bab 2 tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/58733/2/bab 2.pdf · 2020-01-30 · 5 bab 2 tinjauan...
TRANSCRIPT
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Mata
Mata adalah struktur bulat berisi cairan yang dibungkus oleh tiga lapisan
khusus, yaitu sklera/ kornea di bagian paling luar, kemudian ada koroid/ badan
siliaris/ iris, dan retina sebagai bagian yang terdalam (Sherwood, 2013).
(Sherwood, 2013)
Gambar 2. 1 Struktur Anatomi Mata (Pandangan depan eksternal).
Struktur anatomi mata bagian depan eksternal terdiri dari saluran untuk drainase
air mata, pupil, iris, dan sklera.
2.1.1. Struktur Aksesori Mata/ Adneksa Mata, tersusun atas:
a. Alis mata adalah lipatan kulit yang menebal dan ditutupi oleh rambut, serta
ditunjang oleh serat-serat otot yang ada di bawahnya (Eva dan Witcher, 2017).
b. Palpebra (kelopak mata) superior dan inferior merupakan modifikasi lipatan
kulit yang ketika menutup dapat melindungi bola mata bagian anterior (Eva
dan Witcher, 2017). Celah antara kedua palpebrae yang berbentuk elips ketika
terbuka, disebut rima palpebrarum/ fissura palpebralis (Drake, Vogl dan
Mitchell, 2017).
6
c. Konjungtiva, membran mukosa tipis dan transparan yang membungkus
permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan
anterior sklera (konjungtiva bulbaris) (Drake, Vogl dan Mitchell, 2017; Eva
dan Witcher, 2017).
d. Apparatus lacrimalis, merupakan aksesoris mata yang berfungsi dalam proses
produksi, perpindahan, dan drainase cairan dari permukaan bulbus oculi/ bola
mata (Drake, Vogl dan Mitchell, 2017).
2.1.2. Struktur Bola Mata, terdiri dari:
(Sherwood, 2013)
Gambar 2. 2 Struktur Anatomi Mata (Pandangan sagittal internal).
Mata adalah struktur bulat berisi cairan yang dibungkus oleh tiga lapisan, yaitu
terdiri dari (1) sklera/ kornea; (2) koroid/ badan siliaris/ iris; dan (3) retina.
a. Tunica fibrosa bulbus oculi terdiri dari sklera yang menutupi bagian posterior
dan lateral, serta kornea yang menutupi bagian anterior (Drake, Vogl dan
Mitchell, 2017).
i. Sklera, merupakan pembungkus fibrosa di bagian terluar bola mata yang ber-
7
warna putih, berfungsi untuk melindungi dan memberi bentuk pada
bola mata (Ilyas dan Yulianti, 2018).
ii. Kornea, menutupi 1/6 permukaan anterior sklera dan sifatnya transparan
(Drake, Vogl dan Mitchell, 2017), sehingga sinar dapat masuk ke bola mata
dengan mudah (Ilyas dan Yulianti, 2018).
b. Tunica vasculosa bulbus oculi atau jaringan uvea terdiri atas tiga bagian dari
posterior ke anterior secara berurutan (koroid, corpus ciliare, dan iris) (Drake,
Vogl dan Mitchell, 2017).
i. Koroid adalah segmen posterior uvea yang berada di antara retina dan sklera
(Eva dan Witcher, 2017). Lapisan berpigmen dapat menyerap sinar setelah
sinar mengenai retina untuk mencegah pantulan atau pembuyaran sinar di
dalam mata (Sherwood, 2013).
ii. Corpus ciliare membentang dari tepi anterior koroid ke pangkal iris.
Komponen badan siliris ada musculus ciliaris dan processus ciliares. Musculus
ciliaris terdiri dari 3 otot akomodasi, yaitu longitudinal, radiar, dan sirkular
(Eva dan Witcher, 2017). Otot longitudinal, berkontraksi untuk mempercepat
pengaliran cairan mata melalui sudut bilik mata. Serat-serat sirkular yang
berkontraksi akan mengerutkan dan merelaksasikan zonula Zinn, sehingga
lensa menjadi lebih cembung (Ilyas dan Yulianti, 2018). Sementara, processus
ciliares berfungsi dalam pembentukan humor aqueous (Drake, Vogl dan
Mitchell, 2017).
iii. Iris merupakan perpanjangan corpus ciliare ke anterior, yang berfungsi
mengatur banyaknya cahaya yang masuk (Eva dan Witcher, 2017), struktur ini
berwarna dengan celah centralis (pupil). Pengaturan ukuran pupil dilakukan
8
oleh serabut otot polos dalam iris. Serabut sirkulernya (musculus sphincter
pupillae) yang dipersarafi parasimpatis menyebabkan pupil mengecil
(konstriksi) (Drake, Vogl dan Mitchell, 2017), sehingga cahaya yang masuk ke
mata lebih sedikit (Ilyas dan Yulianti, 2018). Sedangkan serabut radialnya
(musculus dilator pupillae) yang dipersarafi oleh simpatis mengakibatkan pupil
melebar (dilatasi) (Drake, Vogl dan Mitchell, 2017), sehingga lebih banyak
cahaya yang masuk ke mata (Ilyas dan Yulianti, 2018).
c. Lensa adalah berbentuk lempeng cakram bikonveks, avascular, tidak
berwarna, dan hampir transparan sempurna. Lensa bergantung pada zonula di
belakang iris yang menghubungkannya dengan corpus ciliare. Seiring dengan
pertambahan usia, lensa menjadi bertamah besar dan kurang elastik (Eva dan
Witcher, 2017). Di bagian perifer kapsul lensa ada ligamentum suspensorium
(zonula Zinnii) yang menggantungkan lensa di seluruh ekuatornya pada badan
siliar (Ilyas dan Yulianti, 2018).
d. Aqueous humor diproduksi oleh corpus ciliare. Setelah masuk ke bilik mata
belakang, kemudian melewati pupil dan bilik mata depan, kemudian menuju ke
sudut bilik mata depan (Eva dan Witcher, 2017).
