bab 2 data dan analisa 2.1 sumber data -...
TRANSCRIPT
3
BAB 2
DATA DAN ANALISA
2.1 Sumber data
Sumber data dan informasi untuk mendukung proyek tugas akhir ini didapatkan dari
sumber-sumber berikut ini:
1) Literatur
Sumber data dan informasi yang diperoleh dari metode ini adalah:
• Karaton Surakarta karya R.Ay. Sri Winarti P
• Pepak basa karya S.Rahardjo S.Pd
• Jajanan kaki lima khas Solo karya Linda Carolina Brotodjojo
• Wikipedia sejarah kota Surakarta
2) Wawancara
Dengan menggunakan metode wawancara yaitu mengajukan
beberapa pertanyaan kepada salah satu pemilik Waroeng Solo yaitu
Bapak Pauli. Keterangan yang didapat cukup lengkap yaitu mulai dari
sejarah berdiri, konsep desain yang dimiliki oleh Waroeng Solo, data
kompetitor Waroeng Solo, sistem kerja di Waroeng Solo, makanan yang
dijual oleh Waroeng Solo, serta target market dari Waroeng Solo sendiri.
4
3) Observasi lapangan
4) Kuisioner
Metode dilakukan dengan cara menyebarkan kuisioner melalui forum
online. Dengan hasil jumlah 132 suara, dimana 115 suara menyatakan
sangat menyukai masakan khas Solo. 7 suara menyatakan tidak
menyukai, dan 10 suara menyatakan belum pernah mencoba masakan
khas Solo.
5
Selain itu juga dilakukan pengambilan kuisioner secara langsung pada
target market yang sedang berada di Waroeng Solo sebanyak 40 suara.
Setelah informasi dikumpulkan, langkah selanjutnya adalah
pengolahan data dengan pengeditan dan analisa. Data yang sudah ada
diperiksa kembali untuk disesuaikan dan dipisahkan mana saja yang
dapat digunakan untuk mendukung tugas akhir. Proses selanjutnya adalah
analisa, data yang sudah terkumpul diolah dan ditarik kesimpulan,
dimana hasilnya adalah:
2.1.1. Sejarah Kota Surakarta
Kota Surakarta (juga Solo, Sala, dan tidak dipakai lagi Salakarta) adalah
sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Di Indonesia, Surakarta merupakan
kota peringkat kesepuluh terbesar (setelah Yogyakarta). Sisi timur kota ini dilewati
6
sungai yang terabadikan dalam salah satu lagu keroncong, Bengawan Solo. Kota ini dulu
juga tempat kedudukan dari residen, yang membawahi
Karesidenan Surakarta di masa awal kemerdekaan. Jabatan residen sekarang
dihapuskan dan diganti menjadi "pembantu gubernur untuk wilayah Surakarta". Kota
Surakarta memiliki semboyan BERSERI yang merupakan akronim dari Bersih, Sehat,
Rapi, dan Indah. Untuk kepentingan pemasaran pariwisata, Solo mengambil slogan
pariwisata Solo the Spirit of Java yang diharapkan bisa membangun citra kota Solo
sebagai pusat kebudayaan Jawa.
Kota Solo terletak sekitar 65 km timur laut Yogyakarta dan 100 km tenggara
Semarang. Lokasi kota ini berada di dataran rendah (hampir 100m di atas permukaan
laut) yang diapit Gunung Merapi di barat dan Gunung Lawu di timur. Agak jauh di
selatan terbentang Pegunungan Sewu. Di sebelah timur mengalir Bengawan Solo dan di
bagian utara mengalir Kali Pepe yang merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai
Solo.
Tanah di Solo bersifat pasiran dengan komposisi mineral muda yang tinggi
sebagai akibat aktivitas vulkanik kedua gunung api yang telah disebutkan di atas.
