askep limfadenitis
DESCRIPTION
adfTRANSCRIPT
ASKEP Limfadenitis (Rizky's Blog)
BAB 1PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kelenjar getah bening termasuk dalam susunan retikuloendotel, yang tersebar di
seluruh tubuh. Kelenjar inimempunyai fungsi penting berupa barier atau filter terhadap kuman-kuman/bakteri-bakteri yang termasuk ke dalam badan dan barier pula untuk sel-sel tumor ganas (kanker). Disamping itu bertugas pula untuk membentuk sel-sel limfosit darah tepi. Limfadenitis adalah peradangan kelenjar getah bening (kelenjar limfe) regional dari lesi primer akibat adanya infeksi dari bagian tubuh yang lain.
Streptokokus dan bakteri staphylococcal adalah penyebab paling umum dari limfadenitis, meskipun virus, protozoa, rickettsiae, jamur, dan basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar getah bening. Streptokokus dan bakteri penyebab adalah pagar staphylococcal limfadenitis Umum, meskipun virus, protozoa, rickettsiae, jamur, dan TBC juga dapat menginfeksi kelenjar getah bening.
Penyakit yang melibatkan kelenjar getah bening di seluruh tubuh termasuk mononucleosis, infeksi sitomegalovirus, toksoplasmosis, dan brucellosis. Gejala awal limfadenitis adalah pembengkakan kelenjar yang disebabkan oleh penumpukan cairan jaringan dan peningkatan jumlah sel darah putih akibat respon tubuh terhadap infeksi. Pembesaran kelenjar terjadi karena adanya hiperplasia limfoid dan terbentuknya tuberkel, kemudian terjadi granulasi kronis, di kelenjar terjadi nekrosis dan perkejuan. Kelenjar dapat membesar dan melekat satu dengan yang lainnya serta melekat dengan jaringan sekitarnya, kemudian terjadi perkejuan selanjutnya terbentuk abses.
1.2 Rumusan Masalah1.2.1 Apakah defenisi dari Limfadenitis ?1.2.2 Bagaimana etiologi Limfadenitis ? 1.2.3 Bagaimana manifestasi klinik Limfadenitis ?1.2.4 Bagaimana patofisiologi Limfadenits ? 1.2.5 Bagaimana penatalaksaan Limfadenitis ?1.2.6 Bagaimaan proses keperawatan Limfadenitis ?
1.3 Tujuan Penulisan1.3.1 Untuk mengetahui tentang defenisi Limfadenitis1.3.2 Untuk mengetahui tentang etiologi Limfadenitis1.3.3 Untuk mengetahui tentang manifestasi klinik Limfadenitis1.3.4 Untuk mengetahui tentang patofisiologi Limfadenitis1.3.5 Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan Limfadenitis1.3.6 Untuk mengetahui tentang proses keperawatan Limfadenitis
1.4 Manfaat Penulisan1.4.1 Bagi Mahasiswa
Agar mampu memahami tentang penyakit peradangan kelenjar getah bening (limfadenitis), dan dapat menerapkan bagaimana cara penanganan pasien dengan limfadenitis.1.4.2 Bagi InstitusiAgar dapat memberikan penjelasan yang lebih luas tentang Limfadenitis dan dapat lebih banyak menyediakan referensi-referensi buku tentang penyakit-penyakit serta asuhan keperawatan penyakit tersebut.1.4.3 Bagi MasyarakatAgar lebih mengerti dan memahami tentang limfadenitis serta bagaimana penyebaran dan
penularan limfadenitis untuk meningkatkan mutu kesehatan masyarakat.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Limfadenitis adalah peradangan kelenjar getah bening (kelenjar limfe) regional dari lesi
primer akibat adanya infeksi dari bagian tubuh yang lain. Kelenjar getah bening (kelenjar limfe)
termasuk dalam susunan retikuloendotel, yang tersebar di seluruh tubuh. Kelenjar ini mempunyai
fungsi penting berupa barier atau filter terhadap kuman-kuman / bakteri-bakteri yang
masuk kedalam tubuh dan barier pula untuk sel – sel tumor ganas (kanker). Di samping itu
bertugas pula membentuk sel-sel limfosit darah tepi.
