artikel hhi

5
Menanti Pembentukan Badan HAM ASEAN Posted on November 22, 2009 - Filed Under Artikel Hukum Internasional | ASEAN Charter_Empat Dekade Pembentukan ASEAN Setelah 40 tahun pembentukan ASEAN yaitu sejak berdirinya 8 Agustus 1967 empat dekade lalu yang dibentuk berdasar Deklarasi Asean (Asean Declaration), sekarang Asean sudah memiliki Piagam Asean (Asean Charter). Secara resmi Piagam Asean ditandatangani pada KTT Asean ke-13 di Singapura, 20 November 2007. Sepuluh kepala negara dan pemerintahan hadir dan bertekad untuk memajukan organisasi Asean sebagai organisasi yang solid dan tangguh. Komitmen untuk lebih memberdayakan komunitas Asean telah dicapai pada Bali Concord II Tahun 2003 yang mengikrarkan adanya komunitas Asean, yaitu komunitas keamanan (Asean security community); komunitas ekonomi (Asean economic community); dan komunitas sosial- budaya (Asean soci-cultural community). Piagam Asean terdiri atas 13 bab dan 55 pasal. Untuk efektifitas keberlakuannya, Piagam Asean Bab XIII Pasal 47 ayat (2) mengamanatkan kepada semua negara anggota ASEAN untuk menandatangani dan meratifikasinya sesuai dengan mekanisme internal masing-masing (This charter shal be subject to ratification by all Asean Members States in accordance with their respective internal procedures). 15 Desember 2008 akhirnya ASEAN Charter diratifikasi oleh 10 negara ASEAN dan Indonesia adalah negara terakhir yang meratifikasi ASEAN Charter yaitu dengan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tanggal 6 November 2008. dengan diratifikasinya ASEAN Charter oleh semua anggota ASEAN tersebut maka ASEAN Charter berlaku dan mengikat bagi semua negara ASEAN dan selanjutnya asosiasi negara-negara Asia Tenggara ini telah menjadi satu entitas dan organisasi antar pemerintah yang memiliki personalitas hukum (legal personality) tersendiri. Badan HAM ASEAN Harapan Baru Perlindungan HAM Dalam pembukaan (Preambule) ASEAN Charter yang telah disepakati, negara-negara ASEAN diamanatkan untuk mematuhi penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental. Pernyataan tersebut secara eksplisit dijabarkan dalam Pasal 2 ayat (2i) bahwa salah satu prinsip ASEAN adalah menghormati dan memajukan upaya perlindungan HAM di kawasan Asean. Prinsip ini mengisyaratkan bahwa ASEAN harus berperan nyata dalam menjaga kesinambungan kawasan ASEAN dalam memberikan pemajuan dan perlindungan HAM. Untuk mendukung upaya itu, Pasal 14 Piagam Asean menegaskan, “…in conformity with the purposes and principles of the Asean Charter relating to the promotion and protection of human rights and fundamental freedoms, Asean shall establish an Asean human rights body. Sehingga, pembentukan Badan HAM ASEAN merupakan hal yang harus dilakukan sebagai “ujung tombak” dalam mewujudkan tujuan dan prinsip-prinsip ASEAN tersebut. ASEAN Charter tersebut seakan membawa ”angin segar” bagi Negara-negara ASEAN dalam upaya perlindungan HAM dengan membentukan badan HAM tingkat regional karena berbeda dengan negara Eropa, Amerika dan Afrika selama ini di tingkat regional negara Asia khususnya Asia Tenggara belum memiliki badan HAM tingkat regional. Selain itu Hal demikian karena sejak berdiri 42 tahun lalu, penegakan HAM di ASEAN hanya ditekankan untuk memajukan HAM. Barulah dalam piagam ini semua negara akhirnya menyepakati bahwa penegakan HAM harus juga mencakup perlindungan HAM yang ditegaskan dalam Pasal 14 dengan membentuk suatu badan HAM untuk memajukan dan meningkatkan perlindungan HAM dan kebebasan-kebebasan dasar (fundamental freedoms). Dengan adanya klausul perlindungan sebagai prinsip kerja Badan HAM ASEAN maka para korban pelanggaran HAM diberi ruang untuk memperjuangkan penyelesaian kasusnya di forum regional. Kemungkinan para pelaku pelanggaran HAM lolos dari jerat hukum semakin sempit, walaupun mereka mungkin lolos dari jerat hukum di negara mereka, tapi belum tentu lolos di tingkat regional.

