bab 2 landasan teori - bina nusantara | library...
TRANSCRIPT
13
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Pemasaran
Menurut American Marketing Association di dalam Kotler & Keller (2012,
p.27), pemasaran adalah suatu aktifitas, sebuah grup yang berisikan institusi-institusi,
dan proses untuk membuat, mengkomunikasikan, mengantarkan dan bertukar
penawaran yang mempunyai nilai bagi konsumen, klien, partner dan masyarakat
luas”
Kotler & Keller (2012, p.27) mengatakan bahwa pemasaran adalah sebuah
seni dan ilmu pengetahuan dalam memilih target pasar dan memperoleh, menjaga
dan menumbuhkan konsumen melalui pembentukan, pengantaran dan
pengkomunikasian nilai pelanggan yang superior.
Kotler & Armstrong (2008, p.6) menyatakan bahwa pemasaran merupakan
proses social dan manajerial dimana pribadi atau organisasi memperoleh apa yang
mereka butuhkan dan inginkan melalu penciptaan dan pertukaran nilai dengan yang
lain
Dapat disimpulkan bahwa pemasaran adalah suatu aktifitas dari perusahaan
untuk menciptakan nilai bagi pelanggan dan membangun hubngan yang kuat dengan
pelanggan, dengan tujuan menangkap nilai dari pelanggan sebagai imbalannya.
2.2 Bauran Pemasaran
Menurut Kotler dan Armstrong (2008:62), Bauran Pemasaran adalah
kumpulan alat pemasarantaktis terkendali yang dipadukan perusahaan untuk
menghasilkan respons yang diinginPkannya di pasar sasaran.
14
Bauran pemasaran ini dikelompokkan menjadi empat kelompok variabel
yang disebut “7 P”: Product (Produk), Price (Harga), Place (Tempat) &Promotion
(Promosi), People, Process (Proses) dan Physical Evidence (Bukti
Fisik).
Gambar 2.1 7-P Dalam Pemasaran
Sumber: Kotler dan Amrstrong (2008, p.62)
1. Produk
Produk adalah kombinasi barang dan jasa yang ditawarkan perusahaan
kepada pasar sasaran.
2. Harga
Harga adalah jumlah uang yang harus dibayarkan pelanggan untuk
memperoleh produk.
3. Tempat
Tempat meliputi kegiatan perusahaan yang membuat produk tersedia bagi
pelanggan sasaran.
15
4. Promosi
Promosi adalah aktifitas yang menyampaikan manfaat produk dan
membujuk pelanggan untuk membelinya.
5. People(Manusia)
Manusia merupakan aset utama dalam industri jasa, terlebih lagi manusia
yang merupakan karyawan dengan performance tinggi. Kebutuhan
konsumen terhadap karyawan berkinerja tinggi akan menyebabkan
konsumen puas dan loyal. Kemampuan knowledge (pengetahuan) yang
baik, akan menjadi kompetensi dasar dalam internal perusahaan dan
pencitraan yang baik di luar.
6. Proses
Proses, mutu layanan jasa sangat bergantung pada proses penyampaian
jasa kepada konsumen. Mengingat bahwa penggerak perusahaan jasa
adalah karyawan itu sendiri, maka untuk menjamin mutu layanan (quality
assurance), seluruh operasional perusahaan harus dijalankan sesuai
dengan sistem dan prosedur yang terstandarisasi oleh karyawan yang
berkompetensi, berkomitmen, dan loyal terhadap perusahaan tempatnya
bekerja.
7. Physical Evidence(Bukti Fisik)
Building merupakan bagian dari bukti fisik, karakteristik yang menjadi
persyaratan yang bernilai tambah bagi konsumen dalai perusahaan jasa
yang memiliki karakter . Perhatian terhadap interior, perlengkapan
bangunan, termasuk lighting system, dan tata ruang yang lapang menjadi
perhatian penting dan dapat mempengaruhi mood pengunjung. Bangunan
harus dapat menciptakan suasana dengan memperhatikan ambience
16
sehingga memberikan pengalaman kepada pengunjung dan dapat
memberikan nilai tambah bagi pengunjung.
2.3 Jasa
Jasa merupakan tindakan atau penampilan dari suatu pihak yang dapat
menawarkan kepada pihak lain. Jasa secara esensial tidak dapat dirasakan dan
tidak langsung dapat menghasilkan dalam suatu kepemilikan dari suatu benda
apapun (Kotler dan Keller (2008:378).
Jasa adalah bentuk produk yang terdiri dari aktivitas, manfaat atau
kepuasanyang ditawarkan untuk dijual dan pada dasarnya tidak berwujud sertatidak
menghasilkan kepemilikan akan sesuatu (Kotler dan Armstrong (2008:p. 266).
American Marketing Association dalam Peter dan Donelly Jr. (2011: p.172)
mendefinisikan jasa sebagai aktifitas yang dilakukan oleh penjualdan pengusaha
lainnya yang mendampingi penjualan produk dan membantu dalam pertukaran atau
penggunaan (sebagai contoh: pengepasan sepatu, bantuan keuangan, nomer 800).
Jasa-jasa tersebut merupakan presale atau postsale dan suplemen dari produk tapi
tidak mengkompromisasikan hal tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa jasa adalah aktifitas yang dilakukan oleh penjual
dan pengusaha lainnya sebagai suatu bentuk lain dari
produkyangdijualkepadakonsumen namun bersifat intangible dan tidak menghasilkan
kepemilikan akan sesuatu barang.
