bab 2 tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/39312/3/bab 2.pdfsetelah terjadi luka maka tepi luka...
TRANSCRIPT
5
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rongga Mulut
2.1.1 Embriologi Rongga Mulut
Perkembangan bibir dan palatum memiliki perbedaan waktu pembentukan.
Bibir dibentuk pada minggu ke-8 usia kehamilan dan langit-langit (palatum) pada
minggu ke-10 sampai minggu ke-12 (Nahai F R, 2005)
(Smith's & Grabb, 2014)
Gambar 2.1
Tonjolan wajah
Berdasarkan gambar 2.1 terbentuknya 5 tonjolan wajah yang terbentuk pada
minggu ke-4. Diantaranya adalah: processus mandibularis, sepasang processus
maxillaris, sepasang processus mandibularis. Pada minggu ke-5 tanda letak
(placodes) masuk untuk membentuk lubang hidung, seperti tampak pada gambar 2.2
(Burg ML, et al., 2016; Sinnatamby, 2011; Sadler T, 2012)
6
(Smith's & Grabb, 2014)
Gambar 2.2
Bentukan Lubang Hidung
Sepasang processus maxillaris telah berkembang ke medial dan mendorong
sepasang benjolan nasalis medial pada minggu ke-6. Fusi dari tonjolan nasalis
medial membentuk: filtrum, bibir tengah atas, ujung hidung, dan columella. Fusi dari
sepasang tonjolan maxillaris dengan sepasang tonjolan nasalis medial membentuk
bibir atas sempurna (tonjolan maxillaris membentuk bibir lateral). Sedangkan
tonjolan nasalis lateralis membentuk ala nasalis bilateral, seperti pada gambar 2.3
(Singh & Pal, 2007; Sadler T, 2012).
(Smith's & Grabb, 2014)
Gambar 2.3
Bentukan ala nasalis bilateral
Pembentukan palatum dimulai pada akhir minggu ke-5 dari perkembangan, dan
sempurna pada minggu ke-12. Dikatakan sempurna jika telah terbentuk palatum
7
primer dan palatum sekunder yang dibatasi oleh foramen incisivus, seperti tampak
pada gambar 2.4 (Burg ML, et al., 2016)
(Smith's & Grabb, 2014)
Gambar 2.4
Palatum primer dan palatum sekunder dibatasi oleh foramen incisivus
a. Palatum Primer
(Smith's & Grabb, 2014)
Gambar 2.5
Bentukan palatum primer
Palatum primer terdiri dari arcus alveolaris maxillaris dengan 4 incisors
dan palatum durum didepan foramen incisivus. Palatum primer terbentuk
sebelum palatum sekunder, seperti pada gambar 2.5 (Dudek, 2014).
8
b. Palatum Sekunder
Selama minggu ke-6 pertumbuhan palatum sekunder seperti rak dari
processus maxillaris bilateral, tumbuh secara vertical kebawah pada kedua
sisi dari lidah. Selama minggu ke-7 lidah pindah kebawah dan bentukan rak
berpindah tempat ke posisi horizontal bawah lidah. Fusi palatum terjadi
secara haluan dari depan ke belakang dan satu minggu kemudian dengan
adanya fusi uvula (Dudek, 2014; Smith, 2013)
(Smith's & Grabb, 2014)
Gambar 2.6
Bentukan Palatum Sekunder
2.1.2 Anatomi Rongga Mulut
2.1.2.1 Bibir
Bibir berbeda dari struktur sekitarnya. Bibir atas dimulai dari lubang
hidung dan dasar ala nasi setiap sisi dan berakhir di lateral pada lipatan
nasolabial. Bibir atas dibagi menjadi subunit oleh phitral columns. Phitral
columns terbentuk oleh serat m.orbicularis oris kontralateral yang melalui
garis tengah. Lekukan ditengah antar phitral columns disebut phitral groove.
Cupid’s bow merupakan bagian persimpangan kulit dan vermillion diantara
phitral columns. Bibir bagian bawah dimulai dari lipatan orbicularis oris
9
adalah otot bibir yang paling penting, berfungsi sebagai sfingter dan untuk
bicara (Matros & Pribaz, 2014).
Suplai darah ke bibir berasal dari a. karotis eksterna yang diteruskan ke
a. fasialis. Arteri fasialis bercabang menjadi a. labialis superior dan inferior.
