bab 1, 2, 5, dp, (hk. raoult)
DESCRIPTION
freeTRANSCRIPT
BAB I
LANDASAN TEORI
1.1. Larutan
Dalam kehidupan sehari- hari, istilah larutan sudah sering didengar. Larutan
didefinisikan sebagai campuran homogen yaitu campuran yang memiliki komposisi
serba sama di seluruh bagian volumenya. Suatu larutan terdiri dari satu atau beberapa
macam zat terlarut dan satu pelarut. Secara umum zat terlarut merupakan komponen
yang jumlahnya sedikit sedangkan pelarut adalah komponen yang terdapat dalam
jumlah banyak. Larutan yang mengandung dua komponen yaitu zat terlarut dan
pelarut disebut sebagai larutan biner. Kemampuan pelarut melarutkan zat terlarut
pada suatu suhu mempunyai batas tertentu. Larutan dengan jumlah maksimum zat
terlarut pada temperature tertentu disebut sebagai larutan jenuh. Sebelum mencapai
titik jenuh, larutan disebut larutan tidak jenuh. Namun kadang- kadang dijumpai suatu
keadaan dengan zat terlarut dalam larutan lebih banyak daripada yang seharusnya
dapat larut dalam pelarut tersebut pada suhu tertentu, larutan yang mempunyai
kondisi seperti ini dikatakan sebagai larutan lewat jenuh. (Takeuchi, 2008)
Kelarutan didefinisikan sebagai banyaknya zat terlarut yang dapat
menghasilkan larutan jenuh dalam jumlah tertentu pelarut pada temperature konstan.
Kelarutan suatu zat bergantung pada sifat zat itu, molekul pelarut, temperatur dan
tekanan. (Takeuchi, 2008)
1.2. Larutan Non–Elektrolit
Larutan berdasarkan interaksinya diantara komponen-komponen penyusunnya
dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu larutan ideal dan larutan non ideal. Sedangkan
berdasarkan daya hantar listriknya, larutan dibedakan menjadi larutan elektrolit dan
larutan non elektrolit. (Endang, 2004)
Larutan dikatakan ideal bila partikel zat terlarut dan partikel pelarut tersusun
sembarang, pada proses pencampurannya tidak terjadi efek kalor. Untuk larutan
biner, proses pencampuran tidak terjadi efek kalor bila energi interaksi antara partikel
zat terlarut dan partikel pelarut sama dengan energi interaksi antara sesama partikel
zat terlarut maupun sesama partikel pelarut. Secara umum larutan ideal akan
memenuhi hukum Raoult. Sangat jarang dalam kehidupan nyata didapatkan larutan
yang bersifat ideal, pada umumnya larutan menyimpang dari keadaan ideal atau
merupakan larutan non ideal. (Endang, 2004)
1.3. Hukum Raoult
Raoult adalah seorang ahli kimia dari Perancis, ia mengamati bahwa pada
larutan ideal yang dalam keadaan seimbang antara larutan dan uapnya, maka
perbandingan antara tekanan uap salah satu komponennya (misal A) PA/PA°
sebanding dengan fraksi mol komponen (XA) yang menguap dalam larutan pada suhu
yang sama. Misalkan suatu larutan yang terdiri dari komponen A dan B menguap,
maka tekanan uap A (PA) dinyatakan sebagai :
PA = PA°. XA...................................................................(1)
PA adalah tekanan uap di atas larutan
XA adalah fraksi mol komponen A
PA° adalah tekanan uap A murni
Larutan yang memenuhi hukum ini disebut sebagai larutan ideal. Larutan
ideal adalah larutan yang gaya tarik menarik molekul-molekul komponennya sama
dengan gaya tarik menarik anatara molekul dari masing-masing komponennya. Jadi,
bila larutan zat A dan B bersifat ideal, maka gaya tarik antara molekul A dan B, sama
dengan gaya tarik antara molekul A dan A atau antara B dan B (Sukardjo, 1990).
Bila dua cairan bercampur, maka ruang diatasnya berisi uap kedua cairan
tersebut. Tekanan uap jenuh masing-masing komponen di ruangan itu lebih kecil
daripada tekanan uap jenuh cairan murni, karena permukaan larutan diisi oleh dua
jenis zat sehingga peluang tiap komponen untuk menguap berkurang. Peluang itu
setara dengan fraksi molnya masing-masing.
