bab 2 landasan teori - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/ecolls/ethesisdoc/bab2/2014-2-01221-ar...
TRANSCRIPT
11
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Umum
2.1.1 Cagar Budaya
Menurut UU No.11 tahun 2010, Cagar budaya adalah warisan budaya bersifat
kebedaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar
budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat atau di air yang perlu
dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama dan kebudayaan melalui proses penetapan. Macam-
macam bentuk cagar budaya :
- Benda cagar budaya
Benda cagar budaya adalah benda alam atau benda buatan manusia, baik
bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok atau bagian-
bagiannya dan sejarah berkembang manusia.
- Bangunan cagar budaya
Bangunan cagar budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau
benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding atau ruang
tidak berdinding atau beratap.
- Situs cagar budaya
Situs cagar budaya adalah lokasi yang berada di darat atau di air yang
mengandung benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya
sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.
- Kawasan cagar budaya
Kawasan cagar budaya adalah kawasan atau kelompok bangunan yang memiliki
nilai sejarah, budaya dan nilai lainnya yang dianggap penting untuk dilindungi
dan dilestarikan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, dokumentasi dan
pariwisata.
Menurut UU No.11 tahun 2010 tentang cagar budaya, Pelestarian Cagar
Budaya bertujuan untuk :
- melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia
- meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya
- memperkuat kepribadian bangsa
12
- meningkatkan kesejahteraan rakyat
- mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional.
Menurut UU No.11 tahun 2010 tentang cagar budaya, terdapat beberapa
kriteria struktur cagar budaya yang harus terpenuhi, yaitu :
- berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih.
- mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun.
- memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
dan/atau kebudayaan.
- memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Menurut UU No.11 tahun 2010 tentang cagar budaya, Pemugaran Bangunan
Cagar Budaya dan Struktur Cagar Budaya yang rusak dilakukan untuk
mengembalikan kondisi fisik dengan cara memperbaiki, memperkuat, dan/atau
mengawetkannya melalui pekerjaan rekonstruksi, konsolidasi, rehabilitasi, dan
restorasi. Pemugaran Cagar Budaya yang dimaksud harus memperhatikan:
- keaslian bahan, bentuk, tata letak, gaya, dan/atau teknologi pengerjaan.
- kondisi semula dengan tingkat perubahan sekecil mungkin.
- penggunaan teknik, metode, dan bahan yang tidak bersifat merusak.
- kompetensi pelaksana di bidang pemugaran.
Pemugaran harus memungkinkan dilakukannya penyesuaian pada masa
mendatang dengan tetap mempertimbangkan keamanan masyarakat dan keselamatan
Cagar Budaya. Pemugaran yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap
lingkungan sosial dan lingkungan fisik harus didahului untuk analisis mengenai
dampak lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tabel 1. Lingkup Pemugaran Bangunan Cagar Budaya
Golongan
Perubahan yang diperbolehkan
Facade
Interior Struktur Utama
Ornamen
A - - - - B - � - � C - � � �
: Boleh dirubah
Sumber : Buku berjudul 100 bangunan cagar budaya di Bandung(Harastoeti,2010)
13
2.1.2 Preservasi
Menurut Istilah-istilah dalam pelestarian dan pemugaran, preservasi adalah
pelestarian bangunan dan/atau lingkungan dengan cara mempertahankan kadaan asli
tanpa perubahan, termasuk upaya mencegah kehancuran. Preservasi layak dilakukan
apabila bahan yang ada atau kondisinya menjadi bukti signifikansi budaya, atau
apabila bukti yang ada tidak memadai, maka diizinkan untuk melakukan proses
konservasi yang lain.
Preservasi merupakan kegiatan mencegah dan menjaga yang meliputi sebagai
berikut :
- Untuk menjaga dalam keselamatan dari cedera atau bahaya (melindungi).
- Untuk menjaga dalam kondisi sempurna atau tidak berubah/keaslian.
- Untuk menjaga atau mempertahankan keutuhan.
2.1.3 Konservasi
Konsep konservasi telah dicetuskan lebih dari seratus tahun yang lalu, ketika
William Morris mendirikan Lembaga Pelestarian Bangunan Kuno (“Society For the
Protection of Ancient Buildings”,1877. Jauh sebelum itu, pada tahun 1700,
Vanburgh seorang arsitek Istana Bleinheim Inggris, telah merumuskan konsep
pelestarian, namun konsep itu belum mempunyai kekuatan hukum.
Peraturan dan undang-undang yang pertama kali melandasi kebijakan
konservasi lingkungan/ bangunan bersejarah dibuat pada tahun 1882 dalam ‘Ancient
Monuments Act’, peraturan yang berkaitan dengan perlindungan bangunan bersejarah
di Indonesia adalah UU No 11 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya.