Inervasi motorik otot ibir dipersarafi oleh cabang N. fasialis (VII). Cabang
zygomaticus dan buccal berfungsi untuk elevasi, sedangkan N. mandibular
marginal menginervasi otot depresor bibir. Inervasi sensorisnya dipersarafi
oleh cabang infraorbital (V2) dan mental (V3) dari N. trigeminal (Matros &
Pribaz, 2014).
(Zol B & Marks, 2007)
Gambar 2.7
Anatomi bibir normal (A) Philtral columns (B) Cupid’s bow (C) Komisura (D)
White roll (E) Vermillion (G) Philtral groove
Vermillion terdiri dari epitel stratified squamous dibagian luar dan
transisi epitel squamous didalam mulut (Matros & Pribaz, 2014).
10
1.2 Sumbing Bibir
2.2.1 Definisi Sumbing Bibir
Sumbing bibir merupakan cacat berupa celah pada bibir atas yang dapat
berlanjut sampai ke gusi, rahang, dan langit-langit (Bisono, 2003).
2.2.2 Etiologi Sumbing Bibir
Etiologi sumbing bibir belum diketahui pasti, namun ada beberapa faktor
yang diduga mejadi pencetus terjadinya sumbing bibir. Secara garis besar,
faktor yang diduga menjadi penyebab terjadinya sumbing bibir dalam 2
kelopok yaitu:
1. Heredity
Keluarga yang memiliki satu anak atau orang tua yang memiliki
sumbing bibir dan langit-langit, risiko anak pada kehamilan
berikutnya memiliki sumbing bibir dan langit-langit adalah 4%.
Apabila dua anak sebelumnya memiliki sumbing bibir dan langit-
langit, risikonya meningkat menjadi 9%, dan jika satu orang tua dan
satu anak terkena dampak sebelumnya maka risiko untuk anak-anak
dari kehamilan berikutnya adalah 17% (Hopper, et al., 2007).
2. Lingkungan
a. Faktor usia ibu
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui hubungan
antara usia ibu dengan kejadian sumbing bibir. Hasil penelitian
masih diperdebatkan, akan tetapi penelitian terakhir dilakukan
Berg (2015) menunjukkan peningkatan usia ibu akan
11
meningkatkan risiko memiliki bayi dengan sumbing bibir (Berg,
et al., 2015).
b. Penggunaan obat-obatan pada ibu
Penggunaan obat pada ibu hanya memberikan pengaruh kecil
untuk sumbing bibir. Namun penelitian telah menunjukkan
bahwa penggunaan antagonis folat maternal (asam valproate dan
karbamazepin), penghambat reductase dihydrofolate
benzodiazepine, nsaid, retinoid, dan kortikosteroid dikaitkan
dengan peningkatan sumbing bibir. Paparan obat antikonvulsan
yaitu fenitoin selama 5-6 minggu masa kehamilan dapat
menyebabkan sumbing bibir (Al-Hadad, et al., 2014).
c. Penyakit ibu
Ibu dengan diabetes mellitus memiliki risiko yang lebih tinggi
untuk memiliki anak sumbing bibir (Al-Hadad, et al., 2014).
d. Nutrisi
Peran asupan nutrisi ibu dalam perkembangan malformasi
bawaan pada anak telah dipelajari dengan tujuan untuk
menjelaskan etiologi cacat lahir spesifik dan menginformasikan
strategi pencegahan yang efektif. Bukti menunjukkan bahwa
asupan nutrisi ibu mempengaruhi risiko melahirkan anak dengan
sumbing bibir (Al-Hadad, et al., 2014).
12
2.2.3 Pembentukan Sumbing Bibir
Kegagalan penyatuan tonjolan maxillaris dan nasalis secara unilateral
atau bilateral menghasilkan sumbing bibir dengan atau tanpa palatum
primer. Kegagalan penyatuan bentukan rak palatum menghasilkan sumbing
pada palatum sekunder.
(Smith's & Grabb, 2014)
Gambar 2.8
Pembentukan Sumbing
2.2.4 Klasifikasi Sumbing Bibir
Klasifikasi sumbing bibir satu sisi (unilateral) dibagi menjadi:
1. Sumbing bibir satu sisi lengkap (Complete Unilateral Cleft Lip) adalah
sumbing bibir pada satu sisi bibir atas sampai ke lubang hidung, mengenai
prosesus alveolaris dan kadang-kadang sampai palatum durum dan
palatum mole (Oneida & Arosarena, 2007).
