bab 2 tinjauan pustaka - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_chapter_ii.pdf ·...

104
10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Di dalam bukunya yang berjudul “Tata Ruang Air”, Kodoatie dan Sjarief, memberikan beberapa definisi tentang Daerah Aliran Sungai (DAS), antara lain: a. Suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. b. Suatu kesatuan daerah/wilayah/kawasan tata air yang terbentuk secara alamiah di mana air tertangkap (berasal dari curah hujan) dan akan mengalir dari daerah/wilayah/kawasan tersebut menuju ke anak sungai dan sungai yang bersangkutan. Disebut juga Daerah Pengaliran Sungai (DPS) atau Daerah Tangkapan Air (DTA): Dalam bahasa Inggris ada beberapa macam istilah yaitu Catchment Area, Watershed. c. Suatu kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara alamiah, di mana semua air hujan yang jatuh ke daerah ini akan mengalir melalui sungai dan anak sungai yang bersangkutan. Berdasarkan bentuk topografi dan geologinya. Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang, bentuk melebar dan bentuk kipas.

Upload: buidieu

Post on 10-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

10

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daerah Aliran Sungai

Di dalam bukunya yang berjudul “Tata Ruang Air”, Kodoatie dan

Sjarief, memberikan beberapa definisi tentang Daerah Aliran Sungai (DAS),

antara lain:

a. Suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan

anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan

mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara

alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut

sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

b. Suatu kesatuan daerah/wilayah/kawasan tata air yang terbentuk secara

alamiah di mana air tertangkap (berasal dari curah hujan) dan akan mengalir

dari daerah/wilayah/kawasan tersebut menuju ke anak sungai dan sungai yang

bersangkutan. Disebut juga Daerah Pengaliran Sungai (DPS) atau Daerah

Tangkapan Air (DTA): Dalam bahasa Inggris ada beberapa macam istilah

yaitu Catchment Area, Watershed.

c. Suatu kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara alamiah, di mana

semua air hujan yang jatuh ke daerah ini akan mengalir melalui sungai dan

anak sungai yang bersangkutan.

Berdasarkan bentuk topografi dan geologinya. Secara garis besar bentuk

DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang, bentuk

melebar dan bentuk kipas.

Page 2: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

11

Gambar 2.1. Bentuk DAS berdasar topografi dan geologinya (Kodoatie dan Sjarief, 2010).

Dalam sumber lain (Asdak, 2002) pola drainase dari DAS dapat

dikelompokan menjadi pola dendritic yang menyerupai percabangan pohon bila

dilihat dari udara. Apabila dilihat lebih dekat, pola drainase tersebut dapat

menyerupai segi empat (rectangular), trellis, annular dan jari-jari lingkaran

(radial).

Gambar 2.2. Pola drainase DAS (Asdak, 2002).

Page 3: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

12

Berdasarkan literatur geologi, sistem aliran sungai diklasifikasikan

sebagai sistem aliran influent, effluent dan intermittent. Sistem aliran sungai

influent adalah aliran sungai yang memasok (memberi masukan) air tanah (ground

water). Sebaliknya pada aliran sungai sistem effluent sumber aliran sungai berasal

dari air tanah, pada sistem aliran ini umumnya berlangsung sepanjang tahun oleh

karena itu sering disebut juga aliran tahunan atau perennial stream. Sistem aliran

terputus atau intermittent umumnya berlangsung segera setelah terjadi hujan

besar. Aliran jenis inilah yang umumnya menjadi sumber air tanah musiman

(perched water table). Dalam suatu DAS, dapat dijumpai kombinasi dari beberapa

sistem aliran sungai diatas.

Gambar 2.3. Sistem aliran sungai di DAS (Asdak, 2002).

Page 4: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

13

2.2 Daerah Cekungan Air Tanah (Daerah CAT)

Dalam UU Sumber Daya Air, daerah aliran air tanah disebut Cekungan

Air Tanah (CAT) (groundwater basin), didefinisikan sebagai suatu wilayah yang

dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti

proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung. Daerah

Cekungan Air Tanah sering juga disebut sebagai daerah aluvial. Beberapa kriteria

tentang CAT (Kodoatie dan Sjarief, 2010) berdasar PP No. 43 Tahun 2008 antara

lain:

a. Mempunyai batas hidrogeologis yang dikontrol oleh kondisi geologis dan

atau kondisi hidraulik air tanah. Batas hidrogeologis adalah batas fisik

wilayah pengelolaan air tanah. Batas hidrogeologis dapat berupa batas antara

batuan lulus dan tidak lulus air, batas pemisah air tanah, dan batas yang

terbentuk oleh struktur geologi yang meliputi, antara lain, kemiringan lapisan

batuan, lipatan, dan patahan.

b. Mempunyai daerah imbuhan dan daerah lepasan air tanah dalam satu

sistem pembentukan air tanah. Daerah “imbuhan air tanah” merupakan

kawasan lindung air tanah, di daerah tersebut air tanah tidak untuk

didayagunakan, sedangkan daerah lepasan air tanah secara umum dapat

didayagunakan, dapat dikatakan sebagai kawasan budidaya air tanah.

Memiliki satu kesatuan sistem akuifer: yaitu kesatuan susunan akuifer,

termasuk lapisan batuan kedap air yang berada di dalamnya. Akuifer dapat berada

pada kondisi tidak tertekan atau bebas (unconfined) dan/atau tertekan (confined).

Gambar 2.4. Daerah CAT (Kodoatie dan Sjarief, 2010).

Page 5: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

14

CAT di Indonesia terdiri atas akuifer bebas (unconfined aquifer) dan

akuifer tertekan (confined aquifer). Akuifer bebas merupakan akuifer jenuh air

(saturated). Lapisan pembatasnya, yang merupakan aquitard, hanya pada bagian

bawahnya dan tidak ada pembatas aquitard di lapisan atasnya, batas di lapisan

atas berupa muka air tanah. Sedangkan akuifer tertekan (confined aquifer)

merupakan akuifer yang jenuh air yang dibatasi oleh lapisan atas dan lapisan

bawah yang kedap air (aquiclude) dan tekanan airnya lebih besar dari tekanan

atmosfer (Kodoatie dan Sjarief, 2010).

Gambar 2.5. Potongan CAT yang terdiri dari Akuifer Bebas dan Akuifer Tertekan (Kodoatie dan

Sjarief, 2010).

2.2.1. Daerah Imbuhan (Recharge Area)

Daerah imbuhan air tanah adalah daerah resapan air yang mampu

menambah air tanah secara alamiah pada cekungan air tanah (PP No. 43 Tahun

2008).

Page 6: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

15

Gambar 2.6. Proses pengisian daerah imbuhan (Kodoatie dan Sjarief, 2010).

Daerah imbuhan (recharge area) adalah suatu kawasan pokok yang

menyediakan kecukupan air tanah (ground water). Daerah imbuhan alami yang

baik adalah daerah dimana proses perkolasi air permukaan berlangsung secara

baik sehingga sampai menjadi air tanah tanpa halangan (California Water Plan

Update, 2009). Apabila fungsi daerah imbuhan tidak berfungsi dengan layak,

maka boleh jadi tidak akan ada air tanah yang dapat disimpan atau digunakan.

Perlindungan terhadap daerah imbuhan ini diperlukan beberapa langkah agar tetap

berfungsi dengan baik dengan cara sebagai berikut:

a. Memastikan bahwa daerah yang cocok atau sesuai sebagai daerah imbuhan

dipertahankan fungsinya daripada mengubahnya sebagai prasarana umum

(urban infrastructure) seperti bangunan atau jalan.

b. Mencegah polutan masuk kedalam air tanah.

Page 7: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

16

2.2.2. Daerah Lepasan (Discharge Area)

Daerah lepasan adalah daerah keluaran air tanah yang berlangsung secara

alamiah pada cekungan air tanah (PP No. 43 Tahun 2008).

Gambar 2.7. Proses pengisian daerah lepasan (Kodoatie dan Sjarief, 2010).

2.3 Daerah Non-Cekungan Air Tanah (Daerah Non-CAT)

Daerah Bukan CAT (Non-CAT) adalah wilayah yang tidak dibatasi oleh

batas hidrogeologis dan tidak atau bukan tempat semua kejadian hidrogeologis

seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung

(Kodoatie dan Sjarief, 2010). Daerah Bukan CAT sering juga disebut sebagai

daerah non-aluvial. Beberapa kriteria mengenai daeran Bukan CAT antara lain:

Page 8: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

17

a. Tidak mempunyai batas hidrogeologis yang dikontrol oleh kondisi

geologis dan/atau kondisi hidraulik air tanah.

b. Tidak mempunyai daerah imbuhan dan daerah lepasan air tanah dalam

satu sistem pembentukan air tanah.

c. Tidak memiliki satu kesatuan sistem akuifer.

Gambar 2.8. Contoh potongan daerah Bukan CAT (Kodoatie dan Sjarief, 2010).

Sedangkan dilihat dari segi karakteristik wilayahnya, daerah Bukan CAT

memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Lapisan tanah yang mampu menyerap air cukup tipis.

b. Pada kondisi alami daerah Bukan CAT, selama lapisan tanah (humusnya)

masih ada akan relatif lebih subur dibandingkan dengan daerah CAT.

c. Di bagian bawah dari lapisan humus daerah Bukan CAT umumnya berupa

batuan.

d. Daerah Bukan CAT juga umumnya daerah dengan rentan gerakan tanah

tinggi (mudah longsor).

e. Daerah Bukan CAT bisa merupakan daerah yang rawan kekeringan baik dari

segi pertanian maupun kebutuhan air bersih.

f. Daerah Bukan CAT juga merupakan daerah dimana sistem sungai dan

DASnya tidak stabil, karena ada deformasi muka bumi.

Page 9: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

18

Berbeda dengan daerah CAT, untuk daerah Bukan CAT wilayahnya

tidak memiliki daerah imbuhan maupun daerah lepasan air tanah. Keadaan

tersebut dapat diilustrasikan sebagai gambar berikut:

Gambar 2.9. Aliran air di daerah bukan-CAT (Kodoatie dan Sjarief,2010).

Daerah Non-CAT bisa merupakan daerah yang rawan kekeringan baik

dari segi pertanian maupun kebutuhan air bersih. Pada kondisi daerah Non-CAT

masih lebat dengan tumbuhan maka sumber utama air adalah dari curah hujan

yang hanya menjadi air permukaan karena infiltrasi air ke dalam tanah hanya

sebatas ketebalan humusnya. Bilamana humus hilang maka air hujan menjadi air

permukaan baik yang teretensi karena bentuk topografinya maupun yang menjadi

run-off (Kodoatie dan Sjarief, 2010). Di daerah bukan CAT air hujan hanya

menjadi air permukaan dan aliran antara, aliran antara (interflow) merupakan

aliran air tak jenuh (unsaturated flow) dalam zona akar (root zone) hasil peresapan

air hujan yang masuk kedalam tanah (Nyman, 2002).

Page 10: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

19

Gambar 2.10. Ilustrasi daerah Vadose atau Root Zone untuk daerah CAT dan Bukan CAT

(Kodoatie dan Sjarief, 2010).

2.4 Curah Hujan Area

Curah hujan area adalah curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan

suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir, adalah curah

hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan, bukan curah hujan pada

suatu titik tertentu. Curah hujan ini disebut curah hujan wilayah/daerah/area dan

dinyatakan dalam mm (Takeda, 1977).

Perhitungan curah hujan area ini harus diperkirakan dari beberapa titik

pengamatan curah hujan, tujuan dari perhitungan curah hujan area ini adalah

untuk menghitung curah hujan maksimum rata-rata harian dari data yang ada.

Cara-cara perhitungan curah hujan area dapat diperhitungkan dengan metode

berikut:

2.4.1. Metode Rata-rata Aljabar

Perhitungan curah hujan area dilakukan dengan cara perhitungan rata-

rata secara aljabar curah hujan di dalam dan di sekitar daerah yang bersangkutan,

perhitungan curah hujan area dapat dihitung dengan formula:

𝑹 = 𝟏

𝒏 (𝑹𝟏 + 𝑹𝟐+. . . +𝑹𝒏) ........................................................................ (2.1)

Page 11: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

20

dimana :

𝑅 = curah hujan area (mm).

n = jumlah titik-titik (pos-pos) pengamatan.

R1, R2,… , Rn = curah hujan di tiap titik pengamatan (mm).

Metode rata-rata aljabar dapat digunakan dengan beberapa persyaratan

(Seyhan, 1996) antara lain:

a. Sesuai untuk kawasan-kawasan yang datar (rata).

b. Sesuai untuk DAS-DAS dengan jumlah penakar hujan yang besar yang

didistribusikan secara merata pada lokasi-lokasi yang mewakili.

2.4.2. Metode Thiessen

Metode Thiessen digunakan apabila titik-titik pengamatan pada daerah

tersebut tidak tersebar merata, maka cara perhitungan curah hujan area dilakukan

dengan memperhitungkan daerah pengaruh tiap titik pengamatan.

Curah hujan area dengan metode Thiessen dapat dihitung dengan

persamaan sebagai berikut:

𝑹 = 𝑨𝟏𝑹𝟏+𝑨𝟐𝑹𝟐+...+𝑨𝒏𝑹𝒏

𝑨𝟏+𝑨𝟐+...+𝑨𝒏 ....................................................................... (2.2)

dimana :

𝑅 = curah hujan area (mm).

𝑅1,𝑅2,… ,𝑅𝑛 = curah hujan dalam tiap titik pengamatan dan n adalah

jumlah titik pengamatan.

𝐴1,𝐴2,… ,𝐴𝑛 = bagian daerah yang mewakili tiap titik pengamatan.

𝐴1,𝐴2,… ,𝐴𝑛 dapat ditentukan dengan cara berikut :

a. Cantumkan titik-titik pengamatan di dalam dan sekitar daerah pada peta

topografi skala 1 : 50.000. kemudian hubungkan tiap titik yang berdekatan

dengan sebuah garis lurus. Dengan demikian akan terlukis jaringan segitiga

yang menutupi seluruh daerah.

b. Daerah yang bersangkutan itu dibagi dalam poligon-poligon yang didapat

dengan menggambar garis bagi tegak lurus pada tiap-tiap sisi-sisi segitiga

Page 12: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

21

tersebut di atas. Curah hujan dalam tiap poligon itu dianggap diwakili oleh

curah hujan dari titik pengamatan dalam tiap poligon itu. Luas poligon diukur

dengan planimeter atau cara lain.

Beberapa Syarat maupun keuunggulan metode Thiessen (Seyhan, 1996)

antara lain:

a. Sesuai untuk kawasan-kawasan dengan jarak penakar-penakar hujan yang

tidak merata.

b. Memerlukan stasiun-stasiun pengamat di dan dekat kawasan tersebut

(minimum 3 stasiun).

c. Penambahan atau pemindahan suatu stasiun pengamat akan mengubah

seluruh jaringan.

d. Metode ini tidak memperhitungkan topografi

Gambar 2.11. Poligon metode Thiessen (Takeda, 1977).

2.4.3. Metode Isohiet

Peta isohiet digambar pada peta topografi dengan perbedaan (interval) 10

sampai 20 mm berdasarkan data curah hujan pada titik-titik pengamatan di dalam

dan di sekitar daerah yang dimaksud. Luas bagian daerah antara dua garis isohiet

yang berdekatan diukur dengan planimeter atau cara lainnya, demikian pula

dengan harga rata-rata dari garis-garis isohiet yang berdekatan yang termasuk

Page 13: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

22

bagian-bagian daerah itu dapat dihitung. Curah hujan area dengan metode garis

Isohiet dapat dihitung dengan persamaan :

𝑹 = 𝑹𝟏+𝑹𝟐

𝟐 𝑨𝟏 +

𝑹𝟐+𝑹𝟑

𝟐 𝑨𝟐 +…..+

𝑹𝒏+𝑹𝒏+𝟏

𝟐 𝑨𝒏 ................... (2.3)

dimana:

𝑅 = curah hujan area (mm).

𝑅1, 𝑅2, 𝑅𝑛 = tinggi hujan garis isohiet 1, 2,…n

𝐴1, 𝐴2, 𝐴𝑛 = luas bagian-bagian antara dua garis isohiet Rn.dan Rn+1

Gambar 2.12. Peta Isohiet (Takeda, 1977).