e. Sudut bilik mata depan dibentuk oleh jaringan korneosklera dengan pangkal
iris, sebagai pengaliran cairan bilik mata. Di dekatnya terdapat kanal Schlemm
yang menampung cairan mata keluar ke salurannya (Ilyas dan Yulianti, 2018).
f. Tunica interna bulbus oculi adalah retina. Lapisan tunica interna terdiri dari
dua, yaitu pars optica retinae di posterior dan lateral yang sensitif terhadap
cahaya, dan bagian nonvisual di anterior yang menutupi permukaan internal
corpus ciliare dan iris. Pertemuan keduanya berupa garis yang tidak teratur (ora
9
serrata). Pars optica retinae tersusun dari 2 lapisan, yaitu pars pigmentosa
(luar), serta pars nervosa (dalam). Discus nervi optici merupakan tempat
keluarnya nervus opticus dari retina (bintik buta), karena tidak ada sel reseptor
yang sensitif cahaya. Di sebelah lateralnya terdapat macula yang cekung
bagian tengahnya (fovea centralis), di mana bagian ini memiliki sensitivitas
yang tinggi, karena memiliki lebih sedikit sel batang (sel reseptor sensitive
cahaya, yang berfungsi ketika keadaan cahaya redup dan tidak sensitif terhadap
warna) dan memiliki lebih banyak sel kerucut/ epitheliocyti coniferi (sel
reseptor yang sensitif terhadap cahaya, yang bereaksi terhadap cahaya terang
dan sensitif terhadap warna) (Drake, Vogl dan Mitchell, 2017). Lapisan luar
retina tersebut mendapatkan nutrisi dari koroid (Ilyas dan Yulianti, 2018).
g. Vitreus (badan kaca) berupa gelatin jernih dan avaskular yang menjadi dua
pertiga bagian volume dan berat mata.
2.1.3. Otot-Otot Penggerak Bola Mata
(Baehr dan Frotscher, 2018)
Gambar 2. 3 Otot Penggerak Bola Mata
Otot penggerak bola mata berfungsi untuk menggerakkan bola mata, digambarkan dalam
diagram posisi mata pada enam posisi gerakan mata.
10
Otot ini menggerakkan mata dengan fungsi ganda.
a. Oblik inferior, dipersarafi saraf ke III
b. Oblik superior, dipersarafi saraf ke IV
c. Rektus inferior, dipersarafi saraf ke III
d. Rektus lateral, dipersarafi saraf ke VI, menggerakkan otot ke arah lateral
e. Rektus medius, dipersarafi saraf ke III
f. Rektus superior, dipersarafi saraf ke III
2.2 Fisiologi Penglihatan
Jumlah cahaya yang masuk ke mata dikontrol oleh iris. Lubang bundar di
bagian tengah iris tempat masuknya cahaya ke interior mata adalah pupil. Ketika
sinar terang, pupil menjadi lebih kecil, untuk mengurangi jumlah cahaya yang
masuk ke mata. Ketika dalam keadaan cahaya redup, ukuran pupil melebar agar
sinar yang masuk ke mata lebih banyak. Kemudian berkas cahaya divergen yang
mencapai mata harus dibelokkan ke dalam agar dapat difokuskan kembali ke
suatu titik (titik fokus) di retina yang peka cahaya agar diperoleh bayangan akurat
dari sumber cahaya. Sinar harus melalui beberapa lapisan retina untuk sebelum
mencapai fotoreseptor. (1) Lapisan paling luar (paling dekat dengan koroid)
mengandung sel batang dan sel kerucut; (2) lapisan tengah sel bipolar dan
antarneuron-antarneuron yang terkait; dan (3) lapisan dalam sel ganglion. Sinar
harus melewati lapisan ganglion dan bipolar sebelum mencapai fotoreseptor di
semua bagian retina kecuali di fovea. Di fovea, yaitu cekungan seukuran pentul
jarum yang terletak tepat di tengah retina, lapisan sel ganglion dan bipolar tersisih
ke tepi sehingga cahaya langsung mengenai fotoreseptor (Sherwood, 2013).
Fototransduksi oleh sel fotoreseptor retina kemudian mengubah energi
11
cahaya menjadi sinyal listrik untuk ditransmisikan ke SSP. Fotoreseptor (sel
batang dan sel kerucut) terdiri dari tiga bagian, yaitu segmen luar, segmen dalam,
dan terminal sinaps. Segmen luar terdiri dari tumpukan lempeng-lempeng
membranosa gepeng yang mengandung banyak molekul fotopigmen peka cahaya
(opsin dan retinal). Suatu fotopigmen, misalnya rodopsin, yang terdapat di sel
batang dan mengandung protein opsin terikat ke membran dan turunan vitamin A
retinal. Dalam keadaan gelap, 11-cis retinal terikat di interior opsin dan
fotopigmen dalam keadaan inaktif. Jika terdapat cahaya, retinal berubah bentuk
menjadi all-trans-retinal dan mengaktifkan fotopigmen. Setiap fotoreseptor
bersinaps dengan dua sel bipolar sisi-ke-sisi, yaitu sel bipolar on-center dan sel
bipolar off-center. Masing-masing sel tersebut berakhir di sel ganglion on-center
dan sel ganglion off-center, yang akson-aksonnya membentuk saraf optik untuk
transmisi sinyal ke otak (Sherwood, 2013).
2.3 Karakteristik Optik Mata
2.3.1. Mekanisme Akomodasi
Akomodasi adalah kemampuan mata untuk memfokuskan secara jelas
pada suatu objek dari jarak berapa pun disebabkan oleh elastisitas lensa (Olver
dan Cassidy, 2011). Kekuatan lensa bergantung pada bentuknya, yang
dikendalikan oleh otot siliaris. Otot siliaris adalah cincin melingkar otot polos
yang melekat ke lensa melalui ligamentum suspensorium (Sherwood, 2013).