2. Sumbing bibir satu sisi tidak lengkap (Incomplete Unilateral Cleft Lip)
adalah sumbing bibir pada satu sisi atas tanpa ada tanda-tanda anomaly
pada prosesus alveolaris (Oneida & Arosarena, 2007).
13
2.2.1 Operasi Sumbing Bibir
2.2.5.1 Teknik Millard
Kongres International Operasi Plastik pertama di Stockholm pada
tahun 1955 menandai titik balik operasi sumbing bibir saat dokter Millard
mempresentasikan tekniknya: rotation advancement flaps. Ralph Millard
mengembangkan teknik rotation advancement, model rotation
advancement flap didasarkan pada garis melengkung (rotasi) pada sisi bibir
yang tidak sumbing untuk menyeimbangkan perbedaan tinggi bibir.
Dengan teknik ini tinggi bibir lebih simetris, lebar kolom philtrum dan dasar
nasal yang simetris dapat dicapai. Garis melengkung yang simetris dibuat
pada sisi sumbing dengan pemanjangan kecil dibawah ala nasal untuk
mencapai akses ke hidung (Knezevic, et al., 2017).
Setelah presentasi Millard tentang teknik rotation advancement ada
kekhawatiran pada pemendekan bibir yang terjadi. Millard setelah itu
mengganti tekniknya dengan back-cut untuk memungkinkan rotasi lebih
dan panjang dari medial flap. Teknik rotation advancement telah
mengalami beberapa modifikasi yang dibuat oleh beberapa dokter bedah
plastik (Knezevic, et al., 2017).
14
(Knezevic, et al., 2017)
Gambar 2.9
Teknik Millard
2.2.5.2 Teknik Noordhoff
Banyak teknik yang sudah dimodifikasi dan digunakan untuk
memperbaiki sumbing bibir unilateral. Ini termasuk teknik Noordhoff.
Millard mengembangkan konsep rotation advancement sedangkan
Noordhoff memodifikasinya dengan menambahkan segitiga kecil diatas
white roll (Ajmal, et al., 2010).
Banyak teknik yang sudah dimodifikasi dan digunakan untuk
memperbaiki sumbing bibir unilateral. Ini termasuk teknik Noordhoff.
Millard mengembangkan konsep rotation advancement sedangkan
Noordhoff memodifikasinya dengan menambahkan segitiga kecil diatas
white roll. Teknik Noordhoff sudah terbukti efisien digunakan untuk
mengurangi vermilion notch dengan menghindari penutupan garis lurus
pada vermilion, dimana teknik Millard dapat menghasilkan notch pada
beberapa pasien (Jan, et al., 2012).
15
Teknik Noordhoff sudah terbukti efisien digunakan untuk
mengurangi vermilion notch dengan menghindari penutupan garis lurus
pada vermilion, dimana teknik Millard dapat menghasilkan notch pada
beberapa pasien (Cheema, et al., 2012).
(Neligan, 2012)
Gambar 2.10
Teknik Noordhoff
2.2.5.3 Teknik Tennison Randall
Prosedur Tennison Randall dikenal sebagai design geometris yang
membutuhkan pengukuran pra-bedah yang tepat. Operasi dilakukan
secara ketat, dan keuntungan dari teknik adalah efek lip advancement
16
antara dasar alar dan cupid bow pada sisi yang terkena. Teknik Tennison
Randall ini cukup efisien. Terbukti untuk mengurangi vermilion notch
dengan menghindari penutupan garis lurus pada vermilion dan dapat
membantu menurunkan cupid’s bow (Al Hafiz, et al., 2017).
Titik 1 adalah titik tengah cupid bow di perbatasan vermilion. Titak
2 adalah puncak cupid bow di sisi non-celah. Titik 3 adalah puncak cupid
bow di sisi celah sehingga panjang 1-2 sama dengan panjang 1-3 (titik 3
berhubungan dengan titik 13). Bibir medial didorong ke arah celah
tersebut, meluruskan kolumela di garis tengah. Titik 5 adalah titik di
perbatasan vermilion dari medial di dasar kolumela. Titik 4 adalah titik
dasar kolumela yang berhubungan dengan lubang hidung yang
berlawanan (Al Hafiz, et al., 2017)
Titik 6 adalah titik di dasar lubang hidung dari lateralis, dengan
hubungan yang sama dengan celah sisi dasar alar sebagai titik 4 pada sisi
non-celah dasar alar. Jalur 5-3 ditarik garis. Titik 7 ditemukan pada garis
tengah phitral sehingga sudut 5-3-7 sekitar sudut kanan. Garis 3-7 ditarik.
