artikel e policing
DESCRIPTION
E-PolicingTRANSCRIPT
E- Policing Awal Kematian "Sang Naga"
ist.
beritabatavia.com - E-Policing adalah pemolisian secara elektronik yang dapat
diartikan
sebagai pemolisian secara online, sehingga hubungan antara polisi dengan
masyarakat bisa terjalin dalam 24 jam sehari dan 7 jam seminggu tanpa
batas ruang dan waktu untuk berbagi informasi dan melakukan komunikasi.
Bisa juga dipahami, membawa community policing pada sistem on line. Dengan
demikian e-Policiing ini merupakan model pemolisian diera digital yang
berupaya menerobos sekat-sekat ruang dan waktu sehingga pelayanan
kepolisian dapat terselenggara dengan cepat, tepat, akurat, transparan,
akuntabel informatif dan mudah diakses.
E-Policing bisa menjadi strategi inisiatif anti korupsi, reformasi
birokrasi creative break through.
Dikatakan sebagai inisiatif antikorupsi karena memanimalisir bertemunya
person to person dalam pelayanan-pelayan kepolisian dibidang administrasi
karena sudah dapat digantikan secara on line melalui e-banking, atau
melalui eri (electronic regident) dan sebagai reformasi birokrasi karena
dapat menerobos sekat-sekat birokrasi yang rumit mampu menembus ruang dan
waktu.
Misalnya, tentang pelayanan informasi dan komunikasi melalui internet, dan
hubungan tata cara kerja dalam birokrasi dapat diselenggarakan secara
langsung dengan SMK (Standar Manajemen Kinerja) yang dibuat melalui
intranet, sehingga menjadi less paper dan sebagainya.
Dikatakan sebagai bagian creative break through, melalui e-Policing banyak
program dan berbagai inovasi tambah kreasi dalam pemolisian yang dapat
dikembangkan masanya pada sistem-sistem pelayanan SIM, Samsat , atau juga
dalam TMC baik melalui media eektronik, cetak maupun media sosial bahkan
secara langsung sekaligus.
E-P olicing bukan berarti menghapus cara-cara manual yang masih efektif
dan efisien dalam menjalin kedekatan ditambah persahabatan antara Polisi
dengan masyarakat yang dillayaninya.
E-Policing akan menyempurnakan dan meningkatkan, sehingga polisi
benar-benar menjadi sosok yang profesional, cerdas, bermoral dan modern
sebagai penjaga kehidupan, pembangunan peradaban sekaligus pejuang
kemanuasiaan.
E-Poolicing dapat dipahami sebagai penyelenggaraan tugas kepolisian
berbasis elektronik, yang berarti membangun sistem-sistem yang terpadu,
terintegrasi, sistematis dan saling mendukung. Ada harmonisasi antar
fungsi atau bagian dalam mewujudkan tugas kepolisian sebagai pemelihara
keamanan dan rasa aman dalam masyarakat.
Pemolisian tersebut dapat dikatakan memenuhi standar pelayanan prima, yang
berarti cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatf dan mudah
diakses.
Pelayanan prima dapat diwujudkan melalui dukungan SDM yang berkarakter,
pemimpin-pemimpin yang transformatif, sistem-sistem yang berbasis IT, dan
melalui program-program unggulan dalam memberikan pelayanan, perlindungan,
pengayoman bahkan sampai dengan penegakkan hukumnya.
Pembahasan e-Policing dapat dikategorikan dalam konteks : 1. Kepemimpinan,
2. Admnistrasi, 3. Operasional, 4. Capacity building (pembangunan
capacitas bagi institusi).
Unsur-unsur pendukung dalam membangun e-Policing adalah sebagai berikut:
1. Komitmen moral
2. Kepemimpinan yang transformatif
3. Infrastruktur (hard ware + soft ware ) sebagai pusat data, informasi,
komunikasi, kontrol, koordinasi, komando dan pengendalian.
4. Jaringan untuk komunikasi, koordinasi, komando pengendalian dan
informasi (K3I) melalui IT dan untuk kontrol situasi.
5. Petugas-petugas polisi berkarakter (mempunyai kompetensi, komitmen dan
unggulan) untuk mengawali berbasis wilayah, menangani kepentingan dan
dampak masalah.
6. Program-program unggulan untuk dioperasionalkan baik yang bersifat
rutin, khusus maupun kontijensi, (tingkat manajemen maupun
operasionalnya).
7. Tim transformasi sebagai tim kendalli mutu, tim back-up yang menampung
ide-ide dari bawah (bottom up) untuk dijadikan kebijakan maupun penjabaran
kebijakan-kebijakan dari atas (top down). Tim ini sebagai dirigen untuk
terwujudnya harmonisasi dalam dan diluar birokrasi. Dan melakukan
montoring dan evaluasi atas program-program yang diimplementasikan maupun
menghasikan program-program baru.
8. Selalu ada produk-produk kreatif sebagai wujud dari pengembangan untuk
update, upgrade dan mengantisipasidinamika perubahan sosial yang begitu
cepat.
Antara Harapan dan Ancaman
Diera digital e-Policing merupakan kebutuhan bagi institusi kepolisian
untuk dapat terus hidup tumbuh dan berkembang dalam memberikan pelayanan
prima kepada masyarakat yang modern dan demokratis dalam rangka mewujudkan
serta memelihara keteraturan sosial.
Penerapan ilmu pengetahuan, teknologi akan menjadi tools bagi pemolisian
yang mendasari perubahan paradigma niilai-nilai hakiki bagi polisi dan
pemolisianya.
Dengan membangun sistem akan menjadi suatu harapan bagi masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan yang cepat, tepat, akurat, transparan dan akuntable,
informatif serta mudah dakses.
Ide-ide kreatif bagi para petugas polisi-pun dapat disalurkan tanpa
terhambat/terbentur dari sistem-sistem brokrasi yang feodal dan
konvensional.
Sistem-sistem dengan IT akan menunjukan adanya kemauan dan kerelaan para
pejabat dan pemimpinnya untuk kehilangan previlagenya dan dengan suara
lantang berani mengatakan sebagai inisiatif antikorupsi, reformasi
birokrasi sekaligus cretaive breakthrough.
Namun, hal-hal baru, ide-ide baru akan juga berbenturan dengan
kelompok-kelompok status quo, kelompok-kelompok comfot zone. Mereka yang
sudah menikmati dan mengakar bertahun tahun akan merasa
tentakel-tentakelnya dipatahkan atau kran-krannya mulai mengecil.
Kelompok-kelompok inilah sebenarnya penganut premanisme birokrasi yang
sudah terbelenggu otak dan pemikiranya bahkan mati sudah hati nuraninya.
Mereka bukanlah batu “kerikil†�, melainkan “sang naga� yang sangat sakti
karena memilih kekuasaan besar, pangkat tinggi, jabatan strategis,
kewenangan luas, uang berlimpah, jejaring disemua lini, media, massa
pendukung cantrik-cantrik yang semua dimilikinya secara berlimpah.
Jangankan melawan, menggosipkan “sang nanga†� dan kelompoknyapun bisa mati
atau dimatikan hidup dan kehidupanya.
E-Policing akan menjadi awal kematian “sang naga�, sang naga ini hanya
ibarat lampu yang butuh power tatkala power ini tercabut atau disekat oleh
e-Policing. Maka akan mulai berkerut dan keringlang “sang naga†� itu.
Namun, tak mudah menghadapi naga yang sekarat, pasti dia akan ngawur
menggelepar-gelepar dimana dia mau dan dia bisa untuk mencari korban atau
melampiaskan kemarahan dendam dan sakit hatinya.O Kombes Pol DR Chrysnanda
Dwi Laksana
E-Policing Membawa Model Pemolisian Pada Sistem On Line
Kamis, 21 Agustus 2014, 13:31:35 | TRANSPOLHUKAM
Chryshnanda Dwilaksana.(ist)
TRANSINDONESIA.CO – Pemolisian (policing) dapat dipahami sebagai penyelenggaraan tugas
kepolisian, baik pada tingkat manajemen maupun operasional, dengan atau tanpa upaya paksa dalam
mewujudkan dan memelihara keteraturan sosia (Kamtibmas).
Model pemolisian sekarang ini banyak yang diadopsi adalah, communty policing (Polisi Masyarakat-
Polmas, dalam penyelenggaraan tugas Polri).
e-Policing dapat dikatakan sebagai upaya membawa community policing pd sistem-sistem online.
Mengapa harus online?
Diera digital saat ini, ketika sistem-sistem yang ada manual, konvensional dan parsial, maka akan
ditinggalkan atau tidak dianggap ada karena pelayananya akan lambat,.
Selain itu, potensi penyimpanganya juga menjadi lebh besar dan tentu saja untuk menghadapi tantangan,
harapan, dan ancaman dimasa kini akan banyak yang tercecer dan jauh dari kata profesional
sebagaimana yang diidaman masyarakat
Online, sistem yang berarti mengelektronikan program-program menjadi satu sstem yang terpadu dan
berkesinambungan sebagai satu rangkaian sistem dalam biroktasi yang mencakup pada empat bidang,
yakni: (1). Kepemimpinan, (2). Admnstrasi, (3). Operasional, (4), Capacity Buildng.
Sistem-sistem penghubung ada dibangun dengan sistem data base dan jejaring pada semua lini yang
dapat digunakan untuk memprediksi, mencegah, menangani, memperbaiki dan meningkatkan bahkan
membangun.
Dalam sebuah organisasi yang besar untuk dapat bertahan hidup tumbuh dan berkembang sesuai zaman
diperlukan suatu ketahanan untuk tetap eksis dan produktif.
Eksistensi plus produktifitas itulah yang menjadikan keunggulan suatu organisasi.
Bagi institusi Polri dapat diartikan bahwa, keberadaanya masih mendapatkan kepercayaan dan diterima
serta mendapatkan dukungan dari masyarakat yang dilayaninya. Yang akhirnya diakui sebagai bagian
dari masyarakat itu sendiri.
Mengambil pepatah Jawa, “dadi polisi kudu ono elabuhane, ora ono lelabuhane ora ono gunane”.
e-Policing akan membuat polisi tetap eksis dan keberadaanya diakui diterima dan menjadi bagian dari
masyarakatnya serta mendapatkan dukungan.
Yang tidak kalah pentingnya, mampu membuat Polisi menjadi unggul serta diunggulkan.(CDL-
Agstus2014).
Penulis adalah: Kombes Pol Chryshnanda Dwilaksana
E-Policing Sebagai Model PemolisianJumat, 22 Agustus 2014, 11:29:33 | TRANSPOLHUKAM
Ilustrasi
TRANSINDONESIA.CO – Model e-Policing (Pemolisian-online) dapat dibagi tiga kategori yakni, (1)
Berbasis wilayah, (2) Berbasis kepentingan dan (3) Berbasis dampak masalah.
Ketiga kategori tersebut memiliki pendekatan yang berbeda namun, ada benang merah yang
menunjukkan saling keterkatan satu dengan lainya.
Model pemolisian ini dapat digunakan sebagai acuan, dasar atau pedoman dalam
mengimplementasikanya.
Walaupun berbeda privasinya (berdasarkan kemajuemukan, corak masyarakat dan kebudayaan) namun
tetap memiliki prinsip-prinsip mendasar yang berlaku secara umum.
Meminjam istilah Romo Mangun Wijaya, “Satu Prinsip Seribu Gaya”.
1. Pemolisian berbasis wilayah
Model ini boeh dikatakan sebagai model struktural dari tingkat Mabes Polri sampai Polpos bakhan bisa
sampai pada jajaran Babin Kamtibmas.
Semua tingkatannya dibatasi wilayah hukum (bisa mengikuti pola pemerintahan/ada pola-pola khusus
seperti yang diterapkan di Polda Metro Jaya yang wilayahnya ada tiga provinsi yakni, DKI, Banten dan
Jawa Barat).
Ada Polres yang membawahi lebih satu wilayah kota/kabupten, ada juga Polsek wilayahnya lebih dari 1
kecamatan.
Nah, pada tingkat Polpos dan Babin Kamtibmas ini yang perlu dibuat secara konsisten atau model
pemolisian-nya.
Didalam pemolisian, akan berkaitan dengan penanganan-penanganan masalah, kepentiingan-
kepentingan. Disini saling keterkaitan antara model yang berbasis wilayah maupun yang berbasis
kepentingan dan berbasis wilayah.
Pertanyaanya, bagaimana membangun sistem terpadu yang saling mengisi dan saling melengkapi serta
saling menguatkan dalam mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial (Kamtibmas)?
Untuk menjawab pertanyan tersebut, maka diperlukan membangun back office (sebagai link atau pusat
K4Ei-Komunikasi, Komando pengendaian, Koordinasi, Kontrol montoring, Evaluasi dan Informasi).
Back office merupakan ruang operasi untuk mengharmonikan (dianalogikan; dirigen dalam sebuah
orchestra) pekerjaan yang diselenggarakan antar wilayah, fungsi/bagian, maupun dalam kondisi yang
diskenariokan, atau kondisi-kondisi kontijensi baik dari faktor manusia, faktor alam maupun faktor
kerusakan infra struktur.
Back office ini merupakan sistem terpadu yang mampu membangun data base, komunikasi, komando
dan pengendalian, koordinsi, kontrol dan monitorng, evaluasi serta informasi yang mampu memberikan
pelayanan prima dengan pemolisian yang rofesional, cerdas, bermoral dan modern.
Untuk itu, diperlukan keunggulan-keunglan dalam mengimplementsikannya, yakni, (a) Unggul SDM, (b)
Unggul data, (c) Unggul pemimpin dan kepemimpinan, (d) Unggul sarpras (berbasis ilmu pengetauhan
dan teknologi yang unggul jejaring dan unggul anggaran.
2. Pemolisian berbasis kepentingan
Model pemolisian yang berbasis kepentingan tidak dibatsi wilayah, tetapi dipersatukan oleh kepentingan-
kepentingan bersama.
Dimana kepentngan tersebut bsia berkaitan dengan pekerjaan atau profesi, hobby, kegiatan, kelompok-
kelompok kemasyarakatan.
Mode ini dimplementasikan secara variasi oleh fungsi-fungsi kepolisian yang ada pada pemolisian
berbasis wilayah (Mabes sampai dengan Polsek) disesuaikan dengan katagori-katagori kepentingan baik
bertaraf internsionl, regionl, nasional, maupun tingkat lokal.
Melalui keunggulan-keunggulan tersebut diatas, haruslah diharmonisasikan oleh petugas-petugas di back
office. Maka, pemolisian pada tingkat lokal sekalipun tetapi dampaknya dapat menjadi global karena ada
sistem-sistem dasar dan pendukung yang saling terkait.
3. Pemolisin berbasis dampak masalah
Akar masalah ini bukan tugas polisi namun, merupakan potensi konflik yang dampaknya bisa
mengganggu, menghambat, merusak bahkan mematikan produktifitas. Tentu saja, akan menjadi tugas
kepolisian tatkala menjadi gangguan terhadap keteraturan sosial.
Pola pemolisian akan juga berkaitan dengan yang berbasis wilayah maupun yang berbasis kepentingan.
Namun, polanya berbeda karena penanganannya dengan pola khusus atau yang tidak bersifat rutin,
namun dapat memanfaatkan sistem-sistem back office.
Pola penanganan terhadap dampak masalah ini ditangani dengan membentuk satuan-satuan tugas
(satgas) yang bervariasi karena juga akan berbeda dampak masalah dari ideologi, politik, ekonomi,
sosial budaya, pertahanan, keamann, keselamatan dan sebagainya.(CDL-Juli 2014) Penulis:
Chryshnanda Dwilaksana
Electronic Policing sebagai Strategi Keluar dari Zona NyamanChrysnanda DL,Kombes Prof Dr Chrysnanda DL - detikNews
Halaman 1 dari 10
(Foto: Facebook)
Jakarta - 1. Pendahuluan
Tulisan ini tentang Electronic Policing (e-policing) yang merupakan pemolisian di era digital yang dapat mendukung pelayanan kepolisian yang prima yaitu: cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses. Di era kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat berdampak terjadinya globalisasi.
Selain segi positif, globalisasi juga membawa permasalahan sosial yang berkaitan dengan gangguan keamanan ataupun kejahatan yang terjadi dalam masyarakat akan semakin kompleks dan semakin canggih karena semakin sistematis terorganisir secara profesional dan memanfaatkan teknologi dan peralatan peralatan modern yang dilakukan oleh orang-orang yang ahli/profesional. Tentu saja kejahatanya akan semakin sulit untuk dicegah, dilacak dan dibuktikan.
Selain itu tuntutan dan harapan masyarakat terhadap kinerja polisi dalam menyelenggarakan pemolisiannya akan semakin meningkat yaitu adanya pelayanan prima. Pelayanan prima kepolisan dalam konteks ini dapat dipahami sebagai pelayanan yang cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses. Sejalan dengan pemikiran di atas maka Polri perlu membuat model pemolisianya dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Manfaat bagi kemajuan bangsa dan negara, kesejahteraan masyarakat, kemajuan institusi Polri.b. Model pemolisianya baik yang berbasis: wilayah, kepentingan, maupun dampak masalah ( ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan keselamatan).c. Fungsi dan tugas pokok polisi baik sebagai institusi, sebagai fungsi maupun sebagai petugas kepolisian. Arah untuk polri di depan (setidaknya untuk 2020) polri sebagai institusi yang profesional (ahli), cerdas (kreatif dan inovatf), bermoral (berbasis pada kesadaran, tanggungjawab dan disiplin)d. Model-model pembinaan baik untuk kepemimpinan, bidang administrasi, bidang operasional maupun capacity buiding.
Dalam membangun pemolisian di era digital perlu pemikiran-pemikiran secara konseptual, teoritikal dan bertindak pragmatis yang saling melengkapi dan menjadi suatu sistem. Tatkala kita membangun sistem yang perlu diperhatikan adalah masukan (input), proses (cara mencapainya) maupun keluaranya (output), yang memerlukan adanya standar-standar baku sebagai pedoman pperasionalnya (SOP). Sering kita dengar sikap-sikap skeptis yang mengatakan "Ah itukan teori...buat apa, tidak adalah gunanya, yang penting lapangannya. Kita sebagai polisi adalah praktisi, teori itu omong doang, tidak ada karya nyata, tidak bisa dirasakan kerjanya".
Pandangan dan cara berpikir seperti ungkapan di atas menunjukkan bahwa keterbatasan/kesederhanaan berpikir secara konseptual/ teoritikal atau bahkan ketidakmampuan. Tak jarang kita menemukan, masih ada yang meyakini sebagai kebenaran mutlak kalau mengerjakan tugas polisi itu cukup dengan tugas-tugas lapangan. Ini sebuah fenomena ketidakberdayaan dalam olah pikir sehingga terlalu sederhana caranya berpikir atau menganggap enteng suatu masalah yang kompleks. Maka pola pemolisianya akan konvensional, parsial,manual dan sifatnya temporer.
Model pemolisian tersebut sadar atau tidak sadar merupakan proses pelan-
pelan bunuh diri (silence suicide). Kalau kita jujur merenungkan kita sudah
mewarisi, melakukan bahkan bahkan mengembangkan core value antara yang
aktual dengan yang ideal boleh dikatakan menyimpang/ bertentangan :
a. Di Akpol lembaga yang menyiapkan kader-kader pimpinan Polri dimasa yang
akan datang Sejak taruna didoktrin sebagai calon jendral. Semestinya taruna
adalah calon polisi yang baik dan calon pemimpin polisi yang baik. Dampak
doktrin yang tidak tepat, para lulusan akpol akan mati-matian mengejar menjadi
jendral walau dengan cara-cara yang keliru. Yang tidak jadi jendral dilabel
bodoh/kasus.
b. Orentasi para petugas polisinya adalah pada jabatan-jabatan basah (reserse,
lalu lintas, kapolres, kapolda, dan seterusnya), sehingga sudah dipetakan oleh
SDM menjadi suatu lahan untuk dimanfaatkan / memanfaatkan peluang-
peluang yang ada. Maka yang terjadi bukan kompetensi tetapi siapa dia dan
loyalitasnya kepada atasan dan pejabat-pejabat tertentu . Sikapnya menjadi
abs (asal bapak senang).
c. Sekolah menjadi standar untuk menjabat sehingga mati-matian orang masuk
sekolah. Dan mati-matian mencari rangking. Bukan dengan belajar tetapi
dengan kasak kusuk/ mencari backing.
d. Jabatan-jabatan yang penting dan strategis karena dianggap hanya banyak
tantangan sedikit tentengan, banyak pendapat tidak ada pendapatan sebagai
bagian air mata dan bukan mata air. Maka dia hanya dibutuhkan dan tidak
diinginkan.
e. Pekerjaan polisi tidak ada standarnya dan dibangun dalam birokrasi yang
patrimonial jadi masih terpusat pada pimpinan tertinggi, sesuai bidang, fungsi/
bagian. Sehingga apapun kata bos menjadi bos can't do no wrong.
f. Lemdik masih jadi tempat buangan / sekedar batu loncatan. Para petugasnya
belum sepenuhnya bangga dan mencintai sebagai pengajar/pendidik.
g. Teknologi kepolisian masih sangat minim sehingga terkesan konvensional,
parsial, reaktif dan temporer, belum mencerminkan profesionalisme
/modernitas suatu birokrasi.
h. Masih terlalu banyak produk-produk utang budi yang mengusai/menjadi
penguasa di birokrasi kepolisian. Sehingga yang dibangun hanyalah kerajaan-
kerajaan dan kepentingan-kepentingan pribadi/ kelompok-kelompok tertentu.