Campuran ideal adalah sebuah campuran yang menaati hukum Raoult.
Sebenarnya tidak ada campuran yang bisa dibilang ideal. Tapi beberapa campuran
larutan kondisinya benar-benar mendekati keadaan yang ideal. Berikut ini adalah
contohnya:
hexana dan heptana
benzena dan methylbenzena
propan-1-ol dan propan-2-ol
Dalam campuran dua larutan yang dapat menguap, hukum Raoult juga dapat
digunakan (Jim, 2007).
Dalam sebuah larutan, beberapa molekul yang berenergi besar dapat
menggunakan energinya untuk mengalahkan daya tarik intermolekuler permukaan
cairan dan melepaskan diri untuk kemudian menjadi uap. Semakin kecil daya
intermolekuler, semakin banyak molekul yang dapat melepaskan diri pada suhu
tertentu. Pada suhu tertentu, sebagian dari molekul-molekul yang ada akan
mempunyai energi yang cukup untuk melepaskan diri dari permukaan larutan (Jim,
2007).
Pada sebuah campuran ideal dari kedua larutan tersebut, kecenderungan dari
dua macam molekul di dalamnya untuk melepaskan diri tidak berubah. Jadi, apabila
proporsi dari tiap jenis molekul yang melepaskan diri tetap sama maka hanya ada
separuh dari tiap jenis molekul yang dapat melepaskan diri dari campuran larutan
pada suatu waktu tertentu. Apabila komposisi tersebut berubah, kecenderungan
molekul untuk melepaskan diri juga akan berubah. Oleh karena itu, campuran yang
disebut larutan ideal biasanya adalah campuran dua jenis zat yang memiliki besar
molekul yang hampir sama dan mempunyai daya tarik Van der Waals yang sama.
Namun besar molekul keduanya tidak persis sama sehingga walaupun campuran ini
mendekati campuran ideal, tetap saja bukan merupakan campuran ideal (Jim, 2007).
Campuran ideal dari dua larutan akan mempunyai energi entalpi sebesar nol.
Jadi, apabila suhu campuran naik atau turun pada saat keduanya dicampur berarti
campuran tersebut bukan campuran ideal (Jim, 2007).
Pada kondisi ini, maka tekanan uap total (P) akan berharga;
P = PA + PB = XA. PA°+ XB. PB°.........................................(2)
dan bila digambarkan maka diagram tekanan uap terhadap fraksi mol adalah seperti
diperlihatkan pada gambar 1.1. Dari gambar terlihat bahwa fraksi mol A berjalan dari
kanan ke kiri, artinya fraksi mol berharga 1 pada bagian kiri sehingga tekanan uap
murninya (PA°) berada di ordinat kiri. Sebaliknya fraksi mol B berjalan dari 0 sampai
1 dari kiri ke kanan, sehingga tekanan uap B murni (PB°) akan berada di ordinat
bagian kanan. Harga tekanan total larutan ideal pada berbagai variasi komponen
diperlihatkan oleh garis yang menghubungkan PB dan PA. Salah contoh larutan ideal
adalah larutan benzena- toluena. (Endang, 2004)
Gambar 1.1. Diagram Tekanan Uap Larutan Ideal
1.4. Larutan Non Ideal
Larutan biner yang terdiri dari 2 komponen zat terlarut A dan pelarut B, bila
gaya tarik antara A dan B sama besar dibandingkan gaya tarik antara A dengan A dan
B dengan B, maka pelarutan tidak akan menimbulkan efek kalor atau ΔHf berharga
nol. Untuk larutan yang mengikuti hukum Raoult, interaksi antara molekul individual
kedua komponen sama dengan interaksi antara molekul dalam tiap komponen.
Larutan semacam ini disebut larutan ideal. (Endang,2004)
Tetapi kenyataannya dalam banyak larutan gaya tarik antara A dan B tidak
sama dengan gaya kohesi antara A dengan A dan B dengan B, sehingga proses
pelarutan menimbulkan efek kalor. Pada kondisi ini larutan dikatan non ideal.
a. Penyimpangan Negatif
Jika gaya tarik antara A dan B lebih besar dibandingkan gaya tarik antara A
dengan A atau B dengan B, maka proses pelarutan merupakan reaksi eksoterm
dengan harga Δ Hl < 0. Hal ini akan menyebabkan tekanan uap larutan lebih kecil
dibandingkan tekanan uap yang dihitung menggunakan hukum Raoult. (Syukri,1999)
Penyimpangan dari hukum Raoult ini disebut penyimpangan negatif, seperti
diperlihatkan pada gambar 1.2. garis lengkung memperlihatkan terjadinya
penyimpangan tersebut.
