bab 2 kajian pustaka, kerangka pemikiran dan … · untuk menjadi pemimpin yang sukses, ia harus...

22
27 BAB 2 KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Teori Locus of Control 2.1.1.1 Pengertian Locus of Control Konsep tentang locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter pada tahun 1966, seorang ahli teori pembelajaran sosial. Menurut Ghufron dan Risnawita (2012, p.65) locus of control merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan perilaku individu. Orang yang mempunyai internal locus of control mempunyai keyakinan bahwa apa yang terjadi pada dirinya, kegagalan-kegagalan, keberhasilan- keberhasilannya disebabkan oleh dirinya sendiri sedangkan orang yang mempunyai external locus of control mempunyai anggapan bahwa faktor-faktor yang ada di luar dirinya akan mempengaruhi apa yang terjadi dalam kehidupannya, seperti kesempatan, nasib dan keberuntungan. Menurut Kreitner dan Kinicki (2010, p.135) locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian (personality), yang didefinisikan sebagai keyakinan individu terhadap mampu tidaknya mengontrol nasib (destiny) sendiri. Hasil yang dicapai oleh individu yang memiliki internal locus of control dianggap berasal dari aktivitas dirinya. Sedangkan pada individu yang memiliki external locus of control menganggap bahwa keberhasilan yang dicapai dikontrol dari keadaan sekitarnya. Findley dan Cooper tahun 1983 dalam Friedman dan Schustack (2006, p.275) individu dengan internal locus of control lebih berorientasi pada keberhasilan karena mereka menganggap perilaku mereka dapat menghasilkan efek positif dan juga mereka lebih cenderung tergolong high achiever. Menurut Leone dan Burns tahun 2000 dalam Vijayashree dan Jagdischchandra (2011), locus of control adalah adalah sebuah konstruk yang mengukur sejauh mana individu percaya bahwa mereka bertanggung jawab atas konsekuensi dari perilaku mereka. Faktor internal adalah individu yang memiliki keyakinan bahwa mereka merupakan pemegang kendali atas apapun yang terjadi pada diri mereka, sedangkan faktor eksternal adalah individu yang memiliki keyakinan bahwa apapun yang terjadi pada diri mereka dikendalikan oleh kekuatan luar.

Upload: vothuan

Post on 15-Apr-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

27

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Teori Locus of Control

2.1.1.1 Pengertian Locus of Control

Konsep tentang locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter pada

tahun 1966, seorang ahli teori pembelajaran sosial. Menurut Ghufron dan Risnawita

(2012, p.65) locus of control merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan

perilaku individu. Orang yang mempunyai internal locus of control mempunyai

keyakinan bahwa apa yang terjadi pada dirinya, kegagalan-kegagalan, keberhasilan-

keberhasilannya disebabkan oleh dirinya sendiri sedangkan orang yang mempunyai

external locus of control mempunyai anggapan bahwa faktor-faktor yang ada di luar

dirinya akan mempengaruhi apa yang terjadi dalam kehidupannya, seperti

kesempatan, nasib dan keberuntungan.

Menurut Kreitner dan Kinicki (2010, p.135) locus of control merupakan salah

satu variabel kepribadian (personality), yang didefinisikan sebagai keyakinan

individu terhadap mampu tidaknya mengontrol nasib (destiny) sendiri. Hasil yang

dicapai oleh individu yang memiliki internal locus of control dianggap berasal dari

aktivitas dirinya. Sedangkan pada individu yang memiliki external locus of control

menganggap bahwa keberhasilan yang dicapai dikontrol dari keadaan sekitarnya.

Findley dan Cooper tahun 1983 dalam Friedman dan Schustack (2006, p.275)

individu dengan internal locus of control lebih berorientasi pada keberhasilan karena

mereka menganggap perilaku mereka dapat menghasilkan efek positif dan juga

mereka lebih cenderung tergolong high achiever.

Menurut Leone dan Burns tahun 2000 dalam Vijayashree dan

Jagdischchandra (2011), locus of control adalah adalah sebuah konstruk yang

mengukur sejauh mana individu percaya bahwa mereka bertanggung jawab atas

konsekuensi dari perilaku mereka. Faktor internal adalah individu yang memiliki

keyakinan bahwa mereka merupakan pemegang kendali atas apapun yang terjadi

pada diri mereka, sedangkan faktor eksternal adalah individu yang memiliki

keyakinan bahwa apapun yang terjadi pada diri mereka dikendalikan oleh kekuatan

luar.

28

Seseorang yang mempunyai internal locus of control akan memandang dunia

sebagai sesuatu yang dapat diramalkan, dan perilaku individu turut berperan di

dalamnya. Pada individu yang mempunyai external locus of control akan

memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak dapat diramalkan, demikian juga

dalam mencapai tujuan sehingga perilaku individu tidak akan mempunyai peran di

dalamnya.

Individu yang mempunyai internal locus of control diidentifikasikan lebih

banyak menyandarkan harapannya pada diri sendiri dan cenderung lebih menyenangi

keahlian-keahlian dibandingkan dengan situasi yang menguntungkan. Sementara itu

individu yang mempunyai external locus of control cenderung lebih banyak

menyandarkan harapannya untuk bergantung pada orang lain dan lebih banyak

mencari dan memilih situasi yang menguntungkan.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa locus of control

adalah variabel kepribadian mengenai tingkat keyakinan individu terhadap

kemampuan mereka mengontrol dan menentukan nasib mereka sendiri. Locus of

control internal adalah tingkat di mana individu percaya dan menyadari bahwa

segala sesuatu yang terjadi pada diri mereka ditentukan dan berasal dari diri mereka

sendiri. Sedangkan locus of control external adalah tingkat di mana individu percaya

bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri mereka dikendalikan dan dikontrol oleh

faktor lingkungan, kekuatan luar dan keadaaan sekitarnya.

