analisis yuridis putusan mahkamah konstitusi no …

93
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO 46/PUU- XIV/2016 TENTANG LGBT DAN KUMPUL KEBO DITINJAU DARI HUKUM NASIONAL Skripsi Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Hukum Tata Negara Pada Fakultas Syariah Oleh : ROMI SAPUTRA NIM : SPI 141864 PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI 1440 H/2018M

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO 46/PUU-

XIV/2016 TENTANG LGBT DAN KUMPUL KEBO DITINJAU DARI

HUKUM NASIONAL

Skripsi

Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)

Dalam Hukum Tata Negara

Pada Fakultas Syariah

Oleh :

ROMI SAPUTRA

NIM : SPI 141864

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTHAN THAHA SAIFUDDIN

JAMBI

1440 H/2018M

Page 2: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

ii

PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (SI) di Fakultas Syariah

UIN STS Jambi.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN STS Jambi.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di UIN STS Jambi.

Jambi, Mei 2018

Romi Saputra

Page 3: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

iii

3 persetujuan pembimbing

Page 4: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

iv

4 halaman pengesahan

Page 5: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

v

MOTTO

Dan (kami jugatelahmengutus) Luth (kepadakaumnya). (ingatlah)

tatkalaDiaberkatakepadamereka:

"Mengapakamumengerjakanperbuatanfaahisyahitu, yang

belumpernahdikerjakanolehseorangpun (di duniaini) sebelummu?

Sesungguhnyakamumendatangilelakiuntukmelepaskannafsumu

(kepadamereka), bukankepadawanita, malahkamuiniadalahkaum yang

melampauibatas. (Al-A'raf : 80-81).

Dan janganlahkamumendekatizina;

Sesungguhnyazinaituadalahsuatuperbuatan yang keji.dansuatujalan yang

buruk.(Al-Isra :32).

Page 6: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

vi

PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirobbil’alamiin dengan rahmat allah SWT Skripsi ini saya

persembahkan kepada orang-orang yang telah memberikan cinta, kasih, perhatian,

serta motivasi dalam menuntut ilmu.

Kedua orang tua tercinta :

Ayahanda Muhammad Sobirindan Ibunda Juraiyah tercinta yang telah

mendidikku dengan penuh kegigihan dan kesabaran, yang tak henti-hentinya

menyelipkan namaku dalam setiap do’a nya, berkat do’a dan dorongan motivasi

beliau berdualah saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih untuksemua

yang ayah ibu berikan selama ini, harapan besarku semoga skripsi ini mejadi

hadiah indah bagi Ayah dan Ibu.

Saudara-saudaraku Serta KakekdanNenektersyang :

MeriSusanti dan NetiZandilasertaKakekdanNenek untuk orang yang selalu ada

memberikan semangat dan mendo’akan keberhasilanku.

Sahabat Seperjuangan Jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah UIN

STS Jambi :

Utari, Gusti, Riska, serli, ilma, santi, puput, mila, nada, walidaya, rika, tika,

novia, puji,yulizar, dayat, faruq, beni, sudirman, trendi, septiadi, sepri, yanto,

rama, sadrak, syafi’i, raden, jaiz, rofiqi, iqbal, kelas B Jurusan Hukum Tata

Negara yan telah memberi dukungan dan motivasi.

Teman-temanposko 7 desaPetajen :

Eli, Rina, Desi, Erma, Anjela, Eka, Riska, Okta, Kiki, Ana, Mardiah,

Muzaimah, Yulizar, Husayri, Khepin, Udin, Firdaus, Ali, Madon, Syanwani,

May Firwan, Kukerta posko 7 desa Petajen yang telah memberikan dukungan

dalam penyelesaian skripsi ini terimakasih untuk Persaudaraan, tawa, hingga

tangis yang takkan terlupakan.

Teman-temankos :

Ari, Riki, Mael, Risky, danAsrof yang telah memberi semangat serta motivasi

dalam penyusunan skripsi ini.

Almamaterku tercinta UIN STS Jambi, tempat penulis menimba ilmu.

Page 7: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

vii

ABSTRAK

Skrispsi ini bertujuan untuk mengungkapakan alasan penolakan uji materi

pasal 284, 285 serta 292 pada putusan Mahkamah Konstitusi no 46/PUU-

XIV/2016 tentang LGBT dan kumpul Kebo, sekaligus menganalisis bagaimana

Dasar penolakan uji materi Mahkamah Konstitusi mengenai LGBT dan kumpul

kebo seperti dalam pasal 284,285 serta 292 KUHP. Dalam penelitian skripsi ini

menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Pendekatan

penelitian yang digunakan adalah Pendekatan yuridis normatif. Berdasarkan

penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil kesimpulan sebagai berikut : Para

pemohon bukan lagi sekadar memperluas ruang lingkup perbuatan atau tindakan

yang sebelumnya bukan merupakan perbuatan pidana atau tindak pidana tetapi

juga mengubah sejumlah hal pokok atau prinsip dalam hukum pidana, bahkan

merumuskan tindak pidana baru. Sebab, dengan permohonan demikian secara

implisit Pemohon memohon agar Mahkamah mengubah rumusan delik yang

terdapat dalam pasal-pasal KUHP yang dimohonkan. Secara substansial,

permohonan para Pemohon bukan lagi sekadar memohon kepada Mahkamah

untuk memberi pemaknaan tertentu terhadap norma undang-undang yang

dimohonkan, bahkan bukan pula sekadar memperluas pengertian yang terkandung

dalam norma undang-undang yang dimohonkan pengujian itu, melainkan benar-

benar merumuskan tindak pidana baru. Dapat disimpulkan bahwasanya

mahkamah konstitusi tidak melegalkan LGBT dan Kumpul kebo karena

permohonan yang dimohonkan oleh pemohon sudah melampaui kewenangan dari

Mahkamah Konstitusi.Kemudian mengenai LGBT dan Kumpul Kebo ditinjau dari

segi hukum nasional bahwasanya pasal 284,285 serta 292 masih banyak terdapat

kekosongan hukum sehingga diperlukan pembentukan KUHP yang baru agar

lebih disempurnakan.

Page 8: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan

karunianya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “ANALISIS

YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO 46/PUU-XIV/2016

TENTANG LGBT DAN KUMPUL KEBO DITINJAU DARI HUKUM

NASIONAL.“ Sholawat beserta salam dijunjungkan kepada nabi besar

Muhammad SAW yang telah menuntun umat manusia dari zaman kebodohan

hingga ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan saat ini.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih terdapat

kesalahan dan tidak sempurna dalam penyajian maupun materinya, namun berkat

kesungguhan serta bimbingan dosen pembimbing dan berbagai pihak lainnya

maka segala kesulitan dan hambatan yang dihadapi itu dapat diatasi sehingga

penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan.

Melalui skripsi ini penulis tidak lupa menyampaikan penghargaan dengan

ucapan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA selaku Rektor UIN Sultan Thaha

Saifuddin Jambi.

2. Bapak Dr. A.A. Miftah, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah UIN

Sultan Thaha Saifuddin Jambi.

3. Bapak Dr. Hermanto Harun Lc, M. HI., Ph.D selaku Wakil Dekan

Bidang Akademik dan sekaligus Pembimbing I, Ibu Dr. Rahmi

Hidayati, S.Ag.,M. HI selaku Wakil Dekan Bidang Administrasi

Umum, Perencanaan dan Keuangan, Dr. Yuliatin, S.Ag., M. HI selaku

Wakil Dekan bidang Kemahasiswaan dan kerja sama di Lingkungan

Fakultas UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi.

4. Bapak Abdul Razak, S. HI., M. IS selaku Ketua Jurusan sekaligus

Pembimbing II dan Ibu Ulya Fuhaidah, S. Hum.,M.Si selaku

Sekretaris Jurusan Hukum Tata Negara yang telah memberikan

bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

Page 9: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

ix

5. Dosen dan staf pengajar pada jurusan Hukum Tata Negara yang telah

memberikan dorongan, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

6. Karyawan dan karyawati dilingkungan Fakultas Syariah Universitas

Islam Negeri Jambi

Disamping itu, disadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Oleh karenanya diharapkan kepada semua pihak untuk dapat memberikan

kontribusi pemikiran demi perbaikan skripsi ini. Kepada allah swt kita memohon

ampunan-nya, dan kepada manusia kita memohon kemaafannya. Semoga amal

kebajikan kita dinilai seimbang oleh allah swt.

Jambi, Mei 2018

Romi Saputra

SPI 141864

Page 10: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................ ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ iii

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iv

MOTTO .......................................................................................................... v

PERSEMBAHAN ........................................................................................... vi

ABSTRAK ...................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR .................................................................................... viii

DAFTAR ISI ................................................................................................... x

PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... xi

DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xv

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................. 4

C. Batasan Masalah ............................................................................... 5

D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ..................................................... 5

E. Kerangka Teori ................................................................................. 6

F. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 10

G. Metode Penelitian ............................................................................. 14

a. Pendekatan Penelitian ................................................................. 14

b. Jenis dan Sumber Data................................................................ 15

c. Instrument Pengumpulan Data ................................................... 16

d. Teknik Analisis Data .................................................................. 17

H. Sistematika Penulisan ....................................................................... 18

BAB II : MAHKAMAH KONSTITUSI DI INDONESIA

A. Defenisi Mahkamah Konstitusi ........................................................ 19

B. Sejarah Mahkamah Konstitusi .......................................................... 22

C. Kedudukan Mahkamah Konstitusi ................................................... 26

D. Fungsi/Tugas Mahkamah Konstitusi ................................................ 29

Page 11: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

xi

E. Wewenang Mahkamah Konstitusi .................................................... 30

BAB III : GAMBARAN UMUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

A. Putusan Makamah Konstitusi .......................................................... 33

B. Jenis Putusan ................................................................................... 33

C. Sifat Putusan .................................................................................... 35

D. Pengambilan Keputusan .................................................................. 37

E. Isi Putusan ....................................................................................... 38

F. Syarat dari Putusan Mahkamah Konstitusi ...................................... 44

BAB IV :PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO 46/PUU-

XIV/2016 TENTANG LGBT DAN KUMPUL KEBO

A. Dasar Putusan Mahkamah Konstitusi Menolak Permohonan Uji

Materi Pasal 284, 285, dan 292 Dalam Putusan No

46/PUU_XIV/2016 Tentang LGBT dan Kumpul Kebo .................. 46

B. Putusan No 46/PUU_XIV/2016 Berdasarkan Kewenangan

Mahkamah Konstitusi ...................................................................... 58

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................................... 68

B. Saran-saran ....................................................................................... 70

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

CURRICULUM VITAE

Page 12: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

xii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi yang digunakan dalam penulisan skripsi ini berdasarkan

kepada SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, tanggal

22 Januari 1988 Nomor 158/1987 dan 0543b/1987, selengkapnya adalah sebagai

beikut :

A. PenulisanKosakata Tunggal

Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan

ا

ب

ث

ج

ح

خ

د

د

ر

ز

ش

ش

ص

ض

ط

ظ

ع

غ

ف

ق

ك

ل

و

و

ء

ي

Alif

Ba

Ta

Sa

Jim

Ha

Kha‟

Dal

Zal

Ra‟

Za‟

Sin

Syin

Sad

Dad

Ta

Za

„ain

Gin

Fa‟

Qaf

Kaf

Lam

Mim

Nun

Wawu

Ha‟

Hamzah

Ya‟

-

B, b

T, t

S, s

J, j

H, h

KH, kh

D, d

Z, z

R, r

Z, z

S, s

SY, sy

S, s

D, d

T, t

Z, z

-

Gg, g

F, f

Q, q

K, k

L, l

M, m

N, n

W, ww

H, h

Y, y

Tidakdilambangkan

-

-

Dengantitik di atas

-

Dengantitik di bawah

-

-

Dengantitik di atas

-

-

-

-

Dengantitik di bawah

Dengantitik di bawah

Dengantitik di bawah

Dengantitik di bawah

Dengan koma terbalik

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Apastrof

-

Page 13: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

xiii

B. Penulisan Konsonan Rangkap

Huruf Musyaddad (di-tasydid) ditulis rangkap, seperti :

يتعقدي

عدة

Ditulis

Ditulis

Muta‟aqqidin

„iddah

C. Ta’ Marbutah

1. Bila dimatikan ditulis h

حبت

خسيت

Ditulis

Ditulis

Hibbah

Jizyah

Ketentuan ini tidak diperlakukan terhadap kata-kata Arab yang sudah

terserap kedalam bahasa Indonesia, seperti shalat, zakat dan sebagainya,

kecuali bila dikehendaki lafal aslinya.