Gambar 1.2. Diagram Tekanan Uap dengan Penyimpangan Negatif
Contoh larutan non ideal dengan penyimpangan negatif adalah campuran antara
aseton- kloroform.
b. Penyimpangan Positif
Jika gaya tarik antara A dan B lebih lemah daripada gaya kohesi masing-
masing komponen maka Δ Hl > 0 atau reaksi pelarutan endoterm. Akibatnya tekanan
uap larutan lebih besar daripada tekanan uap yang dihitung dengan hukum Raoult dan
disebut penyimpangan positif. (Syukri,1999)
Seperti yang diperlihatkan oleh gambar 1.3. Dan contoh larutan tipe ini adalah
larutan yang terdiri dari eter ((C2H5)2O) dan CCl4 (karbon tetra klorida).
Gambar 1.3. Diagram Tekanan Uap dengan Penyimpangan Positif
1.5. Sifat Koligatif Larutan
Larutan non ideal mempunyai sifat fisika yang berubah dari keadaan idealnya.
Sifat ini disebut sebagai sifat koligatif larutan yang hanya tergantung pada jumlah
partikel zat terlarut dan tidak tergantung pada sifat dan keadaan partikel. Larutan
yang memiliki sifat koligatif harus memenuhi dua asumsi yaitu zat terlarut tidak
mudah menguap sehingga tidak memeberikan kontibusi pada uapnya. Asumsi yang
kedua adalah zat terlarut tidak larut dalam pelarut padat.
Sifat koligatif larutan meliputi :
Penurunan tekanan uap (ΔP)
Kenaikan titik didih (ΔTb)
Penurunan titik beku (ΔTf )
Tekanan osmosis (π)
Sifat koligatif larutan dapat digunakan untuk menentukan massa molekul relatif suatu
zat.
a. Penurunan Tekanan Uap
Apabila ke dalam suatu pelarut dilarutkan zat yang tidak mudah menguap,
ternyata tekanan uap jenuh larutan menjadi lebih rendah daripada tekanan uap jenuh
pelarut murni. Dalam hal ini uap jenuh larutan dapat jenuh dianggap hanya
mengandung uap zat pelarut (Gambar 1.4.). Selisih antara tekanan uap jenuh pelarut
murni dengan tekanan uap jenuh larutan disebut penurunan tekanan uap jenuh (ΔP).
Jika tekanan uap jenuh pelarut murni dinyatakan dengan P° dan tekanan uap jenuh
larutan dengan P, maka
ΔP = P° – P............................................................................(3)
Pada tahun 1880-an F.M. Raoult, seorang ahli kimia Prancis, menyatakan
bahwa melarutkan zat terlarut mempunyai efek menurunkan tekanan uap dari pelarut.
Adapun bunyi hukum Raoult yang berkaitan dengan penurunan tekanan uap adalah
sebagai berikut :
1. Penurunan tekanan uap jenuh tidak bergantung pada jenis zat yang dilarutkan,
tetapi tergantung pada jumlah partikel zat terlarut.
2. Penurunan tekanan uap jenuh berbanding lurus dengan fraksi mol zat yang
dilarutkan.
Hukum Raoult tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut.
ΔP = P0 . XB............................................................................(4)
Keterangan:
ΔP = penurunan tekanan uap jenuh pelarut
XB = fraksi mol zat terlarut
P° = tekanan uap pelarut murni
XB= nBnA+nB
.............................................................................(5)
Jika larutannya encer, nB << nA, sehingga nA + nB dapat dianggap sama dengan nA,
jadi:
∆ P=P0 . nBnA
..............................................................................(6)
Dalam larutan terdapat zat terlarut dan pelarut, sehingga:
xA + xB = 1.................................................................................(7)
xB = 1 – xA.................................................................................(8)
Jika tekanan uap pelarut dilambangkan P, di mana P < P°, maka:
ΔP = P° – P...............................................................................(9)
P° – P = (1 – xA)PA°..................................................................(10)
P° – P = P° – xA . P°..................................................................(11)
P = xA . P°..................................................................................(12)
Keterangan:
P = tekanan uap larutan
xA = fraksi mol pelarut
P° = tekanan uap pelarut murni
Hukum Raoult telah diuji kebenarannya dengan membandingkan harga P hasil
eksperimen dengan P hasil hitungan berdasarkan rumus di atas. Antara hasil
eksperimen dengan hasil hitungan terdapat perbedaan yang kecil karena kesalahan
dalam pengamatan.
