antara thariqah

Upload: choirummintin-wa-khilafah

Post on 07-Jan-2016

218 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bhjvh

TRANSCRIPT

ANTARA THARIQAH,USLUB, DAN WASILAH

Antara Thariqah, Uslub, dan Wasilah

Dalam kitab Mafhm Hizb at-Tahrr telah dinyatakan: Islam adalah akidah yang memancarkan sistem. Sistem ini adalah hukum-hukum syara yang digali dari dalil-dalil tafshl (kasus per kasus). Di dalam sistem tersebut, Islam telah menjelaskan tatacara yang digunakan untuk menerapkan hukum-hukumnya melalui hukum syara. Dan hukum-hukum syara yang menjelaskan tatacara untuk menerapkan (hukum) inilahyang disebuttharqah, sementara yang lain adalah fikrah... Hukum-hukum syara yang menjelaskan tatacara menerapkan solusi-solusi (hukum-hukum syara) ini, serta tatacara mempertahankan akidah dan mengemban dakwah itu juga merupakan tharqah... Dan, selama tharqah tersebut terdapat di dalam syariah, maka dalam masalah tharqah itu wajib hanya mengambil apa yang dinyatakan oleh syara dan apa yang digali dari nas-nasnya... Demikianlah, hukum-hukum tharqah yang lain itu digali berdasarkan ijtihad dari al-Kitab, as-Sunnah, Ijma Sahabat dan Qiyas, sebagaimana hukum-hukum yang lain. Ketika as-Sunnah berfungsi untuk menjelaskan al-Kitab, maka fikrah itu juga dinyatakan secara Mujmal dalam al-Kitab, sementara di dalam as-Sunnah dinyatakan secara detail. Begitu juga tharqah telah dinyatakan dalam al-Kitab secara Mujmal, sementara di dalam as-Sunnah telah dinyatakan secara detail.1Selanjutnya dinyatakan: Dengan menganalisis berbagai aktivitas yang ditunjukkan oleh hukum syara yang berkaitan dengan tharqah ini akan ditemukan, bahwa tharqah itu merupakan aktivitas fisik, yang dapat merealisasikan hasil-hasil yang bisa dirasakan, dan bukan aktivitas yang dapat merealisasikan hasil-hasil yang tak dapat dirasakan... Contohnya doa adalah aktivitas yang dapat merealisasikan nilai spiritual, dan jihad adalah aktivitas fisik yang dapat merealisasikan nilai spiritual. Tetapi meski doa tersebut merupakan aktivitas fisik, namun doa dapat merealisasikan hasil-hasil yang tidak dapat dirasakan, yaitu pahala, sekalipun tujuan orang yang melakukan doa tersebut adalah untuk merealisasikan nilai spiritual. Berbeda dengan jihad, karena jihad adalah memerangi musuh, dan itu merupakan aktivitas fisik yang dapat merealisasikan hasil yang dapat dirasakan, yaitu ditaklukkannya benteng, kota atau terbunuhnya musuh, dan sebagainya, sekalipun orang yang berjihad itu bermaksud untuk merealisasikan nilai spiritual.2 Di dalam nasyrah Soal-Jawab yang dikeluarkan pada tanggal 26 Jumadil Akhir 1383 H bertepatan dengan tanggal 14/9/1963 M telah dinyatakan: Tharqah adalah hukum-hukum syara yang menjelaskan tatacara menerapkan akidah dan hukum syara. Maka, Allah memerintahkan agar mengimani Dzat yang wajib ada, yaitu Allah, serta kenabian Muhammad saw. Juga melarang tindakan murtad dari Islam, serta memerintahkan agar mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Jadi, hukum-hukum yang menjelaskan tatacara untuk mengimplementasikan perintah dan larangan ini merupakan metode, seperti hukum-hukum murtad, hukum-hukum jihad, dan hukum-hukum Musyrik Arab dan non-Arab.Allah SWT. telah memerintahkan bersikap iffah, melarang zina, memerintahkan agar menjaga hak milik pribadi, melarang mencuri, memerintahkan untuk memelihara jiwa dan melarang membunuh jiwa, sementara hukum-hukum