aparatur pemerintah - kementerian … · web viewaparatur pemerintah xxi/1 bab xxii aparatur...

165
APARATUR PEMERINTAH XXI/1

Upload: dangliem

Post on 30-May-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

APARATUR PEMERINTAH

XXI/1

BAB XXII

APARATUR PEMERINTAH

A. PENDAHULUAN

Sebagai landasan kebijaksanaan Mandataris MPR yang utama untuk secara terus menerus menyelenggarakan penyempurnaan aparatur Pemerintah ialah Ketetapan MPR No.IV/MPR/1978 ten-tang Garis-garis Besar Haluan Negara, Bab IV tentang Pola Umum Pelita Ketiga, huruf D khususnya mengenai Aparatur Peme-rintah yang menyebutkan:

a. Aparatur Pemerintah ditingkatkan pengabdian dan kesetiaan-nya kepada cita-cita perjuangan Bangsa dan Negara, yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

b. Pembinaan, penyempurnaan dan penertiban aparatur Pemerin-tah baik di tingkat pusat maupun daerah, termasuk perusa-haan-perusahaan milik negara dan milik daerah sebagai apa-ratur perekonomian negara dilakukan secara terus menerus agar dapat mampu menjadi alat yang efisien, efektif, ber-sih dan berwibawa sehingga mampu melaksanakan tugas-tugas umum Pemerintah maupun untuk menggerakkan pelaksanaan pem-bangunan secara lancar.

c. Perlu dilanjutkan dan ditingkatkan kebijaksanaan dan lang-kah-langkah yang telah dilakukan dalam rangka penertiban aparatur Pemerintah serta dalam menanggulangi masalah-masalah korupsi, penyalahgunaan wewenang, kebocoran dan pemborosan kekayaan dan keuangan negara, pungutan-pungutan liar serta berbagai bentuk penyelewengan lainnya yang menghambat pelaksanaan pembangunan.

d. Hubungan fungsional yang makin mantap antara lembaga-lem-baga perwakilan rakyat dengan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah perlu terus dikembangkan.

e. Dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang ter-sebar di seluruh pelosok Negara dan dalam rangka membina kesatuan Bangsa, maka hubungan yang serasi antara Pemerin-tah Pusat dan Pemerintah Daerah dikembangkan atas dasar keutuhan Negara Kesatuan dan diarahkan pada pelaksanaan otonomi daerah yang nyata, dinamis dan bertanggungjawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan Daerah, dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi.

f. Memperkuat pemerintahan desa, agar makin mampu menggerak-kan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi desa yang makin meluas dan efektif. Untuk itu perlu disusun Undang-undang tentang Pemerintahan Desa.

XXII/3

Selanjutnya juga merupakan dasar utama untuk terseleng-garanya penertiban aparatur Negara ialah Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1978 tentang Pelimpahan Tugas dan Wewenang kepada Presiden/Mandataris MPR Dalam Rangka Pengsuksesan dan Penga-manan Pembangunan Nasional yang pada pasal 1 b menetapkan penugasan kepada Presiden/Mandataris MPR untuk dalam waktu lima tahun meneruskan penertiban dan pendaya-gunaan aparatur Negara di segala bidang dan tingkatan.

Dasar-dasar kebijaksanaan tersebut yang telah menjadi Krida ke empat dari Sapta Krida Kabinet Pembangunan III se-cara terperinci dirumuskan dalam bab 26 Repelita III yang juga merupakan kelanjutan dari kebijaksanaan penyempurnaan aparatur Pemerintah pada Repelita I dan II. Oleh karena ke-mampuan aparatur Pemerintah dalam mengemban tugas umum peme-rintahan dan tugas pembangunan merupakan salah satu unsur strategis bagi keberhasilan pembangunan, maka usaha penyem-purnaannya perlu dilakukan terus-menerus secara berencana dan melembaga. Selama lima tahun terakhir ini telah banyak usa-ha-usaha penertiban dan penyusunan Aparatur Pemerintah sesuai dengan arah yang terkandung dalam TAP MPR tersebut. Namun perlu dikemukakan bahwa beberapa dari hasil-hasil usaha pe-nyempurnaan dan penertiban aparatur Pemerintah untuk pening-katan kemampuannya hanya dapat dicapai dalam jangka waktu yang cukup panjang dengan pendekatan yang bersifat menyelu-ruh. Kebijaksanaan dan langkah-langkah penertiban dan penyu-sunan aparatur Pemerintah yang menyeluruh dilakukan secara bertahap dan berencana dengan penentuan sasaran-sasaran dan prioritas yang realistis.

Usaha penyempurnaan aparatur Pemerintah secara sungguh-sungguh telah dimulai sejak tahun 1967, dan telah cukup ba-nyak mencapai hasil dewasa ini. Akan tetapi tetap disadari bahwa masalah-masalah yang dihadapi masih cukup besar dan me-minta kesungguhan tekad terutama untuk dapat menanggapi pe-ningkatan tugas dalam rangka pelaksanaan Repelita IV dan ren-cana-rencana pembangunan lima tahun berikutnya.

B. LANDASAN, KEBIJAKSANAAN DAN SASARAN PENYEMPURNAAN APA-RATUR PEMERINTAH

Landasan penyempurnaan dan penertiban aparatur Pemerintah adalah ketetapan-ketetapan MPR seperti disebutkan terdahulu dan kebijaksanaan Pemerintah dalam rangka pelaksanaan Kete-tapan-ketetapan MPR tersebut telah dituangkan dalam Bab 26 Repelita III sebagai peningkatan dari perumusan kegiatan

XXII/4

usaha yang dituangkan dalam Bab V Repelita I dan Bab 30 Repe-lita II.

Arah kebijaksanaan di bidang aparatur Pemerintah ialah untuk meningkatkan dan memantapkan tata penyelenggaraan peme-rintahan yang harus mencerminkan peranan Pemerintah dalam pembangunan nasional. Sesuai dengan penggarisan yang tercan-tum dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang menentukan pembangunan di bidang ekonomi sebagai titik berat dalam pembangunan jangka panjang, serta dalam proses pembangunan yang didasarkan kepada Demo-krasi Ekonomi masyarakat harus memegang peranan aktif, maka Pemerintah berkewajiban untuk memberikan pengarahan dan bim-bingan terhadap pertumbuhan ekonomi serta menciptakan iklim yang sehat bagi perkembangan dunia usaha.

Sejalan dengan itu, maka aparatur Pemerintah harus peka terhadap masalah-masalah pembangunan yang dirasakan oleh rak-yat serta tanggap dan trampil untuk menyelesaikan masalah-ma-salah tersebut. Oleh karena itu aparatur Pemerintah perlu se-cara terus-menerus dikembangkan agar kemampuannya makin me-ningkat dalam pelaksanaan tugas membimbing dan melayani ma-syarakat sehingga dapat dibina gairah rakyat untuk berparti-sipasi dalam proses pembangunan.

Kebijaksanaan penyempurnaan aparatur Pemerintah pertama-tama ditujukan untuk meningkatkan pengabdian dan kesetiaan kepada cita-cita perjuangan Bangsa dan Negara berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Dengan demikian apa-ratur Pemerintah harus benar-benar merupakan abdi Negara dan abdi masyarakat yang bermental baik dalam menjalankan tugas umum pemerintahan dalam menjalankan tugas umum pemerintahan, tugas pembangunan dan tugas pembimbingan serta pelayanan ke-pada masyarakat.

Atas dasar landasan serta kebijaksanaan sebagaimana dise-butkan di atas maka sasaran-sasaran usaha penyempurnaan dan penertiban aparatur Pemerintah dalam masa pelaksanaan mandat MPR selama 1978 - 1983 telah ditetapkan sebagai berikut :

a. Meningkatkan hubungan fungsional yang makin mantap antara lembaga-lembaga perwakilan rakyat dengan Pemerintah, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah yang terutama ditujukan dalam rangka penyusunan rencana tahunan yang tercermin dalam APBN atau APBD.

XXII/5

b. Meningkatkan pembinaan dan penertiban aparatur Pemerintah baik di tingkat Pusat maupun Daerah, termasuk aparatur perekonomian Negara dan Daerah, sehingga dapat menjadi alat yang efisien, efektif, bersih dan berwibawa serta mampu melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan meng-gerakkan pelaksanaan pembangunan secara lebih lancar.

c. Mengembangkan keserasian hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah atas dasar keutuhan Negara Kesatuan dan diarahkan pada pelaksanaan otonomi daerah yang nyata, dinamis dan bertanggungjawab yang dapat menjamin perkem-bangan dan pembangunan Daerah, dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

d. Menyempurnakan tata kerja dan hubungan kerja, baik antara Departemen/Lembaga maupun dalam Departemen/Lembaga itu sendiri, agar tercipta langkah kegiatan yang lebih terpadu dan serasi guna mendukung keberhasilan pencapaian tujuan-tujuan serta pelaksanaan perogram-program pembangunan se-cara menyeluruh.

e. Meningkatkan pengawasan dan penertiban seluruh aparatur Pemerintah, termasuk aparatur perekonomian Negara dan Daerah dalam rangka penanggulangan masalah-masalah korup-si, penyalahgunaan wewenang, kebocoran dan pemborosan ke-kayaan dan keuangan Negara, pungutan-pungutan liar serta berbagai bentuk penyimpangan lainnya yang menghambat pe-laksanaan pembangunan.

f. Meningkatkan produktivitas, kegairahan dan disiplin kerja pegawai negeri dengan terus mengembangkan sistem karier yang diserasikan dengan sistem prestasi kerja.

g. Memantapkan pembinaan dan ketatalaksanaan aparatur pereko-nomian Negara sehingga dapat menjadi pendorong kegiatan-kegiatan pembangunan dan produksi pada sektor-sektor usaha swasta yang belum mampu, pemupukan modal dan keuntungan, penyediaan jasa sosial ekonomi dan turut aktif mengamankan serta menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan program Pe-merintah dalam pengembangan golongan ekonomi lemah.

h. Meningkatkan kemampuan aparatur Pemerintah, baik tingkat Pusat maupun tingkat Daerah, dalam tugas-tugas umum peme-rintahan dan pembangunan yang meliputi kemampuan dalam penyusunan rencana, perumusan kebijaksanaan dan program, kemampuan dalam pelaksanaan serta kemampuan dalam pengen-dalian dan pengawasan yang efektif dan efisien. Hal terse-but dilakukan dengan sistem di mana setiap sektor pem-bangunan menjadi jelas penanggungjawab dan aparatur Peme-rintah yang menanganinya.

XXII/6

i. Mengembangkan administrasi Pemerintah secara tertib dengan antara lain penuangan berbagai ketetapan dan kebijaksanaan Pemerintah dalam produk peraturan perundang-undangan se-hingga ketetapan dan kebijaksanaan tersebut memperoleh landasan kekuatan hukum yang pasti dan jelas, baik bagi para pelaksana maupun bagi masyarakat.

C. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKSANAAN DAN HASIL PENYEMPURNAAN APARATUR PEMERINTAH 1978/79 - 1982/83

1. Lembaga Tertinggi Negara/Lembaga-lembaga Tinggi Negara

Sejak pemerintahan Orde Baru berbagai usaha telah dilaku-kan untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Melalui Ketetapan MPRS No.XIV/MPRS/1966 jo. Ketetapan MPR No. VI/MPR/1973 jo. Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 kedudukan dan hubungan Lembaga-lembaga Negara itu dikembalikan kepada ke-dudukan yang sebenarnya. Demikian pula lebih ditegaskan kedu-dukan serta hubungan kerja lembaga-lembaga Negara tersebut sesuai dengan UUD 1945 dengan ditetapkannya Peraturan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 jo. Ketetapan MPR No. V/MPR/1973. Dalam lima tahun terakhir tampak nyata bahwa keserasian hubungan fungsional antara Lembaga-lembaga Negara, yaitu MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, dan Presiden, DPA, DPR, BEPEKA dan Mahkamah Agung sebagai Lembaga Tinggi Negara, telah makin me-mantapkan mekanisme Kepemimpinan Nasional.

Di samping pemantapan kedudukan serta hubungan kerjanya telah pula dilakukan penyempurnaan organisasi serta persona-lia kesekretariatan untuk meningkatkan kemampuan dalam mem-berikan jasa-jasa pelayanan administratif Lembaga-lembaga Negara bersangkutan.

Dalam perkembangannya dapat dikemukakan hal-hal penting sebagai berikut:

a. Menjelang Sidang Umum MPR pada tahun 1983 ini maka untuk ketiga kali dalam masa orde baru telah dilangsungkan pemi-lihan umum anggota-anggota MPR, DPR dan DPRD. Pemilihan umum yang didasarkan dengan prinsip "LUBER" (langsung, umum, bebas dan rahasia) dan yang telah berlangsung secara aman dan tertib adalah antara lain berkat kerjasama yang

XXII/7

baik antara Pemerintah dan DPR dalam merumuakan Undang-undang No.2 tahun 1980 tentang Pemilihan Umum Badan Permu-syawaratan/Perwakilan Rakyat sebagai perubahan atas Un-dang-undang No.15 tahun 1969 dan No. 4 tahun 1975. Partai Politik dan Golongan Karya sebagai kontestan dalam pemi-lihan umum tetap didasarkan pada Undang-undang No. 3 tahun 1975 dan demikian pula susunan serta kedudukan MPR/DPR/-DPRD tetap didasarkan pada Undang-undang No. 5 tahun 1975. Dengan demikian dalam sejarah Republik Indonesia telah da-pat dibentuk untuk ketiga kalinya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum.

b. Dewan Pertimbangan Agung yang dibentuk berdasarkan Un-dang-undang No. 3 tahun 1967 jo. Undang-undang No. 4 tahun 1978 telah diperluas keanggotaannya dari 27 orang menjadi 45 orang anggota termasuk pimpinan. Dewan ini yang peng-angkatan anggota-anggotanya dilakukan dengan Keppres No. 167 M tahun 1978 dan No. 138 M tahun 1981 telah banyak membantu Pemerintah dengan saran-saran secara teratur.

c. Badan Pemeriksa Keuangan yang kekuasaan dan kewajibannya ditetapkan dengan Undang-undang No. 5 tahun 1973 sebagai pembaharuan Undang-undang No. 17 tahun 1965 telah meng-alami penggantian beberapa anggota dengan Keputusan Presiden No.161 M tahun 1981. Dalam pelaksanaan fungsinya sebagaimana ditugaskan oleh UUD 1945 BEPEKA telah memberi-kan saran-saran perbaikan dalam pertanggungjawaban keuang-an Negara yang mendapat perhatian sungguh-sungguh dari Pemerintah.

d. Pada tahun 1981 telah diadakan penggantian Ketua dan Wakil ketua Mahkamah Agung berdasarkan Keppres No. 30 M tahun 1981 dan disusul kemudian dengan penyempurnaan susunan Ha-kim Agung. Jumlah hakim agung ditambah dari 15 menjadi 19 orang. Sebagaimana diketahui pada tahun 1970 telah diada-kan pembaharuan Undang-undang No. 19 tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan Un-dang-undang No. 14 tahun 1970 sehingga kekuasaan kehakiman terjamin sebagai kekuasaan sesuai dengan ketentuan UUD 1945 serta Penjelasannya. Dalam rangka pembinaan hukum pa-da umumnya dan pemerataan kesempatan memperoleh keadilan pada khususnya maka secara terus-menerus Pemerintah telah memberikan bantuannya dalam penyempurnaan administrasi peradilan agar proses peradilan dapat terselenggara cepat dengan biaya ringan dengan memenuhi rasa keadilan bagi se-mua warga masyarakat.

XXII/8

Dalam Ketetapan MPR-RI Nomor III/1978 tentang kedudukan dan hubungan tata kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Lembaga-lembaga Tinggi Negara antara lain ditegaskan bahwa hak keuangan/administratif dan kedudukan protokol dari Pimpi-nan/Anggota Lembaga Tertinggi Negara dan atau Lembaga Tinggi Negara diatur dengan Undang-undang.

Dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1978 telah diatur hak keuangan/administratif Presiden dan Wakil Presiden serta be-kas Presiden dan bekas Wakil Presiden Republik Indonesia dan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 telah diatur pula hak keuangan/administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Ter-tinggi/Tinggi Negara serta bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/ Tinggi Negara dan bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara.

Mengenai kedudukan protokol harus diatur secara menyelu-ruh, atau dengan perkataan lain kedudukan protokol dari selu-ruh pejabat Negara perlu diatur dalam satu peraturan yang mencakup kedudukan Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/ Tinggi Negara dan pejabat Negara lainnya. Hal ini sedang dalam perencanaan.

2. Aparatur Pemerintah Tingkat Pusat

Usaha penyempurnaan Aparatur Pemerintah tingkat Pusat yang cukup berarti ialah dituangkannya Pokok-pokok Organisasi Departemen dan Susunan Organisasi Departemen masing-masing dalam Keppres No. 44 dan 45 tahun 1974 dan Keputusan-keputusan Menteri tentang organisasi Departemen masing-masing. Penyem-purnaan penataan satuan-satuan organisasi di lingkungan Peme-rintah tersebut ditujukan untuk memantapkan kedudukan, tugas pokok dan fungsi Departemen-departemen agar mampu mengemban tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan yang lebih besar dan kompleks.

Dengan penyempurnaan tersebut maka telah diperjelas ba-tas-batas kewenangan dan tanggungjawab fungsional masing-ma-sing Departemen, diseragamkan nama unit organisasi (nomenkla-tur) dan nama jabatan (titulatur) dan dipertegas pembagian ke dalam unsur Pembantu Pimpinan, unsur Pelaksana dan unsur Pengawasan pada Departemen dengan tetap mengindahkan rentang pengendalian. Disamping unsur-unsur tersebut terdapat pula unsur pembantu pelaksana teknis/administratif yang disebut Badan dan atau Pusat.

Sebagai penyelenggara tugas dan fungai Departemen di Pro-pinsi dibentuk Kantor Wilayah Departemen atau Kantor Wilayah

XXII/9

Direktorat Jenderal sebagai instansi vertikal di daerah. Pem-bentukan Kanwil ini disesuaikan dengan pembagian wilayah ad-ministratif yang dapat mencakup satu atau beberapa propinsi, tergantung dari tugas dan beban kerja yang menjadi tanggung-jawabnya. Di samping itu, dalam rangka memperlancar pelaksa-naan tugas Kantor Wilayah di daerah tingkat Kabupaten/Kotama-dya telah pula dibentuk kantor Departemen di beberapa daerah tersebut, seperti kantor Departemen Perdagangan dan Koperasi dan Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dalam perkembangannya organisaei Departemen telah meng-alami penyempurnaan-penyempurnaan lebih lanjut untuk dapat disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing Departemen agar dapat menghadapi bertambahnya beban kerja karena makin me-ningkatnya kegiatan pembangunan.

Dalam kurun waktu 8 tahun setelah diberlakukannya KeppresNo. 44 dan 45 tahun 1974 telah dilakukan 13 kali penyempurna- an. Tiap Departemen telah mengalami penyempurnaan, demikian pula tiap tahun dilakukan penyempurnaan berturut-turut dengan Keputusan-keputusan Presiden No. 12 tahun 1976, No. 6 tahun 1977, No. 15 tahun 1978, No. 30 tahun 1978, No. 40 tahun 1978, No. 59/M tahun 1978, No. 47 tahun 1979, No. 22 tahun 1980, No. 57 tahun 1980, No. 62 tahun 1980, No. 27 tahun 1981 dan terakhir No. 15 tahun 1982. Di antara penyempurnaan ter-sebut terdapat restrukturisasi beberapa Departemen untuk di-sesuaikan dengan susunan Kabinet Pembangunan III. Juga terda-pat perluasan organisasi dengan pembentukan Direktorat Jen-deral, yaitu Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah pada De-partemen Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelemba-gaan Agama Islam pada Departemen Agama, pemecahan Direktorat Jenderal Moneter ke dalam Direktorat Jenderal Moneter Dalam Negeri dan Direktorat Jenderal Moneter Luar Negeri pada De-partemen Keuangan, pembentukan Badan Penelitian dan Pengemba-ngan pada Departemen Perindustrian, serta pembentukan Badan SAB Nasional pada Departemen Perhubungan.

Penyempurnaan-penyempurnaan tersebut di atas tetap berti-tik tolak dari sifat dan ruang lingkup tugas pokok dan fungsi Departemen-departemen bersangkutan sebagai pelayan masyara-kat. Meskipun asas fleksibilitas dalam pengorganisasian telah diterapkan namun asas kontinuitas untuk menjamin kemampuan institusional tetap diberlakukan.

Perlu pula dikemukakan bahwa untuk penyesuaian dengan su-sunan Kabinet Pembangunan III telah ditetapkan kedudukan, tugas pokok, fungsi dan tatakerja serta susunan organisasi

XXII/10

Menteri Kordinator dengan Keputusan Presiden No. 12 tahun 1978, Menteri Negara dengan Keputusan Presiden No. 28 tahun 1978 serta Menteri Muda dengan Keputusan Presiden No. 13 ta-hun 1978. Pengaturan-pengaturan tersebut dimaksudkan untuk lebih meningkatkan kordinasi, baik pada tingkat perumusan kebijaksanaan, perencanaan maupun pelaksanaan.

Sesuai dengan perubahan yang dituntut karena meningkatnya kegiatan-kegiatan pembangunan maka organisasi lembaga-lembaga Pemerintah non Departemen juga memerlukan penyempurnaan-pe-nyempurnaan. Sejak tahun 1974 telah dilakukan penelitian men-dalam mengenai organisasi lembaga-lembaga tersebut yang diha-rapkan dapat dirumuskan pola tentang kedudukan, tugas pokok, fungsi dan susunan organisasinya. Walaupun belum berhasil di-rumuskan, namun asas-asas yang dipergunakan dalam penyempur-naan organisasi Departemen sejauh mungkin telah diterapkan tanpa pengabaian sifat-sifat khusus dan ruang lingkup tugas pokok masing-masing. Usaha penyempurnaan perlu memperhatikan adanya perbedaan dasar hukum pembentukan masing-masing lemba-ga, yaitu ada yang dengan Undang-undang, ada pula dengan Per-aturan Pemerintah dan sebagian besar dengan Keputusan Presi-den. Demikian pula dalam penyempurnaan ditemui masalah karena sifat-sifat yang berbeda, ialah adanya kelompok lembaga Peme-rintah non Departemen yang menjalankan fungsi lini atau yang melaksanakan tugas eksekutif, kelompok lain mempunyai kedu-dukan staf atau sebagai badan staf tingkat Pusat, sedangkan ada pula yang mempunyai tugas melaksanakan kordinasi sehingga disebut badan kordinasi.

