ariyah dan hiwalah

22
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan ekonomi yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari bahkan tanpa kita sadari, pinjam-meminjam maupun mengutang sering kita lakukan. Berbicara mengenai pinjaman (‘Ariyah) dan hutang (Hiwalah), maka perlu kita bahas mengenai hal-hal tersebut lebih jauh lagi. Pada kesempatan ini kami sebagai penyusun telah mengumpulkan bahan-bahan tersebut ke dalam makalah ini insyaallah dengan sistematis dan bersumberkan dari sumber-sumber yang benar. Oleh karna itu semoga makalah ini dapat memberikan ilmu kepada pembaca agar pembaca lebih memahami tentang apa itu ‘ariyah dan apa itu hiwalah. B. Rumusan Masalah 1. ‘Ariyah. 2. Hiwalah. C. Permasalahan 1. Apakah dan bagaimanakah ariyah itu. 2. Apakah dan bagaimanakah hiwalah itu. D. Tujuan Untuk lebih mengerti dan lebih memahami apakah ‘ariyah dan hiwalah itu serta memahaminya lebih dalam lagi dengan mempelajari yang telah di contohkan Rosulullah SAW. E. Manfaat

Upload: dodykahfi

Post on 25-Jun-2015

1.406 views

Category:

Documents


20 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ariyah dan Hiwalah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kegiatan ekonomi yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari bahkan tanpa

kita sadari, pinjam-meminjam maupun mengutang sering kita lakukan. Berbicara mengenai

pinjaman (‘Ariyah) dan hutang (Hiwalah), maka perlu kita bahas mengenai hal-hal tersebut

lebih jauh lagi. Pada kesempatan ini kami sebagai penyusun telah mengumpulkan bahan-

bahan tersebut ke dalam makalah ini insyaallah dengan sistematis dan bersumberkan dari

sumber-sumber yang benar. Oleh karna itu semoga makalah ini dapat memberikan ilmu

kepada pembaca agar pembaca lebih memahami tentang apa itu ‘ariyah dan apa itu hiwalah.

B. Rumusan Masalah

1. ‘Ariyah.

2. Hiwalah.

C. Permasalahan

1. Apakah dan bagaimanakah ariyah itu.

2. Apakah dan bagaimanakah hiwalah itu.

D. Tujuan

Untuk lebih mengerti dan lebih memahami apakah ‘ariyah dan hiwalah itu serta

memahaminya lebih dalam lagi dengan mempelajari yang telah di contohkan Rosulullah

SAW.

E. Manfaat

Berguna bagi kita untuk jauh lebih memahami apa ‘ariyah dan hiwalah tersebut.

Sehingga yang belum memahami dapat memepelajarinya dan menambah wawasan kita tentang

‘ariyah dan hiwalah yang diamana pada makalah ini bersumberkan dari sumber-sumber yang

terpercaya. serta dapat juga dijadikan sarana Edukasi dan bahan Diskusi.

Page 2: Ariyah dan Hiwalah

BAB II

PEMBAHASAN

Konsep dasar hubungan ekonomi berdasarkan syariah islam dalam system ekonomi

islam ternyata dapat diterapkan dalam operasional lembaga keuangan bank maupun lembaga

keuangan bukan bank. Sebagai bagian dari aktivitas bisnis. Kehendak untuk mensukseskan

bisnis islami harus dimulai dari pemahaman kita secara dalam tentang kemudharatan system

bunga, filsafah bisnis islami, kemudian tentang prinsip dasar operasional bisnis islami, dan

dampaknya secara luas terhadap kehidupan masyarakat dalam relevansinya dengan

pembangunan ekonomi. Adapun di dalam makalah kami sebagai penyusun berkesempatan

sekali untuk membahas tentang prinsip-prinsip dasar transaksi bisnis Islam dan pada

kesempatan kali ini makalah ini akan membahas dua dari salah satu prinsip-prinsip Islam

tersebut. Yaitu ‘Ariyah dan Hiwalah.