2.1.1.2 Karakteristik Individu yang Memiliki Locus of control Internal

Menurut Crider tahun 1983 dalam Ghufron dan Risnawita (2012, p.68)

individu yang memiliki internal locus of control mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Suka bekerja keras

b. Memiliki inisiatif tinggi

c. Selalu berusaha menemukan pemecahan masalah

d. Selalu mencoba berpikir seefektif mungkin

e. Selalu mempunyai persepsi bahwa usaha harus dilakukan jika ingin berhasil

2.1.1.3 Dimensi Locus of Control

Rotter tahun 1954 dalam Friedman dan Schustack (2006, p.275) membagi

locus of control sebagai dua dimensi, yaitu:

29

2.1.1.3.1 Locus of Control Internal

Individu yang yakin bahwa apa yang diraih sebanding dengan usaha yang

dilakukan dan sebagian besar dapat dikendalikan. Individu yang cenderung memiliki

internal locus of control mempunyai keyakinan bahwa kejadian yang dialami

merupakan akibat dari perilaku dan tindakannya sendiri, memiliki kendali yang baik

terhadap perilakunya sendiri, cenderung dapat mempengaruhi orang lain, yakin

bahwa usahanya dapat berhasil, serta aktif mencari informasi dan pengetahuan terkait

situasi yang sedang dihadapi.

2.1.1.3.2 Locus of Control External

Individu yang memiliki external locus of control memiliki keyakinan bahwa

tindakan mereka memiliki sedikit dampak bagi keberhasilan atau kegagalan mereka,

dan tidak banyak dapat mereka lakukan untuk mengubahnya. Individu yang

cenderung memiliki eksternal locus of control meyakini bahwa kekuasaan orang lain,

takdir dan kesempatan merupakan faktor utama yang mempengaruhi apa yang

mereka alami, memiliki kendali yang kurang baik terhadap perilakunya sendiri,

cenderung dipengaruhi oleh orang lain, seringkali tidak yakin bahwa usaha yang

dilakukan dapat berhasil, kurang aktif mencari informasi dan pengetahuan terkait

situasi yang sedang dihadapi.

2.1.2 Teori Kepemimpinan

2.1.2.1 Pengertian Kepemimpinan

Terdapat banyak ragam pandangan tentang kepemimpinan. Antara lain

menurut Wibowo (2014, p.265) kepemimpinan pada hakikatnya adalah kemampuan

individu dengan menggunakan kekuasaannya melakukan proses mempengaruhi,

memotivasi, dan mendukung usaha yang memungkinkan orang lain memberikan

kontribusi pada pencapaian tujuan organisasi.

Menurut Setiawan dan Muhith (2013, p.19) kepemimpinan yaitu suatu upaya

mewujudkan adanya kemampuan memengaruhi untuk menggerakan, membimbing,

memimpin, dan memberi kegairahan kerja terhadap orang lain yang ada di dalam diri

pemimpin sebagai orang yang dapat memengaruhi, menggerakan, menumbuhkan

perasaan ikut serta dan tanggung jawab, memberikan fasilitas, teladan yang baik

serta kegairahan kerja terhadap orang lain.

30

Robbins and Judge (2013, p.368) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah

kemampuan mempengaruhi suatu kelompok menuju pencapaian sebuah visi atau

serangkaian tujuan. Sementara itu, Kreitner dan Kinicki (2010, p.467)

mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses di mana seorang individu

mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama.

Sedangkan Colquitt, LePine, dan Wesson (2013, p.483) mendefinisikan

kepemimpinan sebagai penggunaan kekuasaan dan pengaruh untuk mengarahkan

aktivitas pengikut ke arah pencapaian tujuan. Arah tersebut dapat mempengaruhi

interpretasi kejadian pengikut, organisasi aktivitas pekerjaan mereka, komitmen

mereka terhadap tujuan utama, hubungan mereka dengan pengikut, atau akses

mereka pada kerja sama dan dukungan dari unit kerja lain.

Terdapat kesamaan di antara banyak definisi, yaitu: (a) kepemimpinan adalah

merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain dengan menggunakan

kekuasaannya, (b) kepemimpinan adalah suatu proses interaksi antara pemimpin dan

pengikut, (c) kepemimpinan terjadi pada berbagai tingkat dalam suatu organisasi, (d)

kepemimpinan fokus pada penyelesaian tujuan bersama.

Dengan merujuk pada berbagai pendapat para ahli tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan individu dalam menggunakan

kekuasaannya melakukan proses mempengaruhi, mengarahkan, mengkoordinasikan,

memotivasi, dan mendukung usaha yang memungkinkan orang lain untuk

memberikan kontribusinya dalam pencapaian tujuan organisasi yang telah

ditetapkan.

2.1.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepemimpinan

Menurut Setiawan dan Muhith (2013, p.31) ada beberapa faktor yang

mempunyai relevansi atau pengaruh positif terhadap proses kepemimpinan dalam

organisasi, yaitu:

a) Kepribadian (personality), pengalaman masa lalu dan harapan pemimpin, hal

ini mencakup nilai-nilai, latar belakang dan pengalaman yang akan

mempengaruhi pilihan gaya kepemimpinan;

b) Harapan dan perilaku atasan;

c) Karakteristik, harapan, dan perilaku bawahan akan berpengaruh terhadap

gaya kepemimpinan;

31

d) Kebutuhan tugas, setiap tugas bawahan juga akan mempengaruhi gaya

kepemimpinan;

e) Iklim dan kebijakan organisasi mempengaruhi harapan dan perilaku

bawahan; dan

f) Harapan dan perilaku rekan.

Gambar 2. 1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepemimpinan

Sumber: Setiawan dan Muhith (2013, p.32)

Konsep mengenai faktor yang mempengaruhi kepemimpinan menurut Karim

diadopsi oleh Setiawan dan Muhith (2013, p.32) terdiri dari tiga faktor sebagai

berikut:

1) Faktor Kemampuan Individu

Dalam kepemimpinan, faktor dari pribadi individu pemimpin yang berupa

berbagai kompetensi sangat mempengaruhi proses kepemimpinannya. Secara

konsep kepemimpinan umumnya terpusat pada pribadi pemimpin dengan

berbagai kualitas atau kemampuan yang dimilikinya. Di era modern saat ini

pemimpin didasarkan pada beberapa kelebihan yang tidak dimiliki orang lain

dalam kelompoknya, seperti kecerdasan, tingkat pendidikan, bertanggung

jawab, aktivitas dan partisipasi sosial serta status ekonomi dan sosial.

