bab 2 kajian pustaka 2.1 keluargaeprints.umm.ac.id/58626/3/bab 2.pdf · 2.1 keluarga 2.1.1 definisi...
TRANSCRIPT
5
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Keluarga
2.1.1 Definisi Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari
kepala keluarga dan beberapa orang yang tinggal satu atap dan
memiliki rasa ketergantungan satu sama lain. Sedangkan menurut
Friedman, keluarga merupakan sekelompok orang yang dihubungkan
oleh perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang memiliki keterikatan
aturan dan emosional, serta memiliki peran masing-masing sebagai
bagian dari keluarga (Wiratri, 2018).
2.1.2 Bentuk Keluarga
Keluarga dapat dikelompokkan menjadi beberapa bentuk
berdasarkan jenis anggota keluarganya, yaitu nuclear family, extended
family, blended family, serial family, composite family, cohabitation
family, conjungal family, keluarga Dyad, single parent, dan commune
family (Setyawan, 2016).
Nuclear family adalah bentuk keluarga dengan anggota keluarga
yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya. Extended family ialah
keluarga yang terdiri dari tiga generasi yang tinggal bersama dibawah
satu atap (satu rumah), yaitu ayah, ibu, anak-anak, paman, tante,
kakek, nenek, dan keponakan. Blended family adalah keluarga yang
6
terdiri dari janda atau duda yang menikah kembali dan membesarkan
anak dari perkawinan sebelumnya. Serial family merupakan keluarga
yang terdiri dari laki-laki atau perempuan yang sudah menikah
berkali-kali namun hanya sekali memiliki nuclear family dalam
hidupnya (Efendi & Makhfudli, 2009).
Composite family merupakan keluarga dengan perkawinan
poligami yang hidup bersama dalam satu rumah. Cahabitation family
ialah keluarga atau pasangan yang tinggal bersama tanpa ikatan
perkawinan. Conjungal family adalah nuclear family yang memiliki
interaksi dengan kerabat dari salah satu atau dua pihak orang tua.
Keluarga “Dyad” adalah keluarga yang terdiri dari suami dan istri
tanpa anak. Single Parent adalah rumah tangga yang terdiri dari salah
satu orang tua (ayah atau ibu) dan anak (kandung atau angkat) yang
disebabkan karena perceraian atau kematian. Commune family adalah
beberapa pasangan keluarga yang tidak ada hubungan kekerabatan dan
tinggal bersama dalam satu rumah, dengan latar belakang pengalaman
yang sama, fasilitas yang sama, dan membesarkan anak bersama
melalui aktivitas kelompok (Setyawan, 2016).
2.1.3 Fungsi Keluarga
Menurut Friedman dalam Depkes RI, (2016), fungsi keluarga ada
lima, yaitu fungsi afektif, fungsi sosialisasi, fungsi reproduksi, fungsi
ekonomi, dan fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan.
Fungsi afektif (the affective function) adalah fungsi keluarga yang
paling mendasar. Fungsi afektif berguna untuk perkembangan
7
individu dan pemenuhan kebutuhan psikososial anggota keluarga.
Keberhasilan dalam melaksanakan fungsi afektif tampak pada
kebahagiaan dan kegembiraan dari seluruh anggota keluarga. Setiap
anggota keluarga saling mempertahankan iklim yang positif, perasaan
saling menyayangi, saling menguatkan, dan saling memiliki. Fungsi
afektif merupakan sumber energi yang menentukan kebahagiaan
keluarga. Kenakalan anak, perceraian, atau masalah keluarga sering
timbul sebagai akibat tidak terpenuhinya fungsi afektif (Setyawan,
2016).
Fungsi sosialisasi merupakan tempat untuk melatih anak serta
mengembangkan kemampuannya dalam berinteraksi dengan orang
lain di luar rumah. Sosialisasi dimulai sejak lahir, dan keluarga
merupakan tempat pertama suatu individu untuk belajar bersosialisasi.
Anggota keluarga belajar mengenai disiplin, norma-norma, budaya di
dalam suatu keluarga maupun budaya di masyarakat sekitar, serta
belajar tentang perilaku melalui hubungan dan interaksi dalam
keluarga. Fungsi reproduksi (the reproduction function) bertujuan
untuk mempertahankan generasi dan melanjutkan kelangsungan
keluarga. Fungsi ekonomi (the economic function) merupakan fungsi
keluarga untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan tempat untuk
mengembangkan kemampuan masing-masing individu untuk
meningkatkan penghasilan serta memenuhi kebutuhan keluarga seperti
makan, tempat tinggal, dan pakaian. Fungsi keluarga ini sukar
8
dipenuhi oleh keluarga dengan kondisi ekonomi di bawah garis
kemiskinan (Setyawan, 2016).
Fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan (the health care
function) adalah fungsi keluarga yang bertujuan untuk
mempertahankan kondisi kesehatan anggota keluarga sehingga tetap
dapat memiliki produktivitas yang tinggi. Kemampuan keluarga dalam
memberikan asuhan keperawatan dapat mempengaruhi tingkat
kesehatan keluarga dan individu. Fungsi perawatan kesehatan ini
sangat penting bagi tenaga kesehatan keluarga yang profesional
sebagai pertimbangan vital dalam pengkajian keluarga. Fungsi ini
dikembangkan sebagai tugas keluarga di bidang kesehatan.
Diharapkan keluarga dapat merawat anggota keluarga lain yang
sedang sakit dan dapat menentukan kapan anggota keluarga yang sakit
perlu dimintakan pertolongan tenaga profesional. Tingkat
pengetahuan keluarga mengenai sehat-sakit juga memengaruhi
perilaku keluarga untuk menyelesaikan masalah kesehatan keluarga
(Efendi & Makhfudli, 2009).
