askep fraktur vertebrae

18
Askep Fraktur Vertebrae A. Anatomi – Fisiologi Vertebra merupakan tulang tak beraturan yang membentuk punggung dan mudah digerakan. Fungsinya yaitu menahan kepala dan anggota tubuh yang lain, melindungi organ-organ vital, sebagai tempat melekatnya tulang iga dan tulang panggul, serta menentukan sikap tubuh. Kolumna vertebralis dibentuk oleh 33 vertebrae (cervical 7, thorakal 12, lumbal 5, sacral 5 dan coccygeus 4). Setiap vertebra terdiri dari: 1. Corpus/body 2. Pedikel 3. Prosessus artikularis superior dan inferior 4. Prosessus transversus 5. Prosessus spinosus Diantara vertebra ditemui diskus intervertebralis (Jaringan fibrokartillagenous), yang berfungsi sebagai shock absorber. Dikus ini terdiri dan bagian: 1. Luar: jaringan fibrokartillago yang disebut anulus fibrosus. 2. Dalam: cair yang disebut nukleus pulposus. Pada setiap vertebra ada 4 jaringan ikat sekitarnya: 1. Lig longitudinale anterior (membatasi gerakan ektensi). 2. Lig longitudinale posterior (membatasi gerakan fleksi). 3. Lig kapsulare, antara proc sup dan inferior. 4. Lig intertransversale. 5. Lig flava (yellow hg) diantara 2 laminae. 6. Lig supra dan interspinosus. Di dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et al. 2000). B. Definisi Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya. Faktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan putir, mendadak bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, rupture tendo, kerusakan

Upload: ferry-nirwana-ade-saputra

Post on 18-Jan-2016

19 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Askep Fraktur Vertebrae

Askep Fraktur Vertebrae

A.    Anatomi – FisiologiVertebra merupakan tulang tak beraturan yang membentuk punggung dan mudah

digerakan. Fungsinya yaitu menahan kepala dan anggota tubuh yang lain, melindungi organ-organ vital, sebagai tempat melekatnya tulang iga dan tulang panggul, serta menentukan sikap tubuh.

Kolumna vertebralis dibentuk oleh 33 vertebrae (cervical 7, thorakal 12, lumbal 5, sacral 5 dan coccygeus 4).

Setiap vertebra terdiri dari:1.      Corpus/body2.      Pedikel3.      Prosessus artikularis superior dan inferior4.      Prosessus transversus5.      Prosessus spinosus

Diantara vertebra ditemui diskus intervertebralis (Jaringan fibrokartillagenous), yang berfungsi sebagai shock absorber. Dikus ini terdiri dan bagian:

1.      Luar: jaringan fibrokartillago yang disebut anulus fibrosus.2.      Dalam: cair yang disebut nukleus pulposus.

Pada setiap vertebra ada 4 jaringan ikat sekitarnya:1.       Lig longitudinale anterior (membatasi gerakan ektensi).2.       Lig longitudinale posterior (membatasi gerakan fleksi).3.       Lig kapsulare, antara proc sup dan inferior.4.       Lig intertransversale.5.       Lig flava (yellow hg) diantara 2 laminae.6.       Lig supra dan interspinosus.

Di dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et al. 2000).

B.     DefinisiFraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan

luasnya. Faktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan putir, mendadak bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, rupture tendo, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah. (Brunner and Suddarth, 2001).

Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Gejala – gejala fraktur tergantung pada sisi, beratnya dan jumlah kerusakan pada struktur lain, biasanya terjadi pada orang dewasa laki-laki yang disebabkan oleh kecelakaan, jatuh, dan perilaku kekerasan. (Marilyn, E. Doengoes, 1999).

Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit neurologi ( Sjamsuhidayat, 1997).

Page 2: Askep Fraktur Vertebrae

C.     Etiologi1.      Kecelakaan lalu lintas2.      Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian3.      Kecelakaan sebab olah raga (penunggang kuda, pemain sepak bola, penyelam, dll)4.      Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra5.      Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang menimbulkan

penyakit tulang atau melemahnya tulang. (Harsono, 2000).

