angkak cla

17
1. HASIL PENGAMATAN Hasil pengamatan dari pengukuran aktivitas antimikrobia pada angkak dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Pengukuran Aktivitas Antimikrobia pada Angkak Kelompo k Gambar Keterangan D1 Warna: cokelat tua Bau: busuk Kenampakan: ada sedikit warna merah D2 Warna: putih Bau: bau jamur Kenampakan: berjamur D3 Warna: cokelat muda Bau:busuk Kenampakan:ada warna merah sedikit D4 Warna: kuning muda Bau: busuk Kenampakan:berjamur dan ada sedikit warna merah D5 Warna:kuning muda Bau:busuk Kenampakan:sedikit berjamur dan terdapat sedikit warna merah

Upload: hendra-pramana

Post on 20-Oct-2015

28 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Angkak Cla

TRANSCRIPT

Page 1: Angkak Cla

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan dari pengukuran aktivitas antimikrobia pada angkak dapat dilihat

pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengukuran Aktivitas Antimikrobia pada Angkak

Kelompok

Gambar Keterangan

D1Warna: cokelat tua

Bau: busukKenampakan: ada sedikit warna merah

D2

Warna: putihBau: bau jamur

Kenampakan: berjamur

D3Warna: cokelat muda

Bau:busukKenampakan:ada warna merah sedikit

D4Warna: kuning muda

Bau: busukKenampakan:berjamur dan ada sedikit

warna merah

D5 Warna:kuning mudaBau:busuk

Kenampakan:sedikit berjamur dan terdapat sedikit warna merah

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan angkak pada tabel 1. Dapat dilihat

bahwa untuk kelompok D1 angkak berwarna cokelat tua, berbau busuk dan

Page 2: Angkak Cla

memiliki kenampakan sedikit berwarna merah. Untuk kelompok D2 angkak

berwarna putih, berbau jamur dan terdapat jamur. Untuk kelompok D3

didapatkan angkak berwarna coklat muda, berbau busuk dan terdapat sedikit

warna merah. Pada kelompok D4 diperoleh angkak berwarna kuning mud,

berbau busuk dan terdapat jamur serta terdapat sedikit warna merah. Untuk

kelompok D5 angkak berwarna kuning muda, berbau busuk dan terdapat sedikit

jamur dan sedikit warna merah.

Page 3: Angkak Cla

2. PEMBAHASAN

Menurut pendapat dari Winarno & Titi (1994) angkak atau yang sering disebut

sebagai fermentasi beras merah merupakan suatu produk fermentasi yang berasal

dari beras dengan menggunakan jamur Monascus purpureus, dimana menghasilkan

pigmen merah atau kuning yang dapat larut didalam air, etanol atau metanol dan

juga memiliki sifat kestabilan tinggi, mudah dicerna dan tidak beracun. Biasanya,

angkak diaplikasikan sebagai bahan pewarna pada ikan, beras, wine, keju dari

kedelai dan daging asin. Keuntungan dari penggunaan angkak adalah bahan

dasarnya yang mudah diperoleh, warna yang dihasilkan relatif konsisten, zat

warnanya dapat larut dalam air, warna yang dihasilkan dapat bercampur dengan

pigmen lain dan bahan-bahan makanan serta aman digunakan sebagai pewarna

makanan. Selain itu angkak juga memiliki daya kelarutan yang tinggi, stabil, mudah

dicerna dan tidak bersifat karsinogenik. Selain itu dari jurnal Red Yeast Rice

mengatakan bahwa angkak terbuat dari cultur Monascus purpureus dengan beras.

Menurut Endang et al, (1993) dikarenakan angkak memiliki potensi untuk

dikembangkan sebagai zat pewarna alami, maka dari angkak digunakan sebagai

alternatif pengganti zat-zat pewarna sintetis dimana zat tersebut diketahui bersifat

karsinogenik. Selain itu kandungan yang terdapat dalam angkak menurut Steinkraus

(1983) berupa air (7-10%), pati (50-53%), nitrogen (2,4-2,6%), abu (0,9-1%), lemak

(6-7%), dan protein kasar (15-16%).

