b a b ii kajian pustaka 2.1. pengertian - sinta.unud.ac.id 2-kajian... · dapat dimodifikasi adalah...

31
7 B A B II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengertian 2.1.1. Infark Miokard Akut (IMA) IMA salah satu bagian dari sindrom koroner akut (SKA) yang merupakan kondisi yang sangat mengancam jiwa, yaitu terjadi nekrosis yang ireversibel dari otot jantung. IMA dibagi menjadi IMA tanpa ST elevasi yang disebabkan oleh karena oklusi thrombus pada arteri koroner secara parsial dan IMA dengan ST elevasi yang disebabkan oklusi total pada arteri koroner. Gejala IMA yaitu nyeri dada khas angina yang diprovokasi oleh aktivitas (Lilly dkk, 2012). Kriteria diagnosis terbaru dari IMA adalah peningkatan dan atau penurunan yang khas dari biomarker nekrosis miokard dengan disertai satu dari kriteria-kriteria: gejala iskemik jantung, terbentuknya gelombang Q baru pada EKG, terbentuknya iskemia pada EKG (depresi atau elevasi dari segmen ST yang dinamis), maupun dari pemeriksaan imaging ditemukan adanya hilangnya miokard yang masih hidup yang baru atau kelainan kinetik segmen miokard (Antman, 2007). Faktor risiko konvensional PJK terbagi menjadi faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi diantaranya umur, jenis kelamin laki-laki. Sedangkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah merokok, hipertensi, sindroma metabolik, kegemukan,

Upload: vuongkhue

Post on 22-Feb-2018

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7

B A B II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Pengertian

2.1.1. Infark Miokard Akut (IMA)

IMA salah satu bagian dari sindrom koroner akut (SKA) yang merupakan

kondisi yang sangat mengancam jiwa, yaitu terjadi nekrosis yang ireversibel dari otot

jantung. IMA dibagi menjadi IMA tanpa ST elevasi yang disebabkan oleh karena

oklusi thrombus pada arteri koroner secara parsial dan IMA dengan ST elevasi yang

disebabkan oklusi total pada arteri koroner.

Gejala IMA yaitu nyeri dada khas angina yang diprovokasi oleh aktivitas

(Lilly dkk, 2012). Kriteria diagnosis terbaru dari IMA adalah peningkatan dan atau

penurunan yang khas dari biomarker nekrosis miokard dengan disertai satu dari

kriteria-kriteria: gejala iskemik jantung, terbentuknya gelombang Q baru pada EKG,

terbentuknya iskemia pada EKG (depresi atau elevasi dari segmen ST yang dinamis),

maupun dari pemeriksaan imaging ditemukan adanya hilangnya miokard yang masih

hidup yang baru atau kelainan kinetik segmen miokard (Antman, 2007).

Faktor risiko konvensional PJK terbagi menjadi faktor risiko yang dapat

dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat

dimodifikasi diantaranya umur, jenis kelamin laki-laki. Sedangkan faktor risiko yang

dapat dimodifikasi adalah merokok, hipertensi, sindroma metabolik, kegemukan,

8

dislipidemia, dan salah satu yang terpenting adalah diabetes mellitus (DM) tipe 2.

Risiko tertinggi untuk menderita IMA dikemudian hari adalah adanya riwayat terkena

penyakit jantung koroner sebelumnya, selain itu juga riwayat menderita penyakit

serebrovaskular, dan penyakit arteri perifer (Antman, 2007).

2.1.2. Diabetes Mellitus tipe 2

DM tipe 2 mengenai kira-kira 180 juta orang di dunia, dan angka ini akan

meningkat dua kali lipat pada tahun 2030. Pada populasi ini 90% menderita DM tipe

2. Mortalitas pada pasien DM tipe 2 juga ikut meningkat. Sekitar 1.1 juta pasien

meninggal akibat DM tipe 2 pada tahun 2005 dan mencapai dua kali lipatnya pada

tahun 2010. Indonesia, Pakistan, dan Bangladesh masuk dalam 10 negara dengan

jumlah pasien DM tipe 2 terbanyak. Populasi asia dapat memiliki risiko yang lebih

tinggi menuju DM tipe 2, meskipun dengan IMT yang relatif lebih rendah, karena

lebih mengarah ke obesitas viseral. Populasi ini dapat mengalami malnutrisi (dalam

periode perinatal) dan peningkatan berat badan yang cepat saat masa anak-anak.

Kedua hal tersebut dapat menyababkan resistensi insulin (McGuire, 2007).

DM tipe 2 adalah sindrom metabolik yang ditandai dengan adanya

hiperglikemia kronis dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein

akibat defek pada sekresi insulin, kerja insulin, atau kombinasi dari keduanya. Pada

DM tipe 1 disebabkan oleh karena produksi insulin pankreas yang berkurang absolut.

Pada DM tipe 2, kenaikan glukosa darah diakibatkan kombinasi dari predisposisi

genetik, diet yang tidak sehat, inaktivitas fisik, dan peningkatan berat badan dengan

9

distribusi sentral yang menghasilkan proses patofisiologis yang kompleks. Pasien

dengan DM tipe 2 sangat berhubungan erat dan merupakan faktor risiko dari penyakit

kardiovaskular, serebrovaskular, dan penyakit arteri perifer (Lars Ryd dkk, 2007).

Tabel 1.Kriteria yang digunakan untuk klasifikasi glukometabolik menurut

WHO (1999), ADA (1997) dan (2003)

Kriteria diagnosis DM tipe 2 berdasarkan Global guideline International

Diabetes Federation 2012 adalah glukosa darah puasa (GDP) >126 mg/dl atau 75 gr

tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan GDP >126 mg/dl dan atau 2 jam

posprandial >200 mg/dl atau HbA1c >6.5% atau glukosa darah acak >200 mg/dl

disertai dengan gejala klasik DM, dengan catatan individu asimtomatik dengan

pemeriksaan glukosa darah tunggal yang meningkat harus mengulangi pemeriksaan

kembali.

10

DM tipe 2 terjadi akibat kombinasi dari penurunan sekresi insulin dan

penurunan sensitivitas insulin. Awal terjadinya DM tipe 2 ditandai dengan resistensi

insulin yang menyebabkan hiperglikemia postprandial. Kemudian diikuti dengan

perburukan respon insulin secara bertahap terhadap konsentrasi glukosa darah. Pasien

DM tipe 2 sering mengalami obesitas dan kebanyakan tidak aktif secara fisik.

