bab 2 osteomielitis fix

41
Page | 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi tropik endemik di Indonesia. Angka kesakitan dan kematian DHF di berbagai negara sangat bervariasi tergantung pada berbagai faktor, separti: status kekebalan dari populasi, kepadatan vektor dan frekuensi penularan, prevalensi Serotype Virus Dengue dan keadaan cuaca. Penderita penyakit DHF jika tidak mendapat perawatan yang memadai dapat mengalami perdarahan yang hebat, syok dan dapat mengakibatkan kematian. Oleh karena itu semua kasus DHF sesuai dengan kriteria WHO harus mendapat perawatan ditempat pelayanan kesehatan ataupun Rumah Sakit. Sebenarnya penyakit DHF dapat dicegah dengan menghindari gigitan nyamuk Aedes Aegypti atau Aedes Algopicna. Selain itu pencegahan dapat dilakukan dengan mengupayakan perbaikan lingkungan yaitu melenyapkan tempat bertelur dan beristirahatnya nyamuk, baik secara alami ataupun menggunakan insektisida. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian DHF antara lain: Faktor hospes (host), lingkungan (environment) yaitu kondisi geografis (ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban, musim), kondisi demografis (kepadatan

Upload: silmi-noor-rachni

Post on 26-Oct-2015

75 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue

(DBD) merupakan penyakit infeksi tropik endemik di Indonesia. Angka

kesakitan dan kematian DHF di berbagai negara sangat bervariasi tergantung pada

berbagai faktor, separti: status kekebalan dari populasi, kepadatan vektor dan

frekuensi penularan, prevalensi Serotype Virus Dengue dan keadaan cuaca.

Penderita penyakit DHF jika tidak mendapat perawatan yang memadai dapat

mengalami perdarahan yang hebat, syok dan dapat mengakibatkan kematian. Oleh

karena itu semua kasus DHF sesuai dengan kriteria WHO harus mendapat

perawatan ditempat pelayanan kesehatan ataupun Rumah Sakit. Sebenarnya

penyakit DHF dapat dicegah dengan menghindari gigitan nyamuk Aedes Aegypti

atau Aedes Algopicna. Selain itu pencegahan dapat dilakukan dengan

mengupayakan perbaikan lingkungan yaitu melenyapkan tempat bertelur dan

beristirahatnya nyamuk, baik secara alami ataupun menggunakan insektisida.

Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian DHF antara lain: Faktor hospes

(host), lingkungan (environment) yaitu kondisi geografis (ketinggian dari

permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban, musim), kondisi demografis

(kepadatan mobilitas, perilaku, adat istiadat, sosioekonomi, penduduk), jenis dan

kepadatan nyamuk sebagai penular penyakit.1,2,5,6

Di Indonesia pada tahun 1994 DHF mencapai angka incidence rate 9,7 per

100.000 penduduk. Bahkan pada tahun 2004 telah terjadi kejadian luar biasa

dengan angka kejadian sebanyak 64.000 kasus (incidence rate sebesar 29,7 per

100.000 penduduk) dengan jumlah kematian sebanyak 724 orang.1,2

Dua dari beberapa penyebab kematian utama pada pasien dengan kasus

DBD/DHF di rumah sakit karena ; pemeriksaan penyaring yang kurang ketat

terhadap pasien yang datang ke sarana pelayanan kesehatan, dan keterlambatan

pasien datang ke sarana pelayanan kesehatan. Hal ini dapat dimengerti antara lain

Page 2: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 2

karena manifestasi klinik infeksi virus Dengue dapat berupa keadaan

asimptomatik maupun simptomatik yang relatif minimal hingga menimbulkan

kematian yang dapat saja mengalihkan perhatian petugas kesehatan dari

kemungkinan infeksi virus dengue.1,2

Berdasarkan banyaknya angka kejadian demam dengue terutama DHF

dengan banyaknya kemungkinan penyakit yang memiliki gejala klinik tersebut

serta diperlukan diagnosis dan pemberian terapi yang tepat dan sesuai dengan

klinisnya maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai DHF.

I.2. Rumusan Masalah

Permasalahan yang dijadikan bahasan utama makalah ini antara lain :

1. Apakah pengertian osteomielitis?

2. Apa penyebab osteomielitis?

3. Bagaimana patogenesis osteomielitis?

4. Apakah manifekstasi klinis dari osteomielitis dan bagaimana cara

menentukan derajat osteomielitis tersebut?

