asal usul orientalisme
DESCRIPTION
orientalismeTRANSCRIPT
Asal Usul Orientalisme
Istilah “Timur” biasanya digunakan dalam tiga pengertian. Salah satu artinya yang paling kuno
adalah suatu persepsi yang mengingatkan orang-orang Eropa mengenai khayalan, tempat berbagai
petualangan mengagumkan, kenangan, dan negeri yang ajaib, serta berbagai pengalaman unik dan
aneh. Sebagian lagi memahami “Timur” sebagai negeri-negeri jajahan negara-negara Eropa yang paling
luas, paling kaya, dan tertua. Namun sebagian lagi menganggap “Timur” sebagai tempat dengan
beragam peradaban dan bahasa yang menjadi rival budaya Barat dan dari sisi kultural mesti dijadikan
sebagai lawan dari peradaban Barat.
Munculnya istilah orientalisme dari sisi kultural, berawal dari latar budaya Barat. Definisi orientalisme
yang paling sederhana adalah pengetahuan tentang Timur di lingkungan ilmiah yang dilakukan para
sosiolog, sejarawan, pakar bahasa dan antropolog. Atau lebih tepatnya lagi, orientalisme adalah sejenis
gaya pemikiran yang berlandaskan pada prinsip perbedaan antara Barat dan Timur. Kajian mengenai
perbedaan Timur dan Barat merupakan titik awal munculnya beragam teori sosial, politik, dan budaya di
ranah orientalisme. Berasal dari kata-kata perancis “Orient” yang berarti “timur”, kata-kata dan tersebut
berarti ‘ilmu-ilmu’ yang berhubungan dengan dunia timur. Orang-orang yang mempelajari atau
mendalami ilmu-ilmu tersebut disebut orientalist atau ahli ketimuran.
Orientalis adalah segolongan sarjana-sarjana barat yang mendalami bahasa-bahasa dunia timur dan
kesusastraannya, dan mereka juga mennaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia timur,
sejarahnya, adat istiadatnya dan ilmu-ilmunya. Hubungan dunia barat dengan dunia timur telah dimulai
sejak masa kejayaan dunia timur, yaitu ketika dunia timur ini penuh dengan pusat -pusat ilmu
pengetahuan, perpustakaan dan buku-buku berharga. Orang-orang barat pada waktu itu belajar pada
ulama-ulama timur, pada filosif-filosofnya dan pada ahli matematikanya.Orientalis adalah gelombang
pemikiran yang mencerminkan berbagai studi ketimuran yang islami. Yang dijadikan objek studi ini
mencangkup peradapan agama seni sastra bahasa dan kebudayaan.
Akar Pemikiran dan Sifat Idiologinya Sebenarnya orientalisme adl akibat gesekan yg terjadi antara Timur
dan Barat pada masa Perang Salib melalui delegasi-delegasi resmi ataupun melalui perjalanan-
perjalanan. Pendorong utamanya adl teologi Nasrani yg berambisi menghancurkan Islam dari dalam dgn
cara tipu daya dan kecurangan.
Pada masa-masa terakhir ini orientalisme bagaimanapun juga mulai tampak melepaskan diri dari
belenggu tersebut dan beralih mendekati semangat ilmiah. Penyebaran dan Kawasan Pengaruhnya
Barat merupakan arena gerakan kaum orientalis. Mereka terdiri atas orang-orang Jerman Inggris Prancis
Belanda dan Hongaria. Mereka sebagian muncul di Italia dan Spanyol. Sekarang Amerika merupakan
pusat orientalisme dan pengkajian Islam. Pemerintah lembaga-lembaga ekonomi yayasan dan bahkan
gereja tidak segan-segan menguras dana keuangan dan dukungan.