Walaupun pada dasarnya usaha-usaha penyempurnaan dilakukan dengan penelitian secara menyeluruh, namun perhatian khusus diberikan kepada masalah-masalah yang mendesak, yaitu perlunya perubahan organisasi dari lembaga-lembaga Pemerintah non Departemen tertentu untuk dapat menampung perkembangan tugas lembaga yang bersangkutan. Dalam waktu lima tahun ter-akhir ini penyempurnaan-penyempurnaan yang telah dilakukan ialah terhadap:

a. Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) dengan pembentukan Kantor-kantor Wilayah tingkat Propinsi secara bertahap (Keppres No. 53 tahun 1980);

b. Biro Pusat Statistik (BPS) karena peranannya makin penting (PP No. 6 tahun 1980);

c. Badan Urusan Logistik (BULOG) untuk penyempurnaan fungsi dan kedudukannya (Keppres No. 39 tahun 1978);

d. Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) bagi peningkatan fung-sinya (Keppres No. 51 tahun 1979);

XXII/11

e. Badan Koordinaai Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) juga bagi peningkatan fungsinya (Keppres No. 38 tahun 1978);

f. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dengan penyempur-naan struktur organisasi dan tatakerja sehingga dalam pro-ses aplikasi penanaman modal calon investor cukup hanya berhubungan dengan hanya satu instansi (one stop service), yaitu dengan BKPM (Keppres No. 53 tahun 1977), dengan pe- nambahan satu Deputy dan dua Biro (Keppres No. 33 tahun 1981) dan untuk perbaikan tatakerja dalam menyusun DaftarSkala Prioritas (DSP) (Keppres No. 78 tahun 1982); dan

g. Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila sebagai lembaga baru yang mempu-nyai tugas utama untuk meningkatkan penghayatan dan peng-amalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa), UUD 1945 serta GBHN oleh masyarakat (Keppres No.10 tahun 1979).

Demikian pula telah disempurnakan organisasi Sekretariat Negara guna pemantapan fungsinya, yaitu berturut-turut dengan Keppres No. 8 tahun 1978, Keppres No. 31 tahun 1980 dan Kep-pres No. 16 tahun 1981.

Penyempurnaan administrasi yang bersifat tata hubungan kerja institusional maupun prosedural sebagai bentuk komuni-kasi yang membantu tercapainya kordinasi secara terus-menerus juga telah dilakukan. Penyempurnaan tata hubungan kerja anta-ra berbagai Departemen/Lembaga yang telah dilakukan terutama meliputi pelaksanaan program-program yang merupakan prioritas dalam pembangunan, seperti program-program peningkatan dan pengadaan produksi pangan, tata penyelenggaraan transmigrasi, pembinaan golongan ekonomi lemah, perbaikan gizi rakyat, ke-luarga berencana, penanaman modal, pelestarian lingkungan hidup dan lain-lain. Demikian pula kordinasi yang lebih baik diusahakan dalam administrasi berbagai bidang seperti admi-nistrasi pelabuhan, administrasi perencanaan dan pembiayaan pembangunan, administrasi bantuan luar neggri, tata penye-lenggaraan ekspor, impor dan lalu lintas devisa yang dituju-kan untuk peningkatan ekspor bukan minyak dan gas bumi.

Dalam lima tahun terakhir berbagai tata hubungan kerja telah dilembagakan dalam badan-badan kordinasi seperti Badan Kordinasi Penyelenggaraan Transmigrasi (Keppres No. 26 tahun 1979), Badan Kordinasi Bimas (Keppres No. 6 tahun 1979), Badan Kordinasi Penyelenggaraan Pembinaan dan Pengembangan Generasi Muda (Keppres No. 23 tahun 1979), Badan Kordinasi Penanggulangan Bencana Alam (Keppres No. 28 tahun 1979) dan

XXII/12

Badan Kordinasi Energi Nasional (Keppres No. 46 dan No. 75 tahun 1980).

Kecuali itu peningkatan tata hubungan kerja institusional dilakukan pula dalam berbagai wadah kordinasi untuk menangani masalah-masalah khusus pemerintahan yang mendesak seperti pembentukan-pembentukan Otorita Pembangunan Pelabuhan Udara internasional Cengkareng (Keppres No. 16 tahun 1980), Panitia Pertimbangan Landreform Pusat (Keppres No. 75 tahun 1980), serta Dewan Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sa-bang (Keppres No. 60 tahun 1980).

Berbagai penyempurnaan tata hubungan kerja juga terlihat dalam badan-badan yang diadakan oleh beberapa Menteri dan khusus mengenai pelaksanaan pembangunan untuk berbagai bentuk bantuan kepada Daerah, maka dalam bentuk Surat-surat Keputus-an Bersama beberapa Menteri secara terus-menerus telah di-tingkatkan pengembangan tata penyelenggaraan hubungan kerja secara serasi.

2. Aparatur Pemerintah Tingkat Daerah

Pemantapan dan penyempurnaan aparatur Pemerintah pada tingkat Daerah secara mendasar telah dilakukan dengan Un-dang-undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah di Daerah sebagai pengganti Undang-undang No. 18 tahun 1965. Dengan dikeluarkannya undang-undang tersebut maka telah dile-takkan landasan bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah menurut asas-asas desentralisasi, dekonsentrasi maupun tugas pembantuan secara serasi yang pada gilirannya diharapkan da-pat menjamin tata kehidupan masyarakat dalam segala bidang secara teratur dan tertib.

Dalam pelaksanaan asas desentralisasi maka urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada Daerah menjadi we-wenang dan tanggungjawab Daerah sepenuhnya sehingga prakarsa diserahkan kepada Daerah untuk menentukan kebijaksanaan, pe- rencanaan, pelaksanaan maupun segi-segi yang menyangkut pem-biayaannya. Perangkat pelaksanaannya adalah aparatur Pemerin-tah Daerah itu sendiri yang meliputi:

a. Dinas/Biro/Direktorat untuk tugas-tugas lini/eksekutif; dan

b. Badan-badan staf, yaitu

i) Sekretariat Wilayah Daerah (SETWILDA) yang menye-lenggarakan tugas-tugas umum staf;

XXII/13

.

ii) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) baik tingkat I maupun tingkat II yang masing-masing ber-tugas membantu Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dalam perencanaan pembangunan di daerah;

iii) Inspektorat Wilayah Propinsi (ITWILPROP) dan Inspek-torat Wilayah Kabupaten/Kotamadya (ITWILKAB/ITWIL-KOT) yang mempunyai fungsi pengawasan;

iv) Badan Kordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPM-D) yang merupakan badan pembantu Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dalam menyelenggarakan usaha dan kegiatan yang berhubungan dengan penanaman modal.

Oleh Menteri Dalam Negeri telah dikeluarkan berbagai ke-putusan tentang susunan organisasi Pemerintah Daerah, tugas dan wewenang tiap unit organisasi, demikian pula tatakerja dan tata hubungan kerja, diantaranya yang terakhir ialah per-baikan organisasi SETWILDA berdasarkan Keputusan Menteri Da-lam Negeri No. 240 tahun 1980. Selanjutnya dengan disempurna-kannya BAPPEDA tingkat I dan dengan pembentukan BAPPEDA ting-kat II berdasarkan Keppres No. 27 tahun 1980 telah ditetapkan pedoman organisasi dan tata kerjanya dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 185 tahun 1980. Sehubungan dengan itu maka BAPPEDA Tingkat I ditingkatkan peranannya dengan membina se-cara teknis kegiatan BAPPEDA Tingkat II agar mampu mengem-bangkan sistem perencanaan dari bawah pada tingkat Desa seba-gaimana dimaksud dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 4 tahun 1981. Demikian pula dengan Keputusan Menteri Dalam Ne-geri No. 219 dan No. 220 tahun 1979 telah diatur kembali pe-rangkat pengawasan dengan ditetapkannya organisasi dan tata kerja ITWILPROP dan ITWILKAB/ITWILKOT dalam rangka peningkat-an kelancaran pengawasan di tingkat Daerah.

Dalam menetapkan kebijaksanaan Pemerintah Daerah selalu dipelihara dan ditingkatkan usaha untuk menjalin dan melaksa-nakan kerjasama yang serasi antara Gubernur Kepala Daerah de-ngan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundang-udangan yang berlaku.

Dalam penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan di Daerah yang langsung menyangkut kepentingan nasional dan ti-dak dapat diserahkan kepada Daerah, maka Gubernur Kepala Daerah Tingkat I sebagai penguasa tunggal dan sebagai admi-nistrator di Daerah menurut asas dekonsentrasi bertugas meng-kordinasi instansi-instansi vertikal yang merupakan aparatur Pemerintah Pusat di Daerah. Dengan demikian Gubernur Kepala Daerah Tingkat I mengkordinasikan pembangunan di wilayahnya,

XXII/14

baik sektoral, regional maupun yang bersifat khusus. Kordi-nasi terhadap perencanaan, pelaksanaan maupun pengendalian dan pengawasan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan merupakan kordi-nasi aktif. Hal ini berarti Gubernur Kepala Daerah Tingkat I ikut membantu mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi dan memberikan pengarahan-pengarahan.

Dengan pemantapan organisasi dan tugas BAPPEDA (yang di-sempurnakan dengan keppres No. 27 tahun 1980 jo. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 185 tahun 1980) maka perencanaan yang dilakukan oleh kantor-kantor wilayah maupun oleh pim-pinan-pimpinan proyek sektoral harus dikonsultasikan dengan BAPPEDA bersangkutan. Dalam rangka itu pula maka menjelang tiap akhir tahun, yaitu pada pertengahan bulan Oktober atau permulaan bulan Nopember, dilangsungkan Konsultasi Nasional, ialah konsultasi BAPPEDA seluruh Indonesia dengan BAPPENAS dan Departemen-departemen untuk menelaah masalah-masalah po-kok pembangunan di Daerah serta dalam rangka persiapan penyu-sunan rencana tahunan berikutnya. Sebelumnya di antara BAPPEDA dari propinsi-propinsi berdekatan dalam satu Wilayah Pem-bangunan Utama dilakukan konsultasi untuk membahas usaha-usaha bersama dalam rangka peningkatan kegiatan pembangunan. Dengan peranan aktif BAPPEDA itu maka pertimbangan-pertimbangan re-gional lebih mendapat perhatian dalam rangka pemerataan serta peningkatan pembangunan di Daerah.

Dalam rangka peningkatan pembangunan di Daerah Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan instruksi-instruksi ber- turut-turut dengan Instruksi No. 4 tahun 1979, No. 1 tahun 1981, No. 6 tahun 1981 dan No. 3 tahun 1982 kepada semua Gubernur Kepala Daerah Tingkat I agar berusaha semaksimal mungkin dengan kemampuan dan wewenangnya mensukseskan pelak-sanaan program-program pembangunan dengan melakukan pengenda-lian sebaik-baiknya dan kordinasi terpadu terhadap segenap jajaran aparatur Pemerinah Pusat di Daerah, jajaran aparatur Pemerintah Daerah dan seluruh masyarakat secara efektif. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I juga diharapkan agar kepada rakyat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk dapat hadir menyaksikan langsung upacara peresmian sesuatu proyek di Daerah-nya, baik pemulaiannya maupun penggunaannya setelah proyek selesai, sehingga rakyat semakin sadar akan arti pen-ting serta manfaatnya pembangunan yang sedang dilaksanakan dan akan dilanjutkan kemudian.

Inspektorat Wilayah Propinsi sebagai badan staf pembantu Gubernur Kepala Daerah Tingkat I memegang peranan penting

XXII/15

dalam menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan karena berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 219 tahun 1979 mempunyai kewenangan cukup luas untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas umum pemerintahan maupun tugas pembangunan. Sehubungan dengan itu maka dalam rangka pengembangan dan peningkatan sistem pe-ngawasan dan pengendalian secara terarah, terpadu dan serasi maka dengan Keppres No. 20 tahun 1981 telah dibentuk Team Kordinasi Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan di Daerah (TKP3D) dengan tugas membantu Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dalam mengkordinasikan pengendalian dan pengawasan pemba-ngunan Pusat dan Daerah di wilayah bersangkutan. Team dike-tuai oleh Ketua BAPPEDA Tingkat I sedangkan para anggotanya adalah Kepala Inspektorat Wilayah Propinsi, Kakanwil Ditjen Anggaran, Kakanwil DJPKN, Kepala Cabang Bank Indonesia dan sebagai Sekretaris Kepala Sekretariat BAPPEDA Tingkat I. Dengan diadakannya team tersebut dapat dihindarkan kemungkin-an tumpang tindih pelaksanaan pengendalian dan pengawasan di antara aparatur-aparatur pengendalian dan pengawasan di Da-erah sehingga dapat ditingkatkan hasilguna dan dayaguna ma-sing-masing aparatur.

Sementara itu dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 4 tahun 1981 telah diminta kepada BAPPEDA Tingkat II agar me-ngembangkan sistem perencanaan dari bawah, yaitu pada ting-kat Desa, dalam berbagai program pembangunan, antara lain Program Pengembangan Wilayah Kecamatan Terpadu di mana para Camat ditunjuk sebagai pemimpin proyek-proyeknya.

Mengenai Badan Kordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPM-D) yang dibentuk ditiap Propinsi Daerah Tingkat I berdasarkan Keppres No. 26 tahun 1980 maka telah diatur susunan organi- sasi dan tata kerjanya dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 167 tahun 1980. Seperti diketahui HKPM-D bertugas memban-tu Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dalam menentukan kebijak-sanaan di bidang penanaman modal di Daerah serta penilaian atas pelaksanaannya.

Usaha penyempurnaan administrasi Pemerintahan di Daerah juga terus dilakukan di tingkat Desa. Dengan ditetapkannya Undang-undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, maka pengaturan penyelenggaraan pemerintahan desa mendapatkan landasan pengaturan yang mantap. Sebagai pelaksanaan Undang-undang tersebut telah ditetapkan 19 Peraturan/Keputusan Menteri Dalam Negeri, di antaranya yang penting ialah pene-tapan-penetapan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa, susunan organisasi dan tata kerja Lembaga Musyawarah

XXII/16

Desa, Pengambilan Keputusan Desa, tata cara pemilihan/pen-sahan/pengangkatan/pemberhentian Kepala Desa serta persyarat-an, tata cara pengangkatan/pemberhentian Sekretaris Desa, Kepala Urusan dan Kepala Dusun.

Berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun 1979 tersebut perangkat Desa merupakan aparatur Departemen Dalam Negeri di daerah tingkat terbawah. Oleh karena itu secara bertahap te- lah dilaksanakan pengangkatan perangkat desa menjadi pegawai negeri.

Perlu pula dikemukakan bahwa dengan Keppres No. 28 tahun 1980 sebagai penyempurnaan Keppres No. 81 tahun 1971 telah ditingkatkan fungsi Lembaga Sosial Desa menjadi Lembaga Keta-hanan Masyarakat Desa atau disingkat LKMD. Lembaga ini seba-gai wadah partisipasi masyarakat desa dalam rangka pembangun-an desa diharapkan bukan saja mampu merencanakan dan melaksa-nakan pembangunan di desa, melainkan juga mampu mewujudkan ketahanan desa yang mantap.

Dalam rangka pengembangan dan peningkatan peranan BUUD/ KUD sehingga menjadi wadah utama kegiatan ekonomi dan pemba-ngunan pedesaan maka dengan Inpres No. 2 tahun 1978 telah di-tetapkan tugas dan fungsi BUUD sebagai Badan yang mendorong pengembangan KUD. Sebagai tindak lanjut dari Inpres tersebut dengan SKB Menteri Perdagangan dan Koperasi dan Menteri Dalam Negeri tahun 1978 telah ditetapkan pelaksanaan pembinaan dan pengembangan BUUD dan KUD. Pada dasarnya di setiap wilayah Kecamatan terdapat satu atau lebih KUD yang menangani berba-gai kegiatan ekonomi di wilayah berdasarkan potensi ekonomi Kecamatan yang bersangkutan. Salah satu usaha penting lainnya yang penting ialah dilibatkannya KUD dalam pelaksanaan gagasan "listrik masuk desa" sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 36 tahun 1979 tentang Kebijaksanaan Pengusahaan Kelistrikan Nasional yang mengatur pemberian kesempatan kepada koperasi untuk ikut serta mengusahakannya.

Selanjutnya sejalan dengan usaha-usaha penyempurnaan ba-dan-badan usaha milik Negara telah pula diadakan usaha pe-nyempurnaan perusahaan-perusahaan Daerah yang sampai sekarang masih diatur dengan Undang-undang No. 5 tahun 1962. Dalam usaha-usaha penyempurnaan perusahaan-perusahaan Daerah itu diterapkan pula prinsip-prinsip yang dipergunakan dalam pe-nyempurnaan badan-badan usaha milik Negara.

Usaha-usaha penyempurnaan telah dilakukan pula dalam pe-ngelolaan program-program bantuan pembangunan kepada Daerah

XXII/17

dalam bentuk proyek-proyek yang dikenal sebagai proyek-proyek Inpres. Proyek-proyek tersebut ialah:

a. Inpres Pembangunan Desa (mulai tahun 1969/70);b. Inpres Pembangunan Daerah Tingkat II (mulai tahun 1970/71); c. Inpres Pembangunan Daerah Tingkat I (mulai tahun 1974/75); d. Inpres Pembangunan Sekolah Dasar (mulai tahun 1g73/74); e. Inpres pembangunan Sarana Kesehatan (mulai tahun 1974/75); f. Inpres Penghijauan dan Reboisasi (mulai tahun 1976/77);g. Inpres Pembangunan dan Pemugaran Pasar (mulai tahun 1976/

77) danh. Inpres Penunjangan Jalan (mulai tahun 1979/80).

Pokok-pokok pengelolaan proyek-proyek Inpres adalah seba-gai berikut:

a. Presiden mengeluarkan instruksi kepada Menteri-menteri yang bersangkutan dengan pelaksanaan program bantuan. Instruksi Presiden tersebut merupakan pedoman utama bagi pelaksanaannya;

b. Atas dasar Instruksi Presiden para Menteri yang mendapat instruksi menyusun petunjuk pelaksanaan dalam bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB);

c. Selanjutnya atas dasar Inpres dan SKB teraebut Menteri Dalam Negeri mengeluarkan instruksi kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II beriaikan hal-hal yang harus dilaksanakan dalam pelaksanaan program bantuan tersebut.

d. Atas dasar pedoman-pedoman di atas Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dan Kepala Desa masing-masing merencanakan proyek sesuai dengan prioritas di daerahnya untuk diajukan kepada instansi yang setingkat lebih tinggi serta melaksanakan dan melaporkan hasil pelaksanaanya secara bertingkat.

Prosedur pelaksanaan pembangunan melalui program-program bantuan telah mengalami penyempurnaan penting pada tahun 1979/80. Penyempurnaan yang telah dilaksanakan tersebut dan berlaku sampai dewasa ini ialah antara lain mengenai Pemimpin Proyek yang ditunjuk dari instansi yang paling berwenang, se-dangkan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II adalah sebagai penanggungjawab. Selanjutnya tatacara perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan untuk semua program bantuan dilakukan berdasarkan keseragaman dan kejelasan kri-teria.

XXII/18

3. Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah

Garis-garis Besar Haluan Negara telah menetapkan bahwa dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang terse-bar diseluruh pelosok Negara dan dalam rangka Mmbina kesatu-an Bangsa, maka hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dikembangkan atas dasar keutuhan Negara Kesatuan dan diarahkan pada pelaksanaan otonomi daerah yang nyata, dinamis dan bertanggungjawab yang dapat menjamin per-kembangan dan pembangunan Daerah dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi.

Yang dimaksud dengan hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah ialah hubungan antara aparatur Pemerintah tingkat Pusat, baik sebagai keseluruhan maupun sebagian, dengan aparatur Pemerin-tah Daerah. Hubungan yang serasi berarti hubungan yang dida-sarkan pada asas-asas keserasian dekonsentrasi, desentralisa-si dan tugas pembantuan.

Pokok-pokok pelaksanaan hubungan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dalam masalah-masa-lah pemerintahan Daerah. Menteri Dalam Negeri memberikan pedoman/bimbingan, kordinasi dan pengawasan terhadap peme- rintahan Daerah (UU No. 5 tahun 1974);

b. Semua instansi perwakilan Departemen/Lembaga dalam hubung-an hirarki secara teknis organisatoris dan administratif bertanggungjawab kepada pimpinan Departemen/Lembaga yang bersangkutan, tetapi taktis operasional tunduk pada kordi-nasi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Aparatur Pemerintah Daerah mempunyai hubungan hirarki dengan Kepala Daerah, tetapi secara fungsional berhubungan pula dengan Departe-men yang bertugas dalam bidang yang sama (Inpres No. 48 tahun 1967). Dalam memimpin pemerintahan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I mendapat bantuan nasehat dari Muspida (Inpres No. 5 tahun 1967);

c. Dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek-proyek sektoral instansi vertikal mengindahkan pedoman dan inatruksi De-partemen/Lembaga atasannya serta mengindahkan petunjuk Gu-bernur Kepala Daerah Tingkat I dalam rangka memperlancar pelaksanaan proyek. Instansi vertikal Departemen/Lembaga menerima saran dan pertimbangan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I guna diteruskan kepada Departemen/Lembaga yang bersangkutan untuk mendapat perhatian dan mengadakan ker-jasama yang erat dengan instansi aparatur Pemerintah Daerah (Inpres No. 4 tahun 1969);

XXII/19

d.Gubernur Kepala Daerah Tingkat I turut bertanggungjawab atas pelaksanaan proyek-proyek sektoral di daerahnya, an-tara lain dengan mengikuti dan mengawasi perkembangan proyek-proyek yang ada di daerahnya baik berdasarkan lapo-ran dari Pemimpin Proyek dan BAPPEDA Tingkat I maupun dengan melakukan penelitian sendiri serta dengan mengada-kan pertemuan berkala dengan para Pemimpin Proyek/Bendaha-rawan Proyek dalam wilayahnya (Keppres No. 14 A tahun 1980 jo. Keppres No. 18 tahun 1981).

Keserasian hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah telah diusahakan sejak Repelita I dan ditingkatkan secara terus me-nerus hingga dewasa ini. Undang-undang No. 5 tahun 1974 ten-tang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah telah memberikan lan-dasan yang mantap bagi keserasian pelaksanaan sistem dekon-sentrasi, desentralisasi dan tugas pembantuan. Demikian pula dengan dikeluarkannya berbagai peraturan pelaksanaan Undang-undang tersebut telah lebih memantapkan hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam hubungan ini dapat dikemukakan bahwa adanya Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah yang dibentuk dengan Keppres No. 23 tahun 1975 yang bertugas merumuskan kebijaksa-naan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Daerah telah mempunyai peranan yang penting dalam membantu memper-lancar penyelenggaraan tugas-tugas tersebut.

Usaha-usaha mengenai peningkatan hubungan antara aparatur Pemerintah Pusat dan Daerah dilakukan dengan menserasikan ke-giatan perencanaan pembangunan, baik sektoral maupun re-gional, guna meningkatkan kemanfaatan hasil-hasil pembangun-an. Dalam rangka itu dengan Keppres No. 27 tahun 1980 telah disempurnakan BAPPEDA Tingkat I dan dibentuk BAPPEDA Tingkat II. Demikian pula untuk meningkatkan dan memantapkan sistem perencanaan tahunan, khususnya untuk meningkatkan dayaguna dan hasilguna pengembangan potensi daerah serta pemecahan masalah-masalah yang sifatnya mendesak di Daerah, maka se-jalan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 050 tahun 1981 dengan surat Bappenas No. 1799 tahun 1981 telah ditetap-kan prosedur penyusunan rencana secara bertingkat. Kecuali itu untuk mencapai adanya keserasian diadakan forum konsulta-si regional dan konsultasi nasional untuk mengusahakan kese-rasian antar Daerah dan antara kepentingan Daerah dengan kepentingan-kepentingan nasional.

