bab 2 data dan analisa 2.1 sumber data literatur bukuthesis.binus.ac.id/doc/bab2/2010-2-00141-ds bab...

22
5 BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data 2.1.1 Literatur Buku 1. “Tionghoa di Batavia dan Huru Hara 1740” karangan Johannes Theodorus Vermeulen 2. “Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina” karangan Ong Hok Ham 3. “Tionghoa Indonesia dalam Krisis” karangan Charles A. Coppel 4. “Tionghoa dalam Pusaran Politik” karangan Benny G. Setiono 5. “Hoakiau di Indonesia” karangan Pramoedya Ananta Toer 6. "Motion Graphic Design" karangan Jon Krasner 7. "Successful Scriptwriting" karangan Jurgen Wolff dan Kerry Cox 8. "Universal Principles of Design" karangan William Lidwell, Kritina Holden, dan Jill Butler. 2.1.2 Literatur Internet 1. http://siubanci.blogspot.com/2009/02/pembantaian-1740.html 2. http://id.wikipedia.org/wiki/VOC 3. http://www.csmonitor.com/2006/0602/p01s02-ussc.html 4. FPS Magazine issue March 2005

Upload: duongtruc

Post on 29-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Literatur Bukuthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2010-2-00141-ds bab 2.pdfberbagai belahan dunia, baik Timur maupun Barat. Di jalur perdagangan Hindia

5  

  

BAB 2

DATA DAN ANALISA

2.1 Sumber Data

2.1.1 Literatur Buku

1. “Tionghoa di Batavia dan Huru Hara 1740” karangan Johannes Theodorus

Vermeulen

2. “Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina” karangan Ong Hok Ham

3. “Tionghoa Indonesia dalam Krisis” karangan Charles A. Coppel

4. “Tionghoa dalam Pusaran Politik” karangan Benny G. Setiono

5. “Hoakiau di Indonesia” karangan Pramoedya Ananta Toer

6. "Motion Graphic Design" karangan Jon Krasner

7. "Successful Scriptwriting" karangan Jurgen Wolff dan Kerry Cox

8. "Universal Principles of Design" karangan William Lidwell, Kritina Holden, dan

Jill Butler.

2.1.2 Literatur Internet

1. http://siubanci.blogspot.com/2009/02/pembantaian-1740.html

2. http://id.wikipedia.org/wiki/VOC

3. http://www.csmonitor.com/2006/0602/p01s02-ussc.html

4. FPS Magazine issue March 2005

Page 2: BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Literatur Bukuthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2010-2-00141-ds bab 2.pdfberbagai belahan dunia, baik Timur maupun Barat. Di jalur perdagangan Hindia

6  

  

2.2 Data Historis

2.2.1 Gambaran Kehidupan Awal Masyarakat Tionghoa di Batavia

Pada masa-masa awal penjelajahan samudera dan perdagangan internasional

melalui samudera, perlu diketahui bahwa para pelaut dan saudagar bangsa

Tiongkok telah memiliki hubungan dagang dengan saudagar-saudagar lain dari

berbagai belahan dunia, baik Timur maupun Barat. Di jalur perdagangan Hindia

Belanda – Tiongkok sendiri, sudah ada populasi Tionghoa yang menetap di

Banten dan menjadi makelar serta pedagang, yang memperoleh pasokan secara

reguler dari kapal-kapal dagang Tiongkok. Jatuhnya dinasti Ming (1368-1644)

dan berdirinya dinasti Ch’ing (1644-1911) dan dibukakannya kembali

perdagangan dengan Asia Tenggara mendorong arus imigrasi ini. Di Banten

sendiri, keberadaan orang-orang Tionghoa mendatangkan keuntungan bagi

Sultan Banten karena pengetahuan pertanian yang dibagikan kepada penduduk

setempat dan memajukan perdagangan di kesultanan. Sebelum kedatangan kaum

VOC, hubungan antara orang-orang Tionghoa dengan pribumi di Indonesia

cukup harmonis.

Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila didapati populasi orang

Tionghoa di pesisir Jawa yang merupakan jalur dagang yang ramai dikunjungi

oleh pedagang. Sebelum kedatangan orang Belanda, orang Tionghoa di

Indonesia hidup damai dengan penduduk setempat. Mereka hidup berdagang,

bertani, dan menjadi tukang. Pada umumnya mereka tidak membawa istri, dan

menikah dengan perempuan pribumi. Dari begitu lahirlah keturunan peranakan.

Mereka menyukai hidup damai dan menghindari keributan.

Page 3: BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Literatur Bukuthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2010-2-00141-ds bab 2.pdfberbagai belahan dunia, baik Timur maupun Barat. Di jalur perdagangan Hindia

7  

  

Awal mula keberadaan orang-orang Tionghoa di Batavia tidak bisa lepas

dari pengaruh Souw Beng Kong yang terkenal sebagai pedagang yang dihormati

di Banten. Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi gubernur jenderal VOC pada

tahun 1619, ia mendekati Souw Beng Kong untuk memimpin eksodus orang-

orang Tionghoa dari Banten Ke Batavia. Ketika terjadi pembongkaran paksa

rumah-rumah Tionghoa di Banten karena mengganggu pemandangan sultan,

Souw Beng Kong memimmpin eksodus banyak orang Tionghoa ke Batavia,

yang secara berangsur-angsur membuat Banten menjadi ditinggalkan para

pedagang mancanegara.