Dalam kegiatan pemugaran atau pelestarian suatu bangunan, terdapat istilah-
istilah yang dituliskan dalam buku yang berjudul “100 bangunan cagar budaya di
Bandung” yaitu sebagai berikut :
1. Konservasi adalah sebuah proses yang bertujuan memperpanjang umur warisan
budaya bersejarah, dengan cara memlihara dan melindungi keotentikan dan
maknanya dari gangguan dan kerusakan, agar dapat dipergunakan pada saat
sekarang maupun masa yang akan datang, baik dengan menghidupkan kembalu
fungsi lama atau dengan memperkenalkan fungsi baru yang dibutuhkan.
2. Restorasi adalah sebuah tindakan atau proses yang bertujuan untuk
mengembalikan bentuk serta detil-detil sebuah properti dan settingnya secara
14
akurat seperti tampak pada periode tertentu, dengan cara menghilangkan bagian-
bagian tambahn yang dilakukan kemudian, ataupun dengan melengkapi kembali
bagian-bagian yang hilang.
3. Renovasi adalah Modernisasi bangunan bersejarah yang masih dipertanyakan
dengan terjadinya perbaikan yang tidak tepat yang menghilangkan wujud dan
detil penting.
4. Rehabilitasi adalah Tindakan atau proses pengembalian sebuah obyek pada
kondisi yang dapat dipergunakan kembali melalui perbaikan atau perubahan yang
memungkinkan penggunaan sementara yang efisien, sementara wujud-wujud
yang bernilai sejarah, arsitektur dan budaya tetap dipertahankan.
5. Revitalisasi adalah sebuah proses untuk menigkatkan kegiatan sosial dan
ekonomi bangunan/lingkungan bersejarah, yang sudah kehilangan vitaliyas
aslinya.
6. Adaptasi (adaptive reuse) adalah sebuah proses pengubahan sebuah bangunan
untuk kegunaan yang berbeda dari tujuan kegunaan ketika bangunan tersebut
didirikan.
Proses-proses diatas, menurut Alan Dobby dalam buku Planning and
Conservation memiliki tingkat perubahan yang berbeda-beda. Berikut adalah tabel
perubahan yang dilakukan terhadap bangunan cagar budaya :
Tabel 2. Lingkup Kegiatan Pelestarian
Perubahan
Kegiatan
Tidak ada (kecuali perbaikan dan pemeliharaan)
Sedikit Banyak Total
Repair X Preservation X
Enchancement X X X Conservation X X X X Restoration X X X
Recontruction X X X Sumber : Buku Conservation And Planning (Alan Dobby,1978:19)
Dalam Diktat Pemugaran Pemerintahan Propinsi DKI Jakarta, sasaran dari
konservasi adalah sebagai berikut (Idrus, Diktat Pemugaran Pemerintah Propinsi
DKI Jakarta) :
- Mengembalikan wajah dari obyek pelestarian.
15
- Memanfaatkan obyek pelestarian untuk menunjang kehidupan masa kini.
- Mengarahkan perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan perencanaan
masa lalu.
- Menampilkan sejarah pertumbuhan kota, dalam wujud fisik tiga dimensi.
Berikut prinsip-prinsip dalam melakukan konservasi adalah :
- Tidak mengubah bukti-bukti sejarah.
- Menerapkan kembali makna budaya dari suatu tempat atau bangunan.
- Suatu bangunan atau suatu hasil karya bersejarah harus tetap berada pada lokasi
historisnya.
- Menjaga terpeliharanya latar visual yang cocok, seperti bentuk, skala, warna,
tekstur, serta bahan material yang digunakan.
Gambar 4. Bagan Langkah-Langkah Kegiatan Konservasi Sumber : Buku berjudul 100 bangunan cagar budaya di Bandung(Harastoeti,2010)
Pada gambar 4 terlihat langkah-langkah yang akan dilakukan dalam kegiatan
konservasi, mulai dari langkah identifikasi terhadap obyek bangunan hingga
pendanaan yang akan dikeluarkan saat kegiatan berlangsung. Kegiatan konservasi
yang dipilih dalam bentuk pelestarian, mempengaruhi bentuk fisik maupun fungsi
yang akan diberikan, hal ini terlihat pula pada tabel 3 bahwa didalam setiap kegiatan
konservasi memungkinkan perubahan pada fungsi yang akan diberikan namun
perubahan pada fisik disesuaikan kembali dengan bentuk kegiatan yang dilakukan
pada bangunan tersebut.
IDENTIFIKASI
INVENTARISASI, PENELITIAN PENILAIAN
PERENCANAAN KONSERVASI MENETAPKAN TINGKAT PERLINDUNGAN
INTEGRASI ANTARA TUJUAN KONSERVASI
DENGAN TUJUAN SOSIAL & EKONOMIS
MASYARAKAT
- PENDIDIKAN & PELATIHAN
- PARTISIPASI
PENDANAAN
16
Tabel 3. Kaitan Antara Kegiatan Konservasi Dengan Perubahan Fisik Dan Fungsi
Yang Terjadi
K E G I A T A N
FISIK FUNGSI Tidak Ber ubah
Berubah Tidak Berubah Berubah Penambahan & penyisipan
elemen bangunan
baru
Pembongkaran sebagian & penggantian
elemen bangunan baru
Menerus & berkembang
(extended use)
Adaptasi kebutuhan
baru (adaptive
reuse)
Konservasi � � � � � Renovasi o � � � � Rehabilitasi o � � � � Fasadisasi o � � � � Preservasi � o o � � Rekontruksi � o o � � Restorasi � o � � � Replikasi � o o � � Revitalisasi o � � � � � : Terjadi
Sumber : Buku berjudul 100 Bangunan Cagar Budaya di Bandung (Harastoeti,2010)
2.1.4 Dasar Hukum Terkait Pelestarian Bangunan Cagar Budaya
- Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 475 tahun
1993 tentang penetapan bangunan-bangunan bersejarah di Daerah Khusus
Ibukota Jakarta sebagai benda cagar budaya.