2.2 Etiologi
Siklus munculnya penyakit ini adalah bakteria dapat masuk melalui makanan ke rongga
mulut dan melalui tonsil mencapai kelenjar limfa di leher, sering tanpa tanda TBC paru. Kelenjar
yang sakit akan membengkak dan mungkin sedikit nyeri. Mungkin secara berangsur kelenjar di
dekatnya satu persatu terkena radang yang khas dan dingin ini. Di samping itu, dapat terjadi juga
perilimfadenitis sehingga beberapa kelenjar melekat satu sama lain berbentuk massa. Bila
mengenai kulit, kulit akan meradang,merah, bengkak, mungkin sedikit nyeri. Kulit akhirnya
menipis dan jebol, mengeluarkan bahan keperti keju.
Tukak yang terbentuk akan berwarna pucat dengan tepi membiru dan menggangsir,
disertai sekret yang jernih. Tukak kronik itu dapat sembuh dan meninggalkan jaringan parut yang
tipis atau berbintil-bintil. Suatu saat tukak meradang lagi dan mengeluarkan bahan seperti keju
lagi, demikian berulang-ulang.
Streptococcus dan bakteri Staphylococcal adalah penyebab paling umum dari
limfadenitis, meskipun virus, protozoa, rickettsiae, jamur, dan basil TB juga dapat menginfeksi
kelenjar getah bening. Penyakit yang melibatkan kelenjar getah bening di seluruh tubuh
termasuk mononucleosis, infeksi sitomegalovirus, toksoplasmosis, dan brucellosis. Gejala awal
limfadenitis adalah pembengkakan kelenjar yang disebabkan oleh penumpukan cairan jaringan
dan peningkatan jumlah sel darah putih akibat respon tubuh terhadap infeksi. Kehilangan nafsu
makan, vehicles keringat, nadi cepat, dan kelemahan.
2.3 Manifestasi Klinik
Gejala untuk menganalisa apakah terkena penyakit ini adalah kelenjar getah bening yang
terserang biasanya akan membesar dan jika diraba terasa lunak dan nyeri, selain itu gejala klinis
yang timbul adalah demam, nyeri tekan, dan tanda radang. Kulit di atasnya terlihat merah dan
terasa hangat, pembengkakan ini akan menyerupai daging tumbuh atau biasa disebut dengan
tumor. Dan untuk memastikan apakah gejala-gejala tersebut merujuk pada penyakit limfadenitis
maka perlu adanya pengangkatan jaringan untuk pemeriksaan di bawah mikroskop.
Limfadenitis pada taraf parah disebut limfadenitis kronis. Limfadenitis ini terjadi ketika
penderita mengalami infeksi kronis, misal pada kondisi ketika seseorang dengan faringitis kronis
akan ditemukan pembesaran kelenjar getah bening leher (limfadenitis). Pembesaran di sini
ditandai oleh tanda radang yang sangat minimal dan tidak nyeri. Pembesaran kronis yang
spesifik dan masih banyak di Indonesia adalah akibat tuberkulosa. Limfadenitis tuberkulosa ini
ditandai oleh pembesaran kelenjar getah bening, padat/keras, multiple dan dapat berhubungan
satu sama lain. Dapat pula sudah terjadi perkijuan seluruh kelenjar, sehingga kelenjar itu
melunak seperti abses tetapi tidak nyeri seperti abses banal. Apabila abses ini pecah kekulit,
lukanya sulit sembuh oleh karena keluar secara terus menerus sehingga seperti fistula.
Limfadenitis tuberculosa pada kelenjar getah bening dapat terjadi sedemikian rupa, besar
dan berhubungan sehingga leher penderita itu disebut seperti bull neck. Pada keadaan seperti ini
kadang-kadang sulit dibedakan dengan limfoma malignum. Limfadenitis tuberkulosa
diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi, terutama yang tidak disertai oleh
tuberkulosa paru.