5. Bagaimana cara menegakkan diagnosis osteomielitis?

6. Pemeriksaan penunjang apa saja yang perlu dilakukan untuk menegakkan

diagnosis osteomielitis?

7. Apa saja diagnosis banding pada keadaan osteomielitis?

8. Apa saja terapi atau tindakan yang dilakukan untuk menangani kondisi

osteomielitis?

9. Apa saja yang dilakukan untuk mencegah terjadinya osteomielitis?

10. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada pasien osteomielitis?

I.3. Tujuan

Sehubungan dengan masalah tersebut di atas, penelitian ini bertujuan :

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari pembuatan referat ini adalah untuk memberikan

pengetahuan mengenai osteomielitis kepada tenaga medis khususnya dokter

dan calon dokter

Page 3: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 3

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui pengertian osteomielitis

b. Mengetahui apa saja penyebab terjadinya osteomielitis

c. Mengetahui patogenesis osteomielitis

d. Mengetahui manifestasi klinis osteomielitis serta menentukan derajat

osteomielitis

e. Mengetahui cara menegakkan diagnosis osteomielitis

f. Mengetahui pemeriksaan penunjang apa saja yang dibutuhkan untuk

menegakkan diagnosa osteomielitis

g. Mengetahui macam-macam diagnosa banding osteomielitis

h. Mengetahui terapi atau tindakan yang dilakukan pada pasien

osteomielitis

i. Mengetahui pencegahan osteomielitis

j. Mengetahui komplikasi pada paien osteomielitis

I.4. Manfaat

Menambah ilmu pengetahuan dan sebagai sumber informasi mengenai

osteomielitis, khususnya untuk mengenali patogenesis, manifestasi klinik pada

pasien osteomielitis serta cara penanganan dan prognosis yang mungkin terjadi

akibat penyakit osteomielitis tersebut.

Page 4: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi Osteomielitis

Osteomielitis adalah suatu proses inflamasi akut ataupun kronis dari tulang

dan struktur-struktur disekitarnya akibat infeksi dari kuman kuman piogenik.

Dalam kepustakaan lain dinyatakan bahwa osteomielitis adalah radang tulang

yang disebabkan oleh organism piogenik, walaupun berbagai agen infeksi lain

juga dapat menyebabkannya. Ini dapat tetap terlokalisasi atau dapat tersebar

melalui tulang, melibatkan sumsum, korteks, jaringan kanselosa dan

periosteum.

II.2. Etiologi Osteomielitis

Biasanya mikroorganisme dapat menginfeksi tulang melalui tiga cara yaitu

melalui pembuluh darah, langsung melalui area lokal infeksi (seperti selulitis)

atau melalui trauma, termasuk iatrogenik seperti dislokasi sendi atau fiksasi

internal.

Pada balita, infeksi dapat menyebar ke sendi dan menyebabkan arthritis.

Pada anak-anak yang biasanya terinfeksi adalah tulang panjang. Abses

subperiosteal dapat terbentuk karena periosteum melekat longgar di

permukaan tulang, sedangkan pada orang dewasa tulang yang paling sering

terinfeksi adalah tulang belakang dan tulang panggul.

Tibia bagian distal, femur bagian distal, humerus, radius dan ulna bagian

proksimal dan distal, vertebra, maksila, dan mandibula merupakan tulang yang

paling beresiko untuk terkena osteomielitis karena merupakan tulang yang

banyak vaskularisasinya. Bagaimanapun, abses pada tulang dapat dipicu oleh

trauma di daerah infeksi. Infeksi dapat disebabkan oleh Staphylococcus

aureus, yang merupakan flora normal yang dapat ditemukan di kulit dan

mukosa membran.

Page 5: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 5

Umur Organisme

Neonatus (lebih kecil daro 4

bulan)

S.aureus, Enterobacter, Streptococcus

group A, Streptococcus group B

Anak-anak (4 bulan – 4 tahun) S.aureus, Streptococcus group A,

Haemophilus influenza, Enterobacter

Anak-anak, remaja (4 tahun-

dewasa)

S.aureus (80%), Streptococcus group

A, H. influenza, Enterobacter

Orang dewasa S.aureus, kadang Enterobacter dan

Streptococcus

Selain bakteri, jamur dan virus juga dapat menginfeksi langsung melalui

fraktur terbuka, operasi tulang atau terkena benda yang terkontaminasi.