Banyaknya jumlah orang Tionghoa secara berangsur-angsur membutuhkan

kepengurusan sendiri, dan Souw Beng Kong ditunjuk sebagai kapten Tionghoa

pertama pada 11 Oktober 1619. Di bawah kepemimpinannya, jumlah penduduk

di Batavia meningkat pesat. Pada tahun 1622 bertambah menjadi 1000 orang,

dan pada tahun 1740, populasi orang Tionghoa di Batavia telah bertumbuh

mencapai tidak kurang dari 15,000 jiwa. Di Batavia, orang-orang Tionghoa

mengisi pekerjaan sebagai distributor perdagangan dan makelar, juga mengisi

pekerjaan-pekerjaan lainnya seperti penyuling arak, bertukang, dan lain-lain.

Warga Tionghoa tidak saja memenuhi kebutuhan sehari-hari Batavia, namun

juga memiliki andil dalam membangun benteng dan bangunan di kota, yang

membuat keberadaan mereka krusial dalam perluasan dan pembangunan

Batavia. Untuk membujuk kedatangan orang Tionghoa, tentu saja VOC

memberikan iming-iming dan menciptakan iklim yang kondusif bagi mereka,

bahkan menempatkan mereka sebagai masyarakat golongan kedua, dengan

Page 4: BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Literatur Bukuthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2010-2-00141-ds bab 2.pdfberbagai belahan dunia, baik Timur maupun Barat. Di jalur perdagangan Hindia

8  

  

masyarakat pribumi di golongan ketiga (akan dibahas di sub-bab berikutnya).

Tindakan ini terbukti merupakan salah satu faktor yang menimbulkan

kesenjangan sosial antara kaum Tionghoa dan pribumi.

Kelenteng Tionghoa di Batavia

Gambar 2.1

Sebuah toko Tionghoa di sudut kota Batavia

Gambar 2.2

Page 5: BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Literatur Bukuthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2010-2-00141-ds bab 2.pdfberbagai belahan dunia, baik Timur maupun Barat. Di jalur perdagangan Hindia

9  

  

2.2.2 Sejarah Awal Kedatangan VOC

Pada 23 November 1596, armada Belanda dibawah komando Cornelis de

Houtman berlabuh di pelabuhan Banten, dan merupakan tonggak sejarah

munculnya orang Belanda di Nusantara. Pada tahun 1602, dibentuklah

Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang merupakan kongsi dagang

Belanda, yang memiliki wewenang penuh untuk merekrut pasukan, mencetak

mata uang sendiri, membangun artileri, mengangkat pejabat, dan membuat

perjanjian serta menyatakan perang maupun gencatan senjata. Namun izin

terpenting yang dimiliki VOC adalah izin memonopoli perdagangan dengan

seluruh Asia.

Pada tahun 1611, VOC membuat sebuah perjanjian dengan Banten untuk

mendirikan sebuah kantor dagang sekaligus rumah tinggal dan gudang. Ketika

Jan Pieterzoon Coen dilantik pada tahun 1618, kantor dagang yang sebelumnya

berada di Banten dipindahkan ke Jayakarta dan diperkuat dengan benteng

pertahanan dan meriam. Pada tahun 1619, Coen yang sangat berambisi

menaklukkan Jayakarta, melancarkan serangan dan menaklukkannya pada

tanggal 30 Mei. Kota yang baru didirikannya dan pada tahun 1621 dinamakan

Batavia, sebagai kenangan akan suku Batavier yang merupakan nenek moyang

bangsa Belanda.

Sejak saat itu, Coen melancarkan pembangunan terhadap Batavia, dan kota

ini dijadikan sebagai pusat militer dan administrasi yang lokasinya strategis dan

mudah mencapai jalur-jalur perdagangan ke Indonesia Timur, Timur Jauh, dan

Eropa. Pentingnya peranan Batavia sebagai markas VOC di Hindia Belanda,

Page 6: BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Literatur Bukuthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2010-2-00141-ds bab 2.pdfberbagai belahan dunia, baik Timur maupun Barat. Di jalur perdagangan Hindia

10  

  

serta hubungan dagang yang menguntungkan dengan Tiongkok, menjadi alasan

didatangkannya banyak orang Tionghoa ke Batavia. Dalam salah satu suratnya,

Coen berkata: “Perdagangan ini harus dilanjutkan, bahkan bila diperlukan waktu

sepuluh tahun atau satu abad sekalipun.”

