apa dan siapa : ziauddin sardar (sebuah kumpulan tulisan)

17
Minggu, 15 Oktober 2006 Ziauddin Sardar Menghargai Ketidaktahuan Aku menulis, maka aku ada. Bagi Ziauddin Sardar, menulis seperti halnya menghirup udara, makan, atau tidur: sebuah prasyarat untuk bertahan hidup. ''Aku akan mati jika tak menulis,'' kata pemikir Islam paling terkemuka di Inggris itu, kepada Republika, di Jakarta, Kamis (5/10) pekan lalu. Empat puluh buku telah dilahirkan Zia --panggilan Sardar-- dalam rentang 30 tahun. Ia menulis Aliens R Us: Post Colonial Science Fiction pada 2002. Pada 2004 ia juga menulis kajian politik Why Do People Hate Amerika? (best seller), dan Desperately Seeking Paradise. Sebelumnya Sardar melahirkan The Futures of Muslim Civilization (1979), yang menahbiskannya sebagai futuris peradaban Islam. Jelas, Sardar tak memaku karya-karyanya pada isu-isu keagamaan, tapi juga politik, studi kebudayaan, bahkan sains dan teknologi. Mengapa? Untuk menyingkap realitas, kata Sardar, perlu beragam pendekatan. Untuk menjawab satu pertanyaan, dibutuhkan satu metodologi khusus. Maka, jadilah Sardar seorang polymath: manusia multibidang. Sardar berkaca pada sosok Al-Biruni, cendekiawan muslim Abad Pertengahan, yang juga seorang polymath. ''He is my hero,'' kata Sardar. Al-Biruni meretas batas-batas disiplin ilmu. Ia menulis teks astronomi Abad Pertengahan --kanon Al-Masudi-- sekaligus belajar yoga. Ia menulis sejarah mamoth dunia (Kronologi Bangsa Kuno), namun aktif dalam kegiatan filsafat dan debat teologi di zamannya. Al-Biruni juga berkunjung ke berbagai tempat di dunia dengan beragam budaya. Sardar menyerap inspirasi dari Al-Biruni untuk menjadikan dirinya seperti saat ini. Sardar sekarang adalah guru besar pada Postcolonial Studies, City University, London, meski gelar sarjananya diperoleh dari jurusan teknologi informasi. Sardar juga kondang sebagai penyiar yang wajahnya kerap muncul di televisi Inggris, jurnalis, sekaligus kolumnis di Observer dan New Statesman. Ia kritikus budaya, futuris, sekaligus pemikir Islam kontemporer yang disegani. Seperti Al-Biruni, Sardar pernah tinggal dan berkunjung ke beragam wilayah. Menetap di Arab Saudi (1975-1980), menyaksikan dinamika umat Islam di Irak, Turki, Pakistan, Cina, menyaksikan Revolusi Islam di Iran. Ia sengaja belajar mistik Islam (sufi) sekaligus sempat kecewa dengannya. Sardar juga teman diskusi mantan wakil perdana menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, dan pemikir Islam liberal di sana. Pertarungan sejati Sardar

Upload: joko

Post on 06-Jun-2015

994 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

“Di era global, Islam jangan hanya dipahami secara klasik, melainkan Islam harus dipahami sebagai etika yang dinamis, misalnya jika kita makan tomat di mal yang ternyata tomat produk Amerika, bagaimana hal itu dipahami secara etik?” katanya.[Ziauddin Sardar, dari liputan NU Online, 2005]

TRANSCRIPT

Page 1: Apa dan Siapa : Ziauddin Sardar (sebuah kumpulan tulisan)

Minggu, 15 Oktober 2006Ziauddin Sardar Menghargai Ketidaktahuan

Aku menulis, maka aku ada. Bagi Ziauddin Sardar, menulis seperti halnya menghirup udara, makan, atau tidur: sebuah prasyarat untuk bertahan hidup. ''Aku akan mati jika tak menulis,'' kata pemikir Islam paling terkemuka di Inggris itu, kepada Republika, di Jakarta, Kamis (5/10) pekan lalu.

Empat puluh buku telah dilahirkan Zia --panggilan Sardar-- dalam rentang 30 tahun. Ia menulis Aliens R Us: Post Colonial Science Fiction pada 2002. Pada 2004 ia juga menulis kajian politik Why Do People Hate Amerika? (best seller), dan Desperately Seeking Paradise. Sebelumnya Sardar melahirkan The Futures of Muslim Civilization (1979), yang menahbiskannya sebagai futuris peradaban Islam.

Jelas, Sardar tak memaku karya-karyanya pada isu-isu keagamaan, tapi juga politik, studi kebudayaan, bahkan sains dan teknologi. Mengapa? Untuk menyingkap realitas, kata Sardar, perlu beragam pendekatan. Untuk menjawab satu pertanyaan, dibutuhkan satu metodologi khusus. Maka, jadilah Sardar seorang polymath: manusia multibidang.

Sardar berkaca pada sosok Al-Biruni, cendekiawan muslim Abad Pertengahan, yang juga seorang polymath. ''He is my hero,'' kata Sardar. Al-Biruni meretas batas-batas disiplin ilmu. Ia menulis teks astronomi Abad Pertengahan --kanon Al-Masudi-- sekaligus belajar yoga. Ia menulis sejarah mamoth dunia (Kronologi Bangsa Kuno), namun aktif dalam kegiatan filsafat dan debat teologi di zamannya. Al-Biruni juga berkunjung ke berbagai tempat di dunia dengan beragam budaya.

Sardar menyerap inspirasi dari Al-Biruni untuk menjadikan dirinya seperti saat ini. Sardar sekarang adalah guru besar pada Postcolonial Studies, City University, London, meski gelar sarjananya diperoleh dari jurusan teknologi informasi. Sardar juga kondang sebagai penyiar yang wajahnya kerap muncul di televisi Inggris, jurnalis, sekaligus kolumnis di Observer dan New Statesman. Ia kritikus budaya, futuris, sekaligus pemikir Islam kontemporer yang disegani. Seperti Al-Biruni, Sardar pernah tinggal dan berkunjung ke beragam wilayah.

Menetap di Arab Saudi (1975-1980), menyaksikan dinamika umat Islam di Irak, Turki, Pakistan, Cina, menyaksikan Revolusi Islam di Iran. Ia sengaja belajar mistik Islam (sufi) sekaligus sempat kecewa dengannya. Sardar juga teman diskusi mantan wakil perdana menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, dan pemikir Islam liberal di sana. Pertarungan sejati Sardar adalah: bagaimana mewujudkan revivalisme Islam di zaman modern ini. Bagaimana Islam dapat cocok di abad ke-21 dan kembali meraih peradaban adiluhung yang sempat lepas.