yang menjelaskan tatacara menerapkan perintah dan larangan tersebut merupakan tharqah, seperti sanksi zina, mencuri, membunuh pembunuh dan seterusnya.. Allah SWT. telah memerintahkan agar mengangkat Khalifah, melarang kaum Muslim berdiam diri dari tugas mengangkat khalifah lebih dari tiga hari, memerintahkan agar mengangkat para hakim untuk menyelesaikan sengketa, memerintahkan agar mengurusi urusan kaum Muslim dan orang yang mempunyai kewarganegaraan (Islam) di dalam dan di luar negeri, melarang praktek kezaliman, menipu dalam jual-beli, menimbun dan melarang kezalimannya. Sementara hukum-hukum yang menjelaskan tatacara untuk mengimplementasikan perintah dan larangan ini merupakan tharqah, seperti hukum-hukum baiat, peradilan, baitul mal, madzlim, hisbah, dan seterusnya.. Demikianlah, semua hukum yang menjelaskan tatacara untuk mengimplementasikan perintah dan larangan Allah ini adalah tharqah. Jadi, tharqah adalah hukum syara. Karena itu, tidak bisa ditanyakan apa dalil yang menjelaskan adanya tuntutan yang tegas dari pembuat syariat mengenai wajibnya terikat dengan tharqah. Sebab, dalilnya adalah dalil yang menunjukkan wajibnya terikat kepada hukum-hukum syara. Karena tharqah adalah hukum-hukum syara yang menjelaskan tatacara untuk menerapkan perintah dan larangan Allah.Sedangkan dalam nasyrah Soal-Jawab yang dikeluarkan pada bulan Rabiul Awwal 1383 H atau bertepatan dengan 14/8/1963 M telah dinyatakan: Jika perbuatan-perbuatan cabang ini telah dinyatakan oleh hukum khusus, maka perbuatan tersebut merupakan tharqah, yaitu hukum yang wajib dipedomani dan dipegang teguh. Namun, jika tidak dinyatakan oleh hukum khusus, maka perbuatan tersebut merupakan uslb, yaitu perbuatan mubah yang bisa ditunaikan sesuai dengan bentuk yang dikehendaki, yang nota bene dimubahkan oleh pembuat syariat kepadanya. Mengangkat khalifah dianggap sebagai hukum asal, karena hukum syara telah menyatakannya, dan dari hukum ini bisa diderivat; apakah khalifah diangkat melalui pemilu, baiat atau kedua-duanya sekaligus? Apakah baiat tersebut dilakukan secara lisan, tertulis ataupun isyarat? Apakah baiat tersebut akan bisa dilakukan di seluruh negeri dalam waktu sehari, seminggu atau beberapa waktu secara berurutan, dan seterusnya... Perbuatan-perbuatan cabang ini, jika dinyatakan oleh hukum khusus, maka perbuatan tersebut merupakan tharqah, semisal baiat. Namun, jika perbuatan tersebut tidak dinyatakan oleh hukum khusus, maka keumuman hukum yang menyatakan hukum asalnya juga menjadi dalil bagi kemubahan untuk melaksanakan perbuatan apapun, maka perbuatan tersebut hukumnya mubah, dan itu adalah uslb. Demikianlah, setiap perbuatan seorang Muslim harus dijalankan menurut hukum syara. Adapun kemubahan tersebut adalah apa yang harus dilakukan dengan salah satu perbuatan, tanpa disertai ketentuan, sedangkan keterikatan pada hukum tertentu adalah apa yang harus dikerjakan dengan perbuatan tertentu yang telah ditentukan oleh syara. Perbuatan yang telah ditentukan oleh syara, yang digunakan untuk menunaikan perbuatan yang diperintahkan, disebut tharqah, dan selama syara tidak menentukan perbuatan tertentu untuk dikerjakan, tetapi memerintahkan agar dilaksanakan dengan perbuatan apapun, maka disebut uslb.Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa tharqah adalah hukum syara sebagaimana hukum syara yang lain, yang digali dari dalil-dalil syara, baik al-Quran, as-Sunnah, Ijma Sahabat maupun Qiyas. Hukum ini mengatur aktivitas manusia yang berkaitan dengan tatacara untuk mengimplementasikan perintah dan larangan Allah. Dengan kata lain, tharqah adalah aktivitas yang telah ditentukan oleh syara, yang digunakan untuk menunaikan perbuatan yang diperintahkanbaik untuk dilaksanakan maupun ditinggalkan. Karena itu, aktivitas tersebut mempunyai ciri khas, berupa aktivitas fisik, dapat merealisasikan hasil-hasil yang dapat dirasakan, bersifat tetap, dan tidak berubah. Karena aktivitas ini telah ditentukan oleh syara, maka akal tidak mempunyai peranan untuk menentukan aktivitas ini, selain memahami apa yang telah dijelaskan oleh syara. Ini seperti yang telah dijelaskan dalam nasyrah al-Fikrah al-Islmiyyah Jumlatu Afkr wa Mafhm yang menyatakan: Bentuk negara merupakan tharqah, bukan uslb, sebab merupakan hukum syara. Metode pengangkatan dan pemberhentian pemimpin (amr), serta lepasnya kepemimpinan darinya juga merupakan hukum syara, dan tidak diserahkan kepada ijtihad akal. Artinya, akal tidak mempunyai peranan untuk menentukan aktivitas ini, selain memahaminya dari dalil-dalil syara, sebab syara telah menetapkannya dengan hukum tertentu. Dan, karena telah ditetapkan oleh syara, maka untuk menentukan tharqah tidak diperlukan akal inovatif (aql mubdi), tetapi cukup dengan menggunakan akal biasa (aql d).3Dengan kriteria di atas, bisa dipahami, bahwa pembentukan partai politik dalam rangka melaksanakan kewajiban dakwah baik untuk mengajak orang non-Muslim agar memeluk Islam (ad-dawah il al-Islm) maupun mengajak kaum Muslim agar melanjutkan kembali kehidupan Islam (ad-dawah li istinfi al-hyah al-Islmiyyah) serta dalam rangka menyeru kepada kemakrufan dan mencegah kemungkaran itu merupakan tharqah. Sebab, aktivitas tersebut merupakan hukum yang telah ditentukan oleh syara untuk mengimplementasikan perintah dakwah serta amar makruf dan nahi mungkar, sebagaimana yang telah dinyatakan dalam al-Quran:Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung (Q.s. Ali Imrn: 104)

Karena perintah pembentukan partai di dalam ayat ini berbentuk Mujmal, maka tatacara pembentukannya harus dijelaskan, baik dengan nas yang sama maupun nas-nas yang lain. Maka, kriteria yang disebutkan di dalam ayat ini: yadna ila al-khayr (menyeru kepada kebajikan), yaitu Islam, serta: yamurna bi al-marf wa yanhawna an al-munkar (menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar) mengindikasikan, bahwa partai tersebut harus partai politik Islam, yang berasaskan Islam, dengan visi, misi, tujuan dan aktivitas yang terikat dengan hukum Islam. Indikasi ini merupakan konsekuensi dari kriteria yang disebutkan di dalam ayat tersebut, yang dibangun berdasarkan logika dallah iltizm. Maka, inipun merupakan tharqah, karena merupakan hukum syara yang telah ditentukan oleh dallah iltizm nas di atas dalam rangka mengimplementasikan perintah pembentukan partai tersebut.Demikian halnya, as-Sunnah juga telah menjelaskan aktivitas yang harus dilakukan oleh partai politik Islam tadi, yaitu pembinaan (tatsqf), berinteraksi dengan ummat (at-taful maa al-ummah), mencari pertolongan (thalab an-nushrah), mengambil alih kekuasaan (tasallum al-hukm) dan penerapan hukum (tathbq al-ahkm). Karena aktivitas-aktivitas ini telah ditentukan oleh syara sebagai tatacara untuk melaksanakan dakwahbaik untuk mengajak orang non-Muslim agar memeluk