Sehingga jaringan yang dibangun hanya bagi krooni-kroninya bukan bagi polri
sehingga 4 L masih terjadi (lu lagi lu lagi).
i. Yang menyedihkan lagi dari segi kepemimpinan, administrasi, operasional dan
capacity buildingnya masih sebatas seremonial dan penuh kepura puraan.
Tugas polisi ditulis nya sangat singkat :" to serve and to protect" namun
maknanya sangat dalam dan sangat kompleks yang tidak bisa dikerjakan dengan
cara-cara yang serampangan pokoknya tugas dijalankan pimpinan senang sudah
cukuplah. Kebanyakan masih berorientasi pada kepuasan pimpinannya bukan
kepuasan masyarakatnya, ini cerminan dari birokrasi yang patrimonial.
Makna to serve (melayani) dan to protect (melindungi).
Melayani dalam konteks tugas kepolisian adalah pelayanan keamanan, pelayanan
keselamatan.
1. E-Policing
E-Policing adalah pemolisian secara elektronik yang dapat diartikan sebagai
pemolisian secara online, sehingga hubungan antara polisi dengan masyarakat
bisa terjalin dalam 24 jam sehari dan 7 jam seminggu tanpa batas ruang dan waktu
untuk selalu dapat saling berbagi informasi dan melakukan komunikasi. Biisa juga
dipahami membawa community policing pada sistem online. Dengan demikian E-
Policing ini merupakan model pemolisian di era digital yang berupaya menerobos
sekat-sekat ruang dan waktu sehingga pelayanan-pelayanan kepolisian dapat
terselenggara dengan cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel informatf dan
mudah diakses. E-Policing bisa menjadi strategi inisiatif anti korupsi, reformasi
birokrasi dan creative break through. Dikatakan sebagai inisiatif antikorupsi karena
meminimalisir bertemunya person to person dalam pelayanan-pelayanan kepolisian
di bidang administrasi karena sudah dapat digantikan secara online melalui e-
banking, atau melalui ERI (Electronic Registration and Identification) dan sebagai
reformasi birokrasi karena dapat menerobos sekat-sekat birokrasi yang rumit yang
mampu menembus ruang dan waktu misalnya tentang pelayanan informasi dan
komunikasi melalui internet, dan hubungan tata cara kerja dalam birokrasi dapat
diselenggarakan secara langsung dengan SMK (Standar Manajemen Kinerja) yang
dibuat melalui intranet/ internet juga sehingga menjadi less paper dan sebagainya.
Dikatakan sebagai bagian creative break through , melalui E-Policing banyak
program dan berbagai inovasi dan kreasi dalam pemolisian yang dapat di
kembangkan misalnya pada sistem-sistem pelayanan SIM, Samsat , atau juga
dalam TMC baik melalui media elektronik, cetak maupun media sosial bahkan
secara langsung sekaligus.
E-Policing bukan berarti menghapus cara-cara manual yang masih efektif dan
efisien dalam menjalin kedekatan dan persahabatan antara polisi dengan
masyarakat yang dillayaninya. E-Policing menyempurnakanya, meningkatkanya
sehingga polisi benar-benar menjadi sosok yang profesional, cerdas , bermoral dan
modern sebagai penjaga kehidupan, pembangun peradaban dan pejuang
kemanusiaan sekaligus. E-Policing dapat dipahami sebagai penyelenggaraan tugas
kepolisian yang berbasis elektronik yang berarti membangun sistem-sistem yang
terpadu, terintegrasi, sistematis dan saling mendukung, ada harmonisasi antar
fungsi/ bagian dalam mewujudkan dan memelihara keamanan dan rasa aman
dalam masyarakat. Pemolisian tersebut dapat dikatakan memenuhi standar
pelayanan prima yang berarti: Cepat, Tepat, Akurat, Transparan, Akuntabel,
Informatif dan mudah diakses. Pelayanan prima dapat diwujudkan melalui
dukungan SDM yang berkarakter, pemimpin-pemimpin yang transformatif, sistem-
sistem yang berbasis IT, dan melalui program-program yang unggul dalam
memberikan pelayanan, perlindungan, pengayoman bahkan sampai dengan
penegakkan hukumnya. Pembahasan E-Policing dapat dikategorikan dalam
konteks : 1. Kepemimpinan, 2. Administrasi, 3. Operasional, 4. Capacity Building
(pembangunan kapasitas bagi institusi).
Unsur-unsur pendukung dalam membangun E-Policing :
a. Komitmen moral
b. Kepemimpinan yang transformative
c. Infrastruktur (hardware dan software ) sebagai Pusat data, informasi,
komunikasi, kontrol, koordinasi, komando dan pengendalian.
d. Jaringan untuk komunikasi, koordinasi, komando pengendalian dan informasi
(K3i) melalui IT dan untuk kontrol situasi.
e. Petugas-petugas polisi yang berkarakter (yang mempunyai kompetensi,
komitmen dan unggulan) untuk mengawaki untuk yang berbasis wilayah,
menangani kepentingan dan dan dampak masalah.
f. Program-program unggulan untuk dioperasionalkan baik yang bersifat rutin,
khusus maupun kontijensi, (tingkat manajemen maupun operasionalnya).
g. Tim transformasi sebagai tim kendalli mutu, tim backup yang menampung ide-
ide dari bawah (bottom up) untuk dijadikan kebijakan maupun penjabaran
kebijakan-kebijakan dari atas (top down). Tim ini sebagai dirigen untuk
terwujudnya harmonisasi dalam dan di luar birokrasi. Dan melakukan
monitoring dan evaluasi atas program-program yang diimplementasikan
maupun menghasikan program-program baru.
h. Selalu ada produk-produk kreatif sebagai wujud dari pengembangan untuk
update, upgrade dan mengantisipasi dinamika perubahan sosial yang begitu
cepat.
2. E-Policing Harapan dan Ancaman
E-Policing menjadi harapan sekaligus ancaman. Di era digital E-Policing
merupakan kebutuhan bagi institusi kepolisian untuk dapat terus hidup tumbuh dan
berkembang dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat yang
modern dan demokratis dalam rangka mewujudkan dan memelihara keteraturan
sosial. Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi akan menjadi tools bagi
pemolisian yang mendasari perubahan paradigma dan nilai-nilai hakiki bagi polisi
dan pemolisianya. Dengan membangun sistem akan menjadi suatu harapan bagi
masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang cepat, tepat, akurat, transparan
dan akuntabel, informatif serta mudah di akses. Ide-ide kreatif bagi para petugas
polisipun dapat disalurkan tanpa terhambat/ terbentur dari sistem-sistem birokrasi
yang feodal dan konvensional. Sistem-sistem dengan IT akan menunjukan adanya
kemauan dan kerelaan para pejabat dan pemimpinnya untuk kehilangan
previlagenya dan dengan suara lantang berani mengatakan sebagai Inisiatif
antikorupsi, reformasi birokrasi sekaligus creative breakthrough.
Hal-hal baru/ ide-ide baru akan juga berbenturan dengan kelompok-kelompok
status quo, kelompok-kelompok comfort zone. Mereka yang sudah menikmati dan
mengakar bertahun tahun akan merasa tentakel- tentakelnya dipatahkan atau kran-
krannya mulai mengecil. Kelompok-kelompok ini sebenarnya penganut
premanisme birokrasi. Yang dalam sudah terbelenggu otak dan pemikiranya
bahkan mati sudah hati nuraninya. Mereka bukanlah batu kerikil ,mereka ini sang
naga yang sangat sakti karena memiliki kekuasaan besar, pangkat tinggi, jabatan
strategis, kewenangan luas, uang berlimpah, jejaring di semua lini , media, massa
pendukung cantrik-cantrik semua dimilikinya secara berlimpah. Jangankan
melawan, menggosipkan sang nanga dan kelompoknya pun bisa mati atau
dimatikan hidup dan kehidupanya.
E-Policing akan menjadi awal kematian sang naga. sang naga ini hanya ibarat
lampu yang butuh power tatkala power ini tercabut atau disekat oleh E-Policing
maka akan mulai berkerut dan keringlah sang naga itu. Namun tak mudah
menghadapi naga yang sekarat pasti dia akan ngawur menggelepar gelepar di
mana dia mau dan dia bisa untuk mencari korban atau melampiaskan kemarahan
dendam dan sakit hatinya.
3. E Policing Sebagai Model Pemolisian
Model pemolisian dapat dibuat 3 kategori : 1. Berbasis wilayah, 2. Berbasis
kepentingan dan 3. Berbasis dampak masalah. Ketiga kategori tersebut memiliki
pendekatan yang berbeda namun ada benang merahnya yang menunjukan adanya
saling keterkaitan satu dengan lainya. Model pemolisian ini dapat digunakan
sebagai acuan dasar/ pedoman dalam mengimplementasikanya, walaupun
berbeda variasinya (berdasarkan corak masyarakat dan kebudayaanya) namun
tetap memiliki prinsip-prinsip mendasar yang berlaku umum. Romo mangun wijaya
mengatakan :" satu prinsip seribu gaya".
a. Pemolisian yang berbasis wilayah.
Model ini boeh dikatakan sebagai model struktural dari tingkat mabes sampai
dengan polpos bakhan bisa jadi pada babin kamtibmas. Semua tingkatannya di
batasi wilyah hukum (bisa mengikuti pola pemerintahan / ada pola-pola khusus
seperti yang diterapkan di Polda Metro Jaya yang wilayahnya ada 3 propinsi
(DKI, Bantendan Jawa Barat). Ada polres yang membawahi lebih satu wilayah
kota/ kabupten. Ada juga wilayah polsek yang lebih dari 1 kecamatan. Nah
pada tingkat polpos dan babin kmtibmas ini yang perlu dibuat secara
konsisten / ada modelnya. Di dalam pemolisianya akan berkaitan dengan
penanganan-penanganan masalah, kepentingan-kepentingan di sinilah ada
saling keterkaitan antara model yang berbasis wilayah, yang berbasis
kepentingan maupun yang berbasis Dampak masalah. Pertanyaanya : "
bagaimana membangun sistem terpadu yang saling mengisi dan saling
melengkapi serta saling menguatkan dalam mewujudkan dan memelihara
keteraturan sosial (kamtibmas)? Untuk menjawab pertanyan tersebut yaitu
dengan membangun back office (sebagai linking pin/ pusat K4Ei(Komunikasi,
Komando dan Pengendaian, Koordinasi, Kontrol dan Monitoring, Evaluasi dan
Informasi. Back office ini merupakan ruang operasi untuk mengharmonikan
(kalau analogikan adalah dirigen dalam sebuah orchestra) pekerjaan yang
diselenggarakan antar wilayah, fungsi/ bagian, maupun dalam kondisi yang
diskenariokan, atau kondisi-kondisi kontijensi baik dari faktor manusia, faktor
alam maupun faktor kerusakan infrastruktur.
Back office ini merupakan sistem terpadu yang mampu membangun database,
komunikasi, komando dan pengendalian, koordinasi, control dan monitoring,
evaluasi serta informasi. Yang mampu memberikan pelayanan prima dengan
pemolisian yang profesional, cerdas, bermoral dan modern. Untuk itu
dperlukan keunggulan-keunggulan dalam mengimplementasikannya : a.
Unggul SDM, b. Unggul data, c. Unggul pemimpin dan kepemimpinnya, d.
Unggul sarpras(berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi), unggul jejaring,
unggul anggaran.
b. Pemolisian yang berbasis kepentingan.
Model pemolisian yang berbasis kepentingan tidak dibatasi wilayah, namun
dipersatukan oleh kepentingan-kepentingan bersama. Kepentingan-
kepentingan tersebut bisa yang berkaitan: Dengan pekerjaan/ profesi, hobby,
kegiatan, kelompok-kelompok kemasyarakatan. Mode ini dimplementasikan
secara variasi oleh fungsi-fungsi kepolisian yang ada pada pemolisian berbasis
wilayah (Mabes sampai dengan polsek) sesuai dengan kategori-kategori
kepentinganya,(internasional, regional, nasional, maupun tingkat lokal). Melalui
keunggulan-keunggulan tersebut di atas yang di harmonisasikan oleh petugas-
petugas di back office maka walaupun pemolisiannya pada tingkat lokal
sekalipun namun dampaknya dapat menjadi global karena ada sistem-sistem
dasar dan pendukungnya yang saling terkait.
c. Pemolisian yang berbasis dampak masalah.
Akar masalah ini bukan tugas polisi namun merupakan potensi konflik dan
dampaknya dapat menjadi konflik yang dapat mengganggu, menghambat,
merusak bahkan mematikan produktifitas. Yang tentu saja akan menjadi tugas
kepolisian tatkala menjadi gangguan terhadap keteraturan sosial. Pola
pemolisiannya akan juga berkaitan dengan yang berbasis wilayah maupun
yang berbasis kepentingan namun polanya berbeda karena penanganannya
dengan pola khusus atau yang tidak bersifat rutin, walaupun dapat
memanfaatkan sistem-sistem back office. Pola penanganan terhadap dampak
masalah ini ditangani dengan membentuk satuan-satuan tugas (Satgas) yang
juga bervariasi karena juga akan berbeda dampak masalah dari ideologi,
politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, keamanan, keselamatan dan
sebagainya.
4. ERI, SSC, SDC Dan TMC Implementasi E-Poicing pada fungsi lalu lintas
Pemolisian di era digital/ pemikiran-pemikiran tentang model pemolisian pada
fungsi lalu lintas akan sangat penting dalam kaitan mengamanahkan UU No 22 th
2009 tentang LLAJ. Yang bertujuan untuk : 1. Mewujudkan dan memelihara
kamseltibcarlantas, 2. Meningkatkan kualitas keselamatan dan menurunkan tingkat
fatalitas korban kecelakaan, 3. Membangun budaya tertib berlalu lintas 4.
Meningkatkan kualtas pelayanan kepada masyarakat dibidang LLAJ. Lalu lintas
merupakan urat nadi kehdupan, cermin budaya bangsa dan cermin tingkat
modernitas. Sejalan dengan pemikiran di atas pemolisian dibidang lalu lintas perlu
membuat model pemolisian yang merupakan penjabaran dari E-Policing dan
sebagai strategi membangun pemolisian di era digital.
a. ERI (Electronic Registration and Identification) adalah sistem pendataan
Regident secara elektronik yang dikerjakan pada bagian BPKB sebagai
landasan keabsahan kepemilikan dan asa usul kendaraan bermotor. Yang
dianjutkan pada bagian STNK danTNKB sebagai legitimasi pengoperasionalan.
TNKB dapat dibangun melalui ANPR (Automatic Number Plate Recognation).
Dari database kendaraan yang dibangun secara elektronik akan saling
berkaitan dengan fungsi kontrol dan forensik kepolisian serta memberikan
pelayanan prima. Dari ERI ini dapat dikembangkan menjadi program-program
pembatasan pengoperasionalan kendaraan bermotor seperti ERP (Electronic
Road Pricing). ETC (Electronic Toll Collect), e-parking, e-banking (bisa
menerobos/memangkas birokrasi Samsat), ELE (Electronic Law Enforcement).
b. SDC (safety drivingcentre)
Adalah sistem yang dibangun untuk menangani pengemudi dan calon
pengemudi berkaitan dengan SIM dengan sistems-sitem elektronik . Dengan
sistem ini akan terkait dengan ERI (yang bisa dikembangkan dalam RIC/
Regident Centre). Yang bisa digunakan sebagai bagian dari fungsi dasar
Regident (memberi jaminan legitimasi/ kompetensi untuk SIM), fungsi kontrol,
forensik kepolisian dan pelayanan prima kepolisian.
c. SSC (safety dan security centre) merupakan sistem-sistem elektronik yang
mengakomodir pelayanan kepolisian di bidang lalu lintas khususnya yang
berkaitan dengan keamanan dan keselamatan, yang diselenggarakan oleh
Subdit Gakkum, Dikyasa, dan Subdit Kamsel. Dari sistem data dan sistem-
sistem, jaringan informasi yang akan dapat dikerjakan oleh TMC (Traffic
Management Centre).
d. TMC (traffic management centre)
Merupakan pusat K3i (Komando pengendalian, Komunikasi, Koordinasi dan
Informasi) guna memberikan pelayanan cepat (quick response time) yang
dapat mengedepankan Sat PJR, Sat Pamwal, Sat Gatur bahkan petugas-
petugas Satlantas tingkat Polres maupun Polsek.
5. Penutup
Mengapa E-Policing menjadi Pilihan? Hujatan-hujatan, anekdot menjadi
labeling menyebabkan citra buruk polisi sering menjadi latah dan pembenar serta
menggeneralisir walau ulah oknum atau karena buruknya sistem. "apa kerja polisi?
macet di mana-mana; kemana polisinya? apa hebatnya polisi mengungkap kasus
yang sudah di depan mata dan jelas buktinya nampak sulit sekali dan terkesan
mempersulit, pasti ada maunya. Polisi itu UUD (ujung-ujungnya duit). Hasil sebuah
lembaga survey mengatakan Polri sebagai birokrasi terkorup. Berurusan dengan
polisi urusannya dengan uang tunai. Apabila menginginkan jabatan basah harus
membayar. Plesetan-plesetan bagi polisi tak kalah serunya: " sudah pol masih
diisi, pol-pole ngapusi". Polisi tidur saja bikin susah apalagi yang bangun,
kehilangan ayam lapor polisi jadi kehilangan kambing. Mantan presiden Gusdur
mengatakan hanya 3 polisi yang tidak bisa di suap: " patung polisi, polisi tidur dan
Pak Hoegeng".
Banyak lagi ungkapan-ungkapan miring cermin ketidaksukaan, kedongkolan
bahkan mungkin sudah menjadi kebencian. Walaupun belum tentu benar tetapi
kalau diyakini kebenaranya, maka social cost yang harus di bayar polisi sangat
mahal yang ujung-ujungnya adalah ketidak percayaan. Yang menjadi pertanyaan
kita semua mengapa itu bisa terjadi dan masih saja tetapi hidup tumbuh dan
berkembang di masyarakat tanpa mampu dibendung. Orang-orang yang tidak
pernah/ belum pernah berurusan dengan polisi dengan mudahnya mengamini
semua label bagi polisi. Yang mengherankan lagi seakan-akan sudah menjadi
permisive dan hal wajar dan polisinya hampir-hampir tidak ada satupun yang
mampu membantahnya. Seakan-akan apa yang menjadi isu tersebut benar dan
diakui kebenaranya. Hal ini sangat menyakitkan bagi yang sadar dan peduli tetapi
pada kenyataanya banyak yang tidak peduli (EGP : emang gua pikirin), euweuh
pengaruhna. Dan apa yang dikatakan korupsi masih saja ada hidup tumbuh dan
berkembang. Kalau boleh saya analogikan dalam pertandingan tinju, polisi dihajar
terus tanpa mampu membalas, bahkan pingsan, dikipas kipas sampai-sampai
dikencingi sang wasitpun ia tetap saja mendengkur. Tatkala kita bertanya apa yang
menjadi penyebab muncul berbagai pandangan buruk terhadap polisi? Kalau boleh
kita jujur mengatakan antara lain :
a. Tidak memilki karakter, yang hakiki sebagai polisi sudah hilang tergerus oleh
virus korupsi. Semua serba uang, birokrasi dijadikan birokrasi transaksional
(wani piro-oleh piro). Sendi-sendi kekuatanya uang ( rekrutmen, pendidikan
dasar sampai dengan pengembangan, jabatan, pelayanan-pelayanan
kepolisian, fungsi pengawasan, penegakkan hukum, perijinan, dan sebagainya)
b. Kinerja yang tidak profesional, karena pendekatan yang dibangun adalah
pendekatan personal yang tentu saja jauh dari standar kompetensi.
c. Birokrasi yang Patrimonial, semua terpusat / tersentral ke pejabat yang paling
atas sebagai ikon penguasanya. Pembinaanya berbasis pada klik-klik dan
jaringan-jaringan hubungan patron-klien.
d. Pemolisian yang diimplementasikan dalam sistem-sistem yang manual,
konvensional dan manual yang menyebabkan banyak peluang untuk korup
dalam pelayanan kepolisian, dan sifatnya temporer.
e. Sikap-sikap yang arogan dan tidak menghormati kemanusiaan, yang
menimbulkan luka batin dan kekecewaan yang terus menggelinding bagi bola
salju.
f. Orientasi kerjanya pada kekuasaan, kewenangan (jabatan basah). Maka
loyallitas dan orientasinya bukan kepada masyarakat melainkan kepada para
pejabat yang dapat memberikan, melindungi dan melanggengkan
keberadaanya pada posisi jabatan basah tersebut. Di sini muncul istilah
tanaman keras, produk-produk hutang budi.
g. Nilai-nilai budaya organisasi yang aktual berbeda bahkan ada yang
bertentangan dengan yang ideal. Yang ideal dan dijadikan pedoman hidup dan
pedoman kerja (Tri Brata dan Catur Prasetya) sering diabaikan dan melakukan
apa yang menjadi kesukaan pemimpinya dan membuat kesepakatan-
kesepakatan di antara mereka untuk melaksanakan pemolisianya dengan pilar-
pilar uang, kewenangan dan kekuasaan bukan pada pelayanan, perlindungan
maupun pengayoman. Dan menegakkan hukum dengan cara-cara
transaksional (memberikan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu/pamrih)
Upaya mengatasi 7 point di atas di era digital mau tidak mau Polri harus
melakukan perubahan mind set dan culture set pemolisianya melalui E-Policing
yang dapat dijadikan model inisiatif anti korupsi, reformasi birokrasi polri dan bagian
dari Creative Break Through.