2.2. Patofisiologi DM tipe 2 dengan Atherosklerosis dan IMA

Hiperglikemia adalah abnormalitas metabolik utama pada DM tipe 2.

Hiperglikemia dengan kelainan metabolik lainnya seperti resistensi insulin dan

dislipidemia (ditunjukkan dengan peningkatan trigliserida dan HDL yang rendah)

berperan dalam inhibisi dari produksi nitric oxide (NO) dan produksi spesies oksigen

reaktif (ROS) di endotel dan otot polos pembuluh darah. Fenomena ini dinamakan

stres oksidatif ketika produksi dari spesies oksigen reaktif melebihi kemampuan sel

untuk menetralisirnya melalui mekanisme antioksidatif. Hal ini dianggap sebagai

langkah awal dari terjadinya aterosklerosis. ROS mengurangi level NO,

menyebabkan disfungsi endotel, dan juga meningkatkan berbagai molekul adhesi

intraseluler (ICAM-I dan VCAM-I). Hiperglikemia itu sendiri juga mengaktifkan

protein kinase C (PKC) yang meningkatkan ekspresi dari reseptor platelet-derived

growth factor-B dan transforming growth factor-B (TGF-B). PKC menginduksi

regulasi ekspresi siklooksigenase-2, meningkatkan produksi tromboksan dan

11

menurunkan pelepasan NO. Hiperglikemia menginduksi glikasi non-enzimatik dan

menghasilkan advanced glycation end products (AGEs).

AGE secara langsung memblok aktivitas NO dan memproduksi ROS pada

endotel pembuluh darah. Reseptor untuk AGE distimulasi karena peningkatan

nuclear factor-kB dan aktivator protein I dan juga menginduksi ekspresi gen

inflamasi dan pada akhirnya meningkatkan produksi sitokin inflamasi dan molekul

adhesi intraseluler. Keseimbangan terjadi akibat penurunan level NO dan prostasiklin

melawan peningkatan mediator inflamasi, substansi vasokonstriktor (endotelin I dan

angiotensin II), dan mediator protrombotik (tissue factor dan plasminogen activator

inhibitor-I (PAI-I)). Semua hal tersebut berkontribusi pada perubahan endotel dan

otot polos pembuluh darah yaitu vasokonstriksi, inflamasi, dan trombogenesis, dan

akhirnya menyebabkan aterosklerosis (Stratton, 2000).

Aterosklerosis koroner dan penyakit vaskular perifer meningkat pada pasien

dewasa dengan DM tipe 2 dibandingkan tanpa DM tipe 2. Kemungkinan terjadinya

aterosklerosis berkorelasi erat dengan durasi DM tipe 2 dan adanya komplikasi

mikrovaskular, panyakit vaskular perifer, dan neuropati otonomik. Pada pasien

dengan disfungsi otonom dan neuropati sensoris, persepsi angina secara subyektif

dapat menghilang, dan respon denyut jantung serta tekanan darah yang abnormal saat

istirahat dan beraktivitas (misal: inkompetensi kronotropik) sering terjadi. Ketika

terdiagnosis PJK, kejadian perubahan EKG yang diinduksi latihan sama dengan

insidensi pada pasien tanpa DM tipe 2. Pasien DM tipe 2 yang hendak mengikuti

12

latihan fisik dengan intensitas yang sedang-berat juga merupakan indikasi kelas IIA

untuk dilakukan uji latih treadmill. Penelitian lebih jauh diperlukan untuk

menentukan prosedur tes noninvasif yang optimal untuk mendiagnosis disfungsi

endotel awal dan adanya PJK yang obstruktif pada pasien DM tipe 2 (Stratton, 2000).

Reinfark lebih sering terjadi pada pasien dengan DM tipe 2 dan dengan

riwayat IMA sebelumnya. Prediktor terjadinya reinfark yang dominan secara

angiografis pada pasien yang dilakukan PCI primer adalah stenosis koroner lebih dari

30%, diseksi koroner paska PCI, dan thrombus intrakoroner paska PCI. Pasien DM

dan mereka yang menderita tingkat killip yang lebih tinggi juga lebih sering akan

menderita reinfark (Stratton, 2000).

DM tipe 2 secara khusus juga meningkatkan risiko kematian 30 hari sebanyak

40%. Pasien DM tipe 2 yang selamat juga menagalami komplikasi paska IMA yang

lebih sering, termasuk angina paska infark, perluasan infark, dan gagal jantung.

DM tipe 2 selain meningkatkan risiko terjadinya IMA, juga dapat

memperburuk prognosis pasien IMA. Meskipun terdapat perbaikan luaran klinis pada

pasien DM dan non–DM beberapa dekade terakhir, akan tetapi risiko kardiovaskular

yang berhubungan dengan DM tipe 2 tetaplah ada. Peningkatan risiko yang

berhubungan dengan IMA ini telah diobservasi terjadi pada kadar gula darah dibawah

batas atas kriteria DM tipe 2. Hal ini menimbulkan adakah penanda lain selain gula

darah yang dapat memprediksi luaran kardiovaskular seperti HbA1c (Stratton, 2000;

Vinik dkk, 2007).

13

Tabel 2. Mekanisme kerusakan endothel pada penyakit vaskular akibat diabetes

Patomekanisme Endotel Peningkatan aktivasi NF-kB

Penurunan Nitric oxide Penurunan bioavailibilitas prostasiklin Peningkatan aktivitas endothelin 1 Peningkatan aktivitas angiotensin II Peningkatan aktivitas siklooksigenase 2 Peningkatan aktivitas tromboksan A2 Peningkatan spesies oksigen reaktif Peningkatan produk peroksidasi lipid Penurunan relaksasi endothelium Peningkatan ekspresi RAGE

Otot polos dan matriks vaskular

Peningkatan proliferasi dan migrasi intima Peningkatan degradasi matriks Perubahan komponen matriks

Inflamasi Peningkatan IL-1B, IL-6, CD36, MCP-1 Peningkatan ICAM, VCAM dan selektin Peningkatan aktivitas protein kinase C Peningkatan AGE dan interaksi AGE/RGE

AGEs = advanced glycation end products; ICAMs = intracellular adhesion

molecules; IL = interleukin; MCP = monocyte chemoattractant protein; NF = nuclear

factor; RAGE = receptor for advanced glycation end products; VCAMs = vascular

cell adhesion molecules.