Islam (ad-dawah il al-Islm) maupun mengajak kaum Muslim agar melanjutkan kembali kehidupan Islam (ad-dawah li istinfi al-hyah al-Islmiyyah)serta dalam rangka menyeru kepada kemakrufan dan mencegah kemungkaran, maka ketentuan ini merupakan tharqah.Karena tharqah ini telah dijelaskan oleh Rasul dalam sunnah filiyah beliau, maka tharqah ini harus diambil sebagaimana yang telah beliau contohkan, baik yang berkaitan dengan bentuknya (mumtsalah), momentumnya (min ajlihi) maupun hukumnya (al wajhih). Di sinilah relevansi pembahasan marhalah (tahapan) atau dawr (periode) dan nuqthah (titik pelaksanaan aktivitas). Sebab, secara harfiah, marhalah adalah kata yang berkonotasi waktu dan tempat, dari akar kata: rahila (pergi), yang berarti waktu dan tempat bepergian. Dan, dawr adalah kata kerja yang dibendakan (mashdar), dari akar kata: dra (berputar), yang berarti putaran, ronde atau periode. Sementara nuqthah secara harfiah berarti titik, yang dalam konteks ini berarti titik di mana aktivitas tersebut dilaksanakan. Karena itu, ketiga istilah tersebut mempunyai konotasi waktu dan tempat dilakukannya suatu aktivitas. Pembinaan, misalnya, adalah bentuk aktivitas, yang hukumnya wajib, karena Rasulullah saw. telah melakukannya secara terus-menerus sepanjang hayat beliau, sedangkan kapan dan di manayang berkaitan dengan momentum pelaksanaannya itulah yang dijelaskan dengan menggunakan istilah marhalah, dawr dan nuqthah tadi. Dalam hal ini, pembinaan harus dilaksanakan pada marhalah atau dawr pertama, dimana tahapan dan periode ini kemudian disebut menurut aktivitasnya, yaitu marhalah atau dawr at-tsaqfah (tahapan atau periode pembinaan). Sebab, Rasul telah melakukannya pada tahapan atau periode pertama, meski kemudian tetap dilakukannya secara terus-menerus hingga akhir hayat beliau, baik ketika masih di Makkah maupun di Madinah. Sementara taful maa al-ummah dan thalab an-nushrah dilakukan para tahapan atau periode kedua, yang hukumnya juga wajib, karena dilakukan oleh Rasul dengan konsisten sekalipun resikonya sangat berat bagi beliau, dimana aktivitas ini hanya dilakukan pada tahapan atau periode ini karena Rasul telah melakukannya pada tahapan atau periode tersebut. Tahapan dan periode ini juga kemudian disebut menurut aktivitasnya, yaitu marhalah atau dawr at-taful (tahapan atau periode pembinaan). Demikian seterusnya. Karena itu, bisa disimpulkan bahwa marhalah, dawr atau nuqthah tersebut merupakan bagian dari tharqah, dalam kaitannya dengan waktu dan tempat pelaksanaannya.Dengan demikian, secara umum bisa disimpulkan bahwa tharqah sama dengan hukum syara yang lain. Sama-sama bersumber dari dalil syara, baik al-Quran, as-Sunnah, Ijma Sahabat, dan Qiyas. Demikian juga ada yang qath dan dzann, sebagaimana hukum syara yang lain, meski masing-masing ditetapkan oleh dalil. Ini ketentuan secara umum tentang tharqah Islam.Mengenai uslb telah dinyatakan dalam kitab at-Tafkr sebagai: tatacara tertentu untuk melakukan aktivitas, dan itu merupakan tatacara yang tidak tetap.4 Dalam alenia lain dinyatakan: Uslb itu ditentukan oleh jenis aktivitasnya. Karena itu, uslb tersebut berbeda mengikuti perbedaan jenis aktivitasnya.5 Ini berkaitan dengan fakta uslb secara umum. Dalam kaitannya dengan hukum syara, uslb adalah tatacara untuk mengimplementasikan perintah dan larangan syara, yang aktivitasnya tidak ditentukan oleh syara, tetapi diserahkan kepada