A. ‘Ariyah

1. Pengertian

Menurut etimologi (bahasa), ariyah diambil dari kata 'aara yang berarti datang dan

pergi. Menurut sebagian pendapat, 'aariyah berasal dari kata at ta'awur yang sama artinya

dengan at tanaawul aw at tanaawub (saling tukar dan mengganti), yakni dalam tradisi pinjam

meminjam (http://www.hendrowibowo.blogspot.com/’ariyah tgl 15/06/2008). Menurut

terminologi syara' (definisi), ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara

lain:

a. Menurut Syarkhasyi dan ulama Malikiyah,

البعوض  منفعت تمليك “ ‘Ariyah adalah pemilikan atas manfaat (suatu benda)

tanpa

pengganti".

b. Menurut ulama Syafi'iyah dan Hambaliyah, “’Ariyah adalah pembolehan (untuk

mengambil) manfaat tanpa mengganti."

c. Menurut Hanafiyah, ‘ariyah adalah   

محانا ١تمليك لمنافع   “Memiliki manfa’at secara Cuma-Cuma”.

Adapun pada website Alislamu.com pusat kajian islam tentang ariyah yang di

akses pada tanggal 18 mei 2007 menuliskan Para ahli fiqih mendefinisikan ‘ariyah adalah

seorang pemilik barang membolehkan orang lain memanfaatkan barang itu tanpa ada imbalan

(http://www.alislamu.com/’ariyah pada 18/05/2007). 

Page 3: Ariyah dan Hiwalah

2. Hukum (Ketetapan) Akad ‘Ariyah

a) Dasar Hukum Ariyah

Ariyah dianjurkan (mandub) dalam Islam yang didasarkan pada Al Qur'an dan As

Sunnah. Sebenarnya  ‘ariyah  adalah  merupakan sarana tolong menolong antara orang yang

mampu  dan  orang yang tidak mampu. Bahkan antara sesama orang yang mampu dan tidak

mampu pun ada kemungkinan terjadi saling meminjam. Sesuai dengan firman Allah:

“Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan jangan tolong-menolong

dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya

Allah amat berat siksa-Nya”(Al-Maidah: 2).

As Sunnah Dalam hadits Bukhari Muslim dari Anas, dinytakan bahwa Rasulullah

SAW telah meminjam kuda dari Abu Thalhah, kemudian beliau mengendarainya. Dari

Shafwan bin Ya’la dari bapaknya ra ia berkata, Rasulullah saw pernah bersabda kepadaku,  

“Apabila sejumlah kurirku datang kepadamu, maka berilah kepada mereka tiga puluh baju

besi dan tiga puluh ekor unta.” Kemudian aku bertanya,  “Ya Rasulullah, apakah ini

pinjaman yang terjamin, ataukah pinjaman yang tertunaikan?” Jawab Beliau,  “(Bukan),

tetapi pinjaman yang tertunaikan.” (Al-Amir ash-Shan. 1991: 69.) menjelaskan, ”Yang

dimaksud kata madhmunah (terjamin) ialah barang pinjaman yang harus ditanggung

resikonya, jika terjadi kerusakan, dengan mengganti nilainya. Adapun yang dimaksud kata

mu’addah (tertunaikan) ialah barang pinjaman yang mesti dikembalikan seperti semula,

namun manakala ada kerusakan maka tidak harus mengganti nilainya.” Lebih lanjut dia

menyatakan,  “Hadits yang diriwayatkan Shafwan di atas menjadi dalil bagi orang yang

berpendapat, bahwa ’ariyah tidak harus ditanggung resikonya, kecuali ada persyaratan

sebelumnya. Dan, sudah dijelaskan bahwa pendapat ini adalah pendapat yang paling kuat”

('Abdul 'Azhim. 1991: 707 – 708.)