2.4 Kualitas Pelayanan
Menurut Parasuraman, Zeithaml & Berry pada Kim, Vetter dan Lee
(2006:p.41) menyatakan bahwa kualitas pelayanan merupakan konstruk abstrak dan
17
sukar dipahami karena 3 fitur unik yang berkaitan dengan jasa, yaitu intangibility,
heterogeneity and inseparability of production and consumption.
Menurut Kiew dan Chee pada Zakaria et al (2010:p.86) menyatakan bahwa
Kualitas pelayanan juga melibatkan persepsi dan ekspektasi dari tingkat pelayanan
yang diberikan kepada konsumen untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pelayanan
yang berkualitas juga mengenai ekspektasi konsumen dalam lingkungan jasa, proses
dan kualitas output yang mereka dapat lihat dan rasakan sendiri.
Menurut Zeithaml pada Kun, Lee, Kim dan Lee (2005:p.141) menyatakan
bahwa kualitas pelayanan didefinisikan sebagai penilaian evaluative dari sang
konsumen mengenai tingkatan atasa kelebihan dari performa jasa.
Menurut Levy dan Weitz (2012: p512) kualitas pelayanan dapat dicapai jika
manajemen di level atas memberikan kepemimpinan dan mendemonstrasikan
komitmen. Manajemen di level atas harus bersedia untuk menerima kesulitan
sementara atau temporer dan juga ketika biaya yang berasosiasi dengan perbaikan
kualitas pelayanan semakin tinggi.
Lovelock dan Wirtz pada Perez et al (2007:p136) menjabarkan bahwa
kualitas pelayanan mempunyai pengertian yang berbeda-beda pada setiap orang
tergantung konteks apa yang sedang menjadi bahasannya. Lebih lanjut, Lovelock dan
Wirtz membagi hal tersebut menjadi empat definisi sebagai berikut:
1. The transcendant view of quality
Yang dapat disamakan dengan kesempurnaan bawaan, yaitu sebuah titik
standar yang tidak bisa dikompromikan dan pencapaian tertinggi
2. The manufacturing-based approach
Pendekatan yang berbasis suplai dan secara khusus berkonsentrasi pada
teknik dan praktik produksi
18
3. User-based definitions
Dimulai dengan sebuah pemikiran bahwa kualitas dinilai oleh mata
konsumen/pemakai
4. Value-based definition
Kualitas dinilai berdasarkan nilai dan harga.
Menurut Kattara, Weheba dan El-Said di dalam Kennedy (2011:p105)
menyatakan bahwa sikap dan tindakan dari karyawan dapan memepengaruhi persepsi
konsumen mengenai kualitas pelayanan yang diberikan.
Collier dalam Yamit (2010: p22) memiliki pandanganlain dari kualitas jasa
pelayanan ini, yaitu lebih menekankan pada kata pelanggan, pelayanan, kualitas
dan level atau tingkat. Pelayanan terbaik pada pelanggan (excelent) dan tingkat
kualitas pelayanan merupakan cara terbaik yang konsisten untuk dapat
mempertemukan harapan konsumen (standar pelayanan eksternal dan biaya) dan
sistem kinerja cara pelayanan (standar pelayanan internal, biaya dan keuntungan).
Kualitas pelayanan (service quality) dapat diketahui dengan cara
membandingkan persepsi para konsumen atas pelayanan yang nyata-nyata mereka
terima atau peroleh dengan pelayanan yang sesungguhnya mereka harapkan atau
inginkan terhadap atribut-atribut pelayanan suatu perusahaan.
Jika jasa yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka
kualitas pelayanan yang dipersepsikan baik dan memuaskan, jika jasa yang diterima
melampaui harapan konsumen, maka kualitas pelayanan dipersepsikan dengan sangat
baik dan berkualitas. Sebaliknya, jika jasa yang diterima lebih rendah daripada yang
diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan buruk (Alma, 2007: p282).
Pelayanan terbaik pada pelanggan dan tingkat kualitas dapat dicapai secara
konsisten dengan memperbaiki pelayanan dan memberikan perhatian khusus pada
19
standar kinerja pelayanan baik standar pelayanan internal maupun standar pelayanan
eksternal. Beberapa pengertian yang terkait dalam definisi kualitas jasa pelayanan
adalah:
1) Excellent
adalah standar kinerja pelayanan yang diperoleh
2) Customer
adalah perorangan, kelompok, departemen atau perusahaan yang
menerima, membayar output pelayanan (jasa dan sistem)
3) Service
adalah kegitan utama atau pelengkap yang tidak secara langusung terlibat
dalam proses pembuatan produk, tetapi lebih menekankan pada transaksi
antara pembeli dan penjual.
4) Quality
adalah sesuatu yang secara khusus dapat di raba atau tidak dapat diraba
dan sifat yang di miliki produk atau jasa.
5) Levels
adalah suatu pernyataan atas sistem yang digunakan untuk memonitor
dan mengevaluasi.
6) Consistent
adalah tidak memiliki variasi dan semua pelayanan berjalan sesuai
standar yang di tetapkan.
7) Delivery
adalah memberikan pelayanan yang benar dengan cara yang benar dan
dalam waktu yang tepat.
20
2.4.1 Dimensi Kualitas Pelayanan
Menurut Lovelock dan Wirtz dalam Perez et al (2007:140-141) ada
lima kriteria pokok pelayanan yaitu sebagai berikut:
1. Bentuk fisik (Tangibles), yaitu kemampuan peushaan dalam
menunjukan eksistensinya pada pelanggan. Penampilan dan
kemampuan saran dan prasaranan fisik perusahaan dn lingkungan
sekitar.