Mereka menyediakan fasilitas untuk pengkajian keis laman di universitas-universitas sampai jumlah
orientalis menjadi ribuan orang. Gerakan orientalisme diciptakan untuk mengabdi kepada gerakan
Kristenisasi dan penjajahan. Terakhir gerakan ini dimanfaatkan kaum Yahudi dan Zionisme untuk
kepentingannya dalam rangka melumpuhkan Timur dan menancapkan dominasinya baik langung
maupun tidak lansung.
Pengaruh Orientalisme Terhadap Islam
Pada dasarnya tidak seluruhnya orientalis mempunyai visi dan misi yang sama, artinya tidak semua
orientalis memusuhi dan berhasrat untuk menghancurkan Islam melainkan terdapat pula orientalis yang
jujur, tidak memutarbalikkan fakta sehingga karya- karyanya bernilai positif dan tidak terdapat fitnah
terhadap agama Islam, tetapi ada juga orientalis yang sengaja ingin menghancurkan umat Islam dengan
menyebarkan fitnah dan keragu-raguan terhadap umat Islam serta memutarbalikan dan memanipulasi
hukum Islam.
Adanya gelombang pemikir orientalis ini mempengaruhi dan memberikan andil besar dalam membentuk
persepsi barat terhadap islam dan dunia islam. Dengan banyaknya motivasi-motivasi para orientalisme
yang oleh sebagian muslim menyatakan bahwa tujuan mereka adalah menghancurkan islam. Anggapan
ini tidak serta merta muncul begitu saja, anggapan ini muncul karena adanya fakta dan fenomena dari
para pemikir orientalis ini yang mana memiliki orientasi dan motivasi dengan latar belakang agama.
Dengan tujuan yaitu menumbuhkan keragu-raguan terhadap keyakinan umat atas kerasulan Muhammad
sebagai salah satu contonya. Ataupun mencari titik-titik kesalahan dalam Al-qur`an agar umat islam tidak
lagi mempercayai akan keabsahan Al-qur`an.
Pengaruh-pengaruh negative yang dimuncukan oleh sebagian pemikir orientalis menjadikan banyak
pertentangan dan perdebatan panjang dalam umat muslim dalam mempercayai pemikir-pemikir islam.
Dalam contoh utamanya dimana pengaruhnya terhadap studi Al-qur`an yang dikembangkan oleh kaum
Oreintalis. Yang mana mengembangkan penafsiran Al-qur`an hanya bermodalkan pengetahuan mereka
dan menyamakan dengan hermenuitik injil.
Para orientalis mengatakan bahwasanya sudah tiba saat dimana umat muslim mengkritisi Al -qur`an
sebagaimana mereka mengkritisi kitab suci mereka. Kurt Aland dan Barbara Aland, dalam The Text of
the New Testament (Michigan: Grand Rapids, 1995) mengatakan bahwa sampai pada permulaan abad
ke empat, teks perjanjian baru dikembangkan secara leluasa. Artinya, banyak yang melakukan koreksi.
Demikian pula Saint Jerome, seorang rahib Katolik Roma yang belajar teologi, megeluhkan fakta
banyaknya penulis Bible yang diketahui bukan menyalin perkataan yang mereka temukan, tetapi
menuliskan apa yang mereka pikir sebagai maknanya. Sehingga mereka bukan membetulkan kesalahan
akan tetapi menambah kesalahan.
Background-background yang dilatar belakangi oleh pemikiran atas dasar kekecewaan akan kitab suci
mereka sehingga dibawa kepada kritikan-kritikan terhadap keabsahan Al-qur`an sehingga memunculkan
spekulasi yang bermakna negative. Yaitu menjatuhkan Al-qur`an sebagai kitab suci islam. Latar belakang
yang dari awal sudah tidak sesuai dengan tujuan dalam mengkaji Al-qur`an ini mengakibatkan pengaruh-
pengaruh buruk dalam islam.
Pengaruh yang buruk dalam pengkajian Al-qur`an oleh kaum oorientalis ini menjadikan umat islam tidak
mempercayai 100 persen kajian ataupun tafsiran ilmu-ilmu yang dikaji oleh pemikir-pemikir orientalis.