Tugas keluarga dibidang kesehatan antara lain (Depkes RI, 2016):
1. Mengenali masalah kesehatan keluarga.
2. Memutuskan tindakan kesehatan yang tepat untuk keluarga.
3. Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan.
4. Mempertahankan suasana rumah yang menguntungkan untuk
kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarganya.
9
5. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di
sekitarnya bagi keluarga.
2.1.4 Family Assessment Device (FAD)
Family Assessment Device adalah suatu instrumen yang dapat
mengukur fungsi keluarga dengan cara menilai enam dimensi dari
McMaster Model of Family Functioning (MMFF). McMaster Model
of Family Functioning merupakan konseptualisasi dari keluarga yang
didasarkan pada klinis, MMFF ini dapat mendeskripikan struktur dan
organisasi dari kelompok keluarga dan pola komunikasi antara
anggota keluarga yang dapat membedakan antara fungsi keluarga
sehat dan tidak sehat (Mansfield, et al., 2015).
Enam dimensi dari FAD tersebut adalah pemecahan masalah
(problem solving), komunikasi (communication), peran (roles), respon
afektif (affective responsiveness), keterlibatan afektif (affective
involvement), pengendalian tingkah laku (behavior control),
sementara skala ketujuh menilai fungsi umum (general functioning)
(Mansfield, et al., 2015).
a. Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah mengacu pada kemampuan untuk
memecahkan masalah instrumental dan afektif. Masalah
instrumental berkaitan dengan masalah teknis dalam kehidupan
sehari-sehari seperti memutuskan lokasi tempat tinggal dan
pengaturan keuangan. Sedangkan masalah afektif merupakan
10
masalah yang berhubungan dengan pengalaman emosi dan
perasaan (Mansfield, et al., 2015).
Keluarga dengan fungsi keluarga yang sehat akan membuat
langkah-langkah untuk menyelesaikan masalahnya, yaitu dengan
cara mendiskusikan permasalahan, mengkomunikasikan
permasalahan dengan anggota keluarga yang lain, serta
memutuskan tindakan yang tepat (Ryan, et al., 2012).
b. Komunikasi
Ada dua aspek yang dapat dilihat dalam komunikasi, yaitu
jelas atau terselubung, dan langsung atau tidak langsung. Pada
komunikasi yang jelas atau terselubung dapat dilihat apakah isi
dari pesan tersebut disampaikan melalui pernyataan yang jelas
atau hanya sebagai pernyataan kamuflase, ambigu, atau samar-
samar. Pada komunikasi yang dilihat dalam kontinum langsung
atau tidak langsung dapat dilihat apakah pernyataan tersebut
langsung ditujukan pada orang yang tepat atau dialihkan kepada
orang lain (Ryan, et al., 2012).
Berdasarkan pembagian area komunikasi tersebut, dapat
diidentifikasikan empat cara berkomunikasi, yaitu jelas dan
langsung, jelas dan tidak langsung, terselubung dan langsung,
terselubung dan tidak langsung. Keluarga dengan fungsi keluarga
yang sehat, komunikasi dilakukan secara langsung dan jelas pada
kedua area instrumental dan afektif. Sedangkan komunikasi yang
11
tidak efektif adalah komunikasi yang kurang jelas dan tidak
langsung (Ryan, et al., 2012).
c. Peran
Peran mengacu pada cara di mana keluarga mengalokasikan
tanggung jawab, mengawasi masalah kesehatan dan
perkembangan, dan memelihara hubungan dengan keluarga besar
(Mansfield, et al., 2015).
d. Respon Afektif
Respon afektif menilai kapasitas anggota keluarga untuk
mengalami spektrum penuh emosi manusia, dan melakukannya
dengan cara yang sesuai dengan apa yang dituntut situasi
(Mansfield, et al., 2015).
e. Keterlibatan afektif
Keterlibatan afektif mengacu pada cara anggota keluarga
menunjukkan minat dan keterlibatan satu sama lain dan dalam
kepentingan satu sama lain (Mansfield, et al., 2015).
Ada enam tipe keterlibatan dalam anggota keluarga: 1)
kurang terlibat, yaitu tidak ada keterlibatan satu sama lain; 2)
keterlibatan tanpa perasaan, yaitu melibatkan hanya sedikit
ketertarikan satu sama lain, hanya sebatas untuk pengetahuan
saja, 3) keterlibatan narsistik, keterlibatan sebatas perilaku atau
aktivitas dan memiliki manfaat bagi dirinya sendiri; 4)
keterlibatan empatik, mau terlibat dengan anggota keluarga lain,
demi kepentingan anggota keluarga lain; 5) keterlibatan yang
12
berlebihan; 6) keterlibatan simbolitik, yaitu keterlibatan yang
ekstrem dan patologis atau terlihat mengganggu hubungan.
Keluarga dengan fungsi keluarga yang sehat memiliki tipe
keterlibatan yang empatik (Ryan, et al., 2012).
f. Kontrol Perilaku
Kontrol perilaku mengacu pada kemampuan anggota
keluarga untuk menetapkan dan mematuhi aturan dan standar
perilaku (Mansfield, et al., 2015).
g. Fungsi umum
Fungsi umum adalah ukuran kepuasan dengan fungsi
keluarga umum (Mansfield, et al., 2015).
