asal usul anak dari pernikahan fasid (studi penetapan...
TRANSCRIPT
i
ASAL USUL ANAK DARI PERNIKAHAN FASID(STUDI PENETAPAN NOMOR 040/Pdt.P/2017/PA.Sal)
DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA
SKRIPSIDiajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:Teguh Basuki
NIM : 21114039
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAMFAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)SALATIGA
2019
ii
iii
ASAL USUL ANAK DARI PERNIKAHAN FASID(STUDI PENETAPAN NOMOR 040/Pdt.P/2017/PA.Sal)
DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA
SKRIPSIDiajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:Teguh Basuki
NIM : 21114039
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAMFAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)SALATIGA
2019
iv
v
vi
vii
MOTTO
ملىن ..ما كان يبقى يف الربية جاهل لو كان نور العلم يدرك
اجتهد وال تكسل وتك غافال .. فندامة العقىب ملن يتكاسل
(المحفوظات)
“Seandainya ilmu itu bisa diraih hanya dengan berangan-
angan maka tak satu pun orang bodoh di dunia”
“Bersungguh-sungguhlah, jangan malas, jangan lengah.
Karena penyesalan merupakan akibat bagi orang-orang yang
malas”
(Mahfudzot)
viii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk :
Ibunda saya Ibu Warsini yang telah menjadi insipirator serta selalu
mendukung dan mendoakan saya di setiap waktu.
Bapak M. Yusuf Khummaini,M.H. selaku dosen pembimbing yang telah
bersedia membantu dengan penuh kesabaran membimbing saya
menyelesaikan skripsi dari awal hingga akhir.
Almarhum Kangmas Muhammad Arifin Rohmat,S.E. yang selalu menjadi
motivator, guru, sekaligus kakak bagi saya.
Bapak Salim,M.H. dan Bapak Moch. Rusdi,M.H. yang selalu mensupport,
dan memotivasi saya untuk menyelesaikan skripsi ini.
Bapak Ketua Pengadilan Agama Salatiga Bapak Drs. H. Umar Muclis
dan seluruh warga Pengadilan Agama Salatiga.
Seluruh saudara-saudara Persaudaraan Setia Hati Terate Cabang Kota
Salatiga Pada Umumnya dan Komisariat IAIN Salatiga Khususnya.
Seluruh teman-teman saya Jurusan Hukum Keluarga Islam angkatan
2014 yang saling menyemangati dalam perjuangan dari awal hingga
akhir.
i
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap Alhamdulillahi robbil’aalamin, segala puji dan syukur
penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah meridhoi dan melimpahkan
rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi dengan judul “Asal Usul Anak Dari Pernikahan Fasid (Studi
Penetapan Nomor 040/Pdt.P/2017/Pa.Sal) Di Pengadilan Agama Salatiga”
ini diajukan untuk memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Hukum pada Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Dengan terbentuknya skripsi ini, penulis haturkan banyak terima kasih
yang tiada taranya kepada:
1. Bapak Dr. H. Rahmat Haryadi, M.Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Ibu Dr. Siti Zumrotun M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syariah.
3. Bapak Sukron Ma’mun,S.H.I.,M.Si. selaku Kajur Hukum Keluarga Islam.
4. Bapak M. Yusuf Khummaini,S.H.I.,M.H. selaku Dosen Pembimbing
Skripsi.
5. Bapak Ibu Dosen Fakultas Syariah IAIN Salatiga.
6. Orang tua tercinta dan semua saudara-saudaraku.
Atas segala hal tersebut, penulis tidak mampu membalas apapun selain
hanya memanjatkan doa, semoga Allah SWT mencatat sebagai amal sholeh yang
akan mendapat balasan yang berlipat dari Allah SWT. Aamiin yaa
robbal’aalamiin. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak
ii
kekurangannya untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan guna kesempurnaan skripsi ini.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini nantinya
dapat bermanfaat, khususnya bagi Almamater dan semua pihak yang
membutuhkannya.
Atas perhatiannya, penulis mengucapkan terima kasih.
Salatiga, 20 Maret 2019
Penulis
iii
Abstrak
Basuki, Teguh. 2019. “Asal Usul Anak Dari Pernikahan Fasid (Studi Penetapan
Nomor 040/Pdt.P/2017/Pa.Sal) Di Pengadilan Agama Salatiga”. Skripsi.
Jurusan Hukum Keluarga Islam. Fakultas Syariah. Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing : Bapak M. Yusuf Khummaini,M.H.
Kata Kunci : Cerai, Pernikahan Fasid, Penetapan dan Nasab,
Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan
diasuh oleh orang tuanya sendiri. Ketentuan mengenai hak anak untuk
mengetahui siapa orang tuanya, dalam arti asal usulnya (termasuk ibu susunya),
hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari terputusnya silsilah dan hubungan
darah antara anak dengan orang tua kandungnya sedangkan hak untuk dibesarkan
dan diasuh orang tuanya, dimaksudkan agar anak dapat patuh dan menghormati
orang tuanya. Pernyataan ini sesuai dengan Pasal 7 Ayat 1 Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Lalu
bagaimana dengan anak yang lahir dari pernikahan yang fasid, apakah tetap
berhak untuk mengetahui orang tuanya dan dianggap menjadi anak sah?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas dan untuk peneliti melakukan
penelitian ini. Penelitian ini adalah hasil dari Penelitian Pustaka (Library
Research) yang bersifat Deskriptif Komparatif dengan melakukan studi
kepustakaan baik dokumen maupun literatur yang berkaitan dengan materi
penelitian. Pendekatan yang peneliti gunakan yaitu pendekatan Yuridis Normatif.
Walaupun penelitian ini adalah penelitian pustaka, peneliti tetap melakukan
Penelitian Lapangan (Field Research) yakni penulis mewawancarai Majelis
Hakim yang menangani perkara nomor 40/Pdt.P/2017/PA.Sal terkait
pertimbangan hukumnya dalam mengabulkan permohonan tersebut. Penelitian ini
bertujuan untuk menjawab permasalahan tentang apakah anak yang lahir dari
pernikahan yang rusak atau disebut fasid dalam Bahasa Arab yang terjadi di
wilayah Pengadilan Agama Salatiga bisa dianggap menjadi anak sah, atau hanya
sekedar dianggap menjadi anak biologis dan bagaimanakah pertimbangan para
iv
majelis hakim pemeriksa perkara Nomor : 040/Pdt.P/2017/PA.Sal dalam memutus
perkara tersebut.
v
DAFTAR ISI
JUDUL ............................................................................................................... i
LEMBAR BERLOGO..................................................................................... ii
JUDUL ............................................................................................................. iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................. iv
PENGESAHAN KELULUSAN ...................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ...................................................... vi
MOTTO .......................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN.......................................................................................... viii
KATA PENGANTAR..................................................................................... ix
ABSTRAK ....................................................................................................... xi
DAFTAR ISI.................................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 8
D. Kegunaan Penelitian ................................................................. 8
E. Kajian Pustaka .......................................................................... 10
F. Metode Penelitian ..................................................................... 12
G. Penegasan Istilah ...................................................................... 15
H. Sistematika Penulisan ............................................................... 16
vi
BAB II HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR KAWIN DALAM
UNDANG-UNDANG
A. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan .......................................................... 17
2. Rukun dan Syarat Perkawinan ............................................... 18
3. Larangan Perkawinan ............................................................ 19
B. Putusan Hakim............................................................................... 20
1. Pengertian Putusan Hakim..................................................... 20
2. Putusan yang Berkekuatan Hukum Tetap.............................. 21
3. Kekuatan Hukum Yang Pasti................................................. 22
4. Upaya Hukum Terhadap Putusan........................................... 22
C. Nikahul Fasid ............................................................................... 23
1. Nikahul Fasid Dalam Pandangan Hukum Islam ................... 23
2. Nikahul Fasid Dalam Hukum Positif Indonesia .................... 26
D. Anak Luar kawin .......................................................................... 30
1. Pengertian Anak Luar Kawin ................................................ 30
2. Kedudukan anak luar kawin .................................................. 32
3. Pengakuan anak luar kawin ................................................... 34
4. Hak Keperdataan Anak Luar Kawin Setelah Terjadi
Pengakuan .............................................................................. 36
BAB III PENETAPAN 040/Pdt.P/2017/PA.Sal TENTANG ASAL USUL
ANAK DARI PERNIKAHAN FASID
A. Deskripsi Penetapan Nomor 040/Pdt.P/2017/PA.Sal ................... 37
vii
1. Identitas Para Pihak ............................................................... 37
2. Dasar Tuntutan ...................................................................... 37
3. Tuntutan ................................................................................. 39
4. Alat Bukti .............................................................................. 39
5. Pertimbangan Hukum Para Majelis Hakim ........................... 43
6. Amar Penetapan ..................................................................... 48
BAB IV ANALISA PERTIMBANGAN HUKUM MAJELIS HAKIM
DALAM PENETAPAN NOMOR 040/Pdt.P/2017/PA.Sal
A. Keabsahan Pernikahan Para Pemohon ......................................... 51
B. Keabsahan Anak Para Pemohon .................................................. 53
1. Menurut Pasal 7 Ayat 1 Undang Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak .......... 53
2. Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010 Tanggal tanggal 27 Februari 2010 ...................... 54
3. Pendapat Prof. Wahbah Az Zuhayli ..................................... 56
4. Pendapat Dr. Nurul Irfan ...................................................... 59
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 64
B. Saran ............................................................................................. 65
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kata “Nikah” berasal dari bahasa Arab, sedangkan menurut istilah
bahasa Indonesia adalah “Perkawinan”. Namun kata “nikah” dengan “kawin”
kerapkali dibedakan, akan tetapi pada prinsipnya diantara keduanya hanya
berbeda di dalam menarik akar kata saja. Apabila ditinjau dari segi hukum
nampaklah jelas bahwa pernikahan atau perkawinan adalah aqad yang bersifat
luhur dan suci antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya
status sebagai suami isteri dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan
mencapai keluarga yang penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni
(Sudarsono, 2005: 36-37). Sementara menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor
1 tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dalam Al-Qur’an juga terdapat beberapa ayat yang tak hanya tentang
perintah menikah saja akan tetapi juga tujuan dari menikah. Beberapa ayat Al-
Qur’an tersebut diantaranya :
2
هما أيـها الناس اتـقوا ربكم الذي خلقكم من نـفس واحدة و ها زوجها وبث منـ خلق منـ
الذي تساءلون به واألرحام رجاال كثريا ونساء كان عليكم رقيباواتـقوا ا إن ا
Artinya:
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telahmenciptakan kamu dari seorang diri (Adam), dan dari padanya Allahmenciptakan istrinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah)hubungan kekeluargaan (silaturrahim). Sesungguhnya Allah selalu menjagadan mengawasi kamu.” (Surat An-Nisa : 1)
ن أن ۦ ته ءاي ومن إن يف ة ورمح ة نكم مود ها وجعل بـيـ ا إليـ كنـو لتس جاو أز أنفسكم خلق لكم م
يـتـفكرون م لقو ت ي لك أل ذ
Artinya :
“Dan di antara tanda-tanda (kekuasaan)-Nya ialah Dia menciptakanpasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung danmerasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dansayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda(kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Surah Ar-Rum : 21)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda dalam salah satuhaditsnya, yaitu:
ج، ومن معشر الشباب، من استطاع منكم الباءة فـليـتـزوج، فإنه أغض للبصر وأحصن للفر
لصوم، فإنه له وجاء مل يستطع فـعليه
"Rasulullah SAW bersabda : barangsiapa di antara kalian yangmemiliki kemampuan maka hendaknya ia menikah, karena hal tersebut lebihdapat menundukkan pandangannya dan lebih menjaga kemaluannya, dan
3
barangsiapa di antara kalian yang belum mampu maka hendaknya ia berpuasa,karena puasa adalah kendali baginya." (HR. Abu Daud)
Peraturan yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia telah
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang
berlaku bagi setiap Agama yang ada di Indonesia. Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan Undang-undang pertama di
Indonesia yang mengatur soal perkawinan secara nasional. Kemudian setelah
lahirnya UU Perkawinan tersebut terjadi pembaharuan yaitu pada masa
Menteri Agama Munawir Syadzali yang ditandai dengan lahirnya KHI
(Kompilasi Hukum Islam) pada tanggal 10 Juni 1991 yang materinya
mencakup di dalamnya aturan tentang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan
bagi yang masyarakat Indonesia yang beragama Islam (Moh Khusen, 2013:10-
11).
UU Perkawinan secara otentik telah mengatur agar sebuah perkawinan
dapat dianggap sah oleh negara. Mulai dari dasar perkawinan, syarat-syarat
perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian
perkawinan, hak dan kewajiban suami-isteri, harta benda dalam perkawinan,
putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban
antara orang tua dan anak, perwakilan, hingga ketentuan-ketentuan lainnya.
Sementara dalam KHI pun juga sama saja akan tetapi lebih merincikannya
sesuai dengan syari’at Islam, karena UU Perkawinan bersifat generalisasi.
UU Perkawinan di Indonesia tentunya juga tak lepas dari anggapan dari
beberapa pihak jika terdapat kekurangan yang hadir di dalamnya, seperti yang
4
banyak terlihat dalam buku-buku hingga seminar atau juga kuliah umum yang
bertemakan pembaruan terhadap hukum perdata/keluarga Islam di Indonesia.
Beberapa pasal yang ada baik di UU Perkawinan maupun di KHI mendapat
banyak kritikan karena dianggap sudah tidak relevan lagi dengan keadaan
sekarang. Salah satu pasal yang sudah dianggap tidak relevan lagi yaitu pasal
43 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, di mana pasal tersebut
merupakan bagian dalam BAB IX tentang Kedudukan Anak.
Pasal 43 ayat (1) menyatakan bahwa “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya.” Maksud ayat tersebut berarti jika seorang anak dilahirkan ketika orang
tua biologisnya tidak dalam ikatan yang sah (menikah) maka akibat hukumnya
anak tersebut hanya memilikihubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya saja, sehingga si anak tidak memiliki hubungan perdata dengan ayah
biologisnya dan keluarga ayahnya. Pada ayat inilah yang menjadi sebuah
polemik hingga bahan perdebatan karena dianggap melanggar hak asasi
kemanusiaan dan kontitusional bagi si anak luar nikah, karena si anak hanya
menjadi korban dari perbuatan terlarang orang tuanya.
Anak yang lahir di dalam perkawinan yang sah dengan yang lahir di
luar perkawinan yang sah keduanya sama-sama anak suci dan bersih dari dosa
terlepas dari perbuatan terlarang orang tua biologisnya, akan tetapi memang
dari akibat hukum baik dalam menurut agama maupun perundang-undangan
memang berbeda.
5
Sebagaimana Sholat dan puasa yang mana diatur dalam fiqh, begitu
juga pernikahan. Bahkan ada fiqh khusus yang diperuntukkan untuk
pernikahan yaitu fiqh munakahat. Dalam Fiqh munakahat diatur bagaimana
seorang muslim itu menikah, bercerai dan juga rujuk setelah terjadi
perceraian. Dan bahkan fiqh ini banyak diadopsi dan bahkan menjadi rujukan
dalam pembentukan UU Perkawinan di Indonesia juga menjadi rujukan dalam
penyusunan KHI (Kompilasi Hukum Islam).