2.5 Distribusi Peluang untuk Analisis Frekuensi

Kebenaran dari kesimpulan yang dibuat dari analisis data hidrologi

sebetulnya tidak dapat dipastikan benar secara absolut, karena kesimpulan analisis

hidrologi umumnya dibuat berdasarkan data sampel dari populasi, oleh karena itu

aplikasi teori peluang sangat diperlukan dalam analisis hidrologi (Soewarno,

1995). Dengan cara ini dapat diperoleh periode berulang dari data yang tersedia.

Sebagai aturan umum, analisis frekuensi tidak seharusnya dilakukan untuk data

yang dikumpulkan kurang dari 10 tahun (Asdak, 1995). Analisis frekuensi

didasarkan pada sifat statistik data kejadian yang telah lalu untuk memeperoleh

probabilitas besaran hujan yang akan datang, sehingga dari sini dimaksudkan

Page 14: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

23

untuk untuk menentukan besarnya debit rancangan, dimana dari debit rancangan

ini akan digunakan sebagai dasar dalam perencanaan dan perancangan detail

konstruksi bendungan. Adapun sistematika dari analisis frekuensi perhitungan

hujan rencana dapat dilakukan dengan menetukan parameter statistik, metode

yang digunakan, pengujian kebenaran distribusi dan kemudian dilakukan

perhitungan hujan rencana.

2.5.1. Parameter Statistik

Parameter-parameter statistik yang sering digunakan dalam perhitungan

analisis frekuensi meliputi rata-rata hitung ( 𝑋 ), standard deviasi (Sd), koefisien

variasi (Cv), koefisien kemiringan (Cs) dan koefisien kurtosis (Ck). Untuk

mendapatkan harga parameter-parameter statistik diatas dapat dilakukan dengan

perhitungan menggunakan persamaan dasar berikut (Soewarno, 1995):

𝑿 = 𝑹𝒙

𝒏 ............................................................................................................. (2.4)

𝑺𝒅 = 𝑿𝒊−𝑿

𝟐

𝒏−𝟏 .......................................................................................... (2.5)

𝑪𝒗 = 𝑺𝒅

𝑿 ........................................................................................................... (2.6)

𝑪𝒔 = 𝒏 𝑿𝒊−𝑿

𝟑𝒏𝒊=𝟏

𝒏−𝟏 𝒏−𝟐 𝑺𝒅𝟑 ................................................................................. (2.7)

𝑪𝒌 =

𝟏

𝒏 𝑿𝒊−𝑿

𝟒𝒏𝒊=𝟏

𝑺𝒅𝟒 .................................................................................... (2.8)

dimana:

𝑋 = tinggi hujan harian/debit maksimum rata-rata selama n tahun (mm)

𝑋 = jumlah tinggi hujan harian maksimum selama n tahun (mm)

n = jumlah tahun pencatatan data hujan

Sd = deviasi standard

Cv = koefisien variasi

Cs = koefisien kemiringan (skewness)

Page 15: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

24

Ck = koefisien Kurtosis

Dari ke-lima parameter di atas akan menentukan jenis metode distribusi

yang akan digunakan dalam perhitungan analisis frekuensi.

Tabel 2.1. Pedoman pemilihan distribusi (Soewarno, 1995).

2.5.2. Metode Distribusi

Ada beberapa jenis metode distribusi peluang sebagai dasar perhitungan

analisa frekuensi (Soewarno, 1995) antara lain:

2.5.2.1 Aplikasi Distribusi Normal

Distribusi normal atau kurva normal disebut pula distribusi gauss. Fungsi

densitas peluang normal dari variabel acak kontinyu X dapat ditulis sebagai

berikut:

P(X) = 𝟏

𝝈 𝟐𝝅𝒆−𝟏

𝟐 𝑿−𝝁

𝝈 𝟐

......................................................................... (2.9)

dimana:

P(X) = fungsi densitas peluang normal (ordinat kurva normal)

𝜋 = 3.14156

e = 2.71828

X = variabel acak kontinyu

μ = rata-rata dari nilai X

σ = deviasi standard dari nilai X

Page 16: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

25

Untuk analisis kurva normal cukup menggunakan parameter statistik μ

dan σ. Bentuk kurvanya simetris terhadap X=μ, dan grafiknya selalu diatas sumbu

datar X, serta mendekati (berasimut) sumbu datar X, dimulai dari X=μ+3σ dan X-

3σ. Untuk menentukan periode ulangnya dapat digunakan persamaan umum:

X = 𝑿 + k.S ...................................................................................................... (2.10)

dimana:

X = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi

𝑋 = nilai rata-rata hitung variat

S = deviasi standar nilai variat

k = faktor reduksi Gauss

2.5.2.2 Aplikasi Distribusi Log Normal

Apliksi Distribusi Log Normal merupakan hasil transformasi dari

distribusi normal, yaitu dengan mengubah nilai variat X menjadi nilai logaritmik

variat X. Secara sistematis distribusi log normal ditulis sebagai berikut:

P(X) = 𝟏

𝒍𝒐𝒈𝑿 𝑺 𝟐𝝅 𝒆 𝟏

𝟐 𝒍𝒐𝒈𝑿−𝑿

𝑺 𝟐

............................................... (2.11)

dimana :

P(X) = peluang log normal

𝜋 = 3.14156

e = 2.71828

X = 𝑋1,𝑋2,𝑋3 … .𝑋𝑛 1

𝑛

𝑋 = nilai rata-rata dari logaritmik variat X, umumnya dihitung dari rata-

rata geometriknya.

S = deviasi standard dari logaritmik nilai variat X

Apabila nilai P(X) digambarkan pada kertas peluang logaritmik akan

merupakan persamaan garis lurus, sehingga dapat dinyatakan sebagai model

matematik dengan persamaan:

Y = 𝒀 + 𝒌.𝑺 .................................................................................................... (2.12)

Page 17: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

26

dimana:

Y = nilai logaritmik nilai X atau lnX

𝑌 = rata-rata hitung(lebih baik rata-rata geometrik) nilai Y

S = deviasi standar nilai Y

k = karakteristik distribusi peluang Log Normal nilai variabel reduksi Gauss

Tabel 2.2. Nilai variabel reduksi Gauss (Soewarno, 1995).

2.5.2.3 Aplikasi Distribusi Gumbel Tipe I

Distribusi Gumbel Tipe I disebut juga dengan distribusi ekstrem tipe I,

umumnya digunakan untuk analisis data maksimum, misal untuk analisis

frekuensi banjir. Peluang kumulatif Distribusi Gumbel adalah:

P= (X ≤ x)=𝒆 −𝒆 −𝒚

...................................................................................... (2.13)

dengan -∞< X < +∞

dimana:

P= (X≤x) = fungsi densitas peluang tipe I Gumbel

X = variabel acak kontinyu

e = 2,71828

Y = faktor reduksi Gumbel

Page 18: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

27

Persamaan garis lurus model matematik Distribusi Gumbel tipe I yang

ditentukan dengan menggunakan metode momen adalah:

Y = a (X – X0 ) ................................................................................................ (2.14)

a = 𝟏.𝟐𝟖𝟑

𝝈 ....................................................................................................... (2.15)

X0 = μ – 𝟎.𝟓𝟕𝟕

𝒂 atau

X0 = μ – 0.455σ ................................................................................................ (2.16)

dimana:

μ = Nilai rata-rata

σ = deviasi standard

Distribusi tipe I Gumbel memiliki koefisien kemencengan (CS) = 1.139.

Nilai Y, faktor reduksi Gumbel merupakan fungsi dari besarnya peluang atau

periode ulang seperti tabel di bawah ini:

Tabel 2.3. Nilai reduksi Gumbel (Soewarno, 1995).

Selain dari Persamaan (2.14) diatas persamaan garis lurus Metode

Gumbel tipe I juga dapat menggunakan persamaan distribusi frekuensi empiris

sebagai berikut:

X = 𝑿 + 𝑺

𝑺𝒏 (Y-Yn) .......................................................................................... (2.17)

Page 19: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

28

dimana:

X = nilai variat yang diharapkan terjadi

𝑋 = nilai rata-rata hitung variat

S = standar deviasi

Y = nilai reduksi variat dari variabel yang diharapkan terjadi

Yn = nilai rata-rata dari reduksi variat

Sn = standar deviasi dari reduksi variat

Tabel 2.4. Hububgan reduksi variat rata-rata (Yn) dengan jumlah data (n) (Soewarno, 1995).

Page 20: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

29

Tabel 2.5. Hububgan antara deviasi standar dari reduksi variat (Sn) dengan jumlah data (n)

(Soewarno, 1995).

2.5.2.4 Aplikasi Distribusi Log Pearson Tipe III

Distribusi Log Pearson tipe III banyak digunakan dalam analisis

hidrologi, terutama dalam analisis data maksimum (banjir) dan minimum (debit

minimum) dengan nilai ekstrem. Persamaan fungsi peluangnya adalah:

P(X) = 𝟏

𝒂 Г 𝒃 𝑿−𝑪

𝒂 𝒃−𝟏

𝒆−

𝑿−𝑪

𝒂 .................................................... (2.18)

dimana:

P(X) = peluang dari variat X

X = nilai variat X

a,b,c = parameter

Г = fungsi gamma

Page 21: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

30

Bentuk kumulatif Distribusi Log Pearson tipe III dengan nilai variatnya

X apabila digambarkan pada kertas peluang logaritmik akan merupakan model

matematik persamaan garis lurus, persamaannya adalah:

Y= 𝒀 -k.S .................................................................................................. (2.19)

dimana:

Y = nilai logaritmik dari X

𝑌 = nilai rata-rata dari Y

S = deviasi standard dari Y

k = karakteristik dari distribusi log Pearson tipe III

Prosedur untuk menentukan kurva Distribusi log Pearson Tipe III adalah:

a. Tentukan nilai logaritma dari semua nilai X.

b. Hitung rata-ratanya.

𝒍𝒐𝒈𝑿 = 𝒍𝒐𝒈𝑿

𝒏 ............................................................................................. (2.20)

c. Hitung deviasi standar nilai log X.

𝑺 𝒍𝒐𝒈𝑿 = 𝒍𝒐𝒈 𝑿− 𝒍𝒐𝒈 𝑿

𝟐

𝒏−𝟏................................................................. (2.21)

d. Hitung nilai koefisien kemencengan.

𝑪𝑺 = 𝒏 𝒍𝒐𝒈 𝑿− 𝒍𝒐𝒈 𝑿

𝟑

𝒏−𝟏 (𝒏−𝟐) 𝑺 𝒍𝒐𝒈 𝑿 𝟑 .................................................................... (2.22)

e. Tentukan anti log X, untuk mendapatkan nilai X yang diharapkan terjadi pada

tingkat peluang atau periode tertentu.

Log X = 𝒍𝒐𝒈𝑿 + k 𝑺 𝒍𝒐𝒈 𝒙 ............................................................................ (2.23)

Page 22: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

31

Tabel 2.6. Nilai k untuk distribusi Log Pearson Tipe III (Soewarno, 1995)

Page 23: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

32

2.5.3. Pengujian Kecocokan Distribusi

Untuk menentukan kecocokan distribusi frekuensi dari sampel data

terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan, maka diperlukan pengujian

parameter (Soewarno, 1995). Metode yang digunakan untuk menguji kecocokan

distribusi frekuensi antara lain:

2.5.3.1 Uji Chi-Kuadrat

Uji chi-kuadrat dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan

distribusi peluang yang telah dipilih dapat mewakili dari distribusi statistik sampel

yang dianalisis. Pengambilan keputusan uji ini menggunakan parameter X2 , oleh

karena itu disebut dengan Uji Chi-Kuadrat. Parameter X2 dapat dihitung dengan

persamaan:

𝑿𝒉𝟐=

𝑶𝒊−𝑬𝒊 𝟐

𝑬𝒊

𝑮𝒊=𝟏 ................................................................................ (2.24)

dimana:

𝑋ℎ2 = parameter chi-kuadrat terhitung

G = jumlah sub-kelompok

Oi = jumlah nilai pengamatan pada sub-kelompok ke-i

Ei = jumlah nilai teoritis pada sub kelompok ke-i

Parameter X2 merupakan variabel acak. Peluang untuk mencapai nilai X

2

sama atau lebih besar dari pada nilai chi-kuadrat yang sebenarnya, dapat dilihat

pada Tabel 2.7.

Langkah-langkah untuk perhitungan uji chi-kuadrat adalah:

a. Mengurutkan data pengamatan (dari besar ke kecil atau sebaliknya).

b. Mengelompokan data menjadi G sub-group, tiap-tiap sub-group minimal 4

data pengamatan dimana jumlah kelas yang ada G = 1 +3,322 log n.

c. Menjumlahkan data pengamatan sebesar Oi, tiap-tiap sub-group.

d. Menjumlahkan data dari persamaan distribusi yang digunakan sebesar Ei, Ei

= 𝑛/𝐺 .

Page 24: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

33

e. Tiap-tiap sub-group hitung nilai:

𝑂𝑖 − 𝐸𝑖 2 dan

𝑂𝑖−𝐸𝑖 2

𝐸𝑖

f. Menjumlahkan seluruh G sub-group nilai 𝑂𝑖−𝐸𝑖

2

𝐸𝑖 untuk menentukan nilai

chi-kuadrat hitung.

g. Menentukan derajat kebebasan dk = G-R-1 (nilai R=2 untuk distribusi normal

dan binomial).

Interpretasi dari hasil pengujian chi-kuadrat adalah:

a. Apabila peluang lebih dari 5%, maka persamaan distribusi teoritis yang

digunakan dapat diterima.

b. Apabila peluang lebih kecil dari 1%, maka persamaan distribusi teoritis yang

digunakan tidak dapat diterima.

c. Apabila peluang berada diantara 1-5% adalah tidak mungkin mengambil

keputusan, misal perlu tambah data.

Page 25: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

34

Tabel 2.7. Nilai kritis uji Chi-Kuadrat (Soewarno, 1995)

2.5.3.2 Uji Smirnov-Kolmogorov

Uji kecocokan Smirnov-Kolmogorov, sering juga disebut uji kecocokan

non parametrik (non parametric test), karena pengujiannya tidak menggunakan

fungsi distribusi tertentu. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

a. Mengurutkan data (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan tentukan besarnya

peluang dari masing-masing data tersebut.

X1 P(X1)

Page 26: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

35

X2 P(X2)

XmP(Xm)

Xn P(Xn)

b. Tentukan nilai masing-masing peluang teoritis dari hasil penggambaran data

(persamaan distribusinya).

X1 P’(X1)

X2 P’(X2)

XmP’(Xm)

Xn P’(Xn)

c. Dari kedua nilai peluang tersebut tentukan selisih terbesarnya antara peluang

pengamatan dengan peluang teoritis.