Karena munculnya kecurugaan-kecurigaan terhadap para orientalis dalam subjektivitas keilmuan yang
mereka sumbangkan. Pengaruh yang muncul tidak serta merta mempengaruhi pemikir-pemikir islam
Pemikir-pemikir islam pada awalnya memiliki satu pemikiran yang negative tentang kajian dan kritikan
terutama tentang Al-qur`an dan bahkan akidah. Akan tetapi para pemikir ini memiliki celah untuk
membangun islam lewat pemikiran islam. Mereka menggunakan jawaban-jawaban yang ilmiah dan dasar
pengetahuan yang luas dalam menjawab persoalan yang diajukan oleh pemikir-pemikir orientalis.
Orientalis dalam pandangan agama meski tidak selalu membawa dampak positif terhadap islam akan
tetapi memberikan satu pencerahan terhadap islam agar mendalami agama mereka dan bahkan
menghilangkan keragu-raguan dan ketidakpercayaan mereka terhadap islam.
Bagian-bagian positif dalam islam tidak selalu muncul dengan gamblang dan jelas. Sisi positif muncul
setelah adanya dampak negative yang memang telah muncul. Pengaruh-pengaruh negative yang
memunculkan pemikir-pemikir islam dalam mengkritisi paham yang diajukan oleh kaum orientalis.
Dan tidak selalu para orientalis memusuhi apa yang menjadi konsennya tersebut. Banyak para orientalis
telah mengabdikan diri mereka terhadap pembahasan-pembahasan keilmuan. Meskipun corak penelitian
mereka belum tentu sama dengan corak peneliti-peneliti islam akan tetapi sesuai dengan backgruod
yang mereka pelajari sebelumnya. Ini menjadi penyebab utama penelitian mereka cenderung
baerbanding terbalik dengan peneliti-peneliti islam.
Seperti contoh terbesar sumbangan mereka adalah Enciklopedia of Islam, dimana mereka bekerja sama
dan saling membantu dalam menerbitkannya, masing-masing menurut keahliannya. Karya tersebut
dipublikasikan untuk pertama kalinya tahun 1908 dalam beberapa jilid, dan sejak beberapa tahun yang
lalu diulangi lagi penerbitannya dengan mendapat bantuan pula dari sarjana-sarjana dunia timur. Dan
telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa. Hal ini tidak bisa dielakkan lagi bahwa para orientalis
memilki peranan penting dalam mengembangkan keilmuan islam. Meskipun dunia islam juga harus
meneliti ulang spekulasi mereka terhadap hasil penelitian mereka. Karena mereka para orientalis
mengedepankan factor pemikiran mereka dan terkadang tidak sejalan dengan islam dan bahkan
bertentangan.
Sedangkan tanggapan mengenai orientalisme yang muncul dari kalangan Islam dapat dibedakan dalam
dua bagian. Yaitu, kalangan yang dengan tegas menolak kajian-kajian yang dilakukan oleh orientalis dan
kelompok yang dapat menerima jika memberi manfaat bagi Islam. Untuk menyebut salah seorang dari
kelompok pertama adalah Mazin bin Shalah Muthabaqani, seorang guru besar orientalisme di Arab
Saudi. Penolakan yang dilakukan Muthabaqani ini didasarkan pada pengaruh-pengaruh negatif yang
ditimbulkan oleh orientalisme, yaitu :
Pertama pengaruh aqidah : berupa lahirnya generasi sekuler, baik di kalangan intelektual, pemerintah,
militer, maupun orang awam di Dunia Islam. Mereka semuanya menjadi satu arus dan trend yang
meneriakkan pemisahan agama dari kehidupan. Padahal aqidah ini sangat bertolak belakang dengan
aqidah Islam yang terikat dengan segala bidang kehidupan dengan seperangkat hukum-hukum
syariahnya. Pengaruh lainnya, adalah merebaknya kecenderungan terhadap ide-ide marjinal yang
menyimpang dari aqidah Islam, seperti tasawuf Ibnu Arabiy (wahdatul wujud) yang mendapat perhatian
khusus dari kalangan orientalis.
