bab 1 pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/109223/po... ·...

15
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemampuan untuk berinovasi merupakan hal yang krusial bagi efektivitas organisasi (Yuan & Woodman, 2010; Hartog, 2010; Janssen, 2003). Rubera dan Kirca (2012) menyatakan bahwa inovasi memiliki konsekuensi positif terhadap berbagai kinerja seperti posisi pasar, posisi finansial hingga nilai perusahaan di pasar saham. Organisasi dengan tingkat inovasi yang lebih tinggi akan lebih mudah dalam merespon perubahan lingkungan dan mengembangkan kemampuan baru untuk meraih kinerja yang lebih baik (Montes et al., 2004; Tsai, 2001). Inovasi dibutuhkan untuk meningkatkan performa organisasi supaya dapat tetap efektif dan efisien dalam rangka bertahan dalam lingkungan yang semakin kompetitif (Mathew et al., 2015). Dengan manfaat yang didapatkan darinya, inovasi menjadi hal yang tidak dapat ditinggalkan oleh organisasi yang ingin mengembangkan dan mempertahankan keunggulan bersaingnya dan/atau memperoleh akses masuk ke pasar yang baru (Becheikh et al., 2006). Organisasi perlu mengimplementasikan inovasi dalam bentuk layanan dan metode penyampaian layanan yang baru dalam rangka merespon perubahan yang ada pada lingkungan eksternal seperti deregulasi, kelangkaan sumber daya dan permintaan konsumen (Walker, 2014). Implementasi metode penyampaian layanan baru dalam suatu organisasi merupakan salah satu bentuk inovasi proses untuk meningkatkan kinerja organisasi. Inovasi proses adalah pengenalan atas proses produksi, rantai pasokan, dan administrasi yang baru atau ditingkatkan secara signifikan (Piening &

Upload: ngoanh

Post on 04-May-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemampuan untuk berinovasi merupakan hal yang krusial bagi efektivitas

organisasi (Yuan & Woodman, 2010; Hartog, 2010; Janssen, 2003). Rubera dan

Kirca (2012) menyatakan bahwa inovasi memiliki konsekuensi positif terhadap

berbagai kinerja seperti posisi pasar, posisi finansial hingga nilai perusahaan di

pasar saham. Organisasi dengan tingkat inovasi yang lebih tinggi akan lebih mudah

dalam merespon perubahan lingkungan dan mengembangkan kemampuan baru

untuk meraih kinerja yang lebih baik (Montes et al., 2004; Tsai, 2001). Inovasi

dibutuhkan untuk meningkatkan performa organisasi supaya dapat tetap efektif dan

efisien dalam rangka bertahan dalam lingkungan yang semakin kompetitif (Mathew

et al., 2015). Dengan manfaat yang didapatkan darinya, inovasi menjadi hal yang

tidak dapat ditinggalkan oleh organisasi yang ingin mengembangkan dan

mempertahankan keunggulan bersaingnya dan/atau memperoleh akses masuk ke

pasar yang baru (Becheikh et al., 2006).

Organisasi perlu mengimplementasikan inovasi dalam bentuk layanan dan metode

penyampaian layanan yang baru dalam rangka merespon perubahan yang ada pada

lingkungan eksternal seperti deregulasi, kelangkaan sumber daya dan permintaan

konsumen (Walker, 2014). Implementasi metode penyampaian layanan baru dalam

suatu organisasi merupakan salah satu bentuk inovasi proses untuk meningkatkan

kinerja organisasi. Inovasi proses adalah pengenalan atas proses produksi, rantai

pasokan, dan administrasi yang baru atau ditingkatkan secara signifikan (Piening &

2

Salge, 2014). Peran inovasi proses dalam merekonfigurasi proses organisasional

melalui inovasi teknologi dan administratif menjadi sangat penting terutama dalam

lingkungan dinamis di mana keunggulan bersaing menjadi sangat mudah terhapus

karena adanya perubahan teknologi, perubahan keinginan konsumen, situasi pasar,

dan kerangka legal yang diterapkan.

