artikel anthony dio martin-eksekutif bereq rendah

2
62 HC September 2010 inspirasional T Anthony Dio Martin Eksekutif Ber-EQ Rendah ulisan ini merupakan salah satu topik yang saya angkat di siaran radio Smart Emotion  yang saya b awakan ba ru-baru ini, di salah satu  jaringan radio bisnis di Indonesia. Ternyata responsnya sangat luar biasa. Banyak SMS dan email yang saya terima setelah siaran ini. Ada  yang isinya curhat , ada pula yang memben arkan. Ada yang tak habis pikir mengapa keadaan ini bisa terjadi. Ya, bayangkan saja, seorang CEO di posisi paling puncak di sebuah organisasi, tetapi level Kecerdasan Emosionalnya rendah? Apa jadinya? Tapi, realitas semacam itulah yang terjadi. Setidak-tidaknya, ada beberapa contoh yang bisa memberikan gambaran  bagaimana seorang CEO bisa memiliki level EQ yang rendah. Misalkan saja, kisah CEO terburuk di dunia tahun 2009, John Thain. Bayangkan, dia termasuk salah satu CEO dengan  bayaran tertinggi d i dunia, yakni US$ 83 juta. Namun, tahun 2008, saat perusahaannya Merrill Lynch merugi hingga US$ 27 miliar, dengan enaknya ia minta agar bonusnya sebesar US$ 30-40 juta dibayarkan. Tak hanya itu. Manakala perusahaannya dibantu oleh pemerintah melalui Bank of America, ia justru membagi-  bagi bonus kepada para eksekutifnya senilai hampir US$ 10 miliar. Dan lebih parahnya, di saat banyak terjadi PHK dan pemangkasan dana, ia justru mendekorasi ruang kerjanya sendiri senilai hampir US$ 1,2 juta. Itulah yang membuat  banyak lapisan marah kepadanya yang berakhir dengan hilangnya jabatan John Thain. Termasuk pula, salah satu kisah yang membuat banyak pihak geleng-geleng kepala adalah kekonyolan Walt Baker, CEO Tennessee Hospitality Association. Apa yang dia lakukan? Menyebarkan email yang menyamakan frst lady Amerika, Michelle Obama, dengan Cheetah, simpanse yang merupakan sahabatnya Tarzan.  Email yang dia anggap lucu ini ternyata  beredar kemana -mana. Meskipun akhirnya Walt Baker sempat  buru-buru meminta ma af dengan meng atakan, ”I am sorry for my actions. I am sorry for the offensive contents of the email.” (Saya minta maaf atas tindakan saya. Saya menyesal atas isi email yang bisa menyakiti orang). Akan tetapi, langkahnya terlambat. Seharusnya, Walt Baker berpikir dulu sebelum mengirimkan email tersebut. Akhirnya, ia pun dipecat dari posisinya. Sudah Tahu Buruk, Kenapa Diangkat? Kedua kisah di atas menjadi cerminan menarik bagi kita  bahwa orang dengan posisi tinggi tidak selalu identik dengan EQ yang tinggi. Masalahnya, banyak di antara mereka yang dipilih untuk menduduki posisi di atas karena perusahaan  buru-buru ingin mencapai target dalam waktu singkat. Nah,  banyak di antara para CEO ini adalah jagoan dalam mencapai target dan menyajikan angka-angka . Soal bagaimana caranya, perusahaan kadangkala tutup mata. Akibatnya, banyak CEO  yang menjalanka n manajemennya dengan tangan besi, otoriter, dan tidak peduli dengan suara-suara di bawah. Memang, dalam  waktu yang singkat mereka menunjukka n hasilnya. Namun, dalam jangka panjang, banyak yang hasilnya berantakan. Konsekuensinya adalah: buruknya semangat kerja, tim yang tidak kompak, orang keluar masuk, tim proyek yang bongkar pasang, kepuasan kerja yang rendah. Itulah akibat-akibatnya,  yang tentunya untuk jangka panjang, justru amat merugikan organisasi! Itu sebabnya dalam salah satu wawancaranya, Travis Bradberry, penulis buku ”  Emotional Intelligence 2.0” – yang bukunya juga menjadi salah satu sumber inspirasi workshop Kecerdasan Emosional yang rutin kami lakukan lebih dari 9 tahun di Indonesia, mengatakan dengan k alimat menarik, ”.. many CEO are being promoted for being a good nancial managers, not as people managers.” (Banyak CEO yang diangkat karena mereka adalah manajer fnansial yang baik, bukan manajer orang). Mereka bagus dalam mengelola angka, tetapi buruk dalam berinteraksi atau memperlakuka n manusia. Ciri-ciri Eksekutif Ber-EQ Rendah! Bagaimanakah kita mendefnisikan CEO ber-EQ rendah? Ciri pertama dan yang paling bermasalah adalah self awareness mereka yang terkadang, terlalu berlebihan. Akibatnya, mereka sering kali egois, self reference tinggi (sumber acuannya adalah

