angio fibroma

21
ANGIOFIBROMA Disusun Oleh : DWI HASANAH BIMASTARI AVIYANTI 09310046 Pembimbing : Dr.Poppy Sartika, Sp.THT-KL Dr.Azwan Mandai, Sp.THT-KL Dr.Deddy Eko Susilo, Sp.THT-KL Dr.Sri Utami Wulandari, Sp.THT-KL KKS ILMU THT KL RSUD DR.RM DJOELHAM BINJAI

Upload: dwihasanahuuiiewbdr

Post on 22-Dec-2015

31 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Angio Fibroma

ANGIOFIBROMA

Disusun Oleh :

DWI HASANAH BIMASTARI AVIYANTI

09310046

Pembimbing :

Dr.Poppy Sartika, Sp.THT-KL

Dr.Azwan Mandai, Sp.THT-KL

Dr.Deddy Eko Susilo, Sp.THT-KL

Dr.Sri Utami Wulandari, Sp.THT-KL

KKS ILMU THT KL

RSUD DR.RM DJOELHAM BINJAI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MALAHAYATI

BANDAR LAMPUNG

Page 2: Angio Fibroma

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG………………………………………………………..

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI……………………………………………………………………..

2.2 DEFINISI……………………………………………………………………….

2.3. ETIOLOGI…………………………………………………………………….

2.4. PATOFISOLOGI……………………………………………………………….

2.5. MANIFESTASI KLINIS……………………………………………………….

2.6. STADIUM……………………………………………………………………..

2.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG………………………………………………

2.8. DIFFERENSIAL DIAGNOSA………………………………………………..

2.9. PENATALAKSANAAN………………………………………………………

2.10. KOMPLIKASI………………………………………………………………..

2.11. PROGNOSIS…………………………………………………………………..

BAB III KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

Page 3: Angio Fibroma

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan

anugrah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan refarat yang berjudul “Angiofibroma” yang

diberikan guna memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit

Telinga Hidung Tenggorokan Rumah Sakit Dr.RM. Djoelham Binjai.

Dalam kesempatan ini penyusun juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada

Dr.Poppy Sartika,Sp. THT-KL, Dr.Azwan Mandai,Sp.THT-KL, Dr.Deddy Eko Susilo, Sp.THT-

KL dan Dr. Sri Utami Wulandari,Sp.THT-KL yang telah memberikan bimbingan selama saya

melaksanakan KKS di bagian THT Rumah Sakit RM. Djoelham Binjai.

Penyusun menyadari bahwa makalah yang berisi “Angiofibroma” ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar

refarat ini dapat lebih bermanfaat bagi kita semua.

Binjai, Februari 2014

Penulis

Page 4: Angio Fibroma

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologi jinak

namun secara klinis bersifat ganas karena mendestuksi tulang dan meluas kejaringan sekitarnya

seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak serta sangat mudah berdarah yang sulit

dihentikan. Sebutan lain untuk angiofibroma antara lain : juvenile angiofibroma, juvenile

nasopharyngeal angiofibroma, JNA, nasal cavity tumor, benign nasal tumor, tumor hidung (nose

tumor), nasopharyngeal tumor,angiofibroma nasofaring belia. Jinak tetapi merupakan tumor

pembuluh darah lokal yang agresif dari anak atau remaja laki-laki, pernah juga dilaporkan pada

perempuan tapi sangat jarang.1

Umumnya terdapat pada rentang usia 7-21 tahun dengan insiden terbanyak antara usia

14-18 tahun dan jarang pada usia 25 tahun. Itulah sebabnya tumor ini disebut juga agiofibroma

nasofaring belia (juvenile nasopharyngeal angiofibroma). Tumor ini ,merupakan tumor

nasofaring terbanyak dan 0.05% dari seluruh tumor kepala dan leher. Dilaporkan insidennya

antara 1:5000- 1:60.000 pada pasien THT.2

Insiden angiofibroma tinggi di berbagai belahan dunia, seperti pada timur tengah dan

amerika. Martiin, Elich dan Abdels (1948) melaporkan rata-rata setiap tahunnya dari 1 atau 2

pasien untuk 2000 pasien yang diobati pada head and neck service of the memoriam hospital,

New York. Di London, mencatat status dari satu per 15.000 pasien pada royal national throat,

nose, and ear hospitak dimana satu kesimpulan bahwa lebih sedikit angiofibroma di London di

banding di New York. Dilaporkan insiden terjadinya angiofibroma banyak terjadi di Mesir dan

India.3

Etiologi angiofibroma nasofaring belum jelas, berbagai jenis teori banyak diajukan.