D.    PatofisologiTulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil, jatuh dari

ketinggian, cedera olahraga, dll) atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio, Spina Bifida, Friedreich dari ataxia, dll) dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut “whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak.

Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang berjalan cepat kemudian berhenti secara mendadak, atau pada waktu terjun dari jarak tinggi, menyelam yang dapat mengakibatkan paraplegia.

Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap.Akibat trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.

Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan /menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi). Lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran transversa). Hematomielia adalah perdarahan dlam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia grisea.trauma ini bersifat “whiplash “ yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.

Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis.

Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis.pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible. Jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik

Page 3: Askep Fraktur Vertebrae

yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistema aaanastomosis anterial anterior spinal.

E.     Manifestasi KlinisGambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang

terjadi.kerusakan, gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock spinal.Sshock spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat. Peristiwa ini umumnya berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama. Tandanya adalah kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi. Setelah shock spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi (Price &Wilson (1995).

Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu (Price &Wilson (1995).

Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya terjadi akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehinnga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat.cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dsan tulang belakang sekonyong-konyong dihiper ekstensi. Gambaran klinik berupa tetraparese parsial. Gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah perianal tidak terganggu (Aston. J.N, 1998).

Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan anaestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbokafernosa (Aston. J.N, 1998).

F.      Pathway                                                 Trauma Vertebra                                                               Patah Tulang Belakang              

Page 4: Askep Fraktur Vertebrae

Kerusakan medulla spinalis   Kerusakan L1&2          Pelepasanmediator kimia

                                                                                                                                                                       Respon nyeri hebat dan akutBlok saraf parasimpatis                         Anestesi Perianal                        Nyeri

Kelumpuhan                Ggn. Fungsi rectum   Ggn.Kandung kemih      Impotensi                                Ggn. Eliminasi alvi      Retensi urinarius          Disfungsi SeksualKerusakan mobilitas fisik     Kelumpuhan Otot Pernafasan     Inefektif pola nafas

Kelumpuhan otot Pernafasan               Bedrest total                Iskemik dan Hipoksemia         Kerusakan Integritas Kulit

           Syok spinal

Hipotensi, Bradikardia               Syok           

G.    Fase Penyembuhan Tulang1.      Tahap pembentukan hematom

Dalam 24 jam pertama mulai terbentuk bekuan darah dan fibrin yang masuk kearea fraktur. Suplai darah meningkat, terbentuklah hematom yang berkembang menjadi jaringan granulasi sampai hari kelima.

2.      Tahap proliferasiDalam waktu sekitar 5 hari , hematom akan mengalami organisasi. Terbentuk benang-

benang fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi dan invasi fibroblast dan osteoblast yang akan menhasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan.

3.      Tahap pembentukan kalusPertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain

sampai celah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan dan tulang serat imatur. Perlu waktu 3-4 minggu agar frakmen  tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus

4.      OsifikasiPembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2-3 minggu patah tulang

melalaui proses penulangan endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar bersatu. Proses ini memerlukan waktu 3-4 bulan.

5.      Konsolidasi (6-8 bulan) dan Remodeling (6-12 bulan)Tahap akhir dari perbaikan patah tulang. Dengan aktifitas osteoblas dan osteoclas, kalus

mengalami pembentukan tulang sesuai aslinya.

H.    Pemeriksaan Penunjang1.      Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok)2.      CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas

Page 5: Askep Fraktur Vertebrae

3.      MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal4.      Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru5.      AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi

(Tucker,Susan Martin . 1998)

I.       Penatalaksanaan MedisPembagian trauma atau fraktur tulang belakang secara umum:

1.      Fraktur Stabila.       Fraktur wedging sederhana (Simple wedges fraktur)b.      Burst frakturc.       Extension2.      Fraktur tak stabila.       Dislokasib.      Fraktur dislokasic.       Shearing fraktur

Fraktur tulang belakang terjadi karena trauma kompresi axial pada waktu tulang belakang tegak. Menurut percobaan beban seberat 315 kg atau 1,03 kg per mm2 dapat mengakibatkan fraktur tulang belakang. Daerah yang paling sering kena adalah daerah yang mobil yaitu VC4.6 dan Th12-Lt-2.