2) Faktor Jabatan

Seorang pemimpin dalam berperilaku harus selalu mengetahui bagaimana

memposisikan dirinya. Contohnya seorang perwira tinggi tentunya dalam

memberikan perintah sangat berbeda gayanya dengan seorang rektor. Hal ini

terkait dengan aturan dan norma yang diberlakukan di masing-masing

organisasi. Hal penting yang perlu dipahami bahwa seorang pemimpin tidak

32

pernah bekerja sendiri tetapi selalu berada dalam lingkungan sosial yang

dinamis sehingga ia harus memilki citra tentang perilaku kepemimpinan yang

digunakan sehingga sesuai dengan situasi dan kondisi. Untuk itu pemimpin

harus bisa memahami konsep peran (role concept) dan tanggap terhadap

situasi eksternal.

3) Faktor Situasi dan Kondisi

Dalam suatu situasi atau kondisi tertentu dibutuhkan tipe kepemimpinan yang

tertentu pula. Pemimpin harus bisa memiliki fleksibilitas yang tinggi terhadap

situasi dan kondisi dari bawahannya. Jika tidak, maka yang akan muncul

bukan komitmen (kepatuhan) tetapi resistensi (perlawanan) dari para

bawahan yang menyebabkan kepemimpinan menjadi tidak efektif.

Kemampuan

Situasi Jabatan

Gambar 2. 2 Segitiga Faktor yang Mempengaruhi Kepemimpinan Sumber: Wibowo (2014, p.32)

2.1.2.3 Pengertian Kepemimpinan Transformasional

Menurut Bass dalam Robbins dan Judge (2013, p.378) kepemimpinan

transformasional adalah pemimpin yang memberikan pertimbangan dan rangsangan

intelektual yang diindividualkan dan memiliki kharisma.

Kreitner dan Kinicki (2010, p.485) menyatakan bahwa pemimpin

transformasional munimbulkan kepercayaan, mencari dan mengembangkan jiwa

kepemimpinan dalam diri orang lain, bersedia berkorban dan memiliki moral untuk

melayani, memfokuskan diri dan bawahannya pada tujuan yang melampaui

kebutuhan yang lebih mendesak dari kelompok kerja. Kepemipinan transformasional

mentransformasi karyawan untuk mencapai tujuan organisasi lebih dari kepentingan

pribadi.

Menurut Colquitt, Lepine, dan Wesson (2013, p.462) kepemimpinan

transformasional meliputi menginspirasi pengikut untuk berkomitmen terhadap visi

bersama yang memberi arti untuk pekerjaan mereka sementara juga sekaligus

Kepemimpinan

33

merangkap sebagai panutan yang membantu pengikut mengembangkan potensi dan

melihat masalah mereka sendiri dari perspektif baru. Pemimpin transformasional

dapat menghasilkan perubahan organisasi yang signifikan dan hasil kinerja karena

bentuk kepemimpinan mendorong tingkat yang lebih tinggi dari motivasi intrinsik,

kepercayaan, komitmen, dan loyalitas dari bawahan.

Pemimpin transformasional mentransformasi dan memotivasi para pengikut

dengan cara membuat mereka lebih sadar mengenai pentingnya hasil-hasil suatu

pekerjaan, mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi atau tim

daripada kepentingan diri sendiri, dan mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan mereka

yang lebih tinggi.

Dari pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa

kepemimpinan transformasional adalah pemimpin yang mampu mentransformasi

atau melakukan perubahan terhadap bawahannya untuk mencapai tujuan melalui

kharisma yang dimilikinya, fokus dan memperhatikan kebutuhan bawahan,

menginspirasi dan memotivasi karyawannya secara individual, serta menjadi panutan

dalam organisasi sehingga bawahannya bisa percaya, kagum, dan setia kepada

pemimpin yang bersangkutan.

2.1.2.4 Peran Pemimpin Transformasional

Menurut Setiawan dan Muhith (2013, p.116) peran pemimpin

transformasional adalah sebagai berikut:

1) Envisioning, pemimpin menstimulus terbentuknya visi baru organisasi yang

lebih maju;

2) Energizing, berarti kekuatan karakter yang menjadi sumber energi (spirit)

bagi anggota untuk memiliki gairah kerja dalam mewujudkan cita-cita

organisasi;

3) Enabling, pemimpin bekerja bersama dengan anggota sehingga memberikan

keyakinan akan terwujudnya cita-cita organisasi (bukan cita-cita individu).

2.1.2.5 Perbandingan Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional

Menurut Afsaneh Nahavandi dikutip dari Setiawan dan Muhith (2013, p.107)

kepemimpinan transaksional didasarkan pada konsep pertukaran antara pemimpin

dan para pengikut. Pemimpin menyediakan pengikutnya sumber daya dan

penghargaan dalam pertukaran untuk motivasi, produktivitas, dan pencapaian tugas

34

yang efektif. Kepemimpinan transaksional menekankan proses hubungan pertukaran

yang bernilai ekonomis untuk memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis sesuai

dengan kontrak yang telah mereka setujui bersama, atau pemimpin yang memotivasi

bawahannya melalui pemberian imbalan atas apa yang telah mereka lakukan, sebab

pemimpin mengasumsikan bahwa bawahan mampu untuk melakukan pekerjaannya.

Kepemimpinan transaksional menekankan pada “reward” (imbalan) dan

“punishment” (hukuman).

Menurut Bass dan Rigio dalam Setiawan dan Muhith (2013, p.110) aspek-

aspek dalam kepemimpinan transaksional adalah sebagai berikut:

1) Penghargaan Bersyarat (Contingent Reward)

Menjalankan pertukaran kontraktual antara penghargaan dan usaha,

menjanjikan penghargaan untuk kinerja yang baik dan mengakui pencapaian

yang diperoleh.

