atribut sanksi

15
BAB 1 PENDAHULUAN Ada beberapa sanksi adat yang dikenal dalam hukum adat Bali, seperti danda arta (denda), sangaskara danda (melaksanakan upacara tertentu) dan kasepekang (diberhentikan dan dikucilkan sebagai warga desa pakraman). Diantara beberapa sanksi adat yang dikenal, sanksi adat kasepekang dapat dikatakan paling terkenal. Kenyataan ini disebabkan oleh beberapa hal, seperti: adanya larangan penguburan jenasah, munculnya konflik intern desa dan munculnya wacana pro dan kontra di media massa, segera setelah sanksi kasepekang dijatuhkan. BAB II PERMASALAHAN Permasalahannya, bagaimana sebenarnya hukum adat Bali dan awig-awig desa pakraman mengatur tentang sanksi adat ini dan bagaimana sanksi ini dipraktikan di desa pakraman? Dua permasalahan inilah yang akan diuraikan dalam tulisan singkat ini. Untuk memudahkan dalam mengikuti, uraian akan disusun dengan sistimatika sebagai berikut. Pertama-tama akan diuraikan mengenai “sanksi dan hukum”, disusul uraian tentang “sanksi adat kasepekang“, “sanksi kasepekang dalam beberapa awig-awig desa pakraman”, dan “sanksi kasepekang dalam praktik”. Keseluruhan uraian ditutup dengan kesimpulan dan saran.. BAB III PEMBAHASAN

Upload: chozinoji

Post on 24-Nov-2015

32 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB 1PENDAHULUANAda beberapa sanksi adat yang dikenal dalam hukum adat Bali, seperti danda arta (denda), sangaskara danda (melaksanakan upacara tertentu) dan kasepekang (diberhentikan dan dikucilkan sebagai warga desa pakraman). Diantara beberapa sanksi adat yang dikenal, sanksi adat kasepekang dapat dikatakan paling terkenal. Kenyataan ini disebabkan oleh beberapa hal, seperti: adanya larangan penguburan jenasah, munculnya konflik intern desa dan munculnya wacana pro dan kontra di media massa, segera setelah sanksi kasepekang dijatuhkan.

BAB IIPERMASALAHANPermasalahannya, bagaimana sebenarnya hukum adat Bali dan awig-awig desa pakraman mengatur tentang sanksi adat ini dan bagaimana sanksi ini dipraktikan di desa pakraman? Dua permasalahan inilah yang akan diuraikan dalam tulisan singkat ini. Untuk memudahkan dalam mengikuti, uraian akan disusun dengan sistimatika sebagai berikut. Pertama-tama akan diuraikan mengenai sanksi dan hukum, disusul uraian tentang sanksi adat kasepekang, sanksi kasepekang dalam beberapa awig-awig desa pakraman, dan sanksi kasepekang dalam praktik. Keseluruhan uraian ditutup dengan kesimpulan dan saran..

