anestesi umum

25
2.1. Anestesi 2.1.1. Definisi Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap) yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran, metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan secara intravena, yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul sejenis, dan beberapa obat khusus seperti ketamin. (Munaf, 2008). Dalam tesis Nainggolan (2011), untuk menentukan prognosis ASA (American Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat

Upload: paksi-suryo-bawono

Post on 05-Jan-2016

41 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

anestesi

TRANSCRIPT

Page 1: anestesi umum

2.1. Anestesi

2.1.1. Definisi

Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi

umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi

terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain

hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum terdiri

atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara

reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat

anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena. Obat

anastesi umum yang diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah

menguap) yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran,

metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan secara

intravena, yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain

dan molekul sejenis, dan beberapa obat khusus seperti ketamin. (Munaf,

2008).

Dalam tesis Nainggolan (2011), untuk menentukan prognosis ASA

(American Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan

status fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok

atau kategori sebagai berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat

yang memerlukan operasi. ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik

ringan sampai sedang baik karena penyakit bedah maupun penyakit

lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan hipertensi sedang

terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan febris. ASA

3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang

diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis

perforasi dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia

miokardium. ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang

secara langsung mengancam kehiduannya. ASA 5, yaitu pasien tidak

diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya

pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena

ruptura hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat

Page 2: anestesi umum

dengan mencantumkan tanda darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E

atau III E.

Menurut Kee et al (1996), Anastesi seimbang, suatu kombinasi obat-

obatan, sering dipakai dalam anastesi umum. Anestesi seimbang terdiri

dari:

2.1.2 Tahap-tahap Anestesi

Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi

atau eksitasi volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai

menimbulkan hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan

frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan

defekasi. Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya

kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi

eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan tidak

teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia.

Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu; Plane I

yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota

gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada, bola

mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi. Plane II,

ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro medial

semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III, ditandai

dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot

perut relaksasi. Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),

ditandai dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola

mata menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi

lakrimal (Munaf, 2008).

Page 3: anestesi umum

Tabel 2.1. Tahap Anestesi

Sumber: E, B, C, et al., 2008. Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta: EGC.

2.1.3. Sifat-Sifat Anestesi Umum yang Ideal

Sifat anestesi umum yang ideal adalah: (1) bekerja cepat, induksi dan

pemilihan baik, (2) cepat mencapai anestesi yang dalam, (3) batas

keamanan lebar; (4) tidak bersifat toksis. Untuk anestesi yang dalam

diperlukan obat yang secara langsung mencapai kadar yang tinggi di SSP

(obat intravena) atau tekanan parsial yang tinggi di SSP (obat ihalasi).

Kecepatan induksi dan pemulihan bergantung pada kadar dan cepatnya

perubahan kadar obat anastesi dalam SSP (Munaf, 2008).

2.1.4. Anestesi Cair yang Menguap

Halotan

Efek terhadap Sistem dalam Tubuh

a. Kardiovaskular

Depresi miokard bergantung pada dosis, penurunan otomatisitas sistem

konduksi, penurunan aliran darah ginjal dan splanknikus dari curah

jantung yang berkurang, serta pengurangan sensitivitas miokard terhadap

aritmia yang diinduksi katekolamin yang menyebabkan terjadinya

hipotensi untuk menghindari efek hipotensi yang berat selama anestesi,

Page 4: anestesi umum

yang dalam hal ini perlu diberikan vasokonstriktor langsung, seperti

fenileprin (Munaf, 2008).

b. Pernapasan

Depresi respirasi terkait dengan dosis yang dapat menyebabkan

menurunnya volume tidal dan sensitivitas terhadap pengaturan respirasi

yang dipacu oleh CO2. Pemberian bronkodilator poten sangat baik untuk

mengurangi spasme bronkus (Munaf, 2008).

c. Susunan Saraf Pusat

Hilangnya autoregulasi aliran darah serebral yang menyebabkan tekanan

intrakranial menurun (Munaf, 2008).

d. Ginjal

Menurunnya GFR, dan berkurangnya aliran darah ke ginjal disebabkan

oleh curah jantung yang menurun (Munaf, 2008).

e. Hati

Aliran darah ke hati menurun (Munaf, 2008).

f. Uterus

Menyebabkan relaksasi otot polos uterus; berguna dalam manipulasi kasus

obstetrik (misalnya penarikan plasenta) (Munaf, 2008).