Menurut Beavers dalam Senthil, (2016), berdasarkan hasil
penilaian fungsi keluarga, suatu keluarga dapat digolongkan menjadi
functional family (keluarga fungsional), mid-range family (fungsi
keluarga moderate), dan dysfunctional family (keluarga disfungsional).
a. Keluarga fungsional
Keluarga fungsional atau keluarga bahagia memiliki ciri
yaitu: 1) saling memberikan pengertian yang terpadu dan
memberikan kepedulian antar anggota keluarga; 2) anggota
keluarga yang telah dewasa mampu hidup dengan nilai
kemanusiaan yang jelas, komunikasi efektif, dan mampu berbagi
kewenangan saat menegosiasikan keputusan; 3) semua anggota
keluarga mampu mendorong tujuan yang mereka miliki serta
memiliki kebebasan emosional saat tinggal dan berhubungan
13
dengan keluarga; 4) mampu menyelesaikan masalah dalam
keluarga dengan baik dan mengatasi krisis yang sedang menimpa
keluarga (Senthil, 2016).
b. Fungsi keluarga moderat
Keluarga dengan fungsi moderat memiliki ciri sebagai
berikut: 1) keluarga sering mengalami fluktuasi antara roman
bahagia dan sedih yang bercampur aduk; 2) mewakili mayoritas
keluarga sebagaimana diterangkan oleh para peneliti dan penerapi
keluarga; 3) keluarga mempunyai kekuatan dan mudah terkena
kritik; 4) dokter dapat efektif membantu mengatasi masalah
kesehatan pada keluarga dengan kategori ini, dan dapat
menyampaikan edukasi mengenai kesehatan tanpa mudah terkena
kritik (Senthil, 2016).
c. Keluarga disfungsional
Keluarga disfungsional memiliki ciri-ciri yaitu: 1)
komunikasi dalam keluarga tidak teratur dan cenderung kaku; 2)
anggota keluarga bertingkah dalam cara-cara yang menunjukkan
adanya kecemasan mendasar yang kronis dan secara teratur
mengajak pada sesuatu yang negatif seperti permusuhan atau
perubahan kritis; 3) anggota keluarga dapat peduli dan penuh
perhatian ketika hidup dalam kondisi yang baik dan tenang, namun
ketika stres mereka berubah menggunakan cara saling membalas,
menghindari tanggung jawab dengan cara mengakhiri hidup,
menyerang, ataupun melarikan diri; 4) nilai-nilai personal
14
mungkin diadopsi tidak secara kritis dari figur yang berwibawa
atau teman atau kawan sebaya, kemungkinan lain nilai-nilai
terbentuk dan tingkah laku terpola akibat reaksi perlawanan yang
menyertai atau nilai aktual dari pengaruh orang-orang; 5) satu hal
yang ekstrim, mereka sering mengekspresikan perasaan yang
sangat negatif dengan cara menciptakan suasana panas dan
timbullah atmosfer konflik dalam keluarga. Hal ekstrim
kebalikannya, mereka diam, kasar, atau menyembunyikan
perasaan, menciptakan suasana dingin, atmosfer tanpa perasaan
yang menutupi emosi mendasar yang sering timbul; 6) kesulitan
menguraikan stres (tekanan) (Senthil, 2016).
Sebagian besar keluarga memiliki beberapa periode waktu
ketika fungsi keluaga terganggu oleh keadaan stres (kematian
dalam keluarga, penyakit serius yang diderita oleh orangtua, dan
lain-lain). Keluarga yang sehat cenderung kembali berfungsi
normal setelah krisis berlalu. Namun, dalam keluarga yang
disfungsional, masalah cenderung menjadi kronis dan terkadang
kebutuhan dari anak menjadi tidak terpenuhi. Pola perilaku orang
tua yang negatif cenderung dominan dalam kehidupan anak-anak
mereka (Senthil, 2016).
2.1.5 Siklus Kehidupan Keluarga
Menurut Duval dalam Setyawan, (2016), siklus kehidupan
keluarga terdiri dari delapan tahap, yaitu:
15
1) Tahap awal pernikahan
Pada tahap ini pasangan baru saja menikah dan belum
mempunyai anak. Tugas perkembangan yang dihadapi adalah
membina hubungan pernikahan yang saling memuaskan,
membina hubungan persaudaraan yang harmonis dengan keluarga
lain, teman, dan kelompok sosial, serta mendiskusikan mengenai
keluarga berencana (Setyawan, 2016).
Masalah kesehatan yang mungkin akan dihadapi pada tahap
ini, antara lain: kehamilan yang tidak direncanakan, gangguan
kehamilan, disfungsi seksual, dan penyakit kelamin.
2) Tahap keluarga dengan bayi
Pada tahap ini keluarga telah memiliki bayi yang berusia
kurang dari 30 bulan. Tugas perkembangan yang dihadapi adalah
mempersiapkan diri dan pasangan untuk menjadi orang tua yang
baik, beradaptasi dengan perubahan yang terjadi karena
bertambahnya anggota keluarga, mempertahankan hubungan
pernikahan yang saling memuaskan, serta memperluas jaringan
persaudaraan dengan keluarga besar dengan menambah peran-
peran orangtua, kakek, dan nenek (Goldenberg, 2013).
Masalah kesehatan yang mungkin akan dihadapi pada tahap
ini, antara lain: disfungsi seksual, gangguan nutrisi, dan cidera.
16
3) Tahap keluarga dengan anak usia pra sekolah (anak berusia 2-6
tahun)
Tugas perkembangan yang dihadapi adalah memenuhi
kebutuhan anggota keluarga (rumah, privasi, keamanan, dan
ruang bermain), melatih anak untuk bersosialisasi, beradaptasi
dengan anak yang baru lahir sementara kebutuhan anak yang lain
juga harus terpenuhi, mempertahankan hubungan yang sehat di
dalam keluarga (hubungan orangtua dan anak, serta hubungan
perkawinan) dan di luar keluarga (keluarga besar dan komunitas)
(Setyawan, 2016).
Masalah kesehatan yang mungkin akan dihadapi pada tahap
ini, antara lain: penyakit-penyakit menular yang sering terjadi
pada anak, luka gores karena jatuh, keracunan, luka bakar, dan
lain sebagainya.
4) Tahap keluarga dengan anak usia sekolah (anak berumur 6-13
tahun)
Tugas perkembangan yang dihadapi adalah berkomunikasi
terbuka antara orangtua dan anak, memberikan pengajaran kepada
anak untuk dapat berinteraksi maupun mengenal lingkungan di
luar rumah, mengembangkan hubungan yang baik dengan teman
sebaya, dan memotivasi semangat serta prestasi belajar anak.