Kedua, pengaruh sosial : karena didorong kebenciannya terhadap Islam dan umat Islam, kalangan
orientalis berusaha mencari faktor yang dapat merusak soliditas masyarakat muslim. Contohnya, di
Aljazair, orientalis menghapuskan kepemilikan umum (atas tanah publik) yang akhirnya membuat
terpecah belahnya beberapa kabilah. Padahal sebelumnya mereka hidup rukun dan damai dengan
konsep kepemilikan umum yang ada dalam ajaran Islam. Pengaruh sosial lainnya adalah terancamnya
keutuhan keluarga, karena kaum orientalis menaruh perhatian besar pada ide-ide gender dan feminisme
yang membodohi sekaligus memprovokasi kaum muslimah untuk memberontak terhadap hukum-hukum
Islam tetang pengaturan keluarga (misalnya masalah ketaatan kepada suami, nafkah, dan hak cerai).
Ketiga, pengaruh politik-ekonomi : mempropagandakan sistem demokrasi dan dikatakannya sebagai
sistem politik paling ideal untuk umat manusia. Pada saat yang sama, mereka menyerang dan menjelek -
jelekkan sistem politik Islam, yaitu khilafah. Thomas W. Arnold, misalnya, menuding bahwa Abu Bakar
Ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab dapat menjadi khalifah, lantaran keduanya telah melakukan suatu
persekongkolan. Orientalis lain, Bernard Lewis, menyatakan bahwa sistem politik Islam adalah sistem
diktator yang memaksakan ketundukan dan kehinaan atas bangsa-bangsa muslim. Bahkan lebih dari itu,
Bernard Lewis menganggap sistem politik Islam menyerupai sistem komunis dalam hal kediktatoran dan
kesewenang-wenangannya. Sementara itu dalam bidang ekonomi, orientalis mempropagandakan system
ekonomi kapitalis dan sosialis. Pada saat yang sama, mereka menyerang sistem ekonomi Islam.
Keempat, pengaruh budaya-pemikiran: cara pandang atau perspektif orientalis telah menjadi sumber
pemahaman bagi umat untuk memahami Islam, setelah sebelumnya umat Islam hanya menggunakan
cara pandang dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, menurut tuntunan para ulama muslim. Umat Islam kini
meyakini demokrasi, sebagai ganti dari keyakinan terhadap sistem politik Islam (khilafah). Umat Islam
lebih meyakini sistem ekonomi kapitalisme, daripada sistem ekonomi Islam. Demikian pula cara pandang
orientalis di bidang ilmu sosiologi, psikologi, sejarah, dan sebagainya telah mengisi, memenuhi, sekaligus
meracuni otak generasi muda Islam, yang sebelumnya terisi dengan pemikiran-pemikiran Islam yang
cemerlang.
Kalangan lainnya yang melakukan penolakan terhadap obyektivitas kajian orientalis ini muncul dalam
bentuk nativisme (pandangan yang menyatakan bahwa natives atau pelaku adalah satu-satunya yang
mengetahui tentang dirinya). Pandangan ini di antaranya dikemukakan Mahmud Shakr yang berpendapat
bahwa untuk dapat memahami Islam seseorang harus menjadi Muslim dahulu, karena Islam sebagai
agama juga terekspresi dalam bentuk budaya dan bahasa. Pijakan ini mendorong Shakr untuk tidak
melihat adanya kebenaran dalam karya orientalis tentang Islam maupun Arab. Baginya, orientalis yang
berlatar belakang budaya Barat dan beragama non Islam tidak mungkin dapat mengerti tentang Islam.
Pandangan ini sebenarnya cukup umum di kalangan umat Islam. Kelebihannya adalah kemampuan
Shakr untuk menerjemahkan penolakannya terhadap Barat dalam rumusan dan kaidah ilmiah.