Metabolisme

Sebanyak 80% hilang melalui gas yang dihembuskan, 20% melalui

metabolisme di hati. Metabolit berupa bromida dan asam trifluoroasetat

(Munaf, 2008).

Keuntungan dan Kerugian

Potensi anestesi umum kuat, induksi dan penyembuhan baik, iritasi jalan

napas tidak ada, serta bronkodilator yang sangat baik. Sedangkan

kerugiannya adalah depresi miokard dan pernapasan, sensitisasi miokard

terhadap aritmia yang diinduksi oleh katekolamin, serta aliran darah

serebral menurun yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan

intrakranial (Munaf, 2008).

Page 5: anestesi umum

Indikasi Klinik

Halotan digunakan secara ekstensif dalam anestesia anak karena

ketidakmampuannya menginduksi inhalasi secara cepat dan status

asmatikus yang refraktur. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan

penyakit intrakranial (Munaf, 2008).

Efek samping/Toksisitas

a. Hepatitis halotan: kejadian 1/30.000 dari pemberian; pasien yang

mempunyai resiko adalah yang mengalami obesitas, wanita usia muda

lebih banyak terjadi dengan periode waktu yang singkat; ditandai dengan

nekrosis sentrilobuler; uji fungsi hati abnormal dan eosinofilia. Sindrom

ini dapat juga terjadi dengan isofluran dan etran (Munaf, 2008).

b. Hipertermi maligna: suatu sindrom yang ditandai dengan peningkatan

suhu tubuh secara belebihan, rigiditas otot rangka, serta dijumpai asidosis

metabolik. Secara umum, hal ini berakibat fatal kecuali jika diobati dengan

dantrolen yang merupakan pelemas otot yang mencegah Ca dari retikulum

sarkoplasmik (Munaf, 2008).

EnfluranEfek terhadap Sistem dalam Tubuh

a. Kardiovaskular

Depresi miokard bergantung pada dosis, vasodilator arterial, dan

sensitisasi ringan miokard terhadap katekolamin (Munaf, 2008).

b. Respirasi

Depresi pernapasan bergantung pada dosis; hipoksia ablasia yang

disebabkan oleh bronkodilator (Munaf, 2008).

c. Susunan Saraf Pusat

Dapat menimbulkan kejang pada kadar enfluran tinggi dengan

tekanan parsial CO2 (PCO2) menurun (hipokarbia); vasodilatasi serebral

dengan meningkatnya tekanan intrakranial (Munaf, 2008).

d. Ginjal

Aliran darah ginjal dan GFR menurun (Munaf, 2008).

Page 6: anestesi umum

MetabolisneSebanyak 2% enfluran dimetabolisme di hati, metabolit

utama, yaitu fluorida mempunyai potensi untuk menimbulkan

nefrotoksis (sangat jarang digunakan secara klinis) (Munaf,

2008).

Keuntungan dan kerugianSecara klinis, enfluran merupakan bronkodilator yang baik,

respons kardiovaskular stabil, kecenderungan aritmia jantung

minimal, dan tidak mengiritasi saluran napas. Sedangkan

kerugiannya adalah Enfluran mempunyai potensi aktivitas

kejang. Kontraindikasi pada pasien dengan tekanan intrakranial

yang meningkat disertai dengan gangguan patologik intrakranial

(Munaf, 2008).

IsofluranEfek terhadap Sistem dalam Tubuh

a. KardiovaskularTerjadi depresi miokard yang ringan dan bergantung pada dosis,

sedangkan curah jantung biasanya normal disebabkan sifat

vasodilatasinya, sensitisasi miokard minimal terhadap

katekolamin, dapat menyebabkan coronary steal oleh

vasodilatasi normal pada stenosis dengan aliran yang

berlebihan (Munaf, 2008).

b. RespirasiDepresi respons terhadap CO2 bergantung pada dosis, hipoksia

ventilasi, bronkodilator, iritasi sedang pada jalan napas (Munaf,

2008).

c. GinjalGlomerular Filtration Rate (GFR) dan aliran darah

ginjal rendah disebabkan tekanan arterial menengah yang

menurun (Munaf, 2008).

d. Susunan Saraf PusatEfek minimal pada otoregulasi serebral, konsumsi oksigen

metabolik serebral menurun, dan merupakan obat pilihan untuk

Page 7: anestesi umum

bedah saraf (Munaf,2008).

