antipsikotik, moodstabilizer, kegawatdaruratan psikiatri
DESCRIPTION
psikiatriTRANSCRIPT
A. MEKANISME KERJA OBAT ANTI PSIKOTIK
I. PENDAHULUAN
Pengertian psikotropik menurut WHO adalah obat yang bekerja pada/atau
mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman. Psikofarmakologi berkembang
dengan pesat sejak ditemukannya alkaloid Rauwolfia dan klorpromazin yang ternyata
efektif untuk mengobati kelainan psikiatrik. Berbeda dengan pengobatan antibiotik,
pengobatan dengan psikotropik bersifat simtomatik dan lebih didasarkan pada
pengetahuan empirik.
Jenis-jenis psikotropika biasanya digolongkan berdasarkan kegunaannya
klinisnya, yaitu : anti psikosis, anxiolitik, anti depresan, Mood stabilizer, Cognitive
enhancer, hipnotik, stimulant.
Neuroleptik bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronis. Ciri terpenting
obat neuroleptik ialah : berefek anti psikosis, yaitu berguna untuk mengatasi agresivitas,
hiper aktivitas dan labilitas emosional pada pasien psikosis, dosis besar tidak
menyebabkan koma yang dalam ataupun anesthesia, dapat menimbulkan gejala ekstra
piramidal yang reversible atau ireversibel, tidak ada kecenderungan untuk menimbulkan
ketergantungan psikis atau fisik.
1
II. PEMBAGIAN OBAT-OBAT NEUROLEPTIKA
Obat-obat neuroleptika juga disebut tranquilizer mayor, obat anti psikotik atau
obat anti skizofren, karena terutama digunakan dalam pengobatan skizofrenia tetapi juga
efektif untuk psikotik lain, seperti keadaan manik atau delirium. Obat-obat anti psikotik
ini terbagi atas dua golongan besar, yaitu :
I. Obat anti psikotik tipikal
1. Phenothiazine
Rantai aliphatic : CHLORPROMAZINE
LEVOMEPROMAZINE
Rantai piperazine : PERPHENAZINE
TRIFLUOPERAZINE
FLUPHENAZINE
Rantai piperidine : THIORIDAZINE
2. Butyrophenone : HALOPERIDOL
3. diphenyl-butyl-piperidine : PIMOZIDE
II. obat anti psikotik atipikal
1. Benzamide : SULPIRIDE
2. Dibenzodiazepine CLOZAPINE
OLANZAPINE
QUETIAPINE
3. Benzisoxazole : RISPERIDON
Obat-obat neuroleptika tipikal (tradisional) adalah inhibitor kompetitif pada
berbagai reseptor, tetapi efek anti psikotiknya mencerminkan penghambatan kompetitif
dari reseptor dopamin. Obat-obat ini berbeda dalam potensinya tetapi tidak ada satu
obatpun yang secara klinik lebih efektif dari yang lain. Sedangkan obat-obat neuroleptika
atipikal yang lebih baru, disamping berafinitas terhadap “Dopamine D2 Receptors” juga
terhadap “Serotonin 5 HT2 Receptors”
Obat neuroleptika bukan untuk pengobatan kuratif dan tidak menghilangkan
gangguan pemikiran yang fundamental, tetapi sering memungkinkan pasien psikotik
berfungsi dalam lingkungan yang suportif.
2
III. FARMAKOKINETIK
Obat-obat anti psikotik dapat diserap pada pemberian peroral, dan dapat
memasuki sistem saraf pusat dan jaringan tubuh yang lain karena obat anti psikotik
adalah lipid-soluble. Kebanyakan obat-obatan antipsikotik bisa diserap tapi tidak
seluruhnya. Obat-obatan ini juga mengalami first-pass metabolism yang signifikan. Oleh
karena itu, dosis oral chlorpromazine and thioridazine mempunyai availability sistemik
25 – 35%. Haloperidol dimetabolisme lebih sedikit, dengan availability sistemik rata-rata
65%. Kebanyakan obat antipsikotik bergabung secara intensif dengan protein plasma (92
– 99%) sewaktu distribusi dalam dalam darah. Volume distribusi obat-obatan ini juga
besar, biasanya lebih dari 7L/kg.
Obat-obatan ini memerlukan metabolisme oleh hati sebelum eliminasi dan
mempunyai waktu paruh yang lama dalam plasma sehingga memungkinkan once-daily
dosing. Walaupun setengah metabolit tetap aktif, seperti 7-hydroxychloropromazine dan
reduced haloperidol, metabolit dianggap tidak penting dalam efek kerja obat tersebut.
Terdapat satu pengecualian, yaitu mesoridazine, yang merupakan metabolit utama
thioridazin, lebih poten dari senyawa induk dan merupakan kontributor utama efek obat
tersebut. Sediaan dalam bentuk parenteral untuk beberapa agen, seperti fluphenazine,
thioridazine dan haloperidol, bisa dipakai untuk terapi inisial yang cepat.
Sangat sedikit obat-obatan psikotik yang diekskresi tanpa perubahan. Obat-obatan
tersebut hampir dimetabolisme seluruhnya ke substansi yang lebih polar. Waktu paruh
eliminasi (ditentukan oleh clearance metabolic) bervariasi, bisa dari 10 sampai 24 jam.
IV. MEKANISME KERJA
Secara umum, terdapat beberapa hipotesis tentang cara kerja antipsikotik, yang
dapat digolongkan berdasarkan jalur reseptor dopamin atau reseptor non-dopamine.
Hipotesis dopamin untuk penyakit psikotik mengatakan bahwa kelainan tersebut
disebabkan oleh peningkatan berlebihan yang relatif dalam aktifitas fungsional
neurotransmiter dopamin dalam traktus tertentu dalam otak. Hipotesis ini berlandaskan
observasi berikut:
Sebagian besar obat antipsikotik memblok reseptor postsinaps pada SSP, terutama
pada sistem mesolimbik-frontal.
3
Penggunaan obat yang meningkatkan aktivitas dopamin, seperti levodopa
(prekursor dopamin), amfetamin (merangsang sekresi dopamin), apomorfin
(agonis langsung reseptor dopamin) dapat memperburuk skizofrenia ataupun
menyebabkan psikosis de novo pada pasien.
Pemeriksaan dengan positron emission tomography (PET) menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan reseptor dopamin pada pasien skizofrenia (baik yang
menjalani terapi ataupun tidak) bila dibandingkan dengan orang yang tidak
menderita skizofrenia.
Pada pasien skizofrenia yang terapinya berhasil, telah ditemukan perubahan
jumlah homovallinic acid (HVA) yang merupakan metabolit dopamin, pada
cairan serebrospinal, plasma, dan urin.
Telah ditemukan peningkatan densitas reseptor dopamin dalam region tertentu di
otak penderita skizofren yang tidak diobati. Pada pasien sindroma Tourette, tic
klinis lebih jelas jika jumlah reseptor D2 kaudatus meningkat.
Hipotesis dopamin untuk penyakit skizofren tidak sepenuhnya memuaskan karena obat-
obatan antipsikotik hanya sebagian yang efektif pada kebanyakan pasien dan obat-obatan
tertentu yang efektif mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi untuk reseptor-reseptor
selain reseptor D2.
Lima reseptor dopamin yang berbeda telah ditemukan, yaitu D1 – D5. Setiap satu
reseptor dopamin adalah berpasangan dengan protein G dan mempunyai tujuh domain
transmembran. Reseptor D2, ditemukan dalam kaudatus-putamen, nukleus accumbens,
kortek serebral dan hipotalamus, berpasangan secara negatif kepada adenyl cyclase. Efek
terapi relatif untuk kebanyakan obat-obatan antipsikotik lama mempunyai korelasi
dengan afinitas mereka terhadap reseptor D2. Akan tetapi, terdapat korelasi dengan
hambatan reseptor D2 dan disfungsi ekstrapiramidal.
Beberapa antipsikotik yang lebih baru mempunyai afinitas yang lebih tinggi
terhadap reseptor-reseptor selain reseptor D2. Contohnya, tindakan menghambat alfa-
adrenoseptor mempunyai korelasi baik dengan efek antipsikotik kebanyakan obat baru
ini. Inhibisi reseptor serotonin (S) juga merupakan cara kerja obat-obatan antipsikotik
baru ini. Clozapin, satu obat yang mempunyai tindakan menghambat reseptor D1, D4, 5-
HT2, muskarinik dan alfa-adrenergik yang signifikan, mempunyai afinitas yang rendah
4
terhadap reseptor D2. Kebanyakan obat-obatan atipikal yang baru (seperti olanzapin,
quetiapin, resperidon dan serindole) mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor 5-
HT2A, walaupun obat-obat tersebut juga bisa berinteraksi dengan reseptor D2 atau reseptor
lainnya. Kebanyakan obat atipikal ini menyebabkan disfungsi ekstrapiramidal yang
kurang kalau dibandingkan dengan obat-obatan standar.
V. EFEK KERJA
Penghambatan reseptor dopamin adalah efek utama yang berhubungan dengan
keuntungan terapi obat-obatan antipsikotik lama. Terdapat beberapa jalur utama dopamin
diotak, antara lain :
1. Jalur dopamin nigrostriatal
Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra menuju ganglia basalis. Fungsi jalur
nigrostriatal adalah untuk mengontrol pergerakan. Bila jalur ini diblok, akan terjadi
kelainan pergerakan seperti pada Parkinson yang disebut extrapyramidal reaction
(EPR). Gejala yang terjadi antara lain akhatisia, dystonia (terutama pada wajah dan
leher), rigiditas, dan akinesia atau bradikinesia.
2. Jalur dopamin mesolimbik
Jalur ini berasal dari batang otak dan berakhir pada area limbic. Jalur dopamin
mesolimbik terlibat dalam berbagai perilaku, seperti sensasi menyenangkan, euphoria
yang terjadi karena penyalahgunaan zat, dan jika jalur ini hiperaktif dapat
menyebabkan delusi dan halusinasi. Jalur ini terlibat dalam timbulnya gejala positif
psikosis.
3. Jalur dopamin mesokortikal
Jalur ini berproyeksi dari midbrain ventral tegmental area menuju korteks limbic.
Selain itu jalur ini juga berhubungan dengan jalur dopamine mesolimbik. Jalur ini
selain mempunyai peranan dalam memfasilitasi gejala positif dan negative psikosis,
juga berperan pada neuroleptic induced deficit syndrome yang mempunyai gejala
pada emosi dan sistem kognitif.
5
4. Jalur dopamin tuberoinfundibular
Jalur ini berasal dari hypothalamus dan berakhir pada hipofise bagian anterior. Jalur
ini bertanggung jawab untuk mengontrol sekresi prolaktin, sehingga kalau diblok
dapat terjadi galactorrhea.
Tindakan-tindakan penghambatan relatif pada reseptor oleh obat-obatan antipsikotik
terdapat pada tabel berikut.
