antropologi maritim: masyarakat nelayan indonesia
TRANSCRIPT
Pertanyaan
Kami mengambil beberapa pertanyaan penting yang muncul dalam
penelitian yang dibukukan ini, pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:
1. Bagaimanakah perkembangan berbagai kelompok masyarakat pedesaan
khususnya pedesaan nelayan dalam menghadapi implikasi kebijaksaan
atau program-program pemerintah yang diterapkan?
2. Berkaitan dengan pertanyaan pertama, penelitian ini melakukan analisa
komparatif mengenai:
Bagaiamanakah keterkaitan antara tujuan dan kebijaksanaan
pembangunan pedesaan pada tingkat nasional dengan sasaran
pedesaan?
Apakah kebijaksanaan dan program-program pembangunan
pedesaan terkait dengan sejumlah skenario pembangunan?
Sejauh mana kebijaksanaan dan program-program pembangunan
pedesaan di derah (lokalita) tertentu didasarkan pada ekologi
setempat serta kebudayaan dan keterampilan yang sudah dikuasai
oleh masyarakat yang bersangkutan?
Penelitian ini memfokuskan diri pada pengaruh-pengaruh program
pembangunan pedesaan, struktur sosio-ekonomi dan fenomena politik pada
perkembangan masyarakat pedesaan khususnya nelayan.
Asumsi
Masyarakat nelayan pada umumnya menganggap ada stratifikasi implisit
dalam lingkungan sosial mereka. Mereka membagi membagi strata sosial menjadi
dua group besar. Group pertama terdiri dari kelompok nelayan kaya dan
kelompok nelayan kaya sekali. Group kedua terdiri dari kelompok ekonomi
sedang, miskin dan miskin sekali. Penelitian ini menemukan fakta bahwa pada
umumnya kelompok nelayan miskin telah berusia diatas 40 tahun. Eksistensi
strata sosial ini sudah begitu mengakar kuar dalam sistem kognisi mereka,
By: Darundiyo Pandupitoyo, S. Sos. and Friends
Antropologi Maritim: Masyarakat Nelayan Indonesia
walaupun strata itu sendiri tidak pernah muncul dalam peraturan tertulis adat
istiadat mereka.
Kelompok nelayan miskin yang sebagian telah melewati usia emas dalam
hal produktifitas ini merasa seakan telah kehilangan kesempatan untuk
memperbaiki tingkat sosio-ekonomi keluarga mereka. Nelayan-nelayan miskin
tersebut sekarang mulai melakukakn ekstensifikasi lahan pekerjaan baru dengan
menceburkan diri dalam usaha pertukangan, namun pekerjaan baru tersebut
terpaksa mereka lakukan karena harus mempertahankan kelangsungan hidup
keluarganya. Pada saat berada pada usia emas, para nelayan miskin tersebut hanya
menggantungkan hidup mereka pada melaut tanpa memikirkan ekstensifikasi
lahan pekerjaan lain.
Hasilnya bisa ditebak, pekerjaan melaut mereka yang selalu menghadapi
fenomena alam yang tidak menentu tidak bisa memberikan penghasilan yang
maksimal pada saat mereka muda dan pada saat mereka beranjak tua tenaga
mereka sudah tidak optimal untuk melaut, mereka baru berpikir untuk menambah
pekerjaan demi menunjang hidup. Sehingga skill melaut mereka hanya digunakan
setengah dan mereka bekerja sebagai tukang dengan skill yang cukup asing bagi
mereka.
Masalah yang paling penting dalam kelompok ini dalam usaha
pembangunan sumber daya manusia pedesaan adalah dalam sistem kognisi
mereka telah tertanam beberapa anggapan-anggapan dan beberapa pemikiran yang
menghambat proses pemajuan mereka sendiri. Mereka selalu membawa atribut
“kemiskinan” itu kemana saja mereka pergi, seolah sudah tidak ada lagi harapan
untuk hidup lebih maju. Mereka selalu mendramatisir keadaan kemiskinan mereka
dan dalam kecilnya pendapatan mereka, mereka selalu mengeluh mengenai
pendapatan mereka sehari-hari yang hanya cukup atau mungkin malah kurang
untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sekeluarga.
Keluhan-keluhan semacam itu memberikan dasar pemikiran tentang konsep-
konsep kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan. Mereka menganggap bahwa
pekerjaan yang tetap sepanjang waktu dan kesehatan yang mantap adalah syarat
yang paling penting untuk mencapai kemakmuran itu sendiri.
Program-program kebijakan pemerintah bukannya tidak melihat target-
terget ini, melainkan beberapa kebijakan seakan “kelupaan” akan kepentingan
nelayan-nelayan kecil. Klaim keberhasilan pembangunan sumber daya manusia
terkadang juga mempunyai dampak negatif bagi golongan masyarakat lainnya.
Keberhasilan ini seolah-olah hanya milik beberapa golongan saja. Di buku ini
penulis mengkritik penerapan kebijakan pemerintah yang hanya berdasar pada
perhitungan statistika saja, namun melupakan realitas dalam masyarakat yang
harus diterpretasi lebih dalam agar kebijakan tersebut mampu menjadi solusi
terbaik bagi permasalahan yang dialami oleh masyarakat.