Di samping itu, Aijaz Ahmed juga menolak kajian-kajian orientalisme karena penyelidikan-
penyelidikannya kemudian memunculkan dikotomi antara Barat dan Timur. Lebih lanjut, hasil kajian Barat
melalui orientalisme menciptakan teori Dunia Ketiga (third world) yang membagi-bagi dunia menjadi tiga
kategori wilayah, yaitu negara maju, sedang berkembang dan negara miskin. Padahal menurutnya, dunia
ini hanya satu, bukan tiga sebagaimana kategori Barat, dan dunia yang satu ini termasuk di dalamnya
pengalaman kolonisasi dan imperialisasi yang dilakukan Barat.
Kelompok kedua yang memberi tanggapan atas kajian orientalis adalah kalangan yang dapat menerima
jika upaya tersebut bermanfaat bagi Islam. Kalangan ini biasanya melandaskan pendirian dan
penilaiannya mengenai orientalisme berdasarkan ilmu pengetahuan atau ilmiah. Menurut mereka, cukup
banyak karya tulis kaum orientalis yang berisi informasi dan analisis obyektif tentang Islam dan
ummatnya, karena memang tidak semua karya orientalis bertolak belakang dengan Islam melainkan
hanya sebagian kecilnya saja.
Salah satu contohnya adalah Maryam Jamilah yang menyatakan bahwa orientalisme tidak sama sekali
buruk. Sejumlah pemikir besar di Barat, kata Jamilah, telah menghabiskan umurnya untuk mengkaji Islam
lantaran mereka secara jujur tertarik terhadap kajian-kajian itu. Tanpa usaha mereka, banyak di antara
pengetahuan berharga dalam buku-buku Islam kuno akan hilang tanpa bekas atau tidak terjamah orang.
Para orientalis dari Inggris seperti mendiang Reynold Nicholson dan Arthur J. Arberry berhasil menulis
karya penting berupa penerjemahan karya-karya Islam klasik sehingga terjemahan-terjemahan itu untuk
pertama kalinya dapat dikaji oleh para pembaca di Eropa.
Menurut Jamilah, pada umumnya para orientalis itu benar-benar menekuni pekerjaan penerjemahan ini.
Mereka yang cenderung membatasi cakupan pengkajiannya hanya pada deskripsi, kadang-kadang
berhasil menulis buku-buku yang sangat bermanfaat, informatif dan membuka cakrawala pemikiran baru.
Persoalan timbul pada saat mereka melangkah terlalu jauh dari batas-batas yang benar dan berusaha
menafsirkan Islam dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Dunia Islam berdasarkan pandangan-
pandangan pribadi yang tidak cocok.
Contoh lainnya dari kalangan Islam kelompok kedua ini adalah Muhammad Abdul Rauf, yang tidak begitu
saja menyamaratakan karya-karya orientalis Barat. Baginya tidak semua karya orientalis harus ditolak
dan dianggap tidak berguna, sebab di antara mereka terdapat orientalis yang jujur (fair-minded
orientalist). Rauf tidak menafikan adanya bias serta distorsi yang muncul dari kalangan orientalis. Namun
peristiwa semacam ini hanya terjadi jika orientalis yang menulis bersikap tidak jujur. Asaf Hussain,
sependapat dengan Abdul Rauf bahwa sebagian orientalis memang bermaksud untuk mendiskreditkan
Islam. Beberapa di antaranya adalah Duncan Mac Donald yang secara eksplisit menginginkan
kehancuran Islam.
Begitu juga dengan Guilbert de Nogent yang begitu tinggi keinginannya untuk menghancurkan Islam.