Osteomielitis kadang dapat merupakan komplikasi sekunder dari tuberkulosis

paru. Pada keadaan ini, bakteri biasa menyebar ke tulang melalui sistem

sirkulasi, pertama yang terinfeksi adalah sinovium (karena kadar oksigen

yang tinggi) sebelum menginfeksi tulang. Pada osteomielitis tuberkulosis,

tulang panjang dan tulang belakang merupakan satu-satunya tulang yang

terinfeksi.

Osteomielitis dapat juga disebabkan potongan besi yang mengenai tulang

pada saat pembedahan untuk memperbaiki fraktur. Spora bakteri dan jamur

dapat juga mengenai sendi tulang yang terlibat. Osteomielitis juga dapat

terjadi akibat penyebaran infeksi jaringan lunak. Infeksi tersebut meyebar ke

tulang dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. Tipe penyebaran ini

biasa terjadi pada orang yang lebih tua. Infeksi dapat dimulai dari kerusakan

akibat trauma, terapi radiasi, kanker, atau pada kulit yang luka yang

disebabkan sedikitnya sedikit sirkulasi darah pada tulang atau pada penyakit

diabetes. Infeksi sinus, gusi atau gigi dapat meyebar ke tulang-tulang kepala.

Penyebab osteomielitis biasanya adalah Staphylococcus aureus, bakteri gram

positif seperti Streptococcus pyogenes atau S. Pneumoniae. Pada anak

dibawah 4 tahun bakteri gram negatif Haemophilus influenzae (insiden

bervariasi dari 5-50%). Bakteri gram negatif lainnya : Escherichia coli,

Page 6: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 6

Pseudomonas aeruginosa, Proteus mirabilis dan Bacteroides fragilis

anaerobik biasanya menyebabkan infeksi tulang akut.

Penyebab osteomielitis pada anak-anak adalah kuman Staphylococcus

aureus (89-90%), Streptococcus (4-7%), Haemophilus influenza (2-4%),

Salmonella typhii dan Eschericia coli (1-2%). Pada anak infeksi melalui

aliran darah berasal dari abrasi kecil pada kulit, bisul, infeksi pada gigi atau

pada saat lahir dari infeksi tali pusat. Pada dewasa sumber infeksi berasal dari

kateter ureter, jarum dan semprit arteri yang tidak pada tempatnya atau kotor.

Organisme lain ditemukan pada pecandu heroin dan kelainan oportunistik

pada pasien dengan mekanisme immune defence compromised . Pasien

dengan sickle-cell disease mudah terinfeksi Salmonella.

II.3. Epidemiologi Osteomielitis

Prevalensi keseluruhan adalah 1 kasus per 5.000 anak. Prevalensi neonatus

adalah sekitar 1 kasus per 1.000 kejadian. Sedangkan kejadian pada pasien

dengan anemia sel sabit adalah sekitar 0,36%. Prevalensi osteomielitis setelah

trauma pada kaki sekitar 16% (30-40% pada pasien dengan DM). insidensi

osteomielitis vertebral adalah sekitar 2,4 kasus per 100.000 penduduk.

Osteomielitis hematogen akut banyak ditemukan pada anak-anak, anak laki-

laki lebih sering terkena dibanding perempuan (3:1). Tulang yang sering

terkena adalah tulang panjang dan tersering adalah femur, tibia, humerus,

radius, ulna, fibula. Pada dewasa infeksi hematogen biasanya paling banyak

pada tulang vertebra dibandingkan tulang panjang.

Orang dewasa terkena karena menurunnya pertahanan tubuh karena

kelemahan, penyakit ataupun obat-obatan. Diabetes juga berhubungan dengan

osteomielitis, imunosupresi sementara baik yang didapat ataupun di induksi

meningkatkan faktor predisposisi, trauma menentukan tempat infeksi,

kemungkinan disebabkan oleh hematom kecil atau terkumpulnya cairan di

tulang. Morbiditas dapat signifikan dan dapat termasuk penyebaran infeksi

lokal ke jaringan lunak yang terkait atau sendi; berevolusi menjadi infeksi

kronis, dengan rasa nyeri dan kecacatan; amputasi ekstremitas yang terlibat;

infeksi umum; atau sepsis. Sebanyak10-15% pasien dengan osteomielitis

Page 7: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 7

vertebral mengembangkan temuan neurologis atau kompresi corda spinalis.