2.4 Patofisiologi
Kelenjar getah bening (KGB) adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh kita. Tubuh kita
memiliki kurang lebih sekitar 600 kelenjar getah bening, namun hanya di daerah sub mandibular,
ketiak atau lipat paha yang teraba normal pada orang sehat. Terbungkus kapsul fibrosa yang
berisi kumpulan sel-sel pembentuk pertahanan tubuh dan merupakan tempat penyaringan antigen
(protein asing) dari pembuluh-pembuluh getah bening yang melewatinya.
Pembuluh-pembuluh limfe akan mengalir ke kelenjar getah bening sehingga dari lokasi
kelenjar getah bening akan diketahui aliran pembuluh limfe yang melewatinya. Oleh karena
dilewati oleh aliran pembuluh getah bening yang dapat membawa antigen dan memiliki sel
pertahanan tubuh maka apabila ada antigen yang menginfeksi maka kelenjar getah bening dapat
menghasilkan sel-sel pertahanan tubuh yang lebih banyak untuk mengatasi antigen tersebut
sehingga kelenjar getah bening membesar.
Pembesaran kelenjar getah bening dapat berasal dari penambahan sel-sel pertahanan
tubuh yang berasal dari kelenjar getah bening itu sendiri seperti limfosit, sel plasma, monosit dan
histiosit atau karena datangnya sel-sel peradangan (neutrofil) untuk mengatasi infeksi di kelenjar
getah bening (limfadenitis), infiltrasi sel-sel ganas atau timbunan dari penyakit metabolite
macrophage (gaucher disease). Dengan mengetahui lokasi pembesaran kelenjar getah bening
maka kita dapat mengarahkan kepada lokasi kemungkinan terjadinya infeksi atau penyebab
pembesaran kelenjar getah bening.
Benjolan, bisa berupa tumor baik jinak atau ganas, bisa juga berupa pembesaran kelenjar
getah bening. Kelenjar ini ada banyak sekali di tubuh kita, antara lain di daerah leher, ketiak,
dalam rongga dada dan perut, di sepanjang tulang belakang kiri dan kanan sampai mata kaki.
Kelenjar getah bening berfungsi sebagai penyaring bila ada infeksi lokal yang disebabkan bakteri
atau virus. Jadi, fungsinya justru sebagai benteng pertahanan tubuh.
Jika tidak terjadi infeksi, kemungkinan adalah tumor. Apalagi bila pembesaran kelenjar di
daerah-daerah tersebut di atas, pertumbuhannya cepat dan mudah membesar. Bila sudah sebesar
biji nangka, misalnya, bila ditekan tidak sakit, maka perlu diwaspadai. Jalan terbaik, adalah
dilakukan biopsy di kelenjar tersebut. Diperiksa jenis sel-nya untuk memastikan apakah sekedar
infeksi atau keganasan. Jika tumor dan ternyata ganas, pembesaran kelenjar akan cepat terjadi.
Dalam sebulan, misalnya sudah membesar dan tak terasa sakit saat ditekan. Beda dengan yang
disebabkan infeksi, umumnya tidak bertambah besar dan jika daerah di sekitar benjolan ditekan,
terasa sakit.
2.5 Penatalaksanaan
Tata laksana pembesaran kelenjar getah bening leher didasarkan kepada penyebabnya.
Banyak kasus dari pembesaran kelenjar getah bening leher sembuh dengan sendirinya dan tidak
membutuhkan pengobatan apa pun selain dari observasi. Kegagalan untuk mengecil setelah 4-6
minggu dapat menjadi indikasi untuk dilaksanakan biopsy kelenjar getah bening. Biopsy
dilakukan bila terdapat tanda dan gejala yang mengarahkan kepada keganasan, kelenjar getah
bening yang menetap atau bertambah besar dengan pengobatan yang tepat, atau diagnosis belum
dapat ditegakkan.
