asuhan keperawatan konstipasi pada lansia
TRANSCRIPT
ASUHAN KEPERAWATAN KONSTIPASI PADA LANSIA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konstipasi atau hemoroid adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan normal.
Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses kurang, atau fesesnya keras dan kering.
Konstipasi juga dapat diartikan sebagai keadaan dimana membengkaknya jaringan dinding dubur
(anus) yang mengandung pembuluh darah balik (vena),sehingga saluran cerna seseorang yang
mengalami pengerasan feses dan kesulitan untuk melakukan buang air besar.
Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut; terjadi peningkatan dengan
bertambahnya usia dan 30 – 40 % orang di atas usia 65 tahun mengeluh konstipasi . Di Inggris
ditemukan 30% penduduk di atas usia 60 tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan
obat pencahar . Di Australia sekitar 20% populasi di atas 65 tahun mengeluh menderita konstipasi dan
lebih banyak pada wanita dibanding pria. Menurut National Health Interview Survey pada tahun 1991,
sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh menderita konstipasi terutama anak-anak, wanita dan
orang usia 65 tahun ke atas.
Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya konstipasi pada lansia seperti kurangnya gerakan
fisik, makanan yang kurang sekali mengandung serat, kurang minum, akibat pemberian obat-obat
tertentu dan lain-lain. Akibatnya, pengosongan isi usus menjadi sulit terjadi atau isi usus menjadi
tertahan. Pada konstipasi, kotoran di dalam usus menjadi keras dan kering, dan pada keadaan yang
berat dapat terjadi akibat yang lebih berat berupa penyumbatan pada usus disertai rasa sakit pada
daerah perut.
Anamnesis merupakan hal yang terpenting untuk mengungkapkan etiologi dan factor-faktor risiko
penyebab konstipasi, sedangkan pemeriksaan fisik pada umumnya tidak mendapatkan kelainan yang
jelas. Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan banyak informasi yang berguna. Pemeriksaan-
pemeriksaan lain yang intensif dikerjakan secara selektif setelah 3 sampai 6 bulan pengobatan
konstipasi kurang berhasil dan dilakukan hanya pada pusat-pusat pengelolaan konstipasi tertentu.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien lansia dengan masalah konstipasi?
1.3. Tujuan
Tujuan Umum :
Mahasiswa dapat memberikan asuhan keperawatan pada pasien lansia dengan masalah konstipasi.
Tujuan Khusus :
1. Mengetahui definisi konstipasi.
2. Mengetahui epidemiologi lansia dengan konstipasi.
3. Mengetahui etiologi konstipasi.
4. Mengetahui patofisiologi konstipasi.
5. Mengetahui manifestasi klinis dari konstipasi.
6. Mengetahui penatalaksanaan lansia dengan konstipasi.
7. Mengetahui WOC dari lansia dengan konstipasi.
1.4. Manfaat
1. Mengetahui perjalanan penyakit yang terjadi sehingga dapat memberikan asuhan
keperawatan yang tepat.
2. Menambah pengetahuan khususnya di bidang keperawatan gerontik sebagai referensi dalam
memberikan asuhan keperawatan.
3. Meningkatkan ketrampilan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien lansia
dengan konstipasi
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar, biasanya kurang dari 3 kali
per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras dan kadang-kadang disertai kesulitan sampai rasa
sakit saat buang air besar (NIDDK, 2000).
Konstipasi adalah suatu keluhan, bukan penyakit (Holson, 2002;Azer, 2001). Pada umumnya konstipasi
sulit didefinisikan secara tegas karena sebagai suatu keluhan terdapat variasi yang berlainan antara
individu (Azer,2001). Penggunaan istilah konstipasi secara keliru dan belum adanya definisi yang
universal menyebabkan lebih kaburnya hal ini (Hamdy, 1984). Sedangkan batasan dari konstipasi
klinik yang sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah feses pada kolon, rektum atau keduanya
yang tampak pada foto polos perut (Harari, 1999).