2. Kehandalan (Reliability), yaitu kemampuan perusahaan untuk
memberikan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan.
3. Ketanggapan (Responsiveness), yaitu kemampuan perusahaan untuk
menolong pelanggan dan ketersediaan untuk melayani pelanggan dan
ketersediaan untuk melayani pelanggan dengan baik.
4. Jaminan (Assurance), yaitu kemampuan pegawai perusahaan untuk
menumbuhkan rasa percaya para pelanggan pada perusahaan.
Assurance (Jaminan) dibagi lagi menjadi empat sub bagian, yaitu:
• Credibility (Kredibilitas):
Dapat dipercaya, dapat bertanggung jawab atas kepercayaan yang
diberikan dan kejujuran dari penyedia layanan/jasa.
• Security (Keamanan)
Kebebasan dari bahaya, resiko dan keraguan
• Competence (Kompetensi)
Mempunyai keahlian dan ilmu pengetahuan yang diperlukan
untuk memberikan suatu jasa/layanan.
• Courtesy (Kesopan santunan)
21
Kesopanan, rasa hormat, pertimbangan dan keramahan ketika
bertemu langsung dengan karyawan
5. Empati (Empathy), yaitu memberikan perhatian yang tulus dan
bersifat individual yang diberikan kepada para pelanggan berupa
memahami keinganan pelanggan.
Empati kembali dibagi menjadi tiga sub bagian, yaitu:
• Access (Akses)
Kemudahan untuk melakukan pendekatan dan kemudahan untuk
melakukan kontak.
• Communication (Komunikasi)
Mendengarkan keluhan konsumen dan secara kontinyu
memberikan informasi dengan bahasa yang mereka menegerti
• Understanding The Costumer (Mengerti Apa Yang Diinginkan
Konsumen)
Melakukan usaha untuk mengenal konsumen dan kebutuhan
mereka
Untuk mewujudkan kualitas pelayanan pelanggan, tentunya
diperlukan adanya kualitas pelayanan bagu para karyawan. Pelayanan kepada
pelanggan disebut sebagai pelayanan eksternal dan pelayanan kepada para
karyawan disebut sebagai pelayanan internal.
Kualitas fisik dari bangunan juga menjadi pertimbangan bagi para
konsumen. Seperti yang dikemukakan oleh Levy & Weitz (2011:p506)
bahwa penampilan fasilitas fisik, peralatan dan material komunikasi
merupakan salah satu indikator bagi konsumen dalam menilai kualitas
pelayanan yang diberikan oleh perusahaan.
22
2.5 Perilaku Konsumen
Menurut American Marketing Association dalam Peter dan Olson (1999: p6)
perilaku konsumen didefinisikan sebagai interaksi dinamis antara pengaruh dan
kognisi, perilaku, dan kejadian di sekitar kita dimana manusia melakukan aspek
pertukaran dalam hidup mereka.
Schiffman dan Kanuk (2010: p23) mengemukakan bahwa perilaku konsumen
adalah perilaku dari konsumen yang memperlihatkan proses pencarian, pembelian,
pemakaian, evaluasi dan membuang produk dan jasa yang mereka perkirakan dapat
memuaskan kebutuhan mereka.
Perilaku konsumen difokuskan kepada bagaimana seorang konsumen
individual dan keluarga atau konsumen rumah tangga membuat suatu keputusan
untuk mengeluarkan sumber yang mereka miliki (waktu, uang dan usaha) pada
barang yang berhubungan dengan konsumsi.
Solomon (2007: p7) menafsirkan bahwa perilaku konsumen adalah sebuah
pembelajaran mengenai proses yang dilibatkan ketika seorang individu atau grup
memilih, memberli, menggunakan, atau membuang produk, jasa, ide, atau
pengalaman untuk memuaskan kebutuhan mereka.
Dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumen merupakan interaksi yang
dinamis antara afeksi dan kognisi, perilaku, dan lingkungan yang mana para manusia
melakukan pertukaran aspek dari kehidupan mereka. Perilaku konsumen melibatkan
pemikiran dan perasaan yang mereka alami dan tindakan yang mereka lakukan dalam
proses konsumsi.
Dalam Peter dan Olson (2010: p21-23) dijelaskan bahwa sebelum melakukan
proses pembelian, konsumen melakukan analisis tentang produk atau jasa apa yang
mereka ingin beli. Analisis konsumen tersebut terdiri dari tiga elemen, yaitu:
23
• Afeksi dan Kognisi Konsumen
Afeksi dan kognisi konsumen mengacu pada 2 tipe respon mental konsumen
yang diperlihatkan terhadap stimulant dan kejadian dilingkungannya. Afeksi
meninjau perasaan mereka tentang stimulant dan kejadian, seperti apakah
mereka suka atau tidak pada suatu produk. Kognisi meninjau pola pemikiran
mereka, seperti keyakinan mereka akan suatu produk tertentu
• Sikap Konsumen
Sikap dihubungkan dengan tindakan fisik dari konsumen yang dapat secara
langsung diobservasi dan diukur oleh orang lain. Hal ini juga dapat disebut
sikap yang jelas untuk membedakan hal tersebut dari aktivitas mental, seperti
berpikir, yang tidak bisa diobservasi secara langsung.