MetabolismeHanya 0,2% yang dimetabolisme di hati, selebihnya

diekskresikan pada waktu ekspirasi dalam bentuk gas (Munaf,

2008).

Keuntungan dan KerugianKeadaan kardeiovaskular stabil, tidak bersifat aritmogenik,

tekanan ntrakranial tidak meningkat, bronkodilator. Sedangkan

kerugiannya adalah Iritasi jalan napas sedang (Munaf, 2008).

Sevofluran

Sevofluran merupakan fluorokarbon dengan bau yang tidak begitu

menyengat, dan tidak begitu mengiritasi saluran napas, serta absorpsinya

cepat. Indikasi klinik: sebagai anestesi umum untuk melewati stadium 2

dan untuk pemeliharaan umum (Munaf, 2008).

Tabel 2.2. Obat Sevofluran

Page 8: anestesi umum

2.1.5. Anestesi IntravenaPada suatu operasi biasanya digunakan anestesi intravena untuk

induksi cepat melewati stadium II, dilanjutkan stadium III, dan

dipertahankan dengan suatu anestesi umum per inhalasi. Karena anestesi

IV ini cepat menginduksi stadium anestesi, penyuntikan harus dilakukan

secara perlahan-lahan (Kee, et al (1996)).

Page 9: anestesi umum

2.1.6. Anestesi Gas

2.1.7. Penggolongan Muscle Relaxant

Analgesia adalah hilangnya sensasi nyeri. Relaksan otot adalah obat

yang mengurangi ketegangan otot dengan bekerja pada saraf yang menuju

otot (misalnya kurare, suksinilkolin) (Grace, 2006). Berdasarkan

perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya' obat-obat pelumpuh otot

dapat dibagi menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi (meniru aksi

asetilkolin) dan obat pelumpuh otot nondepolarisasi (mengganggu

kerja asetilkolin). Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dibagi

menjadi 3 grup lagi yaitu obat kerja lama' sedang' dan singkat. Obat-obat

pelumpuh otot dapat berupa senyawa benzilisokuinolin atau

aminosteroid. Obat- obat pelumpuh otot membentuk blokade saraf-otot

fase I depolarisasi' blokade saraf-otot fase II depolarisasi atau

nondepolarisasi (Rachmat, et al., 2004).

2.1.7.1 Muscle Relaxant Golongan Depolarizing

Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah

sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup

lama menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi

yang diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah

suksinilkolin (diasetil-kolin) dan dekametonium. Didalam vena, suksinil

Page 10: anestesi umum

kolin dimetabolisme oleh kolinesterase plasma,pseudokolinesterase

menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase (prostigmin)

dikontraindikasikan karena menghambat kerja pseudokolinesterase

(Mangku, 2010).

A. Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)

Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat

ini memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action yang

pendek (kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi,

sebagian besar dimetabolisme oleh pseudokolinesterase menjadi

suksinilmonokolin. Proses ini sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil

dari dosis yang dinjeksikan yang mencapai neuromuscular junction.

Duration of action akan memanjang pada dosis besar atau dengan

metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau rendanya level

pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan

pada kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat.

Pada beberapa orang juga ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal

yang menyebabkan blokade yang memanjang (Mangku, 2010).

B. Ciri Kelumpuhan

a. Ada fasikulasi otot.

b. Berpotensiasi dengan antikolinesterase.

c. Kelumpuhan berkurang dengan pemberian obat pelumpuh otot

non depolarisasi dan asidosis.

d. Tidak menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada

perangsangan tunggal maupun tetanik.

e. Belum diatasi dengan obat spesifik

Page 11: anestesi umum

2.1.7.2. Muscle Relaxant Golongan Non Depolarizing

Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa

menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin

menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja (Latief, dkk,

2007).

Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung

setelah pemberian cepat intravena. Rerata obat pelumpuh otot yang

hilang dari plasma dicirikan dengan penurunan inisial cepat (distribusi

ke jaringan) diikuti penurunan yang lebih lambat (klirens). Meskipun

terdapat perubahan distribusi dalam aliran darah anestesi inhalasi

memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada farmakokinetik obat

pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi volatil

mencerminkan aksi farmakodinamik' seperti dimanifestasikan oleh

penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan

untuk menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya

anestesi volatile. Bila volume distribusi menurun akibat peningkatan

ikatan protein dehidrasi atau perdarahan akut dosis obat yang sama

menghasilkan konsentrasi plasma yang lebih tinggi dan potensi nyata

akumulasi obat. Waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot tidak dapat

dihubungkan dengan durasi kerja obat-obat ini saat diberikan sebagai

injeksi cepat intravena (Lunn, 2004).

Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot non depolarisasi

digolongkan menjadi:

1. Bensiliso-kuinolinum: d-tubokurarin, metokurium, atrakurium,

doksakurium, mivakurium.

2. Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium,

ropakuronium, rokuronium.

3. Eter-fenolik : gallamin.

4. Nortoksiferin : alkuronium.

Page 12: anestesi umum

Tabel 2.5. Obat pelumpuh otot

2.1.8. Penawar Pelumpuh Otot

Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga

asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan

adalah neostigmin (dosis 0,04-0,08 mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4

mg/kg) dan edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan fisostigmin yang

hanya untuk penggunaan oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg). Penawar pelumpuh

otot bersifat muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi, keringatan,

bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas usus dan pandangan kabur

sehingga pemberiannya harus disertai vagolitik seperti atropine (dosis

0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3

mg pada dewasa) (Mangku, 2010).

Page 13: anestesi umum

2.1.9. Analgesik

Menurut kamus perobatan Oxford (2011), obat anti nyeri bermaksud

suatu obat yang meredakan rasa nyeri. Obat anti nyeri ringan (aspirin dan

parasetamol) digunakan untuk meredakan nyeri kepala, nyeri gigi dan

nyeri reumatik ringan manakala obat anti nyeri yang lebih poten (narkotika

atau opioid) seperti morfin dan petidin hanya digunakan untuk meredakan

nyeri berat memandangkan ia bisa menimbulkan gejala dependensi dan

toleransi. Sesetengah analgesik termasuk aspirin, indometasin dan

fenilbutazon bisa juga meredakan demam dan inflamasi serta digunakan

dalam kondisi rematik.

a. Jenis-Jenis Analgesik

Berdasarkan sifat farmakologisnya, obat anti nyeri (analgesika)

dibagi kepada dua kelompok yaitu analgesika perifer dan analgesika

narkotika. Analgesika perifer (non-narkotika) terdiri dari obat-obat yang

tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral manakala analgesika

narkotika digunakan untuk meredakan rasa nyeri hebat misalnya pada

pesakit kanker (Suleman, 2006).

b. Mekanisme

Kerja Obat

1. Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINS)

Hampir semua obat AINS mempunyai tiga jenis efek yang penting yaitu :

a. Efek anti-inflamatori : memodifikasi reaksi inflamasi

b. Efek analgesik : meredakan suatu rasa nyeri

c. Efek antipiretik : menurunkan suhu badan yang meningkat.

Secara umumnya, semua efek-efek ini berhubungan dengan tindakan awal

obat-obat tersebut yaitu penghambatan arakidonat siklooksigenase

sekaligus menghambat sintesa prostaglandin dan tromboksan (Rang et al.,

2007). Terdapat dua tipe enzim siklooksigenase yaitu COX-1 dan COX-2.

COX-1 merupakan enzim konstitutif yang dihasilkan oleh kebanyakan

jaringan termasuklah platlet darah (Rang et al., 2007). Enzim ini

memainkan peranan penting dalam menjaga homeostasis jaringan tubuh

Page 14: anestesi umum

khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit. Di mukosa lambung,

aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat sitoprotektif.