Tindakan penghambatan relatif pada reseptor oleh obat-obatan neuroleptik
Obat D2 D4 Alfa1 5-HT2 M H1
Kebanyakan phenothiazine dan thioxanthene
++ - ++ + + +
Thiordazine ++ - ++ + +++ +Haloperidol +++ - + - - -Clozapin - ++ ++ ++ ++ +Molindone ++ - + - + +Olazapin + - + ++ + +Quetiapin + - + ++ + +Risperidon ++ - + ++ + +
6
Sertindole ++ - + +++ - -
VI. INDIKASI PENGGUNAAN
Gejala sasaran antipsikosis (target syndrome) : SINDROM PSIKOSIS, yaitu :
- Hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas (reality testing ability),
bermanifestasi dalam gejala : kesadaran diri (awareness) yang terganggu, daya
nilai norma sosial (judgement) terganggu, dan insight terganggu.
- Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanifestasi dalam gejala :
gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikiran yang tidak wajar (waham),
gangguan persepsi (halusinasi), gangguan perasaan (tidak sesuai dengan situasi),
dan perilaku yang aneh atau tidak terkendali (disorganized).
- Hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanifestasi dalam gejala :
tidak mampu bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.
Sindroma psikosis dapat terjadi pada :
- Sindrom psikosis fungsional : Skizofrenia, psikosis paranoid, psikosis afektif,
psikosis reaktif singkat, dll.
- Sindrom psikosis organik : delirium, dementia, intoksikasi alkohol, dll.
VII. PENGGUNAAN OBAT ANTIPSIKOSIS
a) Pengobatan skizofrenia
Antipsikosis merupakan satu-satunya pengobatan efektif untuk skizofrenia. Tetapi
tidak semua pasien responsif dan normalisasi tingkah laku yang komplit jarang dicapai.
Antipsikosis tradisional (tipikal) paling efektif dalam pengobatan gejala skizofrenia yang
positif (delusi, halusinasi, dan gangguan pemikiran). Obat-obat baru dengan aktifitas
penghambat serotonin (atipikal) efektif untuk pasien-pasien yang resisten dengan obat
tradisional, terutama pengobatan dengan gejala negatif dari skizofrenia (menarik diri,
emosi buntu, kemunduran dalam komunikasi dengan orang lain.
Klorpromazin (CPZ) berefek antipsikosis dan bersifat sedasi. Indikasi utama
fenotiazin adalah skizofrenia, dengan gangguan psikosis. Gejala psikosis yang
dipengaruhi oleh fenotiazin dan antipsikosis lain adalah ketegangan, hiperaktivitas,
combativeness, hostality, halusinasi, delusi akut, susah tidur, anoreksia, perhatian diri
7
yang buruk, negativisme dan kadang-kadang mengatasi sifat menarik diri. Sedangkan
pengaruh fenotiazin kurang terhadap insight, judgement, daya ingat dan orientasi.
Butirofenon diantaranya adalah haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan
mania penderita psikosis yang karena hal tertentu tidak dapat diberi fenotiazin.
Buirofenon merupakan obat pilihan untuk mengobati sindrom Gilles de la Tourette, suatu
kelainan neurologik yang ditandai dengan kejang otot hebat, menyeringai (grimacing)
dan explosive utterances of foul expletives (koprolalia, mengeluarkan kata-kata jorok).
Dibenzodiazepin bersifat atipikal, diantaranya klozapin efektif untuk mengontrol
gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik yang positif (iritabilitas) maupun yang negatif
(social disinterest, incompetence, dan personal neatness).
Pemberian antipsikosis sangat memudahkan perawatan pasien. Walaupun
antipsikosis sangat bermanfaat untuk mengatasi gejala psikosis akut, namun penggunaan
antipsikosis saja tidak cukup untuk merawat pasien psikotik. Perawatan, perlindungan
dan dukungan mental-spiritual terhadap pasien sangatlah penting.
b) Pencegahan mual dan muntah yang hebat
Antipsikosis (umumnya proklorperazin) berguna untuk pengobatan mual akibat
obat. Semua antipsikosis kecuali mesoridazin, molindon, tioridazin, dan klozapin
mempunyai efek antiemetik.
Domperidon diindikasikan untuk mengatasi mual dan muntah, efek obat ini secara
klinis sangat mirip metoklopramid, yaitu mencegah refluks esofagus berdasarkan efek
peningkatan tonus sfingter bagian bawah.
c) Penggunaan lain
Antipsikosis dapat digunakan sebagai tranquilizer untuk mengatur tingkah laku
yang agitatif dan disruptif. CPZ merupakan obat terpilih untuk pengobatan cegukan yang
menetap yang berlangsung berhari-hari dan sangat mengganggu. Prometazin digunakan
untuk pengobatan pruritus karena sifat-sifat antihistaminnya.
Apabila antipsikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis yang
sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan antipsikosis lain
8
(sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekuivalennya, dimana profil
efek samping belum tentu sama.
Apabila dalam riwayat penggunaan antipsikosis sebelumnya, jenis antipsikosis
tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek sampingnya, dapat
dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
VIII. SEDIAAN ANTIPSIKOSIS DAN DOSIS ANJURANNo Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjuran1 Chlorpromazine LARGACTIL
PROMACTILMEPROSETILETHIBERNAL
Tab. 25 mg, 100 mg
Amp.25 mg/ml
150-600 mg/h
2 Haloperidol SERENACE
HALDOLGOVOTILLODOMERHALDOL DECA-NOAS
Tab. 0,5 mg, 1,5&5 mgLiq. 2 mg/mlAmp. 5 mg/mlTab. 0,5 mg, 2 mgTab. 2 mg, 5 mgTab. 2 mg, 5 mgAmp. 50 mg/ml
5-15 mg/h
50 mg / 2-4 minggu
3 Perphenazine TRILAFON Tab. 2 mg, 4&8 mg 12-24 mg/h4 Fluphenazine
Fluphenazine-decanoate
ANATENSOLMODECATE
Tab. 2,5 mg, 5 mgVial 25 mg/ml
10-15 mg/h25 mg / 2-4 minggu
5 Levomepromazine
NOZINAN Tab.25 mgAmp. 25 mg/ml
25-50 mg/h
6 Trifluoperazine STELAZINE Tab. 1 mg, 5 mg 10-15 mg/h7 Thioridazine MELLERIL Tab. 50 mg, 100 mg 150-600 mg/h8 Sulpiride DOGMATIL –
FORTE Tab. 200 mgAmp. 50 mg/ml
300-600 mg/h
9 Pimozide ORAP FORTE Tab. 4 mg 2-4 mg/h10 Risperidone RISPERDAL
NERIPROSNOPRENIAPERSIDAL-2RIZODAL
Tab. 1,2,3 mgTab. 1,2,3 mgTab. 1,2,3 mgTab. 2 mgTab. 1,2,3 mg
Tab 2-6 mg/h
11 Clozapine CLOZARIL Tab. 25 mg, 100 mg 25-100 mg/h12 Quetiapine SEROQUEL Tab. 25 mg, 100 mg,
200 mg50-400 mg/h
13 Olanzapine ZYPREXA Tab. 5 mg, 10 mg 10-20 mg/h
9
IX. PENGATURAN DOSIS
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan :
- Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2 – 4 minggu
Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2 – 6 jam
- Waktu paruh : 12 – 24 jam (pemberian obat 1-2 x perhari)
- Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek samping
(dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas
hidup pasien.
Pengobatan dimulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran
dinaikkan setiap 2 – 3 hari
sampai mencapai dosis efektif (mulai timbul peredaan Sindrom Psikosis)
dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan
dosis optimal
dipertahankan sekitar 8 – 12 minggu (stabilisasi)
diturunkan setiap 2 minggu
dosis maintenance
dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi drug holiday 1- 2 hari/minggu
tappering off (dosis diturunkan tiap 2 – 4 minggu)
stop
X. LAMA PEMBERIAN
Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang ”multi episode”, terapi
pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun. Pemberian yang
cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 – 5 kali.
Efek antipsikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah
dosis terakhir masih mempunyai efek klinis. Sehingga tidak langsung menimbulkan
kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya satu bulan kemudian baru gejala Sindrom
Psikosis kambuh kembali. Hal tersebut disebabkan metabolisme dan ekskresi obat sangat
lambat, metabolit-metabolit masih mempunyai keaktifan antipsikosis.
10
Pada umumnya pemberian antipsikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan
sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk ”Psikosis
Reaktif Singkat” penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya gejala dalam kurun
waktu 2 minggu – 2 bulan.
Antipsikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun diberikan
dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali. Pada
penghentian yang mendadak dapat timbul gejala ”Cholinergic Rebound”, yaitu :
gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar, dll. Keadaan ini akan mereda
dengan pemberian ”anticholinergic agent” (injeksi Sulfas Atropin 0,25 mg (IM), tablet
Trihexyphenidyl 3 x 2 mg/h).
Oleh karena itu, pada penggunaan bersama antipsikosis + antiparkinson, bila
sudah tiba waktu penghentian obat, antipsikosis dihentikan lebih dahulu, kemudian baru
menyusul obat antiparkinson yang dihentikan.
Pada penggunaan parenteral, antipsikosis ”long-acting” (Fluphenazine Decanoate
25 mg/ml atau Haloperidol Decanoas 50 mg/ml, IM, untuk 2 – 4 minggu) sangat berguna
untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif
terhadap medikasi oral.
Sebaiknya sebelum penggunaan parenteral diberikan per oral dahulu beberapa
minggu untuk melihat apakah terdapat efek hipersensitivitas.
Dosis mulai dengan ½ ml setiap 2 minggu pada bulan pertama, kemudian baru
ditingkatkan menjadi 1 ml setiap bulan.
Pemberian antipsikosis ”long-acting” hanya untuk terapi stabilisasi dan
pemeliharaan (maintenance therapy) terhadap kasus Skizofrenia. 15-25% kasus
menunjukkan toleransi yang baik terhadap efek samping ekstrapiramidal.
XI. PEMILIHAN SEDIAAN
Pemilihan antipsikosis dapat didasarkan atas struktur kimia serta efek farmakologi
yang menyertai. Mengingat perbedaan antargolongan antipsikosis lebih nyata daripada
perbedaan masing-masing obat dalam golongannya, maka cukup dipilih salah satu obat
11
dari satu golongan saja. Pedoman terbaik dalam memilih obat secara individual ialah
riwayat respon pasien terhadap obat.
Kecenderungan pengobatan saat ini ialah meninggalkan antipsikosis berpotensi
rendah misalnya CPZ dan tioridazin, kearah penggunaan obat berpotensi tinggi, misalnya
tiotiksen, haloperidol dan flufenazin.
Pedoman pemilihan antipsikosis adalah sebagai berikut :
1. Bila resiko tidak diketahui atau tidak ada komplikasi yang tidak diketahui
sebelumnya, maka pilihan jatuh pada fenotiazin berpotensi tinggi.
2. Bila kepatuhan penderita menggunakan obat tidak terjamin, maka pilihan jatuh
pada flufenazin oral dan kemudian tiap 2 minggu diberikan suntikan flufenazin
enantat atau dekanoat.
3. Bila penderita mempunyai riwayat penyakit kardiovaskular atau stroke, sehingga
hipotensi merupakan hal yang membahayakan, maka pilihan jatuh pada fenotiazin
piperazin, atau haloperidol.
4. Bila karena alasan usia atau faktor penyakit, terdapat resiko efek samping
ekstrapiramidal yang nyata, maka pilihan jatuh pada tioridazin.
5. Tioridazin tidak boleh digunakan apabila terdapat gangguan ejakulasi.
6. Bila efek sedasi berat perlu dihindari, maka pilihan jatuh pada haloperidol atau
fenotiazin piperazin.