Perawatan:1.      Fraktur stabil (tanpa kelainan neorologis) maka dengan istirahat saja penderita akan sembuh.2.      Fraktur dengan kelainan neorologis.

Fase Akut (0-6 minggu)a. Live saving dan kontrol vital signb. Perawatan trauma penyerta• Fraktur tulang panjang dan fiksasi interna.• Perawatan trauma lainnya.c. Fraktur/Lesi pada vertebra

1)      Konservatif (postural reduction) (reposisi sendiri)Tidur telentang alas yang keras, posisi diubah tiap 2 jam mencegah dekubitus, terutama

simple kompressi.2)      Operatif

Pada fraktur tak stabil terdapat kontroversi antara konservatif dan operatif. Jika dilakukan operasi harus dalam waktu 6-12 jam pertama dengan cara:

a)      Laminektomimengangkat lamina untuk memanjakan elemen neural pada kanalis spinalis, menghilangkan kompresi medulla dan radiks.

b)      fiksasi interna dengan kawat atau platec)      anterior fusion atau post spinal fusion3)      Perawatan status urologi

Pada status urologis dinilai tipe kerusakan sarafnya apakah supra nuldear (reflek bladder) dan infra nuklear (paralitik bladder) atau campuran. Pada fase akut dipasang keteter dan kemudian secepatnya dilakukan bladder training dengan cara penderita disuruh minum segelas air tiap jam sehingga buli-buli berisi tetapi masih kurang 400 cc. Diharapkan dengan cara ini tidak terjadi pengkerutan buli-buli dan reflek detrusor dapat kembali.

Miksi dapat juga dirangsang dengan jalan:

Page 6: Askep Fraktur Vertebrae

a) Mengetok-ngetok perut (abdominal tapping)b) Manuver credec) Ransangan sensorik dan bagian dalam pahad) Gravitasi/ mengubah posisi

4)      Perawatan dekubitusDalam perawatan komplikasi ini sering ditemui yang terjadi karena berkurangnya

vaskularisasi didaerah tersebut.Penanganan Cedera Akut Tanpa Gangguan NeorologisPenderita dengan diagnose cervical sprain derajat I dan II yang sering karena

“wishplash Injury” yang dengan foto AP tidak tampak kelainan sebaiknya dilakukan pemasangan culiur brace untuk 6 minggu. Selanjutnya sesudah 3-6 minggu post trauma dibuat foto untuk melihat adanya chronik instability.

Kriteria radiologis untuk melihat adanya instability adalah:1)      Dislokasi feset >50%2)      Loss of paralelisine dan feset.3)      Vertebral body angle > 11 derajat path fleksi.4)      ADI (atlanto dental interval) melebar 3,5-5 mm (dewasa- anak)5)      Pelebaran body mas CI terhadap corpus cervical II (axis) > 7 mm pada foto AP

Pada dasarnya bila terdapat dislokasi sebaiknya dikerjakan emergensi closed reduction dengan atau tanpa anestesi. Sebaiknya tanpa anestesi karena masih ada kontrol dan otot leher. Harus diingat bahwa reposisi pada cervical adalah mengembalikan keposisi anatomis secepat mungkin untuk mencegah kerusakan spinal cord.

Penanganan Cedera dengan Gangguan NeorologisPatah tulang belakang dengan gangguan neorologis komplit, tindakan pembedahan

terutama ditujukan untuk memudahkan perawatan dengan tujuan supaya dapat segera diimobilisasikan. Pembedahan dikerjakan jika keadaan umum penderita sudah baik lebih kurang 24-48 jam. Tindakan pembedahan setelah 6-8 jam akan memperjelek defisit neorologis karena dalam 24 jam pertama pengaruh hemodinamik pada spinal masih sangat tidak stabil. Prognosa pasca bedah tergantung komplit atau tidaknya transeksi medula spinalis.