Bila diikuti dengan kata sandang “al” serta bacaan kedua itu terpisah

maka ditulis dengan h.

‟Ditulis Karamatul al-auliya ريت الاونياء

2. Bila ta’marbutha hidup atau harakat, fathah, kasrah, dan dammah

ditulis t

Ditulis Zakatulfitri زكاةانفطر

D. Vokal Pendek

Fathah

Kasrah

Dammah

Ditulis

Ditulis

Ditulis

A

I

U

E. Vokal Panjang

Fathah + Alif

جاههيت

Fathah + yamati

يسعى

Kasrah + yamati

كريى

Dammah + wawumati

فروض

Ditulis

Ditulis

Ditulis

Ditulis

Ditulis

Ditulis

Ditulis

Ditulis

A

J ahiliyyah

A

Yas‟ a

I

Karim

U

Furud

Page 14: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

xiv

F. Vokal Rangkap

Fathah + alif

بيكى

Fathah + wawumati

قول

Ditulis

Ditulis

Ditulis

Ditulis

Ai

Bainakum

Au

Qaulan

G. Vokal Rangkap Vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata

dipisahkan dengan Apostrof

تىاا

اعدث

نتشكرتى

Ditulis

Ditulis

Ditulis

A‟antum

U‟iddat

La‟insyakartum

H. Kata Sandang Alif + Lam

1. Bila diikuti huruf Qomariyyah

انقرا

انقياش

Ditulis

Ditulis

Al-Qur‟an

Al-Qiyas

2. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggandakan huruf

Syamsiyyah yang mengikutinya, serta menghilangkan huruf / (el)

nya.

انساء

انشص

Ditulis

Ditulis

As-Sama‟

Asy-Syams

I. Penulisan kata-kata dalamrangkaiankalimat

Ditulis menurut bunyi pengucapannya dan menulis penulisannya

دوانفروض

اهم انست

Ditulis

Ditulis

Zawi al-furud

Ahl as-sunnah

Page 15: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

xv

DAFTAR SINGKATAN

BPHN : Badan Pembinaan Hukum Nasional

DKI : Daerah Khusus Ibukota

DPR : Dewan Permusyawaratan Rakyat

HAM : Hak Asasi Manusia

ICJR : Institute for Criminal Justice Reform

KUHAP : Kitah Undang-Undang Hukum Acara Pidana

KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana

LGBT : Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender

MA : Mahkamah Agung

MK : Mahkamah Konstitusi

MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat

NGO : Non-Governmental Organization

PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa

PUU : Pengujian Undang-undang

QS : Quran Surah

RI : Republik Indonesia

RPH : Rapat Permusyawaratan Hakim

UNDP : United Nations Development Program

USAID : United State Agency For International Development

UU : Undang Undang

UUD : Undang Undang Dasar

Page 16: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di zaman sekarang, fenomena LGBT semakin ramai diperbincangkan.

Hal tersebut disebabkan banyaknya pemberitaan LGBT itu sendiri.Euforia

eksistensi LGBT tidak lepas dari pengakuan dunia internasional terhadap

LGBT. Amerika Serikat dengan mengatasnamakan HAM, telah

mendeklarasikan dukungannya bagi hak asasi LGBT. Pada sidang dewan Hak

Asasi Manusia PBB bulan Juni 2011, Amerika Serikat, Afrika Selatan, dan

Amerika Latin, serta Uni Eropa mengupayakan lolosnya Resolusi PBB yang

pertama mengenai HAM bagi LGBT. Salah satu realisasi PBB dan

Pemerintah Amerika Serikat terhadap Resolusi PBB terkait hak asasi LGBT

adalah adanya dukungan UNDP bersama-sama dengan USAID terhadap

program kampanye LGBT di Asia Tenggara, Being LGBT in Asia. Di

Indonesia, program tersebut diwujudkan dalam kegiatan dialog komunitas

LGBT Nasional Indonesia di Bali pada bulan Juni 2013.1

Komunitas LGBT sudah mulai melakukan propaganda dalam

menyampaikan pandangan hidupnya.Meskipun bangsa Indonesia yang

menjunjung tinggi adat ketimuran serta berpedoman pada agama menolak

keras perbuatan tersebut dan mencegah supaya pelaku tidak bertambah

banyak.Pengaruh yang ditimbulkan berdampak buruk bagi kesehatan

1 Sulis Winurini, "Memaknai Perilaku LGBT Di Indonesia (Tinjauan Psikologi

Abnormal)", jurnal Vol. VIII, No. 05/I/P3DI/Maret/2016, hlm. 9.

Page 17: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

2

psikologis anak dan remaja. Bagaimanapun LGBT merupakan bentuk

perilaku yang tidak wajar dan menerjang norma kehidupan bangsa Indonesia.

Berpijak pada deskrispsi di atas, maka diperlukan usaha serius agar anak-anak

kita tidak terpengaruh dengan segala bentuk kampanye yang dilakukan oleh

aktivis LGBT.2

Kemudian penomena kumpul kebo atau tinggal serumah/seatap antara

seorang laki-laki dan perempuan tanpa adanya status hubungan yang sah

menurut hukum juga sering kita jumpai di kota-kota besar di Indonesia. Salah

satu masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah “kumpul

kebo” yang terkesan menjadi hal yang biasa dengan anggapan bahwa hal

tersebut adalah bagian dari kehidupan modern.Menurut mereka yang

menjalani kumpul kebo berpendapat ini adalah suatu kebebasan dan

menurutnya dia dan juga pasangan kumpul kebo-nya tidak merugikan

ataupun melanggar hukum yang ada.

Pada dasarnya dalam konteks negara hukum Indonesia, kita harus

menimbang segala perilaku bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa dalam

kacamata hukum.Artinya, antar warga negara dapat saja berbeda pendapat

dalam suatu hal. Namun, hal tersebut harus dikembalikan pada kajian hukum

untuk mendapatkan „status yuridis‟-nya: apakah dapat dibenarkan ataukah

tidak.

Beberapa waktu yang lalu, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi

(MK) telah menolak permohonan uji materi Pasal 284, 285, dan 292 Kitab

2 Proceding, Tinjauan Terhadap LGBT Dari Presfektif Hukum Pendidikan Dan Psikologi,

( Metro Lampung : Program Pascasarjana STAIN Jurai Siwo, 2016) hlm 43

Page 18: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

3

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dimohonkan oleh Euis Sunarti

dan sebelas Pemohon lainnya. Ketiga Pasal tersebut mengatur tentang

kejahatan terhadap kesusilaan.Dalam judicial review tersebut, seluruh

Pemohon meminta agar MK memperluas ruang lingkup delik kejahatan

terhadap kesusilaan.3

Para pemohon dalam permohonanya meminta agar Pasal 284-285

KUHP tidak perlu memiliki unsur salah satu orang berbuat zina sedang dalam

ikatan perkawinan dan tidak perlu ada aduan.Kemudian, Pemohon memohon

agar MK mengatakan bahwa pemerkosaan mencakup semua kekerasan atau

ancaman kekerasan untuk bersetubuh, baik yang dilakukan oleh laki-laki

terhadap perempuan maupun yang dilakukan oleh perempuan terhadap lak-

laki.Lebih lanjut, Para Pemohon meminta frasa “belum dewasa” yang

terdapat dalam Pasal 292 KUHP dihapuskan sehingga semua perbuatan

seksual sesama jenis dapat dipidana. Selain itu, homoseksual harus dilarang

tanpa membedakan batasan usia korban, baik belum dewasa maupun telah

dewasa.

Dengan ditolaknya permohonan uji materi tersebut, banyak dari kita

yang mengatakan “rezim ini melegalkan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan

Transgender) dan kumpul kebo!”4Dengan adanya pernyataan yang

dilontarkan dari pihak tersebut, sekiranya mereka terlebih dahulu memahami

3 Kumparan.com, Putusan MK: Kumpul Kebo dan LGBT Tak Bisa Dipidana,

http://www.tribunislam.com/2017/12/putusan-mk-kumpul-kebo-dan-lgbt-tak-bisa-dipidana.html,

akses 11 januari 2018. 4 Kristian Erdianto, Penjelasan MK Soal Tuduhan Putusan Yang Melegalkan Zina dan

LGBT,https://nasional.kompas.com/read/2017/12/18/20155601/penjelasan-mk-soal-tuduhan-

putusan-yang-melegalkan-zina-dan-lgbt, akses 11 Januari 2018.

Page 19: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

4

fungsi dan kewenangan MK sehingga mereka tidak beranggapan MK telah

melegalkan LGBT dan perzinahan.

Secara akademis, penulis menilai bahwa putusan MK di atas tersebut

sudah tepat.Sebab, MK tidak berwenang untuk mengubah undang-

undang.MK hanya berwenang melakukan pengkajian apabila ada undang-

undang yang bertentangan dengan UUD 1945 (konstitusi).Tapi, dikalangan

masyarakat luas, putusan MK ini bisa menimbulkan misinterpretasi dan

berujung menghadirkan polemik di masyarakat banyak menganggap

keputusan tersebut melegalkan LGBT Dan Kumpul Kebo.Dari sinilah penulis

tertarik untuk menganalisis secara yuridis tentang “putusan mahkamah

konstitusi no 46/PUU-XIV/2016 ini mengenai LGBT dan kumpul kebo

ditinjau dari Hukum Nasional”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas

maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah dasar putusan Mahkamah Konstitusi menolak permohonan

uji materi pasal 284, 285, dan 292 dalam putusan No

46/PUU_XIV/2016 tentang LGBT dan Kumpul Kebo?

2. Apakah putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU_XIV/2016

sudah sesuai dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi?

Page 20: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

5

C. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas batasan masalah penelitian

ini berfokus pada putusan mahkamah konstitusi no 46/PUU-XIV/2016

tentang LGBT dan kumpul kebo pasal 284, 285 dan 292 KUHP ditinjau dari

hukum nasional yang terdiri dari hukum belanda (KUHP), hukum Islam dan

hukum adat di Indonesia.