Komposisi ini, ditambah dengan ketersediaan air yang cukup melimpah, menyebabkan
dataran rendah ini sangat baik untuk budidaya tanaman pangan, sayuran, dan industri,
seperti tembakau dan tebu. Namun demikian, sejak 20 tahun terakhir industri
manufaktur dan pariwisata berkembang pesat sehingga banyak terjadi perubahan
peruntukan lahan untuk kegiatan industri dan perumahan penduduk.
7
2.1.1.1. Sejarah logo Kota Solo
Solo merupakan nama lain dari kota Surakarta. Namun pada
perkembangannya kata Solo kemudian digunakan untuk masyarakat di wilayah ini untuk
menyebut lokasi tinggalnya. Walaupun asal mereka dari Sukoharjo, Wonogiri atau
Karanganyar mereka tetap menyebutnya sebagai orang Solo. Maka dari itu brand name
SOLO the spirit of java, dipilih untuk menggambarkan keterikatan ini. Untuk bentuk
kesatuan yang lebih jelas, wilayah atau region mempunyai logo sendiri. Logo region ini
diturunkan dari logo utama SOLO the spirit of java. Logo ini terbentuk dari garis-garis
lengkung yang terkesan berputar dinamis dengan pusat putaran berbentuk “Lung” yang
merupakan stilasi dari delapan unsur filosofi hidup masyarakat Jawa. Sejarah logo kota
Solo berasal dari sebuah kompetisi, dimana yang menjadi pemenangnya adalah dari
pihak Souvenir Solo Group. Kemudian logo ini pun dibeli oleh walikota Solo Bapak
Joko wi.
8
7 goresan lengkung menggambarkan 7 distrik yang terdiri dari 6 Kabupaten dan 1
Kotamadya. 1 Lung yang menjadi pusat lingkaran menggambarkan visi bersama untuk
maju sekaligus icon yang mewakili kekhasan lokal. Bentuk dan gerak lingkaran
menggambarkan dinamisme dan semangat untuk maju bersama.
Brand image baru kota Solo sebenarnya sudah mulai disosialisasikan sejak bulan
Agustus tahun lalu. Awalnya diadakan kontes untuk memberikan slogan. Ada 3 slogan
pemenang yaitu, Solo the Heart of Java, Solo the Heartbeat of Java dan Solo the Spirit
of Java.
The Spirit of Java mencerminkan kedalaman makna akan akar budaya, seni dan sejarah
kota Solo, sehingga kota ini berhak meng klaim kotanya sebagai “Jiwanya Jawa”.
Elemen pada logo Solo ini terutama bagian huruf O yang berornamen itu diambil dari
unsur bentuk dasar motif batik, yang menjadi perwakilan dari salah satu budaya lokal
yang berkembang di kota ini. Pada akhirnya brand ini akan memperkuat positioningnya
sebagai kota yang kuat unsur Seni & Budayanya.
Branding kota dengan tujuan promosi untuk mengenalkan sebuah kota kepada
masyarakat umum baik dalam atau luar negeri, cukup marak akhir akhir ini. Sebutlah
kota Jogja dengan slogan Jogja Never Ending Asia nya atau Jakarta dengan Enjoy
Jakarta. Mungkin banyak juga yang mengadaptasi dari pengaruh luar seperti Malaysia
Truly Asia, Uniquely Singapore. Selain untuk promosi, hal ini berkaitan dengan
identitas kota tersebut. Slogan dan logo tersebut hendaklah mencerminkan identitas,
sejarah, budaya, gaya hidup kota itu.
9
2.1.1.2. Masa awal dan pra-Republik
Kota Surakarta didirikan pada tahun 1745, ditandai dengan dimulai
pembangunan Keraton Mataram sebagai ganti keraton di Kartasura yang hancur
akibat pemberontakan orang-orang Tionghoa melawan kekuasaan Pakubuwono (PB)
II yang bertakhta di Kartasura pada tahun 1742. Pemberontakan ini bahkan
mengakibatkan PB II menyingkir ke Ponorogo, Jawa Timur.