Hal ini secara otomatis menempatkan peranan orang Tionghoa menjadi besar

di Batavia. Kebutuhan akan adanya hubungan perdagangan dengan Tiongkok

membuat perlunya keberadaan orang Tionghoa di Batavia, yang merupakan

penghubung antara kompeni dengan para pedagang dari Tiongkok. Coen

memberi perintah untuk mendorong sebanyak mungkin migrasi orang Tionghoa

ke Batavia, bahkan bila perlu menggunakan kapal angkut kompeni. Untuk

mendorong hal itu, ia bahkan memblokir jalur perdagangan ke Malaka, Manila,

Makau, dan Pescadores. Pada 9 Juli 1622, dikeluarkan perintah kepada

Commandeur Cornelis Reyersz untuk pergi ke Tiongkok dan meningkatkan

hubungan dagang dengan mereka, selain itu juga diperintahkan untuk menculik

orang-orang Tionghoa dari kapal-kapal yang ditemui dan dibawa ke Batavia!

Dengan kedatangan VOC, hubungan orang Tionghoa dengan penduduk

setempat yang harmonis berangsur-angsur menjadi renggang. VOC memandang

hubungan antara etnis Tionghoa dengan penduduk setempat dapat menghalangi

kekuasaan mereka, sehingga dimulailah tindakan memberikan eksklusifitas

terhadap orang Tionghoa. Mereka diberikan posisi yang lebih tinggi dalam strata

sosial di Batavia, yaitu sebagai vreemde-oosterlingan (timur asing) dan menjadi

kaum yang lebih tinggi dibanding pribumi, sementara kaum VOC dan orang-

orang Eropa menduduki posisi paling tinggi dalam strata sosial masyarakat.

Page 7: BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Literatur Bukuthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2010-2-00141-ds bab 2.pdfberbagai belahan dunia, baik Timur maupun Barat. Di jalur perdagangan Hindia

11  

  

Orang-orang Tionghoa diberi hak untuk memungut pajak, menjual candu, dan

membuka rumah judi.

Peta Batavia dibawah kekuasaan J.P. Coen

Gambar 2.3

Galangan kapal VOC di Batavia

Gambar 2.4

Page 8: BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Literatur Bukuthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2010-2-00141-ds bab 2.pdfberbagai belahan dunia, baik Timur maupun Barat. Di jalur perdagangan Hindia

12  

  

2.2.3 Degradasi Keuangan dan Insiden Sebelum Pembantaian

VOC sendiri mendapatkan sebagian besar pemasukannya dari perdagangan

di sekitar Asia, bukan dari hubungannya dengan Kerajaan Belanda sendiri. Dan

sudah barang tentu kaum Tionghoa di Batavia memiliki hubungan dengan

Tiongkok. Simbiosis yang mutual ini seharusnya mempererat hubungan orang

Tionghoa dan VOC di Batavia, namun kenyataannya tidak sesederhana itu.

Kenyataan bahwa orang Tionghoa menjadi kekuatan bisnis yang besar di

Batavia dan menjadi saingan dari kaum Eropa menimbulkan rasa tidak senang

dari sebagian pihak dari kaum koloni. Keberadaan orang-orang Tionghoa

berkemampuan ekonomi rendah yang didatangkan sebagi kuli di bidang

pertanian dan perkebunan (sektor gula dikuasai oleh mayoritas penduduk

Tionghoa pada masa itu, yang termasuk sektor ekonomi yang besar di Batavia)

menambah beban kepadatan populasi penduduk.

Kondisi perekonomian Batavia setelah 1725 cenderung memburuk. VOC

mengalami kekalahan dalam mempertahankan hegemoni perdagangan Eropa di

Hindia Timur dengan kongsi dagang Inggris, yaitu East India Company (EIC).

Hasil pembukuan menunjukkan kerugian berturut-turut. Selama satu abad, hanya

ada satu tahun keuntungan saja. Pada tahun 1720, industri gula dan pasar gula

internasional mengalami guncangan parah, karena munculnya kompetitor gula

Brazil yang murah. Pada tahun 1738, surat pemerintah pada dewan VOC

mengeluhkan “penurunan kondisi yang sangat parah” dan angka kematian yang

begitu tinggi. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya problema beruntun yang

menimpa kota itu. Kegagalan panen, pembayaran kredit yang terlambat,

Page 9: BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Literatur Bukuthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2010-2-00141-ds bab 2.pdfberbagai belahan dunia, baik Timur maupun Barat. Di jalur perdagangan Hindia

13  

  

penurunan nilai properti, sontak melumpuhkan perekonomian dan membuat

saudagar-saudagar merugi. Wabah penyakit, ekspor kecil dan perhitungan pasar

yang keliru menambah besar kerugian Kondisi yang tidak stabil menimbulkan

pemerasan dimana-mana oleh oknum pejabat yang mengejar keuntungan,

sehingga banyak pedagang Tionghoa yang merugi. Pada akhirnya, banyak

pedagang Tionghoa yang jatuh miskin dan kehilangan properti akibat peraturan

yang semena-mena. Perlakuan baik yang mereka terima ketika mereka masih

dibutuhkan tidak lagi ditemukan.

Selain itu, orang-orang Tionghoa yang tinggal di luar tembok kota Batavia

tidak bisa dikontrol karena berada di luar sistem institusi. Mereka tidak diatur

dalam organisasi Tionghoa dan berada diluar jangkauan. Dengan begitu, tidak

pernah terjadi perundingan dengan mereka karena tidak diwakili oleh organisasi

yang ada. Banyak yang luntang-lantung dan menganggur. Di samping itu,

adanya akumulasi dan konsentrasi etnis Tionghoa menimbulkan problem baru.