Sistem ERi, SDC, SSC, TMC Dan Implementasi E-Policing Pada Fungsi LalulintasMinggu, 24 Agustus 2014, 17:32:07 | TRANSPOLHUKAM
Ilustrasi
TRANSINDONESIA.CO – e-Policing, pemolisian era digtal merupakan pemikiran-pemikiran tentang
model pemolisian pada fungsi lalulintas akan sangat penting dalam kaitan amanahkan UU No 22 Tahun
2009 tentang LLAJ.
Dimana hal ini bertujuan untuk: 1. Mewujudkan dan memelihara keamanan dan keselamatan serta
ketertiban dan kelancaran lalulintas,. 2. Meningkatkan kualitas keselamatan dan menurunkan tingkat
fatalitas korban kecelakaan, 3. Membangun budaya tertib berlalulintas 4. Meningkatkan kualitas
pelayanan kepada masyarakat dibidang LLAJ.
Kita sadari bersama, lalu lintas merupakan urat nadi kehidupan, cermin budaya bangsa dan cermin
tingkat modernitas pada transfortasi yang menjadi satu kesatuan dari kegiatan atau aktifitas manusia.
Sejalan dengan pemikiran diatas, pemolisian dibidang lalu lintas perlu membuat model pemolisian yang
merupakan penjabaran dari e-Policing dan sebagai strategi membangun pemolisian di era digital.
1.Implementasi dari e-Policing pada fungsi lalu lintas dijabarkan sebagai berikut, ERi (Ectronic Regident)
adalah, sistem pendataan Regident secara electronic yang dikerjakan pada bagian BPKB sebagai
landasan keabsahan kepemilikan dan asal usul kendaraan bermotor.
Kemudian dilanjutkan pada bagian STNK dan TNKB sebagai legtimasi pengoperasionalan. TNKB dapat
dibangun melalui ANPR (Automatic Number Plate Recognation).
Dari data base kendaraan yang dibangun secara elektronik akan saling berkaitan dengan fungsi kontrol
dan forensik kepolisian serta memberikan pelayanan prima.
Dari ERi ini dapat dikembangkan menjadi program-progrm pembatasan, pengoperasionalan ERP
(Electronic Road Pricing), ETC (Electronic Toll Collect), e-parking, e-banking (bisa menerobos atau
memangkas birokrasi Samsat), ELE (Electronic Law Enforcement).
2. Safety Driving Centre (SDC)
SDC adalah sistem yang dibangun untuk menangani pengemudi atau calon pengemudi kaitan dengan
SIM (surat izin mengemudi) dengan sistem-sitem electronic. Dengan sistem ini akan terkait dengan ERi
(yang bisa dikembangkan dalam Regident Centre (RiC). Ini bisa digunakan sebagai bagian dari fungsi
dasar Regident (memberi jaminan legitimasi (kompetensi untuk SIM), fungsi kontrol, forensik kepolisian
dan pelayaanan prima kepolisian.
3. Safety Security Centre (SSC) merupakan sistem-sistem electronic yang mengakomodir pelayanan
kepolisian dibidang lalu lintas khususnya yang berkaitan dengan keamanan dan keselamatan. Ini
diselenggarakan oleh Subdit Penegakan Hukum (Gakum), Dikyasa dan Subdit Kemanan Keselamatan
(Kamsel). Dari sistem data dan jaringan informasi yang akan dikerjakan oleh Ttraffic Management Centre
(TMC).
4. Ttraffic Management Centre
TMC merupakan pusat K3I (Komando pengendalian, Komunikasi, Koordinasi dan Informasi) untuk
memberikan pelayanan cepat (quick response time) yang dapat mengedepankan Satuan PJR, Pamwal,
Gatur bahkan petugas-petugas Satlantas ditingkat Polres maupun Polsek.
Penanganan Konflik Sosial
Konflik sosial atau komunal itu disebabkan karena adanya perebutan sumber daya dan atau harga diri,
yang biasanya dipicu adanya konflik pribadi.
Sumber biaya menjadi potensi konflik (bisa orang, uang, jabatan, barang, kekuasaan dan lainnya). Dalam
pemberdayaan sumber daya itu ada hubungan-hubungan kekuatan. Disinilah terjadinya gesekan, isue
dan labeling.
Mana kala labeling ini dibiarkan akan meluas menjadi kebencian, kebencian ini menjadi akar kejahatan
(hate crime). Kalau sudah ada kebencian, maka tinggal menunggu atau menjadi bom waktu yang akan
meledak.
Konflik-konflik pribadi itulah yang menjadi sumbu ledak/detonatornya yang dapat membahayakan tidak
hanya isntitusi tetapi lebih luas lagi pada masyarakat dan negara.
Untuk mencari dukungan atau solidaritas, maka digunakan kelompok-kelompok primordial (suku-bangsa,
agama, ras, asal daerah dan sebagainya). Pada intinya, yang namanya kelompok primordial ini sebagai
legitimasinya atau untuk mendapatkan dukungan masa. Karena biasanya tidak rasional, tetap emosional
dan spiritual.
Konflik-konflik yang semua kecil dan kemudian menggurita serta membesar sampai dapat membahaykan
institusi dan negara dikarenakan persoalan-persoalan ditambah munculnya atau dari isu-isu yang
sengaja dipelihara seperti, ketidak adilan, kemiskinan, penodaan kitab suci, pelecehan agama, korupsi,
diskriminasi dan lainnya.
Dari konsep-konsep tersebut dapat dipahami bahwa konflik sosial (agama) memang bisa terjadi karena
adanya kebencian. Tetapi ada juga yang direkayasa denggan menghembuskan kebencian, yang
biasanya timbul korban dari pihak yang lemah, minoritas atau kelompok-kelompok yang massanya lebih
kecil.
Setidakanya ada 10 langkah yang dilakukan e-Policing mencegah, mengatisipasi dan menangani konflik
sosial guna mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial:
1. Memahami dan mengimplementasi model Polisi Masyarakat (Polmas) baik yang berbasis kawasan
(geographical community maupun yang merupakan community of interest). Dengan sistem-sistem
kemitraan, jejaring, pola kinerja yang proaktif dan problem solving serta ada back office sebagai
pendukungnya (call and command centre). Sehingga sistem penanganan dan pelayanan yang prima
(cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informtif dan mudah diakses) bisa dicapai.
2. Memetakan wilayah, masalah dan potensi sedetail-detainya, sehingga dapat dianalisi sumber-sumber
daya dan potensi-potensi konflik yag ada. Termasuk label-label, isu, bahkan kebencian dari satu
kelompok dengan kelompok lainya.
3. Membagi wilyah-wilayah komuniti dari tingkat RT/RW maksimal Kelurahan ditempatkan petugas-
petugas kepolisian (Babinkamtibmas) yang mempunyai kompetensi Polmas/ Community Policing.
Tujuanya, agar pemolisian lebih dekat, dikenal dan mendapat legitimasi yang keberadaanya menjadi
bagiaan dari masyarakat yang dilayani. Daerah-daerah yang ramai atau padat penduduk dapat dibuat
Pos Pol yang berkompetensi dengan Polmas.
4. Melakukan komunikasi dan kunjungan untuk membangun jejaring dan kemitraan dengan para
pemangku kepentingan lainya. Dalam implementasinya, komunikasi dari hati ke hati sangat penting dan
akan menjadi dasar membangun kepercayaan, sehingga keberadaan polisi aman, menyenangkan dan
bermanfaat bagi masyarakat.
5. Pada konteks konflik antar pemeluk keyakinan keagamaan (agama bisa sama tetapi keyakinan yang
berbeda) dapat menimbulkan konflik dalam atau internal tapi dapat meluas ke luar. Disini, Polisi harus
peka, peduli dan dipercaya sebagai pihak ketiga yang fair dan bisa menjembatani sekaligus menjadi
konsultan penanganan konflik yang keberadaanya bisa diteladani dan dihormati.
6. Para pemuka agama, tokoh-tokoh masyarakat, pemuda dan lapisan masyarakat atau kelompok
sebagai mitra. Nah, disinilah dapat dibangun Forum Kemitraan Polisi (FKP) dengan masyarakat yang
dibangun sebagai gerakan moral karena kepekaan dan kepedulian warganya dalam mewujudkan dan
memelihara keamanan serta rasa aman warga.
7. Para petugas pada wilayah, komuniti atau komunitas (baik Babinkamtibmas atau Pos Pol) diback up
atau dibantu oleh tim Patroli Lalu lintas, Sabhara, jaringn kring Serse, jaringan Intel dan Bimmas.
8. Secara keseluruhan di back up dalam sistem kontrol dari back office sebagai pusat K3I, sehingga ada
sistem-sistem untuk call centre, quick response time, bahkan emergency call (panic button).
9. Saat terjadi konfliik SARA (antar pemeluk keyakinan keagamaan) maka tindakan yang harus dilakukan
adalah:
a.Deteksi dini dari intelkam
b. Penjagaan, pengaturan, perlindungan terhadap kelompok-kelompok minoritas (Petugas dari Brimob,
Sabhara, Lalu lintas melakukan penutupan atau pengalihan arus lalu lintas).
c. Negosiasi oleh tim-tim negosiator, Binmas, Intel dan Reskrim.
d. Reskrim bertugas mencatat, mengamankan provokator-provokator yang dinilai anarkis.
e. Memberdayakan potensi-potensi pemangku kepentingan untuk ikut meredamkan.
10. Rehabilitasi pasca terjadinya konflik baik dengan team terpadu atau mengajak LSM atau relawan untu
bersama-sama memperbaiki kerusakan sosial yang terjadi
Dasar-dasar tersebut merupakan dasar ilmu kepolisian yang harus dapat dilakukan, dimaknai dan
diimplementasikan ditengah masyarakat.
Dimana, ilmu kepolisian adalah ilmu antar bidang yang mempelajari tentang masalah-masalah sosial, isu-
isu penting yang terjadi dalam masyarakat, dan cara-cara penangananya.
Penegakan atau menegakkan hukum dan keadilan juga teknik-teknik penyelidikan dan penyidikan
sampai penangan atau pola dan cara-cara pencegahannya.(CDL-DIY Agustus2014).
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana
E-Policing Menghilangkan Pemberi Budi Dan Produk Hutang BudiSelasa, 26 Agustus 2014, 14:27:09 | TRANSPOLHUKAM
Ilustrasi
TRANSINDONESIA.CO – Kekuatan, kekuasaan, penguasaan dalam pegangan oleh kelompok-kelompok
yang dibangun dari produk pendekatan personal merupakan lahan subur, tumbuh dan berkembangnya
premanisme dalam birokrasi.
Premanisme birokrasi ini merupakan benalu bagi sebuah birokrasi, yang tidak hanya menyebabkan
kontra produktif tetapi juga menjadi kanker yang dapat melumpuhkan bahkan mematikan sebuah institusi.
Produk-produk dari pendekatan personal ini boleh dikatakan sebagai produk “hutang budi” maka, standar
bagi kinerjanya mau tidak mau akan mengarah kepada upaya-upaya balas budi.
Membalas budi dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya akan memanfaatkan kewenangan dan
kekuasaan yang dimilikinya untuk menghasilkan sumber daya untuk dapat membalas budi dengan
berbagai upaya untuk menyenangkan dan melayani para pemberi budi tadi.
Siapa pemberi budi? Pemberi budi bisa seseorang atau sekeompok orang yang mempunyai kekuatan
baik secara struktural, fungsional maupun sosial untuk mengintervensi dalam memberikan atau mencabut
kekuasaan (jabatan/kewenangan).
Para pemberi budi ini sudah memetakan kewenangan, atau kekuasaan yang menjadi idaman, atau
dianggapnya strategis (lahan basah). Basah yang dimaksudkan dalam konteks ini dimaknai sebagai
simbol kekuasaan yang bisa memeras, memungut sesuatu atau mendapatkan sesuatu dalam
pekerjaanya.
Pemberi budi tidaklah sendiri, karena ia sendiri tidak mau tanganya kotor. Maka banyaklah tentakel-
tentakel yang siap dan sanggup menggapai disemua arah dan lini.
Untk menjadi tentakel-tentakel juga harus teruji, memiliki nyali dan loyalitas terhadap pemberi budi.
Bahkan, sanggup menjadi ganjel dan bumper kalau perlu hidup dan kehidupanyapun dipertaruhkan.
Mengapa tentakel itu sampai sedemikian militannya? Ini semua karena para pemberi budi sudah menjadi
bintang penjuru yang dianggapnya sebagai “dewo kamanungsan” (dewa yang nampak) membutakan
nalar dan budinya.
Pemberi-pemberi budi akan menampilkan sebagai sosok suci murni bersih tanpa noda. Walau di otak
dan hatinya kumuh, penuh reka daya dalam memperebutkan sumber-sumber daya untuk selalu dalam
gemgamanya. Rasa yang ada dihati dan pikiranya hanya bagaimana menggapai mengeruk sebanyak-
banyaknya.
Pembagian-pembagian sebagai simbol budi hanya “nyoh, nyoh, nyoh” (sak encrit sak encrit)… ke dirinya
langsung “nyuuuuooohhh buokk” (glodag).
Ia ingin seperti orang-orang yang disebut dalam babad, kitab-kitab kasik bahkan impianya tercatat dalam
sejarah manusia dan peradabanya.
Para pemberi budi, memuja dunia dengan segala kekuasaanya. Kepatuhan dan loyalitas merupakan
tuntutannya, dan ia sudah sangat memimpikan kata-katanya menjadi “sabda”. Doa Raja Midas yang
didaraskanya menjadi lali jiwo, lupa hati, hilang rasa karena jiwa yang sudah digantikan oleh dunia dan
kekuasaanya.
Rekayasa pekerjaanya, balas dendam kebanggaan dan prestasinya, merupakan hutang budi produk dan
karyanya.
Menjadi pemberi budi bukanlah perkara mudah dan tidak gampang mencapai atau menduduki kursi
pemberi budi.
Kebanyakan para pemberi budi juga produk-produk dari hutang budi, sehingga bagaikan “lingkaran
setan” yang tidak ada ujung pangkalnya.
Para pemberi budi ini juga merupakan mantan-mantan tentakel yang gradenya naik dalam strata yang
lebih tinggi, namun watak dan spiritnya tetap saja sama, yaitu memelihara atau melanggengkan sistem
hutang budi.
Kebaikan-kebaikan si pemberi budi bukanlah kebaikan yang tulus atau humanis, melainkan kebaikan
pamrih. Didasari ada keinginan-keinginan tertentu untuk pencitraan supaya tidak digolongkan jahat
ataukejam.
Tanpa disadari, pemberi budi ini telah memupuk tumbuh dan berkembangnya korupsi dan menjadikan
dirinya sebagai bagian dari otoritarianisme. Karena, siapa saja yang berani melawan, bertentangan
bahkan hanya merasai saja bisa dimatikan karir, hidup dan penghidupanya. Yakni, dengan tidak lagi
memberikan jabatan basah, karena berani membangkang dianggap orang yang tidak loyal, pura pura
gila, munafik dan yang pasti dianggap duri dalam daging.
Bagaimana mengatasi narsisme pemberi budi yang merasa “dewa” pemurah hati?
Maka jawabannya tak lain adalah membangun sistem secara eelektronik yang menjadi salah satu “obat”
mengikis otoritarianisme para pemberi budi. Ini akan menghambat laju pertumbuhan premanisme
birokrasi, yang berarti dapat menghilangkan jabatan-jabatn basah dan mengembalikan pendekatan-
pendekatan impersonal (berbasis kompetensi) sebagai landasan kinerja birokrasi.
Sistem yang dibangun adalah, sistem e-Policing yang memiliki pelayanan prima, cepat, tepat, akurat,
transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses.
Itulah standar-standar yang harus dipenuhi dan dinilai dari keberhasilan seorang pemimpin yang
transformatif, bukan pelaku otoritarianisme dan bukan pula menjadikan dirinya “narsis” sebagai pemberi
budi.(CDL-Agst2014)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana
E- Policing dalam Bidang SDMSELASA, 26 AGUSTUS 2014 08:05 REDAKSI
66 READINGS
Oleh: DR. Chryshnanda Dwilaksana *)Pembinaan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan bagian penting dalam sebuah institusi karena SDM merupakan aset utama dari institusi tersebut. Pembinaan SDM yang baik adalah yang menghasilkan atau menumbuh kembangkan SDM yang berkarakter.
SDM yang berkarakter dalam konteks ini adalah pembinaan SDM yang berbasis pada kompetensi; membangun disiplin atas dasar kesadaran dan tanggungjawab serta mampu menanamkan nilai-nilai budaya organisasi (core value) kepada setiap individu untuk mempunyai komitmen dalam mencapai tujuan organisasi.
Dalam birokrasi yang patrimonial kita melihat ada sistem-sistem pembinaan SDM yang berbasis pada pendekatan-pendekatan personal, tumbuh+berkembangnya
jabatan-jabatan yang dianggap basah+ menjadi favorit, yang mengabaikan kompetensi bahkan tak jarang menimbulkan konflik internal karena perebutan jabatan.
Rekrutmen yang sarat KKN, sistem kinerja yang tidak jelas (PGPS: pinter goblok penghasilan sama) dan banyak hal lain yang menjadikan birokrasi tidak sehat.
Itu semua akibat dari sistem pembinaan SDM yang manual, konvensonal, parsial dengan pendekatan-pendekatan personal.
Pembinaaan SDM secara elektronik dibangun untuk mengikis/meminimalisir hal tersebut diatas. Diharapkan pembinaan SDM secara elekronik akan mampu :
1. Membangun sistem data base bagi setiap anggtota Polri di semua lini+tingkatan sesuai komptensi+ spesifikasi sebagai track recordnya
2. Membangun standar-standar kualifikasi /standar kompetensi untuk penempatan, promosi, mutasi+demosi.
3. Memberikan akuntabilitas untuk mengikis KKN + menuju the right people in the right place.
4. Membangun sistem jejaring/networking dengan divisi, bagian, satuan fungsi baik internal+ekternal.
5. Membangun dasar-dasar memberikan penilaian kinerja +remunerasi juga reward+punishment.
6. Penyaluran kerja/penggunaan SDM secara fungsional di dalam maupun di luar struktur Polri.
7. Membangun kaderisasi bagi pemimpin di masa datang.
8. Menunjukan adanya transparansi, akuntabilitas +memberikan harapan bagi anggota Polri berkarier/ mengambil keputusan.
Pembinaan SDM secara elektronik memerlukan sistem jejaring untuk pendataan, koordinasi, komunikasi + informasi bahkan untuk sinergitas+ harmonisasi sebagai back office, yang mempunyai link dengan bagian pembinaan di tingkat Mabes, Polda, Polres (baik untuk link SDM dari bagian-bagian)
Pembinaan SDM yang berbasis elektronik diperlukan adanya SOP (standart operaton procedure) yang berisi:
1. Jod descriptio+job analysis
2. Standardisasi keberhasilan tugas (yang dijabarkan berjenjang yang mencakup: kepemimpinan, administrasi, operasional+capcity building)
3. Sistem penilian kinerja yang mencakup kepemimpinan, administrasi, operasiona+capcity building
4. Sistem reward+punishment
5. Etika kerja (apa yang harus dilakukan/ apa yang tidak boleh dilakukan +produk yang harus dihasilkan). Ini juga dijabarkan berjenjang dan variatif. (Do+dont). (Pamen Polri Pangkat Komisaris Besar Polisi *)
Polisi Gaul: Pemolisian dalam Media SosialRABU, 27 AGUSTUS 2014 08:07 REDAKSI
60 READINGS
Chryshnanda (kiri) dan Putu Sutawijaya
Oleh: DR. Chryshnanda Dwilaksana *)
Media sekarang ini bagai penghubung di semua lini yang mampu menembus sekat ruang dan waktu. Dahulu ada
istilah tembok bisa mendengarkan dan angin membawa berita. Sekarang ini media di era digital semakin luar biasa
kecepatanya. Di sudut-sudut dunia ini tercover olehnya.
