askep trauma ginjal

22
BAB I LANDASAN TEORI 1. Pengertian Trauma ginjal adalah trauma sistem perkemihan yang paling sering dan terjadi antara 8-10% pasien dengan trauma tumpul maupun trauma tembus abdomen. Pada kebanyakan kasus, trauma ginjal bersamaan dengan trauma organ-organ yang lain (Baverstock, 2001). 2. Etiologi Trauma ginjal dapat terjadi akibat berbagai macam mekanisme. Di Amerika serikat kecelakaan kendaraan bermotor adalah penyebab paling sering terjadi yang menyebabkan trauma tumpul abdomen yang paling sering mengenai ginjal. Jatuh dari ketinggian termasuk cidera tembus merupakan penyebab yang jarang terjhadi. Pada kasus lain, trauma ginjal merupakan sekunder akibat massa pada ginjal (angiomyolipoma). Trauma ginjal dapat digolongkan berdasarkan mekanisme cedera (tumpul atau tembus), lokasi anatomis atau keparahan cedera. a. Trauma ginjal minor mencakup kontusio (memar), hematom (perdarahan di bawah kulit) dan beberapa laserasi di kortek ginjal. b. Trauma ginjal mayor mencakup laserasi mayor disertai ruptur (robek) kapsul ginjal.

Upload: chuwiyy-agustin

Post on 05-Dec-2014

156 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Askep trauma ginjal

TRANSCRIPT

BAB I

LANDASAN TEORI

1. Pengertian

Trauma ginjal adalah trauma sistem perkemihan yang paling sering dan terjadi

antara 8-10% pasien dengan trauma tumpul maupun trauma tembus abdomen.

Pada kebanyakan kasus, trauma ginjal bersamaan dengan trauma organ-organ

yang lain (Baverstock, 2001).

2. Etiologi

Trauma ginjal dapat terjadi akibat berbagai macam mekanisme. Di Amerika

serikat kecelakaan kendaraan bermotor adalah penyebab paling sering terjadi

yang menyebabkan trauma tumpul abdomen yang paling sering mengenai

ginjal. Jatuh dari ketinggian termasuk cidera tembus merupakan penyebab

yang jarang terjhadi. Pada kasus lain, trauma ginjal merupakan sekunder akibat

massa pada ginjal (angiomyolipoma).

Trauma ginjal dapat digolongkan berdasarkan mekanisme cedera (tumpul atau

tembus), lokasi anatomis atau keparahan cedera.

a. Trauma ginjal minor mencakup kontusio (memar), hematom (perdarahan di

bawah kulit) dan beberapa laserasi di kortek ginjal.

b. Trauma ginjal mayor mencakup laserasi mayor disertai ruptur (robek)

kapsul ginjal.

c. Trauma ginjal kritis meliputi laserasi multiple yang parah pada ginjal disertai

cidera pada suplai darah ginjal.

 

3.  KLASIFIKASI

a. Trauma renal minor mencakup kontusi, hematom dan beberapa laserasi

dikorteks ginjal.

b. Cedera renal mayor mencakup laserasi mayor disertai rupture kapsul ginjal.

c. Trauma vaskuler (renal kritikal) meliputi laserasi multiple yang parah pada

ginjal disertai cedera panda suplay vaskuler ginjal.

Klasifikasi trauma ginjal menurut Sargeant dan Marquadt yang dimodifikasi

oleh Federle:

1) Grade I

Lesi meliputi :

a) Kontusi ginjal

b) Minor laserasi korteks dan medula tanpa gangguan pada sistem

pelviocalices

c) Hematom minor dari subcapsular atau perinefron (kadang – kadang)