BAB IIIPEMBAHASAN

Sanksi dan HukumMengutip pendapat L. Pospisil dalam disertasinya yang berjudul The Kapauku Papuans and Their Law, Koentjaraningrat mengemukakan bahwa hukum adalah suatu aktivitas di dalam rangka suatu kebudayaan yang mempunyai fungsi pengawasan sosial. Untuk membedakan suatu aktivitas itu dan aktivitas-aktivitas kebudayaan lain yang mempunyai fungsi serupa dalam sesuatu masyarakat, seseorang peneliti harus mencari akan adanya empat ciri dari hukum, atau attributes of law, yaitu: (1) Attribute yang terutama disebut atributte of law authority (keputusan-keputusan melalui suatu mekanisme yang diberi kuasa dan pengaruh dalam masyarakat). (2) Attribute yang kedua disebut attribute of intention of universal application (keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa itu harus dimaksudkan sebagai keputusan-keputusan yang mempunyai jangka waktu panjang dan yang harus dianggap berlaku juga terhadap peristiwa-peristiwa yang serupa dalam masa yang akan datang.(3) Attribute yang ketiga disebut attribute of obligation (keputusan-keputusan dari pemegang kuasa itu harus mangandung perumusan dari kewajiban pihak ke satu terhadap pihak kedua, tetapi juga hak dari pihak kedua yang harus dipenuhi oleh pihak kesatu).(4) Attribute yang keempat disebut attribute of sanction (keputusan-keputusan dari pihak berkuasan harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti seluas-luasnya).Dengan demikian jelaslah kalau hukum dan sanksi seperti satu paket. Hukum selalu disertai sanksi yang dapat dikenakan kepada pihak yang mengingkari hukum yang dimaksud. Oleh para ahli ilmu sosial sanksi ini diberi arti yang lebih luas dari penggunaannya dalam hukum. Radcliffe-Brown menguraikan sanksi menjadi dua yaitu: sanksi negatif dan sanksi positif. Sanksi negatif diberikan bagi orang yang berlaku tidak sesuai dengan aturan hukum. Sedangkan sanksi positif (pujian) bagi orang yang berlaku taat, tanpa merinci siapa yang memberi pujian ataupun hukuman. Jadi sanksi adalah perangkat aturan-aturan yang mengatur bagaimana lembaga-lembaga hukum mencapuri suatu masalah untuk dapat memelihara suatu sistem sosial sehingga memungkinkan warga masyarakat hidup dalam sistem itu secara tenang dan dalam cara-cara yang dapat diperhitungkan.Sampai disini, ada baiknya diketahui pendapat Emile Durkheim, yang mengatakan bahwa reaksi sosial yang berupa penghukuman atau sanksi itu sangat perlu dilakukan, sebab mempunyai maksud untuk mengadakan perawatan agar tradisi-tradisi kepercayaan adat menjadi tidak goyah sehingga kestabilan masyarakat dapat terwujud. Dengan mengikuti pandangan tersebut, dapat dikemukakan bahwa sanksi adat (reaksi adat, koreksi adat) merupakan bentuk tindakan ataupun usaha-usaha untuk mengembalikan ketidak-seimbangan termasuk pula ketidak seimbangan yang bersifat magis akibat adanya gangguan yang merupakan pelanggaran adat.Terkait dengan alam pikiran Indonesia yang bersifat kosmis, Soepomo (1979: 112) mengemukakan bahwa yang penting ialah adanya pengutamaan terhadap terciptanya suatu keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, antara golongan manusia seluruhnya dan orang seorang, antara persekutuan dan teman masyarakatnya. Segala perbuatan yang menganggu perimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan petugas hukum wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna memulihkan kembali perimbangan hukum. Dengan demikian sanksi adat mempunyai fungsi dan berperan sebagai stabilitasator untuk mengembalikan keseimbangan antara dunia lahir dengan dunia gaib. Sanksi dalam fungsi tersebut, mempunyai peranan penting di dalam kehidupan masyarakat adat di Bali. Demikan pentingnya sehingga terhadap tindak pidana (kejahatan dan pelanggaran) biasapun adakalanya dibebani sanksi adat meskipun pelakunya sudah dipidana sesuai dengan hukum positif (KUHP).Sanksi Adat KasepekangKasepekang adalah salah satu sanksi adat yang dikenal di Bali. Menurut Kersten, kasepekang berasal dari kata sepek yang mengandung arti mempermasalahkan di hadapan orang. Dalam Kamus Bali Indonesia yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Dasar Prov. Dati I Bali disebutkan bahwa kata sepek