bab 01 kondisi tanah pertanian daerah rawa

Upload: noorikhsan5

Post on 13-Oct-2015

43 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Kondisi Tanah Rawa

TRANSCRIPT

PROSEDUR PENENTUAN PINTU AIR

Improvement in Managing Swampland Ecosystem

Kondisi Tanah Pertanian Daerah Rawa1.1 Jenis Tanah Utama di Lahan RawaLahan rawa merupakan lahan yang selalu dijenuhi air, baik yang berasal dari hujan maupun luapan sungai atau pengaruh pasang surut air laut. Keberadaan air tersebut terutama disebabkan oleh bentuk fisiografi datar sampai cekung yang tidak memungkinkan air tersebut teratus secara cepat. Endapan gambut di rawa terbentuk secara geologis dengan bahan endapan berupa bahan yang terbawa bersama air dari daerah hulu (koloid mineral) atau berupa timbunan sisa tumbuhan setempat yang laju penimbunan lebih cepat daripada laju perombakannya. Sering sekali bahan penyusun rawa tersebut berupa campuran gambut dan tanah mineral, baik campuran langsung maupun lapis melapisi. Vegetasi alami, kejenuhan air yang relatif tidak bergerak, kekahatan oksigen merupakan keadaan dimana laju dekomposisi lebih rendah daripada laju sedimentasi yang menyebabkan lahan gambut dapat tumbuh dan berkembang.

Rawa bukan gambut merupakan endapan aluvial mineral (umumnya lempung) mentah atau gambut yang keadaan aslinya jenuh air (reduksi) dengan suasana tawar atau masin. Pengisian endapan tersebut berasal dari bahan erosi di daerah hulu yang terbawa oleh aliran sungai yang kehilangan kecepatannya sewaktu memasuki rawa. Dengan sangat berkurangnya kecepatan air, menyebabkan sebagian besar bahan erosi akan mulai diendapkan di daerah cekungan rawa tersebut. Bilamana suasana pembentukan rawa adalah marin, maka terjadi reduksi besi dari bahan sedimen dan reduksi sulfat yang terdapat dalam air laut. Kedua komponen reduktif ini dapat membentuk senyawa yang disebut dengan pirit. Kandungan pirit yang > 0.75 % dan tidak cukup bahan alkalinitas untuk menetralkan asam yang ada di dalam pirit tersebut disuatu lingkungan maka tanahnya disebut Sulfaquent atau sulfat masam potensial (SMP). Bilamana pirit teroksidasi dan bersifat sangat masam yang disertai oleh bercak jarosit maka disebut dengan Sulfaquept atau tanah sulfat masam aktual (SMA).

Tanah merupakan faktor penentu dalam pendayagunaan lahan rawa pasang surut. Parameter dari tanah yang diperhatikan dalam pendayagunaan lahan rawa pasang surut yaitu ketebalan gambut dan kedalaman lapisan pirit. Dataran rawa termasuk kelompok fisiografi yang disebut lingkungan pengendapan baru. Di wilayah rawa pasang-surut air tawar (Ruas sungai II), fisiografi endapan marin biasanya adalah endapan campuran, yakni berupa endapan marin yang ditutupi oleh endapan sungai (fluviatil-marin).

Jenis tanah utama yang banyak ditemukan di lahan rawa pasang surut adalah:

1. Tanah mineral rawa;

2. Tanah organik, tanah gambut dan tanah bergambut;

3. Tanah mineral lahan kering.

1.1.1 Tanah Mineral RawaTanah mineral rawa mempunyai tekstur halus, berwarna abu-abu, sering mengandung bahan organik yang tinggi (tanah bergambut) dan terdapat lapisan organik dangkal sampai medium di bagian atas tanah. Memiliki drainase yang buruk, dan sebelum reklamasi tanahnya mentah atau sebagian matang pada 0,70 m lapisan atas serta mempunyai daya dukung tanah yang sangat rendah walaupun proses reklamasi telah berlangsung cukup lama. Kesuburan tanahnya bervariasi tetapi pada umumnya sedang sampai tinggi.A. Tanah SalinLahan ini langsung dipengaruhi oleh pasang surut air laut, baik melalui sungai maupun pengaruh pasang surut yang melebar ke arah depresi aluvium rawa. Secara garis besar intrusi air laut ini sangat bervariasi, dapat hanya < 10 km dari garis pantai sampai menjorok cukup jauh ke pedalaman (60 km), tergantung dari hidrotopografi lahan dan besar kecilnya discharge dari sungai yang bermuara di laut tersebut, di samping besarnya amplitudo ayunan pasang surut. Tanah bersuasana payau sampai masin dengan tumbuhan penutup berupa hutan bakau sampai nipah. Tanahnya terdiri atas bahan endapan mineral bersuasana marin dan/atau gambut pantai. Mengingat suasana endapan yang bersifat marin, kaya bahan organik dan daerah dengan iklim tropis, di daerah ini berkembang tanah yang mengandung bahan sulfidik dan merupakan tanah yang mentah (lunak). Menurut klasifikasinya tanah yang ada disebut tanah Halaquent, Sulfaquent bila endapannya adalah mineral dan Sulfihemist bila tanahnya adalah gambut.B. Lahan Endapan Marin Non SalinLahan ini masih dipengaruhi oleh pasang surut tetapi tidak bersuasana payau atau masin, meskipun suasana asin-payau masih terasa di aliran sungai. Sewaktu pengisiannya dipengaruhi oleh air masin, sehingga tanahnya dapat mengandung bahan sulfidik yang terutama pada tanah mineralnya. Meliputi daerah belakang lahan yang masih aktif dipengaruhi air asin, baik berupa jalur meander ataupun pengisian celah teras yang teriris oleh aliran sungai/saluran drainasi alami. Keberadaan bahan sulfidik dicirikan pula oleh vegetasi gelam atau rerumputan yang toleran suasana masam.C. Tanah Aluvial Non Marin

Lahan yang jenuh air, baik musiman ataupun permanen yang tidak dipengaruhi oleh air payau atau masin dan pengisian daerah cekungan di antara perbukitan atau dataran rendah dengan bahan pengisi berupa tanah mineral atau gambut yang tidak mengandung bahan sulfidik. Tanah ini dapat juga berupa tanah gumuk pasir di pesisir pantai, atau dapat pula berupa teras tua yang sudah cukup matang dan tidak terpengaruh pasang surut. Demikian pula daerah rawa musiman yang hanya tergenang dalam jangka waktu singkat di musim hujan (2 3 bulan) yang dikenal dengan lahan rawa musiman.Karena dalam kondisi alamiah kandungan airnya tinggi, penurunan muka tanah akan terjadi setelah reklamasi, drainase akan menambah tekanan tanah dan selanjutnya terjadi penurunan muka tanah. Untuk tujuan reklamasi dan pengembangan pertanian, dua aspek yang sangat penting dari tanah mineral rawa adalah:

4. Keberadaan tanah sulfat masam potensial atau pirit;

5. Permeabilitas dan tingkat kematangan tanah.1.1.1.1 Tanah Sulfat Masam Potensial dan PermasalahannyaPada tanah sulfat masam potensial (PASS), tanpa reklamasi rawa, penurunan muka air tanah di bawah lapisan pirit tidak dapat dicegah selama musim kemarau, dan akan terjadi oksidasi pirit. Pirit yang telah teroksidasi hendaknya harus dilakukan pencucian/leaching menggunakan air hujan/air pasang surut sebelum melakukan penanaman berikutnya. Disamping masalah yang berkaitan dengan pemanfaatan untuk pertanian, masalah lain yang disebabkan oleh air asam adalah:

1. Untuk manusia air asam rasanya tidak enak, menyebabkan pembusukan gigi, mencuci menjadi sulit dan mandi kurang enak;

2. Beberapa jenis ikan tidak dapat hidup; pertumbuhan tanaman terbatas dan makanan ikan pun menjadi terbatas;

3. Air asam dapat berpengaruh terhadap struktur beton dan tidak dapat digunakan sebagai campuran beton;

4. Apabila air asam bercampur dengan air berlumpur dari sungai pasang surut, akan terjadi sedimentasi partikel tersuspensi yang mengakibatkan terjadinya pendangkalan saluran.Ciri lapangan untuk tanah sulfat masam potensial adalah:

a. Tanah bersuasana jenuh air atau selalu tergenang;b. Warna tanah kekelabuan dan tidak mengandung bercak/karat kemerahan;c. Tanahnya lunak (mentah) mudah keluar dari sela jari tangan bila tanah tersebut dikepal;d. Bila tanah diambil dan dibiarkan terbuka di udara, warna tanah cepat berubah menjadi lebih kelam;e. Pemberian peroksida (H2O2) pada tanah ini akan menyebabkan terjadinya reaksi cepat berupa buih panas yang disertai oleh bau belerang. pH tanah setelah reaksi reda < 2,50

Ciri lapangan untuk tanah sulfat masam aktual adalah:

6. Tanah bersuasana tidak jenuh air (oksidatif);7. Warna tanah kelabu coklat kehitaman, mengandung bercak kekuningan di permukaan tanah (disebut jarosit);8. Tanahnya keras (matang) tanah tidak terperas ke luar dari sela jari tangan bila tanah tersebut dikepal;9. pH tanah < 3,5 (luar biasa masam) dan tidak ada tanaman budidaya yang mampu tumbuh (kecuali rumpuit purun atau pohon gelam);

10. Air saluran yang ada di sekitas tanah ini umumnya jernih, sangat masam (terasa sepet atau pahit bila dicicipi). Air terebut mengandung sulfat dan besi yang bila terminum dapat menyebabkan murus/mencret, tidak dapat digunakan sebagai air untuk kebutuhan rumah tangga). pH air dapat < 2,0.