Pada mata normal ketika melihat jarak jauh, otot siliaris berelaksasi
dan ligamentum suspensorium meregang dan menarik lensa menyebabkan lensa
tetap relatif datar (Hall dan Guyton, 2017) dan kurang refraktif. Tetapi, untuk
melihat jarak dekat otot ini berkontraksi dan diatur oleh saraf parasimpatis,
12
(Sherwood, 2013)
Gambar 2. 4 Mekanisme Akomodasi
Mekanisme akomodasi melibatkan otot siliaris yang dapat berelaksasi (kiri) dan
berkontraksi (kanan).
sehingga tegangan pada ligamentum suspensorium berkurang yang menyebabkan
lensa menjadi Iebih konveks, sehingga kekuatan lensa meningkat dan lebih
membelokkan berkas sinar (Sherwood, 2013). Stimulasi simpatis memberi efek
tambahan ketika otot siliaris relaksasi, tapi sangat kecil, sehingga hampir tidak
berperan dalam mekanisme akomodasi normal (Hall dan Guyton, 2017).
2.3.2. Refraksi
Refraksi adalah suatu berkas sinar yang dibelokkan (dibiaskan) ketika mengenai
permukaan suatu medium yang densitasnya berbeda. Semakin besar
kelengkungan, maka semakin besar derajat pembelokan dan semakin kuat lensa.
Permukaan konveks (cembung) mengakibatkan konvergensi berkas sinar,
sehingga dapat membawa bayangan ke titik fokus. Sedangkan permukaan konkaf
(cekung) bersifat membuyarkan berkas sinar (divergensi), yang dapat membantu
mengoreksi kesalahan refraktif tertentu pada mata, seperti berpenglihatan dekat
(Sherwood, 2013). Kemampuan refraktif kornea seseorang tidak berubah karena
kelengkungan kornea tidak pernah berubah. Sebaliknya kemampuan refraktif
13
lensa dapat diubah-ubah dengan mengubah kelengkungannya sesuai kebutuhan
untuk melihat dekat atau jauh (Sherwood, 2013).
(Sherwood, 2013)
Gambar 2. 5 Pemfokusan berkas sinar divergen
Berkas sinar divergen yang masuk ke dalam mata harus dibelokkan agar dapat
terfokus tepat di retina.
(Sherwood, 2013)
Gambar 2. 6 Pemfokusan sumber sinar jauh dan dekat
Berkas sumber cahaya jauh (atas), berkas sumber cahaya dekat yang berdivergensi
(tengah), lensa yang lebih kuat untuk sumber cahaya dekat untuk memfokuskan
cahaya di satu titik fokus (retina).
2.4 Kelainan Refraksi
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang
terdiri dari kornea, cairan mata, lensa, badan kaca, dan panjangnya bola mata.
14
Pada orang normal (emetropia) susunan pembiasan oleh media penglihatan dan
panjangnya bola mata seimbang, sehingga bayangan benda dibiaskan tepat di
daerah makula lutea dalam keadaan mata tidak berakomodasi (Ilyas dan Yulianti,
2018).
Keadaan pembiasan mata dengan panjang bola mata yang tidak seimbang
atau kelainan kekuatan pembiasan sinar disebut kelainan refraksi (ametropia).
Ametropia dalam kondisi tidak berakomodasi memberikan bayangan sinar sejajar
yang tidak fokus tepat di retina. Beberapa bentuk ametropia, diantaranya adalah
(1) ametropia aksial, yang disebabkan karena sumbu optik bola mata lebih
panjang, atau lebih pendek; dan (2) ametropia refraktif, disebabkan adanya
kelainan sistem pembiasan sinar di dalam mata (Ilyas dan Yulianti, 2018).
Ametropia yang disebabkan kelengkungan kornea atau lensa yang tidak
normal disebut ametropia kurvatur, sedangkan jika indeks biasnya abnormal di
dalam mata dikenal sebagai ametropia indeks. Pada keduanya panjang bola
matanya tetap normal. Keadaan ametropia ini dapat ditemukan berupa miopia,
hipermetropia, dan astigmatisma (Ilyas dan Yulianti, 2018).
a. Miopia
Miopia (nearsighted) merupakan kesalahan refraktif paling umum yang
terjadi di dunia, bervariasi berdasarkan negara dan etnis, serta mencapai hingga
70-90% pada populasi Asia tertentu (Krishnakumar, Atheeshwar dan
Chandrasekar, 2014). Pada miopia berkas sinar yang datang dari kejauhan
difokuskan di depan retina karena bola mata yang terlalu panjang atau disebabkan
karena daya konvergensi kornea dan lensa yang terlalu besar. Agar
penglihatannya jelas, maka di depan mata dapat diberi lensa cekung untuk
15
(American Refractive Surgey Council, 2015)
Gambar 2. 7 Jenis kelainan refraksi
Kelainan refraksi dibandingkan dengan mata normal,
beserta lensa koreksinya.
mendivergensikan sinar agar terfokus tepat di retina (Ilyas dan Yulianti, 2018).
Orang dengan miopia mempunyai keuntungan dapat membaca di titik jauh
tanpa kacamata, bahkan pada usia presbiopia (hilangnya daya akomodasi yang
terjadi karena proses penuaan pada semua orang) (Eva dan Witcher, 2017).
b. Hipermetropia
Hipermetropia (rabun dekat, hiperopia, farsightedness) adalah keadaan mata
tidak berakomodasi yang memfokuskan bayangan di belakang retina, karena
berkurangnya panjang sumbu (hiperopia aksial).
Hipermetropia ada tiga bentuk, yaitu:
i. Hipermetropia kongenital, karena bola mata pendek atau kecil.
ii. Hipermetropia simpel, biasanya merupakan lanjutan hipermetropia anak yang
tidak berkurang pada perkembanganna jarang melebihi >5 dioptri.
16
iii. Hipermetropia didapat, biasanya setelah dilakukan tindakan bedah
pengeluaran lensa pada katarak (afakia) (Ilyas dan Yulianti, 2018).
Derajat hipermetropia berdasarkan besarnya dioptri, yaitu:
i. Hipermetropia ringan (S +0.25 D s/d S +3.00 D)
ii. Hipermetropia sedang (S +3.25 D s/d S +6.00 D)
iii. Hipermetropia tinggi (> S +6.25 D) (Ilyas dan Yulianti, 2018).