- Undang-undang Nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya
- UU No.11 tahun 2010 Pasal 1 ayat (26) tentang zonasi adalah penentuan batas-
batas keruangan Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan
kebutuhan.
- UU No.11 tahun 2010 pasal 73 ayat (1) Sistem Zonasi mengatur fungsi ruang
pada Cagar Budaya.
- UU No.11 tahun 2010 pasal 78 (3) tentang Pengembangan Cagar Budaya
sebagaimana dimaksud dapat diarahkan untuk memacu pengembangan ekonomi
yang hasilnya digunakan untuk Pemeliharaan Cagar Budaya dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. - UU No.11 tahun 2010 pasal 82 tentang Revitalisasi Cagar Budaya harus memberi
manfaat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan mempertahankan
ciri budaya lokal.
o : Tidak Terjadi
17
- UU No.11 tahun 2010 pasal 83 ayat (1) tentang Bangunan Cagar Budaya atau
Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan adaptasi untuk memenuhi kebutuhan
masa kini dengan tetap mempertahankan keaslian bangunan cagar budaya atau
struktur cagar budaya.
- Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No: 01/PRT/M/2015
tentang Bangunan Gedung Cgara Budaya yang Dilestarikan.
- Peraturan Menteri PU dan PR pasal 1 (5) mengatakan bahwa bangunan gedung
cagar budaya yang dilestarikan adalah bangunan gedung cagar budaya yang
melalui upaya dinamis, dipertahankan keberadaan dan nilainya dengan cara
melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya.
- Peraturan Menteri PU dan PR pasal 1 (8) mengatakan bahwa pengembangan
bangunan gedung cagar budaya adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan
promosi bangunan gedung cagar budaya serta pemanfaatannya melalui
penelitian, revitalisasi, dan adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan
dengan tujuan pelestarian.
- Peraturan Menteri PU dan PR pasal 4 mengatakan bahwa Setiap bangunan
gedung cagar budaya yang dilestarikan harus memenuhi persyaratan :
a. Administratif (status bangunan gedung sebagai gedung cagar budaya, status
kepemilikan, perizinan)
b. Teknis (persyaraan tata bangunan, persyaratan keandalan bangunan gedung
cagar budaya, persyaratan pelestarian)
- Peraturan Menteri PU dan PR pasal 7 (2) mengatakan bahwa Persyaratan tata
bangunan harus diberlakukan dalam hal bangunan gedung cagar budaya yang
dilestarikan mengalami perubahan fungsi, bentuk,l karakter fisik dan/atau
penambahan bangunan gedung.
- Peraturan Menteri PU dan PR pasal 8 (1) mengatakan bahwa Persyaratan
keandalan bangunan gedung cagar budaya terdiri atas :
a. Keselamatan;
b. Kesehatan;
c. Kenyamanan; dan
d. Kemudahan.
- Peraturan Menteri PU dan PR pasal 8 (6) mengatakan bahwa Persyaratan
keandalan bangunan gedung cagar budaya dituangkan dalam ketentuan yang
meliputi aspek :
18
a. Arsitektur;
b. Struktur;
c. Utilitas;
d. Aksebilitas;
e. Keberadaan dan nilai penting cagar budaya.
- Peraturan Menteri PU dan PR pasal 14 (1) mengatakan bahwa rekomndasi
tindakan pelestarian bangunan gedung cagar budaya berupa perlindungan,
pengembangan dan atau pemanfaatan. Dan pengembangan tersebut terbagi atas
revitalisasi dan adaptasi.
- Peraturan Menteri PU dan PR pasal 16 (2) mengatakan bahwa adaptasi
sebagaimana yang dimaksud dilakukan upaya pengembangan bangunan gedung
cagar budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini
dengan cara melakukan perubahan terbatas yang tidak mengakibatkan penurunan
nilai penting atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting.
2.1.5 Dasar Hukum Terkait Pelestarian Bangunan Pada Kawasan Kota Tua
- Perda DKI Jakarta No.1 tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)
dan Peraturan zonasi.
- Perda DKI Jakarta No.1 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah tahun
2030 pasal 100 membahas Kawasan Kota Tua termasuk kawasan strategis
kepentingan sosial budaya.
- Peraturan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No.36 tahun 2014
tentang Rencana Induk Kawasan Kota Tua.