2) Manajemen Pengecualian-aktif (Management by Exception-Active)

Mengamati dan mencari penyimpangan dari aturan-aturan dan standar, serta

melakukan tindakan-tindakan perbaikan.

3) Manajemen Pengecualian-pasif (Management by Exception-Passive)

Mengintervensi hanya jika standar tidak tercapai.

4) Laissez-faire

Melepas tanggung jawab dan menghindari pengambilan keputusan.

Sedangkan pada konteks kepemimpinan tranformasional dinyatakan bahwa

untuk menjadi pemimpin yang sukses, ia harus membangkitkan komitmen

pengikutnya untuk dengan kesadarannya membangun nilai-nilai organisasi,

mengembangkan visi organisasi, melakukan perubahan, dan mencari terobosan-

terobosan baru dalam meningkatkan produktivitas organisasi.

Menurut Karim dikutip dari Wibowo (2014, p.116) sisi perbedaan antara

kepemimpinan transformasional dan transaksional adalah seperti dalam tabel berikut

ini:

35

Tabel 2. 1 Sisi Perbedaan antara Transactional dan Tranformational Leadership Uraian Leadership Transactional Leadership Transformational Leadership

Fungsi kepemimpinan

Untuk membesarkan diri dan kelompoknya atas biaya orang lain melalui kekuasaan

Untuk memberdayakan pengikut dengan kekuasaan keahlian dan keteladanan

Etos kepemimpinan Mendedikasikan usahanya untuk memperoleh imbalan/posisi yang lebih

Mendedikasikan usahanya untuk kehidupan bersama yang lebih baik

Pendekatan kepemimpinan

Posisi, kekuasaan dan sistem

Kekuasaan, keahlian dan keteladanan

Dalam mempengaruhi yang dipimpin

Kekuasaan, perintah, uang, sistem, mengembangkan interest, transaksional

Kekuasaan keahlian dan kekuasaan referensi

Cara mempengaruhi Menaklukan jiwa dan membangun kewibawaan melalui kekuasaan

Memenangkan jiwa dan membangun kharisma

Target kepemimpinan

Membangun jaringan kekuasaan

Membangun kebersamaan

Sasaran tindakan kepemimpinan

Pikiran dan tindakan yang kasat mata

Pikiran dan hati nurani

Sumber: Wibowo (2014, p.116)

Sedangkan Burn dalam Wibowo (2014, p.117) mengemukakan beberapa

perbedaan jenis pemimpin yang bergaya transaksional dan transformasional, seperti

tampak pada tabel berikut:

Tabel 2. 2 Perbedaan Jenis Pemimpin Transaksional dan Transformasional Jenis Pemimpin Transaksional Jenis Pemimpin Transformasional

1. Opinion leaders atau pemimpin opini, yaitu pemimpin dengan kemampuan untuk mempengaruhi opini publik.

1. Intellectual leaders atau pemimpin intelektual, yaitu pemimpin dengan kemampuan mentransformasi masyarakat melalui kejelasan visi.

2. Bureaucratic leaders atau pemimpin birokrasi, di mana posisi yang memegang kekuasaan atas pengikut mereka.

2. Reform leaders atau pemimpin reformasi, yaitu pemimpin bagi perubahan masyarakat dengan mengatasi satu masalah moral.

3. Party leaders atau pemimpin partai, yaitu pemimpin yang memegang jabatan politik di negara tertentu.

3. Revolutionary leaders atau pemimpin revolusioner, yaitu pemimpin yang membawa perubahan dalam masyarakat setempat dan luas melalui transformasi.

4. Legislative leaders atau pemimpin legislatif, yaitu pemimpin politik yang bekerja di belakang layar.

4. Charismatic leaders atau pemimpin kharismatik, yaitu pemimpin yang menggunakan pesona pribadi untuk membawa perubahan.

36

5. Executive leaders atau pemimpin eksekutif, yaitu sering digambarkan sebagai presiden sebuah negara, tidak harus terikat dengan partai politik atau legislator.

Sumber: Wibowo (2014, p.117)

2.1.2.6 Dimensi Kepemimpinan Transformasional

Menurut Avolio, Bass, dan Jung tahun 1997 dalam Voon et al. (2011) ada

empat dimensi kepemimpinan transformasional, yaitu:

a) Pengaruh Ideal (Idealized Influence)

Pengaruh yang ideal berkaitan dengan reaksi bawahan terhadap pemimpin.

Pemimpin dijadikan sebagai panutan, dipercaya, dihormati dan mempunyai

visi dan misi yang jelas menurut persepsi bawahan dapat diwujudkan.

b) Motivasi yang Inspiratif ( Inspirational Motivation)

Pemimpin yang inspirasional adalah seorang pemimpin yang bertindak

dengan cara memotivasi dan menginspirasi bawahan yang berarti mampu

mengkomunikasikan ekspektasi yang tinggi dari bawahannya, menggunakan

simbol-simbol untuk berfokus pada upaya bawahannya dan menyatakan

tujuan-tujuan penting secara sederhana.

c) Stimulasi Intelektual (Intellectual Stimulation)

Pemimpin mendorong bawahan untuk lebih kreatif, serta mendorong

bawahannya untuk menggunakan pendekatan-pendekatan baru yang lebih

rasional dalam pengambilan keputusan dan cermat dalam menyelesaikan

permasalahan yang ada.

d) Perhatian yang bersifat Individual (Individualized Consideration)

Pemimpin memberikan perhatian pribadi kepada bawahannya, seperti

memperlakukan mereka sebagai pribadi yang utuh, mempertimbangkan

kebutuhan dari bawahannya, serta melatih dan memberikan saran kepada

bawahannya.