• Lingkungan Konsumen
Lingkungan konsumen meninjau semua hal yang berada diluar diri konsumen
yang mempengaruhi apa yang mereka pikirkan, rasakan dan lakukan. Hal ini
termasuk stimulant social, seperti tindakan orang lain dalam suatu kultur,
subkultur, kelas social, grup yang menjadi referensi dan keluarga, yang
mempengaruhi konsumen. Selain itu, stimulant fisik, seperti took, produk,
iklan dan tanda, yang dapat mengubah pemikiran, perasaan dan tindakan
konsumen, juga termasuk lingkungan konsumen.
2.6 Persepsi
Menurut Schiffman dan Kanuk (2004: p158) persepsi adalah proses dari
seseorang dalam pemilihan, pengoragnisiran, dan menginterpretasi stimuli menjadi
sesuatu gambar yang sangat berarti dan koheren tentang dunia.
24
Hawkins, Mothershbaugh dan Best (2008: p282) menyatakan bahwa persepsi
dihasilkan dari serangkaian kegiatan yang melibatkan pemrosesan informasi yang
terdiri dari tiga langkah, yaitu exposure, attention & interpretation.
Babin dan Harris (2012: p45) mengemukakan bahwa persepsi bersangkutan
dengan kesadaran konsumen dan interpretasi akan kenyataan. Dengan demikian,
persepsi berfungsi sebagai landasan dimana pembelajaran konsumen terjadi.
Dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah serangkaian proses yang terjadi
pada benak konsumen yang mempengaruhi kesadaran konsumen mengenai sesuatu
hal dan interpretasi mereka akan kenyataan.
2.8 Persepsi Harga
Menurut Campbell pada Cockril dan Goode (2010:368) menyatakan bahwa
persepsi harga merupakan faktor psikologis dari berbagai segi yang mempunyai
pengaruh yang penting dalam reaksi konsumen kepada harga. Karena itulah persepsi
harga menjadi alasan mengapa seseorang membuat keputusan untuk membeli.
Menurut Xia et al pada Lee dan Lawson-Body (2011:p.532) mengemukakan
bahwa persepsi harga merupakan penilaian konsumen dan bentuk emosional yang
terasosiasi mengenai apakah harga yang ditawarkan oleh penjual dan harga yang
dibandingkan dengan pihak lain masuk diakal, dapat diterima atau dapt dijustifikasi.
Menurut Gourville dan Moon pada Toncar, Alon dan Misati (2010:p.297)
menyatakan bahwa persepsi harga konsumen dipengaruhi oleh harga yang
ditawarkan oleh toko lain dengan barang yang sama.
Menurut Lichtenstein et al pada Munnukka (2008:p.190) menyatakan bahwa
persepsi harga berhubungan dengan level penerimaan harga pada konsumen yang
juga lebar dari batas penerimaan harga.
25
Menurut Peter dan Olson (2000: p.228) persepsi harga merupakan bagaimana
informasi harga dipahami seluruhnya oleh konsumen dan memberikan makna yang
dalam bagi mereka.
Schiffman dan Kanuk (2003: p186) persepsi harga adalah bagaimana cara
konsumen melihat harga sebagai harga yang tinggi, rendah dan adil. Hal ini
mempunyai pengaruh yang kuat baik kepada minat beli dan kepuasan dalam
pembelian.
Konsumen melihat hargayang dikategorikan sebagai tinggi, rendah atau adil,
dalam kaitannya dengan nilai dirasakan atau pengalaman yang dirasakan ketika
menggunakan produk(http://www.businessgyan.com/node/734).
Dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi harga menggambarkan suatu
pendekatan untuk menjelaskan dampak harga untuk sebuah produk atau situasi
pembelian yang tingkat keterlibatannya tinggi. Hal ini mempunyai pengaruh yang
kuat terhadap minat beli konsumen akan suatu produk ataupun kepuasan dalam
proses pembelian.
Lebih lanjut, Peter dan Olson (2002 : P229) menyatakan, dalam pemrosesan
informasi harga secara kognitif, konsumen dapat membuat perbandingan antara
harga yang ditetapkan dengan sebuah harga atau rentang harga yang telah terbentuk
dalam benak mereka untuk produk tersebut. Harga dalam benak konsumen yang
digunakan untuk melakukan perbandingan ini disebut internal reference price (harga
referensi internal).
Harga referensi internal merupakan harga yang dianggap konsumen sebagai
harga yang pantas, harga yang selama ini ditetapkan untuk suatu produk, atau apa
yang dianggap oleh konsumen sebagai harga pasar yang rendah atau yang tinggi.
26
Pada dasarnya harga referensi internal bertidak sebagai penuntun dalam
mengevaluasi apakah harga yang ditetapkan dapat diterima konsumen atau tidak.
2.8.1 Dimensi Persepsi Harga
Sering kali konsumen menganggap bahwa harga yang ditetapkan untuk
merek tertentu sebagai ciri dari produk. Melalui pengetahuan ini, konsumen
membandingkan dengan harga yang ditawarkan oleh merk lain dalam suatu kelas
produk yang sama, ciri-ciri lain dari merek yang diamati dari merek-merek lainnya
serta biaya konsumen lainnya. Hasil dan proses ini kemudian membentuk sikap
terhadap berbagai alternatif merek yang ada.
Menurut Hawkins, Nothesbaugh &Best dalam Leonardo dan Erwan
(2012:p45),persepsi adalah sebuah proses yang diawali dengan pemaparan
konsumen dan perhatikan terhadap rangsangan pemasaran dan berakhir dengan
penafsiran oleh konsumen
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi persepsi terhadap kewajaran suatu
harga. pertama Perception of price differences (Nagle & Hogan, 2006), pembeli
cenderung melakukan evaluasi terhadap perbedaaan harga antara harga yang
ditawarkan terhadap harga dasar yang diketahui. Faktor lain yang mempengaruh
persepsi terhadap kewajaran suatu harga adalah price references (Schiffman
danKanuk, 2000) yaitu dimiliki oleh pelanggan yang didapat dari pengalaman
sendiri (Internal price)dan informasi luar iklan dan pengalaman orang lain (external
references prices)
Pada intinya, harga memiliki arti yang kompleks dan bisa memainkan
berbagai macam peran bagi konsumen. Pemasaran perlu untuk memahami semua
persepsi harga yang dimiliki konsumen.