D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai

berikut :

a. Mengetahui dasar permasalahan putusan Mahkamah Konstitusi

menolak permohonan uji materi pasal 284, 285, dan 292 dalam

putusan No 46/PUU_XIV/2016 tentang LGBT dan Kumpul Kebo.

b. Mengetahui putusan Mahkamah Konstitusi sudah sesuai dengan

kewenangan Mahkamah Konstitusi.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan yang diperoleh dari penelitian ini antara lain :

1. Kegunaan Teoritis

a. Menambahkan pengetahuan dan wawasan di bidang Hukum yang

mengatur LGBT dan Kumpul Kebo di Indonesia.

b. Mengetahui Tugas dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi di

Indonesia.

Page 21: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

6

c. Memperluas cakrawala berfikir penulis dan memberikan

sumbangan pemikir bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

d. Sebagai salah satu persyaratan untuk mendapatkan Sarjana Setrata

Satu (S1) di Fakutas Syariah, Universitas Islam Negeri sultan

Thaha Syaifuddin Jambi.

2. Kegunaan Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambahkan referensi

kepustakaan dan bahan bacaan Khususnya Jurusan Hukum Tata

Negara dan dosen Fakultas Syari‟ah lainnya.

b. Hasil peneitian ini dapat menjadi pedoman atau acuan bagi mereka

yang melakukan penelitian serupa.

E. Kerangka Teori

1. Teori Kelembagaan

Menurut Nugroho kelembagaan diartikan sebagai aturan main,

norma-norma, larangan-larangan, kontrak, kebijakan dan peraturan atau

perundangan yang mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam

masyarakat atau organisasi untuk mengurangi ketidakpastian dalam

mengontrol lingkungannya.5

Sistem kerjasama antar lembaga Negara tidak lagi bersifat

horizontal, hal ini disebabkan MPR tidak lagi berkedudukan sebagai

lembaga tertinggi Negara melainkan sama dengan lembaga lainnya, baik

dengan lembaga eksekutif, legislatif, dan juga lembaga yudikatif. Pasca

5Subakti dan Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Grasindo; Jakarta 2010. Hlm. 32

Page 22: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

7

amandemen UUD 1945, telah dibentuk lembaga yudikatif baru yang

bertugas untuk menjaga dan menafsirkan konstitusi yaitu MK.

Berdasarkan pasal 24 dan 24C UUD menyebutkan kedudukan dan

kewenangan MK sebagai lembaga Negara bidang yudikatif sehingga

terjadi peralihan kewenangan menafsirkan konstitusi dari MPR kepada

MK.

Peralihan kewenangan dalam menafsirkan konstitusi merupakan

terobosan hukum baru dalam ketatanegaraan Indonesia.Oleh karena itu

dalam melakukan fungsi peradilan terkait kewenangan MK yang diatur

dalam pasal 24C UUD 1945, MK melakukan penafsiran terhadap

konstitusi sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan

tertinggi untuk menafsirkan konstitusi karena disamping sebagai

pengawal konstitusi, MK juga sebagai the sole interpreter of the

constitution.

2. Teori Konstitusi

Terdapat dua istilah terkait dengan norma atau ketentuan dasar dalam

kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. Kedua istilah tersebut adalah

Konstitusi dan undang-undang dasar.

Konstitusi berasal dari bahasa Prancis, constituer, yang berarti

membentuk.Maksud dari istilah tersebut adalah pembentukan suatu negara

atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Dalam bahasa latin, kata

konstitusi merupakan gabungan dua kata, yakni “cume”, berarti bersama dan

“statuere”, berarti membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan,

Page 23: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

8

menetapkan sesuatu.6Sedangkan undang-undang dasar merupakan terjemahan

dari istilah Belanda, grondwet. Kata grond berarti tanah atau dasar, dan wet

berarti undang-undang. Istilah konstitusi (constitution) dalam bahasa Inggris

memiliki makna yang lebih luas dari undang-undang dasar, yakni keseluruhan

dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang

mengatur secara mengikat cara bagaimana pemerintah diselenggarakan dalam

masyarakat.

Konstitusi menurut Miriam Budiardjo, adalah suatu piagam yang

menyatakan cita-cita bangsa dan merupakan dasar organisasi kenegaraan

suatu bangsa.Sedangkan undang-undang dasar merupakan bagian tertulis dari

konstitusi. Dari pengertian konstitusi di atas, dapat disimpulkan sebagai

berikut :

1. Kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan kekuasaan kepada

penguasa.

2. Dokumen tentang pembagian tugas dan wewenangnya dari sistem

politik yang diterapkan.

3. Deskripsi yang menyangkut hak asasi manusia. Secara garis besar,

tujuan konstitusi adalah membatasi tindakan sewenang-wanang

pemerintah dan menjamin hak- hak rakyat yang diperintah, dan

menetapkan pelaksanaan kekuasan yang berdaulat . Menurut Bagir

Manan, hakekat dari konstitusi merupakan perwujudan paham tentang

konstitusi atau konstitusionalisme, yaitu pembatasan terhadap

6 Miriam Budiarjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, (Jakarta : PT Gramedia

Pustaka, 2008) hlm 171

Page 24: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

9

kekuasaan pemerintah di satu pihak dan jaminan terhadap hak-hak

warga negara maupun setiap penduduk di pihak lain.

Sedangkan menurut Sri Soemantri, dengan mengutip pendapat Steenbeck,

menyatakan bahwa terdapat tiga materi muatan pokok dalam konstitusi7, yaitu:

1. Jaminan hak-hak manusia;

2. Susunan ketatanegaraan yang bersifat mendasar;

3. Pembagian dan pembatasan kekuasaan.

Dalam paham konstitusi demokratis dijelaskan bahwa isi konstitusi

meliputi:

1. Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum.

2. Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.

3. Peradilan yang bebas dan mandiri.

4. Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai

sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.

Keempat cakupan isi konstitusi di atas merupakan dasar utama dari suatu

pemerintah yang konstitusional.Namun demikian, indikator suatu negara atau

pemerintah disebut demokratis tidaklah tergantung pada konstitusinya.

Sekalipun konstitusinya telah menetapkan aturan dan prinsip-prinsip diatas,

jika tidak diimplementasikan dalam praktik penyelenggaraan tata

7Subroto, Legislagi Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No

46/Puu-Viii/2010 Ditinjau Dari Teori Hukum Hans Kelsen Tentang Konstitusi, Justitia Islamica,

Vol. 11/No. 2/Jul-Des. 2014. Hlm. 263.

Page 25: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

10

pemerintahan, ia belum bisa dikatakan sebagai negara yang konstitusional atau

menganut paham konstitusi demokrasi.

F. Tinjauan Pustaka

Phenomena LGBT dan Kumpul Kebo ini sebenarnya sudah banyak

yang meneliti secara khusus tentang permasalahan ini diantaranya :

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Abd.Azis Ramadhani

mahasiswa program studi Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddi Makassar, ditulis pada tahun 2012, dengan judul homoseksual

dalam perspektif hukum pidana dan hukum Islam. Suatu Studi Komparatif

Normatif.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan perspektif

antara Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang

perilaku homoseksual serta perbedaan sanksi antara Hukum Islam dan KUHP

terhadap perilaku tersebut.Untuk memperoleh data yang diinginkan, yakni

membaca literatur-literatur yang berkaitan dengan judul skripsi.8

Temuan yang diperoleh dari penelitian ini antara lain menunjukan

bahwa dalam KUHP, pelanggaran homoseksual hanya sebatas hubungan

seksual sedangkan Hukum Islam tidak membatasinya dalam bentuk hubungan

seksual tetapi juga melarang penyerupaan terhadap lawan jenis. Dalam

KUHP, perilaku hubungan sejenis hanya dilarang apabila dilakukan dengan

orang yang belum dewasa sedangkan dalam Islam, perilaku hubungan sejenis

adalah haram, baik itu dilakukan dengan orang yang belum dewasa maupun

8Abd. Azis Ramadhani,Homoseksual Dalam Perspektif Hukum Pidana Dan Hukum

Islam. Suatu Studi Komparatif Normatif, Hasil Penelitian Kompetitif Universitas Hasanuddin

Makassar,(2012), hlm. x

Page 26: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

11

sesama orang dewasa. Dalam Islam, untuk dikatakan sebagai hubungan

sejenis, dilihat dari bentuk fisiknya secara lahiriah sedangkan KUHP

didasarkan atas status kelaminnya berdasarkan hukum. Tujuan pelarangan

hubungan sejenis dalam KUHP adalah untuk melindungi anak kecil dari

pelaku homoseksual sedangkan tujuan pelarangan hubungan sejenis dalam

Islam adalah demi terjaganya dan tidak terputusnya keturunan manusia,

memuliakan manusia serta mengajarkan manusia untuk bersyukur atas nikmat

Allah SWT.

Sesuai dengan asas tidak ada pidana tanpa kesalahan, maka unsur

kesalahan yang terdapat dalam Pasal 292 KUHP berupa (1) kesengajaan

yakni diketahuinya temannya sesame jenis berbuat cabul itu belum dewasa;

dan (2) berupa culpa, yakni sepatutnya harus diduganya belum dewasa.

Mengenai sepatutnya harus diduga berdasarkan keadaan fisik dan psikis ciri-

ciri orang belum dewasa atau yang umurnya belum 21 tahun.

KUHP mengancam sanksi pidana kepada orang dewasa yang

melakukan hubungan sejenis dengan orang yang belum dewasa, artinya ialah

pidana hanya dikenakan apabila si pembuatnya adalah orang dewasa dan

KUHP tidak menganggap orang yang belum dewasa sebagai si pembuat.

Dewasa sendiri menurut Pasal 292 KUHP sama dengan dewasa menurut

Pasal 330 BW yakni berumur 21 tahun atau telah menikah. Ini berarti hanya

satu pihak yang dianggap pembuat dari hubungan sejenis menurut

KUHP.Sedangkan hukum Islam menganggap pembuat adalah para pelaku

hubungan sejenis sehingga pertanggung jawaban pidana dibebankan kepada

Page 27: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

12

kedua-duanya. Kecuali apabila korban adalah orang yang belum dewasa.

Dewasa sendiri menurut Islam adalah saat memasuki masa akil baligh,

sehingga terdapat variasi umur dalam menentukan kedewasaan.9

Kedua, penelitian yang secara khusus dilakukan oleh Agustiawan

mahasiswa Jurusan Hukum Pidana dan Ketatanegaraan, Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Alauddin Makassar, pada tahun 2016.Meneliti tantang

analisis tindak pidana perzinahan (Studi komparatif antara hukum Islam dan

hukum nasional). Tujuan penelitian untuk mengetahui tindak pidana

perzinahan menuruthukum Islam dan hukum nasional dan untuk mengetahui

perbandingan tindakpidana perzinahan menurut hukum Islam dan hukum

nasional. Al-Qur‟an secara jelas melarang tindak pidana perzinahan dalam

QS al-Isra‟/ 17: 32, menjelaskan tentang larangan mendekati zina,

sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang

buruk dan QS al-Nur /24: 2, menjelaskan tentang hukuman yang akan

didapatkan oleh pelaku zina.10

Setelah melakukan pembahasan dan analisis dengan memperhatikan

pokok permasalahan yang diangkat dengan judul Analisis Tindak Pidana

Perzinahan (Studi komparatif antara hukum Islam dan hukum nasional), maka

penulis dapat menarik kesimpulan bahwa menurut hukum Islam, semua

pelaku zina pria dan wanita dapat dikenakan had, yaitu hukuman dera bagi

yang belum kawin, misalnya (dipukul dengan tongkat, sepatu, dan tangan).

