bab 2 tinjauan pustaka mengenai perahu...
TRANSCRIPT
17 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PERAHU TRADISIONAL
NUSANTARA
Dalam rangka mendapatkan gambaran yang jelas mengenai motif perahu
pada seni cadas di Indonesia diperlukan pendalaman materi atau tinjauan pustaka
mengenai perahu di Nusantara. Sumber kepustakaan yang berhasil dikumpulkan
dari berbagai artikel dan buku mengenai segala aspek yang berkaitan dengan
perahu tradisional di Nusantara.
2.1. Sejarah Awal Perahu di Nusantara
Perahu merupakan salah satu hasil budaya bahari yang sejak masa
prasejarah telah memegang peranan penting dalam kehidupan manusia di dunia
termasuk Nusantara. Perahu selain memiliki fungsi sosial ekonomi sebagai alat
transportasi air, untuk berkomunikasi antar masyarakat, perdagangan, dan sarana
mencari ikan, perahu juga berkaitan erat dengan religi masyarakat pendukungnya
yang mendiami pulau-pulau di Nusantara.
Penelitian F.L. Dunn dan D.F. Dunn (1977: 22) mengemukakan bahwa
antara 20.000 sampai 18.000 tahun lalu teknologi pelayaran di wilayah Asia
Tenggara masih sangat terbatas. Aktivitas pelayaran di laut terbuka belum
berjalan, kemungkinan baru tahap penggunaan rakit dengan eksploitasi jenis
kerang-kerangan di wilayah perairan dangkal seperti rawa-rawa dan hutan bakau
yang dipengaruhi pasang surut air laut. Kemudian sekitar 9000 tahun lalu mulai
dikenal adanya perahu yang penggunaannya bersama rakit dengan wilayah
eksploitasinya berupa rawa-rawa dan pelayaran terbatas di perairan terbuka.
Eksploitasi wilayah baru dilakukan dengan bertambahnya pengetahuan keahlian
berperahu. Selanjutnya sekitar 5000 tahun yang lalu diperkirakan telah ada
eksploitasi wilayah Laut Tiongkok Selatan dengan penguasaan navigasi laut dan
teknologi perahu yang semakin berkembang. Penggunaan cadik maupun layar
sederhana berupa anyaman dari dedaunan meningkatkan luas wilayah eksploitasi
dengan daya jelajah yang cukup jauh dari pantai (Dunn dan Dunn, 1977: 22-24).
Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009
18
Universitas Indonesia
Selain itu diperkirakan pelayaran dianggap lebih berkembang sejak awal
Holosen, penggunaan kayu gelondongan, ikatan kulit kayu atau buluh, kayu yang
dilubangi berupa kano dan jenis rakit dari bakau atau bambu merupakan alat-alat
pelayaran pada kala itu. Perkembangan teknologi pelayaran disebabkan karena
faktor kondisi permukaan air laut yang meninggi mencapai 130 meter pada kurun
15.000 hingga 8.000 tahun yang lalu. Terbentuknya pulau-pulau di Nusantara
yang menciptakan garis pantai yang lebih panjang dan sumber daya alam yang
melimpah serta iklim yang lebih stabil meningkatkan pertambahan populasi yang
berdampak pada kemajuan budaya termasuk eksploitasi sumber daya laut. Isolasi
geografi pulau-pulau di Nusantara oleh alam ditanggapi oleh manusia dengan
mengembangkan teknologi pelayaran untuk melakukan kontak atau migrasi antar
pulau-pulau (Simanjuntak 2001: 667).
Horridge (2006: 143) menduga penggunaan rakit dari bambu telah ada sejak
50.000 tahun lalu yang digunakan oleh manusia untuk bermigrasi dari Dataran
Sunda ke Dataran Sahul, ketika muka laut lebih rendah daripada sekarang dan
jarak antar daratan lebih pendek pada masa glasial. Selain itu rakit bambu mudah
dibuat dan dapat dikerjakan dengan alat batu yang sederhana. Sebaran rakit
bambu sampai sekarang masih terdapat di Indonesia, Melanesia, hingga ke Fiji.
Kemungkinan manusia pertama kali menggunakan rakit bambu menuju Australia
dan selanjutnya menggunakan perahu lesung. Penggunaan kayu dan bambu
sebagai rakit telah digunakan sebelum datangnya teknologi perahu petutur
Austronesia.