2.1.6 Pemanfaatan Kembali Bangunan Cagar Budaya
Setelah bangunan diperbaiki pada bagian-bagiannya yang rusak, bangunan
tersebut diberikan fungsi sehingga dapat bermanfaat bagi kehidupan saat ini. Secara
keseluruhan terdapat 3 pemanfaatan kembali bangunan cagar budaya, yaitu :
- Continued Use
Cara ini berupa penggunaan kembali bangunan tua sesuai dengan fungsi lamanya
ketika pertama kali didirikan serta dapat juga ditambahkan fungsi baru sebagai
fungsi pendukung fungsi utamanya.
- Adaptive Reuse
19
Cara ini berupa penggunaan kembali bangunan tua dengan mengubah fungsi
awal dari bangunan tersebut dengan menyesuaikan pada keadaan masa sekarang.
- New Additions
Cara ini berupa penambahan kontruksi baru atau membangun struktur baru pada
struktur sebelumnya dengan mempertimbangkan kesesuaian bangunan
sebelumnya.
2.1.7 Adaptive Reuse
Secara umum, adaptive reuse merupakan pengunaan ulang atau “the process
of adapting old structures and sites for new purposes”. Lebih jelasnya, adaptive
reuse is a process that changes a disused or ineffective item into a new item that can
be used for a different purpose. Sometimes,nothing changes but the item’s use. Dan
menurut UU No.11 tahun 2010 tentang cagar budaya mengatakan bahwa adaptasi
merupakan upaya pengembangan Cagar Budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai
dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan
mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang
mempunyai nilai penting.
Adaptive reuse seringkali digunakan dalam konservasi bangunan– bangunan
tua bersejarah. Dengan adaptive reuse dapat memberi nafas baru ke dalam bangunan
tanpa mengubah tampilan luar dan bentuknya secara radikal. Di sisi lain juga dapat
menciptakan kembali nilai ekonomi dan sosial dari bangunan yang dilakukan
adaptive reuse. Proses Adaptive reuse melibatkan 3 jenis perlakuan yang dapat
dilakukan terhadap bangunan yaitu The installation system,The Intervention system,
serta The Insertion System.
- Intervention adalah pendekatan dengan cara merubah bangunan lama menjadi
lebih baik sehingga lebih layak, namun tetap saling terkait antara bangunan lama
dengan bangunan baru setelah diperbaiki.
- Insertion adalah memasukkan dimensi yang telah ditentukan dalam batas
bangunan yang ada.
- Installation adalah menambahkan elemen baru (bisa seperti bangunan baru) yang
bisa jadi dipengaruhi bangunan yang ada, ditempatkan dalam batasan bangunan
yang ada itu sendiri.
Alternatif penyesuaian dengan menggunakan konsep adaptive reuse, dapat
dilihat dari sisi bentuk bangunan yang dipreservasi atau dikonservasi keasliannya
20
harus dipertahankan, tidak diubah, sehingga fungsi baru yang ditampung di
dalamnya perlu disesuaikan dengan kapasitas maupun tatanan ruang yang ada.
Dengan demikian perlu ada seleksi dalam memilih fungsi baru tersebut. Adaptasi
sebagaimana dimaksud dalam UU No.11 tahun 2010 dilakukan dengan :
- mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada Cagar Budaya.
- menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan.
- mengubah susunan ruang secara terbatas.
- mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika
lingkungan di sekitarnya.
2.2 Tinjauan Khusus Terhadap Bangunan
2.2.1 Sejarah Kawasan Kota Tua Sebagai Warisan Cagar Budaya
Kota Tua Jakarta terletak di Kelurahan Pinangsia Kecamatan Tamansari
Kotamadya Jakarta Barat. Saat ini, kawasan Kota Tua berada di dua wilayah
kotamadya, yaitu Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Kota Tua sebagai cikal bakal
Jakarta, oleh karena itu banyak cerita di balik megahnya bangunan (tua) cagar
budaya peninggalan masa lalu dari zaman kolonial Belanda.
Kota Tua Jakarta, daerahnya berbatasan sebelah utara dengan Pasar Ikan,
Pelabuhan Sunda Kalapa dan Laut Jawa, sebelah Selatan berbatasan dengan jalan
Jembatan Batu dan jalan Asemka, sebelah Barat berbatasan dengan Kali Krukut dan
sebelah Timur berbatasan dengan Kali Ciliwung.
Kota Tua Jakarta di masa lalu merupakan kota yang menjadi simbol kejayaan
bagi siapa saja yang dapat menguasainya. Oleh karena itu, mulai dari Kerajaan
Tarumanegara, Kerajaan Sunda Pajajaran, Kesultanan Banten Jayakarta, Verenigde
Oost-indische Compagnie (VOC), Pemerintah Jepang, hingga kini Republik
Indonesia melalui Pemerintah DKI Jakarta, terus berupaya mempertahankannya
menjadi kota nomor satu di negara ini.
Kota Tua Jakarta, juga dikenal dengan sebutan Batavia Lama (Oud Batavia),
adalah sebuah wilayah kecil di Jakarta, Indonesia. Wilayah khusus ini memiliki luas
1,3 kilometer persegi melintasi Jakarta Utara dan Jakarta Barat (Pinangsia, Taman
Sari dan Roa Malaka). Dijuluki "Permata Asia" dan "Ratu dari Timur" pada abad ke-
16 oleh pelayar Eropa, Jakarta Lama dianggap sebagai pusat perdagangan untuk
benua Asia karena lokasinya yang strategis dan sumber daya melimpah.
