bab 2 tinjauan pustaka mengenai perahu...

17
17 Universitas Indonesia BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PERAHU TRADISIONAL NUSANTARA Dalam rangka mendapatkan gambaran yang jelas mengenai motif perahu pada seni cadas di Indonesia diperlukan pendalaman materi atau tinjauan pustaka mengenai perahu di Nusantara. Sumber kepustakaan yang berhasil dikumpulkan dari berbagai artikel dan buku mengenai segala aspek yang berkaitan dengan perahu tradisional di Nusantara. 2.1. Sejarah Awal Perahu di Nusantara Perahu merupakan salah satu hasil budaya bahari yang sejak masa prasejarah telah memegang peranan penting dalam kehidupan manusia di dunia termasuk Nusantara. Perahu selain memiliki fungsi sosial ekonomi sebagai alat transportasi air, untuk berkomunikasi antar masyarakat, perdagangan, dan sarana mencari ikan, perahu juga berkaitan erat dengan religi masyarakat pendukungnya yang mendiami pulau-pulau di Nusantara. Penelitian F.L. Dunn dan D.F. Dunn (1977: 22) mengemukakan bahwa antara 20.000 sampai 18.000 tahun lalu teknologi pelayaran di wilayah Asia Tenggara masih sangat terbatas. Aktivitas pelayaran di laut terbuka belum berjalan, kemungkinan baru tahap penggunaan rakit dengan eksploitasi jenis kerang-kerangan di wilayah perairan dangkal seperti rawa-rawa dan hutan bakau yang dipengaruhi pasang surut air laut. Kemudian sekitar 9000 tahun lalu mulai dikenal adanya perahu yang penggunaannya bersama rakit dengan wilayah eksploitasinya berupa rawa-rawa dan pelayaran terbatas di perairan terbuka. Eksploitasi wilayah baru dilakukan dengan bertambahnya pengetahuan keahlian berperahu. Selanjutnya sekitar 5000 tahun yang lalu diperkirakan telah ada eksploitasi wilayah Laut Tiongkok Selatan dengan penguasaan navigasi laut dan teknologi perahu yang semakin berkembang. Penggunaan cadik maupun layar sederhana berupa anyaman dari dedaunan meningkatkan luas wilayah eksploitasi dengan daya jelajah yang cukup jauh dari pantai (Dunn dan Dunn, 1977: 22-24). Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009

Upload: vuongdien

Post on 03-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PERAHU …lib.ui.ac.id/file?file=digital/127174-RB03A88p-Penggambaran motif...2.1. Sejarah Awal Perahu di Nusantara ... Uganda pada Suku Bantu di Afrika

17 Universitas Indonesia

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PERAHU TRADISIONAL

NUSANTARA

Dalam rangka mendapatkan gambaran yang jelas mengenai motif perahu

pada seni cadas di Indonesia diperlukan pendalaman materi atau tinjauan pustaka

mengenai perahu di Nusantara. Sumber kepustakaan yang berhasil dikumpulkan

dari berbagai artikel dan buku mengenai segala aspek yang berkaitan dengan

perahu tradisional di Nusantara.

2.1. Sejarah Awal Perahu di Nusantara

Perahu merupakan salah satu hasil budaya bahari yang sejak masa

prasejarah telah memegang peranan penting dalam kehidupan manusia di dunia

termasuk Nusantara. Perahu selain memiliki fungsi sosial ekonomi sebagai alat

transportasi air, untuk berkomunikasi antar masyarakat, perdagangan, dan sarana

mencari ikan, perahu juga berkaitan erat dengan religi masyarakat pendukungnya

yang mendiami pulau-pulau di Nusantara.

Penelitian F.L. Dunn dan D.F. Dunn (1977: 22) mengemukakan bahwa

antara 20.000 sampai 18.000 tahun lalu teknologi pelayaran di wilayah Asia

Tenggara masih sangat terbatas. Aktivitas pelayaran di laut terbuka belum

berjalan, kemungkinan baru tahap penggunaan rakit dengan eksploitasi jenis

kerang-kerangan di wilayah perairan dangkal seperti rawa-rawa dan hutan bakau

yang dipengaruhi pasang surut air laut. Kemudian sekitar 9000 tahun lalu mulai

dikenal adanya perahu yang penggunaannya bersama rakit dengan wilayah

eksploitasinya berupa rawa-rawa dan pelayaran terbatas di perairan terbuka.

Eksploitasi wilayah baru dilakukan dengan bertambahnya pengetahuan keahlian

berperahu. Selanjutnya sekitar 5000 tahun yang lalu diperkirakan telah ada

eksploitasi wilayah Laut Tiongkok Selatan dengan penguasaan navigasi laut dan

teknologi perahu yang semakin berkembang. Penggunaan cadik maupun layar

sederhana berupa anyaman dari dedaunan meningkatkan luas wilayah eksploitasi

dengan daya jelajah yang cukup jauh dari pantai (Dunn dan Dunn, 1977: 22-24).

Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009

Page 2: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PERAHU …lib.ui.ac.id/file?file=digital/127174-RB03A88p-Penggambaran motif...2.1. Sejarah Awal Perahu di Nusantara ... Uganda pada Suku Bantu di Afrika

18

Universitas Indonesia

Selain itu diperkirakan pelayaran dianggap lebih berkembang sejak awal

Holosen, penggunaan kayu gelondongan, ikatan kulit kayu atau buluh, kayu yang

dilubangi berupa kano dan jenis rakit dari bakau atau bambu merupakan alat-alat

pelayaran pada kala itu. Perkembangan teknologi pelayaran disebabkan karena

faktor kondisi permukaan air laut yang meninggi mencapai 130 meter pada kurun

15.000 hingga 8.000 tahun yang lalu. Terbentuknya pulau-pulau di Nusantara

yang menciptakan garis pantai yang lebih panjang dan sumber daya alam yang

melimpah serta iklim yang lebih stabil meningkatkan pertambahan populasi yang

berdampak pada kemajuan budaya termasuk eksploitasi sumber daya laut. Isolasi

geografi pulau-pulau di Nusantara oleh alam ditanggapi oleh manusia dengan

mengembangkan teknologi pelayaran untuk melakukan kontak atau migrasi antar

pulau-pulau (Simanjuntak 2001: 667).

Horridge (2006: 143) menduga penggunaan rakit dari bambu telah ada sejak

50.000 tahun lalu yang digunakan oleh manusia untuk bermigrasi dari Dataran

Sunda ke Dataran Sahul, ketika muka laut lebih rendah daripada sekarang dan

jarak antar daratan lebih pendek pada masa glasial. Selain itu rakit bambu mudah

dibuat dan dapat dikerjakan dengan alat batu yang sederhana. Sebaran rakit

bambu sampai sekarang masih terdapat di Indonesia, Melanesia, hingga ke Fiji.

Kemungkinan manusia pertama kali menggunakan rakit bambu menuju Australia

dan selanjutnya menggunakan perahu lesung. Penggunaan kayu dan bambu

sebagai rakit telah digunakan sebelum datangnya teknologi perahu petutur

Austronesia.

Terdapat hubungan antara perahu Austronesia dan perahu yang berkembang

di Lautan Hindia sekitar 5000 tahun lalu yang bercirikan teknologi berbentuk

perahu lesung dengan penambahan komponen berupa papan di atas dinding

lambung perahu lesung dan perahu papan yang digabungkan menggunakan tali

(sewn-plank) yang tersebar di Nusantara. Ciri ini juga terlihat pada perahu-perahu

di Mesir, Lembah Sungai Indus dan Mesopotamia. Selain itu bentuk tiang, teknik

pasak, bentuk ujung kemudi pipih segiempat, dan bentuk layar trapesium

berkembang sekitar 2000 tahun lalu pada jaringan perdagangan di selat Malaka.

Namun pengaruh dari teknologi yang berkembang di lautan Hindia pada teknologi

perahu Austronesia ini oleh Horridge (2006:145-147) dianggap kurang tepat

Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009

Page 3: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PERAHU …lib.ui.ac.id/file?file=digital/127174-RB03A88p-Penggambaran motif...2.1. Sejarah Awal Perahu di Nusantara ... Uganda pada Suku Bantu di Afrika

19

Universitas Indonesia

karena kelompok-kelompok petutur Austronesia meninggalkan wilayah Asia

Daratan jauh sebelum mendapat pengaruh dari teknologi perahu yang berkembang

di Lautan Hindia atau bahkan dari Mesir. Ia menunjukkan bahwa perahu-perahu

Ausronesia telah berkembang dengan menggunakan bentuk layar segitiga sejak

sekitar 200 tahun sebelum Masehi, teknologi layar segitiga ini baru berkembang

di Lautan Hindia pada sekitar 200 tahun Setelah Masehi hingga seribu tahun

kemudian diadopsi oleh para pelaut Portugis. Rute perdagangan dari Vietnam

menuju kawasan timur Nusantara sekitar 200 SM yang ditunjukkan oleh

persebaran nekara perunggu yang merupakan salah satu artefak dari budaya

Dongson yang mengikuti pergerakan musim angin monsoons di laut Cina Selatan

dan laut Jawa. Diperkirakan cengkih dan kayu manis merupakan komoditas

perdagangan yang dibawa oleh para pelaut petutur Austronesia menuju India dan

Srilangka, dan mungkin menuju pantai timur Afrika dengan menggunakan perahu

bercadik. Mereka meninggalkan jejak dengan pengaruh berupa desain perahu,

teknik pembuatan perahu, cadik, teknik menangkap ikan, dan sebagainya pada

bukti literatur di Yunani (Christie, 1957 dalam Horridge 2006: 146). Hal ini

didukung oleh Hornel (1928: 1-4) bahwa bentuk perahu di Victoria Nyanza,

Uganda pada Suku Bantu di Afrika Timur mirip dengan bentuk perahu yang

berada di Indonesia, dengan contoh perahu yang berasal dari Madura yaitu

bercirikan adanya tambahan papan pada dinding lambung dengan teknik ikat dan

terdapat dekorasi pada ujung haluan perahu. Selain itu juga didukung oleh data

lingusitik mengenai istilah-istilah perahu (Adelaar 2005) berdasarkan hasil

penelitian tahun 1951 pada kelompok petutur Austronesia dari Nusantara di

Madagaskar.