Terdapat hubungan antara perahu Austronesia dan perahu yang berkembang
di Lautan Hindia sekitar 5000 tahun lalu yang bercirikan teknologi berbentuk
perahu lesung dengan penambahan komponen berupa papan di atas dinding
lambung perahu lesung dan perahu papan yang digabungkan menggunakan tali
(sewn-plank) yang tersebar di Nusantara. Ciri ini juga terlihat pada perahu-perahu
di Mesir, Lembah Sungai Indus dan Mesopotamia. Selain itu bentuk tiang, teknik
pasak, bentuk ujung kemudi pipih segiempat, dan bentuk layar trapesium
berkembang sekitar 2000 tahun lalu pada jaringan perdagangan di selat Malaka.
Namun pengaruh dari teknologi yang berkembang di lautan Hindia pada teknologi
perahu Austronesia ini oleh Horridge (2006:145-147) dianggap kurang tepat
Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009
19
Universitas Indonesia
karena kelompok-kelompok petutur Austronesia meninggalkan wilayah Asia
Daratan jauh sebelum mendapat pengaruh dari teknologi perahu yang berkembang
di Lautan Hindia atau bahkan dari Mesir. Ia menunjukkan bahwa perahu-perahu
Ausronesia telah berkembang dengan menggunakan bentuk layar segitiga sejak
sekitar 200 tahun sebelum Masehi, teknologi layar segitiga ini baru berkembang
di Lautan Hindia pada sekitar 200 tahun Setelah Masehi hingga seribu tahun
kemudian diadopsi oleh para pelaut Portugis. Rute perdagangan dari Vietnam
menuju kawasan timur Nusantara sekitar 200 SM yang ditunjukkan oleh
persebaran nekara perunggu yang merupakan salah satu artefak dari budaya
Dongson yang mengikuti pergerakan musim angin monsoons di laut Cina Selatan
dan laut Jawa. Diperkirakan cengkih dan kayu manis merupakan komoditas
perdagangan yang dibawa oleh para pelaut petutur Austronesia menuju India dan
Srilangka, dan mungkin menuju pantai timur Afrika dengan menggunakan perahu
bercadik. Mereka meninggalkan jejak dengan pengaruh berupa desain perahu,
teknik pembuatan perahu, cadik, teknik menangkap ikan, dan sebagainya pada
bukti literatur di Yunani (Christie, 1957 dalam Horridge 2006: 146). Hal ini
didukung oleh Hornel (1928: 1-4) bahwa bentuk perahu di Victoria Nyanza,
Uganda pada Suku Bantu di Afrika Timur mirip dengan bentuk perahu yang
berada di Indonesia, dengan contoh perahu yang berasal dari Madura yaitu
bercirikan adanya tambahan papan pada dinding lambung dengan teknik ikat dan
terdapat dekorasi pada ujung haluan perahu. Selain itu juga didukung oleh data
lingusitik mengenai istilah-istilah perahu (Adelaar 2005) berdasarkan hasil
penelitian tahun 1951 pada kelompok petutur Austronesia dari Nusantara di
Madagaskar.
Perahu Austronesia awal tidak memakai cadik, perahu ini digunakan sebagai
perahu penangkap ikan yang ulung, dan terutama sebagai perahu perang dengan
konstruksi satu lambung. Bentuk perahu ini masih terdapat pada perahu naga di
Asia, bentuk kano pada suku Asmat, dan tergambarkan pada motif perahu pada
nekara perunggu (Horridge 2006: 147). Perahu Austronesia pada
perkembangannya memiliki ciri yang unik yaitu bentuk layar segitiga dan
bercadik tunggal. Bentuk cadik berupa batang bambu yang dihubungkan dengan
penghubung yang melintang di atas lambung perahu, sedangkan bentuk layar
Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009
20
Universitas Indonesia
segitiga dikembangkan dengan batangan bambu yang ditopang oleh tiang layar
yang miring (Horridge 2006:149).
Gambar 2.1. Bentuk Perahu Austronesia dengan Cadik Tunggal dan Layar Segitiga dari Satawal, Kepulauan Caroline (Sumber: Horridge, 2006: 149).
Pada komunitas petutur Austronesia, sarana transportasi mereka memiliki
ciri khas yaitu pada desain bentuk perahu masing-masing komunitas yang
diturunkan berdasarkan tradisi dari nenek moyang mereka. Penerus mereka
belajar untuk melanjutkan tradisi pembuatan perahu tanpa kecacatan karena
mereka yakin jika kesalahan tersebut terjadi akan berakibat fatal dan berbahaya
pada saat digunakan mengarungi lautan. Konstruksi perahu yang cenderung
konservatif dan berakibat pada teknik pembuatan perahu bertahan hingga seribu
tahun yang diturunkan pada generasi-generasi di bawahnya (Horridge 2006: 150).
Keberadaan perahu merupakan bagian dari transportasi air yang digunakan
untuk migrasi penduduk yang bertambah populasinya dan penyebaran bahasa di
Nusantara hingga ke Pasifik. Migrasi penutur bahasa Austronesia selama kurang
dari 3.500 tahun merupakan proses yang sangat cepat yang tentunya didukung
oleh penguasaan teknologi pelayaran (Koestoro, 1999).