D = maksimum 𝑷 𝑿𝒎 − 𝑷′ 𝑿𝒎 ....................................................... (2.25)

d. Berdasarkan tabel nilai kritis Smirnov-Kolmogorov tentukan harga D0

Tabel 2.8. Nilai kritis uji Smirnov-Kolmogorov (Soewarno, 1995)

2.6 Intensitas Curah Hujan

Apabila diminta untuk menyiapkan perencanaan teknis bangunan air,

pertama-tama yang harus ditentukan adalah berapa debit yang harus

diperhitungkan atau lazim disebut sebagai debit (banjir) perencanaan. Besarnya

Page 27: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

36

debit banjir perencanaan ditentukan oleh Intensitas curah hujan (Soemarto, 1999),

besarnya intensitas curah hujan dinyatakan dengan persamaan:

i = 𝒅

𝒕 ................................................................................................................. (2.26)

dimana:

i = intensitas hujan (mm/s)

d = tinggi curah hujan (mm)

t = lama waktu atau durasi hujan (s)

2.6.1. Intensitas Curah Hujan Metode Talbot (1881)

i = 𝒂

𝒕+𝒃 ........................................................................................................... (2.27)

a = 𝒊.𝒕 𝒏𝒋=𝟏 𝒊𝟐 − 𝒊𝟐−𝒕 𝒏

𝒋=𝟏 𝒊 𝒏𝒋=𝟏

𝒏𝒋=𝟏

𝒏 𝒊𝟐 − 𝒊 𝒏𝒋=𝟏

𝟐𝒏𝒋=𝟏

b = 𝒊 𝒏𝒋=𝟏 𝒊.𝒕 −𝒏 𝒊𝟐.𝒕 𝒏

𝒋=𝟏𝒏𝒋=𝟏

𝒏 𝒊𝟐 − 𝒊 𝒏𝒋=𝟏

𝟐𝒏𝒋=𝟏

dimana:

i = intensitas hujan (mm/s)

a,b = konstanta

t = lama waktu atau durasi hujan (s)

n = banyaknya pasangan data i dan t

2.6.2. Intensitas Curah Hujan Metode Sherman (1905)

i = 𝒂

𝒕𝒃 .............................................................................................................. (2.28)

log a = 𝒍𝒐𝒈 𝒊 𝒏𝒋=𝟏 𝒍𝒐𝒈 𝒕 𝟐− 𝒍𝒐𝒈 𝒕.𝒍𝒐𝒈 𝒊 𝒏

𝒋=𝟏 𝒍𝒐𝒈 𝒕 𝒏𝒋=𝟏

𝒏𝒋=𝟏

𝒏 𝒍𝒐𝒈 𝒕 𝟐− 𝒍𝒐𝒈 𝒕 𝒏𝒋=𝟏

𝟐𝒏𝒋=𝟏

Page 28: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

37

b = 𝒍𝒐𝒈 𝒊 𝒏𝒋=𝟏 𝒍𝒐𝒈 𝒕 − 𝒏 𝒍𝒐𝒈 𝒕.𝒍𝒐𝒈 𝒊 𝒏

𝒋=𝟏𝒏𝒋=𝟏

𝒏 𝒍𝒐𝒈 𝒊 𝟐− 𝒍𝒐𝒈 𝒕 𝒏𝒋=𝟏

𝟐𝒏𝒋=𝟏

dimana:

i = intensitas hujan (mm/s)

a,b = konstanta

t = lama waktu atau durasi hujan (s)

n = banyaknya pasangan data i dan t

2.6.3. Intensitas Curah Hujan Metode Ishiguro

i = 𝒂

𝒕+𝒃 ......................................................................................................... (2.29)

a = 𝒊. 𝒕 𝒏𝒋=𝟏 𝒊𝟐 − 𝒊𝟐− 𝒕

𝒏𝒋=𝟏 𝒊 𝒏

𝒋=𝟏𝒏𝒋=𝟏

𝒏 𝒊𝟐 − 𝒊 𝒏𝒋=𝟏

𝟐𝒏𝒋=𝟏

b = 𝒊 𝒏𝒋=𝟏 𝒊. 𝒕 −𝒏 𝒊𝟐. 𝒕

𝒏𝒋=𝟏

𝒏𝒋=𝟏

𝒏 𝒊𝟐 − 𝒊 𝒏𝒋=𝟏

𝟐𝒏𝒋=𝟏

dimana:

i = intensitas hujan (mm/s)

a,b = konstanta

t = lama waktu atau durasi hujan (s)

n = banyaknya pasangan data i dan t

2.6.4. Intensitas Curah Hujan Metode Mononobe

i = 𝒅𝟐𝟒

𝟐𝟒 𝟐𝟒

𝒕

𝟏

𝟐 .............................................................................................. (2.30)

dimana:

i = intensitas hujan (mm/s)

d24 = tinggi hujan maksimum dalam 24 jam

t = lama waktu atau durasi hujan (s)

Page 29: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

38

Persamaan 2.27. sampai dengan Persamaan 2.29 digunakan untuk waktu

t yang pendek, sedangkan Persamaan 2.30 untuk t sembarang.

2.7 Hujan Berpeluang Maksimum (Probable Maximum Precipitations)

Hujan berpeluang maksimum (Probable Maximum Precipitation)

didefinisikan sebagai tinggi terbesar hujan dengan durasi tertentu yang secara

meteorologis dimungkinkan bagi suatu daerah pengaliran dalam suatu waktu

dalam tahun (Soemarto, 1999). Untuk memperkirakan besarnya PMP ada dua

metode yang sering digunakan (Asdak, 2002) yaitu cara maksimisasi dan

transposisi kejadian hujan dan cara analisis statistika untuk data kejadian hujan

ekstrem.

2.7.1. Maksimisasi dan Transposisi Kejadian Hujan

Teknik maksimisasi melibatkan prakiraan batas maksimum konsentrasi

kelembaban di udara yang mengalir di atmosfer di atas suatu DAS. Pada batas

maksimum tersebut, hembusan angin akan membawa serta udara lembab ke

atmosfer di atas DAS yang bersangkutan dan batas maksimum fraksi dari aliran

uap air yang akan menjadi air hujan. Perkiraan besarnya PMP di daerah dengan

tipe hujan orografik terbatas biasanya dilakukan dengan cara maksimisasi dan

transposisi kejadian hujan yang sesungguhnya. Sementara di daerah dengan

pengaruh hujan orografik kuat, kejadian hujan yang dihasilkan dari simulasi

model lebih banyak dimanfaatkan untuk prosedur maksimisasi untuk kejadian

hujan jangka panjang yang meliputi wilayah yang luas.

2.7.2. Analisis Statistika untuk Kejadian Hujan Ekstrem

Dari hasil analisis curah hujan maksimum tahunan yang berasal dari

ribuan stasiun penakar hujan, Hersfield mengajukan persamaan umum untuk

analisis data curah hujan yang dikembangkan oleh Chow. Persamaan umum

tersebut berusaha mengaitkan antara besarnya PMP untuk lama waktu hujan

tertentu terhadap nilai tengah (X) dan standard deviasi (s) untuk data hujan

terbesar tahunan seperti dibawah ini:

Page 30: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

39

PMP = X + Km.s .............................................................................................. (2.31)

dimana:

PMP = probable maximum precipitations

X = nilai tengah data hujan maksimum tahunan

s = standar deviasi data hujan maksimum tahunan

Km = faktor frekuensi ( pada umumnya bernilai 20)

Gambar 2.13. Hubungan Km dengan keragaman X (Soemarto, 1999).

Gambar 2.14. Penyesuaian X dan s untuk data maksimum yang diamati (Soemarto, 1999).

Page 31: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

40

2.8 Banjir Berpeluang Maksimum (Probable Maximum Flood)

Banjir berpeluang maksimum (Probable Maximum Flood) adalah banjir

yang dapat diharapkan dari kombinasi yang paling parah daripada kondisi

meteorologi dan hidrologi yang kritis yang mungkin terjadi pada area tertentu dari

suatu kawasan DAS (http://www.dnr.state.oh.us/water, 2010). Apabila data debit

tidak ada, maka besarnya PMF dapat didekati dengan memasukan Probable

Maximum Precipitation (PMP) kedalam model. Konsep ini diawali oleh

ketidakyakinan analisis bahwa suatu rancangan yang didasarkan pada suatu

analisis frekuensi akan betul-betul aman, meskipun hasil analisis frekuensi selama

ini dianggap yang terbaik dibandingkan dengan besaran lain yang diturunkan dari

model, namun demikian keselamatan manusia ikut tersangkut, maka analisis

tersebut dipandang belum mencukupi (Sri Harto, 1993).

2.9 Debit Banjir Rencana (Design Flood)

Tujuan analisis debit banjir adalah untuk memperoleh debit puncak yang

akan digunakan sebagai parameter desain rencana bangunan utama berupa

bendung atau bendungan (IMIDAP, 2009). Ada beberapa metode untuk

menghitung besarnya debit banjir rencana antara lain Metode Der Weduwen,

Metode Haspers, Metode Melchior dan Metode Hidrograf Satuan Sintetik Gamma

I.

2.9.1. Metode Der Weduwen

Debit banjir rencana dapat dihitung dengan menggunakan Metode Der

Weduwen berdasarkan persamaan umum (Loebis, 1987) :

Qt = α x β x qn x A ...................................................................................... (2.32)

t = 0.25. L . Qt-0.125

. I-0.25

........................................................................... (2.33)

β = 𝟏𝟐𝟎+ 𝒕+𝟏 / 𝒕+𝟗 𝑨

𝟏𝟐𝟎+𝑨 ........................................................................ (2.34)

qn = 𝑹𝒏

𝟐𝟒𝟎

𝟔𝟕.𝟓

𝒕+𝟏.𝟒𝟓 ............................................................................................ (2.35)

Page 32: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

41

α = 1- 𝟒.𝟏

𝜷𝒒𝒏+𝟕 ............................................................................................... (2.36)

dimana:

Qt = Debit banjir rencana dengan periode T tahun (m3/detik)

Rn = Curah hujan maksimum (mm/hari)

α = koefisien pengaliran

β = koefisien pengurangan daerah untuk curah hujan DAS

qn = debit persatuan luas (m3/km

2/ detik)

t = waktu konsentrasi (jam)

A = luas DAS (km2)

L = panjang sungai (km)

I = gradien sungai atau medan

2.9.2. Metode Haspers

Debit banjir rencana dapat dihitung menggunakan Metode Haspers

dengan persamaan (Loebis, 1987):

Qt = α x β x qn x A ...................................................................................... (2.37)

α = 𝟏+𝟎.𝟎𝟏𝟐𝒇𝟎.𝟕

𝟏+𝟎.𝟎𝟕𝟓𝒇𝟎.𝟕 ............................................................................................. (2.38)

𝟏

𝜷 = 1 +

𝒕+𝟑.𝟕𝒙𝟏𝟎−𝟎.𝟒 𝒕

𝒕𝟐+𝟏𝟓 𝒙

𝒇𝟑𝟒

𝟏𝟐 .................................................................... (2.39)

t = 0.1 . L0.8

I-0.3

............................................................................................ (2.40)

qn = 𝑹𝒏

𝟑.𝟔 𝒙 𝒕 ..................................................................................................... (2.41)

Intensitas hujan

Untuk t < 2 jam

Rn = 𝒕𝑹𝟐𝟒

𝒕+𝟏−𝟎.𝟎𝟎𝟎𝟖 𝟐𝟔𝟎−𝑹𝟐𝟒 𝟐−𝒕 𝟐 .......................................................... (2.42)

Untuk 2 jam ≤ t ≤ 19 jam

Rn = 𝒕𝑹𝟐𝟒

𝒕+𝟏 ........................................................................................................ (2.43)

Page 33: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

42

Untuk 19 jam ≤ t ≤ 30 jam

Rn = 0.707R24 𝒕 + 𝟏 .................................................................................... (2.44)

T dalam jam dan Rt, R24 (mm)

dimana:

Qt = Debit banjir rencana dengan periode T tahun (m3/detik)

Rn = Curah hujan maksimum untuk periode ulang T tahun (mm)

α = koefisien pengaliran

β = koefisien reduksi

qn = debit persatuan luas (m3/km

2/ detik)

t = waktu konsentrasi (jam)

A = luas DAS (km2)

I = gradien sungai

Langkah-langkah menghitung debit puncak adalah sebagai berikut

(Loebis, 1987):

a. Menentukan besarnya curah hujan sehari (Rh rencana) untuk periode ulang

terpilih.

b. Menentukan koefisien run off untuk metode terpilih.

c. Menghitung luas DAS, panjang sungai dan gradien sungai.

d. Menghitung nilai waktu konsentrasi, koefisien reduksi, intensitas hujan, debit

per satuan luas dan debit rencana.

2.9.3. Metode Melchior

Debit banjir rencana dapat dihitung dengan menggunakan Metode

Melchior berdasarkan persamaan umum (Loebis, 1987):

Qt = α x β x qn x A ...................................................................................... (2.45)

A = 𝟏𝟗𝟕𝟎

𝜷−𝟎,𝟏𝟐 – 3960 + 1720 .......................................................................... (2.46)

α = 0.52 (ketentuan Melchior) ....................................................................... (2.47)

t = 0.186 . L x Q-0.2

x I-0.4

........................................................................... (2.48)

qn = 𝑹𝟐𝟒

𝟑.𝟔 𝒙 𝒕 ..................................................................................................... (2.49)

Page 34: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

43

dimana:

Qt = Debit banjir rencana dengan periode T tahun (m3/detik)

R24 = Curah hujan maksimum untuk periode ulang T tahun (mm)

α = ketentuan Melchior

β = koefisien reduksi

qn = debit persatuan luas (m3/km

2/ detik)

t = waktu konsentrasi (jam)

A = luas DAS (km2)

I = gradien sungai

2.9.4. Metode Hidrograf Satuan Sintetik Gamma I

Hidrograf Satuan Sintetik Gamma I dikembangkan atas riset Dr. Sri

Harto di 30 daerah pengaliran sungai di pulau Jawa pada akhir dekade 1980-an

yang mengkombinasikan antara metode Stahler, dan pendekatan Kraijenhorr van

der Leur. Hidrograf Satuan Sintetik Gama I dibentuk tiga komponen dasar yaitu

waktu naik (TR), debit puncak (Qp) dan waktu dasar (TB) (IMIDAP, 2009).

Kurva naik merupakan garis lurus, sedangkan kurva turun dibentuk oleh

persamaan berikut :

Qt = Qp x 𝒆 −𝒕

𝒌 .............................................................................................. (2.50)

dimana:

Qt = debit yang diukur dalam jam ke-t sesudah debit puncak (m3/detik)

Qp = debit puncak (m3/detik)

t = waktu yang diukur ketika debit puncak (jam)

k = koefisien tampungan tiap jam

Page 35: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

44

Gambar 2.15. Gambaran kurva hidrograf Satuan Sintetik Gamma I (IMIDAP, 2009).

Perhitungan waktu naik (TR) dapat diperhitungkan (IMIDAP, 2009):

TR = 0,43 𝑳

𝟏𝟎𝟎𝑺𝑭 𝟑

+ 1,0665 SIM + 1,2775 ............................................... (2.51)

dimana:

TR = waktu naik (jam)

L = panjang sungai (km)

SF = faktor sumber yaitu perbandingan antara jumlah panjang sungai tingkat

I dengan panjang semua tingkat

SIM = faktor simetri ditetapkan sebagai hasil kali antara faktor lebar (WF)

dengan luas relatif DAS sebelah hulu (RUA)

WF = faktor lebar adalah perbandingan antara lebar DAS yang diukur dari

titik di sungai yang berjarak 0.75L dan lebar DAS yang diukur dari titik

yang berjarak 0.25L dari tempat pengukuran.

Perhitungan debit puncak (Qp) dapat diperhitungkan (IMIDAP, 2009):

Qp = 0.1836 A0.5886

JN0.2381

TR-0.4008

......................................................... (2.52)

dimana:

Qp = debit puncak (m3/dtk)

Page 36: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

45

JN = jumlah pertemuan sungai yaitu jumlah seluruh pertemuan sungai di

dalam DAS.

TR = waktu naik (jam)

A = luas DAS (km2)

Perhitungan waktu dasar (TB) dapat diperhitungkan (IMIDAP, 2009):

TB = 27.4132 TR0.1457

S-0.0956

SN0.7344

RUA0.2574

................................. (2.53)

dimana:

TB = waktu dasar (jam)

TR = waktu naik (jam)

S = landai sungai rata-rata

SN = nilai sumber adalah perbandingan antara jumlah segmen sungai-sungai

tingkat 1 dengan jumlah sungai semua tingkat untuk penetapan tingkat

sungai.

RUA = luas DAS sebelah hulu (km2), yaitu perbandingan antara luas DAS yang

diukur di hulu garis yang ditarik tegak lurus garis hubung antara stasiun

hidrometri dengan titik yang paling dekat dengan titik berat DAS (Au),

dengan luas seluruh DAS.

Gambar 2.16. Gambaran sketsa penetapan WF (IMIDAP, 2009).

Page 37: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

46

Gambar 2.17. Gambaran sketsa penetapan RUA (IMIDAP, 2009).

Perhitungan hujan efektif dapat dilakukan dengan menghitung nilai

indeks ɸ yang dipengaruhi terhadap luas daerah tangkapan dapat diperhitungkan

(IMIDAP, 2009):

ɸ = 10.4903 – 3.589.10-6

A2 + 1.6985.10

-13 (A/SN)

4 ......................... (2.54)

dimana:

ɸ = indeks infiltrasi

A = luas DAS (km2)

SN = nilai sumber adalah perbandingan antara jumlah segmen sungai-sungai

tingkat 1 dengan jumlah sungai semua tingkat untuk penetapan tingkat

sungai.

Aliran dasar dapat didekati sebagai fungsi luas daerah tangkapan air dan

kerapatan jaringan sungai yang diperhitungkan sebagai berikut (IMIDAP, 2009):

QB = 0.4751 A0.6444

D0.9430

.......................................................................... (2.55)

dimana:

QB = aliran dasar (m3/detik)

A = luas DAS (km2)

Page 38: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

47

D = kerapatan jaringan sungai (km/km2) yaitu perbandingan jumlah panjang

sungai semua tingkat dibagi dengan luas DAS.