Abnormalitas metabolisme lemak juga berkontribusi terhadap peningkatan

risiko atherosklerosis yang berhubungan dengan DM tipe 2. Dislipidemia diabetes

berhubungan dengan kadar trigliserida, konsentrasi HDL yang rendah, dan

peningkatan LDL aterogenik, dimana semuanya berkontribusi terhadap

14

perkembangan aterosklerosis. Pertubasi sistem proteo-fibrinolitik dan biologi platelet

lebih lanjut mempengaruhi efek vaskular dari diabetes dan menyebabkan kondisi

protrombotik. Abnormalitas yang dimaksud adalah peningkatan tissue factor, faktor

VII, faktor von Willebrand, dan plasminogen activator inhibitor-1, dengan penurunan

kadar antitrombin III dan protein C. Gangguan aktivasi platelet, agregasi, morfologi,

dan life span dapat berkontribusi pada peningkatan efek trombotik dan akselerasi dari

aterosklerosis (McGuire, 2007).

Tabel 3. Pertubasi struktur dan fungsi platelet yang berhubungan dengan DM

(Lars Ryd, 2007).

No Mekanisme Perubahan Fungsi Platelet 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Penurunan fluiditas membran Perubahan homeostasis ion Ca dan Mg Peningkatan sintesis tromboksan A2 Penurunan produksi No dan prostasiklin Penurunan level antioksidan Peningkatan ekspresi molekul adesi (contoh: glikoprotein IIb/IIIa, P-selectin) Peningkatan formasi mikropartikel platelet Peningkatan turnover platelet

2.3. Neuropati Diabetik Sebagai Komplikasi Kronis DM tipe 2

Salah satu dari komplikasi yang paling serius dari DM tipe 2 adalah neuropati

otonomik kardiovaskular atau cardiovascular autonomic neuropathy (CAN). CAN

meliputi berbagai kerusakan dari saraf jantung dan pembuluh darah, yang

menyebabkan abnormalitas dari kontrol denyut jantung dan dinamik vaskular. 15

15

penelitian menggunakan luaran yang berbeda telah mendapatkan prevalensi CAN

sebesar 1% sampai 90%. CAN dapat muncul sebagai diagnosis, dan prevalensinya

meningkat dengan umur, durasi dari DM tipe 2, dan kontrol glukosa yang buruk.

CAN dapat muncul bersamaan dengan adanya polineuropati simetris distal,

mikroangiopati dan makroangiopati.

Umur, DM tipe 2, obesitas, dan merokok merupakan faktor risiko terjadinya

variabilitas denyut jantung yang abnormal pada DM tipe 2. Hba1c, hipertensi,

polineuropati simetris distal, retinopati, dan ekspos hiperglikemia juga merupakan

faktor risiko terhadap perkembangan CAN pada DM tipe 2 (Gibbons dkk, 2002).

Manifestasi klinis CAN termasuk takikardia saat istirahat, intoleransi latihan,

hipotensi ortostatik, takikardia ortostatik dan sindroma bradikardia, dan silent

myocardial ischemia (Gibbons dkk, 2002).

1. Takikardia saat istirahat

DM dengan kerusakan vagal dapat menyebabkan kerusakan variabilitas

denyut jantung, dan pada akhirnya menyebabkan takikardia saat istirahat yang

menetap (denyut jantung istirahat dapat mencapai 90-100 kali permenit). Kelainan

denyut jantung ini paling berat disebabkan oleh kerusakan parasimpatis dibandingkan

kerusakan saraf simpatis. Denyut jantung yang tidak responsif dengan latihan sedang,

stres, dan istirahat mengindikasikan kerusakan saraf otonomik yang hampir komplit.

2. Intoleransi latihan

16

Disfungsi otonomik menurunkan toleransi latihan/aktivitas, menurunkan

respon denyut jantung dan tekanan darah, dan menumpulkan respon peningkatan

curah jantung terhadap latihan. Pasien DM tipe 2 yang menderita CAN sebaiknya

dilakukan uji latihan sebelum menjalani program latihan. Pasien dengan CAN harus

mengandalkan persepsi pernafasan mereka dan bukan denyut jantung saat latihan

untuk menghindari level intensitas latihan yang berbahaya.

3. Hipotensi ortostatik

Definisi hipotensi ortostatik adalah penurunan dari tekanan darah (30 mmHg

tekanan darah sistol dan 10 mmHg diastol) sebagai respon dari perubahan postural

dari posisi tidur ke berdiri. Gejala mulai dari asimtomatik, lemah badan, pingsan,

pusing, dan gangguan penglihatan. Perubahan posisi dari tidur ke berdiri pada

umumnya menyebabkan aktivasi baroreseptor, refleks simpatis sentral, menghasilkan

peningkatan resistensi vaskular perifer dan akselerasi denyut jantung. Pada pasien

dengan DM tipe 2, hipotensi ortostatik dapat disebabkan oleh kerusakan serat

vasomotor simpatis eferen, terutama pada pembuluh darah splankhnik. Hal ini

menyebabkan penurunan resistensi vaskular total.

4. Silent myocardial ischemia

Penurunan sensasi nyeri iskemik dapat mempengaruhi respon terhadap

iskemia atau infark miokard yang dapat menunda pemberian terapi yang seharusnya.

Banyak penelitian yang menyebutkan peningkatan kejadian silent ischemia pada DM

tipe 2 dengan CAN daripada tanpa CAN. Pada pasien CAN dengan penyakit jantung

17

koroner sangat berbahaya karena ambang batas yang meningkat menyebabkan pasien

membiarkan kondisi iskemia tanpa gejala yang cukup lama dan tidak terobati.

2.4. Rehabilitasi Paska IMA

Rehabilitasi paska IMA merupakan aspek yang sangat penting dan harus

diberikan pada seluruh pasien paska IMA. Rehabilitasi bertujuan untuk

mengembalikan kualitas hidup penderita sebaik mungkin, termasuk kembali bekerja.

Unsur rehabilitasi yang termasuk adalah faktor fisik, psikologis dan sosio-ekonomi.

Rehabilitasi harus dilakukan secepat mungkin setelah fase akut IMA dan diteruskan

sampai beberapa minggu dan bulan setelahnya. Program rehabilitasi bersifat

multidisiplin dan bertujuan menurunkan berbagai faktor risiko untuk PJK (Van de

Werf, 2012).