Sebanyak 30% dari pasien anak dengan osteomielitis tulang panjang dapat

berkembang menjadi trombosis vena dalam (DVT). Perkembangan DVT juga

dapat menjadi penanda adanya penyebarluasan infeksi.

Komplikasi vaskular tampaknya lebih umum dijumpai dengan

Staphylococcus Aureus yang resiten terhadap methacilin yang didapat dari

komunitas (Community-Acquired Methicillin-Resistant Staphylococcus

Aureus / CA-MRSA) dari yang sebelumnya diakui.

1. Mortalitas

Tingkat mortalitas rendah, kecuali yang berhubungan dengan sepsis atau

keberadaan kondisi medis berat yang mendasari.

2. Ras

Tidak ada peningkatan kejadian osteomielitis dicatat berdasarkan ras.

3. Jenis kelamin

Pria memiliki resiko relatif lebih tinggi, yang meningkatkan melalui masa

kanak-kanak, memuncak pada masa remaja dan jatuh ke rasio rendah pada

orang dewasa.

4. Usia

Secara umum, osteomielitis memiliki distribusi usia bimodal.

Osteomielitis akut hematogenous merupakan suatu penyakit primer pada

anak. Trauma langsung dan fokus osteomielitis berdekatan lebih sering

terjadi pada orang dewasa dan remaja dari pada anak. Osteomielitis

vertebral lebih sering pada orang tua dari 45 tahun.

Page 8: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 8

II.4. Patogenesis Osteomielitis

Infeksi dalam sistem muskuloskeletal dapat berkembang melalui beberapa

cara. Kuman dapat masuk ke dalam tubuh melalui luka penetrasi langsung,

melalui penyebaran hematogen dari situs infeksi didekatnya ataupun dari

struktur lain yang jauh, atau selama pembedahan dimana jaringan tubuh

terpapar dengan lingkungan sekitarnya.

Osteomielitis hematogen adalah penyakit masa kanak-kanak yang

biasanya timbul antara usia 5 dan 15 tahun.Ujung metafisis tulang panjang

merupakan tempat predileksi untuk osteomielitis hematogen. Diperkirakan

bahwa end-artery dari pembuluh darah yang menutrisinya bermuara pada

Page 9: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 9

vena-vena sinusoidal yang berukuran jauh lebih besar, sehingga

menyebabkan terjadinya aliran darah yang lambat dan berturbulensi pada

tempat ini. Kondisi ini mempredisposisikan bakteri untuk bermigrasi melalu

celah pada endotel dan melekat pada matriks tulang. Selain itu, rendahnya

tekanan oksigen pada daerah ini juga akan menurunkan aktivitas fagositik

dari sel darah putih. Dengan maturasi, ada osifikasi total lempeng fiseal dan

ciri aliran darah yang lamban tidak ada lagi. Sehingga osteomielitis

hematogen pada orang dewasa merupakn suatu kejadian yang jarang terjadi.

Infeksi hematogen ini akan menyebabkan terjadinya trombosis pembuluh

darah lokal yang pada akhirnya menciptakan suatu area nekrosis avaskular

yang kemudian berkembang menjadi abses. Akumulasi pus dan peningkatan

tekanan lokal akan menyebarkan pus hingga ke korteks melalui sistem Havers

dan kanal Volkmann hingga terkumpul dibawah periosteum menimbulkan

rasa nyeri lokalisata di atas daerah infeksi. Abses subperiosteal kemudian

akan menstimulasi pembentukan involukrum periosteal (fase kronis). Apabila

pus keluar dari korteks, pus tersebut akan dapat menembus soft tissues

disekitarnya hingga ke permukaan kulit, membentuk suatu sinus drainase.

Faktor-faktor sistemik yang dapat mempengaruhi perjalanan klinis

osteomielitis termasuk diabetes mellitus, immunosupresan, penyakit

imundefisiensi, malnutrisi, gangguan fungsi hati dan ginjal, hipoksia kronik,

dan usia tua. Sedangkan faktor-faktor lokal adalah penyakit vaskular perifer,

penyakit stasis vena, limfedema kronik, arteritis, neuropati, dan penggunaan

rokok.