Bahkan untuk tujuan ini, de Nogent secara terang-terangan merasa tidak perlu lagi menggunakan data
untuk berbicara tentang Islam. Baginya berbicara apapun tentang Islam tetap sah adanya, sebab
siapapun bebas berbicara tentang keburukan seseorang yang kejahatannya sudah melampaui kejahatan
apapun di dunia. Jika demikian banyak kalangan sepakat bahwa orientalis seperti ini sudah keluar dari
etika akademik dan keilmuan yang diakui secara universal, yang tujuannya tidak lain adalah untuk
mendiskreditkan Islam.
Kritik terhadap para Orientalis :
Para orientalis tidak terlepas dari fanatic agama atau fanatic rasial. Oleh karena itu pembahasan-
pembahasan mereka penuh dengan kekeliruan dan bahkan kebohongan yang disengaja, di mana para
pembacanya harus berhati-hati. Bahkan banyak persoalan bahasa dan kesusasteraan serta sejarah yang
disalah gunakan dari kebenaran. Dalam pembahasan-pembahasan di Encyclopedia of islam kesalahan-
kesalahan mereka lebih menonjol lagi, terutama dalam hal-hal yang berhubungan dengan soal
keagamaan murni.
Dalam kaitannya tentang kaidah pemahaman Al-qur`an para orientalis sering tidak mengindahkannya.
Karena dalam memahami A-qur`an tidak sembarang orang menginterpretasikan atau memaknai Al-
qur`an dengan semaunya atau sesuai dengan pemikirannya karena berkaitan dengan keterbatas pikiran
manusia itu sendiri. Karena Al-qur`an diturunkan dalam bahasa arab yang jelas maka kaidah yang
diperlukan untuk memahaminya berpatokan pada kaidah bahasa tersebut. Seperti tersebut dalam Q.S
Yusuf ayat 2.
¯$!RÎ) çm»oYø9t“ Rr$ &ºRºuäö•è% $wŠÎ/t•tã öNä3¯=yè©9 š cqè=É)÷ès? ÇËÈ
“ Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya.”
Sehingga orang yang ingin memahami kaedah dengan benar, ia harus menguasai kaidah bahasa arab
yang meliputi ilmu nahwu, sharaf, balaghoh, maani dan lain-lain. Pemahaman dalam ilmu-ilmu tersebut
bersifat mutlak. Sebab jika tidak, hasil pemahamannya terhadap Al-qur`an ia rubah dengan seenaknya.
Apabila ada tindakan yang dilaukan oleh pemikir orientalis dalam menafsirkan Al-qur`an tidak sesuai
dengan kaidah yang dianjurkan maka sudah pasti orientalis tersebut memilki niatan untuk
mengahncurkan Al-qur`an dan menimbulkan adanya perpecahan agama.
Setelah menguasai kaidah bahasa Arab, seseorang yang hendak memahami AI-Qur’an harus menguasai
kaidah syar’iyah yang sudah disepakati oleh kaum muslimin. Kaidah tersebut meliputi:
l memahami Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Inilah penafisaran Al-Qur’an yang tertinggi. Seperti tercantum
dalam Q.S An Nakhl ayat 64:
$!tBur $uZø9t“ Rr &y7ø‹ n=tã |=»tGÅ3ø9$# ž wÎ) tûÎiüt7çFÏ9 ÞOçlm; “ Ï%©!$# (#qàÿn=tG÷z$#
ÏmŠÏù “ Y‰èdur ZpuH÷qu‘ ur 5Qöqs)Ïj9 š cqãZÏB÷sムÇÏÍÈ
“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan
kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman.”