diartikan sebagai kucilkan dan kasepekang sama dengan dikucilkan. Hal senada juga dapat diketahui dari Hasil Pesamuhan Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA) Prov. Bali tanggal 27 Februari 1997.Pendapat lain tentang kasepekang dikemukakan oleh Wayan Koti Cantika. Dosen hukum adat Bali di Fakultas Hukum Unud ini mengemukakan bahwa kasepekang berasal dari kata sepi ikang yang mempunyai arti kucilkan. Ka sepi ikang berarti dikucilkan. Dalam konteks sanksi adat, menurut Cantika kasepekang berarti masih diakui keberadaannya sebagai warga, tetapi dikucilkan dari berbagai aktivitas banjar adat atau desa adat. Apabila seseorang berada dalam status bukan saja dikucilkan tetapi benar-benar dianggap tidak ada, maka hal ini bukan lagi sekadar kasepekang, melainkan kanorayang. Nora berarti tidak ada. Istilah lain kasepekang adalah kaeladang, kamenengang, tan poleh arah-arahan, kagedongin, dan kanoryang. Ada kalanya juga disebut kapuikin gumi, kapuikin banjar, kapuikin desa, tan polih suaran kulkul. Apapun sebutan dan istilahnya, pada dasarnya mengandung arti yang sama, yaitu diberhentikan dan dikucilkan sebagai warga desa pakraman. Walaupun ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut sanksi adat ini, namun dalam uraian selanjutnya akan digunakan istilah kasepekang. Hal ini didasarkan atas kenyataan, istilah ini mudah dimengerti, karena telanjur terpublikasikan secara luas, baik lewat media cetak maupun elektronik. Kedua, dalam ketentuan resmi seperti Keputusan Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA) Bali maupun awig-awig tertulis, digunakan istilah kasepekang untuk menyebut warga desa yang dikucilkan dari lingkungan desanya. Sebagai sebuah sanksi adat, kasepekang mengandung arti pemberhentian sebagai warga (karma desa) di desa adat atau sekarang disebut desa pakraman.Desa pakraman menurut Goris, pada zaman Bali kuna disebut banwa atau banua. Sebelum tahun 2001, apa yang sekarang dikenal dengan desa pakraman dan banjar pakraman disebut desa adat dan banjar adat. Sebutan desa adat resmi diganti berdasarkan Perda No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Perlu ditegaskan bahwa perubahan nama ini tidak menimbulkan dampak yang signifikan terhadap keberadaan desa. Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa desa adat atau desa pakraman pada hakikatnya mengandung arti dan makna yang sama. Sebuah desa adat/desa pakraman, terdiri dari tiga unsur, yaitu: (1) Unsur parahyangan (berupa pura atau tempat suci agama Hindu). (2) Unsur pawongan (warga desa yang beragama Hindu). (3) Unsur palemahan (wilayah desa yang berupa karang ayahan desa dan karang gunakaya). Desa pakraman di Bali kini berjumlah 1.349. Jumlah ini terus bertambah sejalan dengan keinginan krama desa dalam wadah banjar pakraman untuk memisahkan diri dengan desa pakraman induknya dan membentuk desa pakraman baru semakin meningkat.Sanksi Kasepekang dalam Beberapa Awig-awig Desa PakramanDi atas telah dikemukakan bahwa dantara beberapa sanksi adat yang dikenal di Bali, sanksi adat kasepekang-lah yang paling terkenal. Kenyataan ini disebabkan antara lain: adanya larangan penguburan jenasah yang senantiasa menyertai penganaan sanksi adat kasepekang, munculnya konflik intern desa segera setelah sanksi kasepekang dijatuhkan oleh desa pakraman, dan munculnya wacana pro dan kontra di media massa, setiap kali ada desa pakrmaan yang menjatuhkan sanksi adat ini kepada warganya. Walaupun demikian, sebagian desa pakraman di Bali masih mencantumkan sanksi adat kasepekang dalam awig-awig desa pakraman. Beberapa contoh, seperti di bawah ini.1. Awig-awig Desa Adat Kuta, Badung.Pawos 75 (indik pamidanda) awig-Awig Desa Adat Kuta, Badung (2 Mei 1992), menentukan sbb:Bacakan pamidanda luire (Yang disebut sanksi adalah):a. Dedosan utawi dedendan arta mwah panikel-panikelnia. b. Kerandahan utawi kerampagc. Pengampura utawi nyuwaka Tan polih suaran kulkul matehin pikenoh kapuikind. Keraryanang makrama desa/banjar Upacara penyangaskara. (Upacara pembersihan).. (Diberhentikan sebagai warga desa/banjar).. (Dianggap bukan warga, sama dengan dikucilkan). (Minta maaf)..(Denda/dosa dan denda-denda yang lainnya).