7. Bila penderita memiliki kelainan hepar atau cenderung menderita ikterus,
haloperidol merupakan obat yang paling aman pada stadium awal pengobatan.
Apabila antipsikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis yang
sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan antipsikosis lain
(sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekuivalennya, dimana profil
efek samping belum tentu sama.
Apabila dalam riwayat penggunaan antipsikosis sebelumnya, jenis antipsikosis
tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek sampingnya, dapat
dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
12
XII. EFEK SAMPING DAN PENANGANAN
1. KLORPROMAZIN DAN DERIVAT FENOTIAZIN
Efek samping
Batas keamanan CPZ cukup lebar, sehingga obat ini cukup aman. Efek samping
umumnya merupakan perluasan efek farmakodinamiknya. Gejala idiosinkrasi
mungkin timbul, berupa ikterus, dermatitis dan leukopenia. Reaksi ini disertai
eosinofilia dalam darah perifer.
Efek endokrin
CPZ menghambat ovulasi dan menstruasi, juga menghambat sekresi ACTH. Hal ini
dikaitkan dengan efeknya terhadap hipotalamus.
Semua fenotiazin, kecuali klozapin menimbulkan hiperprolaktinemia lewat
penghambatan efek sentral dopamin.
Kardiovaskular
Dapat menimbulkan hipotensi berdasarkan :
Refleks presor yang penting untuk mempertahankan tekanan darah yang
dihambat oleh CPZ.
Berefek bloker
Menimbulkan efek inotropik negatif pada jantung
Toleransi dapat timbul terhadap efek hipotensif CPZ
Neurologik
Dapat menimbulkan gejala ekstra piramidal seperti parkinsonisme pada dosis
berlebihan. Dikenal 6 gejala sindrom neuroleptik yang karakteristik pada obat ini,
empat diantaranya terjadi sewaktu obat diminum, yaitu distonia akut, akatisia,
parkinsonisme dan sindroma neuroleptik malignant, sedangkan dua gejala lain timbul
setelah pengobatan berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, berupa tremor perioral
dan diskinesia tardif.
2. BUTYROPHENONE
Efek samping dan intoksikasi
Menimbulkan reaksi ekstra pyramidal terutama pada pasien usia muda. Dapat terjadi
depresi akibat reversi keadaan mania atau sebagai efek samping. Leukopenia dan
13
agranulositosis ringan dapat terjadi. Haloperidol sebaiknya tidak diberikan pada
wanita hamil.
Susunan saraf pusat
Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang yang mengalami
eksitasi, menurunkan ambang rangsang konvulsif, menghambat sistem dopamin dan
hypothalamus, juga menghambat muntah yang ditimbulkan oleh apomorfin.
Sistem saraf otonom
Dapat menyebabkan pandangan kabur. Obat ini menghambat aktifitas reseptor yang
disebabkan oleh amin simpatomimetik.
Sistem kardiovaskular dan respirasi
Menyebabkan hipotensi, takikardi, dan dapat menimbulkan potensiasi dengan obat
penghambat respirasi.
Efek endokrin
Menyebabkan galaktore
3. DIBENZODIAZEPIN
Efek samping dan intoksikasi
Agranulositosis merupakan efek samping utama pada pengobatan dengan klozapin.
Gejala ini timbul paling sering 6-18 minggu setelah pemberian obat, dengan resiko
1,2% pada penggunaan setelah 4 minggu. Penggunaan obat ini tidak boleh lebih dari
6 minggu kecuali bila terlihat ada perbaikan. Dapat pula terjadi hipertermia,
takikardia, sedasi, pusing kepala, hipersalivasi, kantuk, letargi, koma, disorientasi,
delirium, depresi pernapasan, aritmia dan kejang.
EFEK SAMPING OBAT ANTIPSIKOSIS
OBAT ANTI PSIKOSIS EFEKEKSTRAPIRAMIDAL
EFEKANTIEMETIK
EFEKSEDATIF
EFEK HIPOTE
NSIF
A. DERIVAT FENOTIAZIN1. Senyawa dimetilaminopropil :
KlorpromazinPromazin
++++
++++
+++++
+++++
14
Triflupromazin2. Senyawa piperidil :
Mepazin Tioridazin
3. Senyawa piperazin :AsetofenazinKarfenazinFlufenazinPerfenazinProklorperazinTrifluoperazin tiopropazat
B. NON-FENOTIAZINKlorprotiksen
C. BUTYROPHENONEHaloperidol
+++
+++
+++++++++++++++++
++
+++
+++
+++
+++++++++++++++++
++
+++
+++
+++++
++++++
++++
+++
+
+
++++
+++++++
++
+
EFEK SAMPING NEUROLOGIK OBAT NEUROLEPTIK
EFEK GAMBARANKLINIS
WAKTURESIKO
MAKSIMAL
MEKANISME PENGOBATAN
Distonia akut Spasme otot lidah, wajah, leher, punggung ; dapat menyerupai bangkitan ; bukan histeria
1-5 hari Belum diketahui
Dapat diberikan berbagai pengobatan, obat anti Parkinson bersifat diagnostik dan kuratif
Akatisia Ketidak-tenangan, motorik, bukan ansietas atau agitasi
5-60 hari Belum diketahui
Kurangi dosis atau ganti obat; obat anti Parkinson, benzodiazepin, atau propanolol
Parkinsonisme Bradikinesia, rigiditas, macam-macam tremor, wajah topeng, suffling gait
5-30 hari Antagonisme dengan
dopamin
Obat anti Parkinson menolong
Sindroma malignan
Katatonik, stupor, demam, tekanan darah tidak stabil, mioglobinemia,; dapat fatal
Berminggu-minggu, dapat bertahan beberapa hari setelah obat dihentikan
Ada kontribusi antagonisme dengan dopamin
Hentikan neuroleptik segera; dantrolene atau bromokriptin dapat menolong; obat anti Parkinson lainnya tidak efektif
15
Tremor perioral (sindroma kelinci)
Tremor perioral (mungkin sejenis perkinsonisme yang dating terlambat) pengobatan
Setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun
Belum diketahui
Obat antiparkinson sering menolong
Diskinesia tardif Diskinesia mulut-wajah; koreoatetosis atau distonia meluas
Setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun (memburuk dengan penghentian)
Diduga : kelebihan efek dopamin
Sulit dicegah, pengobatan tidak memuaskan
Efek samping yang ireversibel seperti tardif diskinesia (gerakan berulang
involunter pada lidah, wajah, mulut/rahang dan anggota gerak dimana saat tidur gejala
menghilang) yang timbul akibat pemakaian jangka panjang dan tidak terkait dengan
besarnya dosis. Bila gejala tersebut timbul maka obat anti psikotik perlahan-lahan
dihentikan, bias dicoba pemberian Reserpine 2,5 mg/h (dopamine depleting agent).
Penggunaan L-dopa dapat memperburuk keadaan. Obat anti psikotik hampir tidak pernah
menimbulkan kematian sebagai akibat overdosis atau keinginan untuk bunuh diri.
16
B. Mekanisme Kerja dari Mood Stabilizer
I. PENDAHULUAN
Mania ditandai dengan aktivitas fisik yang berlebihan dan perasaan gembira yang
luar biasa yang secara keseluruhan tidak sebanding dengan peristiwa positif yang terjadi.
Obat yang digunakan untuk mengobati mania disebut mood modulators, mood stabilizer
atau anti manics.
Penderita mania mengalami suasana perasaan yang meningkat disertai dengan
energi yang meningkat, sehingga terjadi aktivitas yang berlebihan, percepatan,
kebanyakan bicara dan berkurangnya kebutuhan tidur. Pengendalian yang normal dalam
kelakuan sosial terlepas, perhatian terpusat tidak dapat dipertahankan dan sering kali
perhatian sangat mudah dialihkan. Kadang juga dapat ditemukan harga diri yang
membumbung, pemikiran yang serba hebat dan terlalu optimistis dinyatakan dengan
bebas.
Tujuan dari penatalaksanaan mania adalah menekan secara menyeluruh semua
gejala-gejala yang muncul dan mengembalikan pasien ke keadaaan dan status mental
sebelumnya keadaan paling baik). Mood, pikiran, dan kebiasaan harus dikembalikan ke
kondisi normal, meskipun beberapa gejala mempunyai tingkat keparahan yang berbeda.
17
II. PLASTISITAS SINAPTIK DAN NEUROTRANMISI
Sejarah memformulasikan bahwa gangguan mood terjadi akibat pergeseran ion
dan perubahan pada permeabilitas membran, yang akan menyebabkan kegagalan
langsung pada eksitasi neuron dan transmisi. Pemberian lithium merupakan salah satu
dari beberapa pilihan yang diketahui merupakan terapi yang memuaskan pada gangguan
bipolar, beberapa penelitian mengungkapkan hal tersebut terjadi akibat efek dari
neurotransmiter. Penelitian sebelumnya menemukan efek dari lihtium pada banyak
neurotransmiter dan sistem neuromodulator termasuk monoaminergik, serotoninergik,
kolinergik, dan sistem GABA. Salah satu hipotesis menyebutkan bahwa kemungkinan
lithium mengganggu pompa Na-K dan efek ini merupakan efek langsung pada perubahan
yang terjadi pada transmisi sinaps yang merupakan efek sekunder dari sistem
neurotransmiter spesifik.
Studi terbaru menyebutkan bahwa gangguan mood, termasuk gangguan bipolar,
mempengaruhi kaskade sinyal intraseluler yang akan menyebabkan gangguan struktural
dan fungsional pada plastisitas neuron, sama halnya dengan perubahan pada
neurotransmisi glutamate. Glutamat, neurotansmiter yang dominan pada otak,
berpengaruh pada transmisi sinaps pada sirkuit otak, dan merupakan kunci utama
pengaturan kekuatan dan plasticity sinaps, yang mana memegang peranan penting pada
proses neurobiologi dari belajar, memori dan kognisi umum. Perubahan level glutamat di
plasma, serum dan LCS ditemukan pada pasien yang menderita gangguan mood.
Dari sejumlah kasus didapatkan lihtium mempunyai efek langsung pada transmisi
glutamat. Secara khusus, beberapa bukti menunjukkan bahwa lithium mengubah
rangsang saraf pada hippocampus CA1 sinapsis, yang mengarah untuk meningkatkan
potensi rangsang postsynaptic. Kemampuan lithium untuk meningkatkan transmisi
sinaptik dalam CA1 hippokampus dikaitkan dengan peningkatan rangsangan presynaptic
serta peningkatan efisiensi sinaptik. Sebuah laporan terbaru juga menunjukkan bahwa
efek pada peningkatan sinaptik pada CA1 sinapsis mungkin timbul dari kemampuannya
untuk mempotensiasi arus melalui subtipe reseptor AMPA glutamat ionotropik secara
selektif meningkatkan kemungkinan channel opening. Efek-efek pada transmisi sinaptik
hippokampus mungkin menjadi relevansi khusus untuk pengobatan gangguan mood
karena hippokampus adalah komponen kunci dari jaringan sistem limbik, dan terlibat
18
dalam regulasi emosional, kognisi dan memori. Oleh karena itu, sinyal hippokampus
disfungsional dapat menyebabkan gangguan perilaku pada gangguan mood, hipotesis
lebih lanjut didukung oleh temuan konsisten defisit memori deklaratif pada pasien
dengan gangguan mood. Sebagai relay akhir pada sirkuit hippocampal tripartit,
perubahan dalam plastisitas sinaptik dalam neuron piramidal CA1 dapat mempengaruhi
perubahan modulasi hippocampal dan / atau subicular dari beberapa struktur target
utama, termasuk korteks prefrontal (PFC), amigdala dan striatum, serta pengendalian
hippokampus terhadap pengaturan endokrin hipotalamus. Ini sangat menarik mengingat
teori terkemuka menunjukkan bahwa disfungsi dalam sirkuit saraf yang menghubungkan
hippocampus, PFC dan anterior cingulate cortex (ACC) erat terkait dengan kelainan
afektif dan kognitif yang terlihat pada gangguan mood.