Diantaranya jaringan asal dan faktor ketidakseimbangan hormonal. Secara histopatologi tumor

ini termasuk jinak tetapi secara klinis ganas karena bersifat ekspansif.dan mempunyai

Page 5: Angio Fibroma

kemampuan mendestrksi tulang. Tumor yang kaya akan pembuluh darah ini memperoleh aliran

darah dari a.Faringealis ascendence atau a.maxilaris interna.4

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Anatomi dan Fisiologi Faring

Faring terbagi menjadi tiga bagian, yaitu nasofaring (epifaring) meluas dari dasar

tenggkorak dibatasi oleh pallatum molle, orofaring (mesofaring) meluas dari batas tadi sampai

batas epiglottis, sedangkan dibagian bawah adalah laringofaring atau hipofaring.5

Page 6: Angio Fibroma

Gambar 2.1 Anatomi Faring

Nasofaring dibentuk dari sebelah proksimal oleh os sfenoidalis dan sebagian dari dasar os

oksipitalis. Sebelah atas, kemudian dibagian depan tulang atlas dan sumbu badan, dan vertebra

servikalis lain. Nasofaring membuka kearah depan ke hidung melalui koana posterior. Superior,

adenoid terletak pada mukosa atap nasofaring. Di samping, muara tuba eustakius kartilaginosa

terdapat di depan lekukan yang disebut fosa Rossenmuller. Kedua struktur ini berada di atas

batas bebas otot konstriktor faringis superior.Otot tensor veli palatine, merupakan otot yang

menegangkan palatum dan membuka tuba eustachius, masuk ke faring melalui ruangan ini. Otot

tensor veli palatine dipersarafi oleh saraf mandibularis.5

Orofaring ke arah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila faringeal dalam

kapsulnya terletak pada mukosadi dinding lateral rongga mulut. Di depan tonsila, arkus faring

anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh

otot palatofaringeus.5

Page 7: Angio Fibroma

Hipofaring terbuka ke arah depan masuk introitus laring. Epiglottis dilekatkan pada dasar

lidah oleh dua frenulum lateral dan satu frenulum di garis tengah. Hal ini menyebabkan

terbentuknya dua valekula di setiap sisi. Di bawah valekula adalah permukaan laryngeal dari

epiglottis. Di bawah muara glottis bagian medial dan lateral terdapat ruangan yang disebut sinus

piriformis yaitu di antara lipatan ariepiglotika dan katilago tiroid. Lebih ke bawah lagi terdapat

otot-otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat muara esophagus.5

Faring mempunyai beberapa fungsi yaitu , fungsi menelan, fungsi dalam prosen bicara,

dan fungsi respirasi. Faring merupakan daerah dimana udara melaluinya dari hidung ke laring

juga dilalui oleh makanan dari rongga mulut ke esophagus. Oleh karena itu, kegagalan dari otot-

otot faringeal, terutama yang menyusun ketiga otot konstriktor faringis, akan menyebabkan

kesulitan dalam menelan dan biasanya juga terjadi aspirasi air liur dan makanan ke dalam cabang

trakeobronkial.5

2.2. Definisi Angiofibroma

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologi jinak

namun secara klinis bersifat ganas karena mendestuksi tulang dan meluas kejaringan sekitarnya

seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak serta sangat mudah berdarah yang sulit

dihentikan.6

Jinak tetapi merupakan tumor pembuluh darah local yang agresif dari anak atau remaja

laki-laki, pernah juga dilaporkan pada perempuan tetapi sangat jarang. Itulah sebabnya tumor

ini disebut juga nagiofibromanasofaring belia (juvenile nasopharyngeal angiofibroma). Tetapi

istilah ini tidak sepenuhnya tepat karena neoplasma ini kadang ditemukan juga pada pasien yang

lebih tua. Sebutan lain untuk angiofibroma antara lain : juvenile angiofibroma, juvenile

nasopharyngeal angiofibroma, JNA, nasal cavity tumor, benign nasal tumor, tumor hidung