Identifikasi tanah sulfat masam:f. Test pH dalam keadaan aerob, keberadaan jarosit

g. Test potensi kemasaman

h. Test secara inkubasi

i. Test kemasaman aktual

1.1.1.2 Permeabilitas dan Tingkat Kematangan Tanah

Permeabilitas lapisan atas tanah sangat besar, dan nilai k dilaporkan dari 2 sampai 20 m/hari, dengan nilai KD mencapai 1.000 m3/m/hari. Permeabilitas yang tinggi sering berkaitan dengan tingginya kandungan bahan organik di lapisan atas tanah dan adanya lubang akar tanaman asli yang tetap stabil karena lapisan besi. Permeabilitas berpengaruh besar terhadap drainabilitas, retensi air dan karakteristik pencucian tanah. Lapisan atas tanah yang sebagian matang menyebabkan pembajakan tanah kurang efektip dan menghambat penyiapan lahan dengan mekanisasi.1.1.2 Tanah Gambut dan Tanah BergambutKeberadaan air yang tergenang yang semula berasal dari daerah lain menyebabkan material yang terikut akan terendapkan (biasanya dalam ukuran koloid) merupakan bahan pengisi daerah cekung atau rawa, disamping biomassa vegetasi yang ada diatasnya. Peningkatan muka air laut dengan iklim yang agresif di daerah tropis (khususnya Indonesia) pada 2000 5000 tahun yang lalu menyebabkan banyak lahan datar menjadi daerah rawa yang kemudian terisi oleh bahan endapan. Pada situasi ini proses erosi dan deposisi berjalan intensif, terbentuk endapan gambut (kebanyakan terbentuk dari tumbuhan yang ada diatasnya) yang dapat terpisah atau secara bersamaan dengan endapan bahan mineral (berasal dari lahan atasan).

Gambut terbentuk di daerah cekungan atau datar, dapat berlingkungan tawar dan dapat pula berlingkungan marin. Proses perubahan dari bahan segar menjadi gambut pada umumnya dicirikan oleh perombakan bahan-bahan yang relatif mudah dan cepat terombak, seperti polisakarida, protein dan gugus-gugus alifatik atau siklik yang berantai pendek. Bahan-bahan yang rentan terhadap pelapukan tersebut umumnya kaya dengan nutrisi, bila terombak akan melarut dan mengalami pelindian ke luar lingkungan endapannya. Dalam proses sedimentasi bahan anorganik akan selalu menghasilkan alkalinitas akibat pereduksian nitrat, mangan, besi, sulfida dan karbon dioksida yang merupakan bahan terlarut dan terlindi ke luar dari lingkungannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bahan gambut sebenarnya sudah merupakan sisa hasil perombakan terbatas yang relatif resisten terhadap perombakan pada lingkungan yang miskin oksigen. Bahan endapan anorganik merupakan bahan yang berpotensi mengeluarkan kemasaman bila lingkungannya mengalami pengusikan. Di suasana marin seringkali gambut yang tercampur dengan koloid anorganik mengandung pirit, sehingga sumber potensi kemasamannya dapat terdiri atas asam organik dan asam sulfat.

Faktor vegetasi berpengaruh timbal balik dengan tanah. Artinya, tanah mempengaruhi pertumbuhan, baik yang alami maupun tanaman budidaya, sebaliknya vegetasi dapat mempengaruhi sifat-sifat tanah. Di Indonesia pengaruh tanah terhadap penyebaran jenis vegetasi alami (hutan) sering dikaburkan oleh pengaruh iklim yang tampaknya lebih dominan daripada pengaruh tanah. Hanya pada tanah-tanah yang mempunyai sifat khas, pengaruh tanah menjadi lebih dominan daripada pengaruh iklim. Sebagai contoh tanah-tanah pantai yang kegaramannya tinggi, tidak peduli kondisi iklimnya, sudah dapat dipastikan akan ditumbuhi jenis mangrove seperti Avicennia sp. (api-api), Rhizophora sp. (bakau), Sonneratia sp. (pedada), dll. Tanah-tanah yang tidak terpengaruh air asin, hubungan sifat tanah dengan penyebaran jenis hutan menjadi kurang dominan dibanding pengaruh iklim. Di daerah beriklim basah (curah hujan > 1.600 mm.th-1) tidak peduli jenis tanahnya ditumbuhi oleh hutan hujan tropika, yang terdiri atas pohon-pohon yang selalu hijau dan tidak pernah menggugurkan daunnya dalam musim kemarau. Perbedaan jenis vegetasi di daerah tersebut umumnya disebabkan oleh perbedaan letak ketinggian yang seterusnya menyebabkan perbedaan suhu.

Di daerah rawa beriklim basah, pengaruh tanah dan iklim berjalan bersama. Di wilayah ini tajuk teratas adalah jenis pohon Gonystylus sp. (ramin) dan Shorea uliginosa (meranti). Pada lapisan kedua ditemukan jenis-jenis pohon dari famili Lauraceae, Euphorbiaceae, Myrtaceae, dll. Kecuali berbagai jenis vegetasi tersebut, di dalam tanah hidup berbagai jenis organisme yang dapat dibedakan menjadi jenis fauna dan jenis flora, baik yang berukuran mikro, meso, ataupun makro. Organisme tersebut ada yang bermanfaat (misalnya cacing tanah, bakteri pengikat N, dll) dan ada juga yang mengganggu pertumbuhan tanaman (tikus, nematoda parasit, phythium, dll). Terhadap sifat-sifat tanah, berbagai organisme tersebut dapat mempengaruhi sifat-sifat fisik maupun sifat kimia tanah. Sifat-sifat fisik tanah yang dipengaruhi oleh mikroorganisme adalah pembentukan humus dan struktur tanah, sedang sifat-sifat kimia antara lain meliputi proses oksidasi reduksi berbagai unsur (S, N, Fe, Mn, dll), pengikatan N dari udara dll. Peranan cacing tanah juga penting, baik mekanik, fisik, maupun kimia.D. Gambut TopogenousAdalah gambut yang dibentuk pada depresi topografi dan diendapkan dari sisa tumbuhan yang hidupnya atau berkembangnya mengambil nutrisi tanah mineral, dan nutrisi tersebut mengandung air yang berasal dari humifikasi sisa-sisa tumbuhan yang semasa hidupnya tumbuhan dari pengaruh air permukaan tanah sehingga kadar abunya dipengaruhi oleh elemen yang terbawa oleh air permukaan tersebut (gambut ini disebut sebagai gambut "eutrophic" atau gambut kaya bahan nutrisi).E. Gambut OmbrogenousAdalah gambut yang dibentuk dalam lingkungan pengendapan dimana tumbuhan pembentuk semasa hidupnya hanya tumbuh dari air hujan, sehingga kadar abunya adalah asli (inherent) dari tumbuhan itu sendiri (gambut ini disebut sebagai gambut "oligotrophic" atau gambut miskin bahan nutrisi). Selama pembentukan gambut ombrogenous masih berlanjut, biasanya nutrisi akan terlepas atau hilang secara berangsur-angsur, sehingga tumbuhannya menjadi kurang subur atau kurang lebat pertumbuhan daripada kondisi sebelumnya. Selain itu produksi material organik menjadi rendah dan kondisi ini menyebabkan kecepatan pembentukan massa gambut menjadi berkurang. Kecepatan pembentukan formasi gambut sangat lambat dan berbeda diantara lahan gambut yang ada. Perbedaan kecepatan pembentukan formasi gambut tersebut disebabkan karena iklim dan jenis tumbuhan setiap daerah atau negara berbeda. Kecepatan pembentukan formasi gambut di Eropa diperkirakan sekitar 0,20 - 0,80 M per 1.000 tahun. Menurut Andriesse (1974) ketebalan gambut maksimum pada daerah dataran pantai adalah 4,00 M dan gambut yang terdapat di pedalaman dapat mencapai ketebalan sekitar 12,00 M.1.1.2.1 Proses Pembentukan Gambut