J.       Komplikasi (Mansjoer, Arif, et al. 2000).1.      Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak

sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.2.      Mal union, gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal union,

sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union).

3.      Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.

4.      Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktu lama dari proses penyembuhan fraktur.

5.      Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID). Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate, paku pada fraktur.

6.      Emboli lemak Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit dan

Page 7: Askep Fraktur Vertebrae

membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.

7.      Sindrom KompartemenMasalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas permanen jika tidak ditangani segera.

ASUHAN KEPERAWATAN GADAR1.      KESIAP-SIAGAAN:

Pada fase ini dibagi menjadi pra rumah sakit dan fase rumah sakita.       Fase pra rumah sakit

Koordinatir antara ambulans 119 dengan rumah sakit dapat memperbaiki kualitas penanggulangan pasien gawat darurat. Idealnya ambulans 119 dapat memberi tahu R.S yang dituju mengenai triage dan biomekanik kecelakaan pasien sebelum meninggalkan tempat kejadian atau waktu perjalanan. Tindakan awak ambulans hanya imobilisasi dan transportasi pasien ke IGD yang sesuai dengan triange pasien, yaitu IGD level 1, 2 dan level 3.

b.      Fase rumah sakitDesain ruangan dan penyediaan alat atau obat harus di persiapkan untuk menanggulangi pasien gawat darurat terkait secara efesien.

2.      TRIAGE

Triage  adalah seleksi klien sesuai dengan kebutuhan terapi. Terapi yang dilakukan

sesuai dengan prioritas A, B, C (A airway dengan kontrol vertebra sevikal, B breathing dan C

circulation dengan kontrol pendarahan).

Triage dapat di lakukan dengan di rumah sakit maupun dilapangan supaya tidak

melakukan kesalahan  adalah memilih rumah sakit yang dituju ,dua tipe trage yaitu;

a.       Bila jumlah klien tidak melebihi kapasitas rumah sakit/fasilitas kesehatan. Dalam keadaan ini

pasien dengan keadaan paling gawat atau cedera multiple didahulukan

menanggulanginya(selection of problem)

b.      Bila jumlah pasien melebihi kapasitas rumah sakit/fasilitas kesehatan dalam keadaan ini klien

yang mempunyaikemungkinan hidup didahulukan penanggulangannya, disini dilakukan

adalah “selection of pasients”

3.      PRIMARY SURVEY

Disini dilakukan identifikasi keadaan yang membahayakan klien dan segera

ditanggulangi.

A =  “Airway”

Menjamin kelancaran jalan nafas dan kontrol vertebrae servikalis. Jalan nafas

dipertahankan dengan melakukan “chin lift” atau “jaw thrust” dapat juga dengan memasang

“guedel” pada klien dengan multiple trauma dan trauma tumpul di atas klavikula kita harus

mengagap dan memperlakukan seakan ada fraktur dari vertebra servikalis dengan memasang

“neck collar” sampai dibuktikan negatif. Hasil pemeriksaan neurologi yang negatif tidak

menyingkirkan ada cedera servikal. Karena itu sebaiknya dibuat X-ray crosstable lateral cervical

spino atau swimmer view dan menilai ketujuh vetebra servikal.

Page 8: Askep Fraktur Vertebrae

B = “Breathing dan Ventilasi”

Sebaiknya thoraks harus dapat dilihat semuanya untuk melihat ventilasi. Jalan nafas

yang bebas tidak menjamin ventilasi yang cukup, pertukaran udara yang cukup diperlukan untuk

oksigenisasi yang cukup. Bila ada gangguan instabilitas kardiovaskuler, respirasi atau kelainan

neurologis. Maka kita harus melakukan ventilasi dengan alat “bag valve” yang disambungkan

pada masker atau pipa endrokeal. Oksigenisasi  atau ventilasi yang cukup pada klien trauma

termasuk memberikan volume dan konsentrasi oksigen (12 liter per menit) yang

cukup. Pernafasaan yang melebihi 20 kali / menit menandakan gangguan respirasi.