Dikhawatirkan keberadaan mereka menimbulkan gangguan ketertiban dan

ketenangan orang Belanda di Batavia.

Akhirnya diputuskan untuk membatasi kedatangan orang Tionghoa. Para

penduduk Tionghoa yang tidak memiliki izin tinggal dipulangkan secara paksa,

dan mereka yang melakukan permohonan surat izin tinggal dipersulit dan

mengalami pemerasan. Atas landasan surat izin ini banyak warga Tionghoa yang

ditangkap dan hanya dibebaskan setelah membayar sejumlah uang. Tujuan dari

kebijakan ini adalah agar memaksa warga-warga Tionghoa yang miskin

Page 10: BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Literatur Bukuthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2010-2-00141-ds bab 2.pdfberbagai belahan dunia, baik Timur maupun Barat. Di jalur perdagangan Hindia

14  

  

meninggalkan kota dan mempertahankan keberadaan warga kaya yang lebih

mendatangkan keuntungan.

Sejak akhir 1739 dan awal 1740 telah beredar keributan dan perlawanan

yang dimulai dan diikuti oleh ketidakpuasam dan kecemasan di kalangan

Tionghoa sekitar Batavia. Pada 25 Juli 1740 dikeluarkan resolusi yang

memerintahkan bahwa semua orang Tionghoa yang mencurigakan harus

ditangkap dan diperiksa tanpa kecuali. Mereka yang tidak memiliki penghasilan

atau menganggur, harus dipulangkan ke Tiongkok atau dibuang ke Sri Lanka.

Resolusi ini terbukti memberikan dampak buruk bagi Batavia. Selama beberapa

hari berbagai jenis bahan makanan sukar didapat, kebingungan terjadi dimana-

mana. Yang menjadi permasalahan adalah pelaksanaan yang buruk dari resolusi

itu sendiri, karena tidak ada ketentuan pasti mengenai "orang Tionghoa yang

mencurigakan" sehingga banyak terjadi salah tangkap. Sejak saat itu banyak

orang Tionghoa yang bersembunyi, dan perekonomian sontak terhambat. Kapal-

kapal tidak ada yang membawa beras. Ketegangan semakin memuncak, terutama

beredar rumor bahwa orang Belanda yang mengirim orang-orang Tionghoa yang

ditawan ke Sri Lanka untuk dipekerjakan, ternyata membuang orang-orang

Tionghoa itu di tengah laut.

Namun ketegangan dan keributan yang terjadi tidak segera ditindak oleh

kaum VOC, malah mereka cenderung meremehkan ancaman yang ada. Di pihak

kolonial sendiri, situasi di Heeren XVII (dewan VOC) cenderung memanas

akibat perselisihan antara gubernur jenderal Adriaan Valckenier dan wakil

gubernur Baron Willem von Imhoff.

Page 11: BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Literatur Bukuthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2010-2-00141-ds bab 2.pdfberbagai belahan dunia, baik Timur maupun Barat. Di jalur perdagangan Hindia

15  

  

Pada akhir September 1740, keadaan semakin gawat. Tanggal 26 September

1740, gubernur jenderal Adriaan Valckenier memanggil dewan Hindia untuk

mengadakan sidang darurat. Ia memberi perintah pada anggota dewan, wakil

gubernur van Imhoff dan van Aarden untuk bertindak. Pada tanggal 7 Oktober,

ketika sekelompok orang Tionghoa yang terdiri dari ratusan orang melawan dan

merebut posisi kompeni Belanda di Meester Cornelis dan Tanah Abang berhasil

membunuh 50 serdadu kompeni, von Imhoff melakukan serangan. Jam malam

diberlakukan secara ketat. Peratura mengharuskan setiap penerangan dimatikan

pada malam hari, dan tidak ada yang boleh keluar rumah setelah gelap. Hal ini

mengakibatkan putusnya komunikasi dan koordinasi antara orang-orang

Tionghoa, sehingga mencegah penyebaran informasi.

2.2.4 Pembantaian Massal

Pada tanggal 9 Oktober, terjadi kebakaran beberapa warung Tionghoa di

kompleks pemukiman Tionghoa di Kali Besar Oost. Hal ini oleh orang-orang

Belanda diartikan sebagai tanda dimulainya pemberontakan orang Tionghoa.

Kerusuhan pun terjadi. Dengan dibantu orang-orang Eropa lainnya serta

kerumunan yang tadi, mereka menyerbu rumah-rumah orang Tionghoa serta

membunuh isinya tanpa peduli laki-laki, perempuan, tua atau muda, serta

menjarah segala isinya. Banjir darah terjadi dimana-mana yang kemudian

menimbulkan nama-nama seperti Angke di Batavia yang berarti “kali merah”

karena warna sungai itu berubah menjadi merah karena darah orang-orang

Tionghoa yang terbunuh.