2. Awig-awig Desa Adat Ketewel, Gianyar.Sementara dalam awig-awig Desa Adat Ketewel, Sukawati (28 Oktober 1994), menggunakan pamidanda untuk menyebut sanksi adat. Pawos 92 menentukan sbb :Bacakan pamidanda luwire(Yang disebut sanksi meliputi ):a. Ayahan panukun kasisipan. (Wajib kerja pengganti kesalahan).b. Danda artha (dosa, danda saha panikel-nikelnya miwah panikel urunan). (Denda berupa uang beserta denda-denda yang lainnya).c. Danda upacara panyangaskara. (Upacara pembersihan)d. Kanorayang. (Diberhentikan sementara).e. Kedaut karang ayahan desanya. (Diambil-alih tempat kediamannya yangberupa karang ayahan desa).

3. Awig-awig Desa Adat Kerobokan, TabananPawos 67 (pamidanda) awig-Awig Desa Adat Kerobokan, Baturiti, Tabanan (4 Oktober 1996), menentukan sbb:

Bacakan pamidanda luire (Yang disebut sanksi adalah) :a. Panukun kasisipanb. Danda artac. Rerampagand. Kasepekange. Penyangaskaraf. KasuwudangFormat dan substansi awig-awig tertulis di desa pakraman, pada umumnya disusun sesuai imba (contoh) awig-awig tetulis yang dikeluarkan Pemprov. Bali, walaupun sebenarnya tidak ada keharusan untuk itu. Dalam imba (contoh) awig-awig tetulis yang dimaksud, sanksi adat kasepekang masih dicantumkan sebagai salah satu sanksi adat. Oleh karena itu, menjadi masuk akal kalau dalam awig-awig tertulis desa pakraman di Bali, dicantumkannya sanksi adat kasepekang, sebagai salah satu sanksi yang dapat dikenakan kepada krama desa yang dianggap terbukti melakukan pelanggaran adat tertentu. mabanjar/madesa adat (diberhentikan sebagai warga desa/banjar). (upacara pembersihan). (dikucilkan). (mejarah). (danda saha panikel-nikelnya). (minta maaf).Imba (contoh) awig-awig tertulis yang dikeluarkan oleh Biro Hukum Setwilda Tingkat I Bali tanggal 15 Agustus 1998 (terakhir tahun 2002), mengatur bahwa dalam menjatuhkan sanksi adat, agar disesuaikan dengan kesalahan yang telah dilakukan (pamidanda sane katiwakang patut masor singgih manut ring kasisipane). Selengkapnya pawos (pasal) 61 menentukan beberapa jenis danda (sanksi), seperti berikut ini:1. Desa/banjar wenang niwakang pamidanda ring warga desa sane sisip. (Desa adat/banjar adat berwenang menjatuhkan snaksi, kepada warga dewa yang bersalah ).2. Paniwak inucap kalaksanayang olih bendesa/klian banjar. (Sanksi tersebut dilaksanakan oleh bendesa/kelian banjar).Bacakan pamidanda luwire : (Yang disebut sanksi, yaitu):a. Ayah-ayahan panukun kasisipan. (Kewajiban melaksanakan sesuatu pekerjaan, sebagai pengganti atas kesalahan yang dilakukan).b. Danda arta, dosa saha panikel-panikelnya miwah panikel-panikel urunan (Denda berupa uang beserta denda tambahan atas kelalaian membayar).c. Rerampagan (Dirampas).d. Kasepekang (Dikucikan)e. Kawusang mekrama kawaliang pipilnyane (Diberhentikan sebagai warga dan sekalian mengembalikan catatannya).f. Penyangaskara (Pelaksanaan upacara tertentu).Kasepekang sebagai sanksi, telah dikenal sejak zaman dulu. Hal ini dapat diketahui dari ketentuan awig-awig Desa Adat Bungaya. Beberapa jenis sanksi adat yang pernah ada atau dikenal di Desa Adat Bungaya, berdasarkan awig-awig tertulis yang selesai ditulis pada (puput sinurat) pada Weraspati Kerulut sasih Kasa tanggal ping 15 Amerta Masa, Rah 5 Tenggek 1, Isaka, 1715 (1793 Masehi) antara lain, kasepekang (dikucilkan), kakesahang (diusir), danda (denda), penanjung batu (semacam uang pangkal), upacara pegat sot (biasa berarti upacara perpisahan secara niskala dan bisa juga berarti bayar kaol). Selain itu, beradasarkan awig-awig tidak tertulis, dikenal juga adanya danda lis (sanksi adat berupa melaksanakan upacara tertentu). Mengenai sanksi adat kasepekang, awig-awig tersebut menentukan sebagai berikut.Yan ana tan anut sinalih tunggal tan anindihang sekadi pakerabe, wenang iya kasepekang antuk Keliang Desa, Perbekel, Keliang Tempek, rawuhing kawulane alit-alit, ne madesa mebanjar ring Bungaya sami, rawuhing ke Gumung, Papung, Abiansoan, Kecicang. (Kalau ada salah satu warga yang tidak taat dan tidak gigih terhadap kesepakatan, dapat dikenaka sanksi kasepekang oleh kelihan desa, perbekel, kelihan tempek, termasuk warga masyarakat yang masih kecil dan semua yang menjadi warga desa dan warga banjar di Bungaya, sampai ke Gumung, Pupung, Abiansoan, Kecicang).Mengenai sanksi adat yang berupa denda, dalam awig-awig itu ditentukan sebagai berikut.Yan ana jatmane wuus kasepekang kadi kocap ring arep, wetu iya masih amurugang amargiang angewenang aken tan wenang, wenang kedanda, gung arta : 12.250, jinah bolong. (Kalau ada warga masyarakat sesudah kasepekang seperti disebutkan di atas, masih juga melakukan sesuatu yang tidak patut, dapat didenda, sejumlah 12.250 uang kepeng).Apabila tidak siap membayar pada waktu yang telah ditentukan, pihak yang dikenakan denda dapat diusir ke luar desa. Dalam awig-awig tertulis ditentukan sebagai berikut.Gambaran umum mengenai jumlah pelaksanaan sanksi adat kasepekang di Bali, tampak seperti tertuang dalam tabel di bawah ini. peresida iya amurug titi suwaran ida sang amawa bumi, danda ika kang kocap ring arep, sawungkul mantuk ring Iwong Desa, yang nia nora menawuranne danda ripinganani anawur danda, wenang ia kakesahang antuk I Dewa Bungaya. (Apabila dia melawan keputusan pihak yang berwenang, denda sebagaimana disebutkan di atas, sepenuhnya masuk ke desa, dan kalau dia tidak membayarnya pada waktu yang telah ditentukan, dia dapat diusir oleh I Dewa Bungaya).