Perahu Austronesia awal tidak memakai cadik, perahu ini digunakan sebagai

perahu penangkap ikan yang ulung, dan terutama sebagai perahu perang dengan

konstruksi satu lambung. Bentuk perahu ini masih terdapat pada perahu naga di

Asia, bentuk kano pada suku Asmat, dan tergambarkan pada motif perahu pada

nekara perunggu (Horridge 2006: 147). Perahu Austronesia pada

perkembangannya memiliki ciri yang unik yaitu bentuk layar segitiga dan

bercadik tunggal. Bentuk cadik berupa batang bambu yang dihubungkan dengan

penghubung yang melintang di atas lambung perahu, sedangkan bentuk layar

Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009

Page 4: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PERAHU …lib.ui.ac.id/file?file=digital/127174-RB03A88p-Penggambaran motif...2.1. Sejarah Awal Perahu di Nusantara ... Uganda pada Suku Bantu di Afrika

20

Universitas Indonesia

segitiga dikembangkan dengan batangan bambu yang ditopang oleh tiang layar

yang miring (Horridge 2006:149).

Gambar 2.1. Bentuk Perahu Austronesia dengan Cadik Tunggal dan Layar Segitiga dari Satawal, Kepulauan Caroline (Sumber: Horridge, 2006: 149).

Pada komunitas petutur Austronesia, sarana transportasi mereka memiliki

ciri khas yaitu pada desain bentuk perahu masing-masing komunitas yang

diturunkan berdasarkan tradisi dari nenek moyang mereka. Penerus mereka

belajar untuk melanjutkan tradisi pembuatan perahu tanpa kecacatan karena

mereka yakin jika kesalahan tersebut terjadi akan berakibat fatal dan berbahaya

pada saat digunakan mengarungi lautan. Konstruksi perahu yang cenderung

konservatif dan berakibat pada teknik pembuatan perahu bertahan hingga seribu

tahun yang diturunkan pada generasi-generasi di bawahnya (Horridge 2006: 150).

Keberadaan perahu merupakan bagian dari transportasi air yang digunakan

untuk migrasi penduduk yang bertambah populasinya dan penyebaran bahasa di

Nusantara hingga ke Pasifik. Migrasi penutur bahasa Austronesia selama kurang

dari 3.500 tahun merupakan proses yang sangat cepat yang tentunya didukung

oleh penguasaan teknologi pelayaran (Koestoro, 1999).

Berdasarkan hasil penelitian W. Mahdi (1999: 145-148) sarana transportasi

air paling awal pada masyarakat penutur Austronesia di Nusantara adalah rakit-

rakit bambu yang selanjutnya berkembang dari gabungan balok-balok kayu yang

diikat. Balok-balok kayu kadang diceruk bagian dalamnya sehingga mirip kano.

Rakit dari balok kayu lalu berkembang menjadi perahu berlunas ganda (double

canoe) atau katamaran. Selanjutnya dari perahu berlunas ganda berkembang

Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009

Page 5: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PERAHU …lib.ui.ac.id/file?file=digital/127174-RB03A88p-Penggambaran motif...2.1. Sejarah Awal Perahu di Nusantara ... Uganda pada Suku Bantu di Afrika

21

Universitas Indonesia

menjadi perahu bercadik tunggal dan hingga pada akhirnya perahu bercadik

ganda.

Mahdi (1999) mengemukakan bahwa hubungan pelayaran jarak jauh

perahu-perahu Austronesia dengan perahu dari bangsa Semit di lautan Hindia

diperkirakan telah terjadi antara 1000 dan 600 SM. Hal ini berdasarkan data

tertulis Kitab Suci mengenai perjalanan pelaut dari bangsa Phoenic untuk

membantu ekspedisi pelayaran Raja Sulaiman ke tanah Ophir (Kings 9: 26-28;

Chron 8: 17-18 dalam Mahdi 1999: 153) dan terekam juga dalam Ioudaikes

Archaiologias yang merupakan tulisan orang Yahudi yaitu Flavius Joshephus

tahun 93 Masehi yang menyebutkan tujuan perjalanan ekspedisi tersebut ke tanah

Sopheir (Thackeray dan Marcus 1966: 658-660 dalam Mahdi 1999: 153).

Terdapat asumsi dari literatur yang lebih kemudian bahwa tujuan ekspedisi ke

arah timur itu adalah wilayah Semenanjung Malaya atau wilayah daratan

Sumatera yang dianggap sebagai Suvarnabhumi (tanah emas). Sedangkan pada

literatur yang lebih tua bahwa pelayaran hanya sampai pada daerah Sopara tidak

jauh dari Baroch (Baygaza) (Mahdi 1999: 153-155).

Gambar 2.2. Pengaruh yang saling menguntungkan pada bentuk tiang dan layar perahu pada perahu Austronesia dan perahu bangsa Semit (Sumber: Mahdi, 1999:158)

Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009

Page 6: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PERAHU …lib.ui.ac.id/file?file=digital/127174-RB03A88p-Penggambaran motif...2.1. Sejarah Awal Perahu di Nusantara ... Uganda pada Suku Bantu di Afrika

22

Universitas Indonesia

Pada gambar 2.2. terlihat adanya hubungan yang saling menguntungkan

antara dua teknologi yang berkembang pada komunitas petutur Austronesia di

Nusantara dan para pelaut Semit di wilayah perairan Selat Malaka, Laut Merah,

dan Teluk Persia, yaitu bentuk layar dan sistem tali temali. Bentuk layar pada

perahu bangsa Semit, seperti yang terekam dalam sejarah Mesir Kuna dan Laut

Tengah, adalah segiempat yang dipasang di tengah tiang perahu secara simetris

dan tidak memakai kayu atau bambu pengikat layar. Sedangkan bentuk layar

perahu Ausronesia umumnya bervariasi, namun ciri khasnya berbentuk segitiga

dengan pengikat kayu atau bambu pada ujung-ujung layarnya dan layar dipasang

tidak simetris pada tiang perahu. Pengaruh dari kedua teknologi perahu tersebut

pada perahu bangsa Latin yaitu bentuk layar perahu segitiga yang dipasang lebih

dekat ke tengah tiang layar yang merupakan pengaruh dari bentuk layar

Austronesia, namun bentuk layar pada perahu ini tidak memiliki batas bawah pada

layarnya yang merupakan perkembangan dari bentuk layar bangsa Semit.