Pembesaran kelenjar getah bening biasanya disebabkan oleh virus dan sembuh sendiri,
walaupun pembesaran kelenjar getah bening dapat berlangsung mingguan. Pengobatan pada
infeksi kelenjar getah bening oleh bakteri (limfadenitis) adalah anti-biotic oral 10 hari dengan
pemantauan dalam 2 hari pertama flucloxacillin 25 mg/kgBB empat kali sehari. Bila ada reaksi
alergi terhadap antibiotic golongan penicillin dapat diberikan cephalexin 25 mg/kg (sampai
dengan 500 mg) tiga kali sehari atau erythromycin 15 mg/kg (sampai 500 mg) tiga kali sehari.
2.6 Proses Keperawatan
2.6.1 Pengkajian
1. Identitas klien : selain nama klien, juga orangtua; asal kota dan daerah, jumlah keluarga.
2. Keluhan : penyebab klien sampai dibawa ke rumah sakit.
3. Riwayat penyakit sekarang :
Tanda dan gejala klinis TB serta terdapat benjolan/bisul pada tempat-tempat kelenjar seperti :
leher, inguinal, axilla dan sub mandibula.
4. Riwayat penyakit dahulu :
Pernah sakit batuk yang lama dan benjolan bisul pada leher serta tempat kelenjar yang lainnya
seperti amandel atau adanya infeksi gigi dan gusi, dan sudah diberi pengobatan antibiotik tidak
sembuh-sembuh?
Pernah berobat tapi tidak sembuh?
Pernah berobat tapi tidak teratur?
Riwayat kontak dengan penderita TBC.
Daya tahan yang menurun.
Riwayat imunisasi/vaksinasi.
Riwayat pengobatan.
5. Riwayat sosial ekonomi dan lingkungan.
Riwayat keluarga: biasanya keluarga ada yang mempunyai penyakit yang sama.
Aspek psikososial: merasa dikucilkan, tidak dapat berkomunikasi dengan bebas, menarik diri.
Biasanya pada keluarga yang kurang mampu: masalah berhubungan dengan kondisi ekonomi,
untuk sembuh perlu waktu yang lama dan biaya yang banyak, tidak bersemangat dan putus
harapan.
Lingkungan: Lingkungan kurang sehat (polusi, limbah), pemukiman yang padat, ventilasi rumah
yang kurang, jumlah anggota keluarga yang banyak.
6. Pola fungsi kesehatan.
Pola persepsi sehat dan penatalaksanaan kesehatan.
Keadaan umum: alergi, kebiasaan, imunisasi.
Pola nutrisi-metabolik.
Anoreksia, mual, tidak enak diperut, berat badan turun, turgor kulit jelek, kulit kering dan
kehilangan lemak sub kutan, sulit dan sakit menelan, turgor kulit jelek.
Pola eliminasi
Perubahan karakteristik feses dan urine, nyeri tekan pada kuadran kanan atas dan hepatomegali,
nyeri tekan pada kuadran kiri atas dan splenomegali.
Pola aktifitas-latihan.
Sesak nafas, fatique, tachicardia,aktifitas berat timbul sesak nafas (nafas pendek).
Pola tidur dan istirahat: iritable, sulit tidur, berkeringat pada malam hari.
Pola kognitif-perseptual.
Kadang terdapat nyeri tekan pada nodul limfa, nyeri tulang umum, takut, masalah finansial,
umumnya dari keluarga tidak mampu.
Pola persepsi diri: tidak percaya diri, pasif, kadang pemarah.
Pola peran-hubungan: menjadi ketergantungan terhadap orang lain / tidak mandiri.
Pola seksualitas/reproduktif
Pola koping-toleransi stres: menarik diri, pasif.
7. Pemeriksaan fisik : pemeriksaan yang dilakukan terhadap fisik pasien yang berkaitan dengan
penyakit yang diderita oleh pasien untuk melakukan pengambilan data-data kesehatan pasien
serta untuk mengambil langkah yang tepat dalam pemberian terapi lebih lanjut.