Pelaksanaan Sanksi Adat KasepekangDalam hubungan dengan tata cara pelaksanaan sanksi adat kasepekang, menarik untuk dikemukakan hasil pesamuan Majelis Pembina Lembaga Adat Daerah Tingkat I Bali, tanggal 27 Februari 1997, tentang Pedoman Pelaksanaan Penanjung Batu, yang antara lain menentukan sebagai berikut.Bagi krama desa adat yang dikenakan pamidanda kanorayang (pengucilan, penyisihan, skorsing) tidak dikenakan penanjung batu bila menggunakan setra, karena statusnya masih sebagai krama desa adat. Krama yang kanorayang tidak mendapat bantuan banjar (tan polih panyanggran banjar), tidak dapat menggunakan kentongan (tan polih suaran kulkul) dan tidak mendapat pemberitahuan (tan polih arah-arahan). Demikian juga untuk melaksanakan persembahyangan di Pura milik desa adat wajib melakukan penyuakan (nyuwaka) terlebih dahulu kepada prajuru desa adat. Selama yang bersangkutan kanorayang, diberikan kesempatan kembali sadar dan aktif mekrama desa adat dalam waktu paling lama satu tahun menurut pararem desa adat sebelum diberhentikan (kewusang-kelad), apalagi mereka ini tidak sadar dan tidak mau kembali mekrama desa, maka desa adat dapat memberhentikan (kewusang) mereka mekrama-desa. Untuk krama yang diberhentikan (kawusang-kelad) sebagai krama desa adat disamakan kedudukannya dengan warga luar desa-adat, sehingga bila menggunakan setra patut dikenakan penanjung batu. Jika mau melaksanakan persembahyangan di Pura milik desa adat, krama desa yang kewusang harus memberitahukan (mesadok kepada prajuru desa adat, dan patuh kepada petunjuk dari prajuru desa adat).Besarnya pembayaran penanjung batu harus disesuaikan dengan fungsi dari penanjung batu tersebut. Sesuai dengan dresta, penanjung batu difungsikan sebagai biaya upacara pecaruan di setra dan upacara pakeling di Pura Dalem sehingga besarnya penanjung batu tidak boleh melebihi biaya ini. Apabila dihitung dengan uang kepeng, bolong tidak lebih dari 1000 (seribu) keteng/keping atau dihargakan dengan uang rupiah.Walaupun sudah ada pedoman mengenai pelaksanaan penanjungbatu serangkaian dengan pelaksanaan sanksi adat kasepekang dan sanksi adat kanoroyang, tetapi dalam pelaksanaannya, masing-masing desa pakraman tidak menghiraukan pedoman tersebut dan berjalan sesuai awig-awig desa atau hasil keputusan paruman desanya masing-masing. Akibatnya, muncul berbagai variasi mengenai tatacara pengenaan sanksi adat kasepekang, substansi sanksi adat kasepekang dan jumlah penanjungbatu yang harus dibayar apabila warga yang sempat dikenakan sanksi ini bermaksud bergabung kembali menjadi warga desa pakraman, seperti beberapa contoh berikut ini.Mangku Pura Puseh Desa Pakraman Pakudui, dikenakan penanjungbatu sebesar Rp 3.000.000, setelah dikenakan sanksi adat kasepekang (Bali Post, 7 Sept 2008). Seorang warga Banjar Kedungu, Tabanan (I Ketut Riteg alias Pan Sini, 65 tahun), dikenakan penanjungbatu Rp. 200.000.000, bila berkeinginan kembali menjadi anggota banjar, sepetelah sempat dikenakan sanksi adat kasepekang.Mengenai substansi sanksi adat kasepekang, akan dikemukakan satu contoh yang sempat dikenakan kepada I Ketut Suarjana Adiputra (54 tahun), seorang warga Desa Adat Bungauya Kabupaten Karangasem. Sanksi adat kasepekang sebagaimana diatur dalam awig-awig Desa Adat Bungaya, berdasarkan kesepakatan dalam paruman tanggal 5 Februasi 1999, dijabarkan sebagai berikut.a. Tidak diizinkan maturan ke Pura Desa Adat Bungaya.b. Tidak diijinkan menguburkan mayat di kuburan sejebag Desa Adat Bungaya.c. Tidak diijinkan mengambil air untuk diminum ataupun untuk mandi di pancuran, di sungai, ataupun di parit dan sebagainya di wilayah Desa Adat Bungaya.d. Tidak diijinkan melakukan adol atuku di Pasar Desa Adat Bungaya.Demikian pula kepada mereka ditegaskan untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan yang bertentangan dengan undang-undang atau hukum yang berlaku.