Biasanya pada anak-anak tidak muncul keluhan. Keluhan yang ditemukan
umumnya penglihatan dekat dan jauh menjadi kabur, sakit kepala, silau, dan
terkadang rasa juling ke dalam atau melihat ganda, matanya lelah dan sakit,
karena terus-menerus berakomodasi untuk memfokuskan bayangan yang terletak
di belakang makula agar terletak di daerah makula lutea. Kondisi ini dikenal
sebagai astenopia akomodatif. Hipermetropia dikoreksi dengan kacamata sferis
positif terbesar yang masih memberikan tajam penglihatan maskimal (Ilyas dan
Yulianti, 2018).
c. Astigmatisma
Astigamatisma terjadi jika kelengkungan kornea tidak sama rata,
menyebabkan bayangan terfokus pada berbagai meridian, sehingga tidak bisa
dikompensasi dengan akomodasi (Eva dan Witcher, 2017). Terdapat beberapa
bentuk astigmatisma, yaitu:
i. Astigmatisma regular, kekuatan pembiasan bertambah atau berkurang
perlahan secara teratur dari satu meridian ke meridian berikutnya. Bayangan
yang terbentuk berupa garis, lonjong, atau lingkaran.
ii. Astigmatisma irregular, tidak mempunyai meridian saling tegak lurus (Ilyas
dan Yulianti, 2018).
17
Gejalanya berupa penglihatan buram, menengok untuk melihat lebih jelas,
dan membaca pada jarak yang lebih dekat (Ilyas dan Yulianti, 2018). Kelainan
astigmatisma bisa dikoreksi dengan lensa silindris, yang sering dikombinasi
dengan lensa sferis (Eva dan Witcher, 2017).
2.5 Miopia
2.5.1. Definisi miopia
Miopia adalah kelainan refraksi yang terjadi bila bayangan benda terletak
jauh difokuskan di depan retina oleh mata yang tidak berakomodasi (Eva dan
Witcher, 2017).
2.5.2. Etiologi miopia
Penyebab yang paling umum miopia adalah panjang aksial yang berlebih
(miopia aksial) dan jarang diakibatkan oleh daya refraksi yang terlalu besar
(misalnya miopia refraktif pada katarak) (Olver dan Cassidy, 2011). Etiologi
miopia beragam dengan faktor lingkungan dan genetik yang diyakini terlibat
dalam pengembangan dan perkembangan miopia (Mrugacz et al., 2018). Adapun
beberapa faktor risiko miopia, di antaranya:
a. Faktor genetik
Banyak dari gen ini terlibat dalam jalur biologis yang diketahui
memperantarai komposisi matriks ekstraseluler dan mengatur remodeling jaringan
ikat (Mrugacz et al., 2018). Studi saat ini telah mengidentifikasi gen yang
bertanggung jawab untuk miopia yang lebih tinggi dari 6 D pada kromosom 1-5,
7, 8, 10-12, 14, 17-22. Sedangkan gen yang bertanggung jawab untuk miopia
lebih rendah dari 6 D telah ditemukan pada kromosom 7 (Czepita, 2014).
b. Faktor lingkungan
18
Faktor lingkungan yang terlibat dalam miopia termasuk near work,
paparan cahaya, kurangnya aktivitas fisik, diet, tingkat pendidikan yang lebih
tinggi, dan urbanisasi (Mrugacz et al., 2018).
Dua faktor yang tampaknya berkontribusi terhadap asosiasi ini adalah: (1)
anak miopia menghabiskan lebih sedikit waktu di luar daripada anak non-miopia,
dan (2) mereka melakukan pekerjaan jarak dekat (near work) pada usia lebih dini.
Beberapa percobaan pada hewan menunjukkan bahwa pelepasan dopamin di
retina yang dipicu oleh intensitas cahaya yang tinggi di luar ruangan
memperlambat perpanjangan aksial bola mata (Verhoeven, 2015). Interaksi antara
gen dan faktor lingkungan menentukan risiko individu miopia tinggi dan dapat
membantu menjelaskan mekanisme patogenesis miopia pada populasi manusia
(Mrugacz et al., 2018). Adapun etiologi miopia berdasarkan klasifikasinya, yaitu:
Tabel 2. 1 Etiologi dan klasifikasi miopia Tipe Miopia Etiologi
Simple Myopia Keturunan
Pekerjaan jarak dekat (near work) terlalu lama
Tidak diketahui
Nocturnal
Myopia Tingkat signifikan dari fokus akomodasi dalam kegelapan
Pseudomyopia Gangguan akomodasi
Exophoria tinggi (penyimpangan sumbu penglihatan salah satu mata
yang menjauhi mata lainnya pada keadaan tanpa rangsangan fusional
visual)
Agen agonis kolinergik
Degenerative
Myopia Keturunan
Retinopati pada bayi prematur
Gangguan cahaya yang melewati media ocular
Tidak diketahui
Tipe Miopia Etiologi
Induced Myopia Katarak nuklear terkait usia
Paparan sulfonamid dan agen farmasi lainnya
Variabilitas yang signifikan dalam kadar gula darah
(Goss et al., 2006).
2.5.3. Patogenesis miopia
Faktor-faktor yang berperan dalam patogenesis miopia, antara lain :
1) Peran akomodasi
19
2) Peran retina perifer
3) Peran bentuk kornea
4) Perubahan anatomi (Czepita et al., 2016)
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan terjadinya miopia, antara lain :
a. Teori aksial atau teori lingkungan, merupakan teori yang menunjukkan bahwa
status refraksi tergantung pada sumbu bola mata dan school myopia, yang
disebabkan oleh faktor lingkungan (aktivitas melihat jarak dekat/ near work)
sehingga memicu pemanjangan sumbu bola mata tanpa disertai perubahan
kornea. Namun dalam teori ini tidak dijelaskan mengenai mekanisme
pemanjangan bola mata tersebut.
b. Teori Steiger atau teori herediter, mengungkapkan bahwa status refraksi
ditentukan oleh kekuatan refraski kornea, lensa, dan sumbu bola mata, yang
hanya dipengaruhi secara herediter (menurun secara genetik).
c. Teori Sato atau teori lentikular atau teori refraktif, mengemukakan bahwa
pengaruh lingkungan terhadap school myopia merupakan mekanisme adaptasi
lensa yang terjadi karena cenderung terlalu sering melihat dalam jarak dekat,
sehingga terjadi akomodasi secara terus menerus. Aktivitas melihat dalam jarak
dekat tidak mempengaruhi kornea dan sumbu bola mata, namun menyebabkan
peningkatan kekuatan refraksi lensa (Basri, 2014).