Dalam pelaksanaan pembangunan maka dalam Keppres No. 14 A tahun 1980 yang disempurnakan dengan Keppres No. 18 tahun 1981 telah dirumuskan peranan Pemerintah Pusat dan Pemerintah

XXII/20

Daerah dalam rangka pencapaian sasaran-sasaran pembangunan khususnya pemerataan kegiatan pembangunan di daerah, pemera-taan pendapatan, pemerataan kesempatan bekerja dan pemerataan kegiatan berusaha terutama bagi golongan ekonomi lemah. Dalam rangka ini peranan dan tugas Pemerintah Daerah dirumuskan an-tara lain sebagai berikut :

a. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dengan pe-tunjuk Gubernur Kepala Daerah Tingkat I menyusun daftar pemborong/rekanan golongan ekonomi lemah di daerah masing-masing dengan dibantu oleh para Pemimpin Proyek dan dengan bekerjasama dengan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Daerah. Sebelum adanya daftar tersebut Pemimpin Proyek menggunakan daftar yang disusun olehnya berdasarkan hasil konsultasi dengan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.,

b. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dapat melakukan pengecua-lian terhadap ketentuan pengadaan pelelangan pekerjaan pemborongan/pembelian di tempat lokasi Kantor/Satuan Ker-ja/Proyek atau di Ibukota Kabupaten/Kotamadya (dengan ni-lai di atas Rp. 200 juta sampai dengan Rp. 500 juta) sete-lah mendengar pertimbangan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dan Pemimpin Proyek bersangkutan.

c. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I mengetuai Panitia Pra-kualifikasi yang bertugas menyusun daftar rekanan yang mampu (DRM) berdasarkan pedoman SKB Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Penertiban Aparatur Negara.

d. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dengan meng-ikuti petunjuk Gubernur Kepala Daerah Tingkat I melakukan kordinasi dalam pengadaan tanah dan penentuan lokasi untuk keperluan proyek sektoral. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II berkewajiban untuk menjaga agar lokasi tersebut sesuai dengan rencana tataguna Pemerintah Daerah serta agar harga tanah memadai dalam arti menguntungkan bagi Negara.

e. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I pada tingkat Daerah me-nampung pengaduan dari masyarakat dunia usaha mengenai masalah-masalah yang timbul sebagai akibat dari pelaksana-an APBN dan mengambil langkah-langkah penyelesaian sesuai dengan kewenangannya.

f. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II mengumumkan kepada masyarakat luas mengenai proyek-proyek pembangunan yang akan dilaksa-nakan di daerah masing-masing, baik proyek-proyek sektoral maupun proyek-proyek Inpres, dan memberikan penjelasan

XXII/21

lebih lanjut mengenai proyek-proyek tersebut kepada dunia usaha melalui Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Daerah.

Walaupun Keppres No. 14 A tahun 1980 jo. Keppres No. 18 tahun 1981 berlaku bagi kegiatan pekerjaan-pekerjaan atas beban APBN, namun untuk segala pekerjaan yang dibebankan ke-pada APBD, prinsip-prinsipnya adalah sama. Dengan kesamaan prinsip dalam pelaksanaan anggaran maka diharapkan adanya keserasian yang lebih mantap dalam pelaksanaan pembangunan sektoral dan regional.

Selanjutnya di bidang pengendalian dan pengawasan peranan Pemerintah Daerah telah makin ditingkatkan. BAPPEDA Tingkat I yang merupakan aparatur perencanaan di Daerah sejak tahun anggaran 1977/78 telah dilibatkan dalam pengendalian proyek-proyek yang ada di Daerah, baik mengenai DIP tahun bersang-kutan maupun mengenai DIP SIAP, dengan turut menyampaikan laporan triwulan kepada instansi-instansi yang memerlukan di Pusat. Demikian pula Gubernur Kepala Daerah Tingkat I meng-ikuti dan mengawasi perkembangan proyek-proyek yang ada di daerahnya, baik berdasarkan laporan dari Pemimpin Proyek dan BAPPEDA Tingkat I maupun dengan melakukan penelitian sendiri, serta dengan mengadakan pertemuan berkala dengan para Pemim-pin Proyek dalam wilayahnya dan selanjutnya melaporkan secara berkala ataupun insidentil kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dan kepada beberapa Menteri tertentu lainnya. Agar tugas dan fungsi pengawasan, pelaksanaan pembangunan di Daerah dapat dilaksanakan lebih serasi dan lebih terarah se-suai dengan rencana, program dan kebijaksanaan Pemerintah da-lam rangka meningkatkan hasilguna dan dayaguna pengawasan, maka dengan Keppres No. 20 tahun 1981 telah dibentuk Team Kordinasi Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Daerah (TKP3D). Team yang diketuai oleh Ketua BAPPEDA Tingkat I de-ngan anggota-anggota Inspektur Wilayah Propinsi, Kepala Kan-tor Wilayah Direktorat Jenderal Anggaran, Kepala Kantor Wila-yah Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara dan Kepala Cabang Bank Indonesia bertugas membantu Gubernur Kepala Da-erah Tingkat I dalam langkah-langkah penyelesaian atas hasil pengawasan. Aparatur pengawasan di tingkat Daerah, yaitu Ins-pektorat Wilayah Propinsi dan Inspektorat Wilayah Kabupaten/ Kotamadya, terlebih dahulu telah disempurnakan organisasi dan tatakerjanya dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 219 dan 220 tahun 1979. Sampai dengan tahun 1980 telah dilakukan penataran terhadap 530 orang pejabat aparatur pengawasan tingkat Daerah yang diselenggarakan dalam rangka kerjasama Departemen Dalam Negeri, Menteri Negara Penertiban Aparatur

XXII/22

Negara, OPSTIB Pusat dan Lembaga Administrasi Negara.

Di bidang pengawasan preventif telah banyak dikeluarkan produk-produk peraturan yang menetapkan tatacara yang harus ditempuh dalam melaksanakan suatu tindakan, misalnya berbagai peraturan Menteri mengenai pelaksanaan APBD sesuai dengan penyempurnaan pelaksanaan APBN sebagaimana telah ditetapkan dengan Keppres No. 12 tahun 1978, No. 14 tahun 1979, No. 14 A tahun 1980 dan terakhir disempurnakan dengan Keppres No. 18 tahun 1981. Di bidang pengelolaan barang milik Pemerintah Daerah telah ditetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 4 tahun 1979 tentang Pelaksanaan Pengelolaan Barang Pemerintah Daerah.

Dalam rangka pelaksanaan kebijaksanaan Pemerintah Pusat maka Pemerintah Daerah banyak dilibatkan seperti peningkatan pelaksanaan perjanjian bagi hasil, inventarisasi tanah yang dikuasai oleh instansi-instansi Pusat, penambahan areal per-tanian, pelaksanaan catur-tertib di bidang pertanahan pengem-bangan ekspor non minyak dan gas bumi dan lain sebagainya.

Dalam hubungan ini perlu dikemukakan bahwa Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Intruksi No.1 tahun 1981 kepada semua Gubernur Kepala Daerah Tingkat I untuk berusaha se-maksimal mungkin dengan kemampuan dan wewenangnya mensukses-kan pelaksanaan 8 program pembangunan yang disebut delapan sukses.

Akhirnya perlu dikemukakan bahwa dalam rangka pemantapan keserasian hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah maka Menteri Sekretaris Negara telah mengeluarkan Su- rat Edaran No. B.800/M.Sesneg/3/1981 yang memuat petunjuk Presiden sebagai pedoman agar pelaksanaan mutasi dan pelan-tikan Kepala Kantor Wilayah Departemen/Lembaga di Daerah se-kaligus dikaitkan dengan usaha meningkatkan fungsi kordinasi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atas kegiatan-kegiatan ins-tansi vertikal di Daerah. Seterusnya ditentukan bahwa pelan-tikan Kepala Kantor Wilayah Departemen/Lembaga di Daerah di-lakukan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan disaksikan oleh pejabat yang bersangkutan dari Pusat (Departemen/ Direk-torat Jenderal/Lembaga).

4. Aparatur Perekonomian Negara.

Kebijaksanaan Pemerintah dalam penyempurnaan aparatur perekonomian Negara, baik mengenai kedudukan, organisasi mau-pun manajemennya ditujukan supaya dapat melaksanakan fungsi

XXII/23

nya berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi yang sehat dan efi-sien sehingga menguntungkan bagi penerimaan Negara, di sam-ping dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat serta da-pat menyelenggarakan kemanfaatan umum yang lebih baik dan le-bih merata. Kecuali itu khususnya bagi lembaga-lembaga ke-uangan, pembinaan ditujukan ke arah kemampuan menjadi pendo-rong kegiatan pembangunan dan produksi sektor swasta dan ko-perasi yang belum mampu serta turut aktif mengamankan dan me-nunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan program Pemerintah da-lam pengembangan pengusaha golongan ekonomi lemah dan stabi-litas ekonomi.

Mengingat pentingnya peranan badan-badan usaha milik Nega-ra maka sejak tahun 1967 secara terus-menerus diusahakan pe-ningkatan efisiensi perusahaan. Segi lain dalam penyempurnaan adalah pengawasannya ke arah pengelolaan yang sehat. Setiap badan usaha milik Negara dalam bentuk perusahaan Negara di-awasi oleh suatu dewan komisaris yang bertanggungjawab kepada pemegang saham, yakni Negara yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Keuangan dan Menteri yang membina bidang kegiatan perusahaan yang bersangkutan. Perusahaan Negara diwajibkan membuat rencana anggaran belanja yang harus disetujui oleh pemegang saham dan diwajibkan pula membuat laporan secara berkala.

Selanjutnya untuk meningkatkan pembinaan dan pengawasan terhadap Perjan, Perum dan Persero dalam rangka mencapai mak-sud dan tujuan diadakannya badan usaha milik Negara maka de-ngan PP No.3 tahun 1983 telah diatur tatacara pembinaan dan pengawasan Perjan, Perum dan Persero. Dalam PP ini ditegaskan fungsi-fungsi pokok Badan Usaha Milik Negara sebagai aparatur perusahaan negara, sebagai berikut

a. Sifat usaha dari badan usaha milik negara adalah terutama:(i) Perjan berusaha di bidang penyediaan jasa-jasa bagi

masyarakat termasuk pelayanan kepada masyarakat;(ii) Perum berusaha di bidang penyediaan pelayanan bagi

kemanfaatan umum di samping mendapatkan keuntungan;(iii) Persero bertujuan memupuk keuntungan dan beruaaha

di bidang-bidang yang dapat mendorong perkembangan sektor swasta dan/atau koperasi, di luar bidang usaha Perjan dan Perum.

b. Maksud dan tujuan dari kegiatan Perjan, Perum, dan Perse-ro adalah :(i) Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian

negara pada umumnya dan penerimaan negara pada khu-susnya;

(ii) Mengadakan pemupukan keuntungan/pendapatan;

XXII/24

(iii) Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa barang dan jasa yang bermutu dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak;

(iv) Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi;

(v) Menyelenggarakan kegiatan usaha yang bersifat me-lengkapi kegiatan swasta dan koperasi dengan antara lain menyediakan kebutuhan masyarakat, baik dalam bentuk barang maupun dalam bentuk jasa dengan mem-berikan pelayanan yang bermutu dan memadai;

(vi) Turut aktif memberikan bimbingan kegiatan kepada sektor swasta, khususnya pengusaha golongan ekonomi lemah dan sektor koperasi;

(vii) Turut aktif melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan program pemerintah di bidang eko-nomi dan pembangunan pada umumnya.

Dalam rangka pembinaan badan-badan usaha milik Negara se-jak tahun 1978/79 telah dilakukan pembentukan badan usaha ba-ru dan penyempurnaan terhadap yang lama, antara lain sebagai berikut :

a. Pembentukan Persero baru, yaitu pendirian Persero dalam bidang Industri Pesawat Terbang (PT Nurtanio) (PP No. 12 tahun 1976), Persero Danareksa yang bertugas menjual saham (PP No. 25 tahun 1976), Persero di bidang Produksi Gula (PP No. 17 tahun 1979 dan No. 10 tahun 1981), Persero Ta-man Wisata Candi Borobudur dan Prambanan (PP No. 7 tahun 1980), Persero dalam bidang Konstruksi Bangunan Pengem-bangan Sumber-sumber Air (PP No. 32 tahun 1980), Persero Tambang Batubara Bukit Asam (PP No. 42 tahun 1980), Per-sero di bidang Industri Kereta Api (PP No. 1 tahun 1981), Persero di bidang Aneka Usaha Perkebunan (PP No. 16 tahun 1981) dan Persero di bidang Pupuk (PP No. 37 tahun 1981).

b. Pendirian Perum baru, yaitu Perum Asuransi Sosial Tenaga Kerja (PP No. 34 tahun 1977), Perum Indonesia Farma (PP No. 20 tahun 1981) dan Perum Pengangkutan Penumpang Jakar-ta (PP No. 24 tahun 1981).

c. Pengalihan dari status Perum menjadi Persero, yaitu PT Dok dan Galangan Kapal (PP No. 4 tahun 1980), PT Asuransi Ke-rugian Jasa Raharja (PP No. 39 tahun 1980) dan PT Tabungan Asuransi Pegawai Negeri (PP No. 26 tahun 1981).

d. Penyempurnaan organisasi, yaitu Perusahaan Tambang Minyak Negara (PERTAMINA) (Keppres No. 44 tahun 1975), Perum Pos dan Giro (PP No. 9 tahun 1978), Perum Otorita Jatiluhur (PP No. 35 tahun 1980) dan Perum Telekom (PP No. 54 tahun 1980).

XXII/25

e. Penggabungan, yaitu pengalihan penguasaan modal Negara dalam PT Merpati Nusantara Airlines kepada PT Garuda Indonesian Airways (PP No. 30 tahun 1978), penggabungan PN Perkapalan Dok Alimenjaya ke dalam PT Galangan Koja Indo-nesia (PP No. 28 tahun 1979), penggabungan beberapa per-usahaan perikanan Negara di Riau, Sulawesi Selatan, Sula-wesi Tenggara, Jawa Timur dan Jawa Tengah ke dalam Perse-ro-persero Perikanan yang telah ada (PP No. 3, No. 4 dan No. 5 tahun 1981) serta penggabungan PN Perkebunan XVI ke dalam Persero PT Perkebunan XV (PP No. 11 tahun 1981).

Sementara itu proses pengalihan Perusahaan Negara (PN) yang belum ditentukan statusnya menurut Undang-undang No. 9 tahun 1969 dan Perseroan Terbatas (PT) lama yang belum dise-suaikan dengan PP No. 12 tahun 1969 berjalan terus. Sampai pada akhir tahun 1982 badan-badan usaha milik Negara bersta-tus Persero berjumlah 142 buah, termasuk 25 Persero Patungan. Dari jumlah Persero tersebut maka 16 Persero beroperasi di sektor jasa keuangan, 50 Persero di sektor jasa umum, 41 Per-sero di sektor jasa industri/pertambangan dan 35 di sektor pertanian/perhubungan/perikanan.

Perusahaan Negara yang berkedudukan sebagai Perum di 9 Departemen berjumlah 24 buah.

Perusahaan Negara yang berkedudukan sebagai Perjan ber-jumlah 2 buah, yaitu Perusahaan Jawatan Pegadaian di bawah pembinaan Direktorat Jenderal Moneter Dalam Negeri Departemen Keuangan serta Perusahaan Jawatan Kereta Api di bawah pembi-naan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Departemen Perhu-bungan.

Perusahaan Negara (PN) yang belum ditentukan statusnya tinggal 31 buah sedangkan PT Lama adalah 12 buah.

Perusahaan Negara yang mempunyai status khusus karena pembentukannya didasarkan pada Undang-undang tersendiri ber-jumlah 9 buah, yaitu 8 buah Bank Pemerintah yang berada di bawah pembinaan Departemen Keuangan dan PERTAMINA di bawah pembinaan Departemen Pertambangan dan Energi.

Perkembangan keadaan badan-badan usaha milik Negara seca-ra lebih terperinci sampai 31 Desember 1982 dapat dilihat pa-da Tabel XXII - 1.

Dalam pada itu berbagai kebijaksanaan dalam rangka pe-ngembangan dunia usaha secara terus-merus dilakukan. Dalam

XXII/26

TABEL XXII - 1

KEADAAN BADAN-BADAN USAHA MILIK NEGARA,1977/78 - 1982/83

(perusahaan)

No. Jenis Badan Usaha 1977/78 1978/79 1979/80 1980/81 1981/82 1982/834)

1. Persero Tunggal 97 99 102 109 116 1172. Persero Patungan 17 18 20 21 243) 25

3. Perum 20 22 22 20 23 24

4. Perjan 2 2 2 2 2 2

5. Perusahaan Negara 49 47 45 44 353) 31

6. PT bentuk lama1) 13 13 12 12 12 3) 12

7. Status Khusus2) 9 9 9 9 9 9

Jumlah : 207 210 212 217 221³) 220

1) Perseroan Terbatas yang berdiri sebelum PP 12/19692) Termasuk Bank Pemerintah dan Pertamina

3) Angka diperbaiki4) Data pada bulan Desember 1982

XXI/27

hubungan ini pembuatan Daftar Skala Prioritas (DSP) merupakan pengarahan Pemerintah terhadap pengembangan penanaman modal dengan berpedoman pada Trilogi Pembangunan. Selain itu DSP juga merupakan hasil perpaduan berbagai kebijaksanaan yang menampung usul-usul dari Departemen-departemen teknis yang mebidangi sektor-sektor, dan instansi-instansi lain yang ber-hubungan dengan kegiatan penanaman modal seperti Bank Indone-sia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan sebegainya. Demikian pula DSP menampung partisipasi Daerah dalam menentu-kan kebijaksanaan melalui Badan-badan Kordinasi Penanaman Modal Daerah. Dengan demikian DSP merupakan usaha yang ter-kordinasikan secara terpadu, baik sektoral maupun regional, sesuai dengan makna penyempurnaan Badan Kordinasi Penanaman Modal dengan Keppres No. 33 tahun 1981 dan No. 78 tahun 1982.

Pemerintah juga secara terus-menerus mengarahkan kebijak-sanaan perkreditan melalui perbaikan dan penyempurnaan teru-tama mengenai prosedur serta keringanan perayaratannya untuk lebih mengembangkan usaha golongan ekonomi lemah, khususnya yang menangani proyek-proyek yang pembiayaannya dilaksanakan melalui APBN serta untuk mendorong peningkatan produksi, terutama produksi untuk ekspor komoditi bukan minyak dan gas bumi.

Selanjutnya kebijaksanaan yang menyangkut kelembagaan perbankan dan lembaga-lembaga keuangan non bank dilaksanakan untuk menumbuhkan suatu sistem yang sehat dan efektif sebagai sarana penunjang pembangunan. Langkah-langkah yang diambil di bidang perbankan meliputi usaha peningkatan dayaguna Bankbank Pemerintah, peningkatan pembinaan bank-bank swasta nasional dan bank-bank pembangunan Daerah melalui penyediaan bantuan teknis, bantuan pendidikan dan kredit likuiditas dan lain-lain. Usaha Pemerintah di bidang pembinaan lembaga keuangan bukan bank tetap dilanjutkan untuk meningkatkan pemberian kredit dan penyertaan modal jangka panjang kepada perusaha-an-perusahaan. Jumlah lembaga keuangan bukan bank dewasa ini ada 14, yang terdiri dari 3 buah yang bergerak di bidang pem- biayaan pembangunan, 9 buah dalam investasi dan 2 buah dalam bidang lainnya.

Kebijaksanaan Pemerintah di bidang pasar uang dan modal di samping bertujuan menggairahkan masyarakat dalam penghim-punan dana untuk digunakan secara produktif, juga dimaksudkan untuk mempercepat proses pemerataan pendapatan masyarakat me- lalui pemerataan pemilikan saham. Minat perusahaan baik PMDN maupun PMA yang akan "go public" cukup besar dan keadaan ter-sebut dimungkinkan antara lain karena pertumbuhan ekonomi

XXII/28

yang mantap sehingga kepercayaan masyarakat terus meningkat. Jumlah saham yang terdapat pada tahun 1977 tercatat 260.260 lembar dewasa ini naik menjadi 37.902.696 lembar, demikian pula nilainya mengalami kenaikan yang tahun 1977 tercatat Rp. 3,4 milyar dewasa ini menjadi Rp. 89 milyar. Peredaran saham rata-rata tiap hari 149 lembar pada tahun 1977, dewasa ini rata-rata tiap hari 18.084 lembar. Jumlah dividen yang dinik-mati para pemegang saham selama 5 tahun berdirinya pasar modal mencapai Rp. 19,74 milyar.

Dalam rangka mendorong ekspor barang-barang non minyak dan gas bumi serta makin memperlancar lalu lintas perdagangan luar negeri Indonesia, maka Pemerintah telah menetapkan kebi-jaksanaan baru tentang pelaksanaan ekspor, impor dan lalu lintas devisa. Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1982 yang di-susul dengan peraturan-peraturan Menteri Perdagangan dan Ko-perasi, Menteri Keuangan, Menteri Perhubungan dan Gubernur Bank Indonesia. Berdasarkan kebijaksanaan itu, kepada ekspor-tir maupun eksportir produsen diberikan beberapa macam kemu-dahan, seperti kredit lunak, asuransi ekspor, keringanan bia-ya pelabuhan dan lain-lain. Kepada eksportir juga dibebaskan dari kewajiban untuk menjual devisa /hasil ekspor kepada Bank Indonesia dengan tujuan agar para eksportir dapat memanfaat-kan devisa yang diperolehnya semaksimal mungkin untuk pembe-lian bahan atau barang modal guna menunjang ekspornya lebih lanjut.

Mengenai usaha pembinaan pengusaha golongan ekonomi lemah telah ditempuh aneka jenis pembinaan yang ditujukan kepada penanggulangan kesukaran yang dihadapi oleh para pengusaha golongan ekonomi lemah seperti kekurangan modal, kesulitan memasarkan hasil produkai, kesulitan memperoleh bahan baku/ penolong dan kekurangan keahlian teknis/manajemen.

Dalam rangka membantu kebutuhan modal pengusaha golongan ekonomi lemah selama ini telah dikembangkan lembaga-lembaga keuangan bukan bank seperti PT Bahana, PT Askrindo dan ter-akhir pendirian Perum Pengembangan Keuangan Koperasi dengan Keppres No.51 tahun 1981 yang merupakan peningkatan dari Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK) lama.