Sedangkan bentuk layar pada perahu bangsa Melayu awal yaitu berbentuk layar

segiempat dengan digantung miring pada tiang layar namun tidak simetris di

tengah tiang layar. Bentuk layar segiempat mendapat pengaruh dari bangsa Semit

dengan tetap mempertahankan batangan kayu atau bambu sebagai batas bawah

layar yang merupakan perkembangan dari perahu Austronesia awal (Mahdi, 1999:

157-159).

Selain itu bentuk pelayaran jarak jauh perahu-perahu Austronesia

menggunakan cadik atau tanpa cadik. Bentuk perahu tanpa cadik yang berukuran

lebih besar terbuat dari konstruksi lambung papan sedangkan perahu bercadik

umumnya berkonstruksi perahu lesung, tetapi bentuk konstruksi papan juga

digunakan. Persebaran perahu bercadik ganda maupun bercadik tunggal sangat

luas di Nusantara hingga sekarang.

2.2. Temuan Arkeologis Tinggalan Perahu Tradisional di Indonesia

Temuan arkeologis mengenai jejak perahu lesung tertua, yaitu sekitar 8000

BP ditemukan di Kuahuqiao, wilayah Sungai Yangzse, China. Temuan ini

berasosiasi dengan sisa rotan atau bambu yang diperkirakan bagian dari layar atau

bagian atap sebuah kano (Jiang dan Liu 2005 dalam Lape et al. 2007: 239).

Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009

Page 7: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PERAHU …lib.ui.ac.id/file?file=digital/127174-RB03A88p-Penggambaran motif...2.1. Sejarah Awal Perahu di Nusantara ... Uganda pada Suku Bantu di Afrika

23

Universitas Indonesia

Sedangkan temuan tinggalan perahu tertua di Eropa ditemukan di Pesse, Belanda

yang diperkirakan sekitar ± 6.315 SM berdasarkan pertanggalan radio karbon.

Bukti tertua tinggalan arkeologis di Asia Tenggara mengenai sisa perahu

ditemukan di wilayah Kuala Pontian, pantai timur Pahang, Malaysia berupa tiga

keping papan, sebuah sisa lunas, dan beberapa gading-gading yang berasosiasi

dengan sisa guci yang mirip dengan temuan di Oc-eo, Vietnam Selatan (Utomo,

2007: 24). Berdasarkan pertanggalan radio karbon diperkirakan berasal dari

sekitar abad 3-5 Masehi (Booth 1984: 189-204 dalam Utomo, 2007: 24).

Gambar 2.3. Jukung Sudur berasal dari abad 15-16 Masehi dari Kalimantan

(Sumber: Utomo, 2007).

Berdasarkan penelitian arkeologis tinggalan perahu lesung dengan

pertanggalan yang paling tua belum ditemukan di Indonesia. Temuan perahu

lesung berasal dari abad ke 15-16 Masehi ditemukan di tepi Sungai Tarasi, Desa

Kaludan Besar, Amuntai Tengah, Kalimantan Selatan berupa Jukung Sudur yang

sekarang berada di Museum Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan (Utomo,

2007: 55-56). Perahu yang ditemukan berukuran panjangnya dengan lebar 115 cm

dan kedalamannya 32 cm, yang diperkirakan dapat memuat 30 orang (Utomo,

2007: 51). Berdasarkan jejak pada badan perahu, alat yang digunakan yaitu

belayung atau belincung. Pada bagian badan perahu terdapat delapan buah

tonjolan berbentuk persegi panjang yang dipahatkan langsung pada batang perahu

Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009

Page 8: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PERAHU …lib.ui.ac.id/file?file=digital/127174-RB03A88p-Penggambaran motif...2.1. Sejarah Awal Perahu di Nusantara ... Uganda pada Suku Bantu di Afrika

25

Universitas Indonesia

lagi. Masing-masing keping papan panjang maksimumnya 250 cm dengan lebar

antara 20 hingga 30 cm dan ketebalannya 5 cm. Terdapat tambuko dan lubang-

lubang untuk memasukkan tali dan pasak untuk menyatukan papan-papan

pembentuk badan perahu dengan gading-gading (Utomo, 2007: 70).

Temuan jenis perahu papan lainnya terdapat di situs-situs Paya Pasir,

Sumatera Utara; Bukit Jakas, Riau; Ujung Plancu, Jambi; Karanganyar,

Sambirejo, Tulung Selapan, Tanjung Jambu, Sumatera Selatan; Tanjung Pandan,

Bangka Belitung; dan Pasucinan, Jawa Timur (Utomo, 2007: 64-74)

2.3. Perahu sebagai Peti Mati di Indonesia

Perahu mempunyai makna religius bagi sebagian masyarakat di Asia

Tenggara, termasuk Indonesia (Ballard et all, 2003: 392-393; Utomo, 2007: 27-

28; Szabo et all, 2008: 163-165). Berkaitan dengan penguburan, perahu

digunakan sebagai wadah kubur pada beberapa suku di Indonesia. Misalnya suku

Dayak Ngaju yang menempatkan si mati pada perahu peti mati, yang bermakna

bahwa orang yang telah mati akan berpindah menuju alam arwah dengan

menggunakan perahu sebagai wahananya. Suku Dayak Ngaju mempunyai dua

istilah bagi perahu peti mati tersebut, yaitu banawa tingang (perahu bangau) dan

banawa bulan (perahu ular air) (Utomo 2007: 28).