Page 12: BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Literatur Bukuthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2010-2-00141-ds bab 2.pdfberbagai belahan dunia, baik Timur maupun Barat. Di jalur perdagangan Hindia

16  

  

Mereka yang berusaha kabur melalui jalan belakang dihadang dengan

serangan senapan dan meriam yang ditempatkan di tepi kanal. Tembakan yang

bertubi-tubi menyebabkan terbakarnya perumahan Tionghoa. Seperti telah

diantisipasi sebelumnya, beberapa orang Tionghoa yang terjebak mencoba

melarikan diri namun disambut tembakan. Mereka yang putus asa, memilih

gantung diri ataupun melompat ke dalam kobaran api. Lainnya dibunuh saat

berusaha berenang menyeberangi kanal kota sebelah timur.

Hari berikutnya, pembantaian ini tidak mereda. Setelah dikeluarkan

keputusan untuk memindahkan para tahanan Tionghoa dan orang-orang yang

perlu perawatan dari penjara VOC ke rumah sakit Tionghoa. Saksi mata

menyatakan bahwa orang-orang Tionghoa di rumah sakit diseret keluar dan

dibunuh, banyak yang digantung di alun-alun stadhuis yang kini menjadi

Museum Fatahillah. Pembantaian ini berlanjut terus, bahkan mereka yang

berhasil lolos terus diburu. Mereka yang ditemukan sedang bersembunyi,

dibunuh dengan kejam. Pembantian tidak dihentikan sampai tanggal 22 Oktober

1740, dua minggu setelah pembantaian dimulai. Selanjutnya di dalam laporan

utusan VOC yang dikirim ke Tiongkok, dinyatakan bahwa setelah kejadian itu,

seluruh orang Tionghoa yang tinggal di dalam tembok kota telah disapu bersih.

Menurut laporan, jumlah yang meninggal dunia mencapai 10,000 orang,

termasuk 500 tahanan dan pasien. Sebanyak 500 orang mengalami luka parah,

dan 700 rumah dirusak dan dijarah. Laporan tersebut menyatakan bahwa orang-

orang Belanda maupun Eropa lainnya baik militer maupun sipil, bersama-sama

dengan pasukan-pasukan pribumi, melakukan pembantaian dengan kejam.

Page 13: BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Literatur Bukuthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2010-2-00141-ds bab 2.pdfberbagai belahan dunia, baik Timur maupun Barat. Di jalur perdagangan Hindia

17  

  

Meskipun didesas-desuskan bahwa orang-orang Tionghoa telah menimbun

senjata dan mesiu di pinggiran kota dan menggalang persatuan dengan kaum

pemberontak, tetapi kenyataannya mereka sama sekali tidak bisa menghadapi

pasukan Belanda.

Suasana pembantaian Tionghoa di Batavia

Gambar 2.5

2.2.5 Aftermath

Setelah pembantaian tersebut, terjadi kegemparan di kalangan orang

Belanda, terutama dewan Hindia. Gubernur Adriaan Valckenier dituduh sebagai

pihak yang bertanggung jawab. Tuduh menuduh menjadi membingungkan dan

banyak dokumen yang menyangkut peristiwa ini yang sengaja dimusnahkan dan

sebagian hilang di laut.

Page 14: BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Literatur Bukuthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2010-2-00141-ds bab 2.pdfberbagai belahan dunia, baik Timur maupun Barat. Di jalur perdagangan Hindia

18  

  

Peristiwa ini menimbulkan kerugian besar bukan hanya bagi orang-orang

Tionghoa yang menjadi korban, namun juga menghancurkan perekonomian

Batavia. Sebuah kondisi yang mutual yang telah susah payah dibangun oleh J.P.

Coen hilang begitu saja. Setelah kejadian itu, mereka yang selamat berdiam di

rumah dan tidak mau melakukan apa-apa, dan dengan sendirinya membuat

perekonomian merosot.

Pada tanggal 16 Desember 1740, sidang mengajukan mosi tidak percaya

kepada Adrian Valckenier dan ia mengajukan pengunduran diri. Pada 1744,

Valckenier berangkat kembali ke Belanda namun ia sakit sehingga diturunkan di

Capetown. Kasusnya sendiri ditangguhkan karena proses yang berbelit-belit, dan

ia meninggal tahun 1751 sebelum sempat ada yang mempelajari pembelaannya.

Sekalipun orang-orang Belanda memiliki politik pecah belah dan manipulasi

yang licin, anjuran untuk membasmi sebuah kelompok etnis tetaplah merupakan

perbuatan biadab. Tuduhan ini adalah tuduhan pokok yang ditujukan pada

Valckenier. Setelah Valckenier dipanggil pulang tahun 1741, jabatan Gubernur

Jendral untuk sementara dipegang oleh Johannes Thedens, sebelum diganti oleh

Gustaf Wilhelm Baron van Imhoff (1743 – 1750), yang adalah orang Jerman.

Masalah pembantaian etnis Tionghoa yang sangat mencoreng wajah Belanda,

berhasil ditutup-tutupi dan kemudian hilang begitu saja.