Demam: suhu 40-410C hilang timbul.
Batuk: terjadi karena adanya iritasi pada bronkus; batuk ini membuang/ mengeluarkan produksi
radang, dimulai dari batuk kering sampai batuk purulen (menghasilkan sputum).
Sesak nafas: terjadi bila sudah lanjut, dimana infiltrasi radang sampai setengah paru.
Nyeri dada: ini jarang ditemukan, nyeri timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura.
Malaise: ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot dan kering
diwaktu malam hari.
Pada tahap dini sulit diketahui.
Ronchi basah, kasar dan nyaring.
Hipersonor/timpani bila terdapat kavitas yang cukup dan pada auskultasi memberi suara
limforik.
Atropi dan retraksi interkostal pada keadaan lanjut dan fibrosis.
Adanya Pembesaran kelenjar biasanya multipel.
Benjolan/pembesaran kelenjar pada leher (servikal), axilla, inguinal dan sub mandibula.
Kadang terjadi abses
8. Pemeriksaan penunjang : pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap sampel yang telah
diambil dari pasien yang berguna sebagai data penunjang untuk membantu menentukan terapi
yang diberikan kepada pasien.
Ultrasonografi (USG)
USG merupakan salah satu teknik yang dapat dipakai untuk mengetahui ukuran, bentuk, dan
gambaran mikronodular.
Biopsi
Biopsi dapat dilakukan dengan mengambil sel keluar melalui jarum atau dengan operasi
menghapus satu atau lebih kelenjar getah bening. Sel-sel atau kelenjar getah bening akan dibawa
ke lab dan diuji. Biopsi dilakukan terutama bila terdapat tanda dan gejala yang mengarahkan
kepada keganasan.
Kultur
Kultur (contoh dikirim ke laboratorium dan diletakkan pada kultur medium yang membiarkan
mikroorganisme untuk berkembang) kemungkinan diperlukan untuk memastikan diagnosa dan
untuk mengidentifikasikan organisme penyebab infeksi.
CT Scan
CT Scan adalah mesin x-ray yang menggunakan komputer untuk mengambil gambar tubuh Anda
untuk mengetahui apa yang mungkin menyebabkan limfadenitis Anda. Sebelum mengambil
gambar, Anda mungkin akan diberi pewarna melalui intravena di pembuluh darah Anda agar
dapat melihat gambar dengan jelas. CT Scan dapat mendeteksi pembesaran kelenjar getah bening
servikalis dengan diameter 5 mm atau lebih.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic resonance imaging (MRI) digunakan untuk melihat dalam tubuh Anda. Dokter dapat
menggunakan gambar ini untuk mencari penyebab limfadenitis.
2.6.2 Analisis Data
1. Lokasi pembesaran kelenjar getah bening
Pembesaran kelenjar getah bening pada dua sisi leher secara mendadak biasanya disebabkan oleh
infeksi virus saluran pernapasan bagian atas. Pada infeksi oleh penyakit kawasaki umumnya
pembesaran Kelenjar Getah Bening hanya satu sisi saja. Apabila berlangsung lama (kronik)
dapat disebabkan infeksi oleh mikobakterium, toksoplasma, ebstein barr virus atau
citomegalovirus.
2. Gejala-gejala penyerta (symptoms)
Demam, nyeri tenggorok dan batuk mengarahkan kepada penyebab infeksi saluran pernapasan
bagian atas. Demam, keringat malam dan penurunan berat badan mengarahkan kepada infeksi
tuberkulosis atau keganasan. Demam yang tidak jelas penyebabnya, rasa lelah dan nyeri sendi
meningkatkan kemungkinan oleh penyakit kolagen atau penyakit serum (serum sickness),
ditambah riwayat obat-obatan.
3. Riwayat penyakit
Adanya peradangan tonsil (amandel) sebelumnya mengarahkan kepada infeksi oleh
streptokokus. Adanya infeksi gigi dan gusi dapat mengarahkan kepada infeksi bakteri anaerob.