27
Pada saat pemprosesan informasi harga secara kognitif terjadi, konsumen
dapat membuat perbandingan antara harga yang ditetapkan dengan harga atau
rentang harga yang telah terbentuk dalam benak mereka untuk produk tersebut.
Harga dalam benak konsumen yang digunakan untuk melakukan perbandingan ini
disebut internal reference price (harga referensi internal). Referensi harga internal
pada dasarnya bertindak sebagai penuntun dalam mengevaluasi apakah harga yang
ditetapkan dapat diterima konsumen atau tidak.
Menurut Freddy Rangkuti dalam Leonardo dan Erwan (2012 : p47) dalam
persepsi mengenai harga diukur berdasarkan persepsi pelanggan yaitu dengan cara
menanyakan kepada pelanggan variabel-variabel apa saja yang menurut mereka
paling penting dalam memilih sebuah produk.
Persepsi harga dibentuk oleh 2 dimensi utama, yaitu:
1. Persepsi Kualitas
Konsumen cenderung lebih menyukai produk yang harganya mahal
ketika informasi yang didapat hanya harga produknya saja. Persepsi
konsumen terhadap kualitas produk dipengaruhi persepsi mereka terhadap
nama, merk, nama toko, garansi yang diberikan dan negara yang
menghasilkan produk tersebut.
2. Persepsi Biaya yang Dikeluarkan
Secara umum konsumen menganggap bahwa harga merupakan biaya
yang dikeluarkan untuk mendapatkan sebuah produk. Tetapi konsumen
mempunyai persepsi yang berbeda-beda terhadap biaya yang dikeluarkan
meskipun untuk produk yang sama. Hal ini tergantung situasi dan kondisi
yang dialami konsumen.
28
Lebih lanjut Nagle & Hogan (2006) menambahkan 2 dimensi yang
membentuk persepsi harga pada konsumen, yaitu:
3. Persepsi Perbedaan Harga
Evaluasi dari konsumen terhadap perbedaan harga yang ditawarkan
terhadap harga dasar yang telah diketahui oleh konsumen.
4. Harga Referensi
Harga yang dibentuk oleh pelanggan berdasarkan dua hal, antara lain:
harga menurut pengalaman pelanggan tersebut (internal reference price)
dan harga yang diinformasikan oleh orang lain atau iklan di luaran yang
dilihat ol.eh pelanggan (external reference price)
Dimensi persepsi harga seperti persepsi kualitas terdiri dari persepsi citra
merek dan persepsi citra toko. Dimensi persepsi biaya yang dikeluarkan terdiri dari
persepsi terhadap kewajaran harga dan persepsi terhadap ekuitas merek dapat
menggambarkan efek harga untuk produk keterlibatan tinggi atau situasi pembelian.
2.8.1 Strategi Penetapan Harga
Menurut Schiffman & Kanuk (2010:p194) dalam industri pelayanan,
ada tiga strategi penetapan harga yang dapat diterapkan untuk menetapkan
harga pada produk yang tidak berwujud, yaitu:
a. Satisfaction-based pricing
Mengenali dan mengurangi persepsi pelanggan mengenai keraguan
akan sebuah pelayanan (yang secara natural tidak berwujud). Hal ini
biasanya diimplementasikan dengan cara: penjaminan kualitas,
penetapan harga berdasarkan keuntungan yang didapatkan dan
penetapan harga flat-rate
29
b. Relationship pricing
Mendorong terciptanya sbuah hubungan jangka panjang antara
perusahaan dan konsumen. Hal ini dapat menciptkan kesan bahwa
hubungan ini memberikan keuntungan bagi konsumen. Hal ini
biasanya diimplementasikan dengan cara kontrak jangka panjang atau
price bundling.
c. Efficiency pricing
Berbagi dengan konsumen mengenai pengurangan biaya yang telah
dicapai perusahaan dengan mengerti, mengelola dan mengurangi
biaya dalam menyediakan suatu jasa. Hal ini diimplementasikan
dengan cara: cost-leader pricing.
2.8.2 Hubungan Harga Dan Kualitas
Di dalam Schiffman & Kanuk (2010:p198) tertulis bahwa nilai jasa
seringkali dideskripsikan sebagai pertukaran antara kualitas dari jasa dengan
pengorbanan yang dilakukan (secara moneter atau non-moneter) untuk
mendapatkan jasa tersebut. Beberapa studi yang telah dilakukan menemukan
bahwa konsumen bergantung pada harga sebagai indikator dari kualitas jasa
yang ditawarkan. Dalam beberapa kasus, jika kurangnya informasi yang
disediakan oleh perusahaan, maka konsumen akan mempertimbangkan
bahwa harga yang lebih mahal mempunyai kualitas yang lebih baik juga.
Untuk mengatasi kasus ini, banyak produk dan jasa dijual dengan
bentuk bundles, dengan begitu konsumen akan beranggapan perusahaan
memberikan potongan harga dan menawarkan harga yang lebih murah.