Waktu konsentrasi atau lama hujan terpusat diperhitungkan sebagai

berikut (IMIDAP, 2009):

t = 0.1 L0.9

I-0.3

.............................................................................................. (2.56)

dimana:

t = lama konsentrasi hujan terpusat (jam)

L = panjang sungai (km)

I = kemiringan sungai rata-rata

Faktor tampungan (k) dapat diperhitungkan sebagai berikut (Soedibyo, 1993) :

k = 0.5617A0.1798

S-0.1446

SF-1.0897

D0.0452

................................................ (2.57)

dimana:

k = koefisien tampungan

A = luas DAS (km2)

S = kemiringan sungai rata-rata

SF = faktor sumber yaitu perbandingan antara jumlah panjang sungai tingkat

I dengan panjang semua tingkat

D = kerapatan jaringan sungai (km/km2) yaitu perbandingan jumlah panjang

sungai semua tingkat dibagi dengan luas DAS.

2.10 Debit Andalan

Penghitungan debit andalan dapat dilakukan berdasarkan data debit hasil

pencatatan pos duga muka air dan atau penghitungan data curah hujan. Apabila

tersedia data debit secara lengkap baik dalam satuan waktu harian maupun satuan

waktu bulanan yang tercatat selama setidaknya 10 tahun, maka dapat langsung

dilakukan analisis (IMIDAP, 2009).

Debit andalan adalah debit minimum sungai dengan kemungkinan debit

terpenuhi dalam prosentase tertentu, misalnya 90%, 80% atau nilai prosentase

lainnya. Debit andalan pada umumnya dianalisis sebagai debit rata-rata untuk

periode 10 hari, setengah bulanan atau bulanan. Kemungkinan tak terpenuhi dapat

Page 39: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

48

ditetapkan 20%, 30% atau nilai lainnya untuk menilai tersedianya air berkenaan

dengan kebutuhan (IMIDAP, 2009).

2.10.1. Debit Andalan Berdasarkan Data Curah Hujan

Dalam perencanaan proyek-proyek di bidang teknik sumber daya air

(PLTA, PDAM dan irigasi), biasanya terlebih dahulu harus dicari debit andalan

(depenable discharge). Debit andalan ini diantaranya digunakan sebagai debit

perencanaan yang diharapkan tersedia untuk mengatur distribusi air minum dan

memperkirakan luas daerah irigasi. Namun pengumpulan data debit seringkali

bermasalah karena kondisi lokasi yang tidak memungkinkan sehingga

menyebabkan tidak kontinunya data debit. Dengan menggunakan Metode Mock

diharapkan dapat memprediksi debit yang tidak kontinu tersebut sehingga

memadai untuk menentukan debit andalan (Febrianti, 2009). Perhitungan debit

andalan meliputi :

a. Data curah hujan

Data curah hujan yang dipakai adalah data curah hujan bulanan (Rs) dan data

jumlah hari hujan (n).

b. Evapotranspirasi

Perhitungan evapotranspirasi menggunakan metode Pennman, persamaan

yang digunakan antara lain:

dE/Eto = (m / 20) x (18-n) .................................................................. (2.58)

dE = (m / 20) x (18-n) x Eto

Etl = Eto - dE ........................................................................................... (2.59)

dimana:

dE = selisih Eto dan Etl (mm/hari)

Eto = evapotranspirasi potensial (mm/hari)

Etl = evapotranspirasi terbatas (mm/hari)

m = prosentase tutupan lahan

n = jumlah hari hujan (hari)

c. Keseimbangan air pada permukaan tanah

Page 40: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

49

Persamaan mengenai air hujan yang mencapai permukaan tanah adalah:

S = Rs - Etl .............................................................................................. (2.60)

SMC(n) = SMC(n-1) + IS(n) ............................................................ (2.61)

WS = S - IS ............................................................................................ (2.62)

dimana :

S = kandungan air tanah (mm)

Rs = curah hujan bulanan (mm)

Etl = evapotranspirasi terbatas (mm/hari)

IS = tampungan awal (soil storage)

IS(n) = tampungan awal (soil storage) bulan ke-n (mm)

SMC = kelembaban tanah (soil storage moisture) (mmHg)

SMC(n) = kelembaban tanah (soil storage moisture) bulan ke-n (mmHg)

SMC(n-1) = kelembaban tanah (soil storage moisture) bulan ke-(n-1)

(mmHg)

WS = Water surplus/ volume air berlebih (mm)

d. Limpasan (run off) dan tampungan air tanah

V(n) = k. V(n-1) +0,5.(1+k).I(n) ........................................................... (2.63)

dV(n) = V(n) - V(n-1) ................................................................................. (2.64)

dimana:

V(n) = volume air tanah bulan ke-n (mm)

V(n-1) = volume air tanah bulan ke-(n-1) (mm)

k = faktor resesi aliran air tanah

I = koefisien infiltrasi

e. Aliran sungai

Aliran dasar = Infiltrasi – perubahan volume air dalam tanah

B(n) = I – dV(n) ..................................................................................... (2.65)

Aliran permukaan = Volume air berlebih – Infiltrasi

D(ro) = WS - I....................................................................................... (2.66)

Aliran Sungai = aliran permukaan + aliran dasar

Run off = D(ro) + B(n) ..................................................................... (2.67)

Page 41: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

50

Debit = 𝑨𝒍𝒊𝒓𝒂𝒏 𝒔𝒖𝒏𝒈𝒂𝒊 𝒙 𝒍𝒖𝒂𝒔 𝑫𝑨𝑺

𝒔𝒂𝒕𝒖 𝒃𝒖𝒍𝒂𝒏 (𝒅𝒕𝒌) ......................................................... (2.68)

2.10.2. Debit Andalan Berdasarkan Data Debit

Catatan debit atau hasil analisis empiris akan dianalisis kembali untuk

mendapatkan peluang keandalan yang diperlukan yang dapat dipilih keandalan

lebih besar dari prosentase tertentu yang telah ditetapkan, misalnya 90%, 80%

atau nilai lainnya. Tahap ini dapat menggunakan beberapa metode untuk

menentukan seberapa besar keandalan aliran. Hasil dari tahap ini digunakan nilai

terkecil yang memungkinkan sehingga didapat julat aman debit keandalan

(IMIDAP, 2009). Probabilitas dapat diterapkan dengan persamaan seperti berikut

ini:

a. Metode Basic Year

Dependable flow metode ini didapat dengan cara menyusun data dari nilai

terbesar hingga terkecil kemudian debit yang dimaksud terdapat pada urutan

yang dihitung dengan persamaan:

Q80 = 𝒏

𝟓+ 𝟏 ............................................................................................ (2.69)

b. Metode Flow Characteristic Probabilitas

Metode analisis frekuensi dilakukan dengan cara menyusun data dari besar ke

kecil. kemudian menghitung probabilitasnya dengan persamaan:

Weibul:

P = 𝒎

𝒏+𝟏 x 100% ..................................................................................... (2.70)

California:

P = 𝒎

𝒏 x 100% ........................................................................................ (2.71)

Bernard–Bos Levenbach dan Chegodayev:

P = 𝒎−𝟎,𝟑

𝒏+𝟎,𝟒 x 100% ................................................................................. (2.72)

dimana:

p = probabiltas kejadian (%)

m = nomor urut data

Page 42: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

51

n = jumlah data dalam analisis

c. Metode Distribusi Normal

Perhitungan metode ini menggunakan persamaan:

Q80 = X – (0,842.σ) .............................................................................. (2.73)

x = rata-rata

σ = standar deviasi

2.11 Analisis Kebutuhan Air

Kebutuhan air dibagi menjadi dua yaitu kebutuhan air domestik dan

kebutuhan air non-domestik (Dirjen Cipta Karya, 2007). Kebutuhan air domestik

adalah kebutuhan air yang digunakan pada tempat hunian pribadi guna memenuhi

keperluan sehari-hari sedangkan kebutuhan air non-domestik adalah kebutuhan air

bersih diluar keperluan rumah tangga seperti penggunaan air oleh badan-badan

komersil dan industri, serta untuk penggunaan umum meliputi bangunan-

bangunan pemerintah, rumah sakit, sekolah dan tempat ibadah.

Kebutuhan air untuk kota dapat dibagi dalam beberapa kategori yang

disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 2.9. Standar kebutuhan air perkotaan (Kimpraswil, 2003).

Page 43: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

52

Tabel 2.10. Standar kebutuhan air Non Domestik (Kimpraswil, 2003).

2.11.1. Proyeksi Kebutuhan Air

Proyeksi kebutuhan air bersih dihitung berdasarkan penjumlahan

kebutuhan air domestik dan kebutuhan air non domestik. Proyeksi kebutuhan air

ini ditentukan dengan memperhatikan pertumbuhan penduduk untuk

diproyeksikan terhadap kebutuhan air bersih sampai dengan lima puluh tahun

yang akan datang atau tergantung dari proyeksi yang dikehendaki (Soemarto,

1999).

a. Pertumbuhan Penduduk

Angka pertumbuhan penduduk bisa didapatkan dari dinas-dinas terkait seperti

BPS, angka pertumbuhan penduduk juga dapat dihitung berdasarkan data

jumlah penduduk kawasan tersebut. Persamaan yang digunakan untuk

perhitungan pertumbuhan penduduk adalah:

Angka pertumbuhan (%) = 𝑷𝒆𝒏𝒅𝒖𝒅𝒖𝒌 𝒏 − 𝑷𝒆𝒏𝒅𝒖𝒅𝒖𝒌 (𝒏−𝟏)

𝑷𝒆𝒏𝒅𝒖𝒅𝒖𝒌 (𝒏−𝟏) ........... (2.74)

b. Proyeksi Jumlah Penduduk

Dari angka pertumbuhan penduduk dalam persen dapat digunakan untuk

memproyeksikan jumlah penduduk sesuai dengan jangka waktu yang

diinginkan. Persamaan ataupun metode yang dapat digunakan untuk

memproyeksikan jumlah penduduk adalah sebagai berikut:

Page 44: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

53

Pn = Po + (1 +r )n ..................................................................................... (2.75)

dimana:

Pn = Jumlah penduduk pada tahun ke-n

Po = jumlah penduduk pada awal tahun

R = prosentase pertumbuhan

2.12 Neraca Air

Neraca air (water balance) merupakan neraca masukan dan keluaran air

disuatu tempat pada periode tertentu sehingga dapat untuk mengetahui air tersebut

kelebihan (surplus) ataupun kekurangan (defisit) (http://litbang.deptan.go.id,

2010). Dari neraca air ini dapat diketahui tentang ketersediaan air (water

available) maupun jumlah kebutuhan air (water requirement).

2.13 Penelusuran Banjir (Flood Routing)

Penelusuran banjir atau flood routing digunakan untuk mengetahui

karakteristik banjir, misalnya perkiraan terhadap perilaku sungai setelah terjadi

perubahan dalam palung sungai semisal karena adanya pembangunan bendungan

atau pembuatan tanggul (Soemarto, 1999).

Penelusuran banjir disini dilakukan dengan penelusuran banjir lewat

waduk untuk mengetahui perubahan inflow dan outflow akibat adanya tampungan

(storage). Perhitungan inflow (I) dan outflow (O) pada bendungan dapat

dirumuskan (Soemarto, 1999) :

𝑰𝟏+𝑰𝟐

𝟐 x Δt -

𝑶𝟏+𝑶𝟐

𝟐 x Δt = 𝑺𝟐 − 𝑺𝟏 ....................................................... (2.76)

dimana :

I = Inflow (m3/detik)

O = Outflow (m3/detik)

Δt = periode penelusuran (jam)

S = tampungan bendungan (m3)

Untuk perhitungan debit banjir yang keluar dari pelimpah (spillway)

dapat dihitung dengan persamaan :

Page 45: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

54

Q = 𝟐

𝟑 x Cd x Be x

𝟐

𝟑𝒈 x He

3/2....................................................................... (2.77)

dimana:

Q = debit yang melewati spillway (m3/detik)

Cd = koefisien debit limpasan

Be = lebar efektif spillway (m)

g = percepatan gravitasi (9,81 m2/detik)

He = tinggi energi (m)

Langkah-langkah yang diperlukan untuk analisis flood routing adalah

(Kodoatie dan Sugiyanto, 2000):

a. Menentukan hidrograf inflow sesuai skala perencanaan.

b. Menyiapkan data hubungan elevasi terhadap luas genangan dan volume

tampungan bendungan.

c. Menentukan atau menghitung debit limpasan spillway bendungan pada setiap

ketinggian diatas spillway dan dibuat dalam grafik.

d. Ditentukan kondisi awal waduk (muka air waduk) pada saat di mulai routing,

kondisi paling bahaya.

2.14 Volume Tampungan Bendungan

Volume tampungan bendungan dibagi menjadi tiga bagian yaitu

tampungan bendungan untuk sedimen, tampungan untuk berbagai kebutuhan dan

tampungan bendungan untuk banjir. Tampungan untuk berbagai kebutuhan disini

merupakan tampungan yang disediakan untuk evaporasi, resapan dan kebutuhan

air baku.

2.14.1. Hubungan Elevasi dan Volume Tampungan Bendungan

Perhitungan hubungan antara elevasi dan volume tampungan bendungan

menggunakan metode Average Area dan Modified Prism (Brazilian Electricity

Regulatory Agency, 2000) dengan persamaan:

a. Average Area

Page 46: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

55

V = 𝑨+𝑩

𝟐 x E............................................................................................ (2.78)

dimana:

V = volume bendungan (m3)

A = luas kontur A (m2)

B = luas kontur B (m2)

E = beda elevasi antara permukaan A dan B (m)

Persamaan diatas dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Gambar 2.18. Average Area Method (Brazilian Electricity Regulatory Agency, 2000)

b. Modified Prism

V = (E/3) x ( A + 𝑨.𝑩 + B ) ................................................................... (2.79)

dimana:

V = volume bendungan (m3)

A = luas kontur A (m2)

B = luas kontur B (m2)

E = beda elevasi antara permukaan A dan B (m)

Persamaan diatas dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Page 47: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

56

Gambar 2.19. Modified Prism Method (Brazilian Electricity Regulatory Agency, 2000).

Kemudian dibuat grafik hubungan antara elevasi dan luas genangan serta

grafik hubungan antara elevasi dan volume tampungan bendungan.

2.14.2. Volume Bendungan untuk Kebutuhan Air Baku

Volume kebutuhan untuk air baku diperoleh dari hasil analisis kebutuhan

air baku dengan proyeksi kebutuhan 50 tahun ataupun 100 tahun mendatang

sesuai dengan skala perencanaan.

2.14.3. Volume Kehilangan Air pada Bendungan Akibat Evaporasi

Besarnya volume air yang hilang karena penguapan pada permukaan

bendungan dapat dirumuskan sebagai berikut:

Ve = Ea x S x A x d ..................................................................................... (2.80)

dimana:

Ve = volume untuk penguapan tampungan bendungan (m3)

Ea = evaporasi dari hasil perhitungan (mm/hari)

S = penyinaran matahari hasil pengamatan (%)

A = luas permukaan tampungan bendungan

d = jumlah hari

Page 48: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

57

Sedangkan besarnya evaporasi dihitung dengan persamaan empiris

Penmann sebagai berikut (Gunadarma, 1997):

Ea = 0.35(ea-ed)(1+0.01V) .............................................................................. (2.81)

dimana:

Ea = Evaporasi dari hasil perhitungan (mm/hari)

ea = tekanan uap jenuh pada suhu rata-rata harian (mmHg)

ed = tekanan uap sebenarnya (mmHg)

V = kecepatan angin pada ketinggian 2 m diatas permukaan tanah (mile/hari)

2.14.4. Volume Resapan Bendungan

Volume resapan bendungan ditentukan oleh jenis tanah dasar dimana

lokasi bendungan atau waduk tersebut dibangun. Besarnya resapan atau infiltrasi

dari berbagai macam jenis tanah dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.11. Ukuran butiran dan koefisien filtrasi bahan (Sosrodarsono, 1977).

Page 49: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

58

2.14.5. Volume untuk Sedimen

Volume yang disediakan untuk sedimen pada bendungan dapat

diperkirakan dengan pendekatan laju erosi tanah yang terjadi pada DAS. Besarnya

volume ini juga dipengaruhi oleh jenis tanah yang terdapat pada daerah tersebut.

Besarnya laju erosi dari beberapa jenis tanah disajikan dalam tabel dibawah ini:

Tabel 2.12. Laju erosi dari berbagai kondisis tanah (Suripin, 2002).

2.15 Bendungan

Bendungan adalah bangunan melintang sungai yang berfungsi untuk

membelokan dan atau menampung air (KP-02, 1986). Berdasarkan ukurannya

bendungan dapat dibedakan menjadi dua yaitu (ICOLD) bendungan besar dan

bendungan kecil.