Para tenaga medis mendefinisikan konstipasi sebagai penurunan frekuensi buang air besar, kesulitan
dalam mengeluarkan feses, atau perasaan tidak tuntas ketika buang air besar. Studi epidemiologik
menunjukkan kenaikan pesat konstipasi berkaitan dengan usia terutama berdasarkan keluhan
penderita dan bukan karena konstipasi klinik. Banyak orang mengira dirinya konstipasi bila tidak
buang air besar setiap hari. Sering ada perbedaan pandangan antara dokter dan penderita tentang arti
konstipasi (cheskin dkk, 1990).
2.2 Epidemiologi
Sekitar 80% manusia pernah menderita konstipasi dalam hidupnya dan konstipasi yang berlangsung
singkat adalah normal (ASCRS, 2002). Menurut National Health Interview Survey pada tahun 1991,
sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh menderita konstipasi terutama anak-anak, wanita dan
orang usia 65 tahun ke atas. Hal ini menyebabkan kunjungan ke dokter sebanyak 2.5 juta kali/tahun
dan menghabiskan dana sekitar 725 juta dolar untuk obat-obatan pencahar (NIDDK, 2000).
Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut. Terjadi peningkatan dengan
bertambahnya usia dan 30-40 % orang di atas 65 tahun mengeluhkan konstipasi (Holson, 2002). Di
Inggris ditemukan 30% penduduk di atas usia 65 tahun merupakan konsumen yang teratur
menggunakan obat pencahar (Cheskin, dkk 1990). Di Australia sekitar 20% populasi di atas 65 tahun
mengeluh mendrita konstipasi dan lebih banyak pada wanita dibanding pria (Robert-Thomson, 1989).
Suatu penelitian yang melibatkan 3000 orang usia lanjut usia di atas 65 tahun menunjukkan sekitar
34% wanita dan 26% pria meneluh menderita konstipasi (Harari, 1989).
2.3 Etiologi
Banyak lansia mengalami konstipasi sebagai akibat dari penumpukan sensasi saraf, tidak
sempurnanya pengosongan usus, atau kegagalan dalam menanggapi sinyal untuk defekasi. Konstipasi
merupakan masalah umum yang disebabkan oleh penurunan motilitas, kurang aktivitas, penurunan
kekuatan dan tonus otot.
Faktor-faktor risiko konstipasi pada usia lanjut:
1. Obat-obatan: golongan antikolinergik, golongan narkotik, golongan analgetik, golongan
diuretik, NSAID, kalsium antagonis, preparat kalsium, preparat besi, antasida aluminium,
penyalahgunaan pencahar.
2. Kondisi neurologik: stroke, penyakit parkinson, trauma medula spinalis, neuropati diabetic.
3. Gangguan metabolik: hiperkalsemia, hipokalemia, hipotiroidisme.
4. Kausa psikologik: psikosis, depresi, demensia, kurang privasi untuk BAB, mengabaikan
dorongan BAB, konstipasi imajiner.
5. Penyakit-penyakit saluran cerna: kanker kolon, divertikel, ileus, hernia, volvulus, iritable bowel
syndrome, rektokel, wasir, fistula/fisura ani, inersia kolon.
6. Lain-lain: defisiensi diet dalam asupan cairan dan serat, imobilitas/kurang olahraga, bepergian
jauh, paska tindakan bedah parut
2.4 Patofisiologi
Defekasi merupakan suatu proses fisiologi yang menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang,
persarafan, sentral dan perifer, koordinasi sisitem reflek, kesadran yang baik dan kemampuan fisik
untuk mencari tempat BAB.
Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantarkan feses ke rektum untuk
dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula rektum yang diikuti relaksasi sfingter anus
interna. Untuk menghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi refleks anus
eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang dilayani oleh syaraf pudendus. Otak menerima rangsang
keinginan untuk BAB dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, dan rektum
mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. Kontraksi ini akan menaikkan
tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani.baik persyarafan simpatis dan para
simpatis terlibat dalam proses ini.