(nose tumor), nasopharyngeal tumor,angiofibroma nasofaring belia. Sekarang ada kesepakatan

bersama bahwa ini semata-mata penyakit dari laki-laki dan umur rata-rata yang terkena sekitar

14 tahun (Harrison,1976). Jaraknya, bervariasi antara umur 7 dan 19 tahun (Martin, Ehrlich, dan

Abela, 1948). Angiofibroma nasofaring jarang pada usia lebih dari 25 tahun.4

Page 8: Angio Fibroma

2.3. ETIOLOGI

Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak diajukan. Salah satu

diantaranya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik

angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor ketidakseimbangan

hormonal juga banyak dikemukakan sebagai penyebab adanya kekurangan androgen atau

kelebihan estrogen. Anggapan ini didasarkan atas adanya hubungan erat antara tumor dengan

jenis kelamin dan umur. Itulah sebabnya tumor ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia.6

Beberapa pendapat dari para ahli telah dikemukakan pada dasarnya dapat dibagi menjadi

dua kelompok yaitu berdasarkan jaringan tempat asal tumbuh tumor dan adanya gangguan

hormonal. Pada teori jaringan asal tumbuh, diduga tumor terjadi karena pertumbuhan abnormal

jaringan fibrokartilago embrional di daerah oksipital os spenoidalis.

Sedangkan teori hormonal menerangkan bahwa tumbuhnya angiofibroma diduga karena

tidak keseimbangan hormonal, terutama androgen. Banyak bukti memperlihatkan secara

langsung adanya reseptor sex hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan teknik

sensitive immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang mana memperlihatkan reseptor

tersebut. Angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan penyimpanan, dan studi

imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada reseptor androgen (RA), reseptor

progesterone (RP), dan reseptor estrogen (RE). stromal positif dan nucleus endotelial

immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus 8,3% positif antibodi RP

dan negatif antibodi RE. Hasil menetapkan bukti langsung pertama adanya antibodi dari

reseptor androgen pada angiofibroma. Anggapan ini didasarkan juga atas adanya hubungan erat

antara tumor dengan jenis kelamin dan umur. Banyak ditemukan pada anak atau remaja laki-

laki.

2.4. PATOFISIOLOGI

Menurut Mansfield (2006), asal mula JNA trletak di sepanjang dinding posterior lateral

atap nasofaring, biasanya di daerah margin superior foramen sfenopalatina dan aspek posterior

dari middle turbinate. Histologi janin mengkonfirmasikannya luas area jaringan endotel di

Page 9: Angio Fibroma

daerah ini. Bukannya menyerbu jaringan sekitarnya, namun tumor ini berpindah dan berubah

menyandarkan diri pada tekanan sel-sel yang telah mati (necrosis) untuk merusak dan menekan

melalui perbatasan yang banyak tulangnya. Pada 10-20% kasus, terjadi perluasan intracranial.8

Menurut Tewfik TL (2007), tumor mulai tumbuh di dekat foramen sfenopalatina. Tumor-

tumoe yang besar sering kalimemeiliki dua lobus (bilobed) atau dumbbell-shaped, dengan satu

bagian tumor mengisi nasofaring dan bagian yang lainnya meluas ke fossa pterigopalatina.

Pertumbuhan anterior terjadi pada membran mukosa nasofaring, memindahkannya ke anterior

dan inferior menuju ruang postnasal. Pada akhirnya, rongga hidung terisi pada satu sisinya, dan

septumnya berdeviasi (bengkok) ke sisi lainnya.8

Tumor pertama kali tumbuh dibawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral koana

di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas di bawah mukosa, sepanjang atap

nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah membentuk tonjolan

massa di atap rongga hidung posterior. Perluasan ke arah anterior mengisi rongga hidung,

mendorong septum ke sisi kontralateral dan memipihkan konka. Pada perluasan ke arah lateral,

tumor melebar kea rah foramen sfenopalatina, masuk kefissura pterigomaksila dan akan

mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa intratemporal

yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan “rasa penuh” di wajah. Apabila tumor telah

mendorong salah satu atau kedua bola mata maka tampak gejala yang khas pada wajah, yang

disebut “muka kodok”.6

Page 10: Angio Fibroma

Gambar 2.2 Muka Kodok

Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fosa infratemporal dan pterigomaksila

masuk ke fosa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fosa serebri anterior atau dari sinus

sphenoid ke sinus kavernosus dan fosa hipofise.6

2.5. MANIFESTASI KLINIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang. Gejala yang paling sering ditemukan (lebih dari 80%) ialah hidung tersumbat yang

progresif dan epistaksis (45-60%) berulang yang masif kebanyakan unilateral. Nyeri kepala

(25%) khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal dan biasanya tumor sudah meluas ke

intrakaranial, pembengkakan wajah (10-18%). Adanya obstruksi hidung memudahkan

terjadinya penimbunan sekret sehingga timbul rinorea kronis yang diikuti gangguan penciuman.