Media cetak dan elektronik pun sekarang serasa ketinggalan dari lajunya media sosial. Apa saja ada di sana, yang
sudah matak bertemupun bisa ditelusuri kembali. Dampak negatifnya semakin bebas orang menebar makian dan
kebencian. Memaki, memuji bahkan membual sekaliipun mungkin terjadi. Tak ada lagi kontrol dan saringan yang
menseleksinya. Apapun yang dikirimnya maka jadilah.
Media pun digunakan sebagi sarana propaganda, promosi, pengajaran bahkan hasutan-hasutan yang dapat
membangun, menambah waawasan bahkan merusak citra dan iman sekalipun. Media sosial banyak maafaat namum
mudaratnya pun tak kalah hebatnya.
Polisi dalam pemolisianya bisa membangun program-program, di media sosial sebagai promosi, edukasi atau
mengajak berpartisipasi, kemitraan dan membangun jejaring. Para folower bisa menjadi soft power, jembatan
informasi bagi polisi maupun masyarakat dalam membangun keamanan + rasa aman.
Pemolisian di media sosial merupakan bagian dari e-policing. Model pemolisian dalam media sosial berkaitan
dengan seni dan selera yang sedang menjadi issue dalam masyarakat. Tatkala tidak mampu mengimbangi seni
selera ini bisa jadi akan sepi, ditinggalkan bahkan para followernya akan meninggalkanya. Seni dan selera sebagai
anak gaul inilah yang dapat dterima dan dianggap sebagai bagian dari komunitas mereka. Pemolisian dalam media
sosial sebaga polisi gaul. (Pamen Polri Pangkat Komisaris Besar Polisi *)
E-Policing Penyaring Cinta Pekerjaan Dan Cinta JabatanRabu, 27 Agustus 2014, 12:34:23 | TRANSPOLHUKAM
TRANSINDONESIA.CO - “Jabatan adalah amanah yang bisa menjadi berkah, namun tatkala dikuasai
dengan cara yang salah maka akan menjadi musibah”.
Jabatan, merupakan tugas dan tanggungjawab bagi pejabat yang diberi kewenangan maupun kekuasaan
untuk mengelolanya, meningkatkan kualitas hidup masyarakat atau setidaknya menjadikan institusi yang
dipimpinya lebih maju atau mendapatkan citra serta kepercayaan dari masyarakat yang dilayani.
Jabatan juga merupakan potensi sumber daya yang diperebutkan oleh banyak orang yang “mampu dan
merasa mampu”, maka e-Policing dapat menyaring mana orang yang mampu dan yang merasa mampu.
Bagi orang-orang yang mampu, pendekatannya adalah impersonal atau basisnya pada kompetensi,
sehingga profesional dalam mengelola kekuasaan dan kewenangan yang akan membawa berkah bagi
banyak orang.
Sedangkan bagi orang-orang yang merasa mampu, basisnya adalah pendekatan-pendekatan yang
bersifat personal, kekerabatan, jaringan-jaringan patron klien yang kadang mengabaikan atau
memandang sebelah mata pada kompetensi.
Bisa diprediksi, penguasaan dengan cara-cara pendekatan personal akan berdampak pada
penyalahgunaan wewenang yang akan menambah beban bagi masyarakat yang dilayani.
Parahnya lagi, bisa mendatangkan musibah akibat ketidak profesionalanya atau diakibatkan
pendekaatan-pendekatan yang bertentangan dengan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas hidup
masyarakat.
Salah satu ciri orang yang profesional adalah bangga dan mencintai pekerjaanya dengan penuh dedikasi.
Mengapa demikian? Karena dirinya sadar dan menguasai bidang tugasnya untuk memajukan dan
meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Namun, sebaliknya salah satu contoh ketidak profesionalan adalah mencintai jabatanya tanpa merasa
perlu dedikasi. Tentu jabatan yang dianalogikan ini sebagai jabatan-jabatan “basah”.
Para pecinta jabatan ini akan melanggengkan atau menyuburkan premanisme birokrasi dan kelompok-
kelompok pecinta jabatan ini akan berupaya mati-matian membangun kerajaan atau jaringan dalam
birokrasi untuk menguasai jabatan yang dianggap basah.
Kembali lagi, akan menampilkan sosok pemberi budi dan lahirnya kelompok-kelompok hutang budi.
Pada level-level tertentu, jabatan yang dinilai strategis (yang bisa dianalogikan sebagai jabatan basah),
pemilihan pejabatnya bisa dengan cara lelang atau dengan uji kompetensi sebagai salah satu cara
memangkas tentakel-tentakel yang akan melahirkan kelompok-kelompok hutang budi.
e-Policing, menggunakan standar kompetensi menjadi suatu cara memangkas premanisme birokrasi.
Standar kompetensi juga dapat dikategorikan dalam bidang, kepemimpinan, administrasi, operasional
dan capcity building.(CDL-Agst2014)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana
Polisi Gaul: Pemolisian dalam Media SosialRABU, 27 AGUSTUS 2014 08:07 REDAKSI
63 READINGS
Oleh: DR. Chryshnanda Dwilaksana *)Media sekarang ini bagai penghubung di semua lini yang mampu menembus sekat ruang dan waktu. Dahulu ada istilah tembok bisa mendengarkan dan angin membawa berita. Sekarang ini media di era digital semakin luar biasa kecepatanya. Di sudut-sudut dunia ini tercover olehnya.
Media cetak dan elektronik pun sekarang serasa ketinggalan dari lajunya media sosial. Apa saja ada di sana, yang sudah matak bertemupun bisa ditelusuri kembali. Dampak negatifnya semakin bebas orang menebar makian dan kebencian. Memaki, memuji bahkan membual sekaliipun mungkin terjadi. Tak ada lagi kontrol dan saringan yang menseleksinya. Apapun yang dikirimnya maka jadilah.
Media pun digunakan sebagi sarana propaganda, promosi, pengajaran bahkan hasutan-hasutan yang dapat membangun, menambah waawasan bahkan merusak citra dan iman sekalipun. Media sosial banyak maafaat namum mudaratnya pun tak kalah hebatnya.
Polisi dalam pemolisianya bisa membangun program-program, di media sosial sebagai promosi, edukasi atau mengajak berpartisipasi, kemitraan dan membangun jejaring. Para folower bisa menjadi soft power, jembatan informasi bagi polisi maupun masyarakat dalam membangun keamanan + rasa aman.
Pemolisian di media sosial merupakan bagian dari e-policing. Model pemolisian dalam media sosial berkaitan dengan seni dan selera yang sedang menjadi issue dalam masyarakat. Tatkala tidak mampu mengimbangi seni selera ini bisa jadi akan sepi, ditinggalkan bahkan para followernya akan meninggalkanya. Seni dan selera sebagai anak gaul inilah yang dapat dterima dan dianggap sebagai bagian dari komunitas mereka. Pemolisian dalam media sosial sebaga polisi gaul. (Pamen Polri Pangkat Komisaris Besar Polisi *)
Pandangan Beragam Merupakan Satu Kesatuan Gerakan MoralKAMIS, 28 AGUSTUS 2014 08:51 REDAKSI
78 READINGS
Oleh: DR. Chryshnanda Dwilaksana *)
Mengapa Hoegeng?
Ada yang mempertanyakan apa hebatnya Hoegeng?
Apa yang sudah diperbuat Hoegeng bagi institusi?
Bukankah Hoegeng juga membangkang pimpinan?
Bukankah Hoegeng tidak bisa main Golf?
Banyak pertanyaan tentang Hoegeng dan kehebatan Hoegeng. Yang jelas Hoegeng adalah anggota Polri dan dalam
kariernya boleh dibilang istimewa karena Hoegeng sampai pada karier puncaknya sebagai Kapolri, pernah kerja
menjadi Kepala Jawatan Imigrasi, Menteri Iuran Negara. Menjadi pejabat yang biasa-biasa saja banyak juga yang
menjadi pejabat.
Hoegeng pun hidup biasa biasa saja namun bersahaja sebagai seorang pejabat yang tidak borju (istilah bagi orang
yang ekslusif dan berada dalam golongan/ lingkaran khusus kelas ndoro yang berada dimenara gading yang jauh
dari bumi dan kaum andahan yang sering disebut orang-orang kebanyakan).
Orang yang tidak borju sering dianggap ndeso, kuper bahkan menjadi golongan lemah dan sering dilemahkan
bahkan menjadi bulan-bulanan, namun tidak bagi seorang Hoegeng. Itulah istimewanya Hoegeng, mempunyai
karakter, berprinsip untuk menunjukan yang baik dan benar walau akhirnya harus dicopot dan dilengserkan sebagai
Kapolri dalam usia muda.
"Sedumuk Bathuk Senyari Bumi, pecahing dhodho wutahingudiro, pecating jonggo pegating nyowo sun lakoni".
Harga diri , prinsip hidup dan karakter Hoegeng sekarang ini menjadi oase bagi anggota Polri yang di label dan
berimage buruk. Hoegeng patut kita banggakan spiritualitas hoegeng patut kita tumbuh kembangkan dan tanamkan
bagi generasi muda Polri.
Ibu Kartini tokoh emansipasi wanita yang inspiratif, beliau pendidikan formalnya terbatas, namun spiritualitasnya
sangat luar biasa. Beliau memang tidak menghasil master dan doktor bahkan beliau bukan profesor. Tetapi
spiritualitas yang diteladankan yang ditanamankan walausangat singkat yang terungkap dimana surat-suratnya
kepada keluarga abendanon itulah yang menjadi buku "Habis Gelap Terbitlah Terang" . Buku itu inspiratif luar biasa
keluarga abendanon mampu menunjukan Kartini sebagai elang bukan ayam biasa.
Jendral Hoegeng pun demikian beliau bagai sang rajawali bagi polri yang mampu menjadi oase dalam padang pasir
yang kering akan inspirasi bagi anggota polri yang haus akan kebaikandan kebenaran hakiki sebagai petugas polisi.
Polisi bagai telur rajawali yang dierami ayam kampung menetas dan hidup bagai ayam kampung yang hanya hidup
dan mengais-ngais tanah sampai mati tak pernah terbang. Kita memerukan pemimpin-pemimpin yang mampu
menemukan + menyadarkannya sebagai rajawali yang mampu terbang mengangkasa ke mana-kemana.
Hoegeng bisa kita jadikan ikon polisi yang berhati nurani. Dalam hidup +kehidupanya sebagai polisi mampu
memaknai hidup untuk membangun kehidupan bagi institusi yang dipimpinya dan masyarakat yang dilayaninya.
(Pamen Polri Pangkat Komisaris Besar Polisi *)
E-Policing Cetak Polisi Hebat Dan BermartabatKamis, 28 Agustus 2014, 11:53:45 | TRANSPOLHUKAM
Patroli Polisi Tempoe Doeloe.(ist)
TRANSINDONESIA.CO – Polisi hebat dan martabat adalah pemolisian yang mampu mengangkat harkat
dan martabat manusia (nguwongke), e-Policing bisa mencetak polisi-polisi hebat dan bermartabat tidak
hanya untuk korps dan masyarakat tetapi juga hebat dan bermartabat untuk diri dan keluarganya.
Keberadaan polisi hebat dan bermartabat akan melegakan, memberi rasa aman bagi warga masyarakat.
Mampu menjembatani, menjadi teman dan sahabat dalam peenderitaan, kedukaan dan tidak berlebihan
juga dapat dikatakan sebagai sosok penolong.
Konteks hebat bagi polisi memang bukan semata-mata dari teknologinya tetapi bagaimana polisi mampu
menjadi ikon kemanusiaan, peradaban dan ikon bagi hidup dan kehidupan dimasyarakat.
Ini berarti, keberadaan polisi diterima dan mendapat dukungan yang tulus dari warga masyarakat,
sehingga menjadikan polisi bermartabat.
Polisi hebat dan bermartabat bukan atas dasar pangkat/jabatan atau hal-hal yang kedagingan/
keduniawian. Melainkan polisi yang dengan otak, otot dan hati nuraninya dicurahkan bahkan rela
dikorbankan demi warga yang dilayaninya dapat hidup aman, nyaman tenteram damai, tanpa adanya
rasa ketakutan dari ancaman hambatan/gangguan dalam hidup dan kehidupanya. Selain itu juga ditandai
adanya budaya patuh hukum diatas dari segalanya.
Sayangnya, sekarang ini banyak yang terbalik-balik, dimana nilai dan tatanan yang hakiki sebagai polisi
dengan orientasi-orientasi kedagingan, hedonisme, pangkat dan jabatan sebagai simbol
kekuasaan/kewenanganya justru menjadi jauh dengan masyarakat.
Inginnya, banyak pendapat walau tidak mampu memberi pendapat, banyak tantangan walau tidak
mampu mengatasi tantangan.
Orientasi ini biasaya pada tempat-tempat yang basah (mata air) tanpa pernah membasuh/mengusap air
mata masyarakatnya. Orientasi ini biasaya tidak jauh dari semboyan “WPOP” (wani piro oleh piro)
Keberadaanya-pun membuat takut, resah, nggapleki bagi masyarakat terutama kaum-kaum marginal
yang rentan.
Pemolisian ini, sama sekali tidak mnyentuh hati dan perasaan karena semangat WPOP ditambah UUD
(ujung-ujungnya duit), sehingga tidak lagi peka dan peduli akan kemanusiaan/manusia lainya, “Sing
penting pung nak pung no” (mumpung enak mumpung ono).
Gaya seperti ini njeelehi dan bisa dianalogikan bagai bedhes bandulan atau model unthul munyuk dan
jaran keplakan.
Akibatnya, bukan menjadi ikon positf, melainkan menjadi bahan plesetan, anekdot dan kritikan yang
social costnya sangat mahal.
Namun apa daya, kalau bedhes yang hatinya cukup seenang bandhulan saja, atau munyuk yang
djadikan unthul, jaran yang mondar mandir karen dikeplaki. Sayang memang.
Disinilah perlunya pemimpin untuk menjadikan bedhes dan munyuk serta jaran yang tadinya jadi bahan
olok-olokan menjadikan ikon kmanusiaan yang lemah lembut dan rendah hati yang mampu melegakan
beban atau menjadi jembatan/mitra-sahabat yang aman, menyenangkan dan membawa manfaat.
Mendengar atau melihat ada polisi rasa aman menyelimuti dan menaungi seluruh warga. Polisi dengan
pemolisiannya, harus mampu menjadi ikon penjaga kehidupan, pembangun peradaban dan pejuang
kemanusiaan, sehingga atau dengan e-Policing dapat menempah dan mencetak polisi-polisi hebat dan
bermartabat. Semoga !.(CDL-Agst2014)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana
Kepekaan dan Kepedulian dalam Konteks KepolisianJUMAT, 29 AGUSTUS 2014 07:05 REDAKSI
59 READINGS
DR. Chryshnanda Dwilaksana
Oleh: DR. Chryshnanda Dwilaksana *)
Peka dalam konteks kepolisian dapat dipahami adanya kemampuan deteksi dini, kemampuan memprediksi bahkan
menyiapkan pola-pola pemolisianya yang tepat untuk mewujudkan+ memelihara keteraturan. Kepekaan merupakan
cermin dari skill+knowledge yang dimiliki oleh para petugas secara perorangan maupun dalam institusi . Institusi
menjadi peka karena memiliki sistem-sistem yang kreatif, inovatif dan dinamis yang setiap saat mampu berubah
mengkuti bahkan melampaui perkembangan jaman. Yang berarti sebagai institusi pembelajar.
Sedangkan kepedulian merupakan sikap empati yang atas dasar kesadaran, tanggungjawab dan dikerjakan dengan
ketulusan hati dan tentu saja disiplin. Pada konteks polisi+pemolisianya kepedulian dapat dipahami adanya empati
terhadap kemanusiaan. Yaitu mengangkat harkat+ martabat manusia. Memajukan, menyadarkan, mengedukasi,
melayani, menolong, menjembatani bahkan memberikan segala sumber daya yang ada untuk optimalnya
kemajuan/terwujud serta terpeliharanya keamanan + rasa aman sserta keselamatan dalam masyarakat.
Bagaimana membangun kepekaan dan kepedulian? Peka + peduli merupakan suatu karakter unggul yang dasarnya
adalah pada edukasi. Karena edukasi yang berkarakter tidak hanya mengajarkan tetapi juga menyadarkan.
Membangun institusi pembelajar merupakan fondasi yang harus dibangun dengan kuat untuk dijadikan acuan/
pijakan bagi implementasi pemolisianya baik untuk kepemimpinanya, admnistrasi, operasional maupun capacity
building.
Selain itu juga perlu adanya, integritas, komitment, konsistensi+kebersinambungan dalam membangun institusi
pembelajar tadi. Saat-saat transisi diperlukan sosok pemimpin dengan kepemimpinanya yang tangguh, yaitu
pemimpin yang transformatif. Pemimpin yang transformatif adalah pemimpin yang patut diteladani, baik otaknya yang
visiioner, wawasanya yang luas, mimpi-mimpi+ kreatifitasnya, kepekaan +kepedulianya untuk berani berkorban+
dengan tulus iklas demi keunggulan, kemajuan institusi yang dipimpinya, maupun masyarakat yang
dilayaninya. (Pamen Polri Pangkat Komisaris Besar Polisi *)
E-Policing Solusi Perbaikan Citra PolisiJumat, 29 Agustus 2014, 15:18:18 | TRANSPOLHUKAM
Ilustrasi
TRANSINDONESIA.CO – “Mengapa polisi dan pemolisianya tidak bisa diandalkan apalagi diunggulkan,
karena atau citranya memburuk?”, Ini pertanyaan yang harus dijawab dan diperbaiki secara institusi.
Menjawab dan memperbaiki dua hal yang berbeda dan saling berkaitan, menjawab bermakna dapat
mengetahui akar masalahnya. Sedangkan memperbaiki adalah kompetensi untuk melakukan tindakan,
memperbaharui atau melakukan upaya untuk tidak mengulangi kesalahan.
Dimana akar masalah penyebab dari citra atau image buruk?, Itu dikarenakan ada sesuatu yang
membuat kecewa, marah, sakit hati. Yang merupakan produk dari ketidak profesionalan, atau dampak
dari label atas isu-isu yang beredar atau belum tentu benar namun diyakini kebenaranya, tapi diadili
secara sosial dengan label-label tertentu.
Pembicaraan dari mulut ke mulut dapat menjadi pembenar atas penghakiman secara sosial akan
berbahaya atas label tersebut. Ini akan dapat berkembang menjadi kebencian, dan tatkala kebencian
sudah mendominasi opini publik maka tinggal menunggu detonator atau sumbu ledaknya untuk menuju
kehancuran.
Tidak gampang untuk memperbaiki citra buruk, tetapi dengan kemauan dan menjalankan atau
menerapkan e-Policing secara profesional yang dimulai dari hal yang mendasar yakni akar atau dasar
permasalahan yaitu, dari profesionalismenya yang dapat dibangun dari kepemimpinan, admnistrasi dan
operasional serta capacity building-nya.
Bentuk pelayananya, lambat dan sarat dengan potensi-potensi penyimpangan, tentu saja sulit memenuhi
harapan, dan tantangan, serta ancaman dimasa kini yang jauh dari kata profesional.
Selan itu, moralitas dan kemampuan untuk mencari terobosan-terobosan baru (inovasi dan kreatifitas)
karena adanya berbagai keterbatasan. Memperbaiki citra bermakna, membangun kepercayaan dengan
membangun karakter yang dalam konteks ini dapat dipahami memilikii komitmen, kompetensi, dan
keunggulan.
Menerapkan electronic Policing (e-Policing) merupakan solusi memperbaiki citra polisi, sebagai upaya
membawa community policing pada sistem-sitem online yang akan memperbaharui sistem konvensional
dan parsial.
Melalui e-Policing yang berarti mengelektronikan program-program menjadi satu sstem yang terpadu dan
berkesinambungan sebagai satu rangkaian sistem dalam biroktasi yang mencakup pada bidang, 1.
Kepemimpinan, 2. Admnstrasi, 3. Operasional dan 4, Capacity buildng.
Sistem-sistem penghubung dibangun dengan sistem data base dan jejaring pada semua lini yang dapat
digunakan untuk memprediksi, mencegah, menangani, memperbaiki, meningkatkan bahkan membangun.
Dalam sebuah organisasi yang besar untuk dapat bertahan hidup tumbuh dan berkembang diperlukan
suatu ketahanan untuk tetap eksis dan produktif.