Upload: anthony-dio-martin

Post on 05-Apr-2018

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7/31/2019 Artikel Anthony Dio Martin-Eksekutif BerEQ Rendah

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-anthony-dio-martin-eksekutif-bereq-rendah 1/2

62 HC September 2010

inspirasional

T

Anthony Dio Martin

Eksekutif Ber-EQ

Rendah

ulisan ini merupakan salah satu topik yang

saya angkat di siaran radio Smart Emotion

 yang saya bawakan baru-baru ini, di salah satu

 jaringan radio bisnis di Indonesia. Ternyata

responsnya sangat luar biasa. Banyak SMS dan

email yang saya terima setelah siaran ini. Ada

 yang isinya curhat, ada pula yang membenarkan. Ada yang tak 

habis pikir mengapa keadaan ini bisa terjadi. Ya, bayangkan

saja, seorang CEO di posisi paling puncak di sebuah organisasi,

tetapi level Kecerdasan Emosionalnya rendah? Apa jadinya?

Tapi, realitas semacam itulah yang terjadi. Setidak-tidaknya,

ada beberapa contoh yang bisa memberikan gambaran

 bagaimana seorang CEO bisa memiliki level EQ yang rendah.

Misalkan saja, kisah CEO terburuk di dunia tahun 2009,

John Thain. Bayangkan, dia termasuk salah satu CEO dengan

 bayaran tertinggi di dunia, yakni US$ 83 juta. Namun, tahun

2008, saat perusahaannya Merrill Lynch merugi hingga US$

27 miliar, dengan enaknya ia minta agar bonusnya sebesar US$

30-40 juta dibayarkan.

Tak hanya itu. Manakala perusahaannya dibantu oleh

pemerintah melalui Bank of America, ia justru membagi-

 bagi bonus kepada para eksekutifnya senilai hampir US$ 10

miliar. Dan lebih parahnya, di saat banyak terjadi PHK dan

pemangkasan dana, ia justru mendekorasi ruang kerjanya

sendiri senilai hampir US$ 1,2 juta. Itulah yang membuat

 banyak lapisan marah kepadanya yang berakhir dengan

hilangnya jabatan John Thain.

Termasuk pula, salah satu kisah yang membuat banyak pihak 

geleng-geleng kepala adalah kekonyolan Walt Baker, CEO

Tennessee Hospitality Association. Apa yang dia lakukan?Menyebarkan email  yang menyamakan frst lady Amerika,

Michelle Obama, dengan Cheetah, simpanse yang merupakan

sahabatnya Tarzan.  Email  yang dia anggap lucu ini ternyata

 beredar kemana-mana. Meskipun akhirnya Walt Baker sempat

 buru-buru meminta maaf dengan mengatakan, ”I am sorry for

my actions. I am sorry for the offensive contents of the email.” 

(Saya minta maaf atas tindakan saya. Saya menyesal atas isi

email  yang bisa menyakiti orang). Akan tetapi, langkahnya

terlambat. Seharusnya, Walt Baker berpikir dulu sebelum

mengirimkan email  tersebut. Akhirnya, ia pun dipecat dar

posisinya.

Sudah Tahu Buruk, Kenapa Diangkat?

Kedua kisah di atas menjadi cerminan menarik bagi kit

 bahwa orang dengan posisi tinggi tidak selalu identik dengaEQ yang tinggi. Masalahnya, banyak di antara mereka yan

dipilih untuk menduduki posisi di atas karena perusahaan

 buru-buru ingin mencapai target dalam waktu singkat. Nah

 banyak di antara para CEO ini adalah jagoan dalam mencapa

target dan menyajikan angka-angka. Soal bagaimana caranya

perusahaan kadangkala tutup mata. Akibatnya, banyak CEO

 yang menjalankan manajemennya dengan tangan besi, otoriter

dan tidak peduli dengan suara-suara di bawah. Memang, dalam

 waktu yang singkat mereka menunjukkan hasilnya. Namun

dalam jangka panjang, banyak yang hasilnya berantakan

Konsekuensinya adalah: buruknya semangat kerja, tim yan

tidak kompak, orang keluar masuk, tim proyek yang bongkapasang, kepuasan kerja yang rendah. Itulah akibat-akibatnya

 yang tentunya untuk jangka panjang, justru amat merugika

organisasi!

Itu sebabnya dalam salah satu wawancaranya, Travis Bradberry

penulis buku ” Emotional Intelligence 2.0” – yang bukunya jug

menjadi salah satu sumber inspirasi workshop Kecerdasa

Emosional yang rutin kami lakukan lebih dari 9 tahun d

Indonesia, mengatakan dengan kalimat menarik, ”..man

CEO are being promoted for being a good nancial managers

not as people managers.” (Banyak CEO yang diangkat karen

mereka adalah manajer fnansial yang baik, bukan manaje

orang).  Mereka bagus dalam mengelola angka, tetapi burudalam berinteraksi atau memperlakukan manusia.

Ciri-ciri Eksekutif Ber-EQ Rendah!