30
2.9 Minat Beli
Minat beli diperoleh dari suatu proses belajar dan proses pemikiran yang
membentuk suatu persepsi. Minat yang muncul dalam melakukan pembelian
menciptakan suatu motivasi yang terus terekam dalam benak dan menjadi suatu
kegiatan yang sangat kuat yang pada akhirnya ketika seorang konsumen mempunyai
keinginan kuat untuk memenuhi kebutuhannya akan mengaktualisasi apa yang ada di
dalam benaknya itu.
Menurut Turney dan Litman pada Nasermoadeli et al (2013:p.129)
menyatakan bahwa minat beli adalah prediksi konsumen mengenai akan pilihan
konsumen mengenai perusahaan/toko mana yang akan mereka pilih untuk melakukan
pembelian.
Menurut Menurut Creyer dan Ross pada Shaharudi et al (2011:p.113)
menyatakan bahwa persepsi harga seringkali diukur sebagai alternatif dari perilaku
pembelian yang sebenarnya.
Menurut Kinnear dan Taylor dalam Kristiana dan Wahyudin(2012: p2) minat
beli adalah tahap kecenderungan responden untuk bertindak sebelumkeputusan
membeli benar-benar dilaksanakan.
Lebih lanjut, Mehta di dalam Kristiana dan Wahyudin (2012: p2)
mengemukakan bahwa minat beli �sebagai kecenderungan konsumen untuk membeli
suatu merek atau mengambil tindakan yang berhubungan dengan pembelian yang
diukur dengan tingkat kemungkinan konsumen melakukan pembelian
31
2.9.1 Dimensi Minat Beli
Menurut Yoestini dan Eva di dalam Jurnal Sains Pemasaran (2007:
p270) dimensi-dimensi yang membentuk minat beli dikemukakan oleh Spiro
and McGee, MacKay dan Haubl sebagai berikut:
1. Pencarian informasi lanjut
2. Kemauan untuk memahami produk/jasa
3. Keinginan untuk mencoba produk/jasa
4. Kunjungan ke outlet
Seperti yang bisa dibaca diatas, kegiatan pencarian informasi ini
ditunjukan dengan upaya konsumen untuk mendapatkan informasi secara
lebih lengkap tentang produk tertentu melalui kunjungan ke outlet produk
tersebut.
Kemauan memahami produk dimaksudkan sebagai sikap positif yang
ditunjukkan oleh konsumen apabila diperkenalkan pada sebuah produk
terbaru. Sedangjan keinginan mencoba produk yang dimaksud adalah
keinginan meminjam produk (barang) dari temannya sebelum ia membeli
untuk mendapatkan pengalaman. Kunjungan ke outlet yang dijelaskan dalam
produk ini ialah konsumen melakukan sebuah kunjungan ke outlet untuk
melakukan pencarian informasi.
Menurut Ajay dan Goodstein dalam Yoestini dan Eva (2007: p270)
jika kita ingin mempengaruhi seseorang, maka cara yang terbaik adalah
mempelajari apa yang dipikirkannya, dengan demikian yang akan didapatkan
tidak hanya sekedar informasi tentang orang it, namun juga kepada
bagaimana proses informasi itu dapat berjalan dan bagaimana
32
memanfaatkannya. Hal ini dinamakan “The Buying Process” (Proses
Pembelian).
2.10 Keputusan Pembelian
Menurut Kotler dalam Wahyuni (2008:p32) bahwa keputusan pembelian
adalah pilihan akhir yang dilakukan oleh konsumen dalam memenuhi keinginan atau
kebutuhannya. Proses pengambilan keputusan pembelian pada setiap orang pada
dasarnya adalah sama, hanya saja semua prosers tersebut tidak semua dilaksanakan
oleh konsumen .
Menurut Levy & Weitz (2011:p90) keputusan pembelian adalah
pengkonversian dari evaluasi-evaluasi yang telah dilakukan oleh konsumen untuk
selanjutnya memutuskan untuk melakukan pembelian.
2.10.1 Dimensi Keputusan Pembelian
Adapun beberapa tahap yang dilakukan oleh konsumen dalam proses
pembelian, menurut Kotlerdal;am Wahyuni (2008:p32), yaitu:
1. Need recognition (pengenalan masalah)
Proses pembelian dimulai ketika pembeli mengenal suatu masalah atau
kebutuhan. Pembeli merasakan adanya perbedaan antara keadaan yang
nyata dengan keadaanyang diinginkan. Kebutuhan inidapat dipicu oleh
stimuli intern dan ekstern. Pemasaran perlu mengidentifikasikan stimuli
yang paling sering menimbulkan minat pada suatu kategori produk
tertentu.
33
2. Search of information (pencarian informasi)
Ada dua tingkatan dalam proses pencarian informasi. Yang pertama,
keadaan pencarian yang lebih ringan disebut perhatian yang memuncak.
Di mana seseorang hanya bersikap lebih menarik terhadap informasi
mengenai suatu produk tertentu. Yang kedua adalah pencari informasi
aktif, dimana konsumen mencari bahan bacaan, menelpon teman dan ikut
serta dalam kegiatan lain untuk mempelajari produk. Berapa pencarian
yang dilakukan tergantung pada kekuatan dorongannya, jumlah informasi
yang lebih dimiliki, kemudahan dalam memperoleh informasi tambahan
dan kepuasan yang perlu dan pencarian.
Levy & Weitz (2011:p91) menambahkan bahwa dengan memberikan
informasi yang cukup dan jelas maka akan mendorong persepsi positif
mengenai harga gyang ditawarkan.