2.1.3 Teori Kepuasan Kerja

2.1.3.1 Pengertian Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja menurut Hartatik (2014, p.225) adalah perasaan seseorang

terhadap pekerjaannya. Ini berarti bahwa konsepsi kepuasan kerja merupakan hasil

interaksi manusia terhadap lingkungan kerjanya. Perasaan seseorang terhadap

37

pekerjaan merupakan refleksi dari sikapnya terhadap pekerjaan. Sedangkan Wibowo

(2014, p.132) menyatakan pada hakekatnya kepuasan kerja merupakan tingkat

perasaan senang seseorang sebagai penilaian positif terhadap pekerjaannya dan

lingkungan tempat pekerjaannya. Pekerja dengan kepuasan kerja rendah mengalami

perasaan negatif ketika mereka berpikir tentang tugas mereka atau mengambil bagian

bagian dalam aktivitas pekerjaan mereka.

Mangkunegara (2013, p.117) menyatakan kepuasan kerja adalah suatu

perasaan yang menyokong diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaannya

maupun dengan kondisi dirinya. Perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan

melibatkan aspek-aspek seperti upah atau gaji yang diterima, kesempatan

pengembangan karir, hubungan dengan pegawai lainnya, penempatan kerja, jenis

pekerjaan, struktur organisasi perusahaan, dan mutu pengawasan. Sedangkan

perasaan yang berhubungan dengan dirinya, antara lain umur, kondisi kesehatan,

kemampuan, dan pendidikan.

Dermawan (2013, p.58) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu

tanggapan secara kognisi dan afeksi dari seorang karyawan terhadap segala hasil

pekerjaan atau kondisi-kondisi lain yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti gaji,

lingkungan kerja, rekan kerja, dan atasan. Sedangkan menurut Suharsono (2012,

p.107) kepuasan kerja berkaitan dengan perasaan, yaitu perasaan seseorang

(karyawan) terhadap pekerjaannya. Perasaan tersebut berkaitan dengan hal

menyenangkan atau tidak terhadap pekerjaan yang dilakukan.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja

adalah keadaan, sikap, reaksi atau respon emosional yang dihasilkan dari penilaian

atau apa yang seseorang pikirkan mengenai aspek pekerjaannya, tugas serta kondisi

fisik dan sosial dari lingkungan kerjanya.

2.1.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja menurut Dermawan (2013,

p.59) adalah sebagai berikut:

1. Faktor gaji , ini berhubungan dengan jumlah imbalan sebagai hasil dari

pelaksanaan kerja. Faktor ini akan ditinjau karyawan apakah sesuai dengan

yang apa yang telah dilakukannya.

38

2. Faktor aplikasi pekerjaan, faktor ini mengarah kepada isi pekerjaan yang

dilakukan seseorang apakah memiliki elemen yang dapat memuaskannya

sehingga dapat menciptakan kenyamanan bekerja.

3. Faktor rekan kerja , mengarah kepada rekan-rekan kerja atau kepada siapa

saja seseorang berinteraksi dengan karyawan dalam pelaksanaan pekerjaan.

Seseorang dapat merasakan rekan kerjanya sangat menyenangkan atau tidak

menyenangkan, dan tentu saja hal ini dapat berpengaruh terhadap kepuasan

kerja.

4. Faktor pemimpin, faktor ini berhubungan dengan gaya kepemimpinan

seorang pimpinan yang memiliki karakter tertentu saat memberi perintah atau

petunjuk dalam pelaksanaan kerja. Cara-cara atasan dapat menyenangkan

atau tidak, dan hal ini dapat mempengaruhi kepuasan kerja.

5. Faktor promosi atau pengembangan karir, seseorang dapat

mengembangkan karirnya melalui kenaikan jabatan. Pengembangan karir

yang dapat membentuk kepuasan kerja didasarkan pada prestasi kerja dan

harus bersifat terbuka dan jelas.

6. Faktor lingkungan kerja , faktor ini mencakup lingkungan fisik dan

psikologis dari pekerjaan.

7. Faktor produk organisasi, faktor ini mengarah kepada merek dari produk-

produk yang dihasilkan organisasi yang dapat berbentuk jasa maupun barang.

Misalnya seseorang bisa saja langsung merasakan kepuasan kerja ketika ia

bekerja di perusahaan terkenal.

Adapun dua faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja menurut

Mangkunegara (2013, p.120) adalah:

1. Faktor pegawai, yaitu kecerdasan (IQ), kecakapan khusus, umur, jenis

kelamin, kondisi fisik, pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja,

kepribadian, emosi, cara berpikir, persepsi, dan sikap kerja.

2. Faktor pekerjaan, yaitu jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat

(golongan), kedudukan, mutu pengawasan, jaminan finansial, kesempatan

promosi jabatan, interaksi sosial, dan hubungan kerja.

2.1.3.3 Pentingnya Kepuasan Kerja

Menurut Suharsono (2012, p.108) ada beberapa hal yang perlu dipahami

berkaitan dengan pentingnya kepuasan kerja dalam organisasi antara lain:

39

1. Karyawan yang tidak terpuaskan lebih cenderung “melewatkan” kerja dan

kemungkinan besar mengundurkan diri.

2. Karyawan yang terpuaskan cenderung lebih senang dan menikmati seluruh

pekerjaannya.

3. Kepuasan kerja juga terbawa dalam kehidupan karyawannya.

Setiap karyawan tidak hanya terikat pada hubungan sosial dalam perusahaan

tempatnya bekerja. Karyawan juga memiliki ikatan hubungan sosial di tempat lain

misalnya tempat tinggal atau komunitasnya di luar perusahaan. Jelas bahwa ketika

karyawan merasakan kepuasan kerja maka tidak hanya akan terlihat pada

perilakunya di lingkungan kerja saja tetapi juga dibawa ke luar dari lingkungan kerja

masing-masing karyawan. Dengan demikian perasaan positif dan negatif yang

dirasakan karyawan akan terbawa ke luar lingkungan organisasi misalnya melalui

mulut ke mulut, perilaku ataupun gaya hidupnya. Hal ini juga bisa berarti

menguntungkan bagi perusahaan karena hal ini bisa menjadi promosi tidak langsung

bagi perusahaan. Sebaliknya jika karyawan yang bersangkutan tidak merasakan

kepuasan maka hal itu akan membentuk citra yang buruk bagi perusahaan.