Efek langsung pada transmisi saraf juga telah didokumentasikan untuk mood
stabilizer yang diklasifikasikan dalam antikonvulsan. Valproate menurunkan frekuensi
tinggi dari pelepasan potensial aksi dengan meningkatkan inaktivasi voltaged-gated
natrium channel dan secara tidak langsung meningkatkan fungsi GABA. Lamotrigin
melakukan blok pada channel natrium dan L-type channel kalsium, yang dapat
menyebabkan efek pada neurotransmisi dasar. Selain itu, baik valproate dan lamotrigin
meningkatkan regulasi eksitasi transporter asam amino, yang menyebabkan peningkatan
clearance glutamat. Oleh karena itu, mood stabilizer ini secara tidak langsung dapat
mempengaruhi rangsang neurotransmisi oleh modulasi tingkat penyerapan glutamat.
III. INTRASELULAR SIGNALING CASCADES
Studi selama 15 tahun terakhir telah menyatakan hipotesis bahwa gangguan mood
mungkin tidak hanya dihubungkan dengan gangguan seluler di eksitabilitas saraf dan
transmisi, tetapi juga pada gangguan dalam kaskade sinyal selular yang memediasi
perubahan struktural dan fungsional dalam saraf dan plastisitas sinapsis. Studi praklinis
telah menunjuk defisit dalam kaskade sinyal intraseluler yang terkait dengan sel,
pertumbuhan kelangsungan hidup dan metabolisme.
Kedua studi praklinis dan klinis menunjukkan bahwa lithium memberikan efek
neurotropik dan neuroprotektif, dan penelitian terbaru mengidentifikasi peran khusus
lithium dalam mengaktifkan kaskade sinyal intraseluler. Lithium menyebabkan
19
peningkatan regulasi neurotrophin, neurotropik yang diturunkan dari otak (BDNF) serta
protein saraf, sel-B lymphoma/leukemia-2 (Bcl-2). Ia telah mengemukakan bahwa
tingkat berkurang Bcl-2 berkontribusi terhadap temuan mengurangi ukuran sel
hippocampal piramidal, dan penurunan tingkat of BDNF telah diidentifikasi dalam
gangguan bipolar. Selain efek neurotropiknya, BDNF memainkan peran penting dalam
mengatur plastisitas sinaptik dan, khususnya, diperlukan untuk bentuk-bentuk khusus
potensiasi jangka panjang di CA3-CA1 sinaps. Peningkatan ekspresi Bcl-2 melawan efek
buruk dari stres pada neuron, menunjukkan bahwa induksi farmakologis yang memiliki
utilitas dalam kasus ketahanan seluler dikompromikan. Selain pertentangan sel-kematian
sinyal, Bcl-2 merangsang regenerasi trauma aksonal berikut. Pada tingkat sel, Bcl-2
memainkan peran kunci dalam mengendalikan dinamika kalsium intraseluler, yang
merupakan kepentingan khusus karena kalsium regulasi sinyal gangguan telah berulang
kali diakui sebagai kelainan bipolar seluler. Menariknya, sinyal kalsium intraseluler juga
mempunyai peran regulasi dalam plastisitas sinaptik kaskade, termasuk mediasi aktivitas
transkripsi yang tergantung BDNF. Sebuah polimorfisme nukleotida tunggal pada gen
Bcl-2 (rs956572) dikaitkan dengan peningkatan gangguan bipolar risiko, dan secara
fungsional terkait dengan: (i) mengurangi Bcl-2 ekspresi dalam lymphoblasts manusia,
dan (ii) penurunan volume substansia nigra di striatum ventral. Lebih lanjut mendukung
peran Bcl-2 fungsi dalam gangguan bipolar, polimorfisme ini secara signifikan
mempengaruhi homeostasis kalsium intraseluler melalui regulasi endoplasma retikulum
rilis di lymphoblasts berasal dari pasien dengan gangguan bipolar.
Terakhir bukti yang mungkin relevan untuk klinis efek dari lithium, menunjukkan
bahwa mempromosikan perkembangan neurite dan menstimulasi neurogenesis
hippocampal orang dewasa di tikus. Mengingat bahwa neuron baru lahir
mengintegrasikan ke dalam sirkuit yang ada, dimana mereka menampilkan ditingkatkan
plastisitas dalam perilaku sirkuit yang relevan, ini bisa menjadi signifikan untuk fungsi
hippocampal dalam suasana hati
peraturan. Telah dilaporkan bahwa hipokampus neurogenesis kontribusi untuk regulasi
umpan balik negatif dari sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA). Mendukung
pandangan bahwa neuron baru lahir mungkin terlibat dalam sumbu HPA umpan balik
peraturan, sel-sel berkontribusi pada peningkatan antidepresan yang diinduksi dalam
20
integrasi stres. Dengan demikian, dalam keadaan depresi, memfasilitasi neurogenesis
hippocampal dapat mengembalikan tepat kontrol atas sistem respons stres. Hal ini
terutama menarik karena ada bukti kuat dari HPA sumbu kelainan pada gangguan bipolar
(dibahas di bawah).
Beberapa enzim telah terbukti secara langsung dihambat oleh konsentrasi lithium
di terapi relevan. Ini termasuk inositol monophosphatase (IMPase); polifosfat inositol
fosfatase-; bisphosphate 30-nucleotidase; fruktosa 1,6-bisphophatase; kinase sintase
glikogen 3 (GSK3) dan phosphoglucomutase. Bukti dari berbagai penelitian juga telah
terlibat protein kinase C (PKC) dalam patofisiologi gangguan bipolar, dan keduanya
lithium dan valproate mengurangi tingkat PKC serta aktivitas PKC. Lithium berinteraksi
dengan jalur phosphoinositol-PKC melalui penghambatan IMPase, yang menghasilkan
penurunan bebas myo-inositol dan produksi diasilgliserol. Tindakan ini berkumpul untuk
menghasilkan tingkat PKC menurun dan aktivitas enzim. Valproate juga menghasilkan
tingkat PKC menurun dan aktivitas, tetapi themechanism dimana ia melakukannya adalah
fromthat berbeda lithium.
IV. PENENTUAN TINGKAT KONVERGENSI
Struktur-fungsi perubahan dalam gangguan bipolar dan efek stabilisator suasana
hati In vivo manusia studi pelaporan penurunan volume materi abu-abu dalam gangguan
bipolar yang baik dilemahkan atau meningkat pengobatan lithium telah memberikan kuat
mendukung untuk efek saraf dan neurotropik. Meskipun bukti yang konsisten dari
volume hipokampus menurun diidentifikasi pada penyakit depresi, penelitian awal
menunjukkan tidak ada perbedaan dalam gangguan bipolar. Namun, dengan
menggunakan pemetaan tiga dimensi teknik, sebuah penelitian terbaru dibedakan
struktural kelainan pada pasien dengan gangguan bipolar bahwa sekitar sesuai dengan
CA1 subbidang hippocampal. Beberapa laporan tambahan dan meta-analisis memiliki
didokumentasikan volume hipokampus peningkatan total pasien yang diobati dengan
lithium dibandingkan dengan tanpa pengobatan pasien. Sejalan dengan temuan ini,
menarik bahwa pengobatan lithium membalikkan dendritik hippocampal atrofi diinduksi
pada hewan model stres kronis. Dalam analisis recentmega-untuk secara sistematis
mengidentifikasi defisit volumetrik regional dan efek dari lithium administrasi dalam
21
gangguan bipolar, data pencitraan dikumpulkan menunjukkan pengurangan volume otak
yang secara signifikan terkait dengan durasi penyakit. Individu dengan bipolar gangguan
yang tidak memakai terapi lithium menunjukkan signifikan penurunan volume otak dan
hippocampus, sedangkan pasien yang diobati dengan lithium menunjukkan secara
signifikan volume hipokampus dan amigdala meningkat. data pada amigdala volume di
patientswith gangguan bipolar memiliki sudah bertentangan, tetapi studi terbaru
menggunakan resolusi tinggi Magnetic Resonance Imaging (MRI) harus meyakinkan
menunjukkan bahwa volume amigdala lebih kecil tanpa pengobatan pasien dengan
gangguan bipolar dan lebih besar pada pasien dengan gangguan bipolar pada mood-
stabilizer pengobatan.
Bersama-sama dengan data dalam analisis mega-atas-referenced, tampak lithium
yang memang memiliki efek trofik dalam amigdala. Tokoh volumetrik kelainan telah
dilaporkan dalam gangguan bipolar di ACC, dan kronis pengobatan dengan lithium atau
valproik asam telah dikaitkan dengan materi abu-abu meningkat volume di wilayah ini.
Praklinis penelitian yang menunjukkan bahwa lithium dan valproate meningkatkan
ekspresi molekul terlibat dalam plastisitas sinaptik, renovasi sitoskeleton dan ketahanan
seluler mungkin menjelaskan mengapa pencitraan ini studi telah menemukan volume
meningkat pada pasien dengan lithium-diperlakukan gangguan bipolar. Oleh karena itu,
ada Data menunjukkan neurotropik dan tindakan neuroprotektif lithium dalam berbagai
bidang dan limbik / atau prefrontal jaringan dengan meningkatkan ketahanan seluler,
meningkatkan sinaptik plastisitas dan morfologi neuronal modulasi. Studi neuroimaging
fungsional telah berharga dalam mengidentifikasi sirkuit otak putatif misregulated dalam
suasana hati gangguan. Dikombinasikan dengan data dari struktural dan volumetrik studi,
para peneliti telah mengidentifikasi otak kunci daerah dalam loop limbik, striatal dan
PFC yang dianggap mendasari manifestasi kognitif dan perilaku. Daerah ini mencakup
amigdala dan terkait limbik struktur, PFC ACC, orbital dan medial, ventro- medial
striatum, thalamus medial dan terkait dari ganglia basal. Berbeda dengan lesi lokal di
wilayah terisolasi, terganggu sinyal dalam sirkuit yang saling berhubungan diduga
menyebabkan penyakit kerentanan dan manifestasi perilaku suasana hati gangguan
gejala.
22
V. PERSIMPANGAN DENGAN SISTEM GLUKOKORTIKOID DAN
AFEKTIF KETAHANAN
Meningkatkan bukti menunjukkan bahwa kelainan sistem limbik bersinggungan
dengan gangguan pada sinyal glukokortikoid pada gangguan suasana hati. Tarif
neurogenesis hippocampal adalah negatif dipengaruhi oleh peningkatan tingkat
glukokortikoid beredar dan stres kronis. Sebaliknya, terakhir bukti menunjukkan bahwa
neurogenesis hippocampal orang dewasa berperan dalam mengatur stres respon sistem.