Setelah kejadian tersebut terjadi kegemparan di kalangan orang-orang

Belanda terutama para anggota Dewan Hindia yang sangat terkejut dengan apa

yang terjadi. Mereka juga merasa kuatir akan pembalasan yang datang bukan

saja dari etnis Tionghoa yang ada di Batavia, tetapi juga dari pemerintah

Page 15: BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Literatur Bukuthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2010-2-00141-ds bab 2.pdfberbagai belahan dunia, baik Timur maupun Barat. Di jalur perdagangan Hindia

19  

  

Tiongkok. Untuk mengantisipasinya mereka menulis surat kepada Kaisar

Tiongkok, meminta pengertiannya atas tindakan mereka terhadap “bandit-

bandit” Tionghoa yang telah mengganggu ketentraman penduduk Batavia,

walaupun diakuinya bahwa banyak orang Tionghoa yang tidak bersalah telah

menjadi korban.

Jika ada titik terang yang bisa dilihat dari peristiwa memilukan ini, itu adalah

persatuan para korban pembantaian dengan penduduk Nusantara untuk bahu

membahu melawan penjajahan. Banyak korban selamat yang berhasil melarikan

diri bergabung dengan kaum perlawanan di daerah lain. Tercatat orang-orang

Tionghoa dan pribumi Jawa menyatukan kekuatan untuk menghadapi VOC di

berbagai daerah di Jawa.

Mengenai korban pembantaian sendiri, di pihak VOC mulai memberlakukan

pengawasan dan tekanan terhadap orang-orang Tionghoa. Setelah pambantian

tahun 1740, para warga Tionghoa dikumpulkan dan ditempatkan di luar tembok

kota, yang sekarang bernama Glodok, agar pemerintah dapat mengawasi

mereka. Setelah pengampunan umum itu masih tersisa 3,431 orang Tionghoa di

Batavia, termasuk 1,442 pedagang, 935 tukang kebun dan pengolah tanah, 728

pekerja di perkebunan tebu dan perkayuan, serta 236 orang tukang kayu dan

batu.

Yang patut diperhatikan adalah pemberlakuan passenstelsel dan

wijnkelstelsel yang sangat mengekang gerak-gerik warga Tionghoa, dan

mengkotakkan penduduk Tionghoa. Sistem ini merupakan sistem pengawasan

gerak-gerik anak negeri dan bangsa-bangsa asing Timur yang dipersamakan

Page 16: BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Literatur Bukuthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2010-2-00141-ds bab 2.pdfberbagai belahan dunia, baik Timur maupun Barat. Di jalur perdagangan Hindia

20  

  

dengan anak negeri, adalah sistem yang sangat rasis dan sama seperti yang

diberlakukan di Afrika Selatan, yakni apartheid, mengingat Afrika Selatan juga

sempat merupakan koloni Belanda. Inilah yang menjadi cikal bakal diskriminasi

ras antara Tionghoa dan pribumi yang berlangsung hingga kini, seperti yang

akan dijelaskan di sub-bab berikut.

2.2.6 Politik Kolonial Belanda: Devide et Impera, Wijkenstelsel, Passenstelsel

Kedudukan VOC sebagai kantor dagang Belanda yang memonopoli

perdagangan di wilayah Asia memiliki tanggung jawab dan ancaman besar.

Supremasi diatas setiap koloni dan wilayah kekuasaannya harus ditegakkan. Visi

dan misi dari VOC sebagai pemilik hak dagang dan monopoli tunggal di daerah

Hindia Belanda harus memiliki sebuah taktik yang ampuh untuk menjaga

kekuasaan mereka. Sekalipun VOC adalah sebuah kongsi dagang, mereka diberi

hak penuh oleh pemerintah kerajaan Belanda untuk memiliki armada sendiri dan

menyatakan perang. Sulitnya hubungan komunikasi pada jaman itu

memungkinkan pemberian hak demikian. Untuk itu, VOC melakukan metode

adu domba yang licik untuk memecah belah persatuan di wilayah koloninya dan

mempermudah manipulasi politik di daerah itu.

Untuk menghadapi ancaman pemberontakan yang potensial, maupun

menghambat perlawanan dari rakyat setempat, VOC memiliki taktik ampuh.

Devide et Impera. Pecah belah dan taklukkan. Untuk menghadapi koloni yang

terdiri dari masyarakat dari berbagai latar belakang, diciptakanlah sistem

masyarakat rasial dan pembagian kasta menurut ras. Ini adalah tipikal

Page 17: BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Literatur Bukuthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2010-2-00141-ds bab 2.pdfberbagai belahan dunia, baik Timur maupun Barat. Di jalur perdagangan Hindia

21  

  

masyarakat kolonial Barat, dalam hal ini Hindia Belanda. Sistem ini membagi

masyarakat menjadi tiga golongan: Eropa (kulit putih) sebagai elit politik, sosial

dan ekonomi dalam masyarakat kolonial. Sementara itu golongan kedua berada

di tangan orang-orang Timur Asing (Tionghoa, Arab, India, dan sebagainya)

sebagai golongan menengah. Terakhir adalah golongan bawah sebagai produsen

hasil bumi atau elit tradisional (feodal).