Proses pembentukan tanah gambut adalah sebagai berikut:

5. Gambut terbentuk setempat/insitu, hasil penimbunan bahan organik dari lingkungannya sendiri;6. Laju deposisi lebih cepat dari dekomposisi disebabkan oleh suasana anaerob dari lingkungan yang jenuh/lewat jenuh air;7. Penyusun gambut terutama dari bahan non-klorofil (ranting, batang, akar);8. Susunan gambut terdiri atas bahan sisa/residu pelapukan bahan dasar dan hasil polimerisasi/kondensasi;9. Penyusun utama gambut adalah C, H, dan O yang berbentuk gugus koloidal aromatis, bermuatan negatif dari anion organik;10. Tingkat dekomposisi alami ditentukan oleh durasi kestabilan muka air setempat (dikaitkan dengan evolusi perubahan muka air laut);11. Kesuburan gambut lebih ditentukan oleh keadaan lingkungan, relatif subur pada di daerah cekungan dan pantai. Masam-sangat masam pada daerah yang memungkinkan hasil dekomposisi keluar dari lingkungannya;12. Kadar abu menentukan tingkat kesuburan gambut (tidak termasuk kadar deposit bahan mineral dalam gambut).

1.1.2.2 Sifat Gambut

Pada umumnya pH tanah gambut di Indonesia berkisar 3 sampai 5, tetapi gambut pantai umumnya lebih tinggi daripada gambut pedalaman. Tanah-tanah yang sangat masam menyebabkan kekahatan unsur hara seperti N, P, K, Ca, Mg, Bo, Mo, Cu, Fe, Zn. Kekahatan hara mikro Cu paling sering ditemukan pada tanah gambut. Hal ini karena rendahnya kadar Cu dalam mineral tanah, serta kuatnya ikatan kompleks Cu - organik. Kandungan N total umunya tinggi berkisar antara 2.000 - 4.000 kg N.ha-1 pada lapisan 0-20 cm tetapi yang tersedia bagi tanaman hanya kurang dari 3 persen dari jumlah tersebut. Nisbah C/N yang sangat tinggi menyebabkan N dalam gambut tidak mudah tersedia bagi tanaman.

Unsur P tanah gambut umumnya terdapat sebagai P-organik. Dibandingkan dengan beberapa jenis tanah mineral misalnya Andisol, Ultisol, dan Oksisol, tanah gambut mempunyai kapasitas fiksasi P yang lebih rendah sehingga ketersediaan P pada tanah gambut dapat lebih baik daripada tanah-tanah mineral tersebut.

Kapasitas tukar kation tanah gambut umumnya sangat tinggi (90-200 cmol (+).kg-1) tetapi kejenuhan basanya, terutama pada gambut pedalaman adalah sangat rendah. Kejenuhan basa gambut pedalaman Kalimantan Tengah kurang dari 10 persen (Tim Fakultas Pertanian, IPB, 1974). Keadaan ini menghambat penyediaan hara yang baik bagi tanaman terutama K, Ca, dan Mg. Tanah gambut tebal umumnya juga mempunyai kadar abu yang sangat rendah yang menunjukkan gambut tersebut sangat miskin hara.1.1.2.3 Tanah Gambut

Gambut dibedakan berdasar atas ketebalan dan tingkat dekomposisinya. Dikatakan tanah gambut bilamana kandungan bahan organiknya > 30% bila bagian mineralnya bertekstur kasar/pasir, dan kadar bahan organik > 50% bila fraksi mineralnya adalah lempung. Disebut tanah gambut bilamana ketebalannya > 40 (untuk gambut matang), > 60 cm (untuk gambut mentah/agak matang).

Tingkat dekomposisi/Kematangan Gambut:13. Gambut mentah (fibrik) bilamana kandungan serat masih banyak dan bila diperas maka air perasannya masih jernih kekuningan dan tidak mengandung lumpur.

14. Gambut setengah matang (hemik) bilamana kandungan serat kasar lebih rendah, berwarna hitam dan bila diperas yang terperas ke luar adalah koloid bercampur air berwarna gelap.

15. Gambut matang (saprik) bila tidak lagi mengandung bahan/serat kasar dan bila diperas maka akan terperas seperti pasta dengan sedikit sisa di dalam genggaman.

16. Dikatakan juga tanah gambut bila suatu tanah berlapis-lapis antara sedimen organik dan mineral dengan imbangan > 60% adalah gambut sampai kedalaman 180 cm yang di bagian tanah atasannya adalah gambut dengan ketebalan > 30 cm.1.2 Tipologi Lahan Rawa

Dengan mempertimbangkan faktor-faktor pengaruh marin, ketebalan lapisan gambut, adanya potensi sulfat masam/pirit, serta intensitas dan lama genangan, maka lahan di wilayah rawa dapat dikelompokkan dalam beberapa tipologi lahan utama, sebagai berikut:

17. Lahan Potensial : Merupakan lahan yang lapisan atasnya 0 - 50 cm, mempunyai kadar pirit 2%, dan belum mengalami proses oksidasi, dengan demikian hal ini memiliki resiko atau kendala kecil untuk pengusahaan tanaman.

18. Lahan Sulfat Masam : Merupakan lahan yang tanahnya memiliki lapisan pirit atau sulfidik pada kedalaman < 50 cm dan semua tanah yang memiliki horison sulfurik, walau kedalaman lapisan piritnya > 50 cm. Lahan sulfat masam dibedakan atas

j. Lahan sulfat masam aktual menunjukkan adanya lapisan sulfurikk. Lahan sulfat masam potensial yang tidak/belum mengalami proses oksidasi pirit.

19. Lahan Gambut : Merupakan lahan rawa yang mempunyai lapisan gambut dari berbagai ketebalan, yaitu mulai dari dangkal/tipis (50 - 100 cm), sedang (100 - 200 cm), dalam/tebal (200 - 300 cm), sampai dengan sangat dalam/tebal (> 300 cm). Lahan dengan lapisan gambut tipis < 50 cm disebut lahan bergambut (peaty soil).

20. Lahan Salin : Merupakan lahan pasang-surut payau/salin. Bila lahan ini mendapat intrusi atau pengaruh air laut lebih dari 4 bulan dalam setahun dan kandungan Na dalam larutan 8-15%, lahan ini disebut lahan salin.1.3 Reklamasi Gambut

Lahan gambut sebagai ekosistem yang berperan sebagai pemendam karbon dan penyimpan dan pelepas air, sebagai sumberdaya gambut dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan (pertanian, energi atau bahan baku untuk diekstrak). Untuk dapat tetap berperan sebagai ekosistem dan sekaligus sebagai sumberdaya (khususnya tanaman hutan), maka gambut paling tepat bila dibiarkan dalam keadaan aslinya. Bila hal tersebut tidak dimungkinkan, maka lahan gambut dengan persyaratan tertentu dapat digunakan untuk usaha budidaya pertanian. Tentu saja fungsi ekosistemnya akan berubah, sesuai dengan tindakan reklamasi yang diterapkan dan macam tanaman yang menggantikan tumbuhan aslinya.

Identifikasi lahan gambut yang meliputi sebaran luas, kualitas gambut (tebal, tingkat kesuburan, taraf rombak dan lain-lain) merupakan suatu bagian dari perencanaan awal untuk menentukan pendayagunaan lahan gambut. Sistem evaluasi kesuburan dan kemasaman gambut sampai pada saat ini masih berpedoman pada kriteria tanah mineral. Padahal pada nilai satuan yang sama, harkat nilai tersebut hanya sekitar 15% dari nilai harkat tanah mineral. Ini disebabkan oleh daya simpan lengas yang sangat besar pada gambut dan nilai BV gambut yang jauh lebih kecil dari tanah mineral (0,1 0,25 pada gambut dan 0,9 1,35 pada tanah mineral), dengan lain perkataan untuk mendapatkan harkat yang sama akan dibutuhkan ketebalan 100 120 cm gambut untuk disetarakan dengan 20 cm tanah mineral (Maas, dkk: 1997). Selain laksana tanah diatas, faktor yang juga sangat berperan dalam penentuan kesesuaian lahan adalah kondisi keairan (kualitas dan kuantitas) dalam keadaan asli ataupun keadaan setelah reklamasi. Ayunan air harian (pasang-surut), iklim dan salinitas air merupakan agensia yang berperilaku terhadap kemungkinan perubahan yang terjadi setelah lahan rawa direklamasi. Maas, dkk (1997) menyimpulkan bahwa peran air yang ada dalam gambut sebagai penyuplai nutrisi sangatlah penting, pelindian selain berperan untuk mengubah suasana gambut, menghilangkan kemasaman terlarutkan, juga sekaligus menghilangkan nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Dengan demikian konsep drainase bebas/tidak terbatas perlu dipertimbangkan kembali dalam proses reklamasi lahan gambut.