Upload: yhulhy-asih-setiati

Post on 04-Jul-2015

71 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: artikel HHI

Menanti Pembentukan Badan HAM ASEANPosted on November 22, 2009 - Filed Under Artikel Hukum Internasional |

ASEAN Charter_Empat Dekade Pembentukan ASEANSetelah 40 tahun pembentukan ASEAN yaitu sejak berdirinya 8 Agustus 1967 empat dekade lalu yang dibentuk berdasar Deklarasi Asean (Asean Declaration), sekarang Asean sudah memiliki Piagam Asean (Asean Charter). Secara resmi Piagam Asean ditandatangani pada KTT Asean ke-13 di Singapura, 20 November 2007. Sepuluh kepala negara dan pemerintahan hadir dan bertekad untuk memajukan organisasi Asean sebagai organisasi yang solid dan tangguh. Komitmen untuk lebih memberdayakan komunitas Asean telah dicapai pada Bali Concord II Tahun 2003 yang mengikrarkan adanya komunitas Asean, yaitu komunitas keamanan (Asean security community); komunitas ekonomi (Asean economic community); dan komunitas sosial-budaya (Asean soci-cultural community).Piagam Asean terdiri atas 13 bab dan 55 pasal. Untuk efektifitas keberlakuannya, Piagam Asean Bab XIII Pasal 47 ayat (2) mengamanatkan kepada semua negara anggota ASEAN untuk menandatangani dan meratifikasinya sesuai dengan mekanisme internal masing-masing (This charter shal be subject to ratification by all Asean Members States in accordance with their respective internal procedures). 15 Desember 2008 akhirnya ASEAN Charter diratifikasi oleh 10 negara ASEAN dan Indonesia adalah negara terakhir yang meratifikasi ASEAN Charter yaitu dengan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tanggal 6 November 2008. dengan diratifikasinya ASEAN Charter oleh semua anggota ASEAN tersebut maka ASEAN Charter berlaku dan mengikat bagi semua negara ASEAN dan selanjutnya asosiasi negara-negara Asia Tenggara ini telah menjadi satu entitas dan organisasi antar pemerintah yang memiliki personalitas hukum (legal personality) tersendiri.