21
Pasa masa abad ke-16 sampai dengan awal abad ke-20, kawasan Kotatua
merupakan kawasan daerah pusat politik dan kekuasaan yang didukung oleh pusat
kawasan komersil dan perdagangan. Kota yang tua (lama), banyak menyimpan
bangunan-bangunan (tua) sisa peninggalan para pendahulu yang bernilai sejarah,
arsitektur dan arkelologis dari beberapa zaman yang berbeda.
Pemda DKI Jakarta dengan mengeluarkan SK Gubernur No. 475 Tahun 1993
yang isinya menetapkan Bangunan-Banguan Bersejarah dan Monumen di DKI
Jakarta dilindungi sebagai bangunan cagar budaya (BCB) oleh pemerintah. Hal ini
berlaku juga pada kawasan Kota Tua Jakarta.
2.2.2 Gedung PT. Kerta Niaga Sebagai Bangunan Cagar Budaya
Tabel 4. Data Gedung
Nama gedung : PT. Kerta Niaga
Tahun berdiri : 1912
Nama dulu : Perusahaan Koloniale Zee en Brand Assurantie Maatschappij
Desain Arsitek : Biro Arsitek Cuypers en Hulswit
Langgam gaya : Art Deco
Sumber : Olahan Penulis
Gedung PT. Kerta Niaga termasuk dalam daftar bangunan cagar budaya yang
perlu dilestarikan, menurut Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta no 475 tahun
1993. Gedung PT. Kerta Niaga dibangun sekitar tahun 1912 oleh Biro Arsitek
Cuypers en Hulswit. Bangunan ini bergaya Art Deco. Pada masa itu, biro arsitek
tersebut merupakan biro yang bersejarah bagi pembangunan arsitektur di Indonesia
pada eranya begitu pula langgamnya.
Gambar 5. Bangunan PT. Kerta Niaga tahun 1912 Sumber : Data Collection Tropenmuseum Amsterdam
22
Awalnya bangunan ini berfungsi sebagai gedung perusahaan Koloniale Zee en
Brand Assurantie Maatschappij. Pada kepemilikan pertama inilah bentuk fasad
bangunan masih terlihat asli dengan ornamen yang terlihat pada fasad gambar 5.
Namun, pada tahun 1950 terjadi penghilangan ornamen pada fasad tersebut, yang
terlihat pada gambar 6 ketika berada di kepemilikan kedua.
Dan terjadi nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan Belanda pada akhir
tahun 1950, perusahaan ini melakukan perubahan nama menjadi P.N. (Perusahaan
Negara) Kerta Niaga tepatnya tahun 1966. Bidang usahanya pun berubah menjadi
distributor barang, utamanya di bidang sandang pangan dan kebutuhan pokok bagi
rakyat. Pada akhirnya, bangunan ini menjadi aset P.N. Kerta Niaga, yang kemudian
berubah status menjadi P.T. Kerta Niaga pada tahun 1970.
Gambar 6. Bangunan PT. KertaNiaga tahun 1950
Sumber : Data Collection Tropenmuseum Amsterdam
Ketika dilakukan efisiensi terhadap Badan Usaha Milik Negara, P.T. Kerta
Niaga dilikuidasi dan dilebur ke dalam P.T. Dharma Niaga pada tahun 1998.
Bangunan ini turut berpindah pengelolan, juga ketika dilakukan penggabungan atas
tiga BUMN di bidang perdagangan : PT. Panca Niaga, PT. Dharma Niaga, dan PT.
Cipta Niaga, yang menjadi PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) pada tahun
2003. PPI merupakan pemegang kepemilikan gedung yang ketiga, pada saat itu juga
dilakukan penambahan elemen jendela seperti gambar 7 yang berbeda dengan bentuk
asalnya.
Gambar 7. PT. Kerta Niaga tahun 2003 Sumber : Data Collection Tropenmuseum
Amsterdam
Gambar 8. PT. Kerta Niaga Saat Ini Sumber : Dokumentasi Penulis
23
Meski beralih kepemilikan berkali-kali, kondisi bangunan PT. Kerta Niaga
saat ini cukup baik, walaupun terdapat kerusakan-kerusakan karena termakan usia
seperti pada gambar 8. Unsur-unsur keaslian bangunanpun masih kuat. Sekarang ini,
hanya tersisa bangunan kantor yang ditinggalkan kisah sejarah untuk dilestarikan.
Gedung PT. Kerta Niaga merupakan salah satu dari banyaknya bangunan
yang terletak di kawasan Kotatua. Gedung PT. Kerta Niaga berlokasi pada blok PT.
Kerta Niaga yang memiliki 4 gedung. Bangunan yang dipilih adalah bangunan yang
terletak pada Jalan Kali Besar Timur terlihat pada gambar 9.