Latihan fisik paska IMA merupakan salah satu modalitas rehabilitasi

kardiovaskular yang dimasukkan dalam guideline latihan baik oleh ESC maupun

AHA. Empat mekanisme penting yang dapat menurunkan kejadian kardiovaskular

adalah: (1) memperbaiki fungsi endotel; (2) mengurangi progresivitas lesi koroner;

(3) mengurangi risiko trombogenik; dan (4) Meningkatkan kolateralisasi pembuluh

darah. Pada sebuah meta analisis, latihan fisik sebagai salah satu bagian dari

rehabilitasi koroner dapat menurunkan risiko berulangnya kejadian kardiovaskular

sebesar 26% pada pasien yang sudah diketahui menderita PJK. Selain mortalitas,

rehabilitasi latihan juga dapat meningkatkan kapasitas latihan pasien, fitnes

18

kardiorespiratorik, dan persepsi sehat pasien tersebut. Rekomendasinya adalah

dengan melakukan latihan aerobik dengan intensitas sedang selama 30 menit dengan

frekuensi 5 kali seminggu (Van de Werf, 2012).

Rekomendasi kelas I dalam latihan fisik paska IMA adalah dilakukan sebelum

memulangkan pasien untuk keperluan prognostik, peresepan aktivitas dirumah,

evaluasi terapi medis (submaksimal dalam waktu 4-6 hari setelah onset), segera

setelah pasien pulang yaitu 14-21 hari, kemudian lama setelah pasien pulang yaitu 3-

6 minggu untuk keperluan prognostik dan dilakukan ketika latihan fisik sebelum

pulang tidak bisa dilakukan, peresepan dan rekomendasi beratnya aktivitas sehari-

hari, dan rehabilitasi jantung (Gibbons dkk, 2002). Uji latih treadmill submaksimal

yang dimaksud adalah dilakukan hingga setidaknya mencapai denyut nadi 70% dari

prediksi denyut jantung maksimal, 120 kali permenit, hingga kapasitas fungsional 5

METs dengan menggunakan protokol modified Bruce (Perk dkk, 2007).

Uji latih treadmill paska IMA aman untuk dilakukan. Insidensi terjadinya

kejadian kardiovaskular yang fatal, termasuk IMA dan ruptur jantung adalah 0.03%,

IMA nonfatal dan henti jantung yang berhasil direrusitasi adalah 0.09%, dan aritmia

kompleks termasuk VT adalah 1.4%. Protokol terbatas gejala (symptom limited)

memiliki angka kejadian 1.9 kali lebih banyak daripada uji latih submaksimal,

meskipun secara keseluruhan kejadian fatal sangat rendah. Data keamanan paling

banyak didapatkan pada 7 hari paska IMA (Perk dkk, 2007).

19

Dasar dilakukan dan aktivitas fisik paska IMA adalah karena latihan fisik

memiliki efek yang menguntungkan terhadap berbagai respon fisiologis tubuh.

1. Efek latihan terhadap respon denyut jantung dan tekanan darah terhadap latihan

Latihan fisik dapat menurunkan kerja miokardium pada level latihan yang

submaksimal karena efek adaptasi dari sirkulasi perifer.

2. Mempertahankan dan meningkatkan kapasitas total latihan

3. Meningkatkan kapasitas latihan bebas gejala

4. Penurunan kolesterol LDL dan trigliserida dan peningkatan LDL

5. Peningkatan aktivitas fibrinolitik

6. Penurunan viskositas darah

7. Penurunan berat badan

8. Penurunan tekanan darah arteri

9. Penurunan level katekolamin

10. Peningkatan ‘fibrillation threshold’

11. Peningkatan fungsi endotel pembuluh darah

12. Peningkatan jumlah sel progenitor endotel (EPC) yang bersirkulasi dalam

pembuluh darah

13. Penurunan stress

14. Perbaikan kualitas hidup

2.5. Kapasitas Latihan dan Hemodinamik Abnormal pada Uji Latih Treadmill

20

Variabel prognostik yang diukur saat uji latih treadmill yang dapat

memprediksi luaran kardiovaskular merupakan indikator dari kebugaran tubuh secara

umum dan fungsi dari sistem saraf otonom. Metode yang telah diketahui memiliki

nilai prognostik adalah penyesuaian sederhana dari denyut jantung terhadap depresi

segmen ST, pengukuran kapasitas fungsional, kompetensi dan inkompetensi

kronotropik, pemulihan denyut jantung, dan ektopik ventrikel yang sering saat fase

pemulihan (Gibbons dkk, 2002: Arena dkk, 2007; Kligfield, 2006).

1. Kapasitas latihan

Nilai prognostik dari kapasitas latihan telah dapat dipastikan pada subyek

yang sehat yang dilakukan deteksi dini penyakit jantung koroner dan untuk

mengevaluasi pasien yang telah diketahui menderita PJK. Banyak penelitian pada

subyek sehat yang menyatakan bahwa kapasitas latihan/fungsional merupakan

prediktor independen yang kuat terhadap mortalitas kardiovakular dan mortalitas oleh

karena sebab apapun. Nilai prognostik yang independen dari kapasitas latihan juga

telah dipastikan pada laki-laki, perempuan, dan pasien usia lanjut. Kapasitas latihan

juga telah dapat menyediakan stratifikasi risiko pada subset pasien PJK tergantung

dari anatomisnya.

Durasi latihan –berapa menit pasien mampu melanjutkan latihan sesuai

protokol- adalah metode yang sangat baik untuk mengukur kapasitas latihan. Jalan

lain untuk mengukur kapasitas latihan adalah dengan mengukur ambilan oksigen saat

latihan, dimana bisa dilihat dari jumlah ekuivalen metaboliknya (MET’s, 1 MET =

21

3.5 mL O2 /kg/mnt). Bagaimanapun, hampir setiap laboratorium mengukur kapasitas

latihan dengan protokol yang spesifik (misal: protokol Bruce) berdasarkan

normogram yang dipublikasikan. Intinya adalah semakin lama pasien dapat

melanjutkan uji latih treadmill, semakin kecil kemungkinan pasien tersebut akan

meninggal oleh karena penyakit jantung koroner-atau oleh karena sebab lain.

Faktanya, variabel prognostik yang diukur melalui uji latih treadmill, kapasitas

latihan merupakan variabel yang terkuat (Miller, 2008).

Pada laki-laki yang tidak menderita PJK dengan kapasitas latihan <5 METs

memiliki risiko kematian 4,5 kali dalam waktu 6 tahun, sedangkan pada pasien

dengan PJK risikonya meningkat 4,1 kali dibandingkat pasien dengan kapasitas

latihan >8 METs. Setiap peningkatan 1 METs akan meningkatkan harapan hidup

sebesar 12%. Pada pasien perempuan asimtomatik risiko kematian pasien dengan

kapasitas latihan <5 METs adalah 3,1 dibanding >8 METs (Miller, 2008; Arena dkk,

2007).