Tanah gambut berasal dari sisa-sisa tumbuhan, karena itu sifat-sifatnya sangat dipengaruhi oleh sifat dari tumbuhan asal. Tanah gambut yang berasal dari sisa-sisa tanaman pohon mempunyai sifat yang berbeda dengan yang berasal dari rumput, paku-pakuan ataupun lumut sphagnum. Bahkan di antara jenis pohon dapat menghasilkan jenis gambut yang berbeda misalnya antara pohon-pohon hutan yang kaya unsur hara dengan pohon-pohon lain yang miskin unsur hara. Dalam kaitannya dengan mikroorganisme, tanah gambut Indonesia terbentuk karena kurang aktifnya mikroorganisme dalam melakukan proses dekomposisi akibat keadaan anaerob (tergenang air) di daerah rawa-rawa tempat terjadinya gambut tersebut. Aktivitas mikroorganisme juga dapat mencerna berkaitan dengan substrat tumbuh yang miskin hara (substratum pasir kuarsa dan/atau serasah oligotrofik). Maka dapat terbentuk gambut di lahan kering.

Keadaan ini akan berubah bila perbaikan drainase dilakukan dengan pembuatan saluran drainase. Karena air keluar dari tanah maka udara mulai masuk ke dalam tanah sehingga terbentuk suasana aerob yang dapat meningkatkan kegiatan mikroorganisme dalam dekompisisi bahan organik. Berhubung dengan itu maka terjadilah proses pematangan biologis (biological ripening) di samping pematangan kimia dan fisik. Akibat proses pematangan tersebut terjadilah amblesan (subsidence) tanah gambut baik sebagai akibat keluarnya air dari tanah (pematangan fisik) maupun dekomposisi bahan organik kasar menjadi bahan organik halus (pematangan biologi dan kimia). Berbagai jenis organisme yang aktif dalam proses pematangan biologi tersebut antara lain adalah jenis-jenis aktinomisetes, fungi, dan bakteri. Actynomycetes mampu menghancurkan selulosa dan bahan-bahan organik lain yang resisten, sedang fungi juga mampu menghancurkan selulosa dan lignin, disamping bahan yang mudah hancur seperti gula, pati, protein, dsb. Dengan proses dekomposisi tersebut maka tanah gambut kasar (Fibrist) akan berubah menjadi gambut sedang (Hemist) yang selanjutnya menjadi gambut halus (Saprist).

Tanah gambut memiliki ketebalan lebih dari 50 cm dan mengandung 65 % bahan organik. Endapan bahan organik yang lebih dangkal dengan bahan organik kurang dari 65% yang seringkali ditemukan di daerah pesisir pantai bukan dinamakan gambut, tetapi disebut rawa. Oleh karena itu penamaan Proyek Pembukaan Satu Juta Tanah Gambut di Kalimantan Tengah yang sekarang berjalan sebenarnya kurang tepat. Tanah yang dibuka terdiri atas tanah mineral, dan sebagian gambut.

Formasi gambut dangkal yang relatif padat tidak menimbulkan masalah yang berat bagi petani. Hambatan utama adalah amblesan (subsidence) permukaan gambut setelah di lakukan drainasi. Amblesan ini disebabkan oleh pemadatan masa gambut, pengerutan struktur gambut yang mengering, serta peningkatan mineralisasi bahan organik. Masalah ini jarang terjadi bila lapisan gambut tidak tebal, tetapi sebaliknya pada lapisan gambut tebal penurunan permukaan akan merusak sistem drainasi dan struktur lainnya serta dapat mengakibatkan robohnya tanaman yang bertajuk berat. Lapisan atas gambut harus dipertahankan, bila pada lapisan bawah terdapat endapan marin yang potensial masam. Gambut yang berakumulasi di bawah vegetasi bakau mengandung campuran bahan pirit. Tanah semacam ini akan menjadi masam bila dikeringkan secara berlebihan dan mengakibatkan peningkatan kadar besi dan aluminium (Sudjadi dan Sedyarso, 1978).

Kubah-kubah gambut menimbulkan masalah berat karena memiliki porositas yang tinggi dan kadar mineral yang rendah (biasanya < 1%). Pertumbuhannya kearah vertikal memungkinkan drainasi yang menyebabkan gambut mengering dan terpecah-pecah. Amblesan akibat pengeringan sifatnya tidak merata, karena adanya perbedaan jumlah sisa vegetasi serta kepadatan gambut setempat. Drainasi yang berlebihan akan mengakibatkan gambut yang terbuka terkena radiasi matahari dan menyebabkan degradasi lapisan atau tanah yang peka terhadap erosi. Pembukaan gambut, tanpa didahului dengan penelitian/pemetaan akan mendatangkan kesulitan.

Perubahan tanah gambut menjadi lahan pertanian yang produktif memerlukan proses ameliorasi yang kompleks dan memerlukan waktu bertahun-tahun. Menurut Polak (1952) pembukaan hutan atau belukar pada tanah gambut harus disertai dengan drainasi, penurunan kemasaman dan pemupukan. Cara reklamasi gambut sangat bergantung pada sifat dan kedalaman gambut serta rejim kelengasan tanah. Langkah pertama adalah membakar lapisan gambut yang tipis. Akibat pembakaran pH tanah dan tingkat kesuburan tanah akan meningkat untuk sementara waktu walaupun demikian untuk meningkatkan kesuburan tanah masih diperlukan pengapuran dan pemupukan. Petani DAS Rokan di Riau mengalami kehampaan padi pada dua pertiga lahan gambut tebal yang mereka tanami. Sebagian dari tanah yang baru direklamasi, ditinggalkan setelah beberapa tahun. Menurut Wyk (1951) dan Dijk (1937) bahwa masalah sterilitas tersebut disebabkan oleh zat beracun yang terdapat dalam air irigasi. Pendapat ini diperkuat oleh Voort (1942) yang menggunakan air gambut dalam percobaannya. Gambut yang sudah berkembang lanjut dapat digunakan sebagai tanah pertanian. Histosol dengan ketebalan lapisan bahan organik lebih dari 2.0 m tidak disarankan untuk pengembangan pertanian dan sebaiknya dibiarkan sebagai kawasan konservasi. Menambahkan tanah mineral pada lapisan atas gambut dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman.1.4 Status Mutu Tanah Rawa

Status mutu tanah dipandang perlu untuk dibakukan guna dijadikan dasar bagi peruntukan dan pengendalian kerusakan tanah/lahan. Penetapan status mutu tanah sebagai bagian dari baku mutu lingkungan sebagaimana dipersyaratkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, agar ditetapkan dengan peraturan pemerintah untuk dijadikan acuan dalam pengendalian kerusakan tanah dan lingkungan dalam kerangka pengelolaan lingkungan hidup. Peraturan Pemerintah ini telah disepakati Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup untuk memenuhi persyaratan Letter of Intent IMF butir 50.Status Mutu Tanah dan Kriteria Kerusakan Tanah harus mencakup parameterisasi sifat dasar tanah dan status mutunya yang dimengerti dan dapat diaplikasikan untuk berbagai macam penggunaan (khusus produksi biomassa). Sumberdaya tanah ini harus dipelihara, ditingkatkan dan dipulihkan sehingga tetap dapat digunakan dan memberikan manfaatnya secara optimal dan berkelanjutan. Klasifikasi status mutu tanah merupakan kerangka ambang kritis tanah yaitu suatu kisaran angka yang dijadikan patokan untuk menentukan boleh-tidaknya dan sesuai-tidaknya areal tanah di lokasi tertentu digunakan untuk suatu kegiatan tertentu. Untuk mendorong agar pengalokasian penggunaan tanah tetap memperhatikan ambang kritis tanah dan agar ada upaya untuk memelihara, meningkatkan dan memulihkan status mutu tanah, perlu adanya mekanisme pengendalian. Pengendalian mencakup kegiatan atau tindakan pencegahan, penanggulangan dan pemulihan yang masing-masing kegiatan memerlukan instrumen yang berbeda. Diharapkan mutu tanah dapat terpelihara sehingga mampu mendukung kegiatan pembangunan di daerah yang memanfaatkan sumberdaya alam tanah secara berkelanjutan, dalam rangka pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.1.5 Sifat Dasar Tanah dan Ambang KritisnyaPada prinsipnya pertumbuhan vegetasi ditentukan oleh tanah khususnya dalam hal penyediaan air dan hara, di samping itu tanah juga harus menciptakan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan/perkembangan akar. Kondisi tersebut membutuhkan keberadaan pori untuk perpanjangan akar dan pemenuhan kebutuhan oksigen pada pernafasan akar dan pelepasan karbondioksida. Paling sedikit ada 16 macam hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan vegetasi. Karbon, hidrogen dan oksigen yang diambil dari udara dan air kombinasinya terdapat dalam reaksi fotosintesa dan ketiganya merupakan sekitar 90 % dari bahan penyusun kering. Hara lainnya (13 hara) diambil sebagian besar dari tanah. Hara di dalam tanah dalam bentuk tersediakan terdapat dalam koloid mineral dan organik, di samping sebagai bahan yang tidak larut/tidak tersediakan bagi vegetasi. Hara tersediakan merupakan hasil proses pelapukan/peruraian mineral dan dekomposisi bahan organik. Imbangan keharaan merupakan hal yang penting, kelebihan suatu hara tersediakan dapat menimbulkan kekahatan/kekurangan hara lainnya, sebagai contoh kekahatan K karena kebanyakan Ca atau Mg. Juga daya tanggap jenis atau varietas tanaman dapat beraneka pada suasana yang sama.

