documentao

7
DEFINISI Atypical odontalgia adalah nyeri fasial atipikal yang nyata pada gigi normal. Diagnosis ini biasanya disadari oleh dokter gigi setelah gagalnya beberapa perawata yang dilakukan. Nyeri ini biasanya berhubungan dengan prosedur dental atau trauma pada regio yang dirasa sakit. Walaupun penyebab penyakit ini belum jelas, namun dapat dimungkinkan penyakit ini terjadi karena mekanisme putusnya saraf afferen yang disebut deafferentasi (Graff-Radford dan Solberg, 1992). Atypical odontalgia adalah nyeri hebat, kronis, dan menetap pada satu atau beberapa gigi yang normal secara klinis tanpa dijumpai adanya keadaan abnormal pada tes perkusi, tes thermal, tes elektrik atau radiografi (Biron, 1996; Blasberg dan Greenberg, 1994). Umumnya terjadi tanda-tanda neuropatik seperti allodynia dan hyperalgesia. Panas, dingin, dan tekanan tidak mempengaruhi kondisi nyeri atypical odontalgia (Blasberg dan Greenberg, 1994). Karakteristik atypical odontalgia adalah adanya nyeri setelah tindakan endodontik atau pencabutan gigi dan menetap pada daerah bekas pencabutan gigi atau meluas ke gigi yang berdekatan (Alberts, 2009). Nyeri atypical odontalgia biasanya pada gigi dan tulang alveolar dan tidak mengganggu tidur pasien (Matwychuk, 2004; Koratkar dan Pederson, 2008; Mellis dan Secci, 2007). Pasien sulit menentukan lokasi nyeri. Biasanya nyeri terjadi pada daerah trauma, tetapi dapat meluas ke daerah yang berdekatan baik secara unilateral maupun bilateral (Matwychuk, 2004).

Upload: arwinda-hening

Post on 15-Apr-2016

11 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

cc

TRANSCRIPT

Page 1: DocumentAO

DEFINISI

Atypical odontalgia adalah nyeri fasial atipikal yang nyata pada gigi normal. Diagnosis ini

biasanya disadari oleh dokter gigi setelah gagalnya beberapa perawata yang dilakukan. Nyeri ini

biasanya berhubungan dengan prosedur dental atau trauma pada regio yang dirasa sakit.

Walaupun penyebab penyakit ini belum jelas, namun dapat dimungkinkan penyakit ini terjadi

karena mekanisme putusnya saraf afferen yang disebut deafferentasi (Graff-Radford dan

Solberg, 1992).

Atypical odontalgia adalah nyeri hebat, kronis, dan menetap pada satu atau beberapa gigi yang

normal secara klinis tanpa dijumpai adanya keadaan abnormal pada tes perkusi, tes thermal, tes

elektrik atau radiografi (Biron, 1996; Blasberg dan Greenberg, 1994). Umumnya terjadi tanda-

tanda neuropatik seperti allodynia dan hyperalgesia. Panas, dingin, dan tekanan tidak

mempengaruhi kondisi nyeri atypical odontalgia (Blasberg dan Greenberg, 1994). Karakteristik

atypical odontalgia adalah adanya nyeri setelah tindakan endodontik atau pencabutan gigi dan

menetap pada daerah bekas pencabutan gigi atau meluas ke gigi yang berdekatan (Alberts,

2009). Nyeri atypical odontalgia biasanya pada gigi dan tulang alveolar dan tidak mengganggu

tidur pasien (Matwychuk, 2004; Koratkar dan Pederson, 2008; Mellis dan Secci, 2007). Pasien

sulit menentukan lokasi nyeri. Biasanya nyeri terjadi pada daerah trauma, tetapi dapat meluas ke

daerah yang berdekatan baik secara unilateral maupun bilateral (Matwychuk, 2004).

EPIDEMIOLOGI

Insiden atypical odontalgia lebih sering dijumpai pada wanita, khususnya yang berusia 40 tahun

(Matwychuk, 2004; Koratkar dan Pederson, 2008; Mellis dan Secci, 2007, Alberts, 2009).

Atypical odontalgia bisa mengenai semua umur, kecuali anak-anak (Matwychuk, 2004; Koratkar

dan Pederson, 2008). Atypical odontalgia lebih sering mengenai daerah molar dan premolar

maksila (Matwychuk, 2004; Koratkar dan Pederson, 2008; Mellis dan Secci, 2007, Alberts,

2009). Pada sebagian besar pasien atypical odontalgia tidak dijumpai adanya penyakit atau

penyebab lain. Pada sebagian kecil pasien atypical odontalgia dijumpai gejala yang serius seperti

stres dan depresi (EAOM, 2005). Informasi epidemiologi menunjukkan bahwa 3-6% nyeri

atypical odontalgia terjadi setelah perawatan endodonti (Matwychuk, 2004).