Berdasarkan hasil penelitian W. Mahdi (1999: 145-148) sarana transportasi
air paling awal pada masyarakat penutur Austronesia di Nusantara adalah rakit-
rakit bambu yang selanjutnya berkembang dari gabungan balok-balok kayu yang
diikat. Balok-balok kayu kadang diceruk bagian dalamnya sehingga mirip kano.
Rakit dari balok kayu lalu berkembang menjadi perahu berlunas ganda (double
canoe) atau katamaran. Selanjutnya dari perahu berlunas ganda berkembang
Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009
21
Universitas Indonesia
menjadi perahu bercadik tunggal dan hingga pada akhirnya perahu bercadik
ganda.
Mahdi (1999) mengemukakan bahwa hubungan pelayaran jarak jauh
perahu-perahu Austronesia dengan perahu dari bangsa Semit di lautan Hindia
diperkirakan telah terjadi antara 1000 dan 600 SM. Hal ini berdasarkan data
tertulis Kitab Suci mengenai perjalanan pelaut dari bangsa Phoenic untuk
membantu ekspedisi pelayaran Raja Sulaiman ke tanah Ophir (Kings 9: 26-28;
Chron 8: 17-18 dalam Mahdi 1999: 153) dan terekam juga dalam Ioudaikes
Archaiologias yang merupakan tulisan orang Yahudi yaitu Flavius Joshephus
tahun 93 Masehi yang menyebutkan tujuan perjalanan ekspedisi tersebut ke tanah
Sopheir (Thackeray dan Marcus 1966: 658-660 dalam Mahdi 1999: 153).
Terdapat asumsi dari literatur yang lebih kemudian bahwa tujuan ekspedisi ke
arah timur itu adalah wilayah Semenanjung Malaya atau wilayah daratan
Sumatera yang dianggap sebagai Suvarnabhumi (tanah emas). Sedangkan pada
literatur yang lebih tua bahwa pelayaran hanya sampai pada daerah Sopara tidak
jauh dari Baroch (Baygaza) (Mahdi 1999: 153-155).
Gambar 2.2. Pengaruh yang saling menguntungkan pada bentuk tiang dan layar perahu pada perahu Austronesia dan perahu bangsa Semit (Sumber: Mahdi, 1999:158)
Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009
22
Universitas Indonesia
Pada gambar 2.2. terlihat adanya hubungan yang saling menguntungkan
antara dua teknologi yang berkembang pada komunitas petutur Austronesia di
Nusantara dan para pelaut Semit di wilayah perairan Selat Malaka, Laut Merah,
dan Teluk Persia, yaitu bentuk layar dan sistem tali temali. Bentuk layar pada
perahu bangsa Semit, seperti yang terekam dalam sejarah Mesir Kuna dan Laut
Tengah, adalah segiempat yang dipasang di tengah tiang perahu secara simetris
dan tidak memakai kayu atau bambu pengikat layar. Sedangkan bentuk layar
perahu Ausronesia umumnya bervariasi, namun ciri khasnya berbentuk segitiga
dengan pengikat kayu atau bambu pada ujung-ujung layarnya dan layar dipasang
tidak simetris pada tiang perahu. Pengaruh dari kedua teknologi perahu tersebut
pada perahu bangsa Latin yaitu bentuk layar perahu segitiga yang dipasang lebih
dekat ke tengah tiang layar yang merupakan pengaruh dari bentuk layar
Austronesia, namun bentuk layar pada perahu ini tidak memiliki batas bawah pada
layarnya yang merupakan perkembangan dari bentuk layar bangsa Semit.
Sedangkan bentuk layar pada perahu bangsa Melayu awal yaitu berbentuk layar
segiempat dengan digantung miring pada tiang layar namun tidak simetris di
tengah tiang layar. Bentuk layar segiempat mendapat pengaruh dari bangsa Semit
dengan tetap mempertahankan batangan kayu atau bambu sebagai batas bawah
layar yang merupakan perkembangan dari perahu Austronesia awal (Mahdi, 1999:
157-159).
Selain itu bentuk pelayaran jarak jauh perahu-perahu Austronesia
menggunakan cadik atau tanpa cadik. Bentuk perahu tanpa cadik yang berukuran
lebih besar terbuat dari konstruksi lambung papan sedangkan perahu bercadik
umumnya berkonstruksi perahu lesung, tetapi bentuk konstruksi papan juga
digunakan. Persebaran perahu bercadik ganda maupun bercadik tunggal sangat
luas di Nusantara hingga sekarang.