Tugas untuk pasangan suami istri adalah untuk mempertahankan
keharmonisan dengan cara mempertahankan hubungan
pernikahan yang memuaskan. Orangtua juga harus memenuhi
17
kebutuhan keluarga yang meningkat, seperti biaya sekolah, biaya
kehidupan, dan biaya kesehatan (Setyawan, 2016).
Masalah kesehatan yang mungkin akan dihadapi pada tahap
ini, antara lain: penyakit menular, gangguan tingkah laku,
gangguan gigi, kecacatan seperti defek penglihatan, wicara, serta
pendengaran.
5) Tahap keluarga dengan anak usia remaja (anak berumur 13-20
tahun)
Tugas perkembangan yang dihadapi adalah memberikan
kebebasan yang seimbang dengan tanggung jawab karena remaja
mulai memiliki otonomi dalam bersikap, membertahankan
hubungan intim dalam keluarga, serta membertahankan
keterbukaan antara orangtua dan anak (Setyawan, 2016).
Masalah kesehatan yang mungkin akan dihadapi pada tahap
ini, antara lain: penyalahgunaan narkoba dan alkohol dengan
segala akibatnya, kecelakaan lalu lintas, serta kehamilan yang
tidak dikehendaki.
6) Tahap keluarga melepas anak usia dewasa muda (anak mulai
meninggalkan rumah)
Tugas perkembangan yang dihadapi adalah memperluas
jaringan keluarga dengan masuknya anggota keluarga baru
melalui ikatan perkawinan anak, membantu anak untuk mandiri
sebagai keluarga baru dalam masyarakat, mempertahankan
keharmonisan pasangan, penataan kembali peran orang tua dan
18
kegiatan di rumah, serta memberikan perawatan kepada orangtua
lanjut usia dan sakit-sakitan dari suami maupun istri (Goldenberg,
2013).
Masalah kesehatan yang mungkin akan dihadapi pada tahap
ini, antara lain: menopause, gangguan metabolisme (diabetes
mellitus, obesitas, hiperkolipidemia, hipertensi).
7) Tahap orang tua usia pertengahan
Tugas perkembangan yang dihadapi adalah mempertahankan
kesehatan individu dan pasangan usia pertengahan,
mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan para
orangtua lansia dan anak-anak, memperkokoh hubungan
perkawinan (Setyawan, 2016).
Masalah kesehatan yang mungkin akan dihadapi pada tahap
ini, antara lain: stoke, gangguan jantung, gangguan metabolisme,
gangguan liver, dan lain-lain.
8) Tahap keluarga usia tua
Tahap ini telah memasuki masa pensiun. Pada tahap ini
suami istri telah berusia lanjut sampai meninggal dunia. Tugas
perkembangan yang dihadapi adalah mempertahankan suasana
kehidupan rumah tangga yang harmonis dan saling
menyenangkan, mempertahankan ikatan keluarga antar generasi,
mempertahankan keakraban pasangan dan saling merawat,
melakukan life review masa lalu, beradaptasi dengan perubahan
19
yang akan terjadi, seperti pendapatan yang menurun, menurunnya
kekuatan fisik, dan kehilangan pasangan (Goldenberg, 2013).
Masalah kesehatan yang mungkin akan dihadapi pada tahap
ini, antara lain: gangguan kognitif, depresi, dan psikosomatis.
2.2 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
2.2.1 Definisi
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah kelompok penyakit
heterogen dan kompleks yang disebabkan oleh berbagai patogen yang
menyerang saluran pernapasan mulai dari faring hingga ke alveoli
(Khalek & Salam, 2016). Pengertian akut adalah infeksi yang
berlangsung sampai 14 hari (Rahajoe, et al., 2015). Infeksi pernapasan
akut adalah kombinasi dari infeksi saluran pernapasan atas dan bawah.
Anak-anak dengan infeksi saluran pernapasan akut, setidaknya
memiliki tanda-tanda berikut; batuk, pilek, napas cepat, sulit bernapas
dan retraksi dinding dada (Taksande & Yeole, 2016).
Saluran pernapasan secara anatomis dibagi menjadi sistem
pernapasan atas dan bawah, dengan pita suara yang berfungsi sebagai
garis pemisahnya. Sistem pernapasan atas terdiri dari saluran udara
dari lubang hidung sampai pita suara di laring termasuk sinus
paranasal dan telinga tengah. Infeksi pada saluran pernapasan bagian
atas diantaranya seperti rinitis, faringitis, tonsilitis, rinosinusitis, dan
otitis media. Saluran pernapasan bawah mencakup kelanjutan saluran
udara dari trakea dan bronkus ke bronkiolus dan alveoli. Infeksi
saluran pernapasan bagian bawah dapat melibatkan saluran udara,
20
paru-paru parenkim, atau ruang pleura. Infeksi pada saluran
pernapasan bawah diantaranya seperti epiglotitis, croup
(laringotrakeobronkitis), bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia
(Khalek & Salam, 2016).
2.2.2 Etiologi
Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh berbagai penyebab seperti
virus, bakteri, jamur, mycoplasma, dan lain-lain. Infeksi Saluran
Pernapasan Akut bagian atas umumnya disebabkan karena virus,
sedangkan ISPA bagian bawah dapat disebabkan karena bakteri ,
virus, dan mycoplasma. Infeksi Saluran Pernapasan Akut bagian
bawah yang disebabkan oleh bakteri umumnya mempunyai
manifestasi klinis yang berat sehingga menimbulkan beberapa
masalah dalam penanganannya (Ramani, et al., 2016).
