubahan kadar estrogen, progesteron, kortisol dan melatonin dari kadar

dasarnya. Di samping itu, perubahan fisiologi pernapasan maternal, perawakan

tubuh, dan pada trimester ketiga, gerakan janin semuanya dapat berperan

mengurangi kuantitas dan kualitas tidur. (Sadock, 2004).

5. Gangguan jiwa lain

Insomnia dan hipersomnia dapat disebabkan oleh gangguan jiwa seperti

depresi berat, gangguan ansietas, gangguan bipolar dan sebagainya.

Polisomnografi menunjukkan bahwa pada insomnia akibat depresif berat atau

gangguan mood lainnya didapatkan gambaran berkurangnya tidur tahap 3 dan 4,

sering disertai latensi REM singkat dan periode REM pertama yang lama. (Kupfer

et al, 2000, Sadock, 2004).

6. Stimulan dan alkohol

Kafein yang terkandung dalam beberapa minuman dapat merangsang SSP

sehingga dapat mengganggu pola tidur. Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat

mengganggu siklus tidur REM. Pengaruh alkohol yang telah hilang dapat

menyebabkan individu sering kali mengalami mimpi buruk. (Potter, 2005, Koch

2005).

Page 16: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41088/3/jiptummpp-gdl-sitiadrian-47128-3-bab2.pdf · Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi

20

7. Merokok

Nikotin yang terkandung dalam rokok memiliki efek stimulasi pada tubuh.

Perokok sering kali kesulitan untuk tidur dan mudah terbangun di malam hari.

(Potter, 2005, Koch 2005).

8. Obat-obatan dan zat kimia lain

Gangguan tidur dapat disebabkan oleh obat-obatan seperti penggunaan obat

stimulan yang kronik (amphetamin, kafein, nikotine), anti hipertensi, anti

depresan, anti histamin, anti kholinergik. (Japardi, 2002)

Pada pasien insomnia yang menggunakan obat hipnotik sedatif dalam jangka

waktu yang lama biasanya toleransi terhadap obat tersebut meningkat. Sehingga

obat kehilangan efek yang dapat mencetuskan tidur dan butuh dosis yang lebih

besar untuk mendapatkan efek tidur. Apabila pasien menghentikan obat secara

tiba-tiba, pasien akan mengalami insomnia yang lebih berat. Salah satu efek yang

dikeluhkan pasien adalah sering bangun singkat di malam hari. (Sadock, 2014)

9. Faktor-faktor lain yang memengaruhi tidur

Faktor-faktor lain seperti kerja gilian (shiftwork), jet lag, juga dapat

mengganggu jadwal tidur seseorang. Pasien biasanya sering mengeluhkan

insomnia dan somnolen. Lingkungan termasuk kebisingan dan cahaya juga dapat

berpengaruh terhadap pada kualitas tidur dan kuantitas tidur. (Buschermi et al,

2005, Harvard, 2007).

Page 17: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41088/3/jiptummpp-gdl-sitiadrian-47128-3-bab2.pdf · Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi

21

2.2 Olahraga

2.2.1 Definisi olahraga

Olahraga adalah suatu bentuk aktivitas fisik yang terencana dan terstuktur,

yang melibatkan gerakan tubuh berulang-ulang dan ditujukan untuk meningkatkan

kebugaran jasmani. Aktivitas fisik ini akan menyebabkan peningkatan

pengeluaran tenaga dan energi sehingga dapat menimbulkan pembakaran kalori

bagi tubuh dalam jumlah yang signifikan. Individu yang berolahraga adalah

individu yang melakukan aktivitas olahraga minimal 2-3 kali dalam seminggu 20-

30 menit. Individu dengan kategori rutin berolahraga melakukan minimal 3-5 kali

dalam seminggu dalam rentang waktu 20-30 menit (Brannon et al, 2007).

2.2.2 Jenis-jenis olahraga

Olahraga secara umum digolongkan menjadi dua jenis tergantung dari

efek keseluruhan terhadap tubuh manusia.

2.2.2.1 Olahraga aerobik

Olahraga aerobik adalah olahraga yang meningkatkan konsumsi oksigen

secara dramatis dalam jangka waktu yang panjang. Karakteristik penting untuk

olahraga aerobik adalah intensitas dan durasinya. Dari segi intensitas, olahraga

aerobik harus meningkatkan denyutan nadi sampai ke tingkat tertentu. Intensitas

untuk olahraga bervariasi sebanyak 50-80% dari denyut jantung maksimal.

Olahraga aerobik fokus pada peningkatan daya tahan kardiovaskuler. Contohnya

seperti; bersepeda, berjalan, berlari, mendaki, bermain tenis, aktivitas untuk

meningkatkan ketahanan kardiovaskuler, renang, jogging, dan lain sebagainya

(Brannon et al, 2007).