Jika ditelusuri, kegelisahan Sardar adalah bermula dari bakatnya untuk selalu kritis terhadap sesuatu. ''Saya termasuk yang percaya pada pertanyaan. Bertanya, bagi saya adalah fundamental. Anda lihat buku-buku saya penuh dengan pertanyaan. Why do people hate America, misalnya,'' terang Sardar.

Sekali lagi, ia terinspirasi Al-Biruni. Dalam kacamata Al-Biruni, setiap Muslim memiliki hak untuk mengajukan pertanyaan, bahkan harus melakukannya. Pertanyaan itu mencakup wilayah apa saja, termasuk soal Tuhan dan kepercayaan. Sardar banyak menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. ''Kemudian saya harus menuliskannya,'' terang dia. Karena itulah menulis adalah sebuah konsekuensi, sekaligus kebutuhan, dari pengembaraan intelektual Sardar.

Tulisan (buku) itu sendiri, menurut Sardar, adalah pilar fundamental bagi suatu masyarakat. Masyarakat akan mati tanpa tulisan (buku). ''Bukankah penulis adalah seseorang yang merefleksikan dan membangun kesadaran kolektif tentang masa depan masyarakatnya? Bagaimana seandainya masyarakat tidak tahu masa depan mereka sendiri,'' tanya dia.

Page 2: Apa dan Siapa : Ziauddin Sardar (sebuah kumpulan tulisan)

Dan penulis, kata Sardar, harus memulai sesuatunya dari pertanyaan atau bersikap kritis. Itu pulalah yang dilakukan Nabi Muhammad saat menerima wahyu pertama 'Iqra' (bacalah). Nabi berusaha menggugatnya, ''Aku tak bisa membaca.''

Bagi Sardar, ini adalah pesan yang kuat. Mengapa dalam wahyu pertama, Tuhan menyuruh Nabi untuk 'membaca', alih-alih mewajibkan shalat, puasa, atau zakat. Dalam wahyu pertama pula, Tuhan menyebut soal kegiatan 'menulis'. Yakni pada ayat yang menyebutkan bahwa Tuhan mengajar manusia lewat perantaraan kalam. Karena itulah, terang Sardar, bertanya, mencari jawaban, dan menulis, adalah aspek amat fundamental dalam Islam.

Peran ibuLahir di Pakistan pada 1951, hijrah ke Hackney, Inggris di usia sembilan tahun, Sardar belajar Alquran di pangkuan ibunya. Di Pakistan, anak-anak bersekolah di madrasah. Di Inggris, budaya sekular amat kental. Sang ibu khawatir Sardar tercerabut dari tradisi keislamannya. Berbekal buku Elementary of Teaching Islam sang ibu menjadi guru madrasah bagi Sardar kecil. Sekaligus inspiratornya.

Ada tiga jenis jawaban yang diberikan ibunya atas pertanyaan-pertanyaan Sardar, yakni: 'Ya', 'Tidak', dan 'Tidak Tahu'. Sang ibu tak malu untuk bilang tidak tahu. Dari situ Sardar kecil diajarkan sikap untuk mengakui ketidaktahuan. Tidak tahu bukan aib, tetapi langkah awal untuk bersama-sama mencari tahu.

Pengetahuan itu sendiri, kata Sardar, adalah kekuatan sekaligus kekuasaan --knowledge is power. Kekuasaan, kata dia, tidak terletak pada gagang senjata. Yang memungkinkan senjata tercipta adalah pengetahuan (buku). Inilah yang membuat Barat menjadi kekuatan dominan. ''Mereka paham bahwa power sesungguhnya terletak pada pengetahuan,'' kata Sardar.

Minggu, 17 September 2006RESENSI Perjalanan Spiritual-Intelektual Sardar

Meskipun banyak memotret kegiatan tabligh Ziauddin Sardar, buku ini sebenarnya adalah perjalanan spiritual-intelektual Sardar dan perkembangan pemikiran Islam kontemporer di Eropa. Sardar memang dikenal sebagai pemikir Islam mutrakhir. Tapi, ia juga seorang broadcaster, pakar teknologi dan informasi, jurnalis, dan penulis produktif. Saat ini ia mengajar di City University, London.

Lahir pada 1951 di Dipalpur, Pakistan Utara, sejak kecil Sardar berimigrasi ke London bersama keluarganya. Sebagai cendekiawan ia telah menulis lebih dari 40 judul buku. Salah satu bukunya yang ditulis bersama Merryl Wyn Davies, Why Do People Hate America, mencatat bestseller internasional. Ia juga kontributor berkala New Statesman.

Dalam buku Desperately Seeking Paradise -- juga mencatat best seller -- Sardar menggambarkan kehidupan umat Islam di Inggris, yang kini mencapai lebih dari satu juta jiwa. Suatu jumlah yang terus meningkat, sekalipun akhir-akhir ini mereka sering mendapat tekanan politik sebagai dampak dari isu terorisme global.

Dengan menarik Sardar menceritakan kegiatan jamaah tabligh yang datang dari Karachi untuk melakukan tabligh di Inggris. Salah satu anggota jamaah itu adalah Mashud Sahib, yang rela meninggalkan usaha rempah-rempahnya di Pakistan dan istri serta delapan anaknya, untuk berkeliling Eropa mengajak orang-orang datang ke masjid. Dengan gigih para anggota jamaah itu berkelana selama dua tahun di jalan-jalan Eropa. Sambil membunyikan lonceng mereka mengajak siapa saja untuk ikut dalam perdebatan Socrates guna mengenalkan pandangan dan dunia mereka.

Saat Sardar memulai petualangannya bersama para pengikut tabligh, FOSIS (Federawsi Mahasiswa di Inggris dan Irlandia) telah menjadi bagian hidupnya selama beberapa tahun. Pelajar Muslim di Inggris adalah wajah kecil dunia Islam yang tak hanya

Page 3: Apa dan Siapa : Ziauddin Sardar (sebuah kumpulan tulisan)

menyebar secara etnis dan geografis, tetapi juga tradisi, modernitas, beserta perkembangan dan bentuknya.

Sardar mencatat ada dua katagori anggota di dalamnya: pelajar yang melanjutkan jenjang pendidikan di Inggris, dan hippies Amerika yang setelah melakukan pencarian panjang kemudian memeluk Islam dan menjadi sufi. Aku, kata Sardar, adalah tetes pertama dari gelombang ketiga. Lahir dari orangtua imigran yang dibesarkan serta belajar di Inggris dan mencapai pendidikan tinggi.