Selain itu, kepuasan kerja itu penting karena memiliki dampak yang dapat

mempengaruhi organisasi. Dampak ketidakpuasan pekerja dituangkan dalam model

teoritik yang dinamakan EVLN-Model (Wibowo, 2014, p.145). Model EVLN ini

terdiri dari:

1. Exit, perilaku langsung meninggalkan organisasi seperti mencari pekerjaan

lain dan mengundurkan diri.

2. Voice, secara aktif dan konstruktif mencoba berusaha untuk memperbaiki

kondisi, misalnya dengan berbicara dan mendiskusikan persoalan dengan

atasan serta menganjurkan untuk perbaikan.

3. Loyality, secara positif tetap secara optimis menunggu kondisi membaik

kemudian berbicara dengan organisasi. Mereka percaya bahwa organisasi dan

manajemen melakukan sesuatu yang benar.

4. Neglect, bertindak secara pasif dan memungkinkan kondisi menjadi semakin

buruk. Termasuk keluar dari perusahaan secara tidak baik, keterlambatan,

mengurangi usaha, dan meningkatkan tingkat kesalahan.

40

Gambar 2. 3 Respon – Respon terhadap Ketidakpuasan Kerja Sumber : Robbins dan Judge (2013, p. 83)

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dilihat dampak dari ketidakpuasan

dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Misalnya dengan adanya

ketidakpuasan kerja karyawan memutuskan untuk keluar dari perusahaan,

meningkatkan keterlambatan, menurunkan kinerjanya, dan sebagainya. Ketika

karyawan memutuskan untuk keluar dari perusahaan maka perusahaan harus

mengeluarkan biaya rekrutmen dan seleksi untuk menggantikan posisi karyawan

yang keluar dan belum tentu perusahaan dapat dengan mudah mendapatkan calon

karyawan yang sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan. Meningkatnya

keterlambatan dan penurunan kinerja jelas sekali dapat merugikan perusahaan karena

jika karyawan terlambat maka dapat menunda terselesainya pekerjaan yang harus

diselesaikan karyawan padahal perusahaan telah membayar karyawan untuk bekerja.

Jika karyawan menurunkan kinerjanya dalam perusahaan maka dapat munurunkan

kinerja perusahaan secara keseluruhan dan bisa berdampak pada tidak tercapainya

tujuan perusahaan.

2.1.3.4 Dimensi Kepuasan Kerja

Menurut Funmilola, Sola, dan Olusola (2013, p.511) ada lima dimensi dari

kepuasan kerja. Dimensi-dimensi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pay

Mencerminkan perasaan karyawan mengenai bayaran yang diterima. Dimensi

ini didasarkan pada perbandingan antara bayaran yang diinginkan dengan

bayaran yang diterima.

2. Promotion

Mencerminkan perasaan karyawan mengenai kebijakan promosi perusahaan

dan pelaksanaannya, termasuk apakah promosi sering diberikan, dilakukan

dengan jujur, dan berdasarkan pada kemampuan.

41

3. Sepervision

Mencerminkan perasaan karyawan mengenai atasan mereka, termasuk

apakah atasan mereka kompeten, sopan, komunikator yang baik, tidak malas,

dan tidak menjaga jarak.

4. Work itself

Mencerminkan perasaan karyawan mengenai tugas dan pekerjaan mereka,

termasuk apabila tugasnya menantang, menarik, dihormati, dan

memanfaatkan keterampilan penting daripada sifat pekerjaan yang

menjenuhkan, berulang-ulang dan tidak nyaman.

5. Work condition

Mencerminkan perasaan karyawan mengenai kondisi pekerjaan mereka,

termasuk apakah dalam pekerjaan yang mereka lakukan terdapat hal-hal yang

menyenangkan seperti rekan kerja yang bisa diajak bekerja sama atau

lingkungan kerja yang nyaman, tidak ribut dan bising, bersih, tidak sempit,

pencahayaan cukup, dan sebagainya.

2.1.4 Teori Kinerja Karyawan

2.1.4.1 Pengertian Kinerja Karyawan

Menurut Suwarto (2014, p.76) kinerja ialah tentang perilaku atau apa yang

dilakukan karyawan, bukannya apa yang diproduksi atau apa hasil kerja mereka.

Sedangkan Abdullah (2014, p.3) menyatakan bahwa kinerja adalah prestasi kerja

yang merupakan hasil dari implementasi rencana kerja yang dibuat oleh suatu

institusi yang dilaksanakan oleh pimpinan dan karyawan (SDM) yang bekerja di

institusi itu baik pemerintah maupun perusahaan (bisnis) untuk mencapai tujuan

organisasi.

Mangkunegara (2013, p.67) menyatakan bahwa kinerja adalah hasil kerja

secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam

melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja karyawan

adalah pencapaian atau prestasi kerja yang dapat dilihat secara nyata serta memiliki

peran dalam organisasi menyangkut kualitas dan kuantitas hasil kerja serta proses-

proses yang terjadi dalam organisasi, dapat diukur berdasarkan indikator dan fungsi

dalam periode waktu yang telah ditetapkan.

42

2.1.4.2 Faktor-faktor Penentu Kinerja

Menurut Suwarto (2014, p.77) ada tiga faktor yang membuat orang bisa

melakukan dengan lebih baik daripada yang lain, yakni:

1) Pengetahuan deklaratif

Pengetahuan deklaratif adalah informasi tentang fakta-fakta dan hal-hal

termasuk informasi mengenai persyaratan tugas yang telah diberikan, label,

prinsip, dan tujuan.

2) Pengetahuan prosedural

Pengetahuan prosedural ialah kombinasi antara apa yang harus dilakukan dan

bagaimana cara melakukannya, pengetahuan ini mencakup keterampilan-

keterampilan yang bersifat kognitif (cognitive), fisik, perspektual, motor, dan

interpersonal.