Penyusunan status mutu tanah dirancang bersama secara nasional yang melibatkan pakar Ilmu Tanah dari berbagai Perguruan Tinggi (IPB, UGM, UNPAD, UNIBRAW), para praktisi Ilmu Tanah, dan Instansi terkait (KLH, Kehutanan, Pertanian). Perumusan awalnya sangat melebar dengan mengikutsertakan bidang ilmu lain yang terkait dengan tanah, antara lain: Fakultas Teknik, Geografi, Hukum, di samping Fakultas Pertanian/Jurusan Ilmu Tanah. Kegiatan perumusan berjalan secara berkesinambungan sejak TA 1998 sampai TA 2001, yang pada akhirnya diputuskan bahwa konsep penilaian hanya dikhususkan pada status mutu tanah ditinjau dari aspek produksi biomassa. Untuk tanah rawa tidak terlalu banyak bidang kepakaran yang terlibat, mengingat di Indonesia rawa merupakan bidang tanah yang relatif baru dan para pakarnya pada waktu itu berasal dari Puslittanak, IPB, UGM dan institusi terkait lainnya. Akhirnya melalui kerjasama PSLH dan PSSL-UGM dengan Bapeda Pusat pada TA 1999 telah dirumuskan suatu usulan Peraturan Pemerintah tentang baku mutu tanah yang berlaku untuk tanah lahan kering dan lahan basah, yang selanjutnya menjadi Peraturan Pemerintah No. 150 tahun 2000. Dalam paper ini khusus dibahas risalah baku mutu lahan basah (rawa).

Permasalahan utama di lahan rawa adalah keberadaan gambut dan sulfat masam potensial, keduanya stabil pada suasana reduktif (kondisi alami hutan rawa). Pengalihfungsian rawa untuk produksi biomassa yang dibudidayakan melalui pembukaan lahan dan saluran drainasi dapat menyebabkan perubahan suasana reduktif ke arah oksidatif yang disertai oleh pemasaman tanah.21. Gambut merupakan tanah isian bagian cekung dari rawa, berasal dari bahan organik yang terhambat dekomposisinya akibat kelangkaan oksigen, laju deposisi lebih cepat daripada laju dekomposisi. Bila lahan gambut dibuka, air tanah akan turun yang dapat menyebabkan: (a) suasana menjadi oksidatif dan terjadi peningkatan perombakan gambut; (b), secara mekanis dengan hilangnya daya tumpu gambut oleh air, gambut akan mengalami amblesan. Amblesan ini ditentukan oleh tinggi penurunan muka air tanah, tebal dan tingkat dekomposisi gambut dan waktu, serta kemungkinan adanya kebakaran. Untuk kelestariannya diperkirakan bila laju amblesan > 35 cm/5 tahun, maka lahan gambut tersebut rusak/tidak berkelanjutan. Tanah gambut berfungsi ganda, di samping sebagai media tumbuh juga sebagai penyimpan dan penyalur air. Kualitas gambut ditentukan oleh tebal dan tingkat dekomposisinya. Semakin tebal akan semakin kurang baik daya dukungnya (secara fisik maupun secara kimia), dan gambut yang mentah berkualitas lebih buruk dibandingkan gambut yang matang. Gambut > 3 m telah ditetapkan sebagai lahan preservasi yang lebih ditekankan pada fungsi lingkungannya.

22. Jeluk Pirit. Pirit merupakan bentukan alam di rawa yang terdiri atas senyawa fero-sulfida yang stabil pada suasana reduksi. Aerasi yang disebabkan oleh konversi lahan rawa menjadi lahan budidaya akan menyebabkan kestabilan pirit terganggu dan teroksidasi menjadi asam sulfat dan besi oksida. Asam sulfat yang terbentuk akan menyebabkan peracunan bagi tanaman serta sangat memasamkan tanah dan air. Semakin dangkal keberadaan pirit di dalam tanah akan semakin besar pula kemungkinan penurunan pH tanah bila pada lahan tersebut dibuat saluran pengatus.

23. Kedalaman Air Tanah Dangkal/Ladung. Untuk menjaga agar tanah rawa tetap berperan sebagai lahan rawa, maka kedalaman air tanah tidak boleh terlalu dalam. Air tanah dangkal < 25 cm ditafsirkan masih dapat menyebabkan tanah rawa tetap jenuh air melalui aliran kapiler. Kondisi jenuh air ini memungkinkan suasana ayunan suasana reduksi tidak terlalu menggoncah.

24. Nilai Redoks. Imbangan udara dan air yang serasi di dalam ruang pori tanah sangat berperan dalam proses penyerapan hara dan respirasi akar, dikenal sebagai tanah dengan aerasi baik (oksidatif). Bila pori diisi oleh air, akan terjadi kelangkaan udara (oksigen) dan tanah cenderung bersuasana reduktif. Suasana oksidasi atau reduksi tersebut dapat dideteksi dengan pengukuran Eh (potensial redoks, dengan satuan mV), semacam pengukuran pH dengan menggunakan elektroda platina. Suasana oksidatif biasanya mempunyai nilai redoks > 400 mV, dan suasana reduksi kuat nilai tersebut dapat < - 200 mV.

25. Reaksi Tanah. Reaksi tanah menunjukkan reaksi asam dan basa di dalam tanah. Reaksi tanah tersebut akan mempengaruhi proses-proses di dalam tanah dan secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan tanaman lewat pengaruhnya terhadap ketersediaan unsur hara. Suatu tanah dapat bereaksi asam atau alkalis tergantung pada konsentrasi ion H dan OH. Untuk mencirikan reaksi tanah tersebut dipakai istilah pH yang diartikan sebagai nilai logaritma negatif dari konsentrasi ion H. Pengukuran dilakukakan dengan pH meter, pH stick atau kertas lakmus. Kondisi alami rawa tanah gambut atau sulfat masam potensial mempunyai pH dengan kisaran 4 6.

26. Nilai DHL. Kandungan ion terlarutkan dalam tanah secara kualitatif diukur dengan EC meter yang pengukurannya disebut nilai daya hantar listrik (DHL) dengan satuan mikro-milimhos/cm2 (S-mS) Rawa baru direklamasi umumnya mempunyai ion dalam bentuk terlarutkan. Hal tersebut terbaca dengan nilai DHL > 300 mS/cm, batas toleransi tanaman adalah 4.000 mS/cm, dimana kepekatan larutan mencapai takaran yang telah menyebabkan proses plasmolisis (pemecahan sel aktif akar) terjadi. Semakin tinggi nilai DHL maka semakin masam air tersebut, terjadi terutama pada musim kemarau dimana proses pengenceran oleh hujan tidak terjadi, sedangkan evaporasi berlanjut dan air tidak mengalir/bergerak. Tingginya nilai DHL dapat juga disebabkan oleh penyusupan air laut, tapi untuk air laut umumnya semakin tinggi nilai DHL tidak disertai oleh semakin rendahnya pH (tetap sekitar netral).