Hal ini cukup menarik mengingat: (i) struktural dan volumetrik defisit dalam
hippocampus dari tanpa pengobatan pasien dengan gangguan bipolar (Gambar 2), dan (ii)
pengaruh lithium pada sirkuit hippocampal dan neurogenesis (Gambar 1c, d, e).
Perubahan inHPA umpan balik sumbu peraturan adalah salah satu kelainan biologis yang
paling kuat diamati pada gangguan afektif (Kotak 2). Selain itu, subtipe depresi paling
sering dikaitkan dengan hyperactivation sumbu HPA adalah yang paling mungkin untuk
dikaitkan dengan volumereductions hippocampal. Pentingnya fungsional dari gangguan
ini adalah disorot oleh penelitian yang menunjukkan bahwa normalisasi Aktivitas aksis
HPA sejajar remisi dari episode depresi dan mengurangi kambuh. Selanjutnya, kronis
pengobatan dengan lithiumand valproate dapat meningkatkan pemulihan baik dari
depresi dan episode manik yang terkait dengan (penyakit yaitu Cushing) eksogen atau
endogen ketinggian glukokortikoid. Yang penting, telah menunjukkan bahwa lithium dan
asam valproat (VPA) meningkatkan kadar bcl-2-terkait athanogene, TAS-1, sebuah
cochaperone protein yang menghambat reseptor glukokortikoid (GR) aktivasi. Bersama-
sama, data yang tersedia menunjukkan bahwa interaksi antara GR dan BAG1 melawan
merusak efek hypercortisolemia dalam gangguan bipolar dan berkontribusi terhadap
ketahanan afektif. Dengan demikian, perawatan ditujukan untuk modulasi langsung dari
jalur ini merupakan fokus bunga penelitian yang cukup besar, dan upaya untuk
mengidentifikasi terapi yang meningkatkan neurogenesis hippocampal mungkin memiliki
utilitas dalam mempromosikan glukokortikoid terkait afektif ketahanan. Temuan yang
berkaitan dengan peraturan glukokortikoid sangat penting karena: (i) glukokortikoid
merupakan salah satu agen beberapa mampu merangsang kedua manik dan episode
depresi pada individu yang rentan; dan (ii) peran glukokortikoid playimportant
inmediating yang stres respon serta modulasi selular dan afektif ketahanan.
23
VI. STRATEGI-STRATEGI BARU DAN NOVEL TERAPI
Tujuan utama adalah pengobatan profilaksis, penurunan episode keparahan dan
meningkatkan interval antar episode. Meskipun pengobatan, sejumlah besar pasien
mengalami episode berulang. Permulaan depresi melumpuhkan sangat menyulitkan
karena administrasi sebagian besar terapi saat ini digunakan memiliki jeda waktu untuk
mencapai keberhasilan, hanya sebagian kecil dari pasien memenuhi respon kriteria pada
akhir minggu pengobatan pertama. Hal ini membuat pasien sangat rentan terhadap
menyakiti diri dan bunuh diri, yang tercermin oleh tingginya tingkat kematian selama
periode latensi. Dengan demikian, hal ini cukup baik studi terbaru menunjukkan bahwa
glutamatergic modulator dan otak paradigma stimulasi dapat memegang janji cepat
bertindak sebagai terapi.
VII. GLUTAMATERGIC MODULATOR
Tumbuh apresiasi glutamatergic yang abnormal sinyal dalam patofisiologi
gangguan suasana hati telah menunjukkan untuk modulator glutamatergic sebagai daerah
yang menjanjikan untuk penelitian pembangunan. Dengan demikian, senyawa
menargetkan glutamat rilis, reseptor glutamat ionotropic dan transporter glutamat berada
di bawah studi. awal studi mengidentifikasi cepat bertindak sifat antidepresan untuk
ketamin, non-kompetitif, tinggi afinitas reseptor NMDA antagonis, bunga yang signifikan
dihasilkan. In vitro, ketamin meningkat glutamatergic tingkat neuron menembak dan
presynaptic glutamat rilis, efek yang dianggap untuk berkontribusi pada efek yang kuat
dan cepat antidepressive. Menambahkan substansial bukti-konsep validasi untuk studi
klinis sebelumnya, baru-baru double blind plasebo terkontrol pada pasien dengan
pengobatan-tahan gangguan bipolar direplikasi, kuat cepat bertindak respon antidepresan
ketamin. praklinis penelitian menunjukkan bahwa antidepresan efek ketamin dimediasi
oleh aktivitas reseptor AMPA ditingkatkan. Peningkatan sinyal viaAMPAreceptors
glutamatergic diperkirakan terjadi sebagai akibat dari ekstraseluler meningkat glutamat,
yang secara istimewa nikmat sinyal melalui AMPA karena blokade reseptor NMDA
reseptor. Studi selanjutnya pada tikus telah menunjukkan bahwa target mamalia dari
rapamycin (mTOR) sinyal jalur yang terlibat dalam menengahi fastacting antidepresan
efek dari ketamin, dan ini adalah tergantung pada terjemahan cepat dari BDNF melalui
24
penonaktifan faktor elongasi eukariotik 2 (eEF2). Meskipun hasil yang menggembirakan,
jangka panjang efikasi dan keamanan tetap ditangani. Sebuah penuh penjelasan
mekanisme molekuler dan seluler yang mendasari kemampuan ketamin untuk menengahi
kedua fastacting dan efek antidepressive berkelanjutan diharapkan berharga dalam
memajukan pengembangan obat yang rasional untuk masa depan antidepresan agen.
Stimulasi otak
Langkah terakhir in understanding the misregulation kritis sirkuit saraf telah menaikkan
prospek langsung, terapi penargetan dengan menggunakan stimulasi otak untuk
mempromosikan in vivo saraf plastisitas. Non-invasif metode, termasuk
transkranialmagnetik stimulasi dan arus searah transkranial stimulasi, serta sebagai
bentuk invasif dari otak dalam stimulasi (DBS) yang menargetkan daerah otak melalui
implan elektroda, telah diusulkan. Secara teori, stimulasi ini dapat menghasilkan sirkuit
tingkat modifikasi yang dapat memperbaiki gejala. Penerapan DBS sebagai sukses terapi
pada penyakit Parkinson telah menyebabkan peningkatan minat utilitas potensinya untuk
pengobatan gangguan mood yang parah. Fungsional neuroimaging Data digabungkan
dengan data lesi sebelumnya pada hewan pengerat telah digunakan untuk
mengidentifikasi daerah sasaran putatif dan sirkuit saraf yang berkaitan dengan gangguan
mood, dan menarik pendahuluan studi menargetkan sirkuit limbik-kortikal memiliki
menjanjikan dalam gejala ameliorating di treatmentresistant depresi.
25
C. KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI
I. PENDAHULUAN
Kedaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa dan
Kedokteran Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus kedaruratan yang
memerlukan intervensi psikiatrik. Tempat pelayanan kedaruratan psikiatri antara lain di
rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, klinik dan sentra primer. Kasus kedaruratan
psikiatrik meliputi gangguan pikiran, perasaan dan perilaku yang memerlukan intervensi
terapeutik segera, antara lain: kondisi gaduh gelisah, tindak kekerasan (violence),
tentamen Suicidum/percobaan bunuh diri, gejala ekstra piramidal akibat penggunaan obat
dan delirium.
II. EVALUASI
Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat aadalah tujuan
utama dalam melakuka evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera yang harus
dilakukan secara tepat adalah:
a. Menentukan diagnosis awal
b. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera pasien
c. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai
Dalam proses evaluasi, dilakukan:
1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik
Wawancara dilakukan lebih terstruktur, secara umum fokus wawancara ditujukan
pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit gawat darurat. Keterangan
tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman atau polisi dapat melengkapi
informasi, terutama pada pasien mutisme, tidak kooperatif, negativistik atau
inkoheren. Hubungan dokter-pasien sangat berpengaruh terhadap informasi yang
diberikan. Karenanya diperlukan kemampuan mendengar, melakukan observasi
dan melakukan interpretasi terhadap apa yang dkatakan ataupun yang tidak
dikatakan oleh pasien, dan ini dilakukan dalam waktu yang cepat.
2. Pemeriksaan Fisik
26
Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwayat perjalanan penyakit,
pemeriksaan status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik dan jika perlu
pemeriksaan penunjang. Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan oeh
seorang dokter di unit gawat darurat adalah menilai tanda-tanda vital pasien.
Tekanan ddarah, suhu, nadi adalah sesuatu yang mudah diukur dan dapat
memberikan informasi bermakna. Misalnya seorang yang gaduh gelisah dan
mengalami halusinasi, demam, frekuensi nadi 120 per menit dan tekanan darah
meningkat, kemungkinan besar mengalami delirium dibandingkan dengan suatu
gangguan psikiatrik. Lima hal yang harus ditentukan sebelum menangani pasien
selanjutnya:
a. Keamanan pasien
Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat memastikan bahwa
situasi di UGD, jumlah pasien di ruangan tersebut aman bagi pasien. Jika
intervensi verbal tidak cukup atau kontraindikasi, perlu dipikirkan
pemberian obat atau pengekangan.
b. Medik atau psikiatrik
Penting bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya medik, psikiatrik atau
kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan jauh berbeda. Kondisi
medik umum seperti trauma kepala, infeksi berat dengan demam inggi,
kelainan metabolisme, intoksikasi atau gejala putus zat seringkali
menyebabkan gangguan fungsi mental yang menyerupai gangguan
psikiatrik umumnya. Dokter gawat darurat tetap harus menelusuri semua
kemungkinan penyebab gangguan fungsi mental yang tampak.
c. Psikosis
Yang penting bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi seberapa jauh
ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya tilikan. Hal ini
dapat mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan yang kita berikan
serta kepatuhannya dalam berobat.
d. Suicidal atau homicidal
27
Semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri harus dobservasi secara
ketat. Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak kekerasan atau
pikiran bunuh diri harus selalu ditanyakan kepada pasien.
e. Kemampuan merawat diri sendiri
Sebelum memulangkan pasien, harus dipertimbangkan apakah pasien
mampu merawat dirinya sendir, mampu menjalankan saran yang
dianjurkan. Ketidakmampuan pasien dan atau keluarganya untuk merawat
pasien di rumah merupakan salah asatu indikasi rawat inap.
Adapun indikasi rawat inap antara lain adalah:
a. Bila pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain,
b. Bila perawatan di rumah tidak memadai, dan
c. Perlu observasi lebih lanjut.
III. PERTIMBANGAN DALAM PENEGAKAN DIAGNOSIS DAN TERAPI
1. Diagnosis
Meskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap, namun ada beberapa
hal yang harus dilakukan sesegera mungkin untuk keakuratan data , misalnya
penapisan toksikologi ( tes urin untuk opioid, amfetamin), pemeriksaan radiologi,
EKG dan tes laboratorium. Data penunjang seperti catatan medik sebelumnya,
informasi dari sumber luar juga dikumpulkan sebelum memulai tindakan.