l memahami Al-Qur’an dengan Sunnah. Dalilnya firman Allah Q.S Ali Imron ayat 18.:
y‰Îgx© ª!$# ¼çm¯Rr &Iw tm»s9Î) �wÎ) uqèd èps3Í´¯»n=yJø9$#ur (#qä9′ré&ur ÉOù=Ïèø9$# $JJͬ!$s%
ÅÝó¡É)ø9$$Î/ 4 Iw tm»s9Î) ž wÎ) uqèd â“ ƒ Í– yêø9$# ÞOŠÅ6yÛø9$# ÇÊÑÈ
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang
menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu[188] (juga menyatakan yang
demik ian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”
Ayat ini untuk menjelaskan martabat orang-orang berilmu.Anehnya, banyak kalangan yang mengaku
Islam tapi menolak hadits Nabi SAW dengan alasan kebenarannya tidak mutlak. Sungguh penolakan ini
sangat berbahaya. Tan pa hadits Nabi SAW, kita tidak bisa melaksanakan shalat, puasa, haji dan
sebagainya karena secara teknis tidak diterangkan dalam Al-Qur’an.
l bila tidak juga ditemukan Sunnah yang menerangkai ayat tersebut, langkah selanjutm dicarikan
perkataan dari sahabat, salnya dari tim pencatat wahyu yang memang diakui Nabi SAW sebagai hablul
ummah (penyambung ummat) yaitu Abdullah bin Abbas (Tafsir Ibn Abbas),juga sahabat yang lain seperti
Abdullah bin Mas’ud dan lain-lain. Peran para sahabat tersebut tidak bisa diremehkan karena mereka
mengetahui betul teks dan konteks ayat diturunkan. Belum lagi, mereka sebagai generasi pertama
menghafal Alquran yang tsubut (percaya). Mengingkari peran para sahabat sama saja memo-tong mata
rantai tafsir Al-Qur’an.
l bila tidak ada perkataan sahabat mengenai tafsir sebuah ayat, maka kita melacaknya dari perkataan
para tabi’in, seperti Hasan Basri, Ibnu Qatadah,Mujahid,dan lain-lain.Mereka adalah para pengikut
sahabat yang setia sehingga kepercayaannya terjamin dan pantas diikuti oleh generasi kemudian.
l setelah perkataan generasi tabi’in pun tidak ada, baru dicarikan pendapat para imam,seperti
Syafi’i,Maliki, Hanbali, Hanafi, dan sebagainya.
Edward Saeed, penulis Palestina yang telah bertahun-tahun melakukan riset mengenai negara-negara
kolonialis dan negeri-negeri jajahannya, menyatakan, “Dalam pemetaan Timur dan Barat, Islam, serta
agama dan kepercayaan sebagian masyarakat Timur diperkenalkan. Namun pengertian Islam yang
diperkenalkan sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan hakikat Islam yang sebenarnya. Sekitar satu
setengah miliar pemeluk, jutaan kilometer persegi wilayah, puluhan bangsa, pemerintahan, sejarah,
geografi dan budayanya yang beragama tak satupun sesuai dengan pengertian mereka (Barat) tentang
Islam”.
Edward menambahkan, “Karekteristik yang dikaitkan dengan Islam oleh media-media Barat, umumnya
berdasarkan analisa dari pandangan mereka sendiri ketimbang berlandaskan pada realitas agama besar
(Islam) dan pengikutnya ini. Sebagai misal, pada saat koran New York Times mengabarkan tentang
semangat perlawanan sengit rakyat Iran menghadapi agresi rezim Saddam ke Iran, koran ini hanya
mengungkapkan hasrat kuat para pejuang Iran untuk membunuh. Pemberitaan semacam itu tentu akan
dipahami secara dangkal oleh publik. Padahal dibalik itu terdapat bagian besar dari kenyataan yang tidak
diketahui oleh sang reporter, tetap tersembunyi. Tidak adanya penguasaan bahasa untuk berdialog,
ketidaktahuan tentang filosofi mati syahid dan prinsip-prinsip keyakinan dan nasional untuk membela
tanah air merupakan sejumlah ketidaktahuan Barat yang berpengaruh terhadap penggambaran tentang
Islam secara cacat”.
Namun kesalahan mereka tampaknya dapat di mengerti, kalau di ingat mereka sebenarnya membahas
agama orang lain beserta bahasa dan kesasteraannya. Secara jujur kita harus membedakan antara
kebaikan dengan ketidakbaikan mereka, sehingga kita tidak akan menolak karya-karya dan pikiran
mereka seluruhnya.