9Ibid.hlm. 69

10 Agustiawan, Analisis Tindak Pidana Perzinahan (Studi Komparatif Antara Hukum

Islam Dan Hukum Nasional), Hasil Penelitian Kompetitif Universitas Alauddin Makassar, (2016),

Hlm. xx

Page 28: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

13

Dan dera ini tidak boleh berakibat fatal bagi yang didera.Sedangkan

menurut hukum nasional (KUHP) tidak semua pelaku zina diancam dengan

hukuman pidana. Misalnya pasal 284 ayat 1 dan 2 menetapkan ancaman

pidana penjara paling lama 9 bulan bagi pria dan wanita yang melakukan

zina, padahal seorang atau keduanya telah kawin, dan dalam padal 27 KUH

Perdata (BW) berlaku baginya11

. Ini bisa diartikan bahwa pria dan wanita

yang melakukan zina tersebut belum kawin, maka mereka tidak terkena

sanksi hukuman tersebut. Tidak kena hukuman juga bagi keduanya asalkan

telah dewasa dan suka sama suka (tidak ada unsur paksaan) atau wanitanya

belum dewasa dapat dikenakan sanksi, hal ini diatur dalam KUHP pasal 285

dan 287 ayat 1.

Menurut hukum Islam, tidak memandang zina sebagai klach delict

(hanya bisa dituntut) atas pengaduan yang bersangkutan.Sedangkan menurut

hukum nasional (KUHP), perbuatan zina hanya dapat dituntut atas pengaduan

suami/istri yang tercemar (pasal 284 ayat 2).

Dari penelitian diatas dapat kita bedakan bahwasanya penelitian yang

dilakukan oleh Abd.Azis Ramadhani diatas bertujuan untuk mengetahui

perbedaan perspektif antara hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana tentang perilaku homoseksual serta perbedaan sanksi antara hukum

Islam dan KUHP terhadap perilaku tersebut.

Dan penelitian yang kedua yang dilakukan oleh Agustiawan bertujuan

untuk mengetahui tindak pidana perzinahan menurut hukum Islam dan hukum

11

Andi Hamzah, Delik-delik Tertentu didalam KUHP, cet. Ke- 5 (Jakarta: Sinar Grafika,

2014) , hlm. 160.

Page 29: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

14

nasional dan untuk mengetahui perbandingan tindak pidana perzinahan

menurut hukum Islam dan hukum nasional. Sedangkan penelitian yang akan

saya lakukan adalah berfokus kepada putusan Mahkamah Konstitusi no

46/PUU-XIV/2016 tentang LGBT dan Kumpul kebo ditinjau Dari Hukum

Nasional yang meliputi dasar penolakan Mahkamah Konstitusi menolak

permohonan uji materi menenai pasal 284,285 dan 292 tentang LGBT dan

kumpul kebo.

G. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian

kepustakaan (library research), yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan

dengan metode pengumpulan data pustaka.12

Menurut Abdul Rahman Sholeh,

penelitian kepustakaan (library research) ialah penelitian yang mengunakan

cara untuk mendapatkan data informasi dengan menempatkan fasilitas yang

ada di perpustakaan, seperti buku, majalah, dokumen, catatan kisah-kisah

sejarah.13

Atau penelitian kepustakaan murni yang terkait dengan obyek

penelitian. Adapun dalam kaitannya dengan hal ini, penulis paparkan

prosedur penelitian yang tersusun sebagai berikut :

a. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah

Pendekatan yuridis normatif.Untuk itu diperlukan penelitian yang

merupakan suatu rencana pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan.Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang

12

Mahmud,metode penelitian pendidikan, (Bandung: pustaka setia, 2011), hlm. 31 13

Abdul Rahman Sholeh, Pendidikan Agama dan Pengembangn untuk Bangsa, ( Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 63

Page 30: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

15

dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-

teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-

undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini dikenal

pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-

buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan

dengan penelitian ini.

Menurut Soerjono Soekanto pendekatan yuridis normatif yaitu

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau

data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan

penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang

berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.14

b. Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian kepustakaan (library research) ini, sumber data

yang merupakan bahan tertulis terdiri atas sumber data primer dan sumber

data sekunder sebagai berikut ;

1. Sumber data primer

Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh langsung

dari subyek penelitian sebagai sumber informasi yang

dicari.Data ini disebut juga dengan data tangan pertama.Atau

data yang langsung yang berkaitan dengan obyek riset.Sumber

data dalam penelitan ini adalah Putusan No

46/PUU_XIV/2016.

14

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan

Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hlm. 13-14.

Page 31: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

16

2. Sumber data sekunder

Adapun sumber data sekunder adalah data yang diperoleh

lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari

subyek penelitiannya.

Dalam studi ini data sekundernya adalah buku-buku yang

mendukung penulis untuk melengkapi isi serta interpretasi dari

kitab maupun buku-buku bacaan yang berkaitan dan dijadikan

acuan serta artikel-artikel dari media elektronik maupun media

cetak digunakan sebagai bahan data sekunder dalam penelitian

ini yang tentunya berkaitan dengan putusan Mahkamah

Konstitusi No 46/PUU_XIV/2016 tentang LGBT dan Kumpul

Kebo.

c. Instrumen Pengumpulan Data

Instrument pengumpulan data dalam penelitian ini adalah peneliti

itu sendiri untuk melakukan penelitian. Sedangkan alat pengumpulan data

untuk jenis penelitian pustaka (library research)15

ini adalah analisis

dokumen dilakukan untuk mengumpulkan data yang bersumber dari

kepustakaan, yaitu dari arsip dan dokumen, yang ada hubungannya

dengan penelitian tersebut. Nasution menyatakan dokumentasi adalah

mengumpulkan data dengan cara mengalir atau mengambil data-data dari

catatan, dokumentasi, administrasi yang sesuai dengan masalah yang

15

Sayuti Una (ed), Pedoman Penulisan Skripsi, Edisi Revisi, (jambi: syariah press,2014),

hlm 38.

Page 32: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

17

diteliti. Dalam hal ini dokumentasi diperoleh melalui dokumen-dokumen

atau arsip-arsip dari lembaga yang diteliti.

Menurut Hartinis, “dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-

hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar,

majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya.” Dokumentasi

dalam penelitian sebagai sumber data karena dalam banyak hal dokumen

sebagai sumber data dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan

untuk meramalkan.Teknik dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan

data.Adapun di dalam skripsi ini penulis mengumpulkan data mengenai

Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-XIV/2016 tentang LGBT dan

Kumpul Kebo.

d. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh, dianalisis secara metode Studi kepustakaan

dengan cara pengumpulan data dengan membaca, memahami, dan

mengutip, merangkum, dan membuat catatan-catatan serta menganalisis

peraturan perundang-undangan. Dari analisis data tersebut, dilanjutkan

dengan menarik kesimpulan dengan motode induktif yaitu suatu cara

berfikir khusus lalu kemudian diambil kesimpulan secara umum guna

menjawab permasalahan yang diajukan atau mengambil kesimpulan dari

data-data yang bersifat khusus kemudian ditarik generalisasi yang

mempunyai sifat umum.

Page 33: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

18

H. Sitematika Penulisan

Untuk mendapatkan pemahaman secara runtut, pembahasan dalam

penulisan skripsi ini akan disistematisasi sebagai berikut:

Pembahasan diawali dengan BAB I, Pendahuluan.BAB ini pada

hakikatnya menjadi pijakan bagi penulisan skripsi, baik mencakup

background, pemikiran tentang tema yang dibahas.

BAB I mencakup Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Batasan

Masalah, Tujuan Dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Konseptual, Kerangka

Teori, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, Dan Sistematika Penulisan. BAB

II dipaparkan tentang Definisi Mahkamah Konstitusi.BAB III .dipaparkan

tentang Gambaran Umum Putusan Mahkamah Konstitusi, sejarah

pembentukannya serta tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi di

Indonesia. BAB IV dipaparkan mengenai dasar Mahkamah Konstitusi

menolak uji materi pasal 284, 285, dan 292 dalam putusan no 46/PUU-

XIV/2016 tentang LGBT dan Kumpul Kebo dan Putusan Mahkamah

Konstitusi No 46/Puu-Xiv/2016 Tentang Lgbt Dan Kumpul Kebo. BAB V

merupakan akhir dari penulisan skripsi yaitu BAB V penutup yang terdiri dari

kesimpulan, saran-saran. Daftar Pustaka, Lampiran dan Curriculum Vitae.

Page 34: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

19

BAB II

MAHKAMAH KONSTITUSI DI INDONESIA

A. Definisi Mahkamah Konstitusi

Mahkamah konstitusi merupakan suatu lembaga negara yang terbentuk

setelah dilakukannya amandemen ketiga tehadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Dalam

amandemen ketiga UUD 1945 dilakukan perubahan pada Bab IX mengenai

kekuasaan kehakiman dengan mengubah ketentuan pasal 24 dan

menambahkan tiga pasal baru dalam ketentuan pasal 24 UUD NRI 1945.

Ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi dalam UUD NRI 1945 disebutkan

dalam pasal 24 ayat (2) dan pasal 24C UUD NRI 1945.

Mahkamah Konstitusi menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang

perubahan Ketua atau Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku

kekuasaan kehakiman yang berfungsi menangani perkara tertentu di

bidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga kombinasi agar

dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat

dan cita demokrasi.16

Jimly Ashiddiqie menjelaskan bahwa pembentukan Mahkamah

Konstitusi pada stiap negara memiliki latar belakang yang beragam, namun

secara umum adalah berawal dari suatu proses perubahan politik kekuasaan

yang otoriter menuju demokratis, sedangkan keberadaan Mahkamah

Konstitusi lebih untuk menyelesaikan konflik antar lembaga negara karena

16

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Page 35: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

20

dalam proses perubahan menuju negara yang demokratis tidak bisa dihindari

munculnya pertentangan antar lembaga negara.17

Selain itu, adanya kekosongan pengaturan pengujian (judicial review)

terhadap undang-undang secara tidak langsung telah menguntungkan

kekuasaan karena produk perundang-undangannya tidak akan ada yang

mengganggu gugat, dan karena itu untuk menjamin bahwa penyusunan

peraturan perundang-undangan akan selaras dengan konstitusi harus

ditentukan mekanisme untuk mengawasinya melalui hak menguji.

Latar belakang perlunya pembentukan Mahkamah Konstitusi di negara

Republik Indonesia adalah berasal dari kenyataan banyaknya problem-

problem ketatanegaraan yang bermula dari perbedaan atau sengketa

menginterpretasikan UUD oleh lembaga-lembaga kenegaraan. Fungsi

Mahkamah Konstitusi pada awalnya oleh Badan Pekerja Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yaitu meliputi :

a. Untuk memeriksa dan mengadili sengketa di bidang hukum

ketatanegaraan.

b. Melakukan pengujian terhadap peraturan di bawah UUD.

c. Menguji undang-undang atas permintaan pengadilan.

d. Mengadili pembubaran partai politik.

e. Mengadili persengketaan antar instansi pemerintah di pusat, atau

antar instansi pemerintah pusat-pemerintah daerah.

f. Mengadili suatu pertentangan undang-undang.

17

IRP.daulay, Mahkamah Konstitusi, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2006). Hlm. 19.

Page 36: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

21

g. Memberikan putusan atas gugatan yang berdasarkan UUD.

h. Memberi pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam

hal Dewan Perwakilan Rakyat meminta Majelis Permusyawaratan

Rakyat bersidang untuk menilai perilaku presiden yang dianggap

mengkhianati negara atau merusak nama baik lembaga

kepresidenan.