Titik 8 terletak di perbatasan vermilion dari lateral, jarak dari titk 8 untuk
komisura mulut ipsilateral sama dengan jarak dari titik 2 ke sisi non-
celah. Titik 10 sekitar titik tengah 7-13, dan titik 11 adalah sekitar titik
tengah 9-12. Letak titik 9 dan 12 bervariasi, sesuai dengan ukuran celah
dan jumlah jaringan (Al Hafiz, et al., 2017).
17
(Al Hafiz, et al., 2017)
Gambar 2.11
Titik-titik imajiner pada teknik Tennison Randall
1.2 Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka merupakan sebuah proses transisi yang merupakan proses
paling kompleks dalam fisiologi manusia (Theddeus & Prasetyono, 2009). Jenis
penyembuhan yang paling sederhana terlihat pada penanganan luka oleh tubuh
seperti insisi pembedahan, dimana pinggir luka dapat saling didekatkan agar proses
penyembuhan dapat terjadi. Penyembuhan semacam itu disebut penyembuhan
primer atau healing by first intention (Sabiston, 2017).
Setelah terjadi luka maka tepi luka dihubungkan oleh sedikit bekuan darah,
yang fibrinnya bekerja seperti lem. Segera setelah itu terjadi reaksi peradangan akut
pada luka itu, dan sel-sel radang, khususnya makrofag, memasuki bekuan darah dan
18
mulai menghancurkannya. Pada luka lainnya, diperlukan jahitan untuk mendekatkan
kedua tepi luka sampai terjadi terjadinya penyembuhan (Sabiston, 2017).
Jahitan dapat dilepas jika sudah terjadi organisasi dan regenerasi epitel pada
saat dimana tepi luka tidak akan membuka lagi, jika benang dilepas. Jadi, pada daerah
kulit dimana secara relative terdapat tegangan yang kecil, maka benang bedah dapat
dilepaskan dalam beberapa hari, lama sebelum kekuatan maksimal scar tercapai, dan
sebelum diletakkannya kolagen dalam jumlah yang cukup (Sabiston, 2017).
(Sabiston, 2017)
Gambar 2.12
Penyembuhan Luka Primer
Jenis penyembuhan luka yang lain adalah penyembuhan luka sekunder
(penyembuhan spontan). Penyembuhan luka sekunder yaitu penyembuhan luka
yang dibiarkan tetap terbuka. Luka akan menutup spontan dengan kontraksi dan re-
epitelisasi luka. Penyembuhan sekunder memerlukan waktu yang lebih lama
(Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
19
(Sjamsuhidajat & Jong, 2010)
Gambar 2.13
Penyembuhan Luka Sekunder
2.2.1 Fase Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka yang dibagi dalam tiga fase, yaitu fase inflamasi,
proliferasi, dan penyudahan yang merupakan perupaan kembali (remodelling)
jaringan (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
a. Hemostasis dan Inflamasi
Fase inflamasi merupakan fase pertama proses penyembuhan luka.
Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan
dan tubuh akan berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi,
pengerutan pembuluh darah yang putus (retraksi) dan hemostasis.
Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah
saling melengket, dan bersama dengan jala fibrin yang terbentuk
membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah. Trombosit yang
berlekatan akan berdegranulasi, melepas kemoaktratan yang menarik sel
radang, mengaktifkan fibroblast lokal dan sel endotel serta
vasokonstriktor. Sementara itu terjadi reaksi inflamasi (Sjamsuhidajat &
Jong, 2010).