Kritik Terhadap Muslim
Banyak umat muslim sendiri tidak memahapi akan kaidah-kaidah dalam pemahaman baik agama atau
secara specific tentang kitab suci yang mereka miliki. Kebanyakan dati umat muslim menerima apa yang
telah tertulis tanpa dasar apapun kecuali percaya. Keyakinan tersebut memilki tingkatan keimanan yang
sangat rapuh dari pengaruh luar. Dengan semakin pahamnya umat islam dalam memahami Al -qur`an
maka tidak akan mudah keyakinan mereka menjadi terombang-ambing dengan pemikiran-pemikiran baru
yang dimunculkan. Karena mereka tahu akan dasar apa dan paham akan kitab suci mereka.
Umat muslim cenderung bersifat eksklusif terhadap pemikiran luar padahal sangat berbeda dengan islam
dan ajrannya itu sendiri yang mana dalam kitab sucinya selalu mengulang-ulang kata “tahukan kamu“
atau kata-kata yang merujuk pada selalu mengkaji dan mengkaji isi dari Al-qur`an tersebut.
Dalam Q.S Ali Imron:
y‰Îgx© ª!$# ¼çm¯Rr &Iw tm»s9Î) �wÎ) uqèd èps3Í´¯»n=yJø9$#ur (#qä9′ré&ur ÉOù=Ïèø9$# $JJͬ!$s%
ÅÝó¡É)ø9$$Î/ 4 Iw tm»s9Î) ž wÎ) uqèd â“ ƒ Í– yêø9$# ÞOŠÅ6yÛø9$# ÇÊÑÈ
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang
menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu[188] (juga menyatakan yang
demik ian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”
Banyaknya pemahaman umat islam saat ini yang serba instan sama sekali tidak mengindahkan kaedah-
kaedah yang berlaku. Banyak dari mereka selalu mempercayai apapun kata pendahulu mereka tanpa
mengetahui asal mula dari tafsiran ataupun kajian dengan basis islam. Padahal dengan jelas ayat diatas
menjelaskan akan mulianya orang-orang yang menuntut ilmu.
Penutup
Pada dasarnya islam memiliki keterbukaan secara meluas dalam mengkaji agamanya. Islam tidak
bersifat eksklusif tapi lebih besifat terbuka dalam mengkaji agamanya. Munculnya para pemikir orientalis
dengan pengkajian misalanya tentang Muhammad ataupun tentang Al-qur`an yang menjadi satu konsen
mereka memiliki satu pengaruh yang segnifikan terhadap islam. Justifikasi para nonmuslim yang
mengkaji Al-qur`an tidak harus serta merta kita menyalahkan tanggapan atau pikiran mereka. Kekeliruan
dalam memahami Al-Qur’an akibatnya akan fatal sebagaimana yang disabdakan Rasulullah: “Siapa yang
menafsiri AI-Quran dengan ra’yunya (akalnya), siapsiaplah untuk menempati tempat duduknya di
neraka.” (HR. Turmt,ldzi).
Daftar Pustaka:
Hanafi, A. Orientalisme Ditinjau Menurut Kacamata Agama (Al-qur`an Dan Hadist),Jakarta: Pustaka
Alhusna, 1981.
Amal, Adnan, Taufik, dan Pangabean, Rizal, Syamsul, Tafsir Kontekstual Al-Qur`an Sebuah Kerangka
Konseptual, Bandung: Mizan, 1989.
Shihab Umar, Editor Noer M. Hasan, Kontekstualitas Al-Qur`an Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Al-Qur`an,
Jakarta: PT. Penamadani, 2003.
Ushama Thameem, Penerjemah Basri Hasan, Metodologi Tafsir Al-qur`an: Kajian Kritis, Objektif dan
Komprehensif, Jakarta: Riora Cipta, 2000.