Sardar juga mencatat kedatangan ulama terkemuka Pakistan, Sayyid Abulala Maududi, seorang pembaharu politik Islam yang mendambakan berdirinya negara Islam. Mawdudi, yang juga jurnalis, telah merenungkan keadaan umat Muslim selama beberapa dekade sebelum menyimpulkan bahwa tak akan ada parpol kaum Muslimin yang berhasil tanpa bersandar pada standar tinggi etika dan moralitas Islam, yaitu parpol yang mendesak kaum Muslim untuk menerima dan mengamalkan Islam tanpa kecuali.

Ketika diwawancarai oleh The Muslim, Maududi berpendapat bahwa mendirikan negara Islam melalui perjuangan bersenjata bukanlah jalan yang tepat. ''Bahkan jika Anda mendirikan negara Islam melalui revolusi bersenjata, negara itu tidak akan berjalan sesuai dengan Islam.'' (hlm 36).

Sardar, yang banyak terlibat dalam berbagai pemikiran dan organisasi Islam, tidak dapat menerima saat The Muslim mempublikasikan kesepakatan ulama Pakistan, sebuah fatwa bahwa sosialisme itu kufur, kafir, atau musuh, dan apapun yang menyebabkan sesorang menjadi sosialis adalah haram, dilarang keras. Dia mengecam pendapat itu. ''Saya banyak berkawan dengan orang yang berpandangan sosialis. Karena, saya tidak dapat melihat secara hitam putih,'' tulisnya.

Kemudian Sardar berpaling pada pandangan-pandangan sufi dengan megangkat tokoh-tokoh mereka, seperti Gazali, Syekh Abdul Kadir Jaelani dan Al Hallaj. Ia juga mengisahkan Syekh Nadzim Adil Haqqani, seorang sufi yang datang ke Inggris tahun 1970-an, dan dalam setahun banyak mengumpulkan pengikut Muslim Inggris serta mendirikan kantor pusat di London Utara.

Sardar juga mengomentari novel Ayat-ayat Setan (The Satanic Verses) karya Salman Rusdie dan mengecamnya. ''Saat membalik halaman novel, aku mulai merasakan kemarahanku makin meninggi. Aku merasa seakan Rushdie merenggut apa yang kupeluk dengan kasih sayang. Suatu penghinaan terhadap Allah dan Nabi Muhammad saw,'' tulisnya.

Cendekiawan ternama ini juga kerap mengunjungi Malaysia. Di Kuala Lumpur dia bersahabat dengan Anwar Ibrahim dan mengagumi pemikiran-pemikirannya. Di kota itu dia juga beberapa kali bertemu cendekiawan Malaysia, Prof Dr Sayyid Naquib Alatas, salah seorang guru Anwar.

Banyak komentar yang diberikan dunia Barat terhadap buku Sardar ini. Tentang buku itu, harian berpengaruh Inggris, Financial Times, menulis bahwa buku ini tidak hanya bertindak sebagai sebuah tuntutan bagi kaum Muslimin namun juga memberikan wawasan dan klarifikasi bagi mereka yang berada di luar agama Islam.

Nama Buku: Desperately Seeking ParadisePenbgaran: Ziauddin SardarPenerbit: Diwan Publishing, JakartaCetakan: Pertama, Juni 2006Tebal: 485 halaman

(alwi shahab )

Pendidikan IslamProf Sardar: Jangan Bicara Masa Lalu

Page 4: Apa dan Siapa : Ziauddin Sardar (sebuah kumpulan tulisan)

Surabaya, 28 Juli 2004 17:28Guru besar tamu The City University London, Inggris, Prof Ziauddin Sardar mengatakan, pendidikan Islam jangan berbicara masa lalu, tapi bicara tentang globalisasi dan merespon masa depan.

"Pendidikan Islam telah gagal karena tidak kritis terhadap globalisasi dan masa depan Islam sendiri," katanya saat berbicara dalam seminar "Dampak Globalisasi dan Tantangan Bagi Pendidikan Islam" di IAIN Sunan Ampel Surabaya, Rabu.

Pemikir Islam itu menjelaskan pendidikan tradisional Islam selama ini hanya bicara tentang keimanan, tafsir, sejarah, dan hal-hal klasik lainnya, sehingga pendidikan Islam tak menjawab persoalan global yang ada dan membuat Islam menjadi "konsumen" globalisasi.

"Di era global, Islam jangan hanya dipahami secara klasik, melainkan Islam harus dipahami sebagai etika yang dinamis, misalnya jika kita makan tomat di mal yang ternyata tomat produk Amerika, bagaimana hal itu dipahami secara etik?" katanya.

Oleh karena itu, kata penulis 41 buku itu, pendidikan agama Islam harus membekali mahasiswa dengan konsep untuk melihat globalisasi sebagai realitas, kemudian realitas itu dianalisa sesuai konsep Islam untuk melahirkan budaya baru.

"Budaya baru yang didukung konsep analitis itu bukan sekedar respon terhadap globalisasi tapi merupakan jawaban yang menerima apa yang positif dari globalisasi tapi tetap didukung konsep Islam," katanya.

Menanggapi hal itu, guru besar IAIN Sunan Ampel Surabaya Prof Dr Syafiq A Mughni selaku pembanding menyatakan, ada tiga pola hubungan Islam dan globalisasi, yakni kelompok yang menolak globalisasi secara radikal seperti Hizbut Tahrir.

"Tapi, ada juga kelompok yang selektif terhadap globalisasi dan ada kelompok yang responsif terhadap globalisasi dengan melakukan kompromi secara perlahan-lahan," kata Wakil Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Jawa Timur itu.

Menurut dia, kelompok terakhir antara lain terlihat dengan munculnya konsep matematika Islam, ekonomi Islam, dan "Islamisasi" konsep lainnya.

Senada dengan itu, Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya Prof Dr Ridlwan Nasir, MA ketika dikonfirmasi seusai seminar menyatakan tidak semua dosen pendidikan Islam yang bersikap tekstual, karena sudah banyak dosen pendidikan Islam yang mengajar secara kontekstual.

"Prof Ziauddin Sardar terlalu menggeneralisir, sebab sekarang sudah banyak dosen pendidikan Islam yang menguasai metodologi, bukan hanya menguasai Islam secara tekstual. Di IAIN Surabaya sudah ada 40 doktor dan tujuh guru besar yang semuanya mengajar secara kontekstual," katanya.

Prof Ziauddin Sardar mengunjungi berbagai komunitas muslim di Surabaya selama dua hari yakni 27-28 Juli yang berdiskusi dengan komunitas NU Jatim (27/7) dan IAIN Sunan Ampel Surabaya (28/7). Sebelumnya, kunjungan Sardar yang diprakarsai "British Council" mendatangi kantor pusat Pemuda Muhammadiyah di Jakarta (26 Juli) dan diakhiri di Medan (29 Juli). [Tma, Ant]

Sardar: Imperialisme Tak Dapat Dibalas Terorisme

Surabaya, 27 Juli 2004 17:42Guru besar tamu Universitas London Prof Ziauddin Sardar berpendapat imperialisme budaya Barat tak dapat dilawan dengan terorisme, karena Nabi Muhammad SAW tak pernah mengajarkan balas dendam terhadap orang kafir sekalipun.

Page 5: Apa dan Siapa : Ziauddin Sardar (sebuah kumpulan tulisan)

"Terorisme justru memperlemah citra Islam, dan bahkan masa depan Islam terancam, sebab tragedi WTC 11 September 2001 terbukti membuat Islam menjadi tertuduh. Selain itu, tragedi WTC itu membuat Afghanistan dan Irak pun hancur," katanya di Surabaya, Selasa.

Seusai berbicara dalam seminar "Memikirkan Kembali Pemikiran Islam: Perspektif Seorang Pengembara Inggris" di Surabaya, pemikir Islam itu menjelaskan Islam sangat menentang terorisme.

"Teror itu membunuh orang yang tak berdosa dan Islam menilai siapa yang membunuh orang tak berdosa berarti dia membunuh orang se- dunia, apalagi dalam tragedi WTC 2001 itu ada separuh dari 3.000 korban merupakan umat Islam," katanya.

Menurut dia, terorisme seperti bom Bali muncul sebagai ekspresi kemarahan atas imperialisme kebudayaan Barat yang menyebabkan perilaku tak bermoral di Bali sebagai warisan budaya Amerika dan Australia di Pulau Dewata itu.

Namun, katanya, ada cara yang dapat digunakan melawan imperialisme Barat tanpa terorisme yakni menampilkan kebijaksanaan Islam dalam menyikapi persoalan, menerapkan strategi berinteraksi dengan dunia modern tanpa kehilangan identitas ke-Islaman, dan meningkatkan kompetensi keilmuan umat Islam di berbagai bidang.

"Semasa zaman Nabi Muhammad SAW, ada banyak orang yang meninggal dunia, diantaranya Abu Jahal, tapi tidak ada yang meninggal dunia akibat teror. Ketika Nabi menguasai Mekkah pun tak melakukan pembalasan terhadap orang kafir yang semasa berkuasa banyak menyakiti umat Islam," katanya.

Ia menyatakan terorisme merupakan produk global yang tak ada kaitan kepemimpinan dari satu negara ke negara lain, namun terorisme lebih merupakan jaringan, sehingga pembunuhan terhadap tokoh sekelas Osama bin Laden tidak akan mengakhiri terorisme global.

"Terorisme itu ibarat nyamuk. Dia (terorisme) tak dapat dihilangkan dengan membunuh 1-2 ekor nyamuk, melainkan dengan membersihkan kubangan, selokan atau sungai yang menjadi sarang nyamuk tersebut," katanya.

Selain imperialisme budaya Barat, katanya, terorisme juga dapat dipicu dari internal Islam sendiri yakni pemutlakan kebenaran terhadap Islam, padahal Islam tidak mengenal pemutlakan seperti mati syahid pasti masuk surga, sebab pemutlakan dalam Islam adalah urusan Allah SWT.

Prof Ziauddin Sardar mengunjungi berbagai komunitas muslim di Surabaya selama dua hari yakni 27-28 Juli. Sebelumnya, kunjungan Sardar yang diprakarsai British Council adalah ke kantor pusat Pemuda Muhammadiyah di Jakarta pada 26 Juli dan diakhiri di Medan pada 29 Juli mendatang. [Tma, Ant]

Ziauddin SardarKembali Ke Masa Depan 17/06/2006

MENJEMPUT PERADABAN DI MASA DEPAN

 

Penerbit : Cetakan : 1, Februari 2005Tebal  : 294 halaman

Peresensi : Jamal Ma’mur Asmani*

Page 6: Apa dan Siapa : Ziauddin Sardar (sebuah kumpulan tulisan)

Ditengah kehidupan multikompleks sekarang ini, umat Islam masih berada dalam dilema eksistensial. Di satu sisi, mereka masih disibukkan dengan beragam konflik internal yang menjerumuskan mereka pada keterbelakangan pada semua lini kehidupan. Di sisi lain, mereka memimpikan kembali jaman ideal sebagaimana yang telah dirasakan para pendahulunya ketika memimpin peradaban dunia. Dilema eksistensial ini telah membawa umat Islam dalam ketidakjelasan prospeknya di masa depan, dimana mereka hanya disibukkan dengan beragam problem internal, sementara tantangan kehidupan yang substantif [menuju masa depan] tidak terpikirkan. Akhirnya, umat Islam dewasa ini terpuruk dalam semua lini kehidupan, baik ekonomi, politik, budaya, dan yang sangat krusial, krisis transformasi pemikiran, sehingga dalam pergumulan tantangan global mereka berada dalam eksistensi yang diskriminatif, sub-ordinatif, dan inferior. Dalam konteks ini, bayang-bayang jaman keeamasan hanyalah fatamorgana yang tak kunjung terealisasikan, karena untuk merealisasikannya ditutupi oleh absurdnya dilema eksistensial.

Krisis eksistensial inilah yang ingin dibangun kembali Ziauddin Sardar melalui bukunya "Kembali Ke Masa Depan". Kebutuhan mendesak umat Islam pada jaman modern, bagi Sardar, adalah melakukan ijtihad dan me-rethinking Islam untuk menyegarkan kembali rumusan-rumusan konseptual ulama' klasik ditengah kompleksitas problem kekinian. Dalam upaya me-rethinking Islam ini, umat Islam berada dalam krisis paradigmatik-epistimologik. Paradigma-epistemologik yang terbangun dalam dunia Islam selama banyak 'menyingkirkan' tradisi keilmuannya sendiri, hanya karena ekspansifnya tradisi modern yang terhembus dari Barat. Dalam hal pemikiran misalnya, umat Islam tidak mampu menggali watak kritiisme yang telah dirumuskan para pemikir Muslim terdahulu. Justru mereka banyak mengagungkan konsepsi dan epistemologi dari luar Islam. Mereka banyak mengagungkan konsep Marxisme, liberalisme, strukturalisme, dekontruksisme, sementara berfikir kritisnya Ibnu Rusd, Imam Al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Khuldun, hanya dijadikan sebagai pelengkap saja. Dalam hal politik, umat Islam hanya disibukkan dengan perbedaan mendirikan khilafah islamiyah, padahal hal prinsipil berpolitik [yani menuju kemaslahatan manusia] diabaikan begitu saja. Kalau kita cermati, perbedaan mendirikan khilafah islamiyah selama ini hanya dijadikan alat legitimasi dalam merengkuh kekuasaan.

Dalam membangun paradigma epistimologi ini, bagi Sardar, harus kembali kepada autetisitasnya. Dengan konsep autentisitas, yakni dengan memahami sumber Islam yang utama [Al-Quran dan Sunnah] secara mendalam dan kreatif serta mendialogkannya dengan dunia kontemporer, umat Islam mampu bangkit dan meretas kembali jalan masa depan yang lebih menjanjikan. Autentisitas yang dimaksud disini, sebagaimana yang dikatakan Arkoun, bukanlah sebentuk negativisation atau penolakan negatif terhadap konsep-konsep asing dari luar tradisi Islam. Autentisitas justru menyuarakan keterbukaan umat Islam dan kepekaannya untuk berdialog dengan entitas-entitas lain yang berbeda, tetapi dengan tetap berangkat dari nilai-nilai Islam yang substantif. Menjadi autentik berarti mengambil inisiatif dan secara aktif melibatkan diri dalam perubahan dengan bertolak dari nilai-nilai dan kesadaran yang dihayati bersama [hal.9].

Dalam memantapkan autentisitas, bagi Sardar, konsep Ijtihad dalam Islam merupakan konsep yang sangat urgen untuk di interpretasikan ulang. Ijtihad merupakan pengerahan segala daya upaya untuk memecahkan persoalan syariat semaksimal mungkin. Ungkapan "segala daya upaya" dalam interpretasi Sardar, mencakup penalaran secara kompleks. Kompleksitas Ijtihad inilah sebenarnya yang menjadi watak autentik progresif Islam. Maka, pemaknaan Ijtihad secara progresif di masa depan, merupakan keniscayaan bagi umat Islam. Terlebih lagi dalam meru

« Kembali ke arsip Buku

Bush, Negara Pelestina, dan Mimpi Buruk Dunia Minggu, 14 November 2004

Page 7: Apa dan Siapa : Ziauddin Sardar (sebuah kumpulan tulisan)

Selain Yahudi, kelompok penting di balik Bush adalah neo-konservatif yang 'berbahaya'. Merekalah yang mempengaruhi kebijakan luar negeri AS di dunia Islam. Baca CAP Adian Husaini, MA ke 77 Belum lama ini cendekiawan terkenal Inggris Ziauddin Sardar dan seorang wartawati dan seorang antropologist bernama Merryl Wyn Davies menerbitkan buku berjudul American Dream, Global Nightmare (2004), (Mimpi Amerika, Mimpi Buruk Dunia). Buku ini merupakan kelanjutan dari buku terkenal mereka: “Why Do People Hate America?” (Mengapa Orang Benci Amerika?). Dalam buku ini mereka mengungkapkan AS begitu dibenci oleh banyak manusia, karena invasi dan infeksi berbagai produk dan budayanya ke berbagai budaya asli dari jutaan penduduk dunia. AS adalah ‘hyperpower’ pertama di dunia yang menjalankan politik luar negerinya dengan ditopang kekuatan militer yang belum pernah ada tandingannya dalam sejarah dunia. AS pun mengekspor sistem nilai mereka, menentukan negara mana yang beradab, rasional, dan demokratis. Bahkan, mana yang manusiawi dan tidak.

Kini, dalam buku barunya, American Dream, Global Nightmare, Ziauddin Sardar dan Merryl Wyn Davies, lebih jauh memaparkan, bagaimana impian AS akan menjadi mimpi buruk bagi umat manusia. Buku ini ditulis sebelum Presiden George W. Bush menenangkan pemilihan Presiden untuk periode kedua, melawan John Kerry. Dan tentu saja, kemenangan Bush, akan semakin mengkhawatirkan banyak umat manusia di muka bumi. Masa depan perdamaian dunia akan semakin pudar, jauh dari harapan umat manusia. Perang atas terorisme bisa diperkirakan akan semakin panjang, sebab sejatinya ada agenda utama lain dibalik slogan “War againts terrorism”.

Mengapa dikatakan ada agenda lain? Karena definisi tentang “terrorism” itu sendiri tidak pernah jelas. Pada 11 September 2003, Harian terkemuka di Timur Tengah, Al--Syarqul Ausat, menulis, bahwa setelah dua tahun peristiwa 11 September 2001 berlalu, AS masih belum mampu mengatasi aksi terorisme. Bahkan perluasan konsep terorisme yang dipegangnya menciptakan banyak masalah baru. "Dua tahun setelah peristiwa 11 September seharusnya AS sadar bahwa konsep terorisme yang dipegangnya tidak relevan dan harus mendengar usul dunia Arab sebab terbukti AS makin kepayahan menghadapi aksi tersebut," demikian Al-Sharqul Awsat. Diingatkan, agar AS mendengar usul dunia Arab untuk menyepakati terlebih dahulu definisi dan maksud dari terorisme. "Usul Arab agar terlebih dahulu menentukan definisi terorisme yang disetujui dunia adalah salah satu cara untuk keluar dari perang jangka panjang dan melelahkan. Kita berharap agar kejadian di Irak menyadarakan kelompok konservatif di Washington," demikian laporan harian terbesar Arab itu.

Seruan logis semacam itu sebenarnya terlalu banyak telah diluncurkan berbagai kalangan di dunia internasional. Namun, tidak dipedulikan oleh sang penguasa super. Berbagai paradoks terus dibiarkan berjalan. Logika-logika yang saling bertabrakan dipaksakan karena memang AS dan sekutu-sekutunya memegang hegemoni politik, ekonomi, militer, dan informasi. Banyak pemimpin negara berpikir serius jika sampai tidak mendapat restu dari AS. Maka, demi mempertahankan kekuasaan atau kemaslahatan tertentu, berbagai paradoks dalam soal terorisme itu terpaksa harus dibiarkan terjadi.

Maka, bagi masyarakat AS yang memahami masalah sebenarnya, dan bukan hanya terpukau oleh opini media massa, bisa dipahami, jika kemenangan Presiden Goerge W. Bush atas saingannya John Kerry memunculkan keresahan dan protes keras dari berbagai kalangan rakyatnya. Berbagai aksi protes digelar di AS, dengan membentangkan poster-poster anti-Bush dan anti-perang. Sejumlah poster terang-terangan menyebut Bush sebagai teroris. Bahkan, karena kecewa dengan kemenangan Bush, Andrew Veal (25), datang ke Ground Zero – bekas lokasi Gedung WTC – dan melakukan aksi bunuh diri dengan menembak dirinya sendiri. Di Malaysia, mantan Perdana Menteri Mahathir Mohammad menyatakan rasa duka cita atas kemenangan Bush. “Saya sungguh duka cita dengan perkara ini dan sudah tentu Bush akan membawa malapetaka kepada Islam dalam tempoh empat tahun akan datang,” kata Mahathir, seperti dikutip koran Berita Harian (8/11/2004).

Bagi yang mencermati perkembangan politik AS, kemenangan Bush sebenarnya tidak sulit diperkirakan. Hegemoni kelompok neo-konservatif dalam dunia publikasi, keuangan, dan pemerintahan AS sudah sangat dominan dan sulit ditembus. Majalah Time, edisi 6 September 2004, memuat ‘cover story’ berjudul “The World According to George Bush”.

Page 8: Apa dan Siapa : Ziauddin Sardar (sebuah kumpulan tulisan)

Majalah ini membuat polling yang menunjukkan Bush meraih dukungan 46 persen suara dibandingkan Kerry yang meraih dukungan 44 persen. Kepada majalah ini, Bush mengungkapkan visinya tentang politik luar negeri AS yang tegas dan tidak mengenal kompromi, politik yang mengandalkan kekuatan militer, dan bukan politik yang rendah hati (humble). Tim Bush tidak ingin mengikuti garis politik yang ‘humble’ agar dihormati dunia. Sebab, menurut mereka, tantangan utama memecahkan ancaman besar yang dihadapi negara itu. Maka, dalam soal Irak, tim Bush berpendapat, bahwa dukungan internasional akan diraih AS, jika tentara AS menang perang. “The way to win international acceptance is to win,” kata seorang pembantu senior Bush.

Untuk melegitimasi pembangunan kekuatan militer, harus ada ancaman yang dianggap riil oleh publik AS. Karena itulah, mitos-mitos tentang ancaman terorisme yang dibangkitkan oleh Bush dalam kampanye untuk menarik dukungan rakyat ternyata cukup ampuh untuk meraup suara. Dalam “American Dream, Global Nightmare” Ziauddin Sardar dan Merryl Wyn Davies, mencatat adanya 10 hukum dalam mitologi Amerika (the ten laws of American mythology).

Ke-10 hukum dalam mitologi Amerika itu ialah: (1) Fear is essential, (2) Escape is the reason for being, (3) Ignorance is bliss, (4) America is the idea of nation (5) Democratisation of everything is the essence of America, (6) American democracy has the right to be imperial and express itself throuh empire, (7) Cinema is the engine of the empire (8) Celebrity is the common currency of empire, (9) War is necessity, (10) American tradition and history are universal narratives applicable across all time and space.

“Ketakutan”, tulis Sardar dan Davies, “adalah esensial bagi AS”. Tanpa ‘ketakutan’ tidak ada AS. Ketakutan adalah energi yang memotivasi kekuatan dan menentukan aksi dan reaksi. Dalam kasus kemenangan Bush, formula “menjual ketakutan” ini tampak meraih sukses. Ketakutan dapat menghilangkan logika sehat. Isu keamanan menjadi sentral, bahwa rakyat AS memang selalu berada dalam ancaman teroris Islam, terutama dari jaringan al-Qaeda. Entah mengapa, menjelang pemilihan Presiden AS, video Osama yang mengancam AS, lagi-lagi muncul dan disiarkan luas oleh jaringan televisi internasional. Ini mirip dengan kemenangan John Howard yang mengiringi peledakan bom di Keduataan Australia di Jakarta.

Apa yang ditulis oleh Huntington dalam bukunya, Who Are We? bahwa peristiwa 11 September 2001 mengakhiri pencarian AS terhadap musuh baru pasca berakhirnya Perang Dingin, juga menyiratkan adanya rancangan yang matang tentang mimpi global sebuah imperium bernama “Imperium Americanum”. Sebuah imperium yang merupakan superpower tunggal di muka bumi, tanpa saingan. Rancangan ini dibuat oleh kelompok yang populer dengan sebutan “neo-konservatif” (neo-kon).

Kemenangan Bush tidak dapat dilepaskan dari kerja kelompok neo-kon. Adalah sulit membayangkan John Kerry memenangkan pemilihan Presiden AS. Sebab salah satu programnya adalah menarik tentara AS dari Irak – sebuah kondisi yang mirip dengan kasus Perang Vietnam dan sikap John F. Kennedy. Sejak berakhirnya Perang Dingin, kelompok neo-kon sudah merancang agenda global dalam politik internasional. Isu-isu global dirancang dengan matang. Salah satu isu utama adalah doktrin “the clash of civilizations” yang secara resmi diterima sebagai kebijakan politik pada Konvensi Platform Partai Republik George W. Bush di Philadelphia, 3 Agustus 2002. Banyak agenda penting disepakati dalam konvensi tersebut. Diantaranya, unilateralisme AS dan statusnya sebagai “the only super power” harus tetap dipertahankan; ditetapkannya ‘the rogue states’ (negara-negara jahat) sebagai musuh baru – tanpa memberikan definisi apa yang dimaksudkan dengan ‘rogue state’. Definisinya diserahkan kepada imajinasi dan ketentuan “The Shadow Power”; juga diputuskan bahwa rezim Saddam Hussein harus diganti. Tidak semua agenda kelompok neo-kon ini telah tercapai. Misalnya, rencana mereka untuk memindahkan Kedutaan AS dari Tel Aviv ke Jerusalem. (Abdulhay Y. Zalloum, Painting Islam as The New Enemy, (Kuala Lumpur: Crescent News: 2003).

Dalam bukunya, Sardar dan Davies juga menyebut peran kelompok neo-konservatif dalam penentuan kebijakan luar negeri AS. Kelompok pemikir (think-tank) neo-kon dikenal sebagai Project for the New American Century (PNAC), yang didirikan oleh Dick

Page 9: Apa dan Siapa : Ziauddin Sardar (sebuah kumpulan tulisan)

Cheney, Donald Rumsfeld, Paul Folfowitz, Richard Perle, dan tokoh-tokoh neo-kon lainnya. Proyek ini dirancang sejak awal 1990-an. Namun, terhenti dengan kemenangan Clinton. Proyek neo-kon berlanjut lagi dengan kemenangan Bush yunior dan semakin menemukan momentumnya pasca 11 September 2001. Salah satu proyek terkenal diluncurkan pada September 2000 berjudul “Rebuilding America’s Defenses: Strategy, Forces, and Resources for a New Century”. Dikatakan, bahwa saat ini AS tidak menghadapi rival global. Strategi besar AS harus diarahkan untuk mengambil keuntungan dari posisi ini semaksimal mungkin. Rancangan Pertahanan yang disusun oleh Paul Wolfowitz berkaitan dengan Tata Dunia Baru menyebutkan: “Our first objective is to prevent the reemergence of new rival.”

Michel Colin Piper, melalui bukunya “The High Priests of War” (2004) menyebutkan, belum pernah dalam sejarah AS terjadi dominasi politik AS yang begitu besar dan mencolok oleh ‘tokoh-tokoh pro-Israel’ seperti dimasa Presiden George W. Bush. Sebagian besar anggota neo-kon adalah Yahudi. Salah satu prestasi besar kelompok ini adalah memaksakan serangan AS atas Irak, meskipun elite-elite militer AS dan Menlu Colin Powell sendiri, semula menentangnya. Jaringan neo-kon bisa dikatakan semacam kolaborasi “the unholy trinity” (Zionis Israel-Kristen Fundamentalis-imperialisme AS), yang telah berhasil menjadikan Presiden Bush sebagai kendaraan untuk menjalankan satu kebijakan berbasis pada ‘unilateralism’, ‘permanent mobilisation’, dan ‘preventive war’. Kata Piper, “President Bush seems to be driven by Christian fundamentalism and strong influence of the Jewish lobby.”

Dalam wawancara dengan Time, 6 September 2004, Bush juga menegaskan tekadnya untuk mewujudkan sebuah negara Palestina merdeka. Kata Bush, “As you know, I’m the fisrt President ever to have articulated a position that there ought to be a Palestinian state. I believe that a Palestinian state will emerge.” Bush ingin menunjukkan bahwa kasus Iraq dapat dijadikan contoh untuk menumbangkan sistem pemerintahan dimana satu orang dapat menentukan nasib seluruh rakyatnya. Ia menunjuk pada figur Yasser Arafat, yang ia sebut sebagai “a failed leader” (pemimpin yang gagal). Ia bangga, dan merasa dialah pemimpin pertama yang menyatakan hal itu tentang figur Arafat.

Kini, Arafat sudah pergi. Apakah impian Bush untuk terbentuknya sebuah negara Palestina merdeka akan terwujud? Mungkin saja, jika para pemimpin Palestina selepas Arafat mau berkompromi soal pembagian wilayah Tepi Barat, khususnya soal Jerusalem. Namun, ini juga tidak mudah, dilihat dari dua sisi, baik sisi Israel maupun sisi Palestina. Yang mungkin terjadi adalah menjadikan Jerusalem di bawah pengawasan internasional, atau satu Tim beranggotakan berbagai negara – termasuk sejumlah negara Arab. Kita tunggu saja, bagaimana skenario Bush akan berjalan. Yang pasti, masalahnya, Bush dan AS, juga Israel, memang tidak lagi melihat negara Palestina sebagai ancaman. Sebab, ancaman utama bagi mereka adalah para pejuang Palestina yang mereka cap sebagai “fundamentalis”, “militan”, “atau “teroris”, seperti “Jihad Islam”, dan “Hamas”.

Khalil Shikaki, profesor ilmu politik di Universitas Nasional an-Najah Nablus, dalam artikelnya berjudul "Peace Now or Hamas Later" mencatat ada tiga kekuatan politik utama di Palestina saat perjanjian Oslo ditandatangani, yaitu (1) Kekuatan utama, yaitu kelompok nasionalis. Secara ideologis, kelompok yang dipimpin oleh Arafat dan Fatah -- faksi terbesar di PLO -- adalah "semi-sekular pragmatis". Kelompok utama ini menolak Islam politik dan mengadopsi sejumlah pemikiran demokrasi; (2) Kelompok oposisi nasionalis kiri, yang memiliki dua kekuatan utama yaitu Front Palestina untuk Kemerdekaan Palestina (Popular Front for Liberatuon of Palestine/PFLP) dan Front Demokrasi untuk Kemerdekaan Palestina (Democratic Front for Liration of Palestine/DFLP), yang lebih kiri, sekular, dan menolak demokrasi Barat atau kapitalisme. Kelompok ini menolak Kesepakatan Oslo dan tidak terlibat dalam perundingan Oslo, sehingga memboikot pemilu 1996 di Tepi Barat dan Jalur Gaza; (3) kelompok Hammas dan Jihad Islam. Kedua kelompok ini sangat menekankan pada perilaku individual, mengadopsi nilai-nilai politik Islam, dan berusaha mendirikan negara Islam. Mereka juga menolak perdamaian dengan Israel -- termasuk kesepakatan Oslo -- dan bahkan menolak legitimasi negara Israel. (Jurnal Foreign Affairs, Agustus 1998.)

Edward N. Luttwak dalam tulisannya berjudul "Strategic Aspecs of U.S.--Israeli Relations", menyebutkan, saat ini, para pembuat kebijakan di AS dan Israel cenderung

Page 10: Apa dan Siapa : Ziauddin Sardar (sebuah kumpulan tulisan)

merasa bahwa Islam fundamentalis adalah ancaman terhadap elite-elite Barat di negara-negara Islam, kepentingan-kepentingan keduanya (dan negara-negara Barat lainnya) di negara-negara Islam, bahkan kepentingan keduanya di negara masing-masing.

Jadi, bisa dianalisis, karena adanya persepsi yang sama antara AS dan Israel tentang ancaman bersama, maka dibutuhkan juga satu negara Palestina yang mempunyai sikap yang sama dengan AS dan Israel. Dimana tugas utamanya adalah memberangus ‘gerakan-gerakan Islam’ di Palestina. Namun, rencana Bush ini juga tidak mudah, Neo-kon telah berhasil mementahkan Pembicaraan Camp David II antara Arafat dengan Ehud Barak, yang ketika itu sudah menyepakati pengembalian 99 persen Jalur Gaza. Lalu, dengan menjual isu “keamanan” dan “hak Yahudi” atas Jerusalem, Ariel Sharon memenangkan pemilu Israel, mengalahkan Barak tahun 2001. Pembentukan negara Palestina akan membentur tembok tebal yang sulit dijebol, yakni soal Jerusalem. Apalagi, kelompok neo-kon lebih mengikuti garis Likud yang memegang kepercayaan hak historis bangsa Yahudi atas Jerusalem.