C =  “Circulation”

Salah satu penyebab kematian di rumah sakit adalah pendarahan yang segera tidak

diatasi, ditandai dengan hipotensi yaitu:

a)      kesadaran menurun

b)      warna kulit pucat,kelabu menandakan kehilangan darah lebih dari 30%

c)      nadi cepat dan lemah,ireguler merupakan pertanda hipovolume

Pendarahan bagian luar diatasi dengan balit tekan, jangan peke torniket karena akan

mengakibatkan metabolisme anaerobe.sedangkan pada pendarahan tungkai atau abdomend

diatasi dengan memakai MAST.

D  = “ Disability”

Pada akhir primary survey dilakukan pemeriksaan neurologis untuk menentukan:

a)      Kesadaran

Kesadaran ditentukan dengan metode AVPU:

A-“Alert”

 V-“bereaksi pada vokal stimuli”

P-“bereaksi pada pain stimuli”

U-“unresponsive”

b)      Pupil

c)      Reaksi reflek

Glascow Coma Scale (GCS) dilakukan pada “primary survey” atau “seconder survey”.

Perubahan pada neurologis atau kesadaran klien menunjukkan kelainan intrakranial, dengan

demikian kita harus menilai ulang :

         Oksigenisasi

         Ventilasi

         Perfusi

Kehilangan kesadaran dapat disebabkan oleh A-I-U-E-O

         A-“alkohol”

         I-“injury atau infeksi”

         U-“uremia”

         E-“ epilepsi”

         O-“ opium “ atau other drag

Dapat juga “don”t forget them”

         D “diabetes”

         F “ fever”

         T “trauma”

E = “Eksposure”

Page 9: Askep Fraktur Vertebrae

Klien harus ditelanjangi untuk pemeriksaan lebih lengkap dan harus diselimuti untuk

menghindari hipotermi.

4.      SECONDARY SURVEY

Secondary survey tidak dimulai bila primery survey belum selesai. Resusitasi sudah

dilakukan dari evaluasi ABC direvaluasi. Yang dilakukan dalam secondary survey adalah

anamnese yang lengkap termasuk biomekanik kecelakaan dan pemeriksaan fisik dari kepala

sampai ke ujung kaki.

Pengkajian secondary survey meliputi :

a.       Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal

b.      Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, 

Hipotensi, bradikardi, ekstremitas dingin atau pucat

c.       Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut, peristaltik hilang

d.      Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas, gelisah dan menarik

diri

e.       Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang

f.       Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL

g.      Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flasid, hilangnya

sensasi dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi pupil, ptosi

h.      Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma, dan mengalami

deformitas pada daerah trauma

i.        Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis

j.        Keamanan : suhu yang naik turun

(Carpenito (2000), Doenges at al (2000))

5.      DIAGNOSA dan INTERVENSI KEPERAWATAN

Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul (Carpenito (2000), Doenges at al (2000))

a.       Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragmaTujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigenKriteria hasil : ventilasi adekuat, PaO2 > 80, PaCo2 < 45, rr = 16-20 x/mt, tanda sianosis –Intervensi keperawatan :

1)      Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak.Rasional : pasien dengan cedera cervicalis akan membutuhkan bantuan untuk mencegah aspirasi/ mempertahankan jalan nafas.

2)      Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan karakteristik sekret. Rasional : jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk mengeluarkan sekret, dan mengurangi resiko infeksi pernapasan.

3)      Kaji fungsi pernapasan. Rasional : trauma pada C5-6 menyebabkan hilangnya fungsi pernapasan secara partial, karena otot pernapasan mengalami kelumpuhan.

4)      Auskultasi suara napas. Rasional : hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi sekret yang berakibat pnemonia.

5)      Observasi warna kulit. Rasional : menggambarkan adanya kegagalan pernapasan yang memerlukan tindakan segera

6)      Kaji distensi perut dan spasme otot. Rasional : kelainan penuh pada perut disebabkan karena kelumpuhan diafragma

Page 10: Askep Fraktur Vertebrae

7)      Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/hari. Rasional : membantu mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi sekret sebagai ekspektoran.

8)      Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan pernapasan. Rasional : menentukan fungsi otot-otot pernapasan. Pengkajian terus menerus untuk mendeteksi adanya kegagalan pernapasan.