COX-2 pula diinduksi dalam sel-sel inflamatori diaktivasi. Dalam hal ini,

stimulus inflamatoar seperti sitokin inflamatori primer yaitu interleukin-1

(IL- 1) dan tumour necrosis factor-α (TNF-α), endotoksin dan faktor

pertumbuhan (growth factors) yang dilepaskan menjadi sangat penting

dalam aktivasi enzim tersebut. Ternyata sekarang COX-2 juga mempunyai

fungsi fisiologis yaitu di ginjal, jaringan vaskular dan pada proses

pembaikan jaringan. Tromboksan A2, yang disentesis trombosit oleh

COX-1, menyebabkan agregasi trombosit, vasokonstriksi dan proliferasi

otot polos. Sebaliknya prostasiklin yang disintesis oleh COX-2 di endotel

makrovaskular melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan

agregasi trombosit, vasodilatasi dan efek anti-proliferatif (Fendrick et al.,

2008).

2. Obat Anti Inflamasi Steroid

Morgan Jr GE, Michail MS, Murray MJ (2006), Menjelaskan bahwa

opioid didefinisikan sebagai senyawa dengan efek yang diantagonis oleh

nalokson.

a. Analgesik Opioid Kuat

Analgesik ini khususnya digunakan pada terapi nyeri tumpul yang

tidak terlokalisasi dengan baik (viseral). Nyeri somatik dapat ditentukan

dengan jelas dan bisa diredakan dengan analgesik opioid lemah. Morfin

parenteral banyak digunakan untuk mengobati nyeri hebat dan morfin oral

merupakan obat terpilih pada perawatan terminal.

Morfin dan analgesik opioid lainnya menghasilkan suatu kisaran efek

sentral yang meliputi analgesia, euforia, sedasi, depresi napas, depresi

pusat vasomotor (menyebabkan hipotensi postural), miosis akibat stimulasi

nukleus saraf III (kecuali petidin yang mempunyai aktifitas menyerupai

atropin yang lemah), mual, serta muntah yang disebabkan oleh stimulasi

chemoreceptor trigger zone. Obat tersebut juga menyebabkan penekanan

Page 15: anestesi umum

batuk, tetapin hal ini tidak berkaitan dengan aktivitas opioidnya. Efek

perifer seperti konstipasi, spasme bilier, dan konstriksi sfingter Oddi bisa

terjadi. Morfin bisa menyebabkan pelepasan histamin dengan vasodilatasi

dan rasa gatal. Morfin mengalami metabolisme dalam hati dengan

berkonjugasi dengan asam glukoronat untuk membentu morfin-3-

glukoronid yang inaktif, dan morfin-6-glukuronid, yaitu analgesik yang

lebih poten daripada morfin itu sendiri, terutama bila diberi intratekal.

Diamorfin (heroin, diasetilmorfin) lebih larut dalam lemak daripada

morfin sehingga mempunyai awitan kerja lebih cepat bila diberikan secara

suntikan. Kadar puncak yang lebih tinggi menimbulkan sedasi yang lebih

kuat daripada morfin. Dosis kecil diamorfin epidural semakin banyak

digunakan untuk mengendalikan nyeri hebat.

Dekstromoramid mempunyai durasi kerja singkat (2-4 jam) dan dapat

diberikan secara oral maupun sublingual sesaat sebelum tindakan yang

menyakitkan.

Metadon mempunyai durasi kerja panjang dan kurang sedatif

dibandingkan morfin. Metadon digunakan secara oral untuk terapi rumatan

pecandu heroin atau morfin. Pada pecandu, metadon mencegah

penggunaan obat intravena.

b. Analgesik Opioid Lemah

Analgesik opioid lemah digunakan pada nyeri ringan sampai sedang.

Analgesik ini bisa menyebabkan ketrgantungan dan cenderung

disalahgunakan. Akan tetapi, ibuprofen kurang menarik untuk pencandu

karena tidak memberikan efek yang hebat.

Kodein (metilmorfin) diabsorpsi baik secara oral, tetapi mempunyai

afinitas sangat rendah terhadap reseptor opioid. Sekitar 10% obat

mengalami demetilasi dalam hati menjadi morfin, yang bertanggung jawab

atas efek analgesik kodein. Efek samping (kostipasi, mudah, sedasi)

membatasi dosis ke kadar yang menghasilkan analgesia yang jauh lebih

ringan daripada morfin. Kodein juga digunakan sebagai obat antitusif dan

antidiare.