Gambar 9. Letak Gedung PT.Kerta Niaga Sumber : Olahan penulis Dahulu Kawasan Kali Besar merupakan kawasan Central Business District
(Kawasan Kali Besar CBD), pada masa kolonial disebut De Groote Rivier (Kali
Besar). Saat itu, muara sungai ciliwung merupakan jantung perekonomian di Jakarta
yaitu sebagai pusat perdagangan atau perkantoran Hindia Belanda. Pada masa itu,
terdapat pula dermaga-dermaga di tepi kali besar tersebut. Walaupun saat ini tidak
terdapat kanal-kanal di sepanjang kali besar, gedung-gedung di sekitar kali besar
timur terutama merupakan wilayah perkantoran.
Gambar 11. Kali Besar Saat Ini Sumber : Diakses dari
googlemaps.com pada tanggal 14 April 2015
Gambar 10. Kali Besar Tahun 1920 Sumber : Diakses dari googlemaps.com
pada tanggal 14 April 2015
24
Gedung PT. Kerta Niaga dalam proses revitalisasi, yang dikategorikan pada
kawasan Art And Culture di Kota Tua Jakarta (JOTRC) dan lebih mengfokuskan
terhadap fungsi perdagangan dan jasa menurut RDTR No.1 tahun 2014.
2.3 Tinjauan Khusus Terhadap Style
2.3.1 Pengertian Style
Kata gaya dalam bahasa inggris adalah style yang berarti jenis tertentu atau
semacam, jenis mengacu pada bentuk, penampilan, atau karakter. Menurut Marizar,
Gaya pada suatu periode dapat dibedakan berdasarkan beberapa kategori, yaitu
dimulai dari ornamen, warna atau aksesoris, karakter desain dari elemen interior
(bentuk), pola bentuk, tekstur dan kombinasi dari beberapa unsur tersebut.
Warna juga merupakan salah satu unsur desain untuk memberikan tambahan
efek tertentu dengan juga didukung oleh unsur pencayahaan. Bentuk dalam desain
interior merupakan gabungan antara bidang yang meliputi struktur dinding, lantai,
plafon dan perabot. Sedangkan pola atau tekstur dapat ditemukan pada dinding,
lantai, dan plafon yang didapat dari pemakaian material dan penggunaan jenis
finishing dari material tersebut.
Gaya sebagai identitas sebuah perancangan yang menggambarkan pengaruh
jaman atau asal usul dan aktivitas pengguna. Gaya menurut Pile terbagi kedalam
beberapa periode yang mempengaruhi perkembangan gaya. Di dalam interior ruang
memiliki gaya dan desain yang berbeda-beda, karakteristik dari gaya-gaya itupun
mempunyai ciri khasnya masing-masing.
2.3.2 Art Deco
Art deco adalah gaya hias yang lahir setelah Perang Dunia I dan berakhir
sebelum Perang Dunia II. Art deco banyak diterapkan dalam berbagai bidang,
misalnya eksterior, interior, mebel, patung, perhiasan dan lain-lain. Art deco
dipengaruhi oleh berbagai macam aliran modern, antara lain Kubisme, Futurisme dan
Konstruktivisme serta juga mengambil ide-ide desain kuno seperti dari Mesir, Siria
dan Persia. Seniman art deco banyak bereksperimen dengan memakai teknik baru
dan material baru, misalnya metal, kaca, bakelit serta plastik dan menggabungkannya
dengan penemuan-penemuan baru saat itu, lampu misalnya.
Karya mereka sering memakai warna-warna yang kuat serta bentuk abstrak
dan geometris tetapi kadang masih menggunakan motif tumbuhan dan figur.
25
Langgam art deco tercipta dari pencampuran ornamen-ornamen historis, aliran
arsitektur sekarang dan muatan lokal. Setiap negara yang menerima langgam Art
Deco mengembangkannya sendiri dan memberikan sentuhan lokal sehingga art deco
di suatu tempat akan berbeda dengan art deco di tempat lain.
Sebelum tahun 1966, masyarakat belum mengenal nama art deco.
Masyarakat saat itu menamai seni yang populer tersebut sebagai seni modern.
Ungkapan art deco diperkenalkan pertama kali pada tahun 1966 dalam katalog yang
diterbitkan oleh Musée des Arts Décoratifs di Paris yang pada saat itu sedang
mengadakan pameran dengan tema ”Les Années 25” yang bertujuan untuk meninjau
kembali pameran internasional “Exposition Internationale des Arts Décoratifs et
Industriels Modernes“ yang diselenggarakan tahun 1925 di Paris.
2.3.3 Sejarah Art Deco
Gerakan awal ini disebut Style Moderne. Istilah Art Deco diambil dari
eksposisi 1925, meskipun baru pada 1960 istilah ini diciptakan, ketika terjadi
kebangkitan kembali Art Deco. Nama Art Deco diilhami dari satu pameran
Exposition Internationale des Arts Decoratifs Industriale et Modernes yang diadakan
di Paris pada tahun 1925. Art Deco menunjukkan suatu istilah langgam decoratif
yang terbentuk di antara tahun 1920-1930.