3) Motivasi

Motivasi melibatkan tiga jenis perilaku pilihan sebagai berikut:

a. Pilihan untuk mencurahkan usaha dan upaya.

b. Pilihan tingkat upaya.

c. Pilihan untuk tetap berusaha meningkatkan upaya.

Ketiga hal tersebut harus ada supaya dapat mencapai tingkatan tinggi.

Dengan kata lain, ketiga hal tersebut mempunyai hubungan multiplikatif.

2.1.4.3 Membangun Kinerja Karyawan

Menurut Abdullah (2014, p.49) beberapa pilar utama yang harus kita letakkan

sebagai tonggak penyangga untuk membangun kinerja karyawan antara lain adalah:

1) Kompetensi

Kompetensi mengandung tiga pengertian, yaitu:

a) Karakteristik dasar (underlying characteristic)

Kompetensi bagian dari kepribadian yang melekat pada diri

seseorang, serta perilakunya dapat diprediksi pada berbagai keadaan

tugas pekerjaan.

b) Hubungan kausal (causally related)

Kompetensi dapat menyebabkan atau digunakan untuk memprediksi

kinerja seseorang. Artinya jika seseorang mempunyai kompetensi

Kinerja = pengetahuan deklaratif + pengetahuan prosedural + motivasi

43

yang tinggi maka ia akan mempunyai kinerja yang tinggi pula (sebab

akibat).

c) Kriteria (criterion referenced)

Yang dijadikan sebagai acuan, bahwa kompetensi secara nyata akan

memprediksikan seseorang dapat bekerja dengan baik, terukur dan

spesifik atau terstandar.

Sedangkan komponen yang membentuk kompetensi adalah sebagai

berikut:

- Pengetahuan

- Keterampilan

- Konsep diri

- Ciri diri

- Motif

2) Pemberdayaan

Memberdayakan karyawan (sumber daya manusia) dalam suatu organisasi

merupakan hal yang penting karena kinerja suatu organisasi sangat ditentukan

oleh sumber daya manusia yang ada di dalamnya. Pemberdayaan dapat

mendorong terjadinya inisiatif dan responsif terhadap respon-respon dalam

persoalan-persoalan yang dihadapi, sehingga seluruh masalah yang dihadapi

dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat. Beberapa hal penting mengenai

pemberdayaan adalah:

a) Pemberian tanggung jawab dan wewenang kepada karyawan;

b) Menciptakan kondisi saling percaya antara manajemen dan karyawan;

c) Adanya employee involvement yaitu melibatkan karyawan dalam

pengambilan keputusan.

Jika karyawan diberdayakan dengan tepat maka akan muncul motivasi dan

komitmen dari karyawan yang bersangkutan.

3) Kompensasi

Kompensasi adalah apa yang karyawan terima sebagai balasan dari pekerjaan

yang diberikannya. Kompensasi ada yang berbentuk uang, dan ada pula yang

tidak berbentuk uang. Tujuan dari pemberian kompensasi menurut Werther

dan Davis dikutip dari Abdullah (2014, p.75) adalah sebagai berikut:

a) Memperoleh personel yang berkualitas

b) Mempertahankan karyawan yang ada

44

c) Memastikan keadilan

d) Menghargai perilaku yang diinginkan

e) Mengawasi biaya

f) Mematuhi peraturan

g) Memfasilitasi saling pengertian

h) Efisiensi administrasi

4) Pembinaan Karyawan

Pembinaan (coaching) adalah upaya untuk membantu karyawan mencapai

kinerja yang lebih baik. Pembinaan merupakan bagian dari siklus

berkelanjutan yang bisa digunakan manajer untuk memperbaiki kinerja

karyawan di tempat kerja. Pembinaan adalah proses yang bisa membantu

setiap orang untuk memaksimalkan kinerjanya. Apabila seorang karyawan

sukses, organisasi juga akan sukses. Seiring dengan terjadinya perubahan

dalam organisasi baik bersifat internal dan eksternal maka pembinaan secara

berkelanjutan menjadi suatu hal yang penting untuk dilaksanakan.

2.1.4.4 Kriteria Standar Kinerja

Untuk mengukur indikator kinerja diperlukan kriteria (ukuran). Kriteria

(ukuran) yang biasa dipakai untuk mengukur kinerja karyawan menurut Wirawan

dikutip dari Abdullah (2014, p.116) adalah :

1) Kuantitatif (seberapa banyak)

2) Kualitatif (seberapa baik)

3) Ketepatan waktu melaksanakan tugas/menyelesaikan produk.

4) Efektivitas penggunaan sumber daya organisasi.

5) Cara melakukan pekerjaan.

6) Efek atas suatu upaya yang ada hubungannya dengan akibat akhir.

7) Metode melaksanakan tugas (yang ada hubungannya dengan UU, kebijakan,

prosedur, metode, dan peraturan).

8) Standar sejarah, hubungannya dengan masa lalu.

9) Standar nol (tidak akan terjadi sesuatu, tidak beresiko).

45

2.1.4.5 Dimensi Kinerja Karyawan

Menurut Suwarto (2014, p.80) dimensi kinerja ada dua, yaitu:

1. Kinerja Tugas

Kinerja tugas didefinisikan sebagai berikut:

- Aktivitas-aktivitas produksi dan operasional dalam perusahaan

dilakukan dengan baik untuk menciptakan pelayanan yang

memuaskan.

- Aktivitas yang bisa membantu dengan proses perubahan, yakni

dengan mengisi suplai bahan mentah, mendistribusikan produk yang

sudah selesai, atau memberikan perencanaan penting, koordinasi,

supervisi, atau fungsi staf yang bisa membuat organisasi berfungsi

secara efektif dan efisien.

2. Kinerja Kontekstual

Kinerja kontekstual didefinisikan sebagai para pelaku yang memberikan

sumbangan untuk efektivitas organisasi dengan menciptakan suatu kondisi

lingkungan yang baik, di mana kinerja tugas bisa berjalan dengan baik pula.