Namun para ulama mempunyai pandangan yang berbeda dalam menetapkan asal

akad yang menyebabkan peminjaman “memiliki manfa’at” barang yang dipinjam. Peminjam

itu dilakukan secara suka rela, tanpa ada imbalan dari pihak peminjam. Oleh sebab itu

peminjam berhak meminjamkan barang itu kepada orang lain untuk dimanfa’atkan, karena

Page 4: Ariyah dan Hiwalah

manfaat barang tersebut telah menjadi miliknya, kecuali pemilik barang membatasi

pemanfaatanya bagi peminjam saja atau melarangnya meminjamkan kepada oranglain.

         Mazhab Syafi’i, Hanafi, Abu Hasan Ububilah bin hasan Al kharki berpendapat bahwa

‘ariyah hanya bersifat memanfaatkann benda tersebut karena itu kemanfaatanya terbatas

kepada pihak kedua saja(peminjan) dan tidak boleh dipinjamkan kepada pihak lai, namun

semua Ulama sepakat bahwa benda tersebut tidak boleh disewakan kepada orang lain.

Ulama juga berpendapat dalam menentukan hukum.  Berdasarkan sifat peminjam, jumhur

ulama berpendapat bahwa pemanfaatan barang oleh peminjam terbatas pada izin kemanfaatan

yang diberikan oleh pemiliknya.

         Ulama mazhab Hanafi membedakan antara ‘ariyah yang bersifat mutlak dan terbatas.

Bila benda itu dipinjamkan kepada pihak lain (pihak ketiga) maka peminjam(pihak kedua)

berkewajiban mengganti rugi (kerugian), sekiranya terjadi kerusakan dan mengganti

sepenuhnya sekiranya benda itu hilang.

b). Hak Memanfaatkan Barang Pinjaman (Musta'ar)

Jumhur ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa musta'ar dapat mengambil manfaat

barang sesuai dengan izin mu'ir (orang yang memberi pinjaman).

Adapun ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki musta'ar

bergantung pada jenis pinjaman, apakah mu'ir meminjamkannya secara mutlak atau secara

terikat (muqayyad).

Ariyah mutlak

Ariyah mutlak yaitu, pinjam meminjam barang yang dalam akadnya (transaksi) tidak

dijelaskan persyaratan apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya untuk peminjam saja

atau dibolehkan orang lain, atau tidak dijelaskan cara penggunaannya.

Ariyah muqayyad

Ariyah muqayyad adalah meminjamkan suatu barang yang dibatasi dari segi waktu

dan kemanfaatannya, baik disyaratkan pada keduanya maupun salah satunya. Hukumnya,

peminjam harus sedapat mungkin untuk menjaga batasan tersebut, akan tetapi dibolehkan

untuk melanggar batasan tersebut apabila kesulitan dalam memanfaatkannya.

Batasan penggunaan ariyah oleh diri peminjam. Pembatasan waktu dan tempat.

Page 5: Ariyah dan Hiwalah

Pembatassan ukuran berat dan jenis.

c). Sifat Ariyah

Ulama Hanafiyah, Syafi'iyyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa hak kepemilikan

atas barang adalah hak tidak lazim sebab merupakan kepemilikan yang tidak ada

penggantinya.

Menurut pendapat yang paling masyhur dari ulama Malikiyah, mu'ir tidak dapat

meminta barang yang dipinjamkannya sebelum peminjam dapat mengambil manfaatnya.

Akan tetapi, pendapat yang paling unngul menurut Ad Dardir dalam kitab Syarah Al Kabir

adalah mu'ir dapat meminta barang yang dipinjamkannya secara mutlak kapanpun ia

menghendakinya.

d). Ihwal ariyah (Barang Pinjaman), Apakah Tanggungan atau Amanat?