ijtihad akal. Karena itu, untuk merumuskan uslb dibutuhkan akal inovatif. Sebagai contoh, mendeklarasikan jamaah atau partai politik Islam kepada publik adalah tharqah, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh sunnah filiyah Rasul saw. sedangkan tatacaranya bisa dengan masrah ataupun yang lain, sesuai dengan tujuan dan target yang ingin diwujudkan. Maka, masrah adalah uslb, yang hukumnya mubah. Adapun dalil kemubahannya dibangun berdasarkan dalil umum yang memerintahkan deklarasi (iln) tadi.Contoh lain mengoreksi tindakan para penguasa Muslimbaik dalam sistem Islam maupun Kufuradalah tharqah, baik dalam rangka menghilangkan kezaliman dan menegakkan keadilan, sementara uslb yang digunakannya bisa dengan mendatangi mereka, baik secara perorangan maupun kolektif. Dan, karena kekuasaan dalam sistem demokrasi telah dibagi menjadi tiga, yaitu legislatif, eksekutif dan judikatif, maka tindakan ketiganya juga harus dikoreksi. Karena itu, mendatangi parlemen, misalnya, merupakan salah satu uslb untuk mengoreksi tindakan penguasa, karena mereka telah mengeluarkan produk UU yang bertentangan dengan Islam. Sama seperti mendatangi istana, kantor menteri atau duta besar. Semuanya ini merupakan uslb untuk mengoreksi tindakan para penguasa. Adapun dalil yang membolehkan semua aktivitas tadi adalah dalil umum yang memerintahkan agar mengoreksi tindakan para penguasa, sebab dalil tersebut tidak menentukan bentuk aktivitas yang menjadi tatacara pelaksanaannya.Demikian pula aktivitas mengangkat seorang pemimpin untuk mengurus urusan yang menjadi urusan banyak orang (umr musytarakah) adalah tharqah, sebab aktivitas ini secara spesifik telah ditentukan oleh syara, sama dengan baiat. Keberadaan majlis ummat dalam sistem pemerintahan Islam yang merepresentasikan aktivitas tertentubaik untuk melakukan perintah musyawarah maupun mengoreksi tindakan penguasa juga merupakan tharqah, karena sebagai representasi aktivitas tertentu keberadaan majlis tersebut telah ditentukan oleh syara, baik al-Quran maupun sunnah filiyah Rasul. Namun, tatacara baiat, baik dilakukan secara lisan, tertulis maupun isyarat adalah uslb. Demikian halnya dengan pembentukan atau pemilihan anggota majlis ummat, baik melalui pemilu, atau ditetapkan oleh kepala negara, semuanya merupakan uslb, sehingga pemilu dalam konteks pembentukan atau pemilihan anggota parlemen juga merupakan salah satu uslb. Dalam hal ini, khiththah (perencanaan, rancangan, atau strategi gerak) termasuk bagian dari uslb, yang bisa berubah sesuai dengan situasi dan kondisi, serta tujuan yang hendak diwujudkan.Sekalipun uslbtermasuk khiththahyang sama juga bisa dimanfaatkan untuk jenis aktivitas yang berbeda, tetapi pemilihan uslb tersebut harus tepat sesuai dengan jenis aktivitasnya. Pemilu, misalnya, bisa digunakan untuk memilih kepala negara dalam sistem demokrasi, juga bisa digunakan untuk memilih khalifah dalam dalam sistem Islam. Hanya saja, karena masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda, misalnya, kepala negara dalam sistem demokrasi diangkat untuk masa jabatan tertentu, maka tidak perlu dibuat uslb pembatasan calon, sehingga setiap warganegara bisa mencalonkan diri menjadi kepala negara. Berbeda dengan sistem Islam, kepala negara tidak diangkat untuk masa jabatan tertentu, sehingga harus dibuat uslb pembatasan calon, yaitu wakil ummat yang memang layak menjadi khalifah, atau