4. Riwayat pekerjaan dan perjalanan
Paparan terhadap infeksi / kontak sebelumnya kepada orang dengan infeksi saluran nafas atas,
faringitis oleh Streptococcus, atau tuberculosis turut membantu mengarahkan penyebab
limfadenopati. Riwayat perjalanan atau pekerjaan, misalnya perjalanan ke daerah-daerah Afrika
dapat mengakibatkan penyakit Tripanosomiasis. Orang yang bekerja di hutan dapat terkena
Tularemia.
2.6.3 Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya faktor resiko :
Berkurangnya keefektifan permukaan paru, atelektasis
Kerusakan membran alveolar kapiler
Sekret yang kental
Edema bronchial
2. Resiko infeksi dan penyebaran infeksi berhubungan dengan :
Daya tahan tubuh menurun, fungsi silia menurun, sekret yang menetap
Kerusakan jaringan akibat infeksi yang menyebar
Malnutrisi
Terkontaminasi oleh lingkungan
Kurang pengetahuan tentang infeksi kuman
3. Kurangnya pengetahuan keluarga tentang kondisi, pengobatan, pencegahan, berhubungan
dengan :
Tidak ada yang menerangkan
Interpretasi yang salah, tidak akurat
Informasi yang didapat tidak lengkap
Terbatasnya pengetahuan / kognitif
4. Perubahan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan :
Kelelahan
Batuk yang sering, adanya produksi sputum
Dyspnoe
Anoreksia
Penurunan kemampuan finansial (keluarga).
2.6.4 Rencana Asuhan Keperawatan
1. Diagnosa I
Kaji dyspnoe, takipnoe, bunyi pernafasan abnormal. Meningkatnya respirasi, keterbatasan
ekspansi dada dan fatique: TB paru dapat menyebabkan meluasnya jangkauan dalam paru-paru
yang berasal dari bronchopneumonia yang meluas menjadi inflamasi, nekrosis, pleural efusion
dan meluasnya fibrosis dengan gejala-gejala respirasi distress.
Evaluasi perubahan tingkat kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan perubahan kulit, selaput
mukosa dan warna kuku: akumulasi sekret dapat mengganggu oksigenasi di organ vital dan
jaringan.
Demontrasikan/anjurkan untuk mengeluarkan nafas dengan bibir disiutkan, terutama pada klien
dengan fibrosis atau kerusakan parenkhim: meningkatnya resistensi aliran udara untuk mencegah
kolapsnya jalan nafas dan mengurangi residu dari paru-paru.
Anjurkan untuk bedrest/mengurangi aktivitas: mengurangi konsumsi oksigen pada periode
respirasi.
Kolaborasi monitor BGA: menurunnya oksigen, saturasi atau meningkatnya karbon dioksida
menunjukkan perlunya penanganan yang lebih adekuat atau perubahan therapi.
Kolaborasi pemberian oksigen tambahan: membantu mengoreksi hipoksemia yang secara
sekunder mengurangi ventilasi dan menurunnya tegangan paru.
2. Diagnosa II
Review patologi penyakit fase aktif/tidak aktif, menyebarnya infeksi melalui bronkhus pada
jaringan sekitarnya atau melalui aliran darah atau sistem limfe dan potensial infeksi melalui
batuk, bersin, tertawa, ciuman atau menyanyi: membantu klien agar klien mau mengerti dan
menerima terhadap terapi yang diberikan untuk mencegah komplikasi.
Identifikasi orang-orang yang beresiko untuk terjadinya infeksi seperti anggota keluarga, teman,
orang dalam satu perkumpulan: memberitahukan kepada mereka untuk mempersiapkan diri
untuk mendapatkan terapi pencegahan.
Anjurkan klien menampung dahaknya jika batuk: kebiasaan ini untuk mencegah terjadinya
penularan infeksi.
Gunakan masker setap melakukan tindakan: untuk mengurangi resiko penyebaran infeksi
Monitor temperatur: febris merupakan indikasi terjadinya infeksi.