Page 10: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 10

II.5. Klasifikasi Osteomielitis

Beberapa sistem klasifikasi telah digunakan untuk mendeskripsikan

ostemielitis. Sistem tradisional membagi infeksi tulang menurut durasi dari

timbulnya gejala : akut, subakut, dan kronik. Osteomielitis akut diidentifikasi

dengan adanya onset penyakit dalam 7-14 hari. Infeksi akut umumnya

berhubungan dengan proses hematogen pada anak. Namun, pada dewasa juga

dapat berkembang infeksi hematogen akut khususnya setelah pemasangan

prosthesa dan sebagainya.

Page 11: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 11

Durasi dari osteomielitis subakut adalah antara 14 hari sampai 3 bulan.

Sedangkan osteomielitis kronik merupakan infeksi tulang yang perjalanan

klinisnya terjadi lebih dari 3 bulan. Kondisi ini berhubungan dengan adanya

nekrosis tulang pada episentral yang disebut sekuester yang dibungkus

involukrum.

Sistem klasifikasi lainnya dikembangkan oleh Waldvogel yang

mengkategorisasikan infeksi muskuloskeletal berdasarkan etiologi dan

kronisitasnya : hematogen, penyebaran kontinyu (dengan atau tanpa penyakit

vaskular) dan kronik. Penyebaran infeksi hematogen dan kontinyu dapat

bersifat akut meskipun penyebaran kontinyu berhubungan dengan adanya

trauma atau infeksi lokal jaringan lunak yang sudah ada sebelumnya seperti

ulkus diabetikum.

Cierny-Mader mengembangkan suatu sistem staging untuk osteomielitis

yang diklasifikasikan berdasarkan penyebaran anatomis dari infeksi dan

status fisiologis dari penderitanya. Stadium 1 – medular, stadium 2 – korteks

superfisial, stadium 3 – medular dan kortikal yang terlokalisasi, dan stadium

4 – medular dan kortikal difus.

II.6. Manifestasi Klinis Osteomielitis

Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau

dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue

atau sindrom syok dengue (SSD). 1,5,6

Pada umumnya pasien mengalami fase demam 2-7 hari, yang diikuti oleh

fase kritis selam 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan

tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan

tidak adekuat. 1,5,6

Page 12: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 12

II.7. Pemeriksaan penunjang DHF

II.7.1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien

tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin,

hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya

limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma biru. 1,5,6

Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)

ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reserve

Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih

rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik

terhadap dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG. 1,5,6

Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain :

a Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui

limfositosis relatif (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit

plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase

syok akan meningkat.

b Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.

Gambar 2.4

Page 13: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 13

c Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya

peningkatan hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya

dimulai pada hari ke-3 demam.

d Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer,

atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan

pembekuan darah.

e Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran

plasma.

f SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.

g Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.

h Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.

i Golongan darah: dan cross macth (uji cocok serasi): bila akan

diberikan transfusi darah atau komponen darah.

j Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap

dengue. IgM: terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-

3, menghilang setelah 60-90 hari. IgG: pada infeksi primer, IgG mulai

terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi

hari ke-2.

k Uji HI: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat

pulang dari perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.

l NS1: Antigen NS 1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama

sampai hari ke delapan. Sensitivitas antigen NS1 berkisar 63% - 93,4%

dengan spesifisitas 100% sama tingginya dengan spesifisitas gold

standard kultur virus. Hasil negative antigen NS1 tidak menyingkirkan

adanya infeksi virus dengue.

Page 14: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 14

II.7.2. Pemeriksaan radiologis

Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks

kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat

dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya

dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah

kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan

USG.1,5,6

II.8. Diagnosis DHF

Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari),

timbul gejala prodormal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri tulang

belakang dan perasaan lelah. 1,5,6

Gambar 2.5

Page 15: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 15

II.8.1. Demam Dengue (DD)

Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua

atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut:

a. Nyeri kepala

b. Nyeri retro-orbital

c. Mialgia / artralgia

d. Ruam kulit

e. Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bending positif)

f. Leukopenia

g. Pemeriksaan serologi dengue positif, yang ditemukan pasien DD/DBD

yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.