memenuhi syarat pengangkatan (syurh al-iniqd), dan bukan setiap orang yang mempunyai kewarganegaraan Islam.Disamping itu, tidak diperhatikannya perbedaan uslb karena adanya persamaan pada masing-masing juga seringkali menyebabkan orang akan tersesat, sehingga gagal mewujudkan tujuannya. Misalnya, dakwah dan provokasi, memang sama-sama membutuhkan kemampuan presentasi kepada publik dengan baik, tetapi dakwah jelas berbeda dengan provokasi. Dakwah adalah jenis aktivitas yang bertujuan untuk menjelaskan kebenaran faktual (haqiq) seperti apa adanya, sedangkan provokasi adalah jenis aktivitas yang bertujuan untuk memperindah suatu gagasan sehingga publik menjadi tertarik. Karena itu, ketika uslb dakwah tersebut digunakan untuk melakukan provokasi, pasti provokasi tersebut akan gagal, sebaliknya ketika uslb provokasi tersebut digunakan untuk melakukan dakwah, pasti dalam jangka panjang dakwah tersebut juga akan berujung dengan kegagalan. Ini seperti kampanye parpol Islam yang mengklaim sebagai partai dakwah bertujuan untuk memperjuangkan Islam, dengan menyembunyikan wajah Islam yang sesungguhnya, dan menampilkan wajah Islam yang dimodifikasi sedemikian rupa sesuai dengan kecenderungan publik.Sedangkan waslah adalah sarana dan prasarana yang digunakan untuk melakukan aktivitas. Dalam peperangan, bom, pesawat tempur, roket, radar, peta dan lain-lain adalah waslah, sedangkan taracara menggunakannya dalam peperangan tersebut merupakan uslb. Dalam dakwah, koran, majalah, booklet, selebaran, pamflet dan lain-lain adalah waslah, dan taracara menggunakannya dalam berdakwah merupakan uslb. Dengan demikian, waslah dan uslb pada dasarnya tidak dapat dipisahkan. Bahkan, berfikir untuk merumuskan uslb harus disertai dengan memikirkan waslah-nya. Sebab, secanggih apapun uslbtermasuk khiththahyang dirumuskan, tidak ada artinya jika menggunakan waslah yang tidak bisa menghasilkan solusi yang hendak diwujudkan. Misalnya, untuk melawan musuh yang melakukan perang jarak jauh dengan bersenjatakan senjata canggih, tidak bisa dilawan dengan senjata pedang dan panah, misalnya, meski strategi (khiththah) yang telah dirumuskannya sedemikian canggih. Bahkan, bisa dikatakan strategi (khiththah) yang telah dirumuskan sedemikian canggih itu menjadi sia-sia belaka.Contoh lain, mendirikan partai yang dibangun berdasarkan fikrah tertentu dalam rangka menyebarkan fikrah tersebut di tengah-tengah masyarakat atau ummat, serta mengambil alih kekuasaan untuk mengimplementasikan fikrah ini adalah tharqah. Jika partai politik ini menjadikan ulama, termasuk orang-orang yang mempunyai kedudukan di tengah masyarakat sebagai target untuk menjadi anggota partai tersebut, maka partai ini akan gagal mewujudkan tujuannya. Meski fikrah ini akan mudah disebarkan di tengah masyarakat dengan menggunakan ulama sebagai waslah-nya, namun ulama bukanlah waslah untuk meraih kekuasaan. Demikian juga orang-orang yang mempunyai kedudukan di tengah-tengah masyarakat tadi. Meski mereka bisa digunakan sebagai waslah untuk meraih kekuasaan, tetapi kekuasaan yang diraihnya pasti bukan kekuasaan yang dibangun berdasarkan fikrah, sehingga partai ini juga bisa dikatakan gagal mewujudkan tujuannya untuk membangun kekuasaan yang dibangun berdasarkan fikrah. Jika partai tadi menggunakan kedua waslah tersebut secara bersama-sama, maka selain akan gagal mewujudkan tujuannya, partai ini juga akan