2.2. Temuan Arkeologis Tinggalan Perahu Tradisional di Indonesia
Temuan arkeologis mengenai jejak perahu lesung tertua, yaitu sekitar 8000
BP ditemukan di Kuahuqiao, wilayah Sungai Yangzse, China. Temuan ini
berasosiasi dengan sisa rotan atau bambu yang diperkirakan bagian dari layar atau
bagian atap sebuah kano (Jiang dan Liu 2005 dalam Lape et al. 2007: 239).
Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009
23
Universitas Indonesia
Sedangkan temuan tinggalan perahu tertua di Eropa ditemukan di Pesse, Belanda
yang diperkirakan sekitar ± 6.315 SM berdasarkan pertanggalan radio karbon.
Bukti tertua tinggalan arkeologis di Asia Tenggara mengenai sisa perahu
ditemukan di wilayah Kuala Pontian, pantai timur Pahang, Malaysia berupa tiga
keping papan, sebuah sisa lunas, dan beberapa gading-gading yang berasosiasi
dengan sisa guci yang mirip dengan temuan di Oc-eo, Vietnam Selatan (Utomo,
2007: 24). Berdasarkan pertanggalan radio karbon diperkirakan berasal dari
sekitar abad 3-5 Masehi (Booth 1984: 189-204 dalam Utomo, 2007: 24).
Gambar 2.3. Jukung Sudur berasal dari abad 15-16 Masehi dari Kalimantan
(Sumber: Utomo, 2007).
Berdasarkan penelitian arkeologis tinggalan perahu lesung dengan
pertanggalan yang paling tua belum ditemukan di Indonesia. Temuan perahu
lesung berasal dari abad ke 15-16 Masehi ditemukan di tepi Sungai Tarasi, Desa
Kaludan Besar, Amuntai Tengah, Kalimantan Selatan berupa Jukung Sudur yang
sekarang berada di Museum Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan (Utomo,
2007: 55-56). Perahu yang ditemukan berukuran panjangnya dengan lebar 115 cm
dan kedalamannya 32 cm, yang diperkirakan dapat memuat 30 orang (Utomo,
2007: 51). Berdasarkan jejak pada badan perahu, alat yang digunakan yaitu
belayung atau belincung. Pada bagian badan perahu terdapat delapan buah
tonjolan berbentuk persegi panjang yang dipahatkan langsung pada batang perahu
Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009
25
Universitas Indonesia
lagi. Masing-masing keping papan panjang maksimumnya 250 cm dengan lebar
antara 20 hingga 30 cm dan ketebalannya 5 cm. Terdapat tambuko dan lubang-
lubang untuk memasukkan tali dan pasak untuk menyatukan papan-papan
pembentuk badan perahu dengan gading-gading (Utomo, 2007: 70).
Temuan jenis perahu papan lainnya terdapat di situs-situs Paya Pasir,
Sumatera Utara; Bukit Jakas, Riau; Ujung Plancu, Jambi; Karanganyar,
Sambirejo, Tulung Selapan, Tanjung Jambu, Sumatera Selatan; Tanjung Pandan,
Bangka Belitung; dan Pasucinan, Jawa Timur (Utomo, 2007: 64-74)
2.3. Perahu sebagai Peti Mati di Indonesia
Perahu mempunyai makna religius bagi sebagian masyarakat di Asia
Tenggara, termasuk Indonesia (Ballard et all, 2003: 392-393; Utomo, 2007: 27-
28; Szabo et all, 2008: 163-165). Berkaitan dengan penguburan, perahu
digunakan sebagai wadah kubur pada beberapa suku di Indonesia. Misalnya suku
Dayak Ngaju yang menempatkan si mati pada perahu peti mati, yang bermakna
bahwa orang yang telah mati akan berpindah menuju alam arwah dengan
menggunakan perahu sebagai wahananya. Suku Dayak Ngaju mempunyai dua
istilah bagi perahu peti mati tersebut, yaitu banawa tingang (perahu bangau) dan
banawa bulan (perahu ular air) (Utomo 2007: 28).
Foto 2.1. Replika perahu suku Ngaju Dayak terbuat dari lateks berukuran 240 x 465 mm (Foto diambil dari buku Art of Southeast Asia, 2004: 50)
Perahu yang digunakan oleh orang Dayak Ngaju tidak hanya sebagai peti
mati saja, namun perahu juga digunakan sebagai alat transportasi sehari-hari
(Perry, 1915: 142).
Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009
26
Universitas Indonesia
Pada situs-situs gua prasejarah di Asia Tenggara sering ditemukan bentuk-
bentuk peti mati berupa perahu. Tinggalan bentuk perahu peti mati tersebut masih
dapat ditemukan di Gua Liang Kain Hitam, Niah, Sarawak, Malaysia (Harrison,
1958 dalam Szabo et al., 2008). Selain itu ditemukan juga di Kepulauan Kei
(Sukendar 2002: 182).