Eksistensi dan produktifitas itulah yang menjadikan keunggulan suatu organisasi, bagi institusi kepolisian
dapat diartikan bahwa keberadaanya masih mendapatkan kepercayaan dan keberadaanya diterima dan
mendapatkan dukungan dari masyarakat yang dilayaninya. Dan diakui sebagai bagian dari masyarakat
itu sendiri.
e-Polcing membuat polisi tetap eksis dan keberadaanya diakui diterima dan dapat menjadi bagian dari
masyarakatnya dan mendapat dukungan. Yang tak kalah pentingnya, mampu membuat polisi menjadi
unggul dan mampu diunggulkan.(CDL-Jambi)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana
E-Policing, Berpikir Konseptual Dan Bertindak PragmatisSabtu, 30 Agustus 2014, 10:57:43 | TRANSPOLHUKAM
Ilustrasi
TRANSINDONESIA.CO – “Ah itu kan teori…buat apa, yang penting lapangannya. Teori itu omong doang,
tidak ada karya nyata, tidak bisa dirasakan kerjanya”.
Pandangan dan cara berpikir seperti ungkapan diatas masih banyak ditemukan, bahkan ada yang
meyakini sebagai kebenaran mutlak kalau mengerjakan tugas polisi itu cukup dengan tugas-tugas
lapangan.
Inilah sebuah fenomena ketidak berdayaan dalam olah pikir, sehingga terlalu sederhana cara berpikir
atau menganggap enteng suatu masalah yang kompleks.
Apa yang dipikirkan dan diikerjakan tentu sifatnya temporer, reaktif, bahkan tidak mmpu memperbaiki,
apalgi memprediksi.
Tugas Polisi tertulis sangat singkat, “to serve and to protect” namun maknaanya sangat dalam dan
sangat kompleks yang tidak bisa dikerjakan dengan cara-cara serampangan tanpa memikirkan apa
esensi dari melayani dan melindungi.
Tatkala polisi tidak mampu memahami filosofinya maka, ketika melayani dan melindungi ada sesuatu
yang diharapkan (pamrih). Inilah yang secara kritikal polisi tidak lagi menjdi co producer melainkan menjdi
kontra produktif.
Pelayanan dan perlindungan yang diberikan oleh polisi adalah, keamanan dan rasa aman. Tatkala hanya
ada aman tanpa rasa aman, ini menunjukan adanya ketimpangan dalam tata kehidupan sosial dalam
msyarakat.
Dapat dipahami bahwa aman tanpa rasa aman berarti ada tekanan, kwajiban-kewajiban yang
menunjukan bahwa keamanan yang ada adalah semu.
Tanpa pemuliaan, tugas polisi sangat mulia dan profesi, karena polisi sebagai penjaga kehidupan,
pembangun peradaban dan sekaligus pejuang kemanusiaan.
Memahami filosofi dari tugas polisi diperlukan pemikiran konseptual bahkan teoritikal yang memang
harus dijalaksanakan secara pragmatis oleh seluruh anggotanya di semua lini sesuai dengan peran dan
fungsinya masing-masing.
Tugas-tugas kepolisian memang sangat kompleks namun, secara garis besar digolongkan menjadi tiga
basis yakni, 1. Berbasis wilayah dan 2. Berbasis kepentingan dan 3. Berbasis dampak masalah.
Secara konseptual memang harus dipikirkan untuk membuat buku pedoman kerja/manual book, yang
berisi petunjuk-petunjuk melaksanakan pekerjaan polisi, mencakup kepemimpinan, administrasi,
operasional dan capacity building.
Dalam pekerjaannya, Polisi bekerja untuk:
1.Mengimplementasikan amanat undang – undang dan peraturan-peraturan yang berlaku.
2.Memenuhi Kebutuhan keamanan dan rasa aman dari warga masyarakat yang bisa bervariasi menurut
corak masyarakat dan kebudayaanya.
3.Mengatasi ancaman, tantangan, gangguan maupun hambatan baik lokal, nasional, regional bahkan
global yang merusak keteraturan sosial
4.Membangun jejaring dan kemitraan dengan para pemangku kepentingan untuk membangun harmoni
dan keteraturan sosial dengan tindakan-tindakan pencegahan, menangani gangguan kamtibmas dan
merehabilitasi dampak dari gangguan kamtibmas tersebut.
Pekerjaan-ekerjaan polisi hendaknya dituangkan dalam sebuah buku manual yang merupakan
penjabaran dari model pemolisian yang dibangun dengan prinsip-prinsip mendasar. Buku manual
tersebut dapat diimplementasikan melalui program-program operasional baik yang bersfat rutin, khusus
dan kontijensi.
Di era digital ini dibutuhkan pemolisian yang mampu memberikan pelayanan prima (cept, tepat, akurat,
trnspran, akuntabel, informatif dan mudah diakses).
Pedoman tugas yang saat ini ada sebagai peraturan-peraturan yang konservatif dan tidak menarik
bahkan, terkesan menjadi pengkebirian kratifitas atau inovasi.
Polisi bekerja memang harus memiliki dasar dan payung hukum namun, tatkala pengaturanya terlalu
ketat maka akan amenyulitkan bagi polisi sendiri, karena pekerjaan polisi bukan semata-mata
menegakan aturan sbagai “law in the book”, melainkan diperlukan ” law in action” sehingga dpt ditemukan
keadilan dan terlindunginya harkat dan martabat manusia.
Kita kembali pd makna to serve (melayani) dan to protect (melindungi), dimana melayani dalam konteks
tugas kepolisian adalah pelayanan keamanan, pelayanan keselamatan yang harus dibangun dengan
pemikiran-pemikiran secara konseptual dan teoritikal untuk menemukan prinsip-prinsip yang mendasar
dan berlaku umum.
Hal hakiki dari to serve and to protect sebagai acuan dasar yang dapat dipahami maknanya dengan
menjabarkan untuk dijadikan panduan tindakan pragmatis dilapangan sesuai dengan fungsi atau bagian
masing-masing yang juga dapat disesuaikan dengan corak masyarakat dan kebudayaanya.
Peraturan dan perundang-undangan memang harus ada dan dibuat sebagai landasan legal formal
dengan penjabaran dalam bentuk buku manual/vademikum atau buku-buku kerja/ leaflet/poster/film dan
sebagai pustaka untuk membangun birokrasi pembelajaran.
Apabila tidak dilakukan, maka pemikiran-pemikiran dalam peraturan dan perundang-undangan akan
menjadi sebuah kitab omong kosong saja (meminjam istilah Dr Seno Gumira Adji Dharma).(CDL-Jambi)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana
E-Policing Berbasis Dampak Masalah Sebagai Model PolmasMinggu, 31 Agustus 2014, 12:06:41 | TRANSPOLHUKAM
Patroli Polisi Tempoe Doeloe.(ist)
TRANSINDONESIA.CO – e-Policing (Pemolisian) berbasis dampak masalah sebagai model
implementasi Polisi Masyarakat (Polmas) atau community Policing adalah Pemolisian segala usaha atau
upaya mewujudkan dan memelihara keamanan, rasa aman maupun keteraturan sosial pada tingkat
manajemen maupun operasional dengan atau tanpa upaya paksa.
Secara garis besar, pemolisian dapat digolongkan sebagai pemolisan yang konvensional dan pemolisian
kontemporer (kekinian).
Dimana pemolisian yang konvensional lebih mengedepankan penegakan hukum, memerangi kejahatan,
yang bersifat reaktif. Penyelenggaraanya banyak yang manual, parsial dan temporer.
Sedangkan pemolisian yang kontemporer dilaksanakan secara proaktif, mengedepankan tindakaan
pencegahan, membangun kemitraan. Dengan pola implementasi juga menggunakan ilmu pengetahuan
dan teknologi untuk memberikan pelayanan yang prima (cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabeel,
informatf dan mudah diakses). Ini dikenal sebagai community policing (Polmas).
Model implementasi community policing (Polmas) sekarang ini ada dua yakni:
1. Berbasis wilayah (dengan batas-batas geografi yang jelas), ini diselenggarakan dari Mabes, Polda,
Polres, Polsek dan subsektor sampai dengan petugas Babinkamtibmas.
2. Berbasis kepentingan (tidak berbatas yang jelas disatukan oleh kepentingan-kepentingan), ini
dilaksanakan oleh fungsi-fungsi teknis kepolisian maupun oleh fungsi-fungsi pendukungnya.
Model pemolisian yang berbasis wilayah dengan yang berbasis kepentingan salling terkait dan
merupakan satu bagian sistem yang terintegrasi.
Pada implementasi, pemolisian sebenarnya masih ada model yang dapat dibangun yaitu, pemolisian
yang berbass dampak masalah. Karena kepentingan didalamnya bukan bagian dari urusan kepolisian,
namun ketika menjadi masalah dampaknya akan mengganggu, mengancam, merusak bahkan bisa
mematikan produktifitas.
Disinilah yang berbasis dampak masalah penangananya diperlukan keterpaduan atau integrasi dari
pemangku kepentingan ataupun antara satuan fungsi.
Dengan membangun model pemolisian yang berbasis dampak masalah akan dapat menjadi wadah untuk
mensinergikan, mengharmonikan dalam menangani berbagai masalah (idiologi, politik, ekonomi, sosial
budaya, keamanan bahkan pertahanan) sehingga solusi-solusi tepat yang dapat diterima semua pihak
dan dapat digunakan untuk pra, saat maupun pasca.
Keterpaduan inilah yang menjadi kecepatan, ketepatan bahkan kekuatan sosial dan akan juga menjadi
ketahanan nasional dalam menghadapi berbagai dampak masalah bahkan dampak globalisasi.(CDl-
JktAgst)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana
International PolicingSENIN, 01 SEPTEMBER 2014 18:40 REDAKSI
51 READINGS
Oleh: DR. Chryshnanda Dwilaksana *)
Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian (PMPP) pada Selasa siang (19/8/2014) diresmikan Presiden SBY di Sentul,
Kab Bogor. Menunjukan bahwa tugas-tugas pada misi internasional merupakan bagian yang signifikan bagian
penyelenggaraan tugas TNI maupun Polri.
Bagi Polri tugas-tugas pemolisian internasional (International policing/ Pemolisian antar bangsa) yang dapat
dipahami sebagai model pemolisian yang berkaitan dengan tugas-tugas internasional (lintasbangsa), yang berkaitan
dengan tugas sebagai:
1.Liaison Officer, merupakan tugas sebagai sebagai penghubung/duta kepolisian yang berkaitan dengan tugas yang
berkaitan dengan penegakkan hukum, kerja sama antar kepolisian negara, melakukan pengamatan +bench mark
atas sistem-sistem hukum, peradilan + kepolisian negara sahabat.
2. Misi perdamaian PBB, merupakan tugas-tugas kemanusiaan pada negara-negara yang sedang teribat konflik,
atau bertugas di kantor pusat PBB. Penugasan ini dapat dikategorikan penugasan perorangan (sebagai police
adviser), kelompok (ikatan pasukan: FPU (form police unit)
3. Hubungan kerja sama (ekstradisi).
4. Penegakkan hukum terhada tindak pidana lintas negara (transnational crime).
5. Kerja sama bidang pendidikan+pelatihan.
6. Kemitraan +pembangunan pilot project pengembangan berbagai model pemolisian dengan negara-negara donor.
7. Pertukaran persahabatan /studi banding antar negara.
8. Seminar/workshop/ symphosium,
9. Membangun jejaring internasional.
International Policing bukan hal baru bagi Polri, namun untuk penyelenggaraanya perlu adanya optmalisasi/perlu
spesifikasi terutama peenyiapan SDM yang akan mengawakinya dan dibuat model serta modulnya.
Para petugas polisi yang mengawaki international policing dibutuhkan kompetensi : ilmu kepolisian, bahasa
internasional (setidaknya bahasa Inggris), diplomasi, penyidikan/penegakkan hukum,
pengmatan/penelitian+komunikasi sertanet working.
Para petugas yang mengawaki international policing membawa misi sebagai duta bangsa +duta kepolisian yg juga
menjadi marketer untuk : mengenalkan, mempromosikan, meyakinkan, menginsprasi, bekerja sama bahkan
membantu atau sharing pengtahuan dan berbagai kegiatan kemtiraan.
Oleh sebab itu dalam implementasi policing tidak bisa berdiri sendiri melainkan terintegrasi dengan fungsi-fungsi lain
yang menunjukan program-program unggulanya. Karena unggulan-unggulan iniilah yang akan menjadikan bangsa
Indonesia (pada umumnya) + Polri (khususnya) menjadi terhormat dan bermartabat. (Pamen Polri Pangkat
Komisaris Besar Polisi *)
Urun Angan + Turun Tangan dalam e-PolicingSELASA, 02 SEPTEMBER 2014 08:01 REDAKSI
51 READINGS
Oleh: DR. Chryshnanda Dwilaksana *)
Meminjam istilah Anies Baswedan, "Urun Angan + Turun Tangan " untuk mengimplementasikan e-policing dapat
dipahami sebagai berpikir konseptual dan bertindak pragmatis. Ini menunjukan bahwa e-policing merupakan hal
yang dinamis dan membutuhkan inovasi +kreatifitas dalam implementasinya.
Dalam konteks ini seni, teknologi dan ilmu-ilmu sosial digabungkan sehingga e- policing, selain efektif, efisien juga
indah dan variatif yang disesuakan dengan corak masyarakat dan kebudayaanya. E-policing merupakan sistem yang
berfungsi untuk mendukung, penyelenggaraan tugas-tugas polisi di era digital baik pada tingkat manajemen maupun
oprasional.
Pada tingkat manajemen disini diperlukan adanya pemikiran-pemikiran secara konseptual yang berkaitan dengan
model-model pemolisian yang bisa dikembangkan dalam menuju masyarakatat Indonesia yang multikultural.
Adapun pemolisian pada tingkat operasional merupakan tindakan-tindakan yang pragmatis sebagai pelaksanaan
pemolisian pada tingkat manajemen yang berupa tindakan-tindakan teknis di lapangan. Model pemolisian yang
sudah dikonsepkan dan dirancang model-model implementasinya yang awalnya manual dapat dijadikan model
elektronik.
Pada pemolisian tingkat managemen yang mencakup bidang: 1. Pembinaan SDM, 2. Menjalankan prinsip -prinsip
managerial (perencanaan, pengorganisian, pelakanaan dan oprasional) yang dapat dijabarkan dalam program-
program unggulan, 3. Sarana dan prasarana dan 4. Anggaran.
Timbul pertanyaan bagamai menghubungkan tugastugas tersebut agar ada sinergitas dan keterkaitan satu dengan
lainya? Langkah yang harus dilakukan adalah :
1. Membangun pola-pola HTCK (hubungan tata cara kerja antar fungsi) yang saling berkaitan dan saling mendukung
baik secara vertikal, horisontal maupun diagonal.
2. Membangun back office sebagai pusat data, informasi, komunikasi, koordinasi, produk-poduk, analisa, laporan,
dan pengawasan serta pengendalian.
3. Membuat program SMK (standar manajemen kinerja) yang mengacu dari SOP (standard oprational procedure).
Untuk menilai yang berkata dengan tugas-tugas pemimpin, bidang administrasi, operational + capacity building.
4. Membangun jejaring secara elektronik sebagai linking pin baik yang berbasis wilayah, berbasis kepentingan
maupun dampak masalah. Jejaring elektronik ini adalah untuk informasi, komunikasi, komando dan pengendalian.
Sehingga bisa mendapatkan data secara real time, yang cepat, tepat dan akurasinya bisa dipertangungjawabakan.
Dapat memontior situasi selama 1x24 jm dan 7 hari seminggu. Dan ditemenerim laporan/ engaduanscrcpt dan
direspon dengan cepat juga.
5. Membuat model-model jabaran e-policing sesuai fungsi+ bagianya atau yang berbasis wilayah maupun. Untuk
menangani dampak masalah sebagai pendukung+penguatan sistem e-policing.
6. Edukasi+sosialisasi karena menerapkan e-policing merupakan perubahan mind set+culture set. Yang perlu
penyiapan SDM yang berkrakter dan mengkader para agen-agen perubahan untuk mampu menjadi master trainer
maupun trainer-traniner pada kewilayahan.
7. Agar e-policing tidak menjadi proyek yang dapat. Diselewengkan / gagal dalam mengiplementasnya dan tidak
kehilangan spirit humanioranya maka perlu tim transformasi sebagai tim pengendali kualitas kerja+ sabagai tim
pendukungnya.
8.E-policing dijadikan model untuk sebuah modernisasi polri yang membangun kepolisian menjadi birokrasi yang
modern, profesional, dan mampu menunjukan sebagai penjaga kehidupan, membangun peradaban, pejuang
kemanusiaan yang mamu memberikan pelayanan prima untuk terwujud+terpeliharanya keamanan+rasa aman warga
masyarakat. Dan meningkatnya kualitas keselamatan dan menurunya fatalitas korban kecelakaan lalu lintas.
Urun angan merupakan pemikran-pemikiran yang terus ada dan dinamis yang mampu memperbaiki, memprediksi
dan menyiapkan untuk mampu turun tangan menghadapi/menangani berbagai masalah dengan cepat, tepat akurat,
akuntabeL dan mudah diakses. (Pamen Polri Pangkat Komisaris Besar Polisi *)
“Asta Siap” Implementasi E-Policing Berbasis Dampak MasalahSelasa, 2 September 2014, 11:03:57 | TRANSPOLHUKAM
TRANSINDONESIA.CO – Langkah-langkah kesiapan untuk mengimplementasikan e-Policing
(Pemolisian) berbasis dampak masalah, dengan model implementasi community policing atau Polisi
Masyarakat (Polmas) sekarang ini dapat dikategorikan dalam tiga basis, yakni:
1. Berbasis wilayah (batas-batas geografi yang jelas), diselenggarakan dari mulai Mabes, Polda, Polres,
Polsek, subsektor sampai dengan petugas Babinkamtibmas.
2. Berbasis kepentingan (tidak berbatas wilayah dan disatukan oleh kepentingan-kepentingan)
dilaksanakan oleh fungsi-fungsi teknis kepolisian maupun oleh fungsi-fungsi pendukungnya.
3. Berbasis dampak masalah merupakan, pemolisian untuk mnangani berbagai dampak yang
sebenarnya, bukan bagian dari urusan kepolisian (dikarenakan ketika menjadi masalah dampaknya akan
mengganggu, mengancam, merusak bahkan bisa mematikan produktifitas).
Disinilah core dari model Pemolisian berbasis dampak masalah yang penangananya diperlukan secara
terpadu (terintegrasi) dari pemangku kepentingan ataupun antara satuan fungsi.
Dengan membangun model Pemolisian berbasis dampak masalah, akan dapat menjadi wadah untuk
mesinergikan, mengharmonikan dalam menangani berbagai persoalan/masalah (idiologi, politik,
ekonomi, sosial budaya, keamanan bahkan pertahanan).
Sehingga, solusi-solusi tepat yang dapat diterima semua pihak bisa digunakan untuk pra, saat maupun
pasca masalah.
Keterpaduan inilah yang menjadi kecepatan, ketepatan bahkan kekuatan sosial dan akan juga menjadi
ketahanan nasional dalam menghadapi berbagai dampak masalah serta dampak globalisasi.
Langkah-langkah dalam mengimpementasikan pemolisian berbasis wilayah sekarang ini dikenal dengan
“Asta Siap”.
Asta Siap merupakan, Delapan (8) kesiapan yang dapat dijadikan acuan Pemolisian berbasis dampak
masalah melalui satuan-satuan tugas yang saling terpadu.
Pemolisian berbasis dampak masalah ini dapat dikategorikan sebagai pemolisian yang bersifat khusus
atau kontijensi:
A. Siap Piranti lunak :
Piranti-piranti lunak sebagai payung hukum dan pedoman-pedoman untuk mengimplementasikan tugas
pada satuan-satuan tugas antara lain, rencana operasi, rencana kontjensi (Aman Nusa 1 (nencana),
Nusa 2 (konflik sosial), Nusa 3 (teror bom, direktif latpraops – pedoman latihan pra-operasi, kegiatan
asistensi dan supervisi).
Perintah pelaksanaan operasi yang berisikan: (1). Perencanaan, (2).Pelaksanaan operasi, (3).Surat
perintah pelaksanaan tugas kepada para petugas-petugas kepolisian yang akan mengwakili
danmelaksanakan tugas-tugas operasi, (4). Penjabaran tugas bagi pejabat-pejabat dalam operasi,
(5).Penjabaran tugas untuk satuan-satuan tugas operasi, (6).Rencana pengamanan pada setiap tahapan
oprasi yang disesuaikan dengan karakteristik kerawanan daerah (dari setiap kegiatan-kegatan),
(7).Lampiran rencana pengamanan meliputi, denah /lokasi yang akan diamankan dari peta wilayah
ssampai dengan denah lokasi didalam gedung.