Tuba eustachius akan menimbulkan ketulian atau otalgia.6

Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor yang

konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda. Bagian tumor

yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lender berwarna keunguan, sedangkan

bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya

merah muda, pada usia yang lebih tua warnanya kebiruan, karena lebih banyak komponen

fibromanya. Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya

ulserasi.6

Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal posterior;

noncapsulated dan sering kali berlobus (lobulated); dapat tidak bertangkai (sessile) atau

bertangkai (pedunculated). Angka kejadian massa di hidung (nasal mass) ini mencapai 80%.4

Page 11: Angio Fibroma

Gambar 2.3 Reseksi Pasca Operasi

Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang membengkak (abulging palate),

terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal mucosa mass), massa di pipi (check

mass), atau pembengkakan zygoma (umumnya disertai dengan perluasan setempat). Angka

kejadian massa di ruang rongga mata (orbital mass) ini sekitar 15%, sedangkan angka kejadian

untuk mata menonjol (proptosis) sekitar 10-15%.4

Page 12: Angio Fibroma

Gambar 2.4 Wajah khas pada Angiofibroma

2.6. STADIUM

Untuk menentukan stadium atau derajat tumor umumnya saat ini menggunakan

klasifikasi Session dan Fisch.6

Klasifikasi menurut Session sebagai berikut :

1) Stadium IA : Tumor terbatas di nares posterior dan atau nasofaring

voult.

2) Stadium IB : Tumor meliputi nares posterior dan atau nasofaringeal

voult dengan meluas sedikitnya 1 sinus paranasal.

3) Stadium IIA : Tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila.

4) Stadium IIB : Tumor memenuhi fosa pterigomaksila tanpa mengerosi

tulang orbita.

5) Stadium IIIA : Tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas

sedikit ke intrakranial.

6) Stadium IIIB : Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa

meluas ke sinus kavernosus.

Page 13: Angio Fibroma

Klasifikasi menurut Fisch sebagai berikut :

1) Stadium I : Tumor terbatas di rongga hidung, nasofaring tanpa

mendestruksi tulang.

2) Stadium II : Tumor menginvasi fossa pterigomaksila, sinus paranasal

dengan destruksi tulang.

3) Stadium III : Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dengan atau

region paraselar.

4) Stadium IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, region chiasma optic

dan fossa pituitary.

2.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Radiologik konvensional (foto kepala potongan antero-posterior, lateral dan

posisi Waters) akan terlihat gambaran klasik, sebagai tanda “Holman Miller” yaitu pendorongan

prosesus pterigoideus ke belakang, sehingga fissure pterigo-palatina melebar. Akan terlihat juga

adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita, arkus

zigoma dan tulang sekitar nasofaring.6

Pada pemeriksaan CT-Scan dengan zat kontras akan tampak secara tepat perluasan massa

tumor serta destruksi tulang ke jaringan sekitarnya. Pemeriksaan ini akan sangat membantu

memastikan keseluruhan tumor, karena tumor ini jarang menetap hanya berbatas pada

nasofaring. CT-scanning juga untuk memastikan sumber pembuluh utama utama dari tumor.5,6

Pemeriksaan arteriografi arteri karotis eksterna akan memperlihatkan vaskularisasi tumor

yang biasanya berasal dari cabang arteri maksila interna kadang juga oleh cabang a.karotis

interna atau a.meningea media. Kadang-kadang juga dilakukan embolisasi agar terjadi

thrombosis intravascular, sehingga vascularisasi berkurang dan mempermudah pengangkatan

tumor. Arteriografi juga memastikan sumber pembuluh utama utama dari tumor.5,6,9

Pemeriksaan biopsi harus dihindari karena merupakan kontraindikasi, sebab akan

mengakibatkan perdarahan.5,6,9

Page 14: Angio Fibroma

2.8. DIFFERENSIAL DIAGNOSA

1. Penyebab lain dari obstruksi nasal (seperti polip nasal, polip antrokoanal, teratoma,

encephalocele, dermoids, inverting papilloma, rhabdomyosarcoma, karsinoma sel

sakuamosa dan lain-lain).