Organisme yang paling umum diketahui menyebabkan ISPA pada
anak-anak termasuk bakteri seperti Staphylococcus aureus,
Streptococcus pyogenes, Pneumococci, Haemophilus influenza, dan
Klebsiella pneumonia. Virus penyebab ISPA antara lain adalah
golongan Adenovirus, Rhinovirus, Koronavirus, Influenza,
Miksovirus, Mikoplasma, Pikornavirus, dan lain-lain (Ramani, et al.,
2016).
2.2.3 Patofisiologi
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan adanya interaksi
antara virus dengan tubuh. Virus masuk sebagai antigen ke dalam
saluran pernapasan menyebabkan silia pada permukaan saluran napas
21
bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau dengan
tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal,
maka virus akan merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran
pernapasan. Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan
timbulnya batuk kering. Kerusakan pada lapisan dinding saluran napas
menyebabkan aktifitas kelenjar mukus meningkat, sehingga terjadi
pengeluaran cairan mukosa yang melebihi normal. Rangsangan cairan
yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk (Resch, et al.,
2009).
Infeksi virus merupakan faktor predisposisi terjadinya infeksi
sekunder bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan
mekanisme mukosiliaris yang merupakan mekanisme perlindungan
pada saluran pernapasan terhadap infeksi bakteri sehingga
memudahkan bakteri patogen pada saluran pernapasan atas seperti
haemophylus influenza, streptococcus pneumonia, dan staphylococcus
menyerang mukosa yang rusak tersebut (Resch, et al., 2009).
Adanya infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus
bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran napas sehingga
timbul gejala sesak napas dan batuk. Invasi bakteri ini dipermudah
oleh fakor-faktor seperti malnutrisi dan kedinginan. Suatu laporan
penelitian menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan infeksi
virus pada saluran napas dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada
bayi dan anak (Resch, et al., 2009).
22
Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa menyerang saluran
napas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya
ditemukan pada saluran pernapasan atas, setelah terjadi infeksi virus,
dapat menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia
bakteri (Resch, et al., 2009).
2.2.4 Faktor Risiko
Kesehatan balita dipengaruhi oleh empat faktor sesuai dengan
teori Hendrik L. Blum, yaitu faktor perilaku, biomedis, lingkungan,
dan pelayanan kesehatan. Faktor perilaku meliputi perilaku kebersihan
dan gaya hidup orang tua. Faktor biomedis meliputi kondisi kesehatan
dari tubuh balita. Faktor lingkungan meliputi pemukiman, limbah,
pencemaran, dan kebersihan daerah sekitar. Sedangkan faktor
pelayanan kesehatan meliputi akses pelayanan kesehatan, pengobatan,
serta jaminan kesehatan (Depkes RI, 2018).
Sedangkan menurut Syahidi, (2016), secara umum ada tiga
faktor risiko penyebab terjadinya ISPA pada balita, yaitu faktor
lingkungan, faktor psikobiologi (karakteristik biologi) anak, serta
faktor perilaku orang tua/ keluarga. Faktor lingkungan meliputi
pencemaran udara dalam rumah, kondisi fisik rumah, kepadatan
hunian rumah, dan tinggal bersama orang yang menderita ISPA
(droplet infection). Pencemaran udara dalam rumah antara lain
seperti asap rokok, asap dari pembakaran kayu bakar untuk memasak,
serta kebiasaan menggunakan obat nyamuk bakar didalam rumah.
Faktor lingkungan ini juga mencakup lingkungan sosial seperti
23
pendidikan orang tua, pengetahuan orang tua, pekerjaan serta
pendapatan keluarga (Tazinya, et al., 2018).
Faktor psikobiologi anak meliputi umur anak, berat badan lahir,
vitamin A, status imunisasi, dan status gizi. Usia disini mempengaruhi
host. Menurut penelitian, status kerentanan anak di bawah 2 tahun
belum sempurna dan lumen saluran napas yang masih sempit. Berat
badan lahir balita berpengaruh terhadap ISPA, karena bayi dengan
berat lahir rendah akan menyebabkan pembentukan zat anti kekebalan
kurang sempurna. Riwayat pemberian vitamin A juga mempengaruhi
ISPA, karena pemberian vitamin A dapat meningkatkan titer antibodi
yang spesifik dan tampaknya tetap berada dalam nilai yang cukup
tinggi (Taksande & Yeole, 2016).
Anak yang diimunisasi lengkap dilindungi terhadap berbagai
infeksi pernapasan seperti difteri, pertusis dan komplikasi campak.
Anak-anak yang tidak diimunisasi lengkap beresiko terkena ISPA
(Taksande & Yeole, 2016). Malnutrisi telah terbukti mempengaruhi
perkembangan imunitas seluler dan humoral (Ujunwa & Thecla,
2014). Penipisan timolimfatik dapat terjadi pada anak-anak yang
kekurangan gizi. Hal ini menyebabkan imunitas yang dimediasi sel
yang rusak menyebabkan infeksi gram negatif dan sepsis. Demikian
aksi bakterisida leukosit dapat dipengaruhi oleh penurunan enzim dan
imunoglobulin yang abnormal (Ramani, et al., 2016).
Sedangkan faktor perilaku berhubungan dengan pencegahan
dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita dalam hal
24
ini adalah praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan
oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya (Syahidi, et al, 2016).