2. Terapi
Pemberian terapi obat atau pengekangan harus mengikuti prinsip terapi Maximum
tranquilization with minimum sedation. Tujuannya adalah untuk:
a. Membantu pasien untuk dapat mengendalikan dirinya kembali
b. Mengurangi/menghilangkan penderitaannya
c. Agar evaluasi dapat dilanjutkan sampai didapat suatu kesimpulan akhir
Obat-obatan yang sering digunakan adalah:
a. Low-dose High-potency antipsychotics seperti haloperidol, trifluoperazine,
perphenazine dsb
b. Atypical antipsychotics, seperti risperidone, quetiapine, olanzapine.
28
c. Injeksi benzodiazepine. Kombinasi benzodiazepine dan antipsikotik kadang
sangat efektif.
a) Keadaan Gaduh Gelisah
Keadaan gaduh gelisah bukanlah diagnosis dalam arti kata sebenarnya, tetapi hanya
menunjuk pada suatu keadaan tertentu, suatu sindrom dengan sekelompok gejala tertentu.
Keadaan gaduh gelisah dipakai sebagai sebutan sementara untuk suatu gambaran
psikopatologis dengan ciri-ciri utama gaduh dan gelisah.
Etiologi
Keadaan gaduh gelisah merupakan manifestasi klinis salah satu jenis psikosis:
1. Delirium
2. Skizofrenia katatonik
3. Gangguan skizotipal
4. Gangguan psikotik akut dan sementara
5. Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik
6. Amok
1. Psikosis karena gangguan mental organik: delirium
Pasien dengan keadaan gaduh-gelisah yang berhubungan dengan sindroma otak
organik akut menunjukkan kesadaran yang menurun. Sindroma ini dinamakan delirium.
Istilah sindroma otak organik menunjuk kepada keadaan gangguan fungsi otak karena
suatu penyakit badaniah (Maramis dan Maramis, 2009).
Penyakit badaniah ini yang menyebabkan gangguan fungsi otak itu mungkin
terdapat di otak sendiri dan karenanya mengakibatkan kelainan patologik-anatomik
(misalnya meningo-ensefalitis, gangguan pembuluh darah otak, neoplasma intracranial,
dan sebagainya), atau mungkin terletak di luar otak (umpamanya tifus abdominalis,
pneumonia, malaria, uremia, keracunan atropine/kecubung atau alcohol, dan sebagainya)
dan hanya mengakibatkan gangguan fungsi otak dengan manifestasi sebagai psikosa atau
keadaan gaduh-gelisah, tetapi tidak ditemukan kelainan patologik-anatomik pada otak
sendiri.
29
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada sindrom otak organik akut biasanya
terdapat kesadaran menurun sedangkan pada sindrom otak organik menahun biasanya
terdapat dementia. Akan tetapi suatu sindrom otak organik menahun (misalnya tumor
otak, demensia paralitika, aterosklerosis otak, dan sebagainya) dapat saja pada suatu
waktu menimbulkan psikosis atau pun keadaan gaduh gelisah. Untuk mengetahui
penyebabnya secara lebih tepat, perlu sekali dilakukan evaluasi internal dan neurologis
yang teliti.
2. Skizofrenia dan gangguan skizotipal
Bila kesadaran tidak menurun, maka biasanya keadaan gaduh gelisah itu
merupakan manifestasi suatu psikosis dari kelompok ini, yaitu psikosis yang tidak
berhubungan atau sampai sekarang belum diketahui dengan pasti adanya hubungan
dengan suatu penyakit badaniah seperti pada gangguan mental organik.
Skizofrenia merupakan psikosis yang paling sering didapat di negara kita. Secara
mudah dapat dikatakan bahwa bila kesadaran tidak menurun dan terdapat inkoherensi
serta afek-emosi yang inadequate, tanpa frustasi atau konflik yang jelas maka hal ini
biasanya suatu skizofrenia. Diagnosa kita diperkuat bila kelihatan juga tidak ada
perpaduan (disharmoni) antara berbagai aspek kepribadian seperti proses berpikir, afek-
emosi, psikomotorik dan kemauan (kepribadian yang retak, terpecah-belah atau
bercabang = schizo; jiwa = phren), yaitu yang satu meningkat, tetapi yang lain menurun.
Pokok gangguannya terletak pada proses berpikir.
Dari berbagai jenis skizofrenia, yang sering menimbulkan keadaan gaduh-gelisah
ialah episode skizofrenia akut dan skizofrenia jenis gaduh-gelisah katatonik. Di samping
psikomotor yang meningkat, pasien menunjukkan inkoherensi dan afek-emosi yang
inadequate. Proses berpikir sama sekali tidak realistik lagi.
3. Gangguan psikotik akut dan sementara
Gangguan ini timbul tidak lama sesudah terjadi stress psikologik yang dirasakan
hebat sekali oleh individu. Stress ini disebabkan oleh suatu frustasi atau konflik dari
dalam ataupun dari luar individu yang mendadak dan jelas, umpamanya dengan tiba-tiba
kehilangan seorang yang dicintainya, kegagalan, kerugian dan bencana.Gangguan
30
psikotik akut yang biasanya disertai keadaan gaduh-gelisah adalah gaduh-gelisah reaktif
dan kebingungan reaktif.
4. Psikosis bipolar
Psikosisbipolar termasuk dalam kelompok psikosa afektif karena pokok
gangguannya terletak pada afek-emosi. Tidak jelas ada frustasi atau konflik yang
menimbulkan gangguan mental ini. Belum ditemukan juga penyakit badaniah yang
dianggap berhubungan dengan psikosa bipolar, biarpun penelitian menunjuk kearah itu.
Tidak ditemukan juga disharmoni atau keretakan kepribadian seperti pada skizofrenia;
pada jenis depresi ataupun mania, bila aspek afek-emosinya menurun, maka aspek yang
lain juga menurun, dan sebaliknya.
Pada psikosa bipolar jenis mania tidak terdapat inkoherensi dalam arti kata yang
sebenarnya, tetapi pasien itu memperlihatkan jalan pikiran yang meloncat-loncat atau
melayang (“flight of ideas”). Ia merasa gembira luar biasa (efori), segala hal dianggap
mudah saja. Psikomotorik meningkat, banyak sekali berbicara (logorea) dan sering ia
lekas tersinggung dan marah.
5. Amok
Amok adalah keadaan gaduh-gelisah yang timbul mendadak dan dipengaruhi oleh
faktor-faktor sosiobudaya. Karena itu PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan Diagnosa
Gangguan Jiwa ke-III di Indonesia) memasukkannya ke dalam kelompok “Fenomena dan
Sindrom yang Berkaitan dengan Faktor Sosial Budaya di Indonesia” (“culture bound
phenomena”). Efek “malu” (pengaruh sosibudaya) memegang peranan penting. Biasanya
seorang pria, sesudah periode “meditasi” atau tindakan ritualistic, maka mendadak ia
bangkit dan mulai mengamuk. Ia menjadi agresif dan destruktif, mungkin mula-mula
terhadap yang menyebabkan ia malu,tetapi kemudian terhadap siapa saja dan apa saja
yang dirasakan menghalanginya. Kesadaran menurun atau berkabut (seperti dalam
keadaan trance). Sesudahnya terdapat amnesia total atau sebagian. Amok sering berakhir
karena individu itu dibuat tidak berdaya oleh orang lain, karena kehabisan tenaga atau
karena ia melukai diri sendiri, dan mungkin sampai ia menemui ajalnya.
31
IV. MENILAI DAN MEMPREDIKSI PERILAKU KEKERASAN
Tanda-tanda adanya perilaku kekerasan yang mengancam:
a. Pernah melakukan tindakan kekerasan beberapa saat yang lalu
b. Kata-kata keras /kasar atau ancaman akan kekerasan
c. Membawa benda-benda tajam atau senjata
d. Adanya perilaku agitatif
e. Adanya intoksikasi alkohol atau obat
f. Adanya pikiran dan perilaku paranoid
g. Adanya halusinasi dengar yang memerintahkan untuk melakukan tindak
kekerasan.
h. Kegelisahan katatonik
i. Episode manik
j. Episode depresi agitatif
k. Gangguan Kepribadian tertentu
Menilai resiko terjadinya perilaku kekerasan:
a. Adanya ide-ide untuk melakukan kekerasan
b. Adanya faktor demografik seperti jenis kelamin laki-laki, usia 15 – 24 tahun,
status sosioekonomi yang rendah, dukungan sosial yang rendah
c. Adanya riwayat kekerasan sebelumnya, penjudi, pemabuk, penyalahgunaan zat
psikoaktif,percobaan bunuh diri ataupun melukai diri sendiri, psikosis
d. Adanya stresor (masalah pernikahan, kehilangan pekerjaan, dan lainnya)
V. TATALAKSANA
Bila seorang dalam keadaan gaduh gelisah dibawa kepada kita, penting sekali kita
harus bersikap tenang. Dengan sikap yang meyakinkan, meskipun tentu waspada, dan
kata-kata yang dapat menenteramkan pasien maupun para pengantarnya, tidak jarang kita
sudah dapat menguasai keadaan.
Bila pasien masih diikat, sebaiknya ikatan itu disuruh dibuka sambil tetap
berbicara dengan pasien dengan beberapa orang memegangnya agar ia tidak mengamuk
lagi. Biarpun pasien masih tetap dipegang dan dikekang, kita berusaha memeriksanya
32
secara fisik. Sedapat-dapatnya tentu perlu ditentukan penyebab keadaan gaduh gelisah itu
dan mengobatinya secara etiologis bila mungkin.
Suntikan intramuskular suatu neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeutik
tinggi (misalnya chlorpromazine HCL), pada umumnya sangat berguna untu
mengendalikan psikomotorik yang meningkat. Bila tidak terdapat, maka suntikan
neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeurik rendah, misalnya trifluoperazine,
haloperidol (5 – 10 mg), atau fluophenazine dapat juga dipakai, biarpun efeknya tidak
secepat neuroleptikum kelompok dosis terapeutik tinggi. Bila tidak ada juga, maka suatu
tranquailaizer pun dapat dipakai, misalnya diazepam (5 – 10 mg), disuntik secara
intravena, dengan mengingat bahwa tranquilaizer bukan suatu antipsikotikum seperti
neuroleptika, meskipun kedua-duanya mempunyai efek antitegang, anticemas dan
antiagitasi.
Efek samping neuroleptika yang segera timbul terutama yang mempunyai dosis
terapeutik tinggi, adalah hipotensi postural, lebih-lebih pada pasien dengan susunan saraf
vegetatif yang labil atau pasien lanjut usia. Untuk mencegah jangan sampai terjadi
sinkop, maka pasien jangan langsung berdiri dari keadaan berbaring, tetapi sebaiknya
duduk dahulu kira-kira satu menit (bila pasien sudah tenang).
Penjagaan dan perawatan yang baik tentu juga perlu, mula-mula agar ia jangan
mengalami kecelakaan, melukai diri sendiri, menyerang orang lain atau merusak barang-
barang. Bila pasien sudah tenang dan mulai kooperatif, maka pengobatan dengan
neuroleptika dilanjutkan per oral (bila perlu suntikan juga dapat diteruskan). Pemberian
makanan dan cairan juga harus memadai. Kita berusaha terus mencari penyebabnya, bila
belum diketahui, terutama bila diduga suatu sindrom otak organik yang akut. Bila
ditemukan, tentu diusahakan untuk mengobatinya secara etiologis.