Gambar 1.4. Tekanan uap jenuh larutan (P) lebih rendah daripada tekanan uap jenuh
pelarut murni (P°)
b. Kenaikan Titik Didih (ΔTb) dan Penurunan Titik Beku (ΔTf)
Setiap zat cair pada suhu tertentu mempunyai tekanan uap jenuh tertentu dan
mempunyai harga yang tetap. Zat cair akan mendidih dalam keadaan terbuka jika
tekanan uap jenuhnya sama dengan tekanan atmosfer. Pada saat udara mempunyai
tekanan 1 atm, air mendidih pada suhu 100°C, tetapi jika dalam zat cair itu dilarutkan
suatu zat, maka tekanan uap jenuh air itu akan berkurang. Penurunan tekanan uap
jenuh larutan yang lebih rendah dibanding tekanan uap jenuh pelarut murni
menyebabkan titik didih larutan lebih tinggi daripada titik didih pelarut murni.
Selisih antara titik didih suatu larutan dengan titik didih pelarut murni disebut
kenaikan titik didih larutan (ΔTb).
ΔTb = ΔTb larutan - ΔTb pelarut murni
Jasi, tekanan uap larutan lebih rendah daripada tekanan uap pelarut murni. Hal
ini menyebabkan penurunan titik beku larutan lebih rendah dibandingkan dengan
penurunan titik beku pelarut murni. Selisih temperatur titik beku larutan dengan titik
beku pelarut murni disebut penurunan titik beku (ΔTf).
ΔTf = ΔTf pelarut murni - ΔTf larutan
Menurut Hukum Backman dan Raoult bahwa penurunan titik beku dan
kenaikan titik didih berbanding langsung dengan molalitas yang terlarut di dalamnya.
Hukum tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut.
ΔTb = m x Kf .............................................................................(13)
ΔTf = m x Kf..............................................................................(14)
Keterangan:
Tb = kenaikan titik didih
Kb = tetapan kenaikan titik didih molal
ΔTf = penurunan titik beku
Kf = tetapan titik beku molal
M = molalitas
Syarat Hukum Backman dan Raoult adalah sebagai berikut :
a. Rumus di atas berlaku untuk larutan nonelektrolit.
b. ΔTb tidak berlaku untuk larutan yang mudah menguap.
c. Hanya berlaku untuk larutan yang sangat encer, pada larutan yang pekat terdapat
penyimpangan.
c. Tekanan Osmosis Larutan
Osmosis adalah peristiwa mengalirnya molekul-molekul pelarut ke dalam
larutan secara spontan melalui selaput semipermeabel, atau peristiwa mengalirnya
molekul- molekul zat pelarut dari larutan yang lebih encer kelarutan yang lebih pekat.
Proses osmosis terdapat kecenderungan untuk menyetimbangkan konsentrasi antara
dua larutan yang saling berhubungan melalui membran. Jika kita memperhatikan
osmometer yang diisi larutan gula, kemudian dimasukkan ke dalam gelas kimia yang
berisi air, ternyata permukaan larutan gula pada osmometer naik. Akan tetapi, jika di
atas torak diberi beban tertentu, maka aliran air ke dalam osmometer dapat dicegah.
Gaya yang diperlukan untuk mengimbangi desakan zat pelarut yang mengalir melalui
selaput semi-permeabel ke dalam larutan disebut tekanan osmosis larutan. Hubungan
tekanan osmosis dengan kemolaran larutan oleh Van’t Hoff dapat dirumuskan
sebagai berikut.