75 – 80 % dari keseluruhan trauma ginjal

2) Grade II

Lesi meliputi

a) Laserasi parenkim yang berhubungan dengan tubulus kolektivus

sehingga terjadi extravasasi urine

b) Sering terjadi hematom perinefron

Luka yang terjadi biasanya dalam dan meluas sampai ke medulla

10 – 15 % dari keseluruhan trauma ginjal

3) Grade III

Lesi meliputi

a) Ginjal yang hancur

b) Trauma pada vaskularisasi pedikel ginjal

5 % dari keseluruhan trauma ginjal

4) Grade IV

Meliputi lesi yang jarang terjadi yaitu:

a) Avulasi pada ureteropelvic junction

b) Laserasi pada pelvis renal

4. PATOFISIOLOGI

Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal. Dengan

lajunya pembangunan, penambahan ruas jalan dan jumlah kendaraan, kejadian

trauma akibat kecelakaan lalu lintas juga semakin meningkat. Trauma tumpul

ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Trauma langsung

biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, olah raga, kerja atau

perkelahian. Trauma ginjal biasanya menyertai trauma berat yang juga

mengenai organ organ lain. Trauma tidak langsung misalnya jatuh dari

ketinggian yang menyebabkan pergerakan ginjal secara tiba tiba di dalam

rongga peritoneum. Kejadian ini dapat menyebabkan avulsi pedikel ginjal atau

robekan tunika intima arteri renalis yang menimbulkan trombosis. Ginjal yang

terletak pada rongga retroperitoneal bagian atas hanya terfiksasi oleh pedikel

pembuluh darah serta ureter, sementara masa ginjal melayang bebas dalam

bantalan lemak yang berada dalam fascia Gerota. Fascia Gerota sendiri yang

efektif dalam mengatasi sejumlah kecil hematom , tidak sempurna dalam

perkembangannya. Kantong fascia ini meluas kebawah sepanjang

ureter ,meskipun menyatu pada dinding anterior aorta serta vena cava inferior,

namun mudah untuk sobek oleh adanya perdarahan hebat sehingga

perdarahan melewati garis tengah dan mengisi rongga retroperitoneal.

(Guerriero, 1984).

Karena miskinnya fiksasi, ginjal mudah mengalami dislokasi oleh

adanya akselerasi maupun deselerasi mendadak, yang bisa menyebabkan

trauma seperti avulsi collecting system atau sobekan pada intima arteri renalis

sehingga terjadi oklusi parsial maupun komplet pembuluh darah. Sejumlah

darah besar dapat terperangkap didalam rongga retroperitoneal sebelum

dilakukan stabilisasi. Keadaan ekstrem ini sering terjadi pada pasien yang

datang di ruang gawat darurat dengan kondisi stabil sementara terdapat

perdarahan retroperitoneal. Korteks ginjal ditutupi kapsul tipis yang cukup kuat.

Trauma yang menyebabkan robekan kapsul sehingga menimbulkan

perdarahan pada kantong gerota perlu lebih mendapat perhatian dibanding

trauma yang tidak menyebabkan robekan pada kapsul. Vena renalis kiri terletak

ventral aorta sehingga luka penetrans didaerah ini bisa menyebabkan trauma

pada kedua struktur. Karena letaknya yang berdekatan antara pankreas dan

pole atas ginjal kiri serta duodenum dengan tepi medial ginjal kanan bisa

menyebabkan trauma kombinasi pada pankreas, duodenum dan ginjal..

Anatomi ginjal yang mengalami kelainan seperti hidronefrosis atau tumor

maligna lebih mudah mengalami ruptur hanya oleh adanya trauma ringan.

(McAninch,2000).

5. Manifestasi Klinis

a. Hematuria

Hematuria merupakan manifestasi yang umum terjadi. Oleh karena itu,

adanya darah dalam urin setelah suatu cidera menunjukkan kemungkinan

cedera renal. Namun demikian, hematuria mungkin tidak akan muncul atau

terdeteksi hanya melalui pemeriksaan mikroskopik.

b. Nyeri

c. Kolik renal (akibat bekuan darah atau fragmen dari sistem duktus kolektivus

yang terobstruksi)

d. Ekimosis

e. Laserasi (luka) di abdomen lateral dan rongga panggul

f. Tanda dan gejala syok hipovolemia akibat perdarahan

6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

a. Laboratorium

Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah urinalisis. Pada

pemeriksaan ini diperhatikan kekeruhan, warna, pH urin, protein,

glukosa dan sel-sel. Pemeriksaan ini juga menyediakan secara

langsung informasi mengenai pasien yang mengalami laserasi,

meskipun data yang didapatkan harus dipandang secara rasional. Jika

hematuria tidak ada, maka dapat disarankan pemeriksaan mikroskopik.