Meskipun memiliki nilai prognostik yang terkuat, penggunaan kapasitas

latihan secara rutin juga problematik akibat kurangnya standarisasi. Kapasitas latihan

sangat berhubungan dengan umur dan jenis kelamin. Kapasitas latihan biasanya akan

semakin berkurang sesuai usia dan lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan

perempuan. Beberapa penelitian menggunakan batasan <5 METs ada perempuan dan

<7 METs pada laki-laki, sedangkan penelitian lainnya menyebutkan berkurangnya

kapasitas latihan bila terletak pada kuartil terendah berdasarkan kelompok umur dan

22

jenis kelamin. Pendekatan-pendekatan ini tidak sepenuhnya juga dapat diterapkan

karena perbedaan karakteristik antar populasi (Miller, 2008; Arena dkk, 2007;

Ellestad, 2003).

Telah dikembangkan juga sebuah normogram untuk mengetahui karakteristik

kapasitas latihan yang akurat, baik pada laki-laki maupun perempuan. Telah

disebutkan bahwa kapasitas latihan <85% dari nilai prediksi mengandung risiko

secara prognostik, namun hal ini baru terbukti pada populasi perempuan.

Gambar 1. Normogram yang spesifik berdasarkan jenis kelamin dan umur

(Kligfield, 2006).

2. Hipotensi durante latihan

23

Hipotensi durante latihan didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah

sistol lebih dari 10 mmHg dibandingkan saat pasien sedang beristirahat berbaring

maupun saat sedang berdiri. Hal ini merefleksikan kegagalan respon peningkatan

cardiac output dan berhubungan dengan adanya penyakit jantung koroner yang berat

(contoh: penyakit arteri left main atau three-vessel disease), adanya disfungsi sistolik

ventrikel kiri, atau keduanya.

Dubach et al, pada sebuah penelitian terhadap 2036 pasien yang dilakukan uji

latih treadmill untuk mengevaluasi penyakit jantung koroner kronis menemukan

bahwa hipotensi durante latihan berhubungan dengan tiga kali lipat peningkatan

serangan jantung dalam 2 tahun. Pada meta-analisis uji latih treadmill setelah IMA,

satu-satunya prediktor peningkatan risiko adalah keterbatasan lama latihan dan

hipotensi durante latihan (Miller, 2008; Arena dkk, 2007).

3. Inkompetensi kronotropik

Denyut jantung normalnya meningkat dengan latihan dan menurun segera

setelah latihan berhenti. Kegagalan denyut jantung untuk meningkat sesuai dengan

beratnya latihan dinamakan inkompetensi kronotropik. Inkompetensi kronotropik

dapat memprediksi mortalitas jangka panjang akibat kardiovaskular maupun sebab

yang lain. Pada pasien yang simtomatik dengan inkompetensi kronotropik risiko

kematian dalam 2 tahun mencapai 1,84 kali, sedangkan bila indeks kronotropik (CI)

kurang dari 80% memiliki risiko kematian 2,19 kali dalam 2 tahun.

24

Peningkatan awal dari denyut jantung saat latihan diperkirakan akibat

penurunan sentral dari inhibisi parasimpatis disertai peningkatan tonus simpatis.

Kemudian akan diikuti oleh peningkatan stimulasi simpatis sentral dan kadar

katekolamin yang bersirkulasi. Kedua hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan

denyut jantung.

Terdapat perbedaan kriteria untuk mendefinisikan inkompetensi kronotropik

berdasarkan denyut jantung istirahat, protokol latihan, umur pasien, dan pengobatan

(terutama beta-bloker). Prediksi respon kronotropik dapat dihitung berdasarkan

indeks kronotropik (CI) yaitu: ((denyut jantung maksimal dikurangi denyut jantung

istirahat) : (220 dikurangi denyut jantung istirahat)) x 100. Perbedaan antara denyut

jantung maksimal dan istirahat disebut dengan simpanan denyut jantung (heart rate

reserve). Metode yang lebih simpel adalah dengan menghitung prediksi denyut

jantung maksimal yang dihitung dengan rumus: 220 dikurangi umur dalam tahun.

Inkompetensi kronotropik didefinisikian sebagai denyut jantung saat latihan kurang

dari 85% dan kurang dari 62% dari prediksi denyut jantung maksimal pada pasien

yang menggunakan beta-bloker, Pasien hanya mencapai kurang dari 80% dari indeks

kronotropik atau 62% pada yang menggunakan beta-bloker, atau denyut nadi tidak

mencapai 120x/menit pada uji latih treadmill yang adekuat (Miller, 2008; Arena dkk,

2007; Ellestad, 2003).

4. Pemulihan denyut jantung

25

Ketika latihan berhenti, denyut jantung akan menurun kembali ke denyut

jantung sebelum latihan dalam beberapa menit hingga jam, dengan penurunan paling

besar pada menit awal. Penurunan denyut jantung saat 30 detik sampai 1 menit

setelah latihan disebabkan karena reaktivasi parasimpatis. Karena banyaknya literatur

yang menyebutkan fungsi dan disfungsi sistem saraf parasimpatis terhadap mortalitas,

maka timbul hipotesis lemahnya pemulihan denyut jantung berhubungan dengan

mortalitas.

Ambang batas respon yang abnormal pemulihan denyut jantung adalah

sebagai berikut:

Pemulihan denyut jantung 1 menit :

Berdiri : denyut jantung menurun sekurang-kurangnya 12 denyut/menit

Tidur : sekurang-kurangnya 18 denyut/menit

Pemulihan denyut jantung 2 menit :

Duduk : denyut jantung menurun kurang dari 22 kali permenit

Ketidakmampuan denyut jantung untuk pulih (turun kembali ke frekuensi

normal) dapat memprediksi mortalitas karena sebab apapun dan kejadian

kardiovaskular termasuk henti jantung mendadak pada populasi sehat maupun pasien

dengan penyakit jantung koroner yang telah dilakukan angiografi koroner, stress

ekokardiografi, maupun imaging dengan pemeriksaan nuklir.

Pasien dengan kelainan pemulihan denyut jantung dengan dan ditemukan

iskemia pada uji latih memiliki risiko moderat mortalitas 4,16 kali dibanding yang

26

normal. Penelitian kohort lain menyebutkan kalainan pemulihan denyut jantung

meningkatkan risiko kematian sebesar 2,09 kali (Kligsfeld, 2006).