Ulama Hanafiyah beperndapat bahwa baarang pinjaman itu merupakan amanat bagi

peminjam, baik dipakai atau tidak. Dengan demikian, ia tidak menanggung barang tersebut,

jika terjadi kerusakan, seperti juga dalam sewa menyewa atau barang titipan, kecuali bila

kerusakan tersebut disengaja atau disebabkan kelalaian.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa peminjam harus menanggung barang yang

tidak ada padanya, yakni yang dapat disembunyikan seperti baju. Dia tidak harus

menanggung sesuatu yang tidak dapat disembunyikam, seperti hewan atau barang yang jelas

dalam hal kerusakannya.

Yang benar menurut kalangan Syafi'iyyah, peminjam menanggung harga barang bila

terjadi kerusakan dan bila ia menggunakannya tidak sesuai dengan izin yang diberikan

pemilik walaupun tanpa disengaja.

Ulama Hanabilah berpendapat bahwa peminjam menanggung kerusakan barang

pinjamannya secara mutlak, baik disengaja maupun tidak. Namun demikian, ulama Hanabilah

menyatakan jika barang yang dipinjam aadalah benda-benda wakaf, kemudian rusak tanpa

disengaja, maka ia tidak harus menanggung kerusakannya, sebab tujuan peminjaman barang

itu ditujukan untuk kemaslahatan umum.

Mu'ir mensyaratkan Peminjam Harus Bertanggung Jawab

Page 6: Ariyah dan Hiwalah

Ulama Hanafiyah berpendapat, jika mu'ir memberikan syarat adanya tanggungan

kepada peminjam, syarat tersebut batal. Menurut ulama Malikiyah, jika mu'ir mensyaratkan

peminjam untuk bertanggung jawab sesuatu yang bukan pada tempatnya, peminjam tidak

menanggungnya. Hanya saja ia harus memberikan bayaran atas pemakaian barang yang

dipinjamnya sesuai dengan nilainya. Ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah berpendapat, jika

peminjam mensyaratkan ariyah sebagai amanat bukan tanggungan, tanggungan tidak gugur

dan syarat batal.

Ariyah Berubah dari Amanah kepada Tanggungan.

Menurut ulama Hanafiyah, penyebab perubahan ariyah dari amanah kepada

tanggungan karena di antara keduanya ada beberapa persamaan, seperti penyebab perubahan

tersebut pada penitipan barang, yakni dengan sebab-sebab sebagai berikut:

Menghilangkan barang.

Tidak menjaganya ketika menggunakan barang.

Menggunakan barang pinjaman tidak sesuai dengan persyratan atau kebiasaan yang

berlaku.

Menyalahi tata cara penjagaan yang seharusnya.

e). Biaya Pengembalian Barang

Biaya pengembalian barang itu ditanggung oleh peminjam sebab

pengembalian barang merupakan kewajiban peminjam yang telah mengambil

manfaatnya.

3. Rukun ‘Ariyah

Jumhur  ulama mengatakan rukun ‘ariyah ada empat yaitu:

1.     Orang yang meminjamkan (Musta'ir),

2.     Orang yang meminjam (Mu'ir),

3.     Barang yang dipinjam (Mu’ar) dan

4.     Lafaz pinjaman atau Shighat. Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang

berkata, “saya utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata “ saya

mengaku berutang benda anu kepada kamu.” Syarat bendanya adalah sama dengan

syarat benda-benda dalam jual beli.

Page 7: Ariyah dan Hiwalah

Ulama Mazhab Hanafi, mengatakan bahwa rukun ‘ariyah hanya satu saja tidak

perlu kabul. Namun menurut Zufar bin Husail bin Qoiz(Ahli fiqih mazhab hanafi) kabul tetap

diperlukan yaitu yang menjadi rukun ‘ariyah adalah ijab dan kabul. Menurut Mazhab Hanafi,

rukun no 1, 2, 3 yang disebutkan jumhur ulama diatas, bukan rukun tetapi termasuk syarat.

Mengenai  syarat ‘ariyah adalah:

Orang yang meminjam harus orang yang berakal dan dapat (cakap) bertindak atas

nama hukum karena orang tidak berakal, tidak dapat memegang amanat. Oleh sebab

itu anak kecil, orang gila, dungu, tidak boleh mengadakan akad ‘ariyah’.