Page 50: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

59

a. Bendungan besar (Large Dam) adalah bendungan dengan tinggi lebih dari 15

meter. Dengan kriteria tambahan (Tinggi 10-15 meter), bendungan besar

memiliki panjang puncak bendungan tidak kurang dari 500 meter, kapasitas

tampungannya tidak kurang dari 1.000.000 m3, debit banjir maksimum yang

diperhitungkan tidak kurang dari 2000 m3/detik serta tidak didesain seperti

biasanya.

b. Bendungan kecil (Small Dam) yaitu semua bendungan yang tidak memenuhi

syarat bendungan besar.

2.15.1. Lokasi Bendungan

Sebenarnya tidaklah mungkin untuk mendapatkan suatu letak waduk atau

bendungan yang sepenuhnya memiliki ciri-ciri ideal (Linsley, 1985). Namun

demikian ada beberapa aturan umum untuk pemilihan kedudukan waduk atau

bendungan adalah:

a. Harus ada tempat yang cocok untuk kedudukan bendungan. Harga bendungan

seringkali merupakan faktor yang menentukan dalam pemilihan kedudukan.

b. Harga pembebasan lahan untuk waduk tidak boleh terlalu mahal.

c. Kedudukan waduk harus memiliki kapasitas yang cukup.

d. Waduk yang dalam lebih baik daripada waduk yang dangkal karena harga

lahan per satuan kapasitasnya lebih rendah, lebih sedikit penguapan dan lebih

sedikit ditumbuhi gulma air.

e. Daerah-daerah anak sungai yang luar biasa produktifnya dalam menghasilkan

sedimen sedapat mungkin dihindari.

f. Mutu air yang ditampung haruslah memenuhi tujuan dari pemanfaatannya.

g. Tebing waduk dan lereng-lereng yang berdekatan haruslah stabil. Tebing

yang kurang stabil akan memberikan banyak bahan tanah kepada waduk.

2.15.2. Jenis dan Tipe Bendungan

Bendungan atau bendungan kecil dapat diklasifikasikan dalam berbagai

jenis kategori tergantung daripada tujuan dan sudut pandang manakah klasifikasi

Page 51: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

60

dipandang (Oehadijono, 1978). Ada tiga klasifikasi dipandang dari sudut

kegunaannya, perencanaan hidrolis dan material penyusunnya.

2.15.2.1 Klasifikasi Berdasarkan Kegunaan

Berdasarkan kegunaannya bendungan dapat dikelompokan lagi menjadi

luasnya fungsi yang direncanakan seperti: penampung air, pengelak atau pelimpah

air dan sebagai penahan air. Penyempurnaan klasifikasi itu dapat juga

dilaksanakan dengan menentukan fungsi-fungsi yang bersifat khusus.

a. Bendungan penampung air dipergunakan untuk menyimpan air dalam masa-

masa surplus yang nantinya akan dipergunakan dalam masa-masa kekurangan

air. Masa-masa yang sedemikian ini dapat berdifat musiman, tahunan ataupun

bersifat jangka panjang. Banyak pula bendungan-bendungan kecil yang

menyimpan air pada musim semi dan nantinya air tersebut dapat

dipergunakan pada musim panas, atau menyimpan air pada musim penghujan

dan dipergunakan pada musim kemarau.

b. Bendungan pengelak (Diversion Dam) berfungsi untuk meninggikan muka

air, biasanya dibangun untuk keperluan mengalirkan air kedalam saluran-

saluran, kanal-kanal ataupun dengan sistem aliran lain menuju ketempat-

tempat yang memerlukannya. Bendungan-bendungan ini dipergunakan untuk

maksud pengembangan irigasi, dan sebagai pembelokan dari arus sungai

melalui terusan-terusan kemudian tersebar untuk memenuhi kebutuhan air

minum, untuk keperluan industri dan juga untuk tujuan kombinasi dari kedua

maksud tadi.

c. Bendungan penahan (Detention Dam) dibuat untuk memperlambat serta

mengusahakan seminimal mungkin terhadap efek aliran banjir yang

mendadak.

2.15.2.2 Klasifikasi Berdasarkan Perencanaan Hidrolis

Berdasarkan perencanaan hidroslisnya bendungan-bendungan dapat

diklasifikasikan sebagai bendungan over flow dan non-over flow. Bendungan-

bendungan over flow (pelimpah) dimaksudkan untuk mengalirkan air melalui

Page 52: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

61

puncak (crest)-nya. Bendungan yang semacam ini haruslah dibuat dari bahan-

bahan yang tidak dapat terkikis oleh pelimpahan air seperti beton, pasangan batu

(masonry), baja serta kayu, sebaliknya bendungan non-over flow adalah

bendungan yang dibuat untuk tidak dilimpasi air.

Gambar 2.20. Overflow dam (Chief Joseph Dam) (US. Army Corps Engineer, 1990).

2.15.2.3 Klasifikasi Berdasarkan Material Penyusun

Klasifikasi ini biasanya dipakai untuk tujuan-tujuan diskusi prosedur-

prosedur perencanaan, selain berdasarkan atas bahan yang diperlukannya tetapi

juga meliputi konstruksinya. Bendungan tipe ini meliputi bendungan urugan tanah

(earth fill dam), bendungan batu (rock fill dam), dan bendungan beton (concrete

gravity dam).

Bendungan Urugan Tanah (Earth Fill Dam) Bendungan tanah ini adalah

tipe bendungan yang paling umum, terutama disebabkan karena konstruksinya,

termasuk juga material yang biasa serta tidak banyak memerlukan pengolahan.

Tambahan pula bagi syarat-syarat pondasi bendungan urugan tanah tidaklah

begitu keras dibandingkan syarat pondasi bentuk bendungan-bendungan lain.

Kelemahan dari bendungan ini adalah erosi akibat gerusan air apabila tidak

Page 53: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

62

disediakan spillway yang cukup mampu. Oleh karena itu, untuk melindungi lereng

bagian upstream digunakan konstruksi rip-rap untuk menghindari rusaknya lereng

bendungan.

Gambar 2.21. Earth Fill Dam (US Army Corps Engineer, 1990).

Bendungan Batu (Rock Fill Dam) selain menggunakan batu dari segala

bentuk dan ukuran untuk memberikan stabilitas, juga memakai sebuah membran

(selaput semacam kulit) atau inti kedap air yang tidak akan dipengaruhi oleh

rembesan air. Membran ini hendaklah diposisikan menghadap upstream dan tidak

mengandung unsur tanah ataupun lempung. Materinya seperti beton, batu,

concrete slab, trotoir, beton aspal, baja dan usaha-usaha yang sejenis. Kaki seluruh

Page 54: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

63

membran hendaknya disangga oleh suatu cut off wall yang memadai sehingga

didapatkan suatu kestabilan.

Gambar 2.22. Rock fill Dam (Pranoto, 2008).

Gaya berat pada bendungan beton (Concrete Gravity Dam) harus

disesuaikan pada kondisi lapangan, dimana pada tempat itu terdapat pondasi

batuan yang cukup baik. Meskipun bangunan-bangunan yang rendah dapat

didirikan diatas pondasi aluvial, namun haruslah dilengkapi dengan cut off yang

memadai. Gaya berat beton hendaknya disesuaikan dengan maksud dan

tujuannya, yakni sebagai crest pelimpah air, dan karena justu disinilah letak

kebaikannya seringkali dipergunakan, yaitu suatu bendung yang terdiri dari

sebagian earth fill atau rock fill dan sebagian lagi concrete gravity digunakan

sebagai pelimpah.

Page 55: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

64

Gambar 2.23. Concrete Dam (Shimajigawa Dam) (Pranoto, 2008).

2.15.3. Perencanaan Tubuh Bendungan

Perencanaan tubuh bendungan meliputi beberapa hal, diantaranya

sebagai berikut:

2.15.3.1 Pemilihan Tipe Bendungan

Secara umum bendungan tipe urugan dibagi menjadi tiga yaitu

(Sosrodarsono dan Takeda, 1977) , bendungan homogen, bendungan zonal dan

bendungan sekat.

a. Bendungan Homogen

Apabila daerah disekitar tempat kedudukan suatu calon bendungan terdapat

hanya bahan-bahan yang kedap air, semi-kedap air atau bahan lempungan.

Sedang bahan-bahan pasir dan kerikil tidak dapat diperoleh dalam jumlah

yang memadai. Maka bendungan homogen akan merupakan alternatif yang

memungkinkan.

b. Bendungan Zonal

Apabila selain bahan-bahan yang kedap air disekitar tempat kedudukan calon

bendungan, diketemukan juga bahan-bahan lain yang semi kedap air, lulus

Page 56: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

65

air, atau bahkan bahan-bahan campuran, maka bendungan zonal mungkin

akan merupakan alternatif yang paling ekonomis dengan menggunakan lebih

dari dua jenis bahan.

c. Bendungan Sekat

Apabila di daerah sekitar tempat kedudukan calon bendungan terdapat bahan-

bahan lulus air yang berlimpah-limpah tetapi langka akan bahan-bahan kedap

air, maka bendungan sekat biasanya merupakan alternatif yang paling

memungkinkan. Untuk bahan sekat biasanya digunakan lembaran beton

bertulang, lembaran-lembaran baja, karet dan lain-lain, terutama untuk

bendungan-bendungan yang rendah atau untuk daerah-daerah gempa yang

aktif.

Gambar 2.24. Tipe tubuh bendungan (Sosrodarsono dan Takeda, 1977).

2.15.3.2 Tinggi Bendungan

Tinggi bendungan adalah perbedaan antara elevasi permukaan pondasi

dan mercu bendungan. Permukaan pondasi adalah dasar dinding kedap air atau

dasar pada zone kedap air. Apabila pada bendungan tidak terdapat dinding kedap

Page 57: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

66

air, maka yang dianggap permukaan pondasi adalah garis perpotongan antara

bidang vertikal yang melalui tepi hulu mercu bendungan dengan permukaan

pondasi alas bendungan tersebut.

Gambar 2.25. Sketsa bagian-bagian tubuh bendungan (Sosrodarsono dan Takeda, 1977).

Gambar 2.26. Sketsa penentuan tinggi bendungan (Sosrodarsono dan Takeda, 1977).

2.15.3.3 Tinggi Jagaan

Tinggi jagaan bendungan urugan tanah didasarkan pada standard yang

didasarkan pada tinggi bendungan adalah sebagai berikut (Sosrodarsono dan

Takeda, 1977):

Page 58: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

67

Tabel 2.13. Kriteria standard tinggi jagaan berdasarkan tinggi bendungan (Sosrodarsono dan

Takeda, 1977).

2.15.3.4 Lebar Mercu Bendungan

Lebar mercu bendungan yang memadai diperlukan agar puncak

bendungan dapat bertahan terhadap hempasan ombak diatas permukaan lereng

yang berdekatan dengan mercu tersebut dan dapat bertahan terhadap aliran filtrasi

yang melalui bagian puncak tubuh bendungan yang bersangkutan. Guna

memperoleh lebar minimum mercu bendungan (b), biasanya dihitung dengan

persamaan sebagai berikut (Sosrodarsono dan Takeda, 1977):

b = 3,6 H1/3

– 3,0 .............................................................................................. (2.82)

dimana:

b = lebar mercu

H = Tinggi bendungan

2.15.3.5 Kemiringan Lereng Bendungan

Kemiringan lereng bendungan harus ditentukan sedemikian rupa

sehingga stabil terhadap longsoran, kemiringan lereng ini ditentukan oleh material

penyusun dan jenis urugan pada tubuh bendungan sehingga beberapa kriteriannya

dapat disajikan pada tabel di bawah:

Page 59: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

68

Tabel 2.14. Kemiringan lereng urugan (Pedoman Kriteria Desain Bendungan , 1994).

2.15.3.6 Panjang Bendungan

Yang dimaksud dengan panjang bendungan adalah seluruh panjang

mercu bendungan yang bersangkutan, termasuk bagian yang digali pada tebing-

tebing sungai di kedua ujung mercu tersebut.

2.15.3.7 Penimbunan Ekstra

Sehubungan dengan terjadinya gejala konsolidasi tubuh bendungan, yang

prosesnya berjalan lama sesudah pembangunan bendungan tersebut diadakan

penimbunan ekstra melebihi tinggi dan volume rencana dengan perhitungan agar

sesudah proses konsolidasinya berakhir, maka penurunan tinggi dan penyusutan

volume akan mendekati tinggi dan volume rencana bangunan.

2.15.4. Pondasi Bendungan

Pondasi suatu bendungan harus memenuhi 3 (tiga) persyaratan

terpenting yaitu (Sosrodarsono dan Takeda, 1977):

a. Mempunyai daya dukung yang mampu menahan bahan dari tubuh bendungan

dalam bebagai kondisi.

b. Mempunyai kemampuan penghambat aliran filtrasi yang memadai, sesuai

dengan fungsinya sebagai penahan air.

Page 60: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

69

c. Mempunyai ketahanan terhadap gejala-gejala sufosi (piping) dan sembulan

(boiling) yang disebabkan oleh aliran filtrasi yang melalui lapisan-lapisan

pondasi tersebut.

Sesuai dengan jenis batuan yang membentuk lapisan pondasi, maka

secara umum pondasi bendungan dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu:

a. Pondasi batuan (Rock Foundation).

b. Pondasi pasir atau kerikil.

c. Pondasi tanah.

2.15.4.1 Daya Dukung Tanah

Daya dukung tanah adalah kemampuan tanah untuk menahan tekanan

atau beban bangunan pada tanah dengan aman tanpa menimbulkan keruntuhan

geser dan penurunan berlebihan. Daya dukung yang aman terhadap keruntuhan

tidak berarti bahwa penurunan fondasi akan berada dalam batas-batas yang

diizinkan. Oleh karena itu, analisis penurunan harus dilakukan karena umumnya

bangunan peka terhadap penurunan yang berlebihan (Pd T-02-2005-A, 2005).

2.15.4.2 Daya Dukung Batas

Daya dukung batas (ultimate bearing capacity = qu) adalah kemampuan

daya dukung rata-rata (beban per satuan luas), yang diperlukan untuk

menimbulkan keruntuhan pada tanah atau peretakan (rupture) pada massa batuan

pendukung (Pd T-02-2005-A, 2005). Besarnya daya dukung batas ditentukan oleh

beberapa faktor antara lain:

a. Kekuatan geser tanah yaitu kohesi (C) dan sudut geser dalam (φ).

b. Berat isi tanah (γ).

c. Kedalaman pondasi dari permukaan tanah (D).

d. Lebar pondasi (B).

Besarnya daya dukung ijin tanah dapat dihitung dengan persamaan:

qa = 𝒒𝒖𝒍𝒕

𝑭𝑲 ........................................................................................................... (2.83)

dimana:

Page 61: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

70

qa = daya dukung ijin (ton/m3)

FK = faktor Keamanan

Tabel 2.15. Nilai faktor keamanan minimum (Pd T-02-2005-A, 2005)

Nilai-nilai faktor keamanan (FK) pada Tabel 2.15 umumnya bersifat

konservatif dan membatasi besarnya penurunan yang dapat diterima, walaupun

kemungkinan kurang ekonomis. Nilai FK yang dipilih untuk analisis desain

bergantung pada karakteristik tanah dasar dan tingkat ketelitian hasil penyelidikan

geoteknik. Untuk penyelidikan tanah yang cukup lengkap, dapat digunakan nilai

FK yang lebih kecil.

Dalam melakukan analisis daya dukung batas (qu), tanah di bawah

fondasi sepanjang bidang geser kritis dianggap telah mencapai keruntuhan batas

dan dihitung dengan persamaan umum Terzaghi (Gunaratne, 2006):

qult = c x Nc + γsat x D x Nq + 0.5B x γsub x Nγ ................................................. (2.84)

dimana:

qult = Kapasitas daya dukung maksimum (ton/m3)

D = Kedalaman Pondasi (m)

B = Dimensi pondasi (m)

C = kohesi tanah (ton/m2)

γsat = Berat isi tanah jenuh (ton/m3)

Page 62: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

71

γsub = Berat isi tanah terendam (ton/m3)

Nc,Nq,Nγ = Kapasitas daya dukung Terzaghi

Tabel 2.16. Hubungan φ dengan Nc, Nq, Nγ pada persamaan terzaghi (Gunaratne,

2006).