Berdasarkan ketentuan pasal 24C Ayat (3) perubahan ketiga UUD

1945, Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim

konstitusi yang ditetapkan oleh presiden, dan diajukan masing-masing tiga

orang oleh Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden.

Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

menyebutkan alasan dari penetapan jumlah sembilan orang hakim konstitusi

yaitu :

a. Pada prinsipnya jumlah hakim konstitusi harus ganjil, yakni untuk

memudahkan pengambilan putusan.

b. Agar mewakilli seluruh aspirasi pemegang kekuasaan, yakni

Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden.

c. Contoh di beberapa negara lain yang sudah memiliki Mahkamah

Konstitusi, banyak diantaranya yang jumlah hakim konstitusinya

sebanyak sembilan orang.

d. Jumlah hakim sembilan orang dimaksudkan supaya persidangan lebih

cepat, singkat dan efisien.

Page 37: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

22

Pengangkatan atau penetapan hakim konstitusi oleh presiden dengan

menerbitkan Keputusan Presiden bukan berarti para hakim konstitusi berada

di bawah presiden, melainkan dipandang sebagai salah satu tugas presiden

dalam kapasitasnya selaku Kepala Negara. Penerbitan keputusan presiden

tersebut ditentukan dalam jangka waktu paling lambat tujuh hari kerja sejak

pengajuan calon hakim konstitusi diterima presiden, ini merupakan ketentuan

yang bersifat administratif.

Proses pengajuan atau perekrutan hakim konstitusi sepertinya

didominasi oleh nuansa kepentingan politik pemegang kekuasaan, karena hal

itu merupakan kewenangan internal dari Mahkamah Agung, Dewan

Perwakilan Rakyat dan Presiden. Hal ini tidak menutup kemungkinan

masuknya kepentingan politik yang ada, khususnya melalui jalur Dewan

Perwakilan Rakyat dan jalur Presiden.

Jimly Ashiddiqie juga mengatakan bahwa dalam konteks

ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal

konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan kontitusional ditengah

masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar

konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara

konsisten dan bertanggung jawab.

B. Sejarah Mahkamah Konstitusi

Berdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai special tribunal secara

terpisah dari Mahkamah Agung, yang mengemban tugas khusus merupakan

konsepsi yang dapat ditelusuri jauh sebelum negara kebangsaan yang modern

Page 38: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

23

(modern nation-state), yang pada dasarnya menguji keserasian norma hukum

yang lebih rendah dengan normah hukum yang lebih tinggi.18

Membicarakan Mahkamah Konstitusi di Indonesia berarti tidak lepas

menjelajah historis dari konsep dan fakta mengenai Judicial Review, yang

sejatinya merupakan kewenangan paling utama lembaga Mahkamah

Konstitusi.

Sejarah judicial review muncul pertama kali di Amerika Serikat melalui

putusan supreme court Amerika Serikat dalam perkara “Marbury vs

Madison” pada tahun 1803. Meskipun UUD Amerika Serikat tidak

menantumkan judicial review, Supreme Court Amerika Serikat membuat

putusan yang mengejutkan. Chief Justice John Marshall didukung empat

hakim agung lainnya menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan

Undang-Undang yang bertentangan dengan konstitusi. Kemudian, ini sangat

berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktik hukum di banyak negara.

Semenjak itulah, banyak Undang-Undang federal maupun Undang-Undang

negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Supreme

Court.

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga, pertama kali diperkenalkan

oleh Hans Kelse (1881-1973), pakar konstitusi dan guru besar Hukum Publik

dan Administrasi University of Vienna.19

Kelsen menyatakan bahwa

18

Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, edisi ke-2

(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 3. 19

Ibid, hlm. 3.

Page 39: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

24

pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif

dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk

m\enguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak

memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan legislatif tersebut

tidak konstitusional. Untuk kepentingan itu, perlu dibentuk organ pengadilan

khusus berupa constitutional court, atau pengawasan konstitusionalitas

Undang-Undang yang dapat juga diberikan kepada pengadilan biasa.

Pemikiran Kelsen mendorong Verfassungsgerichtshoft di Austria yang berdiri

sendiri di luar Mahkamah Agung. Inilah Mahkamah Konstitusi pertama di

dunia.20

Di Indonesia, adanya perubahan UUD 1945 melahirkan lembaga baru

di bidang kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi, sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan

peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan

peradilan tata usaha negara, dari oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”

Dalam salah satu rapat BPUPKI, Mohammad Yamin menggaagas

lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa di bidang pelaksanaan

konstitusi. Gagasan Yamin berawal dari pemikiran perlunya diberlakukan

suatu materieele toetsingrecht (uji materil) terhadap UU. Yamin mengusulkan

20

MakalahMahkamahKonstitusi,http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/inf

oumum/artikel/pdf/makalah_makalah_17_oktober_2009.pdf. Diakses 25 April 2018.

Page 40: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

25

perlunya Mahkamah Agung diberi wewenang membanding Undang-Undang,

namun usulan Yamin disanggah Soepomo dengan empat alasan bahwa

konsep dasar yang dianut dalam UUD yang tengah disusun bukan konsep

pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian

kekuasaan (distribution of power) selain itu tugas hakim adalah menerapkan

Undang-Undang, bukan menguji Undang-Undang, adapula kewenangan

hakim untuk melakukan pengujian Undang-Undang bertentangan dengan

konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan yang terakhir

sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki ahli-ahli mengenai hal

tersebut serta pengalaman mengenai Judicial Review. Akhirnya, ide itu urung

diadopsi dalam UUD 1945.

Gagasan Yamin muncul kembali pada proses amandemen UUD 1945.

Gagasan membentuk Mahkamah Konstitusi mengemuka pada sidang kedua

panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR), pada Maret-April

tahun 2000. Mulanya, MK akan ditempatkan dalam lingkungan MA, dengan

kewenangan melakukan uji materil atas Undang-Undang, memberikan

putusan atas pertentangan antar Undang-Undang serta kewenangan lain yang

diberikan Undang-Undang. Usulan lainnya, MK diberi kewenangan

memberikan putusan atas persengketaan kewenangan antar lembaga negara,

antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Dan setelah melewati perdebatan yang panjang, pembahasan mendalam

serta denngan mengkaji lembaga pengujiian konstitusional Undang-Undang

di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak terutama

Page 41: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

26

para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai pembentukan Mahkamah

Konstitusi diakomodir dalam perubahan ketiga UUD 1945. Hasil perubahan

ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi

nama Mahkamah Konstitusi dalam pasal 24 ayat (2) dan pasal 24C UUD

1945.

C. Kedudukan Mahkamah Konstitusi

Digantikannya sistem division of power (pembagian kekuasaan) dengan

separation of power (pemisahan kekuasaan) mengakibatkan perubahan

mendasar terhadap format kelembagaan negara pasa amandemen UUD 1945.

Berdasrkan division of power yang dianut sebelumnya, lembaga negara

disusun secara vertikal bertingkat dengan MPR berada dipuncak struktur

sebagai lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum

perubahan menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan

dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Di bawah MPR, kekuasaan dibagi ke

sejumlah lembaga negara, yakni presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),

Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan

Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan masing-masing

diberi status sebagai lembaga tinggi negara.

Akibat utama dari anutan sistem separation of power, lembaga-lembaga

negara tidak lagi terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan tinggi negara.

Lembaga-lembaga negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan UUD dan

di saat bersamaan dibatasi juga oleh UUD. Pasca amandemen UUD 1945,

kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga

Page 42: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

27

melainkan oleh UUD. Dengan kata lain, kedaulatan sekarang tidak terpusat

pada satu lembaga tetapi disebar kepada lembaga-lembaga negara yang ada.

Artinya, semua lembaga berkedudukan dalam level yang sejajar atau

sederajat.

Dalam konteks anutan sistem yang demikian, lembaga negara

dibedakan berdasarkan fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD

1945. MK menjadi salah satu lembaga negara baru yang oleh konstitusi

diberikan kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya, tanpa

mempertimbangkan lagi adanya kualifikasi sebagai lembaga negara tertinggi.

Prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan

legislatif, eksekutif, dan yudikatif dengan mengedepankan adanya hubungan

check and balances antara satu sama lain.

Mahkamah Konstitusi merupakan pengawal konstitusi (the guardian of

the constitution) terkait dengan empat wewenang dan satu kewajiban yang

dimiliknya. Hal itu membawa konsekuensi MK berfungsi sebagai penafsir

konstitusi (the sole interpreter of the constitution). Konstitusi juga mengatur

penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip demokrasi dan salah satu fungsi

konstitusi adalah melindungi hak asasi manusia yang dijamin dalam

konstitusi sehingga menjadi hak konstitusional warga negara. Oleh karena itu,

MK juga berfungsi sebagai pengawal demokrasi (the guardian of the

democracy), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the

citizen’s constitutional rights) serta peindung hak asasi manusia (the

Page 43: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

28

protector of human rights).21

Dalam hal ini MK memiliki kedudukan,

kewenangan serta kewajiban konstitusional menjaga atau menjamin

terselenggaranya konstitusionalitas hukum.

Mekanisme peradilan konstitusi (constitution adjudication) itu sendiri

merupakan hal baru yang diadopsikan ke dalam sistem konstitusional

Indonesia dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Peradilan

konstitusional itu dimaksudkan untuk memastikan bahwa UUD sungguh-

sungguh dijalankan atau ditegakkan dalam kegiatan penyelenggaraan negara

sehari-hari. Pengujian terhadap lembaga lain oleh lembaga yang berbeda

apakah yang bersangkutan sungguh-sungguh melaksanakan UUD atau tidak

merupakan mekanisme yang sama sekali baru. Sebelumnya memang tidak

dikenal dalam sistem hukum dan konstitusi Indonesia.

Kedudukan dan peranan Mahkamah Konstitusi berada pada posisi

strategis dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia karena Mahkamah

Konstitusi mempunyai kewenangan yang terkait langsung dengan

kepentingan politik, baik itu dari pihak pemegang kekuasaan maupun pihak

yang berupaya mendapatkan kekuasaan dalam sistem kekuasaan di negara

Republik Indonesia. Hal ini menjadikan kedudukan Mahkamah Konstitusi

berada di posisi yang sentral sekaligus rawan terhadap intervensi atau

pengaruh kepentingan politik, khususnya dalam hal memutus perselisihan

hasil pemilihan umum, pembubaran partai politik, dan impeachment terhadap

presiden atau wakil presiden.

21

Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pt. Raja Grafindo, 2013),

Hlm. 216.

Page 44: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

29

Pembentukan Mahkamah Konstitusi dapat dipahami dari dua sisi, yaitu

dari sisi politik dan dari sisi hukum.Dari sisi politik ketatanegaraan,

keberadaan Mahkamah Konstitusi diperlukan guna mengimbangi kekuasaan

pembentukan Undang-Undang yang dimiliki oleh DPR dan Presiden.Hal itu

diperlukan agar Undang-Undang tidak menjadi legitimasi bagi tirani

mayoritas wakil rakyat di DPR dan Presiden yang dipilih langsung oleh

mayoritas rakyat.Dari sisi hukum, keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah

salah satu konsekuensi perubahan dari supremasi MPR menjadi supremasi

konstitusi.Prinsip negara kesatuan, prinsip demokrasi, dan prinsip negara

hukum.Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia

adalah negara kesatuan yang berbentuk republik.Negara kesatuan tidak hanya

dimaknai sebagai kesatuan wilayah geografis dan penyelenggaraan

pemerintahan. Di dalam prinsip negara kesatuan menghendaki adanya satu

sistem hukum nasional.Kesatuan sistem hukum nasional ditentukan oleh

adanya kesatuan dasar pembentukan dan pemberlakuan hukum yaitu UUD

1945.22

D. Fungsi/Tugas Mahkamah Konstitusi

Dengan melihat konstruksi yang digambarkan dalam konstitusi dan

diterima secara universal, terutama di negara-negara yang telah mengadopsi

Mahkamah Konstitusi dalam system ketatanegaraan mereka. Mahkamah

konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal (to guard) konstitusi, agar

22

Ayu Desiana, Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan

PutusanYang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003, Journal

volume 25, no 1, maret 2014. Hlm. 45.