Barang yang akan dipinjamkan bukan barang yang apabila dimanfaatkan habis.

Seperti makanan dan minuman.

Tetapi di dalam website

4. Tatakrama Berutang Dalam ‘Ariyah

Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-

piutang tentang nilai-nilia sopan-santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai berikut:

Sesuai dengan QS. Al-Bazaar: 282, utang-piutang supaya dikuatkan dengan tulisan

dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki dengan dua orang

saksi wanita. Untuk dewasa ini tulisan tresebut dibuat diatas kertas bersegel atau

bermaterai.

Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai

niat dalam hati akan membayarnya/mengembalikannya.

Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berutang.

Bila yang meminjam tidak mampu mengembelikan, maka yang berpiutang hedaknya

membalaskannya.

Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat

pembayaran utangnya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berari berbuat zalim.

B. Hiwalah

1. Pengertian

Secara bahasa pengalihan hutang dalam hukum islam disebut sebagai hiwalah yang

mempunyai arti lain yaitu Al-inqal dan Al-tahwil, artinya adalah memindahkan dan

mengalihkan (Hendi Suhendi. 2004: 99.). Penjelasan yang dimaksud adalah memindahkan

hutang dari tanggungan muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal'alaih

(orang yang melakukan pembayaran hutang) (Sabiq, Sayyid. 1987: 13.).

محل : إلى محل من النقل لغة

Page 8: Ariyah dan Hiwalah

Menurut bahasa adalah pemindahan dari satu tempat ke tempat lain. Dan adapun Pengertian

Hiwalah secara istilah:

1. Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah:

الملتزم دمة إلى المديون دمة من لبة المطا نقل

“Memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang

punya tanggung jawab pula” (H. Hendi Suhendi. 2004: 99).

2. Al-jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:

دمة إلى دمة من الدين نقل

“Pemindahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang

lain”.

3. Syihab al-din al-qalyubi bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:

دمة إلى دمة من دين انتقال يقتضى عقد

“Akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada yang lain .”

4. Muhammad Syatha al-dimyati berpendapat bahwa yang dimaksud Hiwalah adalah:

دمة إلى دمة من دين تحويل يقتضى عقد

“Akad yang menetapkan pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban

orang lain”.

5. Ibrahim al-bajuri berpendapat bahwa Hiwalah adalah:

عليه المحال دمة إلى المحيل دمة من الحق نقل

“Pemindahan kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang

menerima pemindahan.”

Page 9: Ariyah dan Hiwalah

6. Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud Hiwalah adalah:

دمة إلى دمة من الدين إنتقال

“Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”.

7. Idris Ahmad, Hiwalah adalah “Semacam akad (ijab qobul) pemindahan utang dari

tanggungan seseorang yang berutang kepada orang lain, dimana orang lain itu

mempunyai utang pula kepada yang memindahkan.

8. Menurut Syafi’i Antonio (1999), hawalah adalah pengalihan hutang dari orang yang

berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya (artinya ada satu pihak

yang menjamin hutang pihak lain).

9. Menurut Bank Indonesia (1999), hawalah adalah akad pemindahan piutang nasabah

(muhil) kepada bank (muhal’alaih) dari nasabah lain (muhal). Muhil meminta

muhal’alaih untuk membayarkan terlebih dahulu piutang yang timbul dari jual-

beli. Pada saat piutang tersebut jatuh tempo, muhal akan membayar kepada

muhal’alaih. Muhal’alaih memperoleh imbalan sebagai jasa pemindahan.