2.2.5 Klasifikasi
2.2.5.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut Atas
a. Rinitis
Rinitis disebut juga dengan common cold, salesma, coryza,
atau cold, merupakan penyakit ISPA tersering pada anak. Penyebab
tersering rinitis adalah Rhinovirus, virus Parainfluenza, Respiratory
syncytial virus (RSV), dan Coronavirus. Manifestasi klinis rinitis
berupa pilek, hidung tersumbat, bersin, nyeri tenggorok, batuk, dan
juga dapat disertai dengan atau tanpa demam. Karena penyebab
terseringnya dalah virus, rinitis dapat sembuh spontan. Dapat
diberikan tatalaksana nonmedikamentosa berupa elevasi kepala saat
tidur, dan terapi suportif cairan yang adekuat. Apabila gejala yang
ditimbulkan terlalu mengganggu, dapat diberikan obat simtomatis,
seperti pemberian Asetaminofen atau ibuprofen untuk
menghilangkan demam, tetes hidung salin untuk mengurangi gejala
pilek dan hidung tersumbat (Rahajoe, et al., 2015).
b. Faringitis, Tonsilitis, Tonsilofaringitis Akut
Faringitis akut adalah peradangan akut membran mukosa
faring atau sekitarnya yang berlangsung sampai 14 hari. Penyebab
faringitis bisa berasal dari bakteri maupun virus. Bakteri yang
paling sering menyebabkan faringitis adalah Streptokokus beta
hemolitikus grup A (SBHGA). Sedangkan virus yang dapat
25
menyebabkan faringitis adalah Adenovirus, Rhinovirus, dan virus
Parainfluenza (Rahajoe, et al., 2015).
Faringitis akut yang disebabkan virus memiliki gejala seperti
rinorea, suara serak, batuk, konjungtivitis, dan diare. Sedangkan
gejala khas dari faringitis akut yang disebabkan bakteri
Streptokokus adalah nyeri tenggorokan dengan awitan mendadak
disertai mual muntah, disfagia, demam, faring hiperemis, tonsil
bengkak dengan eksudasi, kelenjar getah bening pada leher anterior
bengkak dan nyeri, uvula bengkak dan merah, ekskoriasi hidung
disertai lesi impetigo sekunder, ruam skarlatina, serta petekie
palatum mole (Rahajoe, et al., 2015).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Baku emas penegakan
diagnosis faringitis bakteri atau virus adalah dari pemeriksaan
kultur apusan tenggorok. Terapi suportif yang dapat diberikan
adalah istirahat cukup dan pemberian cairan yang sesuai.
Pemberian gargles (obat kumur) dan lozenges (obat hisap) dapat
meringankan keluhan nyeri tenggorok. Apabila terdapat keluhan
nyeri yang berlebih atau demam, dapat diberikan parasetamol atau
ibuprofen. Terapi antibiotik hanya diberikan untuk faringitis akut
akibat bakteri (Rahajoe, et al., 2015).
c. Otitis Media
Otitis media merupakan suatu inflamasi pada telinga tengah
yang berhubungan dengan efusi telinga tengah. Otitis media terjadi
26
karena aerasi telinga tengah yang terganggu, biasanya disebabkan
karena fungsi tuba eustasius yang terganggu (Rahajoe, et al., 2015).
Otitis media akut memiliki onset gejala dan tanda klinis yang
cepat, seperti nyeri telinga, demam, gangguan pendengaran,
iritabel, anoreksia, atau juga muntah. Diagnosis otitis media akut
dibuat berdasarkan pada pemeriksaan membran timpani. Dari
pemeriksaan otoskopi didapatkan gerakan membran timpani yang
berkurang, cembung, kemerahan, dan keruh, dapat dijumpai sekret
yang purulen. Sebelum didapatkan hasil uji sensitivitas, amoksisilin
oral merupakan antibiotik pilihan awal. Terapi suportif lain dapat
diberikan antara lain analgetik, antipiretik, dan dekongestan
(Rahajoe, et al., 2015).
Otitis media yang disertai efusi ditandai dengan ditemukannya
efusi telinga tengah yang asimtomatik. Seringkali ditemukan
membran timpani yang retraksi, keruh, dan mobilitasnya yang
terganggu. Efusi kronis yang bilateral dan gangguan pendengaran
dapat diberikan terapi dekongestan dan antihistamin. Efusi akut dan
sub akut dapat diberikan antibiotik (Rahajoe, et al., 2015).
d. Rinosinusitis
Rinitis alergik merupakan faktor predisposisi pertama
terjadinya rinosinusitis paranasal, sedangkan ISPA atas lainnya
merupakan faktor predisposisi kedua. Berikut adalah pembagian
rinosinusitis (Rahajoe, et al., 2015):
27
1. Rinosinusitis akut, merupakan infeksi sinus dengan resolusi
gejala yang komplit dalam waktu 12 minggu. Akut apabila
gejala kurang dari 30 hari dan sub-akut bila gejala diantara 30-
90 hari (12 minggu).
2. Rinosinusitis kronik, merupakan infeksi sinus dengan gejala
ringan-sedang yang menetap lebih dari 12 minggu.
3. Rinosinusitis akut berulang, merupakan beberapa episode akut
yang diselingi masa sembuh di antara 2 episode.
Tabel 2.1 Gejala dan tanda rinosinusitis pada anak Rinosinusitis Akut
Non-severe Rinosinusitis Akut
Severe Rinore Rinore purulen
(kental, keruh, opaq) Kongesti hidung Kongesti hidung Batuk Nyeri wajah atau
sakit kepala Sakit kepala, nyeri wajah, iritabilitas
Edema periorbital
Tidak demam atau sub febris
Demam tinggi (≥39oC)
(Rahajoe, et al., 2015)
Tatalaksana medis yang maksimal meliputi ketepatan
pemberian antibiotik, irigasi nasal dengan salin, steroid topikal, dan
dekongestan (Rahajoe, et al., 2015).
2.2.5.2 Infeksi Saluran Pernapasan Akut Bawah
a. Epiglotitis
Epiglotitis merupakan infeksi yang sangat serius dari epiglottis
dan struktur supraglotis, yang berakibat obstruksi jalan napas akut
dan menyebabkan kematian jika tidak diobati. Epiglotitis hampir
28
selalu disebabkan oleh Hemophilus influenza tipe b (Hib). Gejala
yang dapat ditemui berupa demam tinggi mendadak dan berat,
nyeri tenggorokan, sesak napas, dan diikuti dengan gejala obstruksi
saluran respiratori yang progesif (Rahajoe, et al., 2015).
