bab 2 tinjauan pustaka 2.1 2.1eprints.umm.ac.id/47589/3/bab 2.pdftakipnea, nafas cuping hidung, air...
TRANSCRIPT
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pneumonia
2.1.1 Definisi Pneumonia
Pneumonia merupakan inflamasi yang mengenai jaringan parenkim paru.
Sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus atau bakteri) dan sebagian
kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi dll), (Mardjandis, 2015). Pneumonia
adalah infeksi yang menyebabkan paru-paru meradang. Kantung-kantung
kemampuan menyerap oksigen menjadi berkurang. Kekurangan oksigen membuat
sel-sel tubuh tidak bekerja. Inilah penyebab penderita pneumonia dapat meninggal,
selain dari penyebaran infeksi ke seluruh tubuh (Misnadiarly, 2008).
2.1.2 Epidemiologi
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
pada anak di negara berkembang. Penyakit pneumonia adalah penyebab utama
kematian balita baik di Indonesia maupun di dunia, namun tidak banyak perhatian
terhadap penyakit ini. Oleh karena itu penyakit ini sering disebut sebagai Pembunuh
Balita Yang Terlupakan (The Forgotten Killer of Children). Di negara berkembang,
penyakit pneumonia merupakan 25% penyumbang kematian pada anak, terutama
bayi berusia kurang dari 2 bulan. Insidens pneumonia di negara berkembang adalah
2-10 kali lebih banyak dari pada negara maju. Perbedaan tersebut berhubungan
dengan etiologi dan faktor resiko pneumonia di negara tersebut (Mardjandis, 2015).
7
Menurut data (Riskesdas, 2013) pneumonia lebih banyak terjadi pada balita
laki laki dibanding balita perempuan. Berdasarkan kelompok umur penduduk,
pneumonia yang tinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun, kemudian mulai
meningkat pada umur 45-54 tahun dan terus meninggi pada kelompok umur
berikutnya.
2.1.3 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur maupun
mikoplasma. Namun lebih sering disebabkan oleh bakteri maupun virus. Adapun
bakteri, virus, jamur dan mikoplasma yang menyebabkan pneumonia adalah
sebagai berikut:
1. Pneumonia oleh Bakteri
Lebih dari 50% pneumonia bakterialis disebabkan oleh bakteri yang
bernama Streptococcus pneumoniae. Ada lebih dari 100 jenis Streptococcus
pneumoniae yang berbeda, dan organisme jenis ini banyak tinggal ditenggorokan
orang yang sehat. Saat pertahanan tubuh menurun, menurunnya kekebalan tubuh,
atau kesehatan yang buruk, bakteri ini berkembang biak dan akhirnya merusak
paru-paru (Schachter (2005) dalam Alfaqinisa, 2015).
2. Pneumonia oleh Virus
Kurang lebih 20-30% pneumonia disebabkan oleh virus. Penyebab yang
paling sering adalah virus influenza. Penyerang lainnya adalah Adenovirus, virus
Coxszckie, dan Respiratory Syncytial Virus (RSV) (Schachter (2005) dalam
Alfaqinisa, 2015).
8
3. Pneumonia oleh Jamur
Infeksi pneumonia akibat jamur jarang terjadi, ada tiga jenis jamur yang
menyebabkan pneumonia jamur yaitu Hitoplasma capsulatum yaitu penyebab
hitoplasmosis, Coccidioides immitis penyebab koksidioidomikosis dan
Blastomyces dermatitis penyebab blastomikosis (Romeo, 2018).
4. Pneumonia Mikoplasma
Jenis pneumonia yang ketiga disebut pneumonia atipik atau mikoplasma.
Mikoplasma adalah parasit permukaan yang melekat pada bagian atas membran sel
dan jarang menyerang jaringan atau aliran darah, tetapi pelekatannya menyebabkan
kerusakan dan kematian sel. Pneumonia mikoplasma dapat menyebabkan
pneumonia yang menyebar luas, walaupun biasanya ringan, dan dapat ditularkan
langsung dari orang ke orang (Schachter (2005) dalam Alfaqinisa, 2015).