Patogenesis konstipasi bervariasi macam-macam, penyebabnya multipel, mencakup beberapa faktor
yang tumpah tindih, motilitas kolon tidak terpengaruh dengan bertambahnya usia. Proses menua yang
normal tidak mengakibatkan perlambatan perjalanan saluran cerna. Pengurangan respon motorik
sigmoid disebabkan karena berkurangnya inervasi instinsik akibat degenerasi pleksus myenterikus,
sedangkan pengurangan rangsang saraf pada otot polos sirkuler menyebabkan memanjangnya waktu
gerakan usus. Pada lansia mempunyai kadar plasma beta- endorfin yang meningkat, disertai
peningkatan ikatan pada reseptor opiat endogen di usus. Ini dibuktikan dengan efek konstipasif
sediaan opiat karena dapat menyebabkan relaksasi tonus otot kolon, motilitas berkurang dan
menghambat refleks gaster-kolon. Terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan
otot-otot polos berkaitan dengan usia khususnya pada wanita. Pada penderita konstipasi mempunyai
kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras, menyebabkan upaya mengejan
lebih keras dan lebih lama. Hal ini berakibat penekanan pada saraf pudendus dengan kelemahan lebih
lanjut.
2.5 Manifestasi Klinis
Beberapa keluhan yang mungkin berhubungan dengan konstipasi adalah: (ASCRS, 2002)
1. Kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB
2. Mengejan keras saat BAB
3. Massa feses yang keras dan sulit keluar
4. Perasaan tidak tuntas saat BAB
5. Sakit pada daerah rectum saat BAB
6. Rasa sakit pada daerah perut saat BAB
7. Adanya perembesan feses cair pada pakaian dalam
8. Menggunakan bantuan jari-jari intuk mengeluarkan feses
9. Menggunakan obat-obat pencahar untuk bisa BAB
2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Tatalaksana non farmakologik
a) Cairan
Keadaan status hidrasi yang buruk dapat menyebabkan konstipasi. Kecuali ada kontraindikasi, orang
lanjut usia perlu diingatkan untuk minum sekurang kurangnya 6-8 gelas sehari (1500 ml cairan
perhari) untuk mencegah dehidrasi. Asupan cairan dapat dicapai bila tersedia cairan/minuman yang
dibutuhkan di dekat pasien, demikian pula cairan yang berasal dari sup,sirup, dan es. Asupan cairan
perlu lebih banyak bagi mereka yang mengkonsumsi diuretik tetapi kondisi jantungnya stabil.
b) Serat
Pada orang usia lanjut yang lebih muda, serat berguna menurunkan waktu transit (transit time). Pada
orang lanjut usia disarankan agar mengkonsumsi serat skitar 6-10 gram per hari. Ada juga yang
menyarankan agar mengkonsumsi serat sebanyak 15-20 per hari. Serat berasal dari biji-bijian, sereal,
beras merah, buah, sayur, kacang-kacangan. Serat akan memfasilitasi gerakan usus dengan
meningkatkan masa tinja dan mengurangi waktu transit usus. Serat juga menyediakan substrat untuk
bakteri kolon, dengan produksi gas dan asam lemak rantai pendek yang meningkatkan gumpalan
tinja. Perlu diingat serat tidaklah efektif tanpa cairan yang cukup, dan dikontraindikasikan pada pasien
dengan impaksi tinja (skibala) atau dilatasi kolon. Peningkatan jumlah serat dapat menyebabkan
gejala kembung, banyak gas, dan buang besar tidak teratur terutama pada 2-3 minggu pertama, yang
seringkali menimbulkan ketidakpatuhan obat.
c) Bowel training
Pada pasien yang mengalami penurunan sensasi akan mudah lupa untuk buang air besar. Hal tersebut
akan menyebabkan rektum lebih mengembang karena adanya penumpukan feses. Membuat jadwal
untuk buang air besar merupakan langkah awal yang lebih baik untuk dilakukan pada pasien tersebut,
dan baik juga diterapkan pada pasien usia lanjut yang mengalami gangguan kognitif. Pada pasien
yang sudah memiliki kebiasaan buang air besar pada waktu yang teratur, dianjurkan meneruskan
kebiasaan teresebut. Sedangkan pada pasien yang tidak memiliki jadwal teratur untuk buang air
besar, waktu yang baik untuk buang air besar adalah setelah sarapan dan makan malam.
d) Latihan jasmani
Jalan kaki setiap pagi adalah bentuk latihan jasmani yang sederhana tetapi bermanfat bagi orang usia
lanjut yang masih mampu berjalan. Jalan kaki satu setengah jam setelah makan cukup membantu.
Bagi mereka yang tidak mampu bangun dari tampat tidur, dapat didudukkan atau didudukkan atau
diberdirikan disekitar tempat tidur. Positioning bagi pasien usia lanjut yang tidak dapat bergerak,
meninggalkan tempat tidurnya menuju ke kursi beberapa kali dengan interval 15 menit, adalah salah
satu cara untuk mencegah ulkus dekubitus. Tentu saja pasien yang mengalami tirah baring dapat
dibantu dengan menyediakan toilet atau komod dengan tempat tidur, jangan diberi bed pan. Mengurut
perut dengan hati-hati mungkin dapat pula dilakukan untuk merangsang gerakan usus.
e) Evaluasi penggunaan obat
Evaluasi yang seksama tentang penggunaan obat-obatan perlu dilakukan untuk mengeliminasi,
mengurangi dosis, atau mengganti obat yang diperkirakan menimbulkan konstipasi. Obat
antidepresan, obat Parkinson merupakan obat yang potensial menimbulkan konstipasi. Obat yang
mengandung zat besi juga cenderung menimbulkan konstipasi, demikian obat anti hipertensi
(antagonis kalsium). Antikolinergik lain dan juga narkotik merupakan obat-obatan yang sering pula
menyebabkan konstipasi.
2.6.2 Tatalaksana farmakologik
a) Pencahar pembentuk tinja (pencahar bulk/bulk laxative)
Pencahar bulk merupakan 25% pencahar yang beredar di pasaran. Sediaan yang ada merupakan
bentuk serat alamiah non-wheat seperti pysilium dan isophagula husk, dan senyawa sintetik seperti
metilselulosa. Bulking agent sistetik dan serat natural sama-sama efektif dalam meningkatkan
frekuensi dan volume tinja. Obat ini tidak menyebabkan malabsorbsi zat besi atau kalsium pada orang
usia lanjut, tidak seperti bran yang tidak diproses. Pencahar bulk terbukti menurunkan konstipasi pada
orang usia lanjut dan nyeri defekai pada hemoroid. Sama halnya dengan serat, obat ini juga harus
diimbangi dengan asupan cairan.
b) Pelembut tinja
Docusate seringkali direkomendasikan dan digunakan oleh orang lanjut usia sebagai pencahar dan
sebagai pelembut tinja. Docusate sodium bertindak sebagaisurfaktan, menurunkan tegangan
permukaan feses untuk membiarakan air masuk dam memperlunak feses. Docusate sebenarnya tidak
dapat menolong konstipasi yang kronik, penggunaannya sebaiknya dibatasi pada situasi dimana
mangedan harus dicegah.
c) Pencahar stimulan
Senna merupakan obat yang aman digunakan oleh orang usia lanjut. Senna meningkatkan peristaltik
di kolon distal dan menstimulasi peristaltik diikuti dengan evakuasi feses yang lunak. Pemberian 20
mg senna per hari selama 6 bulan oleh pasien berusia lebih dari 80 tahun tidak menyebabkan
kehilangan protein atau elektrolit. Senna umumnya menginduksi evakuasi tinja 8-12 jam setelah
pemberian. Orang usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih lama yakni sampai dengan 10
minggu sebelum mencapai kebiasaan defekasi yang teratur. Pemberian sebelum tidur malam
mengurangi risiko inkontininsia fekal malam hari dan dosis juga harus ditritasi berdasarkan respon
individu. Terapi dengan Bisakodil supositoria memiliki absorbsi sistemik minimal dan sangat menolong
untuk mengatasi diskezia rectal pada usia lanjut. Sebaiknya diberikan segera setelah makan pagi
secara supositoria untuk mendapatka efek refleks gastrokolik. Penggunaan rutin setiap hari dapat
menyebabkan sensasi terbakar pada rectum, jadi sebaiknya digunakan secara rutin, melainkan sekitar
3 kali seminggu.
d) Pencahar hiperosmolar
Pencahar hiperosmolar terdiri atas laktulosa disakarida dan sorbitol. Di dalam kolon keduanya di
metabolisme oleh bakteri kolon menjadi bentuk laktat, aetat, dan asam dengan melepaskan
karbondioksida. Asam organik dengan berat molekul rendah ini secara osmotic meningkatkan cairan
intraluminal dan menurunkan pH feses. Laktulosa sebagai pencahar hiperosmolar terbukti
memperpendek waktu transit pada sejumlah kecil penghni panti rawat jompo yang mengalami
konstipasi. Laktulosa dan sorbitol juga sama-sama menunjukkan efektifitasnya dalam mengobati
konstipasi pada orang usia lanjut yang berobat jalan. Sorbitol sebaiknya diberikan 20-30 selama empat
kali sehari. Glikol polietelin merupakan pencahar hiperosmolar yang potensial yang mengalirkan cairan
ke lumen dan merupakan zat pembersih usus yang efektif. Gliserin adalah pencahar hiperomolar yang
dugunakan hanya dalam bentuk supositoria.
e) Enema
Enema merangsang evakuasi sebagai respon terhadap distensi kolon; hasil yang kurang baik biasanya
karena pemberian yang tidak memadai. Enema harus digunakan secara hati-hati pada usia lanjut.
Pasien usia lanjut yang mengalami tirah baring mungkin membutuhkan enema secara berkala untuk
mencegah skibala. Namun, pemberian enema tertentu terlalu sering dapat mengakibatkan efek
samping. Enema yang berasal dari kran (tap water) merupakan tipe paling aman untuk penggunaan
rutin, karena tidak menghasilkan iritasi mukosa kolon. Enema yang berasal dari air sabun (soap-suds)
sebaiknya tidak diberikan pada orang usia lanjut.
2.7 WOC (terlampir)
Download : WOC ASKEP KONSTIPASI LANSIA
BAB 3
TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN
3.1 KASUS
Tn. A berusia 65 tahun datang ke poli umum dengan keluhan tidak bisa buang air besar selama
seminggu.Setelah 1 minggu Tn.A bisa BAB dan mengalami nyeri saat defekasi. Tn. A merasakan nyeri
dan penuh perjuangan dalam mengejan. Saat dikaji, klien mengatakan bentuk fesesnya keras dalam
minggu ini sampai sekarang. Dari hasil pemeriksaan didapatkan :
TD : 150 / 90 mmHg
HR : 106x/menit
RR : 22x/menit
TB : 158 cm
Bising Usus : 2 x/menit
3.2 PENGKAJIAN
1. I. BIODATA
Tgl. Pengkajian : 20 November 2009
Nama : Tn. A Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 65 tahun Status Perkawinan : Duda
Agama : Islam Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Tidak ada Alamat : Jl. Mawar
Tgl masuk : 19 November 2008 Ruang : Poli Umum
Diagnosa Medis : Konstipasi
Penanggung Jawab
Nama : Tn. P
Hubungan dengan klien : Anak klien
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Gunung Sari
II. Keluhan Utama
Tn. A mengatakan nyeri saat buang air besar.
III. Riwayat Kesehatan Sekarang
Tn. A mengatakan bahwa sakitnya sudah 1 minggu terakhir ini dan Tn. A juga merasakan perutnya
terasa penuh. Klien juga mengatakan bahwa susah buang air besar dan sering buang angin selama 1
minggu terakhir ini.
IV. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
1. Penyakit yang pernah dialami
Klien mengatakan tidak pernah rawat inap di rumah sakit karena tidak pernah mengalami penyakit
yang parah sebelumnya, paling hanya sakit ringan yaitu demam, flu.
1. Tindakan yang dilakukan
Klien mengatakan bahwa paling hanya dengan obat-obat yang dijual di warung
dan kebetulan cocok (2 sampai 3 hari sembuh).
1. Riwayat operasi
Klien mengatakan tidak pernah di operasi.
1. Riwayat alergi
Klien mengatakan tidak ada riwayat alergi. Klien tidak mempunyai pantangan makanan apapun.
V. Riwayat / Keadaan Psikososial
1. Bahasa yang digunakan : Bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.
2. Persepsi klien tentang penyakitnya : Klien menganggap penyakitnya mengganggu aktifitas
dan mengurangi nafsu makannya. Namun klien tetap bersyukur semua yang dideritanya dan
menganggap semua sakit yang dideritanya tersebut sebagai cobaan dari Tuhan.
3. Konsep diri
1. Body image
Tidak ada masalah dengan body image
1. Ideal diri
Klien mengharapkan dan selalu berdoa kepada Tuhan YME agar diberikan ketabahan dalam
menghadapi penyakitnya dan kesembuhan walau tidak terlalu mengharap.
1. Harga diri
Klien senang tinggal di panti karena tercukupi semua kebutuhannya, dan bebas melakukan apa saja
yang diinginkan.
1. Peran diri
Klien seorang duda yang telah ditinggal istrinya karena meninggal kurang lebih 10 tahun lalu. Dari
perkawinannya klien memiliki 1 orang anak.
1. Personal identity
Klien merupakan anggota panti Tresna Werdha Abdi di wisma Teratai. Klien merupakan duda dengan 1
anak.
1. Keadaan Emosi
Keadaan emosi klien dalam keadaan stabil.
1. Perhatian terhadap orang lain/lawan bicara
Klien tampak memperhatikan dan menanggapi setiap pertanyaan yang diberikan kepadanya.
1. Hubungan dengan keluarga
Harmonis dengan keluarga yang ada dan masuk ke panti karena keinginan klien sendiri yang tidak
mau menyusahkan keluarga terutama anaknya yang telah berumah tangga.
1. Hubungan dengan orang lain
Baik, klien mau bergaul dengan sesama warga panti terutama dengan anggota satu wisma.
1. Kegemaran
Menonton televisi dan duduk-duduk di ruang tamu wisma
1. Daya adaptasi
Klien dapat beradaptasi dengan warga di panti walaupun klien kurang bisa mengikuti kegiatan yang
ada di panti seperti pengajian, gotong royong dan senam pagi karena keterbatasan karena
penyakitnya.
1. Mekanisme Pertahanan diri
Klien memiliki pertahanan diri yang efektif
VI. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum: klien dalam kondisi baik namun teraba adanya distensi abdomen
2. Pemeriksaan B1- B6
a) Brain : Kesadaran compos mentis
b) Breath : RR: 22 kali /menit, tidak ada suara nafas tambahan
c) Blood : TD: 150/90 mmHg; HR: 106x/menit; tidak ada anemia
d) Bowel : Sulit BAB, saat BAB terasa nyeri,terdapat distensi abdomen dengan lingkar perut 50 cm,
bising usus 2x/menit ( kurang terdengar ), sering buang angin.
e) Bladder : normal, 1200cc/ hari, warna kuning
f) Bone : normal
VII. Pola Kebiasaan sehari-hari
1. Pola tidur dan kebiasaan
Waktu tidur : siang ± ½ jam dan malam ± 6-7 jam
Waktu bangun : klien bangun umumnya/seringnya jam
05.00 WIB
Masalah tidur : tidak ada masalah
1. Pola Eliminasi
1. BAB : tidak lancar dan tidak ada penggunaan laksativ, riwayat perdarahan, tidak ada dan
saat mengkaji tidak terjadi diare, karakter feses: Klien mengatakan fesesnya keras.
2. BAK : Pola BAK : ± 5-10 x/hari dan tidak terjadi inkontinensia, Karakter urin: kuning, Jumlah
urine : 1200 ml/hari, tidak ada rasa nyeri/rasa terbakar/kesulitan BAK, tidak ada penggunaan
diuretik
1. Pola makan dan minum
2. Gejala (Subjektif)
Diit type : Jenis makanan yaitu makanan biasa dan jumlah makanan per hari 3 piring dalam
per hari. Jarang makan sayur. Kurang suka makanan berserat. Minum 5 gelas sehari
Kehilangan selera makan : perut terasa penuh
1. Tanda Objektif
TB: 158 cm bentuk tubuh: normal
1. Waktu pemberian makanan : pagi, siang dan sore
2. Jumlah dan jenis makanan: 1 piring sekali makan dan jenis makanan adalah makanan biasa
3. Waktu pemberian minuman: Pengambilan air putih terserah/sesuka hati dan bila teh manis
atau susu 2x/hari pagi dan sore hari
1. Kebersihan/Personal Higiene
Pemeliharaan tubuh/ mandi 2x/hari
Pemeliharaan gigi/gosok gigi 2x/hari
Pemeliharaan kuku/pemotongan kuku kalau panjang
1. Pola Kegiatan/Aktivitas
Klien tidak memiliki kegiatan rutin karena penyakitnya, hanya jalan-jalan sebentar dan
kadang-kadang berbincang-bincang dengan sesama penghuni wisma.
ANALISA DATA
DATA ETIOLOGI MASALAH
Data Subjektif:
Klien mengatakan sulit BAB
selama 1 minggu ini
Data Objektif:
BAB 1x/minggu
Feses keras
Bising usus
Teraba Skibala
Usia yang lanjut
Penurunan respon terhadap
dorongan defekasi
Gangguan
koordinasi reflek defekasi
Penumpukan feses
Konstipasi
Konstipasi
Data Subjektif:
Klien mengatakan permintaan
informasi serta menyatakan
bahwa klien kurang mengerti
manfaat makanan berserat
Data Objektif:
Ketidak-akuratan mengikuti pola
diet yang sehat
Penatalaksanaan penyakit
Ketidakakuratan mengikuti
instruksi
Permintaan informasi
Kurang pengetahuan
Kurang pengetahuan
3.3 Diagnosa Keperawatan
1. Konstipasi berhubungan dengan penurunan respon terhadap dorongan defekasi
2. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang pola diet yang sehat.
NO. DIAGNOSA
KEPERAWATAN
TUJUAN/
KRITERIA HASIL
INTERVENSI RASIONAL
1. Konstipasi b.d.
penurunan respon
terhadap dorongan
defekasi
Tujuan:
Pola defekasi normal
Kriteria hasil:
Defekasi 3x
seminggu
1. Pastikan
defekasi klien
sebelumnya dan
pola diet klien
1. Membantu
menentukan
intervensi
selanjutnya
2. Cairan membantu
pergerakan cairan,
Konsistensi
feses lunak 1. Dorong asupan
harian
sedikitnya 2 liter
cairan, batas
kopi 2-3x/hari
2. Anjurkan 3 gelas
air hangat yang
diminum 30 mnt
sebelum
sarapan
3. Ajari klien untuk
posisi semi
jongkok normal
saat defekasi
kopi bersifat
diuretic dan
menarik cairan
3. Cairan dapat
bertindak sebagai
stimulus untuk
evakuasi feses
4. Meningkatkan
penggunaan
optimal otot
abdomen dan efek
gravitasi optimal
3. Kurangnya
pengetahuan.
Tujuan :
Klien dapat
mengetahui faktor
predisposisi,
pencegahan,
kekambuhan,
deteksi, serta terapi
farmakologi.
Kriteria Hasil:
Klien dapat
memahami
proses
penyakit/pro
gnosis.
Klien dapat
mengidentifi
kasi
hubungan
tanda/gejala
proses
penyakit.
Klien mampu
melakukan
1. Kaji ulang
proses penyakit,
pengalaman
klien.
1. Dorong
klien/orang
terdekat untuk
menyatakan
rasa
takut/perasaan
dan perhatian.
2. Dorong keluarga
secara aktif
dalam proses
perawatan dan
pengobatan
klien.
3. Berikan
informasi
tentang pola
diet yang sehat
1. Memberikan dasar
pengetahuan
dimana klien
dapat membantu
pilihan informasi
terapi.
2. Dapat merupakan
membantu klien
mengalami
perasaan
rehabilitasi vital.
1. Keluarga dapat
mengetahui
proses perawatan
serta pengobatan
klien.
1. Eliminasi usus
klien berjalan
perubahan
pola hidup.
Klien mampu
ikut aktif
dalam
berpartisipas
i dalam
program
pengobatan.
dan tinggi serat.
normal
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar, biasanya kurang dari 3 kali
per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras dan kadang-kadang disertai kesulitan sampai rasa
sakit saat buang air besar. Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut.
Terjadi peningkatan dengan bertambahnya usia dan 30-40 % orang di atas 65 tahun mengeluhkan
konstipasi. Banyak lansia mengalami konstipasi sebagai akibat dari penumpulan sensasi saraf, tidak
sempurnanya pengosongan usus, atau kegagalan dalam menanggapi sinyal untuk defekaasi.
Konstipasi merupakan masalah umum yang disebabkan oleh penurunan motilitas, kurang aktivitas,
penurunan kekuatan dan tonus otot.
Beberapa keluhan yang mungkin berhubungan dengan konstipasi adalah kesulitan memulai dan
menyelesaikan BAB, mengejan keras saat BAB, massa feses yang keras dan sulit keluar, perasaan
tidak tuntas saat BAB, sakit pada daerah rectum saat BAB, rasa sakit pada daerah perut saat BAB,
adanya perembesan feses cair pada pakaian dalam, menggunakan bantuan jari-jari intuk
mengeluarkan feses dan menggunakan obat-obat pencahar untuk bisa BAB. Penatalaksanaan
konstipasi pada lansia dengan tatalaksana non farmakologik : cairan, serat, bowel training, latihan
jasmani, evaluasi panggunaan obat. Tatalaksana farmakologik : pencahar pembentuk tinja, pelembut
tinja, pencahar stimulant, pencahar hiperosmolar dan enema.
SARAN
Lansia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya harus manjaga kebutuhan nutrisi yang seimbang
seperti memenuhi asupan cairan yang cukup dan makan makanan yang bergizi dan cukup serat,
selain itu lansia harus bisa menjaga aktivitas yang cukup dengan olah raga agar tidak terjadi
konstipasi. Sebagai perawat kita harus dapat memberikan arahan dan edukasi kepada lansia dan
keluarga tentang pencegahan dan penanganan dini bila terjadi konstipasi.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Juall Lynda. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10. Jakarta: EGC
Darmojo, Boedhi&Martono, Hadi. 2006. Buku Ajar Geriatri(Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi 3. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Indonesia
Doenges, E. Marlyn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC
Maryam, R Siti. 2008. Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta: Salemba Medika
Noedhi, Darmojo. 2009. Geriatri (Ilmu Kesehatan Lanjut Usia). Jakarta: Balai penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Pudjiastuti, Surini Sri. 2003. Fisioterapi pada Lansia. Jakarta: EGC
Stanley, Mickey. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC
http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35346-Kep%20Campuran-Askep%20Konstipasi%20Lansia.html