Metode
Studi dalam penelitian ini merupakan studi transdisplin yang mencakup
ilmu-ilmu ekonomi, sosiologi maupun antropologi. Penelitian dalam buku ini
dilakukan di berbagai macam kampung nelayan seperti misal di Kabupaten Jepara
sebagai salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki banyak desa-desa
pantai. Kriteria pemilihan desa obyek penelitian adalah desa nelayan yang
tergolong tertinggal dalam masalah pembangunan pedesaan, akhirnya terpilih dua
desa bernama Bulu dan Ujungbatu, kecamatan kota Jepara. Pada setiap desa
diambil sampel sebanyak 30 keluarga yang dianggap mewakili seluruh strata
sosial yang ada disana dan dari 30 keluarga ini, dipilih 5 keluarga masing-masing
1 keluarga dari strata sosial yan mencakup:
1. Nelayan kaya A yang mempunyai kapal (juragan) sehingga
mempekerjakan nelayan lain sebagai pendega (jurag) tanpa ia sendiri
harus ikut melaut
2. Nelayan kaya B yang memiliki kapal tetapi ia sendiri masih ikut
melaut
3. Nelayan sedang yang kebutuhan hidupnya dapat ditutup dengan
pendapatan pokoknya dari bekerja sebagai nelayan dan memilki
perahu tanpa mempekerjakan tenaga dari luar keluarga.
4. Nelayan miskin yang pendapatannya dari hasil melautnya tidak
cukup untuk kebutuhan sehari-hari, sehingga harus ditambah dengan
melakukan pekerjaan lain, baik dia sendiri atau istri dan anak-
anaknya yang melakukan pekerjaan tersebut.
5. Nelayan Pendega atau tukang kiteng.
Semua responden tersebut langsung diwawancarai dan ditanya mengenai
genealogis atau profil keluarga sampai 2-3 generasi diatasnya untuk mengetahui
pengaruh program-program kebijaksanaan pada masyarakat nelayan secara
keseluruhan. Pengaruh-pengaruh yang dimaksudkan adalah perubahan-perubahan
sosio-ekonomi yang terjadi pada keluarga tersebut yang dapat dilihat dati data
historis genealogis. Perubahan-perubahan tersebut mencakup:
Pendapatan
Mutu kehidupan
Akses pada kekuasaan publik
Partisipasi dalam pengambilan keputusan
Penguasaan keterampilan
Perubahan jenis pekerjaan
Status sosial
Perubahan dalam hubungna kelompok masyarakat lain dan
perbaikan dalam kesadaran sosial dan hak-hak sosial.
Penelitian ini tidak terlalu menekankan pda analisa statistik, melainkan pada
analisa statistik saja, namun lebih banyak menggunakan metode deduktif.
Beberapa indikator pembangunan manusia pada tingkat lokal adalah:
1. mutu pangan
2. perumahan dan pakaian
3. kesehatan
4. mutu air minum
5. mutu lingkungan (banjir dan kekeringan)
6. keamanan dan kejahatan
7. lapangan kerja dan pendapatan
8. kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih tinggi
9. kegiatan politik
10. kesadaran sosial dan nasional
11. peranan wanita dan anak
Bukti
Pada halaman 17 bagian modernisasi perikanan, penulis membeberkan fakta yang
menyebutkan bahwa motorisasi perahu tidak selalu menguntungkan, lebih-lebih
bagi para pandega, terlihat dari tabel di bawah ini:
Tabel 2.
Produktivitas Nelayan di Kabupaten Jepara
1969-1977
1969 1973 1977
Jumlah Nelayan (Orang) 3.344 8.522 10.616
Jumlah Ikan (Ton) 2.241 3.136 1.632
Rata-rata per nelayan (Ton) 671 368 154
Sumber : Don K. Emerson, op. cit. hlm. 31
Dari tabel diatas terlihat bahwa produktivitas nelayan turun sangat cepat
selama 1969 – 1977 bersamaan dengan kebijakan motorisasi kapal-kapal nelayan.
Motorisasi menambah lebar jurang pemisah antara nelayan yang mampu dan
nelayan yang kurang mampu.
Contoh lain adalah kebijakan mengijinkan kapal dengan jaring bermata
kecil atau biasa dikenal dengan istilah pukat harimau pada periode sekitar tahun
1975 dan 1976. Pengembangan kapal-kapal dengan jaring pukat harimau ini
sedikit banyak mengakibatkan pengurangan sumber perikanan jangka panjang,
karena ikan-ikan yang masih relatif kecil ikut terjaring, jelas merusak rantai
ekosistem dan mengurangi pendapatan nelayan-nelayan tradisional yang hanya
hanya memakai perahu dengan jaring biasa.
Namun untuk kasus ini, pemerintah cukup layak untuk diacungi jempol
karena dinilai peka dengan mengeluarkan peraturan yang melarang penggunaan
pukat harimau pada tahun 1981.
Tugas Antropologi Maritim
Oleh:Darundiyo Pandupitoyo 070417391Mohammad Helmi 070317094
Hadi
Jurusan Antropologi SosialFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga2007