Page 45: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

30

dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan Negara maupun

warga negara. Mahkamah Konstitusi juga menjadi penafsir akhir konstitusi.23

Fungsi Mahkamah Konstitusi dijalankan melalui wewenang yang

dimilikiyaitu memeriksa, megadili, dan memutus perkara tertentu

berdasarkanpertimabangan konstitusional. Dengan sendirinya setiap putusan

Mahkamah Konstitusi merupakan penafsiran terhadap konstitusi. Berdasarkan

latar belakngini setidaknya terdapat lima fungsi yang melekat pada

keberadaan MahkamahKonstitusi dan dilaksanakan melalui kewenangannya

yaitu sebagai pengawalkonstitusi (the guardian of the constitutio), penafsir

final konstitusi (the finalinterpreter of the constitution), pelindung hak asasi

manusia (the protector ofhuman right), pelindung hak konstitusional warga

negara (the protector of thecitizen’s constitutional right), dan pelindung

demokrasi (the protector ofdemocracy).24

E. Wewenang Mahkamah Konstitusi

Berdasarkan amanat konstitusi pada Pasal 24C Undang- Undang Dasar

1945, Mahkamah Konstitusi memiliki 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu)

kewajiban. Kewenangan Mahkamah Konstitusi secara khusus diatur dalam

Pasal 24C ayat (1), sedang kewajiban yang diembannya diatur pada ayat (2)

UUD 1945. Lebih lanjut kewenangan Mahkamah Konstitusi juga diatur

dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana yang

23

Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2012), hlm. 7 24

Ayu Desiana, Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan

Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003, Journal

volume 25, no 1, maret 2014. Hlm. 50

Page 46: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

31

telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi, dengan rincian sebagai berikut:

1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. Memutus pembubaran partai politik; dan

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan ataspendapat

DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presidendiduga telah

melakukan pelanggaran hukum berupapengkhianatan terhadap

negara, korupsi, penyuapan,tindak pidana berat lainnya, atau

perbuatan tercela,dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai

Presidendan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945.

Sesuai ketentuan tersebut maka setiap putusan MahkamahKonstitusi

bersifat final, artinya dalam hal pelaksanaankewenangan ini tidak ada

mekanisme banding atau kasasiterhadap putusan yang dibuat Mahkamah

Konstitusi untuk perkara-perkarayang berkenaan dengan kewenangan

Page 47: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

32

tersebut.25

Lain halnya dengan kewajiban Mahkamah Konstitusi

sebenarnya dapat dikatakan merupakan sebuah kewenangan untuk

memberikan putusan atas pendapat DPR terhadap dugaan pelanggaran

oleh presiden dan/atau wakil presiden.Secara khusus dalam ketentuan

tersebut, tidak dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan tingkat

pertama dan terakhir dan putusannya bersifat final dan mengikat.

25

Rezky Pratiwi, Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/Puu-Xi/2013

Tentang Sifat Final Dan Mengikat Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (Dkpp),

Hasil Penelitian Kompetitif Universitas Hasanuddin Makassar, 2016, hlm. 12

Page 48: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

33

BAB III

GAMBARAN UMUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

A. Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat

Negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan

dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan parapihak

kepadanya.26

Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa

yang dihadapkan kepadanya, makaputusan hakim itu merupakan tindakan

Negara dimana kewenangannnya dilimpahkan kepada hakim baik berdasar

UUD 1945 maupunundang-undang.

B. Jenis-JenisPutusan

Terdapat dua jenis putusan hakim dalam suatu proses peradilan, yaitu

a. Putusan Provisi dan Putusan Akhir

Putusan yang mengakhiri suatu perkara atau sengketa yang diadili atau

putusan akhir dan putusan yang dibuat di dalam dan menjadi bagian dari

proses peradilan yang belum mengakhiri perkara atau sengketa yang disebut

dengan putusan sela atau putusan provisi. Putusan sela atau putusan provisi

adalah putusan yang diberikan oleh majelis hakim atas permohonan pihak

yang bersengketa terkait dengan suatu hal yang berhubungan dengan

perkara yang diperiksa atau atas pertimbangan hakim.Putusan sela dapat

berupa permintaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau

terkait dengan status hukum tertentu sebelum putusan akhir dijatuhkan.

26

Ibid, hlm. 201.

Page 49: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

34

Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi, putusan provisi pada

awalnya hanya terdapat dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional

lembaga negara. Hal ini didasarkan pada Pasal 63 UU Mahkamah Konstitusi

yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan

penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk

menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan

sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi. Pada perkembangannya, putusan

sela juga dikenal dalam perkara pengujian undang - undang dan perselisihan

hasil Pemilu.

b. Putusan Ultra Petita

Di dalam hukum acara, khususnya dalam hukum acara perdata terdapat

pandangan yang oleh beberapa ahli telah dianggap sebagai salah satu prinsip

hukum acara, yaitu hakim dilarang memutus melebihi apa yang dimohonkan

(Ultra Petita). Ketentuan tersebut berdasarkan Pasal 178 ayat (2) dan ayat

(3) HIR serta Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) RBg. Dalam prakteknya MK

pernah mengeluarkan putusan ultra petita yaitu pada saat MK memutuskan

membatalkan seluruh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang

Ketenagalistrikan dan membatalkan seluruh Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan pada saat itu

banyak muncul tanggapan bahwa MK telah melanggar prinsip larangan

ultra petita.

Berdasarkan karakteristik perkara yang menjadi wewenang MK, prinsip

larangan ultra petita mungkin tidaklah dapat diterapkan untuk peradilan di

Page 50: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

35

MK. Kewenangan pengujian Undang-Undang yang dimiliki oleh MK pada

prinsipnya bersifat publik walaupun pengajuannya dapat dilakukan oleh

individu tertentu yang hak konstitusionalnya dirugikan oleh ketentuan

Undang-Undang. Hal itu sesuai dengan objek pengujiannya yaitu ketentuan

undang-undang sebagai norma yang bersifat abstrak dan mengikat secara

umum. Dalam hal pengujian undang-undang perkara yang diajukan

menyangkut kepentingan umum yang akibat hukumnya mengikat semua

orang (erga omnes).Larangan ultra petita berlaku dalam lapangan hukum

perdata karena inisiatif untuk mempertahankan atau tidak suatu hak yang

bersifat privat yang dimiliki individu tertentu terletak pada kehendak atau

pertimbangan individu itu sendiri dan akibat hukumnya hanya mengikat

pada individu tersebut, tidak mengikat individu yang lain atau

semuaorang.27

C. Sifat Putusan

Dilihat dari amar dan akibat hukumnya, putusan dapat dibedakan

menjadi tiga, yaitu declaratoir, constitutief, dan condemnatoir.28

Putusan

declaratoir adalah putusan hakim yang menyatakan apa yang menjadi

hukum. Misalnya pada saat hakim memutuskan pihak yang memiliki hak atas

suatu benda atau menyatakan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan

hukum.

27

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah

Konstitusi, Cetakan Pertama, Jakarta,2010, hal.53. 28

Rezky Pratiwi, Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/Puu-Xi/2013

Tentang Sifat Final Dan Mengikat Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (Dkpp),

Hasil Penelitian Kompetitif Universitas Hasanuddin Makassar, 2016, hlm. 55.

Page 51: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

36

Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan

hukum dan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru.Sedangkan putusan

condemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman tergugat atau

termohon untuk melakukan suatu prestasi. Misalnya, putusan yang

menghukum tergugat membayar sejumlah uang ganti rugi.

Secara umum putusan Mahkamah Konstitusi bersifat declaratoir dan

constitutief. Putusan Mahkamah Konstitusi berisi pernyataan apa yang

menjadi hukumnya dan sekaligus dapat meniadakan keadaan hukum dan

menciptakan keadaan hukum baru. Dalam perkara pengujian undang -

undang, putusan yang mengabulkan bersifat declaratoir karena menyatakan

apa yang menjadi hukum dari suatu norma undang - undang, yaitu

bertentangan dengan UUD NRI 1945. Pada saat yang bersamaan, putusan

tersebut meniadakan keadaan hukum berdasarkan norma yang dibatalkan dan

menciptakan keadaan hukum baru.

Menurut Maruarar Siahaan, putusan Mahkamah Konstitusi yang

mungkin memiliki sifat condemnatoir adalah dalam perkara sengketa

kewenangan konstitusional lembaga negara, yaitu memberi hukuman kepada

pihak termohon untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dalam Pasal

64 Ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dalam hal

permohonan dikabulkan untuk perkara sengketa kewenangan konstitusional

lembaga negara, Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas bahwa

Page 52: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

37

termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan

yang dipersengketakan.29

D. Pengambilan keputusan

Dalam hal pengambilan keputusan, putusan diambil dalam rapat

permusyawaratan hakim (RPH). Dalam proses pengambilan putusan, setiap

Hakim Konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis

terhadap permohonan.30

Putusan harus diupayakan semaksimal mungkin

diambil dengan cara musyawarah untuk mufakat.31

Apabila tidak dapat

dicapai mufakat, musyawarah ditunda sampai RPH berikutnya.32

Apabila tetap

tidak dapat dicapai mufakat, putusan diambil berdasarkan suara terbanyak.33

Di dalam Penjelasan Pasal 5 Ayat (5) UU No. 24 Tahun 2003 ditentukan

bahwa dalam sidang permusyawaratan pengambilan putusan tidak ada suara

abstain.

RPH pengambilan putusan adalah bagian dari proses memeriksa,

mengadili, dan memutus perkara. Oleh karena itu RPH harus diikuti ke 9

hakim konstitusi, kecuali dalam kondisi luar biasa putusan dapat diambil oleh

7 hakim konstitusi. Perihal kondisi luar biasa, tidak ada penjelasan apa yang

dimaksud dengan frase tersebut. Secara wajar, tentu yang dimaksud kondisi

luar biasa adalah halangan yang tidak dapat dihindari yang menyebabkan

29

Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), Hlm.

240. 30

Pasal 45 Ayat (5) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 31

Pasal 45 Ayat (4) dan Ayat (7) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 32

Pasal 45 Ayat (6) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 33

Pasal 45 Ayat (7) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Page 53: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

38

seorang hakim konstitusi tidak dapat menghadiri RPH, misalnya karena

alasan sakit.

Dalam kondisi luar biasa tersebut, dimungkinkan putusan diambil oleh 8

atau 7 orang hakim konstitusi.Pada saat diikuti oleh 8 orang hakim konstitusi,

dan putusan tidak dapat diambil secara mufakat, terdapat kemungkinan

perbandingan suara dalam pengambilan putusan adalah 4 berbanding

4.Misalnya dalam perkara permohonan pengujian undang - undang terdapat 4

hakim konstitusi mengabulkan dan 4 hakim konstitusi menolak atau tidak

menerima. Pada kasus seperti ini dalam ketentuan Pasal 45 Ayat (8) UU No.