Badan HAM ASEAN Harapan Baru Perlindungan HAMDalam pembukaan (Preambule) ASEAN Charter yang telah disepakati, negara-negara ASEAN diamanatkan untuk mematuhi penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental. Pernyataan tersebut secara eksplisit dijabarkan dalam Pasal 2 ayat (2i) bahwa salah satu prinsip ASEAN adalah menghormati dan memajukan upaya perlindungan HAM di kawasan Asean. Prinsip ini mengisyaratkan bahwa ASEAN harus berperan nyata dalam menjaga kesinambungan kawasan ASEAN dalam memberikan pemajuan dan perlindungan HAM. Untuk mendukung upaya itu, Pasal 14 Piagam Asean menegaskan, “…in conformity with the purposes and principles of the Asean Charter relating to the promotion and protection of human rights and fundamental freedoms, Asean shall establish an Asean human rights body. Sehingga, pembentukan Badan HAM ASEAN merupakan hal yang harus dilakukan sebagai “ujung tombak” dalam mewujudkan tujuan dan prinsip-prinsip ASEAN tersebut.ASEAN Charter tersebut seakan membawa ”angin segar” bagi Negara-negara ASEAN dalam upaya perlindungan HAM dengan membentukan badan HAM tingkat regional karena berbeda dengan negara Eropa, Amerika dan Afrika selama ini di tingkat regional negara Asia khususnya Asia Tenggara belum memiliki badan HAM tingkat regional. Selain itu Hal demikian karena sejak berdiri 42 tahun lalu, penegakan HAM di ASEAN hanya ditekankan untuk memajukan HAM. Barulah dalam piagam ini semua negara akhirnya menyepakati bahwa penegakan HAM harus juga mencakup perlindungan HAM yang ditegaskan dalam Pasal 14 dengan membentuk suatu badan HAM untuk memajukan dan meningkatkan perlindungan HAM dan kebebasan-kebebasan dasar (fundamental freedoms). Dengan adanya klausul perlindungan sebagai prinsip kerja Badan HAM ASEAN maka para korban pelanggaran HAM diberi ruang untuk memperjuangkan penyelesaian kasusnya di forum regional. Kemungkinan para pelaku pelanggaran HAM lolos dari jerat hukum semakin sempit, walaupun mereka mungkin lolos dari jerat hukum di negara mereka, tapi belum tentu lolos di tingkat regional.Upaya pembentukan badan HAM sampai sekarang masih dikerjakan oleh kelompok kerja yang bertugas untuk membuat kerangka acuan (terms of reference_TOR) tentang badan ini. Sampai saat ini pertemuan sudah dilaksanakan 12 kali menurut penuturan Muhammad Budiman sebagai wakil Indonesia dalam forum tersebut dan sudah dihasilkan TOR sementara. TOR pembentukan badan HAM ini direncanakan terbentuk pada Juli 2009 mendatang yang perundingannya akan dilaksanakan di Nyanmar. Masalah kemudian yang muncul ketika human rights body ini terbentuk adalah bagaimanakah Badan HAM ASEAN yang akan dibentuk dapat tetap memajukan dan melindungi HAM di ruang lingkup ASEAN sekaligus pada saat bersamaan mengakomodasi integritas dan kepentingan negara-negara ASEAN. Dilema ini sungguh berat mengingat hampir semua negara anggota ASEAN memiliki persoalan HAM. Myanmar dengan rejim militernya yang otoriter dan penindasan etnis minoritasnya (Rohingya, dll), Thailand dengan kekerasan dan konflik di Thailand Selatan (Patani Darussalam) dan sengketa perbatasan dengan Kamboja, Malaysia dengan masalah diskriminasi rasial dan pemberlakuan internal security act-nya, Kamboja dengan berlarut-larutnya peradilan terhadap mantan petinggi Khmer Merah, Philippina dengan berlarutnya konflik dan macetnya perdamaian di Moro-Mindanao, juga Indonesia yang memiliki masalah dengan kemiskinan, pengangguran, serta pemenuhan hak-hak ekonomi, kesehatan dan pendidikan warganya. Dari masalah HAM di atas bahkan telah melewati pintu ruang domestiknya karena skala pelanggaran dan kejahatan yang besar. Misalnya kasus Myanmar dan Kamboja. Myanmar dalam bentuk kekerasan politik dan penindasan etnis minoritas seperti Rohingya (yang tak diakui sebagai warganegara Myamar hingga kini) dan di Kamboja (dalam bentuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan pada era Pol Pot 1975 – 1979) adalah suatu pelanggaran berat HAM dan kejahatan internasional yang patut menjadi perhatian bersama yang tidak cukup diserahkan melalui mekanisme nasional saja. Namun kita masih punya harapan baru, semoga negosiator-negosiator kita ditingkat kelompok kerja ASEAN mampu memperjuangkan aspirasi seluruh rakyat ASEAN secara fair and adil dalam upaya pemajuan dan perlindungan HAM

Page 2: artikel HHI

Prinsip Pembedaan dalam HHI

Posted on November 28, 2010 - Filed Under Artikel Hukum Internasional |

PRINSIP PEMBEDAAN

PENGERTIAN

Prinsip pembedaan (Distinction Principle) merupakan suatu asas penting dalam HHI, yaitu merupakan suatu asas atau prinsip yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata, ke dalam dua golongan yaitu:

- kombatan (combatant)

- dan penduduk sipil (civilian).