3. Alternative evaluation (evaluasi alternatif)
Konsumen memandang setiap produk sebagai rangkaian atribut dengan
manfaat yang berbeda-beda dalam memberikan manfaat yang dicari dan
memuaskan kebutuhan tersebut. Konsumen kemudian sampai pada
pendirian terhadap alternative produk tertentu melalui suatu prosedur
evaluasi.
4. Purchase decision (keputusan pembelian)
Keputusan konsumen untuk memodifikasi,k menunda atau menghindar
suatu keputusan pembelian dapat dipengaruhi oleh resiko yang dirasakan.
Pemasar harus memahami faktor-faktor yang menimbulkan rasa adanya
resiko dalam diri konsumen dan memberikan informasi dan dukungan
yang akan mengurangi resiko yang dirasakan.
34
2.10.2 Tipe Perilaku Pembelian Konsumen
Tipe-tipe perilaku membeli berdasarkan tingkat keterlibatan pembeli
dan tingkat perbedaan di antara berbagai merek adalah sebagai berikut
(Kotler dan Armastrong, 2000, p. 219-222):
1. Perilaku membeli yang kompleks (complex buying behavior) Perilaku
membeli yang kompleks merupakan perilaku membeli konsumen
dalam,berbagai situasi bercirikan keterlibatan mendalam konsumen dalam
membeli dan adanya perbedaan pandangan yang signifikan antara merek
yang satu dengan yang lain.Konsumen menjalankan perilaku membeli
mereka ketika mereka benar-benar terlibat dalam pembelian dan
mempunyai pandangan yang berbeda antara merek yang satu dengan yang
lain. Konsumen mungkin lebih banyak terlibat ketika produknya mahal,
beresiko, jarang dibeli dan sangat menonjolkan ekspresi diri.
2. Perilaku membeli yang mengurangi ketidakcocokan (dissonance reducing
buying behavior) Perilaku membeli yang mengurangi ketidakcocokan
merupakan perilaku membeli konsumen dalam situasi bercirikan
keterlibatan konsumen yang tinggi tetapi sedikit perbedaan yang
dirasakan diantara merek-merek yang ada. Perilaku membeli yang
mengurangi ketidakcocokan terjadi ketika konsumen sangat terlibat
dengan pembelian yang mahal, jarang atau beresiko, tetapi hanya melihat
sedikit perbedaan yang ada.
3. Perilaku membeli karena kebiasaan
Perilaku membeli karena kebiasaan merupakan perilaku membeli yang
dilakukan konsumen dalam situasi yang bercirikan keterlibatan konsumen
35
yang rendah dan kecilnya perbedaan yang dirasakan di antara merek-
merek yang ada. Pembeli produk dengan keterlibatan rendah tidak kuat
komitmennya terhadap merek apapun
4. Perilaku membeli yang mencari variasi
Perilaku membeli yang mencari variasi adalah perilaku membeli
konsumen dalam situasi yang bercirikan rendahnya keterlibatan
konsumen tetapi perbedaan diantara merek dianggap besar. Dalam kasus
ini, konsumen sering kali mengganti merek. Contohnya ketika membeli
kue, seorang konsumen mungkin memiliki beberapa keyakinan, memilih
kue tanpa banyak evaluasi, lalu mengevaluasi merek tersebut ketika kue
tersebut dikonsumsi. Tetapi pada waktu selanjutnya konsumen mungkin
mengambil merek lain agar tidak bosan atau sekedar mencoba sesuatu
yang berbeda.
2.11 Hubungan Antar Variabel
2.11.1 Hubungan Antara Kualitas Pelayanan Dengan Minat Beli
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Isnandar (2002) dalam
Yoestini dan Eva (2007:267), terdapat pengaruh antara kualitas pelayanan
dengan minat beli. Penelitian ini meneliti pengaruh antara harga,variasi
produk, kepuasan pelanggan dan minat beli. Penelitian yang dilakukan oleh
isnandar menggunakan Structural Model Equation(SEM). Kualitas pelayanan
didefinisikan sebagai penilaian pelanggan atas keunggulan atau keistimewaan
suatu produk atau layanan secara menyeluruh (Zeithaml,1998) dalam
Yoestini dan Eva (2007:266). Kualitas kinerja layanan merupakan suatu
proses evaluasi menyeluruh pelanggan mengenai kesempurnaan kinerja
36
layanan (Mowen, 1995) dalam Yoestinidan Eva (2007:266). Kualitas
pelayanan terutama untuk sektor jasa selalu diidentikkan dengan mutu usaha
itu sendiri. Semakin baik dan memuaskan tingkat pelayanannya makaakan
semakin bermutu usaha tersebut begitu pula sebaliknya. Sehingga usaha
untukmeningkatkan pelayanan selalu dilakukan agar dapat memaksimalkan
kualitas jasa. Ruyter et al (1996) dalam Yoestini dan Eva (2007:266)
mengemukakan tentang kaitan antara kualitas layanan dan minat beli.
Dalam penelitiannya, diungkapkan bahwa kualitas layanan yang baik
akan mendorong minat beli konsumen. Jika perusahaan asuransi mampu
memberikan layanan yang berkualitas, seperti adanya pengenalan produk
yang baik, fasilitas penunjang pelayanan yang nyaman, serta jaminan
keamanan atasinvestasi nasabah, diharapkan mampu mendorong konsumen
untuk membeli.