2.1.4 Etiologi Berdasarkan Tempat Terjadinya Infeksi
1. Pneumonia community-acquired (yang diperoleh dari komunitas), sangat
sesuai dengan namanya karena penyakit ini mengenai orang ketika mereka
tinggal dan bekerja dirumah dan lingkungan mereka sendiri.
2. Pneumonia hospital-acquired (yang diperoleh dirumah sakit) atau disebut
juga pneumonia nosokomial. Pneumonia ini menyerang seseorang setelah
dia dirawat inap selama 72 jam di rumah sakit (Mardjandis, 2015).
2.1.5 Patofisiologi
Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke dalam paru bagian perifer
melalui saluran respiratori. Mula-mula terjadi endema akibat reaksi jaringan yang
mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian
9
paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin,
eritrosit, cairan endema, dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut
stadium hepatisasi merah. Selanjutnya deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat
fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat.
Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya, jumlah makrofag
meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan
debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem brokopulmoner
jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal (Mardjandis, 2015).
Paru-paru terdiri dari ribuan bronkhi yang masing-masing terbagi lagi
menjadi bronkhioli, yang tiap-tiap ujungnya berakhir pada alveoli. Di dalam alveoli
terdapat kapiler-kapiler pembuluh darah dimana terjadi pertukaran oksigen dan
karbondioksida. Ketika seseorang menderita pneumonia, nanah (pus) dan cairan
mengisi alveoli tersebut dan menyebabkan kesulitan penyerapan oksigen sehingga
terjadi kesukaran bernapas. Anak yang menderita pneumonia, kemampuan paru-
paru untuk mengembang berkurang sehingga tubuh bereaksi dengan bernapas cepat
agar tidak terjadi hipoksia (kekurangan oksigen). Apabila pneumonia bertambah
parah, paru akan bertambah kaku dan timbul tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam. Anak dengan pneumonia dapat meninggal karena hipoksia atau sepsis
(infeksi menyeluruh) (Depkes, 2012).
2.1.6 Pneumonia pada Balita
Anak Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai Anak Balita adalah
anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular dengan
10
pengertian usia anak di bawah lima tahun atau biasa digunakan perhitungan bulan
yaitu usia 12–59 bulan (Depkes, 2015).
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-
ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut :
a. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise,
penurunan nafsu makan keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau
diare, kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner
(Mardjandis, 2015).
b. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada,
takipnea, nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis
(Mardjandis, 2015).
2.1.7 Klasifikasi Pneumonia pada Balita
Menurut Aditama tentang pedoman tatalaksana pneumonia pada balita
pneumonia dalam kementrian kesehatan republik Indonesia cetakan edisi tahun
2012, dapat diklasifikasikan berdasarkan berat ringannya penyakit pneumonia
sebagai berikut:
Gambar 2.1 Klasifikasi Penyakit Pneumonia Umur Kurang Dari 2 Bulan
11
Gambar 2.2 Klasifiaksi Penyakit Pneumonia Umur 2-59 Bulan 2.1.8 Pengobatan
Pneumonia terbanyak disebabkan oleh bakteri dan virus, sehingga dalam
pengobatannya diberikan antibiotik yang sesuai. Menurut Aditama dalam Depkes
(2012) dalam modul tatalaksana standar pneumonia, pengobatan pneumonia pada
balita sebagai berikut :
1. Pemberian Antibiotik Oral
Beri antibiotik oral pilihan pertama yaitu kotrimoksazol (trimetoprim +
sulfametoksazol) bila tersedia. Ini dipilih karena sangat efektif, cara pemberiannya
pun mudah dan murah. Antibiotik pilihan kedua (amoksisilin) diberikan hanya
apabila obat pilihan pertama tidak tersedia atau apabila dengan pemberian obat
pilihan pertama tidak memberi hasil yang baik.
12
2. Pengobatan Demam
Demam sangat umum terjadi pada infeksi saluran pernapasan akut.
Penatalaksanaan demam tergantung dari apakah demamnya tinggi atau rendah.