π = M.R.T..................................................................................(15)
Keterangan:
π = tekanan osmosis (atm)
M = molaritas (mol/liter)
T = suhu mutlak (K)
R = ketetapan gas (0,082) L.atm.mol–1K–1
BAB II
METODOLOGI PERCOBAAN
1.1 Alat yang Digunakan
1. Alat refluks
2. Termometer
3. Heating mantel
4. Pecahan porselin (pengganti batu didih)
5. Standar besi
6. Dua gelas ukur (10 ml)
7. Corong
8. Gelas kimia
9. Labu didih leher dua (250 ml)
1.2 Bahan-bahan yang Digunakan
1. Etil asetat
2. Etanol
2.3 Prosedur Percobaan
1. Alat refluk dipasang, yang terdiri dari labu leher tiga dan sebuah pendingin
yang dipasang terbalik. Hal yang perlu diperhatikan dalam merangkai alat
refluks:
a) Termometer tercelup ditengah-tengah cairan, namun jangan sampai
menyentuh dinding gelas labu refluks dan ditambahkan batu didih.
b) Setiap kali kedua cairan dimasukkan, sumber panas / listrik harus
dimatikan, mengingat cairan organik yang digunakan mudah terbakar.
2. Etil asetat sebanyak 10 ml dituangkan ke dalam labu refluks dengan corong
melalui lubang pemasukkan cairan. Larutan dipanaskan sampai mendidih dan
dicatat suhunya.
3. Stop kontak listrik dicabut, tunggu larutan agak dingin selanjutnya etanol
sebanyak 2 ml dituangkan ke dalam labu. Labu dipanaskan perlahan-lahan
sampai mendidih dan setelah suhu tetap dicatat suhu didihnya.
4. Demikian seterusnya diulangi setiap kali dengan penambahan 2 ml etanol
sampai jumlah etanol yang ditambahkan mencapai 10 ml. Setiap kali sesudah
penambahan, campuran dipanaskan serta dicatat titik didihnya.
5. Kemudian campuran ini dituangkan kedalam wadah kosong yang tertutup
rapat dan aman.
6. Labu refluk dikeringkan dengan jalan diangin-anginkan.
7. Setelah kering, etanol sebanyak 10 ml dituangkan kedalam labu refluk, labu
dipanaskan dengan hati-hati dan titik didihnya dicatat.
8. Heating mantel dimatikan, larutan ditunggu agak dingin lalu etil asetat
sebanyak 2 ml ditambahkan, labu dipanaskan perlahan-lahan dan titik
didihnya dicatat. Demikian seterusnya sampai jumlah etil asetat yang
ditambahkan mencapai 10 ml. Setiap kali penambahan etil asetat, dicatat suhu
didihnya.
2.4 Pengamatan
Titik didik menurun ketika etil asetat ditambahkan dengan etanol. Hal ini
dibuktikan dari hasil pengamatan yang diperoleh dimana saat campuran etil asetat 10
ml dengan etanol 0 ml titik didihnya 77,5 oC, saat campuran etil asetat 10 ml dengan
etanol 2 ml titik didihnya 76 oC. Sementara titik didih meningkat ketika etanol
ditambahkan dengan etil asetat. Hal ini dapat dilihat dari data pengamatan yang
diperoleh saat campuran etanol 10 ml dengan 0 ml etil asetat titik didihnya 78,5 oC,
saat campuran etanol 10 ml dengan 2 ml etil asetat titik didihnya 76 oC.
BAB V
JAWABAN PERTANYAAN
5.1. Pertanyaan
1. Bagaimana sifat campuran dalam percobaan ini; ideal atau tidak ? kalau tidak
ideal, penyimpangan mana yang terlihat?
Jawab:
Campuran antara etil asetat dan etanol merupakan larutan tidak ideal dan terjadi
penyimpangan. Penyimpangan yang terjadi adalah penyimpangan positif dari hukum
Raoult.
DAFTAR PUSTAKA
Clark, Jim. 2007. Hukum Raoult. http://www.chem-is-try.org. Diakses Tanggal 12
November 2014.
Sukardjo. 1990. Kimia Fisika. Jakarta : Rineka Cipta
Syukri. 1999. Kimia Dasar. ITB Press. Bandung.
Takeuchi, Yaskito.2008. Larutan. http://www.chem-is-try-org. Diakses tanggal 12
November 2014.
Widjajanti, Endang. 2004. Sifat Larutan Biner Non-Elektrolit. Yogyakarta : UNY.
Yelmida.2013. Penuntun Praktikum Kimia Fisika. Pekanbaru : UNRI.