20
Setelah hemostasis proses koagulasi akan mengaktifkan kaskade
komplemen. Sel mast dan jaringan ikat menghasilkan serotonin dan
histamin yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi
eksudasi cairan, penyebukan sel radang, disertai vasodilatasi setempat
yang menyebabkan udem dan pembengkakan. Tanda dan gejala klinik
radang menjadi jelas berupa warna kemerahan karena kapiler melebar
(rubor), suhu hangat (kalor), rasa nyeri (dolor), dan pembengkakan
(tumor) (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
Proses hemostasis dan inflamasi terjadi dengan mulai dilepaskannya
chemotactic factor dari lokasi luka. Definisi luka, dimana terjadi rusaknya
integritas jaringan, yang mengarah ke pembagian pembuluh darah dan
kontak langsung antara matriks ekstraseluler dengan platelet. Paparan
antara kolagen subendotelial dengan platelet menyebabkan terjadinya
agregasi platelet, degranulasi, dan aktivasi dari kaskade koagulasi.
Platelet α mengeluarkan sejumlah bahan wound-active, seperti PDGF,
TGF-β, PAF, fibronektin, dan serotonin. Selain mencapai hemostasis,
bekuan fibrin berfungsi sebagai perancah sel inflamasi seperti leukosit
PMNs, neutrofil, dan monosit untuk bermigrasi ke luka (Brunicardi, et al.,
2006).
Infiltrasi selular setelah cedera mengalami proses dengan urutan
yang telah ditentukan. PMNs adalah sel pertama yang menginfiltrasi
lokasi luka, yang memuncak pada 24 hingga 48 jam sejak luka timbul.
Peningkatan permeabilitas pembuluh darah, pelepasan prostaglandin
21
lokal, dan adanya zat chemotactic seperti faktor komplemen, IL-1, TNF-
α, TGF-β, platelet faktor 4, atau semua zat dari bakteri merangsang
neutrofil bermigrasi (Brunicardi, et al., 2006).
Peran utama dari neutrofil adalah fagositosis bakteri dan debris
jaringan. PMNs juga merupakan sumber utama sitokin inflamasi selama
fase awal, khususnya TNF-α, yang mungkin memiliki pengaruh
signifikan terhadap angiogenesis selanjutnya dan sintesis kolagen. PMNs
juga melepaskan protease seperti collagenase, yang berpartisipasi dalam
matriks dan degradasi substansi dasar dalam fase awal penyembuhan
luka. Selain peran mereka dalam membatasi infeksi, sel-sel ini tidak
muncul untuk memainkan peran dalam deposisi kolagen atau akuisisi
kekuatan luka mekanik. Sebaliknya, faktor neutrofil telah terlibat dalam
menunda penutupan luka epitel (Brunicardi, et al., 2006).
Makrofag, seperti neutrofil, berpartisipasi dalam debridement luka
melalui fagositosis dan berkontribusi untuk stasis mikro melalui oksigen
radikal dan sintesis oksida nitrat. Fungsi makrofag yang paling penting
adalah aktivasi dan perekrutan sel lain melalui mediator seperti sitokin
dan growth factor, serta interaksi langsung dengan sel-sel dan ICAM.
Dengan melepaskan mediator seperti growth factor TGF-β, VEGF, IGF,
EGF, dan laktat, makrofag mengatur proliferasi sel, sintesis matriks, dan
angiogenesis. Makrofag juga memainkan peran penting dalam mengatur
angiogenesis dan deposisi matriks dan remodeling (Brunicardi, et al.,
2006).
22
Limfosit-T adalah sel inflamasi lain yang secara rutin menginvasi
luka. Dengan jumlah lebih kecil dari makrofag, limfosit-T mengalami
puncaknya sekitar 1 minggu post-injury dan sebagai jembatan transmisi
dari fase inflamasi ke fase proliferasi penyembuhan. Meskipun diketahui
penting untuk penyembuhan luka, peran limfosit dalam penyembuhan
luka tidak sepenuhnya diketahui. Data signifikan mendukung hipotesis
bahwa limfosit T memainkan peran aktif dalam modulasi lingkungan
luka. Penipisan dari limfosit-T menurunkan kekuatan dan konten kolagen,
sementara penipisan selektif dari subset CD8+ limfosit T supresor
meningkatkan penyembuhan luka. Namun, penipisan subset helper CD4
tidak berpengaruh. Limfosit juga memberikan suatu efek down-
regulating pada sintesis kolagen fibroblast oleh interferon IFN-ã, TNF-á,
dan IL-1. Efek ini hilang jika sel-sel secara fisik terpisah, menunjukkan
bahwa sintesis matriks ekstraseluler diatur tidak hanya melalui faktor
larutan tetapi juga oleh kontak langsung sel antara limfosit dan fibroblast
(Brunicardi, et al., 2006).