Foto 2.1. Replika perahu suku Ngaju Dayak terbuat dari lateks berukuran 240 x 465 mm (Foto diambil dari buku Art of Southeast Asia, 2004: 50)

Perahu yang digunakan oleh orang Dayak Ngaju tidak hanya sebagai peti

mati saja, namun perahu juga digunakan sebagai alat transportasi sehari-hari

(Perry, 1915: 142).

Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009

Page 9: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PERAHU …lib.ui.ac.id/file?file=digital/127174-RB03A88p-Penggambaran motif...2.1. Sejarah Awal Perahu di Nusantara ... Uganda pada Suku Bantu di Afrika

26

Universitas Indonesia

Pada situs-situs gua prasejarah di Asia Tenggara sering ditemukan bentuk-

bentuk peti mati berupa perahu. Tinggalan bentuk perahu peti mati tersebut masih

dapat ditemukan di Gua Liang Kain Hitam, Niah, Sarawak, Malaysia (Harrison,

1958 dalam Szabo et al., 2008). Selain itu ditemukan juga di Kepulauan Kei

(Sukendar 2002: 182).

Foto 2.2. Bentuk peti mati berupa perahu di Gua Liang Kain Hitam, Niah, Sarawak, Malaysia (Sumber: Szabo, 2008: 151)

Foto 2.3. Bentuk peti mati berupa perahu di Kepulauan Kei (Sumber: Sukendar, 2002: 182)

Contoh lain dari penggunaan peti mati berbentuk perahu yaitu yang

digunakan oleh orang Galera, Halmahera. Tradisi mereka menyatakan bahwa

Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009

Page 10: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PERAHU …lib.ui.ac.id/file?file=digital/127174-RB03A88p-Penggambaran motif...2.1. Sejarah Awal Perahu di Nusantara ... Uganda pada Suku Bantu di Afrika

27

Universitas Indonesia

nenek moyangnya berasal dari arah barat laut seberang lautan. Ketika tanah orang

meninggal dipisahkan oleh perairan, maka perahu digunakan untuk perjalanan

tersebut, dan perahu telah lama bertahan sebagai alat transportasi perairan sehari-

hari. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas menganggap asal nenek moyang

mereka dari seberang lautan, sehingga ketika anggota masyarakatnya meninggal

perahu digunakan sebagai simbol kendaraan arwah yang meninggal menuju dunia

arwah (Perry, 1915: 143).

Pada komunitas Austronesia, perahu memiliki bentuk yang bervariasi yang

digunakan dalam konteks kematian. Peti mati berbentuk perahu ada yang dipahat

dari kayu atau bongkahan batuan, dan bentuk motif perahu juga digambarkan

pada kain dari kulit kayu, dan kayu yang disimpan pada situs penguburan. Praktek

penguburan pada perahu sebagai peti mati juga ditemukan di Semenanjung

Malaysia di sebelah barat, Filipina di sebelah utara, dan kepulauan Solomon di

sebelah timur (Ballard et al, 2003: 393).

2.4. Motif Perahu pada Nekara Perunggu di Indonesia.

Di Asia Tenggara, logam mulai dikenal sekitar 3000-2000 Sebelum Masehi.

Nekara perunggu (kettledrum) merupakan salah satu warisan budaya logam yang

merupakan komoditas perdagangan pada masa perundagian yang tersebar di Asia

Tenggara, termasuk di Indonesia (Soejono 1984: 245).

Laporan pertama mengenai nekara perunggu yaitu pada tulisan tahun 1905

“D’Amboinsche Rariteitenkamer” yang dibuat oleh G.E. Rumphius sekitar tahun

1704 mengenai nekara di Pejeng, Bali. Tahun 1884, A.B Meyer dalam

publikasinya menyebutkan temuan nekara di Jawa, Salayar, Luang, Roti, dan Leti.

Meyer bersama dengan W. Fox tahun 1897 menerbitkan buku berjudul

“Bronzepauken aus Sudost Asien” yang merupakan hasil studi perbandingan

nekara-nekara perunggu di Asia Tenggara, mereka berpendapat bahwa nekara

perunggu dibuat di Khmer dan kemudian disebarkan ke seluruh Asia Tenggara

termasuk Indonesia. Tahun 1902 F. Heger menerbitkan sebuah karangan berjudul

“Alte Metalltrommeln aus Sudost Asien” mengenai klasifikasi morfologis seluruh

nekara perunggu di Asia Tenggara (Soejono, 1984: 245).

Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009

Page 11: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PERAHU …lib.ui.ac.id/file?file=digital/127174-RB03A88p-Penggambaran motif...2.1. Sejarah Awal Perahu di Nusantara ... Uganda pada Suku Bantu di Afrika

28

Universitas Indonesia

Heger memberikan uraian mengenai bentuk nekara di dunia serta

mengklasifikasikannya ke dalam empat tipe yang diberi nomor kode H-I sampai

dengan H-IV. Meyer (1897) sebelumnya telah mengklasifikasi nekara ke dalam

enam tipe dengan nomor M-I sampai dengan M-VI yang kemudian oleh Heger

lebih disederhanakan ke dalam empat tipe.6

Jenis motif hias pada nekara perunggu yang ditemukan di Indonesia yaitu

antara lain motif geometri, benda langit, figur manusia, bentuk bangunan, fauna

seperti burung, katak, dan rusa, serta perahu. Hiasan motif perahu ditemukan pada

nekara yang terdapat di Kabunan, Sangeang, Salayar, Roti, Leti, dan Kur

(Kempers, 1988).