Dalam beberapa peraturan di atas, salah satunya yaitu fiqh munakahat
diatur dimana seorang muslimah yang telah bercerai harus melewati masa
iddah terlebih dahulu yaitu selama 3 kali suci atau selama 90 hari.
نفسهن ثـل ت يـتـربصن لمطلق ٱو ء ثة قـرو
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
quru’”. (Al-baqoroh : 228)
Masa menunggu ini yang di namakan dengan masa iddah, Allah juga
berfirman dalam surat at-Talaq:
ئي يئسن من ال ئي مل حيضن والال تـهن ثالثة أشهر والال تم فعد محيض من نسائكم إن ارتـبـ
جيعل له من أمره يسراوأوالت األمحال أجلهن أن يضعن محلهن ومن يـتق ا
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) diantara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
6
iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yanghamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkankandungannya.” (At-Thalaq : 4)
Peneliti menemukan contoh kasus dilapangan yang dapat dijadikan
subyek maupun obyek untuk penelitian ini. Seperti fakta di Pengadilan Agama
Salatiga terdapat satu permohonan asal usul anak yaitu pada tahun 2017 yang
dikabulkan yaitu permohonan asal usul anak perkara Nomor
40/Pdt.P/2017/PA.Sal, pada perkara ini diketahui bahwa Pemohon 1 dan
Pemohon 2 atau bisa disebut Para Pemohon telah mendaftarkan
permohonannya pada tanggal 5 Mei 2017 guna mendapatkan Penetapan Asal
Usul Anak Para Pemohon. Para Pemohon adalah pasangan suami istri yang
telah melangsungkan perkawinan menurut agama islam pada tanggal 17
Januari 2013 didesa Candi dengan wali nikah ayah kandung Pemohon 2. Status
dari Pemohon 1 saat pernikahan tersebut adalah duda cerai, sedang Pemohon 2
adalah Janda Cerai yang telah cerai dengan suami pertama pada bulan Januari
2013, pada saat pernikahan tersebut Pemohon 2 masih dalam masa iddah, oleh
sebab itu perkawinan Pemohon 1 dan Pemohon 2 bisa dinyatakan tidak sah
atau perkawinan Para Pemohon adalah fasid.
Setelah perkawinan tersebut Pemohon 1 dan Pemohon 2 telah
melakukan hubungan selayaknya suami istri dan telah dikaruniai seorang anak
laki laki yang lahir pada tanggal 5 September 2013. Atas kelahiran anak
tersebut tidak dapat dibuatkan akte Kelahirannya, dikarenakan Perkawinan
Pemohon 1 dan Pemohon 2 sampai anak tersebut lahir belum dicatatkan di
Kantor Urusan Agama. Selanjutnya Pemohon 1 dan Pemohon 2 mencatatkan
7
perkawinannya di Kantor Urusan Agama pada tanggal 13 Februari 2017,
namun demikian adanya akta nikah tersebut tidak dapat dijadikan dasar
dikeluarkannya akta kelahiran anak Pemohon 1 dan Pemohon 2 yang lahir
pada 5 September 2013. Kemudian Pemohon 1 dan Pemohon 2 mengajukan
permohonan asal usul anak ke Pengadilan Agama Salatiga karena Pemohon 1
dan Pemohon 2 sangat membutuhkan penetapan Pengadilan tentang asal usul
anak tersebut sebagai dasar dikeluarkannya akta kelahiran bagi anak yang
Pemohon 1 dan Pemohon 2.
Pada hari Rabu tanggal 7 Juni 2017 dijatuhkan putusan oleh Majelis
Hakim Pengadilan Agama Salatiga yang amarnya berbunyi :
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon;
2. Menetapkan anak dari Pemohon 1 dan Pemohon 2 yang lahir pada tanggal
5 September 2013 adalah anak dari Pemohon 1 dan Pemohon 2;
Berdasarkan uraian latar belakang diatas penulis tertarik untuk
mengkaji dan meneliti bagaimana pertimbangan hukum majelis hakim
dalam mengabulkan permohonan asal usul anak tersebut, oleh sebab itu
penulis memilih menulis penelitian dengan judul ASAL USUL ANAK
DARI PERNIKAHAN FASID (STUDI PENETAPAN NOMOR
040/Pdt.P/2017/PA.Sal) DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan yang ada di Latar Belakang Masalah kemudian
menghasilkan beberapa rumusan masalah, yaitu :
8
1. Bagaimanakah keabsahan pernikahan para pemohon pada perkara nomor
40/Pdt.P/2017/PA.Sal?
2. Apakah pertimbangan hukum majelis hakim dalam mengabulkan
permohonan asal usul anak pada perkara nomor 40/Pdt.P/2017/PA.Sal?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan akibat hukum
dan menelaah lebih dalam baik peraturan perundang-undangan yang ada dan
hukum Islam terhadap anak yang lahir dari pernikahan yang fasid. Tujuan
terakhir yaitu untuk mengetahui pertimbangan dari majelis hakim dalam
memutus perkara permohonan asal usul anak dari pernikahan fasid, yaitu pada
kasus asal usul anak pada perkara nomor 40/Pdt.P/2017/Pa.Sal.
D. Kegunaan Penelitian
Peneliti meyakini penelitian ini sekiranya akan dapat berguna dan
bermanfaat bagi banyak pihak, diantaranya:
1. Teoritis
Diharapkan dapat berguna dalam dunia peradilan agama serta
memberikan sumbangan pemikiran dalam upaya pembaharuan hukum
keluarga di Indonesia dalam hal permasalahan-permasalahan terkait
penelitian ini.
2. Praktis
a. Bagi Masyarakat
Diharapkan dapat memberikan kesadaran hukum kepada
masyarakat tentang hukum keluarga Islam yang berlaku di Indonesia, dan
9
selain itu juga memberikan pemahaman terhadap kedudukan anak yang
lahir dari pernikahan fasid yang seharusnya.
b. Bagi Pengadilan Agama
Diharapkan dapat memberikan masukan dan pemikiran hukum
dalam pengambilan keputusan bahwa permasalahan ini bukan lagi
menjadi hal yang tabu akan tetapi sudah dianggap sebagai persoalan
biasa di masyarakat sekarang sehingga perlu mendapat perhatian.
c. Bagi IAIN Salatiga
Diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi segenap sivitas
akademika IAIN Salatiga khususnya jurusan Hukum Keluarga Islam
tentang permasalahan-permasalahan dalam dunia peradilan agama
sehingga dapat menjadi referensi dan inspirasi bagi penelitian
selanjutnya.
d. Bagi Peneliti
Peneliti sangat mengharapkan penelitian ini dapat menambah ilmu
pengetahuan lebih dalam lagi bagi diri pribadi sebagai mahasiswa jurusan
Hukum Keluarga Islam (Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah). Diharapkan juga
hasil penelitian ini tidak hanya menjadi syarat kelulusan semata namun
juga dapat menjadi bentuk sumbangsih bagi dunia Hukum Keluarga
Islam dan terhadap permasalahan di wilayah kota Salatiga.
E. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai studi putusan asal usul anak dari pernikahan fasid
memang sudah banyak diteliti, akan tetapi tidak menyurutkan niat peneliti
10
untuk kembali menggali dan memperdalam lagi. Penelitian terdahulu mengenai
status anak luar nikah beberapa diantaranya, yaitu:
Penelitian oleh Ivo Junia Imako Haris dari Jurusan Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang 2018, Penelitian ini berjudul
“Status Anak Pada Perkawinan Fasid (Rusak) (Analisis Yuridis Penetapan
Perkara Pengadilan Agama Nomor 80/Pdt.P/2017/Pa.Bjb)”. Dari hasil
penelitian ini diperoleh jawaban bahwa status anak pada perkawinan fasid
dimana perkawinannya tidak sah menurut hukum positif tidak bisa disebut
dengan anak sah karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang ada. Tidak ada dasar hukum nasional yang menguatkan bahwa status anak
dari perkawinan fasid dapat menjadi anak sah. Tetapi untuk melindungi hak
anak yang sudah dihasilkan dari perkawinan tersebut, anak tersebut tetap
mempunyai hubungan perdata dengan orangtuanya dimana orangtuanya
bertanggung jawab atas kesejahteraan anak dalam menjalani hidupnya. Dimana
mempunyai hubungan perdata dengan nasab anak ternyata mempunyai
perbedaan yaitu hubungan perdata tidak merubah status anak menjadi anak sah
sedangkan nasab anak dapat merubah status anak menjadi anak sah.
Skripsi oleh Reza Tamara dari Jurusan Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran Bandung pada tahun 2017. Skripsi ini berjudul
“Analisis Hukum Mengenai Perkawinan Fasid Menurut Hukum Islam dan
Hukum Perdata (Bw) Dikaitkan Dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.” Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa status dan
kedudukan perkawinan fasid menurut Hukum Islam adalah haram. Dalam
11
KUHPerdata tidak mengenal istilah perkawinan fasid, namun hanya
pembatalan perkawinan. Di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya tidak secara tegas
menyatakan adanya lembaga nikahul fasid dan nikah batil, hanya ada pasal-
pasal yang mengatur tentang batalnya perkawinan dan tata cara permintaan
pembatalan nikah saja. Tetapi substansi dalam praktik pembatalan nikah yang
diajukan ke pengadilan atau putusan yang perkawinan yang dibatalkan oleh
Pengadilan Agama adalah karena adanya kurang rukun dan syarat-syarat yang
diperlukan untuk sahnya suatu pernikahan. Sehingga dari kasus-kasus diatas
dapat ditelaah pelaksanaan pembatalan perkawinan. Baik hukum Islam dan
Undang-undang Republik Indonesia membolehkan jika adanya perkawinan
fasid dan ataupun pihak yang dirugikan dalam perkawinan dengan seorang
suami dan istri melakukan gugatan pembatalan perkawinan atau putusan
pembatalan perkawinan fasid di Pengadilan Agama sepanjang sesuai dengan
aturan yang berlaku menurut hukum agama masing-masing dan hukum
Republik Indonesia.
Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa penelitian terdahulu
tentang asal usul anak dari perkawinan fasid memang sudah banyak diteliti
yang mungkin akan terdapat beberapa kemiripan dengan penelitian milik
peneliti, akan tetapi sebenarnya penelitian oleh peneliti memiliki perbedaan.
Perbedaan yang dimaksud adalah bahwa penelitian milik peneliti ini lebih
difokuskan untuk mengkaji tentang penetapan dari perkara
12
40/Pdt.P/2017/PA.Sal yakni bagaimana pertimbangan hukum para majelis
hakim dalam mengabulkan Permohonan tersebut.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Penelitian ini merupakan Penelitian Pustaka (Library Research)yang
bersifat Yuridis Normatif dengan melakukan studi kepustakaan baik
dokumen maupun literatur yang berkaitan dengan materi penelitian.
Pendekatanyang peneliti gunakan yaitu pendekatan Yuridis Normatif.
Walaupun penelitian ini adalah penelitian pustaka, peneliti tetap
melakukan Penelitian Lapangan (Field Research) yakni penulis
mewawancarai Majelis Hakim yang menangani perkara nomor
40/Pdt.P/2017/PA.Sal terkait pertimbangan hukumnya dalam
mengabulkan permohonan tersebut.
2. Sumber Data
a. Primer
1) Literatur
Sumber diperoleh dari hasil studi kepustakaan dari berbagai
literatur mulai dari peraturan perundang-undangan, buku, jurnal
penelitian, artikel ilmiah, dan lainnya.
2) Informan
Sumber diperoleh dari informan yang terkait, yaitu majelis
hakim yang mengabulkan perkara nomor 40/Pdt.P/2017/PA.Sal serta
13
mungkin para pemohon dalam permohonan asal usul anak perkara
nomor 40/Pdt.P/2017/PA.Sal di Pengadilan Agama Salatiga.
b. Sekunder
Data sekunder yang dimaksud adalah data pendukung seperti
dari dokumen, buku, surat kabar, artikel, dan lainnya yang dapat
menjadi sumber pendukung penelitian ini.
3. Prosedur Pengumpulan Data
Peneliti dalam mengumpulkan data menelaah berbagai sumber
literatur baik dari buku, jurnal penelitian, artikel, dan lainnya yang dapat
digunakan untuk menganalisis temuan di lapangan.
4. Analisis Data
Peneliti melakukan analisis data terlebih dahulu, data tersebut adalah
dari data hasil studi pendahuluan atau data sekunder (Sugiyono,
2016:245). Setelahnya dengan melakukan analisis data di lapangan seperti
yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman.
5. Tahap-Tahap Penelitian
Setelah menentukan tema yang akan diteliti, peneliti melakukan
penelitian pendahuluan untuk mendapatkan data awal dari beberapa
sumber. Kemudian setelah itu melakukan observasi langsung ke
Pengadilan Agama Salatiga guna mendapatkan data utama yaitu dengan
melakukan wawancara/interview. Setelah mendapatkan data kemudian
terdapat beberapa langkah selanjutnya, yaitu :
14
a. Editing
Setelah mendapatkan data dari hasil observasi, kemudian tahap
selanjutnya adalah merubahnya menjadi sedemikian rupa. Selain itu
juga dengan melakukan pengecekan kembali terhadap data sehingga
mendapatkan validitas data yang akurat.
b. Organizing
Setelah proses editing, kemudian data tersebut diorganisir atau
disusun sesuai dengan rumusan masalah sehingga tersajikan data yang
sesuai.
c. Kesimpulan
Langkah terakhir adalah dengan melakukan penarikan kesimpulan
yang sesuai dari hasil penelitian ini.
G. Penegasan Istilah
Agar tidak terjadi kesalahpahaman pengertian dan maksud dari judul
penelitian ini maka diperlukan penjelasan yaitu:
1. Pernikahan
Secara etimologi, pernikahan berarti persetubuhan. Adapula yang
mengartikannya perjanjian (al-‘aqdu). Sedangkan secara istilah pernikahan
itu adalah ‘aqad (perjanjian) yaitu serah terima antara orang tua calon
mempelai wanita dengan calon mempelai pria. Penyerahan dan penerimaan
tanggung jawab dalam arti yang luas, telah terjadi pada saat ‘aqad nikah
itu, disamping penghalalan bercampur keduanya sebagai suami-istri. (M.
Ali Hasan, 2006 :8).
15
2. Putusnya Perkawinan
Talak berasal dari bahasa Arab yaitu kata “itlaq” artinya lepasnya
suatu ikatan perkawinan dan berakhirnya hubungan perkawinan. Menurut
istilah syara’ talak adalah melepas tali perkawinan dan mengakhiri
hubungan suami istri.Jadi talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan
sehingga setelah hilangnya perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi
suaminya (H.M.A. Tihami, 2014 : 229-230).
3. Nikah Fasid
Nikah fasid adalah nikah tidak memenuhi syarat-syarat sahnya untuk
melaksanakan pernikahan.
4. Putusan Pengadilan
Putusan adalah hasil atau kesimpulan terakhir dari suatu
pemeriksaan perkara (Yan Pramadya Puspa, 1997 : 695). Jadi putusan
pengadilan adalah hasil kesimpulan akhir dari pemeriksaan perkara oleh
pengadilan.
F. Sistematika Penulisan
Bab I, Pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, tinjauan
pustaka, metode penelitian (jenis penelitian dan pendekatan, lokasi penelitian,
sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data, tahap-tahap penelitian),
dan sistematika penelitian.