9)      Pantau analisa gas darah. Rasional : untuk mengetahui adanya kelainan fungsi pertukaran gas sebagai contoh : hiperventilasi PaO2 rendah dan PaCO2 meningkat.

10)  Berikan oksigen dengan cara yang tepat : metode dipilih sesuai dengan keadaan isufisiensi pernapasan.

11)  Lakukan fisioterapi nafas. Rasional : mencegah sekret tertahanb.      Kerusakan mobilitas fisik b.d kelumpuhan

Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik tidak terjadi

Kriteria hasil :

1)      Klien mengungkapkan pemahaman tentang situasi atau faktor resiko dan aturan pengobatan

individu.

2)      Mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang mungkin

3)      Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit atau

kompensasi.

Rencana tindakan :

1)      Berikan tindakan pengamanan sesuai indikasi dengan situasi yang spesifik.

Rasional : Tergantung pada bagian tubuh yang terkena atau jenis prosedur, aktivitas yang

kurang berhati-hati akan meningkatkan kerusakan spinal.

2)      Catat respon-respon emosi atau perilaku pada immobilisasi, berikan aktivitas yang disesuaikan

dengan klien.

Rasional : Immobilisasi yang dipaksakan dapat memperbesar kegelisahan, peka rangsangan.

Aktivitas pengalihan dapat membantu dalam memfokuskan perhatian dan meningkatkan koping

dengan batasan tersebut.

3)      Bantu klien untuk melaksanakan latihan rentang gerak aktif dan pasif

Rasional : Memperkuat otot abdomen dan fleksor tulang belakang, memperbaiki mekanika

tubuh.

4)      Anjurkan klien untuk melatih kaki bagian bawah dan lutut

Rasional : Stimulasi sir vena atau arus balik vena menurunkan keadaan vena yang statis dan

kemungkinan terbentuknya trombus.

5)      Bantu klien dalam melakukan ambulasi progresif

Rasional : Keterbatasan aktivitas tergantung pada kondisi yang khusus, tapi biasanya

berkembang dengan lambat sesuai toleransi.

c.       Nyeri akut b.d adanya cedera

Tujuan : Nyeri hilang atau terkonrol

Kriteria hasil :

1)      Klien melaporkan nyeri hilang atau terkontrol

2)      Klien dapat mengungkapkan yang dapat menghilangkan

3)      Klien dapat mendomenstrasikan penggunaan intervensi terapeutik seperti keterampilan

relaksasi, modifikasi perilaku untuk menghilangkan nyeri.

Rencana tindakan :

1)      Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi, lama serangan, faktor pencetus atau memperberat.

Minta klien untuk mendapatkan skala nyeri 1 – 10.

Page 11: Askep Fraktur Vertebrae

Rasional : Membantu menentukan intervensi dan memberikan dasar untuk perbandingan dan

evaluasi terhadap terapi.

2)      Pertahankan tirah baring selama fase akut. Letakkan klien dalam posisi semi fowler dengan

tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi; posisi telentang dengan atau tanpa

meninggikan kepala 10° - 30° atau pada posisi lateral.

Rasional : Tirah baring dalam posisi yang nyaman memungkinkan klien untuk menurunkan

penekanan pada bagian tubuh tertentu dan intervertebralis.

3)      Batasi aktivitas selama fase akut sesuai kebutuhan

Rasional : Menurunkan gaya gravitasi dan gerak yang dapat menghilangkan spasme otot dan

menurunkan edema dan tekanan pada struktur sekitar discus intervertebralis yang terkena.

4)      Letakkan semua kebutuhan, termasuk bel panggil dalam batas yang mudah dijangkau atau

diraih klien.

Rasional : Menurunkan resiko peregangan saat meraih

5)      Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi

Rasional : Memfokuskan perhatian klien dan membantu menurunkan tegangan otot dan

meningkatkan proses penyembuhan.

6)      Instruksikan atau anjurkan klien untuk melakukan mekanisme tubuh atau gerakan yang tepat.