Kombatan adalah golongan orang atau penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities),Penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut dalam permusuhan.Tujuan dari prinsip pembedan ini adalah:

Untuk mengetahui mereka yang boleh turut serta dalam permusuhan, sehingga boleh dijadikan sasaran atau obyek kekerasan, dan mereka yang tidak boleh turut serta dalam permusuhan sehingga tidak boleh dijadikan sasaran dan obyek kekerasan serta mereka harus dilindungi.

Menurut Jean Pictet, prinsip pembedan ini berasal dari asas umum yang dinamakan asas pembatasan ratione personae yang menyatakan “ The civilian population and individual civilians shall enjoy general protection against danger arising from military operation”.

Asas ini memerlukan penjabaran lebih jauh ke dalam sejumlah asas pelaksanaan (principal of aplication) yaitu:

Pihak-pihak yang bersengketa setiap saat harus membedakan antara kombatan dan penduduk sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan obyek-obyek sipil;

Penduduk sipil demikian pula orang sipil secar perorangan, tidak boleh dijadikan obyek serangan walaupun dalam hal reprisal (pembalasan);

Tindakan maupun ancaman kekerasan dengan tujuan utamanya untuk menyebarkan teror terhadap penduduk sipil adalah dilarang;

Pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahan yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau setidaknya untuk menekankan kerugian atau kerusakan yang tak disengaja menjadi sekecil mungkin;

Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh.

Uraian di atas menunjukkan bahwa meskipun prinsip pembedaan ini lebih ditujukan sebagai upaya untuk melindungi penduduk sipil pada saat perang, secara tidak langsung prinsip ini juga melindungi para kombatan dan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata.

Secara normatif prinsip ini dapat mengeliminasi kemungkinan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh kombatan terhadap penduduk sipil. Hal ini berarti akan memperkecil kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap HHI, khususnya ketentuan mengenai kejahatan perang yang dilakukan secara sengaja oleh kombatan.

PERKEMBANGAN PENGATURAN PRINSIP PEMBEDAAN

A. KONVENSI DEN HAAG 1907

Secara implisit, ketentuan mengenai prinsip pembedaan terdapat dalam Konvensi den Haag IV (Konvensi mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat), khususnya mengenai lampiran annex nya yang berjudul Hague Regulations Respecting Laws and Custom of War atau yang dikenal dengan Hague Regulations (HR).

bagian I Bab I HR mengatur mengenai kualifikasi dari belligerent, adapun kualifikasi belligerent, yaitu:

Dipimpin oleh seorang yang bertanggungjawab pada bawahannya

Mempunyai tanda yang dapat dikenali dari jauh

Membawa senjata secara terbuka

Kegiatannya didasarkan pada hukum dan kebiasaan perang

Hukum, hak dan kewajiban perang bukan hanya berlaku bagi tentara (army) saja, tetapi juga bagi milisi dan korps sukarelawan, sepanjang memenuhi persyaratan tersebut di atas.

Page 3: artikel HHI

Pasal 2 HR mengatur mengenai levee en masse. Berdasarkan ketentuan pasal ini mereka dapat dimasukkan dalam kategori belligerent sepanjang memenuhi persyaratan levee en masse sebagai berikut:

Penduduk dari wilayah yang belum diduduki Secara spontan mengangkat senjata atau melakukan perlawanan Tidak memiliki waktu untuk mengatur diri sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 Menghormati hukum dan kebiasaan perang Membawa senjata secara terbuka

Levee en masse bersifat temporal, artinya jika penduduk yang bersangkutan akan melanjutkan perlawanannya maka mereka harus mengorganisir dirinya. Dalam hal tersebut, mereka dikategorikan sebagai milisi atau korps sukarela yang juga termasuk dalam golongan kombatan.