Meskipun secara umum terdapat derajat hematuria yang dihubungkan

dengan trauma traktus urinarius, tetapi telah dilaporkan juga kalau pada

trauma (ruptur) ginjal dapat juga tidak disertai hematuria. Akan tetapi

harus diingat kalau kepercayaan dari pemeriksaan urinalisis sebagai

modalitas untuk mendiagnosis trauma ginjal masih didapatkan kesulitan.

b. Radiologi

Cara-cara pemeriksaan traktus urinarius dapat dilakukan dengan

berbagai cara, yaitu: foto polos abdomen, pielografi intravena, urografi

retrograde, arteriografi translumbal, angiografi renal, tomografi,

sistografi, computed tomography (CT-Scan), dan nuclear Magnetic

resonance (NMR)

c. Plain photo

d. Intravenous Urography (IVU)

e. Intravenous Pyelography (IVP)

Tujuan pemeriksaan IVP adalah

1) untuk mendapatkan perkiraan fungsional dan anatomi kedua ginjal

dan ureter,

2) menentukan ada tidaknya fungsi kedua ginjal, dan

3) sangat dibutuhkan pada bagian emergensi atau ruangan operasi.

Sedangkan kerugian dari pemeriksaan ini adalah

1) pemeriksaan ini

memerlukan gambar multiple untuk mendapatkan informasi

maksimal, meskipun teknik satu kali foto dapat digunakan

2) dosis radiasi relative

tinggi (0,007-0,0548 Gy);

3) gambar yang

dihasilkan tidak begitu memuaskan.

f. CT Scan

Computed Tomography (CT) merupakan salah satu jenis

pemeriksaan yang dapat digunakan untuk menilai traktus urinarius.

Pemeriksaan ini dapat menampakan keadaan anatomi traktus urinarius

secara detail. Pemeriksaan ini menggunakan scanning dinamik kontras.

Keuntungan dari pemeriksaan ini adalah

1) memeriksa keadaan anatomi dan fungsional ginjal dan traktus

urinarius,

2) membantu menentukan ada atau tidaknya gangguan fungsi ginjal

dan

3) membantu diagnosis trauma yang menyertai

Kerugian dari pemeriksaan ini adalah

1) pemeriksaan ini memerlukan kontas untuk mendapatkan informasi

yang maksimal mengenai fungsi, hematoma, dan perdarahan;

2) pasien harus dalam keadaan stabil untuk melakukan pemeriksaan

scanner; dan

3) memerlukan waktu yang tepat untuk melakukan scanning untuk

melihat bladder dan ureter.

g. Asteriografi

h. Magnetic Resonannce Imaging (MRI)

MRI digunakan untuk membantu penanganan trauma ginjal ketika

terdapat kontraindikasi untuk penggunaan kontras iodinated atau ketika

pemeriksaan CT-Scan tidak tersedia. Seperti pada pemeriksaan CT,

MRI menggunakan kontas Gadolinium intravena yang dapat membantu

penanganan ekstravasasi sistem urinarius. Pemeriksaan ini merupakan

pemeriksan terbaik dengan sistem lapangan pandang yang luas.

i. Angiography 

Keuntungan pemeriksaan ini adalah

1) memiliki kapasitas untuk menolong dalam diagnosis dan

penanganan trauma ginjal, dan

2) lebih jauh dapat memberikan gambaran trauma dengan

abnormalitas IV atau dengan trauma vaskuler.

Kerugian dari pemeriksaan ini adalah

1) pemeriksaan ini invasif,

2) pemeriksaan ini memerlukan sumber-sumber mobilisasi untuk

melakukan pemeriksaan, seperti waktu.

j. USG

Keuntungan pemeriksaan ini adalah :

1) non-invasif

2) dapat dilakukan bersamaan dengan resusitasi, dan

3) dapat membantu mengetahui keadaan anatomi setelah trauma.