Pembagian masyarakat sedemikian rupa, tidak hanya melalui segi peran

sosial budaya dan ras, namun juga melalui pertimbangan sisi agama. Privilege

diberikan kepada kaum tertentu, yang tentu saja pada jangka panjang

menimbulkan kecemburuan sosial. Tindakan seperti ini bukannya tanpa sebab.

Pembagian masyarakat dan sistem pengkotakan ini akan mempermudah dalam

meniupkan perpecahan dan menghindarkan persatuan dalam tubuh setiap

golongan yang ada. Dengan demikian, akan lebih mudah dalam memanipulasi

dan menekan perlawanan yang ada. Hal ini harus dilakukan untuk menjamin

tetap berkuasanya pihak kolonial di daerah koloninya, sebuah taktik ampuh yang

berlangsung berabad-abad.

Kebijakan-kebijakan yang muncul pun memiliki sifat pragmatis yang kejam.

Sejak peristiwa pembantaian itu, Belanda melakukan dua macam tekanan pada

golongan Tionghoa di Indonesia dan golongan pribumi. Pramoedya Ananta Toer

(1998) menulis:

“Dan bagaimana tekanan pemerintah Hindia Belanda ini atas

Hoakiau dapat diterakan dalam beberapa peristiwa penting:

Page 18: BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Literatur Bukuthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2010-2-00141-ds bab 2.pdfberbagai belahan dunia, baik Timur maupun Barat. Di jalur perdagangan Hindia

22  

  

1. Pembunuhan besar-besaran Hoakiau di Batavia tahun 1740 di

bawah gubernur Valckenier, dimana hampir seluruh Hoakiau di

Batavia sebanyak 10,000 ditumpas.

2. Penunjukan sebuah tempat tinggal tetap di seberang barat kali

Citarum oleh pemerintah Hindia Belanda setelah pembunuhan

Hoakiau tahun 1740 itu, atas dasar kenyataan bahwa tempat

tersebut berada onder het berijk van ons geschut atau “berada

dalam jarak tembak meriam kita”.

3. Pada tahun 1764 di bawah gubernur van der Parra, Hoakiau

dilarang tinggal dan berusaha di Priangan

4. Setelah jatuhnya VOC pada 31 Desember 1779, banyak diantara

hak milik dan perdagangan Hoakiau disita oleh Bataafsche

Republik. Mereka yang menderita aniaya ini ialah yang dianggap

memperlihatkan sikap politik yang tidak disetujui VOC. Dan

apakah sikap itu riil atau tidak, sebenarnya hanya terletak pada

tafsiran para penguasa belaka.

5. Khusus di lapangan perdagangan, pada tahun 1804 dikeluarkan

larangan bagi Hoakiau-Hoakiau dan orang-orang non Kristen

membeli langsung barang-barang yang didatangkan ke Batavia

dari Eropa, Amerika, atau Afrika.

6. Dikeluarkannya passenstelsel yang mewajibkan setiap orang yang

bepergian mempunyai pas (passenstelsel ini ditimbulkan lagi di

masa kemerdekaan sejak tahun 1958), sungguh-sungguh

Page 19: BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Literatur Bukuthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2010-2-00141-ds bab 2.pdfberbagai belahan dunia, baik Timur maupun Barat. Di jalur perdagangan Hindia

23  

  

menyulitkan usaha perdagangan dan lebih menyulitkan lagi bagi

Hoakiau daripada penduduk pribumi Indonesia, karena bukan saja

passenstelsel itu melumpuhkan perdagangan disebabkan

mengurangi mobilita, tetapi dalam praktek ternyata stelsel ini

memang ditujukan pada Hoakiau untuk dapat memeras duit dari

kantongnya, baik oleh para penguasa setempat maupun oleh para

pejabat.

7. Pada tahun 1835 Hindia Belanda menjalankan wijkenstelsel

dimana orang-orang Hoakiau dipusatkan dan dikumpulkan di satu

tempat, menurut model ghetto di Eropa Barat. Benar sekali pada

tahun 1866 wijkenstelsel ini diperlemah, yaitu bahwa Hoakiau

boleh tinggal di tempat-tempat yang dikehendakinya dimana tidak

ada ghetto yang disediakan, tetapi mereka tidak boleh berdagang!

Dan dengan demikian kedudukan sosial mereka sebagai golongan

menengah menjadi pasti setelah pada tahun 1879 Hindia Belanda

dalam UU Agraria yang menentukan bahwa Hoakiau tidak

diperkenankan menjadi petani."

Akibat buruk dari wijkenstelsel itu sendiri sangat fatal, karena memisahkan

orang-orang Tionghoa dari orang-orang Indonesia, menghalangi adanya

persatuan dan asimilasi serta integrasi dengan rakyat Indonesia, membatalkan

mereka yang telah menjadi rakyat Indonesia. Jelaslah bahwa kebijakan itu dibuat

untuk memecah belah dan membedakan, karena waktu itu belum mengenal

Page 20: BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Literatur Bukuthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2010-2-00141-ds bab 2.pdfberbagai belahan dunia, baik Timur maupun Barat. Di jalur perdagangan Hindia

24  

  

nasionalisme. Rencana jangka panjang untuk menciptakan kontradiksi-

kontradiksi sosial di kemudian hari, yang menjaga agar kekuatan-kekuatan

dalam masyarakat dapat pukul memukul satu dengan yang lain.