Yang membedakan antara langgam arsitektur ini dengan langgam lainnya
adalah adanya gerakan Modernisme. Gerakan ini memenuhi konsep modernisme,
yaitu tuntutan estetika menuju bentuk sederhana. Hanya saja kelemahannya di satu
pihak gerakan modernisme membebaskan diri dari keterikatan Arsitektur Klasik,
tetapi di pihak lain membuat “ikatan” sendiri dalam bentuk konsensus internasional
(International Style). Art deco menginduk pada modernisme hanya saja lebih fokus
pada berbagai variasi dekoratif dalam berbagai produk.
Karakter yang paling utama adalah bentuk geometrik murni dan
kesederhanaan (Simplicity), penggunaan warna-warna cemerlang dan bentuk
sederhana untuk merayakan hadirnya dunia komersial dan teknologi. Dari sinilah
lahir art deco yang menjadi penanda jaman dalam bentuk-bentuk Arsitektur yang
anggun.
26
2.3.4 Fasade Bangunan Art-Deco
Pada tahun 1928 pengamat arsitektur new modern mendiskripsikan karakter
art deco yaitu geras lurus, kaku, geometris dan cenderung mengikuti proporsi kubis.
Garis datar yang sederhana dan kuat dengan sentuhan dekorasi pada warna, besi dan
kaca untuk relief. Aritektur art deco dipengaruhi oleh berbagi aliran seperti kubism,
futurism, dan ekspresionism ditambah dengan ekspresi dunia yang mengakibatkan
revolusi industri II wajah arsitektur mengalami perkembangan yaitu :
- kesederhanaan dalam dekorasi dengan menggunakan pita.
- Menggunakan bentuk-bentuk geometri dengan garis lurus yang kuat pada bidang
horisontal dan vertikal yang dominan.
- Penggunaan warna-warna lembut tapi kontras.
- Penggunaan bahan metal sebagai alternatif pengolahan desain.
- Mengambil semangat mesin dari international style.
2.3.5 Langgam Art-Deco
Art deco terbagi sesuai dengan klasifikasi yang ada, arsitektur langgam art-
deco dibedakan menjadi empat, yaitu floral deco, streamline deco, zigzag deco, dan
neo-classicael deco. Di Indonesia, banyak dikenal dua langgam yang pertama.
Berikut penjelasan langgam tersebut :
1. Floral deco
Floral deco merupakan salah satu tipe art deco yang memiliki desain
berbentuk lekukan-lekukan garis yang melengkung, dan memiliki ciri khas ukiran
bunga atau daun.
Gambar 12. Langgam Floral Deco Sumber : Jurnal Media Matrasain
2. Streamline deco
Streamline deco adalah salah satu tipe art deco yang merupakan gaya desain
yang muncul selama tahun 1930. Desain ini menekankan gaya arsitektur yang
27
memiliki bentuk melengkung, dan garis horizontal panjang. Tipe ini banyak terlihat
pada bangunan-bangunan yang ada di Indonesia. Contohnya di bandung terdapat
bangunan yang menggunakan tipe art deco streamline, yaitu Gedung Villa Isola
Bandung.
Gambar 13. Langgam Streamline Deco Sumber : Jurnal Media Matrasain
3. Zig zag deco
Zig zag deco memiliki pola bentuk garis yang tajam dan tegas serta bentuk
zig zag yang merupakan ciri khasnya dan mengalami pengulangan bentuk yang
harmonis.
Gambar 14. Langgam Zig zag Deco Sumber : Jurnal Media Matrasain
4. Neo classicael deco
Neo classicael deco merupakan tipe dari art deco yang memiliki corak ragam
ukiran kuno yang dapat berbentuk wajah/benda, geometri, dan terdiri dari corak
gabungan yang terlihat seperti ukiran-ukiran kuno.
Gambar 15. Langgam Neo classicael Deco Sumber : Jurnal Media Matrasain
28
2.3.6 Ciri-Ciri Gaya Art-Deco
Awal mula gaya art deco berkembang yaitu setelah gaya art nouveau
berakhir yaitu mulai tahun 1910 sampai tahun 1930. Gaya art deco merupakan
adaptasi dari bentukan historism ke bentukan modern. Gaya art deco ini memiliki
estetika yang menjadi gaya pilihan bagi gedung-gedung dan tempat public seperti
bioskop, stasiun kereta api, hotel, restoran dan kapal laut. Ciri gaya art deco sebagai
berikut :
- Berdasarkan peletakan bangunan menggunakan dua cara yaitu bangunan sudut
dan bangunan menghadap ke jalan, namun tetap mempertahan fasad yang
simetris. Pada bangunan publik akan ditemukan ruang lobby, sebelum dapat
mengakses ruang-ruang yang lain.
- Bentuk tampilan keseluruhan fasad bangunan art Deco pada umumnya memiliki
simetris dalam berbagai skala bangunan. Penggunaan simetris visual ini
diterapkan pada berbagai komponen bangunan berupa : canopy, jendela, pintu,
teralis, armatur lampu, elemen estetik hingga signage pada bangunan.
- Penggunaan bentuk yang bertingkat-tingkat atau berlapis-lapis (stepped form),
streamline, zig-zag, lengkung, serta permukaan licin.