Jika demam tidak tinggi (>38,5°C) yaitu nasihati ibunya untuk memberi cairan
lebih banyak dan tidak diperlukan pemberian paracetamol. Jika demam tinggi
(>38,5°C) maka anak dengan demam tinggi bisa diturunkan dengan paracetamol
sehingga anak akan merasa lebih enak dan makan lebih banyak. Demam itu sendiri
bukan indikasi untuk pemberian antibiotik, kecuali pada bayi kurang dari 2 bulan.
Pada bayi kurang dari 2 bulan apabila ada demam harus dirujuk, jangan berikan
parasetamol untuk demamnya.
3. Pengobatan Wheezing
Untuk bayi berumur <2 bulan, wheezing merupakan tanda bahaya dan
harus dirujuk segera. Pada kelompok umur 2 bulan - <5 tahun yaitu
penatalaksanaan wheezing dengan bronkhodilator tergantung dari apakah wheezing
itu merupakan episode pertama atau berulang.
2.1.9 Tata Laksana Medis
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi
perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, atau ada penyakit dasar
yang lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Penggunaan
antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan. Terapi
antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga
disebabkan oleh bakteri (Mardjandis , 2015).
13
Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapat dilakukan karena
tidak tersedianya uji mikrobiologis cepat. Oleh karena itu, antibiotik dipilih
berdasarkan pengalaman empiris. Umumnya pemilihan antibiotik empiris
didasarkan pada kemungkinan etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia
dan keadaan klinis pasien serta faktor epidemiologis (Mardjandis, 2015).
2.1.10 Pencegahan
Menurut Misnadiarly (2008) pencegahan yang dapat dilakukan untuk
pneumonia pada balita adalah sebagai berikut :
1. Menghindari balita dari paparan asap rokok, polusi udara, dan tempat
keramaian yang berpotensi menjadi faktor penularan.
2. Manghindari balita dari kontak penderita Pneumonia.
3. Memberikan ASI eklusif pada anak.
4. Segera berobat jika mendapatkan anak mengalami panas, batuk, pilek.
Terlebih jika disertai suara serak, sesak nafas, dan adanya terikat pada otot
diantara rusuk (retraksi).
5. Imunisasi lengkap dan gizi baik dapat mencegah pneumonia.
6. Mengatasi faktor lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan (dengan
memberikan kompor bersih dalam ruangan terjangkau misalnya) dan
mendorong kebersihan yang baik di rumah juga dapat mengurangi jumlah
anak-anak yang jatuh sakit terkena pneumonia.
7. Imunisasi Haemophilus Influenza tipe B (HIB) (untuk memberikan
kekebalan terhadap haemophilus influensa, vaksin pneumococcal disease)
dan vaksin influenzae pada anak resiko tinggi, terutama usia 2-23 bulan.
14
Namun untuk vaksin ini karena harganya yang cukup mahal, tidak semua
anak dapat menikmatinya.
2.2 Pendekatan Model Segitiga Epidemologi
Model segitiga epidemiologi menggambarkan interaksi tiga komponen
penyakit yaitu manusia (host), penyebab (agent) dan lingkungan (environment).
Menurut Hockennberry dan Wilson (2009) dalam Hartati (2011) penyakit dapat
terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara faktor agent, host, dan
environment. Dalam model ini faktor agent adalah yang bertanggung jawab
terhadap penyebab penyakit meliputi infectious agent yaitu organisme penyebab
penyakit, physical agent dan chemical agent. Faktor penjamu (host) adalah individu
atau populasi yang berisiko terpajan penyakit meliputi faktor genetik atau gaya
hidup. Faktor lingkungan (enviroment) adalah tempat dimana host hidup termasuk
cuaca dan faktor-faktor yang berhubungan dengan rumah, tetangga dan sekolah.
Gambar 2.3 Segitiga Epidemiologi
Gambar diatas memperlihatkan segitiga dalam status keseimbangan
(ekuilibrium) yang normal. Keseimbangan bukan menandakan kesehatan yang
optimum, tetapi pola biasa yang sederhana dari kondisi sehat dan sakit dalam
populasi. Berbagai perubahan yang terjadi pada salah satu sisi (agent, host, dan
environment) akan menghasilkan ketidakseimbangan (Hartati S, 2011).