Selanjutnya untuk pembinaan industri kecil diarahkan di samping untuk meningkatkan sumbangan industri kecil dalam pertumbuhan ekonomi nasional juga untuk pemerataan dan peman-tapan struktur industri. Penggairahan berusaha dilakukan me-lalui pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang telah cu-kup banyak memberikan kemudahan dan perlindungan. Demikian

XXII/29

pula sejak Repelita I telah dikembangkan program BIPIK (Bim-bingan dan Pengembangan Industri Kecil) dengan jalan memberi-kan pendidikan dan latihan, bimbingan dan penyuluhan, bantuan peralatan dan percontohan, bantuan promosi serta pemasaran. Dalam hubungan ini Pemerintah telah pula mengembangkan indus-tri kecil melalui pembangunan Sarana Usaha Industri Kecil (SUIK) di samping pembangunan Lingkungan Industri Kecil (LIK) sebagai tempat berproduksi dan berusaha yang dapat menampung tenaga kerja yang lebih besar. Sistem "Bapak/Anak Angkat" serta sistem sub-kontrak dalam hubungan perusahaan besar dan perusahaan kecil yang dikembangkan oleh Pemerintah. Selanjut-nya sesuai dengan Keppres No.14A tahun 1980 jo Keppres No.18 tahun 1981, Pemerintah Pusat maupun Daerah serta Badan-badan Usaha Milik Negara/Daerah agar dalam hal mengadakan pembelian atau pekerjaan pemborongan diwajibkan untuk mengutamakan go-longan ekonomi lemah sebagai rekanan. Di samping itu kepada Badan-badan Usaha Milik Negara tersebut juga diwajibkan untuk mengutamakan golongan ekonomi lemah sebagai penyalur/distri- butor untuk barang-barang yang diekspor oleh badan-badan usa-ha tersebut. Langkah-langkah ini merupakan pembinaan yang nyata dalam rangka mengembangkan kemampuan golongan ekonomi lemah dan sekaligus dalam rangka pemerataan kesempatan ber-usaha.

Aparatur perekonomian juga mendapat penyempurnaan dalam rangka peningkatan ekspor. Hal ini dilakukan antara lain melalui peningkatan peranan perwakilan Indonesia di luar negeri dalam memperjuangkan kepentingan ekonomi Indonesia seperti dengan pengembangan Trade Promotion Centers (TPC), peningkatan kegiatan Panitia Kerja Tetap Pengembangan Ekspor untuk melaksanakan paket kebijaksanaan ekspor tahun 1982, dan sebagainya.

5. Pengawasan dan Penertiban Operasional

Pengawasan dan penertiban operasional merupakan usaha penting yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus karena merupakan alat pengaman bagi keberhasilan pelaksanaan pembangunan. Berhubung dengan masalah pembangunan yang makin meningkat sesuai dengan makin meningkatnya volume pembiayaan pembangunan, maka pengawasan dan penertiban operasional makin ditingkatkan pula, baik pengawasan yang dilakukan oleh apara-tur pengawasan fungsional maupun pengawasan yang melekat pada fungsi pimpinan, yaitu pengawasan oleh atasan terhadap bawah-an dalam pelaksanaan tugas pekerjaan yang telah ditetapkan.

XXII/30

Kesungguhan Pemerintah dalam mengupayakan agar keseluruh-an aparatur menjadi alat yang berwibawa, kuat, efektif, efi-sien dan bersih guna menjamin keberhasilan pelaksanaan pem-bangunan tercermin dengan diperkuatnya unsur-unsur pengawas-an. Pengangkatan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup dalam Kabinet Pembangunan III serta Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara sejak Repelita I, demikian pula perangkat pengawasan yang luas serta usaha penyempurnaan secara terus-menerus menujukkan tekad Pemerintah tersebut.

Peningkatan pelaksanaan pengawasan dan penertiban di lingkungan Departemen/Lembaga dan di lingkungan aparatur Pe-merintah Daerah telah dilaksanakan dengan dilancarkannya Ope-rasi Tertib berdasarkan Inpres No. 9 tahun 1977 terhadap pe-nyalahgunaan jabatan, komersialisasi jabatan, korupsi, pembo-rosan-pemborosan, pungutan liar dan perbuatan tercela lain. Operasi Tertib dimaksudkan untuk mendinamisasikan fungsi apa-ratur pengawasan Pemerintah dalam peningkatan tertib organi-sasi, kepegawaian, keuangan dan ketatalaksanaan dalam ling-kungan Departemen/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Walaupun Operasi Tertib telah menunjukkan hasil-hasil yang nyata de-ngan sekurang-kurangnya dapat menciptakan iklim yang tidak merangsang untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan, namun Pemerintah menyadari bahwa pengembalian segala sesuatunya ke-pada ketertiban belum selesai. Oleh karena itu peningkatan pengawasan dan penertiban masih harus terus dilaksanakan.

Mengenai hasil penertiban yang telah dicapai sejak dilan-carkannya Operasi Tertib dari Juni 1977 sampai dengan Nopem-ber 1982 dapat dikemukakan bahwa oknum aparatur Pemerintah yang ditindak meliputi 10.616 orang yang tersangkut dalam 7.293 kasus. Dari 10.616 orang yang ditindak, 9.411 orang dikenakan tindakan administratif, 965 orang dikenakan tindak-an hukum dan 240 orang dikenakan tindakan lain. Ikhtisar Per-kembangan Operasi Tertib periode Juni 1977 sampai dengan No-pember 1982 dapat dilihat pada Tabel XXII - 2.

Hasil-hasil tersebut dicapai sejalan dengan usaha-usaha peningkatan kemampuan aparatur pengawasan fungsional di ting-kat Pemerintah Pusat, yaitu Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara, Inspektorat Jenderal Departemen dan Inspek-tur Jenderal Pembangunan, dan di tingkat Pemerintah Daerah, yaitu Inspektorat Wilayah Propinsi dan Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kotamadya. Peningkatan kemampuan diakukan dengan penyempurnaan-penyempurnaan organisasi, sistem, prosedur dan tatakerja pengawasan dan peningkatan anggaran untuk mendukung kegiatan pengawasan.

XXII/31

TABEL XXII - 2

IKHTISAR PERKEMBANGAN OPSTIB DI LINGKUNGAN APARATUR NEGARA,1)1977/78 - 1982/83

(Orang)

No. Jenis TindakanPenertiban

1977/78 1978/79 1979/80 1980/81 1981/82 1982/833)

1. Kasus 1.487 1.848 964 986 1.169 839

2. Tindakan Administrasi 1.991 2.318 1.454 1.203 1.484 961

3. Tindakan Hukum 282 221 223 94 75 70

4. Tindakan Lain-lain2) 122 103 15 - - -

Jumlah : 2.395 2.642 1.692 1.297 1.559 1.031

1) Meliputi Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Kejaksaan Agung dan Bank-bank Pemerintah

2) Bukan terhadap pegawai negeri atau pegawai Perusahaan Negara (Perusahaanswasta sebagai supplier/kontraktor)

3) Data pada bulan Desember 1982

XXI/32

Di samping Operasi Tertib dan penertiban yang dilaksana-kan secara fungsional dan secara operasional oleh atasan langsung kepada bawahan dalam waktu 5 tahun terakhir ini, di-laksanakan pula penertiban-penertiban yang dilakukan secara khusus, seperti Operasi Bersih dan Berwibawa (Sihwa I) dan Operasi Tunas. Pada tahun ketiga Repelita III telah dilaksa-nakan operasi penertiban yang diberi nama "Operasi Bersih dan Berwibawa" sebagai operasi untuk menangani adanya penyimpang-an dalam pengangkatan pegawai honorer daerah dan pengangkatan lurah dan perangkat kelurahan menjadi pegawai negeri. Dalam operasi tersebut yang dilaksanakan di 10 Propinsi Daerah Tingkat I maka telah didapati penyelewengan oleh 97 orang pe-gawai negeri Pusat dan Daerah. Terhadap mereka telah dikena-kan tindakan hukuman disiplin berdasarkan Peraturan Pemerin-tah No. 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Dalam Operasi Tunas untuk penertiban proses penerimaan murid baru SMTP/SMTA tahun ajaran 1982/83 telah terungkap kasus-kasus penyimpangan yang melibatkan 154 orang yang ter-diri dari 70 Kepala SMTP, 59 Kepala SMTA, 8 guru SMTP, 11 gu-ru SMTA dan 6 pejabat Kanwil yang telah dikenakan hukuman di-siplin sesuai PP No. 30 tahun 1980. Demikian pula telah dila-kukan operasi terhadap pemilikan ijazah palsu dan ijazah asli tetapi palsu dalam lingkungan Departemen/Instansi Pemerintah yang telah berhasil menindak 224 pegawai pemilik ijazah ter-sebut dengan perincian 63 orang tingkat sarjana, 47 orang tingkat sarjana muda dan 114 orang tingkat SLTA ke bawah, se-dangkan 363 orang lainnya masih dalam proses penelitian. Da-lam pada itu melalui sarana operasi justisi terus diusahakan pemberantasan korupsi terhadap sementara pegawai negeri atau mereka yang telah memperoleh fasilitas dari Negara.

Dalam kaitan dengan penertiban-penertiban di atas maka atas dasar Instruksi Presiden No. 14 tahun 1981 tentang Pe-nyelenggaraan Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih pada tanggal 17 setiap bulan di semua instansi Pemerintah telah diambil kebijaksanaan agar para Menteri/Ketua Lembaga atau Pejabat Eselon I yang ditunjuknya pada kesempatan tersebut antara lain mengumumkan tindakan-tindakan atau langkah-lang-kah penertiban yang telah diambil dalam lingkungan masing-ma-sing, serta hal-hal yang baik atau positif seperti pengharga-an yang diberikan kepada pegawai yang berprestasi . Pengumum-an pada setiap apel bendera tersebut tidak lain merupakan su-atu langkah edukatif agar aparatur Pemerintah berbuat semakin tertib, disiplin dan makin berprestasi. Di Samping itu, pada

XXII/33

kesempatan tersebut dapat pula diberikan amanat atau penga-rahan dalam rangka pembinaan aparatur kearah peningkatan prestasi kerja, peningkatan pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa Upacara bendera setiap tanggal 17 tiap bulan segaligus dipergunakan sebagai forum komunikasi bagi pembinaan aparatur.

Selanjutnya sehubungan dengan berlakunya Kitab Undang-un-dang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang tertuang dalam Undang-undang No. 8 tahun 1981, Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara telah menetapkan tatacara penyampaian laporan tindak pidana kepada aparatur penindak hukum sebagai berikut :

a. Apabila diketahui terdapat adanya tindak pidana dalam lingkungan sesuatu instansi Pemerintah, maka pejabat yang berwenang berkewajiban untuk melaporkan kepada :(i) Kepolisian, sepanjang menyangkut tindak pidana biasa

(pasal 6 ayat 1 KUHAP);(ii)Kepolisian/Kejaksaan, sepanjang menyangkut tindak

pidana khusus seperti korupsi, subversi, pelanggaran ekonomi dan lain-lain (pasal 284 ayat 2 KUHAP).

b. Apabila aparatur pengawasan menemukan bukti-bukti adanya tindak pidana maka penanganan lebih lanjut dilakukan de-ngan tatacara :(i) Dalam hal terjadi di lingkungan Departemen, maka

Inspektur Jenderal melaporkan kepada Menteri yang bersangkutan dan selanjutnya Sekretaris Jenderal atas nama Menteri melaporkan kepada KAPOLRI/Jaksa Agung;

(ii) Dalam hal terjadi dilingkungan Pemerintah Daerah Tingkat I maka Kepala Inspektorat Wilayah Propinsi melaporkan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan apabila tersangkanya adalah pega-wai negeri Daerah Tingkat I atau pegawai negeri Pu-sat yang diperbantukan. Selanjutnya Sekretaris Wila-yah Daerah Tingkat I atas nama Gubernur Kepala Da-erah Tingkat I melapor kepada KADAPOL/KAJATI.

(iii) Dalam hal terjadi di lingkungan Pemerintah Daerah Tingkat II maka Kepala Inapektorat Wilayah Kabupa-ten/Kotamadya melaporkan kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II apabila tersangkanya adalah pegawai negeri Daerah Tingkat II atau pegawai negeri Daerah Tingkat I yang diperbantukan. Selanjutnya Se-kretaris Wilayah Daerah Tingkat II atas nama Bupa-ti/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II melaporkan kepada DANRES/DANRESTA/DANTABES/KAJARI.

XXII/34

(iv) Tatacara tersebut di atas berlaku juga bagi aparatur pengawasan di Lembaga-Lembaga Pemerintah Non Depar-temen, Sekretariat Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Badan Usaha Milik Negara.

Kemudian dengan PP No.3 tahun 1983 telah diatur kekuasa-an, wewenang, tugas dan kewajiban Departemen dalam pembinaan dan pengawasan terhadap Perjan, Perum dan Pesero yang berada di bawah kekuasaannya dalam rangka pemantapan pengelolaan ba-dan-badan usaha milik Negara tersebut. Di samping itu, Perum yang selama ini umumnya tidak memiliki perangkat pengawasan, maka dengan adanya PP No.3 tahun 1983 tersebut ditetapkan adanya Badan Pengawas yang tugas dan fungsinya seperti Dewan Komisaris pada Persero. Dengan adanya PP.No.3 tahun 1983 maka makin dipertegas tugas dan fungsi aparatur Pemerintah yang bersangkutan serta aparatur pengawasan fungsional intern Per-usahaan dalam melakukan tugas-tugas pengawasan terhadap per-usahaan yang bersangkutan.

Selama periode 1978 - 1982 telah dilaksanakan langkah-langkah kebijaksanaan untuk lebih memantapkan pelaksanaan pe-ngawasan dan penertiban, antara lain sebagai berikut :

a. Terus mengembangkan sistem pengawasan yang diusahakan se-cara terpadu dan terarah antara sesama aparatur pengawas-an, baik di tingkat Pusat maupun tingkat Daerah dan Badan Usaha Milik Negara/Daerah.

b. Meningkatkan pengawasan yang merupakan fungsi organik dari pelaksanaan manajemen, yaitu pengawasan oleh atasan terha-dap bawahan dalam pelaksanaan tugas pekerjaan.

c. Menciptakan dan memantapkan iklim pengawasan sehingga pe-ngawasan diterima sebagai sesuatu yang wajar serta dirasa-kan untuk kepentingan yang diawasi juga.

d. Meningkatkan kemampuan aparatur pengawasan atas pelaksana-an pembangunan dari berbagai macam segi, penggunaan uang, mutu fisik pembangunan serta pemenuhan fungsional proyek sehingga pengawasan itu bermanfaat sebagai umpan balik untuk penyempurnaan/perbaikan perencanaan dan pelaksanaan.

e. Meningkatkan kepekaan terhadap sorotan masyarakat dalam berbagai bentuk kritik dan lain-lain mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas sebagai abdi negara maupun sebagai abdi/pelayan masyarakat.

f. Meningkatkan kemampuan aparatur pengawasan untuk mendetek-si penyimpangan sedini mungkin agar dapat diambil langkah koreksi sebelum terlambat.

g. Makin memantapkan kedudukan dan fungsi Inspektorat Jende-ral Departemen sebagai aparatur pengawasan fungsional.

XXII/35

h. Mengembangkan hubungan kerja pengawasan secara terkoordi-nasikan di daerah dengan cara lebih memantapkan kedudukan dan fungsi Inspektorat Wilayah Propinsi dan Inapektorat Wilayah Kabupaten/Kotamadya sebagai aparat pengawasan Pe-merintah Daerah.

Akhirnya dapat dikemukan penilaian di sini bahwa pelaksa-naan pengawasan dan penertiban operasional yang mempunyai ca-kupan yang luas itu, dapat dikatakan telah mencapai hasil-hasil positif walaupun masih memerlukan peningkatan-pening-katan lebih lanjut yang disesuaikan dengan langkah dan sifat masalah-masalah yang dihadapi bersama dengan makin besar dan luasnya tanggung jawab aparatur dalam pembangunan yang makin meningkat.

6. Penyempurnaan di bidang kepegawaian

Dalam rangka usaha meningkatkan pengabdian dan kesetiaan aparatur Pemerintah sebagaimana diamanatkan oleh GBNN, maka telah dilaksanakan usaha-usaha secara berencana dan terarah agar pegawai negeri mempunyai kesetiaan dan ketaatan yang penuh kepada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah serta bersatu, bermental baik, berwibawa, berdaya-guna, berhasilguna, bersih, berkualitas tinggi serta sadar akan tanggungjawabnya sebagai unsur aparatur Negara, abdi Ne-gara dan abdi masyarakat.

Untuk mewujudkan pegawai negeri sebagaimana dimaksud di atas, pembinaannya dilakukan berdasar atas sistem karier dan sistem prestasi kerja. Usaha ini merupakan kelanjutan dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada periode-periode sebe-lumnya.

Lanjutan dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan di bidang pembinaan pegawai negeri meliputi : (a) penyempurnaan pera-turan perundang-undangan di bidang kepegawaian, (b) pengadaan dan peningkatan pegawai serta penyelesaian kepangkatan, (c) perbaikan penghasilan pegawai negeri, (d) peningkatan di-siplin pegawai negeri, (e) penyempurnaan tata usaha kepega-waian, (f) perbaikan penghasilan penerima pensiun/tunjangan yang bersifat pensiun, (g) pemberian jaminan lainnya, (h) peningkatan kemampuan manajemen para pejabat serta pening-katan ketrampilan dan produktivitas kerja pegawai, dan (i) usaha lain di bidang pembinaan pegawai.

XXII/36

Dengan adanya segala pembinaan berupa penyempurnaan dan perbaikan di atas diharapkan akan semakin terjamin ketenangan dan kegairahan bekerja pegawai negeri dan pada gilirannya akan mendorong pegawai negeri untuk berprestasi dengan kete-kunan dan rasa tanggungjawab yang lebih besar.

a. Penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian

Penyempurnaan di bidang kepegawaian telah lebih dimantap-kan dengan ditentukannya pokok-pokok kepegawaian dalam Un-dang-undang no 8 tahun 1974 yang dengan jelas mengatur kedu-dukan, kewajiban, dan hak pegawai negeri serta dasar-dasar pembinaannya. Kemudian ketentuan-ketentuan pelaksanaannya di-atur dengan Peraturan Pemerintah sedangkan ketentuan-ketentu-an operasionalnya diatur dengan Keputusan Presiden. Selanjut-nya petunjuk pelaksanaan teknis dituangkan dalam Keputusan atau Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara.

Sebagai pelaksanaan dari Undang-undang No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana dimaksud di atas maka telah ditetapkan peraturan-peraturan pelaksanaannya da-lam bentuk Peraturan Pemerintah sedangkan ketentuan-ketentuan pelaksanaan operasionalnya diatur dengan Keputusan Presiden. Selanjutnya petunjuk pelaksanaan teknis dituangkan dalam Surat Keputusan atau Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara.

Perincian dari peraturan pelaksanaan Undang-undang No. 8 tahun 1974 yang penting adalah Sebagai disebut dalam Tabel XXII - 3.

b. Pengadaan dan pengangkatan pegawai serta penyelesaian kepangkatan

Pengadaan pegawai negeri dimaksudkan untuk mengisi formasi yang lowong pada masing-masing satuan organisasi Pe-merintah. Berkenaan dengan meningkatnya kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah diperlukan formasi pegawai yang bertambah besar. Namun demikian penambahan jumlah pega-wai negeri tetap berpegang pada asas-asas efisiensi dalam pe-nyusunan formasi, demikian pula disesuaikan dengan kemampuan keuangan Negara.

XXII/37

TABEL XXII - 3

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG TELAH DITETAPKANTAHUN 1974/75 S/D DESEMBER 1982 SEBAGAI PERATURAN PELAKSANAAN

UNDANG-UNDANG No. 8 TAHUN 1974,

BentukPeraturan

NomorUrut

Nomor Tahun Perihal

Peraturan 1 20 1975 Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, Dan Pem-Pemerintah berhentian Pegawai Negeri Sipi l

2 21 1975 Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil

3 4 1976 Kedudukan Pegawai Negeri Sipil Yang Men-

4 5 1976

jadi Pejabat Negara

Formasi Pegawai Negeri Sipil

5 6 1976 Pengadaan Pegawai Negeri Sipil

6 20 1976 Keanggotaan Pegawai Negeri Sipil Dalam

7 24 1976

Partai Polit ik dan Golongan Karya

Cuti Pegawai Negeri Sipi l

8 5 1977 Penyesuaian Pokok Pensiun Bekas Pegawai

9 7 1977

Negeri Sipil, Janda/Duda, Dan Anak YatimPiatunya di Propinsi Irian Jaya

Peraturan Gaj i Pegawai Negeri Sipi l

10 8 1977 Penetapan Pensiun Pokok Bekas Pegawai Ne-

11 14 1977

geri Sipil dan Janda/Duda

Perubahan dan Tambahan atas Peraturan Pe-

12 23 1977

merintah No.18 tahun 1971 tentang Pem-berian Uang Bantuan Pensiun Para PenerimaPensiun/ Tunjangan yang bersifat Pensiun

Penyesuaian Pensiun Pokok bagi Pensiunan

13 26 1977

Pegawai Negeri Sipil dan Janda/Dudanyayang telah mencapai Uaia 80 Tahun

Pengujian Kesehatan Pegawai RepublikIndonesia dan Tenaga-tenaga lainnya yangbekerja pada Negara Republik Indonesia

XXII/38

(Lanjutan Tabel XXII – 3 )

XXII/39

(lanjutan Tabel XXII - 3)

BentukPeraturan

NomorUrut

Nomor Tahun Perihal

29 11 1980 Pengangkatan Pegawai Balai Besar Peneli -

30 13 1980

tian dan Pengembangan Industri Tekstil,Bali Besar Penelit ian dan Pengembangan In -dustri Selulosa dan Balai Besar Pengem-bangan Industri Logam dan Mesin menjadiPegawai Negeri Sipil

Perubahan dan Penambahan atas Peraturan

31 14 1980

Pemerintah No. 7 Tahun 1977 tentang Pe-raturan Gaj i Pegawai Negeri Sipi l

Pemberian Tunjangan Perbaikan Penghasilan

32 15 1980

bagi Pegawai Negeri dan Pejabat Negara

Pemberian Tunjangan Perbaikan Penghasilan

33 30 1980

bagi Penerima Pensiun/Tunjangan yang ber-s i fa t Pensiun

Peraturan Dis ipl in Pegawai S ip i l

34 45 1980 Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 15

35 47 1980

Tahun 1980 tentang Pemberian TunjanganPerbaikan Penghasilan Pensiun bagi Peneri -ma Pensiun/Tunjangan yang bersifat Pensiun

Perubahan atau Peraturan Pemerintah No. 14

36 49 1980

Tahun 1980 tentang Pemberian TunjanganPerbaikan Penghasilan bagi Pegawai NegeriSipi l dan Pejabat Negara

Pemberian Tunjangan Tambahan Penghasilan

37 12 1981

bagi Pensiun Janda/Duda Pegawai Negeri Si-pil

Perawatan Tunjangan Cacat dan Uang Duka

38 25 1981

Pegawai Negeri S ipi l

Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipi l

39 4 1982 Pemberian Uang Duka Wafat bagi Keluarga

Keputusan 1 56 1974

Penerima Pensiun

Pembagian, Penggunaan, Cara Pemotongan,Presiden Penyetoran dan Besarnya Iuran-iuran yang

2 28 1975

dapat dipungut dari Pegawai Negeri Sipil,Pejabat Negara dan Penerima Pensiun

Perlakuan terhadap Mereka yang terlibat G30 S/PKI Golongan C

XXII/40

(Lanjutan Tabel XXII – 3)

XXII/41

Dalam lima tahun terakhir ini penambahan pegawai negeri mengutamakan penambahan tenaga pendidik serta tenaga kesehatan dengan tidak mengenyampingkan kebutuhan tenaga pada sektor-sektor lainnya. Hal itu didasarkan pada tugas Pemerintah untuk melaksanakan pemerataan pembangunan, dalam hal ini pe-merataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kese-hatan.