Fase ini merupakan bagian yang esensial dari proses penyembuhan
dan tidak ada upaya yang dapat menghentikan proses ini. Jika proses ini
diperpanjang oleh adanya jaringan yang mengalami devitalisasi secara
terus menerus, adanya benda asing, pengelupasan jaringan yang luas,
trauma kambuhan, atau oleh penggunaan yang tidak bijaksana preparat
topikal untuk luka, seperti antiseptik, antibiotik, atau krim asam, maka
23
penyembuhan diperlambat dan kekuatan regangan luka menjadi tetap
rendah (Morison, 2004).
b. Fase Proliferasi
Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol
adalah proses proliferasi fibroblast. Fibroblast berasal dari sel mesenkim
yang belum berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asam
aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang
akan mempertautkan tepi luka. Pada fase ini serat dibentuk dan
dihancurkan kembali untuk penyesuaian diri dengan tegangan pada luka
yang cenderung mengerut. Sifat ini, bersama dengan sifat kontraktil
miofibroblast, menyebabkan tarikan pada tepi luka. Pada akhir fase ini
kekuatan regangan luka mencapai 25% jaringan normal (Sjamsuhidajat &
Jong, 2010).
Fase proliferasi adalah fase kedua dari penyembuhan luka dan
prosesnya berkisar dari hari ke-4 sampai ke-12. Selama fase ini,
kontinuitas jaringan dibentuk kembali. Fibroblast dan sel endotel adalah
kumpulan sel terakhir menginvasi daerah luka, dan chematactic factor
terkuat untuk fibroblast adalah PDGF. Saat memasuki lingkungan luka,
fibroblast yang masuk harus terlebih dahulu berproliferasi, dan kemudian
menjadi aktif untuk melaksanakan fungsi utama mereka yaitu renovasi
sintesis matriks. Aktivasi ini terutama dimediasi oleh sitokin dan growth
factor yang dilepaskan oleh makrofag (Brunicardi, et al., 2006).
Fibroblast yang terisolasi pada luka mensintesis kolagen lebih
24
banyak daripada fibroblast biasa, mereka berkembang biak lebih sedikit,
dan mereka secara aktif melakukan kontraksi matriks. Meskipun jelas
bahwa lingkungan luka kaya sitokin memainkan peran penting dalam
perubahan fenotipik dan aktivasi mediator, meskipun hanya beberapa
yang diketahui. Sel endotel juga berproliferasi secara ekstensif selama
fase penyembuhan. Sel-sel ini berpartisipasi dalam pembentukan kapiler
baru (angiogenesis), suatu proses yang penting untuk keberhasilan
penyembuhan luka. Sel endotel bermigrasi dari venula utuh yang dekat
dengan luka. Migrasi mereka, replikasi, dan pembentukan tubulus baru
kapiler berada di bawah pengaruh sitokin dan growth factor seperti TNF-
á, TGF-â, dan VEGF. Meskipun banyak sel lain yang menghasilkan
VEGF, tetapi makrofag merupakan sumber utama dalam penyembuhan
luka, dan VEGF reseptor utamannya terletak pada sel endotel (Brunicardi,
et al., 2006).
Pada fase fibroplasia ini, luka dipenuhi sel radang, fibroblast, dan
kolagen, membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan
yang berbenjol halus yang disebut jaringan granulasi. Epitel tepi luka
yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi
permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk
dari proses mitosis. Proses migrasi hanya bisa terjadi ke arah yang lebih
rendah atau datar, sebab epitel tak dapat bermigrasi ke arah yang lebih
tinggi. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling menyentuh dan
menutup seluruh permukaan luka (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
25
Epitelisasi terjadi sampai tiga kali lebih cepat di lingkungan yang
lembab (di bawah balutan oklusif atau balutan semipermiabel) daripada
di lingkungan yang kering (Morison, 2004).
Dengan tertutupnya permukaan luka, proses fibroplasia dengan
pembentukan jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses
pematangan dalam fase penyudahan (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
c. Maturasi dan Remodeling
Maturasi dan remodeling jaringan parut dimulai selama fase
fibroplastik, dan ditandai oleh reorganisasi kolagen yang telah disintesis
sebelumnya. Kolagen adalah dipecah MMPs, dan kolagen pada luka
merupakan hasil keseimbangan antara kolagenolisis dan sintesis kolagen.