Fuqaha berpendapat bahwa Hawalah (perpindahan utang) merupakan suatu

muamalah memandang persetujuan kedua belah pihak diperlukan (Ibnu Rusyd. 2002:

123.). Fuqaha yang menempatkan kedudukan orang yang menerima perpindahan

utang terhadap orang yang dipindahkan piutangnya sama dengan kedudukan orang

yang dipindahkan piutangnya terhadap debitur (orang yang memindahkan utang)

tidak memegangi persetujuan orang yang menerima perpindahan utang bersama orang

yang dipindahkan piutangnya, seperti ia juga tidak memegangi persetujuan itu

bersama orang yang memindahkan utang (debitur) manakala ia meminta haknya dan

tidak memindahkannya kepada seseorang (Ibnu Rusyd, "Bidayatul Mujtahid, Op, Cit. h

264.).

Hiwalah sebagai tindakan yang tidak membutuhkan ijab dab qabul dan menjadi sah

dengan sikap yang menunjukkan hal tersebut seperti : "Aku hiwalahkan kamu", "Aku

ikutkan kamu dengan hutangku padamu kepada si Fulan", dan lain-lainnya.

2. Landasan Hukum Hiwalah

Page 10: Ariyah dan Hiwalah

Hiwalah dibolehkan berdasarkan Sunnah dan Ijma’:

a. Hadits

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh, bahwa Rasulullah saw,

bersabda:

فليتبع ملي على حدكم أ تبع أ فادا ظلم لغني ا مطل

“Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezhaliman. Dan jika

salah seorang dari kamu diikutkan (dihawalahkan) kepada orang yang mampu/kaya,

maka terimalah hawalah itu”.

Pada hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang

yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia

menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang

dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian hakknya dapat terpenuhi (dibayar).

Kebanyakan pengikut mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az Zahiriyah berpendapat :

bahwa hukumnya wajib bagi yang menghutangkan (da'in) menerima hiwalah, dalam rangka

mengamalkan perintah ini. Sedangkan jumhur ulama berpendapat : perintah itu bersifat

sunnah (Sabiq, Sayyid, Op,Cit hal 40.).

b. Ijma

Para ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah dibolehkan pada hutang yang

tidak berbentuk barang/ benda, karena hawalah adalah perpindahan utang, oleh sebab itu

harus pada utang atau kewajiban financial.

Pelaksanaan Al-Hiwalah dibenarkan dalam islam. Sebagaimana sabda

Rosullah saw:

                                                                                                                 

لبتع وإذااتبععلىملىءفا ) مطلالغنىطلم رواهالجمهعة (

                                                     

“Memperlambat pembayaran hukum yang dilakukan oleh orang kaya merupakan

perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah

Page 11: Ariyah dan Hiwalah

membayar hutang, maka hendaklah ia beralih(diterima pengalihan tersebut)”.(HR

Jama’ah)

Sabda Rosullah saw:

( رواهأحمدوالبيهقى ( فليحل كمعضىملىء أحيلأحد ذا الغنىطلمناء مطل

“Orang yang  mampu membayar hutang haram atasnya melalaikan hutangnya.

Apabila salah seorang diantara kamu memindahkan hutangnya kepada orang lain,

hendaklah diterima pilihan itu, asal yang lain itu mampu membayar”.(HR Ahmad dan

Baihaqi)

3. Rukun dan Ilustrasinya

hawalah adalah pemindahan atau pengalihan penagihan utang dari orang yang

berutang kepada orang yang akan menanggung utang tersebut. Namun demikian, yang dapat

ditransfer ini adalah utang finansial, dan bukan utang barang. Menurut Dewan Syariah

Nasional MUI, rukun hawalah terdiri atas (i) muhil, yakni orang yang berutang dan sekaligus

berpiutang, (ii) muhal atau muhtal, yakni orang berpiutang kepada muhil, (iii) muhal 'alaih,

yakni orang yang berutang kepada muhil dan wajib membayar utang kepada muhtal, (iv)

muhal bih, yakni utang muhil kepada muhtal, dan (v) sighat (ijab-qabul). Sedangkan jumhur

(mayoritas) ulama menambahkan satu rukun lagi yaitu piutang muhil pada muhal 'alaihi.