2.5.4. Klasifikasi
Dikenal beberapa bentuk miopia, antara lain:
i. Miopia refraktif, yaitu bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti
terjadi pada katarak intumesen, di mana lensa menjadi lebih cembung,
sehingga pembiasan lebih kuat. Sama dengan miopia bias atau miopia indeks,
20
yaitu miopia yang terjadi akibat pembiasan media penglihatan kornea dan lensa
yang terlalu kuat (Ilyas dan Yulianti, 2018).
ii. Miopia aksial, yaitu miopia yang terjadi akibat panjangnya sumbu bola mata,
dengan kelengkungan kornea dan lensa yang normal (Ilyas dan Yulianti, 2018).
Menurut derajat beratnya miopia dibagi menjadi:
a. Miopia ringan, (< 3.00 D)
b. Miopia sedang, (3.00 D – 6.00 D)
c. Miopia berat atau tinggi (> 6.00 D) (Basri, 2014).
Miopia berdasarkan umur:
a. Congenital (sejak lahir dan menetap pada masa infantil)
b. Youth-onset (< 20 tahun)
c. Early adult-onset (20 – 40 tahun)
d. Late adult-onset (> 40 tahun) (Czepita, 2014).
Miopia menurut perjalanan penyakit/patogenesisnya, di antaranya:
a. Miopia stasioner, yaitu miopia yang menetap setelah dewasa.
b. Miopia progresif, yaitu miopia yang bertambah terus pada usia dewasa
akibat pertambahan panjang bola mata.
c. Miopia maligna, yaitu miopia yang berjalan progresif, yang bisa menyebab-
kan ablasi retina dan kebutaan (miopia pernisiosa, miopia
degeneratif) (Ilyas dan Yulianti, 2018).
Miopia berdasarkan entitas/ wujud klinisnya, antara lain:
a. Simple (< 6 D, tanpa perubahan patologis)
b. Nocturnal (terjadi pada penerangan yang redup)
21
c. Pseudomyopia (hasil dari peningkatan daya refraksi okular karena stimulasi
berlebih pada mekanisme akomodatif mata atau spasme otot siliaris)
d. Degenerative (derajat miopia yang tinggi terkait dengan perubahan
degeneratif pada segmen posterior mata (miopia patologis))
e. Induced (hasil paparan berbagai agen farmasi, variasi kadar gula darah,
sklerosis nuklear, atau kondisi anomali lainnya. Miopia ini sering bersifat
sementara dan reversibel) (Czepita, 2014).
2.5.5. Manifestasi Klinis
Pasien miopia dapat melihat jelas bila dalam jarak dekat, sedangkan ketika
melihat jauh akan buram (rabun jauh). Selain itu pasien juga mengeluhkan sakit
kepala, sering disertai dengan juling dan celah kelopak yang sempit. Seseorang
dengan miopia memiliki kebiasaan menyipitkan matanya untuk mencegah abrasi
sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole (lubang kecil) (Basri, 2014).
Penderita miopia juga memiliki pungtum remotum yang dekat, sehingga
mata selalu dalam atau berkedudukan konvergensi yang nantinya dapat
mengakibatkan keluhan astenopia konvergensi. Bila hal tersebut menetap,
penderita akan terlihat juling ke dalam (esotropia) (Ilyas dan Yulianti, 2018).
2.5.6. Diagnosis
Evaluasi pasien dengan miopia mencakup unsur-unsur pemeriksaan
mata dan penglihatan yang komprehensif dengan penekanan khusus pada
bidang-bidang berikut:
a. Riwayat pasien
Komponen utama dari riwayat pasien meliputi tinjauan sifat masalah yang
muncul dan keluhan utama, visual, mata, dan riwayat kesehatan umum, riwayat
22
perkembangan dan keluarga, penggunaan obat-obatan dan alergi obat, dan
tuntutan penglihatan dalam profesinya sehari-hari (Goss et al., 2006).
b. Pemeriksaan mata
i. Pemeriksaan tajam penglihatan.
Pemeriksaan tajam penglihatan dapat diukur menggunakan kartu Snellen.
Terdapat dua macam kartu Snellen (Snellen chart), yaitu kartu Snellen standar
yang digunakan untuk orang yang bisa membaca (Gambar 2.8), sedangkan kartu
Snellen E (Tumbling E eye chart) khusus untuk memeriksa orang yang buta huruf
(Gambar 2.9). Pemeriksaan dilakukan pada jarak 5 atau 6 meter. Apabila tajam
penglihatan 6/6, maka orang tersebut dapat melihat huruf pada jarak 6 meter, yang
oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 6 meter. Bila penderita
tidak mampu melihat huruf terbesar pada kartu Snellen, maka dilakukan uji hitung
jari (orang normal dapat melihat jari pemeriksa dengan jelas pada jarak 60 meter).
Jika penderita masih belum bisa melihat hitung jari dalam jarak 1 meter, maka
dilakukan uji lambaian tangan. Pada orang normal dapat melihat lambaian tangan
pada jarak 300 meter. Jika mata penderita dapat melihat lambaian tangan pada
jarak 1 meter, maka tajam penglihatannya adalah 1/300. Pada beberapa pasien
hanya mampu mengenali adanya proyeksi sinar saja, dan disebut visusnya 1/∞
(mata normal mampu melihat adanya sinar pada jarak tak terhingga). Apabila
tidak dapat mengenali adanya sinar, maka dikatakan visusnya 0 (nol) atau buta
total (Ilyas dan Yulianti, 2018).
Bila terdapat keraguan apakah penglihatan penderita berkurang karena
kelainan refraksi, maka dapat dilakukan uji pinhole. Bila penglihatannya lebih
jelas (pinhole maju), artinya terdapat kelainan refraksi yang dapat dikoreksi
23
dengan kacamata. Bila dengan pinhole penglihatannya berkurang, dapat
disimpulkan ada kelainan anatomis (Ilyas dan Yulianti, 2018).