B. Siap Posko
Siap Posko dapat menjadi pusat K3i (Komunikasi, Koordinasi, Komando/pengendalian, Informasi), yang
berisikan peta propinsi, kota/kabupaten, jejaring, panel situpak (situasi, tugas pokok, administrasi,
komando/pengendalian). Panel cara-cara bertindak dalam mengatasi kontijensi, panel rengiat
(pelaksanaan kegiatan dan hasil kegiatan masing-masing satgas) serta tabulasi kegiatan dan kejadian
seama operasi
C. Siap latihan pra-operasi
Latihan sebelm pelaksanaan operasi mencakup latihan untuk petugas posko dan satuan tugas (satgas):
Satgas 1 (yang dilaksanakan fungsi intel dan binmas), Satgas 2 (fungsi Sabhara dan lalulintas), Satgas 3
(brimob), Satgas 4 (penegakkan hukum: fungsi reskrim), Satgas 5 (pengamanan dan pengawalan
VIP/VVIP), Satgas 6 (satgas bantuan: kompi kerangka), admnistrasi (inspektorat, rorena, rosarpras,
bidang keuangan), operasional (dokes, bidang kumum, bidang humas, bidang TI, bidang propam)
Untuk ini, diperlukan latihan menghadapi masalah-masalah kontijensi yang dikonstruksi atau dibuat
model bervariasi secara pertahapan operasi.
D. Siap kondisi keamanan ketertiban dalam masyarakat (Kamtibmas)
Kesiapan kondisi Kamtibmas yang dapat dikatakan kondusif dan terkontrol, dibangun dengan sistem-
sistem networking sebagai soft power sampai tingkat komuniti.
E. Siap masyarakat
Kesiapan masyarakat sebagai mitra dalam menjaga dan memelihara yang memiliki komitmen dan
gerakan moral dari para pemangku kepentingan untuk peka dan peduli dalam mencari akar masalah
serta menemukan solusi yang tepat dan dapat diterima semua pihak.
F. Siap Personel
Kesiapan personel (SDM) untuk petugas pada satgas, posko dan petugas untuk mengatasi situasi
kontjensi.
G. Siap Sarana dan prasarana (sarpras)
Kesiapan Sarpras yang digunakan untuk perorangan, kelompok maupun kesatuan yang dapat berbasis
pada ilmu pengetahuan dan teknologi.
H. Siap anggaran
Kesiapan anggaran baik untuk komando dan pengendalian, satgas, tugas-tugas kontijensi (sesuai
perencanaan), penggunaan sesuai rencana kegiatan baik pra, saat maupun pasca kejadian. Hasil
kegiatan, pertanggungjawaban keuangan yang didukung dengan dokumen-dokumen.
Pemolisian berbasis dampak masalah ini diimplementasikan pra kejadian sebagai bentuk antisipasi, saat
kejadian untuk meredam dan menyelesaikan permasalahan agar tidak meluas.
Pada pasca kejadian, merehabitasi atau memperbaiki kondisi sosial yang rusak akibat dari berbagai
dampak masalah.(CDL-Jkt310814)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana
Polisi Juga GuruRABU, 03 SEPTEMBER 2014 05:02 REDAKSI
55 READINGS
Oleh: DR. Chryshnanda Dwilaksana *)
Tatkala mengatakan polisi sebagai: pengak hukum, pembimbing, pengayom, pelindung yang terlintas dibenak kita
ada spiritualitas guru. Guru ikudigugu lan ditiru bahkan rela nunggu wong turu tatkala murid-muridnya tertidur di
kelas. Kaisar Jepang Hirohito pasca peledakan Bom Atom, yang pertama kali ditanyakan adalah :"masih ada berap
jumlah guru yang masih hidup".
Apa maknanya semua itu? Itu menunjukan kesadaran, dan pemahaman bahwa ktika akan membangun/bangkit
kembali dari keterpurukan diprlukan SDM yang hebat, SDM yang hebat diperoleh dari proses belajar, yang diajarkan
oleh guru-guru yang dapat dijadikan role model (digugu lan ditru) yang juga dengan ketulusan hatinya terus
beerjuang walau murid-muridnya pada turu (tidur) di kelas.
Bagamai dengan polisi yang juga guru ?polisi hendaknya juga sadar/menyadari bahwa pendidikan adalah pilar
bangsa. Menegakkan hukum itu merupakan bagian dari membangun peradaban. Yang berarti polisi mampu
mengajak dan menjadikan masyarakatnya beradab.
Polisi diharapkan dapat menjadi ikon/setidaknya role model baik secara personal maupun secara insttusional.
Dengan demikian pemolisiianya adalah sentuhan-sentuhan hati untuk mengangkat harkat + martabat manusia. Polisi
dianggap berhasil tatkala mampu memanusiakan manusia yang dilayaninya.
Makna memanusiakan manusia yang dilayaninya adalah manusia-manusia (masyarakat) yang dilayani polisi
merasakan adanya keamanan+rasa aman, bekerja, hidup dalam kesehariannya dalam suasana yang harmoni tanpa
ada ketakutan atau kekhawatiran akan ancaman,gangguan yang bisa merusak/mematikan produktifitasnya.
Kalaupun ada konflik bisa diselesaikan secara beradab, tidak main hakim sendiri. Selain itu juga ditandai adanya
kepatuhan hukum warga masyarakatnya. Kata kunci bagi polisi+ pemolisianya adalah: keamanan, rasa aman +
patuh hukum. Disitulah sentuhan-sentuhan hati polisi mlalui pemolisianya sebagai sang guru sehingga mampu
menyadarkan, memberdayakan, membangkitkan bahkan bekerja sama satusama lanya, karena polisinya mampu
dan layak untuk digugu lan ditiru. (Pamen Polri Pangkat Komisaris Besar Polisi *)
Transportasi (Urat Nadi Yang Hampir Mati)Rabu, 3 September 2014, 10:31:20 | TRANSPOLHUKAM
Patroli Polisi Tempoe Doeloe.(ist)
TRANSINDONESIA.CO – Judul tulisan ini seakan-akan terkesan “lebay”, atau hiperbola dengan komuditi
media agar nampak sebagai “sesuatu banget”.
Sebenarnya, judul ini dimaksudkan penulis untuk mengingatkan, kalau transportasi (lalulintas) di Jakarta
(Ibukota Negara RI) ini sudah pada kondisi “sekarat dan darurat”.
Mari kita lihat kembali, konsep transportasi atau lalulintas sebagai urat nadi kehidupan, apa makna urat
nadi kehidupan?
Urat nadi kehidupan dimaknai sebagai jaringan penghubung utama sistem produktifitas dan aktifitas
masyarakat.
Karena masyarakat bisa hidup, tumbuh dan berkembang bila ada roduktifitas, dan produktifitas dihasilkan
dari dan melalui aktifitas-aktifitas.
Kita bertanya lagi: “Aktifitas-aktifitas masyarakat yang menghasilkan produk-produk untuk
mempertahankan dan menumbuh kembangkan diri melalui apa?
Jawabanya adalah, lalulintas dan dengan sistem-sistem transportasinya.
Dengan demikian, lalulintas dapat mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat. Lalulintas
(transportasi) yang bagaimana?: (1). Aman, (2). Selamat, (3). Tertib dan (4). Lancar.
Mari kita lihat kembali transportasi atau lalulintas di Jakarta.
Apakah aman? dalam hal ini bukan semata-mata hanya aman tetapi juga harus ada rasa aman dan
nayaman kapan dan (diwilayah) mana saja, dengan kendaraan apa saja. Bahkan bagi mereka para
pejalan kaki harus tercipta rasa aman dan nayaman dari kenderaan (tarnsportasi).
Selanjutnya, apakah keselamatan sudah menjadi prioritas yang pertama dan utama?
Dalam konteks ini dapat dilihat dari, political will, pembangunan infrastruktur, edukasi, sistem uji sim
sampai dengan penegakkan hukum.
Apakah tertib? Dapat dilihat dari keteraturan sosial dalam berlalulintas atau sistem-sistem transportasi
yang dilakukan dengan kesadaran, tanggungjawab dan disiplin.
Apakah lancar? Lancar berkaitan dengan ketepatan waktu yang bisa diprediksi, karena waktu merupakan
salahsatu dari standar utama bagi kelancaran.
Tatkala kita masukan konsep-konsep tadi pada kondisi transportasi atau lalulintas di Jakarta apakah judul
tulisan ini lebay?
Setujukah kalau kita untuk melakukan berbagai upaya darurat dengan usaha-usaha yang ekstra
ordinary? Makna ekstra ordinary di sini adalah, tidak lagi hanya mengandalkan dengkul atau dengan
cara-cara konvensional dan parsial.
Tentu saja tidak menjadikan lahan basah dengan mendudukan bagi orang-orang yang justru
memperparah dan semakin sekaratnya transportasi (lalulntas).
Saatnya bertindak untuk mengatasi darurat transportasi (lalulintas) di Jakarta secara komprehensif,
terpadu, profesional, dan modern, aman serta nyaman.
Kalau tidak sekarang kapan lagi?. Kalau bukan kita siapa lagi?.(CDL-092014)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksan
Teknologi Kepolisian Membangun Harapan Menjadi KenyataanKAMIS, 04 SEPTEMBER 2014 17:49 REDAKSI
64 READINGS
Oleh: DR. Chryshnanda Dwilaksana *)
Harapan boeh ditaruh setinggi langit, tatkala kenyataan berbading terbalik+tidak dijumpai /dirasakan seperti yang
diharapkan maka akanterjadilah hujat menghujat, saling menyerang+menyalahkan dan bisa menjadi kebencian yang
ujung-ujungnya adalah terjadinya konflik.
Tatkala membahas polisi di era digital, banyak perubahaan yang begitu cepat sehingga dibutuhkan adanya pmolisian
yang profesional, cerdas,bermoral dan modern. Idealnya Polisi mampu memberikan pelayanan prima dan sebagai
agen perubahan dengan segala inovatif+ kreatfitasnya.
Namun pada kenyataanya justru polisi sering bermasalah dengan sistem pelayananya. Yang boleh dkatakan
konvensional, manual, parsial yang tertinggal dari perubahan itu. Parahnya lagi ada yang menjadi bulan-bulanan dari
perubahan.
Apa yang menjadi penyebab+ apa dampaknya? Penyebabnya sangat kompleks namun yang krtikal dapat dilihat
antara lain dari: 1. Birokrasi yang patrimonial, 2. Sistem pendekatan personal dalam pembinaan SDM, 3. Model
pemolisan yang konvensional, manual, parsial +temporary sifatnya, 4. Tingkat profesionalismenya yang rendah, 5.
Kelompok-kelompok status quo/comfort zone anti perubahan , takut kehilangan previlagenya, model pemolisian yang
kontemporer (kekinian) polisi semestinya sebagai problem solver tetapi apa nyatanya justru tak jarang malahan
menjadi the part of the problem, bahkan bisa menjadi problem maker.
Manakala harapan itu tidak sesuai dengan kenyataanya apa yang terjadi? Pasti kekecewaan, atau setidaknya ada
rasa yang kurang pas dihati walau tidak diungkapkanya. Kekecewaan kekecewaan ini ketika tidak terobati tetapi
semakin ditumpuk dengan kekecewaan-kekecewaan lain maka akan menjad luka batin.
Dalam batin yang terluka maka pupuslah harapan, tanpa harapan berarti hilang kepercayaan. Mengembalkan
kepercayaan masayarakat kepada polisi bukan perkara mudah, melainkanperlu daya upaya + membangun sistem.
Teknologi kepolisian salah satu solusinya untuk mendukung profesionalisme kepolisian. Teknologi kepolisian dapat
digunakan untuk program anti KKN, reformasi birokrasi dan terobosan-terobosan kreatif. Teknologi kepolisian juga
menjadi pilar untuk mewujudkan harapan menjadi kenyataan. Cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif
dan mudah diakses.(Pamen Polri Pangkat Komisaris Besar Polisi *)
SIAK Model Implementasi E-Policing Di LemdikKamis, 4 September 2014, 10:11:13 | TRANSPOLHUKAM
Ilustrasi
TRANSINDONESIA – Lembaga Pendidikan (Lemdik) merupakan wadah untuk menyiapkan sumber daya
manusia (SDM) yang berkarakter sebagai petugas-petugas kepolisian yang profesional, cerdas bermoral
dan modern.
Lemdik mendidik dan menanamkan nilai-nilai luhur sebagai petugas kepolisian untuk penjaga kehidupan,
pembangun peradaban sekaligus pejuang kemanusiaan.
Dalam model e-Policing pada Lemdik dapat dimulai dari Akademi Kepolisian (Akpol) sebagai centre of
excellent menuju world class police academy, dikembangkan berbasis pada ilmu kepolisian.
Ada Sembilan (9) hal-hal mendasar yang menjadi critical point untuk diperbaiki dan dipersiapkan, yakni:
1. Taruna/Taruni (sebutan siswa-siswi Akpol) bukan calon jenderal tetapi calon polisi yang baik dan
bekerja dengan profesional, cerdas, bermoral juga modern. Sebagai calon-calon pemimpin Polri yang
baik (semua lini), pemimpin yang transformatif, yaitu sadar dan bertanggungjawab untuk: (a). Belajar dan
memperbaiki kesalahan masa lalu, (b). Siap dimasa kini, (c). Mampu menyiapkan masa depan yang lebih
baik bagi institusi.
2. Sistem pendidikan yang membangun karakter polisi dilandasi dengan ilmu kepolisian dengan spirit
kesadaran dan tanggung jawab maupun disiplin.
3. Pola pendidikan yang mengajarkan taruna/taruni menjadi kritis, cerdas, kreatiif dan mampu /layak
diunggulkan, serta tahan uji (sebagai patriot bangsa, agen-agen perubhan diera digial)
4. Program-program yang dibangun/diterapkan adalah unggulan yang mencerminkan semangat tindakan
anti korupsi, reformasi birokrasi dan mampu melakukan terobosan-terobosan kreatif serta inovatif.
5. Para pengasuh, pembina maupun dosen (pengajar) harus mampu menjadi role model atau ikon
perubahan dan kemajuan bagi para taruna/taruni.
6. Standar pendidikan haruslah menuju world class police academy yang mampu menjadi centre of
excellent, berbasis pada kompetensi, teknologi, moralitas sebagai polisi yang mampu menjadi penjaga
kehidupan, pembangun peradaban dan pejuang kemmanusiaan.
7. Pola pembelajaran dibuat dengan model: (a). Pemahaman, pengembangan teori dan konsep-konsep
me4nujang pembelajaran. (b). Pemecahan masalah dalam model implementasi tugas-tugas administrasi
maupun operasionalnya. (c). Pengkajian atau studi kasus atas keberhasilan, kegagalan polisi dalam
bertugas yang didukung dengan dan melalui labortorium sosial.
8. Pola-pola pengasuhan/pendidikan non-akademik yang mencakup: keeagamaan, spritualitas,
fisik/olahraga, seni, budaya adalah untuk membagun karkter dan menanamkan budaya kepolisian.
9. Gaya hidup seorang polisi (life style) mencakup: spiritual dan keagamaan, kesehatan, keselamatan
jasmani serta pola hidup lainnya.
Hal-hal tersebut, hasil didiknya diharapkan mampu menjadi pemimpin yang:
(1). Memiliki komitmen dan integritas, (2). Visioner, (3). Mampu berpikir secara holistik dan sistemik, (4).
Mampu melakukan perubahan yang signifikan dan membawa kemajuan, (5). Berani mngambil keputusan
dan resiko, (6). Mampu menginspirasi (tidak membuat anak buah/bawahan sulit), (7). Mampu
memberdayakan, (8). Mampu memotivasi dan menjadi konsultan, (9). Patut dibanggakan dan
diunggulkan (otak, otot dan hati nurani).
Sipirit pendidikan bagi Taruna Akpol adalah dengan membangun karakter berkeunggulan: “Bhayangkara
Brata Dedikasi Sejati” yang djabarkan sebagai berikut:
1. Bra: beriman, bertaqwa terhadap TuhanYME
2. Ta : cinta tanah air
3. De: demokrasi
4. Di : disiplin
5. Ka: kerja keras
6. Si : profesional
7. S: sederhana
8. E : empati
9. J : jujur
10. A: adil
11. T: teladan
12. I : integritas
Pendidikan, merupakan proses yang tidak boleh dilakukan dengan cara-cara: instan, penuh kepura-
puraan, kecurangan apalagi sampai mengabaikan nilai-nilai moral.
Sejalan dengan pemkiran diatas, untuk mendukung tercapainya tujuan pendidikan Akpol, dengan
mengembangkan Sistem Informasi Akademi Kepolisian (SIAK) yang dibangun berbasis ilmu dan
teknologi (IT) secara online.
SIAK adalah wadah dan sistem yang merupakan back office pendukung dari penyelenggaraan pendikan
yang merupakan sisem-sistem terpadu untuk:
1. Menjembatani, mengharmonisasi berbagai bagian dan bidang pengajaran
2. Sebagai data base yang komprehensif, berkaitan dengan pendidikan dan ilmu kepolisian
3. Tempat menganalisa penyelenggaraan pendidikan, keberhasilan dan kegagalan polisi dalam
melaksanakan tugas.
4. Menghasilkan produk-produk yang dapat digunakan untuk :memperbaiki, meningkatkan, bahkan
membangun.
Sehingga lembaga pendidikan Polri menjadi lembaga untuk menghasilkana produk-produk unggulan
yang memiliki kekuatan karakter.
Lemdik dibangun dengan filosofi untuk membangun dan menanamkan kesadaran, tanggungjawab dan
disiplin.
Tekanan atau pemaksaan yang sifatnya kontra produktif bahkan pengkebirian pemikiran pantang untuk
dilakukan apalagi sampai diterapkan.
Dengan dukungan SIAK ,diharapkan mampu menghasilkan orang-orang yang mampu menuangkan ide-
ide dan pemikiranya dalam bentuk tulisan maupun dalam perilaku dan tindakan serta kebijaksanaan.
Mampu menjadi penjaga kehidupan, pembangun peradaban dan pejuang kemanusiaan.
Ini sebenarnya, membuat suatu keabadian membangun peradaban.
Profesor Satjipto Rahardjo (almarhum) mengingatkan, bahwa polisi adalah ahli-ahli sosiologi dan
kriminologi (karena setiap hari dalam pekerjaanya mengeluti bidang tersebut). Mampu berintraksi dan
menyelesaikan berbagai masalah sosial (kalau pengalaman-pengalaman itu ditulis).
Dengan demikian, hasil didik dan produk-produk dari lembaga pendidikan menghasilkan produk unggulan
yang mencerminkan pemikiran dan budinya, bahkan kebesaran jiwa, yang menyentuh hati dan penguat
jiwa bagi masyarakat yang dilayani.(CDL-Lembang02092014)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana
Kemitraan PolisiMINGGU, 07 SEPTEMBER 2014 22:34 REDAKSI
58 READINGS
Oleh: DR. Chryshnanda Dwilaksana *)Kemitraan dalam penyelenggaraan tugas polisi adalah suatu kerja sama/polisi bersama sama dengan para pemangku kepentingan untuk mencari akar masalah dan menemukan solusi-solusi yang tepat untuk: mencegah, mengatasi/menyelesaikan bahkan merehabilitasi masalah sosial yang mengganggu, menghambat, merusak bahkan mematikan produktifitas masyarakat.
Sering kita dapatkan yang dianggap/ dinyatakan kemitraan masih sebatas MoU (memory of understanding) atau kegiataan-kegiatan seremonial saja bahkan ada yang hanya komunikasi , koordinasi secara personal saja. Kemitraan bagi polisi adalah adanya karya nyata, ada wadahnya ada program-programnya ada tahapan-tahapannya.
Semua tadi dikerjakan secara profesional, proporsional dan terukur. Pada kemitraan ada bagian yang saling tumpang tindih sebagai ikatan kesatuan antara polisi dengan pemangku kepentingan lainya sebagai pengikat/perekatnya. Inti dari kemitraan adalah adanya : 1) kesamaan visi+ misi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, 2) kepercayaan satu sama lainya, 3) program yang dijalankan bersama secara sinergi dan berkesinambungan, 4) wadah yang berupa board (asosiasi/forum/dewan), 5) produk-produk yang dapat digunakan untuk pencegahan, penanganan saat ada masalah dan merehabilitasi pasca terjadinya masalah.
1. Kesamaan visi+ misi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dalam konteks kemitraan dimaknai sebagai upaya-upaya memberikan penerangan/edukasi, perindungan, saluran-aluran komunikasi, koordinasi maupun tindakan-tindakan untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial yang kontra produktif dalam masyarakat.
2. Kepercayaan satu sama lainya, kepercayaan sebagai kunci kemitraan yang berarti ada hubungan saling menguatkan, saling mengisi dan saling menguntungkan/membawa manfaat bagi masing-masing pihak. Adanya kejujuran, ketulusan, transparansi, dan akuntabiitas.