Host
Agent Environment
15
Berikut adalah penjabaran hubungan 3 komponen yang terdapat dalam
model segitiga epidemiologi dengan faktor risiko terjadinya infeksi pneumonia
pada balita :
1. Faktor penyebab (agent) adalah penyebab dari penyakit pneumonia yaitu
berupa virus dan bakteri. Berdasarkan faktor penyebab (agent) pneumonia
dibedakan menjadi 1) pneumonia bakterial/tipikal yaitu pneumonia yang
dapat terjadi pada semua usia, 2) pneumonia atipikal adalah pneumonia
yang disebabkan oleh Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia, 3)
pneumonia virus adalah pneumonia yang disebabkan oleh virus (Hartati S,
2011).
2. Faktor Manusia (host) adalah manusia atau pasien. Faktor risiko dalam hal
ini adalah anak balita meliputi: Usia, jenis kelamin, berat badan lahir,
riwayat pemberian ASI, status gizi, riwayat pemberian vitamin A, riwayat
imunisasi, status sosial ekonomi (Mardjandis, 2015).
3. Faktor Lingkungan (environment) adalah yang dapat menjadi faktor risiko
terjadinya pneumonia pada balita meliputi kepadatan rumah, polusi udara,
cuaca, kelembaban (Hartati S, 2011).
2.3 Pengetahuan
2.3.1 Definisi
Pengetahuan adalah hasil mengingat sesuatu hal termasuk mengingat
kembali kejadian yang telah dialami, baik secara sengaja maupun tidak disengaja
16
setelah melakukan kontak atau pengamatan terhadap suatu objek tertentu
(Mubarak, 2007).
Sedangkan menurut Notoatmodjo, pengetahuan adalah hasil pengindraan
manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya
(mata, hidung, telinga, kulit, dan lainnya) (Notoatmodjo, 2014).
2.3.2 Jenis Pengetahuan
Pemahaman masyarakat mengenai pengetahuan dalam konteks kesehatan
sangat beraneka ragam. Pengetahuan merupakan bagian perilaku kesehatan.
Jenis pengetahuan menurut Budiman diantaranya sebagai berikut:
1. Pengetahuan Implisit
Pengetahuan implisit adalan pengetahuan yang masih tertanam
dalam bentuk pengalaman seseorang dan berisi faktor-faktor yang tidak bersifat
nyata, seperti keyakinan pribadi, persfektif, dan prinsip. Biasanya
pengalaman seseorang sulit untuk ditransfer ke orang lain baik secara tertulis
ataupun lisan (Budiman, 2013).
Pengetahuan implisit sering kali berisi kebiasaan dan budaya bahkan
bisa tidak disadari. Contoh seseorang mengetahui tentang bahaya merokok bagi
kesehatan, namun ternyata ia merokok (Budiman, 2013).
2. Pengetahuan Eksplisit
Pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang telah didokumentasikan
atau tersimpan dalam wujud nyata, bisa dalam wujud perilaku
kesehatan. Pengetahuan nyata dideskripsikan dalam tindakan-tindakan yang
17
berhubungan dengan kesehatan. Contoh seseorang yang telah mengetahui
bahaya merokok bagi kesehatan dan tidak merokok (Budiman, 2013).
2.3.3 Pengetahuan Orang Tua Balita Terhadap Pneumonia
Berdasarkan penelitian Azizah, dapat dilihat dari hasil uji statistik terdapat
hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu balita dengan kejadian
pneumonia (P value=0,000) dengan koefisien kontingensi (R = 0,044). Ibu balita
yang berpengetahuan rendah berpeluang anak balitanya mengalami pneumonia
sebesar 0,4 kali dibanding ibu balita dengan pengetahuan tinggi (Azizah, 2014).
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan cara wawancara atau
angket yang menanyakan tentang isi materi yang diukur dari subjek penelitian atau
responden. Dalam mengukur pengetahuan harus diperhatikan rumusan kalimat
pertanyaan menurut tahapan pengetahuan (Budiman, 2013).