Kinerja kontekstual mencakup perilaku-perilaku sebagai berikut:

- Tetap melakukan dengan antusias dan berusaha sekuat tenaga

sebagaimana yang diperlukan untuk menyelesaikan tugasnya sendiri

dengan sukses.

- Sukarela melakukan aktivitas tugas yang merupakan bagian tugas

yang tidak resmi.

- Membantu dan bekerja sama dengan orang lain.

- Mengikuti aturan dan prosedur organisasi.

- Menyokong, mendukung, dan membela objektivitas organisasi.

46

2.2 Penelitian Terdahulu

Tabel 2. 3 Penelitian Terdahulu No Nama Penulis Judul Objek Penelitian Keterangan

1. M.L. Voon; M.C. Lo; K.S. Ngui; & N.B. Ayob

The influence of leadership styles on employees’ job satisfaction in public sector organizations in Malaysia (2011)

200 employees of public sector executives in Malaysia

Gaya kepemimpinan transformasional memiliki hubungan yang lebih kuat terhadap kepuasan kerja dibandingkan dengan gaya kepemimpinan transaksional.

2. L.Vijayashree & M. V. Jagdischchandra

Locus of Control and Job Satisfaction: PSU Employees (2011)

100 employees of various public sector companies

Locus of control internal memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja. Sedangkan locus of control external memiliki hubungan yang positif dengan kepuasan kerja dan tidak signifikan.

3. Wai Kwan (Elaine) Lau

The Impacts of Personality Traits and Goal Commitment on Employees' Job Satisfaction (2012)

224 students in a university in the southwest United States.

Locus of control berhubungan secara positif dengan kepuasan kerja.

4. Sundi K Effect of Transformational Leadership and Transactional Leadership on Employee Performance of Konawe Education Department at Southeast Sulawesi Province (2013)

Employee of Konawe Education Department at Southeast Sulawesi Province.

Gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional berpengaruh positif langsung dan signifikan terhadap kinerja pegawai.

5. Oyebamiji Florence Funmilola, Kareem Thompson Sola, dan Ayeni Gabriel Olusola

Impact of Job Satisfication Dimensions on Job Performance in A Small and Medium Enterprise in Ibadan, South Western, Nigeria (2013)

A small and medium enterprise in Ibadan, Southwestern, Nigeria.

Kepuasan kerja memiliki dampak yang signifikan terhadap kinerja karyawan.

47

Sumber: Penulis, 2014

2.3 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan pembahasan sudah dipaparka di atas, maka kerangka penelitian

ini ditunjukkan oleh model gambar berikut ini:

Sumber : Penulis, 2014

2.4 Rancangan Hipotesis

Menurut Sekaran (2014, p.135), hipotesis bisa didefinisikan sebagai

hubungan yang diperkirakan secara logis di antara dua variabel atau lebih variabel

yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji. Hipotesis dalam

penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh Locus of Control Internal (X1) terhadap Kepuasan Kerja

(Y) pada PT. Olahbumi Mandiri?

H0 : Locus of Control Internal tidak memiliki pengaruh terhadap Kepuasan

Kerja.

Ha : Locus of Control Internal memiliki pengaruh terhadap Kepuasan

Kerja.

2. Bagaimana pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional (X2) terhadap

Kepuasan Kerja (Y) pada PT. Olahbumi Mandiri?

H0 : Gaya Kepemimpinan Transformasional tidak memiliki pengaruh

terhadap Kepuasan Kerja.

Ha : Gaya Kepemimpinan Transformasional memiliki pengaruh terhadap

Kepuasan Kerja.

Locus of Control Internal

(X1) Kinerja Karyawan

(Z)

Kepuasan Kerja

(Y)

Gaya Kepemimpinan Transformasional

(X2)

Gambar 2. 4 Kerangka Pemikiran

48

3. Bagaimana pengaruh Locus of Control Internal (X1) dan Gaya Kepemimpinan

Transformasional (X2) secara simultan terhadap Kepuasan Kerja (Y) pada PT.

Olahbumi Mandiri?

H0 : Locus of Control Internal dan Gaya Kepemimpinan Transformasional

secara simultan tidak memiliki pengaruh terhadap Kepuasan Kerja.

Ha : Locus of Control Internal dan Gaya Kepemimpinan Transformasional

secara simultan memiliki pengaruh terhadap Kepuasan Kerja.

4. Bagaimana pengaruh Locus of Control Internal (X1) terhadap Kinerja Karyawan

(Z) pada PT. Olahbumi Mandiri?

H0 : Locus of Control Internal tidak memiliki pengaruh terhadap Kinerja

Karyawan.

Ha : Locus of Control Internal memiliki pengaruh terhadap Kinerja.

5. Bagaimana pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional (X2) terhadap

Kinerja Karyawan (Z) pada PT. Olahbumi Mandiri?

H0 : Gaya Kepemimpinan Transformasional tidak memiliki pengaruh

terhadap Kinerja Karyawan.

Ha : Gaya Kepemimpinan Transformasional memiliki pengaruh terhadap

Kinerja Karyawan.

6. Bagaimana pengaruh Kepuasan Kerja (Y) terhadap Kinerja Karyawan (Z) pada

PT. Olahbumi Mandiri?

H0 : Kepuasan Kerja tidak memiliki pengaruh terhadap Kinerja Karyawan.

Ha : Kepuasan Kerja memiliki pengaruh terhadap Kinerja Karyawan.

7. Bagaimana pengaruh Locus of Control Internal (X1), Gaya Kepemimpinan

Transformasional (X2), dan Kepuasan Kerja (Y) secara simultan terhadap

Kinerja Karyawan (Z) pada PT. Olahbumi Mandiri?

H0 : Locus of Control Internal, Gaya Kepemimpinan Transformasional,

dan Kepuasan Kerja tidak memiliki pengaruh terhadap Kinerja

Karyawan.

Ha : Locus of Control Internal, Gaya Kepemimpinan Transformasional,

dan Kepuasan Kerja memiliki pengaruh terhadap Kinerja Karyawan.