Bab II, Pengertian tentang Hak Keperdataan Anak Luar Kawin Dari
Pernikahan Fasid yang meliputi: pernikahan, rukun, syarat dan larangan
16
pernikahan, putusan hakim dan pengertian nikah fasid ditinjau dari hukum
Islam dan hukum Positif.
Bab III, Hasil Penelitian dan Pembahasan yang meliputi: deskripsi
Penetapan nomor 040/Pdt.P/2017/PA.Sal, penjelasan perkara dari para Majelis
Hakim yang menangani perkara tersebut.
Bab IV, Analisis Pertimbangan para Majelis Hakim dalam memutus
perkara nomor 040/Pdt.P/2017/PA.Sal yang meliputi: Menelaah dasar hukum
para Majelis Hakim.
Bab V, Penutup yang meliputi: kesimpulan dan saran.
17
BAB II
HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR KAWIN DARI
PERNIKAHAN FASID
A. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan terjemahan dari kata “nakaha”
(berhimpun) dan “zawaja” (pasangan). Kedua kata itu secara umum
digunakan al-Quran untuk menggambarkan jalinan hubungan perkawinan
(pernikahan), yaitu berkumpulnya seorang lelaki dan seorang perempuan
yang semula terpisah menjadi satu kesatuan yang utuh dan berpasangan
atau bermitra sebagai suami istri (Musawwamah, Laporan Riset,
2012:689). Dalam Pasal 1 Undang-Undang Repulik Indonesia Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan ini disebutkan bahwasannya perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan menurut Pasal 2
Komplikasi Hukum Islam, yang dimaksud dengan perkawinan ialah akad
yang sangat kuat atau mitsaqon ghalidhon untuk mentaaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Lebih lanjut lagi disebutkan bahwasannya suatu perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
18
kepercayaanya. Kemudian terkait dengan pencatatan perkawinan Pasal 2
Ayat 2 Undang-Undang Repulik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, negara mewajibkan untuk dicatatkan secara administratif
guna memenuhi hak-hak konstitusional, memberikan jaminan
perlindungan, pemajuan, penegakan, kepastian hukum dan pemenuhan hak
asasi manusia baik suami, istri, maupun anak yang lahir nantinya.
2. Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama
yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi
hukum. Dalam hal hukum perkawinan, dalam menempatkan mana yang
rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan, perbedaan ini tidak
bersifat subtansial. Perbedaan diantara pendapat tersebut disebabkan oleh
karena berbeda dalam melihat fokus perkawinan itu.
Unsur pokok suatu perkawinan adalah sebagai berikut:
a. Calon mempelai laki-laki
b. Calon mempelai perempuan
c. Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan perkawinan
d. Dua orang saksi
e. Ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul yang dilakukan oleh suami
Undang-Undang Repulik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sama sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan.
Undang-Undang Repulik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana syarat-syarat
19
tersebut lebih banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun
perkawinan. Kompilasi Hukum Islam secara jelas membicarakan rukun
perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 14 (Syarifuddin, 2011,
61).
3. Larangan Perkawinan
Meskipun Perkawinan telah memenuhi seluruh rukun telah
memenuhi seluruh rukun dan syarat yang ditentukan belum tentu
perkawinan tersebut sah, karena masih tergantung pada satu hal yang
menghalang. Halangan perkawinan itu telah terlepas dari segala hal yang
menghalang. Halangan perkawinan itu juga disebut dengan larangan
perkawinan.
Yang dimaksud dengan larangan perkawinan dalam bahasan ini
adalah orang-orang yang tidak boleh melakukan perkawinan. Yang
dibicarakan di sini ialah perempuan-perempuan mana saja yang tidak
boleh dikawini oleh seorang laki-laki atau sebaliknya laki-laki mana saja
yang tidak boleh mengawini perempuan (Syarifudin, 2009, 109).
Dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah diatura, dalam pasal tersebut ada 8
larangan perkawinan antara laki-laki dan wanita (Mertokusumo, 2008, 65),
yaitu:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun keatas;
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antarasaudara, antara seorang dengan saudara orangtua dan antara seorangdengan saudara neneknya;
20
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, danibu/bapak tiri;
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudarasusuan, dan bibi/paman susuan;
e. Berhubungan saudara dengan dengan istri atau sebagai bibi ataukemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dariseorang;
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yangberlaku dilarang kawin;
g. Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain;h. Antara suami-istri yang telah cerai, kawin lagi satu dengan yang lain
dan bercerai untuk kedua kalinya, mereka tidak boleh melangsungkanperkawinn lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dankepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain;
Dalam Pasal 40 Komplikasi Hukum Islam disebutkan
bahwasannya dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan
dengan pria lain;
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria
lain;
B. Putusan Hakim
1. Pengertian Putusan Hakim
Menurut Sudikno Mertokusumo,
“Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabatnegara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan danbertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara ataumasalah antar pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebutputusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulisdan kemudian diucapkan oleh Hakim di persidangan. Sebuah konsepputusan (tertulis) tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan sebelumdiucapkan di persidangan oleh hakim” (Mertokusumo, 103, 2006).
21
Sementara itu Lilik Mulyadi, mendefinisikan putusan Hakim
sebagai :
"Putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalampersidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melaluiproses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amarpemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuatdalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan perkara"(Mulyadi,2010,15).
2. Putusan yang Berkekuatan Hukum Tetap
Pada prinsipnya hanya putusan hakim yang mempunyai kekuatan
hukum tetap yang dapat dijalankan. Suatu putusan itu dapat dikatakan
telah mempunyai kekuatan hukum tetap apabila di dalam putusan
mengandung arti suatu wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti
antara pihak yang berperkara sebab hubungan hukum tersebut harus ditaati
dan harus dipenuhi oleh pihak tergugat.
Abdulkadir Muhammad berpendapat bahwa:
“Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusanyang menurut ketentuan undang-undang tidak ada kesempatan lagi untukmenggunakan upaya hukum biasa untuk melawan putusan tersebut,sedang putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetapadalah putusan yang menurut ketentuan undang-undang masih terbukakesempatan untuk menggunakan upaya hukum untuk melawan putusantersebut misalnya verzet, banding dan kasasi.” (Abdulkadir, 2000, 75)
Pada prinsipnya, apabila terhadap putusan masih ada pihak yang
mengajukan upaya hukum berupa banding atau kasasi, putusan yang
bersangkutan belum berkekuatan hukum tetap berdasarkan Pasal 1917
KUHPerdata. Prinsip ini antara lain ditegaskan dalam putusan MA
No.1043 K/Sip/1971 yakni meskipun salah satu pihak tergugat tidak
22
banding atau kasasi, tetapi tergugat yang lain mengajukan banding atau
kasasi, putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap. Oleh karena
itu, putusan dimaksud belum mempunyai kekuasaan eksekutorial baik
terhadap tergugat yang tidak mengajukan upaya hukum, apalagi terhadap
tergugat yang mengajukan upaya tersebut.
3. Kekuatan Hukum Yang Pasti
Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau tetap
(inkracht van gewisjde) apabila tidak ada lagi upaya hukum biasa tersedia.
Termasuk upaya hukum biasa adalah perlawanan, banding dan kasasi.
Dengan memperoleh kekuatan hukum yang pasti maka putusan itu tidak
lagi dapat diubah, sekalipun oleh Pengadilan yang lebih tinggi, kecuali
dengan upaya hukum khusus yakni request civil dan perlawanan oleh
pihak ketiga.
4. Upaya Hukum TerhadapPutusan
Upaya hukum adalah suatu upaya yang diberikan oleh undang-
undang kepada semua pihak yang sedang berperkara di pengadilan
untuk mengajukan perlawanan terhadap keputusan hakim. Jadi, setiap
orang yang berperkara di pengadilan baik itu tergugat maupun
penggugat diberikan hak untuk mengajukan perlawanan terhadap
keputusan hakim yang telah memeriksanya. Jika salah satu pihak
merasa bahwa keputusan pengadilan tidak mencerminkan keadilan,
maka pihak yang dikalahkan dalam persidangan dapat mengajukan
23
perlawanan terhadap putusan pengadilan dalam tenggang waktu 14
(empat belas) hari terhitung sejak dikeluarkannya keputusan.
C. Nikahul Fasid
1. Nikahul Fasid Dalam Pandangan Hukum Islam
Menurut hukum Islam, akad perkawinan suatu perbuatan hukum
yang sangat penting dan mengandung akibat-akibat serta konsekuensi-
konsekuensinya tentu sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syariat Islam.
Oleh karena itu, pelaksanaan akad pernikahan yang tidak sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam adalah perbuatan yang
sia-sia, bahkan dipandang sebagai perbuatan yang melanggar hukum yang
wajib dicegah oleh siapa pun yang mengetahuinya, atau dengan cara
pembatalan apabila pernikahan itu telah dilaksanakannya. Hukum Islam
menganjurkan agar sebelum pernikahan dibatalkan perlu terlebih dahulu
diadakan penelitian yang mendalam untuk memperoleh keyakinan bahwa
semua ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam sudah terpenuhi.
Jika persyaratan yang telah ditentukan masih belum lengkap atau masih
terdapat halangan pernikahan, maka pelaksanaan akad pernikahan haruslah
dicegah.
Menurut Abdurrahman Al-Jaziri (Al Jaziri,1982,119)
“Jika perkawinan yang telah dilaksanakan oleh seorang tidak sahkarena kekhilafan dan ketidaktahuan atau tidak sengaja dan belum terjadipersetubuhan, maka perkawinan tersebut harus dibatalkan, yang melakukanperkawinan itu dipandang tidak berdosa, jika telah terjadi persetubuhanmaka itu dipandang sebagai wathi’ syubhat, tidak dipandang sebagaiperzinaan, yang bersangkutan tidak dikenakan sanksi zina, istri diharuskan
24
ber-iddah apabila pernikahan telah dibatalkan, anak yang dilahirkan dariperkawinan itu dipandang bukan sebagai anak zina dan nasabnya tetapdipertalikan kepada ayah dan ibunya. Tetapi jika perkawinan yangdilakukan oleh seorang sehingga perkawinan itu menjadi tidak sah karenasengaja melakukan kesalahan memberikan keterangan palsu, persaksianpalsu, surat-surat palsu atau hal-hal lain yang tidak sesuai dengan ketentuanyang berlaku, maka perkawinan yang demikian itu wajib dibatalkan. Jikaperkawinan yang dilaksanakan itu belum terj adi persetubuhan, maka istritersebut tidak wajib ber-iddah, orang melaksanakan perkawinan itudipandang bersalah dan berdosa, dapat dikenakan tuntutan pidana,persetubuhan itu dipandang sebagai perzinaan dan dikenakan had, nasabanak yang dilahirkan tidak dapat dipertalikan kepada ayahnya, hanyadipertalikan kepada ibunya.
Para ahli hukum Islam di kalangan mazhab Maliki berpendapat
bahwa nikahul fasid ada dua bentuk, yaitu :
a. Yang disepakati oleh para ahli hukum Islam, nikah fasid model ini
seperti menikahi wanita yang haram dinikahinya baik karena nasab,
susuan, atau menikahi istri kelima sedangkan istri yang keempat masih
dalam iddah, nikah seperti ini harus di-fasid-kan bukan talak dan tanpa
mahar baik dukhul maupun belum dukhul.
b. Yang tidak disepakati oleh para ahli hukum Islam seperti nikah sewaktu
ihram, menurut ahli hukum di kalangan Malikiyah pernikahan itu harus
di-fasid-kan, tetapi para ahli di kalangan mazhab Hanafiyah pernikahan
itu adalah sah. Demikian pula nikah yang syiqor, harus difasidkan
menurut para ahli hukum Islam di kalangan Malikiyah, tetapi menurut
para ahli hukum Islam di kalangan mazhab Hanafiyah apabila
pernikahan sudah berlangsung, maka pernikahan itu sah. Juga
perkawinan yang termasuk dalam kategori nikahus sirri, nikah
maskawin yang rusak atau yang rusak akad perkawinannya haruslah di-
25
fasid-kan, tetapi ada yang berpendapat bahwa pernikahan itu tidak harus
di-fasid-kan.
Di kalangan mazhab Syafi’i nikahul fasid itu adalah akad nikah yang
dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi kurang salah
satu syarat yang ditentukan oleh syara’, sedangkan nikahul bathil adalah
pernikahan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang
perempuan tetapi kurang salah satu rukun syara’ (Manan, 2006, 42).
Menurut ahli hukum Islam di kalangan mazhab Syafi’iyah, nikahul fasid
dapat terjadi dalam bentuk :
a. Pernikahan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang
perempuan tetapi wanita tersebut dalam masa iddah laki-laki yang lain;
b. Pernikahan yang dilaksanakan dalam masa istibro’ karena wathi
syubhat;
c. Pernikahan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang
wanita tetapi perempuan tersebut diragukan iddah-nya karena ada tanda-
tanda kehamilan;
d. Menikahi perempuan watsani dan perempuan yang murtad, yang dua
terakhir ini batil karena adanya syarat keislaman.
Menurut ketentuan hukum Islam, siapa yang melihat dan mengetahui
akan adanya seorang berkehendak untuk melangsungkan pernikahan,
padahal diketahui bahwa pernikahan cacat hukum karena kurangnya rukun
atau syarat yang ditentukan, maka pernikahan tersebut wajib dicegahnya
sehingga perkawinan itu tidak jadi dilaksanakannya. Jika mengetahui
26
setelah akad nikah dilaksanakan, maka wajib mengajukan pembatalan
kepada instansi yang berwenang (Manan,2006,44). Pembatalan perkawinan
berlaku terhadap segala bentuk perkawinan yang tidak sah, baik yang
bersifat nikah bathil, maupun yang bersifat nikah fasid, baik sebelum texjadi
persetubuhan maupun sesudah terjadi persetubuhan. Agar tidak terjadi
wathi’syubhat antara suami istri yang melaksanakan perkawinan yang tidak
sah itu, maka seketika diketahui perkawinan tersebut adanya cacat hukum,
kepada suami istri tersebut dilarang berkumpul lebih dahulu sambil
menunggu penyelesaian perkaranya diselesaikan oleh pihak yang
berwenang.
2. Nikahul Fasid Dalam Hukum Positif Indonesia
Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tidak secara tegas
dinyatakan adanya lembaga nikahul fasid dalam Hukum Perkawinan di
Indonesia. Hanya ada pasal-pasal yang mengatur tentang batalnya
perkawinan, yaitu Pasal 27 sampai dengan 38 Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975. Dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan tersebut
memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk membatalkan
suatu perkawinan apabila perkawinan itu dianggap tidak sah (no legal
force), atau apabila suatu perkawinan dianggap tidak memenuhi syarat-
syarat perkawinan yang telah ditentukan, atau apabila perkawinan yang
sudah dilaksanakan itu diketahui ada cacat hukum sebagai akibat dari suatu
kebohongan dan kekeliman atau karena ada paksaan.
27
Meskipun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 hanya
menyangkut “Pembatalan” saja, tetapi dalam praktik pelaksanaan undang-
undang tersebut yang menyangkut hal pembatalan perkawinan mencakup
substansi dalam nikahul fasid dan nikahul bathil Dalam Pasal 22 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dinyatakan bahwa
pemikahan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan. Sedang dalam penjelasan
disebutkan pengertian “dapat” dalam pasal ini adalah bisa batal bilamana
menurut ketentuan hukum agamanya tidak menentukan lain (Manan, 2006,
45). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa suatu perkawinan yang
dilaksanakan oleh seseorang bisa batal demi hukum dan bisa dibatalkan
apabila cacat hukum dalam pelaksanaannya. Pengadilan Agama dapat
membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang
berkepentingan.