Rasional : Menghilangkan stress pada otot dan mencegah trauma lebih lanjut.

7)      Berikan kesempatan untuk berbicara atau mendengarkan masalah klien

Rasional : Berbicara dapat menurunkan strees atau rasa takut selama dalam keadaan sakit dan

dirawat.

8)      Berikan tempat tidur ortopedik atau letakan papan dibawah kasur atau matras.

Rasional : Memberikan sokongan dan menurunkan fleksi spinal yang menurunkan spasme.

9)      Berikan obat sesuai kebutuhan: relakskan otot seperti Diazepam (Valium)

Rasional : Merelaksasikan otot dan menurunkan nyeri

d.      Kerusakan integritas kulit b.d tirah baring lama.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan integritas kulit dapat

teratasi.

Kriteria hasil :

1)      Menunjukan perilaku untuk mencegah kerusakan kulit memudahkan penyembuhan sesuai

indikasi.

2)      Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/ penyembuhan lesi terjadi

Rencana tindakan :

1)      Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan, perubahan warna. Rasional :

Memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan masalah yang mungkin disebabkan oleh alat

traksi/ gibs.

2)      Masase kulit dan penonjolan tulang, pertahankan tempat tidur kering dan bebas kerutan.

3)      Ubah posisi dengan sering

4)      Gunakan tempat tidur busa, bulu domba, bantal apung atau kasur udara sesuai indikasi.

e.       Gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus dan rektum.

Tujuan perawatan : pasien tidak menunjukkan adanya gangguan eliminasi alvi/konstipasi

Kriteria hasil : pasien bisa b.a.b secara teratur sehari 1 kali

Intervensi keperawatan :

1)      Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya.Rasional : bising usus mungkin tidak ada selama

syok spinal.

2)      Observasi adanya distensi perut.

Page 12: Askep Fraktur Vertebrae

3)      Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah, pasang NGT. Rasional : pendarahan gantrointentinal dan

lambung mungkin terjadi akibat trauma dan stress.

4)      Berikan diet seimbang TKTP cair : meningkatkan konsistensi feces

5)      Berikan obat pencahar sesuai pesanan. Rasional: merangsang kerja usus

f.       Retensi urinarius berhubungan dengan cedera vertebra

Tujuan : Setelah dilakukan tindak keperawatan retensi urinarius teratasi.

Kriteria hasil : Mengosongkan kandung kemih secara adekuat sesuai kebutuhan individu.

Rencana tindakan :

1)      Observasi dan catat jumlah frekuensi berkemih

Rasional : Menentukan apakah kandung kemih dikosongkan dan saat kapan intervensi itu

diperlukan.

2)      Lakukan palpasi terhadap adanya distensi kandung kemih

Rasional : Menandakan adanya retensi urine

3)      Tingkat pemberian cairan

Rasional : Mempertahankan fungsi ginjal

4)      Berikan stimulasi terhadap pengosongan urine dengan mengalirkan air hangat diarea

suprapubis.

g.      Anxietas/ koping individu tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi; perubahan status

kesehatan; ketidakadekuatan mekanisme koping.

Tujuan : Adaptasi klien efektif

Kriteria hasil :

1)      Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang pada tingkat dapat diatasi.

2)      Mengidentifikasi ketidakefektifan perilaku koping

3)      Mendemonstrasikan pemecahan masalah

Rencana tindakan :

1)      Kaji tingkat anxietas pasien.

Rasional : Membantu mengidentifikasi dalam keadaan sekarang

2)      Berikan informasi yang akurat dan jawab dengan jujur

Rasional : Memungkinkan pasien untuk membuat keputusan yang didasarkan atas

pengetahuan.

3)      Berikan pasien untuk mengungkapkan masalah yang dihadapinya

Rasional : Meningkatkan koping yang sedang dihadapi

4)      Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh.

Rasional : Memberikan perhatian terhadap klien, tanggung jawab untuk meningkatkan

penyembuhan.

5)      Cara perilaku dari orang terdekat atau keluarga yang meningkatkan peran sakit.