27. Biologi Tanah. Kualitas tanah tidak hanya ditentukan oleh sifat fisik dan kimia tanah, tetapi juga oleh jumlah, jenis, dan kegiatan biota yang terdapat dalam tanah. Biota yang penting ialah bakteri, aktinomisetes, jamur, ganggang biru, dan cacing tanah. Di dalam tanah bakteri merupakan kelompok yang paling dominan. Jenis, jumlah, dan kegiatan biota tanah sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu, kelembaban, redoks potensial, bahan organik, pH, dan hara di dalam tanah. Pada kondisi normal, umumnya jumlah koloni miroba tanah mencapai > 107 cfu/g tanah.Tabel 11 Kriteria Kerusakan Tanah untuk Lahan Basah

No.Sifat Dasar TanahAmbang KritisMetode PengukuranPeralatan

1Amblesan gambut dari atas parit> 35 cm/ 5 thPengukuran langsungPatok subsidensi

2Kedalaman lapisan berpirit dari permukaan tanah < 25 cm

pH H2O2 ( 2,5Reaksi oksidasi dan pengukuran langsungH2O2, pH meter/stick, meteran

3Kedalaman air tanah dangkal > 25 cmPengukuran langsungMeteran

4a. Redoks untuk

tanah berpirit> -100 mVTegangan listrikpH meter, elektroda platina

b. Redoks untuk

tanah gambut> 200 mV

5pH (H2O) 1:2,5< 4,0; > 7,0PotensiometrikpH meter; pH stick

6Daya Hantar Listrik/DHL > 4,0 mS/cmTahanan listrikEC meter

7Jumlah mikroba< 102 cfu/g tanahPlating techniqueCawan petri, colony counter

Catatan:

11. Untuk lahan basah yang tidak bergambut dan kedalaman pirit > 100 cm, ketentuan kedalaman air tanah dan nilai redoks tidak berlaku.

12. Subsidensi gambut dan kedalaman lapisan berpirit tidak berlaku ketentuan-ketentuannya jika lahan belum terusik/masih dalam kondisi alami/hutan alam.Baku mutu tanah disajikan dalam ambang kritis, yang berarti bahwa jika ambang kritis terlewati maka tanah rawa tersebut dikategorikan rusak. Tidak dibedakan faktor penyebab dari pelampauan sifat dasar tanah rawa tersebut, apakah karena perbuatan manusia ataukah memang bawaan/bentukan alami tanah rawa. Rawa yang tidak bermasalah antara lain bebas pirit pada kedalaman > 100 cm, tidak bergambut, bersifat matang (warna kecoklatan) merupakan rawa yang dapat dikonversi menjadi lahan budidaya (umumnya tadah hujan) dengan kategori tidak rusak, meskipun kedalaman air tanah dan nilai redoks telah melampui ketentuan yang tertera pada PP tersebut.

Interaksi watak keairan dan watak tanah di lahan rawa sangatlah erat, dikenal istilah tipologi luapan dan tipologi lahan. Pada tipologi luapan A dan B (pasang mampu meluapi lahan) kemungkinan tanah tidak jenuh relatif kecil, bila kedalaman lapisan berpirit < 25 cm mampu menyebabkan tanah menjadi rusak bila direklamasi. Hal ini tidak terjadi pada tanah gambut mengingat pada tipologi luapan ini gambut relatif selalu jenuh air, kerusakan terjadi bila sifat dasar pH yang mungkin mencapai < 3.5 bila gambut direklamasi. Sebaliknya pada tipologi luapan C dan D (air pasang tidak meluapi lahan dan air tanah > 50 cm) umumnya kedalaman lapisan berpirit > 50 cm sehingga cukup aman untuk direklamasi dengan muka air tanah > 25 cm. Untuk tanah gambut hal ini tidak berlaku, karena gambut dengan air tanah > 25 cm berpotensi menjadi hidrofobik dan sangat masam.

Penyajian ambang kritis untuk setiap peruntukan selalu diupayakan untuk menyebutkan dampak yang mungkin timbul dari kondisi sifat dasar yang ada. Dengan upaya tersebut, diharapkan bahwa masyarakat awam yang tidak menguasai detail teknis masalah kimia, fisika, dan biologi tanah dapat lebih mudah memahami ambang kritis tersebut. Tetapi, mengingat kompleksitas unsur tanah itu sendiri, maka banyak parameter yang memerlukan pengujian di laboratorium. Dalam kaitan tersebut, penilaian ambang kritis memerlukan kualitas sumberdaya manusia dan laboratorium yang memadai.1.6 Evaluasi lahan Rawa untuk Produksi Biomassa

Pada masa lampau evaluasi kesesuaian hanya berdasar atas kondisi/tipologi tanah, padahal kondisi lingkungan tanah juga sangat menentukan cocok atau tidaknya suatu lahan rawa dikembangkan untuk produksi biomassa. Faktor lingkungan dan tanah yang penting untuk parameter evaluasi antara lain berupa:

l. Tipologi luapan, mencakup A, B, C dan D. Untuk lahan lebak berlaku lama musim tergenang dan lama musim tidak tergenang;m. Posisi lahan, terdiri atas tanggul alam yang pada umumnya di tepi sungai, dan rawa belakang;n. Jenis tanah;o. Sifat kimia tanah (terutama pH pada kondisi alami dan prediksi setelah dikembangkan untuk produksi biomassa);TLPosisiJenis TanahEvaluasi PeruntukanKeterangan

A

TA

Mineral halus

Mineral pasir

Gambut < 200 cm

Gambut > 200 cm

Pirit < 50 cm

Pirit > 50 cm

Hutan Bakau dan nipah (garaman permanen)

Sawah, tegal, sagu (garaman berkala)

Hutan untuk Konservasi /preservasi/lindung

Sawah, tegal (sorjan), kebun sagu, atau kelapa (sorjan) Sawah

Sawah

Sawah, tegal

Padi dapat 2 kali tanam per tahun

RB Mineral halus

Mineral pasir

Gambut < 200 cm

Gambut > 200 cm

Pirit < 50 cm

Pirit > 50 cm

Bakau dan nipah (garaman permanen

Sawah, tegal, sagu (garaman berkala)

Konservasi/preservasi/lindung

Sawah, tegal, kebun karet/kelapa

Sawah, kebun karet/sagu

Sawah

Sawah, tegal

Padi dapat 2 kali tanam per tahun

Tegal dan kebun dengan membuat sorjan atau guludan

B

TA

Mineral halus

Mineral pasir

Gambut < 200 cm, Saprik,

pH > 3,5

Gambut < 200 cm, pH < 3,5

Gambut > 200 cm, Saprik/ Hemik, pH > 3,5

Gambut > 200 cm, pH < 3,5

Pirit < 50 cm

Pirit > 50 cm Sawah, tegal, kebun

Konservasi/preservasi/lindung

Sawah, tegal, kebun karet/sagu

Preservasi/konservasi

Kebun karet, preservasi/ konservasi

Preservasi/konservasi

Sawah, preservasi/konservasi

Sawah, tegal, kebun Pergiliran tanaman padi palawija

Pergiliran tanaman padi palawija

Pergiliran tanaman padi bera

Pergiliran tanaman padi palawija.

RB Mineral halus

Mineral pasir

Gambut < 200 cm, Saprik, pH > 3,5

Gambut < 200 cm, pH < 3,5

Gambut > 200 cm, Saprik/ Hemik, pH > 3,5

Gambut > 200 cm,

pH < 3,5

Pirit < 50 cm

Pirit > 50 cm

Sawah, tegal, kebun

Konservasi/preservasi/lindung

Sawah, tegal, kebun

Preservasi/konservasi/hutan rawa

Kebun, preservasi/konservasi

Preservasi/konservasi/hutan rawa

Sawah, preservasi/konservasi

Sawah, tegal, kebun

C, DTA

Mineral halus

Mineral pasir

Gambut < 100 cm, Saprik, pH > 3,5

Gambut < 100 cm,

pH < 3,5

Gambut > 100 cm, Saprik/ Hemik, pH > 3,5

Gambut > 100 cm, pH < 3,5

Pirit < 50 cm

Pirit > 50 cm

Sawah tadah hujan, tegal, kebun

Konservasi/preservasi/lindung

Tegal/kebun (karet) dengan air tanah < 30 cm

Preservasi/konservasi/hutan rawa

Kebun dengan air tanah < 30 cm, preservasi/konservasi

Preservasi/konservasi/hutan rawa

Preservasi/konservasi

Sawah, tegal, kebun dengan air tanah < 30 cm

Lahan tadah hujan dengan pola pergiliran tanaman padi/palawija palawija/bera

Muka air tanah < 30 cm

Bila pH gambut < 3,5 maka penggunaan yang tepat adalah preservasi/hutan, walaupun ketebalan gambut < 100 cm.