33
Gambar Diagram-alur penanggulangan keadaan gaduh-gelisah.
Pasien dengan amok, bila sampai kepada kita, biasanya sudah tidak mengamuk
lagi, kita tinggal berusaha tambah menentramkan saja dan mengobati keadaan fisik bila
sudah terganggu sewaktu dia dalam keadaan amok. Psikosis skizofrenia dan bipolar
memerlukan pengobatan jangka panjang dengan neuroleptika.
b) Tindak kekerasan (violence)
Seorang yang gaduh-gelisah
Menghadapi dengan tenangMenenangkan dengan kata-
kata sedapat-dapatnya,amankan.
Menentramkan keluarga/pengantar
Memeriksa badaniah sedapat-dapatnya
Terdapat kelainan intern/nerologik
Perawatan/penjagaan yang baik
Tidak terdapat kelainan intern/nerologik
Perawatan/penjagaan yang baikObati
kelainan intern/nerologik*etiologik*simptomatik
Obati gejala psikiatrik*neroleptika
Obati gangguan psikiatrik*neroleptika*tranquilaizer*psikoterapi suportif*Terapi elektrokonvulsi bila perlu
34
Violence atau tindak kekrasan adalah agresi fisik yang dilakukan oleh seseorang
terhadap orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya sendiri, disebut mutilasi diri
atau tingkah laku bunuh diri (suicidal behavior). Tindak kekerasan dapat timbul akibat
berbagai gangguan psikiatrik, tetapi dapat pula terjadi pada orang biasa yang tidak dapat
mengatasi tekanan hidup sehari-hari dengan cara yang lebih baik.
a. Gambaran klinis dan diagnosis
Gangguan psikiatrik yang sering berkaitan dengan tindak kekerasan adalah:
Gangguan psikotik, seperti skizofrenia dan manik, terutama bila paranoid dan
mengalami halusinasi yang bersifat suruhan (commanding hallucination),
Intoksikasi alkohol atau zat lain,
Gejala putus zat akibat alkohol atau obat-obat hipnotik-seddatif
Katatonik furor
Depresi agitatif
Gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan gangguan
pengendalian impuls (misalnya gangguan kepribadian ambang dan antisosial),
Gangguan mental organik, terutama yang mengenai lobus frontalis dan
temporalis otak.
Faktor risiko lain terjadinya tindak kekerasan adalah :
Adanya pernyataan seseorang bahwa ia berniat melakukan tindak kekerasan,
Adanya rencana spesifik,
Adanya kesempatan atau suatu cara untuk terjadinya kekerasan,
Laki-laki,
Usia muda (15-24 tahun),
Tatus sosioekonomi rendah,
Adanya riwayat melakukan tndak kekrasan,
Tindakan antisosial lainnya
Riwayat percobaan bunuh diri.
Tujuan pertama menghadap pasien yang potensial untuk melakukan tindak
kekerasan adalah mencegah kejadian itu. Tindakan selanjutnya aadalah membuat
diagnoss sebagai dasar rencana penatalaksanaan, termasuk cara-cara untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya tindak kekerasan berikutnya.
35
Panduan wawancara dan Psikoterapi
Bersikaplah suportif dan tidak mengancam, tegas dan berikan batasan yang jelas
bahwa kalau perlu pasien dapat diikat (physical restraints). Tentukan batasan itu
dengan memberikan pilihan (misalnya pilih obat atau diikat), dan bukan dengan
menyuruh pasien secara provokatif: “minum tablet ini sekarang”
Kaakan langsung kepada pasien bahwa tindak kekerasan tidak dapat diterima,
Tenangkan pasien bahwa ia aman di sini. Tunjukkan dan tularkan sikap tenang
dan penuh kontrol.
Tawarkan obat kepada pasien untuk membantunya lebih tenang.
VI. EVALUASI DAN PENATALAKSANAAN
1) Lindungi diri anda
- Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersenjata
- Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersikap beringas (violent)
seorang diri atau di ruang tertutup. Lepaskan hal-hal yang bisa
dijambak/ditarik seperti kalung atau dasi.
- Jangan melakukan pengikatan pasien seorang diri, serahkan urusan itu
pada anggota staf yang terlatih.
- Duduklah dengan jarak paling tidak sepanjang lengan
- Jangan menantang atau menentang pasien psikotik.
- Jangan duduk berdekatan dengan pasien paranoid, yang muungkin merasa
bahwa anda mengancamnya
- Waspadalah terhaddap tanda-tanda munculnya kekrasan. Selalu persiapkan
rute untuk melarikan diri seandainya pasien menyerrnag anda. Jangan
pernah membelakangi pasien
2) Waspada terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan, antara lain:
- Adanya kekerasan terhadap orang atau benda yang terjadi belum lama ini,
gigi yang dikatupkan serta telapak yang dikepal,
- Ancaman verbal,
36
- Agitasi psikomotor,
- Intoksikasi alkohol atau obat atau zat lain,
- Waham kejar, dan
- Senjata atau benda-benda yang dapat digunakan sebagai senjata (seperti
garpu, asbak)
3) Pastikan bahwa terdapat jumlah staf yang cukup untuk mengikat pasien secara
aman.
4) Pengikatan pasien hanya dilakukan oleh mereka yang telah terlatih. Biasanya
setelah pasien diikat diberikan benzodiazepin atau antipsikotik untuk
menenangkan pasien.
5) Lakukan evaluasi diagnostik yang tepat, meliputi TTV, pemeriksaan fisik dan
wawancara pskiatrik.
VII. TERAPI PSIKOFARMAKA
Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk menenagkan pasien diberikan
obat antipsikotik atau benzodiazepin:
- Flufenazine, trifluoperazine atau haloperidol 5mg per oral atau IM,
- Olanzapine 2,5-10 mg per IM, maksimal 4 injeksi per hari, dengan dosis rata-
rata per hari 13-14mg,
- Atau lorazepam 2-4 mg, diazepam 5-10mg per IV secara pelahan (dalam 2
menit).
Bila dalam 20-30 menit kegelisahan tidak berkurang, ulangi dengan dosis yang
sama. Hindari pemberian antipsikotik pada pasien yang mempunyai risiko kejang. Utnuk
penderia epilepsi, mula-mula berikan antikonvulsan misalnya carbamazepine lalu berikan
benzodiazepine. Pasien yang menderita ganggauan organik kronik seringkali memberikan
respon yang baik dengan pemberian ß-blocker seperti propanolol.
c) Bunuh diri (suicide)/ Tentamen Suicidum
Bunuh diri atau suicide atau tentamen suicidum adalah kematian yang diniatkan
dan dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti
Hadisukanto, 2010) atau segala perbuatan seseorang yang dapat mengakhiri hidupnya
sendiri dalam waktu singkat (Maramis dan Maramis, 2009).Ada macam-macam
37
pembagian bunuh-diri dan percobaan bunuh-diri. Pembagian Emile Durkheim masih
dapat dipakai karena praktis, yaitu:
1. Bunuh diri egoistik
Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh
kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadi individu itu seolah-olah tidak
berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat menerangkan mengapa
mereka tidak menikah lebih rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri
dibandingkan dengan mereka yang menikah. Masyarakat daerah pedesaan mempunyai
integrasi social yang lebih baik dari pada daerah perkotaan, sehingga angka suiside juga
lebih sedikit.
2. Bunuh diri altruistik
Individu itu terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk bunuh
diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa bahwa kelompok
tersebut sangat mengharapkannya. Contoh: “Hara-kiri: di Jepang, “puputan” di Bali
beberapa ratus tahun yang lalu, dan di beberapa masyarakat primitive yang lain. Suiside
macam ini dalam jaman sekarang jarang terjadi, seperti misalnya seorang kapten yang
menolak meninggalkan kapalnya yang sedang tenggelam.
3. Bunuh diri anomik
Hal ini terjadi bila tedapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu dengan
masyarakat, sehingga individu tersebut meningglakan norma-norma kelakuan yang biasa.
Individu itu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat atau kelompoknya tidak dapat
memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada pengaturan dan pengawasan terhadap
kebutuhan-kebutuhannya. Hal ini menerangkan mengapa percobaan bunuh diri pada
orang cerai pernikahan lebih banyak dari pada mereka yang tetap dalam pernikahan.
Golongan manusia yang mengalami perubahan ekonomi yang drastis juga lebih mudah
melakukan percobaan bunuh diri.
Helber Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh-diri sebagai berikut:
1. Kematian sebagai pelepasan pembalasan (“Death as retaliatory abandonment”).
38
Suiside dapat merupakan usaha untuk mengurangi preokupasi tentang rasa takut akan
kematian. Individu mendapat perasaan seakan-akan ia dapat mengontrol dan dapat
mengetahui bilamana dan bagaimana kematian itu.
2. Kematian sebagai pembunuhan terkedik (ke belakang) (“Death as retroflexed
murder”).
Bagi individu yang mengalami gangguan emosi hebat, suiside dapat mengganti
kemarahan atau kekerasan yang tidak dapat direpresikan. Orang ini cenderung untuk
bertindak kasar dan suiside dapat merupakan penyelesaian mengenai pertentangan
emosi dengan keinginan untuk membunuh.
3. Kematian sebagai penyatuan kembali (“Death as reunion”).
Kematian dapat mempunyai arti yang menyenangkan, karena individu itu akan
bersatu kembali dengan orang yang telah meninggal (reuni khayalan).
4. Kematian sebagai hukuman buat diri sendiri (“Death as self punishment”).
Menghukum diri sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang terjadi pada wanita,
akan tetapi seorang ibu tidak mampu mencintai, maka keinginan menghukum dirinya
sendiri dapat terjadi. Dalam rumah sakit jiwa, perasaan tak berguna dan menghukum
diri sendiri merupakan hal yang umum. Mula-mula mungkin karena kegagalan, rasa
berdosa karena agresi, individu itu mencoba berbuat lebih baik lagi, tetapi akhirnya ia
menghukum diri sendiri untuk menjauhkan diri dari tujuan itu.
VIII. FAKTOR RISIKO
Berikut ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri:
l. Jenis kelamin
Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri dibanding laki-laki.
Akan tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini berkaitan
dengan metode bunuh diri yang dipilih. Laki-laki lebih banyak dengan gantung diri,
meloncat dari tempat tinggi, dengan senjata api. Perempuan lebih banyak dengan
overdosis obat-obatan atau menggunakan racun.
m. Usia
Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki,
angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun sedangkan pada perempuan
39
angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 55 tahun. Orang yang lebih tua lebih
jarang melakukan percobaan bunuh diri, tetapi lebih sering berhasil.
n. Ras
Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh diri dibanding
ras kulit hitam.
o. Status perkawinan
Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama jika terdapat anak di rumah.