ETIOPATOGENESIS

Atypical odontalgia umumnya terjadi setelah ekstirpasi pulpa, apikoektomi, dan pencabutan gigi,

Page 2: DocumentAO

meskipun demikian atypical odontalgia dapat juga idiopatik (Matwychuk, 2004; Koratkar dan

Pederson, 2008; Alberts, 2009). Trauma wajah dan pemblokan saraf alveolaris inferior juga

ditemukan sebagai penyebab atypical odontalgia. Atypical odontalgia juga sering diragukan

dengan komplikasi paska perawatan normal atau komplikasi dari paska trauma (Matwychuk,

2004).

Patofisiologi atypical odontalgia masih belum jelas, dapat idiopatik, gangguan kejiwaan, atau

gangguan saraf. Teori lain menyatakan terputusnya sistem saraf afferen (deafferentasi) yaitu

hilangnya atau gangguan serabut saraf sensori akibat luka traumatik yang menyebabkan

perubahan pada sistem saraf tepi, saraf pusat, dan saraf otonom (Matwychuk, 2004; Koratkar dan

Pederson, 2008; Mellis dan Secci, 2007; Conti, dkk., 2003). Deafferentasi ini menyebabkan nyeri

kronik dan gejala lain seperti paresthesia dan dysesthesia. Mekanisme lain dari patogenesis nyeri

atypical odontalgia adalah sensitisasi serabut saraf, regenerasi saraf afferent yang berdekatan,

aktivasi saraf simpatik afferent, aktivasi silang afferen, hilangnya mekanisme penghambat dan

perubahan phenotypic saraf afferen (Matwychuk, 2004).

Nyeri atypical odontalgia memiliki mekanisme yang bervariasi, ada yang ringan, kompleks, dan

ada yang tidak jelas. Kerusakan saraf tepi mudah dideteksi. Pada bagian saraf tulang alveolar

yang rusak, hiperaktif saraf menyebabkan terjadinya nyeri yang menetap. Nyeri sering menetap

dengan blok anestesi. Hiperaktivitas CNS dapat menyebabkan nyeri yang menetap pada gigi.

Kerusakan saraf tepi dapat menyebabkan perubahan pada cabang kedua saraf trigeminal yang

bersinaps dengan nosiseptor saraf nyeri. Perubahan terjadi secara memusat dimana transmisi

nyeri terjadi secara terus-menerus ke pusat cortical yang lebih tinggi (Ganzberg, 1999).

DIAGNOSA

Diagnosa berdasarkan gejala primer seperti lokasi nyeri dan sifat nyeri, dan pengeliminasian

penyakit lain yang memiliki gejala yang hampir sama dengan atypical odontalgia. Tes yang

mungkin digunakan adalah diagnostic dental x-ray, panoramix, CT scan, dan MRI. Jika anestesi

blok tidak dapat mengurangi nyeri atau memberi hasil yang meragukan, maka dapat didiagnosa

sebagai atypical odontalgia (Melis dkk., 2003). Kriteria diagnosa atypical odontalgia menurut

Graff-Radfort dan Solberg pada tahun 1992 adalah nyeri pada gigi dan sekitar gigi, nyeri yang

terus-menerus dan menetap lebih dari 4 bulan, tidak diketahui lokasi nyeri, serta nyeri tidak

hilang dengan anestesi blok (Matwychuk, 2004; Koratkar dan Pederson, 2008; Mellis dan Secci,

Page 3: DocumentAO

2007; Blasberg dan Greenberg, 2003). Pada tahun 1995, Pertes dkk memperbaharui kriteria

tersebut dengan menambahkan kriteria diagnosa atypical odontalgia yaitu nyeri yang tidak

berespon terhadap perawatan gigi (Matwychuk, 2004; Koratkar dan Pederson, 2008).

PERAWATAN

Hal yang paling penting diketahui adalah bahwa tindakan dental harus dicegah dalam perawatan

atypical odontalgia. Beberapa literatur menyatakan bahwa perawatan farmakologi sering berhasil

dalam perawatan atypical odontalgia. Beberapa nama-nama obat yang telah dicoba dan efektif

untuk mengontrol nyeri atypical odontalgia antara lain. Gabapentin, Clonazepam, Baklofen,

Aspirin, Phentolamine infusion, Kokain, Doxepin, Monoamine oxidase inhibitors, Opioid,

Suntikan anestesi lokal dan kortikosteroid, Penghambat saraf simpatik dan parasimpatik, Topical

capsaicin, Eutectic mixture of lidocaine dan prilocaine bases (Mellis dan Secci, 2007).