Alasan mengapa pasien dengan kelainan pemulihan denyut jantung dapat

meningkatkan risiko masih belum sepenuhnya dimengerti. Beberapa penelitian

menyebutkan hal tersebut merupakan predisposisi terhadap aritmia yang fatal dan

kematian jantung mendadak.

Baik pemulihan denyut jantung dan respon kronotropik berhubungan dengan

perburukan derajat penyakit jantung koroner melalui angiografi, namun hubungannya

tidak begitu kuat. Salah satu penelitian observasional terbaru menyebutkan pemulihan

denyut jantung dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan iskemia yang

kemungkinan dapat membaik dengan revaskularisasi. Maksudnya bahwa pasien

iskemia dengan kelainan pemulihan denyut jantung memiliki risiko yang sangat

tinggi terhadap mortalitas dan tidak memiliki perbaikan secara mortalitas terhadap

revaskularisasi. Berbeda pada pasien dengan pemulihan denyut jantung yang normal

yang memiliki perbaikan secara mortalitas. Pertanyaan penting lainnya adalah apakah

pemulihan denyut jantung tersebut dapat dimodifikasi. Salah satu penelitian

menyebutkan perbaikan pemulihan denyut jantung dapat diperoleh dengan latihan

fisik yang optimal pada penderita paska infark miokard (Kligseld, 2006).

Beberapa variable dapat mempengaruhi pemulihan denyut jantung, termasuk

aktivitas (pendinginan setelah latihan fisik) dan posisi (tidur, duduk, berdiri).

5. Ektopik ventrikel

27

Berbagai tipe aritmia ventrikel dapat muncul pada saat uji latih treadmill:

- Takikardia ventrikel atau fibrilasi ventrikel karena penyakit jantung koroner atau

disfungsi ventrikel kiri jarang terjadi namun dapat membahayakan jiwa.

- Ektopik ventrikel singkat: kontraksi ventrikel prematur tunggal, couplet, atau

episode singkat dari takikardia ventrikel yang timbul saat atau segera setelah uji latih

treadmill lebih sering terjadi daripada takikardia ventrikel yang menetap. Nilai

signifikansi prognostik pada ektopik ini masih kontroversial. Review penelitian akhir-

akhir ini menemukan bahwa timbulnya ektopik ventrikel saat latihan berhubungan

dengan peningkatan mortalitas pada 13 dari 22 penelitian. 15 dari penelitian-

penelitian ini mencakup pasien yang telah diketahui menderita PJK (Kligsfeld, 2006).

Terjadinya kontraksi ventrikel prematur yang sering berhubungan dengan

peningkatan risiko kematian kardiovaskular dalam selang waktu 23 tahun independen

terhadap adanya iskemia.

Frolkis et al mengevaluasi 29 ribu pasien yang dilakukan uji latih treadmill

dan menemukan prevalensi ektopik ventrikel yang cukup jarang (3% saat latihan, 2%

setelah latihan dan 2% saat dan setelah latihan). Angka mortalitas dalam 5 tahun lebih

tinggi pada pasien yang mengalami ektopik ventrikel dibandingkan yang tanpa

ektopik ventrikel (9% vs 5%, P<0.001). Kemudian hanya ektopik ventrikel setelah

latihan (bukan saat latihan) yang berhubungan dengan mortalitas (adjusted hazard

ratio 1.5; 95% CI 1.1–1.9; P = .003). Hubungan antara ektopik ventrikel dan iskemia

yang terinduksi latihan dengan fungsi ventrikel kiri tetap tidak jelas (Kligsfeld, 2006).

28

2.6. Protokol Bruce dan Modified Bruce pada Uji Latih Treadmill

Protokol treadmill harus konsisten dengan kapasitas fisik pasien dan tujuan

dari uji latih tersebut. Pada pasien yang sehat, protokol yang paling sering digunakan

adalah protokol Bruce, dan data penelitian baik diagnostik maupun prognostik telah

didapatkan dengan metode ini. Protokol maksimal treadmill Bruce memiliki periode

selama 3 menit untuk mencapai kondisi stabil sebelum meningkatkan tingkat kerja.

Pada pasien yang lebih tua atau dengan disertai penyakit jantung (misal: paska IMA,

gagal jantung kongestif) dapat dilakukan modifikasi dengan adanya dua fase

pemanasan selama 3 menit yaitu 1.7 mph tingkat 0% dan 1.7 mph dengan tingkat 5%

(protokol modified Bruce) (Chaitman, 2012).

Keterbatasan dari protokol Bruce adalah perubahan tingkat kerja yang cukup

besar antar fase dan adanya tambahan energi akibat pasien harus berlari saat sudah

mencapai fase III Bruce.Protokol Naughton dan Weber menggunakan fase 1 sampai 2

menit dengan perubahan 1 MET tiap fasenya. Protokol ini cukup baik digunakan

pada pasien dengan toleransi aktivitas yang terbatas seperti pasien gagal jantung

kongestif. Protokol lainnya yang dapat digunakan namun lebih jarang adalah protokol

ACIP (The Asymptomatic Cardiac Ischemia Pilot dan modified ACIP (mACIP)

(Chaitman, 2012).

Kebanyakan uji latih treadmill yang dilakukan 1 sampai 2 minggu paska IMA

dihentikan sampai target denyut jantung yang spesifik, biasanya 70% dari prediksi

29

denyut jantung maksimal berdasarkan umur (120 sampa 130 kali permenit) atau

hingga tingkat kerja 3 sampai 5 METs telah tercapai. Respon ini dilakukan jika belum

mendapatkan terapi reperfusi. Protokol yang dimodifikasi ini dimulai dengan tingkat

kerja awal yang rendah dan diteruskan dengan peningkatan yang tidak begitu besar.

Uji latih yang dibatasi denyut jantung maupun beban kerja dinamakan uji latih

submaksimal, yang paling baik digunakan pada periode 1 sampai 2 minggu paska

IMA dan direkomendasikan oleh guideline ACC-AHA. Uji latih akan dihentikan bila

terdapat gejala angina, sesak nafas, atau kelelahan, dan berdasarkan tanda-tanda

seperti depresi segmen ST yang signifikan, hipotensi, dan aritmia ventrikel

(Chaitman,2012).

Gambar 2. Kebutuhan oksigen dengan sepeda ergometri dan beberapa protokol

uji latih treadmill. Protokol Bruce standar dimulai dengan kecepatan 1.7 mph

30

dan tingkat 10% (5 METs), dengan perbedaan antar level yang lebih besar

daripada protokol Naughton, ACIP, dan Weber. Protokol Bruce dapat

dimodifikasi dengan menambahkan 2 fase pemanasan selama 3 menit pada

kecepatan 1.7 mph dengan tingkat 0% dan 1.7 mph dengan tingkat 5%.