Dalam praktikum ini digunakan jamur Monascus purpureus yang menghasilkan

Warna merah. Steinkraus (1983) menyatakan bahwa Monascus purpureus memiliki

keunikan, yaitu memiliki kemampuan untuk menghasilkan cairan granular melalui

ujung hifa. Dimana di saat muda, cairan yang dikeluarkan tidak berwarna, namun

secara perlahan-perlahan akan berwarna merah-kekuningan atau merah-oranye.

Selain itu pendapat dari Hesseltine (1965) bahwa produksi pigmen Monascus

purpureus tersebut tidak hanya pada cairan yang dikeluarkan tetapi juga pada bagian

dalam hifa. Dimana warna merah tersebut dapat mendifusi kedalam substrat. Warna

merah tersebut terdiri dari 2 macam pigmen yaitu Monascorubrin (C22H24O5) dan

kuning yaitu Monascoflavin (C17O22O4). Menurut Carvalho (2005), Monascus

Page 4: Angkak Cla

merupakan jenis mikroorganisme yang memproduksi mycotoxin, seperti citrinin

yang merupakan substansi nephrotoxic di mana memiliki aktivitas antibiotik. Lebih

lengkapnya, citrinin merupakan metabolit jamur yang memiliki efek antibiotik dan

antibakterial, di mana efek ini telah diujikan pada bakteriofage, sarcomas, protozoa,

sel-sel binatang, dan sel-sel tanaman tingkat tinggi. Citrinin memiliki karakter

berasam tinggi, tidak larut air, larut pada alkohol panas, dioksana, dan pelarut non-

polar lainnya. Citrinin ini memiliki titik leleh 175ºC and berat molekul 250,25

g/mol.

Pada percobaan ini digunakan beras sebagai bahan pembuatan angkak. Menurut

Timotius (2004) hal ini dikarenakan beras merupakan substrat terbaik untuk

menumbuhkan kultur Monascus sp. Dimana dapat menghasilkan pigmen merah. Hal

ini dikarenakan kandungan nutrisi beras yang kompleks dan kaya akan karbohidrat.

Selain itu, struktu beras akan memudahkan kultur membentuk hifa dan melakukan

penetrasi ke dalam substrat dan juga mempercepat difusi pigmen. Menurut Hayne

(1987) pigmen dari Monascus diproduksi secara tradisional pada substrat padat,

seperti beras atau jagung, yang kemudian dikeringkan, ditumbuk dan dicampurkan

pada makanan langsung. Dalam substrat padat terjadi derpresi pigmen, dikarenakan

difusi pigmen intraseluler ke permukaan substrat padat. Pada substrat cair, pigmen

biasanya tetap tinggal dalam miselium dikarenakan kelarutannya rendah terutama

jika pH mediumnya rendah.

Penggunaan mikroorganisme sebagai penghasil pigmen lebih menguntungkan

dikarenakan dapat ditumbuhkan dalam waktu yang relatif singkat, zat warna dapat

diproduksi dalam jumlah besar ,tidak membutuhkan tempat yang luas, dan juga

prosesnya dapat dikontrol (Rahayu, 1993). Menurut Steinkraus (1983) angkak

merupakan produk zat pewarna yang tidak berbahaya dikarenakan angkak

merupakan zat produk pewarna alami yang dapat digunakan dalam produk-produk

makanan. Didalam angkak biasanya banyak ditemukan enzim-enzim maltase,

invertase, lipase, -glikosidase, oksidase dan ribonuklease.

Page 5: Angkak Cla

Menurut Hendry & Hougthon (1996) angkak memiliki 3 jenis pigmen yang dapat

dihasilkan, yaitu kuning, merah, dan ungu. Dimana pigmen kuning dan merah

berasal dari metabolik sekunder normal dari jamur, sedangkan pigmen ungu

dihasilkan dari modifikasi secara kimiawi atau enzimatis dari pigmen merah dan

kuning. Pigmen–pigmen dari Monascus ini dapat direaksikan dengan gula amino,

asam poliamino, alkohol amino, etanol, heksamin, peptida, protein asam amino,

bovine serum albumin, kasein, gluten, asam nukleat, asam amino terseleksi, RNA,

hasil reaksi pencoklatan asam-gula amino, asam amino asetat dan asam amino

benzoat. Adanya penambahan senyawa pada pigmen biasanya bertujuan untuk

menghasilkan warna turunan dengan tingkat kelarutan dalam air yang lebih tinggi

dan lebih stabil terhadap panas dan cahaya.