24 Tahun 2003 menyatakan bahwa suara ketua sidang pleno hakim konstitusi.

Dengan demikian, pada saat komposisi perbandingan suara sama banyak,

suara ketua sidang yang akan menentukan putusan Mahkamah Konstitusi.

Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak

selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.Hal ini

merupakan konsekuensi dari sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang

ditentukan oleh UUD NRI 1945.Dengan demikian setelah putusan dibacakan,

Mahkamah Konstitusi wajib mengirimkan salinan putusan kepada para pihak

dalam jangka waktu paling lambat 7 hari kerja sejak putusan diucapkan.

E. Isi Putusan

Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara harus didasarkan pada

UUD NRI 1945 dengan berpegang pada alat bukti dan keyakinan masing -

masing hakim konstitusi.34

Alat bukti yang dimaksud sekurang - kurangnya 2

34

Pasal 45 Ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamh Konstitusi.

Page 54: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

39

(dua) seperti hakim dalam memutus perkara tindak pidana.Dalam putusan

Mahkamah Konstitusi harus memuat fakta yang terungkap dalam persidangan

dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan apakah putusannya

menolak permohonan (Ontzigd), permohonan tidak diterima (Niet Ontvakelijk

Verklaard) atau permohonan dikabulkan.

Pertama, Permohonan Ditolak (Ontzigd), yakni apabila permohonan

tidak beralasan. Dalam hal ini undang-undang yang dimohonkan untuk diuji

tidak bertentang dengan UUD NRI 1945 baik mengenai pembentukannya

maupun materinya baik sebagian atau keseluruhannya, sehingga amar putusan

Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan ditolak.35

Kedua, Permohonan Tidak Diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard)

dimana permohonan dianggap melawan hukum dan tidak berdasarkan

hukum.Dalam artian permohonan pemohon tidak memenuhi syarat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan 51 UU Mahkamah

Konstitusi.Pasal 50 berbunyi “undangundang yang dapat dimohonkan untuk

diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD

1945”. Kendati demikian pasal tersebut telah dinyatakan tidak lagi

mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi

berdasarkan putusannya atas perkara No. 066/PUU-II/2004 yang diucapkan

tanggal 12 April 2005, Mahkamah Konstitusi telah mengambil keputusan

35

Rezky Pratiwi, Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/Puu-Xi/2013

Tentang Sifat Final Dan Mengikat Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (Dkpp),

Hasil Penelitian Kompetitif Universitas Hasanuddin Makassar, 2016, Hlm. 19

Page 55: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

40

mengenai hal ini karena Pasal 50 turut dimohonkan untuk diuji.36

Sedang

Pasal 51 mensyaratkan pemohon adalah pihak menganggap hak dan/atau

kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang

dengan kualifikasi pemohon sebagai berikut:

i. perorangan warga negara indonesia,

ii. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RI,

iii. badan hukum publik atau privat, dan

iv. lembaga negara.

Pasal 51 juga mewajibkan pemohon menguraikan dengan jelas dalam

permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dan

menguraikan bahwa pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan

UUD 1945 atau materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian

undangundang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Ketiga, Permohonan Dikabulkan, yang berarti dikabulkannya permohonan

pemohon. Putusan ini wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu

paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan. Putusan

Mahkamah Konstitusi yang putusannya menyatakan materi muatan ayat, pasal

dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, maupun

pembentukan undang-undang yang diuji tersebut bertentangan dengan UUD

1945, maka amar putusan menyatakan materi muatan ayat, pasal dan/atau

36

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Yarsif

Watampone,2005). hlm. 318

Page 56: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

41

bagian undang-undang, ataupun undang-undang tersebut tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat..

Keluarnya putusan terhadap suatu permohonan tidak menutup peluang

untuk permohonan diajukan kembali kendati Mahkamah Konstitusi menganut

asas ne bis in idem. Sebagaimana pada Pasal 60 Undang-undang tentang

Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan:

“Terhadap materi muatan ayat, Pasal, dan/atau bagian dalam undang-

undang yang telah diuji, tidak dapat di mohonkan kembali”

Jelas pasal ini menganut asas ne bis in idem, namun pemberlakuan asas

tersebut diartikan lebih lanjut dalam Pasal 42 Peraturan Mahkamah Konstitusi

Nomor 06/PMK/2005, bahwa:

“Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU

terhadap muatan ayat, Pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang

pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan

syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang

bersangkutan berbeda.”

Sehingga berbeda dengan pemberlakuannya di lingkungan peradilan

umum, asas ne bis in idem di Mahkamah Konstitusi diberlakukan secara

khusus dimana permohonan yang telah diuji dapat diajukan kembali dengan

orang yang sama, namun dengan dalil yang berbeda dari sebelumnya.

Page 57: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

42

Putusan yang telah dicapai dalam RPH dapat diucapkan dalam sidang

pleno pengucapan putusan hari itu juga, atau dapat ditunda pada hari lain.

Jadwal sidang pengucapan putusan harus diberitahukan kepada para

pihak.37

Putusan ditandatangani oleh hakim yang memeriksa, mengadili, dan

memutus, serta oleh panitera.

Mahkamah Konstitusi memberi putusan Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus

memuat:38

a. Kepala putusan yang berbunyi: “DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;

b. Identitas pihak, dalam hal ini terutama adalah identitas pemohon

dan termohon (jika dalam perkara dimaksud terdapat pihak

termohon), baik prinsipal maupun kuasa hukum;

c. Ringkasan permohonan;

d. Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;

e. Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;

f. Amar putusan; dan

g. Hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.

Selain bagian - bagian di atas, Pasal 45 Ayat (10) UU No. 24 Tahun 2003

mengamanatkan bahwa pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda

dimuat dalam putusan. Pendapat berbeda memang mungkin, dan dalam

37

Pasal 45 Ayat (9) dan Ayat (10) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 38

Pasal 48 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Page 58: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

43

praktik sering terjadi, karena putusan dapat diambil dengan suara terbanyak

jika musyarawah tidak dapat mencapai mufakat.Pendapat berbeda dapat

dibedakan menjadi dua jenis, yaitu (1) dissenting opinion; dan (2) concurent

opinion atau consenting opinion.Dissenting opinion adalah pendapat berbeda

dari sisi substansi yang memengaruhi perbedaan amar putusan.Sedangkan

concurent opinion adalah pendapat berbeda yang tidak memengaruhi amar

putusan.39

Perbedaan dalam concurent opinion adalah perbedaan

pertimbangan hukum yang mendasari amar putusan yang sama.

Concurent opinion karena isinya berupa pertimbangan yang berbeda

dengan amar yang sama tidak selalu harus ditempatkan secara terpisah dari

hakim mayoritas, tetapi dapat saja dijadikan satu dalam pertimbangan hukum

yang memperkuat amar putusan. Sedangkan dissenting opinion, sebagai

pendapat berbeda yang memengaruhi amar putusan harus dituangkan dalam

putusan.Dissenting opinion merupakan salah satu bentuk pertanggung

jawaban moral hakim konstitusi yang berbeda pendapat serta wujud

transparansi agar masyarakat mengetahui seluruh pertimbangan hukum

putusan Mahkamah Konstitusi.

Adanya dissenting opinion tidak memengaruhi kekuatan hukum putusan

Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi yang diambil secara

mufakat oleh 9 hakim konstitusi tanpa perbedaan pendapat memiliki kekuatan

yang sama, tidak kurang dan tidak lebih, dengan putusan Mahkamah

39

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang - Undang, (Jakarta: Sekertariat

Jenderal dan Kepeaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2005) Hlm. 289 - 291.

Page 59: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

44

Konstitusi yang diambil dengan suara terbanyak dengan komposisi 5

berbanding 4.

Dalam praktik putusan Mahkamah Konstitusi, penempatan dissenting

opinion mengalami beberapa perubahan.Pertama kali, dissenting opinion

ditempatkan pada bagian pertimbangan hukum Mahkamah setelah

pertimbangan hukum mayoritas, baru diikuti dengan amar putusan.40

Pada

perkembangannya, penempatan demikian dipandang akan membingungkan

masyarakat yang membaca putusan karena setelah membaca dissenting

opinion baru membaca amar putusan yang tentu saja bertolak belakang.

Terlebih lagi apabila dissenting opinion tersebut cukup banyak sebanding

dengan pertimbangan hukum hakim mayoritas.

Oleh karena itu penempatan dissenting opinion tersebut kembali diubah,

yaitu setelah amar putusan tetapi sebelum bagian penutup dan tanda tangan

hakim konstituti serta panitera pengganti. Saat ini, dissenting opinion

ditempatkan setelah penutup dan tanda tangan hakim konstitusi namun

sebelum nama dan tanda tangan panitera pengganti.

F. SyaratdariPutusanMahkamahKonstitusi

SyaratbentukdanisiputusanMahkamahKonstitusidiaturdalampasal 48

undang-undangMahkamahKonstitusiadalahsebagaiberikut.41

40

Mursyid Surya Candra, Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/Puu-

X/2012 Tentang Perbankan Syariah, Hasil Penelitian Kompetitif Universitas Hasanuddin

Makassar, 2015, Hlm. 25 41

Undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Page 60: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

45

1) Kepala putusan yang berbunyi Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yang MahaEsa.

2) Identita spihak.

3) Ringkasan permohonan.

4) Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan.

5) Amar putusan.

6) Hari dan tanggal putusan, nama dan tandat angan hakim konstitusi serta

panitera

7) Pendapat berbeda dari hakim.

Page 61: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

46

BAB IV

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO 46/PUU-XIV/2016 TENTANG

LGBT DAN KUMPUL KEBO

A. Dasar Putusan Mahkamah Konstitusi Menolak Permohonan Uji Materi

Pasal 284, 285, Dan 292 Dalam Putusan No 46/PUU_XIV/2016 Tentang

LGBT Dan Kumpul Kebo.

Pada tahun 2016, Mahkamah Konstitusi (MK) menerima dan

memeriksa Perkara Nomor: 46/PUU-XIV/2016 Permohonan Pengujian Pasal

284, Pasal 285 dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Terhadap UUD 1945, yang diajukan oleh Guru Besar IPB Bogor Prof. Dr.

Euis Sunarti, dkk. Dalam permohonan tersebut, khususnya Pasal 284

(Tentang Zina) dan Pasal 292 (Larangan perbuatan cabul sesama jenis dengan

anak), pemohon meminta agar MK memutus pasal-pasal tersebut tidak

berlaku sepanjang tidak dimaknai perluasan Zina untuk Pasal 284, yakni tidak

perlu ada unsur salah satu orang yang berbuat Zina sedang dalam ikatan

perkawinan dan tidak perlu ada aduan. Serta untuk Pasal 292, Pemohon

meminta dihapuskannya frasa “anak” sehingga semua jenis perbuatan cabul

“sesama jenis” dapat dipidana.42

Adapun dasar penolakan MK dalam putusan

tersebut dapat dilihat dari :

a) Aspek Rasionalitas

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memastikan apabila

permohonan ini dikabulkan oleh MK khususnya terkait Pasal 284 dan Pasal

42

Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU_XIV/2016, hlm. 8.

Page 62: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

47

292, maka Indonesia akan berpotensi besar menghadapi krisis kelebihan

kriminalisasi (the crisis of over criminalization), yaitu banyaknya atau

melimpahnya perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, khususnya dalam

tindak pidana Kesusilaan.