Sejak tahun anggaran 1977/78 sampai dengan Nopember 1982pengangkatan calon pegawai berjumlah 852.755 orang.

Menurut Keppres No. 30 tahun 1981 tentang Latihan Pra Ja-batan, maka calon/pegawai negeri yang diangkat sejak 1 April 1981 diwajibkan mengikuti latihan pra jabatan. Calon pegawai negeri yang telah lulus dapat diangkat menjadi pegawai nege-ri. Tujuan dari latihan pra jabatan tersebut ialah agar ca-lon pegawai negeri yang bersangkutan trampil melaksanakan tu-gas yang dipercayakan kepadanya, mengerti dan menghayati ke-wajiban dan hak-haknya sebagai pegawai negeri yang dituntut untuk setia dan taat penuh pada Pancasila, UUD 1945, Pemerin-tah dan dituntut pula untuk selalu meningkatkan prestasi kerja serta pelayanan kepada masyarakat.

Mengenai kepangkatan dapat dikemukakan bahwa jumlah pega-wai negeri yang bekerja pada Departemen/Lembaga yang mengala- mi kenaikan pangkat dari tahun anggaran 1977/78 sampai dengan Nopember 1982 berjumlah 952.575 orang, yang perinciannya di- cantumkan dalam Tabel XXII - 4.

Sebagaimana diketahui pangkat adalah kedudukan yang menunjukkan tingkat seorang pegawai negeri dalam rangkaian susunan kepegawaian dan digunakan sebagai dasar penggajian. Oleh sebab itu setiap pegawai negeri diangkat dalam pangkat tertentu. Adapun kenaikan pangkat adalah penghargaan yang diberikan atas pengabdian pegawai yang bersangkutan kepada Negara dan dimaksudkan sebagai dorongan untuk lebih mening-katkan pengabdiannya.

Dalam rangka usaha menjamin obyektivitas dalam pemberian maupun kenaikan pangkat maka telah ditetapkan PP No. 3 tahun 1980 tentang Pengangkatan Dalam Pangkat Pegawai Negeri. Jenis kenaikan pangkat berdasarkan PP tersebut adalah kenaikan-ke-naikan pangkat reguler, pilihan, istimewa, pengabdian, anu-merta, dalam tugas belajar, selama menjadi pejabat Negara, selama penugasan di luar instansi induk, selama menjalankan wajib militer dan kenaikan pangkat sebagai penyesuaian ijazah.

XXII/42

r

TABEL XXII - - 4JUMLAH PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG MENGALAMI KENAIKAN PANGKAT

1977/78 – 1982/83TAHUN FISKAL

(orang)

XXII/43

Mengenai pegawai negeri yang menduduki jabatan fungsional seperti jabatan di bidang penelitian, bidang akademis dan la-in-lainnya, maka kenaikan pangkatnya selain didasarkan pada persyaratan umum juga didasarkan kriteria menurut jumlah kre-dit tertentu.

c. Perbaikan penghasilan pegawai negeri

Sejak Repelita I Pemerintah dalam batas-batas kemampuan-keuangan Negara secara bertahap telah berusaha memperbaiki penghasilan pegawai negeri dalam rangka usaha meningkatkan prestasi kerja untuk mencapai daya guna dan hasil guna sebe-sar-besarnya. Semula perbaikan penghasilan itu dilakukan de-ngan cara menaikkan tunjangan, yang kemudian ditingkatkan de-ngan penyempuranaan sistem penggajian. Sejak tanggal 1 April 1977 telah diadakan perubahan Peraturan Gaji berdasarkan PP No. 7 tahun 1977. Perbaikan penghasilan dititik beratkan pada gaji pokok. Hal ini sangat menguntungkan bagi pegawai negeri kelak bila tiba waktunya menjalani masa pensiun karena pensi-un pokok ditetapkan berdasarkan gaji pokok.

Selanjutnya dalam masa lima tahun terakhir ini Pemerintah telah memberikan perbaikan penghasilan kepada pegawai negeri sebagai berikut :

(i) Pada bulan Juni 1979 diberikan tambahan penghasilan sebesar satu bulan gaji yang disebut gaji bulan ke-13 yang diatur dengan PP No. 9 tahun 1979. Kemudian pada bulan Januari 1980 diberikan lagi tambahan penghasilan sebesar satu bulan gaji yang disebut gaji bulan ke-14 yang diatur dengan PP No. 37 tahun 1979. Besarnya ma-sing-masing gaji bulan ke-13 dan ke-14 adalah bagi go-longan I sebesar 125%, golongan II 100%, golongan III 100% dan golongan IV sebesar 75%.

(ii) Dengan PP No. 14 tahun 1980 kepada pegawai negeri ter-hitung mulai tanggal 1 April 1980 diberikan tunjangan perbaikan penghasilan bagi golongan I sebesar 60%, go-longan II 50%, golongan III 40% dan golongan IV 40% masing-masing dari penghasilan. Kemudian berdasarkan PP No. 47 tahun 1980 mulai bulan Januari 1981 diadakan perubahan perbaikan penghasilan, yaitu bagi golongan I dari 60% menjadi 100% dari penghasilan, golongan II da-ri 50% menjadi 80%, golongan III dari 40% menjadi 65 % dan golongan IV dari 40% menjadi 60% masing-masing dari penghasilan.

XXII/44

Perbaikan penghasilan rata-rata pegawai negeri dari tahunanggaran 1977/78 sampai dengan Nopember 1982 dapat dilihat dalam Tabel XXII - 5.

Dalam pada itu pegawai negeri yang ditugaskan di Propinsi Irian Jaya diberikan tunjangan khusus yaitu sebesar 30 % dari gaji pokok setiap bulan berdasarkan Keppres No. 13 tahun 1977 yang berlaku sejak 1 April 1977, kemudian sejak 1 April 1980 besarnya tunjangan khusus diubah dari 30 % menjadi 125 % se-tiap bulan berdasarkan Keppres No. 21 tahun 1980. Pegawai negeri yang ditugaskan di Propinsi Timor Timur diberikan tun-jangan khusus sebesar 50 % dari gaji pokok setiap bulan ber-dasarkan Keppres No. 12 tahun 1979 yang berlaku sejak 1 April 1979, kemudian sejak 1 April 1980 besarnya tunjangan khusus Timor Timur diubah dari 50 % menjadi 150 % setiap bulan ber-dasarkan Keppres No. 20 tahun 1980.

Kecuali itu kepada pegawai negeri bekas TRIKORA sesuai dengan haknya masing-masing diberikan penghargaan berdasarkan Keppres No. 62 tahun 1979 berupa kenaikan penghargaan diser-tai dengan uang bantuan sebesar Rp. 100.000,-, cuti beserta keluarganya ketempat asal selama 12 hari kerja atas biaya Negara dan bantuan perumahan sebesar Rp. 500.000,-.

Selanjutnya dengan Keppres No. 12 tahun 1981 kepada pegawai negeri di lingkungan Badan Tenaga Atom Nasional diberikan tunjangan bahaya nuklir setiap bulan masing-masing untuk ba- haya tingkat I Rp. 250.000,-, tingkat II Rp. 200.000,-, ting-kat III Rp. 150.000,-, tingkat IV Rp. 125.000,-, tingkat V Rp. 100.000,-, tingkat VI Rp. 75.000,- dan tingkat VII Rp. 50.000,-.

Akhirnya dengan Keppres No. 12 tahun 1982 kepada pegawai negeri pada instalasi keamanan dan keselamatan pelayanan di-berikan tunjangan pengamanan dan penyelamatan pelayaran.

d. Peningkatan disiplin pegawai negeri

Seperti telah dikemukakan terdahulu banyak usaha telah dilakukan untuk perbaikan di bidang kepegawaian. Dengan ada-nya segala perbaikan itu maka dituntut kepada setiap pegawai negeri untuk mempunyai disiplin tinggi dalam melaksanakan tugas kewajiban sebagai unsur aparatur Negara, abdi Negara dan abdi masyarakat.

XXII/45

TABEL XXII - 5

PENHAIKAN PENGHASILAP AATA-AATA PEGAAAI AEGERI SIPIL,1976/77 - 1980/81(dalem rupiah)

No. GolonganRuang

MasaKerja

(tahun)

1-4-1976s/d

31-3-1977

1-4-1977s/d

31-3-1980

1-4-1980s/d

31-12-1980

1-1-1981s/d Keterangan

31-12-1981

1. I/a 4 10.500 15.990 25.600 32.000 a. Setiap Pegawai Negeri Sipil dianggap

2. I /b 7 10.700 20.540 32.900mempunyai seorang isteri/suami dan 3

41.100 orang anak3. I/c 9 10.900 23.650 37.900 47.300 b. Dalam perhitungan ini belum termasuk:

4. I /d 11 11.100 27.310 43.100i. tunjangan jabatan

54.700 ii. tunjangan pangan5. II/a 12 24.400 38.190 57.300 68.800 c. Belum dikurangi iuran wajib 10% dari

6. II/b 13 29.490 43.180 64.800penghasilan

77.800 d. Pada bulan Juni 1979 dan Januari 1980

7. II/c 13 32.790 45.740 68.700

diberikan gaji bulan ketiga belas dangaji bulan keempatbelas masing-masing

82.400 untuk:8. II/d 13 36.300 48.400 72.600 87.200 Golongan I = 125 %

9. III/a 15 50.760 64.270 90.000Golongan II = 100 %

106.100 Golongan III = 100 %10. III/b 15 55.370 67.830 95.000 112.000 Golongan IV = 75 %

11. III/c 15 60.310 71.940 100.100e. Sejak 1 April 1980 diberikan per-

115.000 baikan penghasilan untuk :12. III/d 16 65.270 75.260 111.600 131.600 Golongan I = 60 %

13. IV/a 18/21 77.950 102.790 144.000Golongan II = 50 %

164.500 Golongan I I I = 40 %14. IV/b 19/21 83.930 107.900 151.100 172.700 Golongan IV = 40 %

15. Iv/c 18/24 90.110 121.770 170.500f. Sejak 1 Januari 1981 diberikan per-

194.900 baikan penghasilan untuk :16. IV/d 18/24 96.510 127.430 178.400 203.900 Golongan I = 100 %

17. IV/e 18/24 103.100 133.200 186.500Golongan II = 80 %

213.200 Golongan III = 65 %Dasar:

PP No. 7tahun 1976

Dasar:PP No. 7tahun 1977

Dasar:PP No. 47

tahun 1980

Dasar: Golongan IV = 60 %PP No. 47tahun 1980

XXII/46

Dalam rangka peningkatan disiplin pegawai negeri maka Pe-merintah telah mengeluarkan PP No. 30 tahun 1980 tentang Per-aturan Disiplin Pegawai Negeri yang mengatur kewajiban, la-rangan serta sanksi apabila kewajiban tidak ditaati atau la-rangan dilanggar oleh setiap pegawai negeri. Dengan dikeluar-kannya peraturan disiplin tersebut maka setiap pegawai negeri diharapkan akan lebih menyadari kewajiban dan tanggungjawab- nya sehingga tercipta aparatur yang bersih, berwibawa dan berdayaguna sehingga mampu melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan.

Dalam PP tersebut dirumuskan 26 kewajiban dan 18 larang-an. Tingkat dan jenis hukuman disiplin yang dapat dijatuhkan kepada yang melakukan pelanggaran disiplin adalah sebagai berikut :

Tingkat hukuman disiplin yang dapat dijatuhkan kepada pegawai negeri yang melakukan pelanggaran disiplin adalah hukuman-hukuman disiplin ringan, sedang dan berat.

Jenis hukuman disiplin ringan terdiri dari tegoran lisan, tegoran tertulis dan pernyataan tidak puas secara tertulis.

Jenis hukuman disiplin sedang terdiri dari penundaan gaji berkala untuk paling lama 1 tahun, penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 tahun dan penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 tahun.

Jenis hukuman disiplin berat terdiri dari penurunan pang-kat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama 1 tahun, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai pegawai negeri dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai pegawai negeri.

PP No. 30 tahun 1980 inilah yang digunakan sebagai dasar penindakan jika hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Kop-kamtib/Operasi Tertib, Inspektorat Jenderal Departemen, Ins-pektorat Wilayah Propinsi/Kabupaten/Kotamadya beserta jajar-annya menunjukkan adanya pelanggaran. Penerapan hukum yang demikian telah berlaku dalam rangka tindak lanjut pada opera-si-operasi yang telah dilancarkan, antara lain Operasi Tunas I, II dan III dan Operasi Bersih dan Herwibawa yang baru lalu.

Untuk menyelesaikan keberatan atas hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai pegawai negeri,

XXII/47

dengan Keppres No. 67 tahun 1980 telah dibentuk Badan Pertim-bangan Kepegawaian yang diketuai oleh Menteri Negara Penerti-ban Aparatur Negara, Kepala BAKN sebagai sekretaris dan ang-gota-anggotanya terdiri dari Sekretaris Kabinet, Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman, Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan Kejaksaan Agung, Dirjen PUOD Departemen Dalam Negeri dan Ketua Pengurus Pusat Korpri.

Sampai dengan akhir Nopember 1982 Badan Pertimbangan Ke-pegawaian telah memeriksa dan mengambil keputusan atas 14 ke-beratan yang diajukan oleh pegawai negeri.

e. Penyempurnaan tata usaha kepegawaian

Pembinaan pegawai negeri tidak mungkin tertib jika tata usaha kepegawaian tidak teratur. Tata usaha kepegawaian yang tersusun dan terpelihara baik sangat diperlukan.

Dalam rangka penyempurnaan tata usaha kepegawaian maka sebagaimana diketahui Pemerintah telah mengadakan Pendaftaran Ulang Pegawai Negeri untuk mendapatkan data kepegawaian yang lengkap dan dapat dipercaya agar dapat digunakan sebagai lan-dasan bagi pembinaan secara tertib dan teratur. Sejak Pendaf-taran Ulang Pegawai Negeri setiap mutasi kepegawaian yang me-ngakibatkan perubahan data kepegawaian dicatat dengan teliti.

Dengan adanya tata usaha kepegawaian yang tertib maka da-ta kepegawaian yang diperlukan dapat ditemukan dalam waktu singkat. Data kepegawaian yang dipelihara secara terus mene-rus merupakan syarat mutlak dalam pelaksanaan pembinaan pega-wai negeri berdasarkan sistem karier dan sistem prestasi ker-ja. Sebagai bahan perbandingan dalam rangka usaha pembinaan pegawai negeri maka dalam Tabel XXII - 6 dapat dilihat kompo-sisi pegawai negeri Pusat dan Daerah menurut keadaan 31 Maret 1977 dan 31 Maret 1982.

Sebagai langkah untuk menyusun tata usaha kepegawaian yang tertib, maka telah dilakukan kegiatan-kegiatan antara lain sebagai berikut :(i) Penetapan Nomor Induk Pegawai (NIP),(ii Pemberian Kartu Pegawai (KARPEG),(iii) Perekaman data pegawai negeri berikut perkembangan ke

dalam pita magnetik,(iv) Penyusunan berkas pegawai pada almari khusus yang di-

pergunakan untuk itu, dan(v) Penyusunan nama-nama pegawai negeri menurut abjad.

XXII/48

TABEL XXII – 6 KEADAAN KOMPOSISI PEGAWAI NEGERI PUSAT DAN DAERAH,

PADA 31 MARET 1977 DAN MARET 1982(orang)

XXII/49

(Lanjutan Tabel XXII – 6)

XXII/50

Jumlah pegawai negeri sipil yang ditetapkan NIP dan Kar-pegnya sejak tahun 1977/78 sampai dengan Nopember 1982 adalah masing-masing 953.425 buah dan 858.973 buah.

Selanjutnya sesuai dengan perkembangan dan tambahan beban tugas BAKN dan dalam rangka untuk lebih meningkatkan pelayan-an administrasi kepegawaian, maka berdasarkan Keppres No. 53 tahun 1980 telah ditetapkan pembentukan Kantor Wilayah BAKN tingkat Propinsi. Dalam tahun 1981/82 untuk tahap pertama telah dibentuk Kantor Wilayah BAKN di Yogyakarta untuk mela-yani mutasi kepegawaian di Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tahun 1984 diharapkan dapat diben- tuk Kantor Wilayah BAKN di Surabaya untuk melayani mutasi kepegawaian di Propinsi-propinsi Jawa Timur, Bali, Nusa Teng-gara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur.f. Perbaikan penghasilan penerima pensiun/tunjangan yang

bersifat pensiunSejalan dengan perbaikan penghasilan pegawai negeri, maka

secara bertahap telah diusahakan pula perbaikan penghasilan dari para penerima pensiun/tunjangan yang bersifat pensiun.

Sebagaimana diketahui sejak tanggal 1 April 1977 berlaku PP No. 7 tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil. Perubahan peraturan gaji tersebut menyebabkan juga perubahan dasar pensiun dan pensiun pokok pegawai negeri sebagaimana diatur dengan PP No. 8 tahun 1977 tentang Pe-netapan Pensiun Pokok Bekas Pegawai Negeri Sipil dan Janda/Duda.

Sesuai dengan kemampuan keuangan Negara maka penyesuaian pensiun pokok bekas pegawai negeri dilakukan secara bertahap sebagai berikut :

(i) Bekas pegawai negeri yang dipensiunkan sebelum 1 Janu-ari 1977 yang telah mencapai usia 80 tahun terhitung mulai tanggal 1 April 1977 disesuaikan pensiun pokok-nya berdasarkan PP No. 8 tahun 1977. Bekas pegawai ne-geri yang dipensiunkan sebelum 1 Januari 1977 yang te-lah mencapai usia 70 tahun sampai dengan 80 tahun ter-hitung mulai tanggal 1 April 1978 disesuaikan pensiun pokoknya berdasarkan PP No. 8 tahun 1977. Bekas pega-wai negeri yang dipensiunkan sebelum 1 Januari 1977 selain dua yang disebut terdahulu, terhitung mulai tanggal 1 April 1979 disesuaikah pensiun pokoknya ber-dasarkan PP No. 8 tahun 1977.

(ii) Pada bulan Januari 1980 kepada para penerima pensiun/ tunjangan yang bersifat pensiun diberikan pensiun tam-bahan sebesar penghasilan pensiun bersih, tidak terma- suk tunjangan beras.

XXII/51

(iii) Terhitung mulai tanggal 1 April 1980 diberikan setiap bulan tunjangan perbaikan penghasilan pensiun sebesar 35% dari penghasilan.

(iv) Terhitung mulai tanggal 1 Januari 1981 tunjangan per-baikan penghasilan pensiun ditambah dari 35% menjadi 50%.

Dalam Repelita III ini perbaikan penghasilan pensiun yang berlaku bagi pensiunan pegawai negeri berlaku juga untuk pen-siunan pejabat Negara. Di samping itu telah dikeluarkan pula peraturan perundang-undangan mengenai pensiunan pejabat Nega- ra.

Perincian perbaikan penghasilan rata-rata pensiun pegawai negeri dari tahun anggaran 1977/78 sampai dengan tahun ang-garan 1982/83 adalah sebagaimana dapat dilihat pada Tabel XXII - 7.

g. Pemberian Jaminan lainnya

Keppres No. 8 tahun 1977 menyatakan bahwa untuk membiayai usaha-usaha dalam bidang kesejahteraan maka dari setiap pega-wai negeri dipungut iuran sebesar 10% dari penghasilan setiap bulannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan perincian sebagai berikut : 4,75% untuk iuran dana pensiun, 2% untuk iuran pemeliharaan kesehatan dan 3,25% untuk iuran tabungan hari tua.

Dengan pungutan tersebut maka tiap pegawai negeri menda-pat jaminan penghasilan pensiun sebagaimana dikemukakan pada bab terdahulu, jaminan pemeliharaan kesehatan bagi pegawai negeri bersangkutan beserta keluarganya melalui asuransi ke-sehatan serta jaminan tabungan hari tua melalui asuransi so-sial pegawai negeri. Pegawai negeri sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat mempunyai potensi yang dapat menentukan ke-lancaran pelaksanaan pembangunan nasional sehingga dianggap perlu untuk selalu dibina kesejahteraannya agar dapat dipeli-hara dan dikembangkan dayacipta, daya guna dan hasilgunanya. Sekalipun iuran-iuran yang dipungut dari pegawai negeri tidak mencukupi bagi pemberian jaminan-jaminan yang dimaksud, Peme-rintah tetap menanggung beban kekurangannya.

Mengenai hak atas tabungan hari tua maka penyelenggaraan asuransi sosial telah disempurnakan dengan PP No. 25 tahun 1981 yang diusahakan secara terpusat dan lebih terarah. Dalam

XXII/52

TABEL XXII - 7

PERBAIKAN PENGHASILAN RATA-RATA PENSIUNAN PEGAWAI NEGERI SIPIL,1977/78 - 1981/82(dalam rupiah)

No GolonganRuang 1-4-1977

s/d31-3-1978

1-4-1978s/d

31-1-1980

1-4-1980s/d

31-12-1980

1-1-1981s/d

31-3-1982Keterangan

1. I/a 7.500 13.600 18.400 20.400 a. Setiap pensiunan Pegawai NegeriSipil dianggap mempunyai seorang

2. I /b 7.500 16.600 22.500 24.900 isteri/suami dan 3 orang anakb. Belum termaauk tunjangan pangan

3. I/c 8.550 19.200 26.000 28.800 c. Belum dikurangi Asuransi Kese-hatan 2% dari penghaailan

4. I/d 10.300 22.000 29.700 33.000

5. II/a 14.550 29.700 40.100 44.600

6. II/b 18.550 35.700 48.200 53.600

7. II/c 20.550 39.300 53.100 59.000

8. II/d 22.400 43.100 58.200 64.700

9. III/a 26.950 53.250 71.900 79.000

10. III/b 29.600 57.650 77.900 86.500

11. III/c 31.750 62.250 84.100 93.400

12. III/d 34.200 67.050 90.600 105.600

13. IV/a 38.000 77.150 104.200 115.800

14. IV/b 41.300 82.550 111.500 123.900

15. IV/c 44.000 86.150 119.100 132.300

16. IV/d 47.300 93.950 126.900 141.000

17. IV/e 49.950 99.000 134.900 149.900

XXII/53

rangka penyempurnaan penyelenggaraan asuransi sosial maka de-ngan PP No. 26 tahun 1981 telah dialihkan Perum Dana Tabung-an dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen) menjadi Persero. Ber-dasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.685/KMK.011/1982 ta-hun 1982 peserta Taspen yang berhenti dengan hak pensiun pada dan sesudah akhir Januari 1982 berhak memperoleh tabungan ha-ri tua minimal Rp. 125.000,-, begitu pula bagi peserta yang meninggal dunia sebelumnya pensiun, pada dan sesudah Januari 1982 ahli warisnya menerima minimal aebesar Rp. 125.000,

Dalam pada itu apabila pegawai negeri sakit karena dinas atau mengalami kecelakaan karena dinas dan mengakibatkan yang bersangkutan sakit atau cacad maka ia mendapat pengobatan pe-rawatan dan/atau rehabilitasi atas biaya Negara.