Orang yang tidak pernah menikah dua kali lebih beresiko untuk bunuh diri. Perceraian
meningkatkan resiko bunuh diri. Janda atau duda yang pasangannya telah meninggal
juga memiliki angka bunuh diri yang tinggi.
p. Pekerjaan
Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri, tetapi status sosial
yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh diri. Pekerjaan sebagai dokter memiliki
resiko bunuh diri tertinggi dibanding pekerjaan lain. Spesialisasi psikiatri memiliki
resiko tertinggi, disusul spesialis mata dan spesialis anestesi. Pekerjaan lain yang
memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri adalah pengacara, artis, dokter gigi, polisi,
montir, agen asuransi. Orang yang tidak memiliki pekerjaan memiliki resiko lebih
tinggi untuk bunuh diri.
q. Kesehatan fisik
Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki masalah kesehatan
dalam 6 bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas fisik, nyeri hebat yang kronik,
pasien hemodialisis meningkatkan resiko bunuh diri.
r. Gangguan mental
Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau melakukan bunuh diri memiliki
gangguan mental. Gangguan mental tersebut terdiri dari depresi 80%, skizofrenia
10%, dan demensia atau delirium 5%. Di antara semua pasien dengan gangguan
mental, 25% kecanduan juga kepada alkohol.
s. Kecanduan alkohol
Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan bunuh diri. Sekitar 80% pasien
bunuh diri akibat kecanduan alkohol adalah laki-laki. Sekitar 50% dari pasien
40
kecanduan alkohol yang bunuh diri mengalami kehilangan anggota keluarga atau
pasangan dalam satu tahun terakhir.
t. Gangguan kepribadian
Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki gangguan kepribadian. Gangguan
kepribadian merupakan faktor predisposisi untuk gangguan depresi. Selain itu juga
merupakan faktor predisposisi untuk kecanduan alkohol. Gangguan kepribadian juga
dapat menyebabkan konflik dengan keluarga dan orang lain.
Gangguan Jiwa yang sering Berkaitan dengan Bunuh Diri, adalah gangguan mood,
keterantungan alkohol, skizofrenia. Pencegahan tindak bunuh diri yang terbaik adalah
dengan mendeteksi dini dan menatalaksana gangguan jiwa yang mungkin menjadi faktor
kontribusi tadi.
Mengenali pasien yang berpotensi bunuh diri
Kemungkinan bunuh diri dapat terjadi apabila:
a. Pasien pernah mencoba bunuh diri
b. Keinginan bunuh diri dinyatakan secara terang-terangan maupun tidak, atau
berupa ancaman: “kamu tidak akan saya ganggu lebih lama lagi” (sering
dikatakan pada keluarga)
c. Secara objektif terlihat adanya mood yang depresif atau cemas
d. Baru mengalami kehilangan yang bermakna (pasangan, pekerjaan, harga diri, dan
lain-lain)
e. Perubahan perilaku yang tidak terduga: menyampaikan pesan-pesan, pembicaraan
serius dan mendalam dengan kerabat, membagi-bagikan harta/barang-barang
miliknya.
f. Perubahan sikap yang mendadak: tiba-tiba gembira, marah atau menarik diri.
Panduan Wawancara dan Psikoterapi
Pada waktu wawancaa, pasien mungkin secara spontan menjelaskan adanya ide
bunuh diri. Bila tidak, tanyakan langsung.
41
Mulailah dengan menanyakan:
- Apakah anda pernah merasa ingin menyerah saja?
- Apakah anda pernah merasa bahwa lebih baik kalau anda mati saja?
Tanyakan isi pikiran pasien:
- Berapa sering pikiran ini muncul?
- Apakah pikiran tentang bunuh diri ini meningkat?
Selidiki :
- Apakah pasien bisa mendapatkan alat dan cara untuk melaukan rencana bunuh
dirinya?
- Apakah mereka sudah mengambilkah aktif, isalnya mengumpulkan obat?
- Seberapa pesimiskah mereka?
- Aakah mereka bisa memikirkan bahwa kehidupannya akan membaik?
IX. EVALUASI DAN PENATALAKSANAAN
Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat di rumah (di tempat
kejadian) dan atau di Unit Gawat Darurat di rumah sakit, di bagian penyakit dalam atau
bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka dan atau keracunan. Bila keracunan
atau luka sudah dapat diatasi maka dilakukan evaluasi psikiatrik. Tidak ada hubungan
antara beratnya gangguan fisik dengan beratnya gangguan psikologis. Penting sekali
dalam pengobatan untuk menangani juga gangguan mentalnya. Untuk pasien dengan
depresi dapat diberikan psikoterapi dan obat antidepresan.
Ketika sedang mengevaluasi pasien dengan kecendrungan bunuh diri, jangan
tinggalkan mereka sendiri di ruangan. Singkirkan benda-benda yang dapat
membahayakan dari ruang tersebut. Etika mengevaluasi pasien yang baru melakukan
percobaan bunuh diri, buatlah penilaian apakah hal itu direncanakan atau dilakukan
secara impulsif.
Penatalaksanaan tergantung dari diagnosis yang ditegakkan. Pasien yang depresi
berat boleh saja berobat jalan asalkan keluarganya dapat mengawasi pasien secara ketat
di ruma. De bunuh diri pada pasien alkoholik umumnya hilang setelah sesudah
menghentkan pengguanan alkohol itu. Pasien dengan gangguan kepribadian akan
42
berespon baik bila mereka ditangani secara empatik dan dibantu untuk memecahkan
masalah dengancara rasionald an bertanggung jawab.
Rawat inap jangka panjang diperlukan bagi pasien yang cendrung dan mempunyai
kebiasaan melukai diri sendiri serta parasuicides. Parasuicides yaitu mereka yang
berulangkali melakukan hal-hal berbahaya tetapi menyangkal adanya ide-ide bunuh diri.
X. TERAPI PSIKOFARMAKA
Seorang yang sedang dalam krisis karena baru ditinggal mati biasanya akan
berfungsi lebih baik setelah mendapat tranquilizer ringan, tertama bila tidurnya
terganggu. Obat pilihannya adalah golongan benzodiazepine, misalnya lorazepam 3x1
mg per hari selama 2 minggu. Jangan memberukan obat dalam jumlah banyak sekaligus
terhdap pasien(rrespkan sedikit-seikit saja) dan pasien harus kontrol dalam bebeapa hari.
d) Sindroma Neuroleptik Maligna
Sindrom neuroleptik maligna adalah suatu sindrom toksik yang behubungan dengan
penggunaan obat antipsikotik. Gejalanya meliputi : kekakuan otot, distonia, akinesia
mutisme dan agitasi.
Gambaran Klinis dan Diagnosis
Ditandai oleh demam tinggi (dapat mencapai 41,5ºC), kekakuan otot yang nyata
sampai seperti pipa (lead-pipe rigidity), instabilitas otonomik (takikardia, tekanan darah
yang labil, keringat berlebih) dan gangguan kesadaran. Kekakuan yang parah dapat
menyebabkan rhabdomyolysis, myaglobinuria dan akhirnya gagal ginjal. Penyulit lain
dapat berupa tombosis vena, emboli paru dan kematian. Biasanya terjadi dalam hari-hari
pertama pengguanaan antipsikotik pada saat dosis mulai ditingkatkan, umunya dalam 10
hari pertama pengobatan antipsikotik. Sindrom neuroleptik maligna paling mungkin
terjadi pada pasien yang menggunakan antipsikotik potensi tinggi dalam dosis tinggi atau
dosis yang meningkat cepat.
Menurut DSM-IV-TR, diagnosis sindrom neuroleptik maligna ditegakkan jika
terdapat demam dan kekakuan otot yang parah disertai dengan 2 atau lebih gejala berikut:
- Diaforesis
43
- Disfagia
- Tremor
- Inkontinensia
- Penurunan kesadaran
- Mutism
- Takikardia
- Tekanan darah yang meningkat atau labil
- Leukositosis
- Bukti laboratorium adanya kerusakan otot rangka
Patofisiologi
Patofisiologi sindrom neuroleptik maligna belum diketahui secara jelas.
Timbulnya sindrom neuroleptik maligna akibat obat yang menghambat reseptor D2
menghasilkan hipotesis bahwa penghambatan reseptor D2 pada berbagai area di otak
menjelaskan gejala klinis yang timbul. Hambatan reseptor D2 di formatio retikularis
dapat menurunkan kesadaran. Hambatan reseptor D2 di jalur nigrostriatal dapat
menyebabkan rigiditas. Hambatan reseptor D2 di hipotalamus dapat menyebabkan
instabilitas otonom, gangguan pelepasan panas. Hiperpireksia terjadi akibat disfungsi
hipotalamus dan kekakuan otot
Faktor resiko
Jenis kelamin laki-laki dua kali lebih beresiko dibanding perempuan.Faktor
predisposisi munculnya sindrom neuroleptik maligna adalah dehidrasi, malnutrisi,
kelelahan, injeksi intramuskular neuroleptik, cedera kepala, infeksi, intoksikasi alkohol,
pengunaan antipsikotik bersama dengan litium (Hall and Chapman, 2006). Gangguan ini
dapat pula terjadi pada pasien yang baru menghentikan terapi dengan obat-obatan agoni
dopaminergik seperti carbidopa, levodopa, amantadine dan bromocriptine.
Panduan Wawancara dan Psikoterapi
Sindrom neuroleptik maligna adalah kegawatdaruratan medik sehingga perlu
dirawat di ICU. Kesadarannya terganggu, tanyakan perjalanan penyakitnya pada keluarga
dan teman-temannya.
44
Evaluasi dan Penatalaksanaan
Pertimbangkan kemungkinan sindrom neuroleptik maligna pada pasien yang
mendapat antipsikotik yang mengalami demam serta kekakuan otot.
Bila terdapat rigiditas rinan yang tidak berespon terhdap antikolinergik biasa dan bila
demamnya tak jelas sebabnya, buatlah diagnosis sementara sindroma neuroleptik
maligna.
Hentikna pemberian antipsikotik segera.
Monitor tanda-tanda vital secara berkala.
Lakukan pmeriksaan laboratorium
Hidrasi cepat intrvena daapt mencegah erjadinya renjatan dan menurnkan
kemungkinan terjadiny agagal ginjal.
Sindrom ini biasanya berlangsung selama 15 hari. Setelah sebuh, masalah kemudian
adalah pemberian naipsikotik selanjutnya apakah mengganti dari kelas yang berbeda
atau kembali ke antipsikotik semula yang efektif.
Terapi Psikofarmaka
Amantadine 200-400 mg PO/hari dalam dosis terbagi
Bromocriptine 2,5 mg PO 2 atau 3 kali/hari , dapat dianikan sampai 45
mg/hari
Levodopa 50-100 mg/hari IV dlam infus terus-menerus
45
DAFTAR PUSTAKA
1. Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran- Universitas Indonesia; 1995.
2. Kaplan HI, Sadock BJ. Kaplan and Saddock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Science/ Clinical Psychiatry. 8th ed. Maryland: William & Wilkins; 1998.
3. Katzung BG. Basic & Clinical Pharmacology. 8th ed. New York: McGraw-Hill;
2001.
4. Maslim R, Panduan Praktis Penggunaan Klini, Obat Psikotropik. Edisi 3. Jakarta:
2001.
5. Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. Lippincott’s Illustatrated Reviews:
Pharmacology. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 2000.
6. Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran- Universitas Indonesia; 1995.
7. Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI.2010.
46
8. Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.
Surabaya: Airlangga University Press.2009.
9. Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York: Lippincott
Williams & Wilkins. 2007
10. Tomb, D.A. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2004
47