Page 18: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41088/3/jiptummpp-gdl-sitiadrian-47128-3-bab2.pdf · Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi

22

2.2.2.2 Olahraga anaerobik

Olahraga anaerobik membutuhkan ledakan energi yang intensif dalam

durasi yang pendek. Akan tetapi ia tidak memerlukan konsumsi oksigen yang

tinggi. Olahraga anaerobik dapat memperbaiki kecepatan dan daya tahan otot,

tetapi harus berhati-hati karena ia boleh menjadi bahaya pada orang yang

menderita penyakit jantung koroner. Seperti aktivitas yang meningkatkan

kekuatan otot dalam jangka pendek, latihan berat badan (Brannon et al, 2007).

2.2.3 Intensitas olahraga

Intensitas latihan ditetapkan secara spesifik pada setiap individu sesuai

dengan kapasitas fisik yang dalam pelaksanaannya memerlukan pengawasan

secara terus menerus agar intensitas latihan benar-benar mencapai intensitas yang

diprogramkan. Intensitas latihan dapat diekspresikan dalam satuan absolut

(contoh: watt) maupun diekspresikan dalam bentuk relatif (misalkan terhadap

frekuensi denyut jantung maksimal, METs, VO2 maks maupun RPE/Rating of

Perceived Exertion). Menurut Andersen (1999) pada umumnya, intensitas latihan

dimulai 40 sampai dengan 85% kapasitas fungsional. Pada orang dengan dengan

permasalahan jantung, intensitas latihan dapat ditetapkan antara 40 sampai dengan

60% kapasitas fungsional (Jette,1999).

Pada dasarnya tujuan akhir menentukan besaran intensitas latihan adalah

untuk memberikan petunjuk bagi seseorang tentang intensitas latihan yang akan

dapat memberikan manfaat yang maksimal untuk dirinya sekaligus meminimalisir

resiko terjadinya cedera (Slentz, 2004).

Page 19: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41088/3/jiptummpp-gdl-sitiadrian-47128-3-bab2.pdf · Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi

23

2.2.3.1 Penetapan intensitas dengan berdasarkan frekuensi denyut jantung

Pada umumnya, apabila tidak dipengaruhi oleh keadaan lingkungan yang

ekstrim, keadaan psikologis maupun penyakit, terdapat hubungan yang relatif

bersifat linear antara denyut jantung pada saat latihan dengan intensitas latihan.

(Feigenbaum, 1999). Menurut Cooper (1994), intensitas olahraga kesehatan yang

cukup yaitu apabila denyut nadi latihan mencapai 65-80% DNM sesuai umur

(Denyut Nadi Maximal sesuai umur = 220-umur dalam tahun. Masalah intensitas

yang adekuat ini harus menjadi perhatian terutama pada olahraga kesehatan

(Giriwijoyo, 2008).

2.2.3.2 Penetapan intensitas dengan RPE (Rating of Perceived Exertion)

Penetapan intensitas juga dapat didasarkan persepsi seseorang terhadap

kelelahan (perceived exertion). Konfirmasi intensitas latihan dengan

mempergunakan RPE penting untuk dilakukan karena frekuensi denyut jantung

maksimal dapat bervariasi pada setiap orang. Konfirmasi ini penting untuk

mengevaluasi agar suatu latihan betul-betul dilakukan pada intensitas yang

optimal. Lebih lanjut, pada keadaan dimana terjadi hambatan respon

kardiovaskular, penetapan intensitas latihan dengan mempergunakan skala RPE

lebih tepat dibandingkan berdasarkan frekuensi denyut jantung. (Feigenbaum et

al., 1999).

Salah satu pedoman RPE dikembangkan oleh Bjorg pada tahun 1982

dengan mempergunakan skala dari 6 sampai dengan 20. Skala Bjorg sampai

dengan sekarang masih cukup sering dipergunakan akan tetapi dewasa ini terdapat

alternatif skala penggunaan Bjorg dengan mempergunakan skala antara 0 sampai

dengan diatas 10. Dengan adanya dua skala yang sekarang ini sering

Page 20: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41088/3/jiptummpp-gdl-sitiadrian-47128-3-bab2.pdf · Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi

24

dipergunakan, penetapan intensitas dengan mempergunakan RPE harus jelas

mencantumkan standard RPE yang dipergunakan (Feigenbaum et al., 1999).

Tabel 2.1 Skala Rating of Perceived Exertion

Skala Kategori RPE Bjorg Skala Kategori-Ratio RPE

6

7 sangat sangat ringan

8

9 sangat ringan

10

11 cukup ringan

12

13 agak berat

14

15 berat

16

17 sangat berat

18

19 sangat, sangat berat

20

0

0.5 sangat sangat ringaan

1 sangat ringan

2 ringan

3 sedang

4 agak berat

5 berat

6

7 sangat berat

8

9

10 sangat sangat berat

• maksimal

(Feigenbaum et al., 1999)

Penggunaan skala kategori Bjorg didasarkan pada temuan bahwa kategori

RPE Bjorg meningkat secara linear dengan peningkatan respon fisiologis seperti

frekuensi denyut jantung, ventilasi dan konsumsi oksigen. Walaupun demikian

dewasa ini skala Bjorg dikembangkan karena terdapat temuan bahwa pada latihan

intensitas rendah dan tinggi subjek lebih mudah untuk mengaitkan persepsinya

terhadap kelelahan dengan skala kategori-ratio (Jette, 1994).

2.2.2.3 Penetapan intensitas latihan dengan METs

Jette (1994) menyatakan bahwa METS adalah satuan dari kapasitas

fungsional tubuh (VO2 maks). 1 METs merupakan kapasitas latihan yang

membutuhkan 3,5 g O2/kgmenit. Biasanya rentang latihan yang disarankan adalah

40 sampai dengan 85% kapasitas fungsional maksimal. Setelah menetapkan

rentang intensitas yang diinginkan, dapat dipilih kegiatan fisik yang pengeluaran

energinya sesuai dengan intensitas latihan yang diinginkan. Hal yang juga

Page 21: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41088/3/jiptummpp-gdl-sitiadrian-47128-3-bab2.pdf · Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi

25

mempengaruhi kisaran METs aktivitas-aktivitas tersebut adalah keadaan

lingkungan. Perbedaan suhu, kelembaban, kecepatan angin dan sebagainya

berpengaruh pada keluaran METs. Mengingat terdapat keterbatasan ini, pada

lingkungan yang ekstrim intensitas latihan dengan mempergunakan frekuensi

denyut jantung dan RPE lebih cocok untuk dilakukan (Jette et al., 1994). Apapun

pedoman intensitas latihan yang ditetapkan, sebaiknya intensitas latihan

ditetapkan dalam nilai kisaran. Setelah kisaran intensitas latihan ditetapkan,

misalnya 5 sampai dengan 9 METs, sebaiknya latihan dimulai dengan intensitas

yang rendah kemudian dilanjutkan pada intensitas yang lebih tinggi secara

bergantian. Hasil akhir pengeluaran energi pada kisaran ini akan sama dengan

latihan intermiten 6 sampai dengan 8 METs atau latihan kontinyu dengan

intensitas 7 METs (Jette et al., 1999).

Tabel 2.2 Contoh Nilai METs Beberapa Jenis Aktivitas

Jenis latihan Rata-rata

Bulutangkis 5.8

Basket 8.3

Berlari

12 menit menempuh 1,6 km

11 menit menempuh 1,6 km

10 menit menempuh 1,6 km

9 menit menempuh 1,6 km

8 menit menempuh 1.6 km

6 menit menempuh 1.6 km

8,7

9,4

10,2

11,2

12,5

14,1

Squash 9.9

Tenis meja 4.1

(Jette,1994)

Page 22: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41088/3/jiptummpp-gdl-sitiadrian-47128-3-bab2.pdf · Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi

26

2.3 Hubungan Kualitas Tidur dengan Olahraga

Menurut American Sleep Disorder Association (ASDA), olahraga

merupakan salah satu intervensi non farmakologi yang digunakan untuk

memperbaiki kualitas tidur. Beberapa mekanisme dari olahraga yang

memengaruhi kualitas tidur sebagai berikut ;

1. Efek pada kesehatan mental

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, efek dari olahraga

terhadap kesehatan mental erat hubungannya dengan depresi dan ansietas.

Terjadinya depresi akan ansietas berhubungan dengan kadar dopamin dan

serotonin dalam otak. Menurut Daniel M. Landers, manfaat olahraga terhadap

depresi dan ansietas sama dengan yang pengobatan lainnya (Veqar, 2012).

Tabel 2.3 Efek Olahraga terhadap Kesehatan Mental

Menurunkan Kegelisahan Menurunkan Depresi

Olahraga aerobik memberikan

hasil terbaik

Pasien dengan level kegelisahan

yang tinggi merespon lebih

awal

Olahraga reguler memberikan

hasil terbaik jika dilakukan

dalam waktu yang lama

Olahraga reguler memberikan

hasil lebih baik jika dilakukan

secara teratur

Olahraga yang dilakukan

beberapa kali dalam seminggu

memberikan hasil yang lebih

baik

Olahraga yang bertenaga

memberikan hasil yang lebih

baik

(Veqar, 2012)

2. Efek pada mekanisme termoregulator

Regulasi suhu merupakan aspek penting dalam homeostatis. Hal ini

merupakan pemeliharaan dari suhu tubuh inti dalam kisaran sempit yang

dilakukan dengan mengontol pembuangan dan penyerapan panas dari dan dalam

tubuh. Modulasi dalam suhu tubuh inti memengaruhi parameter tidur. Perubahan

Page 23: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41088/3/jiptummpp-gdl-sitiadrian-47128-3-bab2.pdf · Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi

27

dalam suhu tubuh inti dapat dilakukan secara aktif (dengan olahraga dll), atau

secara pasif (dengan mandi air hangat, thermo suit, selimut listrik, dll). Metode-

metode menaikkan suhu ini dapat dilakukan beberapa kali (sebelum tidur atau

selama tidur). Waktu pengaplikasian ini tampaknya juga memainkan peran

penting dalam beberapa penelitian. Dalam sebuah artikel, Liao dkk melaporkan

bahwa slow wave sleep (SWS) gelombang tidur lambat dapat ditingkatkan dan

fragmentasi tidur dapat diturunkan dengan menghangatkan tubuh secara pasif

yang merubah suhu inti. Hal serupa juga dilaporkan oleh berbagai peneliti yang

menggunakan metode berbeda untuk menurunkan suhu tubuh sebelum tidur.

Fletcher dkk menggunakan selimut elektronik untuk meningkatkan suhu tubuh

inti selama tidur dan melaporkan menurunnya efisiensi. Penelitian lebih lanjut

membuktikan bahwa ada hubungan antara suhu tubuh inti dengan tidur (Veqar,

2012).

Studi neuroanatomi juga menyimpulkan bahwa daerah preoptic atau

hipotalamus anterior memainkan peran penting dalam pengaturan termoregulator.

Inisiasi tidur didapatkan dengan meningkatnya rerata neuron di daerah preoptic

yang dapat dicetus dengan memanaskannya. Neuron-neuron ini dapat dihangatkan

dengan perubahan suhu tubuh inti. Oleh karena itu, hipotesis bahwa tidur

mungkin berfungsi sebagai down regulation dapat didukung. Horne dkk telah

melakukan kajian tentang hubungan olahraga dan tidur. Mereka melaporkan

bahwa terdapat hubungan posistif antara SWS dan olahraga (Veqar, 2012).

3. Efek pada irama sirkadian

Irama sirkadian adalah interval waktu 24 jam yang merespon faktor

endogen seperti suhu tubuh inti dan lainnnya, serta faktor eksogen seperti cahaya

Page 24: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41088/3/jiptummpp-gdl-sitiadrian-47128-3-bab2.pdf · Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi

28

dan sebagainya. Gangguan terhadap salah satu faktor dalam irama sirkadian dapat

mempengaruhi tidur. Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa faktor

terpenting disini adalah cahaya. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk

melibatkan olahraga dan tidur, didapatkan dampak waktu olahraga dan tidur serta

korelasi antara efek olahraga dalam irama sirkadian. Olahraga aerobik yang

dilakukan larut malam dihubungkan dengan kualitas tidur yang buruk

dibandingkan dengan olahraga yang dilakukan sore hari (Veqar, 2012).

Dirumuskan oleh Driver dan Taylor bahwa olahraga yang dilakukan di

area yang terang dapat meningkatkan kualitas tidur untuk individu dengan

diubahnya irama sirkadian. Mereka juga menyarakan penelitian selanjutnya untuk

menemukan hubungan cahaya, olahraga dan tidur.

4. Efek pada sistem serotonergik

Olahraga mempunyai efek pada aktivitas serotonergik pada otak dan

alirah darah perifer. Kadar serotonin di diensefalon meningkat selama

berolahraga. Serotonin yang dikeluarkan ke diensefalon dan cerebrum dipercayai

berperan dalam menyebabkan tidur yang normal. Serotonin membantu

menyebabkan tidur melalui hambatan aktif dari sistem non serotonergik

supraspinal (Melancon et al, 2014).

Sintesis serotonin di otak tergantung pada kadar tersedianya tryptophan

(TRP) dalam plasma. Sintesis serotonin saat berolahraga utamanya disebabkan

oleh meningkatnya stimulus adrenergik dalam lipolisis yang akan meningkatkan

free fatty acid (FFA) plasma. Peningkatan kadar FFA secara langsung

meningkatkan TRP bebas ke dalam darah sehingga akan meningkatkan kadar

Page 25: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41088/3/jiptummpp-gdl-sitiadrian-47128-3-bab2.pdf · Teori lain memanfaatkan plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi

29

sintesis serotonin. Efek mengguntungkan dari olahraga mungkin berkaitan dengan

meningkatnya sistem serotonergik yang lebih tinggi (Melancon et al, 2014).