Kepada pegawai negeri yang cacad karena dinas yang menga-kibatkan ia tidak dapat bekerja lagi dalam semua jabatan ne-geri, diberikan penghargaan dalam bentuk tunjangan cacad sehingga ia dapat hidup layak. Besarnya tunjangan cacad tiap- tiap bulan adalah sebagai berikut :

(i) 70% dari gaji pokok apabila kehilangan fungsi pengli-hatan kedua belah mata, pendengaran kedua belah telinga atau kedua belah kaki dari pangkal paha atau dari lutut ke bawah.

(ii) 50% dari gaji pokok apabila kehilangan lengan dari sendi bahu ke bawah atau kedua belah kaki dari mata kaki ke bawah.

(iii) 40% dari gaji pokok apabila kehilangan fungsi lengan dari atas siku ke bawah atau sebelah kaki dari pangkal paha.

(iv) 30% dari gaji pokok apabila kehilangan fungsi pengli-hatan dari sebelah mata, pendengaran dari sebelah te-linga, tangan dari atas pergelangan ke bawah atau sebelah kaki dari mata kaki ke bawah.

(v) 30% sampai 70% dari gaji pokok menurut tingkat keadaan yang atas pertimbangan Team Penguji Kesehatan dapat dipersamakan dengan apa yang disebut terdahulu untuk kehilangan fungsi atas sebagian atau seluruh badan atau ingatan.

Selanjutnya biaya pemakaman pegawai negeri yang tewas se-luruhnya ditanggung oleh Negara dan kepada keluarganya dibe-rikan penghargaan dalam bentuk uang duka tewas sebesar 6 ka-li penghasilan sebulan dengan ketentuan serendah-rendahnya Rp.500.000,-.

XXII/54

Ketentuan-ketentuan mengenai perawatan, tunjangan cacad dan uang pegawai negeri tersebut di atas telah diatur dengan PP No. 12 tahun 1981.

h. Peningkatan kemampuan manajemen para pejabat dan pening-katan ketrampilan dan produktivitas kerja pegawai

Sejalan dengan penyempurnaan kelembagaan dan ketatalaksa-naan maka telah dilakukan pula secara terus-menerus usaha peningkatan kemampuan dan ketrampilan pegawai negeri melalui program-program pendidikan dan latihan, baik yang bersifat sebelum memegang jabatan (pre service) maupun dalam jabatan (in service). Untuk lebih teratur dan terarahnya pelaksanaan pendidikan dan latihan pegawai negeri maka tugas dan tang-gungjawab atas pembinaan pendidikan dan latihan pegawai nege-ri diberikan oleh Lembaga Administrasi Negara. Program-pro-gram pendidikan dan latihan dilaksanakan selain dengan tujuan meningkatkan kemampuan dan ketrampilan pegawai negeri juga untuk mengusahakan perbaikan sikap dan kepribadian pegawai negeri sesuai dengan tuntutan tugas dan jabatannya.

Ruang lingkup pembinaan pendidikan dan latihan pegawai negeri meliputi bidang yang luas, yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:(i) bidang teknis fungsional, yaitu yang bertalian dengan

ketrampilan teknis sesuatu pekerjaan sebagai pelaksa-naan tugas pokok dan tanggungjawab fungsional dari se-suatu Departemen/Lembaga; dan

(ii) bidang administrasi, baik umum maupun pembangunan; ad-ministrasi umum berkenaan dengan peningkatan kemampuan teknik organisasi dan manajemen yang disyaratkan bagi jabatan pimpinan, sedangkan administrasi pembangunan berkepentingan dengan peningkatan kemampuan dalam pe-rencanaan, pelaksanaan, pengendalian serta penilaian pembangunan.

Kesemua program-program tersebut di atas pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan pega-wai negeri sesuai dengan pembinaannya atas dasar sistem ka-rier dan sistem prestasi kerja untuk mendukung penyelenggara-an tugas-tugas umum pemerintahan dan terutama tugas-tugas pembangunan.

Diantara program-program pendidikan dan latihan di bidang administrasi yang terutama ialah program pada Sekolah Staf dan Pimpinan Administrasi (SFSPA) yang dimakaudkan untuk mem-pereiapkan pegawai yang potensial untuk menduduki jabatan

XXII/55

eselon II tersebut. SESPA diselenggarakan oleh masing-masing Departemen di samping juga oleh LAN untuk SESPA yang bersifat inter-departemental. Untuk meningkatkan frekuensi dan daya tampung penyelenggaraan SESPA maka dewasa ini telah disedia-kan gedung kampus SESPA yang dewasa ini sedang dalam taraf penyelesaian. Penyelenggaraan SESPA selama tahun 1977/78 sampai akhir Desember 1982 adalah sebagai tercantum pada Tabel XXII - 8.

Penting pula untuk dikemukakan bahwa pada tahun 1982/83 berdasarkan Instruksi Presiden No. 10 tahun 1982 telah dise- lenggarakan penataran para pejabat eselon I dalam rangka me-numbuhkan, meningkatkan dan memantapkan kewaspadaan nasional yang tinggi terhadap bahaya laten faham Marxiame/Leniniame/ Komunisme.

Selanjutnya program pendidikan dan latihan adminsitrasi tingkat madya, tingkat lanjutan dan tingkat dasar juga terus dikembangkan. Program-program ini merupakan program penjen-jangan bagi pegawai negeri yang dipromosikan ke jenjang ja-batan setingkat lebih tinggi dalam golongan jabatan pimpinan.

Program pendidikan dan latihan pegawai lainnya ang perlu dikemukakan adalah Program Perencanaan Nasional (PPN) yang dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan dalam penggunaan berbagai peralatan analisa yang diperlukan dalam perencanaan dan penilaian proyek-proyek pembangunan. Selama lima tahun, yaitu dari tahun 1977/78 sampai akhir Desember 1982 PPN telah menghasilkan 711 orang lulusan yang terdiri dari pejabat tingkat Pusat maupun tingkat Daerah.

Pemerintah telah pula memberikan kesempatan kepada pega-wai negeri untuk mendapat tugas belajar, baik di dalam maupun di luar negeri. Tugas belajar ini diberikan apabila bidang pendidikan yang akan diikuti itu betul-betul sangat dibutuh-kan.

i. Usaha lain di bidang pembinaan pegawai negeri

Aparatur Pemerintah yang makin bersih dan berwibawa akan makin mendapat kepercayaan dari masyarakat. Dalam rangka ter-sebut maka telah dilakukan usaha secara terus-menerus agar pegawai negeri benar-benar bertindak sebagai abdi dan pelayan masyarakat sehingga tindak-langkahnya selalu mendapat dukung-an dan partisipasi rakyat banyak.

XXII/56

TABEL XXII - 8 JUMLAH LULUSAN SESPA

1978/79 – 1982/83(orang)

XXII/57

Berturut-turut sejak Repelita I telah diadakan usaha-usa-ha ke arah itu dengan dikeluarkannya berbagai peraturan per-undang-undangan, antara lain :

(i) Pendaftaran kekayaan pribadi yang wajib diisi oleh pa-ra pejabat pada SPT PKK (Surat Pemberitahuan tentang Pajak Kekayaan) dan disampaikan kepada Inspeksi Pajak (Keppres No. 21 tahun 1970);

(ii)Pelaporan bahwa para pejabat telah memenuhi kewajiban membayar pajak-pajak pribadi dengan pengisian SPT PKK di samping juga pengisian SPT PPD (Surat Pemberitahuan Pajak Pendapatan) (Keppres No. 52 tahun 1971);

(iii) Pembentukan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) sebagai wadah menghimpun para pegawai negeri sebagai usaha untuk membina dan menjamin adanya pegawai negeriaktif dalam usaha mewujudkan masyarakat adil dan mak-mur berdasarkan Pancasila (Keppres No. 82 tahun 1971);

(iv)Pembatasan kegiatan pegawai negeri dan kesederhanaan hidup yang dimaksudkan untuk memberikan arah agar segala kemampuan dalam pembangunan dapat digunakan dengan lebih efektif dan efisien dengan penggarisan pedoman bagi tingkah laku pegawai negeri untuk melak-sanakan hidup sederhana (Keppres No. 10 tahun 1974);

(v) Pembatasan kegiatan pegawai negeri dalam usaha swasta (PP No. 6 tahun 1974);

(vi)Pengaturan keanggotaan pada Partai Politik dan Golong-an Karya berhubung dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 3 tahun 1975 yang mengatur keanggotaan pegawai ne- geri dalam partai Politik dan Golongan Karya (PP No. 20 tahun 1976);

(vii) Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Pendi-dikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP 7) dimaksudkan agar segenap pegawai ne-geri mempunyai ketaatan penuh pada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah serta bersa-tu, bermental baik, berwibawa, berdayaguna, bersih, berkualitas tinggi serta sadar akan tanggungjawabnya (Instruksi Presiden No. 10 tahun 1978); Penataran dilaksanakan secara bertingkat, yaitu Tipe A yang diikuti oleh pegawai negeri golongan III ke atas atau yang dipersamakan dengan itu, tipe B yang diikuti oleh pegawai negeri golongan II atau yang dipersamakan dengan itu dan tipe C untuk pegawai negeri golongan I atau yang dipersamakan. Penataran yang telah dimulai pada tahun 1979/80 yang diperinci per tahun menurut tipe penataran adalah sebagaimana tercantum dalam Ta-bel XXII - 9.

XX/58

TABEL XXII – 9PESERTA PENATARAN TINGKAT NASIONAL SERTA TINGKAT PUSAT DAN DAERAH

DARI TIPE A, TIPE B DAN C,1979/80 – 1982/83

(orang)

XXII/59

Dalam hubungan ini lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa berdasarkan Inpres No. 10 tahun 1979 maka BP-7 secara bertu-rutan telah melaksanakan penataran P-4 bagi :a. Calon-calon penatar tingkat nasional/Manggala yang ber-

langsung di Istana Bogor yang diikuti oleh lebih kurang 400 orang peserta;

b. Pembina penataran tingkat Pusat dan tingkat Daerah di Ge-dung Pemerintah Daerah DKI yang diikuti oleh lebih kurang 400 orang peserta; dan

c. Penatar tingkat instansi Pusat/Propinsi di Taman Mini In-donesia Indah yang diikuti oleh lebih kurang 3.800 orang peserta; yang dilanjutkan dengan penataran-penataran P-4 dengan tipe A, B dan C di tingkat Departemen/Instansi Pusat, di tingkat Propinsi dan tingkat Kabupaten/Kotamadya seluruh Indonesia.

Usaha penyebar luasan P-4 dilakukan dengan penyelenggara-an berbagai penataran bagi masyarakat yang meliputi anggota organisasi-organisasi masyarakat, para pengusaha dan golong-an-golongan masyarakat lainnya.

Untuk keperluan penyebarluasan P-4 tersebut di daerah-dae-rah maka dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 163 tahun 1981 dan No. 86 tahun 1982 telah dibentuk BP-7 Daerah Tingkat I dan BP-7 Daerah Tingkat II seluruh Indonesia.

(viii) Penyelenggaraan upacara pengibaran bendera Merah Putih pada tanggal 17 setiap bulan pada pagi hari sebelum dimulai jam kerja setelah upacara mana diumumkan tin-dakan-tindakan atau langkah-langkah penertiban yang telah diambil dalam lingkungan masing-masing di sam-ping juga hal-hal yang baik atau positif.

7. Penyempurnaan administrasi bidang-bidang lain

Berbagai usaha telah pula dilakukan untuk penyempurnaan tatakerja, antara lain di bidang administrasi keuangan, admi-nistrasi penerimaan Negara, administrasi material dan penge-lolaan perlengkapan, administrasi pengadaan barang/peralatan Pemerintah, kearsipan dan sebagainya.

Administrasi keuangan yang terpadu dalam rangka menunjang perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian APBN telah berhasil diselenggarakan dengan antara lain terbentuknya Pusat Analisa Informasi Keuangan pada tahun 1976 yang bertugas mengolah da-ta impor, ekspor, cukai tembakau, penyusunan dan realisasi

XXII/60

anggaran, bantuan luar negeri, arus uang melalui Kas-kas Ne-gara, pajak pendapatan/perseroan dan pajak kekayaan, investa-si Badan-badan Usaha Milik Negara dan inventarisasi kekayaan Negara.

Dalam pada itu dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat serta mengamankan penerimaan Negara, maka dalam tahun 1979/80 berdasarkan Instruksi Presiden No. 6 tahun 1979kepada Menteri Keuangan telah diminta untuk mengadakan pengaturan guna mewujudkan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat wajib pajak, pengawasan dan penertiban terhadap aparatur perpajakan, peningkatan disiplin fiskal dan kepatuh-an wajib pajak serta pengaturan tentang penggunaan jaaa akun-tan publik. Ditegaskan pula dalam Inpres tersebut bahwa untuk membina iklim perpajakan yang sehat serta mempunyai kewajaran dalam perpajakan, maka badan-badan usaha perlu didorong untuk lebih terbuka dan memberikan laporan keuangan yang menggam-barkan keadaan perusahaan yang sebenarnya. Bertalian dengan itu Menteri Keuangan dengan Surat Keputusan No. 191 tahun 1979 telah mengatur penyederhanaan pelaksanaan sanksi admi-nistratif di bidang perpajakan untuk memberikan kepastian dan kemudahan bagi wajib pajak. Dalam rangka itu pula maka Peme-rintah telah pula mengambil langkah kebijaksanaan untuk me-nyempurnakan susunan Majelis Pertimbangan Pajak dengan mendu-dukan wakil-wakil dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) sebagai anggota. Majelis ini menangani perbedaan pen-dapat yang sering terjadi dikalangan pengusaha dan petugas pajak mengenai masalah perpajakan.

Administrasi perlengkapan Pemerintah yang merupakan sis-tem yang menyeluruh serta sejajar dengan administrasi keuang-an, juga secara terus-menerus diusahakan pada semua tahap, ialah tahap perencanaan kebutuhan, pengadaan (procurement), penyimpanan distribusi, pemeliharaan dan penentuan penghapus-an. Administrasi perlengkapan menjadi semakin kompleks karena adanya dua macam tantangan, yaitu meningkatnya jenis maupun jumlah serta intensitas penggunaan peralatan dan perlengkapan serta kemajuan teknologi yang pesat. Dengan terserapnya seba-gian dari APBN untuk belanja barang maka untuk menghadapi tantangan tersebut diperlukan sistem yang lebih mantap. Sehu-bungan dengan itu team interdepartemental telah berhasil me-rumuskan rancangan pengelolaan/administrasi perlengkapan yang lebih efisien, seragam dan terkoordinasikan. Team tersebut telah pula menyusun ketentuan-ketentuan penghapusan perleng-kapan dalam kaitannya dengan pelelangan/penjualannya. Seba-gaimana diketahui tanpa adanya peraturan penghapusan dapat mengakibatkan kerugian Negara antara lain dengan timbulnya

XXII/61

biaya pengamanan dan pemeliharaan di samping akan berkurang-nya nilai ekonomis barang yang seharusnya dihapus.

Mengenai inventarisasi barang-barang milik Negara/kekaya-an Negara yang bersumber seluruhnya atau sebagian dari APBN dapat dikemukakan bahwa perbaikan-perbaikan telah diusahakan sesuai dengan Instruksi Presiden No. 3 tahun 1971 dengan mengusahakan peningkatan mutu registrasi dan inventarisasi barang-barang milik Negara. Hingga akhir tahun 1983 terhadap 11 Departemen telah dapat dicapai usaha-usaha ke arah ini, yaitu :a. menetapkan tatacara pencatatan kembali seluruh barang-

barang milik Negara yang ada pada masing-masing Departe-men;

b. menetapkan cara-cara penilaian terutama atas barang-ba-rang yang tidak diketahui harga perolehnya; dan

c. menetapkan tatacara pembukuan, pembuatan laporan dan bentuk-bentuk formulir/daftar yang digunakan.

Terhadap Departemen-departemen lainnya dewasa ini sedang diusahakan peningkatan kemampuan registrasi dan inventarisasi melalui penataran-penataran yang diselenggarakan oleh Direk- torat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara.

Dalam pada itu untuk kelancaran kedayagunaan dan kehasil-gunaan pengadaan barang-barang/peralatan yang diperlukan oleh Departemen/Lembaga maka dengan Keppres No. 10 tahun 1980 te-lah dibentuk Team Pengendalian Pengadaan Barang/Peralatan Pe-merintah yang bertugas mengendalikan dan mengkoordinasi peng-adaan atau pembelian barang/peralatan tertentu yang dilakukan Departemen /Lembaga sesuai dengan anggaran yang disediakan, sehingga pelaksanaannya dapat berjalan lancar, berdayaguna dan berhasilguna.

Team yang diketuai oleh Menteri Sekretaris Negara mempu- nyai fungsi-fungsi pengendalian dan kordinasi sebagai berikut:a. penetapan standar surat perjanjian/kontrak untuk berbagai

pemborongan/pembelian termasuk pembelian tanah serta pe-doman penggunaan standar kontrak tersebut;

b. kordinasi pelelangan pekerjaan untuk pemborongan/pembeli-an dengan nilai di atas Rp. 500 juta;

c. penetapan pekerjaan pemborongan/pembelian tanpa pelelang-an untuk nilai pemborongan/pembelian di atas Rp. 500 juta;

d. pengadaan dan penetapan tatacara pengadaan kendaraan ber-motor serta barang-barang lain yang ditetapkan oleh Team

XXII/62

Pengendali Pengadaan untuk keperluan Departemen/Lembaga/-Kantor/Satuan Kerja/Proyek yang dilaksanakan secara ter-pusat oleh Sekretariat Negara;

e. penetapan pengecualian terhadap ketentuan bahwa semua pe-lelangan pekerjaan untuk pemborongan/pembelian dengan ni-lai pelelangan di atas Rp. 500 juta dilakukan di tempat lokasi kantor/satuan kerja/proyek, di ibukota Kabupaten/ Kotamadya atau di ibukota Propinsi yang bersangkutan dan penetapan tempat pelelangan setelah mendengar pertimbang-an Menteri/Ketua Lembaga dan Gubernur Kepala Daerah Ting-kat I yang bersangkutan.

Keppres No. 10 tahun 1980 telah dilengkapi dengan Keppres No. 15 tahun 1980 tentang tatacara penyediaan dana dan tata-cara pelaksanaan pembayaran dalam rangka pengadaan barang-ba-rang/peralatan Pemerintah.

Penyempurnaan tatacara dalam rangka memperlancar kegiatan dunia usaha juga terus dikembangkan, antara lain dengan usaha penyederhanaan sistem perijinan. Dalam hubungan ini Depar-temen Perdagangan dan Koperasi telah berhasil menyempurnakan tatacara pengajuan permohonan surat ijin usaha perdagangan (SIUP) yang jauh lebih sederhana dari masa sebelumnya. Demi-kian juga pada tahun 1980/81 oleh Departemen Pertanian telah disempurnakan syarat dan tatacara permohonan dan pemberian ijin usaha di bidang pertanian dan peternakan. Di samping itu telah disempurnakan juga peraturan-perturan tentang pelaksa-naan ekspor, impor dan lalu lintas devisa melalui PP No. 1 tahun 1982 serta peraturan-peraturan sebagai tindak lanjutnya oleh Departemen Keuangan, Departemen Perdagangan dan Kopera-si, Departemen Perhubungan dan Bank Indonesia. Dengan lang-kah-langkah tersebut di atas diharapkan dapat makin merang-sang kegiatan dunia usaha.

Mengenai kearsipan nasional dapat dikemukakan bahwa sela-ma lima tahun terakhir ini. secara terus-menerus digiatkan pembinaan kearsipan termasuk peningkatan kemampuan dalam rangka membantu memperlancar proses administrasi dan pening-katan komunikasi baik di dalam suatu aparatur maupun antar aparatur Pemerintah. Prioritas utama dalam usaha penyempurna-an kearsipan dititikberatkan pada bidang kearsipan dinamis yang diarahkan pada terwujudnya sistem dan tatalaksana ke-arsipan dinamis dan yang dapat dilaksanakan secara menyeluruh pada semua unit organisasi Pemerintah, baik di tingkat Pusat maupun Daerah. Penyelenggaraan kearsipan dinamis yang baik selain akan menunjang pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintah

XXII/63

dan pembangunan seperti perencanaan, pelaksanaan, pengendali-an dan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan, juga me-rupakan dasar bagi pembinaan arsip statis sebagaimana dimak-sudkan oleh UU No. 7 tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan.

Pada tahun 1977/78 dalam usaha penyempurnaan kearsipan dinamis telah dikembangkan suatu sistem serta penyebar luas-annya melalui berbagai pendidikan dan latihan kearsipan. Pada tahun-tahun selanjutnya sistem kearsipan dinamis terus dikem-bangkan dan ditingkatkan sehingga menjadi semakin mantap. Kecuali oleh Departemen/Lembaga sistem tersebut telah di-usahakan diterapkan oleh Pemerintah Daerah sampai pada be-berapa banyak Kabupaten-kabupaten, bahkan sampai di banyak Kecamatan-kecamatan dan Desa-desa.

Dalam tahun anggaran 1981/82 usaha-usaha penertiban dan pembinaan kearsipan semakin ditingkatkan dan lebih diinten-sifkan. Jangkauan peningkatan kegiatan selama tahun anggaran 1981/82 meliputi peningkatan pendidikan dan latihan, pengem-bangan dan konservasi kearsipan. Penyelenggaraan pendidikan dan latihan dilakukan dengan penataran kearsipan dinamis ak-tif dan penataran kearsipan dinamis inaktif. Penataran kear-sipan dinamis aktif ditekankan pada pengurusan surat (mail handling) dan penataran berkas (filing) sedangkan penataran kearsipan dinamis inaktif dilaksanakan dalam rangka pelaksa-naan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1979 tentang penyusut-an arsip, khususnya penyusutan arsip dalam masa peralihan se-belum adanya jadwal retensi arsip sebagaimana ditentukan da-lam pasal 17 PP tersebut dan yang petunjuk pelaksanaannya di-tuangkan dalam Surat Edaran Kepala Arsip Nasional No. SE/01/ 1981.

Selanjutnya dewasa ini sedang dipersiapkan untuk penye- lenggaraan pendidikan tenaga ahli menengah kearsipan dengan bekerjasama dengan Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang akan diselenggarakan dalam bentuk pendidikan program diploma. Dalam rangka penyelamatan ba-han-bahan bukti sejarah maka Arsip Nasional sejak tahun 1979/80 telah memperluas bidang kegiatannya dengan usaha pe-nyelamatan arsip pandang/dengar (audio-visual) berupa rekam-an film, foto, tape dan lain-lain yang diperoleh baik dari dalam negeri maupun luar negeri seperti dari Imperial War Mu-seum di Inggeris, Rijksvoorlichting dienst dan Koninklijk Institut voor de Tropen di Nederland, Nippon Hoso Kyoku di Jepang, dan lain sebagainya. Gambar dan suara dari peristiwa-peristiwa penting dalam perjuangan bangsa yang terekam dalam arsip pendang-dengar ini merupakan bahan bukti sejarah yang amat berharga bagi generasi yang akan datang.

XXII/64

Untuk dapat menampung arsip pandang dengar dan arsip karto-grafik maka pada tahun 1980/81 telah mulai dibangun depot se-luas 3.250 m2. Depot arsip pada tahun-tahun mendatang akan diperluas dengan pembangunannya di berbagai ibukota Propinsi sebagai tempat penampungan dan penyimpanan arsip-arsip di Daerah.

C. SISTEM PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN DAN PENGAWASAN KEUANGAN NEGARA

1. Pendahuluan

Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai rencana operasional tahunan diusahakan mencerminkan pola ke-bijaksanaan, prioritas dan program dari Repelita untuk tahun bersangkutan.

Sehubungan dengan itu Pemerintah dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tetap didasarkan pada 4 prin-sip, yaitu : (a) Anggaran berimbang yang dinamis; (b) Dana-dana pembangunan dari dalam negeri harus makin besar; (c) Pe-nentuan skala prioritas yang tepat; (d) Bekerja berdasarkan program terpadu.

Dalam pelaksanaan Anggaran Belanja Negara, prinsip yang dipergunakan ialah : (a) hemat, tidak mewah dan effisien, dan (b) terarah dan terkendali sesuai dengan rencana, program/ke-giatan serta fungsi masing-masiag Departemen/Lembaga.

Untuk menciptakan stabilitas yang sehat dan dinamis Peme-rintah tetap berpegang teguh pada prinsip anggaran berimbang yang dinamis yang merupakan syarat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sebagai sarana peningkatan kesejah-teraan lahir batin rakyat banyak dalam menuju terciptanya ma-syarakat adil dan makmur. Sementara itu dengan tuntutan akan peningkatan volume pembangunan, menimbulkan konsekuensi yang semakin besar pula akan kebutuhan dana yang diperlukan. Hal ini memerlukan memobilisasi sumber-sumber dana dalam negeri sehingga dapat meningkatkan kemampuan dalam pembiayaan. Rea-lisasi dari usaha tersebut tercermin dengan meningkatnya vo-lume dana pembangunan tiap tahun yang bersumber dari dalam negeri selama ini berupa tabungan Pemerintah. Di samping ta-bungan Pemerintah, dana pembangunan juga ditunjang oleh pe-nyusunan/bantuan luar negeri yang terdiri dari nilai lawan bantuan program dan bantuan proyek dan fasilitas kredit eks-por. Bantuan proyek merupakan pinjaman yang bersifat lunak

XXII/65

maupunsetengah lunak atau pinjaman dalam rangka fasilitas kredit ekspor yang diterima langsung oleh pemerintah dalam bentuk barang, peralatan atau jasa untuk keperluan proyek-proyek pembangunan tertentu yang telah ditetapkan. Mengingat bahwa dana-dana pembangunan merupakan suatu kendala, maka Pe-merintah dalam melaksanakan pembangunan tetap mendasarkan ke-pada skala prioritas yang tinggi dengan mendahulukan apa yang harus didahulukan dan menunda apa yang dapat ditunda dengan berpedoman atas dasar program terpadu dan melaksanakan atas disiplin anggaran.

Untuk lebih meningkatkan kelancaran pelaksanaan anggaran dan pelaksanaan fisik proyek sebagai penyempurnaan daripada Keppres sebelumnya dalam tahun 1980 telah diterbitkan Keppres No. 14 A, kemudian disempurnakan dengan Keppres No. 18 tahun 1981, yang kedua-duanya merupakan pedoman pelaksanaan APBN dan juga sebagai salah satu pengaturan pengendaliannya yang penting. Tujuan yang hendak didapai ialah agar pelaksanaan APBN dapat berjalan lebih efektif dan efisien serta sekaligus lebih memberikan kesempatan pengembangan industri dalam nege-ri dengan pengutamaan produksi dalam negeri, serta memberikan kesempatan berusaha kepada golongan ekonomi dengan mengutama-kan mereka itu sebagai rekanan barang/jasa untuk pembelian oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah, termasuk Badan Usaha Mi-lik Negara, dan juga untuk menunjang sasaran-sasaran pemera-taan kegiatan pembangunan dan kesempatan kerja dengan peng-utamaan pengusaha setempat di daerah untuk ikut dalam pelak-sanaan proyek-proyek pembangunan di daerah.

Demikian pula ketentuan berbagai pasal dalam Keppres ter-sebut telah dilengkapi dengan ketentuan pelaksanaan yang le-bih memudahkan dalam bentuk Surat Keputusan Menteri atau Su-rat Keputusan Bersama beberapa Menteri seperti ketentuan ten-tang pengutamaan produksi dalam negeri, prakualifikasi di tingkat Daerah, pedoman pelaksanaan proyek Gedung Pemerintah dan perumahan dinas, biaya pengadaan tanah untuk keperluan proyek sektoral, tatacara persetujuan kontrak multiyears, prosedur dan penata usahaan bantuan luar negeri dan lain se- bagainya.

Keppres No. 14 A tahun 1980 yang disempurnakan dengan Keppres No. 18 tahun 1981 mempunyai sasaran pula untuk menun-jang penyempurnaan aparatur Pemerintah melalui ketentuan pe-ngaturan pengendalian dan peningkatan pengawasan, terutama pengawasan yang melekat pada fungsi organik pimpinan terhadap bawahan. Untuk kelancaran, kedaya-gunaan dan kehasil-gunaan pengadaan barang/peralatan yang diperlukan Departemen/Lembaga

XXII/66

telah dikeluarkan Keppres No. 10 dan No. 15 tahun 1980. Kebi-jaksanaan yang tertuang dalam kedua Keppres tersebut dimak-sudkan agar pengendalian dan penentuan pengadaan barang/per-alatan Pemerintah dapat dilakukan secara terpusat dan terkor-dinasikan. Atas dasar penilaian maka hasil pengendalian ter-sebut telah cukup dapat mengarahkan berbagai kegiatan pemba-ngunan mencapai tujuannya secara efektif dan efisien. Dalam hubungan ini dapat dikemukakan bahwa sejak terbentuknya Team Pengendali Pengadaan Barang/Peralatan Pemerintah tahun 1980 sampai dengan bulan Januari 1983, telah dapat ditangani se-jumlah 2.966 proyek dengan nilai semula sekitar Rp. 16.371 milyar, menjadi Rp. 15.444 milyar. Penekanan biaya tersebut merupakan penghematan yang tidak sedikit yaitu sekitar Rp. 927 milyar.

2. Penyusun Anggaran Pembangunan

Rancangan Anggaran Pembangunan sebagai bagian dari RAPBN setiap tahunnya disusun berdasarkan perkiraan tentang besar-nya dana pembangunan yang dapat dihimpun, khusunya tabungan Pemerintah dan dana bantuan yang berasal dari luar negeri. Untuk pelaksanaan Anggaran Pembangunan, Departemen/Lembaga bersangkutan mengisi Daftar Isian Proyek (DIP). DIP memberi-kan gambaran secara jelas tentang kegiatan-kegiatan proyek, demikian pula tujuan yang akan dicapai dalam satu tahun ang-garan. Di samping itu DIP menunjukkan penggunaan dana berda-sarkan suatu rencana fisik yang konkrit sehingga dengan demi-kian DIP dapat dijadikan sebagai pedoman pengendalian. Walau-pun format DIP telah disederhanakan, yaitu yang semula terdi-ri dari 6 halaman menjadi 3 halaman dan dengan demikian ring-kas, namun tetap mengandung pengarahan kegiatan secara beren-cana.

Dalam rangka lebih meningkatkan pengawasan, terutama pengawasan oleh atasan terhadap bawahan, terhadap pelaksanaan proyek-proyek sejak tahun 1980/81 DIP yang sekaligus berfung-si sebagai Surat Keputusan Otorisasi dilengkapi dengan Petun-juk Operasional (PO) bagi masing-masing proyek. PO yang disu-sun atas dasar DIP dikeluarkan oleh Direktur Jenderal atau Pejabat setingkat pada Departemen/Lembaga yang membawahi pro-yek bersangkutan, memuat uraian dan perincian lebih lanjut dari DIP yang bersangkutan serta petunjuk khusus yang perlu dilaksanakan oleh Pemimpin Proyek. PO juga berfungsi sebagai alat pengawasan bagi Inspektur Jenderal Departemen/Pemimpin Unit Pengawasan pada Lembaga di samping sebagai alat peng-awasan bagi Direktur Jenderal atau Pejabat yang setingkat pada Departemen/Lembaga dalam rangka pelaksanaan DIP oleh

XXII/67

Pemimpin Proyek. Hal terakhir menunjukkan peralihan tekanan dari pre-audit ke pengawasan langsung dan post-audit.

Untuk menjamin kelangsungan kegiatan pelaksanaan proyekproyek, sistem yang memungkinakan penggunaan sisa anggaran pembangunan tahun-tahun lalu dalam tahun anggaran yang sedang berjalan tetap dilaksanakan. Namun guna peningkatan daya serap anggaran maka penggunaan Sisa Anggaran Pembangunan (SIAP) dalam tahun anggaran berikutnya sejak tahun 1977/78 dibatasi sampai selambat-lambatnya 3 tahun anggaran berturut-turut.

Anggaran Pembangunan diperinci dalam susunan Sektor yang kemudian diperinci lebih lanjut dalam Sub Sektor, Program dan Proyek. Kecuali itu Anggaran Pembangunan disuaun pula dalam Bagian Anggaran (Departemen/Lembaga) bersangkutan. Dengan demikian terlihat secara jelas hubungan matrix antara penyusunan menurut Sektor (vertikal) dan penyusunan menurut Depar- temen/Lembaga (horisontal).

Dalam Repelita III Anggaran Pembangunan menurut susunan vertikal meliputi 18 sektor, sedangkan menurut susunan horisontal meliputi 27 Bagian.

Ke-18 Sektor tersebut ialah Sektor Pertanian dan Pengairan; Sektor Industri; Sektor Pertambangan dan Energi; Sektor Perhubungan dan Pariwisata; Sektor Perdagangan dan Koperasi; Sektor Tenaga Kerja dan Transmigrasi; Sektor Pembangunan Daerah, Desa dan Kota; Sektor Agama; Sektor Pendidikan, Generasi Muda, Kebudayaan Nasional dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; Sektor Kesehatan, Keeejahteraan Sosial, Peranan Wanita, Kependudukan dan Keluarga Berencana; Sektor Perumahan Rakyat dan Pemukiman; Sektor Hukum; Sektor Pertahanan dan Keamanan Nasional; Sektor Penerangan, Pers dan Komunikasi Sosial, Sektor Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Penelitian; Sektor Aparatur Pemerintah; Sektor Pengembangan Dunia Usaha; dan Sektor Sumber Alam dan Lingkungan Hidup.

Sedangkan Susunan menurut Bagian Anggaran meliputi Majelis Permusyawaratan Rakyat; Dewan Perwakilan Rakyat; Dewan Pertimbangan Agung; Badan Pemeriksa Keuangan; Mahkamah Agung; Kepresidenan; Sekretariat Negara; Lembaga-lembaga Pemerintah Non Departemen; Departemen Dalam Negeri; Departemen Luar Ne-geri; Departemen Pertahanan dan Keamanan; Departemen Kehakiman; Departemen Penerangan; Departemen Keuangan; Pembiayaan dan Perhitungan; Departemen Perdagangan dan Koperasi; Depar- temen Pertanian; Departemen Perindustrian; Departemen Pertambangan dan Energi; Departemen Pekerjaan Umum; Departemen Pen

XXII/68

didikan dan Kebudayaan; Departemen Kesehatan; Departemen Aga-ma; Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi; dan Departemen Sosial.

Dalam susunan menurut Bagian Anggaran di antaranya terda-pat Bagian Anggaran yang karena sifatnya dimasukkan dalam Ba-gian Pembiayaan dan Perhitungan atau lebih dikenal dengan Ba-gian XVI. Dalam bagian ini terdapat sejumlah pembiayaan untuk penyertaan modal Pemerintah dalam badan-badan usaha milik Ne-gara, berbagai program bantuan kepada Daerah atau Inpres, pembangunan yang dikhususkan di Propinsi Timor Timur, dan la-in sebagainya.

Dalam hal revisi DIP tatacaranya sejak tahun anggaran 1979/80 berdasarkan Keppres No.14 tahun 1979 telah diberikan kelonggaran yang lebih luas kepada Departemen/Lembaga untuk mengadakan perubahan/penggeseran hal-hal tertentu bilamana keadaan memerlukannya. Kriteria pokok revisi adalah volume pekerjaan dan biaya tiap-tiap tolok ukur. Biaya sesuatu tolok ukur dapat terdiri dari satu atau beberapa jenis pengeluaran.

Kewenangan-kewenangan memutuskan perubahan/penggeseran biaya dalam batas yang disediakan dalam suatu DIP ditetapkan sebagai berikut:

a. Pemimpin Proyek untuk perbaikan sampai setinggi-tingginya 10% di atas atau di bawah volume tolok ukur yang tercantum dalam DIP sepanjang tidak melampaui batas biaya yang ter-sedia untuk keperluan itu;

b. Pemimpin Proyek dengan persetujuan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Anggaran setempat untuk perubahan sam-pai setinggi-tingginya 15% di atas atau di bawah biaya untuk tolok ukur yang tercantum dalam DIP sepanjang tidak melampaui volume tolok ukur yang tercantum dalam DIP;

c. Menteri/Ketua Lembaga untuk perubahan setinggi-tingginya 20 % di bawah volume tolok ukur yang tercantum dalam DIP sepanjang tidak melampaui batas biaya yang tersedia untuk keperluan itu; juga perubahan sampai setinggi-tingginya 20 % di atas atau di bawah biaya untuk tolok ukur yang ter-cantum dalam DIP sepanjang tidak melampaui batas volume tolok ukur yang tercantum dalam DIP.

Demikian pula ketentuan mengenai pemrosesan revisi DIP diusahakan sedemikian rupa sehingga dapat dilakukan secara lebih cepat.

XXII/69

Dalam usaha memperlancar prosedur pembiayaan pembangunan maka beberapa kewenangan yang semula dimiliki oleh Kantor Perbendaharaan Negara telah dilimpahkan kepada Pemimpin Pro-yek. Jika dahulu KPN mempunyai wewenang dan tanggungjawab da-lam mengadakan pengujian atas tagihan terhadap tagihan Nega-ra, maka kini wewenang dan tanggungjawab tersebut sebagian beralih kepada wewenang dan tanggungjawab pelaksana opera-sional dan sebagian kepada Departemen/Lembaga yang bersang-kutan. Dalam DIP juga tidak lagi terdapat uraian terperinci penggunaan dana anggaran. Perincian tersebut terdapat dalam PO yang disampaikan kepada Pemimpin Proyek tanpa pengiriman tembusan/salinannya kepada KPN. Dengan demikian KPN tidak la-gi mengadakan pengujian terhadap kesesuaian dengan tujuan pe-ngeluaran anggaran ketika menerima Surat Permintaan Pembayar-an Pembangunan (SPJP).

Selanjutnya juga diusahakan penyerasian dalam penyusunan anggaran untuk proyek-proyek yang memperoleh bantuan proyek/ bantuan teknik. Hal ini dimaksudkan agar terdapat hubungan yang lebih jelas antara pembiayaan rupiah dari anggaran pembangunan dengan pembiayaan yang berasal dari bantuan proyek/bantuan teknik.

Secara terus menerus juga diadakan peningkatan keserasian hubungan institusional antara Bappenas dan Departemen Keuang-an maupun dengan Departemen/Lembaga lainnya dengan maksud agar terdapat kesesuaian jadwal waktu dalam penyusunan RAPBN, keseragaman dalam pengolahan DIP, kerjasama dalam pengaturan pelaksanaan anggaran dan lain sebagainya.

3. Prosedur pelaksanaan anggaran pembangunan

Rencana operasional tahunan yang tertuang dalam APBN me-rupakan pelaksanaan dari Repelita. RAPBN yang diajukan oleh Pemerintah dengan Nota Keuangan pada minggu pertama bulan Ja-nuari kepada DPR dan melalui pembahasan secara intensif dise-tujui oleh DPR menjadi APBN dalam bentuk Undang-undang. Se-dangkan pedoman pelaksanaannya dirumuskan dalam bentuk Kepu-tusan Presiden. Undang-undang serta Keputusan Presiden dimak-sud mulai tahun 1977/78 sampai dengan tahun 1982/83 adalah sebagai berikut:

XXII/70

TahunAnggaran UU Tentang APBN

Keputusan Presiden tentangpelaksanaan anggaran tahun

yang bersangkutan

1977/78 UU No. 1 tahun 1977 Keppres No. 12 tahun 1977

1978/79 UU No. 1 tahun 1978 Keppres No. 12 tahun 1977

1979/80 UU No. 2 tahun 1979 Keppres No. 14 tahun 1979

1980/81 UU No. 1 tahun 1980 Keppres No. 14 A tahun 1980

1981/82 UU No. 1 tahun 1981 Keppres No. 14 A tahun 1980

jo. No. 18 tahun 1981

1982/83 UU No. 5 tahun 1982 Keppres No. 14 A tahun 1980

jo No. 18 tahun 1981.

Dengan semakin meningkatnya APBN dari tahun ke tahun, terutama Anggaran Pembangunan, diperlukan tatacara sedemikian sehingga pelaksanaan operasionalnya semakin lancar, tetapi tetap tertib, terarah dan aman. Agar semakin besar daya serap anggaran untuk dapat mengikuti semakin meningkatnya kegiatan-kegiatan pembangunan maka penyempurnaan pedoman pelaksanaan APBN selalu diusahakan. Mulai tahun anggaran 1980/81 pedoman pelaksanaan APBN yang sebelumnya diatur setiap tahun mengiku-ti UU tentang APBN tahun yang bersangkutan, maka pada tahun anggaran 1980/81 penyempurnaan dituangkan dalam Keppres No. 14 A tahun 1980 yang diusahakan menjadi pedoman pokok bagi pelaksanaan APBN setiap tahunnya. Dalam tahun 1981/82 Keppres No. 14 A tahun 1980 itu disempurnakan lagi dengan Keppres No. 18 tahun 1981. Beberapa penyempurnaan terhadap Keppres No. 14 A tahun 1980 atas dasar Keppres No. 18 tahun 1981 menyangkut keikut-sertaan pengusaha golongan ekonomi lemah dalam pelela-ngan untuk pemborongan/pembelian dengan maksud agar pemberian berbagai kelonggaran kepada golongan ekonomi lemah tersebut dapat mencapai sasarannya.

Selanjutnya untuk lebih lancarnya pelaksanaan pembiayaan maka atas dasar Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara telah dirumuskan pedoman prakualifikasi di tingkat Daerah yang berisi petunjuk-petunjuk tentang tatacara re-gistrasi dan klasifikasi pekerjaan pemborongan, pengadaan barang dan jasa serta jasa konsultan. SKB 3 Menteri tersebut menunjukkan usaha Pemerintah yang lebih positif guna mencip-

XXII/71

takan pemerataan serta guna adanya jaminan pelaksanaan sesuai dengan persyaratan tertentu yang telah ditetapkan. SKB 3 Men-teri itu yang berlaku sejak 1 Maret 1982 mengatur setiap pa-ket pekerjaan dengan biaya sampai Rp. 100 juta harus dilaksa-nakan oleh rekanan/pemborong di lingkungan propinsi yang ber-sangkutan dengan pelanggan terbatas. Untuk pelelangan berni- lai Rp. 500 juta lebih dicarikan rekanan/pemborong dari luar propinsi yang bersangkutan sepanjang di propinsi tersebut ti-dak ada rekanan/pemborong yang mampu.

Dalam pada itu pelaksanaan operasional proyek-proyek di-laksanakan atas dasar Petunjuk Operasional yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal atau Pejabat setingkat pada Departe-men/Lembaga yang membawahi proyek untuk mempertegas tanggung-jawab atasan langsung terhadap pelaksanaan fisik dan keuangan proyek. Hal ini merupakan penggeseran tekanan pengawasan dari pre-audit ke pengawasan post-audit. Demikian pula Bendahara-wan didudukkan sebagai pejabat komtabel murni sesuai dengan ketentuan-ketentuan Undang-undang Perbendaharaan Negara. Se-lanjutnya pengujian kebenaran atas tagihan Negara yang sebe-lumnya dilakukan oleh KPN, sekarang oleh pelaksana operasio-nal, yaitu Pemimpin Proyek. Batas waktu telah di persingkat dari 3 hari seperti sebelum tahun 1980/81, menjadi 2 hari.

Mengenai pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran dapat disebutkan bahwa menurut ketentuannya Pemimpin Proyek mengi-rimkan Surat Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pem-bangunan (SPJP) aelambat-lambatnya pada tanggal 10 tiap bulan kepada Direktur Jenderal atau Pejabat setingkat pada Departe-men/Lembaga yang membawahkan proyek bersangkutan dengan tem-busan kepada Inspektur Jenderal Departemen/Pimpinan Unit Pengawasan pada Lembaga bersangkutan dan kepada Kepala KPN serta Biro Keuangan Departemen/Lembaga dengan disertai tanda bukti pengeluaran bersangkutan. Setelah bukti pengeluaran dicheck oleh Direktur Jenderal atau Pejabat setingkat pada Departemen/Lembaga, kemudian disampaikan kepada Biro Keuangan Departemen/Lembaga. Dengan pengiriman SPJP penelitian per-tanggungjawaban pada tingkat post-audit dilakukan oleh aparat Departemen/Lembaga sendiri. Selambat-lambatnya dalam waktu satu bulan setelah penerimaannya KPN menyelesaikan pemeriksa-an dan mengirimkan SPJP kepada Kantor Wilayah Direktorat Jen-deral Anggaran disertai tembuaan tanda bukti pengeluaran dan catatan hasil pemeriksaan/penelitiannya.

Di samping SPJP yang dikirimkan oleh Pemimpin Proyek, Bendaharawan Proyek selambat-lambatnya pada tanggal 10 tiap

XX/72

bulan mengirimkan Laporan Keadaan Kas Pembangunan (LKKP) me-ngenai bulan yang baru lalu kepada KPN. Dalam hal ini Direk-tur Jenderal atau Pejabat setingkat pada Departemen/Lembaga perlu mengambil langkah-langkah penyelesaian apabila terjadi kelambatan penyampaian LKKP tersebut.