Obat yang paling efektif adalah trisiklik antidepressan seperti Amitriptilin sendiri atau kombinasi

dengan phenothiazin (Koratkar dan Pederson, 2008; Mellis dan Secci, 2007). Hasilnya biasanya

baik dan pada banyak pasien dapat menghilangkan rasa nyeri dengan sempurna. Marbach

melaporkan 17 dari 25 kasus atypical odontalgia berhasil dirawat dengan trisiklik antidepressan.

Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Brooke, yang mana 50% dari 22 pasien sembuh permanen

dengan trisiklik antidepressan (Mellis dan Secci, 2007). Perawatan di mulai dengan dosis 20-25

mg amitriptilin yang digunakan untuk mengontrol nyeri dan efek samping. Dosis ini digunakan

sampai nyeri membaik, biasanya ditingkatkan sampai 75 mg per hari, tetapi efek samping yang

terjadi dapat mencegah dokter/klinisi meningkatkan dosis. Penting untuk membicarakan efek

samping obat ini kepada pasien. Efek samping amitriptilin adalah pening, ngantuk berat, sakit

kepala, xerostomia, konstipasi, meningkatkan nafsu makan dan berat badan, nausea, hipotensi,

aritmia, takikardia, gelisah, sedasi, dan diare (Koratkar dan Pederson, 2008; Mellis dan Secci,

2007). Antidepresan yang lain yang memiliki efek yang sama adalah imipramin, sedangkan

nortriptilin menyebabkan rasa ngantuk, hipotensi dan arritmia yang tidak seberat pada

amitriptilin. Gejala tidak dapat dikontrol dengan penggunaan tunggal trisiklik antidepressan,

tetapi phenothiazin dapat digunakan untuk pengobatan (Mellis dan Secci, 2007).

Meskipun demikian, perhatian khusus seharusnya diberikan kepada respon pasien terhadap

pengobatan antidepressan karena efek samping termasuk tardive dyskinesia, yang disebut dengan

penyakit extrapyramidal permanen. Kegunaan antidepressan seharusnya dikurangi pada kasus-

Page 4: DocumentAO

kasus yang tidak dapat disembuhkan dan dosisnya seharusnya dikurangi dan tidak dilanjutkan

setelah nyeri terkontrol (Mellis dan Secci, 2007).

DAFTAR PUSTAKA

Alberts IL. Idiopathic Orofacial Pain: A Review. The Internet J of Pain 2009; 2(6): 1-8.

Biron CR. Atypical Odontalgia is often Dismissed as “Vivid Imagination” During diagnosis.

RDH 1996; 16: 40-4.

Blasberg B, Greenberg MS. Oral Symptoms Without Apparent Physical Abnormality. In: Lynch

Ma, Brightman

VJ, Greenberg MS, eds. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment. 9th ed. Philadelphia:

JB Lippincott Co., 1994: 374-94.

Blasberg B, Greenberg MS. Orofacial Pain. In: Greenberg MS, Glick M, eds. Burket’s Oral

Medicine Diagnosis and Treatment. 10th ed. Hamilton: BC Decker Inc., 2003: 307-40.

Conti PCR, Pertes RA, Heir GM. Orofacial Pain: Basic Mechanisms and Implication for

Successful Management. Pain 2003; 11(1): 1-7.

EAOM. Atypical and Idiopathic Facial Pain. School of Dental Medicine University of Zagreb

2005.

Graff-Radford SB, Solberg WK. Atypical odontalgia. J Craniomandib Disord. 1992

Fall;6(4):260-5.

Koratkar H, Pederson J. Clinical Feature: Atypical Odontalgia: A Review. J Minnesota Dent

Assoc 2008; 1(87): 1-6.

Matwychuk MJ. Diagnostic Challenges of Neuropathic Tooth Pain. J Can Dent Assoc 2004;

70(8): 542-6.

Page 5: DocumentAO

Melis M, Lobo-lobo S, Ceneviz C. Atypical Odontalgia: A Review of the Literature. Headache

2003; 10: 1060-74.

Mellis M, Secci S. Diagnosis and Treatment of Atypical Odontalgia: A Review of the Literature

and Two Case Reports. J Contemp Dent Pract 2007; 3(8): 81-9.