Dengan demikian, menurut Konvensi Den Haag 1907, khususnya mengenai Haag Regulation (HR) yang dapat dikategorikan sebagai kombatan adalah.

Armies (tentara);

Militia dan volunteer Corps (milisi dan korps sukarela) dengan melihat Pasal 1;

Levee en masse yaitu

B. KONVENSI JENEWA 1949

Dalam Konvensi jenewa 1949 (I,II,III,IV) tidak menyebut masalah kombatan, melainkan hanya menentukan yang berhak mendapatkan perlindungan (Pasal 13 Konvensi I dan II); yang berhak mendapatkan perlakuan tawanan perang jika jatuh ke tangan musuh (Pasal 4 Konvensi III).

Meskipun ketentuan dalam Pasal 13 Konvensi I dan II serta Pasal IV Konvensi IV tidak dengan tegas disebutkan adanya penggolongan kombatan dan penduduk sipil, namun ketentuan dalam pasal-pasal tersebut pada dasarnya dimaksudkan untuk diberlakukan bagi kombatan.

Menurut Konvensi Jenewa 1949, mereka yang dapat dimasukkan dalam kategori kombatan adalah:

Mereka yang memiliki pemimpin yang bertanggung jawab atas bawahannya;

Mereka yang mengenakan tanda-tanda tertentu yang dapat dikenal dari jarak jauh;

Mereka yang membawa senjata secara terbuka;

C. PROTOKOL TAMBAHAN 1977

Dalam Protokol Tambahan Tahun 1977 ini istlah kombatan dinyatakan secara eksplisit, yaitu dalam Pasal 43 angka 2.

Prinsip pembedaan dalam protokol ini diatur pada Bab II yang berjudul Combatant and Prisoner of war status.

Pasal 43 dengan tegas menentukan mereka yang digolongkan sebagai kombatan adalah mereka yang termasuk dalam pengertian armed force (angkatan bersenjata) suatu negara.

Yang termasuk dalam pengertian angkatan bersenjata adalah mereka yang memiliki hak untuk berperang secara langsung dalam permusuhan. Mereka terdiri:

Angkatan bersenjata yang terorganisir (organized armed force)

Kelompok-kelompok atau unit-unit yang berada di bawah satu komando yang bertanggungjawab atas tingkah laku bawahannya kepada pihak yang bersangkutan.

Ketentuan dalam Protokol yang secara tegas membedakan penduduk sipil dengan kombatan terdapat dalam Pasal 48.

Pasal 48 ini merupakan basic rule dalam rangka memberikan perlindungan terhadap penduduk sipil pada saat terjadi konflik bersenjata.

Protokol ini menegaskan bahwa dalam rangka menjamin penghormatan dan perlindungan terhadap penduduk sipil dan obyek-obyek sipil, maka pihak-pihak yang bersengketa setiap saat harus membedakan antara penduduk sipil dan kombatan dan juga antara obyek-obyek sipil dan militer, serta harus mengarahkan operasi mereka hanya terhadap sasaran-sasaran militer.

Ketentuan lain tentang prinsip pembedaan terdapat dalam Pasal 44, yang menegaskan bahwa setiap kombatan yang jatuh ke dalam kekuasaan lawan harus diperlakukan atau memperoleh status sebagai tawanan perang.

Page 4: artikel HHI

Pengaturan prinsip pembedaan dalam Protokol Tambahan tahun 1977 ini merupakan suatu perkembangan yang revolusioner, karena dalam protokol ini tidak lagi dibedakan antara regular troops dan irregular troops sebagaimana dalam konvensi Den Haag ataupun Konvensi Jenewa 1949.