DeBusk dan Haskell membandingkan protokol treadmill yang terbatas gejala

dan denyut jantung saat 3 minggu paska AMI dan menemukan bahwa keduanya

cukup aman dalam menimbulkan abnormalitas iskemia dan mengidentifikasi pasien

yang berisiko menderita serangan jantung dikemudian hari (Ellestad, 2003).

2.7. HbA1c sebagai Prediktor Mortalitas pada Pasien DM tipe 2 dengan

Penyakit Kardiovaskular

HbA1c atau hemoglobin terglikosilasi merupakan indikator dari konsentrasi

glukosa darah selama 2-3 bulan sebelumnya, dan merupakan biomarker yang telah

diketahui secara luas dalam praktek sehari-hari. Data epidemiologi saat ini

menempatkan level Hba1c sebagai faktor risiko independen terhadap penyakit

kardiovaskuler di populasi umum maupun populasi sekunder. Saat ini International

Expert Committee Report (IECR) merekomendasikan pemeriksaan HbA1c sebagai

salah satu metode untuk mendiagnosis DM tipe 2 yaitu jika level Hba1c >6.5% (Cho

dkk, 2011).

31

HbA1c juga memeiliki nilai prognostik pada pasien dengan penyakit jantung

koroner atau aterosklerosis. Peningkatan HbA1c memprediksi peningkatan risiko

mortalitas jangka pendek dan jangka panjang pada pasien yag sebelumnya belum

diketahui menderita diabetes mellitus. DM tipe 2 dan kontrol glikemik akut (saat

MRS, glukosa darah puasa atau preoperatif) merupakan faktor risiko independen

terhadap prognostik pada pasien SKA atau IMA.

Meskipun hiperglikemia akut pada kebanyakan pasien tersebut merupakan

manifestasi dari gangguan metabolisme glukosa sementara, dan juga ditunjang oleh

stress akibat pelepasan kortisol dan katekolamin. Luaran yang buruk yang

berhubungan dengan hiperglikemia akut juga berkontribusi terhadap respon stress

akut dari penyakit yang berat. Level Hba1c merupakan indikator yang lebih stabil

dari kontrol glukosa darah jangka panjang dan lebih berguna dalam memprediksi

toleransi glukosa abnormal pada pasien PJK dibandingkan dengan glukosa darah saat

MRS (Cho dkk, 2011).

Penelitian terakhir yang mengevaluasi nilai prognostik Hba1c pada pasien

PJK menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Ada penelitian yang menyatakan Hba1c

bukan merupakan prediktor mortalitas secara independen, namun ada juga penelitian

yang menyebutkan Hba1c merupakan prediktor yang poten terhadiap kematian saat di

rumah sakit dan jangka panjang. Setelah dilakukan pembahasan yang sistematis

ditemukan bahwa Hba1c memiliki efek prognostik yang berbeda-beda tergantung

dari status DM tipe 2 pasien tersebut.

32

Terdapat beberapa hal yang menjelaskan perbedaan hasil penelitian tersebut.

Pertama, pasien dengan peningkatan Hba1c tanpa diketahui menderita DM tipe 2 dan

tidak diterapi sesuai DM tipe 2 juga memiliki faktor risiko lain seperti dislipidemia

atau hipertensi yang juga belum terobati sebelum MRS, sedangkan pasien yang

diketahui menderita DM tipe 2 biasanya diobati dengan insulin dan faktor risiko

lainnya. Kedua, nilai cut-off yang sama yang menandakan peningkatan Hba1c

mungkin relatif terlalu rendah untuk membedakan kondisi hiperglikemia kronis

akibat DM tipe 2 dibandingkan pasien non-DM. Ketiga, penelitan menunjukkan

perkembangan dari terapi reperfusi pada pasien IMA sehingga memperbaiki luaran

klinis pasien. Reperfusi yang efektif terutama dengan PCI dapat menurunkan efek

buruk peningkatan HbA1c pada pasien DM. Keempat, HbA1c dapat kehilangan daya

prediksinya pada pasien DM dengan gagal jantung dengan faktor risiko yang

diketahui yang lain seperti peningkatan indeks massa tubuh (IMT) dan kolesterol

total.

Sebuah penelitian melaporkan hubungan antara mortalitas dan level HbA1c

pada pasien DM tipe 2 dengan gagal jantung berbentuk U, dimana HbA1c<7.1 dan

>7.8% berhubungan dengan tingkat mortalitas yang lebih tinggi. Kelima, UK

Prospective Diabetes Study (UKPDS) menunjukkan meskipun dengan terapi glukosa

yang intensif menghasilkan perkembangan penyakit makrovaskular yang tidak

signifikan dalam kurun waktu 5 tahun, namun dalam waktu 10 tahun menunjukkan

33

penurunan risiko IMA dan kematian secara signifikan. Sedangkan follow-up pasien

daam penelitian-penelitian ini dilakukan dalam kurang dari 5 tahun (Stratton, 2000).

Peningkatan HbA1c dihasilkan dari resistensi insulin jangka panjang;

gangguan metabolik berhubungan dengan resistensi insulin termasuk hiperglikemia,

dislipidemia, hiperkoagulabilitas dan inflamasi dapat merupakan mekanisme

patologis utama dari efek buruk peningkatan HbA1c pada kondisi PJK. Pada analisa

penelitian sebelumnya, setelah disesuaikan dengan faktor risiko prognostik yang lain

seperti umur tua, hipertensi, paska infark miokard, dan dislipidemia, HbA1c tetap

merupakan faktor independen yang berhubungan dengan peningkatan risiko

mortalitas. Namun hubungan tersebut juga dapat disebabkan karena faktor risiko

kardiovaskular yang lain. Adanya peningkatan level HbA1c, melalui hubungannya

dengan sindrom metabolik, dapat mendahului perkembangan faktor risiko lainnya,

dan faktor risiko lainnya dapat memiliki jalur proaterogenik biologis yang sama.

2.8. HbA1c Berhubungan dengan Kompleksitas dan Derajat Stenosis Arteri

Koroner

HbA1c berhubungan dengan derajat stenosis dan kompleksitas PJK yang

diukur melalui skor SYNTAX pada PJK.Berdasarkan penelitian disebutkan bahwa

tingginya HbA1c (diatas 7 %) berhubungan dengan beratnya stenosis arteri koroner

dan kompleksitas yang diukur melalui skor SYNTAX. Selain itu tingginya HbA1c

terbukti merupakan faktor risiko yang independen terhadap terjadinya hiperglikemia

34

kronis yang berhubungan dengan adanya PJK dan derajat keparahan stenosis arteri

koronernya pada pasien tanpa DM tipe 2 (Ayhan dkk, 2012).