Wijkenstelsel memudahkan pengawasan dan opresi secara langsung maupun

secara provokasi. Hal ini bisa dibenarkan dengan perkembangan sikap anti

Tionghoa yang tanpa sadar disuburkan secara berencana, dan menjadi akut pada

tahun-tahun berikutnya hingga kini. Akibat yang ditimbulkan terhadap warga

Tionghoa adalah perasaan terkungkung dan waswas terhadap dunia luar dan

masyarakat di luar stelsel itu, yang menjadi pemicu sikap berkelompok dan

hidup dalam seklusi sosial, dan pada akhirnya sampai pada hari ini masih

menciptakan mentalitas dan kepribadian menutup diri. Mereka yang telah

membaur akhirnya kehilangan faktor asimilasi itu dan akhirnya menjadi Di sisi

lain, sikap ini juga menimbulkan gap, jarak, dan perpecahan dengan elemen

masyarakat Indonesia lainnya yang menilai sifat warga Tionghoa ini sebagai

eksklusifitas belaka. Bisa dilihat bahwa kebijakan pragmatis Belanda yang

diterapkan pada jaman kolonial memiliki hasil yang terlalu efektif.

2.3 Hasil Angket

Penulis melakukan sejumlah angket terhadap 100 responden dengan ragam usia 17-

30 tahun untuk mengetahui pengetahuan masyarakat terhadap diskriminasi rasial dan

peristiwa pembantaian Tionghoa di Batavia tahun 1740. Hasilnya adalah:

1. 54 orang (54%) berusia sekitar 21-25 tahun, sebanyak 41 orang (41%)

berusia sekitar 17-20 tahun, dan sisanya berusia 25-30 tahun.

Page 21: BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Literatur Bukuthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2010-2-00141-ds bab 2.pdfberbagai belahan dunia, baik Timur maupun Barat. Di jalur perdagangan Hindia

25  

  

2. Dari 100 responden, sebanyak 94 orang (94%) sadar akan adanya

diskriminasi rasial di Indonesia sedangkan 3 orang (3%) tidak menyadarinya.

3. Dari 100 responden, hanya 5 orang saja (5%) yang mengetahui mengenai

peristiwa pembantaian di Batavia tahun 1740.

4. Dari 100 responden, sebanyak 94 orang (94%) tidak menyetujui diskriminasi

rasial di Indonesia.

5. Dari 100 responden, sebanyak 88 orang (88%) menyukai tontonan animasi,

dengan genre yang sering ditonton berupa komedi (80%), adventure (72%),

drama (49%), dan dokumenter (20%)

2.4 Target Audiens

2.4.1 Target Primer

Berusia sekitar 17-30 tahun, unisex, tinggal di Jakarta dan sekitarnya, dan

memiliki pengetahuan dan pendidikan minimal perguruan tinggi, serta memiliki

mata pencaharian di dunia desain, seni, budaya, dan film. Tingkat kemampuan

ekonomi B hingga A.

2.4.2 Target Sekunder

Berusia sekitar 17-30 tahun, unisex, bermata pencaharian seputar dunia

pendidikan, sejarah, budaya, atau jurnalistik. Warga negara Indonesia atau asing

yang bertempat tinggal di Indonesia dan memiliki keterkaitan dengan dunia

pendidikan, kebudayaan atau pun jurnalistik di Indonesia. Tingkat kemampuan

ekonomi B hingga A.

Page 22: BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Literatur Bukuthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2010-2-00141-ds bab 2.pdfberbagai belahan dunia, baik Timur maupun Barat. Di jalur perdagangan Hindia

26  

  

2.5 Faktor Pendukung dan Penghambat

2.5.1 Faktor Pendukung

1. Isu ras dan sosial memiliki kekuatan kontroversi yang menggelitik, dan

sangat menimbulkan ketertarikan bagi hampir semua kalangan

2. Sampai saat tulisan ini dibuat, film animasi dokumenter sendiri masih

belum ada - atau jumlahnya sangat terbatas - di Indonesia.

3. Animasi dokumenter memiliki kelebihan dalam kreativitas penyampaian

informasi dibandingkan dengan dokumenter konvensional

4. Perkembangan teknologi internet memungkinkan penyebaran informasi

dan promosi yang luas untuk media audio visual

2.5.2 Faktor Penghambat

1. Tema yang sangat sensitif bisa memicu kontroversi yang lebih besar dan

berujung pada pelarangan

2. Dari sisi komersil, film dokumenter tidak memiliki nilai jual setinggi

genre lainnya

3. Banyak alternatif tontonan dan hiburan lain yang lebih dikenal dapat

merebut perhatian target market

4. Adanya stereotype yang telah melekat di masyarakat bahwa karya

animasi dalam negeri memiliki kualitas yang buruk dapat mengurangi

minat terhadap film dokumenter animasi ini