Menurut pendapat dari Rahayu et al. (1993) warna merupakan salah satu indikator

yang menentukan mutu dari suatu bahan makanan. Dimana warna pada bahan dibagi

menjadi dua yaitu zat warna alami dan zat warna sintetis. Biasanya zat warna alami

makanan lebih menarik sehingga lebih disukai oleh konsumen. Sedangkan untuk zat

warna sintetis lebih banyak digunakan dikarenakan lebih murah, lebih mudah

didapat, beraneka ragam, memiliki sifat stabil dan lebih tahan lama. Hanya saja

akhir-akhir ini penggunaan zat warna sintetis dalam bahan pangan mulai

dipertanyakan keamanannya. Maka dari itu mulailah dicari alternatif untuk

penggunaan zat warna dalam bahan pangan yang dihasilkan dari berbagai jenis

tanaman, misalnya kunyit, daun katuk, wortel, pacar cina dan juga pigmen alami

yang dapat dihasilkan oleh mikroorganisme. Dimana salah satu mikroorganisme

penghasil pigmen yang potensial adalah jamur Monascus purpureus yang biasnaya

digunakan untuk menghasilkan angkak. Menurut jurnal Constituents of Red Yeast

Rice, a Traditional Chinese Food and Medicine pigment merah pada angkak

memberi karakteristik warna tersendiri, selain itu penggunaan Monascus purpureus

masih banyak digunakan dalam produksi pangan di Jepang.

Dalam praktikum pembuatan angkak ini bahan dasar yang digunakan adalah beras

yang telah direndam dalam air selama 24 jam lalu ditiriskan. Menurut Winarno

(1994) proses perlakuan perendaman beras bertujuan agar air dapat masuk kedalam

Page 6: Angkak Cla

beras dan meningkatkan aktivitas air dalam beras tersebut. Dikarenakan beras yang

kering memiliki aktivitas air yang rendah sehingga tidak dapat ditumbuhi oleh

mikroorganisme, seperti Monascus purpureus, hanya saja dengan dilakukannya

perendaman beras maka aktivitas air dari beras akan meningkat sehingga

mikroorganisme yang dikehendaki dapat tumbuh. Selain itu Winarno (1994) juga

mengatakan bahwa mikroba membutuhkan air untuk tumbuh dan melakukan proses

metabolisme dalam tubuhnya.

Setelah itu dari beras tersebut diambil 25 gram dan dimasukkan ke dalam

erlenmeyer 250 ml kemudian ditutup dengan kapas dan plastik. Kemudian secara

terpisah disiapkan larutan ZnSO4 0,1% sebanyak 30 ml. Penambahan larutan ZnSO4

0,1% ini digunakan agar pigmen yang dihasilkan lebih banyak. Hal tersebut sesuai

dengan pendapat dari Hendry & Hougton (1996) bahwa dengan adanya penambahan

unsur Zn ke dalam media produks, maka akan menghasilkan warna merah 2,5

kalinya dan warna kuning 2 kalinya. Maka dari itu semakin tinggi konsentrasi

ZnSO4 0,1 %, maka angkak yang dihasilkan seharusnya lebih banyak. Beras

didalam erlenmeyer dan juga larutan ZnSO4 0,1% disterilkan dengan menggunakan

autoklaf pada suhu 121°C selama 30 menit hingga dicapai kondisi steril sekaligus

memberi efek pemasakan pada beras. Sterilisasi yang digunakan tergolong dalam

sterilisasi basah, dimana hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Hadioetomo

(1993) yang mengatakan bahwa terdapat tiga cara utama yang biasa digunakan

dalam sterilisasi yaitu dengan penggunaan panas, penggunaan bahan kimia, dan juga

dengan penyaringan atau filtrasi. Biasanya sterilisasi basah dilakukan dengan

menggunakan autoklaf atau sterilisator uap yang mudah diangkat dengan

menggunakan uap air jenuh bertekanan pada suhu 1210C selama 15 menit.