Dengan bantuan VOC, pemberontakan dapat ditumpas dan Kartasura direbut
kembali, tapi keraton sudah hancur dan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II
lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso dan Tumenggung Mangkuyudo
serta komandan pasukan Belanda J.A.B. van Hohendorff untuk mencari lokasi ibu
kota Kesultanan Mataram yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke
arah tenggara dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan
Solo. Kelak namanya berubah menjadi Surakarta. (Catatan-catatan lama menyebut
bentuk antara "Salakarta"). Pembangunan kraton baru ini menurut catatan
menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri
Kota dan kayunya dihanyutkan melalui sungai. Secara resmi, keraton mulai
ditempati tanggal 17 Februari 1745 (atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan
Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya)
10
Surat Perjanjian Giyanti dari tahun 1755 yang sekarang disimpan di Arsip Nasional
RI.
Lambang Kasunanan Surakarta
Lambang Praja Mangkunagaran
Berlakunya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) menyebabkan Surakarta
menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya PB III. Yogyakarta
menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Mangkubumi
(Sultan Hamengkubuwono (HB) I). Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada
1755, dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun.
Perjanjian Salatiga 1757 memperluas wilayah kota ini, dengan diberikannya
wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa (Mangkunagara I).
Sejak saat itu, Sala merupakan kota dengan dua sistem administrasi, yang berlaku
hingga 1945, pada masa Perang Kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
11
2.1.1.3. Kependudukan
Jumlah penduduk kota Surakarta pada tahun 2003 adalah 552.542 jiwa terdiri
dari 270.721 laki-laki dan 281.821 wanita, tersebar di lima kecamatan yang meliputi 51
kelurahan. Perbandingan kelaminnya 96,06% yang berarti setiap 100 orang wanita
terdapat 96 orang laki-laki. Angka ketergantungan penduduknya sebesar 66%. Jumlah
penduduk tahun 2003 jika dibandingkan dengan jumlah penduduk hasil sensus tahun
2000 yang sebesar 488.834 jiwa, berarti dalam 3 tahun mengalami kenaikan sebanyak
83.708 jiwa. Catatan dari tahun 1880 memberikan cacah penduduk 124.041 jiwa.
Jika wilayah penyangga Surakarta juga digabungkan secara keseluruhan
(Soloraya - Surakarta + Kartasura, Colomadu, Baki, Grogol, Palur), maka luasnya
adalah 130 km². Penduduknya berjumlah 850.000 jiwa.
2.1.1.4. Arsitektur dan peninggalan sejarah
1) Keraton Surakarta
Sebagai kota yang sudah berusia hampir 250 tahun, Surakarta memiliki
banyak kawasan dengan situs bangunan tua bersejarah. Selain bangunan tua
12
yang terpencar dan berserakan di berbagai lokasi, ada juga yang terkumpul
di sekian lokasi sehingga membentuk beberapa kawasan kota tua, dengan
latar belakang sosialnya masing-masing.
Kraton Kasunanan Surakarta tentu saja adalah bangunan paling pokok
dalam konsep penataan ruang Solo. Perencanaan kraton ini mirip dengan
konsep yang digunakan dalam pembangunan Kraton Kesultanan
Yogyakarta.
Solo merupakan salah satu kota pertama di Indonesia yang dibangun
dengan konsep tata kota modern. Kraton yang dibangun berdekatan dengan
Bengawan Solo selalu terancam banjir. Karena itu dibangunlah tanggul yang
hingga kini masih dapat dilihat membentang dari selatan wilayah Jurug
hingga kawasan Solo Baru.
Kawasan Solo utara, yang ditata oleh pihak Mangkunagaran, juga
memiliki jejak arsitektur yang banyak mendapat sentuhan Eropa. Bagian
utara kota Solo dilewati oleh Kali Pepe, yang seperti Bengawan Solo juga
berkali-kali menimbulkan bencana banjir. Pembangunan tanggul kali dan
pintu air, saluran drainasi, MCK (mandi-cuci-kakus, yang pertama kali
diterapkan), serta penempatan kantor kelurahan yang selalu berada pada
perempatan jalan, merupakan beberapa jejak yang masih dapat dilihat
sekarang, yang pembangunannya dilakukan pada masa pemerintahan
Mangkunagara IV.
13
2) Pasar Gedhe Hardjonagoro
Pada jaman kolonial Belanda, Pasar Gedhe merupakan sebuah pasar
"kecil" yang didirikan di area seluas 10.421 meter persegi, berlokasi di
persimpangan jalan dari kantor gubernur yang sekarang digunakan sebagai
Balaikota Surakarta. Bangunan ini di desain oleh arsitek Belanda bernama
Ir. Thomas Karsten yang selesai pembangunannya pada tahun 1930 dan
diberi nama Pasar Gede Hardjanagara. Diberi nama Pasar Gedhe karena
terdiri dari atap yang besar (Gedhe artinya besar dalam bahasa Jawa).
Seiring perkembangan waktu, pasar ini menjadi pasar terbesar dan termegah
di Surakarta.
Awalnya pemungutan pajak (retribusi) dilakukan oleh abdi dalem
Kraton Surakarta. Mereka mengenakan pakaian tradisional Jawa berupa
jubah dari kain (lebar dan panjang dari bahan batik dipakai dari pinggang ke
bawah), beskap (semacam kemeja), dan blangkon (topi tradisional).
Pungutan pajak kemudian akan diberikan ke Keraton Kasunanan.
14
Pasar Gedhe terdiri dari dua bangunan yang terpisah, masing masing
terdiri dari dua lantai. Pintu gerbang di bangunan utama terlihat seperti atap
singgasana yang bertuliskan 'PASAR GEDHE.
Arsitektur Pasar Gedhe merupakan perpaduan antara gaya Belanda dan
gaya tradisional. Pada tahun 1947, Pasar Gedhe mengalami kerusakan
karena serangan Belanda. Pemerintah Indonesia kemudian merenovasi
kembali pada tahun 1949. Perbaikan atap selesai pada tahun 1981.
Pemerintah Indonesia mengganti atap yang lama dengan atap dari kayu.
Bangunan kedua dari pasar gedhe, digunakan untuk kantor DPU yang
sekarang digunakan sebagai pasar buah.
3) Pasar Klewer
Gapura Kraton dan Pasar Klewer (tampak belakang)
Pasar Klewer merupakan salah satu pasar batik terbesar di Indonesia.
Pasar ini terletak di dekat Keraton Kasunanan dan di seberang Masjid
Agung Surakarta.
15
2.1.1.5. Bahasa
Bahasa daerah yang digunakan di Surakarta adalah bahasa Jawa dialek
Surakarta. Dialek ini berbeda sedikit dengan dialek-dialek Jawa yang digunakan di
kota-kota lain seperti di Semarang maupun Surabaya. Perbedaannya berupa kosakata
yang digunakan, ngoko(kasar)-krama (halus)nya, dan intonasinya. Bahasa Jawa dari
Surakarta digunakan sebagai standar bahasa Jawa nasional (dan internasional, seperti
di Suriname).
2.1.2. Sejarah Kuliner Solo
2.1.2.1 Nasi liwet
Nasi liwet adalah makanan khas kota Solo. Nasi liwet adalah nasi gurih
(dimasak dengan kelapa) mirip nasi uduk, yang disajikan dengan sayur labu
siam, suwiran ayam (daging ayam dipotong kecil-kecil) dan areh (semacam
bubur gurih dari kelapa).
Penduduk kota Solo biasa memakan nasi liwet setiap waktu mulai dari
untuk sarapan, sampai makan malam. Nasi liwet biasa dijajakan keliling
dengan bakul bambu oleh ibu-ibu yang menggendongnya tiap pagi atau dijual
di warung lesehan (tanpa kursi). Tempat paling terkenal untuk penjualan nasi
16
liwet (warung lesehan) adalah di daerah Keprabon yang hanya berjualan pada
malam hari.
2.1.2.2. Pecel Ndeso
Pecel ndeso makanan yang nasinya berasal dari beras merah, dengan
pecel yang berisikan dedaunan dan tanaman mulai dari jantung pisang, nikir,
daun petai cina, bunga turi dan kacang panjang. Memiliki dua pilihan sambal,
sambal kacang seperti pecel pada umumnya atau sambal wijen yang memiliki
dua pilihan, wijen putih atau hitam
Pecel ndeso yang dimaksud adalah nasi pecel yang nasinya berasal dari
beras merah, jenis beras yang kini sulit didapat. Pecelnya, berisikan dedaunan
dan tanaman mulai dari jantung pisang, nikir, daun petai cina, bunga turi dan
kacang panjang. Sambalnya ada dua pilihan, sambal kacang seperti pecel pada
umumnya atau sambal wijen yang memiliki dua pilihan, wijen putih atau
hitam
17
2.1.3. Sejarah Warung
Warung atau sering juga disebut sebagai angkringan atau “hik” bisa kita
temukan di mana saja di sepanjang jalan yang ada di Solo. Ada yang mengatakan itu
kepanjangan dari “hidangan istimewa kampung”. Sedangkan angkringan berasal dari
kata bahasa Jawa “angkring” yang artinya duduk santai, biasanya dengan melipat satu
kaki ke kursi. Yang jelas angkringan atau hik Solo tidak jauh berbeda ciri-cirinya.
Angkringan adalah semacam warung makan yang berupa gerobag kayu yang
ditutupi dengan kain terpal plastik dengan warna khas, biru atau oranye menyolok, atau
bias berupa gubuk sederhana dengan kapasitas sekitar delapan sampai sepuluh orang
pembeli, angkringan beroperasi mulai sore hari sampai dini hari. Namun kini ada juga
yang mulai buka siang hari. Pada malam hari, angkringan mengandalkan penerangan
tradisional senthir dibantu terangnya lampu jalan.
Makanan khas yang dijual meliputi nasi kucing, gorengan, sate usus (ayam),
sate telor puyuh, kripik dan lain-lain. Nasi kucing (dalam bahasa Jawa disebut “sega
kucing“) bukanlah suatu menu tertentu, tetapi lebih pada cara penyajian nasi bungkus
yang banyak ditemukan pada angkringan. Dinamakan “nasi kucing” karena disajikan
dalam porsi yang (sangat) sedikit, seperti menu untuk pakan kucing. Bagi kaum laki-laki
mungkin bisa menghabiskan 3-5 bungkus. Minuman yang dijual pun beraneka macam
seperti teh, es jeruk, kopi, wedang tape, wedang jahe, susu, atau campuran beberapa
yang anda suka. Semua dijual dengan harga yang sangat terjangkau.
Berbeda dengan angkringan saat ini yang memakai gerobak, diawal
kemunculannya angkringan menggunakan pikulan sebagai alat sekaligus center of
18
interest. Angkringan atau warung dikenal dengan sebutan ting-ting hik (baca: hek). Hal
ini disebabkan karena penjualnya berteriak “Hiiik…iyeek” ketika menjajakan dagangan
mereka. Istilah hik sering diartikan sebagai Hidangan Istimewa Kampung. Sebutan hik
sendiri masih ditemui di Solo hingga saat ini,
Boleh jadi angkringan atau warung merupakan stereotipe kaum marjinal
berkantung cekak yang beranggotakan sebagian mahasiswa, tukang becak dan buruh
maupun karyawan kelas bawah. Namun, peminat angkringan kini bukan lagi kaum
marjinal yang sedang dilanda kesulitan keuangan saja, tetapi juga orang berduit yang
bisa makan lebih mewah di restoran.
Angkringan atau warung menjadi tenpat yang menyenangkan sekali untuk
melepas kepenatan bersama teman atau orang lain yang baru ketemu disana, saling
ngobrol ngalor-ngidul, gojeg kere, main plesetan kata-kata, menggoda bencong lewat,
sampai tertawa lepas melepaskan beban pikiran. Tak perlu minder dengan apa status
anda, karena di angkringan semuanya adalah sama.
2.1.4. Sejarah Waroeng Solo di Jakarta
Waroeng Solo berdiri sejak tanggal 21 Februari 2006 di kota Jakarta, yang
berdomisili di Jalan Madrasah No.14 Cilandak Timur Jakarta Selatan. Waroeng Solo di
bentuk dari sebuah gagasan bersama untuk membangun sebuah tempat makan yang
santai dan dapat digunakan sebagai tempat reuni. Sebuah tempat dimana banyak orang
dapat berkumpul, bercerita, bersantai bersama teman-teman masa kecil, dan keluarga.
Konsep ini di temukan oleh sekelompok orang dimana pada waktu itu mereka sedang
berstatus sebagai siswa smu, mereka memiliki mimpi untuk memiliki sebuah tempat
19
dimana mereka dapat bereuni kembali, sebuah tempat untuk mereka dapat bertemu dan
saling bercerita antara yang satu dengan yang lainnya. Mereka adalah Bapak Rio, Bapak
Dani, Bapak Pauli, dan Bapak Hengki. Dengan konsep kampung maka Waroeng Solo
pun akhirnya di dirikan, selain itu karena sangat banyak orang-orang Jawa yang tinggal
di Jakarta maka ide ini semakin dikuatkan.
Waroeng Solo sudah cukup terkenal dikalangan warga setempat hingga luar
kota, banyak orang datang hanya untuk menikmati suasana kampung yang menjadi
konsep utama dari desain arsitekturnya. Waroeng Solo memiliki visi yaitu memiliki
satu kompleks sendiri dan menjadikannya seakan-akan seperti kampung yang
sebenarnya. Dan misinya yaitu membuat beberapa rumah joglo dan limasan yang baru
serta membuat pendopo baru di sekitar warung solo.
Kepemilikan dari waroeng Solo sangat menarik karena tidak hanya dimiliki
oleh satu dua orang saja, melainkan milik banyak orang yang tergabung menjadi satu,
dan mereka merupakan teman pada waktu SMU.
Selain rumah makan, Waroeng Solo juga memproduksi batik sendiri, serta
bekerja sama dengan PT Anugerah Tiara Sejahtera dalam memproduksi air mineral.
Waroeng Solo sejauh ini tidak memiliki kompetitor yang saling bersaing kuat, hal ini
bisa dilihat dari menu makanan Warung Jogja yang lokasinya berada tepat didepan
Waroeng Solo yang bisa ditemukan di Waroeng Solo dan bahkan bisa dipesan secara
langsung melalui Waroeng Solo.
20
Walaupun Waroeng Solo sudah beberapa kali masuk ke dalan rubrik majalah
dan masuk dalam acara kuliner TV swasta, Waroeng Solo mengaku tidak pernah
melakukan promosi secara terang-terangan, promosi hanya dilakukan dengan cara mulut
ke mulut.
2.1.4.1. Sejarah logo Waroeng Solo
Sejarah logo dari Waroeng Solo sangat kurang memiliki konsep, kata-kata ini
sendiri keluar dari pemiliki Waroeng Solo. Walaupun Waroeng Solo sudah cukup
terkenal, tetapi banyak orang kurang mengerti dan mengenal salah satu identitas penting
ini yaitu logo dari Waroeng Solo (terlihat dari hasil penelitian melalui wawancara
kepada beberapa pelanggan Waroeng Solo yang ada di pembahasan Bab II) . Visual logo
ini hanya diambil dari bentuk rumah limasan saja, tanpa memiliki konsep yang lainnya,
sedangkan dari sisi warna merah pada logo tidak memiliki arti apapun.
2.1.4.2 Visi dan Misi Waroeng Solo
A. Visi
Yang menjadi visi Waroeng Solo adalah memiliki sebuah kompleks sendiri dan
menjadikannya seakan-akan seperti kampung yang sebenarnya. Dan menjadi salah satu
rumah makan yang bernuansa Jawa khas Solo terbesar di Jakarta.
21
B. Misi
Membuat beberapa rumah joglo, limasan, pendopo yang baru di sekitar
Waroeng Solo serta menjadikan daerah sekitar Waroeng Solo menjadi seperti benar-
benar kampung. Agar setiap pengunjung yang datang merasa benar-benar datang di
kampung.
2.1.5. Khalayak sasaran
Pada Waroeng Solo target audience nya adalah:
2.1.5.1. Sasaran primer
1. Demografi
Masyarakat kelas menengah keatas. Walaupun hidangan yang
disajikan adalah menu masakan dari kampung atau daerah, harga yang
dipatok terbilang cukup mahal. Jadi target yang mencapai sasaran
Waroeng Solo bisa dikatakan adalah masyarakat menengah keatas.
2. Geografi
Masyarakat yang tinggal atau bekerja di kota Jakarta terutama
yang berdomisili di Jakarta Selatan dan masyarakat yang berasal dari Solo
yang sekarang sedang menetap di Jakarta.
3. Psikografi
Keluarga atau masyarakat yang memiliki daya tarik terhadap
makanan khas Jawa khususnya Solo.
22
2.1.5.2. Sasaran sekunder
Wisatawan domestik yang berasal dari berbagai kota di Indonesia, yang
berkunjung dan ingin mencicipi makanan khas Solo dan menikmati suasana alam
kampung. Serta wisatawan asing yang ingin menjajal berbagai makanan khas kota
Solo.
2.1.6. Format produk
Waroeng Solo menyediakan hidangan antara lain:
• Nasi ayam goreng
• Nas liwet tahu atau ayam bacem
• Nasi liwet komplit
• Nasi gudeg komplit
• Nasi pecel
• Nasi tumpeng
• Nasi urap
• Nasi kucing
• Selad solo
• Garang asem
• Dll
Waroeng Solo juga mempunyai produk minuman mineral sendiri, hasil kerja sama
dengan PT Anugerah Tiara Sejahtera.
23
2.2 Analisa SWOT
Merupakan hasil observasi di lapangan oleh penyusun skripsi, dan diperoleh
hasilnya adalah sebagai berikut:
2.2.1. Keunggulan dari Waroeng Solo adalah (Strength) :
• Dapat menrealisasikan dengan baik konsep dasar warung dan rumah makan khas
Jawa
• Memiliki daya tarik yang unik dari segi arsitekturnya
• Memiliki pelanggan tetap
• Suasana yang akrab
• Waroeng Solo bahkan pernah dipakai sebagai lokasi syuting sebuah
film.Dikarenakan suasananya yang unik.
• Waroeng solo sudah beberapa kali masuk ke dalan rubrik majalah dan masuk
dalam acara kuliner TV swasta,
2.2.2. Kekurangan Waroeng Solo adalah (Weakness) :
• Identitas visual tidak dibuat dengan serius dan tampak seadanya saja.
• Harga makanan cenderung mahal
• Lokasi Waroeng Solo pun dapat dikatakan kurang strategis, karena banyak
orang yang tidak tahu dan kesulitan saat mencari dimana lokasi dimana Waroeng
Solo berada. Hal ini terjadi karena kurangnya promosi yang dilakukan, sehingga
tidak banyak orang yang mengenal dan tahu benar mengenai Waroeng Solo.
24
• Cara promosi yang digunaka oleh Waroeng Solo dapat dikatakan sangat
sederhana dan kurang maksimal, karena hanya dilakukan dari mulut ke mulut
saja.
2.2.3. Kesempatan yang dapat digunakan Waroeng Solo adalah (Opportunity) :
• Tidak banyak rumah makan yang bernuansa seperti Waroeng Solo. Selain
memiliki konsep arsitektur yang tepat, Waroeng Solo juga menyediakan
makanan yang nikmat rasa
• Banyak yang mencari tempat yang luas dan santai untuk berkumpul bersama
keluarga,kerabat,teman,dll.
2.2.4. Kompetisi dan persaingan dari Waroeng Solo adalah (Threat):
• Tepat di depan Waroeng Solo terdapat rumah makan khas Jogja
• Terdapat beberapa rumah makan yang mengusung tema jawa maupun khas Solo