melangkah menuju kehancuran dan tidak akan berumur panjang. Karenaya, agar waslah tersebut bisa digunakan secara efektif dengan hasil yang gemilang, maka waslah tersebut harus dipersiapkan sehingga keduanya bisa mengemban fikrah yang hendak diwujudkan.Sama halnya dengan menggunakan parlemen dan anggota parlemen sebagai waslah untuk membangun kekuasaan berdasarkan fikrah. Upaya ini pasti akan gagal, karena waslah yang digunakannya tidak akan bisa mewujudkan tujuan yang dikehendaki. Parlemen dan anggota parlemen memang merupakan waslah yang bisa digunakan untuk menyusun dan mengubah UUD atau UU, tetapi bukan waslah untuk membangun kekuasaan berdasarkan fikrah. Sebab, kekuasaan yang dibangun berdasarkan fikrah adalah kekuasaan yang bersandar kepada ummatsebagai pemilik kekuasaan yang sesungguhnyadimana mereka meyakini fikrah yang diterapkan, dipertahankan dan diemban oleh negara. Karenanya, belum pernah ada upaya mengambil alih kekuasaan untuk membangun kekuasaan berdasarkan fikrah tertentu berhasil dilakukan melalui parlemen dan anggota parlemen. Maka, pengalaman ini menjadi bukti, bahwa parlemen dan anggota parlemen bukanlah waslah yang tepat untuk membangun kekuasaan berdasarkan fikrah.Karena itu, rumusan uslb kadangkala bagi seorang pemikir itu masih kabur, karena rumusan tersebut membutuhkan pemahaman yang akurat dan detail terhadap jenis aktivitas yang hendak diwujudkan. Meski begitu, rumusan waslah-nya bagi seorang pemikir tersebut jauh lebih kabur. Sebab, untuk merumuskan uslb hanya dibutuhkan aktivitas berfikir, sampai berhasil dirumuskan, sementara untuk merumuskan waslah tidak cukup dengan memikirkannya, tetapi juga harus ada eksperimen, atau dengan kata lain selain pemikiran, dibutuhkan pengalaman.Dari sini bisa disimpulkan, bahwa untuk mengimplementasikan setiap perintah dan larangan Allah itu ada metode (tharqah)-nya. Maka, siapa saja yang hendak mengimplementasikan perintah dan larangan Allah, harus terikat dengan tharqah-nya, sehingga sejalan dengan fikrah-nya. Inilah yang dimaksud, bahwa tharqah itu harus sejenis dengan fikrah-nya. Untuk melaksanakan tharqah yang telah ditetapkan, syara telah memberikan peluang kepada manusia untuk membuat rumusan apapun yang sejalan dengan hukum tharqah, asal tidak bertentangan dengan hukum yang tegas, sehingga tharqah tersebut benar-benar bisa dilaksanakan dengan efektif dan dengan hasil yang cemerlang. Inilah yang disebut dengan uslb dan waslah. Karena itu, uslb dan waslah tersebut bisa berubah-ubah, dan banyak, sementara tharqah-nya tetap, dan hanya satu. Maka, ketika tharqah tersebut telah dibuktikan kebenarannya, namun belum berhasil juga mewujudkan tujuan yang hendak diimplementasikan, pada dasarnya yang harus dikaji dan diubah bukanlah tharqah-nya, melainkan uslb dan waslah-nya, hingga berhasil mewujudkan tujuan yang dihendakinya. Dengan demikian, berfikir terus-menerus untuk melahirkan uslb dan waslah baru merupakan ciri khas akliah hall al-masykil yang harus dimiliki oleh setiap orang yang ingin melakukan perubahan. Jika tidak, orang tersebut akan mundur dan melarikan diri dari permasalahan.

Catatan Kaki1 As-Syaikh Taqiyuddn an-Nabhni, Mafhm Hizb at-Tahrr, Min Mansyrt Hizb at-Tahrr, cet. IV, ceta-kan Mutamadah, 2001, hal. 55-56.2 Ibid, hal. 57-58.3 Syaikh Taqiyuddn an-Nabhni, at-Tafkr, t.p., t.t., hal. 92.4 Syaikh Taqiyuddn an-Nabhni, ibid, hal. 92.5 Ibid, hal. 90.