Gambar 2.5. Motif Perahu pada Nekara Perunggu di Laos (Sumber: Kempers, 1988: 146)

Penggambaran motif perahu ini dianggap sebagai perjalanan arwah

menggunakan perahu yang merupakan budaya Dongson yang bermigrasi sekitar

2.500 tahun yang lalu (Tanudirjo, 1985). Sedangkan Looft-Wissowa (1991, dalam

Bellwood 2000: 403) menganggap bahwa motif hias pada nekara itu

6 Ciri-ciri dari empat tipe nekara perunggu yang diklasifikasikan oleh Heger. Nekara tipe

Heger I mempunyai bidang pukul dengan garis tengah yang lebih besar daripada ukuran tinggi keseluruhan nekara. Bahu berbentuk cembung, bagian tengah berbentuk silindrik dan kaki melebar berbentuk seperti kerucut terpancung dengan bagian bawah yang terbuka. Nekara tipe Heger II mempunyai bidang pukul yang lebih besar daripada tubuh nekara, sehingga menjorong ke luar. Bagian bahu tidak berbentuk cembung, tetapi lurus ke pinggangnya. Tipe Heger III mempunyai bentuk yang hampir sama dengan nekara tipe Heger II. Bagian bahunya melurus ke bawah dan di bagian pinggang agak melengkung ke dalam, sehingga tampak bentuk pinggang. Nekara tipe Heger IV mempunyai bidang pukul yang menutup badan nekara,bahu berbentuk cembung dan bagian tengahnya hanya sedikit membentuk pinggang kemudian melurus ke bawah. Pada bentuk nekara tipe ini tampak seolah-olah bagian atas lebih besar daripada bagian bawah (Soejono, 1984: 249-254).

Temuan nekara perunggu di Indonesia hanya dari tipe Heger I dan Heger IV antara lain sebagian besar ditemukan di Indonesia bagian Timur yaitu di Pulau Sangeang, Pulau Roti, Pulau Leti, Pulau Kur (Kepulauan Kei), dan Pulau Salayar. Nekara-nekara tersebut sekarang disimpan di Museum Nasional, kecuali nekara dari Selayar. Motif hias nekara-nekara dari daerah Indonesia Timur ini memiliki banyak persamaan dengan motif hias Cina dan Dongson (Hartatik, 1999: 18).

Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009

Page 12: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PERAHU …lib.ui.ac.id/file?file=digital/127174-RB03A88p-Penggambaran motif...2.1. Sejarah Awal Perahu di Nusantara ... Uganda pada Suku Bantu di Afrika

24

Universitas Indonesia

tersebut yang dinamakan sangkar5. Diduga pada abad 15-16 Masehi, jukung sudur

itu difungsikan sebagai sarana transportasi oleh tokoh masyarakat atau penguasa

setempat (Utomo, 2007: 51-52).

Gambar 2.4. Sampan Sudur Itik dari Sumatera Utara abad 19 Masehi (Sumber: Utomo, 2007)

Temuan lain perahu lesung yaitu jenis sampan sudur itik yang berasal dari

abad ke 19 di daerah Pantai Cermin, Serdang Begadai, Sumatera Utara yang

berada di daerah perkebunan kelapa sawit dan cokelat. Temuan perahu ini

memiliki panjang 910 cm dengan lebar 86 cm dan kedalamannya 28 cm. Perahu

ini berasal dari batang pohon cangal (Hopea sangal). Berdasarkan jejak pada

badan perahu pengerjaan perahu lesung ini menggunakan belincung, dinding

lambung memiliki tebal 3 cm, dan dasar badan perahu sekitar 4 cm. Perahu ini

memiliki 13 buah sangkar seperti pada temuan perahu jukung sudur di

Kalimantan Selatan. Perahu sampan sudur itik ini berkaitan dengan

pemanfaatannya sebagai sarana transportasi di daerah perairan yang ada di

perkebunan pada akhir abad 19 Masehi (Utomo, 2007: 57-62).

Berdasarkan penelitian arkeologis temuan mengenai tinggalan perahu papan

paling tua di Indonesia berada di situs Kolam Pinisi, di kaki Bukit Seguntang

sebelah barat Palembang. Berdasarkan pertanggalan C14 sisa perahu ini berasal

dari sekitar tahun 434-631 Masehi. Temuan sisa perahu terdiri dari lebih dari

enam puluh keping papan badan dan lunas perahu dengan kondisi yang tidak utuh

5 Sangkar ini berfungsi untuk menopang papan atau batang kayu yang diletakkan melintang pada

badan perahu sebagai tempat duduk penumpang atau pendayung dan sebagai penguat badan perahu (Utomo 2007:53).

Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009

Page 13: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PERAHU …lib.ui.ac.id/file?file=digital/127174-RB03A88p-Penggambaran motif...2.1. Sejarah Awal Perahu di Nusantara ... Uganda pada Suku Bantu di Afrika

29

Universitas Indonesia

menggambarkan adegan lomba perahu yang beraspek kesuburan bukan

menggambarkan perjalanan perahu arwah yang membawa jiwa ke dunia akhirat

dan nekara-nekara itu dihadiahkan kepada para penguasa setempat sebagai

lambang martabat raja dan kekuasaannya oleh para penguasa politik dan agama di

Vietnam.