Ada pergeseran pada sintesis kolagen dan akhirnya kembali terjadi
pembentukan matriks ekstraseluler yang terdiri dari jaringan parut kaya
kolagen yang relatif aselular (Brunicardi, et al., 2006).
Luka dan integritas kekuatan mekanik di luka baru ditentukan oleh
kuantitas dan kualitas kolagen yang baru disimpan. Pengendapan matriks
pada lokasi luka mengikuti pola karakteristik fibronektin dan kolagen tipe
III merupakan perancah matriks awal glukosaminoglikan dan
proteoglikan merupakan komponen matriks signifikan berikutnya, dan
kolagen tipe I adalah matriks akhir. Setelah beberapa minggu pasca injuri
jumlah kolagen dalam luka mencapai plateau, tapi kekuatan terus
meningkat selama beberapa bulan lagi. Pembentukan fibril dan cross-
26
linking fibril menghasilkan penurunan kelarutan kolagen, peningkatan
kekuatan, dan peningkatan ketahanan terhadap degradasi enzimatik
matriks kolagen. Remodeling jaringan parut berlanjut terus hingga 6
sampai 12 bulan pasca cedera, dengan secara bertahap menghasilkan
jaringan parut yang matang, avaskular, dan aselular (Brunicardi, et al.,
2006).
Kolagenolisis adalah hasil dari aktivitas kolagenase, sebuah
metalloproteinase matriks yang membutuhkan aktivasi baik sintesis
kolagen maupun lisin kolagen, keduanya dikendalikan oleh sitokin dan
growth factor. Beberapa faktor mempengaruhi kedua aspek remodeling
kolagen tersebut. Sebagai contoh, TGF-â meningkatkan transkripsi
kolagen baru dan juga menurunkan perusahaan kolagen dengan
menstimulasi sintesis inhibitor jaringan dari metalloproteinase. Peristiwa
hemostasis ini, deposisi kolagen dan degradasi, adalah penentu utama
kekuatan dan integritas luka (Brunicardi, et al., 2006).
2.3.2 Pembentukan Scar
Dalam 24 jam, karena rangsangan PDGF, fibroblast dalam jaringan
subkutis berpindah. Segera setelah itu, kolagen dikeluarkan, dimulai
proses penjahitan, dan proses penyatuan kuat antara tepi-tepi luka. Pada
luka yang sudah sembuh. Pengukuran hidroksiprolin tinggi pada hari ke
4-12, dan akan mulai berkurang dengan cepat. Kekuatan tegangan luka
terus meningkat bila kolagen matur. Dua proses utama yang bekerja
selama maturase: (1) ikatan dalam molekul-molekul kolagen dan antara
27
serat-serat kolagen serta (2) ‘remodeling’ arah berkas kolagen (Sabiston,
2017).
Untuk melakukan ‘remodeling’, berkas kolagen yang sudah ada akan
dilarutkan oleh kolagenase jaringan; jaringan baru terbentuk dan tersusun
untuk menahan garis tegangan melewati luka. Jahitan antar jaringan tepi
luka menimbulkan penyembuhan yang baik. Pada penyembuhan
sederhana, kekuatan kolagen dan kecepatan mencapai maturase bervariasi
sesuai keparahan luka. Jadi luka pada kulit akan sembuh dengan baik
dalam waktu 2-3 minggu (Sabiston, 2017).
2.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka terbagi menjadi dua:
1. Faktor Lokal
a. Oksigenasi
Oksigenasi merupakan factor terpenting yang berpengaruh
pada kecepatan penyembuhan. Hal ini tampak secara klinik: pada
daerah dengan vaskularisasi yang baik, seperti wajah dan lidah.
Penyembuhan terhalang apabila jahitan terlalu ketat (Sabiston,
2017).
2. Faktor Umum
a. Nutrisi
Kekurangan vitamin C menghalangi hidroksilasi prolin dan
lisin, sehingga kolagen tidak dikeluarkan oleh fibroblast. Penilaian
nutrisi yang berkelanjutan diperlukan karena penampilan visual
28
pasien atau luka bukanlah indicator yang dapat diandalkan pasien
untuk menerima berapa jumlah nutrisi yang tepat diterima oleh
pasien (Sabiston, 2017; Cathy, et al., 2011)
b. Usia
Usia dapat mengganggu semua tahap penyembuhan luka
seperti: perubahan vaskuler mengganggu sirkulasi ke daerah luka,
penurunan fungsi hati mengganggu sintesis faktor pembekuan,
respons inflamasi lambat, pembentukan antibodi dan limfosit
menurun, jaringan kolagen kurang lunak, jaringan parut kurang
elastis (Sabiston, 2017; S & L.A., 2010).