Foto 2.2. Bentuk peti mati berupa perahu di Gua Liang Kain Hitam, Niah, Sarawak, Malaysia (Sumber: Szabo, 2008: 151)
Foto 2.3. Bentuk peti mati berupa perahu di Kepulauan Kei (Sumber: Sukendar, 2002: 182)
Contoh lain dari penggunaan peti mati berbentuk perahu yaitu yang
digunakan oleh orang Galera, Halmahera. Tradisi mereka menyatakan bahwa
Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009
27
Universitas Indonesia
nenek moyangnya berasal dari arah barat laut seberang lautan. Ketika tanah orang
meninggal dipisahkan oleh perairan, maka perahu digunakan untuk perjalanan
tersebut, dan perahu telah lama bertahan sebagai alat transportasi perairan sehari-
hari. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas menganggap asal nenek moyang
mereka dari seberang lautan, sehingga ketika anggota masyarakatnya meninggal
perahu digunakan sebagai simbol kendaraan arwah yang meninggal menuju dunia
arwah (Perry, 1915: 143).
Pada komunitas Austronesia, perahu memiliki bentuk yang bervariasi yang
digunakan dalam konteks kematian. Peti mati berbentuk perahu ada yang dipahat
dari kayu atau bongkahan batuan, dan bentuk motif perahu juga digambarkan
pada kain dari kulit kayu, dan kayu yang disimpan pada situs penguburan. Praktek
penguburan pada perahu sebagai peti mati juga ditemukan di Semenanjung
Malaysia di sebelah barat, Filipina di sebelah utara, dan kepulauan Solomon di
sebelah timur (Ballard et al, 2003: 393).
2.4. Motif Perahu pada Nekara Perunggu di Indonesia.
Di Asia Tenggara, logam mulai dikenal sekitar 3000-2000 Sebelum Masehi.
Nekara perunggu (kettledrum) merupakan salah satu warisan budaya logam yang
merupakan komoditas perdagangan pada masa perundagian yang tersebar di Asia
Tenggara, termasuk di Indonesia (Soejono 1984: 245).
Laporan pertama mengenai nekara perunggu yaitu pada tulisan tahun 1905
“D’Amboinsche Rariteitenkamer” yang dibuat oleh G.E. Rumphius sekitar tahun
1704 mengenai nekara di Pejeng, Bali. Tahun 1884, A.B Meyer dalam
publikasinya menyebutkan temuan nekara di Jawa, Salayar, Luang, Roti, dan Leti.
Meyer bersama dengan W. Fox tahun 1897 menerbitkan buku berjudul
“Bronzepauken aus Sudost Asien” yang merupakan hasil studi perbandingan
nekara-nekara perunggu di Asia Tenggara, mereka berpendapat bahwa nekara
perunggu dibuat di Khmer dan kemudian disebarkan ke seluruh Asia Tenggara
termasuk Indonesia. Tahun 1902 F. Heger menerbitkan sebuah karangan berjudul
“Alte Metalltrommeln aus Sudost Asien” mengenai klasifikasi morfologis seluruh
nekara perunggu di Asia Tenggara (Soejono, 1984: 245).
Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009
28
Universitas Indonesia
Heger memberikan uraian mengenai bentuk nekara di dunia serta
mengklasifikasikannya ke dalam empat tipe yang diberi nomor kode H-I sampai
dengan H-IV. Meyer (1897) sebelumnya telah mengklasifikasi nekara ke dalam
enam tipe dengan nomor M-I sampai dengan M-VI yang kemudian oleh Heger
lebih disederhanakan ke dalam empat tipe.6
Jenis motif hias pada nekara perunggu yang ditemukan di Indonesia yaitu
antara lain motif geometri, benda langit, figur manusia, bentuk bangunan, fauna
seperti burung, katak, dan rusa, serta perahu. Hiasan motif perahu ditemukan pada
nekara yang terdapat di Kabunan, Sangeang, Salayar, Roti, Leti, dan Kur
(Kempers, 1988).