Namun demikian, Bernet Kempers (1988) berpendapat bahwa mungkin

nekara perunggu tersebut dibawa ke Indonesia oleh para pengungsi yang

menghindari peperangan atas penguasaan wilayah Vietnam oleh China. Motif

perahu yang ada pada nekara tersebut tidak memiliki tiang maupun layar, begitu

juga dengan cadik untuk keseimbangan tidak digambarkan. Motif perahu tersebut

oleh Kempers (1988) dianalogikan dengan bělang yaitu perahu yang digunakan

khusus untuk ritual di Kepulauan Kei dan Tanimbar, dan penggambaran motif

perahu pada papan pada Suku Dayak. Selain itu, juga dianalogikan dengan

penggambaran pada motif kain di Sumatera bagian Selatan yang

merepresentasikan “Totality and Holy Life” atau kemutlakan dan kehidupan yang

suci.

Foto 2.4. Motif Hias Perahu pada Kain Tampan berukuran 870 x 670 mm dari Lampung (Sumber foto: Kerlogue, 2004:51)

Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009

Page 14: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PERAHU …lib.ui.ac.id/file?file=digital/127174-RB03A88p-Penggambaran motif...2.1. Sejarah Awal Perahu di Nusantara ... Uganda pada Suku Bantu di Afrika

30

Universitas Indonesia

2.5. Teknologi Perahu Tradisional Indonesia.

Munculnya perahu sebagai alat transportasi air adalah usaha adaptasi

manusia untuk menghadapi kondisi lingkungan alam yang ada di sekitarnya. Pada

dasarnya prinsip dari sebuah perahu yaitu benda yang dapat mengapung, dapat

mengangkut manusia dan barang bawaan, serta dapat dikendalikan ke tempat

yang dituju. Pada kondisi perairan dengan arus yang tidak terlalu deras

diperkirakan sebuah perahu mulai dikenal ketika seseorang menggunakan batang

kayu yang hanyut, atau seikat bambu untuk membantunya terapung di atas air.

Rakit ini terdiri dari beberapa lapis horizontal kayu atau bambu dengan

menggabungkan batangan kayu atau bambu yang diikat dengan tali. Hal ini

bertujuan untuk menambah daya apung dan daya muat rakit tersebut (Casson

1959: 103).

Kemudian ditemukan bahwa penggunaan kayu yang berongga memiliki

daya apung yang lebih besar dibandingkan dengan batang kayu bulat. Balok kayu

yang dilubangi di bagian tengahnya, sehingga menyisakan bagian sisi-sisinya

dikenal sebagai perahu lesung atau dugout canoe. Pada perkembangan selanjutnya

ada penambahan bagian sisi-sisi tersebut dengan papan-papan yang berguna untuk

keseimbangan, sehingga cadik digunakan di perairan lepas pantai (Utomo,

2007:21).

Dari segi teknologi, perahu dikelompokkan ke dalam dua jenis perahu

berdasarkan bentuk, bahan, dan konstruksinya. Jenis pertama adalah bentuk

perahu lesung atau kano (dugout canoe) sedangkan jenis kedua yaitu perahu

papan (planked boat). Perahu lesung berbahan balok kayu utuh yang dilubangi

bagian tengahnya, menghasilkan bentuk ramping atau pipih memanjang dengan

konstruksi lambung atau badan yang polos tanpa sambungan. Teknik pembuatan

perahu lesung secara umum yaitu menggunakan material sebuah batangan kayu

yang bulat lurus dengan ukuran diameter dan panjang yang disesuaikan dengan

ukuran perahu yang diinginkan. Kayu yang telah disiapkan bagian dalamnya

dikeruk hingga mencapai kedalaman tertentu (Utomo, 2007: 233-234).

Tipe perahu lesung antara lain sampan, bentuk perahu yang biasanya dibuat

dari batang kayu yang besar, dengan cara dipahat sehingga diperoleh rongga

memanjang untuk penumpang atau barang, pada bagian depan dan belakang

Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009

Page 15: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PERAHU …lib.ui.ac.id/file?file=digital/127174-RB03A88p-Penggambaran motif...2.1. Sejarah Awal Perahu di Nusantara ... Uganda pada Suku Bantu di Afrika

31

Universitas Indonesia

meruncing dan tipis dengan maksud agar dapat bergerak cepat. Di Sulawesi

Selatan, jenis sampan dikenal dengan sebutan lepa-lepa yang dipergunakan untuk

menangkap ikan (memancing atau menjala) dan biasanya dinaiki oleh dua atau

tiga orang. Sejenis dengan sampan di Kalimantan dikenal bentuk perahu jukung

yang terbuat dari batang kayu utuh yang dibelah kayunya. Kemudian diceruk dan

dibakar pada bagian cekungannya untuk memperbesar bagian badan perahu.

Perahu jukung memiliki tebal sekitar 10 cm pada bagian dasarnya dan mampu

bergerak pada kedalaman air yang hanya 10 cm. Perahu lesung yang digunakan di

perairan laut biasanya menggunakan cadik pada sisi kiri dan kanan badan perahu,

setelah menambahkan papan-papan pada dinding lambung perahunya (Utomo,

2007:26.193,200).