II.8.2. Demam Berdarah Dengue (DBD)

Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua

hal ini di bawah ini dipenuhi :

a. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.

b. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :

a) Uji bendung positif

b) Petekie, ekimosis, atau purpura

c) Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau

perdarahan dari tempat lain

d) Hematemesis atau melena

e) Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)

f) Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran

plasma) sebagai berikut :

Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai

dengan umur dan jenis kelamin.

Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,

dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.

Page 16: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 16

Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau

hipoproteinemia.

Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD

dan DBD adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma. (WHO,

1997)

II.9. Diagnosis Banding DHF

Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian

klinis dengan demam tifoid, campak, influenza, chikungunya, Idiophatic

Trombocytopenia Purpura (ITP) dan leptospirosis. 1,5,6

Sindrom Syok Dengue (SSD)

Seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan

manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤ 20 mmHg),

hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta

gelisah.

Tabel 1. Perbandingan diagnosa penunjang

Page 17: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 17

II.10. Derajat penyakit DHF

Untuk menentukan penatalaksanaan pasien infeksi virus dengue, perlu

diketahui klasifikasi derajat penyakit seperti tertera pada tabel. 1,5,6

II.11. Penatalaksanaan DHF

Tidak ada terapi yang spesifik untuk demem dengue, prinsip utamanya

adalah terapi simtomatik dan suportif. Dengan terapi suportif dan simtomatik

yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%, seperti: 1,5,6

1. Demam Dengue dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam,

pasien dianjurkan : 5

a. Tirah baring, selama masih demam.

b. Obat antipiretik atau kompres hangat apabila diperlukan.

c. Obat analgetik atau sedative ringan.

d. Pemberian cairan dan elektrolit per oral.

Tabel. 2.2

Page 18: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 18

e. Monitor suhu, trombosit dan hematokrit

f. Kontrol setiap hari sampai demam turun

2. Demam Berdarah Dengue ( DBD ) :

a. Tidak berbeda dengan Demam Dengue, bersifat simtomatik dan suportif

serta penggantian volume plasma.

b. Bila pasien mengalami kesulitan dalam makan masukan nutrisi dengan

NGT atau cairan intravena untuk mencegah dehidrasi dan

hemokonsentrasi berat.

c. Transfusi trombosit bila terjadi penurunan trombosit yang significant.

d. Pemantauan tanda-tanda vital setiap 2 jam dan trombosit dan hematokrit

tiap 6 jam.

Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling

penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga,

terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan,

maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi

dan hemokonsentrasi secara bermakna. 1,5,6

Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama

dengan Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi

Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol

penatalakanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan kiteria:

Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai

indikasi

Praktis dalam penatalaksanaannya

Mempertimbangkan cost effectiveness

Protokol ini terbagi dalam 5 kategori : 1,5,6

Protokol 1 : Penanganan tersangka (probable) DBD dewasa tanpa syok.

Protokol ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan

pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat

dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.

Seseorang yang tersangka menderita DBD Unit Gawat Darurat dilakukan

pemeriksaan hemoglobin (Hb), Hematokrit (Ht), dan trombosit, bila :

Page 19: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 19

Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000,

pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke

poliklinik dengan waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb,

Ht, leukosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita

memburuk segera kembali ke Unit Gawat Darurat.

Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat

Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk

dirawat.

Protokol 2 : Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa

syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti

rumus berikut ini :

Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut :

1500 + {20 x (BB dalam kg – 20)}

Contoh volume rumatan untuk BB 55 kg: 1500 + {20 X (55-20)} = 2700 ml.

Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, tiap 24 jam :

Bila Hb, Ht, meningkat 10-20% dan trombosit <100.000 jumlah

pemberian cairan tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht,

trombo dilakukan tiap 12 jam.

Gambar 2.6. protokol 1 penatalaksanaan

Page 20: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 20

Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit <100.000 maka pemberian

cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan

Ht>20%.

Protokol 3 : Penatalaksaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%

Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit

cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah

dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien

kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang

ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah

stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5

ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila

keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi

menjadi 3ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka

pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.

Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi

keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi

meningkat, tekanan nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita

harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian

dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka

jumlah cairan dikurangi menjadi 5ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak

Gambar 2.7. protokol 2 penatalaksanaan

Page 21: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 21

menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi

15ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisinya menjadi memburuk

dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani seuai dengan protokol

tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka

pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.