Perkawinan batal demi hukum apabila dilakukan sebagaimana
tersebut dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, yaitu :
a. Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukanakad nikah karena sudah empat istrinya, sekalipun salah satu dari empatistrinya itu dalam iddah talak raj’i;
b. Seorang suami yang menikahi istrinya yang telah di-li’an-nya;c. Seorang suami yang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi talak
tiga kali, kecuali bekas istrinya tersebut pernah menikah dengan priayang lain kemudian bercerai lagi setelah dicampuri pria tersebut dantelah masa iddah-nya;
d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungandarah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas;
28
e. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungandarah dalam garis keturunan menyimpang, yaitu antara saudara, antarasaudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya;
f. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungansemenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri;
g. Perkawinan dilakukan dengan saudara kandung dari istri atau sebagaibibi atau kemenakan dari istri.
Selanjutnya perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a. Seorang melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi
istri pria lain secara sah;c. Perkawinan yang dilangsungkan melanggar batas umur perkawinan
sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 78 Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974;
d. Perkawinan dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yangtidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau perkawinandilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi;
e. Perkawinan dilaksanakan dengan paksaan;f. Perkawinan dilaksanakan dengan ancaman melanggar hukum;g. Perkawinan dilaksanakan dengan penipuan, penipuan di sini seperti
seorang pria yang mengaku sebagai jejaka, padahal telah mempunyaiseorang istri ketika pernikahan dilangsungkan, sedangkan ia melanggarkarena poligami tanpa izin Pengadilan Agama atau penipuan atasidentitas diri.
Menurut M. Yahya Harahap, secara teoretis Undang-Undang Nomor1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menganut prinsip bahwa tidak ada suatuperkawinan yang dianggap sendirinya batal menurut hukum (vanrechtswegwnietly) sampai ikut campur tangan pengadilan. Hal ini dapatdiketahui dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dimana dikatakan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputus olehpengadilan. Apa yang dikemukakan oleh M. Yahya Harahap ini sangatlahrealistis, rasionya karena suatu perkawinan sudah dilaksanakan melaluiyuridis formal, maka untuk menghilangkan legalitas yuridis itu haruslahmelalui putusan pengadilan (Harahap,1975,11).
Tentang hal ini tidak peduli apakah pernikahan itu kurang rukun atau
syarat-syarat yang ditemukan oleh hukum agama masing-masing pihak dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembatalan perkawinan atas
29
dasar putusan pengadilan itu diperlukan agar adanya kepastian hukum
terutama bagi pihak yang bersangkutan, pihak ketiga dan masyarakat yang
sudah terlanjur mengetahui adanya perkawinan tersebut. Jadi, legalitas
pembatalan perkawinan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku lebih luas jangkauannya dari nikahul bathil dan nikahul fasid
sebagaimana yang tersebut dalam kitab-kitab fiqh tradisional.
Jika pengajuan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh pihak
sebagaimana tersebut di atas diterima oleh Pengadilan Agama, maka saat
mulai berlakunya pembatalan perkawinan itu dihitung sejak tanggal hari
putusan Pengadilan Agama dijatuhkan dan putusan itu telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan
dilaksanakan. Dengan adanya putusan Pengadilan Agama ini, maka berlaku
keadaan semula sebelum perkawinan itu dilaksanakan. Pembatalan itu tidak
mempunyai akibat yang berlaku surut terhadap :
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, ini berarti
kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang tuanya tidak dipikulkan
kepada anak-anaknya yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan itu.
Dengan demikian, anak-anak tersebut mempunyai status hukum yang
jelas dan resmi sebagai anak dari orang tua mereka;
b. Suami atau istri yang beriktikad baik, kecuali terhadap harta bersama,
bila pembatalan perkawinan itu didasarkan atas adanya perkawinan lain
yang lebih dahulu;
30
c. Juga terhadap pihak ketiga yang beriktikad baik, pembatalan
perkawinan tidak berlaku surut. Oleh karena itu, segala ikatan hukum
bidang keperdataan yang diperbuat Oleh suami istri sebelum
perkawinannya dibatalkan adalah sah baik terhadap harta bersama
maupun terhadap harta kekayaan pribadi masing-masing.
D. Anak Luar kawin
1. Pengertian Anak Luar Kawin
Anak di luar kawin adalah anak yang dilahirkan oleh seorang
perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan
yang sah dengan pria yang, menyetubuhinya. Sedangkan pengertian di luar
kawin adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat
melahirkan keturunan, sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan
perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya
(Manan, 2006, 81).
Menurut Kitab Undang-Undang Pidana Pasal 284 juncto Kitab
Undang-Undang Perdata Pasal 27 bahwa seseorang dapat dikatakan telah
berbuat zina jika salah seorang atau kedua-duanya sedang terikat oleh
perkawinan dengan yang lain, sehingga ikatan perkawinan merupakan unsur
yang menentukan seseorang dapat melakukan zina atau tidak. Hal ini sangat
berbeda dengan konsep zina menurut hukum Islam. Berdsarkan terminologi
Islam perbuatan zina tidak hanya ditentukan oleh keadaan bahwa si laki-laki
atau si perempuan sedang berstatus menikah dengan perempuan atau laki-
laki lain, namun setiap hubungan suami istri yang dilakukan oleh pasangan
31
yang tidak dalam ikatan perkawinan, terlepas apakah ia sedang berstatus
menikah dengan yang lain atau masih berstatus perjaka dan gadis, tetap
dianggap zina (Witanto, 2012, 71-72).
Dalam praktik hukum perdata pengertian anak luar kawin ada dua
macam, yaitu:
a. Apabila orang tua salah satu atau keduanya masih terikat dengan
perkawinan lain, kemudian mereka melakukan hubungan seksual
dengan wanita atau pria lain yang mengakibatkan hamil dan melahirkan
anak, maka anak tersebut dinamakan anak zina, bukan anak luar kawin
b. Apabila orang tua anak di luar kawin itu masih sama-sama bujang,
mereka mengadakan hubungan seksual dan hamil serta melahirkan
anak, maka anak itu disebut anak di luar nikah.
Dalam komplikasi hukum Islam di Indonesia yang diatur dalam
Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama
Nomor : 154/1991 disebutkan bahwa seorang wanita hamil di luar nikah
hanya dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Menurut Hukum
Perdata (Burgerlijke Wetboek) dinamakan natuur lijk kind (anak alam).
Anak luar kawin itu dapat diakui oleh ayah atau ibunya.
Anak sah adalah anak yang lahir dalam perkawinan yang sah. Kata
dalam perkawinan mengindikasikan adanya toleransi hukum kepada anak
yang lahir di dalam perkawinan yang sah, dengan konsepsi terjadinya
sebelum perkawinan. Dalam hal ini, undang-undang tidak memberikan
batas waktu minimal usia kehamilan, seperti halnya yang ada di dalam
32
hukum perdata Islam. Hal ini mengandung pengertian bahwa selama bayi
yang dikandung lahir pada saat ibu dalam ikatan perkawinan yang sah, maka
anak tersebut adalah anak sah (Rofiq, 1997, 220).
2. Kedudukan anak luar kawin
Sebagai salah satu konsekuensi dari perkawinan yang sah akan
menimbulkan akibat hukum, seperti hak dan kewajiban suami istri, harta
perkawinan, hubungan timbal balik antara kedua orang tua dengan anak
(nasab), kewajiban pemeliharaan anak (hadhanah), dan kewarisan. Salah
satu akibat dari perkawinan yang sah, anak yang dilahirkan dari pernikahan
tersebut adalah sah, memiliki hubungan keperdataan secara sempurna
dengan kedua orang tuanya, sebagaimana ketentuan Pasal 42 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Prinsip pengaturan tentang anak luar kawin dalam hubungan
kekeluargaan dengan ayah dan ibunya mendapat pengaruh yang sangat
besar dari asas perkawinan monogami yang dianut oleh Pasal 27 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi “Pada waktu yang sama
seorang laki-laki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang
perempuan saja dan satu orang perempuan hanya dengan satu orang laki-
laki saja”.
Dan asas pengakuan mutlak sebagaimana diatur dalam Pasal 280
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “Dengan pengakuan
terhadap anak diluar kawin terlahirlah hubungan perdata antara anak itu
dengan ayah atau ibunya”
33
Memang terasa aneh karena ada kemungkinan seorang anak secara
yuridis mereka tidak mempunyai ayah maupun ibunya tidak atau lalai
melakukan pengakuan terhadap anak luar kawinnya.
Adapun status hukum anak yang dilahirkan di luar perkawinan
sebagai unifikasi dalam bidang Hukum Perkawinan Nasional yang
tercantum di dalam Pasal 43 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Pekawinan, yang berbunyi “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya atau
keluarga ibunya”.
Ini berarti anak tersebut mempunyai suatu pertalian kekeluargaan
dengan akibat-akibatnya, terutama hak mewaris, jadi hampir sama dengan
status kekeluargaan dengan anak sah, hanya perbedaannya anak luar kawin
tersebut tidak ada hubungannya dengan ayahnya (Soimin, 2002, 41).
Kedudukan anak luar kawin di dalam kompilasi hukum Islam tidak
berbeda dengan yang telah ditetapkan oleh Pasal 100 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Pekawinan sebelum adanya perubahan.
Bunyi pasal tersebut adalah “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Oleh sebab itu kedudukan anak luar kawin berbeda dengan anak
sah, anak luar kawin hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan
keluarga ibunya, dan anak luar kawin juga tidak memiliki hak-hak materil
dan moril yang semestinya harus diperoleh oleh seorang anak dari ayahnya,
34
seperti hak pemeliharaan, hak nafkah, hak perwalian nikah bagi anak
perempuan, dan hak saling mewarisi ketika terjadi kematian.
3. Pengakuan anak luar kawin
Perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada anak luar kawin
sebagaimana tersebut di atas agar terlepas dari beban kehidupan yang berat
adalah dengan jalan pengakuan, pengesahan, dan pengangkatan. Sementara
peraturan pemerintah sebagaimana yang tersebut dalam Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang akan mengatur tentang nasib
anak di luar kawin sampai saat ini belum diterbitkan. Dalam rangka
unifikasi hukum yang bertolak kepada wawasan Nusantara dan wawasan
Bhineka Tunggal Ika, maka sebaiknya perlu dipikirkan tentang lembaga
pengakuan dan pengesahan anak di luar kawin guna menaikkan harkat dan
martabatnya sebagai manusia ciptaan Allah SWT.
Menurut Erna Sofwan Syukrie, sebagaimana dikutip oleh Abdul
Manan, pengakuan anak dalam pengertian formil adalah merupakan suatu
bentuk pemberian keterangan dari seorang pria yang menyatakan pengakuan
terhadap anak-anaknya. Sedangkan menurut pengakuan materil yang
dimaksud pengakuan anak adalah merupakan perbuatan hukum untuk
menimbulkan hubungan kekeluargaaan anatara anak dengan yang
mengakuinya tanpa mempersoalkan siapa yang membuahi atau
membenihkan wanita yang melahirkan anak tersebut (Manan, 2006, 84).
Untuk memperoleh status hubungan antara ayah, ibu dan anak yang
lahir diluar nikah, maka anak tersebut harus diakui oleh ayah dan ibunya.
35
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak
menjelaskan secara rinci tentang pengakuan anak di luar kawin. Hanya
dijelaskan bahwa anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang tidak sah dan ia hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibu yang melahirkannya atau keluarga ibunya.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia juga tidak menjelaskan
tentang pengakuan anak secara rinci dan lengkap. Senada dengan yang
tersebut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
ditegaskan dalam beberapa pasal tentang kedudukan anak di luar nikah.
Dalam Pasal 100 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan disebutkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan dengan ibunya dan keluarga ibunya (Manan, 2006,
89).
Dalam Pasal 281 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan
ada tiga cara untuk mengakui anak luar kawin, yaitu:
a. Di dalam akta kelahiran anak yang bersangkutan
b. Di dalam akta perkawinan
c. Di dalam akta autentik
Dalam Praktik Hukum Perdata, cara yang sering dimuat adalah
pengakuan oleh seorang ayah yang namanya disebutkan dalam akta
kelahiran anak yang bersangkutan. Pengakuan seperti ini diberikan oleh
ayah yang bersangkutan pada waktu melaporkan kelahiran anaknya.
Sedangkan cara yang kedua dilaksanakan dengan cara melaksanakan
36
perkawinan sah antara wanita yang hamil itu dengan pria yang
membuahinya sekaligus mengakui anak luar kawinnya. Yang diakui disini
adalah anak luar kawin yang sudah dilahirkan dan pada waktu melaporkan
kelahiran belum diberikan pengakuan oleh ayahnya (Manan, 2006, 89).
4. Hak Keperdataan Anak Luar Kawin Setelah Terjadi Pengakuan
Akibat hukum dari pengakuan anak luar kawin antara lain adalah
terjadinya hubungan perdata antara si anak luar kawin dengan bapak dan ibu
yang mengakuinya sehingga menimbulkan kewajiban timbal balik dalam
hal pemberian nafkah, perwalian, hak memakai nama, mewaris, dan
sebagainya. Terhadap perlakuan ini setiap orang yang berkepentingan dapat
menggugat atas pengakuan anak tersebut, hanya orang yang mengakui
sendiri tidak dapat menggugat atas pengakuan yang sudah diberikan.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VIII/2010
menerangkan bahwasannya seorang anak yang lahir di luar kawin
mempunyai hak keperdataan dengan ibu dan ayah biologisnya terlepas dari
sah atau tidaknya status perkawinan kedua orang orang tuanya. Hak
keperdataan yang diperoleh adalah hak keperdataan yang tidak berhubungan
dengan fikih Islam seperti hak pembiayaan dan pendidikan. Hal tersebut
berbeda dengan hak perdata anak sah yang bisa memperoleh keseluruhan,
seperti perwalian, waris, dan lain-lain tanpa adanya pembatasan.
37
BAB III
PENETAPAN 040/Pdt.P/2017/PA.Sal PENGADILAN AGAMA
SALATIGA TENTANG ASAL USUL ANAK DARI
PERNIKAHAN FASID
B. DESKRIPSI PENETAPAN NOMOR 040/Pdt.P/2017/PA.Sal
7. Identitas Para Pihak
Permohonan asal usul anak ini diajukan oleh oleh Sri Pamuji Eko Sudarko
bin Zaenal Yasin, umur 52 tahun, agama Islam, pekerjaan PNS Dokter, tempat
tinggal Waturumpuk, RT 01, RW 01, Kelurahan Kauman Kidul, Kecamatan
Sidorejo, Kota Salatiga, sebagai Pemohon 1.
Dan Ony Suciati binti Sardjono, umur 41 tahun, agama Islam, pekerjaan
PNS, tempat tinggal di Waturumpuk RT.01 RW. 01 Kelurahan Kauman Kidul
Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga, sebagai Pemohon 2.
Selanjutnya Pemohon 1 dan Pemohon 2 disebut sebagai Para Pemohon.