Mengenai beberapa batas pembiayaan maka ketentuan-keten-tuannya telah mengalami perkembangan sebagai berikut :

a. pembayaran beban sementara Rp. 2 juta pada tahun 1978/79 menjadi Rp.3 juta pada tahun 1979/80 dan dinaikkan lagi sejak tahun 1980/81 menjadi Rp.5 juta.

b. Batas untuk penunjukan pemborong/rekanan melalui Surat Perintah Kerja (SPK) atau surat perjanjian berdasarkan penawaran yang masuk sebesar Rp. 5 juta pada tahun 1978/-79 menjadi Rp.10 juta pada tahun 1979/80 dan dinaikkan lagi pada tahun anggaran 1980/81 menjadi Rp. 20 juta.

c. Batas untuk pemborongan/pembelian yang bernilai di atas Rp. 10 juta sampai dengan Rp. 25 juta melalui pelelangan antara pemborong/rekanan golongan ekonomi lemah dengan mengutamakan pemborong/rekanan setempat yang berlaku pada tahun 1979/80 dinaikkan menjadi di atas Rp. 20 juta sam-pai dengan Rp. 50 juta mulai tahun 1980/81.

d. Batas untuk pemborongan/pembelian yang bernilai di atas Rp. 25 juta sampai dengan Rp. 50 juta melalui pelelangan dengan memberikan kelonggaran kepada pemborong/rekanan golongan ekonomi lemah sebesar 5 % di atas harga penawar-an dari peserta yang tidak termasuk dalam golongan ekono-mi lemah yang berlaku pada tahun 1979/80 dinaikkan menja-di di atas Rp. 50 juta sampai dengan Rp. 100 juta dan pemberian kelonggaran sebesar 10 % mulai tahun 1980/81.

Penyempurnaan selanjutnya dalam Keppres No. 18 tahun 1981 menentukan bahwa pemborong/rekanan yang memperoleh pekerjaan pemborongan/pembelian barang dengan kelonggaran 10 % tersebut harus melaksanakan sendiri dan dilarang menyerahkannya kepada pihak lain. Pelanggaran terhadap ketentuan ini mengakibatkan dibatalkannya kontrak dan dikeluarkannya kontraktor/rekanan golongan ekonomi lemah bersangkutan dari "Daftar Rekanan yang Mampu". Penyempurnaan lainnya ialah apabila dalam pelelangan untuk pemborongan/pembelian yang terpilih adalah pemborong/-rekanan yang tidak termasuk golongan ekonomi lemah, maka da-lam kontrak ditetapkan kewajiban pemborong/rekanan tersebut untuk bekerjasama dengan pemborong/rekanan golongan ekonomi lemah setempat antara lain sebagai sub-kontraktor atau leve-ransir. Pelanggaran terhadap ketentuan ini juga mengakibatkan

XXII/73

pembatalan kontrak dan pengeluaran pemborong/rekanan ber-sangkutan dari DRM.

Dalam rangka usaha untuk membantu pemborong/rekanan go-longan ekonomi lemah diadakan ketentuan bahwa pemborong/re-kanan yang memperoleh kontrak pemborongan pekerjaan atau kon-trak pembelian Pemerintah dapat menggunakan kontrak tersebut sebagai bahan untuk memperoleh fasilitas pembayaran uang muka dari nilai perjanjian dan/atau fasilitas kredit dari Bank Pe-merintah guna pembiayaan pelaksanaan kontrak. Ketentuan ini telah dilengkapi dengan tatacara berdasarkan Surat-surat Ke-putusan Menteri Keuangan dan Direksi Bank Indonesia.

Mengenai kontrak "multiyears", yaitu kontrak untuk pelak-sanaan pekerjaan yang mengikat dana anggaran untuk masa lebih dari satu tahun anggaran, ketentuannya pun telah dilengkapi dengan tatacara yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bersama Departemen Keuangan dan Bappenas.

Dalam pada itu prosedur pelelangan ditetapkan asas yang lebih terbuka dengan pengumuman dan penjelasan kepada Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) serta asosiasi anggota KADIN yang bersangkutan. Demikian pula ketentuan tempat di-adakannya pelelangan yang lebih jelas untuk masing-masing ni-lai pelelangan dengan batas tertentu. Juga diperjelas keten-tuan tentang pembentukan Panitia Prakualifikasi baik di ma-sing-masing Departemen/Lembaga maupun di masing-masing Daerah.

Penyempurnaan-penyempurnaan sebagaimana dikemukakan di atas menunjukkan adanya kaitan pelaksanaan APBN dengan usaha pemerataan, terutama pemerataan kesempatan berusaha, pemera-taan kesempatan kerja dan pemerataan pembangunan di semua Da-erah dan pemerataan pendapatan. Demikian pula lebih diperluas desentralisasi kewenangan dan dilakukan pengembangan pedoman operasional yang lebih jelas.

4. Pengendalian pelaksanaan proyek

Dalam setiap Keppres tentang Pelaksanaan APBN pada pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa tahun anggaran berlaku dari tang-gal 1 April sampai dengan tanggal 31 Maret tahun berikutnya. Dihubungkan dengan pasal 68 ayat (1) yang menetapkan bahwa Pemimpin Proyek bertanggungjawab baik dari segi keuangan mau-pun dari segi fisik untuk proyek yang dipimpin sesuai dengan DIP dan PO untuk proyek tersebut, serta ayat (4) yang menen-tukan bahwa Pemimpin Proyek bertanggungjawab atas penyelesaian proyek tepat pada waktunya maka secara jelas berarti bahwa dalam pelaksanaan proyek Pemimpin Proyek berkewajiban untuk

XXII/74

selalu berusaha melakukan kegiatan-kegiatan sesuai dengan ta-hap-tahap sebagaimana telah dijadwalkan dalam PO berdasarkan DIP dari proyek yang bersangkutan. Namun demikian tidak ja-rang terjadi bahwa dalam pelaksanaannya timbul hal-hal yang semula tidak diduga yang menghambat kelancaran pelaksanaan. Untuk hal itu diperlukan adanya sistem pengendalian proyek.

Sistem pengendalian proyek-proyek pembangunan yang dika-itkan dengan pelaporan agar perkembangan pelaksanaan proyek dapat diikuti, dinilai dan diidentifikasi masalah-masalahnya guna diadakan tindak lanjut berupa tindakan korektif atau pe-mecahan secepatnya. Pelaporan didasarkan pada paaal 68 ayat (3) yang menyatakan bahwa Pemimpin Proyek bertanggungjawab atas penyampaian laporan-laporan pada waktunya kepada peja-bat-pejabat yang ditentukan. Selanjutnya pasal 75 serta Lam-piran II Keputusan Presiden No. 14 A tahun 1980 tersebut me-nentukan kewajiban Pemimpin Proyek serta BAPPEDA Tingkat I untuk menyampaikan laporan triwulan baik mengenai DIP tahun bersangkutan maupun mengenai DIP SIAP. Pemimpin Proyek me-nyampaikan laporannya kepada Menteri/Ketua Lembaga bersang-kutan, Menteri Keuangan, Menteri Kordinator Bidang EKUIN/Ke-tua BAPPENAS, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I bersangkutan untuk perhatian Ketua BAPPEDA Tingkat I, Menteri Negara Peng-awasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) dan Inspektur Jenderal Departemen/Pemimpin Unit Pengawasan pada Lembaga bersangkutan, selambat-lambatnya 1 bulan setelah berakhirnya triwulan bersangkutan. BAPPEDA Tingkat I menyampaikan laporan triwulan dari proyek-proyek yang ada di Daerahnya kepada Gu-bernur Kepala Daerah Tingkat I, Menteri Keuangan, Menteri Kordinator Bidang EKUIN/Ketua BAPPENAS dan Menteri Negara PPLH, juga selambat-lambatnya 1 bulan setelah berakhirnya triwulan bersangkutan.

Laporan pelaksanaan proyek yang terdiri dari 4 halaman formulir B-1 berisi data dan informasi faktual tentang status perkembangan proyek yang terperinci dalam data umum, data keuangan, tolok ukur dan sasaran usaha, persentase realisasi pencapaian sasaran-sasaran fisik/pembiayaan/fungsional pro-yek, masalah-masalah yang dijumpai, tindak lanjut yang diper-lukan, instansi-instansi yang diharapkan dapat membantu pe-nyelesaian dan catatan-catatan lain dari pelapor.

Di samping itu ditentukan pula bahwa Gubernur Kepala Dae-rah Tingkat I mengikuti dan mengawasi perkembangan proyek-proyek yang ada di Daerahnya baik berdasarkan laporan dari Pemimpin Proyek dan BAPPEDA Tingkat I maupun dengan melakukan penelitian sendiri serta dengan mengadakan pertemuan berkala

XXII/75

dengan para Pemimpin Proyek/Bendaharawan Proyek dalam wila-yahnya. Dalam mengadakan pertemuan berkala diikutsertakan pu-la Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Anggaran atau Kepala KPN dalam hal di ibukota propinsi tidak terdapat Kan-tor Wilayah Direktorat Jenderal Anggaran. Selanjutnya Guber-nur Kepala Daerah Tingkat I melaporkan secara berkala ataupun sewaktu-waktu mengenai keadaan suatu proyek atau proyek-pro-yek bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Nege-ri, Departemen/Lembaga bersangkutan, Menteri Keuangan, Mente-ri Kordinator bidang EKUIN/Ketua BAPPENAS dan Menteri Negara PPLH.

Selanjutnya perkembangan pelaksanaan Anggaran Pembangunan yang sebagian terbesar digunakan untuk membiayai proyek-pro-yek pembangunan dilaporkan secara berkala oleh Menteri Ke-uangan dan Menteri Kordinator Bidang EKUIN/Ketua BAPPENAS ke- pada Presiden dan Wakil Presiden.

Di samping sistem pengendalian secara nasional terdapat pula berbagai kegiatan pelaporan yang sistemnya dikembangkan oleh Departemen/Lembaga masing-masing dalam usaha pengendali-an program atau proyek yang menjadi tanggungjawabnya.

Pada tahun anggaran 1982/83 Bappenas dan Ditjen Anggaran telah menelaah usaha perbaikan sistem pengisian DIP dan Lem-baran Kerja (LK) yang berkaitan pula dengan usaha penyempur-naan sistem pengendalian. Penelahaan tersebut antara lain te-lah dapat menghasilkan perumusan batasan dan arti bagian pro-yek dan tolok ukur sehingga diharapkan akan memudahkan peng-ukuran perkembangan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan.

Pelaporan lain yang perlu disebutkan ialah laporan bulan-an dalam bentuk Surat Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pembangunan (SPJP) yang selambat-lambatnya pada tanggal 10 tiap bulan dikirimkan oleh Pemimpin Proyek kepada Direktur Jenderal/Pejabat setingkat yang membawahkan proyek bersang-kutan dengan tembusan kepada Inspektur Jenderal/Unit Penga-wasan Lembaga dan Kepala KPN setempat. Demikian pula Laporan Keadaan Kas Anggaran Pembangunan (LKKP) yang dikirimkan oleh Bendaharawan Proyek selambat-lambatnya pada tanggal 10 tiap bulan kepada KPN setempat. Baik tembusan SPJP dari para Pe-mimpin Proyek maupun LKKP dari para Bendaharawan Proyek sete-lah diolah oleh KPN dikirimkan kepada Pusat Analisa Informasi Keuangan Departemen Keuangan untuk diproses lebih lanjut se-hingga menjadi laporan bulanan mengenai perkembangan pelaksa-naan Anggaran Pembangunan yang disusun menurut Sektor/Sub Sektor/Program, menurut Departemen/Lembaga dan menurut Pro- pinsi Daerah Tingkat I.

XXII/76

Tujuan dari kesemua pelaporan tersebut di atas dalam rangka pengendalian pelaksanaan proyek-proyek pembangunan ialah supaya pelaksanaan proyek terselenggara secara lebih baik sehingga tercapai tujuannya sesuai dengan rencana dan jadwal waktu yang telah ditetapkan.

5. Pengawasan Keuangan Negara

Dalam pengelolaan keuangan Negara segala usaha diarahkan agar kegiatan di bidang keuangan Negara menuju pada sasaran yang telah ditentukan. Dalam rangka usaha tersebut telah di-keluarkan berbagai peraturan yang harus diikuti oleh setiap pelaksana keuangan Negara. Makin baik dan makin terarahnya suatu peraturan, makin besar kemungkinan ketepatan pencapaian sasaran serta makin terhindar pula keuangan Negara dari kebo-coran atau penghamburan.

Salah satu peraturan penting yang cukup terarah dewasa ini ialah Keppres No. 14A tahun 1980 yang disempurnakan dengan Keppres No.18 tahun 1981 tentang Pelaksanaan APBN karena di antara lain lebih menegaskan selain peningkatan pengawasan fungsional juga kewajiban atasan untuk mengawasi bawahan. Pengawasan pelaksanaan kegiatan seorang pelaksana adalah tugas dari atasan langsungnya yang merupakan tugas yang melekat pada setiap jabatan, seperti halnya kewajiban setiap atasan untuk memberikan petunjuk operasional kepada bawahannya.

Usaha untuk menggiatkan pelaksanaan pengawasan oleh atas-an langsung ini disertai juga langkah-langkah untuk makin me-ningkatkan kegiatan aparat fungsional pengawasan. Dalam hubu-ngan ini Inspektur Jenderal Departemen/Pimpinan Unit Pengawa-san pada Lembaga telah diberikan sarana yang lebih memadai, antara lain melalui peningkatan anggaran belanjanya serta pe-ningkatan jumlah dan mutu para petugas pengawasan. Sesuai de-ngan fungsinya, Inspektorat Jenderal Departemen tidak hanya mengawasi pelaksanaan anggaran, serta pelaksanaan tugas pokok Departemen, tetapi juga menekankan kegiatan pengawasannya pa-da hal-hal yang menyangkut disiplin dan ketertiban dalam De-partemennya.

Organisasi Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara Departemen Keuangan sebagai aparatur pengawasan intern ting-kat eksekutif juga terus-menerus dikembangkan sesuai dengan meningkatnya kebutuhan pemeriksaan di Daerah karena bertam- bahnya proyek-proyek pembangunan. Sehubungan dengan itu pada

XXII/77

tahun 1980 telah dibuka 3 buah Kantor Pengawasan Keuangan Ne-gara yang baru, yaitu di Kupang, Jambi dan Palu, sedangkan Kantor Akuntan Negara di Palembang telah ditingkatkan kedu-dukannya menjadl Kantor Wilayah DJKPN.

Penambahan tenaga pemeriksa terus dilakukan melalui pen-didikan pembantu akuntan, ajun akuntan dan akuntan, sehingga dewasa ini DJPKN memiliki 2.564 orang tenaga pemeriksa yang terdiri dari 988 orang akuntan, 1.041 orang ajun akuntan dan 270 orang pembantu akuntan, ditambah pula dengan 265 orang tenaga sarjana dan sarjana muda yang dijadikan tenaga peme-riksa setelah mendapatkan pendidikan tambahan. Dibandingkan dengan 5 tahun yang lalu jumlah tenaga pemeriksa itu menun-jukkan kenaikan sebesar 31,7%.

Pemeriksaan atas anggaran yang dilakukan oleh DJPKN pada umumnya dapat dibedakan antara pemerikaaan rutin dan pemerik-saan serentak. Pemeriksaan rutin ialah pemeriksaan yang dila-kukan sehari-hari dan karena hasil pemeriksaan rutin ini be- lum dapat memberikan gambaran menyeluruh maka pemeriksaan di- lengkapi dengan pemeriksaan serentak yang sifatnya menyelu- ruh. Untuk menjaga hasil pemeriksaan para pemeriksa maka te-lah dikeluarkan buku norma pemeriksaan, buku pedoman pemerik-saan serta berbagai petunjuk prosedur pemeriksaan.

Kegiatan pemeriksaan serentak selalu ditingkatkan agar dapat mengimbangi peningkatan kegiatan pembangunan dan pe-ningkatan jumlah anggarannya. Karena itu jumlah proyek yang diperiksa dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada akhir ta-hun Repelita I diperiksa 1.956 proyek, pada akhir Repelita II naik menjadi 3.178 proyek dan pada tahun ketiga Repelita III yang diperiksa bertambah lagi menjadi 4.821 proyek. Demikian pula pemeriksaan secara rutin terus menerus ditingkatkan ke-giatannya sehingga jumlah laporan hasil pemeriksaan dari tahun ke tahun terus bertambah. Kalau pada tahan 1978/79 jumlah laporan yang dikeluarkan adalah 4.620 buah, maka pada tahun 1981/82 laporan yang diterbitkan meningkat menjadi 9.508 buah.

Dari hasil pemeriksaan tampak kemajuan di dalam disiplin para pelaksana proyek yang ternyata dari perkembangan jumlah berita acara yang tidak benar dan realisasi fisik yang tidak sesua dengan DIP. Gambarannya pada akhir Repelita I, Repeli-ta I dan pada tahun ketiga Repelita III mengenai berita aca-ra yang tidak benar itu masing-masing ialah 0,20%, 0,14% dan 0,09% dari nilai yang diperiksa. Jumlah kejadian realisasi fisik yang tidak sesuai dengan DIP juga menunjukkan perkem-bangan yang lebih baik meskipun jumlah proyek dari tahun ke

XXII/78

tahun makin meningkat, yaitu pada akhir Repelita I terdapat 0,17 per proyek, pada akhir Repelita II terdapat 0,04 kejadi-an per proyek, sedangkan pada tahun ketiga Repelita III ter-dapat 0,07 kejadian per proyek.

Mengenai perkembangan banyaknya pemeriksaan serentak atas proyek-proyek dari tahun 1977/- 78 sampai dengan tahun 1981/akhir 1982 dapat dilihat pada Tabel XXII - 10, sedangkan mengenai hasil-hasil pemeriksaan dalam tahun 1977/78 sampai dengan tahun 1981/akhir 1982 dapat diketahui pada Tabel XXII - 11.

Dapat ditambahkan bahwa yang diteliti dalam pemeriksaan anggaran adalah pelaksanaan dan pengaturan organisasi, pelak-sanaan prosedur, pembiayaan dan pelaksanaan pekerjaan. Sesuai dengan kebutuhan akan informasi bagi Pemerintah mengenai pe-laksanaan program-program pembangunan dan hasil-hasill yang dicapai, sasaran penilaian di dalam pemeriksaan diperluas, yaitu tidak terbatas pada segi keuangan saja akan tetapi juga sampai ke bidang operasional untuk mengetahui apakah kegiat-an-kegiatan pembangunan itu telah dilakukan secara efektif dan efisien. Oleh karena itu sejak tahun 1979 telah dimulai pemeriksaan operasional di samping pemeriksaan finansial.

Berdasarkan Keppres No. 70 tahun 1971 secara fungsional DJPKN juga mempunyai tugas pengawasan atas semua badan hukum publik dan privat yang kekayaannya terdiri dari sebagian ke-kayaan Negara yang dipisahkan atau dibelanjai dengan subsidi Pemerintah atas beban APBN. Di dalam pelaksanaannya pemerik-saan atas Badan Usaha Milik Negara ini meliputi pemeriksaan atas Persero, Perum, Perjan dan perusahaan-perusahaan Negaraa yang didirikan dengan undang-undang teraendiri seperti Perta-mina dan Bank-bank milik Pemerintah. Terhadap badan-badan usaha milik Negara ini pada umumnya dilakukan pemeriksaan terhadap neraca dan perkiraan rugi-laba yang diakhiri dengan pernyataan akuntan yang dapat dipergunakan untuk menilai ke-majuan dan ketertiban adminiatrasinya. Pernyataan wajar atas laporan keuangan Badan Usaha Milik Negara telah menunjukkan keadaan administrasi perusahaan yang semakin bertambah baik. Pada akhir Repelita I dari seluruh Badan Usaha Milik Negara yang diperiksa terdapat 56,5% yang memperoleh pernyataan wa-jar, sedang pada akhir Repelita II persentase tersebut me-ningkat menjadi 64,5% dan pada tahun kedua Repelita III men-jadi lebih baik lagi, yaitu 77,18%.

Penyusunan Perhitungan Anggaran yang merupakan pertang-gungjawaban Pemerintah atas pelaksanaan APBN juga merupakan

XXII/79

TABEL XXII - 10

PELAKSANAAN PEMERIKSAAN SERENTAK OLEH DJPKN¹)TERHADAP PROYEK-PROYEK REPELITA DAN BADAN USAHA NEGARA,

1977/78 - 1981/82

Uraian Satuan 1977/78 1978/79 1979/80 1980/81 1981/822)

Proyek-proyek Repelita proyek 2.552 3.961 5.685 5.627 3.308

(Proyek-Proyek Non Inpres) proyek (1.687) (3 .178) (4.024) (4.334) (1.371)

(Proyek-Proyek Inpres) proyek (835) (783) (1.661) (1.293) (1.937)

Badan Usaha Negara buah 1.230 256 233 370 234

Jumlah : 3.752 4.217 5.918 5.997 3.542

1) Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara

2) Data pada bulan Desember 1982

XXII/80

TABEL XXII-11HASIL-HASIL PEMERIKSAAN SERENTAK OLEH djpkn1) TERHADAP PROYEK-PROYEK REPELITA,

1977/78 – 1981/82

XXII/81

tugas DJPKN. Perhitungan Anggaran Negara itu setelah disusun kemudian diajukan melalui BEPEKA kepada DPR untuk disetujui dan ditetapkan sebagai Undang-undang. Perhitungan Anggaran Negara yang telah berhasil disusun serta disahkan sebagai Un-dang-undang sampai dewasa ini adalah mengenai tahun-tahun 1968/69 Sampai dengan tahun 1978/79 sedangkan Perhitungan Anggaran Negara tahun 1979/80 akan disampaikan kepada DPR da- lam tahun ini.

Dalam rangka makin meningkatkan hasil-hasil kegiatan pe-ngawasan, maka kordinasi pengawasan baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah terus ditingkatkan. Dalam hubungan ini diusahakan tercapainya keseragaman dalam melaksanakan rencana kerja masing-masing yang meliputi sasaran pemeriksa-an, cara memeriksa, cara melaporkan, bentuk laporan dan kesa-maan istilah yang dipergunakan. Untuk memperlancar pembinaan pelaksanaan pengawasan maka berdasarkan tugas yang diberikan oleh Presiden, tugas kordinasi dilakukan oleh Wakil Presiden dengan dibantu oleh Menteri Negara PPLH. Koordinasi pengenda-lian dan pengawasan pembangunan di Daerah Tingkat I diatur dengan Keppres No.20 tahun 1981 yang melibatkan BAPPEDA, Ins-pektorat Wilayah Propinsi, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Anggaran, Kantor Wilayah DJPKN dan Kantor Cabang Bank Indone-sia. Kordinasi melalui Keppres No.20 tahun 1981 itu dimaksud-kan untuk menciptakan mekanisme penyelesaian masalah di ting-kat Daerah yang dapat menghambat pelaksanaan pembangunan.

XXII/82