2.4 Pola Asuh
2.4.1 Definisi
Menurut Djamarah, asuh atau mengasuh merupakan bentuk kata kerja yang
bemakna menjaga (merawat atau mendidik) anak kecil, membimbing (membantu,
melatih, dan sebagainya) supaya dapat berdiri sendiri, memimpin (mengepalai,
menyelenggarakan) suatu badab kelembagaan. Pola asuh orang tua dalam keluarga
merupakan kegiatan orang tua (ayah atau ibu) dalam memimpin, mengasuh, dan
membimbing anak dalam keluarga (Djamarah, 2014).
Pengasuhan atau pola asuh merupakan suatu praktek yang dijalankan oleh
orang lebih dewasa terhadap anak yang dihubungkan dengan pemenuhan
kebutuhan pangan/gizi (termasuk kebutuhan ASI/cairan balita), perawatan dasar
18
(termasuk pengobatan bila sakit), rumah atau tempat yang layak, higine perorangan,
sanitasi lingkungan, sandang, kesegaran jasmani (Soetjiningsih, 2017).
2.4.2 Komponen Pola Asuh
Lingkungan atau keadaan rumah tangga dapat memberikan kontribusi yang
besarnya kurang lebih seperenam dalam kejadian pneumonia balita (Sugihartono,
2012; 82-86). Hal ini bisa dikaitkan dengan peran serta keluarga terutama ibu dalam
merawat dan menjaga kesehatan pada balita yang dikenal dengan pengasuhan atau
pola asuh. Pengasuhan adalah suatu praktek yang diterapkan oleh orang yang lebih
dewasa terhadap anak yang dihubungkan dengan pemenuhan kebutuhan
pangan/gizi (termasuk kebutuhan ASI/cairan balita), perawatan dasar (termasuk
imunisasi dan pengobatan bila sakit), rumah atau tempat yang layak, higine
perorangan, sanitasi lingkungan, sandang, kesegaran jasmani (Soetjiningsih, 2012).
Kerangka konseptual yang dikemukan oleh UNICEF yang dikembangkan
lebih lanjut oleh Engle et al (1997) dalam Widyaningtyas (2016), menekankan
bahwa tiga komponen makanan – kesehatan – asuhan merupakan faktor-faktor yang
berperan dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal.
Engle et al (1997) dalam Widyaningtyas (2016) mengemukakan bahwa pola asuh
meliputi 6 hal yaitu:
1. Perhatian atau dukungan ibu terhadap anak.
2. Pemberian ASI (kebutuhan cairan balita) atau makanan pendamping
pada anak
3. Rangsangan psikososial terhadap anak.
4. Persiapan dan penyimpanan makanan.
19
5. Praktek kebersihan atau higiene dan sanitasi lingkungan.
6. Perawatan balita dalam keadaan sakit seperti pencari pelayanan
kesehatan.
Pemberian ASI dan makanan pendamping pada anak serta persiapan dan
penyimpanan makanan tercakup dalam praktek pemberian makan. Dengan kata
lain, pengasuhan atau pola asuh ibu terdiri dari tiga aspek utama, yaitu pengasuhan
makan/gizi balita (pemberian ASI/cairan kepada anak), perawatan dasar balita
(termasuk perawatan balita saat sakit), praktik kebersihan (Widyaningtyas, 2016).
2.4.3 Pola Asuh Terhadap Pneumonia
Berdasarkan hasil penelitian Jacob (2017), dikatakan bahwa ada hubungan
antara pola asuh dengan kejadian pneumonia dinilai dari hasil analisis penelitian
dengan nilai signifikansi p value = 0,003 ini berarti p value < 0,05 artinya terdapat
hubungan yang bermakna antara pola asuh orang tua dengan kejadian ISPA (Jacob,
2017).
2.5 Perilaku
2.5.1 Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan adalah tanggapan seseorang terhadap rangsangan yang
berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan
lingkungan (Notoatmodjo, 2015).