Ditekankan untuk tidak menghentikan terapi yang dijalani: periode menular dapat terjadi hanya 2
– 3 hari setelah permulaan kemoterapi tetapi dalam keadaan sudah terjadi kavitas atau penyakit
sudah berlanjut sampai tiga bulan.
Kolaborasi dalam pemberian terapi.
Kolaborasi monitor sputum: penumpukan sputum yang berlebihan dapat menimbulkan infeksi.
3. Diagnosa III
Kaji kemampuan belajar klien (misalnya; tingkat kecemasan, perhatian, kelelahan, tingkat
partisipasi, lingkungan yang memungkinkan klien untuk belajar, seberapa banyak yang telah
diketahui, media yang tepat dan siapa yang dipercaya): kemampuan belajar berkaitan dengan
keadaan emosi dan kesiapan fisik. Keberhasilan tergantung pada sebatasmana kemampuan klien.
Identifikasi tanda-tanda yang dapat dilaporkan pada dokter (misalnya; hemoptisis, nyeri dada,
demam, kesulitan nafas, kehilangan pendengaran, vertigo): mengindikasikan perkembangan
penyakit atau efek samping dari pengobatan yang membutuhkan evaluasi secepatnya.
Menekankan pentingnya asupan diet TKTP (tinggi kalori tinggi protein) dan intake cairan yang
adekuat: mencukupi kebutuhan metabolik, mengurangi kelelahan, intake cairan yang memadai
membantu mengencerkan dahak.
Berikan informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan untuk klien dan keluarga (misalnya; jadwal
minum obat.
Informasi tertulis dapat mengingatkan klien tentang informasi yang telah diberikan. Pengulangan
informasi dapat membantu mengingatkan klien): menjelaskan dosis obat, frekwensi, tindakan
yang diharapkan dan perlunya therapi dalam jangka waktu lama. Mengulangi penyuluhan
mengenai potensial interaksi antara obat yang diminum dengan obat / subtansi lain.
Peningkatan partisipasi klien dan keluarga untuk mematuhi aturan terapi dan mencegah
terjadinya putus obat. Jelaskan tentang efek samping dari pengobatan yang mungkin timbul
(misalnya; ulut kering, konstipasi, gangguan penglihatan, sakit kepala, peningkatan tekanan
darah: dapat mencegah keraguan terhadap pengobatan dan meningkatkan kemampuan klien
untuk menjalani terapi.
Review tentang cara penularan TB ( misalnya; umumnya melalui inhalasi udara yang
mengandung kuman, tapi mungkin juga menular melalui urine jika infeksinya mengenai sistem
urinaria ) dan resiko kambuh kembali: pengetahuan yang cukup dapat mengurangi resiko
penularan/kambuh kembali.
4. Diagnosa IV
Kaji dan komunikasikan status nutrisi klien dan keluarga seperti yang dianjurkan (misalnya;
catat turgor kulit, timbang berat badan, integritas mukosa mulut, kemampuan dan
ketidakmampuan menelan, adanya bising usus, riwayat nausea, vomiting atau diare: digunakan
untuk mendefinisikan tingkat masalah dan intervensi.
Kaji pola diet klien yang disukai/tidak disukai: membantu intervensi kebutuhan yang spesifik,
meningkatkan intake diet klien.
Monitor intake dan output secara periodik: mengukur keefektifan nutrisi dan cairan.
Catat adanya anoreksia, nausea, vomiting, dan tetapkan jika ada hubungannya dengan medikasi.
Monitor volume, frekwensi, konsistensi BAB: dapat menentukan jenis diet dan mengidentifikasi
pemecahan masalah untuk meningkatkan intake nutrisi.
Anjurkan bedrest: membantu menghemat energi khususnya terjadinya metabolik saat demam.
Lakukan perawatan oral sebelum dan sesudah terapi respirasi: mengurangi rasa yang tidak enak
dari sputum atau obat-obat yang digunakan untuk pengobatan yang dapat merangsang vomiting.