3. Program yang dijalankan bersama secara sinergi dan berkesinambungan. Program-program kemitraan memang bukan program seremonial/progrram-program untuk pencitraan, melainkan suatu karya nyata untuk diimplementasikan sesui dengan tahap-tahap yang sudah dirancang: (sesuai dengan konteks+permasalahanya)
4. Wadah yang berupa board (asosiasi/forum/dewan). Wadah merupakan bagian penting untuk menjalankan kemitraan. Melalui
wadah akan memudahkan, memperkuat, mengevaluasi bahkan mengembangkan kemitraan.
5. Produk-poduk yang dapat digunakan untuk pencegahan, penanganan saat ada masalah dan merehabilitasi pasca terjadinya masalah. Produk-prosuk kemitraan dapat berupa cetakan maupun elektronik yang berisi : a. Gambaran-gambaran tentang situasi, masalah yang telah sedang dan akan terjadi potensi-potensi.b. Petunjuk-petunjuk untuk bertindak baik pencegahan, penanganan saat kejadian maupun pasca kejadian.c. Bahan-bahan edukasi di semua lini yang bervariasi.d. Payung hukume. Referensi-referensi/dokumen-dokumen pendukung
Kemitraan adalah baagian empowering dan sebagai bentuk ketahanan masyarakata yang memiki daya tangkal, daya pemecahan masalahdan daya untuk memperbaiki, meningkatkan dan membangun. (Pamen Polri Pangkat Komisaris Besar Polisi *)
E-Policing Spirit Bagi Petugas KepolisianSenin, 8 September 2014, 11:05:23 | TRANSPOLHUKAM
Ilustrasi
TRANSINDONESIA.CO – Kepolisian Negara RI (Polri) sebagai pelindung, pengayom, pelayan dan
penegak hukum dalam penyelenggaraan tugasnya diimplementasikan sebagai petugas Polisi yang
profesional (ahli, dengan mngembangkan ilmu kepolisian), cerdas (kreatif dan inovatif: pilih orang-orang
yang berkarakter), bermoral (dibangun dengan kesadaran, dedikasi, tanggng jawab dan disiplin) dan
modern (berbasis IT).
Semua itu dijabarkan pada Pemolisian) baik pada tingkat Mabes, Polda , Polres, Polsek dan sub sektor,
bahkan sampai dengan Babinkamtibmas.
Model pemolisian yang berbasis communty policing atau dkenal dengan Polmas (Polisi Masyarakat)
dalam penyelenggaraan tugas Pollri.
Di era digital, dibangun pemolisian secara on line (e-Policiing). e-Policing dapat dikatakan sebagai upaya
membawa community policing pada sistem-sistem online yang sekarang ini ketika sistem-sistem manual,
konvensional dan parsial, maka akan ditinggalkan atau tidak dianggap ada karena pelayananya akan
lambat.
Potensi-potensi penyimpanganya juga menjadi lebh besar dan tentu saja untuk menghadapi tantangan,
harapan, dan ancaman dimasa kini akan banyak yang tercecer dan jauh dari kata profesional.
On line, sistem yang berarti mengelektronikan program-program menjadi satu sstem yang terpadu dan
berkesinambungan sebagai satu rangkaian sistem dalam biroktasi yang mencakup pada bidang: 1.
kepemimpinan, 2. Admnstrasi, 3. Operasional, 4, Capacity buildng.
Sistem-sitem penghubung ada dibangun dengan sistem data base dan jejaring pada semua lini yang
dapat digunakan untk memprediksi, mencegah, menangani, memperbaiki, meningkatkan bahkan
membangun.
Dari kesemua itu itu dibuatkan modelnya sebagai berikut:
1. Model kepemiminan dilini-lini
2. Model administrasi dilini-lini
3. Model operasional dilini-lini
4. Model capacity buildingnya.
Sejalan dengan pemikiran diatas, para petugasnya dapat menjadi ikon dan simbol sebagai petugas yang
berkarakter/meliliki keahlian dibidang apa saja (secara spesifik).
Tatkala tidak memiliki keahian, maka ia akan mrnjadi beban bagi institusi, bahkan bisa menjadi god
father/patron bagi tumbuh dan berkembangnya premanisme birokrasi.
Spririt/passion yang diamanatkan dan diamalkan serta diimplementasikan oleh setiap petugas polisi
adalah sbb:
1. Berani
Berani dalam konteks ini adalah, berani untuk melakukan perubahan menuju kearah yang lebih baik dan
selalu meningkatkan kualitas (pembelajaran). Berani untuk mengambil keputusan, dan bertanggung
jawab, bahkan berkorban dalam memajukan dan membawa kepada Polri yang lebih baik.
2. Bersih
Bersih adalah tulus ikhlas dalam melaksanakan tugas tanpa pamrih dan kepentingan pribadi maupun
kelompok (tidak melakukan KKN dan gratifikasi) yang dapat menyimpang dari tugas yang sebagaimana
semestinya.
3. Jujur
Jujur dalam menyeenggarakan tugas berbasis pada fakta, kebenaran dan hukum sebaga panglima.
4. Adil
Adil adalah, keadian sosial yaitu mendudukan/menerapkan setiap warga masyarakat sama dimuka
hukum yang mempunyai hak dan peluang yang sama. Dalalm menyelenggarakan tugas kepolisian wajib
menghormati, memberikan jaminan dan perlindungan HAM.
5. Profesional
Dalam konteks penyelenggaraan Polri profesional adalah, ahli berbasis kompetensi yang visioner,
unggul, kreatif dan inovatif.
Berani, bersih, jujur, adil dan profesional adalah core value dari Polri yang merupakan inti dari nilai-nilai
budaya institusi Polri yang dapat dijabarkan dalam berbagai pendekatan/sudut pandang (kepemimpinan,
administrasi, operasional maupun capacity building) dalam memperbaiki image atau citra Polri, reformasi
brokrasi, trust building, dan mencapai strive forexcelent.(CDL)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana
E-Policing Bidang SDMSenin, 25 Agustus 2014, 11:11:53 | TRANSPOLHUKAM
TRANSINDONESIA.CO – Pembinaan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan bagian penting dalam
institusi, karena SDM aset utama dari suatau institusi tersebut. Dimana pembinaan SDM yang baik,
menghasilkan atau menumbuh kembangkan SDM yang berkarkter.
SDM berkarakter dalam konteks ini adalah, pembinaan SDM berbasis pada kompetensi membangun
disiplin atas dasar kesadaran dan tanggungjaawab serta mampu menanamkan nilai-nilai budaya
organisasi (core value) kepada setiap individu untuk mempunyai komitmen dalam mencapai tujuan
organisasi.
Dalam birokrasi yang patrimonial, kita melihat ada sistem-sistem pembinaan SDM yang berbasis pada
pendekatan-pendekatan personal, tumbuh dan berkembangnya jabatan-jabatan yang dianggap basah
dan menjadi paforit yang mengabaikan kompetensi bahkan tidak jarang menimbulkan konflik internal
karena perebutan jabatan, rekrutmen yang sarat KKN, sistem kinerja yang tidak jelas (PGPS-pinter,
goblok, penghasilan sama) dan banyak hal lain yang menjadikan birokrasi tidak sehat.
Itu semua, akibat dari sistem pembinaan SDM yang manual, konvensonal, parsial dengan
mengendepankan pendekatan-pendekatan personal.
Pembinaaan SDM secara elektronik dibangun untuk mengikis atau meminimalisir hal tersebut diatas.
Pembinaan SDM secara elekronik ini diharapkan akan mampu:
1. Membangun sistem data base bagi setiap anggota Polri disemua lini dan tingkatan sesuai komptensi
maupun spesifikasi sebagai track rcordnya.
2. Membangun standar-standar kualifikasi atau standar kompetensi untuk penempatan, promosi, mutasi
dan demosi.
3. Memberikan akuntabilitas untuk mengikis KKN dan menuju the right people in the right place.
4. Membangun sistem jejaring atau networking dengan divisi, bagian, satuan fungsi baik internal maupun
eksternal
5. Membangun dasar-dasar yang memberikan penilian kinerja, remunerasi, reward dan punishment.
6. Penyaluraan kerja atau penggunaan SDM secara fungsional didalam maupun diluar struktur Polri.
7. Membangun kaderisasi bagi pemimpin dimasa mendatang.
8. Menunjukaan adanya transparansi, akuntabilitas, dan memberikan harapan bagi anggota Polri yang
berkarier atau mengambil keputusan.
Pembinaan SDM secara elektronik ini memerlukan sistem jejaring untuk pendataan, koordinasi,
komunikasi, informaasi bahkan untuk sinergitas dan harmonisasi sebagai back office yang mempunyai
link dengan bagian pembinaan mulai dari tingkat Mabes, Polda, Polres (baik untuk link SDM atau dari
bagian-bagian lainnya).
Sedangkan pembinaan SDM yang berbasis elektronik diperlukan adanya SOP (Standart Operation
Procedure) yang berisi:
1. Jod description dan job analysis
2. Standardisasi keberhasilan tugas (yang dijabarkan berjenjang mencakup: kepemimpinan, administrasi,
operasional dan capcity building)
3. Sistem penilaian kinerja yang mencakup kepemimpinan, administrasi, operasional dan capcity building
4. Sistem reward dan punishment
5. Etika kerja (apa yang harus dilakukan atau apa yang tidak boleh dilakukan dan produk apa yang harus
dihasilkan. Ini juga dijabarkan secara berjenjang dan variatif (do and dont).(CDL-Agst2014)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana
Prinsip Dasar Implementasi E-PolicingSabtu, 23 Agustus 2014, 10:11:27 | TRANSPOLHUKAM
TRANSINDONESIA.CO – e-Policing merupakan suatu strategi pemolisian di era digital yang merupakan
implementasi pemolisian secara online atau berbasis ektronik.
Dimana prinsip-prinsip dasar pemolisian tetap menjadi acuan dasarnya mencakup 9 sistem yakni, 1. Data
base, 2. Jejaring, 3. Komunikasi, 4. Informasi, 5. Montoring, 6. Kemitraan, 7. Pelayanan-pelayanan
kepolisian, 8. Analisa/evaluasi, 9. Produk-produk.
Dari prinsip dasar pemolsian tersebut dapat dijabarkan melaui program-program yang dikatagorikan pada
tingkat admnistrasi maupun oprasional guna mewujudkan keamanan dan rasa aman warga masyarakat
sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Berikut 9 sistem-sistem online pada prinsip-prinsip dasar pemolisian adalah:
1. Data base
Data merupakan sumber kekuatan bagi petugas polisi dalam menjalankan tugas sistem data base ini
diperlukan server penyimpan data baik yang berupa data sensus maupun data dinamis yang merupakan
hasil oprasional yang terkumpul dari informasi, para pemangku kepentingan, laporan masyarakat,
laporan hasil kerja petugas atau polisi maupun data yang terkumpul oleh kamera CCTV dan sebagainya.
Sistem data base ini dapat dikategorikan lagi untuk tugas-tugas adminstrasi dan operasional. Untuk
bidang admnistrasi dapat dibuat pusat data sebagai back office, baik dibidang admnistrasi sebagai
pengendalian maupun back office untuk operasional dapat dijabarkan pada ruang kontrol operasional
(operational room).
2. Jejaring
Jejaring dalam implementasi pemolisian merupakan saraf-saraf penghubung antara polisi dengan
pemangku kepentingan lainya sebagai koordinasi, komunikasi, saling memberikan informasi maupun
untuk kodalnya. Jejaring dapat dibangun pada tingkat kelembagaan atau institusi maupun perorangan.
Sistem-sistem jejaring ini pada intinya adalah ada kontak person yang dapat menjadi agen-agen atau
saluran-saluran penjabaran atas informasi, komunkasi dan koordinasi baik secara online maupun manual
atau tatap muka secara langsung.
3. Komunikasi
Komunikasi merupakan bagian terpenting dalam pemolisian, karena komunikasi akan mendekatkan dari
hati ke hati antara petugas polisi dengan pemangku kepentingan lainya yang nantinya dapat
mengangkat, menjadi kemitraan dan pengembangan program-program pemolisian.
Komunikasi ini dapat dikategorikan berbasis wilayah, berbasis kepentingan maupun yang berkaitan
dengan dampak masalah. Komunikasi inipun dapat dibangun secara formal atau nonformal yang bisa
diakukan baik secara langsung maupun melalui media.
4. Informasi
Informasi-informasi ini penting sebaga produk dari sistem data base, jejaring maupun komunikasi yang
dalam pemanfaatanya dapat dikategorikan untuk penanganan, pencegahan, perbaikan, peningkatan
kualitas, pembangunan bahkan untuk terobosan-terobosan kreatif dan inovatif yang menjadi unggulan
bagi institusi kepolisian.
5. Montoring
Monitoring merupakan sistem yang dibangun dengan elektronik maupun manual. Secara elektronik
dibangun CCTV pada titk-titik tertentu yang berbasis wilayah, potensi maupun masalah atau kepentingan-
kepentingan dan secara manual dapat disharingkan (link) dengan petugas patroli polisi maupun pos-pos
polisi.
6. Kemitraan
Kemitraan ini merupakan soft power bagi polisi dalam membangun pemolisianya, kemitraan dibangun
dengan membentuk komunitas-komunitas yang bisa secara online ataupun langsung dalam berbagai
aktifitas maupun annual meeting.
7. Pelayanan-pelayan kepolisian
Pelayanan-pelayanan kepolisian baik untuk pelayanan keamanan, keselamatan, administrasi, informasi
dibangun dengan memanfaatkan sistem-sistem (1 sampai dengan 6) untuk memberikan pelayanan prima
yaitu, pelayanan yang cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses.
8.Analisa dan evaluasi
Analisa dan evaluasi merupakan tugas-tugas penting untuk terus mengikuti dinamika perubahan yang
begitu cepat sehingga terus dapat ditumbuh kembangkan dan ditemukan terobosan-terobosan kreatif
dan inovatif yang terus eksis serta unggul.
Karena, disinilah untuk menunjukan polisi mampu melampaui perubahan atau setidaknya polisi
selangkah lebih maju.
9. Produk
Produk-produk yang dihasilkan, merupakan produk tertulis maupun inovasi-inovasi dan kreatifitas baru
yang dapat digunakan untuk komunikasi, informasi, edukasi, maupun untuk memperbaharui dan
meningkatkan kualitas kinerja polisi baik dibidang administrasi maupun operasional.(CDL-2014).
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana
E-Policing, Assesment Jantung Pembinaan SDMSenin, 1 September 2014, 11:14:29 | TRANSPOLHUKAM
Ilustrasi
TRANSINDONESIA.CO – Assesment dalam konteks pembinaan SDM (sumber daya manusia) dapat
dipahami sebagai kegiatan menilai, mengukur, mengamati bahkan menemukan karakter terhadap
seseorang yang dapat digunakaan untuk menempatkannya pada bidang pekerjaan atau posisi-posisi
yang tepat sesuai dengan komptensi dan karakternya sehingga mampu bekerja secara maksimal dalam
mencapai tujuan insttusi.
Dalam pembinaan SDM, program assesment dari e-Policing (Pemolisian) ini akan menjadi jantung.
Karena disinilah inti dari data base SDM yang berbasis kompetensi. Program assesment adalah untuk
memotret secara jujur atas diri seseorang.
Data base ini akan menjadi acuan bagi fungsi-fungi SDM untuk menggunakan, memelihara dan merawat
personel, seleksi, pembinaan karier, bahkan untuk menyalurkan ke instansi lain hingga mengakhiri atau
memberhentikan.
Apa yang mesti dinilai dari seorang petugas polisi?
Penilaian bagi seorang petugas polisi adalah mengacu dari tugas pokok seorang polisi sebagai
pelindung, pengayom, pelayan masyarakat serta sebagai aparat penegak hukum.
Selain itu, juga dilihat dari SOP (standard operating procedure) pada masing-masing fungsi atau bagian
dalam organisasi kepolisian yang dapat dikategorikan dalam bidang: kepemimpinan, administrasi,
operasional dan capacity building.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, maka hal-hal mendasar yang perlu di assesment bagi seorang polisi
mencakup aspek:
1. Psikologis
2. Kecerdasan emosional
3. Kecerdasan intelegensia
4. Kecerdasan sosial
5. Kemampuan kepemimpnan
6. Kemampuan dibidang administrrasi
7. Kemampuan dibidang opersional
8. Kemampuan untuk menyelesaikan masalah dalam kondisi-kondisi terteentu
9. Kemampuan menumbuh kembangkan atau memajukan institusi secara visioner
10. Kemampuan mengembangkan kreatifitas dan inovasi-inovasinya
11. Kemampuan tugas-tugas khusus (intelegen, tim anti teror, penjinak bom dan bahan peledak,
pengawal dan pengaman VVIP/VIP, penerbang, polisi perairan, penyidik, tim anti huruhara, mewakili
tugas-tugas internasional, guru atau tenaga pendidik, assesor, auditor dan dapat dikembangkan lagi)
Program assesment ini menjadi keharusan bagi institusi kepolisian yang profesional, cerdas, bermoral
dan modern yang mampu mengimplementasikan pemolisianya dalam mewujudkan keamanan dan rasa
aman bagi warga masyarakat.
Dengan hasil assesment ini juga dapat digunakan untuk memperbaiki, meningkatkan kompetensi dan
mengkader bagi generasi yang akan datang.
Sedangkan tugas dibidang assesment merupakan jaminan profesionalisme dan kepercayaan dalam
pembinaan SDM yang dasarnya adalah kejujuran, keterbukaan, tanpa kepentingan dan mendialogkan
dengan yang di assesment sehingga dapat meminimailisir atau menghilangkan potensi-potensi
penyimpangan maupun penyalahgunaan.
Nilai-nilai kehormatan dibidang assesment adalah, komitmen integritas, kejujuran, dialog dan spirit
membangun serta menyiapkan personel terbaik bagi institusi.(CDL-Jkt/Jogja08-2014)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana
E-Policing: Harapan Atau Ancaman?Rabu, 20 Agustus 2014, 17:39:21 | TRANSGLOBAL
Kombes Pol Chryshnanda Dwilaksana.(ist)
TRANSINDONESIA.CO – e-Policing adalah pemolisian secara elektronik yang dapat diartikan sebagai
pemolisian secara online, sehingga hubungan antara polisi dengan masyarakat bisa terjalin dalam 24 jam
sehari dan 7 jam semnggu tanpa batas ruang tambah waktu untk selalu dapat saling berbagi informasi
dan melakukan komunikasi.
Bisa juga dipahami, membawa community policing pada sistem on line. Dengan demikian e-Policiing ini
merupakan model pemolisian diera digital yang berupaya menerobos sekat-sekat ruang tambah waktu
sehingga pelayanan-pelayan kepolisian dapat terselenggara dengan cepat, tepat, akurat, transparan,
akuntabel informatif dan mudah diakses.
e-Policing bisa menjadi strategi inisiatif anti korupsi, reformasi birokrasi creative break through.
Dikatakan sebagai inisiatif antikorupsi karena memanimalisir bertemunya person to person dalam
pelayanan-pelayan kepolisian dibidang administrasi karena sudah dapat digantikan secara on line melalui
e-banking, atau melalui eri (electronic regident) dan sebagai reformasi birokrasi karena dapat menerobos
sekat-sekat birokrasi yang rumit mampu menembus ruang dan waktu.
Misalnya, tentang pelayanan informasi tambah komunikasi melalui internet, dan hubungan tata cara kerja
dalam birokrasi dapat diseenggarakan secara langsung dengan SMK (Standar Manajemen Kinerja) yang
dibuat melalui intranet/ internet juga sehingga menjadi less paper dan sebagainya.
Dikatakan sebaga bagian creative break through, mealui e-Policing banyak program dan berbagai inovasi
tambah kreasi dalam pemolisian yang dapat dikembangkan masanya pada sistem-sistem pelayanan SIM,
Samsat , atau juga dalam TMC baik melalui media eektronik, cetak maupun media sosia bahkan secara
langsung sekaligus.
e-P olicing bukan berarti menghapus cara-cara manual yang masih efektif dan efisien dalam menjalin
kedekatan ditambah persahabatan antara Polisi dengan masyarakat yang dillayaninya.
e-Policing akan menyempurnakan dan meningkatkan, sehingga polisi benar-benar menjadi sosok yang
profesional, cerdas, bermoral dan modern sebagai penjaga kehidupan, pembangunan peradaban
sekaligus pejuang kemanuasiaan.
e-Poolicing dapat dipahami sebagai penyelenggaraan tugas kepolisian erbasis elektronik, yang berarti
membangun sistem-sistem yang terpadu, terintegrasi, sistematis dan saling mendukung. Ada
harmonisasi antar fungsi/bagian dalam mewujudkan ditambah memelihara keamanan dan rasa aman
dalam masyarakat.
Pemolisian tersebut dapat dikatakan memenuhi standar pelayanan prima, yang berarti: cepat, tepat,
akurat, transparan, akuntabel, informatf dan mudah diakses.
Pelayanan prima dapat diwujudkan melalui dukungan SDM yang berkarakter, pemimpin-pemimpin yang
transformatif, sistem-sistem yang berbasis IT, dan melalui program-program unggulan dalam memberikan
pelayanan, perlindungan, pengayoman bahkan sampai dengan penegakkan hukumnya.