8. Dasar Tuntutan / Posita
Bahwa Para Pemohon mengajukan surat permohonan Asal Usul Anak pada
tanggal 5 Mei 2017 yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Salatiga
dengan Nomor 0040/Pdt.P/2017/PA.Sal tanggal 5 Mei 2017, Para Pemohon
mengajukan hal-hal sebagai berikut :
a. Bahwa Pemohon 1 dan Pemohon 2 telah melangsungkan perkawinan
menurut agama Islam pada tanggal 17 Januari 2013 di Desa Candirejo
Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang dengan wali nikah ayah
kandung Pemohon 2 yaitu Bapak Sardjono bin Ahmat Asmui umur 64
38
tahun alamat Candiwesi RT.03 RW.04 Desa Bugel Kecamatan
Sidorejo Kota Salatiga dengan dibimbing oleh Alm. Kyai Mawahib
dan disaksikan oleh Bayu Ar Taufik bin Sunoto umur 44 tahun alamat
Kemiri Barat No. 35 Kota Salatiga dan Suwarto bin Suwardi umur 65
tahun alamat Desa Reksosari Rt.10 Rw.1 Kecamatan Suruh
Kabupaten Semarang dengan mas kawin seperangkat alat sholat;
b. Bahwa dalam perkawinan tersebut Pemohon 1 dan Pemohon 2 telah
melakukan hubungan selayaknya suami istri dan telah dikaruniai
seorang anak laki laki bernama Dewangga Yudhistira Alvaronizam
yang lahir pada tanggal 5 September 2013 di Rumah Sakit Mitra Setia
Ungaran;
c. Bahwa atas kelahiran anak tersebut tidak dapat dibuatkan akte
kelahirannya, karena perkawinan Pemohon 1 dan Pemohon 2 sampai
anak tersebut lahir belum dicatatkan di Kantor Urusan Agama.
d. Bahwa selanjutnya Pemohon 1 dan Pemohon 2 mencatatkan
perkawinan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Sidorejo Kota
Salatiga pada tanggal 13 Februari 2017 dan mendapatkan Kutipan
Akta Nikah Nomor: 0039/007/11/2017, namun demikian adanya akta
nikah tersebut tidak dapat dijadikan dasar dikeluarkannya akta
kelahiran anak Pemohon 1 dan Pemohon 2 yang lahir pada 5
September 2013.
e. Bahwa Pemohon 1 dan Pemohon 2 sangat membutuhkan penetapan
Pengadilan tentang asal usul anak tersebut sebagai dasar
39
dikeluarkannya akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan, dan
Pemohon 1 dan Pemohon 2 sanggup mengajukan bukti bukti tentang
asal usul anak tersebut.
9. Tuntutan/ Petitum
Bahwa oleh karena itu Pemohon 1 dan Pemohon 2 mengajukan
Permohonan Penetapan Asal Usul Anak ini ke Pengadilan Agama Salatiga
dan mohon agar dijatuhkan penetapan yang amarnya sebagai berikut :
a. Mengabulkan permohonan Pemohon 1 dan Pemohon 2;
b. Menetapkan anak bernama Dewangga Yudhistira Alvaronizam yang
lahir tanggal 5 September 2013 adalah anak Pemohon 1 dan Pemohon
2;
c. Memerintahkan Pegawai Pencatat Kelahiran/Kantor Catatan Sipil
Kota Salatiga untuk mengeluarkan akta kelahiran anak tersebut;
Menimbang, bahwa pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan,
Para Pemohon telah hadir sendiri di persidangan, lalu pemeriksaan
dilanjutkan dengan membacakan surat Permohonan tersebut yang isinya
tetap dipertahankan oleh Para Pemohon.
10. Alat Bukti
Menimbang, dalam hal untuk memperkuat dalil permohonannya,
Para Pemohon telah mengajukan bukti-bukti surat berupa :
a. Fotokopi Surat Keterangan Kependudukan atas nama Pemohon 1
Nomor : 3373/SKT/20170427/00127 tanggal 27 April 2017, yang
40
dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten
Semarang, Bukti surat tersebut telah diberi materai cukup dan telah
dicocokkan dengan aslinya, yang ternyata sesuai, lalu oleh Ketua
Majelis diberi tanda P.1;
b. Fotokopi Surat Keterangan Kependudukan atas nama Pemohon 2
Nomor : 3373/SKT/20170427/00129 tanggal 27 April 2017, yang
dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten
Semarang, Bukti surat tersebut telah diberi materai cukup dan telah
dicocokkan dengan aslinya, yang ternyata sesuai, lalu oleh Ketua
Majelis diberi tanda P.2;
c. Fotokopi Surat Keterangan Lahir anak Pemohon 1 dan Pemohon 2
Nomor 42/IX/2013 tanggal 05 September 2013, yang dikeluarkan oleh
RS Mitra Setia. Bukti surat tersebut telah diberi materai cukup dan
telah dicocokkan dengan aslinya, yang ternyata sesuai, lalu oleh Ketua
Majelis diberi tanda P.3;
d. Fotokopi Kartu Keluarga atas nama Pemohon 1 Nomor :
3373011004170002 tanggal 28 April 2017, yang dikeluarkan oleh
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Semarang, bukti
surat tersebut telah diberi materai cukup dan telah dicocokkan dengan
aslinya, yang ternyata sesuai, lalu oleh Ketua Majelis diberi tanda P.4;
Di samping bukti surat-surat tersebut Para Pemohon juga
mengajukan 2 orang saksi sebagai berikut :
41
a. SAKSI 1 bernama Suwarto bin Suwadi, berumur 68 tahun, agama Islam,
bekerja sebagai Karyawan swasta, berkediaman di Dusun Dawangan, RT.10,
RW.1, Desa Reksosari, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang. Dihadapan
sidang saksi tersebut memberikan keterangan di bawah sumpahnya yang
pada pokoknya sebagai berikut:
1) Bahwa saksi kenal dengan para Pemohon karena sebagai tetangga
dekat Pemohon 1;
2) Bahwa para Pemohon mengajukan permohonan asal-usul anak,
anak para Pemohon yang pertama yang bernama Dewangga
Yudhistira Alvaronizam lahir tanggal 5 September 2013 sebelum
Pemohon 1 menikah resmi dengan Pemohon 2 di Kantor Urusan
Agama Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga pada tanggal 13
Februari 2017;
3) Bahwa saksi mengetahui pernikahan Para Pemohon sebelum
menikah resmi, Para Pemohon menikah pada bulan Januari 2013
secara agama islam dengan wali ayah kandung Pemohon 2
bernama Sardjono dengan diwakilkan kepada Pak Kyai Mawahib
dengan mas kawin berupa seperangkat alat sholat dan disaksikan
oleh 2 orang saksi, yaitu saya sendiri Suwarto bin Suwadi dan
Bayu Ar Taufiq bin Sunoto;
4) Bahwa Pemohon 1 dan Pemohon 2 selama ini tidak pernah
bercerai dan tidak pernah keluar dari agama islam;
42
5) Bahwa status Pemohon 1 saat itu adalah duda cerai sedang
Pemohon 2 adalah Janda Cerai;
b. SAKSI 2 bernama Bayu Ar Taufiq bin Sunoto, berumur 45 tahun, agama
Islam, bekerja sebagai petani, berkediaman di Kemiri Barat Nomor 35,
Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, dihadapan sidang
saksi tersebut memberikan keterangan dibawah sumpahnya yang pada
pokoknya sebagai berikut :
1) Bahwa saksi kenal dengan para Pemohon karena sebagai tetangga
dekat Pemohon 1;
2) Bahwa para Pemohon mengajukan permohonan asal-usul anak,
anak para Pemohon yang pertama yang bernama Dewangga
Yudhistira Alvaronizam lahir tanggal 5 September 2013 sebelum
Pemohon I menikah resmi dengan Pemohon 2 di Kantor Urusan
Agama Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga pada tanggal 13
Februari 2017;
3) Bahwa saksi mengetahui pernikahan Para Pemohon sebelum
menikah resmi, Para Pemohon menikah pada bulan Januari 2013
secara agama islam dengan wali ayah kandung Pemohon 2
bernama Sardjono dengan diwakilkan kepada Pak Kyai Mawahib
dengan mas kawin berupa seperangkat alat sholat dan disaksikan
oleh 2 orang saksi, yaitu saya sendiri Suwarto bin Suwadi dan
Bayu Ar Taufiq bin Sunoto;
43
4) Bahwa Pemohon 1 dan Pemohon 2 selama ini tidak pernah
bercerai dan tidak pernah keluar dari Agama Islam;
11. Pertimbangan Hukum Para Majelis Hakim
Setelah semua bukti surat dan saksi yang dihadirkan oleh Para
Pemohon di depan persidangan, Para Majelis Hakim memiliki beberapa
pertimbangan yang berupa :
a. Bahwa status Pemohon 1 saat itu adalah duda cerai sedang Pemohon
2 adalah Janda Cerai;
b. Bahwa berdasarkan pengakuan Pemohon 2, Pemohon 2 bercerai
dengan suami pertama di hadapan sidang Pengadilan Agama Salatiga
dan putus pada tanggal 16 Januari 2013, dalam keadaan ba’da
dukhul;
c. Bahwa terhadap surat bukti dan keterangan para saksi tersebut, Para
Pemohon menyatakan tidak lagi mengajukan pertanyaan maupun
pernyataan apapun dan Para Pemohon memohon penetapan;
d. Bahwa untuk mempersingkat uraian penetapan ini, maka ditunjuk
berita acara pemeriksaan perkara ini;
e. Bahwa maksud dan tujuan permohonan Para Pemohon adalah
sebagaimana diuraikan di atas;
f. Bahwa Para Pemohon mendasarkan permohonannya pada tanggal 5
Mei 2017 adalah guna mendapatkan Penetapan Asal Usul Anak
terhadap satu orang anaknya yang bernama orang anak bernama
Dewangga Yudhistira Alvaronizam, dikarenakan Para Pemohon
44
kesulitan dalam mengurus akta kelahiran anak tersebut, karena anak
tersebut lahir sebelum Para Pemohon melaksanakan nikah ulang
secara resmi dan tercatat di Kantor Urusan Agama Kecamatan
Sidorejo Kota Salatiga;
g. Bahwa berdasarkan bukti P.1 dan P.2 yang berupa fotocopi Surat
Keterangan Penduduk, yang telah dibubuhi materai cukup dan telah
dicocokan dengan surat aslinya, ternyata cocok, maka telah terbukti
bahwa Pemohon 1 dan Pemohon 2 bertempat tinggal di wilayah
hukum Pengadilan Agama Salatiga, maka Majelis Hakim
berpendapat bahwa permohonan Pemohon 1 dan Pemohon 2 telah
diajukan sesuai pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 7 tahun 1989, sehingga permohonan Para Pemohon
dapat diterima untuk dipertimbangkan lebih lanjut;
h. Bahwa bukti P.3, berupa fotokopi yang telah bermaterai cukup,
dinazegelen, dilegalisir, dan dicocokkan dengan aslinya, maka telah
terbukti bahwa pada tanggal 5 September 2013 telah lahir seorang
anak laki-laki dari ibu yang bernama Ony Suciati (Pemohon 2) dan
ayah yang bernama Pamuji Eko (Pemohon 1);
i. Bahwa berdasarkan bukti P.4 yang berupa fotokopi Kartu Keluarga
yang telah dibubuhi materai cukup dan telah dicocokan dengan surat
aslinya, ternyata cocok, dan dihubungkan dengan bukti P.3 maka
telah terbukti bahwa anak yang bernama Dewangga Yudhistira
Alvaronizam adalah anak Pemohon 1 dan Pemohon 2;
45
j. Bahwa terhadap permohonan Pemohon 1 dan Pemohon 2 tentang
Asal Usul Anak maka Majelis perlu mempertimbangkan terlebih
dahulu keabsahan nikah antara Pemohon 1 dan Pemohon 2;
k. Bahwa berdasarkan pengakuan Pemohon 2 serta dihubungkan
dengan keterangan saksi-saksi di persidangan bahwa pada saat
menikah, status Pemohon 2 adalah janda cerai;
l. Bahwa karena status Pemohon 2 adalah janda cerai maka disamping
harus memenuhi rukun dan syarat yang lain, harus pula diketahui
dengan jelas apakah saat menikah Pemohon 2 masih dalam masa
iddah atau sudah habis masa iddah;
m. Bahwa berdasarkan pengakuan Pemohon 2, Pemohon 2 cerai dengan
suami pertama pada tanggal 16 Januari 2013 dan Pemohon 2
menikah dengan Pemohon 1 pada tanggal 17 Januari 2013;
n. Bahwa masa tunggu bagi seorang janda berdasarkan ketentuan Pasal
153 Huruf b Kompilasi Hukum Islam, “Apabila perkawinan putus
karena perceraian waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3
(tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari,
dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari”;
o. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 40 Huruf b Kompilasi Hukum
Islam “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dengan wanita karena keadaan tertentu yaitu seorang wanita yang
masih berada dalam masa iddah dengan pria lain”;
46
p. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka telah
ditemukan fakta bahwa Pemohon 2 saat menikah dengan Pemohon 1
masih dalam masa iddah yang mana dilarang untuk melakukan
perkawinan dengan pria lain, dengan demikian perkawinan yang
dilakukan Pemohon 1 dan Pemohon 2 pada tanggal 17 Januari 2013
adalah tidak sah;
q. Bahwa meskipun perkawinan antara Pemohon 1 dan Pemohon 2
tidak sah namun karena dalam perkawinan itu telah melahirkan
seorang anak bernama Dewangga Yudhistira Alvaronizam dan secara
hukum harus mendapatkan perlindungan maka untuk kepastian
hukum perlu ditetapkan sebagai anak biologis dari Pemohon 1 dan
Pemohon 2;
r. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010 tanggal 27 Februari 2010, Pasal 43 Ayat 1 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang
menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”,
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai
menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah
sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan
47
ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya
yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya” ;
s. Bahwa pertimbangan Majelis Hakim tersebut di atas sejalan
dengan dalil fiqhiyah yang tercantum dalam Kitab Al Fiqh Al
Islami Wa Adillatuhu Jilid 7 halaman 690 karya Wahbah Az
Zuhaili sebagai berikut :
أو كان الزواج الصحيح أو الفسيد سبب إلثبات النسب. و طريق لثبوته فاسدا
زواجا عرفيا يف الواقع، فمىت ثبت الزواج ولو كان، أي منعقدا بطريق عقد
يت به املرأة خاص دون سجيل يف سجالت الزواج الرمسية، ثبت نسب كل ما
من أوالد.
Artinya : Pernikahan, baik yang sah maupun yang fasid adalah
merupakan sebab untuk menetapkan nasab di dalam suatu
kasus. Maka apabila telah nyata terjadi suatu pernikahan,
walaupun pernikahan itu fasid (rusak) atau pernikahan yang
dilakukan secara adat, yang terjadi dengan cara-cara akad
tertentu (tradisional) tanpa didaftarkan di dalam akta pernikahan
secara resmi, dapatlah ditetapkan bahwa nasab anak yang
48
dilahirkan oleh perempuan tersebut sebagai anak dari suami isteri
(yang bersangkutan)”;
t. Bahwa berdasarkan perimbangan-pertimbangan tersebut, maka
permohonan Para Pemohon tersebut dapat dikabulkan dan anak
tersebut ditetapkan sebagai anak biologis Pemohon 1 dan Pemohon
2;
u. Bahwa dengan dikabulkan permohonan Para Pemohon tersebut,
maka sesuai ketentuan Pasal 103 Ayat 3 Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, Penetapan ini dapat dijadikan sebagai dasar hukum bagi
Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Salatiga, untuk
menerbitkan akta kelahiran dari anak dimaksud;
v. Bahwa perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan, maka
menurut Pasal 89 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989,
biaya perkara ini dibebankan kepada Para Pemohon;
12. Amar Penetapan
Memperhatikan, pasal-pasal dari ketentuan peraturan perundang-
undangan dan dalil-dalil fiqhiyah lainnya yang berhubungan dengan
perkara ini, kemudian Majelis Hakim mengadili dengan Amar sebagai
berikut :
a. Mengabulkan permohonan para Pemohon;
49
b. Menetapkan anak yang bernama Dewangga Yudhistira Alvaronizam
lahir pada tanggal 5 September 2013 adalah anak dari Pemohon 1
dan Pemohon 2;
c. Membebankan kepada para Pemohon untuk membayar biaya
perkara ini yang hingga kini dihitung sebesar Rp. 241.000,00- (Dua
ratus empat puluh satu ribu rupiah).
Demikian putusan ini dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama
Salatiga pada hari Rabu tanggal 7 Juni 2017 M, bertepatan dengan tanggal 12
Ramadlon 1438 H. Dalam permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Agama
Salatiga oleh Majelis Hakim Drs. H. Anwar Rosidi, sebagai Hakim Ketua
Majelis, Drs. H. Salim, S.H., M.H dan Drs. Moch. Rusdi, M.H, masing-masing
sebagai Hakim Anggota, putusan yang mana pada hari itu juga telah dibacakan
dalam persidangan yang terbuka untuk umum oleh Ketua Majelis tersebut
didampingi para Hakim Anggota dan dibantu oleh Dra. Hj. Siti Zulaikhah,
sebagai Panitera Pengganti dengan dihadiri Pemohon 1 dan Pemohon 2.
Kemudian penetapan ini telah mempunyai kekuatan hukum tetap sejak tanggal 22
Juni 2017.
Dan untuk melengkapi Penetapan di atas penulis melakukan
wawancara dengan bapak Salim,M.H. majelis hakim yang menangani
perkara tersebut. Hasil wawancara itu adalah sebagai berikut tidak perlu tes
DNA karena kedua orang tua / Pemohon 1 dan Pemohon 2 mengakui
bahwa anak tersebut adalah anak Pemohon 1 dan Pemohon 2
Bahwa sebelum mengajukan permohonan Asal usul anak tersebut
Pemohon 1 dan Pemohon 2 mengajukan permohonan Isbat nikah, dan
50
ditolak dikarenakan Pemohon 2 bercerai dengan suami sebelumnya dan
putus pada 16 Januari 2013 dan kemudian menikah lagi dengan Pemohon
1 pada 17 Januari 2013, dan majelis hakim menganggap bahwa perceraian
tersebut belum inkracht van gewijsde / berkekuatan hukum tetap, maka
Pemohon 2 ketika itu belum dianggap bercerai dengan suami yang lama.
Dan dikarenakan Pemohon 2 masih dianggap berstatus istri yang sah dari
suami yang lama, maka terdapat larangan menikah dalam pernikahan
Pemohon 1 dan Pemohon 2 (Salim, wawancara, 27 Juli 2018).
51
BAB IV
PERTIMBANGAN HUKUM MAJELIS HAKIM DALAM
PENETAPAN NOMOR 040/Pdt.P/2017/PA.Sal
A. Keabsahan Pernikahan Para Pemohon
Sebelum penulis membahas tentang keabsahan anak Para Pemohon,
penulis ingin sedikit menganalisa pernikahan Para Pemohon. Bahwa
Pemohon 1 dan Pemohon 2 telah melangsungkan perkawinan menurut agama
Islam pada tanggal 17 Januari 2013 di Desa Candirejo Kecamatan Tuntang
Kabupaten Semarang dengan wali nikah ayah kandung Pemohon 2 yaitu
Bapak Sardjono bin Ahmat Asmui umur 64 tahun alamat Candiwesi RT.03
RW.04 Desa Bugel Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga dengan dibimbing oleh
Alm. Kyai Mawahib dan disaksikan oleh Bayu Ar Taufik bin Sunoto umur 44
tahun alamat Kemiri Barat No. 35 Kota Salatiga dan Suwarto bin Suwardi
umur 65 tahun alamat Desa Reksosari Rt.10 Rw.1 Kecamatan Suruh,
Kabupaten Semarang dengan mas kawin seperangkat alat sholat.
Bahwa berdasarkan pengakuan Pemohon 2 serta dihubungkan dengan
keterangan saksi-saksi di persidangan bahwa pada saat menikah status
Pemohon 2 adalah janda cerai dan dikarenakan status Pemohon 2 adalah
janda cerai maka harus diketahui dengan jelas apakah saat menikah Pemohon
2 masih dalam masa iddah atau sudah habis masa iddah.
Dalam Pasal 153 Huruf b Kompilasi Hukum Islam, “Apabila
perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi yang masih haid
52
ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh)
hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari”.
Sedangkan Pemohon 2 cerai dengan suami pertama pada tanggal 16 Januari
2013, kemudian Pemohon 2 menikah dengan Pemohon 1 pada tanggal 17
Januari 2013. Pasal 40 Huruf b Kompilasi Hukum Islam “Dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan wanita karena
keadaan tertentu yaitu seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah
dengan pria lain”. Didasari pertimbangan atas pasal tersebut maka telah
ditemukan fakta bahwa Pemohon 2 saat menikah dengan Pemohon 1 masih
dalam masa iddah yang mana dilarang untuk melakukan perkawinan dengan
pria lain, dengan demikian perkawinan yang dilakukan Pemohon 1 dan
Pemohon 2 pada tanggal 17 Januari 2013 adalah tidak sah.
Perkawinan yang tidak sah dianggap sabagai pernikahan yang rusak
atau fasid (Salim dan Rusdi, Wawancara, 15 Maret 2019). Suatu ibadah
dikatakan Batil adalah ketika sesuatu ibadah yang rukunnya tidak lengkap,
akan tetapi ibadah dikatakan Fasid adalah sesuatu ibadah yang beberapa
syaratnya belum terpenuhi. Seperti pada kasus Para Pemohon diatas, bahwa
Para Pemohon menganggap pernikahan mereka adalah sah, dikarenakan
mereka sudah melaksanakan akad nikah dengan rukun yang lengkap, akan
tetapi karena ketidaktahuan Para Pemohon, sehingga mereka tidak
mengetahui jikalau ada beberapa syarat yang belum mereka penuhi, yakni
belum terpenuhinya masa iddah bagi Pemohon 2.
53
B. Keabsahan Anak Para Pemohon
1. Menurut Pasal 7 Ayat 1 Undang Undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Bahwa dikatakan dalam Pasal 7 Ayat 1 Undang Undang Nomor
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak “Setiap anak berhak untuk
mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya
sendiri”. Dan dijelaskan juga dalam penjelasan atas Pasal tersebut
ketentuan mengenai hak anak untuk mengetahui siapa orang tuanya,
dalam arti asal usulnya (termasuk ibu susunya), dimaksudkan untuk
menghindari terputusnya silsilah dan hubungan darah antara anak dengan
orang tua kandungnya sedangkan hak untuk dibesarkan dan diasuh orang
tuanya, dimaksudkan agar anak dapat patuh dan menghormati orang
tuanya.
Dan penulis berpendapat bahwa anak adalah pilar utama dalam
pembangunan suatu bangsa, dan anak merupakan generasi penerus dari
orang tuanya. Oleh sebab itu anak harus dilindungi, diawasi, dan diberi
perlindungan dengan sebaik-baiknya terutama dari oratua kandungnya
agar anak tersebut bisa tumbuh dan berkembang dengan baik demi
terciptanya suatu Negara yang baik dan bermartabat apabila anak tersebut
menjadi pemimpin di kemudian hari nanti. Dan untuk
menumbuhkembangkan anak dengan baik, seseorang anak memerlukan
orang tua untuk mendidiknya dan memberi perlindungan terhadap anak
tersebut agar mereka tetap tumbuh dan berkembang dengan semestinya.
54
Dan diperlukan sosok kedua orang tua untuk mengasuh anak
tersebut, serta memberi pengawasan ekstra terhadap lingkungan yang
kurang baik. Karena banyak sekarang terjadi kenakalan remaja di
lingkungan kita pada saat ini. Hal ini terjadi disebabkan oleh karena
berkurangnya pengawasan yang diberikan oleh Orang taunya. Tanpa
adanya pengawasan yang ketat terhadap anak dan memberikan pendidikan
yang baik kepada anak, maka anak akan bergabung dengan komunitas-
komunitas yang terlarang dan dengan demikian akan menggelapkan
kehidupan anak. Oleh karena itu sangat penting peran orang tua bagi
seorang anak, terutama anak yang masih dalam masa belajar dan
berkembang.
2. Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Tanggal tanggal 27 Februari 2010
Bahwa Penulis mengutip dari Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tanggal tanggal 27 Februari 2010, Pasal 43
Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang
menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan
perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata
mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
55
Dalam putusan tersebut dikatakan bahwa Pasal 43 Ayat 1 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan itu tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat sepanjang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Yang dimaksud
ilmu pengetahuan dan teknologi mungkin bisa dimaknai dengan tes DNA
(deoxyribose nucleic acid) atau tes terhadap suatu asam nukleat yang
menyimpan segala informasi biologis yang unik dari setiap makhluk
hidup. Akan tetapi dikatakan juga dalam Putusan MK tersebut “dapat
dibuktikan dengan alat bukti lain menurut hukum”, dan alat bukti yang
diatur dalam Pasal 164 HIR/ 284 RBg. 1866 KUHPerdata terdiri atas:
a. Alat bukti tertulis (surat)
b. Alat bukti saksi
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah
Dalam penetapan Nomor 040/Pdt.P/2017/PA.Sal majelis hakim
tidak memerintahkan Para Pemohon untuk melakukan tes DNA,
dikarenakan Para Pemohon mengakui bahwa anak bernama Dewangga
Yudhistira Alvaronizam adalah anak biologis dari Pemohon 1 dan
Pemohon 2. Pada dasarnya pengakuan dari Para Pemohon itu sudah
mengikat, akan tetapi majelis hakim membutuhkan juga keterangan dari
56
saksi. Dan setelah mendapatkan Pengakuan dari Para Pemohon dan Saksi
akhirnya muncullah persangkaan hakim/pendapat hakim.
3. Pendapat Prof. Wahbah Az Zuhayli
Beliau Prof. Wahbah Az Zuhayli berpendapat bahwa ada beberapa
cara menentukan/ menetapkan nasab yakni:
الزواج الصحيح أو الفسيد سبب إلثبات النسب.أ
a. Melalui Pernikahan Sah Atau Fasid
Pernikahan yang sah atau fasid merupakan salah satu cara atau
dasar yang sangat kuat dan dianggap sah untuk menetapkan nasab
seorang anak kepada kedua orangtuanya sekalipun pernikahan dan
kelahiran anak itu tidak didaftarkan secara resmi pada instansi terkait
(Az-Zuhaili,Vol.7,1987,690).
لنسب أو ادعاء الولد.ب اإلقرار
b. Melalui Pengakuan atau Gugatan Terhadap Anak
Pengakuan terhadap nasab dibagi menjadi 2 macam
yakni:
1) Pengakuan Anak untuk Diri Sendiri
Pengakuan anak dengan cara ini dilaksanakan secara
langsung, misalnya si Fulan mengatakan “bahwa anak itu adalah
anakku”. Jika pernyataan ini memenuhi ketentuan yang telah
57
ditetapkan oleh hukum Islam, maka anak tersebut menjadi anak sah
bagi yang mengakuinya. Ketentuan tersebut adalah :
a) Anak yang menyampaikan pengakuan itu tidak jelas nasabnya.
Apabila ayahnya dari si anak tersebut tidak diketahui.
Apabila ayah dari si anak tersebut diketahui, maka pengakuan
dianggap batal, karena Rasulullah SAW melaknat seseorang
yang mengakui dan menjadikan anak orang lain bernasab
dengannya.
Dalam sebuah hadist telah dikatakan :
عليه وسلم يـقول من عت النيب صلى ا عنه قال مس عن سعد رضي ا
ر أبيه فاجلنة عليه حرام ادعى إىل غري أبيه وهو يـع لم أنه غيـ
“Dari Sa’ad RA berkata, Aku mendengar RasulullahSAW berkata : Barang siapa menisbatkan dirinya kepada selainayah kandungnya padahal ia mengetahui bahwa itu bukanlahayah kandungnya, maka diharamkan baginya surga”.
b) Pengakuan itu logis.
Maksudnya adalah seseorang yang mengaku ayah dari
anak tersebut, Usianya terpaut cukup jauh dari anak yang diakui
sebagai nasabnya. Demikian pula apabila seseorang mengakui
nasab seorang anak tetapi kemudian datang lelaki lain yang
mengakui nasab anak tersebut. Dalam kasus seperti ini terdapat
dua pengakuan, sehingga hakim perlu meneliti tentang siapa
58
yang berhak terhadap anak dimaksud (Az-
Zuhaili,Vol.7,1987,691).
c) Apabila anak itu telah baligh dan berakal (menurut jumhur
ulama) atau telah mumayiz (menurut ulama mazhab Hanafi)
maka anak tersebut membenarkan pengakuan laki-laki tersebut.
Akan tetapi, syarat ini tidak terima ulama dari kalangan mazhab
Maliki, karena menurut mereka, nasab merupakan hak dari anak,
bukan ayah (Az Zuhaili,Vol.7,1987,691).
d) Lelaki yang mengakui nasab anak tersebut harus menegaskan
bahwa ia bukan anak dari hasil perzinaan, karena perzinaan
tidak bisa menjadi dasar penetapan nasab anak (Az-Zuhaili,
Vol.7,1987, 691).
ج. البينة
c. Melalui Pembuktian
Alat bukti adalah hal menentukan nasab adalah berupa
kesaksian, dimana status kesaksian ini lebih kuat daripada sekadar
pegakuan, sebab kesaksian sebagai alat bukti selalu melibatkan orang
lain sebagai penguat (Az-Zuhayli,Vol.7,1987,692). Sedangkan dalam
pengakuan belum tentu didukung oleh orang lain, yang akibatnya
pengakuan tersebut tidak kuat dan masih mungkin dibatalkan oleh
adanya alat bukti berupa saksi yang benar.
59
4. Pendapat Dr. Nurul Irfan
Dr. Nurul Irfan dalam bukunya “Nasab dan Status Anak dalam
Hukum Islam” menambahkan lagi satu cara dalam menetapkan nasab
yakni dengan cara :
a. Melalui Perkiraan (Qiyafah) Atau Undian (Qur’ah)
Penetapan nasab melalui perkiraan (qiyafah) ini masih
diperselisihkan oleh para ulama. Pengertian qiyafah secara etimologi
berarti menelusuri jejak, adapun secara terminologi upaya
menghubungkan nasab seseorang atas dasar kemiripan sifat, rupa atau
warna kulit, dengan menggunakan ilmu atau cara-cara
tertentu(Irfan,2013,109). Cara penetapan nasab seperti ini dibenarkan
berdasarkan hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim sebagai berikut:
ها دخل علي مسرورا رسول هللا صلى هللا عليه وسلمإن عن عائشة رضي هللا عنـ
رق أسارير وجهه فـقال آنفا إىل زيد بن حارثة وأسامة بن زيد أمل تـرى أن جمززا نظر تـبـ
قال أبـو عيسى هذا حديث حسن صحيح فـقال هذه األقدام بـعضها من بـعض
نة هذا احلديث عن الزهري عن عروة عن عائشة و أمل تـر أن زاد فيه وقد روى ابن عيـيـ
جمززا مر على زيد بن حارثة وأسامة بن زيد قد غطيا رءوسهما وبدت أقدامهما
فـقال إن هذه األقدام بـعضها من بـعض
60
Dari Aisyah berkata, suatu hari Rasulullah SAW masuk ke
rumahku dalam keadaan gembira seraya berkata wahai Aisyah apakah
kamu tahu Mujazziz Al-Mudallaji yang masuk dan melihat Usamah
serta Zaid (anak dan bapak), keduanya menutup kepalanya dengan kain
beludru, tetapi kaki keduanya kelihatan, maka Nabi berkata,
sesungguhnya kaki-kaki ini sebagiannya merupakan bagian dari yang
lain. (HR.Muttafaq Alaih)
Berkaitan dengan penafsiran di atas, Al-Asqalani dan Al-
Baghawi mengatakan bahwa pada umumnya masyarakat ketika itu
meragukan Usamah itu benar-benar anak kandung Zaid, sebab Zaid
mempunyai kulit yang sangat putih sementara Usamah, anak
kandungnya berkulit hitam legam. Kabar tentang keraguan masyarakat
ini sampai didengar oleh Rasulullah melalui Mujazziz Al-Mudallaji dan
ketika itu sikap Rasulullah justru bergembira, tidak mengelak, dan
menyangkal tentang kebenaran berita itu (Al-Asqalani. Vol.12, 57).
Keceriaan wajah Nabi SAW dan sikap beliau yang tidak
menyangkal ini dijadikan dalil oleh jumhur ulama yang terdiri dari
Imam Asy-Syafi’I, Imam Malik, Imam Ahmad, Abu Tsaur, dan Al-
Auza’i bahwa qiyafah (penentuan nasab berdasarkan keserupaan sifat
rupa atau warna antara anak dengan ayah), bisa dibenarkan. Akan
tetapi, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa persengketaan nasab
anak yang dialami oleh dua orang hanya dapat diselesaikan atas dasar
hadis al-wald lil firasy tidak bisa hanya sekadar melalui qiyafah (Az-
61
Zuhayli,Vol.7,1987,680). Pendapat Imam Abu Hanifah ini sangat ketat
dan tegas. Boleh jadi hal ini dikemukakan oleh beliau dalam rangka
agar terjadi langkah yang hatifhati dan supaya terdapat upaya
pengetatan dalam masalah klaim hubungan nasab antara anak dengan
ayah kandungnya. Sebab masalah nasab ini pasti akan berimplikasi
pada berbagai hak keperdataan Islam lain yang meliputi hak memiliki
hubungan nasab itu itu sendiri, hak perwalian, hak nafkah, dan hak
kewarisan.
Sedangkan argumentasi utama yang dijadikan sandaran oleh
jumhur ulama pada saat mereka bersepakat menganggap metode
qiyafah sebagai salah satu cara menetapkan nasab adalah sikap ceria
dan gembira Rasulullah SAW ketika mendengar cerita Mujazziz Al-
Mudallaji, salah seorang ahli dalam bidang menelusuri nasab anak,
tentang Usamah bin Zaid dan Zaid bin Haritsah yang mana antara
keduanya, bapak dan anak sangat berlainan warna kulitnya. Keceriaan
sikap Nabi sebagai dalil hukum ini tampaknya tidak bisa dipungkiri
oleh jumhur ulama, sebab di antara tiga kategori hadis Nabi adalah
taqrir, atau sikap beliau yang juga bisa dijadikan sebagai dalil dalam
penetapan status hukum sesuatu.
Dalam masalah ini, Khalil Ahmad(Irfan,2013,105), menjelaskan
bahwa sikap gembira Rasulullah di atas, mengandung dua pengertian,
bisa jadi beliau merestui dengan ucapan Mujazziz Al-Mudallaji, sebagai
seorang penelusur nasab yang merupakan ketentuan pasti bahwa
62
Usamah memang benar-benar anak Zaid, di samping itu sikap Nabi
juga bisa berarti penolakan terhadap anggapan masyarakat jahiliyah
yang berupaya membatalkan nasab Usamah kepada Zaid. Oleh sebab
itu, kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat.
Lebih lanjut ia uraikan, bahwa adanya metode qiyafah dalam
menetapkan nasab ini tidak lain justru menodai risalah Nabi yang
ajarannya didasarkan atas Wahyu Illahi. Kalau sekiranya cara ini
memang disyariatkan, berarti pensyariatan li’an dalam Alquran hanya
sia-sia, sebab dalam qiyafah aspek terpenting yang ditonjolkan hanya
unsur kesamaan antara anak dengan bapak atau saudara. Sehingga kalau
antara keduanya ada kesamaan, maka jelas bahwa ketika suami
melakukan li’an terhadap istrinya dalam keadaan berdusta, yang
akibatnya ia harus dihukum hadd karena menuduh zina, tetapi kalau
antara keduanya tidak ada kemiripan, maka berarti istri terbukti berzina
dan harus dikenai hukuman hadd zina.
Di samping metode qifayah dalam persoalan persengketaan
nasab ini juga dikenal metode undian atau qur’ah. Akan tetapi, Ibnu Al-
Qoyyim mengatakan bahwa undian ini sebagai cara paling akhir, ketika
benar-benar tidak bisa ditempuh melalui pengakuan, pembuktian, atau
perkiraan (Al-Qoyyim, Vol.3, 121). Jadi ketika masih bisa ditempuh
dengan metode lain maka metode qur’ah ini harus dihindari, sebab cara
ini bersifat spekulatif yang jauh dari indikasi kea rah kebenaran. Dan
dalil yang berkenaan dengan metode undian ini adalah berikut :
63
ليمن وقعوا على امرأة يف عن زيد بن أرقم قال أيت على رضى هللا عله بثالثة وهو
طهر واحد فسأل اثـنني أتقران هلا هلذا قاال ال حىت سأهلم مجيعا فجعل كلما سأل
لذي صارت عليه القرعة وجعل عليه ثـلثي اثنني قاال ال فأقرع بينهم فأحلق الولد
الدية قال فذكر ذلك للنيب صلى هللا عليه وسلم فضحك حىت بدت نواجذه
Dari Zaid bin Arqam, berkata Ali Radhiyallahu anhu ketika ada
di Yaman pernah didatangi tiga orang laki-laki yang sama-sama
menyetubuhi seorang wanita dalam satu kali masa suci, maka Ali
bertanya kepada dua orang di antara mereka, apakah kalian berdua
mengakui bayi ini? mereka menjawab tidak, sampai akhirnya Ali
bertanya kepada ketiga-tiganya, setiap kali Ali bertanya kepada dua
orang di antara mereka selalu menjawab tidak sehingga akhimya Ali
mengundi mereka dan menasabkan anak bayi tersebut dengan salah
seorang yang mendapatkam undian tersebut dan membebananinya 2/3
diyat. Zaid bin Arqam berkata bahwa hal itu diceritakan kepada Nabi
SAW sehingga beliau tertawa sampai kelihatan gigi gerahamnya. (HR.
Abu Dawud dan An-Nasa'i) (An-Nasa’i, Hadist Nomor 3488).
64
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari berbagai uraian penetapan Pengadilan Agama Salatiga Nomor
040/Pdt.P/2017/PA.Sal. tentang Asal Usul Anak, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Dalam memutuskan perkara asal usul anak tersebut, hakim Pengadilan
Agama Salatiga telah menyatakan bahwa pernikahan antara Pemohon 1
dan Pemohon 2 adalah fasid, dikarenakan Gugatan cerai Pemohon 2
dengan suami pertama putus pada 16 Januari 2013, dan Putusan tersebut
Berkekuatan Hukum Tetap pada tanggal 1 Februari 2013, akan tetapi
Pemohon 1 menikahi Pemohon 2 pada 17 Januari 2017 dan bukan
dihadapan Pegawai Pencatat Nikah. Dan ini sudah melanggar Larangan
Pernikahan yang terdapat pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan Juncto Pasal 40 Kompilasi Hukum Islam.
2. Dan perkara Nomor 040/Pdt.P/2017/PA.Sal tersebut di atas dikabulkan
dengan pertimbangan hukum yakni putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 tanggal 27 Februari 2010, Pasal 43 Ayat 1 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan dalil fiqhiyah
yang tercantum dalam kitab Al Fiqh Al Islami Wa Adillatuhu karya
Wahbah Az Zuhaili jilid 7 halaman 690.
65
3. Dan anak yang bernama Dewangga Yudhistira Alvaronizam adalah anah
sah Pemohon I dan Pemohon II, oleh karenanya dalam identitas
Dewangga Yudhistira Alvaronizam sudah dapat mencantumkan kata
“bin” Pemohon I, (Dewangga Yudhistira Alvaronizam bin Sri Pamuji
Eko Sudarko) dan sudah bisa dibuatkan Akta Kelahiran atas anak
tersebut dan disebutkan di dalam Akta Kelahiran tersebut bahwa anak
bernama Dewangga Yudhistira Alvaronizam adalah anak dari ayah Sri
Pamuji Eko Sudarko dan Ibu Ony Suciati.
B. SARAN
1. Kepada seluruh penghulu non-Pegawai Pencatat Nikah diharapkan
memperhatikan rukun dan syarat para calon mempelai terlebih dahulu,
agar tidak timbul masalah yang lebih besar di kemudian hari. Namun
alangkah lebih baik lagi jika pernikahan tersebut dilaksanakan sesuai
undang-undang yang berlaku. Yakni dengan dicatatkan di Pegawai
Pencatat Nikah yang berwenang.
2. Kepada Yang Mulia Majelis Hakim, diharapkan untuk kedepan lebih
teliti dalam penulisan penetapan dan putusan, sehingga tidak terjadi
kesalahan dalam penulisan para pihak, saksi, dan unsur lain yang
terdapat pada suatu putusan atau penetapan.
66
DAFTAR PUSTAKA
Abdul kadir, Muhammad. 2000. Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung: Citra
Aditya Bakti
Al-Asqolani, Ahmad Ali bin Hajar, 842 H. Fath Al Bari fi Syarh Al Bukhori,
Mesir : Maktabah As Salafiyyah.
Al Jauziyyah, Ibnu Al Qoyyim, 1987. Zad Al Ma’ad, Beirut : Muassasah Ar-
Risalah.
Ali, Zainuddin, 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
Az Zuhayli, Wahbah, 1987, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, Damaskus : Dar Al-
Fikr.
Bunyamin, Mahmudin & Hermanto, Agus. 2017. Hukum Keluarga Islam.
Bandung : CV Pustaka Setia.
Harahap, M. Yahya .1975. Hukum Perkawinan Nasional. Medan : Zahir Trading
Hathout, Hassan. 2004. Panduan Seks Islami, cet.ke-1. Jakarta : Pustaka Zahra.
Irfan, Nurul. 2013. Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, Jakarta : Amzah
Pers.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online), https://kbbi.kemdikbud.go.id.
Kemenag RI, 2011. Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Widya Cahaya.
Khusen, Moh. 2011. Pembaharuan Hukum Keluarga di Negara Muslim. Salatiga :
Stain Salatiga Press.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia.
67
Manan, Abdul. 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group.
Mertokusumo, Sudikno, 2008. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta :
Sinar Grafika.
Mertokusumo, Sudikno, 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:
Liberty
Mughniyah, Muhammad Jawad, 2006. Fiqih Lima Madzhab, Jakarta : Lentera
Basritama.
Musawwamah‚ Siti. 2012. Laporan Riset dengan Judul “Pro-Kontra Atas Putusan
Mahkamah Konstitusi Tentang Pengesahan Hubungan Keperdataan Anak
Luar Kawin Dengan Ayah Biologis” : STAIN Pamekasan.
Nasa’I, Imam, 915 M. Sunan An Nasa’I, Depok : Gema Insani.
Rofiq, Ahmad, 1997. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, cet.ke-3. Jakarta : UI-
Press.
Sudarsono. 2005. Hukum Perkawinan Nasional, cet.ke-3. Jakarta : Rineka Cipta.
Syarifuddin, Amir, 2002. Meretas Kebekuan Ijtihad Isu-Isu Penting Hukum Islam
Kontemporer di Indonesia, Cet.ke-1. Jakarta : Ciputat Pers.
Syarifuddin, Amir, 2006. Hukum perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta : Kencana.
68
Syarifudin, Amir, 2009. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Putra
Grafika.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak.
Widyaningsih, Rika Wahyu. 2015. Skripsi dengan judul “Analisis Yuridis
Terhadap Hak Keperdataan Anak Hasil Pernikahan Sirri Di Masa Iddah:
Studi Penetapan 0132/PDT.P/2013/PA.JBG” : UIN Sunan Ampel
Surabaya.
69
LAMPIRAN
PENETAPAN
Nomor 040/Pdt.P/2017/PA.Sal
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Salatiga yang mengadili perkara tertentu pada tingkat
pertama telah menjatuhkan penetapan seba gai berikut dalam perkara permohonan
Asal Usul Anak yang diajukan oleh :
Sri Pamuji Eko Sudarko bin Zaenal Yasin, umur 52 tahun, agama Islam,
pekerjaan PNS Dokter, tempat tinggal Waturumpuk, RT 01,
RW 01, Kelurahan Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo, Kota
Salatiga, sebagai Pemohon I;
Ony Suciati binti Sardjono, umur 41 tahun, agama Islam, pekerjaan PNS, tempat
tinggal di Waturumpuk RT.01 RW. 01 Kelurahan Kauman
Kidul Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga, sebagai Pemohon
II;
Pengadilan Agama tersebut;
Setelah membaca berkas perkaranya:
Telah mendengar keterangan Pemohon I dan Pemohon II;
Setelah memeriksa alat bukti surat dan saksi-saksi di persidangan;
TENTANG DUDUK PERKARA
Menimbang, bahwa para Pemohon mengajukan surat permohonan Asal
Usul Anak tanggal 5 Mei 2017 yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama
70
Salatiga dengan Nomor 0040/Pdt.P/2017/PA.Sal tanggal 5 Mei 2017, mengajukan
hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa Pemohon 1 dan Pemohon 11 telah melangsungkan perkawinan
menurut agama islam pada tanggal 17 Januari 2013 didesa Candi dengan
wali nikah ayah kandung Pemohon 11 yaitu bapak Sardjono bin Ahmat
Asmui umur 64 th alamat Candiwesi rt 03 rw 04 Desa Bugel dengan
dibimbing oleh alm kyai mawahib dan disaksikan oleh Bayu Artaufik bin
Sunoto umur 44 th alamat kemiri barat no 35 Salatiga dan Suwarto bin
Suwardi umur 65 th alamat Reksosari Suruh Rt 10 Rw 1 Suruh dengan
mas kawin seperangkat alat sholat.