Sebagai ilustrasi, A meminjamkan Rp 1 juta kepada B, dan B meminjamkan Rp 1 juta

kepada C. Ketika A menagih hutang pada B, maka B mengatakan bahwa ia memiliki piutang

pada C, sehingga ia meminta A menagih hutangnya pada C. Tentu saja ketiganya harus

menyetujui perjanjian hawalah terlebih dahulu. Dalam konteks ini, A adalah muhal, B adalah

muhil dan C adalah muhal alaihi.

Dalam praktik bank syariah, biasanya aplikasi hawalah ini dilaksanakan dalam bentuk

factoring/anjak piutang, dimana nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga,

memindahkan piutang tersebut kepada bank, sehingga bank akan membayar piutang nasabah

di muka dan menagih utang kepada pihak ketiga tersebut. Biasanya bank syariah

mendapatkan upah dari proses pemindahan tersebut. Bedanya dengan praktek bank

konvensional adalah, bank konvensional membayar nasabah sebesar nilai piutang yang sudah

didiskon, dan menagih pada pihak ketiga dengan nilai utang yang penuh. Misal, A memiliki

piutang pada B sebesar Rp 1 juta. Kemudian bank konvensional akan membayar A Rp 900

ribu dan menagih pada B sebesar Rp 1 juta. Pihak bank juga meminta biaya administrasi pada

A. Transaksi semacam ini dilarang pada bank syariah karena mengandung unsur riba.

Page 12: Ariyah dan Hiwalah

Sementara pada praktek bank syariah, bank wajib membayar A Rp 1 juta (tanpa diskon),

namun bank berhak mengenakan biaya administrasi kepada A sebagai upah untuk penagihan

piutang pada B.

Menurut mazhab hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah)

dari pohak pertama, dan qabul (penyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan pihak

ketiga.

Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali rukun hiwalah ada enam yaitu:

a) Pihak pertama

b) Pihak kedua

c) Pihak ketiga

d) Ada hutang  pihak pertama pada pihak kedua

e) Ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama

f) Ada sighoh (pernyataan hiwalah)

4. Syarat Hiwalah

Semua imam mazhab (Hanafi, maliki, Syafi’i dan Hambali) berpendapat bahwa

hiwalah menjadi syah apabila sudah terpenuhi Syarat-syaratnya yang berkaitan dengan pihak

pertama, kedua, dan ketigaserta yang berkaitan hutang itu.

Syarat bagi pihak pertama

a) Cukup dalam melakukan tindakan hukum da;lam bentuk aqad yaitu baliqh dan

berakalhiwalah tidak syah dilakuakan oleh anak kecil walaupun ia sudah

mengerti(mumayyiz).

b) Ada persetujuan jika pihak pertama dipaksa untuk melakuakan hiwalah maka aqad

tersebut tidak syah.

Syarat kepada pihak kedua

a) Cukup melakukan tindakan hukum yaitu baliq dan berakal.

b) Dinyaratkan ada persetujuan dari pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan

hiwalah (mazhab Hanafi sebagian besar mazhab Maliki dan syafi’i).

Syarat bagi pihak ketiga

a) Cukup melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, sebagai syarat bagi pihak pertama

dan kedua.

Page 13: Ariyah dan Hiwalah

b) Disyaratkan ada pernyataan persetujuan dari pihak ketiga(mazhab hanafi) sedangkan

mazhab lainya  (Maliki, Syafi’i dan Hambali) tidak mensyaratkan hal ini, sebab dalam

aqad hiwalah pihak ketiga dipandang sebagai objek aqad.

c) Imam Abu Hanifah dan Muhammad bin hasan asy-syaibani menambahkan bahwa kabul

tersebut dilakukan dengan sempurna oleh  pihak ketiga didalam suatu majelis aqad.