Gambar 2.5. Motif Perahu pada Nekara Perunggu di Laos (Sumber: Kempers, 1988: 146)
Penggambaran motif perahu ini dianggap sebagai perjalanan arwah
menggunakan perahu yang merupakan budaya Dongson yang bermigrasi sekitar
2.500 tahun yang lalu (Tanudirjo, 1985). Sedangkan Looft-Wissowa (1991, dalam
Bellwood 2000: 403) menganggap bahwa motif hias pada nekara itu
6 Ciri-ciri dari empat tipe nekara perunggu yang diklasifikasikan oleh Heger. Nekara tipe
Heger I mempunyai bidang pukul dengan garis tengah yang lebih besar daripada ukuran tinggi keseluruhan nekara. Bahu berbentuk cembung, bagian tengah berbentuk silindrik dan kaki melebar berbentuk seperti kerucut terpancung dengan bagian bawah yang terbuka. Nekara tipe Heger II mempunyai bidang pukul yang lebih besar daripada tubuh nekara, sehingga menjorong ke luar. Bagian bahu tidak berbentuk cembung, tetapi lurus ke pinggangnya. Tipe Heger III mempunyai bentuk yang hampir sama dengan nekara tipe Heger II. Bagian bahunya melurus ke bawah dan di bagian pinggang agak melengkung ke dalam, sehingga tampak bentuk pinggang. Nekara tipe Heger IV mempunyai bidang pukul yang menutup badan nekara,bahu berbentuk cembung dan bagian tengahnya hanya sedikit membentuk pinggang kemudian melurus ke bawah. Pada bentuk nekara tipe ini tampak seolah-olah bagian atas lebih besar daripada bagian bawah (Soejono, 1984: 249-254).
Temuan nekara perunggu di Indonesia hanya dari tipe Heger I dan Heger IV antara lain sebagian besar ditemukan di Indonesia bagian Timur yaitu di Pulau Sangeang, Pulau Roti, Pulau Leti, Pulau Kur (Kepulauan Kei), dan Pulau Salayar. Nekara-nekara tersebut sekarang disimpan di Museum Nasional, kecuali nekara dari Selayar. Motif hias nekara-nekara dari daerah Indonesia Timur ini memiliki banyak persamaan dengan motif hias Cina dan Dongson (Hartatik, 1999: 18).
Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009
24
Universitas Indonesia
tersebut yang dinamakan sangkar5. Diduga pada abad 15-16 Masehi, jukung sudur
itu difungsikan sebagai sarana transportasi oleh tokoh masyarakat atau penguasa
setempat (Utomo, 2007: 51-52).
Gambar 2.4. Sampan Sudur Itik dari Sumatera Utara abad 19 Masehi (Sumber: Utomo, 2007)
Temuan lain perahu lesung yaitu jenis sampan sudur itik yang berasal dari
abad ke 19 di daerah Pantai Cermin, Serdang Begadai, Sumatera Utara yang
berada di daerah perkebunan kelapa sawit dan cokelat. Temuan perahu ini
memiliki panjang 910 cm dengan lebar 86 cm dan kedalamannya 28 cm. Perahu
ini berasal dari batang pohon cangal (Hopea sangal). Berdasarkan jejak pada
badan perahu pengerjaan perahu lesung ini menggunakan belincung, dinding
lambung memiliki tebal 3 cm, dan dasar badan perahu sekitar 4 cm. Perahu ini
memiliki 13 buah sangkar seperti pada temuan perahu jukung sudur di
Kalimantan Selatan. Perahu sampan sudur itik ini berkaitan dengan
pemanfaatannya sebagai sarana transportasi di daerah perairan yang ada di
perkebunan pada akhir abad 19 Masehi (Utomo, 2007: 57-62).
Berdasarkan penelitian arkeologis temuan mengenai tinggalan perahu papan
paling tua di Indonesia berada di situs Kolam Pinisi, di kaki Bukit Seguntang
sebelah barat Palembang. Berdasarkan pertanggalan C14 sisa perahu ini berasal
dari sekitar tahun 434-631 Masehi. Temuan sisa perahu terdiri dari lebih dari
enam puluh keping papan badan dan lunas perahu dengan kondisi yang tidak utuh
5 Sangkar ini berfungsi untuk menopang papan atau batang kayu yang diletakkan melintang pada
badan perahu sebagai tempat duduk penumpang atau pendayung dan sebagai penguat badan perahu (Utomo 2007:53).
Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009
29
Universitas Indonesia
menggambarkan adegan lomba perahu yang beraspek kesuburan bukan
menggambarkan perjalanan perahu arwah yang membawa jiwa ke dunia akhirat
dan nekara-nekara itu dihadiahkan kepada para penguasa setempat sebagai
lambang martabat raja dan kekuasaannya oleh para penguasa politik dan agama di
Vietnam.
Namun demikian, Bernet Kempers (1988) berpendapat bahwa mungkin
nekara perunggu tersebut dibawa ke Indonesia oleh para pengungsi yang
menghindari peperangan atas penguasaan wilayah Vietnam oleh China. Motif
perahu yang ada pada nekara tersebut tidak memiliki tiang maupun layar, begitu
juga dengan cadik untuk keseimbangan tidak digambarkan. Motif perahu tersebut
oleh Kempers (1988) dianalogikan dengan bělang yaitu perahu yang digunakan
khusus untuk ritual di Kepulauan Kei dan Tanimbar, dan penggambaran motif
perahu pada papan pada Suku Dayak. Selain itu, juga dianalogikan dengan
penggambaran pada motif kain di Sumatera bagian Selatan yang
merepresentasikan “Totality and Holy Life” atau kemutlakan dan kehidupan yang
suci.
Foto 2.4. Motif Hias Perahu pada Kain Tampan berukuran 870 x 670 mm dari Lampung (Sumber foto: Kerlogue, 2004:51)
Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009
30
Universitas Indonesia
2.5. Teknologi Perahu Tradisional Indonesia.
Munculnya perahu sebagai alat transportasi air adalah usaha adaptasi
manusia untuk menghadapi kondisi lingkungan alam yang ada di sekitarnya. Pada
dasarnya prinsip dari sebuah perahu yaitu benda yang dapat mengapung, dapat
mengangkut manusia dan barang bawaan, serta dapat dikendalikan ke tempat
yang dituju. Pada kondisi perairan dengan arus yang tidak terlalu deras
diperkirakan sebuah perahu mulai dikenal ketika seseorang menggunakan batang
kayu yang hanyut, atau seikat bambu untuk membantunya terapung di atas air.
Rakit ini terdiri dari beberapa lapis horizontal kayu atau bambu dengan
menggabungkan batangan kayu atau bambu yang diikat dengan tali. Hal ini
bertujuan untuk menambah daya apung dan daya muat rakit tersebut (Casson
1959: 103).
Kemudian ditemukan bahwa penggunaan kayu yang berongga memiliki
daya apung yang lebih besar dibandingkan dengan batang kayu bulat. Balok kayu
yang dilubangi di bagian tengahnya, sehingga menyisakan bagian sisi-sisinya
dikenal sebagai perahu lesung atau dugout canoe. Pada perkembangan selanjutnya
ada penambahan bagian sisi-sisi tersebut dengan papan-papan yang berguna untuk
keseimbangan, sehingga cadik digunakan di perairan lepas pantai (Utomo,
2007:21).
Dari segi teknologi, perahu dikelompokkan ke dalam dua jenis perahu
berdasarkan bentuk, bahan, dan konstruksinya. Jenis pertama adalah bentuk
perahu lesung atau kano (dugout canoe) sedangkan jenis kedua yaitu perahu
papan (planked boat). Perahu lesung berbahan balok kayu utuh yang dilubangi
bagian tengahnya, menghasilkan bentuk ramping atau pipih memanjang dengan
konstruksi lambung atau badan yang polos tanpa sambungan. Teknik pembuatan
perahu lesung secara umum yaitu menggunakan material sebuah batangan kayu
yang bulat lurus dengan ukuran diameter dan panjang yang disesuaikan dengan
ukuran perahu yang diinginkan. Kayu yang telah disiapkan bagian dalamnya
dikeruk hingga mencapai kedalaman tertentu (Utomo, 2007: 233-234).
Tipe perahu lesung antara lain sampan, bentuk perahu yang biasanya dibuat
dari batang kayu yang besar, dengan cara dipahat sehingga diperoleh rongga
memanjang untuk penumpang atau barang, pada bagian depan dan belakang
Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009
31
Universitas Indonesia
meruncing dan tipis dengan maksud agar dapat bergerak cepat. Di Sulawesi
Selatan, jenis sampan dikenal dengan sebutan lepa-lepa yang dipergunakan untuk
menangkap ikan (memancing atau menjala) dan biasanya dinaiki oleh dua atau
tiga orang. Sejenis dengan sampan di Kalimantan dikenal bentuk perahu jukung
yang terbuat dari batang kayu utuh yang dibelah kayunya. Kemudian diceruk dan
dibakar pada bagian cekungannya untuk memperbesar bagian badan perahu.
Perahu jukung memiliki tebal sekitar 10 cm pada bagian dasarnya dan mampu
bergerak pada kedalaman air yang hanya 10 cm. Perahu lesung yang digunakan di
perairan laut biasanya menggunakan cadik pada sisi kiri dan kanan badan perahu,
setelah menambahkan papan-papan pada dinding lambung perahunya (Utomo,
2007:26.193,200).
Untuk pembuatan perahu papan bahan kayu yang digunakan tidak dari satu
pohon saja, sehingga bentuk perahu yang dihasilkan lebih beragam. Tidak hanya
ramping atau pipih memanjang. Bagian konstruksi lambungnya secara
keseluruhan merupakan sambungan papan atau kayu, tetapi biasanya
menggunakan lunas yang terbuat dari satu batang kayu. Lunas yang terdiri dari
satu batang kayu pada awalnya merupakan bentuk dari perahu lesung, sehingga
lunas dapat digunakan untuk mengetahui panjang sebuah perahu papan (Utomo,
2007:234).
Terdapat dua tradisi kuna dalam pembangunan perahu di Asia Tenggara,
termasuk di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian arkeologis mengenai situs-
situs sisa perahu di Indonesia, yaitu perahu dengan teknik ikat dan teknik pasak.
Teknik ikat menggunakan bahan tali dari ijuk untuk menyatukan papan-papan
badan perahu. Selain itu, digunakan tambuko untuk menyatukan badan perahu
dengan gading-gading (rusuk perahu atau tulang-tulang kayu yang disambungkan
oleh tambuko). Modifikasi yang terlihat dari teknologi pasak pada perahu
tradisional di Nusantara yaitu teknik ikat, teknik pasak kayu atau bambu, teknik
gabungan ikat dan pasak kayu atau bambu, dan perpaduan teknik pasak kayu dan
paku besi (Utomo, 2007: 85-86).
Secara umum pembangunan perahu yang dibuat dengan teknologi tradisi
Asia Tenggara mempunyai ciri-ciri khas, antara lain memiliki teknik
penyambungan papan yang terkenal, yaitu teknik papan ikat dan kupingan
Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009
32
Universitas Indonesia
mengikat (sewn-plank and lashed-lug technique); bentuk perahu berukuran besar
sehingga tidak memiliki cadik; bagian badan (lambung) perahu berbentuk seperti
huruf V sehingga bagian lunasnya berlinggi, haluan dan buritan umumnya
simetris; tidak ada sekat-sekat kedap air di bagian lambungnya; dalam seluruh
proses produksinya tidak menggunakan paku besi; kemudi terdapat di bagian
kanan dan kiri buritan; teknik pemasangan tiang dan layar perahu dengan
pengetahuan dan teknik yang berkemampuan tinggi (Manguin 1993: 262-263).
2.6. Bagian-bagian Perahu Tradisional Indonesia.
Perahu tradisional di Indonesia memiliki keragaman bentuk yang sangat
bervariasi di tiap-tiap pulau di Indonesia. Unsur-unsur utama perahu tradisional
antara lain mencakup lunas atau dasar, lambung, linggi, dayung, kemudi, tiang,
dan layar perahu.
Bagian perahu yang disebut lunas adalah batangan kayu utama pada bagian
bawah dari kerangka dasar perahu papan, sedangkan dasar adalah bagian bawah
dari perahu lesung. Lambung adalah bentuk dinding perahu. Linggi adalah bentuk
tambahan perahu pada bagian haluan atau buritan yang menonjol ke atas.
Sedangkan dayung merupakan alat kayuh perahu terbuat dari batang kayu yang
memanjang dengan bentuk pipih di bagian ujungnya. Pada bagian pangkal dayung
biasanya terdapat hiasan. Bentuk kemudi menyerupai dayung yang agak tebal
pada bagian ujungnya, berfungsi sebagai pengarah perahu dan umumnya terdapat
di bagian buritan perahu, penggambaran kemudi pada motif perahu di seni cadas
dapat menentukan arah orientasi motif perahu (Ardiati, 2004).
Gambar 2.6. Bagian-bagian Perahu Tradisional di Indonesia (diolah dari Horridge, 1981)
6
5
3
4
1
3
2
Keterangan : 1. Dasar Perahu 2. Lambung Perahu 3. Linggi Perahu 4. Kemudi Perahu 5. Tiang layar Perahu 6. Layar Perahu
Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009
33
Universitas Indonesia
Dalam upaya untuk mengetahui bentuk-bentuk perahu pada seni cadas di
Indonesia, perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu membedakan konstruksi
lambung menjadi dua tipe teknologi konstruksi. Pertama yaitu konstruksi lambung
satu batang pohon dan lambung lima komponen (terdiri dari satu batang pohon
dengan bagian kiri-kanannya dipertinggi dengan papan, sedang bagian haluan dan
buritan diberi tambahan). Konstruksi kedua yaitu konstruksi lambung papan.
Selain itu perlu diperhatikan bentuk layar dan tiang layar. Perahu Austronesia
pada awalnya memiliki layar segitiga dan tidak selalu memakai tiang layar.
Perahu layar segitiga yang memakai tiang layar, biasanya pendek. Layar
segiempat agak panjang digantung miring dan digunakan setelah zaman Masehi.
Pada perkembangannya, konstruksi tiang layar diperkuat dengan kaki tiga pada
perahu layar segiempat (Mahdi, komunikasi pribadi, 2007).
Penggambaran motif..., Adhi Agus Oktaviana, FIB UI, 2009