2.15.5. Gaya-gaya yang Bekerja pada Bendungan Tipe Urugan

Beban atau gaya-gaya utama yang bekerja pada sebuah bendungan

urugan yang akan mempengaruhi stabilitas tubuh bendungan dan pondasi dari

bendungan tersebut meliputi (Sosrodarsono dan Takeda, 1977).

2.15.5.1 Beban Berat Tubuh Bendungan

Untuk mengetahui besarnya beban berat tubuh bendungan, maka diambil

beberapa kondisi-kondisi yang paling tidak menguntungkan yaitu:

a. Pada kondisi lembab segera sesudah tubuh bendungan selesai dibangun.

b. Pada kondisi sesudah permukaan air waduk mencapai elevasi penuh, dimana

bagian bendungan yang terletak di sebelah atas garis depresi dalam kondisi

Page 63: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

72

lembab, sedangkan bagian tubuh bendungan yang terletak di bagian bawah

garis depresi dalam keadaan jenuh.

c. Pada kondisi dimana terjadi gejala penurunan mendadak permukaan air

waduk, sehingga semua bagian bendungan yang semula terletak disebelah

bawah garis depresi tetap dianggap jenuh.

Gambar 2.27. Berat beban yang terletak di bawah garis depresi (Sosrodarsono dan Takeda,

1977).

2.15.5.2 Beban Hidrostatis

Secara skematis gaya-gaya yang bekerja pada bendungan urugan dapat

diperiksa pada Gambar 2.27. Pada perhitungan stabilitas tubuh bendungan dengan

metode irisan, biasanya beban hidrostatis yang bekerja pada lereng udik

bendungan dapat digambarkan dalam tiga pembebanan. Pemilihan cara

pembebanan yang paling cocok untuk suatu perhitungan, harus disesuaikan

dengan pola semua gaya-gaya yang bekerja pada tubuh bendungan, yang akan

diikutsertakan dalam perhitungan.

Page 64: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

73

Gambar 2.28. Skema pembebanan gaya hidrostatis (Sosrodarsono dan Takeda, 1977).

2.15.5.3 Tekanan Air Pori

Gaya-gaya yang timbul dari tekanan air pori dianggap bekerja tegak lurus

terhadap lingkaran bidang luncur.

Kondisi yang paling tidak menguntungkan dari gaya-gaya tersebut yang

perlu diikut sertakan dalam perhitungan stabilitas tubuh bendung adalah:

a. Gaya-gaya yang timbul dari tekanan air pori dalam kondisi tubuh bendungan

sedang dibangun.

b. Gaya-gaya yang timbul dari tekanan air pori dalam keadaan waduk telah terisi

penuh dan permukaan air sedang menurunsecara berangsur-angsur.

c. Gaya-gaya yang timbul dari tekanan air pori dalam keadaan terjadinya

penurunan mendadak permukaan air waduk hingga mencapai permukaan

terendah, sehingga besarnya tekanan air pori dalam tubuh bendungan masih

dalam kondisi seperti waduk terisi penuh.

Page 65: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

74

2.15.5.4 Beban Seismis

Beban seismis akan timbul pada saat terjadinya gempa bumi, akan tetapi

berhubung banyaknya faktor-faktor yang berpengaruh pada beban seismik

tersebut, maka sangatlah sukar memperoleh kapasitas beban seismis secara tepat

pada saat timbulnya gempa bumi.

Faktor-faktor yang terpenting yang menentukan besarnya beban seimis

pada sebuah bendungan urugan adalah:

a. Karakteristik lamanya dan kekuatan gempa yang terjadi.

b. Karakteristik dari pondasi bendungan.

c. Karakteristik bahan pembentuk tubuh bendungan.

d. Tipe bendungan.

Tabel 2.17. Percepatan puncak batuan dasar wilayah gempa Indonesia (SNI-1726-2002, 2002).

Page 66: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

75

Gambar 2.29. Pembagian wilayah gempa Indonesia (SNI-1726-2002, 2002).

Tabel 2.18. Kecepatan rambat gelombang geser pada berbagai jenis tanah (SNI-1726-2002,

2002).

Page 67: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

76

Tabel 2.19. Jenis tanah berdasarkan kecepatan rambat gelombang gempa (Kumar, 2008).

Tabel 2.20. Percepatan puncak gempa efektif (m/detik2) (Kumar, 2008).

2.15.6. Stabilitas Lereng Bendungan Terhadap Longsor

Jebolnya suatu bendungan urugan, biasanya dimulai dengan terjadinya

suatu gejala longsoran baik pada lereng udik maupun lereng hilir bendungan

tersebut, yang disebabkan kurang memadainya stabilitas kedua lereng tersebut.

Dengan demikian dalam perencanaan suatu bendungan, maka faktor-

faktor yang diperkirakan akan berpengaruh terhadap stabilitas lereng-lereng

bendungan tersebut supaya diketahui semuanya demikian pula dimensinya,

arahnya, serta karakteristik lainnya dan dalam perhitungan supaya diambil suatu

kombinasi pembebanan yang paling tidak menguntungkan. Biasanya konstruksi

tubuh bendungan direncanakan pada tingkat stabilitas dengan faktor keamanan 1,2

atau lebih, sebagai syarat untuk dapat diizinkan pembangunannnya. Kondisi yang

paling tidak menguntungkan dari bendungan urugan adalah (Sosrodarsono dan

Takeda, 1977):

Page 68: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

77

a. Waduk dalam kondisi penuh dan aliran air filtrasi dalam tubuh bendungan

bersifat laminer.

b. Dalam tubuh bendungan dianggap masih terdapat tekanan air pori yang

timbul pada saat segera sesudah bendungan dibangun.

c. Waduk dalam keadaan terisi setengah dan aliran air filtrasi dalam tubuh

bendungan bersifat laminer.

d. Dalam keadaan permukaan air waduk berfluktuasi dengan intensitas yang

besar, tetapi dengan periode yang pendek. Demikian pula saat terjadinya

gejala penurunan mendadak permukaan air waduk dari elevasi permukaan

penuh menjadi elevasi permukaan terendah.

e. Pada bendungan yang relatif kecil biasanya terjadi kenaikan-kenaikan

permukaan waduk yang melebihi elevasi permukaan penuhnya, maka

diperlukan pemeriksaan stabilitas tubuh bendungan pada saat permukaan air

waduk mencapai elevasi tertinggi tersebut.

f. Walaupun elevasi permukaan direncanakan dalam keadaan konstan, tetapi

diperlukan pemeriksaan jika penurunan mendadak dapat juga terjadi dari

elevasi permukaan tersebut sampai dengan elevasi permukaan terendah.

g. Pada bendungan urugan dengan zone-zone kedap air yang relatif tebal, sisa

tekanan air pori yang timbul pada saat dilaksanakannya penimbunan

terkombinasi dengan tekanan hidrostatis dari air dalam waduk yang

pengisiannya dilakukan dengan cepat.

h. Pada bendungan urugan yang waduknya direncanakan untuk menampung

banjir besar abnormal, maka stabilitas bendungan perlu diperiksa pada elevasi

muka air tertinggi guna menampung volume banjir abnormal tersebut.

Perhitungan stabilitas lereng bendungan biasanya dilakukan dengan

metode irisan bidang luncur bundar (Sosrodarsono dan Takeda, 1977). Andaikan

bidang luncur bundar dibagi menjadi beberapa irisan vertikal, maka faktor

keamanan dari kemungkinan terjadinya longsoran dapat diperoleh dengan

menggunakan persamaan keseimbangan berikut:

FS = 𝑪 .𝒍+ 𝑵−𝑼−𝑵𝒆 𝒕𝒂𝒏 ɸ

𝑻+𝑻𝒆 ..................................................................... (2.85)

Page 69: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

78

FS = 𝑪 .𝒍+ 𝜸 .𝑨 𝒄𝒐𝒔𝜶−𝒆.𝒔𝒊𝒏 𝜶 −𝑽 𝒕𝒂𝒏 ɸ

𝜸 .𝑨 𝒔𝒊𝒏 𝜶+𝒆.𝒄𝒐𝒔𝜶 ............................................... (2.86)

dimana:

Fs = faktor keamanan

N = beban komponen vertikal yang timbul dari berat setiap irisan bidang luncur

(= γ. A.cos α)

T = beban komponen tangensial yang timbul dari setiap irisan bidang luncur (=

γ. A.sin α)

U = tekanan air pori yang bekerja pada setiap irisan bidang luncur

Ne = komponen vertikal beban seismis yang bekerja pada setiap irisan bidang

luncur (= e. γ. A.sin α)

Te = komponen seismis beban tangensial beban seismis yang bekerja pada

setiap irisan bidang luncurnya (= e.γ. A.cos α)

ɸ = sudut gesekan dalam bahan yang membentuk dasar tiap irisan bidang

luncur.

C = angka kohesi bahan yang membentuk dasar tiap irisan bidang luncur.

Z = lebar setiap irisan bidang luncur.

e = intensitas seismis horisontal.

γ = berat isi dari setiap bahan pembentuk irisan bidang luncur.

A = luas dari setiap bahan pembentuk irisan bidang luncur.

α = sudut kemiringan rata-rata dasar setiap irisan bidang luncur.

V = tekanan air pori.

Page 70: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

79

Tabel 2.21. Hubungan SF (FK) untuk berbagai kondisi (RSNI M-03-2002, 2002).

Untuk karakteristik lebih jelas mengenai persamaan diatas maka dapat

dijelaskan pada gambar berikut:

Gambar 2.30. Cara menentukan harga N dan T (Sosrodarsono dan Takeda, 1977).

Page 71: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

80

Prosedur perhitungan metode irisan bidang luncur bundar dilakukan

dengan urutan sebagai berikut:

a. Andaikan bidang luncur bundar dibagi menjadi beberapa irisan vertikal dan

walaupun bukan merupakan persyaratan yang mutlak, biasanya setiap irisan

lebarnya dibuat sama. Disarankan agar irisan bidang luncur tersebut dapat

melintasi perbatasan dari dua buah zona penimbunan atau supaya memotong

garis depresi aliran filtrasi. Berhubung karena perhitungan dilakukan pada

sistem dua dimensi, maka potongan melintang bendungan yang akan

dianalisa dianggap memiliki satuan yang sama dengan satuan dalam

perhitungan.

b. Berat irisan (W), dihitung berdasarkan hasil perkalian antara luasan irisan (A)

dengan berat isi bahan pembentuk irisan (γ), jadi W= A. γ.

c. Beban berat komponen vertikal yang bekerja pada dasar irisan (N) dapat

dapat diperoleh dari hasil perkalian antara berat irisan (W) dengan cosinus

sudut rata-rata tumpuan (α) pada dasar irisan yang bersangkutan jadi: N= W.

cos α.

d. Beban dari tekanan hidrostatis yang bekerja pada dasar irisan (U) dapat

diperoleh dari hasil perkalian antara panjang dasar irisan (b) dengan tekanan

air rata-rata (U/cos α) pada dasar irisan tersebut, jadi U = U.b/ cos α.

e. Beban berat dari komponen tangensial (T) diperoleh dari hasil perkalian

antara berat irisan (W) dengan sinus sudut-sudut rata-rata tumpuan dasar

irisan tersebut, jadi T = W sin α.

f. Kekuatan tahanan kohesi terhadap gejala peluncuran (C), diperoleh dari hasil

perkalian antara angka kohesi bahan (c’) dengan panjang dasar irisan (b)

dibagi dengan cos α, jadi C = c’ .b/cos α.

g. Kekuatan tahanan geseran terhadap gejala peluncuran irisan adalah kekuatan

tahanan geser yang terjadi pada saat irisan akan meluncur meninggalkan

tumpuannya.

h. Dengan cara menjumlahkan semua ketentuan-ketentuan yang menahan (T)

dan gaya-gaya pendorong (S) dari setiap irisan bidang luncur, dimana (T) dan

(S) dari masing-masing irisan dapat dinyatakan berturut-turut sebagai berikut:

Page 72: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

81

T = W sin α dan S = C+(N-U) tanɸ, sesuai dengan skema yang tertera pada

Gambar 2.30.

i. Faktor keamanan dari bidang luncur yang bersangkutan adalah perbandingan

antara jumlah semua kekuatan pendorong dan jumlah semua kekuatan

penahan yang bekerja pada bidang luncur tersebut, seperti pada persamaan

berikut:

FS = 𝑺

𝑻=

𝑪+ 𝑵−𝑼 𝒕𝒂𝒏 ɸ

𝒔𝒊𝒏 𝜶 ................................................................ (2.87)

dimana:

Fs = Faktor keamanan

ΣS = jumlah gaya pendorong

ΣT = jumlah gaya penahan

Page 73: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

82

Gambar 2.31. Skema perhitungan dengan metode irisan bidang luncur bundar (Sosrodarsono dan

Takeda, 1977).

Penentuan sudut kritis dari kelongsoran lereng dapat diperoleh

menggunakan metode yang dikembangkan oleh Fellenius, seperti Gambar 2.32

dan Tabel 2.22 di bawah ini:

Page 74: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

83

Gambar 2.32. Skema penentuan sudut kritis kelongsoran lereng (Solution Problems in Soil

Mechanics, 1986).

Tabel 2.22. Parameter-parameter sudut yang digunakan pada penentuan lingkaran kritis oleh

Fellenius (Solution Problems in Soil Mechanics, 1986).

2.15.7. Stabilitas Bendungan Terhadap Aliran Filtrasi

Baik tubuh bendungan maupun pondasinya diharuskan mampu

mempertahankan diri terhadap gaya-gaya yang ditimbulkan oleh adanya air filtrasi

Page 75: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

84

yang mengalir antara celah-celah butiran tanah pembentuk tubuh bendungan dan

pondasi tersebut (Sosrodarsono dan Takeda, 1977). Untuk mengetahui

kemampuan daya tahan tubuh bendungan dan pondasinya terhadap gaya-gaya

tersebut diatas, maka diperlukan penelitian-penelitian pada hal-hal sebagai

berikut:

a. Formasi garis depresi (seepage line formation) dalam tubuh bendungan

dengan elevasi tertentu permukaan air dalam waduk yang direncanakan.

b. Kapasitas air filtrasi yang mengalir melalui tubuh bendungan dan pondasinya.

c. Kemungkinan terjadinya gejala sufosi (piping) yang disebabkan oleh gaya-

gaya hidrodinamis dalam aliran air filtrasi.

2.15.7.1 Formasi Garis Depresi

Formasi garis depresi pada zona kedap air suatu bendungan dapat

diperoleh dengan metode Casagrande. Apabila angka permeabilitas vertikalnya

(kv) berbeda dengan angka permeabilitas horisontalnya (kh), maka akan terjadi

deformasi garis depresi dengan mengurangi koordinat horisontalnya sebesar

𝑘𝑣/𝑘ℎ kali. Pada gambar dibawah ini, ujung tumit bendungan dianggap sebagai

titik permulaan koordinat dengan sumbu x dan y, maka garis depresi dapat

diperoleh dengan persamaan parabola bentuk dasar sebagai berikut:

Gambar 2.33. Garis depresi pada bendungan homogen (Sosrodarsono dan Takeda, 1977).

X = 𝒚𝟐− 𝒚𝟎

𝟐

𝟐𝒚𝟎

y = 𝟐𝒚𝒐𝒙 + 𝒚𝒐𝟐 ......................................................................................... (2.88)

Page 76: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

85

y = 𝒉𝟐 + 𝒅𝟐 - d ......................................................................................... (2.89)

dimana:

h = jarak vertikal antara titik-titik A dan B

d = jarak horisontal antara titik B2 dan A

l1 = jarak horisontal antara titik B dan E

l2 = jarak horisontal antara titik-titik B dan A

A = ujumg tumit hilir bendungan

B = titik perpotongan antara permukaan air waduk dan lereng udik bendungan

A1 = titik pepotongan antara parabola bentuk besar garis depresi dengan garis

vertikal melalui titik B

B2 = titik yang terletak sejauh 0,3 l1, horisontal ke arah udik dari titik B

Akan tetapi garis parabola bentuk besar (B2-C0-A0) diperoleh dari

persamaan tersebut, bukanlah garis depresi yang sesungguhnya, masih diperlukan

penyesuaian-penyesuaian menjadi garis B-C-A yang merupakan bentuk garis

depresi yang sesungguhnya seperti pada gambar berikut:

Gambar 2.34. Garis depresi pada bendungan homogen sesuai dengan garis parabola yang

mengalami modifikasi (Sosrodarsono dan Takeda, 1977).

Pada titik permulaan, garis depresi berpotongan tegak lurus dengan

lereng udik bendungan dan demikian dengan titik C0 dipindahkan ketuitik C

sepanjang Δa.

Panjang garis Δa tergantung dari kemiringan lereng hilir bendungan,

dimana air filtrasi tersembul keluar yang dapat dihitung dengan persamaan:

Page 77: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

86

a + Δa =𝒚𝒐

𝟏−𝒄𝒐𝒔𝜶 ............................................................................................ (2.90)

dimana:

a = jarak 𝐴𝐶

Δa = jarak 𝐶𝑜 𝐶

α = sudut kemiringan lereng hilir bendungan.

Apabila kemiringan sudut lereng hilir bendungan lebih kecil dari 30o,

maka harga a dapat diperoleh dengan persamaan sebagai berikut:

a =𝒅

𝒄𝒐𝒔𝜶 -

𝒅

𝒄𝒐𝒔 𝜶 𝟐−

𝒉

𝒔𝒊𝒏 𝜶 𝟐

.......................................................... (2.91)

Selain dari persamaan diatas maka harga a dapat diperoleh berdasarkan

nilai α dengan bidang singgungnya yaitu sebagai berikut:

Gambar 2.35. Cara memperoleh harga a sesuai dengan sudut bidang singgungnya (α)

(Sosrodarsono dan Takeda, 1977).

Page 78: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

87

Gambar 2.36. Hubungan antara sudut bidang singgung dengan 𝛥𝑎

𝑎+𝛥𝑎 (Sosrodarsono dan Takeda,

1977).

Gambar 2.37. Skema formasi garis depresi pada bendungan homogen yang dilengkapi dengan

sistem drainase alas (Sosrodarsono dan Takeda, 1977).

Page 79: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

88

Gambar 2.38. Skema konstruksi drainage foot pada bendungan homogen ((Sosrodarsono dan

Takeda, 1977).

2.15.7.2 Jaringan Trayektori Aliran Filtrasi

Berbagai metode telah dikembangkan untuk membuat jaringan trayektori

aliran filtrasi pada bendungan urugan dan metode yang paling sesuai dan

sederhana adalah metode grafis yang diperkenalkan oleh Forchheimer

(Sosrodarsono dan Takeda, 1977).

Didasarkan pada jaringan trayektori aliran filtrasi yang telah tergambar

selanjutnya dapat dihitung kapasitas air filtrasi dengan ketelitian yang cukup baik

dan gambar tersebut sangat cocok dengan kenyataan apabila dibuat oleh tenaga

ahli yang cukup berpengalaman. Contoh jaringan trayektori filtrasi adalah sebagai

berikut:

Page 80: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

89

Gambar 2.39. Skema jaringan trayektori aliran filtrasi dalam tubuh bendungan (Sosrodarsono

dan Takeda, 1977).

Untuk menggambar jaringan trayektori aliran filtrasi melalui sebuah

bendungan supaya diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Trayektori aliran filtrasi dengan garis-garis equi-potensial berpotongan secara

tegak lurus, sehingga akan membentuk bidang-bidang yang mendekati

bentuk-bentuk bujursangkar atau persegi panjang.

b. Jadi apabila diperhatikan bidang ABCD pada gambar diatas hanya mendekati

bentuk bujursangkar, akan tetapi apabila dibagi-bagi lagi menjadi bagian

yang lebih kecil, maka bentuk bujur sangkarnyua akan semakin nyata.

c. Biasnya bidang-bidang yang dibentuk oleh perpotongan trayektori aliran

filtrasi dengan garis equi-potensial tersebut diatas lebih mendekati bentuk-

bentuk persegi panjang dan pada semua persegi panjang yang terjadi,

perbandingan antara sisi pendek dan sisi panjangnya mendekati harga yang

sama.

d. Pada bidang tekanan bawah atmosfer, dimana aliran filtrasi tersembul keluar,

bukan merupakan trayektori aliran filtrasi dan bukan pula merupakan garis

equi-potensial, karenanya tidak akan berbentuk bidang-bidang berbentuk

persegi panjang dan trayektori dengan permukaan tersebut tidak akan

berpotongan secara vertikal.

e. Titik-titik perpotongan antara garis-garis equi-potensial dengan garis depresi

adalah dengan interval Δh yang diperoleh dengan membagi tinggi tekanan air

Page 81: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

90

(perbedaan elevasi antara permukaan air dalam waduk dan permukaan air di

bagian hilir bendungan) dengan suatu bilangan bulat.

Gambar 2.40. Contoh pembagian jaringan trayektori aliran filtrasi (Sosrodarsono dan Takeda,

1977).

2.15.7.3 Kapasitas Aliran Filtrasi

Kapasitas aliran filtrasi adalah kapasitas rembesan air yang mengalir ke

hilir melelui tubuh bendungan dan pondasi. Kapasitas aliran filtrasi suatu

bendungan mempunyai batas-batas tertentu yang mana apabila kapasitas filtrasi

melampaui batas tersebut maka kehilangan air yang terjadi akan cukup besar,

disamping itu kapasitas filtrasi yang besar dapat menimbulkan gejala sufosi

(piping) serta gejala sembulan (boiling) yang sangat membahayakan kestabilan

tubuh bendungan (Sosrodarsono dan Takeda, 1977).

Memperkirakan besarnya kapasitas aliran filtrasi yang mengalir pada

tubuh bendungan dan pondasi bendungan yang didasarkan pada jaringan

trayektori aliran filtrasi dapat dihitung dengan persamaan:

Qf = 𝑵𝒇

𝑵𝒑 K. H. L ............................................................................................ (2.92)

dimana:

Qf = kapasitas aliran filtrasi (kapasitas rembesan) (m3/detik)

Nf = angka pembagi dari garis trayektori aliran filtrasi

Page 82: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

91

Np = angka pembagi dari garis equi-potensial

K = koefisien filtrasi

H = tinggi tekanan air total (m)

L = panjang profil melintang tubuh bendungan (m)

2.15.7.4 Gejala-gejala Sufosi (Piping) dan Sembulan (Boiling)

Agar gaya-gaya hidrodinamis yang timbul pada aliran filtrasi tidak akan

menyebabkan gejala sufosi dan sembulan yang sangat membahayakan baik tubuh

bendungan maupun pondasinya, maka kecepatan aliran filtrasi dalam tubuh dan

pondsi bendungan pada tingkat-tingkat tertentu perlu dibatasi (Sosrodarsono dan

Takeda, 1977).

Suatu kecepatan aliran keluar ke atas permukaan lereng hilir yang

komponen vertikalnya dapat mengakibatkan terjadinya perpindahan butiran-

butiran bahan bendungan pada permukaan tersebut disebut kecepatan kritis yang

secara teoritis dikembangkan oleh Justin dan diperoleh persamaan sebagai berikut:

c = 𝑾𝟏 𝒙 𝒈

𝑭 𝒙 𝒀 .................................................................................................. (2.93)

v = k x I = k 𝒉𝟐

𝒍 ................................................................................................ (2.94)

dimana:

c = kecepatan kritis (m/detik)

w1 = berat butiran dalam air (kg)

F = luas permukaan yang menampung aliran filtrasi (m2)

Y = berat isi air (kg/m3)

g = percepatan gravitasi (m/detik2)

v = kecepatan pada bidang keluarnya aliran filtrasi (m/detik)

k = koefisien filtrasi (m/detik)

h2 = tekanan air rata-rata (m)

l = panjang rata-rata berkas elemen aliran filtrasi pada bidang keluarnya

aliran filtrasi

Page 83: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

92

2.16 Rencana Teknis Bangunan Peelimpah

Di Indonesia pada umumnya digunakan dua tipe mercu untuk bendung

pelimpah tipe Ogee dan tipe bulat (Kp-02, 1986). Bendungan Sojomerto akan

direncanakan menggunakan bendung pelimpah tipe Ogee. Bangunan pelimpah

dari suatu bendungan dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.41. Skema type bangunan pelimpah pada bendungan urugan (Sosrodarsono dan

Takeda, 1977).

2.16.1. Rencana Teknis Mercu Pelimpah

Penentuan lebar efektif ambang pelimpah dapat dihitung dengan

persamaan (Kp-02, 1986):

Be= B-2(n.Kp+Ka) x He .................................................................................. (2.95)

dimana :

Be = lebar efektif mercu bendung (m)

B = lebar mercu yang sebenarnya (m)

N = jumlah pilar (buah)

Kp = koefisien kontraksi pilar

Ka = koefisien kontraksi pangkal bendung

He = tinggi energi (m)

Page 84: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

93

Tabel 2.23. Harga koefisien kontraksi (KP-02, 1986)

Bentuk-bentuk bagian dasar pilar untuk bangunan pelimpah terdiri dari beberapa

tipe bentuk anatara lain:

Gambar 2.42. Tipe pilar pada bangunan pelimpah (Sosrodarsono dan Takeda, 1977).

Page 85: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

94

Gambar 2.43. Skema penentuan lebar efektif mercu pelimpah (KP-02, 1986).

Untuk perencanaan bendung pelimpah Ogee dapat dihitung dengan

persamaan (Kp-02, 1986):

Q = 𝟐

𝟑 x Cd x Be x 𝟐/𝟑𝒈 x He

3/2 ................................................................. (2.96)

dimana :

Q = debit yang melewati spillway (m3/detik)

Cd = koefisien debit limpasan (1,3) (KP-02, 1986)

Be = lebar efektif spillway (m)

g = percepatan gravitasi (9,81 m2/detik)

He = tinggi energi di atas mercu (m)

Mercu ogee berbentuk tirai luapan bawah dari bendung ambang tajam

aerasi. Oleh karena itu, mercu ini tidak akan memberikan tekanan subatmosfer

pada permukaan mercu sewaktu bendung mengalirkan air pada debit rencana.

Untuk dbit yang lebih rendah, air akan memberikan tekanan ke bawah pada mercu

(KP-02, 1986).

Untuk merencanakan permukaan mercu ogee bagian hilir, U.S. Army

Corps Engineers telah mengembangkan persamaan berikut:

Page 86: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

95

𝒀

𝒉𝒅 =

𝟏

𝑲

𝑿

𝒉𝒅 𝒏

.................................................................................................. (2.97)

dimana:

Y dan X = koordinat-koordinat permukaan hilir

hd = tinggi energi rencana diatas mercu (m)

K dan N = parameter

Bagian yang lebih ke hilir dari lengkung yang diperoleh supaya

diteruskan secara kontinu dengan persamaan (Sosrodarsono dan Takeda, 1977).:

Y’ = 𝟎.𝟗𝟐𝟓

𝑯𝒅𝟎.𝟖𝟓 𝒙 𝑿𝟎.𝟖𝟓 ................................................................................... (2.98)

Titik permulaan daripada lengkung ini dapat diperoleh dengan persamaan

(Sosrodarsono dan Takeda, 1977):

X = 1,096.Hd.Y’ 1,176

.................................................................................. (2.99)

Tabel 2.24. Harga K dan n (KP-02, 1986).

Page 87: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

96

Gambar 2.44. Bentuk-bentuk Mercu Ogee (KP-02, 1986).

2.16.2. Saluran Pengarah Aliran

Saluran pengarah aliran ini berfungsi sebagai penuntun dan pengarah

aliran agar aliran tersebut senantiasa dalam kondisi hidrolika yang baik. Pada

saluran ini, kecepatan masuknya supaya tidak melebihi 4 m/detik dan lebar

saluran makin mengecil ke arah hilir. Kedalaman dasar saluran ini biasanya

diambil lebih dari 1/5 kali tinggi rencana limpasan diatas mercu ambang

pelimpah. Sebagai gambaran dapat diamati pada gambar dibawah ini:

Page 88: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

97

Gambar 2.45. Skema saluran pengarah (Sosrodarsono dan Takeda, 1977).

2.16.3. Saluran Transisi

Mengingat saluran transisi ini sangat besar pengaruhnya terhadap resim

aliran di dalam saluran peluncur dan berfungsi sebagai pengatur aliran pada debit-

debit banjir abnormal, maka bentuk saluran ini supaya direncanakan secara hati-

hati. Untuk bangunan pelimpah yang kecil, biasanya saluran ini dibauat dengan

dinding tegak yng makin menyempit ke hilir dengan inklinasi sebesar 12,5o

terhadap sumbu saluran peluncur.

Gambar 2.46. Skema saluran transisi (Sosrodarsono dan Takeda, 1977).

Perencanaan hidrolis dari saluran peluncur ini didasarkan pada dua

keadaan yaitu:

a. Apabila di ujung hiir saluran transisi terjadi aliran sub-kritis dan di ujung

saluran hilir terjadi aliran kritis, maka dapat direncanakan dengan

menggunakan persamaan:

Page 89: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

98

(elv. dsr. ambang hilir) = (elv. dsr. ambang hulu) + de + 𝒗𝒆𝟐

𝟐𝒈 +dc +

𝒗𝒄𝟐

𝟐𝒈 -

𝑲(𝒗𝒆𝟐−𝒗𝒄

𝟐)

𝟐𝒈 - hm .......................................................................................... (2.100)

Gambar 2.47. skema aliran dalam saluran transisi kondisi terjadi aliran kritis di ujung hilir

saluran transisi (Sosrodarsono dan Takeda, 1977).

b. Apabila di ujung hulu dan hilir saluran transisi terjadi aliran kritis, maka

dapat direncanakan dengan persamaan berikut:

(elv. dsr. ambang hilir) = (elv. dsr. ambang hulu) + dc1 + 𝒗𝒄𝟏𝟐

𝟐𝒈 – dc2 -

𝒗𝒄𝟏𝟐

𝟐𝒈 -

𝑲(𝒗𝒄𝟏𝟐 −𝒗𝒄𝟐

𝟐 )

𝟐𝒈 - hm ....................................................................................... (2.101)

Page 90: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

99

Gambar 2.48. Skema aliran dalam saluran transisi dalam terjadinya aliran kritis diujung hulu dan

hilir saluran transisi (Sosrodarsono dan Takeda, 1977).

2.16.4. Saluran Peluncur

Dalam merencanakan saluran peluncur (flood way) harus memenuhi

persyaratan sebagai berikut (Sosrodarsono dan Takeda, 1977):

a. Agar air yang melimpah dari saluran pengatur mengalir dengan lancar tanpa

hambatan-hambatan hidrolis.

b. Agar konstruksi saluran peluncur cukup kokoh dan stabil dalam menampung

semua beban yang timbul.

c. Agar biaya konstruksinya diusahakan seekonomis mungkin.

Page 91: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

100

Gambar 2.49. Penempang memanjang aliran pada saluran peluncur (Sosrodarsono dan Takeda,

1977).

Perhitungan untuk saluran peluncur tersebut diatas menggunakan metode

tanpa sistem coba atau banding dan menganggap bidang 2 sebagai titik permulaan

dalam perhitungan dengan rumus Bernoulli sebagai berikut:

Δl =

𝒗𝟐𝟐

𝟐𝒈+𝒅𝟐−

𝒗𝟏𝟐

𝟐𝒈−𝒅𝟏

𝑺𝟎−𝑺 ................................................................................... (2.102)

dimana:

Δl = jarak horisontal antara bidang 1 dan bidang 2 (m)

hl = kehilangan tinggi tekan (m)

hl/Δl = kehilangan tinggi tekan per-unit jarak horisontal (m)

v1,v2 = kecepatan aliran berturut-turut pada bidang 1 dan 2 (m/detik)

d1,d2 = kedalaman air berturut-turut pada bidang 1 dan 2 (m)

So = kemiringan dasar saluran peluncur

S = kemiringan permukaan aliran air

Andaikan kecepatan rata-rata pada saluran di antara kedua bidang

tersebut 𝑉 adalah sama dengan seperdua jumlah kecepatan v1 dan v2 maka dapat

ditulis persamaan:

𝑽 = 𝑽𝟏+𝑽𝟐

𝟐 ................................................................................................... (2.103)

Page 92: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

101

Dan andaikan jarak antara bidang 1 dan 2 cukup dekat maka perbedaan

antara v1 dan v2 tidak terlalu besar, sehingga kesalahan asumsi dapat diabaikan.

Sebagai patokan panjang Δl supaya diambil didalam jarak antara dua bidang

vertikal dengan perbedaan kecepatan v2 = v1 +0,25v2. Dengan cara seperti ini

maka akan didapatkan kecepatan aliran pada suatu bidang dan selanjutnya

kedalaman air pada bidang tersebut dapat dihitung dengan persamaan:

Penampang empat persegi

d= 𝑸

𝒃.𝑽 .......................................................................................................... (2.104)

dimana:

Q = debit yang melintasi penampang tersebut (m3/detik)

b = lebar dasar saluran (m)

v = kecepatan aliran (m/detik)

Selanjutnya radius hidrolika (penampang basah saluran (R)) dapat

dihitung dan kehilangan tinggi tekan per menit per panjang pada bidang 1 dan 2

dapat pula diperoleh, maka besarnya kemiringan permukaan aliran (S) dan

kehilangan tinggi tekan (hL) dapat dihitung dengan persamaan :

S= 𝒏𝟐𝑽𝟐

𝑹𝟑𝟒

...................................................................................................... (2.105)

𝒗𝟏𝟐

𝟐𝒈+ 𝒅𝟏 + 𝑺𝒐𝜟𝒍 =

𝒗𝟐𝟐

𝟐𝒈+ 𝒅𝟐 + 𝒉𝑳 ..................................................... (2.106)

dimana:

S = kemiringan permukaan aliran

n = koefisien kekasaran

R = jari-jari hidrolis (m)

v = kecepatan aliran (m/detik)

v1, v2 = kecepatan aliran berturut-turut pada bidang 1 dan 2 (m/detik)

d1, d2 = kedalaman air berturut-turut pada bidang 1 dan 2 (m)

So = kemiringan dasar saluran peluncur

Page 93: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

102

Disesuaikan dengan kondisi topografi serta untuk memperoleh hubungan

yang kontinu antara saluran peluncur dengan peredam energi maka sudut

kemiringan dasar saluran biasanya berubah-ubah.

Untuk memperoleh bentuk lengkungan dasar saluran peluncur dapat

dikerjakan dengan persamaan parabolis sebagai berikut:

y = x tanθ

+

𝑲𝒙𝟐

𝟒𝒉𝒗 𝒄𝒐𝒔𝟐𝜽 ............................................................................... (2.107)

S = tanθ

+

𝑲𝒙

𝟐𝒉𝒗 𝒄𝒐𝒔𝟐𝜽 ................................................................................. (2.108)

dimana:

y = sumbu vertikal

x = sumbu horisontal

S = kemiringan bagian lengkung dasar saluran pada titik x

hv = tinggi tekan kecepatan pada titik awal lengkung saluran

θ = sudut kemiringan dasar saluran pada titik awal lengkungan

K = suatu koefisien yang didasarkan pada gaya gravitasi (biasanya ≤ 0,5)

Tabel 2.25. Koefisien kekasaran Manning (Triatmojo, 1995).

2.16.5. Saluran Berbentuk Terompet pada Ujung Saluran Peluncur

Semakin kecil penampang melintang saluran peluncur, maka akan

memberikan keuntungan ditinjau dari segi volume pekerjaan, akan tetapi akan

Page 94: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

103

menimbulkan problem yang lebih besar pada usaha peredaman energi yang timbul

per unit lebar aliran tersebut (Sosrodarsono dan Takeda, 1977).

Didasarkan pada pertimbangan tersebut diatas maka saluran peluncur

dibuat dengan penampang yang kecil, tetapi pada bagian ujung hilirnya dibuat

melebar (berbentuk terompet) sebelum dihubungkan dengan peredam energi.

Pada hakekatnya metode perhitungan untuk merencanakan bagian

saluran yang berbentuk terompet ini belum ada, akan tetapi disarankan agar sudut

pelebaran (θ) tidak melebihi besarnya sudut yang diperoleh dari persamaan

sebagai berikut:

tan θ = 𝟏

𝟑𝑭 .................................................................................................... (2.109)

F =

𝒗

𝒈𝒅 ...................................................................................................... (2.110)

dimana:

θ = sudut pelebaran

F = angka froude

v = kecepatan aliran air (m/detik)

g = percepatan gravitasi (9,8 m/detik2)

Gambar 2.50. Skema saluran peluncur berbentuk terompet (Sosrodarsono dan Takeda, 1977)

2.16.6. Bangunan Peredam Energi

Sebelum aliran air yang melintasi bangunan pelimpah dikembalikan lagi

ke dalam sungai, maka aliran dengan kecepatan yang tinggi dalam kondisi super

Page 95: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

104

kritis tersebut harus diperlambat dan dirubah pada kondisi aliran sub-kritis.

Dengan demikian kandungan energi dengan daya penggerus yang sangat kuat

yang timbul dalam aliran tersebut harus diredusir hingga mencapai tingkat yang

normal kembali, sehingga aliran tersebut kembali ke dalam sungai tanpa

membahayakan kestabilan alur sungai yang bersangkutan. Guna meredusir energi

yang terdapat dalam aliran tersebut maka di ujung hilir dari saluran peluncur

biasanya dibuat suatu bangunan yang disebut peredam energi pencegah gerusan

(Sosrodarsono dan Takeda, 1977). Peredam energi yang direncanakan

menggunakan peredam energi tipe kolam olakan datar.

Dalam perencanaan kolam olakan datar kedalaman air pada bagian

sebelah udik dan sebelah hilir loncatan hidrolis dapat diperoleh dngan persamaan

sebagai berikut:

𝑫𝟐

𝑫𝟏 =

𝟏

𝟐 𝟏 + 𝟖𝑭𝟏

𝟐 − 𝟏 ........................................................................ (2.111)

Dan untuk menentukan bilangan Froude digunakan persamaan:

F1 =

𝑽𝟏

𝒈𝑫𝟏 .................................................................................................. (2.112)

Kecepatan awal loncatan dapat diperhitungkan dengan persamaan (KP-02, 1986).

V1 = 𝟐𝒈(𝟎.𝟓 𝒙 𝑯𝟏 + 𝒛) ...................................................................... (2.113)

Panjang kolam olakan dihitung dengan persamaan (KP-02, 1986).

LJ = 5(n +y2) ............................................................................................... (2.114)

dimana:

D1 = kedalaman aliran disebelah udik (hulu) (m)

D2 = kedalaman aliran disebelah hilir (ambang ujung) (m)

F1 = bilangan Froude

V1 = kecepatan awal loncatan (sebelah hulu) (m/detik)

g = percepatan gravitasi (9,8 m/detik2)

z = tinggi jatuh (m)

H1 = tinggi energi diatas ambang pelimpah (m/detik)

Lj = panjang kolam olakan (m)

Page 96: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

105

n = tinggi amabang ujung (m)

y2 = tinggi air di hilir kolam olakan (m)

2.16.6.1 Kolam Olakan Datar Tipe I

Kolam olakan datar type I adalah suatu kolam olakan dengan dasar datar

dan terjadinya peredaman energi yang terkandung dalam aliran air dengan

benturan secara langsung aliran tersebut ke atas permukaan dasar kolam, benturan

langsung tersebut menghasilkan peredaman energi yang cukup tinggi, sehingga

perlengkapan-perlengkapan lainnya guna penyempurnaan peredaman tidak

diperlukan lagi. Akan tetapi kolam olakan jenis ini akan lebih panjang dan

karenanya hanya sesuai untuk mengalirkan debit yang relatif kecil.

Gambar 2.51. Kolam olakan datar type I (Sosrodarsono dan Takeda, 1977).

2.16.6.2 Kolam Olakan Datar Tipe II

Kolam olakan datar type II terjadinya peredaman energi yang terkandung

dalam aliran adalah akibat gesekan antara molekul-molekul air didalam kolam dan

dibantu oleh perlengkapan-perlengkapan yang dibuat berupa gigi-gigi pemencar

aliran di pinggir udik dasar kolam dan ambang bergerigi di pinggir hilirnya.

Kolam olakan ini cocok untuk aliran dengan tekan hidrostatis yang tinggi dan

Page 97: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

106

dengan debit yang besar (q > 45 m3/detik/m, tekanan hidrostatis >60m dan

bilangan Froude>4,5).

Gambar 2.52. Kolam olakan datar type II (Sosrodarsono dan Takeda, 1977).

2.16.6.3 Kolam Olakan Datar Tipe III

Pada hakekatnya prinsip kerja dari kolam olakan type III hampir sama

dengan kolam olakan datar type II, akan tetapi lebih sesuai untuk mengalirkan air

dengan tekan hidrostatis yang lebih rendah dan debit yang agak kecil (q < 18.5

m3/detik/m, V < 18 m/detik dan bilangan Froude>4,5). Untuk mengurangi

panjang kolam olakan, biasanya dibuatkan gigi-gigi pemencar aliran air di tepi

udik dasar kolam. Kolam olakan ini biasanya digunakan pada bendungan urugan

tanah yang rendah.

Page 98: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

107

Gambar 2.53. Kolam olakan datar Type III (KP-02, 1986).

2.16.6.4 Kolam Olakan Datar Tipe IV

Prinsip kerja kolam olakan type IV sama dengan type III, akan tetapi

penggunaannya yang paling cocok adalah untuk pengaliran dengan tekanan

hidrostatis yang rendah dan debit yang besar per unit lebar, yaitu untuk aliran

dalam kondisi super kritis dengan bilangan froude antara 2,5 sampai dengan 4,5.

Gambar 2.54. Kolam olakan datar type IV (Sosrodarsono dan Takeda, 1977).

Page 99: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

108

2.16.7. Tinjauan Scouring

Tinjauan scouring diperlukan untuk mengantisipasi adanya gerusan lokal

di ujung hilir bangunan pelimpah. Sehingga perlu dipasang apron berupa

pasangan batu kosong. Batu yang digunakan harus keras, padat dan awet serta

berberat jenis 2,4 (KP-02, 1986).

Panjang lindungan dari batu kosong hendaknya diambil 4 kali kedalaman

gerusan lokal, dihitung dengan rumus empiris. Rumus ini adalah rumus empiris

Lacey yaitu untuk menghitung kedalaman gerusan:

R = 0,47( Q / f )

1/3 ......................................................................................... (2.115)

Di mana:

R = kedalaman gerusan dibawah muka air banjir (m)

Q = debit outflow spillway (m3/detik)

f = faktor lumpur Lacey

1,76 Dm0,5

Dm = diameter nilai tengah untuk bahan jelek (mm)

Gambar 2.55. Grafik perencanaan ukuran batu kosong (KP-02, 1986).

Page 100: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

109

2.16.8. Stabilitas Bangunan Pelimpah

Stabilitas bangunan pelimpah diperhitungkan ketika kondisi muka air

normal dan ketika kondisi muka air banjir rencana. Gaya-gaya yang bekerja pada

bangunan pelimpah berupa:

a. Berat bangunan sendiri.

b. Akibat gaya gempa.

c. Uplift pressure.

d. Tekanan tanah .dan gaya hidrostatis

Sedangkan kontrol stabilitas bangunan pelimpah terdiri dari beberapa

parameter, antara lain:

a. Stabilitas terhadap guling.

b. Stabilitas terhadap geser.

c. Stabilitas terhadap piping.

d. Stabilitas terhadap daya dukung tanah.

Berat bangunan sendiri dapat diperhitungkan dengan persamaan:

G = V x γ ....................................................................................................... (2.116)

dimana:

G = berat bangunan (ton)

V = volume bangunan (m3)

γ = berat jenis material (ton/m3)

Gaya gempa diperhitungkan dengan persamaan:

E = 𝒂𝒅

𝒈 ......................................................................................................... (2.117)

dimana:

ad = percepatan gempa rencana (m/detik2)

g = percepatan gravitasi (m/detik2)

Gaya uplift pressure diperhitungkan dengan persamaan:

Px =Hx - 𝑳𝒙

𝑳 ΔH ........................................................................................... (2.118)

dimana:

Px = gaya angkat pada x (kg/m2)

Page 101: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

110

L = panjang total bidang kontak bendung dan tanah bawah (m)

Lx = jarak sepanjang bidang kontak dari hulu sampai x (m)

ΔH = beda tinggi energi (m)

Hx = tinggi energi di hulu bendung (m)

Tekanan tanah dan gaya hidrostatis diperhitungkan dengan persamaan:

ka = tan2 (𝟒𝟓𝒐 −

𝜽

𝟐) .................................................................................. (2.119)

kp = tan2 (𝟒𝟓𝒐 +

𝜽

𝟐) .................................................................................. (2.120)

dimana:

ka = koefisien tekanan tanah aktif

kp = koefisien tekanan tanah pasif

θ = sudut geser dalam material tanah

2.16.8.1 Kontrol Stabilitas Terhadap Guling

Untuk mengetahui nilai keamanan (SF) bangunan spillway terhadap

guling maka dapat digunakan persamaan:

SF = 𝑴𝑻

𝑴𝑮 ..................................................................................................... (2.121)

dimana:

SF = angka keamanan (≥ 1,2)

ΣMT = jumlah momen tahanan (t.m)

ΣMG = jumlah momen guling (t.m)

2.16.8.2 Kontrol Stabilitas Terhadap Geser

Untuk mengetahui nilai keamanan (SF) bangunan spillway terhadap

geser maka dapat digunakan persamaan:

SF = 𝒇𝒙

𝑹 (𝑽−𝑼)

𝑹𝑯 ...................................................................................... (2.122)

dimana:

SF = angka keamanan (≥1,2)

ΣR(V-U) = jumlah gaya vertikal dikurangi gaya angkat pondasi (t)

Page 102: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

111

ΣRH = jumlah gaya horisontal (t)

f = koefisien gesekan (Lempung = 0,3)

2.16.8.3 Kontrol Stabilitas Terhadap Piping

Untuk mencegah pecahnya ujung hilir bangunan, harga erosi tanah

sekurang-kurangnya CL = 1,6 (Lempung sangat keras). Dengan menggunakan

metode Lane, angka rembesan dapat diperhitungkan dengan persamaan:

CL = 𝑳𝒗+𝟏/𝟑 𝑳𝒉

𝑯 ................................................................................... (2.123)

dimana:

Cl = angka rembesan Lane

ΣLv = jumlah panjang vertikal (m)

ΣLh = jumlah panjang horisontal (m)

H = beda tinggi muka air (m)

2.16.8.4 Kontrol Stabilitas Terhadap Daya Dukung Tanah

Besarnya daya dukung tanah dipengaruhi oleh dalamnya pondasi, lebar

pondasi, berat isi tanah, sudut geser dalam dan kohesi dari tanah. Daya dukung

ultimate, dihitung dengan persamaan:

qult = c x Nc + γsat x D x Nq + 0.5B x γsub x Nγ ................................................. (2.84)

dimana:

Qult = Kapasitas daya dukung maksimum (ton/m3)

D = Kedalaman Pondasi (m)

B = Dimensi lebar pondasi (m)

C = kohesi tanah (ton/m2)

γ = Berat isi tanah (ton/m3)

Nc,Nq,Nγ = Kapasitas daya dukung Terzaghi

σmin = 𝑹𝑽

𝑩 𝟏 −

𝟔𝒆

𝑩 ≤ 𝝈𝒊𝒋𝒊𝒏 ........................................................... (2.124)

σmax = 𝑹𝑽

𝑩 𝟏 +

𝟔𝒆

𝑩 ≤ 𝝈𝒊𝒋𝒊𝒏 ........................................................... (2.125)

Page 103: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

112

dimana:

e = eksentrisitas (m)

ΣRV = jumlah gaya vertikal (t)

B = lebar pondasi (m)

σmax = tegangan tanah maksimum (ton/m2)

σmin = tegangan tanah minimum (ton/m2)

σijin = tegangan tanah ijin (ton/m2)

2.17 Rencana Teknis Bangunan Penyadap

Bangunan penyadap yang direncanakan menggunakan bangunan

penyadap menara (out-let tower). Bangunan penyadap menara adalah bangunan

penyadap yang bagian pengaturnya terdiri dari suatu menara yang berongga dan

pada dinding menara tersebut terdapat lubang-lubang penyadap yang dilengkapi

dengan pintu-pintu (Sosrodarsono dan Takeda, 1977).

Gambar 2.56. Penyadap menara (Sosrodarsono dan Takeda, 1977).

Page 104: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/34474/6/2192_CHAPTER_II.pdf · Secara garis besar bentuk DAS dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu: Bentuk memanjang,

113

Sebagai perencanaan, maka kapasitas lubang lubang penyadap dapat

diperhitungkan dengan persamaan:

Q = C x A 𝟐𝒈𝒉 ........................................................................................ (2.126)

dimana:

Q = debit penyadapan sebuah lubang (m3/detik)

C = koefisien debit ( 0,62)

A = Luas penampan lubang (m2)

h = tinggi air dari titik tengah lubang ke permukaan (m)

Volume udara yang dibutuhkan dalam pipa vacum dapat diperhitungkan

dengan persamaan:

Qa = 0,04(F-1)

0,85 x V .............................................................................. (2.127)

dimana :

Qa = volume udara (m3/detik)

F = bilangan Froude

V = kecepatan aliran (m/detik)