Menurut Notoatmodjo (2014), perilaku kesehatan (health behavior) adalah
respons seseorang terhadap stimulus suatu objek yang berkaitan dengan sehat-sakit,
penyakit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti
lingkungan, makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan yang sejalan dengan
20
batasan perilaku menurut Skiner. Dengan kata lain, perilaku kesehatan adalah
semua aktivitas atau kegiatan seseorang baik yang dapat diamati (observable)
maupun yang tidak dapat diamati (unabsorvable) yang berkaitan dengan
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Oleh sebab itu, perilaku kesehatan pada
garis besarnya dikelompokkan menjadi dua, yakni:
1. Perilaku orang yang sehat agar tetap sehat dan meningkat. Perilaku ini
disebut perilaku sehat (healthy behavior), yang mencakup perilaku-perilaku
(overt dan covert behavior) dalam mencegah atu menghindari dari penyakit
dan penyebab penyakit/masalah, atau penyebab masalah kesehatan
(perilaku preventif), dan perilaku dalam mengupayakan meningkatnya
kesehatan (perilaku promotif). Contoh : tidak merokok dan meminum-
minuman keras, menghindari gigitan nyamuk, menggosok gigi setelah
makan, dan sebagainya.
2. Perilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan , untuk
memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah kesehatannya.
Perilaku ini disebut perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health seeking
behavior). Perilaku ini mencakup tinadakan-tindakan yang diambil
seseorang atau anaknya bila sakit atau terkena masalah kesehatan untuk
memperoleh kesembuhan atau terlepas dari masalah kesehatan yang
dideritanya. Tempat pencarian kesembuhan ini adalah tempat atau fasilitas
pelayanan kesehatan, baik fasilitas atau pelayanan kesehatan tradisional
(dukun dan paranormal), maupun pengobatan modern atau professional
(rumah sakit, puskesmas, poliklinik dan sebagainya).
21
2.5.2 Perilaku Hidup Sehat
Dari 10 indikator perilaku hidup sehat dalam Notoatmodjo (2014), telah
ditetapkan oleh Departemen Kesehatan untuk mengukur perilaku kesehatan di
tatanan rumah tangga atau keluarga, yang benar-benar dapat mengukur perilaku
hidup sehat bagi keluarga, atau idnividu dalam keluarga adalah:
1. Mencari pertolongan persalinan ke tenaga kesehatan.
2. Memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif.
3. Tidak merokok.
4. Melakukan aktivitas fisik.
5. Mengonsumsi sayur dan buah secara cukup.
Sedangkan 5 indikator lain yang belum dapat dimasukkan sebagai indikator
perilaku sehat adalah:
1. Kepemilikan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPKM).
2. Rumah tangga yang tersedia jamban.
3. Rumah tangga yang tersedia air bersih.
4. Rumah tangga dengan kesesuaian luas lantai dengan jumlah anggota
keluarga.
5. Rumah tangga dengan lantai rumah bukan tanah.
2.5.3 Perilaku Merokok Terhadap Pneumonia
Merokok adalah kebiasaan yang tidak sehat, namun di Indonesia jumlah
perokok cenderung meningkat. Hampir 50% pria dewasa di Indonesia adalah
perokok. Rumah tangga tidak merokok adalah rumah tangga dimana tidak ada
anggota rumah tangga yang berumur 15 tahun keatas yang merokok di dalam
22
lingkungan rumah setiap hari. Berdasarkan batasan operasional ini, maka yang
dimaksud tidak merokok adalah penduduk yang tidak merokok selama satu bulan
yang lalu saat dilakukan survei. Oleh sebab itu, mantan perokok adalah termasuk
kategori yang tidak merokok (Notoatmodjo, 2014).
Berdasarkan hasil uji statistik Wijaya dari penitian menunjukan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok anggota keluarga dengan
kejadian penyakit pneumonia pada balita, dengan nilai signifikansi (p value) =
0,000 yang mana nilai dibawah 0,05. Dari hasil analisis juga diperoleh nilai OR =
1,269, dimana balita yang memiliki keluarga dengan kebiasaan merokok,
mempunyai peluang mengalami Pneumonia sebanyak 1,269 kali dibanding balita
yang tidak memiliki keluarga dengan kebisasaan merokok (Wijaya, 2014).