BAB IVPENUTUP

Sebagai penutup, disampaikan beberapa saran sebagai berikut. Pertama, sanksi adat yang terbukti menjadi sorotan berbagai pihak karena dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan hak azasi manusia (HAM) seperti sanksi adat kasepekang, sebaiknya ditinggalkan atau disesuaikan sehingga lebih menjamin tercapainya tujuan pengenaan sanksi adat, yaitu mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat dan menciptakan kasukertan sekala niskala (kedamaian lahir batin).Kedua, perangkat pimpinan (prajuru) desa perlu mengadakan perubahan orientasi dalam menegakkan hukum adat (awig-awig desa). Penegakkan awig-awig tidak lagi harus bersikukuh pada interpretasi teks awig-awig atau kuna dresta (kebiasaan yang diwarisi secara turun temurun), melainkan lebih berorientasi pada konteks, manfaat dan senantiasa meperhatikan norma agama Hindu.BAB V

DAFTAR PUSTAKA

Astiti, TIP, 1982. Inventarisasi istilah-istilah Adat/Agama dan Hukum Adat di Bali. (Laporan Penelitian).Dherana, Tjok Raka dan Widnyana, I Made. 1976. Agama Hindu dan Hukum Pidana Nasional (Makalah).Dherana, Tjok Raka, 1983/1984. Garis-garis Besar Pedoman Penulidan Awig-awig Desa Adat. Diperbanyak oleh Proyek Pengembangan Lembaga Adat dan Museum Subak.Ihromi T. O, 1984. Antropologi dan Hukum. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta, Gramedia.Soepomo, 1979. Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta, Pradnya Paramita.Soesilo, R, 1976. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor, Politeia.Soekanto, 1996. Meninjau Hukum Adat Indonesia. Suatu Pengantar untuk Mempelajari Hukum Adat. Jakarta, Raja Grafindo, Cetakan ketigahttp://alexhlimbong.blogspot.com/2013/06/antropologi-hukum.htmlhttp://tirtarimba.blogspot.com/2012/05/atribut-hukum.html

ANTROPOLOGI HUKUMATRIBUT SANKSI

Disusun oleh:1. M. Oryzha Al Ghazali 110101101201562. Rizna Sarifani110101101302793. Andhita Putri Amalia110101101302854. Aprillia Safitri Ariesanti110101101302945. Grahadi Yudanto110101101410036. Setiyo Utomo110101111200097. Arrasyidi Salam Harahap110101111200148. M. Chozin Abu Sait110101111200229. Adventy Ferawati S.11010111120034 10. Dhea Cantika Natasya11010111120043

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS DIPONEGOROFAKULTAS HUKUM2013