Protokol 4 : Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa

Perdarahan spontan dan massif pada penderita DBD dewasa adalah:

perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan

Gambar 2.8. protokol 3 penatalaksanaan

Page 22: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 22

tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau

hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau

perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam.

Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti

keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan

dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb,Ht, dan

thrombosis serta hemostasis harus segera dilakukan dengan pemeriksaan Hb, Ht,

dan tromboit sebaiknya dilakukan tiap 4-6 jam.

Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris

didapatkan tanda-tanda koagulasi intravascular diseminata (KID). Transfusi

komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan

defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC

diberikan bila nilai Hb kurang dari 10g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan

pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan massif dengan jumlah trombosit

< 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.

Gambar 2.9.

Page 23: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 23

Protokol 5 : Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewasa

Bila kita dihadapkan dengan Sindrom Syok Dengue (SSD) maka hal

pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus diatasi oleh karena itu

penggantian cairan intravascular yang hilang harus segera dilakukan. Angka

kematian SSD sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa

renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD

mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksaan yang tidak tepat termasuk

kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan

renjatan yang tidak adekuat.

Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan.

Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit.

Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer

lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida,

serta ureum dan kreatinin.

Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml.kgBB dan

dievaluasi setelah 15-20 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan

tekanan darah sistolik 100mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi

nadi lebih dari 100 kali per menit dengan volume cukup, akral teraba hangat, dan

kulit tidak pucat serta dieresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi

menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap

stabil pemberian cairan menjadi 3ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan

teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka

pemberian cairan preinfus harus dihentikan (karena jika reabsorpsi cairan plasma

yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit,

cairan infus terus diberijan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal

jantung dapat terjadi).

Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus

dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena

selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid

hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat

pemberian). Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi

dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan

Page 24: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 24

darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan nafas, pembesaran hati, nyeri tekan

daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah dieresis. Diuresis

diusahakan 2ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit dan

jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.

Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi,

maka pemberian cairan krostaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB,

dan kemudain dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi,

maka perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti

perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan

pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berarti telah terjadi perdarahan maka

penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai

kebutuhan.

Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui

sifat-sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan tetesan

cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan masih

belum teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan

kateter vena sentral, dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah

maksimum 30ml/kgBB (maksimal 1-1,5 μ/hari) dengan sasaran tekanan vena

sentral 15-18 cmH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan

dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia,

KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sesuai dengan target

terapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat

inotropik/vasopresor.

Page 25: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 25

Gambar 2.10. Protokol 5 petalakasanaan

Page 26: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 26

II.12. Pencegahan DHF5,6

Memutuskan rantai penularan dengan cara :

a. Menggunakan insektisida

- Malathion (adultisida) dengan pengasapan

- Temephos (larvasida) dimasukkan ketempat penampungan

air bersih

b. Tanpa insektisida

- Menguras bak mandi dan tempat penampungan air bersih

minimal 1 kali seminggu

- Menutup tempat penampungan air rapat-rapat

- Membersihkan halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas,

botol-botol pecah dan benda lain yang memungkinkan nyamuk

bersarang

II.13. Komplikasi DHF5,6

1. Dengue Shock Syndrome (DSS)

Disebabkan oleh reaksi imunologis sebagai berikut :

- Secara in vivo dan in vitro : sel fagosit mononuclear merupakan

tempat utama infeksi dengue.

- Non neutralizing antibody yang bebas dalam sirkulasi dan yang

melekat pada sel bertindak sebagai reseptor spesifik virus dengue

di permukaan sel fagosit.

- Virus dengue bereplikasi dalam sel itu. Jumlah sel yang terinfeksi

menentukan beratnya penyakit.

- Peninggian permeabilitas vaskuler dan DIC terjadi karena

dilepasnya mediator-mediator dari sel fagosit mononuklear yang

terinfeksi.

Pada akhir fase demam keadaan penderita harus lebih diwaspadai

karena dapat terjadi gangguan sirkulasi yang di tandai dengan keringat

banyak, gelisah, nadi cepat, lemah, dan akral dingin.

Page 27: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 27

2. Ensefalopati

Gejala ensefalopati berupa demam dingin, dengan atau tanpa kejang,

muntah, dan gangguan kesadaran berupa somnolen, sopor, atau koma.