2.9. Hubungan HbA1c dengan Neuropati Otonomik Kardiovaskular pada DM

tipe 2 dan Hemodinamik Abnormal pada Uji Latih Treadmill

DM tipe 2 dapat menyebabkan terjadinya komplikasi termasuk disfungsi

sistem saraf otonom atau neuropati otonomik. Neuropati otonomik merupakan

mekanisme dasar yang dapat menyebabkan berbagai abnormalitas hemodinamik pada

uji latih treadmill (Vinik dkk, 2007).

Peningkatan tonus parasimpatis diperkirakan merupakan mekanisme protektif

pada rehabilitasi jantung dan berhubungan dengan variabilitas denyut jantung selama

latihan. Reaktivasi vagal menimbulkan respon untuk mengembalikan denyut jantung

kembali ke fase sebelum latihan. DM tipe 2 melalui neuropati otonomik dapat

merusak mekanisme reaktivasi parasimpatis paska latihan tersebut dan menyebabkan

keterlambatan dari pemulihan denyut jantung, inkompetensi kronotropik yang

nantinya juga berhubungan dengan mortalitas jangka panjang (Tesfaye dkk, 1996).

Salah satu penelitian EURODIAB IDDM menyebutkan bahwa prevalensi

terjadinya diabetik neuropati berhubungan secara signifikan dengan umur, durasi

diabetes, kualitas dari kontrol metabolik yang ditunjukkan dengan level HbA1c,

tinggi badan, adanya diabetik retinopati proliferatif, merokok, tingginya HDL, dan

adanya penyakit kardiovaskular (semua dengan p<0.001) (Tesfye dkk, 1996).

35

Penelitian lain juga menyebutkan terdapat hubungan yang erat antara DM tipe

2 yang tidak terkontrol dengan risiko terjadinya polineuropati pada pasien DM tipe 2

yang ditunjukkan dengan kelainan konduksi saraf. Selain itu juga HbA1c menjadi

faktor yang terpenting yang dapat memprediksi risiko neuropati subklinis. Sehingga

American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan HbA1c<7% untuk

menurunkan risiko komplikasi tersebut (Cheung, 2009).

Selain itu peningkatan HbA1c juga menunjukkan risiko perburukan fungsi

sistolik akibat lesi arteri koroner yang lebih kompleks, dan hal tersebut meningkatkan

pula risiko kejadian hipotensi dan timbulnya ektopik ventrikel pada uji latih treadmill

pada DM tipe 2.

2.10. Hubungan HbA1c dengan Kapasitas Latihan

Seperti dikatakan sebelumnya bahwa peningkatan HbA1c meningkatkan

faktor risiko terjadinya neuropati otonomik kardiovaskular (CAN) dan kompleksnya

derajat stenosis pembuluh darah. Tingginya angka kejadian CAN dapat menyebabkan

gangguan otonomik saraf simpati, parasimpatis dan intoleransi latihan dengan beban

kerja tertentu.

2.11. Faktor-Faktor Lain yang Mempengaruhi Kapasitas Latihan dan

Hemodinamik Abnormal pada Uji Latih Treadmill

36

Faktor lain selain peningkatan HbA1c yang dapat berpengaruh terhadap

kapasitas latihan adalah umur pasien, jenis kelamin, hipertensi, dislipidemia,

dilakukannya revaskularisasi pada pasien tersebut, terapi dengan insulin, riwayat

aktivitas sebelumnya, durasi DM dan pemakaian obat-obat yang memiliki efek

kronotropik negatif.

Umur pasien dan jenis kelamin mempengaruhi kapasitas latihan maksimal

yang dapat dilakukan, dimana denyut nadi maksimal diukur dengan rumus 220

dikurangi umur. Adanya faktor risiko PJK lain selain DM tipe 2 seperti hipertensi dan

dislipidemia kemudian terapi dengan insulin sebelumnya serta prosedur

revaskularisasi yang berhasil dapat mengaburkan daya prediktif dari HbA1c terhadap

prognosis pasien paska IMA oleh karena faktor risiko itu sendiri jika tidak terkontrol

dengan baik sangat berpengaruh terhadap prognosis pasien (Gibbons, 2002).

Lokasi IMA berpengaruh terhadap derajat disfungsi ventrikel kiri (misal: IMA

anterior) dan perbedaan lokasi infark berdasarkan EKG juga berpengaruh terhadap

karakteristik komplikasi masing-masing serta prognosis pasien, seperti pada IMA

inferior maka lebih sering komplikasinya berupa blok AV, dan IMA anterior sering

menyebabkan gagal jantung akut dan syok kardiogenik (Van de Werf, 2012). Namun

derajat disfungsi ventrikel kiri sendiri dikatakan tidak berhubungan langsung dengan

kapasitas latihan pasien.

Riwayat aktivitas sebelum dilakukan treadmill berpengaruh karena pasien

yang olahraga maupun aktif melakukan latihan dirumah cenderung akan memiliki

37

kapasitas latihan yang lebih tinggi daripada pasien yang sangat membatasi

aktivitasnya maupun gaya hidup sedentary. Telah dibahas sebelumnya bahwa

aktivitas fisik yang baik sebelum sakit berpengaruh terhadap perbaikan faktor risiko

kardiovaskular lainnya seperti penurunan tekanan darah, profil lemak, perbaikan

aliran regional miokard, kolateralisasi, konsumsi oksigen maksimal otot perifer dan

lain sebagainya.

Pemakaian obat-obat yang memiliki efek kronotropik negatif seperti calcium-

channel blocker (verapamil, diltiazem) ataupun antiaritmia golongan III (amiodaron)

dapat mengaburkan interpretasi inkompetensi kronotropik pada pasien tersebut

karena menurunkan respon takikardia pasien terhadap uji latih treadmill (Gibbons,

2002).

Durasi menderita DM tipe 2 merupakan salah satu faktor terjadinya berbagai

komplikasi yaitu makro dan mikroangiopati sehingga berpengaruh terhadap kejadian

CAN. Semakin lama pasien tersebut menderita DM tipe 2 maka semakin tinggi risiko

terkena CAN serta komplikasi lainnya (Vinik & Ziegler, 2007).