Untuk pembuatan perahu papan bahan kayu yang digunakan tidak dari satu

pohon saja, sehingga bentuk perahu yang dihasilkan lebih beragam. Tidak hanya

ramping atau pipih memanjang. Bagian konstruksi lambungnya secara

keseluruhan merupakan sambungan papan atau kayu, tetapi biasanya

menggunakan lunas yang terbuat dari satu batang kayu. Lunas yang terdiri dari

satu batang kayu pada awalnya merupakan bentuk dari perahu lesung, sehingga

lunas dapat digunakan untuk mengetahui panjang sebuah perahu papan (Utomo,

2007:234).

Terdapat dua tradisi kuna dalam pembangunan perahu di Asia Tenggara,

termasuk di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian arkeologis mengenai situs-

situs sisa perahu di Indonesia, yaitu perahu dengan teknik ikat dan teknik pasak.

Teknik ikat menggunakan bahan tali dari ijuk untuk menyatukan papan-papan

badan perahu. Selain itu, digunakan tambuko untuk menyatukan badan perahu

dengan gading-gading (rusuk perahu atau tulang-tulang kayu yang disambungkan

oleh tambuko). Modifikasi yang terlihat dari teknologi pasak pada perahu

tradisional di Nusantara yaitu teknik ikat, teknik pasak kayu atau bambu, teknik

gabungan ikat dan pasak kayu atau bambu, dan perpaduan teknik pasak kayu dan

paku besi (Utomo, 2007: 85-86).

Secara umum pembangunan perahu yang dibuat dengan teknologi tradisi

Asia Tenggara mempunyai ciri-ciri khas, antara lain memiliki teknik

penyambungan papan yang terkenal, yaitu teknik papan ikat dan kupingan

Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009

Page 16: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PERAHU …lib.ui.ac.id/file?file=digital/127174-RB03A88p-Penggambaran motif...2.1. Sejarah Awal Perahu di Nusantara ... Uganda pada Suku Bantu di Afrika

32

Universitas Indonesia

mengikat (sewn-plank and lashed-lug technique); bentuk perahu berukuran besar

sehingga tidak memiliki cadik; bagian badan (lambung) perahu berbentuk seperti

huruf V sehingga bagian lunasnya berlinggi, haluan dan buritan umumnya

simetris; tidak ada sekat-sekat kedap air di bagian lambungnya; dalam seluruh

proses produksinya tidak menggunakan paku besi; kemudi terdapat di bagian

kanan dan kiri buritan; teknik pemasangan tiang dan layar perahu dengan

pengetahuan dan teknik yang berkemampuan tinggi (Manguin 1993: 262-263).

2.6. Bagian-bagian Perahu Tradisional Indonesia.

Perahu tradisional di Indonesia memiliki keragaman bentuk yang sangat

bervariasi di tiap-tiap pulau di Indonesia. Unsur-unsur utama perahu tradisional

antara lain mencakup lunas atau dasar, lambung, linggi, dayung, kemudi, tiang,

dan layar perahu.

Bagian perahu yang disebut lunas adalah batangan kayu utama pada bagian

bawah dari kerangka dasar perahu papan, sedangkan dasar adalah bagian bawah

dari perahu lesung. Lambung adalah bentuk dinding perahu. Linggi adalah bentuk

tambahan perahu pada bagian haluan atau buritan yang menonjol ke atas.

Sedangkan dayung merupakan alat kayuh perahu terbuat dari batang kayu yang

memanjang dengan bentuk pipih di bagian ujungnya. Pada bagian pangkal dayung

biasanya terdapat hiasan. Bentuk kemudi menyerupai dayung yang agak tebal

pada bagian ujungnya, berfungsi sebagai pengarah perahu dan umumnya terdapat

di bagian buritan perahu, penggambaran kemudi pada motif perahu di seni cadas

dapat menentukan arah orientasi motif perahu (Ardiati, 2004).

Gambar 2.6. Bagian-bagian Perahu Tradisional di Indonesia (diolah dari Horridge, 1981)

6

5

3

4

1

3

2

Keterangan : 1. Dasar Perahu 2. Lambung Perahu 3. Linggi Perahu 4. Kemudi Perahu 5. Tiang layar Perahu 6. Layar Perahu

Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009

Page 17: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PERAHU …lib.ui.ac.id/file?file=digital/127174-RB03A88p-Penggambaran motif...2.1. Sejarah Awal Perahu di Nusantara ... Uganda pada Suku Bantu di Afrika

33

Universitas Indonesia

Dalam upaya untuk mengetahui bentuk-bentuk perahu pada seni cadas di

Indonesia, perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu membedakan konstruksi

lambung menjadi dua tipe teknologi konstruksi. Pertama yaitu konstruksi lambung

satu batang pohon dan lambung lima komponen (terdiri dari satu batang pohon

dengan bagian kiri-kanannya dipertinggi dengan papan, sedang bagian haluan dan

buritan diberi tambahan). Konstruksi kedua yaitu konstruksi lambung papan.

Selain itu perlu diperhatikan bentuk layar dan tiang layar. Perahu Austronesia

pada awalnya memiliki layar segitiga dan tidak selalu memakai tiang layar.

Perahu layar segitiga yang memakai tiang layar, biasanya pendek. Layar

segiempat agak panjang digantung miring dan digunakan setelah zaman Masehi.

Pada perkembangannya, konstruksi tiang layar diperkuat dengan kaki tiga pada

perahu layar segiempat (Mahdi, komunikasi pribadi, 2007).

Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009