Khusus untuk rawa belakng dengan jarak > 5 km dari sungai merupakan daerah tampungan air (preservasi/ konservasi/hutan lindung)

RB Mineral halus

Mineral pasir

Gambut < 100 cm,

Saprik, pH > 3,5

Gambut < 100 cm,

pH < 3,5

Gambut > 100 cm,

pH < 3,5

Pirit < 50 cm

Pirit > 50 cm

Sawah tadah hujan, tegal, kebun

Konservasi/preservasi/lindung

Tegal dengan air tanah < 30 cm, kebun

Preservasi/konservasi/hutan rawa

Preservasi/konservasi/hutan rawa

Preservasi/konservasi

Sawah, tegal, kebun dengan air tanah < 30 cm

Keterangan: TL = Tipologi Luapan, TA = Tanggul Alam, dan RB = Rawa Belakang1.7 Peluang Pemanfaatan Lahan Rawa yang Berwawasan Lingkungan

Dalam sistem pertanian dikenal istilah pertanian terindustri yang ekstraktif dan hanya mengutamakan produksi, dan sistem pertanian yang berkekang diri yang dicirikan oleh teknologi daur ulang, konservasi air serta keanekaragaman tanaman dan ternak (Freudenberger, Cit. Notohadiprawiro, 1997). Berbeda dengan tanah mineral yang bahan penyusunnya relatif stabil, maka tanah gambut mudah berubah karena gambut yang bahan dasarnya berupa lapukan kayu (lignin) itu sendiri secara alamiah akan terdegradasi lanjut.

Reklamasi tanah gambut/rawa dilakukan dengan perbaikan pengatusan, dengan membuat saluran yang akan menyebabkan keseimbangan alamiah lahan rawa berubah. Perubahan ini terutama terjadi di dalam tanah akibat perubahan suasan reduktif menjadi kearah oksidatif. Reaksi kimia, biokimia, dan mikrobiologis akan menghasilkan perubahan tanah anasir yang berperan ganda (sistem redoks). Oksidasi bahan metan, sulfida, fero, amonium, dan mangan atau percepatan oksidasi bahan organik akan menghasilkan senyawa-senyawa yang lebih sederhana dan sebagian besar berupa asam-asam dalam bentuk terlarutkan. Gambut yang mengandung koloid mineral pada tahap awal reklamasi akan mampu menghasilkan produksi tanaman. Kelanjutan dekomposisi yang selalu menghasilkan garam dan asam organik pada suatu saat tidak dapat diimbangi oleh bahan penetral sehingga mulai melarutkan koloid mineral dengan memunculkan aluminium sebagai kation utama.

Konsep pengelolaan berkelanjutan yang sekaligus berwawasan lingkungan untuk tanah gambut antara lain adalah:13. Dengan meminimalkan kecepatan degradasi gambut dan14. Memberi bahan masukan dari luar agar proses ekstraksi nutrisi tidak hanya mengandalkan nutrisi yang terkandung dalam gambut yang relatif kecil. Zona rizosfir gambut yang diperuntukkan bagi tanaman pangan pada umumnya < 25 cm, sedang untuk penyetaraan dengan rizosfir yang sama dengan tanah mineral dibutuhkan tebal 100 cm. Untuk sistem sawah yang jenuh air, maka nutrisi yang ada atau dapat ada di dalam lengas tanah (sebagai nutrisi terlarutkan) akan dapat berperan sebagai penyedia hara.

Tindakan pengolahan minimum dan pemanfaatan tanah gambut untuk persawahan dengan membiarkan gambut tetap jenuh air nampaknya merupakan upaya untuk memperpanjang umur keberadaan gambut, hanya saja tindakan yang sering keliru terapannya dengan membakar gambut yang abunya dimaksudkan untuk menekan kemasaman merupakan proses pemacuan penghilangan sumberdaya alam ini. Bila 1 m3 gambut jenuh tanpa mineral dibakar sampai menjadi abu, maka kandungan abunya tidak akan lebih dari 5 kg. Kekuatan penetralan kemasaman pada 5 kg abu tersebut adalah setara dengan 5 kg dolomit atau kapur lainnya.

Beberapa tindakan pengelolaan yang pernah ada dan yang sedang dikembangkan dan konsekuensinya untuk lahan gambut adalah:28. Pengatusan lahan gambut berdampak pada percepatan aliran air secara lateral yang sekaligus merubah aerasi yang selanjutnya berfungsi sebagai pemacu proses perombakan, pembilas dan membawa hasil dekomposisi tersebut keluar dari tempat semula. Air yang keluar dari areal gambut selalu berwarna kecoklatan keruh (suspended) atau bening (solution), ini menunjukkan terjadinya pelarian/pencucian dari material halus (koloidal) sampai material terlarutkan secara berkesinambungan. Suryanto (1991) dalam penelitiannya menemukan kehilangan > 75% unsur fosfor bila gambut teraerasi dilindi selama 15 hari yang juga disertai oleh hilangnya sebagian besar basa tertukarkan. Akibat kehilangan kation basa pada perombakan awal akan menyebabkan perombakan lanjutan hanya akan menghasilkan asam-asam organik (koloidal/terlarut) yang menyebabkan pH gambut menjadi sangat masam dan miskin hara. Bahan yang tidak mudah terombak akan menguasai sisa gambut setelah proses perombakan berjalan secara lambat, terdiri dari bahan lignin dan komponen humat (> 85%) yang relatif stabil pada suasana masam (driessen, 1978).

29. Air yang berasal dari hujan atau sungai tawar bila digunakan untuk mengairi lahan tersebut hanya akan berfungsi sebagai bahan pengencer dari bahan terlarutkan. Air tersebut tidak dapat berperan untuk menukar atau menetralkan kation asam yang ada dalam tapak jerapan mengingat air tersebut tidak mengandung kadar ion yang mempunyai kekuatan untuk mendesak ion dalam kompleks pertukaran. Dengan demikian konsep peningkatan kesuburan gambut dengan pencucian air hujan adalah sesuatu konsep yang kurang tepat. Tindakan perbaikan kualitas air di petak pertanaman merupakan tindakan yang perlu diteliti lanjut. Maas, dkk (1997) menemukan peningkatan produksi padi sekitar 20% bagi gambut yang airnya ditukar, meskipun kedua perlakuan tersebut diperkaya dengan kombinasi pupuk kandang dan kapur. Pembenahan melalui air pengairan secara alami telah dilakukan oleh petani di delta Mekong, Vietnam. Pada akhir musim kering mereka memasukkan air payau ke lahan pertanian selama 3 5 hari, diulang 2 3 kali. Pada saat hujan, air hujan berfungsi sebagai penggelontor sisa garam selama 2 minggu, dan setelah itu lahan siap ditanami. Petani di Sei Muhur (Kalsel) juga menggunakan garam dapur yang langsung ditebarkan ke lahan pada akhir musim kemarau untuk memperbaiki kualitas tanahnya. Di Tembilahan (Riau) gambut dengan ketebalan > 3 m dan taraf perombakan hemist/fibrist, merupakan daerah penghasil utama kopra di Riau. Di sini pengaruh pengayaan gambut akan hara melalui susupan air payau/masin mampu membuat perkebunan kelapa menjadi sumber penghasilan turun temurun sejak puluhan tahun yang lalu. Sebaran kelapa hanya terpusat pada lahan yang tidak secara langsung terkena air laut (di luar zona bakau dan nipah), nilai kegaraman air yang masih layak adalah < 10 mS. Gambut tebal yang tidak terpengaruh oleh susupan air laut pada umumnya kurang produktif, tanaman kelapa yang baik tidak lagi dijumpai pada jarak 120 km dari tepi laut di Tembilahan, Riau (anonim, 1991).