2. Bahwa dalam perkawinan tersebut Pemohon 1 dan Pemohon 11 telah
melakukan hubungan selayaknya suami istri dan telah dikaruniai seorang
anak laki laki bernama Dewangga Yudhistira Alvaronizam yang lahir pada
tanggal 5 september 2013 diRumah Sakit Mitra Setia Ungaran;
3. Bahwa atas kelahiran anak tersebut tidak dapat dibuatkan akte
Kelahirannya, karena Perkawinan Pemohon 1 dan Pemohon 11 sampai
anak tersebut lahir belum dicatatkan di Kantor Urusan Agama;
4. Bahwa selanjutnya Pemohon 1 dan Pemohon 11 mencatatkan perkawinan
di KUA Sidorejo Salatiga pada tanggal 13 Februari 2017 dengan
mendapatkan Kutipan Akta Nikah Nomor : 0039 / 007/11/2017,Namun
demikian adanya akta nikah tersebut tidak dapat dijadikan dasar
dikeluarkannya akta kelahiran anak Pemohon 1 dan Pemohon 11 yang
lahir pada 5 september 2013;
71
5. Bahwa Pemohon 1 dan Pemohon 11 sangat membutuhkan penetapan
Pengadilan tentang asal usul anak tersebut sebagai dasar dikeluarkannya
akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan, dan Pemohon 1 dan Pemohon
11 sanggup mengajukan bukti bukti tentang asal usul anak tersebut
Bahwa oleh karena itu Pemohon 1 dan Pemohon 11 mengajukan
Permohonan Penetapan Asal Usul Anak ini ke Pengadilan Agama Salatiga dan
mohon agar dijatuhkan penetapan sebagai berikut :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon 1 dan Pemohon 11;
2. Menetapkan anak bernama Dewangga Yudhistira Alvaronizam yang lahir
tanggal 5 september 2013 adalah anak Pemohon 1 dan Pemohon 11;
3. Memerintahkan Pegawai Pencatat Kelahiran/Kantor Catatan Sipil Kota
Salatiga untuk mengeluarkan Akta Kelahiran anak tersebut;
Menimbang, bahwa pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan, Para
Pemohon telah hadir sendiri di persidangan, lalu pemeriksaan dilanjutkan dengan
membacakan surat Permohonan tersebut yang isinya tetap dipertahankan oleh Para
Pemohon ;
Menimbang, bahwa untuk memperkuat dalil Permohonannya, para
Pemohon telah mengajukan bukti-bukti surat berupa :
1. Fotokopi Surat Keterangan Kependudukan atas nama Pemohon I Nomor :
3373/SKT/20170427/00127 tanggal 27 April 2017, yang dikeluarkan oleh
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Semarang, Bukti surat
tersebut telah diberi materai cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya, yang
ternyata sesuai, lalu oleh Ketua Majelis diberi tanda P.1;
72
2. Fotokopi Surat Keterangan Kependudukan atas nama Pemohon II Nomor :
3373/SKT/20170427/00129 tanggal 27 April 2017, yang dikeluarkan oleh
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Semarang, Bukti surat
tersebut telah diberi materai cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya, yang
ternyata sesuai, lalu oleh Ketua Majelis diberi tanda P.2;
3. Fotokopi Kartu Keluarga atas nama Pemohon I Nomor : 3373011004170002
tanggal 28 April 2017, yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Kabupaten Semarang, Bukti surat tersebut telah diberi materai
cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya, yang ternyata sesuai, lalu oleh
Ketua Majelis diberi tanda P.3;
4. Fotokopi Surat Keterangan Lahir anak Pemohon I dan Pemohon II Nomor
42/IX/2013 tanggal 05 September 2013, yang dikeluarkan oleh RS Mitra
Setia. Bukti surat tersebut telah diberi materai cukup dan telah dicocokkan
dengan aslinya, yang ternyata sesuai, lalu oleh Ketua Majelis diberi tanda P.2;
Menimbang, bahwa disamping surat-surat tersebut para Pemohon
mengajukan saksi-saksi sebagai berikut :
1. SAKSI 1, Suwarto bin Suwadi, umur 68 tahun, agama Islam, pekerjaan
swasta, tempat kediaman di Dusun Dawangan, RT 10, RW 1, Desa
Reksosari, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang; Dihadapan sidang
saksi tersebut memberikan keterangan dibawah sumpahnya yang pada
pokoknya sebagai berikut :
- Bahwa saksi kenal dengan para Pemohon karena sebagai tetangga
dekat Pemohon I;
73
- Bahwa para Pemohon mengajukan permohonan asal-usul anak, anak
para Pemohon yang pertama yang bernama DEWANGGA
YUDHISTIRA ALVARONIZAM lahir tanggal 5 September 2013
sebelum Pemohon I menikah resmi dengan Pemohon II di Kantor
Urusan Agama Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga pada tanggal 13
Pebruari 2017;
- Bahwa saksi mengetahui pernikahan para Pemohon sebelum menikah
resmi, para Pemohon menikah pada bulan Januari 2013 secara Agama
Islam dengan wali ayah kandung Pemohon II bernama SARDJONO
dengan diwakilkan kepada pak Kyai Mawahib dengan mas kawin
berupa seperangkat alat sholat dan disaksikan oleh 2 orang saksi,
yaitu saya sendiri Suwarto bin Suwadi dan Bayu Ar Taufiq bin
Sunoto;
- Bahwa Pemohon I dan Pemohon II selama ini tidak pernah bercerai
dan tidak pernah keluar dari Agama Islam;
- Bahwa status Pemohon I saat itu adalah duda cerai sedang Pemohon II
adalah Janda Cerai;
2. SAKSI 2, Bayu Ar Taufik, umur 45 tahun, agama Islam, pekerjaan tani,
tempat kediaman di Kemiri Barat Nomor 35, Kelurahan Salatiga,
Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga Dihadapan sidang saksi tersebut
memberikan keterangan dibawah sumpahnya yang pada pokoknya sebagai
berikut :
74
- Bahwa saksi kenal dengan para Pemohon karena sebagai tetangga
dekat Pemohon I;
- Bahwa para Pemohon mengajukan permohonan asal-usul anak, anak
para Pemohon yang pertama yang bernama DEWANGGA
YUDHISTIRA ALVARONIZAM lahir tanggal 5 September 2013
sebelum Pemohon I menikah resmi dengan Pemohon II di Kantor
Urusan Agama Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga pada tanggal 13
Pebruari 2017;
- Bahwa saksi mengetahui pernikahan para Pemohon sebelum menikah
resmi, para Pemohon menikah pada bulan Januari 2013 secara Agama
Islam dengan wali ayah kandung Pemohon II bernama SARDJONO
dengan diwakilkan kepada pak Kyai Mawahib dengan mas kawin
berupa seperangkat alat sholat dan disaksikan oleh 2 orang saksi,
yaitu saya sendiri Suwarto bin Suwadi dan Bayu Ar Taufiq bin
Sunoto;
- Bahwa Pemohon I dan Pemohon II selama ini tidak pernah bercerai
dan tidak pernah keluar dari Agama Islam;
Menimbang bahwa status Pemohon I saat itu adalah duda cerai sedang
Pemohon II adalah Janda Cerai;
Menimbang bahwa berdasarkan pengakuan Pemohon II bercerai dengan
suami pertama pada bulan Januari 2013, dalam keadaan ba’da dukhul;
75
Menimbang, bahwa terhadap surat bukti dan keterangan para saksi tersebut
para Pemohon menyatakan tidak lagi mengajukan sesuatu apapun dan mohon
penetapan;
Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian penetapan ini, maka
ditunjuk Berita Acara pemeriksaan perkara ini;
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Para Pemohon adalah
sebagaimana diuraikan di atas;
Menimbang, bahwa Para Pemohon mendaftarkan permohonannya pada
tanggal 5 Mei 2017 adalah guna mendapatkan Penetapan Asal Usul Anak terhadap
satu orang anaknya yang bernama orang anak bernama : DEWANGGA
YUDHISTIRA ALVARONIZAM , Para Pemohon kesulitan dalam mengurus
Akta Kelahiran anak tersebut, karena anak tersebut lahir sebelum Para Pemohon
melaksanakan nikah ulang secara resmi dan tercatat di Kantor Urusan Agama
Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.1 dan P.2 yang berupa fotocopy
Surat Keterangan Penduduk, yang telah dibubuhi materai cukup dan telah
dicocokan dengan surat aslinya, ternyata cocok, maka telah terbukti bahwa
Pemohon I dan Pemohon II bertempat tinggal di Wilayah Hukum Pengadilan
Agama Salatiga, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa permohonan Pemohon
I dan Pemohon II telah diajukan sesuai pasal 49 ayat (1) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1989, sehingga permohonan Pemohon dapat
diterima untuk dipertimbangkan lebih lanjut;
76
Menimbang, bahwa bukti P.3, berupa fotokopi yang telah bermaterai
cukup, dinasegeln, dilegalisir, dan dicocokkan dengan aslinya, maka telah terbukti
bahwa pada tanggal 5 September 2013 telah lahir seorang anak laki-laki dari ibu
yang bernama Ony Suciati (Pemohon II) dan ayah yang bernama Pamuji Eko
(Pemohon I);
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.4 yang berupa fotocopy Kartu
Keluarga yang telah dibubuhi materai cukup dan telah dicocokan dengan surat
aslinya, ternyata cocok, dan dihubungkan dengan bukti P.3 maka telah terbukti
bahwa anak yang bernama DEWANGGA YUDHISTIRA ALVARONIZAM
adalah anak Pemohon I dan Pemohon;
Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon I dan Pemohon II
tentang asal usul anak maka Majelis perlu mempertimbangkan terlebih dahulu
keabsahan nikah antara Pemohon I dan Pemohon II;
Menimbang bahwa berdasarkan pengakuan Pemohon II serta dihubungkan
dengan keterangan saksi-saksi di persidangan bahwa pada saat menikah status
Pemohon II adalah janda cerai;
Menimbang bahwa karena status Pemohon II adalah janda cerai maka
disamping harus memenuhi rukun dan syarat yang lain, harus pula diketahui
dengan jelas apakah saat menikah Pemohon II masih dalam masa iddah atau sudah
habis masa iddah;
Menimbang bahwa berdasarkan pengakuan Pemohon II , Pemohon II cerai
dengan suami pertama pada bulan Januari 2013 dan Pemohon II menikah dengan
Pemohon I juga pada bulan Januari 2013;
77
Menimbang bahwa masa tunggu bagi seorang janda berdasarkan ketentuan
KHI pasal 153 (b) “Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu
bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90
(sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh)
hari;
Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan KHI pasal 40 (b) “Dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan wanita karena keadaan
tertentu yaitu seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria
lain;
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka telah
ditemukan fakta bahwa Pemohon II saat menikah dengan Pemohon I masih dalam
masa iddah yang mana dilarang untuk melakukan perkawinan dengan pria lain,
dengan demikian perkawinan yang dilakukan Pemohon I dan Pemohon II pada
tanggal 17 Januari 2013 adalah tidak sah;
Menimbang bahwa meskipun perkawian antara Pemohon I dan Pemohon
II tidak sah namun karena dalam perkawinan itu telah melahirkan seorang anak
bernama DEWANGGA YUDHISTIRA ALVARONIZAM dan secara hukum
harus mendapatkan perlindungan maka untuk kepastian hukum perlu ditetapkan
sebagai anak biologis dari Pemohon I dan Pemohon II;
Menimbang bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor
46/PUU-VIII/2010 tanggal 27 Februari 2010, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan, “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
78
ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga
ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki
sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya” ;
Menimbang, bahwa pertimbangan Majelis Hakim tersebut di atas
sejalan dengan dalil fiqhiyah yang tercantum dalam kitab Al Fiqh Al Islami wa
Adillatuhu jilid V halaman 690 sebagai berikut :
ق لثبوته فاسدا أو كان زواجا عرفيا يف الزواج الصحيح أو الفسيد سبب إلثبات النسب. و طري
الواقع، فمىت ثبت الزواج ولو كان، أي منعقدا بطريق عقد خاص دون سجيل يف سجالت
يت به املرأة من أوالد .الزواج الرمسية، ثبت نسب كل ما
Artinya : Pernikahan, baik yang sah maupun yang fasid adalah
merupakan sebab untuk menetapkan nasab di dalam suatu
kasus. Maka apabila telah nyata terjadi suatu pernikahan,
walaupun pernikahan itu fasid (rusak) atau pernikahan yang
dilakukan secara adat, yang terjadi dengan cara-cara akad
tertentu (tradisional) tanpa didaftarkan di dalam akta
pernikahan secara resmi, dapatlah ditetapkan bahwa nasab anak
79
yang dilahirkan oleh perempuan tersebut sebagai anak dari
suami isteri (yang bersangkutan)”;
Menimbang, bahwa berdasarkan perimbangan-pertimbangan tersebut,
maka permohonan Para Pemohon tersebut dapat dikabulkan dan anak tersebut
ditetapkan sebagai anak biologis Pemohon I dan Pemohon II;
Menimbang, bahwa dengan dikabulankan permohonan Para Pemohon
tersebut, maka sesuai ketentuan pasal 103 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, Penetapan ini dapat dijadikan sebagai dasar hukum bagi Kantor
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Salatiga, untuk menerbitkan akta kelahiran
dari anak dimaksud ;
Menimbang, bahwa perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan, maka
menurut pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, biaya perkara ini
dibebankan kepada Para Pemohon ;
Memperhatikan, pasal-pasal dari ketentuan peraturan perundang-undangan
dan dalil-dalil fiqhiyah lainnya yang berhubungan dengan perkara ini.--
MENGADILI
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon;
2. Menetapkan anak yang bernama DEWANGGA YUDHISTIRA
ALVARONIZAM lahir pada tanggal 5 September 2013 adalah anak dari
Pemohon I dan Pemohon II;
3. Membebankan kepada para Pemohon untuk membayar biaya perkara ini
yang hingga kini dihitung sebesar Rp. 241.000,00- (Dua ratus empat puluh
satu ribu rupiah).
80
Demikian putusan ini dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama
Salatiga pada hari Rabu tanggal 7 Juni 2017 M . bertepatan dengan tanggal 12
Ramadlon 1438 H. dalam permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Agama
Salatiga oleh kami Drs. H. ANWAR ROSIDI, sebagai Hakim Ketua Majelis, Drs.
H. SALIM, S.H., M.H dan Drs. MOCH. RUSDI, M.H, masing-masing sebagai
Hakim Anggota, putusan mana pada hari itu juga dibacakan dalam persidangan
yang terbuka untuk umum oleh Ketua Majelis tersebut didampingi para Hakim
Anggota dan dibantu oleh Dra. Hj. SITI ZULAIKHAH, sebagai Panitera
Pengganti dengan dihadiri Pemohon I dan Pemohon II;
Hakim Ketua Majelis,
ttd
Drs. H. ANWAR ROSIDI
Hakim Anggota I,
ttd
Drs. H. SALIM, S.H., M.H
Hakim Anggota II,
ttd
Drs. MOCH. RUSDI, M.H
Panitera Pengganti
ttd
Dra. Hj. Siti Zulaikhah
81
Perincian Biaya :
1. Biaya Pendaftaran Rp. 30.000,00
2. Biaya Proses Rp. 50.000,00
3. Biaya Panggilan Rp. 150.000,00
4. Biaya Redaksi Rp. 5.000,00
5. Biaya Materai Rp. 6.000,00
Jumlah Rp. 241.000,00
(Dua ratus empat puluh satu ribu rupiah)
Untuk salinan yang sama bunyinyaOleh
Pengadilan Agama SalatigaPanitera
Drs. H. Mahadi