Bagaimanakah kita mendefnisikan CEO ber-EQ rendah? Cir

pertama dan yang paling bermasalah adalah self awarenes

mereka yang terkadang, terlalu berlebihan. Akibatnya, merek

sering kali egois, self reference tinggi (sumber acuannya adala

7/31/2019 Artikel Anthony Dio Martin-Eksekutif BerEQ Rendah

http://slidepdf.com/reader/full/artikel-anthony-dio-martin-eksekutif-bereq-rendah 2/2

63HC September 2010

inspirasion

EQ yang rendah. Catatan dari penulis buku Executive EQ

mengatakan, 10% kenaikan skor seorang karyawan (apalag

seorang CEO) dampaknya adalah 60% pada ’bottom line’ suat

 bisnis. Fakta membuktikan, seperti yang disajikan di bagia

awal tulisan ini, yang menunjukkan bahwa banyak leader yan

 jatuh bukan karena kurang strategi atau teknis, tapi karena EQ

mereka yang rendah.

Berikutnya, mari kita tekankan WHAT -nya. Apanya yang perl

ditingkatkan dari seorang eksekutif? Di sinilah kit

 bicara soal empat elemen kompetensi EQ

 yang dikemukakan ole

Daniel Goleman

 yang kemudia

direvisi oleh tim

Talentsmart. Inila

 yang perl

dipelajar

o l e

s e m u

eksekutif

agar Kecerdasa

E m o s i o n a

mereka meningka

Sayangnya, banyak d

a n t a r a mereka yang skor EQ-ny

rendah tetapi tidak menyadarinya sama sekali. Itulah sebabnya

mengapa workshop dan training EQ menjadi sangat berharg

 bagi mereka.

Dan akhirnya, melalui proses  HOW , atau mendorong merek

untuk terus-menerus mengembangkan EQ melalui 5 tip

sederhana, yakni: to read  (membaca), to learn (belajar dar

 yang lebih mampu), to get mentor (meminta bimbingan

to apply (mencoba menerapkannya), dan to take risk (amb

risiko untuk melakukannya)!

Semoga dengan mempraktikkan konsep dan metode-metod

ini, para eksekutif kita menjadi lebih seimbang. Jadi bukan saj

strategi bisnis mereka yang bagus, tetapi Kecerdasan Emos

mereka pun lebih dikembangkan lagi! n

diri sendiri). Intinya, mereka sering berpikir, ”Kalau menurut

saya OK, berarti ya OK dong.”

Kedua, menyangkut self management  mereka yang rendah.

Terkadang, mereka tidak bisa mengontrol diri sehingga

tampak emosional, serakah, reaktif, atau terkesan seenaknya.

Prinsipnya adalah, ”Kalau aku maunya yang ini, berarti harus

inilah mesti dipenuhi.”

Ketiga, menyangkut social awareness mereka yang rendah

sehingga mereka menjadi tidak peka terhadap perasaan orang-

orang di sekitarnya. Dan terakhir, social skills 

mereka juga rendah. Akibatnya, kemampuan

 berempati mereka cenderung

rendah, begitu pula

listening skills mereka

 buruk. Celakanya, karena

mereka rata-rata

cukup terdidik 

dan banyak  b e l a j a r ,

 bisa jadi

kemampuan

lip service 

mereka luar

 biasa. Akibatnya, di

depan publik, mereka

 bisa saja bicara tentang

hal-hal yang bagus tetapi

di belakangnya mereka m e l a n g g a r

kata-kata yang baru saja mereka ucapkan. Istilahnya talk the

talk, bukan walk the talk.

Bagaimana Meningkatkan EQ Para Eksekutif?

Jawabannya sangat tidak mudah. Masalahnya, mereka berada

di posisi paling atas yang terkadang tidak membutuhkan orang

lain. Tentu, untuk mengubahnya pun tidak gampang. Jadi,

 bagaimana langkah-langkah yang bisa kita lakukan untuk 

membuat para eksekutif mau mengembangkan EQ mereka?

Dari pengalaman mengajarkan EQ selama hampir 10 tahun

kepada begitu banyak perusahaan nasional dan multinasional,

saya menganjurkan untuk melakukannya dengan metode:

WHY-WHAT-HOW . Bagaimana prosesnya? Begini caranya!

Prosesnya harus dimulai dengan memberikan gambaran

mengenai WHY  dulu. Artinya, para eksekutif harus diawali

dengan diberikan kesadaran, mengapa mereka perlu

mengembangkan EQ mereka? Beberapa data statistik sering

saya tunjukkan kepada mereka agar lebih yakin. Misalnya,

saya menyajikan data dari Center for Creative Leadership

 yang menyatakan bahwa 27% CEO ternyata mempunyai skor

 Anthony Dio Martin

Trainer dan penulis buku-buku best seller

 Host program radio Smart Emotion di SmartFM dan

 Host program televisi ‘EQ Inspiration’ di Q-TV 

(www.anthonydiomartin.com)