bab 2 tinjauan pustaka 2.1 diabetes...
TRANSCRIPT
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus
2.1.1 Definisi DM
Diabetes melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karateristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya (Purnamasari, 2014). Manifestasi utama mencakup
gangguan metabolisme lipid, karbohidrat, dan protein yang pada gilirannya
merangsang kondisi hiperglikemia (Manaf, 2009).
2.1.2 Epidemiologi DM
World Health Organization (WHO) memperkirakan prevalensi global DM
akan meningkat dari 171 juta orang pada tahun 2000 menjadi 366 juta tahun 2030.
Berdasarkan data organisasi kesehatan international diabetes federation (IDF)
tahun 2013 Indonesia menempati urutan ke-7 terbesar dalam jumlah penderita
DM di dunia dengan jumlah penderita DM mencapai 8,5 juta orang dan sebanyak
4,8 juta orang meninggal akibat penyakit metabolik ini dan 471 miliar dolar
Amerika dikeluarkan untuk pengobatannya (Kemenkes, 2013).
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan oleh Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, Republik Indonesia pada tahun 2007, diketahui
bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun
di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 (14,7%) dan di daerah pedesaan
menduduki ranking ke-6 (5,8%) (Kemenkes, 2013).
6
2.1.3 Klasifikasi DM
Pada tahun 1980-1985 WHO mengklasiikasikan diabates mielitus dalam
dua jenis yaitu insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) dan non insulin
dependent diabetes mellitus (NIDDM). Klasifikasi terbaru DM adalah dm tipe 1,
2, gestasional dan tipe spesifik lain (American Diabetes Association, 2016).
1. Diabetes melitus tipe 1 (diabetes juvenile), ditandai dengan
kerusakan selektif sel beta (sel B) dan defisinsi insulin yang parah
atau absolut yang disebabkan auto imun atau idiopatik. Biasanya
ditandai dengan kehadiran anti-asam glutamat dekarboksilase, sel islet
atau insulin antibodi yang mengidentifikasi proses autoimun yang
menyebabkan kerusakan sel beta.
2. Diabetes melitus tipe 2, bentuk yang lebih sering dijumpai, meliputi
sekitar 90% pasien yang menyandang diabetes. Insensitivitas jaringan
terhadap insulin (resistensi insulin) dan tidak adekuatnya respon sel β
pankreas terhadap glukosa plasma yang khas, menyebabkan produksi
glukosa hati berlebihan dan penggunaannya yang terlalu rendah oleh
jaringan.
3. Diabetes melitus tipe lain, disebabkan berbagai kausa spesifik lain
peningkatan kadar glukosa darah: kelainan genetik pada sel beta
pankreas, kelainan genetik pada aksi insulin, penyakit dari eksokin
pankreas, endokrinopati, karena induksi obat dan zat kimia, infeksi,
reaksi autoimun, sindrom yang disertai dengan DM.
4. Gestasional diabetes mellitus (GDM), terjadi pada wanita yang tidak
menderita DM sebelum kehamilannya. Hiperglikemia selama
7
kehamilan akibat sekresi hormon-hormon plasenta. Semua wanita
hamil harus menjalani skrining pada usia kehamilan 24 hingga 27
minggu untuk mendeteksi kemungkinan DM. Penatalaksanaan
pendahuluan mencakup modifikasi diet dan pemantauan kadar
glukosa darah. Sesudah melahirkan bayi, kadar glukosa darah pada
wanita yang menderita DM gestational akan kembali normal. Banyak
wanita yang mengalami DM gestational ternyata dikemudian hari
menderita DM tipe 2.
(Baynest, 2015)
2.1.4 Patofisiologi DM
1. Diabetes melitus tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 disebut juga diabetes yang diperantarai imun
dimana hasil dari interaksi genetik, lingkungan, dan faktor imunologi
dimana pada akhirnya mengarah pada kerusakan sel β pankreas serta
defisiensi insulin. Massa sel β selanjutnya menurun dan sekresi insulin
menjadi semakin terganggu, meskipun toleransi glukosa normal
dipertahankan (Baynest, 2015).
8
(Silbernagl Lang , 2012)
Gambar 2.1
Patofisiologi DM Tipe 1
Diabetes melitus yang tipe ini hanya 5-10% dari penderita DM.
Tanda dari penghancuran imun sel β termasuk autoantibodi sel islet,
autoantibodi terhadap insulin, autoantibodi untuk GAD (GAD65), dan
autoantibodi terhadap tirosin fosfatase IA-2 dan IA-2b. Diabetes melitus
tipe 1 ini, tingkat kehancuran sel β cukup bervariasi, menjadi cepat pada
beberapa individu (terutama bayi dan anak-anak) dan lambat pada orang
lain (terutama dewasa). Pada pasien, terutama anak-anak dan remaja, dapat
disertai ketoasidosis sebagai manifestasi pertama penyakit. Pada orang
dewasa, dapat mempertahankan fungsi sel β sisa yang cukup untuk
mencegah ketoasidosis selama bertahun-tahun, namun pada akhirnya
menjadi tergantung pada insulin untuk bertahan hidup dan beresiko untuk
ketoasidosis. Tahap selanjutnya dari penyakit, ada sedikit atau tidak ada
sekresi insulin sebagai manifestasi dari rendah atau tidak terdeteksi C-
peptida di dalam plasma. Diabetes melitus tipe 1 umumnya terjadi pada
masa kanak-kanak dan remaja, tetapi bisa terjadi pada usia berapapun,
bahkan dalam dekade 8 dan 9 kehidupan. Kehancuran autoimun sel β
9
memiliki beberapa kecenderungan genetik dan juga terkait dengan faktor
lingkungan yang masih buruk. Walaupun pasien jarang obesitas ketika
mereka hadir dengan diabetes tipe ini, kehadiran obesitas tidak
bertentangan dengan diagnosis. Pasien-pasien ini juga rentan terhadap
gangguan autoimun lainnya seperti penyakit Graves, tiroiditis Hashimoto,
penyakit Addison, vitiligo, celiac sprue, hepatitis autoimun, myasthenia
gravis, dan anemia pernisiosa (Silbernagl Lang, 2012).
Beberapa bentuk DM tipe 1 tidak memiliki etiologi yang dikenal,
disebut dengan idiopatik diabetes. Beberapa pasien dengan diabetes ini
memiliki insulinopenia dan rentan terhadap ketoasidosis, tetapi tidak
memiliki bukti autoimun (Silbernagl Lang, 2012).
2. Diabetes Melitus tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 atau bisa disebut juga dengan non insulin
dependent diabetes mellitus (NIDDM). Non insulin dependent diabetes
mellitus merupakan diabetes yang paling sering terjadi dan terdapat
defisiensi insulin relatif. Pelepasan insulin dapat normal atau bahkan
biasanya meningkat, tetapi organ target memiliki sensitivitas yang
berkurang terhadap insulin (Silbernagl Lang, 2014).
Pasien NIDDM biasanya memiliki berat badan berlebih yang terjadi
karena disposisi genetik, asupan makanan yang terlalu banyak dan
aktivitas fisik yang terlalu sedikit. Ketidakseimbangan tersebut
meningkatkan konsentrasi asam lemak di dalam darah yang selanjutnya
akan menurunkan penggunaan glukosa di otot dan jaringan lemak. Hal
tersebut dapat menyebabkan terjadinya resistensi insulin yang memaksa
10
beta pankreas untuk meningkatkan pelepasan insulin. Obesitas merupakan
pemicu yang penting namun bukan satu-satunya penyebab NIDDM,
karena faktor disposisi genetik meupakan faktor yang lebih penting.
Seringnya pelepasan insulin yang tidak pernah normal, maka beberapa gen
telah diidentifikasi sebagai gen yang meningkatkan terjadinya obesitas dan
NIDDM. Diantara beberapa faktor tersebut, kelainan genetik pada protein
yang memisahkan rangkaian di mitokondria membatasi penggunaan
substrat. Oleh karena itu, jika faktor disposisi genetiknya kuat maka resiko
mengalami NIDDM dapat terjadi pada usia muda (Silbernagl Lang,
2012).
Adanya penurunan sensitivitas terhadap insulin mempengaruhi efek
insulin pada metabolisme glukosa, sedangkan pengaruhnya pada
metabolisme lemak dan protein tetap dipertahankan dengan baik. Dapat
disimpulkan NIDDM lebih cenderung menyebabkan hiperglikemia berat
tanpa disertai metabolisme lemak. Defisiensi insulin relatif juga dapat
disebabkan oleh autoantibodi terhadap reseptor insulin atau transmisi
intrasel. Tanpa adanya disposisi genetik, diabetes dapat terjadi pada
perjalanan penyakit lain, seperti pankreatitis dengan kerusakan sel beta
atau kerusakan toksik pada sel beta. Diabetes melitus ditingkatkan oleh
peningkatan pelepasan hormon antagonis, diantaranya somatotropin,
glukokortikoid, epinefrin, progestogen dan choriomamotropin,
Adrenocorticotropic Hormon (ACTH), hormone thyroid dan glukagon.
Infeksi yang cukup berat dapat meningkatkan pelepasan beberapa hormon
yang telah disebutkan diatas sehingga meningkatkan manifestasi DM.
11
Somatostatinoma dapat menyebabkan diabetes karena somatostatin yag
disekresikan dapat menghabat pelepasan insulin (Silbernagl Lang,
2012).
(Silbernagl Lang , 2012)
Gambar 2.2
Patofisiologi DM Tipe 2
2.1.5 Diagnosis DM
Penilaian diagnostik DM dilaksanakan pada pasien yang menunjukkan
gejala dan tanda penyakit DM, selain itu dilakukan pemeriksaan penyaring yang
bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai
risiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan pada mereka yang hasil
pemeriksaan penyaringnya positif untuk memastikan diagnosis definitif.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar
glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti
dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO).
12
Kriteria diagnosis DM menurut Ameican Diabetes Assoiation (ADA)
tahun 2016 adalah:
HbA1c ≥ 6,5 % atau
Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L) atau
Kadar glukosa darah ≥ 200mg/dL (11,1 mmol/L) pada dua jam setelah
beban glukosa 75 gram pada tes toleransi glukosa atau
Kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L).
Diagnosis DM menurut konsensus pengendalian dan pencegahan DM tipe
2 di Indonesia tahun 2011 dapat ditegakkan melalui tiga cara yaitu :
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1
mmol/L) atau
2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7.0
mmol/L) atau
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO dengan beban 75 gram ≥ 200
mg/dL (11,1 mmol/L) (Ndraha, 2014).
Tabel 2.1 Karakteristik DM Tipe 1 dan DM Tipe 2
DM Tipe 1 DM Tipe 2
Usia Anak-anak Remaja, dewasa
Onset Akut, severe Mild-severe
Sekresi insulin Sangat rendah Berubah-ubah
Insulin tergantung Permanen Sementara
Faktor resiko
ras/etnik
Semua ras (rendah di Asia) Afrika, Amerika, Asia
Pasifik
Genetik Poligenik Poligenik
Hubungan dengan
obesitas
Tidak Kuat
Achantosis nigricans Tidak Ya
Autoimun Ya Tidak (Loghamani, 2005)
13
(Ndraha, 2014)
Gambar 2.3
Alur Diagnostik pada Diabetes Melitus secara Klinis dan Laboratorium
14
2.1.6 Tatalaksana DM
Dalam mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut perlu dilakukan
tatalaksana yang baik. Tatalaksana DM terdiri dari:
1. Edukasi
Edukasi pada pasien DM tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya
hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Diabetes melitus
tipe 1 terjadi dikarenakan oleh kelainan pada beta pankreas, sehingga
menyebabkan insulin tidak dapat diproduksi. Pemberdayaan
penyandang DM memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan
masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju
perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,
dibutuhkan edukasi (Ndraha, 2014).
2. Terapi gizi medis
Perencanaan Makan Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari
penatalaksanaan DM secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah
keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi,
petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri). American diabetes
association menyebutkan bahwa perencanaan makan pada pasien DM
meliputi: memenuhi kebutuhan energi pada pasien DM, terpenuhinya
nutrisi yang optimal seperti vitamin dan mineral, mencapai dan
memelihara berat badan yang stabil, menghindari makanan yang
mengandung lemak, karena pada pasien DM jika serum lipid menurun
maka resiko komplikasi penyakit makrovaskuler akan menurun, serta
15
mencegah level glukosa darah naik, karena dapat mengurangi
komplikasi yang dapat ditimbulkan dari DM (Ndraha, 2014).
3. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari - hari dan latihan jasmani secara teratur (3 - 4
kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu
pilar dalam pengelolaan DM. Kegiatan sehari - hari seperti berjalan
kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan.
Latihan jasmani juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang
bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan
berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan
status kesegaran jasmani. Pasien yang relatif sehat, intensitas latihan
jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat
komplikasi DM dapat dikurangi (Ndraha, 2014).
4. Intervensi farmakologis
Pengobatan DM secara menyeluruh mencakup diet yang benar, olah
raga yang teratur, dan obat - obatan yang diminum atau suntikan
insulin. Pasien DM tipe 1 mutlak diperlukan suntikan insulin setiap
hari. Pasien DM tipe 2, umumnya pasien perlu minum obat
antidiabetes secara oral atau tablet. Pasien DM memerlukan suntikan
insulin pada kondisi tertentu, atau bahkan kombinasi suntikan insulin
dan tablet (Ndraha, 2014).
16
5. Monitoring keton dan glukosa darah
Monitoring keton dan glukosa darah adalah pilar kelima yang
dianjurkan kepada pasien DM. Monitor level glukosa darah sendiri
dapat mencegah dan mendeteksi kemungkinan terjadinya
hipoglikemia dan hiperglikemia dan pasien dapat melakukan keempat
pilar diatas untuk menurunkan resiko komplikasi dari DM (Smeltzer
Bare 2008).
2.2 Kamboja (Plumeria alba sp.)
2.2.1 Taksonomi Kamboja (Plumeria alba sp.)
Taksonomi bunga kamboja (Plumeria alba sp.):
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Asteridae
Ordo : Gentianales
Famili : Apocynaceae
Genus : Plumeria
Spesies : Plumeria alba
(Choudhary, Kumar Singh, 2014).
17
(Brown, 2012)
Gambar 2.4
Pohon dan Bunga Kamboja (Plumeria alba sp.)
2.2.2 Deskripsi Kamboja (Plumeria alba sp.)
Tanaman kamboja putih atau dikenal dengan frangipani (Plumeria alba
sp.) merupakan jenis tumbuhan berbunga yang berasal dari Amerika Tengah dan
Afrika. Kamboja merupakan jenis tanaman tropis yang tumbuh subur di dataran
rendah sampai ketinggian tanah 700 m (meter) di atas permukaan laut.
Kamboja memiliki tinggi rata-rata 4,5 m, daun kamboja berbentuk lanset
dengan ujung dan pangkal daun meruncing, berwarna hijau dan tebal, serta
tulang daunnya menonjol. Panjang daun berukuran 15-20 cm. Lebar daunnya
berkisar 6-12,5 cm. Bunga kamboja memiliki ukuran diameter 8-12 cm. Mahkota
bunga umumnya berjumlah lima helai dan memiliki wangi yang khas. Mahkota
bunga mempunyai corong dengan lingkar yang sempit dan sisi bagian dalamnya
berambut halus. Selain itu, ada mahkota yang berbentuk oval hingga bintang
18
warna mahkota sangat beragam mulai dari putih, merah, pink, hingga kuning.
Tangkai putik tanaman berukuran pendek dengan dasar bunga yang menonjol
sehingga menutupi tabung kelopak (Choudhary, Kumar Singh, 2014).
2.2.3 Kandungan Bunga Kamboja (Plumeria alba sp.)
Penelitian fitokimia yang dilakukan Nor, Susanti Omar, 2012 yang
membandingkan kandungan senyawa aktif alkaloid, glycoside, terpenoid, steroid,
Phytosteol, phenolic, flavonoid, saponin, tanin pada masing-masing bagian
kamboja (Plumeria alba sp.) dalam pelarut etanol (tabel 2.2).
Tabel 2.2 Perbandingan Kandungan Tiap Bagian Kamboja (Plumeria alba sp.)
Kandungan fitokimia
Bagian kamboja (Plumeria alba sp.)
Bunga Daun Batang dan Akar
Alkaloid + - +
Glycoside - - -
Trepenoids - - -
Steroid - + -
Phytosteol + + +
Phenolic + + +
Flavonoid + + +
Saponin + + +
Tanin + + + Sumber : (Nor, Susanti Omar., 2012)
Berikut ini adalah hasil penilainan kandungan pada bunga kamboja
(Plumeia alba sp.) dapat dilihat pada, 2.3 dan 2.4 untuk jenis senyawa flavonoid.
Tabel 2.3 Kandungan Kamboja (Plumeria alba sp.) bunga dan daun
Antioxidant
Model
Plumeria alba Standard
Ascorbic
Acid Flower Leaves
Aquoeus
extract
Ethanol
extract
Aquoeus
extract
Ethanol
extract
Total
antioxidant
capacity (%)
28.4 84.8 25.6 74.4 92
Sumber : (Nisha Prasanna., 2014)
19
Tabel 2.4 Jenis Flavonoid Bunga Kamboja (Plumeria alba sp.)
Flavonids mg/100 g
Catechin 102.87
Epicatechin 89.12
Rutin 22.51
Hisperedin 11.27
Narenigin 17.38
Quercetin 26.91
Hesperetin 21.18
Apigenin 8.17
Kaempferol 4.29
Diosmitin 2.51 (Dawod, Hassan Fattah, 2016)
2.2.4 Pengaruh Ekstrak Bunga Kamboja (Plumeria alba sp.) Terhadap
Penurunan Kadar Glukosa Darah
Bunga kamboja (Plumeria alba sp.) merupakan tanaman yang memiliki
kandungan antioksidan dan mampu membantu proses regenerasi sel beta
pankreas. Kandungan fitokimia bunga kamboja (Plumeria alba sp.) yang
diekstrak menggunakan etanol menunjukkan adanya senyawa aktif alkaloid,
phytosteol, phenolic, flavonoid, saponin, tanin (Nor, Susanti Omar, 2012).
Kemampuan catechin, alkaloid, saponin, tanin sebagai antioksidan
sehingga mampu menghambat terjadinya kerusakan sel beta pankreas akibat
reaksi oksidasi. Mekanisme ini melalui dua jalur. Jalur pertama sebagai peredam
radikal bebas secara langsung dengan menyumbangkan atom hidrogennya dan
memutus rantai reaksi. Jalur kedua melalui chelating ion logam yang mengkatalis
reaksi oksidasi sebagai donor hidrogen (Hirunpanich, Utaipat Phumala et al.,
2010; Ghudhaib, 2014).
20
(Yuhernita, 2011)
Gambar 2.5
(A) Struktur Favonoid (B) Peredaman Dasar Radikal oleh Flavonoid
(Yuhernita, 2011)
Gambar 2.6
Pembentukan Kompleks Ion Logam oleh Flavonoid
(Yuhernita, 2011)
Gambar 2.7
Peredaman Radikal Bebas oleh Alkaloid
21
(Kwon, Eck, Chen et al., 2007)
Gambar 2.8
Penghambatan GLUT 2 oleh catechin
Catechin juga merupakan penghambat yang kuat terhadap Glucose
transporter 2 (GLUT 2) pada mukosa usus, suatu lintasan absorbsi glukosa dan
fruktosa pada membran usus Gambar 2.8. Mekanisme penghambatan ini bersifat
nonkompetitif. Pertama catechin yang dikonsumsi melewati lambung pada saat ini
catechin masih berikatan dengan substratnya catechin glucosides, setelah itu
sebagian catechin glucosides akan dipecah bakteri dan Lactase Phlorizin
Hydrolase (LPH) di small intestine sehingga terbentuk molekul glukosa dan
catechin. Catechin yang dihasilkan akan berikatan dengan reseptor GLUT 2 di
22
bagian apikal brush broder, dan ada yang masuk kedalam enterosit (Caco-2E) dan
menghambat reseptor basolateral GLUT 2.
Bagian lain catechin glucosides akan masuk ke Caco-2E melalui
mekanisme paracellular diffusion, selanjurnya sebagian catechin glucosides akan
lansung menuju sirkulasi vena porta dan bagian lainnya akan mengalami
pemecahan di Caco-2E oleh bantuan enzim cytosolic β-glucosidase dan terbentuk
glukosa dan catechin. Catechin dari pemecahan akan berikatan dengan ion sulfat
(SO4) dan Glucopyranosiduronic Acid (GlcA) dengan bantuan enzim Uridine-
Diphospho-Glucuronosyltransferase (UDP-Glucuronosyltransferase) menjadi
catechin sulfates dan catechin glucuronides kedua molekul akan bekerja
menghambat reseptor basolateral GLUT 2 dalam memfasilitasi transport glukosa
dan fruktosa.
Hal ini menyebabkan pengurangan penyerapan glukosa dan fruktosa dari
usus karena salah satu dari tiga transporter yang berada di apikal brush border
adalah sodium dependent glucose transporter (SGLT) dan Glucose transporter 5
(GLUT 5) telah dihambat. Sodium dependent glucose transporter adalah
transporter yang dapat mengangkut glukosa dari lumen ke dalam enterosit
sedangkan GULT 5 mengangkut fruktosa. Glukosa dan fruktosa yang masuk ke
enterosit akan menuju vena porta namun sebelumnya harus melalui reseptor
basolateral GLUT 2 dimana telah dihambat oleh molekul catechin sulfates dan
catechin glucuronides, sehingga menyebabkan kadar glukosa darah turun (Song,
Kwon Chen et al, 2002; Kwon, Eck, Chen et al, 2007; Widyaningsih, Zumroh
Rochmawati, 2015).
23
2.3 Aloksan
2.3.1 Definisi
Aloksan merupakan analog dari glukosa yang dapat terakumulasi di sel β
pankreas melalui GLUT 2 yang dapat menyebabkan diabetes. Nama lain dari
aloksan adalah 2,4,5,6-Tetraoxypyrimidine; 2,4,5,6-pyrimidinetetrone. Aloksan
memiliki rumus kimia C4H2N2O4 dan merupakan turunan asam barbiturat.
Aloksan termasuk asam lemah yang bersifat hidrofilik, tidak stabil dan waktu
paruh aloksan pada pH 7,4 dan suhu 37˚C adalah 1,5 menit.
(Lenzen, 2008)
Gambar 2.9
Struktur Kimia Aloksan
2.3.2 Fase Induksi Aloksan pada Tikus Putih
Aloksan memiliki bentuk molekul yang mirip dengan glukosa
(glukomimetik). Sehingga ketika aloksan diinduksikan ke tubuh tikus, maka
GLUT 2 pada sel β pankreas akan mengenali aloksan sebagai glukosa dan aloksan
akan dibawa menuju sitosol (Lenzen, 2008).
Aloksan dapat menyebabkan diabetes dalam empat fase. Fase pertama
terjadi pada menit pertama dan berlangsug maksimal sampai menit ke-30 setelah
injeksi, pada fase ini terjadi hipoglikemia akut karena struktur aloksan yang mirip
dengan glukosa menyebabkan terjadinya peningkatan Adenosina Triosfat (ATP)
24
yang menghambat proses glukokinase dan menyebabkan peningkatan insulin
darah. Pada fase ini belum terdapat adanya kerusakan dari sel beta pankreas. Fase
kedua yaitu terjadi setelah satu jam pasca injeksi aloksan dan berlangsung selama
2-4 jam, pada fase terjadi penurunan sekresi insulin dan peningkatan kadar
glukosa darah. Fase ketiga, terjadi 4-8 jam setelah injeksi aloksan. Pada fase ini
sel beta pankreas mengalami kerusakan sel yaitu rupturnya membran sel, badan
golgi, retikulum endoplasma dan kerusakan mitokondria sehingga sel mengalami
nekrosis dan kerusakan ini bersifat iireversibel. Fase keempat, terjadi 24-48 jam
setelah injeksi aloksan. Pada fase ini terjadi degranulasi yang komplit dan tikus
mengalami hiperglikemi (Ankur Ali, 2012).
2.3.3 Mekanisme Kerja Aloksan pada Sel β Pankreas Tikus Putih
Aloksan masuk ke dalam sel β pankreas melalui GLUT 2 (Lenzen, 2008).
Dalam sel β pankreas, aloksan mengalami proses reduksi menjadi dialuric acid
yang dapat direoksidasi menjadi aloksan lagi (proses redoks) Gambar 2.10. Proses
redoks ini akan mengakibatkan terbentuknya Reactive Oxygen Species (ROS) dan
radikal superoksida. Reactive oxygen species akan menyebabkan fragmentasi
Deoxyribose Nucleic Acid (DNA) sehingga DNA menjadi rusak kemudian terjadi
aktivasi poli Adenosine Diphosphat Ribosa (ADP-ribosa) sintetase deplesi
Nikotinamid Adenine Dinukleotida (NAD)+ intrasel, dan menimbulkan kematian
sel. Radikal superoksida kemudian akan memisahkan Fe3+ dari ferritin dan
mereduksi nya menjadi Fe2+. Selain itu radikal superoksida akan berdismutasi
menjadi hidrogen peroksidase (H2O2). Hidrogen peroksidase dan Fe2+ kemudian
akan mengalami reaksi fenton sehingga menyebabkan reactive hydroxyl radical.
25
Semua proses ini akan menyebabkan nekrosis dari sel β pankreas dan kematian
pada sel β pankreas Gambar 2.9 (Ankur Ali, 2012).
(Ankur Ali, 2012)
Gambar 2.10
Mekanisme Kerja Aloksan
Aloksan
Masuk ke sel beta pankeas dengan GLUT 2
Sitosol
Mengalami reduksi di mitokondria
Asam dialurik
Oksidasi reduksi
ROS (Reactive Oxygen Species)
Fragmentasi Deoxyribose
Nucleic Acid (DNA)
Poli (ADP-ribosa) sintetase
Deplesi Nikotinamid Adenine
Dinukleotida
(NAD)+
Kerusakan Sel β Pankreas
Radikal superoksida
Fe3+
Fe2+.
Berdismutasi
(H2O
2)
Reaksi Haber-Weiss / Fenton
Reactive hydroxyl radical
26
(Lenzen, 2008)
Gambar 2.11
Reaksi Redoks Aloksan
2.4 Tikus Coba
Menurut Adiyati (2011), hewan coba merupakan hewan yang dikembang
biakkan untuk digunakan sebagai hewan uji coba. Tikus sering digunakan pada
berbagai macam penelitian medis selama bertahun-tahun. Hal ini dikarenakan
tikus memiliki karakteristik genetik yang unik, mudah berkembang biak, murah
serta mudah untuk mendapatkannya. Tikus merupakan hewan yang melakukan
aktivitasnya pada malam hari (nocturnal).
27
(Adiyati, 2011)
Gambar 2.12
Tikus Putih (Rattus norvegicus strain wistar)
Tikus putih (Rattus norvegicus strain wistar) atau biasa dikenal dengan
nama lain Norway Rat berasal dari wilayah Cina dan menyebar ke Eropa bagian
barat (Sirois, 2005). Pada wilayah Asia Tenggara, tikus ini berkembang biak di
Filipina, Indonesia, Laos, Malaysia, dan Singapura (Adiyati, 2011). Tikus Wistar
saat ini menjadi salah satu yang strain tikus paling populer yang digunakan untuk
penelitian laboratorium. Hal ini ditandai oleh kepala lebar, telinga panjang, dan
memiliki panjang ekor yang selalu kurang dari panjang tubuhnya. Galur tikus
Sprague dawley dan Long-Evans dikembangkan dari tikus galur Wistar. Tikus
Wistar lebih aktif (agresif) daripada jenis lain seperti tikus Sprague dawley
(Sirois, 2005).
2.4.1 Proses Aklimatisasi
Aklimatisasi merupakan suatu upaya penyusunan fisiologis atau adaptasi
dari suatu organsme terhadap lingkungan baru yang dimasukinya. Hal ini
didasarkan oleh kemampuan organisme untuk mengatur morfologi, perilaku, dan
28
jalur metabolisme biokimia di dalam tubuhnya untuk menyesuaikan dengan
lingkungan. Beberapa kondisi yang pada umumnya disesuaikan adalah suhu,
lingkungan, derajat keasaman, dan kadar oksigen. Proses penyesuaian ini
berlangsung dalam waktu yang cukup bervariasi tergantung dari jauhnya
perbedaan kondisi antara lingkunganbaru yang akan dihadapi, dapat berlangsung
beberapa hari sampai beberapa minggu (Ridwan, 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad, Akolade Usman et al,
(2012) pada tikus (Rattus novergicus strain wistar) sebelum diinduksi aloksan
membutuhkan waktu aklimatisasi selama 1 minggu. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Zoua, Batomayena Kossi et al., (2014) yang berjudul “Effects of
Plumeria alba Roots Hydro Alcoholic Extract on some Parameters of Type 2
Diabetes” melakukan aklimatisasi terhadap tikus (Rattus novergicus strain
wistar) selama satu minggu sebelum diinduksi alloksan.
2.4.2 Glukosa Darah Tikus Putih (Rattus novergicus strain wistar)
Pengambilan darah tikus putih (Rattus novergicus strain wistar) dilakukan
setelah melakukan 16 jam puasa untuk melihat glukosa darah basal. Selain itu,
glukosa darah yang didapatkan lebih stabil dan juga bisa mengurangi bias oleh
karena faktor perancu seperti glukosa yang didapatkan dari makanan, bisa
mengetahui apakah fungsi beta pankreas untuk menghasilkan insulin masih baik
atau tidak (Kale, Joshi Gohil, 2009; Bowe, Franklin Evans, et al., 2014).
Nilai normal glukosa darah puasa 16 jam pada tikus putih (rattus novergicus
strain wistar) adalah (133.69 +/- 16.75) mg/dL (Kale, Joshi Gohil, 2009).
Patofisiologi IDDM antara manusia dan tikus putih (Rattus norvegicus
strain wistar) memiliki kesamaan, di mana gen yang berkontribusi terhadap
29
penyakit ini sudah diyatakan hingga tingkat sel punca haemopoietik, sehingga
tikus putih (Rattus norvegicus strain wistar) dapat digunakan dalam mempelajari
IDDM. Model tikus yang dibuat menjadi NIDDM paling banyak digunakan.
Berbagai kesamaan dengan kondisi diabetes pada manusia, seperti fakta bahwa
fenotip pada tikus juga tergantung pada latar belakang genetik, jenis kelamin dan
umur hewan. Tikus model NIDDM juga memberi kita kesempatan untuk
mempelajari mekanisme molekuler yang mengarah pada diabetes hingga tahapan
penyakit dari onset, perkembangannya dan komplikasinya (Chatzigeorgiou,
Halapas Kalafatakis et al., 2011). Tikus putih (Rattus norvegicus strain wistar)
dikatakan hiperglikemi jika kadar glukosa darah melebihi 175 mg/dl (Kumar
Padhy, 2011).