Ketika melakukan pemeriksaan tajam penglihatan pada anak maka
dianjurkan menggunakan sikloplegik.
ii. Pemeriksaan refraksi objektif
Retinoscopy memberikan ukuran obyektif dari kesalahan bias. Retinoskopi
di ruangan yang gelap total mungkin berguna dalam mendiagnosis miopia
nokturnal, meskipun tidak ada prosedur yang terbukti untuk koreksi miopia
nocturnal (Basri, 2014).
iii. Pemeriksaan tambahan
Prosedur tambahan dapat diindikasikan untuk mengidentifikasi kondisi
terkait dan mendokumentasikan, serta memantau perubahan retina pada pasien
dengan miopia degeneratif. Prosedur tambahan ini termasuk:
Fotografi Fundus
Ultrasonografi A- dan B-scan
Pemeriksaan lapang pandang
Tes seperti gula darah puasa (misalnya, untuk mengidentifikasi penyebab
miopia yang diinduksi) (Goss et al., 2006).
(Kerr, 2016)
Gambar 2. 8 Trial frame dan lensa
Digunakan untuk menentukan jenis lensa koreksi yang paling sesuai untuk
mengoreksi kelainan refraksi.
24
(Boslaugh, 2018; Segre, 2018)
Gambar 2. 9 Macam-macam Snellen chart
Terdiri dari kartu Snellen standard (kiri) untuk memeriksa pasien yang tidak buta
huruf dan Tumbling E eye chart (kanan) untuk memeriksa pasien yang buta huruf.
2.5.7. Penatalaksanaan
Tujuan untuk manajemen pasien dengan miopia adalah penglihatan
binokular yang jelas, nyaman, efisien dan kesehatan mata yang baik. Perawatan
yang ditujukan untuk memperlambat perkembangan miopia disebut sebagai
"kontrol miopia". Gaya hidup untuk mengurangi miopia dapat mengurangi
ketergantungan pada kacamata atau lensa kontak, tetapi mereka tidak mengurangi
risiko untuk sekuele miopia (Goss et al., 2006).
i. Koreksi Optik
Koreksi optik dalam bentuk kacamata atau lensa kontak memberikan
penglihatan jarak yang jelas (Goss et al., 2006). Lensa kacamata, masih
merupakan metode yang paling aman untuk mengoreksi refraksi (Eva dan
Witcher, 2017). Pasien miopia dikoreksi dengan kacamata sferis negatif terkecil
dapat memberikan ketajaman penglihatan maksimal (Ilyas dan Yulianti, 2018).
Beberapa keuntungan kacamata untuk pasien dengan miopia adalah:
25
Kacamata memberikan keamanan mata, terutama jika lensa terbuat dari bahan
polikarbonat.
Kacamata mudah dilakukan penggabungan perawatan optik lainnya (misalnya
prisma, bifokal, atau lensa tambahan progresif) yang dapat digunakan untuk
pengelolaan esoforia atau gangguan akomodatif apapun yang menyertai miopia
(Goss et al., 2006).
Beberapa keuntungan dari lensa kontak untuk pasien miopia adalah:
Lensa kontak memberikan efek kosmetik yang lebih baik.
Lensa kontak mengurangi masalah berat kacamata, batasan lapang pandang,
dan kemungkinan ketidakseimbangan prismatik yang disebabkan dari
kemiringan bingkai kacamata.
Lensa kontak (misalnya lensa permeabel gas yang kaku) dapat mengurangi laju
perkembangan miopia karena seluruhnya atau sebagian karena perataan kornea
(Goss et al., 2006; Eva dan Witcher, 2017).
ii. Ortokeratologi
Ortokeratologi adalah pemasangan serangkaian lensa kontak yang
diprogram, selama beberapa minggu atau bulan, untuk meratakan kornea dan
mengurangi miopia. Dengan perawatan lanjutan yang memadai, ortokeratologi
adalah prosedur yang aman dan efektif (Goss et al., 2006). Ini dianjurkan untuk
alternatif bedah refraksi yang lebih aman, tetapi ada risiko terjadinya infeksi
kornea. Sebagian besar ahli oftalmologi tidak merekomendasikan pemakaian lensa
kontak refraksi jenis apapun sepanjang malam (Eva dan Witcher, 2017).
Ortokeratologi umumnya dilakukan hanya pada orang dewasa (Goss et al., 2006).
iii. Bedah Refraktif
26
Ada beberapa metode bedah refraktif yang digunakan. Radial keratotomy
(RK), di mana pola radial seperti jari-jari pada kornea paracentral melemahkan
sebagian kornea. Bagian yang melemah meninggi sementara kornea sentralnya
rata. Sedangkan Excimer laser photorefractive keratectomy (PRK) adalah
prosedur di mana daya kornea berkurang dengan laser ablasi kornea sentral. Hasil
menunjukkan bahwa pasien mencapai ketajaman visual tanpa bantuan alat 6/6
(20/20) setelah PRK. Komplikasi kornea bisa terjadi. silau dan distorsi juga sering
dirasakan (Goss et al., 2006; Eva dan Witcher, 2017).
RK dan PRK adalah prosedur bedah refraktif yang paling umum untuk
kasus miopia rendah atau sedang. Prosedur bedah refraktif tambahan untuk miopia
termasuk cryolathe keratomileusis, automated lamellar keratomileusis (ALK),
dan laser in situ keratomileusis (LASIK). Cryolathe keratomileusis digunakan
untuk miopia yang lebih parah (Czepita, 2014).
Pasien yang mengalami perkembangan miopia seharusnya tidak menjalani
operasi refraktif. Operasi refraktif tidak boleh dilakukan pada pasien rabun jauh
sebelum kematangan fisiknya atau orang yang miopianya belum stabil. Meskipun
tindakan ini biasanya berhasil dalam mengurangi miopia, pasien yang paling
mungkin berhasil adalah mereka dengan miopia yang tidak terlalu parah (Goss et
al., 2006). Metode bedah hanya memungkinkan penderita miopia bebas
dari penggunaan kacamata atau lensa kontak. Namun, tidak menghambat
perkembangan miopianya (Czepita, 2014).