30. Konsep penyuburan tanah yang sering dipromosikan dengan bahan basa abu vulkan, sangat boleh jadi perlu dikaji dari sisi komposisi bahan dan kemungkinan ubahan bahan tersebut sehingga mampu berperan sebagai penyubur gambut.Dengan melihat komposisi diatas abu vulkan dalam perannya sebagai penyubur tanah akan melarut secara perlahan dan menyediakan hara, kecuali N dan P. Tetapi pelarutan akan pula melarutkan anasir yang dapat berdampak negatif pada tanaman, yaitu keberadaan aluminium yang dalam tahapan awal kurang berperan mengingat kuatnya ikatan ligan organik-aluminium tersebut. Dampak jangka panjang yang hendaknya memerlukan perhatian serius, terlebih lagi bila takaran abu vulkan yang diberikan mencapai nilai 8 - > 10 ton/ha. Batuan beku andesitik atau basaltik yang juga banyak terdapat di luar Jawa, komposisinya hampir menyerupai abu vulkan tersebut. Mungkin saja bahan tersebut dapat ditambang dan dihaluskan untuk dipakai sebagai pengganti abu vulkan, bila konsep penyuburan gambut dengan abu vulkan dapat dipertanggungjawabkan. Terlepas dari nilai gunanya yang lain, komposisi semen yang ditinjau dari bahan dasarnya dan proses yang terjadi selama pembuatannya kiranya bernilai guna lebih baik dari segi kecepatan pelarutan bahannya dan reaksinya terhadap penetralan sumber kemasaman tanah. Oksida basa yang terkandung di dalam semen tersebut dapat mencapai > 9,5% ditambah oksida Ca yang > 60%. Keadaan ini secara teoritis memungkinkan peran semen lebih baik sebagai bahan pembenah gambut, bila yang diharapkan peran penetralannya saja, maka takaran 2 5 ton/ha saja nampaknya setara dengan takaran abu vulkan yang terakhir direkomendasikan.31. Pengapuran sering didengungkan untuk meningkatkan pH tanah, takaran kapur tiap unit volume gambut memang tidaklah besar (< 4 ton/ha), tetapi harus diingat bahwa pemberian bahan alkali kuat seperti kapur tersebut akan menyebabkan percepatan peruraian gambut tersebut yang menghasilkan humat terlindi. Pengapuran langsung pada tanah gambut akan mempercepat pelarutan gambut yang nantinya hanya akan menyisakan komponen lignin atau humin yang sukar terombak (Maas, 1993). Percobaan pengapuran mencapai pH tetap 5,0, menunjukkan terjadinya pelarutan bahan humin sebanyak 26% dari berat tanah gambut (Maas, 1987). Pelarutan asam humat dan fulfat yang berwarna kecoklatan tersebut akan sangat merugikan keharaan tanaman, karena sebagian besar hara terkandung dalam kedua fraksi tersebut (Gieseking, 1975). Perlindian di lapangan akan terjadi berkesinambungan dalam waktu yang tidak terbatas, dengan demikian degradasi keharaan tanaman akan berlangsung terus. Peningkatan kandungan bahan yang sukar terurai (cenderung mentah) akan mendominasi bahan penyusun gambut. Penanggulangan hal tersebut adalah dengan pemampatan gambut dan pencegahan pelindian.

32. Air laut mempunyai pH 7,90 dan EC 55 mS, didominasi oleh garam natrium dan chlorida, disamping mengandung juga ion Mg, Ca, K, SO4, dan HCO3 dalam jumlah yang lebih kecil. Mengingat kadar ioniknya (ionic strength) yang cukup tinggi, maka air laut dapat dipergunakan sebagai ion penukar (ion exchanger). Disamping itu keberadaan ion karbonat dapat dipakai untuk menetralkan sebagian asam yang ada. Setelah ekstraksi keempat sisa air laut dicuci dengan air suling, komposisi kemasaman air cucian tersebut juga diamati. Kekuatan air laut murni sebagai pengekstrak kira-kira 50% dibanding dengan 1 N KCl. Karena sebagian sumber asam dinetralisir oleh karbonat yang terkandung di dalam air laut, maka kemasaman yang sebetulnya berhasil dikeluarkan dari bahan gambut lebih besar. Percobaan lain menunjukkan bahwa pengekstrakan dengan berbagai konsentrasi KCl (garam netral) 0,01 M mampu mengeluarkan 65% kemasaman tertukarkan dengan 4 kali ekstrak berkesinambungan (Maas, 1987). Bila dikonversikan ke suasana air laut, kemungkinan pemanfaatan air laut encer akan mampu menghasilkan hal yang serupa. Pengamatan lapangan di beberapa daerah survei telah menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman keras tidak berkorelasi dengan gambut, asalkan terdapat pengaruh air payau (JIT, 1991). Air sebagai bahan pelarut (musim hujan) dipakai untuk menghilangkan material yang larut air dan tidak berpengaruh pada kation atau anion yang ada di tapak jerapan. Pencucian atau penukaran akan juga membawa bahan-bahan yang terlarutkan lainnya, terutama asam-asam fulfat atau gugus-gugus organik dengan rantai karbon pendek. Keseimbangan larutan dan fase koloid gambut terganggu dan imbangan baru akan lebih dikuasai oleh ion-ion penukar yang pada umumnya merupakan garam-garam netral.

33. Suatu hal yang wajar akibat dekomposisi lanjutan, pelarutan dan kehilangan air sebagai penyangga untuk tetap sarang (pemadatan, pngerutan, dan dehidrasi), dengan waktu gambut akan mengalami penurunan/penipisan (Lucas, 1982). Besaran penipisan ini bervariasi < 1 sampai 8 cm setiap tahun, di Brazil selama 5 tahun terdapat penurunan muka gambut + 50 cm pada gambut dengan ketebalan awal 2,0 m yang direklamasi selama 5 tahun.

34. Dikenal istilah reklamasi total bagi lahan rawa/gambut yang mengandung pirit, yaitu membuat suasana oksidatif semaksimal mungkin sehingga hampir semua pirit aktif dapat teroksidasi. Pada akhir reklamasi dikerjakan ameliorasi, dapat dengan proses penukaran maupun proses penetralan. Kebutuhan bahan penukar/penetral dapat diperhitungkan dari penurunan kejenuhan aluminium sehingga memenuhi persyaratan tumbuh tanaman.

35. Pemberian masukan pupuk organik nampaknya mempunyai peluang yang cukup memberikan harapan. Pupuk organik tersusun atas bahan yang tidak dikuasai oleh lignin dan bersuasana netral sampai alkalis disamping mampu menekan sumber kemasaman juga menyuplai hara yang relatif cepat tersedia, disamping meningkatkan muatan (charge) gambut. Kombinasi pupuk organik, kapur dan bahan mineral (clay) dapat berperan ganda sebagai pembenah sifat fisik, kimia dan tahanan keharaan gambut.

36. Monitoring sistem tata air dan kualitas tanah perlu mendapatkan perhatian selama proses reklamasi. Hal ini penting pula untuk menentukan bentuk tata air yang tepat untuk suatu jenis komoditas yang diterapkan secara berkelanjutan. Analisis laboratorium yang lebih rinci diperlukan secara berkala yang akan menentukan inputan agar kebutuhan tanaman dapat dipenuhi.1.8 Pendayagunaan Lahan Gambut

Konsep pendayagunaan lahan gambut untuk tujuan ekstraksi tidak dapat mempertahankan pertumbuhan gambut, semakin besar usikan terhadap gambut dan lingkungannya akan semakin cepat pula gambut tersebut musnah. Tumbuhan hutan yang diangkut juga merupakan tindakan ekstraksi, mengingat bahan gambut pada umumnya tersusun atas bahan kayu (ranting, dahan, batang dan akar), hanya sebagian kecil berasal dari dedaunan. Usaha pemanfaatan gambut untuk petanian (terutama tanaman pangan) secara lestari dan berwawasan lingkungan bermakna memanfaatkan gambut tersebut selama mungkin dengan menekan laju dekomposisi ke arah hasil akhir berupa bahan terlarutkan dan gas CO2. Untuk tujuan tersebut maka pola penggunaan gambut untuk persawahan merupakan pilihan yang tepat, kondisi tergenang dan perbaikan kualitas air di level petak persawahan tanpa terlalu mementingkan aspek drainase yang merupakan upaya yang dapat menekan perubahan redoks pada gambut disamping juga ikut berperan dalam mencegah polusi air akibat bahan terlarutkan tersebut keluar dari lingkungan petak sawah tersebut. Penilaian fungsi gambut terhadap lingkungan lokal atau regional, dan kesesuaian lahan tetap menjadi prioritas utama dalam menentukan direklamasi atau tidaknya suatu lahan gambut. Kriteria fungsi gambut sebagai reservoir/peredam air, ketebalan, tingkat dekomposisi, pH gambut secara umum merupakan kriteria pokok yang perlu selalu diperhatikan. Gambut air tawar yang hanya dapat direklamasi dengan sistem tata air satu jalan, untuk dapat lestari harus diberi masukan yang akan dikembangkan. Ameliorasi gambut dengan memasukkan kombinasi pupuk alam dan bahan alam lain yang reaktivitasnya rendah atau teknologi masukan rendah lainnya merupakan prasyarat penciptaan lingkungan yang sesuai untuk budidaya pertanian tanaman pangan. Untuk lebih mengoptimalkan penggunaan lahan seperti ini, kiranya usaha perikanan juga memberikan peluang yang cukup cerah. Tentu saja kualitas yang ada di saluran harus diupayakan perbaikannya agar lebih sesuai dengan jenis ikan yang ingin dikembangkan.Modul III : Pengembangan Pertanian Daerah Rawa1-1Modul III : Pengembangan Pertanian Daerah Rawa1-6