Pembahasan e-Policing dapat dikategorikan dalam konteks : 1. Kepemimpinan, 2. Admnistrasi, 3.
Operasional, 4. Capacity building (pembangunan capacitas bagi insttusi).
Unsur-unsur pendukung dalam membangun e-Policing adalah sebagai berikut:
1. Komitmen moral
2. Kepemimpinan yang transformatif
3. Infrastruktur (hard ware + soft ware ) sebagai pusat data, informasi, komunikasi, kontrol, koordinasi,
komando dan pengendalian.
4. Jaringan untuk komunikasi, koordinasi, komando pengendalian dan informasi (K3I) melalui IT dan
untuk kontrol situasi.
5. Petugas-petugas polisi berkarakter (mempunyai kompetensi, komitmen dan unggulan) untuk
mengawali berbasis wilayah, menangani kepentingan dan dampak masalah.
6. Program-program unggulan untuk dioperasionalkan baik yang bersifat rutin, khusus maupun kontijensi,
(tingkat manajemen maupun operasionalnya).
7. Tim transformasi sebagai tim kendalli mutu, tim back-up yang menampung ide-ide dari bawah (bottom
up) untuk dijadikan kebijakan maupun penjabaran kebijakan-kebijakan dari atas (top down). Tim ini
sebagai dirigen untuk terwujudnya harmonisasi dalam dan diluar birokrasi. Dan melakukan montoring
dan evaluasi atas program-program yang diimplementasikan maupun menghasikan program-program
baru.
8. Selalu ada produk-produk kreatif sebagai wujud dari pengembangan untuk update, upgrade dan
mengantisipasidinamika perubahan sosial yang begitu cepat.
Antara Harapan dan Ancamn
Diera digital e-Policing merupakan kebutuhan bagi insttusi kepolisian untuk dapat terus hidup tumbuh dan
berkembang dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat yang modern dan demokratis
dalam rangka mewujudkan serta memelihara keteraturan sosial.
Penerapan ilmu pengetahuan, teknologi akan menjadi tools bagi pemolisian yang mendasari perubahan
paradigma niilai-nilaihakiki bagi polisi dan pemolisianya.
Dengan membangun sistem akan menjadi suatu harapan bagi masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan yang cepat, tepat, akurat, transparan dan akuntable, informatif serta mudah dakses.
Ide-ide kreatif bagi para petugas polisi-pun dapat disalurkan tanpa terhambat/terbentur dari sistem-sistem
brokrasi yang feodal+konvensional.
Sistem-sistem dengan IT akan menunjukan adanya kemauan dan kerelaan para pejabat+pemimpinnya
untuk kehilangan previlagenya dan dengan suara lantang berani mengatakan sebagai inisiatif antikorupsi,
reformasi birokrasi sekaligus cretaive breakthrough.
Hal-hal baru, ide-ide baru akan juga berbenturan dengan kelompok-kelompok status quo, kelompok-
kelompok comfot zone.
Mereka yang sudah menikmati dan mengakar bertahun tahun akan merasa tentakel-tentakelnya
dipatahkan atau kran-krannya mulai mengecil.
Kelompok-kelompok ini sebenarnya penganut premanisme birokrasi yang dalam, sudah terbeenggu otak
dan pemikiranya bahkan mati sudah hati nuraninya.
Mereka bukanlah batu “kerikil”, melainkan “sang naga” yang sangat sakti karena memilih kekuasaan
besar, pangkat tinggi, jabatan strategis, kewenangan luas, uang berlimpah, jejaring disemua lini, media,
massa pendukung cantrik-cantrik yang semua dimiikinya secara berlimpah.
Jangankan melawan, menggosipkan “sang nanga” dan kelompoknyapun bisa mati atau dimatikan hidup
dan kehidupanya.
e-Policing akan menjadi awal kematian “sang naga”, sang naga ini hanya ibarat lampu yang butuh power
tatkala power ini tercabut atau disekat oleh e-Policing.
Maka akan mulai berkerut dan keringlang “sang naga” itu.
Namun, tak mudah menghadapi naga yang sekarat, pasti dia akan ngawur menggelepar-gelepar dimana
dia mau dan dia bisa untuk mencari korban atau melampiaskan kemarahan dendam dan sakit hatinya.
(CDL-Juli 2014)
Penulis adalah: Kombes Pol Chryshnanda Dwilaksana
E-Policing “Greng” Getaran JiwaSelasa, 9 September 2014, 11:20:27 | TRANSPOLHUKAM
TRANSINDONESIA.CO – “Greg”, disini penulis meminjam istilah dari (almarhum) pelukis Widayat, yang
diartikan sebagai getaran jiwa atau resonansi dawai-dawai hati yang membuat sesuatu menjadi
bermakna, atau memiliki passion yang mampu tertangkap hati dan menjadi istimewa.
Bagi institusi Polri “greng”, para petugass polisi adalah kemanusiaan, keamanan, rasa aman, keadilan,
dan keselamatan. Roh/jiwa dari pemolisian memang semestinya ada “greng” bagi warga masyarakat
yang dilayaninya.
Membuat pemolisian memiliki “greng” diperlukan petugas-petugas polisi yang mencintai, bangga akan
tugas dan pekerjaanya.
Ternyata, membuat rasa “greng” dalam suatu pekerjaan merupakan perjuangan. Karena itu, bukan
kewajiban semata melainkan rasa tanggung jwab.
Ketika hanya sebatas kewajiban, maka ketika sudah tercapai tujuanya maka selesailah. Namun, dengan
rasa akan timbul suatu kesadaran bahwa, suatu profesi bukan pokoknya tugas atau yang penting tugas.
Melainkan pekerjaan merupakan path/the way of live yang bukan hanya dimengerti tetapi harus
dipahami, bukan semata dikerjakan tetapi dicintai.
Karena bekerja dengan hati akan ada rasa memiliki, rasa bertanggung jawab, rasa kebanggaan dan
penuh dengan kesadaran untuk selalu menumbuh kembangkan.
Melakukan pekerjaan bukan smata-mata uang dan uang tetap ada sisi kemanusiaan yang tersirat
maupun trsurat dari apa yang kita kerjakan.
Bekerja dengan hati akan membawa suatu pekerjaan mempunyai arti bagi hidup dan kehidupan.
Ketika tanpa hati, disitulah terasa adanya kekeringan yang menyebabkan kematian. Mati dalam arti, tidak
lagi mempunyai spirit humaniora dan tidak lagi memberikan suatu inspirasi bagi kehidupan-kehidupan
yang lainya.
Itu semua, produk dari pendidiikan. Ketika pendidikan yang dibangun dengan ala pendoktrinan seperti,
“siap grak, istirahat ditempat grak”.
Maka yang terjadi adalah keseragaman berpikir. Otaknya bagai dicetak, atau dipaksa menjadi seperti
barang cetakan.
Otak yang cetakan dapat dianalogikan bagi otak-otak jenis KW (palsu atau contekan yang tak lagi
orisinil).
Tak ada lagi kebanggaan, selalau saja terseret arus mind stream, mengekor dan tidak inspiratif atau
mungkin malah mendongkolkan.
Pendidikan bukan tempat penyiksaan, melainkan wadah yang membahagiakan sebagai tempat berkreasi
dan berekspresi. Sehingga kita mampu memperbaiki produk cetakan dan menjadi orisinil karena
menemukan jati diri sebenarnya.
Membuat polisi-polisi “greng” dalam tugasnya adalah dimulai dari lembaga-lembaga pendidikan yang
dibangun atas dasar kesadaran, tanggung jawab dan disiplin.
Kesadaran petugas polisi yang bertugas sebagai pelindung pengayom dan pelayan masyaraakat serta
aparat penegak hukum. Kesadaran inilah yang akan menjadi landasan tanggung jawab dan nilai-nilai
kebanggaan yang dapat ditanamkan dalam hati sanubari para petugas polisi.
Tatkala kesadaran ini telah mendarah daging, maka otak dan hatinya akan menunjukan tanggung jawab
dan disiplin. Disitulah ia tahu apa yang harus dilakukan atau diperbuatnya dan apa yang tidak boleh
dilakukan.
Selain itu, ia juga akan mencintai dan bangga akan pekerjaanya yang dapat memunculkan passion yang
menjadi “greng” bagi masyarakat yang dilayaninya.(CDL-Jogjakarta07092014)
SIM Simbol Edukasi, Etika dan AkuntabilitasSELASA, 09 SEPTEMBER 2014 08:38 REDAKSI
73 READINGS
Oleh: DR. Chryshnanda Dwilaksana *)
Pemahaman dasar tentang lalu lintas yang merupakan urat nadi kehdupan, cermin budaya bangsa dan cermin
tingkat modernitas suatu bangsa, sering diabaikan, misalnya tatkala terjadi masalah lalu lintas yang tidak aman, yang
tidak lancar, terjadi kecelakaanm semua dianggap hal wajar + biasa biasa saja.
Membahas lalu lintas ada berbagai faktor antara lain1) faktor manusia, 2) faktor kendaraan, 3) faktor
alam/lingkungan. Dari faktor manusia salah satu yang sangat kritikal untuk segera ditangani adalah yang berkaitan
dengan pengemudi kendaraan bermotor. Berbicara pengemudi kendaraan bermotor akan berkaitan dengan surat ijim
mengemudi (SIM).
SIM adalah bentuk legitimasi kompetensi, yang menunjukan adanya previlage/hak istimewa yang diberikan oleh
negara kepada seseorang yang telah lulus uji baik administrasi, teori, simulasi, dan paraktek. Yang bersangkutan
dianggap telah memiliki pengetahuan (tentang hukum/aturan/ peraturan/perundang-undangan, kemanusiaan, teknis
dasarkendaraan bermotor), memiliki ketrampilan mengendarai kendaraan bermotor di jalan raya serta memiliki
kepekaan+kepedulian akan keselamatan baik bagi dirinya/ orang lain.
Sejalan dengan pemikiran tersebut maka SIM sebagai legitimasi kompetensi merupakan ikon
edukasi/pelatihan/training :
1. Hukum/ peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lalu lintas + keselamatan berlalu lintas
2.Ketrampilan mengendarai kendaraan bermotor yang bertingkat-tingkat kemampuanya (safety, defensive, fast
speed dsb)
3. Pengetahuan akan keselamatan dan etika berlalu lintas
4.Tanggung jawab pengemudi dalam berlalu lintas
5.Pertolongan pertama pada kecelakaan lalu lintas + bantuan penanganan maslah-masalah lalu lintas
SIM didalam kartunya terdapat :
1. Data pribadi
2. Tingkat kecakapan pengemudi
3. Data-data tindakan petugas polisi secara manual/ eektronik
Atas perilakku pengemudi. Ini akan berkaitan dengan sanksi : denda,uji ulang, cabut sementara /cabut seumur hidup
Maka SIM berkaitan :
1. Sistem database
2. Penegakkan hukum
3. Akuntabiitas pengemudi
Di dalammeningkatkankualitas para pengemudi pemrintah+ polri maupun pemangku kpentingan lainya seyogyanya
beersama-bersama membentuk safety driving/safety riding centre (sdc/src)
Safety driving/safety riding centre adalah untuk membantu pemerintah dalam rangka:
1. Meningkatkankualitas hidup masyarakat
2. Menurunkan tingkat fatalitas korban
3.Membangun budaya tertib berlulintas
Safety driving/safety riding centre dibangun untuk :
1. Memberikan standar bagi penguji SIM
2. Petugas-petugas polisi (Pamwal, PJR dan Sabhara )
3. Petugas-petugas Pam VVIP/VIP
4. Driver VVIP/VIP
5. Insruktur sekolah mengemudi
6. Pengemudi profesi
7.Hobby
8. Calon pengemudi
SIM semestinya merupakan bagian dari single identiti number (SIN), karena setiap warga masyarakat untuk
menyelenggarakan hidup+kehidupanya ini sangat berkaitan dengan:1 pemerintah, 2. Bank dan 3. Polisi
Untuk memperpanjang SIM ada beberapa kategori sebagai berikut:
1. Tanpa uji bila selama memegang/ masa kepemilikan SIM yang bersangkutan tidak melakukan pelanggaran (dapat
dilakukan di mana saja)
2. Uji ulang karena yang bersangkutan pernah melakukan pelanggaran
3.Cabut sementara jika yang bersangkutan penah melakukan pelanggaran-pelanggaran yang membahayakan
keselamatan (contohnya mabuk,melawan arus, menerobos lampu merah).
4.Cabut seumur hdup yaitu jika yang bersangkutan melakukan tabrak lari
SIM bukan mahal/murah, bukan bagian dari bisnis jual beli melainkan bagian edukasi, training, akuntabilitas untuk
mewujudkan+memelihara lalu lintas yang aman, selamat, tertib+lancar. Tatkala hal-hal diatas diabaikan maka
sebenarnya sedang disiapkan jagal-jagal di jallan raya/ calon-calon untuk dijagal di jalan raya. (Pamen Polri
Pangkat Komisaris Besar Polisi *)
PatriotismeRABU, 10 SEPTEMBER 2014 08:01 REDAKSI
25 READINGS
Oleh: DR. Chryshnanda Dwilaksana *)Makna patriot dapat dimakanai sebagai bentuk perjuangan atau segala usaha+upaya yang tulus iklas sebagai bentuk pengabdian+ simbol kecintaan terhadap bangsa dan negaranya demi cita-cita memajukan bangsanya , mensejahterakan rakyatnya yang penuh pengorbanan tenaga, pemikran, waktu bahkan hingga jiwa raganya.
Dasar dasar pariotisme yang harus dimiliki oleh petugas-petugas kepoisian antara lain :
1. Komitmen sebagi anak bangsa yg setia dan sadar akan cinta tanah airnya yang mempunyai jwa dan semangat untuk membangun negrinya dan membayar hutang kepada rakyat Indonesia dengan segala sumber daya yang sedemikianya sampai titik darah pnghabisan. Komitmen ini adalah spiritualtas bagi petugas kepolisian. Yang berarti ketulusan ini yang harus
ditanamkan dan ditumbuh kembangkan
2. Kompetensi yang berarti sebagai petugas kepoisian wajib mempunyai kompetensi /keahlian di bidangnya masing-masing untuk membangun institusi yang profesional, cerdas, bermoral +modern. Dan menunjukan sebagai institusi pembelajar.
3. Keunggulan ini bermakna mampu membangun, dan membawa institusi bahkan masyarakat yang kita layani untuk menjadi lebih baik, bermartabat, terhormat dan layak untuk dibanggakan. Kita kalau tidak mempunya spirit menjadi unggul maka akan ditinggalkan. Unggul disini dapat bermakna mampu melampaui perubahan. Sehingga dapat memproduksi, mengantisipasi bahkan memberdayakan.
Disinlah patriotisme bukan lagi membahas kewengan / kekuasaan atau rebutan-rebutan jabatan melainkan membahas moralitas, spirituatas, profesonalitas + modernitas. Yang tercermin melalui :
1. Moralitas +spirituatas yang merupakan jalan hidup bagi petugas kepolisian.
2. Profesonalisme petugas kepolisian yang dtunjukan melalui keahlian di bidangnya, mampu menjadi role model bagi keunggulan/ mengugulkan bangsa Indonesia yang mampu mengimplementasikan Pancasila, UUD45, dan bhineka tunggal ika, sebagi penjaga NKRI, tentu saja visioner dan integritasnya diakui modernitas.
Di era digital yang berbasis ilmu pengtahuan + teknologi/ sistem-sistem/ model-model polisi +pemolisianya dalam masyarakata yang mampu memberikan pelayanan prima yang cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses. Model pemolisian dimasyarakat yang modern + demokratis.
Patriotisme bagi para petugas kepoisian negara Indonesa (Polri) sebagai anak bangsa menjadikan Indonesia unggul". Menjadikan Indonesia unggul adalah spiritualitas bagi petugas polri dan menyelenggarakan pemolisianya sehingga tercerminlah nilai-nilai kejuangan dan perjuanganya kapan saja, dimana saja + menjadi apa saja mempunyai hutang untuk Indonesia menjadi unggul. Dalam konteks ini juga ditunjukan kemampuannya dalam menanaman rasa cinta kebangsaan sehingga memiiki ketahanan nasional yang mampu mengatasi atau menangkal berbagai masalah yang menerma dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Aset utama suatu bangsa adalah sumber daya manusia. Di situlah peran +fungsi kepolisian sebagai pembangun peradaban mampu mengangkat harkat +martabat manusia sebagai aset utama bangsa untuk mengawaki dan berjuang menjadikan unggul bangsa+ negaranya. (Pamen Polri Pangkat Komisaris Besar Polisi *)
Back Office Pendukung E-PolicingRabu, 10 September 2014, 11:58:44 | TRANSPOLHUKAM
Ilustrasi
TRANSINDONESIA.CO – Back office sekarang ini hampir tidak diperhatikan bahkan ada yang sama
sekali tidak memikirkanya. Back offiice sebagai back bone dan otak dari segala penyelenggaraan tugas
dilapangan.
Back office merupakan: (1). Pusat data, (2). Call dan command centre, (3). Pemantau layar CCTV, (4).
Network, (5). Public service onlline, (6). Analisa, (7). Produk. Yang fungsiinya dapat sebagai pusat K3i
(komando pengendalian, komunikasi, koordinasi dan informasi)
Back office diawali oleh orang-orang yang smart yang mampu menggerakan semua fungsi atau bagian
secara cepat, tepat, akuntabel, informatif dan mudah diakses.
Back offce dapat dianalogikan sebagai dirigen pengharmoni antar bidang: (1). Pengawasan atau kontrol,
(2). Monitoring, (3). Quckrespon time, (4). Evaluasi, (5). Tim pedukuung dalam administrasi maupun
oprasional.
Dalam back office, seyogyanya ada model-model penanganan masalah baik sifatnya rutin, khusus
bahkan kontijensi.
Dengan demikian pada masa-masa kritis back office mampu berfungsi sebagai crisis centre karena back
office didukung pusat-pusat data dan pusat-pusat monitor serta pengendalian.
Perlengkapan pendukung back office setidaknya mencakup:
1. Server data
2. Layar kontrol CCTV
3. Peta digital
4. GPS
5. GIS
6. Jaringan internet dan intranet
7. Jaringan-jaringan CCTV
8. Jaringan-jaringan online
9. Jaringan panic button
10. Jaringan kommunikasi (telp,fax, email, media sosial, ht, hp instagram, dsb)
Back office akan berfungsi optimal jika didukung sumber daya manuasia (SDM) yang smart sebagai tim
operator maupun tim analis.teknologi yang tepat guna dan modern yang menyesuaikan dengan kekinian.
Tentu saja didukung sistem anggaran yang memadai dan memberikan remunerasi bagi petugas-petugas
diback office yang profesionl.
Back office di fungsi lalu liintas melalui:
1.ERi (Electronic Regident) adalah sistem pendataan Regident secara electronic yang dikerjakan pada
bagian BPKB sebagai landasan keabsahan kepemilikan dan asal usul kendaraan bermotor, yang
dilanjutkan pada bagian STNK dan TNKB sebagai legitimasi pengoperasionalan.
TNKB dapat dibangun melalui ANPR (automatic number plate recognation).
Dari data base kendaraan yang dibangun secara elektronik akan saling berkaitan dengan fungsi kontrol
dan forensik kepolisian serta memberikan pelayanan prima.
Dari ERi ini dapat dikembangkan menjadi program-program pembatasan pengoperasionalan ERP
(electronic road pricing). ETC (electronic toll collect), e parking, e banking (bisa menerobos dan
memangkas birokrasi Samsat), ELE (electronic law enforcement).
2. SDC (safety driving centre)
Adalah sistem yang dibangun untuk menangani pengemudi dan calon pengemudi berkaitan dengan SIM
dan sistem-sistem electronic . Dengan sistem ini, akan terkait dengan ERi (yang bisa dikembangkan
dalam RiC-Regident Centre), dapat digunakan sebagai bagian dari fungsi dasar regident (memberi
jamainan legitimasi kompetensi untuk SIM), fungsi kontrol, forensik kepolisian dan pelayaanan permanen
kepolisian.
3. SSC (safety dan security centre)
SSC merupakan sistem electronic yang mengakomodir pelayanan kepolisian dibidang lalu lintas,
khususnya yang berkaitan dengan keamanan dan keselamatan. Ini diselenggarakan oleh Subdit
Gakkum, Dikyasa, dan Subdt Kamsel. Dari sistem data dan jaringan informasi akan dapat dikerjakan oleh
TMC (traffic management centre).
4. TMC (traffic management centre)
Merupakan pusat K3i guna memberikan pelayanan cepat (quick response time) yang dapat
mengedepankan satuan PJR, Pamwal, Gatur bahkan petugas-petugas Satlantas tingkat Polres maupun
Polsek.(CDL-Lembang100914)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana