“kuasa di balik harmoni: etnografi kritis relasi etnis ......v ucapan terima kasih puji syukur...

55
v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), karena atas asung kertha wanugraha-Nya(rakhmat-Nya) disertasi yang berjudul: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis Tionghoa dan Etnis Bali di Desa Pupuan, Tabanan, Bali” dapat diselesaikan sesuai dengan rencana. Melalui kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada Lembaga Universitas Udayana dan Universitas Pendidikan Ganesha, karena sudah mengusulkan peneliti agar dapat menerima beasiswa Program Doktor Angkatan Tahun 2014/2015 dari Dirjendikti. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terima kasih kepada Dirjendikti, sebab sudah membiayainya sehingga peneliti dapat menggunakannya untuk penyelesaian studi di Program Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana. Pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir.Sulistyawati,M.S,M.M.,M.Mis.,D.Th. selaku promotor walaupun menjelang ujian terbuka digantikan posisinya oleh Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U., karena beliau sudah purnabakti, banyak memberikan bimbingan, motivasi dan spirit yang sangat berguna bagi peneliti dalam penyelesaian disertasi ini. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A. selaku ko- promotor I, yang sering penulis ganggu waktunya untuk konsultasi di tengah-tengah kesibukannya bertugas sebagai seorang akademisi yang dikenal luas oleh berbagai kalangan pendidikan tinggi tingkat lokal maupun nasional. Demikian juga, kepada Dr. Putu Sukardja, M.Si. selaku ko-promotor II yang telah dengan penuh kesabaran dan meluangkan waktunya dengan penuh kasih sayang serta selalu mendorong penulis agar bisa secepat-cepatnya menyelesaikan studi sehingga beliau mengkoreksi tulisan ini secara mendetail baik teknis dan substantifnya. Terima kasih juga peneliti ucapkan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD., dan Direktur Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S. (K), serta Asisten Direktur I, Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A., dan Asisten Direktur II, Prof. Made Sudiana Mahendra, M.App.Sc.Ph.D., atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menerima beasiswa dan menjadi mahasiswa Program Doktor pada Program Pascasarjana Universitas Udayana Tahun Angkatan 2014/2015. Terima kasih pula disampaikan kepada Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Prof.Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha,M.A. dengan jajarannya dan pejabat struktural Prof. Dr. Phil.I Ketut Ardana, M.A.selaku Ketua dan Dr. I Ketut Setiawan,M.Hum., selaku Sekretaris Program Doktor Kajian Budaya yang menggantikan pejabat lama, juga telah memberikan fasilitas pendidikan dan pengarahan yang sangat berguna bagi penulis dalam menyelesaikan masalah administratif dan akademik selama mengikuti pendidikan di lembaga ini.

Upload: others

Post on 14-Nov-2020

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

v

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (TuhanYang Maha Esa), karena atas asung kertha wanugraha-Nya(rakhmat-Nya) disertasiyang berjudul: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis Tionghoa danEtnis Bali di Desa Pupuan, Tabanan, Bali” dapat diselesaikan sesuai dengan rencana.Melalui kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya padaLembaga Universitas Udayana dan Universitas Pendidikan Ganesha, karena sudahmengusulkan peneliti agar dapat menerima beasiswa Program Doktor Angkatan Tahun2014/2015 dari Dirjendikti. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terima kasih kepadaDirjendikti, sebab sudah membiayainya sehingga peneliti dapat menggunakannyauntuk penyelesaian studi di Program Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana.

Pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnyakepada Prof. Dr. Ir.Sulistyawati,M.S,M.M.,M.Mis.,D.Th. selaku promotor walaupunmenjelang ujian terbuka digantikan posisinya oleh Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan,S.U., karena beliau sudah purnabakti, banyak memberikan bimbingan, motivasi danspirit yang sangat berguna bagi peneliti dalam penyelesaian disertasi ini. Terima kasihpula penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A. selaku ko-promotor I, yang sering penulis ganggu waktunya untuk konsultasi di tengah-tengahkesibukannya bertugas sebagai seorang akademisi yang dikenal luas oleh berbagaikalangan pendidikan tinggi tingkat lokal maupun nasional. Demikian juga, kepada Dr.Putu Sukardja, M.Si. selaku ko-promotor II yang telah dengan penuh kesabaran danmeluangkan waktunya dengan penuh kasih sayang serta selalu mendorong penulis agarbisa secepat-cepatnya menyelesaikan studi sehingga beliau mengkoreksi tulisan inisecara mendetail baik teknis dan substantifnya.

Terima kasih juga peneliti ucapkan kepada Rektor Universitas Udayana Prof.Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD., dan Direktur Pascasarjana UniversitasUdayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S. (K), serta Asisten Direktur I, Prof. Dr.Made Budiarsa, M.A., dan Asisten Direktur II, Prof. Made Sudiana Mahendra,M.App.Sc.Ph.D., atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menerimabeasiswa dan menjadi mahasiswa Program Doktor pada Program PascasarjanaUniversitas Udayana Tahun Angkatan 2014/2015. Terima kasih pula disampaikankepada Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Prof.Dr. Ni Luh SutjiatiBeratha,M.A. dengan jajarannya dan pejabat struktural Prof. Dr. Phil.I Ketut Ardana,M.A.selaku Ketua dan Dr. I Ketut Setiawan,M.Hum., selaku Sekretaris ProgramDoktor Kajian Budaya yang menggantikan pejabat lama, juga telah memberikanfasilitas pendidikan dan pengarahan yang sangat berguna bagi penulis dalammenyelesaikan masalah administratif dan akademik selama mengikuti pendidikan dilembaga ini.

Page 2: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

vi

Terima kasih pula diucapkan kepada Rektor Undiksha Dr. I Nyoman Jampel,M.Pd., Wakil Rektor (WR) I, Prof. Dr. I.B. Putu Arnyana, M.Si., WR II. Prof. Dr. IWayan Lasmawan, M.Pd. ,dan WR III. Dr. I Gusti Ngurah Pujawan, M.Kes. Terimakasih pula diucapkan kepada Dekan Fakultas Ilmu Sosial Prof. Dr. Sukadi,M.Ed.M.Pd., beserta para Wakil Dekan (WD) I, Dr. Luh Pt. Sendratari,M.Hum, WDII, Drs. I Wayan Ladrawan, M.Si, dan WD III, Wayan Treman, M.S. Tidak lupa pulaterima kasih disampaikan pada Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah, Dr. Tuty Maryati,M.Pd., dan Sekretaris Jurusan, I Ketut Sedana Artha, S.Pd, M.Pd., atas dukunganmoralnya. Terima kasih juga disampaikan kepada semua dosen di Jurusan PendidikanSejarah, Drs. Ketut Pugeh (Purn.), Prof. Dr. I Gde Widja (Purn.), Drs.Mudjiono danDra. Puromo Wahyuni (Alm.), Drs. I Wayan Teken Sara (Alm.), Drs. Putu MustikaRai (Purn.), Drs. Made Sunada (Purn.), Drs. I Wayan Suyasa, M.Si. (Purn.), Drs. INengah Sudariya,M.Si.(Purn.), Drs. I Wayan Sugiartha, M.Si. (Purn.); Dr. Luh PutuSendratari, M.Hum., Dr. I Wayan Mudana, M.Si., Dr. I Ketut Margi, M.Si.,Dra. DesakMd. Oka Purnawati, M.Hum., I Wayan Putrayasa, S.Pd. M.Pd., I Gde Prapta Cahyana,S.Pd.,M.Pd., I Putu Hendra Mas Marthana, S.Pd.,M.A. Terima kasih pula disampaikankepada para pegawai di lingkungan Undiksha yang sudah memberikan bantuanpenyelesaian administratif kepada penulis, yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis juga mengucapkan terima kasih tak berhingga kepada dosen-dosen S3Kajian Budaya yang telah memberikan kuliah dalam berbagai warna dasar keilmuansebagai bekal penulis untuk mengembangkan diri secara akademik, karena tanpa beliaupenulis tidak berarti apa-apa, yaitu Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U., Prof. Dr.A.A.Ngr. Anom Kumbara, M.A., Prof. Dr. I Gde Parimartha, M.A., Prof. Dr. I GdeWidja., Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A., Prof. Dr. I Wayan Rai S., M.A., Prof. Dr.Ing.Ir. I Made Merta, DAA., Prof. Dr. Irwan Abdullah., Prof. Dr. I Ketut Mertha,SH,M.Hum., Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A., Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana,M.A., Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., Dr. I Putu Sukardja, M.Si., Dr. I GustiKetut Gde Arsana, M.Si., Dr. I Nyoman Dhana, M.A., Dr. I Gede Mudana, M.Si., Dr.Ni Made Wiasti, M.Hum., dan Dr. Ida Bagus Gde Pujaastawa, M.A. Terima kasih puladisampaikan kepada dewan penguji disertasi ini, yaitu Prof. Dr.Ir.Sulistyawati,M.S,M.M.,M.Mis.,D.Th., Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A.Dr. IPutu Sukardja, M.Si., Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U., Prof. Dr. A.A.Ngr. AnomKumbara, M.A., Dr. Ni Made Wiasti,M.Hum., dan Dr. I Nyoman Dhana, M.A., yangtelah memberikan masukan, perbaikan, sanggahan, saran, koreksi, dan penguatanterhadap kelayakan disertasi ini.Terima kasih juga secara khusus disampaikan kepadaProf. Dr. Ketut Darma Laksana, M.Hum., sebagai Ketua Program Vokasi Fakultas IlmuBudaya Universitas Udayana, yang sudah menyunting disertasi yang peneliti susun

Page 3: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

vii

sehingga disertasi ini sesuai dengan kaidah penulisan akademik. Demikian jugapeneliti menyampaikan terima kasih kepada pegawai/staf Program Doktor KajianBudaya, Program Pascasarjana Universitas Udayana, yaitu I Putu Sukaryawan, S.T.,Dra. Ni Luh Witari, Ni Wayan Ariyati, S.E., Cok Istri Murniati, S.E., A.A. AyuIndrawati, I Nyoman Candra, Putu Hendrawan, Ketut Budi Astra yang telah banyakmemberikan bantuan fasilitas dan informasi administrasi selama penulis menempuhstudi di Program Doktor ini. Terima kasih pula kepada teman-teman seperjuanganangkatan 2014/2015 Program Doktor Kajian Budaya, yaitu I Nyoman Winyana, NiPutu Mastiningsih, Agus Mursidi, Dermawan Waruwu, I Ketut Sida Arsa, MadeBudiasa, Frendy, Bernis, dan Bob.

Peneliti juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua informanyang sudah memberikan infromasi kepada peneliti yang dibutuhkan dalam penelitiandisertasi ini, di antaranya, yaitu Bapak I Ketut Rumantya (74 tahun), Bapak MadeSukarya (64,tahun), Bapak Nyoman Aribawa (59 tahun), Bapak Wayan Gde Dada (56tahun), Jro Raka (56 tahun), Jro Wayan Meling (62 tahun), Bapak IGde Susana, SH(41 tahun), Bapak Ketut Anta Wijaya (46 tahun), Bapak Wayan Sudarsana (66 tahun),Putu Indra Pranata (25 tahun) dan informan lainnya yang tidak dapat penulis sebutkandalam kesempatan ini.

Terima kasih pula disampaikan kepada ayahanda I Gusti Wayan Jana danIbunda Ni Ketut Cokli (Alm.) dan juga pada bapak-ibu mertua I Wayan Mudana (Alm.)dan Made Wati. Terima kasih yang spesial disampaikan kepada istri tercinta Ni KetutMirah Kusumawati, S.Pd., yang memberikan dukungan penuh dan pengorbanan dalamsegala hal untuk keberhasilan studi. Demikian juga terima kasih kepada putri sematawayang Gusti Ayu Putu Diah Permatasari, AR.,S.Pd yang sedang bergulat dalampenyelesaian pendidikan magister di Pascasarjana Undiksha dengan diiringi doasemoga cepat selesai juga. Keponakanku I Gusti Putu Kartikayana, A.M.Komp. yangselalu berkorban waktu dan tenaga mengantar penulis ke Denpasar untuk berkonsultasidan urusan lainnya, Kakak I Gusti Putu Diana (Alm.), adik I Gusti Ketut Budiasa,ponakan I Gusti Kade Adi Kartikayasa,S.Pd. G.A.Bintang Pramesti, dan I Gusti MadeWahyu Atmaja serta Eka Andipa Suryanada banyak membantu penulis secara teknisdalam menyelesaikan disertasi ini. Akhirnya peneliti tiada hentinya memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar melimpahkan karunia-Nyakepada semuapihak yang telah membantu maupun memperlancar dalam penyelesaian disertasi ini.Om Shantih Shantih Shantih Om.

Denpasar, Juli 2016Penulis

ABSTRACT

Page 4: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

viii

THE POWER BEHIND THE HARMONY: CRITICAL ETNOGRAPHY OF THERELATIONSHIP BETWEEN ETHNIC CHINESE AND ETHIC BALINESE AT

PUPUAN VILLAGE, TABANAN, BALI

The harmonious relationship between two different ethnicities in the Pupuanvillage evidenced by the-cross ethnic marriages and ethnic Chinese become membersof “desa pakaraman” which have a place of worship same like ethnic Balinese such asKemulan, pelinggih Jro Gede and Taksu and doing the rituals like ethnic Balinese.These behaviors it is less common and paradox because in fact, outside Bali that oftengets discriminatory treatment and lead to physical violence.This social phenomenonimportant and interesting to be explored in the midst of the emergence of disintegrationand brittleness sense of the national unity. Based on this background, this studyconducted by three key issues, namely (1) Why are ethnic Chinese and ethnic groupsin the PupuanTabananBali can coexist harmoniously? (2) How do the dynamics ofpower behind a harmonious relationship in the life of ethnic Chinese and ethnicBalinese at Pupuan Tabanan Bali? And (3) How does the educational model is carriedout by ethnic Chinese and ethnic Balinese at PupuanTabanan Bali in creating aharmonious relationship from the perspective of etnopedagogik?. The method used isdescriptive qualitative method with a critical ethnographic approach. Besides, datawere collected by in-depth interviews, observation and documentation study andanalyzed by an interactive model. There are theories is used in the study includesBourdieu Practice Theory, Discourse Theory of Power/Knowledge Foucault,Habermas Education Theory and other theories which relevant and used in eclectic.

The results of this study showed that: (1) the various factors that cause the twoethnic groups harmony in the pupuan village is power and capital made by the ethicBalinese and ethnic Chinese. Ethic Balinese used authorized capital with the values oflocal wisdom as THK, Tat Tvam Asi, Penyamabrayaan and others. Meanwhile, theethnic Chinese use their economic and social capital to offset the hegemony and thedomination of ethic Balinese. (2) The dynamics of the power of harmony in Bali, it wasfound that the dynamics are very dynamic and not static as result of a power game(powers) from the internal (local) and external (national) which can be seen from thereligious aspect, government policy aspect, balinese language aspect, and economicaspects. (3) The educational model which is cultivated by ethnic groups in the pupuanvillage found a variety of media such as through media social organizations, traditionalactivity “ngayah” and “ngoupin”, packed in the traditional game, “mesatua” andcultural rituals in public area.

Keywords: Authorization, Harmony, Critical Ethnography, Ethnic Chinese andEthnic Balinese, Ethnopedagogic, Pupuan Village

Page 5: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

ix

ABSTRAK

KUASA DI BALIK HARMONI: ETNOGRAFI KRITIS RELASI ETNISTIONGHOA DAN ETNIS BALI DI DESA PUPUAN, TABANAN, BALI

Hubungan harmonis antarkedua etnis yang berbeda di Desa Pupuan dibuktikandengan adanya perkawinan lintas etnis dan etnis Tionghoamenjadi krama desapakraman, bahkanjuga memiliki tempat suci layaknya etnis Bali, serta melaksanakanritual (odalan) bernuasa Hindu. Perilaku yang kurang lazim dan sangat paradoksdengan kondisi di luar Bali.Fenomena sosial tersebut menarik dan pentingdidekonstruksidari perspektif kajian budaya, di tengah-tengah munculnya gejaladisintegrasi bangsa dan kerapuhan rasa persatuan bangsa.Berdasarkan latar belakangtersebut, adatiga masalah yang dikaji, yaitu (1) mengapa etnis Tionghoa dan etnis Balidi Desa Pupuan, Tabanan, Bali dapat hidup berdampingan secara harmonis?; (2)bagaimana dinamika kuasa di balik hubungan harmonis dalam kehidupan etnisTionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan?; dan (3) bagaimana model pendidikan yangdilakukan oleh etnis Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan dalam menciptakanhubungan yang harmonis dari perspektif etnopedagogik? Metode penelitian yangdigunakan, yaitu metode deskriptif kualitatif berpendekatan etnografi kritis. Datadikumpulkan melalui wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi sertadianalisis dengan model analisis interaktif. Beberapa teori yang digunakan, diantaranya Teori Praktik Bourdieu, Teori Diskursus Kekuasaan/Pengetahuan Foucault,Teori Pendidikan Habermas dan teori lainnya yang relevan dan digunakan secaraeklektik.

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa (1) berbagai alasan yang menyebabkanhubungan yang harmonis antaretnis, karena ada permainan kuasa dan modal yangdimainkan, baik oleh etnis Bali maupun etnis Tionghoa. Etnis Bali menggunakanmodal kuasa melalui nilai-nilai kearifan lokal, seperti THK, Tat Twam Asi,Penyamabrayaan, dan sebagainya. Sementara itu, etnis Tionghoa menggunakan modalekonomi dan sosialnya untuk mengimbangi hegemoni/dominasi etnis Bali. (2)dinamika kuasa di balik harmonis itu menunjukkan bahwa dalam relasi antaretnis diDesa Pupuan terjadi dinamika yang dinamis dan bersifat mencair, akibat adanyapermainan kuasa (kekuasaaan) dari pihak internal (lokal) maupun eksternal (nasional)yang dapat dilihat, baik dari aspek keagamaan/keyakinan, aspek politik, aspek sosialbudaya, dan aspek sosial ekonomi, dan (3) model pendidikan etnopedagogik yangditumbuhkembangkan dengan menggunakan berbagai media, seperti organisasi sosialkemasyarakatan, aktivitas sosial dalam bentuk ngayah dan ngoupin, permainantradisional, mesatua, dan ritual budaya di ruang publik.

Kata Kunci: Kuasa, Harmoni, Etnografi kritis, Relasi Etnis Tionghoa dan Etnis Bali,Etnopedagogik, Desa Pupuan

Page 6: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

x

RINGKASAN

KUASA DI BALIK HARMONI: ETNOGRAFI KRITIS RELASI ETNISTIONGHOA DAN ETNIS BALI DI DESA PUPUAN TABANAN BALI

Fenomena sosial yang cukup menarik terjadi di Desa Pupuan, yakni terjalinnya

hubungan harmonis antaretnis Tionghoa dan etnis Bali yang berbeda dalam berbagai

aspek kehidupan. Keharmonisan itu tercermin dengan terjadinya perkawinan lintas

etnis (amalgamasi) yang tidak lazim pada tradisi etnis Tionghoa. Demikian juga

masuknya etnis Tionghoa menjadi anggota desa pakraman dan dimilikinya tempat

pemujaan yang bernuansa Hindu, seperti sanggah, pelinggih Jro Gde,dan Taksu selain

caitya, konco ataupun wihara dan melakukan ritual (odalan) seperti layaknya etnis

Bali.

Perilaku etnis Tionghoa yang kurang lazim dan paradoks, sebab di luar Bali hal

tersebut jarang ditemukan. Bakhan, faktanya etnis Tionghoa mendapat perlakuan

diskriminatif dan berujung terjadi kekerasan fisik kepadanya. Fenomena sosial tersebut

menarik didekonstruksidari perspektif kajian budaya. Demikian juga, kajian ini

dianggap penting dan menarik didalami di tengah-tengah munculnya gejala disintegrasi

bangsa dan kerapuhan rasa persatuan bangsa belakangan ini.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka ada tiga masalah yang dikaji dalam penelitian

ini, yaitu (1) mengapa etnis Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan Tabanan Bali dapat hidup

berdampingan secara harmonis ?; (2) bagaimana dinamika kuasa di balik hubungan harmonis

dalam kehidupan etnis Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan?; dan (3) bagaimana model

Page 7: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xi

pendidikan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan Tabanan Bali

dalam menciptakan hubungan yang harmonis dari perspektif etnopedagogik?

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mendekonstruksi fenomena sosial tersebut

sehingga dapat memahami berbagai alasan yang menyebabkan etnis Tionghoa dan etnis

Bali di Desa Pupuan Tabanan Bali dapat hidup berdampingan secara harmonis; (2)

untuk memahami dinamika kuasa di balik harmoni itu dan model pendidikan yang

digunakan dari perspektif etnopedagogik sehingga tercipta hubungan yang harmonis.

Hasil kajian ini diharapkan dapat menghasilkan sebuah etnogafi kritis dan menemukan

formula yang dapat didesiminasikan ke daerah lain yang rawan terjadinya konflik

antaretnis, sebagai upaya preventif sehingga tercipta kedamaian, kerukunan atau

harmoni dalam masyarakat

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan

etnografi kritis dalam perspektif kajian budaya. Data dikumpulkan dengan wawancara

mendalam, observasi, dan studi dokumentasi, kemudian data dianalisis dengan model

analisis interaktif dengan teori sosial kritis untuk menghasilkan sebuah etnografi kritis.

Beberapa teori yang digunakan, di antaranya Teori Praktik Bourdieu, Teori Diskursus

Kekuasaan/Pengetahuan Foucault, Teori Pendidikan Habermas, dan teori lainnya yang

relevan dan digunakan secara eklektik.

Hasil penelitian di lapangan didapatkan, bahwa:

Pertama, berbagai alasan yang menyebabkan etnis Tionghoa dan etnis Bali di

Desa Pupuan dapat hidup harmonis karena adanya permainan kuasa dan modal yang

dilakukan oleh kedua etnis di Desa Pupuan. Etnis Bali memainkan modal kuasanya

Page 8: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xii

untuk menghegemoni etnis Tionghoa dengan menggunakan ideologi Tri Hita Karana

(THK) yang dituangkan dalam awig-awig yang sifatnya mengikat dan berlaku secara

menyeluruh bagi kramadesa pakraman di Desa Pupuan dan ada sanksi bagi yang

melanggarnya atau yang tidak patuh. Sanksi tersebut berfungsi sebagai kontrol sosial

sehingga tercipta tertib sosial, sekaligus dapat mengantarkan kehidupan harmonis di

Desa Pupuan. Sementara itu, etnis Tionghoa memainkan modal ekonomi dan sosialnya

untuk mengimbangi hegemoni dari etnis Bali. Keseimbangan tersebut juga

menyebabkan kehidupan harmonis dapat diwujudkan.

Nilai kearifan lokal “menyama braya”, ditumbuhkembangkan oleh etnis Bali

melalui ajaran Tat Twam Asi dan etnis Tionghoa berpedoman pada ajaran/filsafat

Khonghucu, Taoisme, dan Budhisme. Oleh karena itu, masing-masing etnis dengan

latar belakang budaya ataupun etnisitas berbeda dapat mengembangkan sikap

persaudaraan (penyamabrayaan). Bahkan, etnis Bali menyebut etnis Tionghoa sebagai

“nyama madelodan” dan diterima menjadi anggota (krama) desa pakraman Pupuan.

Konsep “penyamabrayaan” itu, menjadi pilar terwujudnya rasa saling memiliki,

menghormati, dan toleran, yang dapat menuju atau mengarah pada terciptanya

hubungan yang harmonis antarwarga atau antaretnis di Desa Pupuan.

Perkawinan lintas etnis (amalgamasi), terjadi di Desa Pupuan, baik dari etnis

Tionghoa ataupun dari etnis Bali, menyebabkan pula dapat terciptanya ikatan

kekerabatan yang semakin erat. Hubungan penyamabrayaan semakin intensif,

menyebabkan masing-masing keluarga masuk dalam in group, sehingga muncul

kesadaran yang semakin tumbuh di antara mereka memiliki keluarga dan berupaya

Page 9: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xiii

untuk menjaga kekerabatan itu agar tidak terpecah belah. Dengan demikian, mereka

melakukan silaturahmi atas dasar saling menghormati dan menghargai satu sama

lainnya. Hal itu yang nantinya mengantarkan dapat terciptanya kehidupan yang

harmonis di Desa Pupuan.

Permainan modal juga ikut memberi sumbangan berarti bagi terwujudnya

keharmonisan hidup antaretnis di Desa Pupuan. Etnis Tionghoa yang mampu atau kaya

pada bidang ekonomi dapat memainkan modal ekonomi dan sosialnya sehingga dapat

berperan besar/penting dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di Desa Pupuan. Oleh

karena itu, etnis Tionghoa juga disegani oleh etnis Bali, bahkan dipercaya ikut duduk

dalam struktur organisasi desa pakraman, yaitu sebagai anggota kertha desa. Demikian

juga salah satu keturunan dari etnis Tionghoa ditunjuk sebagai penanggung jawab

pembangunan beberapa tempat suci (pura) dan etnis itu sekaligus berperan sebagai

donatur (penyandang dana) dalam pembangunan fisik dan sosial di desa setempat.

Keberhasilan etnis Tiongha dalam memainkan modal ekonomi dan sosialnya,

menyebabkan mereka dapat diterima dengan baik oleh etnis Bali. Sementara itu, etnis

Bali juga memainkan modal kuasa yang dimilikinya, agar tetap dapat menghegemoni

etnis Tionghoa. Dengan demikian, etnis Bali tetap dapat bertahan pada posisi

supraordinat melalui produksinya berupa awig-awig, dresta, pararem, dan sebagainya.

Oleh karena etnis Tionghoa sebagai pendatang (tamiu) dan minoritas di Desa Pupuan,

mereka tentu saja bersikap patuh dan mendukung semua aturan yang dikeluarkan oleh

desa pakramansetempat dengan harapan keamanan diri ataupun keluarga dan usaha

Page 10: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xiv

yang dilakukan di Desa Pupuan dapat berjalan seperti biasa. Kondisi itu yang

menyebabkan pula kehidupan harmonis dapat tercipta dan terpelihara di Desa Pupuan.

Pengalaman sejarah dapat juga menjadi pilar terciptanya kehidupan harmonis

di Desa Pupuan. Hal tersebut cukup beralasan, karena sejak kedatangan etnis Tionghoa

itu ke Desa Pupuan pada tahun1820-an, yang dipelopori oleh Kang Ik Khim.

Selanjutnya diikuti oleh yang lainnya pada tahun 1900-an dan tahun 1920-an, yang

juga kebanyakan dari marga (shee) Kang sehingga etnis Tionghoa itu memandang

tempat perantauannya di Desa Pupuan sebagai tanah kelahirannya. Rasa memiliki itu

yang ditumbuhkembangkan oleh kedua etnis di Desa Pupuan, yang menyebabkan

hubungan harmonis dan saling menjaga rasa persaudaraan tetap terjaga, dan mereka

dapat hidup rukun sebagai keluarga besar yang mengantarkan kedamaian di antara

warga di Desa Pupuan.

Perjalanan sejarah era Orde Lama ataupun era Orde Baru yang kebijakan yang

diambil sangat diskriminatif bersifat rasial, dapat memperkuat rasa persaudaraan, di

antara etnis Bali dan etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Etnis Bali tidak melakukan

pelarangan ataupun pengusiran terhadap etnis Tionghoa, sebab etnis Tionghoa sudah

dianggap saudara (menyama). Demikian juga, ketika era Reformasi, etnis Tionghoa

menguatkan identitas dirinya dengan kembali memeluk agama Budha dan membangun

simbol-simbol identitasnya, seperti mendirikan Vihara Dharma Giri di Tahun 1990-an.

Perilaku etnis Tionghoa seperti itu, tidak membuat etnis Bali emosi, tetapi justru

membiarkannya sehingga hubungan harmonis tetap dapat dipertahankan.

Page 11: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xv

Peran negara (pemerintah pusat) dan pemerintah daerah, tidak dapat pula

dikesampingkan sumbangsihnya dalam menciptakan keharmonisan hidup masyarakat

di Desa Pupuan. Pemerintah pusat, melalui pemerintah desa dinas sebagai

representasinya melaksanakan perundang-undangan yang berlaku secara nasional

untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bertanah air bagi warga negaranya tanpa

kecuali, termasuk dari etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Demikian pula, pemerintah

daerah yang bersinergi dengan desa pakraman mengharapkan terciptanya tertib sosial,

melalui Perda No.3 Tahun 2001, tentang Desa Pakraman. Melalui desa pakraman

dikeluarkan beberapa ketentuan, seperti awig-awig, dresta,dan pararem. Masuk dan

bergabungnya etnis Tionghoa menjadi anggota desa pakraman, menyebabkan etnis

Tionghoa memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan etnis Bali. Demikian juga

jika melanggar akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang ada. Oleh karena

itu, baik etnis Bali ataupun etnis Tionghoa kedudukannya sama (equal) dan semuanya

patuh atau mentaati aturan yang sudah disepakati bersama sehingga kehidupan

harmonis tetap dapat dipertahankan.

Kedua, dinamika kuasa di balik hubungan harmonis dalam kehidupan etnis

Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan, Tabanan, Bali, tentu saja dipengaruhi oleh

dinamika sosial, ekonomi, budaya, dan politik (kekuasaan) yang terjadi di tingkat lokal

maupun nasional. Dinamika itu, memicu terjadi atau timbulnya riak-riak, baik yang

bersifat positif (konstrukstif) ataupun negatif (destruktif).

Berikut ini dideskripsikan mengenai dinamika kuasa di balik hubungan

harmonis antaretnis Tionghoa dan etnis Bali di Pupuan, Tabanan Bali, yaitu

Page 12: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xvi

(1) Dinamika kuasa dalam aspek agama dan keyakinan, menunjukkan bahwa

terjadi dinamika di antara kedua etnis itu di Desa Pupuan. Hal tersebut terjadi karena

ada hegemoni dari etnis Bali pada aspek itu, yakni dengan memainkan modal budaya

(spiritual) ataupun pengetahuannya, pada momentum dan ruang (arena) yang tepat,

untuk memenangkan kontestasi dengan etnis Tionghoa, di bidang agama dan

keyakinan sehingga etnis Bali dapat mempertahankan posisi supraordinat itu atas etnis

Tionghoa. Sementara itu, etnis Tionghoa dalam upaya mengimbangi kekuasaan atau

dominasi dari etnis Bali, maka etnis itu memainkan juga modal ekomominya, dengan

jalan memberikan imbalan berupa uang (sesari) yang lebih besar dari etnis Bali pada

waktu menyelenggarakan ritual yang sama kepada para pemangku dan serati, serta

diberikan juga buah, jajan, dan daging yang masih “sukla”. Demikian juga tetangga

yang membantu (ngoupin) dalam menyiapkan kelancaran ritual diberikan imbalan,

berupa “lungsuran” yang justru lebih banyak sebagai ucapan terima kasih sehingga

etnis Tionghoa disegani oleh etnis Bali.

Di samping itu, etnis Tionghoa memainkan juga modal sosialnya, walaupun

sebagai kelompok minoritas dalam menghadapi dominasi etnis Bali setempat, dengan

jalan berperan aktif dalam arena publik melalui ritual budaya yang digelar, baik yang

bersentuhan dengan keyakinan dari warisan leluhurnya maupun yang bernuansa

kehinduan Bali. Etnis Tionghoa aktif juga memberikan sumbangan (dana punia), yang

menyebabkan etnis itu dilabeli sebagai donatur yang handal dalam pembangunan fisik

di Desa Pupuan. Dengan kelakuan itu, etnis Tionghoa di Desa Pupuan dapat dikatakan

Page 13: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xvii

mampu mengimbangi hegemoni etnis Bali dan disegani oleh warga karena tidak kikir

atau pelit, tetapi loyar sehingga kehidupan harmonis dapat dipelihara dengan baik.

Dengan demikian, sesungguhnya terjadi permainan atau kontestasi kuasa

(kekuasaan) dalam kehidupan kedua etnis, dalam aspek keagamaan ataupun keyakinan

di Desa Pupuan, yang menyebabkan terjadinya dinamika di dalamnya. Akan tetapi,

dinamika itu tidak menyebabkan terjadinya pertentangan atau perselisihan,yang dapat

menuju konflik.Hal tersebut disebabkan, karena di antara mereka saling

mengimbanginya sehingga kehidupan harmonis tetap dapat terjaga.

(2) Dinamika kuasa dalam aspek politik, yang berhubungan dengan kebijakan

pemerintah (penguasa), yaitu bahwa ada dinamika dalam hubungan (relasi) antaretnis

di Desa Pupuan, tidak dapat dilepaskan dari kebijakan penguasa yang juga memainkan

modal kuasanya. Hal tersebut berdasarkan fakta-fakta sejarah, seperti dikeluarkannya

PP Nomor 10/1959 maupun PP Nomor 20 Tahun 1959, yang membuat kebingungan

etnis Tionghoa di Indonesia termasuk di Desa Pupuan, yakni ada yang ingin tetap

menjadi WNI, dan ada yang ingin menjadi warga negara Tiongkok. Karena itu, etnis

Tionghoa yang ada di Desa Pupuan yang memilih kewarganegaraan leluhurnya

(Tiongkok), keluar dari Desa Pupuan. Sementara itu, etnis Tionghoa yang memilih

WNI, tetap tinggal di Desa Pupuan, karena Desa Pupuan, dianggap olehnya sebagai

tanah kelahirannya. Situasi itu, menyebabkan hubungan antara etnis Tionghoa dengan

etnis Bali menjadi agak terganggu atau kurang kondusif, walaupun tidak menimbulkan

keretakan atau permusuhan di antara kedua etnis bersangutan.

Page 14: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xviii

Demikian juga, era Orde Baru kembali mempraktikkan politik diskriminasi

yang bersifat rasial kepada etnis Tionghoa, seperti dikeluarkannya Inpres No. 14 Tahun

1967, yang dirasakan juga dampaknya oleh etnis Tionghoa di Desa Pupuan, yaitu ada

pelarangan terhadap praktik Tri Dharma sehingga menyebabkan etnis Tionghoa

melakukan konversi agama (Hindu) tahun 1960-an. Situasi tersebut, kemudian disikapi

oleh elite kedua etnis di Desa Pupuan, dengan melakukan kompromi dan negosiasi

sehingga dapat menghasilkan sebuah kesepakatan (konsensus) bersama untuk menjaga

kerukunan (harmonis) di antara kedua etnis yang dianggap sudah seperti keluarga

besar.

Dinamika kuasa di balik terciptanya keharmonisan hidup di Desa Pupuan juga

terjadi, tidak dapat dilepaskan dari intervensi yang dilakukan oleh pemegang kuasa

(kekuasaan), yaitu pemerintah pusat secara nasional dan pemerintah lokal (daerah)

sebagai perpanjangan tangan dari pusat, yang ikut menjaga dan menjalankan regulasi

yang ditetapkan oleh atasannya. Walaupun demikian, peran dari organisasi sosial,yaitu

desa pakraman yang dilengkapi dengan awig-awigataupun hasil perarem

(kesepakatan/konsensus) yang dicapai dalam suatu pertemuan seluruh anggota (krama)

desa pakraman, ikut juga andil dalam upaya menciptakan ataupun menjaga

kerukunan(keharmonisan) hidup antarwarga (etnis) yang berbeda di Desa Pupuan.

(3) Dinamika kuasa dalam aspek sosial budaya, khususnya dalam konteks

pemakaian bahasa lokal (Bali), juga terjadi yang ditemukan di kancah dalam hal

pemakaian bahasa lokal (Bali), ketika berinteraksinya kedua etnis itu di Desa Pupua.

Etnis Bali, yang menggunakan bahasa Bali dalam pergaulan sehari-harinya, yang

Page 15: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xix

digunakan pula sebagai salah satu identitas etnisnya. Dengan demikian, secara implisit

bahasa Bali yang dimiliki oleh etnis Bali juga berarti pula etnis Bali memiliki modal

kuasa atas bahasa (budaya), untuk dipertahankan dan dipergunakan dalam kehidupan

sosial ataupun keagamaan.

Dengan dimilikinya modal budaya itu oleh etnis Bali, maka dalam berinteraksi

dengan etnis lain, khususnya dengan etnis Tionghoa modal tersebut digunakan untuk

dapat menghegemoni etnis Tionghoa melalui pemakaian bahasa, yang dikenal dengan

sor singgih basa dalam berinteraksi dengan etnis Bali di masyarakat, baik bersifat

formal maupun nonformal. Oleh karena itu, etnis Tionghoa sebagai etnis minoritas dan

sebagai penduduk pendatang (tamiu) tentu mengikuti sor singgih basa. Demikian juga,

etnis Tionghoa berusaha untuk mengimbangi dominasi etnis Bali itu, sehingga mereka

belajar bahasa Bali untuk kepentingan sosial, budaya, dan ekonomi. Jadi,

sesungguhnya dapat dikatakan, bahwa etnis Tionghoa belajar bahasa Bali ada maksud

secara tersembunyi, yakni untuk dapat memenangkan kontestasi dalam arena ekonomi

dan sosial dengan etnis Bali. Karena itu, etnis Tionghoa belajar secara sungguh-

sungguh berbagai kosak kata maupun sor singgih basa yang dipergunakan oleh etnis

Bali agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sosial, baik formal maupun nonformal

sehingga tidak ada hambatan.

Berdasarkan temuan di lapangan maka dapat dikatakan bahwa pemakaian

bahasa Bali semakin intens dilakukan etnis Tionghoa di Desa Pupuan pada generasi

ketiga dan semakin intens dilakukan dengan adanya kebijakan penguasa (pemerintah)

pusat tentang pelarangan terhadap etnis Tionghoa dalam penggunaan unsur budaya

Page 16: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xx

termasuk bahasa yang berbau Tionghoa. Akan tetapi, sejak era Reformasi

diperbolehkan lagi menghidupkan kebudayaan yang bernafaskan Tionghoa.

Kuatnya hegemoni negara yang dimainkan oleh penguasa yang memiliki kuasa,

dapat menghegemoni etnis Tionghoa dalam bidang kebudayaan, khususnya bahasa

sehingga mereka melakukan penyesuaian namanya tanpa ada unsur Tionghoanya. Hal

itu diindahkan oleh etnis Tionghoa, karena takut dikenakan sanksi sebab dianggap

membangkang. Dengan demikian, etnis Tionghoa menjadi patuh dan menuruti

keinginan penguasa yang menyebabkan identitas nama etnis Tionghoa memakai nama

Indonesia, bahkan memakai nama lokal (Bali) di Desa Pupuan dan ada juga yang

bersifat campuran sehingga melahirkan nama campuran yang bersifat hibriditas.

Hal tersebut di atas yang menyebabkan terjadinya dinamika dalam pemakaian

bahasa Bali oleh etnis Tionghoa, dalam melakukan interaksi dengan etnis Bali. Etnis

Tionghoa juga menggunakan modal ekonomi dan sosialnya untuk mengambil alih dan

mempelajari unsur-unsur budaya Bali (bahasa) agar mereka aman dan mampu

beradaptasi dengan lingkungan. Kemampuan beradaptasi dan kefasihan dalam

menggunakan bahasa Bali menyebabkan etnis Tionghoa ini dapat diterima oleh etnis

Bali sebagai anggota atau warga desa setempat dan menyebabkan hubungan yang

harmonis tetap dapat dipelihara sampai saat ini.

(4) Dinamika kuasa dalam aspek sosial ekonomi, yang dalam konteks itu sudah

pasti sulit dihindari dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di suatu tempat, termasuk

di Desa Pupuan. Masing-masing kelompok etnis yang ada tentu saja berusaha untuk

memenangkan kontestasi yang sedang dihadapi pada arena yang sama. Dalam

Page 17: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xxi

kontestasi ini, tampaknya etnis Tionghoa lebih unggul dan dapat memenangkan

pertarungan melawan etnis Bali pada ranah ekonomi. Buktinya, banyak ruko dan tanah

kebun atau persawahan di Desa Pupuan dan sekitarnya dimiliki oleh etnis Tionghoa.

Dalam pertarungan memperebutkan sumber daya ekonomi itu, etnis Tionghoa

menggunakan “strategi” untuk menghadapi hegemoni maupun dominasi etnis Bali.

Strategi itu digunakan oleh etnis Tionghoa untuk dapat memenangkan kontestasi dan

setidak-tidaknya masih dapat bertahan pada posisinya yang sekarang, dan ternyata

berhasil dengan baik. Kekuatan modal ekonomi itu, yang dimainkan oleh etnis

Tionghoa dalam kontestasi dengan etnis Bali sehingga etnis Bali dapat menerima

kehadiran etnis Tionghoa dan bahkan diajak menjadi warga (krama) desa pakraman

Pupuan. Oleh karena itu, kekuasaan di bidang ekonomi ikut menentukan terciptanya

harmoni atau kerukunan di Desa Pupuan sampai saat ini.

Ketiga, model pendidikan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa dan etnis Bali di

Desa Pupuan, Tabanan, Bali dalam menciptakan hubungan yang harmonis dari

perspektif etnopedagogik, temuan di lapangan dilakukan oleh kedua etnis, yaitu

melalui berbagai media, di antaranya (1) media organisasi sosial kemasyarakatan,

seperti perkumpulan (sekaa) Truna-Truni (STT) ataupun Karang Taruna; (2) media

aktivitas sosial kemasyarakatan, seperti dengan model ngayahataupun dengan model

ngoupin: (3) model permainan tradisional; (4) media tradisi mesatua (bercerita); dan

(5) media ritual budaya di ruang publik, yaitu dapat digunakan untuk menanamkan

nilai-nilai kearifan lokal, seperti kebersamaan, gotong royong, dan persaudaraan.

Page 18: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xxii

Sementara itu,implikasi dan makna kehidupan harmonis di Desa Pupuan, yaitu

(1) terpeliharanya keharmonisan hidup di antara warga, baik etnis Tionghoa dan etnis

Bali di Desa Pupuan; (2) kebangkitan ritual budaya etnis Tionghoa pasca-Orde Baru;

dan (3) munculnya generasi peranakan etnis Tionghoa di Desa Pupuan. Sementara itu,

makna yang didapat dari kehidupan harmoni dalam relasi antaretnis Tionghoa dan

Etnis Bali di Desa Pupuan, di antaranya (1) makna sebagai medium mewujudkan

ketenangan lahir dan batin, dan (2) makna sosial ekonomis.

Berdasarkan kajian yang dilakukan dalam penelitian ini, maka ada beberapa

temuan yang didapatkan, yaitu:

Pertama, adanya kepentingan, permainan kuasa, dan modal yang dilakukan

oleh etnis Bali yang mayoritas terhadap etnis Tionghoa yang minoritas dengan

menggunakan nilai-nilai kearifan lokal, seperti THK, Tat Twam Asi, Penyamabrayaan,

dan sebagainya sehingga nilai-nilai kearifan lokal itu adakalanya bersifat ambivalensi.

Akan tetapi, etnis Tionghoa juga tetap berupaya melakukan perimbangan hegemoni

dari etnis Bali dengan memainkan modal ekonomi dan sosialnya sehingga etnis

Tionghoa juga memiliki daya tawar yang cukup memadai untuk dapat diterima oleh

etnis Bali yang mayoritas. Dengan demikian, temuan pada intinya menunjukkan bahwa

kehidupan harmonis di Desa Pupuan Tabanan Bali antaretnis Tionghoa dan etnis Bali

dapat diwujudkan karena adanya permainan kuasa yang bersifat positif atau produktif,

sebagaimana dalam teori diskurkus kekuasaan/pengetahuan dari Foucault.

Kedua, dalam dinamika kuasa di balik harmonis itu ditemukan bahwa

terjadinya dinamika yang sangat dinamis dan bersifat mencair pada relasi antaretnis di

Page 19: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xxiii

Desa Pupuan akibat ada permainan kuasa (kekuasaaan) dari pihak internal (lokal)

ataupun eksternal (nasional) dengan proses negosiasi dan berdialog, seperti diteorikan

oleh Habermas yang dilakukan oleh para elite kedua etnis untuk menciptakan situasi

dan kondisi yang dikehendaki sehingga stabilitas kehidupan sosial dapat dipertahankan

atau kehidupan yang harmonis antaretnis pada masyarakat pluralistik dapat tercipta.

Ditemukan juga dalam konteks itu bahwa hegemoni yang terjadi di antara etnis

Bali dan Tionghoa bukan saja bersifat searah seperti teori Gramsci, yaitu etnis

mayoritas menghegemoni etnis minoritas. Akan tetapi, bersifat dua arah, yaitu dalam

arti adakalanya etnis Bali menghegemoni etnis Tionghoa pada aspek tertentu, dan

sebaliknya, adakalanya etnis Bali terhegemoni oleh etnis Tionghoa pada bidang

ekonomi.

Ketiga, dalam model pendidikan yang ditumbuhkembangkan oleh etnis yang

ada di Desa Pupuan ditemukan berbagai media yang cukup efektif digunakan untuk

menanamkan nilai-nilai kearifan lokal secara lokalitas sehingga melalui media tersebut

semua pihak dapat menumbuhkan kesadaran betapa indahnya hidup dengan

kebersamaaan, menyama braya, penuh toleransi dan saling menghargai satu sama

lainnya yang sesungguhnya menjadi kunci dari hidup harmonis dengan lingkungan

sosial sekitarnya. Dengan demikian, masyarakat Desa Pupuan dapat

mengaktualisasikan motto Bhinneka Tunggal Ika dan doktrin multikulturalisme dalam

kehidupan sosialnya.

Akhirnya berdasarkan temuan tersebut, ada beberapa saran yang disampaikan

pada kesempatan ini, yaitu (1) penelitian ini masih perlu ditindaklanjuti untuk

Page 20: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xxiv

kesempurnaanya, mengingat keterbatasan peneliti dalam berbagai hal dengan

mengambil beberapa perluasan wilayah kajian terhadap keberadaan etnis Tionghoa di

Bali, sehingga dapat memperkaya studi etnisitas sebagai salah satu topik yang menarik

dalam kajian budaya; (2) pengampu kebijakan agar terus melakukan pembinaan untuk

menjaga tetap terpeliharanya kehidupan harmonis antarwarga atau antaretnis dalam

masyarakat pluralis dan multikultur sehingga persatuan dan kesatuan berbangsa dan

bernegara dapat terwujud dalam menghadapi era globalisasi dewasa ini

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul……………………………………………………………….. iLembar Pengesahan…………………………………………………………..iiLembar Penguji………………………………………………………………. iiiSurat Pernyataan Bebas Plagiat……………………………………………… iv

Page 21: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xxv

Ucapan Terimakasih…………………………………………………………. vAbstract……………………………………………………………………… viiiAbstrak………………………………………………………………………. ixRingkasan…………………………………………………………………….. xDaftar Isi…………………………………………………………………….... xxvDaftar Tabel………………………………………………………………….. xxxDaftar Gambar……………………………………………………………….. xxxiDaftar Bagan…………………………………………………………………. xxxiiDaftar Peta…..……………………………………………………………….. xxxiiiDaftar Istilah dan Singkatan………………………………………………….. xxxiv

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………… 1

1.1 Latar Belakang ………..………………………………………… 1

1.2 Rumusan Masalah………………………………………………..13

1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………….. 13

1.3.1 Tujuan Umum…………………………………………….. 13

1.3.2 Tujuan Khusus……………………………………………. 14

1.4 Manfaat Penelitian…………………………………………….... 14

1.4.1 Manfaat Teoretis………………………………………...... 15

1.4.2 Manfaat Praktis…………...………………………………. 16

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DANMODEL PENELITIAN.………………………………………….... 17

2.1 Kajian Pustaka………………………………………………….... 17

2.2 Penjelasan Konsep……………………………………………….... 42

2.2.1Kuasa di Balik Harmoni……………………………………..53

2.2.2 Etnografi Kritis ……………………………………………

2.2.3 Relasi Etnis Tionghoa dan Etnis Bali.....…………………… 61

2.2.4 Etnopedagogik… ………………………………………….. 66

2.3 Landasan Teori…………………………………………….............

52

48

47

43

53

55

Page 22: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xxvi

2.3.1Teori Praktik Pierre Felix Bourdieu,..………………....……70

2.3.1.1 Habitus……………………………………………… 72

2.3.1.2 Ranah (Arena)………………………………………. 74

2.3.1.3 Modal………………………………………………..

2.3.1.4 Strategi……………………………………………… 77

2.3.2Teori Diskursus Kekuasaan/Pengetahuan dan GenealogiMichel Foucault……………………………………………

2.3.2.1 Teori Diskursus Kekuasaan/Pengetahuan…………. 7

2.3.2.2 Genealogi………………………………………….. 83

2.3.3Teori Pendidikan Kritis dari Habermas, Foucault, dan PauloFriere……………….……………………………………….91

2.4 Model Penelitian…………………………………………………. 106

BAB III METODE PENELITIAN……………………………………….….. 111

3.1 Rancangan Penelitian…………………………………………….. 111

3.2 Lokasi Penelitian…………………………………………………. 11

3.3 Jenis dan Sumber Data………………………………………….... 11

3.3.1 Jenis Data………………………………………………….... 11

3.3.2 Sumber Data………………………………………………… 115

3.4 Teknik Penentuan Informan……………………………………....1

3.5 Instrumen Penelitian…………………………………………….... 118

3.6 Metode Pengumpulan Data……………………………………….. 98

3.6.1 Teknik Wawancara Mendalam……………………………..118

3.6.2 Teknik Observasi Langsung..…………………………........ 119

3.6.3 Teknik Studi Dokumentasi………………………………....120

93

95

95

98

100

99

97

98

67

63

63

56

58

60

62

91

91

95

87

75

Page 23: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xxvii

3.6.4 Teknik Triangulasi ……………………………………. ….. 101

3.7 Teknik Analisis Data………………………………………………. 121

3.8 Teknik Penyajian Hasil Penelitian………………………………… 103

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN………………….. 105

4.1 Kondisi Geografis Desa Pupuan………………………………… 105

4.2 Sejarah Desa Pupuan …………………………………………….. 126

4.3 Sejarah Keberadaan Etnis Tionghoa di Desa Pupuan……………. 111

4.4 Demografi Desa Pupuan…………………………………………. 127

4.5 Mata Pencaharian Penduduk Desa Pupuan..……………………... 129

4.6 Sistem Sosial Kemasyarakatan di Desa Pupuan …………………. 130

4.7 Struktur Pemerintahan Desa Dinas dan Desa PekramanDesaPupuan ………………………………………………………….... 137

4.8 Keadaan Penduduk Desa Pupuan Menurut Agama/Kepercayaan……………………………………………………….1

BAB V BUDAYA HARMONI ANTARA ETNIS TIONGHOA DAN ETNISBALI DIDESA PUPUAN, TABANAN, BALI………...................... 148

5.1 Karakteristik Etnis Tionghoa……………………………………... 148

5.2 Karakteristik Etnis Bali…………………………………………... 151

5.3 Berbagai Alasan Penyebab Terciptanya Harmoni……………….. 152

5.3.1 Tri Hita Karana (THK) Sebagai Ideologi Hegemonik………

5.3.2 Nilai Kearifan Lokal Menyama Braya…….………….......... 1

5.3.3Perkawinan Lintas Etnis (Amalgamasi)..……….………….. 18

5.3.4 Permainan Modal…………………………………………... 186

5.3.5 Pengalaman Sejarah………………………………………… 190

107

101

130

137

145

169

157

154

Page 24: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xxviii

5.3.6 Peran Negara (Pemerintah Pusat) dan Pemerintah Daerah…. 215

5.3.6.1 Desa Pakraman……………………………………. 216

5.3.6.2 Desa Dinas……………………………………........ 205

BAB VI DINAMIKA KUASA DI BALIK HUBUNGAN HARMONISDALAM KEHIDUPAN ETNIS TIONGHOA DAN BALI DI DESAPUPUAN, TABANAN, BALI ………..…………………….. ...…… 249

6.1 Dinamika Kuasa Dalam Aspek Agama dan Keyakinan…………..

6.2 Dinamika Kuasa Dalam Aspek Politik………………. …………..

6.3 Dinamika Kuasa Dalam Aspek Sosial Budaya……………………

6.4 Dinamika Kuasa Dalam Aspek Sosial Ekonomi…………………. 286

BAB VII PERSPEKTIF ETNOPEDAGOGIK PADA MODEL PENDI-DIKAN ANTARA ETNIS TIONGHOA DAN ETNIS BALI

DI DESA PUPUAN, TABANAN, BALI………………………….

7.1 Media Organisasi Sosial Kemasyarakatan……………………….. 322

7.2 Media Aktivitas Sosial Kemasyarakatan…………………………. 331

7.3 Media Permainan Tradisional…………………………………….. 337

7.4 Media Tradisi Mesatua…………………………………………… 340

7.5 Media Ritual Budaya di Ruang Publik…………………………… 334

7.6 Implikasi dan Makna Kehidupan Harmonis di Desa Pupuan……………

7.6.1 Terpeliharanya Keharmonisan Di antara Warga dari EtnisTionghoa dan Etnis Bali di Desa Pupuan…………………... 350

7.6.2 Kebangkitan Ritual Budaya Etnis Tionghoa Pasca Orde Barudi Desa Pupuan……………………………………….…….. 354

7.6.3 Munculnya Generasi Peranakan Etnis Tionghoa di DesaPupuan Tabanan Bali ………………...…………………….. 357

7.6.4 Makna Kehidupan Harmoni dalam Relasi Antaretnis Tionghoa

320

219

216

224

247

235

338

334

306

274

298

291

312

316

323

326

331

Page 25: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xxix

etnis Bali di Desa Pupuan Tabanan Bali…………………… 36

7.6.4.1 Makna sebagai Medium Mewujudkan KetenanganLahir dan Bathin………………………………………

7.6.4.2 Makna Sosial Ekonomis………………………....................

BAB VIII SIMPULAN, TEMUAN, DAN SARAN………………………….... 345

8.1 Simpulan….…………………..……………………………............... 343

8.2 Temuan Penelitian…………………………………………………… 348

8.3 Saran……..…………………………………………………………... 350

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

338

340

Page 26: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xxx

DAFTAR TABEL

4.1 Keadaan Penduduk Desa Pupuan Tahun 2015…..……………………………..128

4.2 Jumlah Kepala Keluarga (KK) Desa Pupuan Tahun 2015……………………..129

4.3 Mata Pencaharian Penduduk Desa Pupuan Tahun 2015..……………………...130

4.4 Jumlah Marga (Shee) Etnis Tionghoa Desa Pupuan Tahun 2015..…………….134

4.5 Keadaan Penduduk Desa Pupuan Berdasarkan Agama..……………………….146

Page 27: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xxxi

DAFTAR GAMBAR

4.1 Bale Kulkul di Pura Puseh Desa Pakraman Pupuan…………………………..126

4.2 Makam dari Marga (Shee) Kang di Kuburan Etnis Tionghoa di Desa

Pupuan…………………………………………………………………………135

4.3 Dua Kuburan dari Etnis Tionghoa dan Etnis Bali Berdampingan……………..145

6.4 Pintu Utama Masuk ke Vihara Dharma Giri di Desa Pupuan…………………269

6.5 Salah Satu Tugu Prasasti Asoka di Vihara Dharma Giri Desa ………………..270

7.6 Rejang Ayunan……………………………………………...………………..315

Page 28: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xxxii

DAFTAR BAGAN

2.1 Model Penelitian…………………………………………………………...……87

3.2 Analisis Data Model Interaktif………………………………………………...103

4.1 Struktur Organisasi Pemerintah Desa Pupuan…………………………………118

4.2 Struktur Organisasi Desa Pakraman Desa Pupuan……………………………140

4.3 Struktur Kepengurusan Organisasi Karang Semadi…………..……………….143

Page 29: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xxxiii

DAFTAR PETA

4.1 Pulau Bali…………………….………………………………………………...105

4.2 Wilayah Desa Pupuan……….…………………………………………............105

Page 30: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xxxiv

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

ISTILAH

agensi : kapasitas atau kemampuan seseorang atau kelompok/institusiuntuk bertindak dan melakukan perubahan yang terbentuksecara sosial

awig-awig : aturan yang dibuat oleh krama oleh desa pakraman yangdijadikan pedoman dalam melaksanakan Tri Hita Karana

banten : bentuk atau wujud sebagai perlengkapan ritual dalamhinduisme

banjar : pengelompokan sosial dalam masyarakat yang lebih kecil daridesa adat dan sekaligus menjadi bagian dari desa adat

banjar pakraman : kelompok masyarakat yang merupakan bagian dari desaparaman

bendesa : sebutan seorang kepala desa adat di Bali

cacakan banjar : masuk hitungan sebagai anggota banjar

cap go meh : sebagai puncak perayaan Tahun Baru Imlek (Sin Cia) yangjatuh pada Tanggal 15 Cia Gwee atau bulan pertamapenanggalan/Tarikh Khongcu

cetya : tempat sembahyang yang ada di rumah masing-masing etnisTionghoa

Page 31: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xxxv

cengbeng (cingbing) : ritual tahunan etnis Tionghoa melakukan ziarah kekuburanleluhur/keluarga

confucianisme : sebutan terhadap ajaran Khong Hu Cu yang diberikan olehorang-orang Eropa. Confucianisme juga berisi ajaran yangterdiri dari (1)ajaran tentang pemujaan terhadap Tuhan(Thian) dan Thian dianggap sama dengan alam semesta;(2)ajaran tentang pemujaan terhadap leluhur, pemimpin negarayang satu dan loyalitas tertinggi terhadap negeri leluhur; dan(3) penghormatan terhadap mahaguru Khong Hu Cu

confucianist : sebutan bagi pengikut ajaran Khong Hu Cu

cu man cu : sebuah motto dalam ajaran Khong Hu Cu yang berarti hidupharus kaya, sedangkan kekayaan untuk hidup

dekonstruksi : membongkar dan membangun kembali dalam bentuk narasiatau bentuk lainnya sebuah konsep yang dikembangkan olehDerrida

desa, kala, patra : berarti disesuaikan dengan tempat, waktu dan keadaan

desa pakraman : kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki satukesatuan tradisi dan tatakrama pergaulan hidup secara turuntemurun dalam ikatan Tri Kahyangan yang memiliki wilayahdan kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganyasendiri

diaspora : sebuah konsep yang digunakan untuk menunjukkan gejalajejaring manusia yang terhubung secara etnis dan kulturalyang tersebar sehingga sering dipadankan dengan konsepmigrasi, ketersebaran dari lokasi asal

diskursus : wacana menyatukan bahasa dan praktik yang merujuk padasejumlah aturan untuk berbicara subjek dan praktik untuk

Page 32: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xxxvi

mendapatkan makna. Secara sederhana wacana adalahsekumpulan teks atau tuturan yang memiliki arti

dresta : pandangan suatu masyarakat yang masih dipertahankansebagai warisan leluhurnya dalam tatakrama yang berlaku dimasyarakat

etnisitas : konsep tentang diri dan orang lain yang sengaja dikonstruksisecara diskursif dengan tujuan membagi nilai, norma, praktik,simbol dan artefak sehingga konsep etnisitas terkait eratdengan konsep ras tetapi etnisitas lebih bernuansa kulturalyaitu lebih berpusat pada kesamaan kepercayaandan praktik-praktik kultural

etnografi : sebuah pendekatan emperis sekaligus teoretis yang merupakanturunan Dari antropologi, yang bertujuan untuk menghasilkandeskripsi yang mendetail dan holistic serta analisis budayadengan kerja lapangan yang intensif

habitus : seperangkat nilai-nilai, praktik-praktik dan kecenderunganbatin yang menjadi kebiasaan tertanam pada seseorang,sebuah konsep dari Bourdieu

hegemoni : konsep yang dikembangkan oleh Gramsci yang mengandungpengertian pihak yang berkuasa melakukan ororitas sosial dankepemimpinannya terhadap kelas di bawahnya melaluikombinasi kekuatan dan mengutamakan persetujuan

hermeneutika : upaya filosofis untuk menemukan sebuah makna dalam teksmelalui tafsir

hibriditas : konsep dari Bhaba tentang perpaduan dua budaya yang sulitdikenali asal usulnya dan melahirkan idenditas baru

Page 33: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xxxvii

hoki : konsep keberuntungan dan nasib baik dalam kepercayaanTionghoa

hong sui : kepercayaan pada etnis Tionghoa pada faktor-faktor alamiahyang diyakini menunjang nasib baik dan nasib buruk manusia

hopeng : cara untuk menjaga hubungan baik dengan relasi usaha padakepercayaan etnis Tionghoa

ideologi : sebagai ide-ide, gugus makna yang mengikat dan menjadidasar pembenaran dari semua kelompok sosial

imlek : perayaan Tahun Baru etnis Tionghoa yang juga disebut SinCia

inlander : sebutan untuk Bumiputra zaman kolonial Belanda

kasinoman : sebutan Juru arah dalam struktur desa adat di Bali

kelihan : sebutan peminpin adat pada desa pakraman

kelihan banjar adat : kepala banjar adat yang berada pada lingkungan desapakraman

kertha desa : dewan penasehat yang duduk pada struktur desa pakraman

kidung : nyanyian suci pada etnis Bali yang biasanya menggunakansekar madya

konco : tempat sembahyang etnis Tionghoa untuk mermuja DewaKong

Page 34: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xxxviii

khong hu cu : seorang ahli pikir bangsa Cina yang hidup pada tahun 551s.M- 479 s. M

krama : anggota atau warga desa pakraman/ banjar adat

krama desa/banjar : mereka yang menempati karang desa pakraman/banjarpakraman yang menjadi warga desa pakraman/banjarpakraman

krama wed : penduduk asli

krama tamiu : penduduk pendatang

kulkul : alat komunikasi tradisional dibuat dari kayu yangdisebutkentongan

lotiah : sebutan untuk kepala kampung bagi etnis Tionghoa

lauchu : ketua pelaksana ritual Ceng Beng setelah dilakukanpelemparan siopwe

melasti : melakukan pembersian pratima (simbol para stana dewa) kepantai

menyama braya : mengembangkan sikap persaudaraan

mimikri : konsep yang dikembangkan oleh K.Bhaba yang berartipeniruan (imitasi)

nan-yang: laut selatan

Page 35: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xxxix

odalan : upacara yang dilakukan untuk memperingati pendiriansebuah tempat suci (pura) yang biasanya berdasarkanperhitungan wewukon atau sasih

palemahan : istilah dari unsur Tri Hita Karana yang mengatur hubunganantara krama dengan lingkunan atau wilayah di desapakraman

parahyangan : istilah dari unsur Tri Hita Karana yang mengatur hubunganantara krama dengan Tuhan (Ida Sanghyang Widhi Wasa)

pararem : keputusan yang diambil setelah melalui rapat yang disebutsangkepan oleh desa pakraman

pawongan :istilah dari unsur Tri Hita Karana yang mengatur hubunganantarkrama

pecinan : sebutan untuk kampung etnis Tionghoa

pemangku : seorang rohaniawan Hindu yang masuk dalam kelompokPinandita

penjor : salah satu sarana ritual (upakara) sebagai simbol GunungAgung

perbekel : sebutan untuk kepala desa dinas di beberapa desa di Bali

petajuh : sebutan untuk seorang wakil dari kepala desa adat di Bali

petengen : istilah pada struktur desa adat di Bali yang berperan sebagaibendahara

Page 36: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xl

penyarikan : juru tulis (sekretaris) pada struktur desa adat di Bali

prajuru desa pakraman: pengurus desa pkraman di Provinsi Bali

ruang publik : ruang untuk menyampaikan argument dan debat publik secarademokratis yang diberikan kepada publik untuk mengaturdirinya sendiri dan opini publik terbentuk

rwa bhineda : dua yang berbeda tetapi saling melengkapi

sanggah : disebut juga merajan adalah tempat suci yang ada padakeluarga

sekaa : pengelompokan sosial yang mempunyai tujuan tertentu dalamusaha bersama

shee : istilah marga pada etnis Tionghoa

siopwe : sebagai sarana mediasi rokh para dewa untuk menentukanhari baik atau untuk menentukan siapa keluarga yangmendapatkan mandate utama

stereotif : representasi untuk mereduksi orang menjadi seperangkatsifat-sifat dasar yang berlebihan dan cenderung bersifatnegatif

tanah ayahan desa : tanah milik desa pakraman baik yang berada di dalam dan diluar desa pakaraman

taoisme : ajaran tentang Tao, yang diciptakan oleh seorang ahli bangsaCina yang bernama Lao Tse (lapal Wade lama) atau TjongTjoe (lapal Hokkian) yang hidup pada tahun 369 s.M-286 s.M

Page 37: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xli

taoist : sebutan atau istilah bagi para pengikut atau penganut Taoisme

tao/too : “jalan” dalam konteks mencari hidup utama yang sebenarnyasehingga terwujud keselarasan

tauke : anggota panitia pelaksana pelaksanaan Ceng Beng yangjumlahnya sembilan orang

teruna teruni : sebutan muda-mudi pada desa pakraman di Bali

timur asing : sebutan terhadap kelompok Etnis Tionghoa, Arab dan Indiadalam struktur sosial zaman kolonial Belanda

totok : murni (asli) tanpa campuran untuk membedakan etnisTionghoa Peranakan

tunggal kawitan : ketunggalan silsilah dalam hubungan kekerabatan

volksschool : sekolah desa

volksraad : dewan rakyat

wijk : kampung khusus

Page 38: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xlii

SINGKATAN

AGIL : adaptation, goal,intergration and latent pattern

ASEAN : association of southeast asian nations

BPD : badan permusyawaratan desa

GAM : gerakan aceh merdeka

Kepres : keputusan presiden

Gestok : gerakan satu oktober

G30S : gerakan tiga puluh september

Gestapu : gerakan september tiga puluh

HAM : hak azasi manusia

Inpres : instruksi presiden

IS : indishe staatsreglering

Kaur : kepala urusan

Keppres : keputusan presiden

KK : kepala keluarga

KBBI : kamus besar bahasa indonesia

KTP : kartu tanda penduduk

LPM : lembaga pemberdayaan masyarakat

MPRS : majelis permusyawatan rakyat sementara

NKRI : negara kesatuan republik indonesia

OPM : organisasi papua merdeka

ORBA : orde baru

ORLA : orde lama

PP : peraturan pemerintah

Page 39: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

xliii

PKI : partai komunis indonesia

RR : regeerings reglement

RRC : republik rakyat china

RRT : republik rakyat tiongkok

RT : rukun tetangga

RW : rukun warga

SARA : suku, agama, ras dan antargolongan

SDA : sumber daya alam

SDM : sumber daya manusia

STT : sekaa truna truni

THK : tri hita karana

THHK : tiong hoa hwe kwan

WNA : warga negara asing

WNI : warga negara indonesia

VOC :verenigde oost indische compagn

Page 40: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah salah satu negara kepulauan

terbesar di dunia dengan jumlah 14.000 pulau tersebar di sepanjang Khatulistiwa

dansecara demografi didiami oleh beragam etnis (suku bangsa), yaitu sekitar 300 suku

bangsa yang memiliki identitas kebudayaan sendiri sehingga disebut multietnik yang

bercirikan keragaman budaya (Warmaen, 2002: 3-17). Indonesia dengan kondisi itu maka

dikatakan sebagai bangsa yang majemuk, artinya bangsa yang terdiri atas aneka ragam

etnis (suku bangsa), beraneka ragam agama dan keyakinan, berbeda latar belakang

sejarah, dan kebudayaan daerah. Dalam kemajemukan etnis tersebut terdapat, antara lain,

etnis keturunan Tionghoa, Arab, dan India sehingga Indonesia berasaskan pada motto:

“Bhinneka Tunggal Ika”.

Bali sebagai salah satu wilayah dari NKRI sering dipandang oleh pihak luar

sebagai pulau yang didiami oleh satu etnis (monoetnis), yaitu etnis Bali, sebab diakui

bahwa penduduk Bali mayoritas beragama Hindu dan mayoritas didiami oleh etnis Bali,

tetapi dalam realitasnya Bali bersifat multienis.

Salah satu etnis yang ada di Bali adalah etnis Tionghoa yang mayoritas dari suku

Hokkian dan keberadaannya di Bali sudah cukup lama, yaitu antara Abad VII-IX Masehi

(Ardika, 2008: 52-53). Selanjutnya, dikatakan oleh Ardika (2008) bahwa etnis Tionghoa

Page 41: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

2

pada umumnya ada yang tinggal di perkotaan dan ada juga ada yang tinggal di perdesaan.

Etnis Tionghoa yang tinggal di perkotaan umumnya kurang bergaul dengan masyarakat

lokal dan cenderung bersifat eksklusif. Sementara itu, etnis Tionghoa yang tinggal di

perdesaan justru sebaliknya yaitu sudah menyatu dengan masyarakat lokal sehingga

untuk kasus di Bali etnis Tionghoa tersebar hampir di seluruh wilayah di Bali, seperti

Kintamani, Baturiti, Marga, Pupuan, Petang, Carangsari, Sukawati, dan

Menangaberprofesi sebagai pedagang dan ada sebagai petani (Ardika, 2008: 54).

Etnis Tionghoa yang hidup harmonis dengan etnis Bali menarik untuk dikaji,

sebab di luar Bali justru hubungan etnis ini menunjukkan kecenderungan tidak harmonis

sehingga sering terjadi konflik yang berujung pada tindak kekerasan terhadap etnis

Tionghoa yang dilakukan oleh etnis non-Tionghoa (Purday, 2013: 255-256). Keberadaan

etnis Tionghoa di pedesaan (Desa Pupuan) menarik juga dikaji sebab bersifat kontradiksi

jika dilihat dari Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959 tanggal 14 Mei 1959, yang

isinya adalah melarang golongan keturunan etnis Tionghoa melakukan aktivitas

perdagangan dan menetap di kota kecil atau pedesaan di luar ibukota kabupaten. Namun,

dalam realitasnya etnis Tionghoa ini juga ada yang bermukim dan membuka usaha di

perdesaan termasuk di Desa Pupuan dan sekitarnya.

Keberadaan etnis keturunan Tionghoa di Desa Pupuan menarik untuk dikaji lebih

jauh dengan terjadinya tragedi nasional pada tanggal 30 September 1965 yang dikenal

dengan G 30 S. Peristiwa ini juga sering disebut Gestapu atau Gestok yang disinyalir

dibidani oleh Partai Komunis. Dalam konteks itu,etnis Tionghoa dianggap ikut

bertanggung jawab sehingga muncul kesan stereotip kepadanya yang menyebabkan

Page 42: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

3

ketegangan, tetapi dapat diselesaikan dengan negosiasi para tokoh atau elite etnis

Tionghoa dan etnis Bali. Sejak itu pula etnis Tionghoa mulai meningggalkan kepercayaan

leluhurnya dan memeluk agama Hindu.

Konversi agama itu dilakukan seiring dengan tindakan diskriminatif terhadap

etnis Tionghoa oleh rezim Orde Baru seperti dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres)

Nomor 14 Tahun 1967 yang berisi pelarangan penggunaan adat istiadat, budaya, agama,

kepercayaan bagi etnis keturunan Tionghoa yang menyebabkan etnis Tionghoa di Desa

Pupuan meninggalkan budaya dan kepercayaan leluhurnya. Etnis ini akhirnya memilih

untuk memeluk agama Hindu dan menjadi anggota desa pakramanyang diterima dengan

baik oleh etnis Bali. Masuknya etnis Tionghoa pada salah satu simbol identitas etnis Bali,

tetapi tidak menimbulkan konflik dan justru diterima dengan baik sehingga terwujud

kehidupan yang harmonis. Fenomena ini perlu dikaji lebih jauh dari perspektif kajian

budaya.

Kehidupan berbangsa dan bernegara di era Reformasi 1998 tampak mulai ada

perubahan yang cukup signifikan dalam berbagai hal dan lebih demokratis. Etnis

Tionghoa di era Reformasi ini mulai menapak sebuah harapan baru, dalam arti dapat

dengan lebih leluasa/bebas berekspresi dalam kebudayaan etnisnya sejak dikeluarkannya

Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2000 tertanggal 17 Januari 2000 oleh Presiden

KH. Abdurrahman Wahid, yang populer dengan nama Gus Dur.

Inpres itu berisi tentang penetapan Imlek sebagai hari libur fakultatif dan

memperjuangkan hak warga Tionghoa atas kepercayaan Khonghucu sebagai salah satu

aliran kepercayaan di Indonesia dengan dicabutnya Inpres Nomor 14 Tahun 1967 produk

Page 43: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

4

ORBA yang berkuasa selama 32 tahun yang dianggap sangat diskriminatif terhadap etnis

Tionghoa.Berdasarkan atas Inpres itu maka Gus Dur sangat dihormati dan diberi gelar

perhormatan sebagai “Bapak Tionghoa” di Indonesia (Hamid, 2010: 97-98).

Di era pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri juga dikeluarkan

kebijakan resmi pemerintah, yaitu dengan ditetapkannya Imlek sebagai hari libur

Nasional berdasarkan Inpres No.19 Tahun 2002 tertanggal 9 April 2002 yang berlaku

nantinya pada Tahun Imlek 2003. Pengakuan tentang keberadaan yang terpenting dari

etnis keturunan Tionghoa di Indonesia secara keseluruhan, yaitu ketika pemerintah RI di

bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Agama Khonghucu sebagai

agama resmi yang berkembang di Indonesia bertepatan dengan perayaan Imlek Nasional

ke-2557 pada tanggal 4 Februari 2006 (Hadi, 2009: 51-71).

Kebijakkan pemerintah yang semakin demokratis di era Reformasi seperti

diuraikan di atas menyebabkan etnis Tionghoa mulai semakin berani menunjukkan

kebebasannya berekspresi di bidang budaya dan keyakinanannya (kepercayaannya)

dandisambut sangat antusias serta meriah oleh etnis keturunan Tionghoa di seluruh

Indonesia termasuk di Desa Pupuan

Keadaanyaberbeda sekali, sebab sejak zaman kolonial, pascakemerdekaan, baik

zaman Orde Lama (ORLA) maupun zaman Orde Baru (ORBA), etnis Tionghoaselalu

didiskriminasikan dan dipasung kebebasannya dalam menunjukkan eksistensinya sebagai

salah satu etnis di Indonesia. Fakta tersebut adalah sebagai pertanda dan penanda bahwa

pemerintah RI mengakui eksistensi etnis Tionghoa beserta kebudayaannya sebagai

bagian integral dari budaya Indonesia.

Page 44: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

5

Di era Reformasi ini pula etnis Tionghoa dapat dengan leluasa menunjukkan

identitas etnisnya melalui penguatan-penguatan simbol kulturalnya, seperti dibangunnya

Vihara Dharma Giri pada tahun 1990-an.Walaupun secara formal tentang data

kependudukan (KTP) tetap dengan identitas agama/keyakinan Hindu, dalam praktiknya

ke agama lain, yaitu Budha. Dengan demikian, etnis ini lebih banyak pergi ke wihara atau

koncho daripada ke pura (Trikahyangan) yang ada di Desa Pupuan dan sangat berbeda

dengan era sebelum Reformasi di Indonesia. Walaupun demikian, tidak ada konflik yang

mencolok di lapangan dan sekali lagi menunjukkan hubungan atau relasi yang harmonis

pada kedua etnis bersangkutan sampai saat ini sehingga hal tersebut menarik juga untuk

dikaji lebih jauh.

Kehidupan yang harmonisdi Desa Pupuan dapat dibuktikan dengan adanya

perkawinan campuran (lintas etnis) yang bersifat eksogami, dalam arti dapat menikah

dengan etnis lain di luar etnis Tionghoa. Padahal, etnis Tionghoa memiliki kebudayaan

tersendiri sebagai simbol identitasnya yang mengutamakan perkawinan satu etnis. Begitu

juga etnis Bali memiliki budaya dengan simbol identitas yang berbeda, tetapi dapat saling

menerima.

Di lokasi penelitian (Desa Pupuan), informasi yang didapatkan, yaitu ada sekitar

sepuluh orang yang melakukan perkawinan lintas etnis, baik dari etnis Bali maupun etnis

Tionghoa. Hal tersebut menarik dikritisi sebab terjadi ketidaklaziman dalam perkawinan

etnis Tionghoa yang pada umumnya dilakukan dengan sesama etnisnya tetapi di lokasi

penelitian (Desa Pupuan) justru yang terjadi berbeda yaitu perkawinan lintas etnis

(Vasanty, 1987: 351-370).

Page 45: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

6

Bukti lain yang menunjukkan keharmonisan itu adalah etnis Tionghoa juga masuk

menjadi anggota (krama) desa pakraman dan diterima dengan baik oleh etnis Bali

sehingga tidak menimbulkan konflik di desa pakraman di Desa Pupuan. Di samping itu

etnis Tionghoa juga mendirikan sanggah, Jro Gede dan Taksu yang berdampingan

dengan simbol-simbol kepercayaan etnis Tionghoa seperti caitya, ataupun konco dalam

rumahnya. Masuknya etnis Tionghoa pada salah satu simbol identitas etnis Bali, yaitu

desa pakraman, tentu juga menarik dikaji sebab etnis Tionghoa juga memiliki

kebudayaan sendiri sebagai simbol identitasnya (Sutjiati Beratha, Ardika, dan Dhana,

2010: 1-3).

Kajian tentang perkawinan lintas etnis yang dianggap tidak lazim dalam etnis

Tionghoa dan diterimanya etnis Tionghoa oleh etnis Bali dalam desa pakraman tanpa ada

penolakan sehingga tidak menimbulkan konflik (tetap harmonis). Hal itu sangat penting

dikaji lebih dalam untuk mengetahui ada apa di balik itu, padahal sangat kontradiktif atau

bertentangan dengan kultur yang dianut oleh masing-masing etnis tetapi tetap saja dapat

berlangsung.

Etnis Tionghoa yang masuk menjadi anggota desa pakramandapat dipandang

sebagai suatu fenomena tentang relasi antarwarga masyarakat dengan suatu kelompok

sosial tertentu yang dalam hal ini adalah krama desa pakraman. Menurut Susanto (1985:

37-38), suatu kelompok sosial terbentuk disebabkan ada suatu harapan yang dimiliki oleh

setiap anggotanya dan salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan yang bersifat

psikologis untuk memiliki dan digolongkan pada suatu kelompok sebagai tempat untuk

berlindung dan merasa aman. Selanjutnya, Susanto (1985) juga mengatakan bahwa suatu

Page 46: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

7

kelompok juga merupakan kesatuan ekologi yang terbentuk melalui perhimpunan orang

yang menempati suatu daerah tertentu dalam jangka waktu yang cukup lama dan

mengalami integrasi sebagai akibat memiliki hubungan sosial ekonomi.

Berdasarkan pandangan itu maka perlu dikaji lebih jauh apakah fenomena sosial

tersebut terjadi didorong oleh berbagai alasan di antara kelompok yang berinteraksi.

Kajian ini dianggap menarik dan penting dilakukan karena masyarakat Indonesia yang

majemuk (pluralis) bersifat ambivalensi, yaitu di satu sisi kemajemukan itu menjadi

sebuah kebanggaan, tetapi di lain sisi sangat memprihatinkan. Membanggakan karena

kemajemukan memiliki potensi yang dapat dikembangkan menjadi asset bangsa dalam

pembangunan seperti pembangunan pariwisata yang mengandalkan potensi budaya yang

berwarna- warni, dan menurut Sutjiati Beratha, Ardika, dan Dhana (2010: 2) disebutnya

sebagai mozaik kebudayaan.

Sebaliknya, dikatakan memprihatinkan sebab kondisi yang pluralis itu sering

menimbulkan berbagai persoalan seperti konflik di berbagai tempat di tanah air yang pada

dasarnya dipicu oleh adanya pertikaian (konflik) antaretnis termasuk di dalamnya berasal

dari etnis keturunan Tionghoa yang sering menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh

etnis non-Tionghoa (Purdey, 2013: 255-256).Konflik antaretnis seperti diuraikan oleh

Purdey itu justru dapat mengganggu upaya pencapaian integrasi nasional secara optimal

sebagaimana yang ditulis oleh Koentjaraningrat (1993) dan Atmadja (2008).

Harmoni adalah sesuatu yang dicita-citakan (diidealkan) oleh semua orang dalam

kehidupan bermasyarakat. Terciptanya harmoni itu tidak bersifat “given” (terberi atau

diterima) begitu saja, tetapi terbentuk melalui proses (sejarah) yang cukup panjang dan

Page 47: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

8

perlu diperjuangkan. Dengan demikian,dalam proses terbentuknya hubungan yang

harmonis antara etnis Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan tampaknya perlu dikaji

lebih jauh untuk mengetahui dan memahami tentang dinamika kuasa dalam kehidupan

yang sesungguhnya terjadi di antara kedua etnis tersebut.

Etnis Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan,walaupun diakui secara kasat mata

ditemukan bahwa kedua etnis yang berbedadapat dan mau bekerjasama dalam suatu

aktivitas sosial tertentu, sesungguhnya belum tentu etnis bersangkutan selalu bersikap

egaliter dan menghormati satu dengan yang lainnya. Hal tersebut didasarkan pada

pandangan Foucault (dalam Bertens, 2014: 310-316) yang mengatakan bahwa kekuasaan

ada di mana-mana sehingga di manapun hubungan atau relasi sosial selalu ada nuansa

kekuasaan dan di antara pihak-pihak yang berinteraksi itu ada upaya saling menguasai

atau mendominasi. Foucault juga mengatakan bahwa siapa yang memiliki pengetahuan

sekaligus memiliki kekuasaan.

Pandangan Foucault tersebut mengindikasikan bahwa kedua etnis yang ada di

Desa Pupuan memainkan pengetahuan atau kekuasaannya dalam kontestasi di lapangan

untuk tetap mempertahankan posisinya masing-masing sehingga perlu dibuktikan

kebenaran dari teori tersebut. Jika teori itu benar maka perlu dibuktikan dan dikritisi

apakah pihak yang dikuasai mendapat perlakuan yang bersifat diskriminatif, hegemonik,

dan bahkan kekerasan fisik dari kelompok dominan di lapangan melalui penelitian ini.

Demikian juga kehidupan harmonis yang ada di Desa Pupuan jika mengacu pada

pandangan Bourdieu (1930-2002) maka tidak menutup kemungkinan dapat tercipta atau

terwujud disebabkan oleh adanya permainan salah satu modal,yaitu modal kuasadalam

Page 48: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

9

suatu arena (ranah) yang dilakukan oleh etnis dominan atau mayoritas untuk tetap dapat

menghegomoni etnis minoritas (etnis Tionghoa) agar etnis mayoritas (etnis Bali) tetap

pada posisi supraordinat sehingga etnis minoritas tetap pada posisi subordinat.

Etnis Bali sebagai etnis mayoritas juga dapat memainkan habitusnya seperti

pandangan Bourdieu bahwa pada tataran ranah atau arena, etnis mayoritas dengan modal

simbolik yang dimilikinya dapat dimainkannya terhadap kelompok lain dalam hal ini

etnis minoritas, yakni etnis Tionghoa, sehingga konsensus atau harmoni tetap bisa terjaga

(ajeg). Sementara itu, jika merujuk pada pandangan ataupun teori Talcott Parsons, yaitu

Teori Tindakan (Upe, 2010: 115-126) yang diistilahkan oleh Parsons dengan AGIL

(Adaptation, Goal, Integrationdan Latent Pattern) dikatakan bahwa stabilitas masyarakat

tetap eksis (harmonis) jika memenuhi persyaratan fungsional.

Berdasarkan uraian di atas maka perlu dikaji atau dikritisi lebih lanjut apakah di

antara kedua etnis di Desa Pupuan dalam merajut hubungan yang serasi, selaras, dan

seimbang untuk terciptanya sebuah kehidupan yang harmoni sampai saat ini ada atau

tidak ada permainan kuasa yang terjadi sehingga diharapkan akan ditemukan suatu

dinamika kehidupan kedua etnis itu yang terjadi selama ini.

Harmoni sebagai keharusan sosial dapat pula dibentuk melalui model pendidikan,

baik pendidikan bersifat tradisional maupun bersifat modern melalui pedidikan formal

(persekolahan). Pendidikan tradisional itu dapat berlangsung di dalam keluarga yang

disebut pendidikan informal dan dapat berlangsung di masyarakat yang disebut

pendidikan nonformal. Dalam pendidikan keluarga (informal) ataupun pendidikan di

masyarakat (nonformal) diberikan oleh orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat tentang

Page 49: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

10

berbagai hal yang berbubungan dengan kearifan lokal sehingga sering disebut model

pendidikan etnopedagogik. Melalui model pendidikan etnopedagogik ini dapat

ditumbuhkembangkan nilai-nilai kearifan lokal sehingga dapat diinternalisasikan dan

selanjutnya disosialisasikan oleh masing-masing individu dan kelompoknya untuk saling

menjaga kerukunan atau harmoni tersebut.

Dengan demikian, pendidikan itu pada hakikatnya dapat dipandang sebagai

ideologisasi, yaitu proses penanaman ideologi. Pendidikan itu juga tidak bisa lepas dari

nuansa politis, ideologis, dan setrategis. Oleh karena itu, apakah terciptanya keadaan yang

harmonis di Desa Pupuan dipengaruhi oleh praktik atau penerapan model pendidikan

etnopedagogik yang dilakukan oleh kedua etnis, yakni etnis Tionghoa dan etnis Bali.

Atas dasar itu maka dipandang perlu ada kajian lebih lanjut untuk menemukan

bagaimana model pendidikan yang dipraktikkan oleh kedua etnis tersebut dalam upaya

menanamkan gagasan atau ideologi berupa kearifan lokal (etnopedagogik) kepada

keluarga terdekat atau generasinya agar dapat tetap hidup berdampingan dengan damai,

rukun (harmonis) dalam masyarakat yang multikulturalisme.

Pengkajian topik dalam disertasi ini juga dipandang amat penting dilakukan

didasarkan pada asumsi bahwa ada seperangkat nilai dan norma yang dijadikan pedoman

dalam bertindak oleh kedua etnis di Desa Pupuan dalam menjaga kehidupan yang

harmonis, yaitu berupa nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini terlupakan dari studi-

studi yang dilakukan oleh para peneliti. Nilai-nilai kearifan lokal yang masih bertahan

dan berkembang pada komunitas yang berbeda etnis (di Desa Pupuan) itu nantinya dapat

Page 50: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

11

dijadikan rujukan untuk disebarluaskan atau disosialisasikan ke daerah-daerah rawan

konflik yang dipicu oleh perbedaan etnis di seluruh Indonesia.

Dalam konteks Indonesia, pembicaraan tentang etnisitas menjadi penting sebab

dalam beberapa tahun terakhir ini hampir setiap konflik yang terjadi di berbagai daerah

selalu melibatkan etnis (Purday, 2013: 255-256; Rahardjo, 2005: 5). Bahkan, di era global

ini budaya-budaya lokal yang bersifat keetnisan semakin menguat dan penguatan ini akan

dapat menjadi petaka yang melahirkan konflik antarbudaya yang tidak terselesaikan

(Huntington, 2002: 227).

Dengan demikian, kajian disertasi ini yang sejatinya juga bersinggungan

denganetnisitas menjadi penting dilakukan untuk mendapatkan sebuah potret atau

gambaran mengapa di Bali, dalam hal ini Desa Pupuan dapat tercipta sebuah harmoni

yang relatif stabil, sedangkan di luar daerah Bali amat paradoks. Melalui kajian ini

diharapkan ditemukan suatu formula atau resep yang dapat disosialisasikan untuk

mencegah terjadinya konflik antaretnis dan hal-hal yang tidak diinginkan dalam rangka

mengelola pluralitas dengan berpedoman pada motto “Bhinneka Tunggal Ika” dan

doktrin multikulturalisme.

Studi etnisitas memang diakui sudah banyak dilakukan oleh ilmuan sosial

humaniora terhadap etnis Tionghoa yang ada di daerah perkotaan. Namun,studi etnisitas

khususnya etnis Tionghoa yang ada di wilayah pedesaan masih jarang dilakukan padahal

jika dilakukan pengkajian lebih dalam tidak kalah menariknya seperti yang dikemukakan

oleh Habib (2004: 1-13).

Page 51: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

12

Sejalan dengan pandangan Habib tersebut maka penelitian terhadap etnis

Tionghoa di Desa Pupuan dipandang masih perlu dilakukan. Kajian ini menurut

pandangan peneliti menjadi semakin penting dan menarik untuk didalami di tengah-

tengah munculnya disintegrasi bangsa dan kerapuhan rasa persatuan bangsa belakangan

ini yang menjadi isu atau permasalahan nasional terutama mengenai masalah integrasi

antaretnis, yang disoroti dari perspektif kajian budaya (cultural studies).

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan tiga masalah yang

perlu dikaji dalam penelitian disertasi ini, yaitu:

1) Mengapa etnis Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan Tabanan Bali

dapat hidup berdampingan secara harmonis ?

2) Bagaimana dinamika kuasa di balik hubungan harmonis dalam kehidupan

etnis Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan Tabanan Bali?

3) Bagaimana model pendidikan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa dan

etnis Bali di Desa Pupuan Tabanan Bali dalam menciptakan hubungan

harmonis dari perspektif etnopedagogik?

1.3Tujuan Penelitian

Page 52: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

13

Penelitian yang dilakukan ini memiliki tujuan yang diharapkan dapat dicapai dan

secara garis besarnya dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) tujuan yang bersifat umum,

dan (2) tujuan yang bersifat khusus.

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memahami kuasa di balik

harmonitentangrelasi etnis Tionghoa danetnis Bali di Desa Pupuan,Tabanan,Bali.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk :

1) mengetahui berbagai alasan yang menyebabkan etnis Tionghoa dan etnis Bali di

Desa Pupuan,Tabanan,Bali dapat hidup berdampingan secara harmonis;

2) mengetahui dinamika kuasa di balik hubungan harmonis dalam kehidupan etnis

Tionghoa dan etnis Bali di Desa Pupuan,Tabanan, Bali;

3) mengetahi model pendidikan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa dan etnis Bali

di Desa Pupuan, Tabanan, Bali dalam menciptakan hubungan yang harmonis dari

perspektif etnopedagogik

1.4 Manfaat Penelitian

Sebagaimana sudah disinggung di latar belakang permasalahan penelitian bahwa

penelitian ini penting dilakukan sebab memiliki urgensi dan signifikansi untuk kondisi

bangsa dewasa ini dan ke depannya sehingga dapat mengantisipasi persoalan-persoalan

Page 53: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

14

atau gejolak-gejolak sosial yang dapat memecah belah keutuhan bangsa dan negara ini.

Isu-isu yang bernuasa SARA sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak

ingin melihat bangsa dan negara ini utuh atau bersatu dan besar di antara negara-negara

yang ada di planet bumi ini.

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoretis maupun

secara praktis, dengan menggali kearifan-kearifan lokal (ideologi) yang tumbuh dan

berkembang di tengah-tengah kehidupan komunitas atau masyarakat heterogen tertentu

seperti yang ada di Desa Pupuan, Tabanan, Bali, yaitu terjalinnya relasi yang harmonis

antara dua etnis yang berbeda, yakni etnis Bali dan etnis Tionghoa, dengan mengkritisi

hal-hal yang melatarbelakanginya sehingga dapat menguak tabir atau misteri yang selama

ini yang dijadikan pedoman atau resep untuk menjaga keharmonisannya di antara kedua

etnis tersebut. Untuk lebih jelasnya, manfaat atau urgensi penelitian ini dilakukan dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1) Manfaat Teoretis

Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat:

(1) memperkaya khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya dan

berkontribusi pada bidang Kajian Budaya (Cultural Studies) dalam

mengkaji berbagai fenomena yang hidup dan berkembang pada

komunitas pemiliknya yang dalam hal ini pada etnis Tionghoa dan etnis

Bali, seperti kearifan lokal (local wisdom), ideologi, sistem nilai,

pengetahuan tradisional (local knowledge), sistem kepercayaan dan

Page 54: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

15

relegi sehingga etnis yang berbeda dapat hidup berdampingan secara

harmonis;

(2) sebagai sumber ilmu pengetahuan dalam mengkaji keunikan-keunikan

identitas etnis tertentu secara lokalitas yang tidak disentuh oleh

kebanyakan orang sehingga dimarginalkan dan hanya dapat ditampilkan

dengan bersandarkan pada sumber-sumber tertulis, tetapi justru

mengesampingkan peran perilaku (praksis) darimasyarakat yang

bersangkutan.

2) Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai:

(1) pedoman dan masukan kepada pengambil kebijakan

(pemerintah) dalam mengatasi masalah-masalah hubungan antaretnis

dan upaya pencegahannya atau tindakan preventif sehingga kehidupan

yang harmonis dalam masyarakat dan berbangsa tetap dapat diciptakan

dan dipertahankan selamanya;

(2) mendorong bagi para akademisi atau pemerhati permasalahan-

permasalahan sosial untuk melakukan kajian-kajian yang sejenis untuk

ikut berperan serta aktif memecahkan masalah-masalah yang terjadi

belakangan ini tentang disharmonis yang menjurus ke disintegrasi

hubungan antaretnis di luar Bali yang pada akhirnya dapat

membahayakan keutuhan bangsa ini yang dibangun dengan susah payah

oleh seluruh rakyat Indonesia pada masa lalu;

Page 55: “Kuasa di Balik Harmoni: Etnografi Kritis Relasi Etnis ......v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuh an Yang Maha Esa), karena

16

(3) acuan bagi masyarakat di Desa Pupuan,Tabanan,Bali, baik etnis Bali

maupun etnis Tionghoa, dalam mempertahankan keharmomonisan

dalam menjalin kehidupan antaretnis secara lokalitas dan menjauhkan

diri dari hal-hal yang dapat memicu permusuhan (disharmonis) antaretnis

pada masa-masa mendatang.