Tabel 2.2 Perbandingan epiglotitis dan sindrom croup Karakteristik Epiglotitis Croup
Usia Semua usia 6 bulan-6 tahun Awitan Mendadak Perlahan Lokasi Supraglotis Subglotis Suhu Tubuh Demam tinggi Demam sedang Disfagia Berat Ringan atau tidak ada Dispnea Ada Ada Drooling Ada Ada Batuk Jarang Khas Gambaran radiologis
Positive thumb sign Positive steeple sign
(Rahajoe, et al., 2015)
Diagnosis epiglotitis ditegakkan dengan ditemukannya
epiglottis yang besar, bengkak, dan berwarna merah ceri, dengan
pemeriksaan langsung atau pun laringoskopi. Pada pemeriksaan
radiologis dapat terlihat gambaran thumb sign (Rahajoe, et al.,
2015).
(Rahajoe, et al., 2015)
Gambar 2.1
Gambaran radiologis epiglotitis
29
b. CROUP (Laringotrakeobronkitis Akut)
Croup mencakup suatu grup heterogen yang mengenai laring,
infra atau subglotis, trakea, dan bronkus. Virus tersering yang
menyebabkan croup adalah Human parainfluenza virus tipe 1
(HPIV-1), HPIV-2, 3, dan 4, Adenovirus, virus Influenza A dan B,
virus campak, dan RSV . Gejala yang dapat ditemukan adalah suara
serak, batuk menggonggong, stridor inspirasi, dengan atau tanpa
adanya obstruksi jalan napas. Croup dikelompokkan menjadi dua
kelompok, yaitu:
1. Viral croup, terdapat gejala prodormal infeksi respiratori,
gejala obstruksi saluran respiratori berlangsung selama 3
hingga 5 hari.
2. Spasmodic croup, terdapat faktor atopik tanpa gejala
prodormal, anak tiba-tiba mengalami gejala obstruksi saluran
pernapasan terutama pada malam hari menjelang tidur.
Tatalaksana yang dapat dilakukan adalah pemberian terapi
inhalasi berupa uap dingin atau nebulasi epinefrin, dan
kortikosteroid berupa Dexametason atau nebulisasi Budesonid.
Apabila dengan terapi tersebut tidak membaik, untuk mengatasi
obstruksi jalan napas dilakukan intubasi endotrakeal atau
pemberian kombinasi oksigen-helium (Rahajoe, et al., 2015).
c. Bronkitis Akut
Bronkitis akut merupakan proses inflamasi selintas yang
mengenai trakea serta bronkus. Gejala utama yang paling menonjol
30
adalah batuk. Batuk mulanya kering dan keras, kemudian
berkembang menjadi batuk ringan dan produktif, bisa disertai
keluhan nyeri dada pada keadaan yang lebih berat (Rahajoe, et al.,
2015).
Bronkitis akut umumnya disebabkan oleh virus dan akan
membaik tanpa terapi dalam dua minggu. Terapi suportif yang
dapat diberikan untuk bronkitis akut virus adalah istirahat yang
cukup, cairan yang adekuat, serta kelembaban udara yang cukup.
Sedangkan untuk bronkitis akut yang disebabkan oleh bakteri dapat
diberikan antibiotik seperti eritromisin (Rahajoe, et al., 2015).
d. Bronkiolitis
Bronkiolitis ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus.
Penyebab terseringnya adalah Respiratory syncytial virus (RSV).
Gejala awal dari Bronkiolitis adalah batuk, pilek ringan, dan
demam. Kemudian akan timbul batuk dengan sesak napas setelah
satu hingga dua hari. Selanjutnya dapat ditemukan gejala
penurunan nafsu makan, wheezing, sianosis, merintih, dan muntah
setelah batuk. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan takikardi,
takipnea, suhu tubuh diatas 38,5oC, napas cuping hidung, dan
retraksi interkostal. Pada foto rontgen toraks terdapat gambaran
infiltrat, hiperinflasi, dan dapat ditemukan gambaran atelektasis
(Rahajoe, et al., 2015).
Terapi suportif yang dapat diberikan adalah pemberian
oksigen, minimal handling, cairan intravena, penyesuaian suhu
31
lingkungan, dan nutrisi yang baik. Setelah itu dapat diberikan
bronkodilator, kortikosteroid, ribavirin, serta pencegahan dengan
vaksin RSV, humanized RSV monoclonal antibody (Palivizumab),
atau RSV immunoglobuline (Rahajoe, et al., 2015).
e. Pneumonia
Pneumonia merupakan inflamasi yang mengenai parenkim
paru, Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia adalah
Streptococcus pneumonia, Staphylococcus aureus, dan Hemophilus
influenzae. Sedangkan virus yang terbanyak ditemukan adalah
RSV, Rhinovirus, dan virus Parainfluenza. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan gambaran klinis, yang menunjukkan keterlibatan
sistem pernapasan, serta gambaran radiologis. Prediktor paling kuat
pada pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala
berikut: batuk, takipnea, napas cuping hidung, ronki, retraksi, dan
suara napas melemah. Tatalaksana yang dilakukan adalah diberikan
antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Untuk gejala demam
dan nyeri dapat diberikan antipiretik dan analgetik.
2.2.6 Pencegahan Infeksi Saluran Pernapasan Akut
Tindakan pencegahan ISPA dapat berupa upaya peningkatan daya
tahan tubuh dan perbaikan gizi yaitu dengan cara makan makanan
bergizi, minum air yang cukup, dan istirahat yang cukup. Kunjungi
pelayanan kesehatan atau beri pengobatan bila mulai muncul gejala-
gejala ISPA. Tempat tinggal harus memiliki sirkulasi udara yang baik,
kepadatan hunian yang baik dan tidak terlalu sesak ataupun terasa
32
penuh, serta pastikan anak mendapatkan imunisasi yang lengkap
(Sukandarrumidi, 2010).