Karena itu, dominasi kelompok neo-kon memang mengkhawatirkan banyak warga AS. Colin Piper sampai menyerukan melalui bukunya, “It’s time to declare war on The High Priest of War”. Sebab, agenda kelompok ini memang menyeret dunia ke jancah perang global. Dan serangan atas Irak adalah tahap pertamanya. Kelompok ini lebih bekerja dengan ideologi, dengan keyakinan, bukan dengan mengandalkan kepentingan dan logika. Michel Lind, seorang penulis AS, mengungkapkan, bahwa impian kelompok neo-kon untuk menciptakan sebuah “imperium Amerika” sebenarnya ditentang oleh sebagian besar elite perumus kebijakan luar negeri AS dan mayoritas rakyat AS. Lind juga menyebut, bahwa koalisi Bush-Sharon juga berkaitan dengan keyakinan, bukan karena faktor kebijakan. Itu bisa dilihat dari latar belakang Bush yang berasal dari keluarga Kristen fundamentalis. Kata Lind: “There is little doubt that the bonding between George W. Bush and Ariel Sharon was based on conviction, not expedience. Like the Christian Zionist base of the Republican Party, George W. Bush was a devout Southern fundamentalist.”

Melihat kuatnya cengekeraman kelompok neo-kon dalam politik AS, wajar jika dunia pantas khawatir dengan kemenangan Bush yang kedua kali. Benarkah kekhawatiran Mahathir akan terbukti? Benarkah dunia akan berhasil diseret menuju Perang Global dengan kendali Zionis Yahudi? Mari kita lihat bersama-sama. Wa makaruu wa makarallah. (KL, 12 November 2004).Share this article with social bookmarker

(imy )

Rabu, 18 Oktober 2006M25 Ramadhan 1427H

“Di era global, Islam jangan hanya dipahami secara klasik, melainkan Islam harus dipahami sebagai etika yang dinamis, misalnya jika kita makan tomat di mal yang ternyata tomat produk Amerika, bagaimana hal itu dipahami secara etik?” katanya.[Ziauddin Sardar, dari liputan NU Online, 2005]

Profesor Ziauddin Sardar adalah penulis terkemuka di Inggris yang menekuni perkembangan masa depan Islam sebagaimana masa depan sains dan teknologi. Ia pernah tinggal di Saudi Arabia selama 5 tahun dan kini dianggap sebagai pakar dalam wacana Islam berkaitan dengan dunia modern yang berfokus pada topik keilmuan dan teknologi.

He is a polymath. A seeker of knowledge; a polymath is someone who is already in possession of great knowledge.

Page 11: Apa dan Siapa : Ziauddin Sardar (sebuah kumpulan tulisan)

Ia banyak menulis buku, salah satunya adalah Introducing Islam yang diterjemahkan oleh penerbit Mizan berjudul Mengenal Islam for Beginners. Buku setebal 176 halaman ini bercerita singkat tentang Islam lahir hingga perkembangannya hingga kini. Sesuai judulnya buku ini singkat padat ditulis dengan berbagai ilustrasi yang membantu, tidak detil namun cukup membantu konsep-konsep dasar lahirnya Islam beserta perkembangannya terhadap dunia modern. Bisa saya katakan terbatas pada mengenalkan Islam dan dunianya dalam konteks logika, keilmuan dan teknologi yang telah berkembang, bukan tentang keagamaan atau syariat Islam.

Namun di dunia modern saat ini yang semakin banyak orang berpikiran maju; buku ini cocok untuk mengenalkan Islam dan sejarahnya kepada mereka yang non-muslim, serta kepada para muslim yang juga banyak tak mengenal sejarah Islam itu sendiri, terutama dalam sejarah perkembangan sains dan teknologi. Muslim sendiri banyak yang mempunyai kecenderungan antipati terhadap perkembangan sains dan teknologi saat ini meskipun jika menilik sejarahnya banyak sains dan teknologi ditemukan dan dikembangkan orang Islam atas keseriusan mereka dalam membaca dan menafsirkan Al-Quran sebagai petunjuk dalam kehidupan, sebagai implementasi dari firman pertama yang turun, “Bacalah, atas nama tuhanmu yang menciptakan.”

Salah satu pembahasan dalam buku ini adalah tentang prasarana kemajuan sains dan teknologi itu sendiri, yaitu penerbitan buku jauh sebelum Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak kertas. Berawal dari ditulisnya kembali Al-Quran dengan teknologi kertas, digandakan dan disebar ke seluruh koloni bangsa Arab dan Timur Tengah. Dengan tulis tangan penerbitan buku sebelum abad ke-10 berkembang pesat hingga melahirkan profesi warraq, yaitu mereka yang ahli dalam menggandakan naskah secara akurat dan cepat (bedakan dengan tokoh pseudonym Ibn Warraq yang kontra terhadap Islam). Kebudayaan dan kemajuan ini membuat negeri-negeri di Timur Tengah dan Persia hingga ke daratan Andalusia saat itu banyak memiliki perpustakaan-perpustakaan umum untuk publik disertai dengan lembaga-lembaga pengajaran. Namun sayang perpustakaan di kedua wilayah tersebut sebagian hancur saat Persia diserang Mongol dan runtuhnya Andalusia di akhir Perang Salib.

Di luar konteks buku pengantar Islam ini, sang penulis sempat singgah ke Indonesia tahun lalu, singgah di Surabaya dan Jakarta atas sponsor British Council. Dari berbagai ceramahnya, Pemuda Muhammadiyah merangkum beberapa aspek yang disampaikan Ziauddin Sardar dan dibukukan ke dalam judul Islam tanpa syariat. Sangat disayangkan sebagian tokoh organisasi besar dalam pergerakan dan pemurnian Islam di Indonesia –termasuk besar dalam skala dunia– ini tidak membedakan makna toleransi lakum diinukum wa liyadiin dengan pluralisme, atau mungkin terkesima dengan pemikiran ilmiah yang liberal dari Ziauddin Sardar.

Saya sendiri belum membaca buku tersebut. Lain waktu mungkin saya berkesempatan menemukan buku tersebut dan membacanya.

none. Catatan ini ditulis Rabu, 18 Oktober 2006 pada pukul 23:34 dalam kategori sains/teknologi, spirit/religi. Anda dapat mengikuti respon semua catatan melalui RSS 2.0 feed. Anda dapat menulis komentar atau menulis trackback di situs anda sendiri.

Ziauddin Sardar****

Ziauddin Sardar adalah penulis, penyiar, dan kritikus budaya. Dikenal sebagai

Page 12: Apa dan Siapa : Ziauddin Sardar (sebuah kumpulan tulisan)

cendekiawan pioner dalam studi-studi futuristik, Sardar kini adalah editor dua jurnal bergengsi, Futures dan Third Text. Ratusan artikelnya bertebaran di media massa internasional terkemuka. Di tengah jadwalnya yang padat sebagai pembicara dan visiting professor Postcolonial Studies di City University, London, Sardar masih produktif menulis buku. Karya-karyanya yang terbaru, antara lain: Postmodernism and the Other (1998), Orientalism (1999), Alien R Us (2002), The A to Z of Postmodern Life (2002), dan best-seller internasional Introducing Islam (1992; 2001).