Kemudian didinginkan hingga mencapai suhu ruang, lalu nasi diinokulasi secara

aseptis dengan menggunakan Monascus purpureus. Kemudian ditambahkan dengan

larutan ZnSO4 0,1% sebanyak 0,5 ml, lalu diinkubasi selama 2 minggu dengan suhu

300C hingga terbetuk pigmen merah yang merata dan beberapa hari sekali harus

dikocok agar terjadi aerasi bagi jamur untuk mencegah terjadinya pertumbuhan

miselia yang berlebihan. Menurut Hadioetomo (1993) proses inkubasi bertujuan

untuk menciptakan kondisi yang kondusif dan juga optimal bagi pertumbuhan

Page 7: Angkak Cla

mikroorganisme yang ingin ditumbuhkan sehingga pertumbuhan dari

mikroorganisme tersebut akan semakin cepat dan juga mendapatkan hasil yang

maksimal. Setelah beras disterilkan dengan menggunakan autoklaf, maka perlu

didinginkan terlebih dahulu hingga mencapai suhu ruang agar pembuatan angkak

dapat optimal. hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari Steinkraus (1983), yang

mengatakan bahwa suhu optimum yang digunakan dalam memproduksi pigmen

adalah 27ºC dengan kisaran antara 20–37ºC dan juga dibutuhkan kondisi lingkungan

yang lembab atau cukup lembab (berair).

Namun selama waktu inkubasi selama 2 minggu Setelah inkubasi selama 2 minggu

tidak terdapat warna merah yang merata pada beras yang digunakan, hanya terdapat

sedikit warna merah pada beras. Hasil yang diperoleh dari Tabel 1. Bahwa untuk

kelompok D1 angkak berwarna cokelat tua, berbau busuk dan memiliki kenampakan

sedikit berwarna merah. Untuk kelompok D2 angkak berwarna putih, berbau jamur

dan terdapat jamur. Untuk kelompok D3 didapatkan angkak berwarna coklat muda,

berbau busuk dan terdapat sedikit warna merah. Pada kelompok D4 diperoleh

angkak berwarna kuning mud, berbau busuk dan terdapat jamur serta terdapat

sedikit warna merah. Untuk kelompok D5 angkak berwarna kuning muda, berbau

busuk dan terdapat sedikit jamur dan sedikit warna merah. Kegagalan dalam

pembuatan angkak dalam praktikum ini dapat dikarenakan kondisi yang tidak steril

pada saat melakukan inokulasi kultur Monascus purpureus ke dalam beras. Dimana

hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Hadioetomo (1993), yang mengatakan

bahwa mikroorganisme luar yang tidak dikehendaki dapat masuk melalui kontak

langsung dengan permukaan atau tangan yang tercemar, tersentuhnya media atau

permukaan tabung bagian dalam oleh benda yang belum disterilkan, maupun

melalui aliran udara. Untuk mencegah terjadinya cemaran biakan murni, maka perlu

digunakan teknik aseptik yang sekaligus juga akan dapat melindungi dari infeksi diri

dan juga melindungi orang-orang di sekeliling dari pencemaran di laboratorium.

Munculnya jamur dapat dikarenakan adanya kontaminasi dari mikroba-mikroba

lain. Dimana penyebab utama kontaminasi dalam proses pembuatan angkak tidak

dilakuakan secara aseptis. Selain itu pembentukan angkak yang tidak sempurna

dapat dikarenakan pada waktu inkubasi kurang lama sehingga terjadi reinfeksi

Page 8: Angkak Cla

selama inokulasi. Dimana menurut Hadioetomo (1993) rekontaminasi atau reinfeksi

biasanya dapat terjadi melalui kontak langsung pada media dan juga dikarenakan

metode inokulasi yang kurang aseptis.

Menurut (Rahayu et al., 1993) keberhasilan dalam pembuatan angkak tergantung dari

pertumbuhan jamur Monascus purpureus, dimana apabila Monascus purpureus tumbuh

dengan optimal maka produk angkak yang dihasilkan akan menghasilkan pigmen yang

maksimal. Dimana suhu optimal pertumbuhan Monascus purpureus adalah 300C, dengan

pH optimum 5-6, kelembaban udara maksimum 50%, dan juga pengerjaan secara aseptis.

Selain itu Gaman & Sherington (1994) menambahkan pula beberapa faktor-faktor

yang mempengaruhi berhasil atau tidaknya dalam pembuatan angkak, yaitu :

Nutrisi

Semua mikroorganisme membutuhkan nutrien yang akan menyediakan energi,

nitrogen, vitamin dan mineral.