Patogenesis ensefalopati ialah terjadinya edema otak sebagai akibat

meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah otak. Renjatan dan

mekanisme regulasi menimbulkan hipoksia otak serta penimbunan produk

metabolisme seperti asam laktat, asam amino dan asam lemak, dan

perdarahan mikrokapiler jaringan otak.

3. DIC

Dapat terjadi pada penderita DHF baik dengan renjatan maupun tidak.

Aktivasi factor XII yang disebabkan karena adanya kompleks virus

antibodi dalam peredaran darah sehingga terjadi pembekuan intravaskuler

yang meluas. Dalam proses aktivasi ini, plasminogen akan menjadi

plasmin yang berperan dalam pembentukan anafilatoksin dan

penghancuran fibrin menjadi fibrin degradation product (FDP). Disamping

itu aktivasi ini akan merangsang sistem kinin yang berperan dalam proses

meningkatnya permeabilitas vaskuler.

4. Efusi pleura

Pada DHF berat terjadinya syok dan hemokonsentrasi. Meningginya

hematokrit membuktikan bahwa syok terjadi akibat bocornya plasma ke

jaringan ekstravaskuler sehingga menyebabkan timbunan cairan pada

pleura yang dibuktikan dengan foto toraks.

5. Komplikasi lain : perdarahan massif GI tract, kelainan ginjal, miokarditis,

lesi pada mata, orchitis, ooforitis, keratitis, retinitis, penurunan kesadaran

dan meningismus.

Page 28: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 28

BAB III

PENUTUP

III.1. Kesimpulan

Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue

(DBD) merupakan penyakit infeksi tropik endemik di Indonesia. DHF disebabkan

virus dengue yang termauk kelompok Flavivirus. Terdiri dari 4 serotipe DEN 1-4

dan yang paling dominan adalah DEN-3. Terdapat tiga faktor yang memegang

peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor

perantara. Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya

tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan

demikian infeksi virus dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam mulai

dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik

(undifferentiated febrile illness), Demam Dengue (DD), atau bentuk yang lebih

berat yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD), dan Sindrom Syok Dengue (SSD).

Sehingga diperlukan anamnesa, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan tambahan

berupa pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan radiologi yang lengkap dan

observasi yang ketat pada pasien agar dapat dilakukan penatalaksanaan yang cepat

dan sesuai pada pasien agar tidak terjadi komplikasi atau bahkan terjadi kematian.

III.2. Saran

Dengan adanya referat yang berjudul DHF ini, diharapkan kepada para

calon dokter, dokter dan tenaga medis lainnya untuk dapat lebih mengenali

mengenai DHF baik mengenai tanda dan gejala dari DHF maupun penanganan

yang dilakukan untuk mengatasi keadaan tersebut sesuai dengan kriteria klinis

yang tepat dan sesuai pada pasien tersebut, hal ini sangat penting dilakukan

mengingat risiko perburukan keadaan yang sangat cepat pada penderita dengan

DHF serta penentuan dalam penanganan yang membutuhkan tindakan yang cepat

dan tepat.

Page 29: BAB 2 Osteomielitis Fix

P a g e | 29

DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro, Nainggolam L, dkk. Demam Berdarah Dengue, Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid I edisi 4, Dep. Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta,

2009.

2. WHO. Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock Syndrome

in the Context of the Integrated Management of Childhood Illness. 2005.

[Online] Available from http://whqlibdoc.who.int/hq/2005/WHO_

FCH_CAH_05.13_eng.pdf {Accessed 24 Februari 2013]

3. Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W. Parasitologi kedokteran. Edisi 2.

Balai Penerbit FK-UI, Jakarta, 1993

4. Interim Guidelines on Fluid Management of Dengue fever and Dengue

Hemorrhagic Fever. 2010. [Online] Available from

http://www.pps.org.ph/images/forms_pdf/dengue_guidelines%20revised

%20feb08.pdf [Accessed 21 Februari 2013]

5. Rezeki S, Soegijanto S, Waryadi S. Tata Laksana Demam Berdarah Dengue

di Indonesia.. Departemen Kesehatan. 2004.

6. Depkes, Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana Pelayanan

Kesehatan, Departemen Kesehatan; 2005.

7. Chuansumrit, Ampaiwan. Pathophysiology and Management of Dengue

Hemorrhagic Fever. 2005. [Online] Available from

http://www.niceindia.net/knowledge_base/Dengue/Chuansumrit_2007.pdf

[Accessed 21 Februari 2013]