- Interior dengan konsep estetik art deco menjadikan karakter lay-out sangat kuat
terhadap pembentukan pola-pola simetris ruang.
- Furniture art deco untuk interior dapat berupa loose-furniture dan built-in yang
mengadopsi detail-detail yang khas dengan penyelesaian bentuk-bentuk
geometris. - Terdapat ornamen sebagai ciri dari gaya art deco yang tampil dalam bentuk tiga
dimensi atau memiliki profil dua dimensi yang berupa pembedaan warna pada
suatu finishing. - Pintu dan jendela berbahan kayu solid berbentuk panel yang dikombinasikan
dengan logam dan kaca polos (Calloway, 418-423).
- Penggunaan kaca patri dengan motif-motif geometris (Calloway, 416).
- Elemen dekoratif yang digunakan kebanyakan berupa sepuhan warna krom, besi
tempa,perunggu, plastic (Young, 9).
- Material yang umumnya digunakan adalah stainless steel, aluminium, glass
block, batu gamping dan terakota karena sudah terpengaruh dengan teknologi
modern.
29
2.4 Novelty
Novelty adalah prinsip kebaruan dari suatu objek. Judul dan topik mengenai
konservasi, maka prinsip kebaruan (novelty) terkait dengan hal tersebut. Konservasi
adalah bentuk pelestarian atau perlindungan dari bangunan tua yang dikatakan
bersejarah. Dahulu konservasi dilakukan hanya sebatas memperbaiki bangunan yang
sudah ada sehingga serupa dengan bentuk bangunan yang sebelumnya, tanpa
menambah atau mengurangi elemen-elemen yang ada pada bangunan, guna
mempertahankan keaslian nilai bersejarah bangunan tersebut saat didirikan.
Namun untuk saat ini, terdapat beberapa aplikasi alternatif sebagai bentuk
tindakan konservasi. Tindakan tersebut disesuaikan dengan kondisi bangunan yang
akan dikonservasi. Contoh dari aplikasi konservasi yang dianggap baru adalah
adaptive reuse, adaptive reuse sebenarnya adalah proses akhir dari tindakan
konservasi dengan memasukkan fungsi baru pada bangunan yang telah dikonservasi
sesuai dengan kondisi keadaan saat ini. Selain bentuk penggunaan kembali bangunan
yang telah ada sehingga mengurangi konstruksi bangunan baru, hal tersebut
berkaitan dengan strategi bangunan yang berkelanjutan (sustanaibility). Karena
dengan menggunakan bangunan yang sudah ada, dapat mengurangi biaya seumur
hidup bangunan tersebut, limbah serta dapat melakukan peningkatan fungsi
bangunan.
Seperti halnya pada gedung PT. Kerta Niaga yang berada di Kawasan Kota
Tua Jakarta, yang merupakan kawasan revitalisasi. Gedung PT. Kerta Niaga dalam
kajian ini, dilakukan proses konservasi dengan memasukkan fungsi baru yaitu
adaptive reuse. Yang selama ini gedung-gedung di Kota Tua hanya dibiarkan hingga
rusak dan rubuh. Kali ini gedung tersebut dihidupkan kembali dengan fungsi baru
yang sesuai dengan peraturan yang berlaku, kondisi gedung, serta lingkungannya.
Kondisi gedug PT. Kerta Niaga tetap utuh seperti kondisi saat gedung ini
didirikan. Ciri khas langgam art deco terlihat jelas pada gedung PT. Kerta Niaga,
oleh karena itu, yang biasanya bangunan tua bersejarah ketika digunakan kembali
akan dimasukkan pula gaya interior modern sesuai dengan zaman saat ini. Pada
gedung PT. Kerta Niaga tetap dimasukkan gaya interior art deco untuk
mempertahankan langgam-langgam art deco yang telah terbentuk didalam gedung
tersebut.
30
2.5 Kerangka Berpikir
Latar Belakang
Identifikasi masalah Bangunan PT. Kertaniaga pada zona dilestarikan bentuknya dan peuntukan bangunan zona ini adalah art and culture.
Perumusan Masalah
Pengumpulan Data Sekunder
Kesimpulan
STUDI PUSTAKA
Penentuan Tujuan
UN Habitat Revitalisasi Kota Tua
Landasan Hukum yang terkait
Gaya bangunan PT. Kertaniaga
Sejarah Kota Tua
Sejarah dan foto awal bangunan PT. Kertaniaga
Teori Konservasi Teori Adaptive Reuse Teori Style Art Deco
Peruntukan Bangunan
Pengumpulan Data Primer Foto bangunan saat ini eksterior maupun interior
Identifikasi kerusakan Ukuran ekstrior & interior
Verifikasi
State Of The Art
Jika Ya?
Analisis Data
Analisa Bangunan
Analisa eksterior Analisa Interior
Analisa kerusakan Analisa Zonasi
Analisa eksisting Analisa
pemetaan bangunan
Analisa manusia Analisa Lingkungan
Analisa pengguna dan aktifitas
Skematik desain Perancangan
Gambar 16. Kerangka Berpikir Sumber : Olahan Penulis
Analisa Fasad
Denah