2. Penyakit-penyakit lain dari epistaksis, baik oleh karena sebab sitemik maupun lokal.

3. Penyakit-penyakit lain yang dapat menyebabkan proptosis atau oedem orbital.5

2.9. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan angiofibroma adalah pembedahan yang dilakukan melalui paparan yang

baik. Tindakan operasi ini merupakan pilihan utama selain terapi hormonal, radioterapi.5,6,9

Berbagai pendekatan operasi sebelum operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi tumor

dan perluasannya, seperti melalui transpalatal,rinotomi lateral, rinotomi sublabial, atau

kombinasi dengan kraniotomi frontotemporal bila sudah meluas ke intrakranial. Selain itu

operasi melalui bedah endoskopi transnasal juga dapat dilakukan dengan dipandu CT scan 3

dimensi dan pengangkatan tumor dapat dibantu dengan laser.6

Sebelum dilakukan operasi pengangkatan tumor selain embolisasi untuk mengurangi

pendarahan yang banyak dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna dan anastesi dengan teknik

hipotensi.6

Pengobatan hormonal diberikan kepada pasien dengan stadium I dan II dengan preparat

testosterone reseptor bloker (flutamid).6

Pengobatan radioterapi dapat dilakukan dengan stereotaktik radioterapi (Gama knife)

atau jika tumor meluas ke intrakranial dengan radioterapi konformal 3 dimensi. Radioterapi

efeknya terbatas, tetapi dapat digunakan untuk tumor yang sudah invasive ke orbita atau

intracranial. Penutupan arteri yang mendarahi tumor (embolisasi) dapat diperoleh dengan

memberikan gulungan kawat halus (koil) secara selektif melalui kateter arteri.6,9

Untuk tumor yang sudah meluas ke jaringan sekitarnya dan mendestruksi dasar tengkorak

sebaiknya diberikan radioterapi prabedah atau dapat pula diberikan terapi hormonal dengan

Page 15: Angio Fibroma

preparat testosterone reseptor bloker (flutamid) 6 minggu sebelum operasi, meskipun hasilnya

tidak sebaik radioterapi.6

2.10. KOMPLIKASI

Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (stadium IV),

perdarahan yang tidak terkontrol dan kematian, dan iatrogenic injury terhadap struktur vital.

Infeksi system saraf pusat (SSP) dan deficit neurologis bias terjadi apabila tumor telah

berekspansi ke intracranial atau pasca operasi basis crani.1

Komplikasi operasi transpatal dapat berupa fistel palatal (oronasal), celah palatum,

infeksi luka yang menetap, gangguan fonasi, perdarah yang berulang.1

2.11. PROGNOSIS

Meskipun tidak bersifat kanker, tetapi angiofibroma dapat terus menyebar dan merusak

daerah yang berdekatan. Embolisasi preoperative menurunkan angka morbiditas dan

kekambuhan (reccurence). Rata-rata kesembuhan untuk pembedahan primer mendekati 100%

dengan reseksi lengkap dari JNA ektrakranial dan 70% dengan tumor intrakranial.

Page 16: Angio Fibroma

BAB III

KESIMPULAN

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secra histologist jinak

namun secara klinis tumor ini bersifat ganas karena mempunyai kemampuan mendestruksi

tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya.

Penyebab dari angiofibroma nasofaring masih belum jelas diketahui, ada dua teori yaitu

teori factor keseimbangan hormonal (kekurangan hormone androgen atau kelebihan estrogen)

dan teori asal jaringan.

Gejala yang paling sering ditemukan (lebih dari 80%) ialah hidung tersumbat yang

progresif dan epistaksis (45-60%) berulang yang masif kebanyakan unilateral. Tumor yang

konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda. Bagian tumor

yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lender berwarna keunguan, sedangkan

bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Diagnosis ditegakkan

berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik (rhinoskopi posterior) dan pemeriksaan penunjang.

Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal atau radioterapi

dimana operasi harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas yang cukup oleh karena adanya

risiko perdarahan yang hebat.