Pencarian inovasi-inovasi baru dalam pengelolaan bisnis proses mempunyai

tantangan tersendiri dalam organisasi terutama organisasi besar dengan proses

bisnis yang saling terintegrasi antar fungsi-fungsi di dalamnya (Gulledge Jr. &

Sommer, 2002). Di sisi lain, kebutuhan akan proses bisnis yang lebih efektif dan

efisien juga semakin besar karena fondasi dari operasional bisnis dalam suatu

organisasi dilaksanakan melalui proses bisnis. Proses adalah serangkaian kegiatan

yang saling berhubungan dengan interaksi, yang mengubah obyek menjadi hasil, di

mana karyawan akan menambahkan nilai-nilai prosedural tertentu, menggunakan

sumber daya organisasi (Milan et al., 2014). Sedangkan Gulledge dan Sommer

(2002) proses bisnis didefinisikan sebagai suatu kumpulan tugas-tugas yang

berhubungan secara logis untuk mencapai luaran bisnis yang ditentukan. Proses

bisnis yang lebih efisien dan efektif dapat menghasilkan pengurangan siklus waktu

yang signifikan dan meningkatkan kontrol atas aktivitas-aktivitas di dalamnya.

Oleh karena itu, proses bisnis menjadi elemen yang penting untuk dikelola dalam

mencapai tujuan organisasi baik strategis maupun operasional.

Salah satu bentuk inovasi proses yang banyak dipercaya dapat menghasilkan

metode penyampaian layanan baru yang lebih baik adalah business process

3

reengineering (BPR). BPR merupakan hasil dari adanya tuntutan atas

meningkatnya kebutuhan konsumen atas efisiensi dan keefektifan organisasi (Al-

Mashari et al., 2001; Milan et al., 2014). BPR adalah strategi manajerial yang

berfokus pada analisis dan rancangan dari alur kerja dan proses bisnis dalam suatu

organisasi yang ditujukan untuk membantu organisasi-organisasi dalam secara

fundamental memikirkan ulang cara mereka untuk secara dramatis meningkatkan

layanan konsumen, memotong biaya operasional, dan meningkatkan daya saing

(Brock Jr et al., 1997).

Perlunya pengembangan BPR dalam proses di organisasi dimulai dengan adanya

pergeseran paradigma dari biaya dan kualitas menjadi fleksibilitas dan respon

terhadap keinginan konsumen (O'neill & Sohal, 1999). Dalam proses tersebut, BPR

berperan dalam menciptakan keunggulan bersaing yang berkelanjutan melalui

manajemen proses yang ada dalam organisasi. Bahkan pada awal tahun 1990-an,

BPR dianggap sebagai penyelamat organisasi yang berkinerja kurang baik (Paper

& Chang, 2005). Tidak efektifnya implementasi BPR dapat menghambat inovasi

dan peningkatan berkelanjutan, faktor-faktor yang menyebabkan tidak efektifnya

BPR antara lain hilangnya keberanian, fokus, dan stamina; manajemen senior yang

sudah nyaman dengan menara gading mereka; kurangnya fokus holistik dan

nyaman dengan keuntungan yang didapatkan dari peningkatan minor; isu SDM dan

organisasional; budaya, sikap, dan basis keahlian organisasional; dan pembatasan

sumber daya dan ketakutan atas teknologi informasi (Al-Mashiri & Zairi, 2000).

4

Rekayasa proses bisnis berkaitan dengan memikirkan ulang secara fundamental dan

mendesain ulang proses bisnis untuk mendapatkan peningkatan yang dramatis dan

berkelanjutan dalam kualitas, biaya, layanan, lead-time, outcome, fleksibilitas, dan

inovasi (Al-Mashari et al., 2001). BPR dipromosikan sebagai salah satu alternatif

yang lebih baik dibandingkan konsep manajemen modern lain seperti total quality

management (TQM), karena dianggap lebih rendah biaya untuk diimplementasikan

dan menjamin manfaat yang lebih cepat (Al-Mashiri & Zairi, 2000). BPR saat ini

banyak dikembangkan untuk menyusun strategi dan proses melalui bisnis proses

yang ada untuk mencapai tujuan umum perusahaan seperti kepuasan konsumen,

pengembalian investasi, dan pangsa pasar (Gunasekaran & Bath, 1997).

Kebutuhan untuk meningkatkan kinerja organisasi melalui inovasi merupakan hal

yang diperlukan oleh semua organisasi tidak terkecuali organisasi publik.

Organisasi publik cenderung tertinggal dalam mengadopsi inovasi-inovasi dalam

hal manajemen sehingga sering kali membuat mereka berada dalam kondisi yang

kurang menguntungkan (Mathew et al., 2015). Terkait dengan BPR, meskipun pada

perusahaan swasta sudah banyak diteliti namun penelitian terkait dengan

implementasi BPR di organisasi publik masih sangat terbatas pada negara-negara

maju yang sudah menerapkan organisasi publik transformasional seperti Inggris

dan Belanda (Weerakkody et al., 2011). Hal senada juga diungkapkan oleh

Gulledge dan Sommer (2002) yang menyatakan bahwa penelitian tentang BPR dan

manfaatnya lebih banyak dilakukan di sektor swasta sedangkan pada sektor publik

seperti pemerintahan masih belum cukup banyak dan pembahasannya cenderung

lebih umum. Implementasi BPR untuk memperbaiki bisnis proses di pemerintahan

5

meskipun masih jarang dilakukan, merupakan pilihan yang layak untuk

meningkatkan praktik penyelenggaraan birokrasi di pemerintahan (Fragoso, 2015;

Mathew et al., 2015). Pada sektor publik masih dibutuhkan tambahan literatur yang

dapat menjelaskan BPR dengan tahapan-tahapannya serta manfaat yang dapat

memotivasi pengelola organisasi di sektor publik untuk mengimplementasikan

BPR di dalam organisasi yang dikelolanya.

Meskipun BPR kembali menjadi topik yang menarik, perlu diketahui bahwa

popularitas BPR dalam manajemen proses bisnis sempat turun karena muncul

keraguan dari para eksekutif dan peneliti yang melaporkan hasil yang kurang sukses

dari inisiatif tersebut pada pertengahan tahun 1990-an (Altinkemer et al., 2011).

Kondisi tersebut terjadi karena memosisikan BPR sebagai variabel utama dari

peningkatan kinerja bukan sebagai sebuah variabel mediator yang membutuhkan

kondisi tertentu untuk menghasilkan peningkatan kinerja dari implementasi BPR

(Albadvi et al., 2007). Dalam penelitiannya tersebut, Albadvi et. al. (2007)

menyatakan bahwa BPR membutuhkan kondisi tertentu untuk dapat menghasilkan

dampak yang optimal seperti kesiapan teknologi informasi dan SDM di dalam

organisasi tersebut. Penelitian terhadap faktor kesuksesan implementasi BPR juga

menunjukkan bahwa dalam penerapannya, lingkungan organisasi harus mendukung

adanya perubahan (Paper & Chang, 2005). Di dalam penelitian tersebut juga

disebutkan bahwa teknologi mempunyai peran yang mendukung kesuksesan

implementasi BPR.

6

Dalam melakukan perubahan di tingkat organisasi seperti BPR, pengelola

organisasi perlu memperhatikan faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya

kegagalan. Boohene dan Williams (2012) menyatakan beberapa alasan dibalik

kegagalan dari suatu perubahan bervariasi mulai dari rendahnya pemahaman atas

kapasitas perubahan organisasi hingga ke faktor SDM seperti resistensi terhadap

perubahan. Hal ini senada dengan pernyataan Paper dan Chang (2005) yang

menyatakan bahwa dalam mengimplementasikan perubahan dari BPR perlu

didukung oleh lingkungan yang mendukung perubahan, termasuk SDM di

dalamnya. Resistensi terhadap perubahan merupakan perwujudan dari tidak adanya

dukungan terhadap perubahan di dalam suatu organisasi. Resistensi sendiri

didefinisikan sebagai suatu fenomena yang mempengaruhi proses perubahan,

menunda atau memperlambat permulaannya, menghalangi atau menghambat

penerapannya, dan meningkatkan biayanya (Pardo-del-Val & Martinez-Fuentes,

2003). Studi terkait resistensi terhadap perubahan perlu dilakukan di suatu

organisasi sebelum mengimplementasikan perubahan untuk menekan kemungkinan

gagalnya implementasi tersebut (Bateh et al., 2013). Dengan dilakukannya

pengukuran resistensi perubahan pengelola organisasi dapat menentukan kebijakan

yang tepat dalam memilih pegawai yang tepat untuk menduduki suatu jabatan

maupun untuk melakukan pelatihan yang tepat dengan karakteristik pegawai

tersebut (Oreg, 2003). Dengan mengetahui tingkat resistensi terhadap perubahan di

organisasi, pengelola organisasi dapat menginvestigasi faktor mana saja yang perlu

disesuaikan untuk meningkatkan kemauan dari SDM di dalam organisasi supaya

mau menerima perubahan (Bovey & Hede, 2001).

7

Mengelola resistensi perubahan dengan sukses merupakan tantangan utama yang

paling penting bagi pengelola organisasi dalam mengimpelemtasikan perubahan

(Bovey & Hede, 2001). Implementasi perubahan yang sukses merupakan

kombinasi antara sesuatu yang disebut dengan “hard areas” dan “soft areas”

(Petrescu, 2010). Hard areas sering diidentikkan dengan perencanaan atau inisiasi

dari perubahan sedangkan soft areas merupakan sisi personal atau individu yang

meliputi keputusan dan tindakan yang dirancang dalam membantu anggota

organisasi dalam menerapkan metode, teknologi, dan cara kerja yang baru. Adanya

resistensi terhadap perubahan dalam organisasi bukanlah jalan buntu dalam

menerapkan perubahan melainkan suatu informasi yang perlu digali dan

diperlakukan dengan perlakuan tertentu untuk dapat melancarkan proses

implementasi perubahan ke dalam organisasi tersebut (Robbins, 2006).

Apabila dikaitkan dengan konteks yang ada, perizinan merupakan salah satu

layanan pemerintah yang berhadapan langsung dengan masyarakat sehingga

kinerjanya langsung dirasakan oleh masyarakat. Sayangnya, kinerja perizinan di

Indonesia dipandang belum cukup baik oleh berbagai pihak. Kendala yang

dianggap paling serius dalam permasalahan perizinan di Indonesia di antaranya

adalah permasalahan koordinasi yang tidak baik antar lembaga pemerintah terutama

sejak pelaksanaan otonomi daerah dan birokrasi yang dicerminkan melalui prosedur

administrasi perizinan yang berbelit-belit dan langkah-langkah prosedurnya yang

tidak jelas (Tambunan, 2007). Perizinan daerah memiliki tiga masalah utama yang

dapat meningkatkan biaya transaksi dan inefisiensi, yaitu terjadi perbedaan antara

regulasi pusat dan regulasi implementasi di daerah menyangkut waktu proses dan

8

persyaratan, banyak peraturan tambahan yang diterapkan daerah bertujuan untuk

meningkatkan PAD dan bukan efisiensi perizinan, dan ketiga perizinan yang berada

pada level kabupaten cenderung memiliki koordinasi dan kapasitas yang terbatas

(Steer, 2006). Praktik perizinan sebagai sumber pendapatan daerah senada dengan

hasil survei yang dilakukan oleh The Asia Foundation pada tahun 2006 pada 17

kabupaten di Indonesia yang menyatakan bahwa PAD hanya menyumbang 8,4%

dari APBD dan 7,9% di antaranya dihasilkan dari perizinan. Terdapat tiga

kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta yang diikut sertakan dalam survei

tersebut, yaitu Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul.

Pemerintah melalui Presiden RI pada tanggal 29 September 2015 mengeluarkan

Paket Kebijakan Ekonomi II yang berisi perintah untuk penyederhanaan proses

berinvestasi di Indonesia. Paket kebijakan tersebut memang lebih ditujukan bagi

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Pusat, namun membuka wacana

implementasi atas kebijakan tersebut di seluruh pemerintah daerah di Indonesia.

Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Paket Kebijakan Ekonomi XII yang

diterbitkan pada 28 April 2016 tentang peningkatan kemudahan melakukan bisnis

di seluruh Indonesia (increase ease of doing business). Peringkat kemudahan

berbisnis di Indonesia menurut data dari World Bank 2016 menunjukkan bahwa

sejak 2014 peringkat Indonesia semakin membaik (lihat gambar 1). Setelah sempat

turun peringkat di tahun 2013 menjadi peringkat 120 (sebelumnya di tahun 2012

Indonesia menduduki peringkat 116), berangsur-angsur berhasil naik peringkat ke

109 di tahun 2016. Peningkatan ini patut disyukuri, namun pemerintah pusat

menargetkan bahwa Indonesia harus dapat meraih peringkat 40 pada tahun 2017.

9

Target tersebut baik sebagai motivasi seluruh aparat di instansi yang terkait untuk

meningkatkan kualitas pelayanan perijinan, namun bisa juga sekedar menjadi

“mimpi” yang tak kunjung terwujud jika tidak ada strategi yang jelas untuk

meraihnya.

Gambar 1.1 Peringkat Kemudahan Berbisnis Indonesia dari Tahun ke Tahun (Sumber: World Bank, 2016)

Berbagai indikator yang menjadi dasar penilaian World Bank dalam merangking

kemudahan berbisnis adalah sebagai berikut:

1. Kemudahan Memulai Usaha;

2. Kemudahan Memperoleh Sambungan Listrik;

3. Pembayaran Pajak;

4. Pemenuhan Kontrak;

5. Penyelesaian Kepailitan;

6. Pencatatan Tanah & bangunan;

129

122

126129

116

120 120

114

109

95

100

105

110

115

120

125

130

135

Peringkat

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

10

7. Permasalahan Izin Pembangunan;

8. Kemudahan Memperoleh Kredit;

9. Perlindungan Investor;

10. Perdagangan Lintas Negara.

Melihat berbagai indikator di atas, tampak jelas bahwa untuk memperbaiki

peringkat Indonesia dalam kemudahan berbisnis, tidak bisa jika hanya dilakukan

oleh satu instansi tertentu atau daerah tertentu atau hanya oleh pemerintah pusat

saja. Diperlukan strategi yang komprehensif dan terintegrasi yang melibatkan

berbagai pihak atau lembaga baik di pemerintah pusat maupun daerah.

Meskipun aturan mengenai perizinan diturunkan dari peraturan yang lebih tinggi di

pusat, implementasi peraturan tersebut pada level daerah merupakan hal yang

krusial (Martin, 2002). Implementasi peraturan perizinan di daerah, di tengah

semangat desentralisasi membuat cukup banyak variasi implementasi yang

dilakukan oleh daerah-daerah berbeda. Di sisi lain, implementasi peraturan di

daerah langsung dapat dirasakan oleh masyarakat sebagai konsumen dari layanan

publik sehingga untuk dapat meningkatkan kepuasan konsumen, pembenahan

implementasi peraturan perizinan di daerah perlu diperhatikan.

Berkaca dari reformasi birokrasi yang akhir-akhir ini marak diperbincangkan,

sistem perizinan di Indonesia masih menganut birokrasi tradisional dan belum

senafas dengan paradigma NPM maupun reinventing the government.

Pembenahan-pembenahan selain melalui kebijakan di level pusat, juga dapat

dimulai dengan melakukan perbaikan proses bisnis untuk menciptakan sistem

birokrasi yang efektif dan efisien salah satunya menggunakan BPR (Fragoso,

11

2015). Sebagai salah satu proses baru yang dianut dalam organisasi, penerapan BPR

pada sistem perizinan di pemerintah daerah dapat dikategorikan sebagai inovasi

proses. Penelitian ini mengeksplorasi peran BPR dalam meningkatkan kinerja

sistem perizinan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara lebih spesifik,

mengeksplorasi metode Value Added Analysis dalam menerapkan BPR di proses

perizinan pemerintah daerah dan mengukur resistensi terhadap perubahan yang

mungkin timbul dari penerapan perubahan proses bisnis tersebut serta menyusun

strategi manajemen perubahan untuk mengantisipasi resistensi terhadap perubahan,

dengan objek penelitian yang disasar adalah kinerja proses pelayanan perizinan di

Pemerintah Daerah DIY.

1.2. Perumusan Masalah

Penelitian ini berupaya untuk mengisi celah-celah penelitian (research gaps) dari

penelitian sebelumnya baik dari segi teoritis maupun praktis. Celah-celah yang akan

diisi oleh penelitian ini antara lain.

a. Pertama, penelitian ini mencoba mengisi celah yang belum tertutupi dari

penelitian sebelumnya mengenai implementasi BPR pada organisasi publik

seperti pemerintahan daerah. Penelitian terkait dengan implementasi BPR

di organisasi publik masih sangat terbatas pada negara-negara maju yang

sudah menerapkan organisasi publik transformasional seperti Inggris dan

Belanda (Weerakkody et al., 2011). Selain itu, penelitian terkait BPR di

organisasi publik cenderung kurang detail tidak seperti yang ada pada

penelitian terkait BPR di organisasi swasta sehingga kurang dapat dijadikan

12

sebagai panduan pelaksanaan BPR di organisasi publik (Gulledge Jr. &

Sommer, 2002). Dengan menggunakan alat analisis berupa Value Added

Analysis (VAA), penelitian ini mengembangkan kerangka kerja BPR dalam

organisasi publik pemerintah daerah yang berkaitan dengan pelayanan

perizinan.

b. Kedua, penelitian ini mencoba untuk memformulasikan strategi manajemen

perubahan yang diperlukan untuk mengimplementasikan perubahan di

organisasi pemerintah daerah dengan memperhatikan resistensi terhadap

perubahan yang ada. Perubahan organisasi secara alami akan

mengakibatkan timbulnya reaksi dari individu di dalam organisasi yang

salah satunya adalah resistensi terhadap perubahan tersebut karena faktor

ketidakpastian yang melekat pada suatu perubahan (Bovey & Hede, 2001).

Penelitian ini mengukur resistensi terhadap perubahan dari anggota

organisasi untuk dijadikan pertimbangan dalam mengembangkan strategi

manajemen perubahan untuk mempermudah implementasi perubahan

organisasional tersebut. Penelitian-penelitian terdahulu yang membahas

tentang BPR menunjukkan bahwa tidak sedikit implementasi BPR yang

gagal karena tidak adanya kesiapan dari organisasi dan anggotanya dalam

mengadopsi perubahan yang dihasilkan (Gulledge Jr. & Sommer, 2002).

Penelitian ini melakukan pengukuran resistensi terhadap perubahan dan

merekomendasikan strategi manajemen perubahan dalam mengatasi

resistensi terhadap perubahan. Selain itu, penelitian ini juga mencoba

13

mengisi celah praktis dalam memberikan jaminan kesuksesan implementasi

BPR terutama di organisasi pemerintah daerah.

Berdasarkan celah-celah penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, penelitian

ini merumuskan perubahan proses bisnis dengan menggunakan kerangka Business

Process Reengineering dengan menggunakan alat analisis Value-added Analysis

untuk mengelompokkan aktivitas-aktivitas yang penting dan perlu ditinggalkan

dalam proses bisnis pelayanan perizinan di Pemda DIY. Untuk menjamin

keberhasilan implementasi perubahan proses bisnis tersebut, dilakukan pengukuran

resistensi perubahan dari anggota organisasi yang pekerjaannya berkaitan dengan

pelayanan perizinan untuk kemudian dirumuskan strategi manajemen perubahan

yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi organisasi.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang diutarakan pada bagian sebelumnya,

dapat dihasilkan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana kemungkinan peningkatan proses bisnis pelayanan perizinan di

organisasi pemerintah daerah dengan menggunakan metode business

process reengineering?

2. Berapa besar tingkat resistensi pegawai di dalam proses perizinan terhadap

perubahan proses bisnis?

3. Apa yang perlu dilakukan dalam mengelola perubahan proses bisnis pada

tingkat resistensi terhadap perubahan yang ada di organisasi pemerintah

daerah?

14

4. Apa perbedaan utama yang perlu diperhatikan dalam mengimplementasikan

business process reengineering di organisasi pemerintah daerah dengan

organisasi bisnis?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengeksplorasi kemungkinan peningkatan proses bisnis perizinan di

organisasi pemerintah daerah dengan menggunakan metode business

process reengineering.

2. Mengukur resistensi pegawai di dalam proses perizinan terhadap perubahan

proses bisnis.

3. Merumuskan strategi manajemen perubahan dalam mengelola perubahan

proses bisnis pada tingkat resistensi terhadap perubahan yang ada di

organisasi pemerintah daerah.

4. Mengidentifikasi perbedaan karakteristik yang ada pada organisasi publik

dalam mengimplementasikan business process reengineering dibandingkan

dengan organisasi bisnis.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara praktis maupun

teoritis. Manfaat yang diharapkan antara lain:

1. Manfaat Teoritis.

15

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kerangka kerja teoritis dalam

mengimplementasikan teknik Business Process Reengineering pada

institusi Pemerintah Daerah pada umumnya dan pada layanan perizinan di

tingkat pemerintah daerah pada khususnya. Selain itu, penelitian ini

diharapkan mampu memberikan sumbangan dalam mengidentifikasi

kendala-kendala dalam mengimplementasikan BPR di pemerintah daerah

dan memberikan solusi untuk mengatasi kendala tersebut.

2. Manfaat Praktis.

Penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan sebuah proses bisnis yang

efektif dan efisien dalam layanan perizinan di pemerintah daerah khususnya

di DIY. Proses bisnis yang efektif dan efisien tersebut diharapkan dapat

meningkatkan kinerja lembaga dan meningkatkan kepuasan konsumen

dalam hal ini masyarakat yang mengakses layanan perizinan di DIY.