Penelitian lain dilakukan oleh McAlexander, Kaldenberg & Koenig
(1994:34) menyatakan bahwa adanya hubungan yang signifikan dan kuat
antara kualitas pelayanan dan minat beli. Lebih lanjut, untuk meningkatkan
minat beli konsumen sebaiknya tidak hanya memikirkan salah satu indikator
saja, melainkan keseluruh indikator karena masing-masing indikator
mempunyai peranan yang penting pada bidang yang menawarkan jasa high-
impact.
Pada jurnal-jurnal yang dicantumkan diatas, membahas variabel
kualitas pelayanan dan minat beli namun tidak pada bidang ritel pelumas.
Walaupun tidak dalam satu bidang yang sama, diharapkan kedepannya hasil
penelitian dapat diaplikasikan di biang ritel pelumas.
37
2.11.2 Hubungan Antara Persepsi Harga Dengan Minat Beli
Dalam sebuah studi empiris, Doods, Monroe & Grewal (1991)
menguji pengaruh harga, merek, dan menyimpan info terhadap nilai yang
dirasakan (nilai pelanggan) sebagai pengaruh mediasi pada minat beli. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa harga mempunyai pengaruh positif pada
persepsi kualitas, harga, juga memiliki pengaruh signifikan pada nilai yang
dirasakan dan kemauan untuk membeli.
Penelitian lain dilakukan oleh Kristanto dan Wicaksono (2009:271)
dan membuktikan bahwa variabel harga berpengaruh positif terhadap minat
beli di Apotek Barito Farma Sukoharjo.
Pada jurnal-jurnal yang dicantumkan diatas, membahas variabel
persepsi harga dan minat beli namun tidak pada bidang ritel pelumas.
Walaupun tidak dalam satu bidang yang sama, diharapkan hasil penelitian
dapat diterapkan di biang ritel pelumas.
2.11.3 Hubungan Antara Kualitas Pelayanan dan Keputusan Pembelian
Santoso & Widowati di dalam jurnal dinamika sosial budaya
(2011:p189-190) mengemukakan bahwa kualitas pelayanan berpengaruh
positif terhadap keputusan pembelian . Kepercayaan terhadap kualitas
pelayanan sangat berhubungan dengan kinerja perusahaan dalam melayani
pembeli.
Pada jurnal yang dicantumkan diatas, membahas variabel persepsi
harga dan minat beli namun tidak pada bidang ritel pelumas. Walaupun tidak
dalam satu bidang yang sama, diharapkan hasil penelitian kedepannya dapat
diaplikasikan di bidang ritel pelumas.
38
2.11.4 Hubungan Antara Persepsi Harga dan Keputusan Pembelian
Yuliyanto (2011:p141) menyatakan bahwa faktor persepsi harga
konsumen menjadi salah pertimbangan bagi seorang calon konsumen dalam
menentukan tingkat keputusan pembelian oleh konsumen. Harga yang sesuai
dengan kualitas dan manfaat produk atau jasa dan terjangkau oleh konsumen
dalam hal ini akan mengurangi keluhan yang dapat dikeluarkan konsumen
saat mengevaluasi produk yang dibeli.
Pada jurnal yang dicantumkan diatas, membahas variabel persepsi
harga dan minat beli namun tidak pada bidang ritel pelumas. Walaupun tidak
dalam satu bidang yang sama, diharapkan kedepannya hasil penelitian dapat
diaplikasikan di bidang ritel pelumas.
2.11.5 Hubungan Antara Minat Beli Dan Keputusan Pembelian
Penelitian yang dilakukan oleh Herche (1994) dalam Yoestini dan Eva
(2007:267) menunjukkan kaitan antara minat beli dan keputusan pembelian.
Minat beli konsumen yang tinggi akan mendorong konsumen membeli suatu
produk. Sebaliknya, minat beli konsumen yang rendah akan mencegah
konsumen untuk membeli produk.
Pada jurnal yang dicantumkan diatas, membahas variabel minat beli
dan keputusan pembelian namun tidak pada bidang ritel pelumas. Walaupun
tidak dalam satu bidang yang sama, diharapkan kedepannya hasil penelitian
dapat diaplikasikan di biang ritel pelumas.
39
2.12 Pengujian Hipotesis
Menurut Sugiono (2006 : p51) hipotesis merupakan jawaban sementara
terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian
biasanya disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena
jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan
pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh
melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban
teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban empirik. Penelitian
yang merumuskan hipotesis adalah penelitian yang menggunakan pendekatan
kuantitatif. Pada penelitian kualitatif, tidak merumuskan hipotesis, tetapi justru
menemukan hipotesis. Selanjutnya hipotesis, tersebut akan diuji oleh peneliti dengan
menggunakan pendekatan kuantitatif.
H1: Kualitas pelayanan berpengaruh terhadap minat beli konsumen SPBU
34.16114
H2: Persepsi harga berpengaruh terhadap minat beli konsumen SPBU
34.16114
H3: Kualitas pelayanan dan persepsi harga secara bersama-sama
berpengaruh terhadap minat beli konsumen SPBU 34.16114
H4: Kualitas pelayanan berpengaruh terhadap keputusan pembelian
konsumen SPBU 34.16114
H5: Persepsi harga berpengaruh terhadap keputusan pembelian konsumen
SPBU 34.16114
H6: Minat beli berpengaruh terhadap keputusan pembelian konsumen
SPBU 34.16114
40
2.13 Kerangka Pemikiran
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran
Sumber: Olahan Penulis 2013
Peluang
Naiknya konsumsi BBM di Indonesia setiap tahunnya
SPBU 34.16114
Bogor, Jawa Barat
Persepsi Harga Kualitas Pelayanan
Minat Beli
Keputusan Pembelian