Seiring dengan bertambahnya usia, perubahan yang terjadi
dikulit yaitu frekuensi penggunaan sel epidermis, respon inflamasi
terhadap cedera, persepsi sensoris, proteksi mekanis, dan fungsi
barier kulit. Kecepatan perbaikan sel berlangsung sejalan dengan
pertumbuhan atau kematangan usia seseorang, namun selanjutnya
proses penuaan dapat menurunkan sistem perbaikan sel sehingga
dapat memperlambat proses penyembuhan luka (Moya, 2004).
Menurut Alice dkk (2014) bahwa anak-anak yang sehat tanpa
adanya gangguan seperti status gizi buruk atau gangguan
perkembangan saraf penyembuhan lukanya lebih cepat (Alice, et al.,
2014).
29
c. Steroid
Steroid menghalangi penyembuhan dengan menekan proses
peradangan dan menambah lisis kolagen. Efeknya sangat nyata
selama 4 hari pertama, setelah itu efeknya berkurang hanya untuk
menghambat ketahanan normal terhadap infeksi (Sabiston, 2017).
2.3.4 Hubungan Antara Tingkat Keparahan Sumbing Bibir dan Kualitas Scar
Bermudez dkk (2013) mengklasifikasikan sumbing bibir menjadi tiga
derajat tingkat keparahan yaitu: ringan, sedang, dan berat. Tingkat keparahan
ringan yaitu hanya sumbing dibagian bibir inkomplit (jembatan jaringan
sampai dengan tepi vermillion). Tingkat keparahan sedang yaitu sumbing
bibir dapat inkomplit (jembatan jaringan hanya pada nasal sill) atau komplit
(adanya distorsi ala nasi minim). Dan tingkat keparahan sumbing berat yaitu
sumbing bibir komplit (distorsi ala nasi tampak nyata dan langit-langit cleft)
(Bermudez, et al., 2013).
Pasien sumbing bibir dengan tingkat keparahan berat akan memerlukan
perawatan bedah yang lebih kompleks. Semakin lebar celah sumbing akan
mempengaruhi kualitas scar pasca operasi. Hal tersebut berhubungan dengan
ketegangan jahitan yang akan mempengaruhi proses penyembuhan luka,
yaitu oksigenasi jaringan. Oksigenasi merupakan faktor terpenting yang
dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka, dimana oksigenasi
berhubungan dengan vaskularisasi. Jika pada proses penyembuhan luka
terganggu, maka akan dapat mempengaruhi kualitas scar (Sabiston, 2017;
Richard, et al., 2007)
30
Scar pasca operasi ataupun trauma, umunya akan sulit diprediksi. Baik
buruknya scar umumnya juga berhubungan dengan kolagen pada fase
remodeling. Sintesis dan degradasi serat kolagen akan menentukan fase
remodeling. Ketika luka mencapai kematangan, sitokin ekstraseluler akan
berubah untuk penghentian dan sintesis kolagen lebih lanjut. Umumnya luka
yang mencapai maturasi normal, maka tidak akan terjadi discoloration pada
kulit sekitarnya (S & L.A., 2010; Daegu & Aram, 2014; Thomas, et al., 2001).
Scar biasanya dibedakan dari kulit normal dari segi peninggian
jaringan (hypertrophy), perubahan warna (discoloration), pelebaran
jaringan (spreading), dan bekas jahitan yang tampak pada jaringan tersebut
(Bermudez, et al., 2013). Kualitas adalah baik buruknya sesuatu. Kualitas
scar adalah baik buruknya scar pasca operasi. Kualitas scar dapat dinilai
dari empat 30actor, yaitu:
a. Hypertrophy (peninggian jaringan yang terjadi pada bekas luka
operasi)
b. Discoloration (perubahan warna yang terjadi pada bekas luka operasi)
c. Spreading (pelebaran yang terjadi pada bekas luka operasi)
d. Suture Marks (bekas jahitan yang tampak pada bekas luka operasi)