Strategi manajemen untuk mengontrol simple myopia. Kontrol miopia adalah
upaya untuk memperlambat laju perkembangan/ progesivitas miopia. Metode
27
kontrol miopia yang paling umum digunakan adalah lensa plus untuk melihat
jarak dekat dan lensa kontak kaku.
i. Lensa plus untuk jarak dekat
Lensa bifokal dapat mengendalikan miopia. Penambahan lensa plus
umumnya digunakan pada pasien dengan esoforia dekat untuk meringankan
asthenopia dan meningkatkan efisiensi penglihatan dekat (Goss et al., 2006).
ii. Lensa kontak kaku
Lensa kontak kaku yang permeabel gas efektif memperlambat progresivitas
miopia pada anak-anak. Kontrol miopia dengan lensa kontak kaku permeabel gas
tampaknya disebabkan oleh perataan kornea dan memperlambat pemanjangan
aksial mata (Eva dan Witcher, 2017).
2.5.8. Komplikasi
a. Juling
Juling biasanya esotropia atau juling ke dalam akibat mata berkonvergensi
terus-menerus (Ilyas dan Yulianti, 2018).
b. Neovaskularisasi koroid (NVK)
NVK merupakan salah satu komplikasi miopia dan miopia maligna yang
berbahaya. Pasien dengan NVK dapat mengeluh gangguan visus, metamorfopsia,
dan skotoma (Elvira dan Wijaya, 2016).
c. Ablasio retina
Ablasio retina adalah keadaan di mana sel kerucut dan sel batang retina
terpisah dari sel epitel pigmen retina. Ini merupakan komplikasi tersering dari
miopia (Ilyas dan Yulianti, 2018).
d. Primary open angle glaukoma (POAG)
28
Diduga disebabkan oleh peningkatan kerentanan diskus optikus terhadap
kerusakan akibat peningkatan tekanan intraokular dan peningkatan efek
perubahan pada kerusakan diskus optikus. Salah satu penyakit mata yang
berpotensi menyebabkan kebutaan terkait dengan miopia adalah glaukoma, yang
ditandai dengan degenerasi progresif sel ganglion retina (Chen et al., 2012).
e. Katarak
Merupakan komplikasi selanjutnya dari miopia degeneratif, yang terjadi
setelah usia 40 tahun. Katarak sering dihubungkan dengan adanya degenerasi
koroid (Widodo dan Prillia, 2007).
2.5.9. Pencegahan Miopia
a. Saat membaca atau melakukan pekerjaan jarak dekat yang intensif, dianjurkan
untuk istirahat setiap 30 menit. Selama istirahat, sebaiknya berdiri dan melihat
ke luar jendela.
b. Saat membaca, jaga jarak yang tepat dari buku, paling tidak sejauh mata
pembaca dari siku ketika pembaca mengepalkan tangan dan menempelkannya
ke hidungnya.
c. Pastikan pencahayaan cukup untuk membaca. Hindari silau pada halaman yang
dibaca dengan menggunakan sumber cahaya difus dan membiarkannya
menyinari halaman tersebut dari belakang (melewati bahu pembaca), daripada
bersinar atau memantul ke arah pembaca.
d. Membaca atau melakukan aktivitas visual lainnya menggunakan postur
tegak namun santai.
29
e. Memberi batasan waktu yang dihabiskan untuk menonton televisi dan
menonton video game. Sebaiknya duduk dengan jarak 5-6 kaki dari
televisi(Goss et al., 2006).
2.6 Aktivitas Melihat Jarak Dekat (Near Work)
Aktivitas melihat jarak dekat yang terlalu berlebihan akan menyebabkan
mata menjadi mudah lelah, sayu, dan kadang berair. Anak-anak yang lebih banyak
menghabiskan waktunya untuk melakukan aktivitas-aktivitas jarak dekat seperti
menggambar, mengerjakan PR (pekerjaan rumah), penggunaan handheld
computer (komputer genggam), penggunaan komputer desktop (Lin et al., 2014),
serta waktu dihabiskan untuk membaca, bermain video games, dan menonton
televisi akan lebih berisiko untuk terjadi miopia (Huang, Chang dan Wu, 2015).
Aktivitas melihat jarak dekat menjadi faktor penyebab terjadinya miopia
melalui efek fisik langsung akibat akomodasi yang terjadi secara terus menerus
sehingga menyebabkan tonus otot siliaris menjadi tinggi dan lensa menjadi
cembung. Jarak yang semakin dekat akan menyebabkan semakin kuatnya
akomodasi mata (Kistianti, Sutono dan Haryani, 2008). Selain itu menurut teori
lain, lamanya aktivitas melihat jarak dekat akan menyebabkan terbentuknya
bayangan buram di retina. Bayangan buram ini akan memulai proses kimia pada
retina untuk menstimulasi perubahan perubahan biokimia dan struktural pada
sklera dan koroid yang menyebabkan elongasi aksial (Ramamurthy, Chua dan
Saw, 2015).
2.7 Aktivitas Luar Ruangan (Outdoor Activity)
Dalam sebuah studi, menunjukkan prevalensi yang lebih rendah dari miopia
30
pada anak-anak Cina yang dibesarkan di Sydney dibandingkan dengan anak-anak
Cina yang tinggal di Singapura, hal ini dikaitkan dengan peningkatan jam
kegiatan di luar ruangan (Pan, Dirani dan Cheng, 2015). Penelitian lain juga
mengungkapkan bahwa lamanya waktu yang dihabiskan di luar ruangan dapat
mengurangi risiko terjadinya miopia (Dirani et al., 2009).