Syarat yang dilakukan terhadap hutang yang dialihkan

a) Sesuatu yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk hutang piutang yang

sudah pasti.

b) Apabila mengalihkan hutang itu dalam bentuk hiwalah al-muqayyadah semua ulama fiqih

menyatakan bahwa baik hutang pihak pertama kepada pihak kedua maulun hutang kepada

pihak ketiga kepada pihak pertama meski sama jumlah dan kwalitasnya.

c) Mazhab syafi’i menambahkan bahwa kedua hutang tersebut mesti sama pula,  waktu

jatuh temponya, jika tidak sama maka tidak sah.

5. Jenis Hiwalah

Mazhab Hanafi membagi hiwalah dalam beberapa bagian, ditinjau dari segi objek

aqad maka hiwalah dapat sibagi dua:

Apabila dipindahkan itu merupakan hak menuntut hutang,maka pemindahan itu disebut

hiwalah Al haqq(حوالةالحق)atau pemindahan hak.

Apabila dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang, maka pemindahan itu

disebut hiwalah Al-Dain(حوالةالدين)atau pemindahan hutang.

Ditinjau dari sisi lain hiwalah terbagi dua pula yaitu:

Pemindahan sebagai ganti dari pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak kedua

yang disebut hiwalah al-muqayyadah  (   حوالةالمقيدة ) atau pemindahan bersyarat.

Pemindahan hutang yang tidak ditegaskan sebagai ganti dari pembayaran  hutang pihak

pertama kepada pihak keduayang disebut hiwalahal- muthadah(    )atau pemindahan

mutlak.

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Jadi ternyata di dalam islam ‘ariyah dan hiwalah itu ternyata di perbolehkan karena

berlandaskan Al-Qur’an dan Hadist. Rosulullah telah mencontohkannya dengan benar

sehingga kita dapat menirunya sehingga terciptalah manfaat yang benar-benar

Page 14: Ariyah dan Hiwalah

menguntungkan dan mendapatkan ridho Allah SWT. Adapun kesimpulan dari makalah ini

ialah ‘ariyah menurut arti yaitu tukar menukar (pinjam-meminjam) dan hukumnya boleh.

Ariyah dapat dikatakan sah apabila telah terpenuhinya rukun ariyah yaitu orang yang

meminjam, orang yang dipinjam, barang yang dipinjam dan ijab Kabul. Hiwalah artinya itu

memindahkan mengalihkan dan hukumnya boleh dan sama halnya dengan ‘ariyah yaitu akan

sah apabila rukunya telah terpenuhi.

B. Saran

Marilah kita terus mempelajari pelajaran Fiqh Muamalah karna dengan jalan inilah

kita dapat membedakan mana jalan yang diridhoinya dan mana yang tak diridhoinya dalam

berbisnis untuk mencari rezeki. Agar kita selalu mendapatkan cintanya dan terjauh dari api

nerakanya. Bacalah juga sumber-sumber yang saya percaya yang diamana refrensinya telah

tercantum didalam makalah ini.

Daftar Pustaka

Al-Amir, ash-Shan’ani. 1991. Subulus Salam. Beirut: Darul Fikr.

Al-Wajiz. 1991. Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj.

Ma'ruf Abdul Jalil. Beirut: As-Sunnah.

Page 15: Ariyah dan Hiwalah

Hendi, Suhendi. 2004. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Grafindo.

Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah 13, Bandung : PT Al-ma'rif.

Ibnu Rusyd. 2002. Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqih Para Mujatahid Kitab Al-Hiwalah.

Jakarta : Pustaka Amani.

Suhendi, Hedi. 2002. Fiqih muamalat. Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA.

Mulyadi, Ahmad. 2006. Fiqih. Bandung: penerbit Titian Ilmu.

Abdul Jalil, Ma’ruf. 2006. Al-Wajiz. Jakarta: Pustaka As-Sunah.

http://www.alislamu.com/’ariyah pada 18/05/2007.

http://www.hendrowibowo.blogspot.com/’ariyah. tanggal akses 15/06/2008.