Kerugian dari pemeriksaan ini adalah

1) memerlukan pengalaman sonografer yang terlatih,

2) pada pemeriksaan yang cepat sulit untuk melihat mendeskripsikan

anatomi ginjal, dimana kenyataannya yang terlihat hanyalah cairan

bebas

3) trauma bladder kemungkinan akan tidak dapat digambarkan.

7. PENATALAKSANAAN MEDIS

a. Konservatif

Pada trauma ginjal minor : penyembuhan memerlukan tindakan

konservatif yaitu pasien tirah baring sampai hematom hilang, pemberian

infus intravena pemberian obat antimikrobial

b. Eksplorasi :

1) Indikasi absolut

2) Indikasi relative

8. KOMPLIKASI

Komplikasi awal terjadi I bulan pertama setelah cedera

a. Urinoma

b. Delayed bleeding

c. Urinary fistula

d. Abses

e. Hipertensi

Komplikasi lanjut

a. Hidronefrosis

b. Arteriovenous fistula

c. Piolenofritis

BAB II

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Riwayat Kesehatan

Riwayat Penyakit

Keluhan utama atau alasan utama mengapa ia datang ke dokter atau ke rumah

sakit

Adanya rasa nyeri : lokasi, karakter, durasi, dan hubungannya dengan urinasi,

faktor- faktor yang memicu rasa nyeri dan yang meringankannya.

Riwayat infeksi trauma urinarius:

1) Terapi atau perawatan rumah sakit yang pernah dialami untuk menangani

infeksi traktus urinarius

2) Adanya gejala panas atau menggigil

3) Sistoskopi sebelumnya, riwayat penggunaan kateter urine dan hasil- hasil

pemeriksaan diagnostik renal atau urinarius.

4) Gejala kelainan urinasi seperti disuria, hesitancy, inkontinensia

         Riwayat penyakit masa lalu,

hematuria, nokturia, batu ginjal, DM,hipertensi, Adanya riwayat lesi kongenital,

Adanya riwayat merokok, Riwayat Penyalahgunaan obat dan alkohol

2. Pemeriksaan Fisika. Inspeksi

Mengkaji adanya gejala edema yang menunjukkan retensi cairan;

daerah muka dan ekstremitas dikaji secara khusus. Pada wanita

dilakukan pemeriksaan vulva, uretra, dan vagina.

b. Palpasi

Pemeriksaan letak ginjal, pemeriksaan rektal, kelenjar prostat,

pembesaran nodus limfatikus, hernnia inguinal, atau femoral.

c. Perkusi

Penyakit renal dapat menimbulkan nyeri tekan atau ketuk pada daerah

angulus kostovertebralis yang terletak pada tempat iga ke-12 atau iga

paling bawah.

d. Auskultasi

Auskultasi kuadran atas abdomen dilakukan untuk mendeteksi bruit

(suara vaskuler yang dapat menunjukkan stenosis pembuluh arteri

renal).

B. Diagnosa dan Rencana Tindakan

1. Dx :Nyeri akut berhubungan dengan fisikologis trombosis renalis dan

cabang-cabangnya.

Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam rasa nyeri

berkurang

Kriteria Hasil :

Pasien tidak mengalami nyeri atau nyeri menurun sampai tingkat yang

dapat diterima, tidak ada gerakan menghindari nyeri, suhu tubuh normal

Intervensi dan Rasionalisasi

No Intervensi Rasionalisasi

1

2.

3.

Mandiri :

Kaji tingkat nyeri

Amati perubahan suhu setiap 4 jam

Berikan tindakan untuk memberikan

rasa nyaman seperti mengelap

bagian punggung pasien, mengganti

alat tenun yg kering setelah

diaforesis, memberi minum hangat,

lingkungan yg tenang dgn cahaya yg

redup dan sedatif ringan jika

dianjurkan berikan pelembab pada

kulit dan bibir.

Menentukan tindakan selanjutnya

Untuk mengidentifikasi kemajuan-

kemajuan yang terjadi maupun

penyimpangan yang terjadi

Tindakan tersebut akan

meningkatkan relaksasi. Pelembab

membantu mencegah kekeringan

dan pecah-pecah di mulut dan

bibir.

4.

5.

6.

Kompres air hangat

Kolaborasi :

Konsul pada dokter jika nyeri dan

demam tetap ada atau mungkin

memburuk.

Berikan antibiotik sesuai dengan

anjuran dan evaluasi keefektifannya.

Kompres air hangat dapat

menimalisir rasa nyeri

Nyeri pleuritik yg berat sering kali

memerlukan analgetik narkotik

untuk mengontrol nyeri lebih efektif

Analgesik membantu mengontrol

nyeri dengan memblok jalan

rangsang nyeri.

2. Dx : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

anoreksia, nausea dan distensi ileus

Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam kebutuhan

nutrisi pasien dapat terpenuhi

Kriteria Evaluasi :

Pasien tidak mengalami kehilangan berat badan lebih lanjut, masukan

makanan dan cairan meningkat, urine tidak pekat, pengeluaran urine

meningkat, kulit tidak kering.

Intervensi dan Rasionalisasi :

No Intervensi Rasionalisasi

1.

2.

Mandiri :

Pantau :

     persentase jumlah makanan yg

dikonsumsi setiap kali makan.

timbang BB setiap hari

         

Berikan perawatan mulut tiap 4 jam

jika sputum tercium bau busuk.

Pertahankan kesegaran ruangan.

Untuk mengidentifikasi kemajuan-

kemajuan atau penyimpangan

sasaran yg diharapkan.

Bau yg tidak menyenangkan dapat

mempengaruhi nafsu makan

3.

4.

5.

Dorong pasien untuk mengkonsumsi

makanan TKTP.

Berikan makanan dengan porsi sedikit

tapi sering yg mudah dikunyah jika

ada sesak napas berat.

Kolaborasi :

Rujuk kepada ahli diet untuk

membantu memilih makanan yg dapat

memenuhi kebutuhan nutrisi selama

sakit

Masukan nutrisi yg adekuat, vitamin,

mineral dan kalori untuk aktivitas

anabolik dan sintesis

antibodi.

Makanan porsi sedikit tapi sering

memerlukan lebih sedikit energi.

Ahli diet membantu pasien memilih

makanan yg memenuhi kebutuhan

kalori dan kebutuhan nutrisi sesuai

dgn keadaan sakitnya, usia, TB &

BB. Kebanyakan pasien lebih suka

mengkonsumsi makanan yg

merupakan pilihan sendiri.

3. Dx : Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi yang

dialami dan proses pengobatan

Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam ansietas

berkurang dan memberikan informasi tentang proses penyakit, program

pengobatan

Kriteria Evaluasi :

Ekspresi wajah relaks, Cemas dan rasa takut hilang atau berkurang

Intervensi dan Rasionalisasi :

No Intervensi Rasionalisasi

1.

2.

Mandiri :

Jelaskan tujuan pengobatan

pada pasien

Kaji patologi masalah individu.

Mengorientasi program pengobatan.

Membantu menyadarkan klien untuk

memperoleh kontrol

Informasi menurunkan takut karena

3.

4.

5.

Kaji ulang tanda / gejala yang

memerlukan evaluasi medik

cepat

Kaji ulang praktik kesehatan

yang baik, istirahat.

Kolaborasi :

Gunakan obat sedatif sesuai

dengan anjuran

ketidaktahuan. Memberika

pengetahuan dasar untuk pemahaman

kondisi dinamik

intervensi medik diperlukan untuk

mencegah / menurunkan potensial

komplikasi

Mempertahanan kesehatan umum

meningkatkan penyembuhan dan

dapat mencegah kekambuhan..

Banyak pasien yang membutuhkan

obat penenang untuk mengontrol

ansietasnya

4. Dx : Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan nyeri akut dan

ketidaknyamanan

Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam pasien

menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktifitas.

Kriteria Evaluasi :

Menurunnya keluhan terhadap kelemahan, dan kelelahan dalam melakukan

aktifitas, berkurangnya nyeri.

Intervensi dan Rasionalisasi :

No Intervensi Rasionalisasi

1.

2.

Mandiri :

Jelaskan aktivitas dan faktor yang

dapat meningkatkan kebutuhan

oksigen

Anjurkan program hemat energi

Merokok, suhu ekstrim dan stre

menyebabkan vasokonstruksi

pembuluh garah dan peningkatan

beban jantung

Mencegah penggunaan energi

berlebihan

3.

4.

5.

6.

Buat jadwal aktifitas harian,

tingkatkan secara bertahap

Kaji respon abdomen setelah

beraktivitas

Berikan kompres air hangat

Beri waktu istirahat yang cukup

Mempertahankan pernapasan

lambat dengan tetap

mempertahankan latihan fiisk yang

memungkinkan peningkatan

kemampuan otot bantu

pernapasan

Respon abdomen melipuit nadi,

tekanan darah, dan pernapasan

yang meningkat

Kompres air hangat dapat

mengurangi rasa nyeri

Meningkatkan daya tahan pasien,

mencegah keletihan

5. Dx : Resiko Infeksi berhubungan dengan pendarahan pada retroperitonium

Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam pasien

tidak mengalami infeksi selama dirawat di rumah sakit.

Kriteria Hasil: Mencapai waktu penyembuhan

Intervensi dan rasionalisasi:

No. Intervensi Rasionalisasi

1.

Mandiri:

Pertahankan system kateter steril; berikan

perawatan kateter regular dengan sabun

dan air, berikan salep antibiotic disekitar

sisi kateter.

Mencegah pemasukan

bakteri dari infeksi/ sepsis

lanjut.

2. Ambulasi dengan kantung drainase

dependen.

Menghindari refleks balik

urine, yang dapat

memasukkan bakteri

kedalam kandung kemih.

3.

.

Awasi tanda vital, perhatikan demam

ringan, menggigil, nadi dan pernapasan

cepat, gelisah, peka, disorientasi.

Pasien mungkin beresiko

untuk syok bedah/ septic

sehubungan dengan

manipulasi/ instrumentasi

4. Ganti balutan dengan sering (insisi supra/

retropublik dan perineal), pembersihan

dan pengeringan kulit sepanjang waktu

Balutan basah

menyebabkan kulit iritasi

dan memberikan media

untuk pertumbuhan bakteri,

peningkatan resiko infeksi

luka.

5.

Kolaborasi:

Berikan antibiotic sesuai indikasi Mungkin diberikan secara

profilaktik

6. Dx : Kekurangan volume cairan dan Elektrolit berhubungan dengan

hematuria dan nausea

Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam

diharapkan dapat mencegah terjadinya resiko kekurangan volume cairan.

Kriteria Evaluasi :

Suhu tubuh normal, TD normal, nadi normal, Keseimbangan cairan, memiliki

asupan cairan yang adekuat, tidak mengalami haus yang tidak normal.

Intervensi dan Rasionalisasi :

No Intervensi Rasionalisasi

1.

2.

Mandiri :

Pantau :

-    warna, jumlah dan frekuensi

kehilangan cairan

-    status hidrasi (nadi dan TD)

-    Hasil laboratorium

Identifikasi faktor-faktor yang

berkontribusi terhadap bertambah

Untuk mengidentifikasi kemajuan-

kemajuan atau penyimpangan

sasaran yg diharapkan.

Untuk mengidentifikasi

penyimpangan sasaran yang lebih

3.

4.

5.

6.

buruknya dehidrasi

Tinjau ulang elektrolit, terutama

natrium, kalium, klorida dan

kreatinin.

Tingkatkan masukkan cairan

Bersihkan mulut secara teratur

Kolaborasi :

Berikan terapi IV, sesuai dengan

anjuran

lanjut

Merupakan elektrolit yang sangat

penting bagi tubuh

Cairan membantu mencegah

dehidrasi karena meningkatnya

metabolisme

Kebersihan mulut dapat

meningkatkan kenyamanan pasien.

Menjaga keseimbangan elektrolit

dalam tubuh

DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer & Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Suharyanto, T, & Madjid, A. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : Penerbit Trans Info Media.