Aktivitas di luar ruangan yang lakukan anak-anak usia sekolah di
antaranya adalah bermain di luar ruangan, jalan-jalan bersama keluarga,
berpiknik/berlibur, bersepeda, mendaki, dan olahraga luar ruangan yang lainnya
(Lin et al., 2014). Aktivitas di luar ruangan merupakan suatu faktor protektif yang
dapat mencegah terjadinya miopia, namun hingga kini mekanismenya masih
belum terlalu jelas (Muhamedagic et al., 2014). Penelitian yang dilakukan oleh
French et al. juga menyatakan bahwa saat ini belum jelas apakah waktu di luar
ruangan juga memperlambat progresi miopia yang ada, tetapi fakta bahwa miopia
mencegah kejadian miopia membuka kemungkinan mencegah perkembangan
miopia, kecuali miopia yang dipengaruhi etiologi genetik yang jelas (French,
Ashby, et al., 2013).
Sebuah hipotesis yang dapat diterima secara luas adalah paparan cahaya
yang terang akan menstimulasi pelepasan dopamin yang dapat menghambat
elongasi bola mata (French, Ashby, et al., 2013). Rose et al juga menyatakan
bahwa cahaya terang di luar ruangan dapat mencegah miopia dengan
meningkatkan pelepasan dopamin dari retina; dopamin telah dikenal sebagai
penghambat pemanjangan aksial bola mata. Itu menunjukkan bahwa cahaya
terang mencegah perkembangan miopia yang diteliti pada hewan dan bahwa
pencegahan ini tergantung dopamin (Rose et al., 2008). Dua uji coba terkontrol
31
melaporkan bahwa memperpanjang waktu paparan di luar ruangan menyebabkan
penurunan yang signifikan dari 23% menjadi 50% pada awal insiden miopia.
Namun, penelitian ini juga mengungkapkan penghambatan perkembangan miopia
dari 0,06 menjadi 0,13 D/ tahun pada anak-anak sekolah dasar dengan
memperpanjang waktu pajanan di luar ruangan (Wu et al., 2013; He et al., 2015;
Zhou et al., 2017). Dengan demikian, paparan cahaya terang mungkin merupakan
intervensi lingkungan untuk mengontrol perkembangan miopia dengan
meningkatkan kadar dopamin di retina (Zhou et al., 2017).
Teori lainnya yaitu teori mengenai vitamin D. Paparan radiasi ultraviolet B
(UV-B) dapat menstimulasi pelepasan vitamin D. Vitamin D berperan dalam
pembentukan kolagen yang merupakan komponen utama sklera. Diduga aktivitas
di luar ruangan menyebabkan peningkatan kadar vitamin D dan dapat
menghambat perkembangan miopia dengan mengatur pertumbuhan sklera melalui
efek anti-proliferasi. Selain itu, vitamin D dibutuhkan untuk berfungsinya otot
siliaris dengan baik, yang memainkan peran penting dalam akomodasi.
Meningkatnya vitamin D, asam retinoat, dan tingkat faktor pertumbuhan okular
juga dapat terlibat dalam memberi sinyal dan mengatur siklus sel (Ramamurthy,
Chua dan Saw, 2015). Pada mata normal/ emetropia pemanjangan aksis bola mata
dikompensasi dengan peregangan dari otot siliaris, zonula zinii, dan lensa yang
mengakibatkan kekuatan refraksi lensa berkurang atau menjadi lebih pipih.
Namun, jika kompensasi tersebut berhenti, maka mata akan mulai mengalami
miopia. Hal tersebut diduga karena adanya perubahan pada otot siliaris. Ketika
teregang, otot-otot polos cenderung menjadi hipertrofi, dan otot siliaris yang
menebal akan menghambat pemipihan lensa untuk menyesuaikan dengan
32
pemanjangan aksis bola mata. Maka peran dari vitamin D dibutuhkan, dimana
vitamin D diduga berperan sebagai anti hipertrofi pada otot siliaris. Sinar matahari
dapat membantu sintesis vitamin D dari pro vitamin D yang ada di dalam tubuh
(Ramamurthy, Chua dan Saw, 2015).
Berdasarkan studi yang dilakukan pada hewan, diyakini bahwa tingkat
cahaya yang tinggi di luar ruangan atau perubahan pencahayaan yang cepat
meningkatkan sekresi dopamin, yang merupakan faktor penghambat pertumbuhan
okuler dalam perkembangan miopia. Dalam beberapa publikasi paparan yang
lebih pendek terhadap cahaya biru (blue light) telah digambarkan sebagai
pelindung terhadap miopia. Di bawah adaptasi fotopik, cahaya biru mendominasi,
dan karenanya berada di luar ruangan mengurangi prevalensi miopia pada anak
sekolah (Czepita et al., 2016).
Sebuah mekanisme penting adalah bahwa selama aktivitas visual ketika di
luar ruangan orang biasanya cenderung melihat objek yang jauh, dan oleh karena
itu ada akomodasi minimal dan miopia tidak berkembang. Namun, selama
pekerjaan visual di dalam ruangan kita cenderung melihat benda-benda dekat dan
membutuhkan daya yang lebih akomodatif, dan karena itu kesalahan refraksi
berkembang (Czepita et al., 2016).
Mengingat hasil ini kita dapat mengasumsikan bahwa aktivitas di luar
ruangan dapat menjadi metode untuk menghambat kemajuan miopia (Czepita et
al., 2016). Itu sebabnya Sherwin et al. menulis “Temuan keseluruhan
menunjukkan bahwa peningkatan waktu yang dihabiskan di luar ruangan mungkin
merupakan strategi sederhana yang digunakan untuk mengurangi risiko
pengembangan miopia dan perkembangannya pada anak-anak dan remaja. Oleh
33
karena itu, lebih lanjut, uji coba terkontrol secara acak diperlukan untuk
menyelidiki kemanjuran peningkatan waktu di luar ruangan sebagai intervensi
yang mungkin untuk mencegah miopia dan perkembangannya” (Sherwin et al.,
2012).
Penilaian waktu di luar ruang didasarkan pada pertanyaan tentang
berjalan-jalan, bermain di luar ruangan, berpiknik, dan berolahraga di luar
ruangan. Total aktivitas luar ruang didefinisikan sebagai jumlah dari outdoor
leisure (aktivitas luar ruangan pada waktu luang) dan outdoor sport (olahraga luar
ruangan) (Guo, Liu, Xu, Lv, et al., 2013).