Waktu

Dalam kondisi optimal, hampir semua bakteri dapat memperbanyak diri dengan

pembelahan biner sekali setiap 20 menit.

Kelembaban

Bakteri biasanya membutuhkan pertumbuhan terbaik dan perbanyakan diri

tercepat.

O2

Ketersediaan O2 dapat mempengaruhi pertumbuhan dari mikroorganisme,

dikarenakan hampir sebagian besar dari mikroorganisme bersifat aerob.

Suhu

Suhu optimal yang digunakan biasanya dapat memberikan pertumbuhan terbaik

dan perbanyakan diri tercepat.

pH

Hampir sebagian besar mikroorganisme dapat tumbuh baik jika pH antara 6,6

dan 7,5 (netral).

Page 9: Angkak Cla

3. KESIMPULAN

Angkak merupakan suatu produk fermentasi yang berasal dari beras dengan

menggunakan jamur Monascus purpureus yang menghasilkan pigmen merah.

Warna merah tersebut terdiri dari 2 macam pigmen yaitu Monascorubrin

(C22H24O5) dan kuning yaitu Monascoflavin (C17O22O4).

Penambahan larutan ZnSO4 0,1% ini berguna untuk membuat pigmen yang

dihasilkan lebih banyak.

Penambahan larutan ZnSO4 bertujuan agar pigmen yang dihasilkan lebih

banyak

Suhu optimal pertumbuhan Monascus purpureus adalah 300C, dengan pH

optimum 5-6, kelembaban udara maksimum 50%.

Faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dari Monascus purpureus yaitu

pH, mineral, suhu, kelembaban, dan juga perlakuan aseptis.

Gagalnya pembuatan angkak dikarenakan adanya rekontaminasi atau reinfeksi

dan juga tidak ada proses pengadukan atau aerasi.

Suhu optimum yang digunakan memproduksi pigmen adalah 27ºC dengan

kisaran antara 20–37ºC.

Inkubasi bertujuan untuk menciptakan kondisi yang kondusif dan juga optimal

bagi pertumbuhan mikroorganisme yang ingin ditumbuhkan

Semarang, 19 April 2013

Praktikan, Asisten Dosen,

Clara Alverina Tanaka Denny Indaryanto

11.70.0029 Cornelia Nindya

Page 10: Angkak Cla

4. DAFTAR PUSTAKA

Carvalho, J. C. D. ; B. O. Oishi ; A. Pandey ; & C. R. Soccol. (2005). Biopigments from Monascus: Strains Selection, Citrinin Production and Color Stability. http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=s1516-89132005000800004

Endang,S; Rahayu; Utami & Haryati,E. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. PAU-Pangan & Gizi UGM. Yogyakarta.

Gaman, P. M & K. B. Sherrington. (1994). Ilmu Pangan : Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi, dan Mikrobiologi. Gadjah Mana University Press. Yogyakarta.

Hadioetomo, R. S. (1993). Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. Gramedia. Jakarta.

Hendry, G. A. F. & J. D. Houghton. (1996). Natural Foods Colorants. Chapman & Hall. London.

Hesseltine, C.W. (1965). A Milenium of Fungi, Food and Fermentation. Mycologia.

Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta.

Jiyuan Ma, Yongguo Li, Qing Ye, Jing Li, Yanjun Hua, Dajun Ju, Decheng Zhang,Raymond Cooper,* and Michael Chang. (2000). Constituents of Red Yeast Rice, a Traditional Chinese Food and Medicine. Pharmanex Inc. Sierra Point Parkway, Brisbane, California 94005.

National Center for Complementary and Alternative Medicine. (2012). Red Yeast Rice. U.S. Department of Health and Human Services.

Rahayu.; R. I. Utami.; Endang, S. ; & E. Harjati. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. PAU-Pangan dan Gizi. UGM. Yogyakarta.

Steinkraus, H. (1983). Indigenous Fermented Food. Marcel Dekker. New York.

Winarno, F.G & S.R. Titi. (1994). Bahan Tambahan Untuk Makanan dan Kontaminan. Sinar Harapan. Jakarta.

Page 11: Angkak Cla

5. LAMPIRAN

5.1. Laporan Sementara

5.2. Jurnal