Cara pencegahan lainnya adalah dengan menghindari
mikroorganisme pathogen dengan cara menjaga kebersihan tangan,
menggunakan alat pelindung diri misalnya masker untuk menghindari
droplet infection, menciptakan lingkungan yang bersih, dan
menghindarkan anak dari asap yang membuatnya sulit bernapas.
Sedangkan pada orang dewasa atau orang tua juga sebaiknya
menggunakan etika batuk dengan cara menutup mulut dengan sapu
tangan saat batuk (Kutter, et al., 2018).
Pencegahan ISPA dengan pendekatan keluarga juga diperlukan.
Keluarga perlu diedukasi mengenai pentingnya menjalankan fungsi
keluarga yang baik dan mampu menjalankan tugas keluarga dalam
bidang kesehatan dengan maksimal (Depkes RI, 2016).
2.3 Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Balita
Anak Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai Anak Balita
adalah anak yang telah menginjak usia diatas satu tahun atau biasa digunakan
perhitungan bulan yaitu usia 12-59 bulan (Infodatin, 2014).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut merupakan penyakit utama penyebab
kematian bayi dan balita di Indonesia. Dari beberapa hasil survei diketahui
bahwa 80 sampai 90% dari seluruh kasus kematian ISPA disebabkan karena
Pneumonia (Syahidi, et al., 2016).
Kelompok usia 6-23 bulan adalah kelompok usia paling rentan untuk
mengalami ISPA (Nasution, et al., 2009). Sumber lain menyebutkan bahwa
33
period prevalence penyakit ISPA yang tinggi terjadi pada kelompok usia 1-4
tahun (Depkes RI, 2013).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut menjadi salah satu alasan tersering yang
membuat balita dibawa ke rumah sakit atau puskesmas untuk menjalani
perawatan inap maupun rawat jalan. Sistem kekebalan tubuh yang masih
rentan merupakan faktor pemicu balita mudah terserang penyakit
(Danusantoso, 2012). Daya tahan tubuh yang rentan ditambah dengan
berbagai paparan seperti gangguan asap dari pabrik dan lokasi rumah di
daerah rawan banjir, serta berbagai faktor risiko seperti status gizi, imunisasi,
ASI, berat lahir bayi, dapat mempermudah timbulnya penyakit ISPA pada
balita (Nasution, et al., 2009).
Peran orang tua juga penting dalam penanganan penyakit ISPA pada
balita, termasuk peran orang tua dalam perawatan anak. Orang tua harus
mampu mengenali kondisi anak, menentukan sikap terkait kondisi kesehatan
anak, memahami dampak negatif maupun komplikasi yang mungkin terjadi
dari kondisi anak. Orang tua juga berperan dalam pencegahan ISPA. Infeksi
Saluran Pernapasan Akut dapat dicegah dengan mengetahui penyakit ISPA,
mengatur pola makan balita, menciptakan lingkungan yang nyaman, dan
menghindari faktor pencetus (Sukarto, et al., 2016).
2.4 Hubungan Fungsi Keluarga terhadap Infeksi Saluran Pernapasan Akut
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mansfield, 2015, FAD dapat
dijadikan sebagi alat untuk mengukur fungsi dari sebuah keluarga. Keenam
dimensi dari FAD dapat mendeteksi adanya masalah dalam keluarga. Temuan
34
ini penting untuk dokter umum yang memberlakukan pendekatan keluarga
dalam penanganan masalah kesehatan.
Penanganan ISPA dengan pendekatan keluarga dapat dimulai dengan
edukasi atau bimbingan kepada keluarga untuk dapat memperbaiki atau
menguatkan fungsi keluarga, sehingga dapat mengurangi masalah kesehatan
yang dipicu dari adanya masalah dalam keluarga (Roso, et al., 2015).
Pendekatan ini juga akan memperbaiki sistem asuhan keperawatan keluarga
serta memperkuat fungsi keluarga yaitu fungsi pemeliharaan kesehatan.
Dokter juga perlu mengedukasi keluarga mengenai tugas keluarga dalam
bidang kesehatan (Depkes RI, 2016).
Dengan fungsi keluarga yang baik dan fungsi pemeliharaan kesehatan
yang dijalankan dengan maksimal, keluarga akan lebih memberikan perhatian
kepada balitanya dengan cara memberikan asupan gizi yang baik, melakukan
imunisasi lengkap, pencegahan dan penanganan yang tepat ketika balita sakit,
memiliki akses yang baik dengan penyedia layanan kesehatan, serta
memperbaiki perekonomian keluarga agar dapat memenuhi kebutuhan
keluarga dengan baik. Semua hal tersebut dapat menghambat faktor risiko
penyebab terjadinya ISPA.
Kementerian Kesehatan RI menekankan adanya pendekatan keluarga
dalam penanganan masalah kesehatan, hal ini tertuang dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019
(Ferdiansyah, 2016). Pendekatan keluarga yang dilakukan oleh pemerintah
adalah melakukan pengembangan dari kunjungan rumah oleh puskesmas dan
35
perluasan dari upaya Perawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas), yang
meliputi kegiatan berikut (Depkes RI, 2016):
1. Kunjungan keluarga untuk pendataan/pengumpulan data Profil Kesehatan
Keluarga dan peremajaan (updating) pangkalan datanya.
2. Kunjungan keluarga dalam rangka promosi kesehatan sebagai upaya
promotif dan preventif.
3. Kunjungan keluarga untuk menindaklanjuti pelayanan kesehatan dalam
gedung.
4. Pemanfaatan data dan informasi dari Profil Kesehatan Keluarga untuk
pengorganisasian/ pemberdayaan masyarakat dan manajemen Puskesmas.