Rasional : Orang terdekat keluarga secara tanpa sadar memungkinkan untuk mempertahankan

sesuatu yang dapat klien lakukan.

6)      Rujuk pada kelompok pelayanan sosial, konselor finansial, psikoterapi dan sebagainya.

Rasional : Memberikan dukungan untuk beradaptasi pada perubahan dan memberikan sumber –

sumber untuk mengatasi masalah.

h.      Immobilisasi berhubungan dengan ketidakmampuan berjalan

Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik dapat teratasi

Kriteria hasil :

1)      Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi

2)      Mempertahankan posisi fungsional

Page 13: Askep Fraktur Vertebrae

3)      Meningkatkan kekuatan fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh.

4)      Menunjukan teknik aktivitas

Rencana tindakan :

1)      Kaji derajat mobilitas yang dihasilkan oleh cedera dan perhatikan persepsi pasien terhadap

imobilisasi.

Rasional : Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan dari persepsi diri tentang keterbatasan

fungsi actual, memerlukan informasi untuk meningkatkan kemajuan kesehatan.

2)      Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik/ rekreasi

Rasional : Memberikan kesempatan untuk mengeluarkan energi, memfokuskan kembali

perhatian dan membantu menurunkan isolasi sosial.

3)      Intruksikan pasien untuk dibantu dalam rentang gerak aktif dan pasif pada ekstremitas yang

sakit dan yang tidak sakit.

Rasional : Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot.

4)      Dorong penggunaan latihan isometik tanpa menekuk sendi atau menggerakan tungkai, dan

mempertahankan masa otot.

Rasional : Kontraksi otot isometik tanpa menekuk sendi membantu kekuatan otot

5)      Konsul dengan ahli terapi fisik/ okupais, rehabilitasi spesial

Rasional : Berguna dalam membuat akktifitas individual latihan

i.        Disfungsi seksual berhubungan dengan disfungsi neurologi

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan disfungsional teratasi.

Kriteria Hasil : Mengungkapkan penerimaan efek penggunaan obat pada fungsi seksual.

Rencana Tindakan :

1)      Kaji informasi pasien tentang saat ini dan biarka pasien menggambarkan masalah dengan

bahasanya sendiri.

Rasional : Menentukan tingkat pengetahuan pasien yang menjadi kebutuhan

2)      Diskusikan prognosis untuk disfungsi seksual misalnya impotent atau hasrat seksual rendah.

Rasional : Impoten diatasi dengan pantangan dari obat, pada kira-kira 25% yang kembali

berfungsi normal adalah lambat, 5 % tetap impotent.

6.      REEVALUSI PASIEN

Pada pasien trauma harus direevaluasiterus menerus sehingga tidak ada simptom baru

yang terlewatkan. Penanggulangan rasa sakit merupakan bagian dari penanggulangan trauma

tetapi pemakaian opiat akan mengkaburkan tanda-tanda kelainan neurologis dan dapat

mengakibatkan gangguan pernafasan. Karena itu pemakaiannya harus hati-hati monitor

kesadaran dan produksi urine (0,5-1 cc/kg BB/jam pada orang dewasa dan 1cc /kg BB/ jam pada

anak-anak) adalah yang terpenting, selain tanda-tanda vital lainnya, karena menunjukkan perfusi

jaringan.

7.      PENANGGULANGAN  DEFINITIF

Penanggulangan selanjutnya dipakai konsep “total care“ sehingga semua masalah dapat

diprediksi dan ditanggulangi sebelum terjadi.

Page 14: Askep Fraktur Vertebrae

DAFTAR PUSTAKA

Hudak and Gallo, (1994), Critical Care Nursing, A Holistic Approach, JB Lippincott company,

Philadelpia.

Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan,

pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, EGC, Jakarta.

Reksoprodjo Soelarto, (1995),  Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah,  Binarupa Aksara, Jakarta.

Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice, fifth edition, JB Lippincott

Company, Philadelphia.

Sjamsuhidajat. R (1997), Buku ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta

Diposkan oleh EsTeH   di 07:50http://esteh-lavanillate57.blogspot.com/2011/04/askep-fraktur-vertebrae.html