Pasal 284 didasarkan pada pondasi mengenai adanya kepentingan

negara dalam menjamin lembaga perkawinan yang diatur oleh Negara sendiri.

Poin kunci yang perlu diingat adalah “Zina” dalam konteks Pasal 284 berbeda

dengan “Zina” yang ada dalam agama atau pemahaman sederhana dalam

moral sosial, dalam bahasa belanda, Zina yang disebut overspel. Pidana Zina

tidak maksudkan untuk menjerat pelaku lajang, hal ini terlihat dari batasan

yang ada dalam Pasal 284, yaitu adanya delik aduan yang sangat ketat hanya

diberikan pada pasangan yang “dihianati” dan pelakunya terikat dalam

lembaga perkawinan.43

Filosofisnya sangat sederhana, sebab bagi mereka

yang lajang, tidak ada konsekuensi atau dampak dari melakukan hubungan

terhadap orang lain atau ketentuan yang diatur negara, berbeda dengan

mereka yang terikat perkawinan. Di Indonesia, pemahaman ini sudah sangat

jelas dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). BPHN

menerjemahkan overspel menjadi “gendak” (lihat KUHP versi

BPHN).Alasannya adalah supaya Zina dalam KUHP tidak dipahami

sesederhana Zina dalam pengertian Agama atau moral sosial, namun lebih

pada perbuatan “perselingkuhan atau hubungan gelap (gendak)”.

43

ICJR, Upaya Mencegah Overkriminalisasi Tindak Pidana Kesusilaan di Indonesia,

(Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2017) hlm. iii.

Page 63: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

48

Selanjutnya, Zina adalah delik aduan Hal ini dapat dilihat dari Memorie

van Toelichting (MvT) pembahasan KUHP belanda. Adanya delik aduan

dikarenakan pertimbangan ikut campurnya alat-alat negara akan

mendatangkan kerugian yang lebih besar bagi kepentingan tertentu dari orang

yang secara nyata telah dirugikan oleh suatu perbuatan (zina), dibandingkan

tidak adanya ikut campur negara dalam kasus tersebut. Selain, adanya

pemikiran bahwa apabila seseorang yang merupakan pasangan orang yang

berzina, tidak memiliki keinginan untuk bercerai atau mengajukan gugatan

perceraian atas perbuatan zina tersebut, maka tidak ada alasan dan dasar yang

kuat untuk memberikan kewenangan kepada dirinya meminta negara

sekalipun untuk melakukan penuntutan menurut hukum pidana, itulah alasan

dibalik adanya delik aduan yang secara ekslusif hanya diberikan pada

pasangan orang yang melakukan Zina.

Jika permohonan Pemohon terkait perluasan cakupan Pasal 284

dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka kita juga harus menghadapi

risiko reviktimisasi bagi perempuan korban kekerasan seksual yang tidak bisa

memenuhi tuntutan pembuktian sesuai KUHP dan KUHAP yang berlaku.

Para korban kekerasan seksual ini dapat dipidanakan sebagai zina di luar

perkawinan dalam konteks dimana sasaran penghukuman adalah kedua belah

pihak yang diputuskan sebagai pelakuzina.

Sama halnya dengan pasal 284, pasal 292 KUHP memiliki dasar

filosofis yang sangat kuat. Secara a-contrario delik ini tidak dimaksudkan

menjerat hubungan seks sesama jenis kelamin yang dilakukan oleh orang

Page 64: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

49

yang sudah dewasa, sebab pidana dalam hal hubungan seks sesama jenis

dilakukan terhadap orang lain belum dewasa (anak). Alasannya, sebab orang

dewasa dianggap sudah mampu mengambil putusan dalam konteks privat,

sehingga apapun hal yang dilakukan oleh orang dewasa, sepanjang tidak

merugikan orang lain, dianggap merupakan bagian privasi dari orang dewasa

tersebut.Anak dianggap sebagai seseorang yang tidak mampu memberikan

persetujuan (non competent consent). Titik tekan pasal 292 menurut pakar

hukum pidana, Simons adalah untuk menjamin orang dewasa tidak berbuat

cabul dengan anak, dengan alasan apapun, bahkan apabila yang membujuk

rayu adalah anak, atau bahkan apabila orang dewasa tersebut bersifat pasif.

Dasar adanya unsur “sesama jenis” dalam pasal 292 tersebut bertujuan

untuk menjamin perluasan perbuatan cabul pada anak.Penggunaan istilah

“sesama jenis”, menghindarkan konteks hubungan seksual terbatas pada

perbuatan-perbuatan yang lazim dilakukan dalam hubungan

heteroseksual.Sehingga pasal 292 ini dimaksudkan untuk melindungi anak

dari semua tindakan cabul yang dilakukan oleh orang dewasa. Dalam banyak

anggapan awam, bahwa perubahan Pasal 292 juga ditujukan untuk

melindungi orang dewasa yang “dicabuli” oleh pelaku sesama jenis, namun

tampaknya mereka yang berpandangan seperti ini lupa membaca Pasal 289

KUHP, yang sudah memberikan perlindungan yang melingkupi laki-laki

maupun perempuan dewasa yang mengalami tindak pidana pencabulan

dengan kekerasan atau ancaman kekerasan baik berlainan jenis kelamin atau

sesama jenis kelamin.

Page 65: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

50

Perluasan delik kesusilaan zina ini akan berakibat pada tingginya angka

penghukuman dan memperbesar jumlah pelaku tindak pidana. Ini akan

berimbas langsung kepada kewajiban Negara terkait kebijakan penal,

memperbanyak fasilitas dalam proses pengadilan, penegakan hukum dan

Lapas. kondisi ini juga akan mengakibatkan berubahnya prioritas kebijakan

kriminal Indonesia.44

Prioritas pemerintah akan terpecah dalam memerangi

kejahatan yang menjadi prioritas misalnya korupsi, gembong narkotika,

terorisme dan kejahatan terorganisir lainnya. Padahal pada saat ini saja

Indonesia sudah kewalahan menghadapi jenis-jenis kejahatan tersebut. Fokus

ini akan terpecah dengan adanya pekerjaan tambahan negara mengurusi

pasal-pasal kesusilaan warga negara yang sesungguhnya bukan menjadi

prioritas negara saat ini.

Dengan kebijakan pidana yang ingin memperluas tindak pidana

kesusilaan maka Negara akan masuk terlalu jauh dalam mengontrol hak yang

sangat privasi warga negara. Negara akan sangat mudah untuk

mencampuradukkan persoalan yang bersifat privat dan personal dengan

urusan yang bersifat publik. Hal ini justru mengingkari kedudukan hukum

pidana sebagai upaya terakhir untuk menyelesaikan masalah hukum (ultimum

remedium). Dengan kata lain, tidak akan ada lagi penghormatan akan hak atas

privasi warga negara, sebab atas nama hukum pidana, negara akan sangat

bebas untuk mencampuri urusan privat warga negaranya. Maka bisa

44

ICJR, Upaya Mencegah Overkriminalisasi Tindak Pidana Kesusilaan di Indonesia,

(Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2017) hlm. iv.

Page 66: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

51

dibayangkan, Polisi akan semakin represif dan memiliki kewenangan begitu

besar untuk masuk ke ranah privat warga Negara.

b) Aspek Yuridis

Sebagaimana secara tegas termuat dalam Petitum Permohonannya, pada

intinya adalah meminta Mahkamah untuk memperluas cakupan atau ruang

lingkup, bahkan mengubah, jenis-jenis perbuatan yang dapat dipidana dalam

pasal-pasal KUHP yang dimohonkan pengujian karena, menurut para

Pemohon, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat,

sementara jika menunggu proses legislasi yang sedang berlangsung saat ini

tidak dapat dipastikan kapan akan berakhir. Dengan kata lain, para Pemohon

meminta Mahkamah untuk melakukan kebijakan pidana (criminal policy)

dalam pengertian merumuskan perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan

perbuatan yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana (delict), yaitu:

a. Zina, sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP, akan menjadi

mencakup seluruh perbuatan persetubuhan antara laki-laki dan

perempuan yang tidak terikat dalam suatu ikatan perkawinan

yangsah;

b. Pemerkosaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP, akan

menjadi mencakup semua kekerasan atau ancaman kekerasan untuk

bersetubuh, baik yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan

maupun yang dilakukan oleh perempuan terhadaplaki-laki;

c. Perbuatan cabul, sebagaimana diatur dalam Pasal 292 KUHP, akan

menjadi mencakup setiap perbuatan cabul oleh setiap orang dengan

Page 67: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

52

orang dari jenis kelamin yang sama, bukan hanya terhadap anak di

bawahumur;

Dengan demikian, apabila ditelaah lebih jauh berarti para Pemohon

memohon agar Mahkamah bukan lagi sekadar memperluas ruang lingkup

perbuatan atau tindakan yang sebelumnya bukan merupakan perbuatan pidana

atau tindak pidana tetapi juga mengubah sejumlah hal pokok atau prinsip

dalam hukum pidana, bahkan merumuskan tindak pidana baru. Sebab, dengan

permohonan demikian secara implisit Pemohon memohon agar Mahkamah

mengubah rumusan delik yang terdapat dalam pasal-pasal KUHP yang

dimohonkan pengujian sehingga dengan sendirinya bukan hanya akan

mengubah kualifikasi perbuatan yang dapat dipidana tetapi juga kualifikasi

subjek atau orang yang dapat diancam pidana karena melakukan perbuatan

tersebut. Hal itu lebih jauh juga berarti akan mengubah konsep-konsep

mendasar yang berkenaan dengan suatu perbuatan pidana atau tindak pidana,

sebagaimana diuraikan di bawahini:

1. Pasal 284 KUHP (terjemahan R. Soesilo) yang selengkapnyaberbunyi;

A. Dihukum penjara selama-lamanya sembilanbulan:

1e. a. laki-laki yang beristri, berbuat zina, sedangkan diketahuinya, bahwa

Pasal 27 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Sipil) berlaku

padanya;

b. perempuan yang bersuami, berbuat zina;

2e. a. laki-laki yang turut melakukan perbuatan itu, sedang diketahuinya,

Page 68: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

53

bahwa kawannya itu bersuami;

b. perempuan yang tiada bersuami yang turut melakukan perbuatan itu,

sedang diketahuinya, bahwa kawannya itu beristri dan Pasal 27 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata (Sipil) berlaku pada kawannya itu.

B. Penuntutan hanya dapat dilakukan atas pengaduan suami (istri) yang

mendapat malu dan jika pada suami (istri) itu berlaku Pasal 27 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata (Sipil) dalam tempo 3 bulan sesudah

pengaduan itu, diikuti dengan permintaan akan bercerai atau bercerai

tempat tidur dan meja makan (scheiding van tafel en bed) oleh

perbuatan itujuga.

C. Tentang pengaduan ini Pasal 72, 73 dan 75 tidakberlaku.

D. Pengaduan itu boleh dicabut selama pemeriksaan di muka sidang

pengadilan belumdimulai.

E. Kalau bagi suami dan istri itu berlaku Pasal 27 Kitab Undang-undang

Hukum Perdata (Sipil) maka pengaduan itu tidak diindahkan,

sebelumnya mereka itu bercerai, atau sebelum keputusan hakim

tentang perceraian tempat tidur dan meja makan mendapat ketetapan.

Oleh para Pemohon dimohonkan agar:

- Pasal 284 ayat (1) angka 1e. huruf a KUHP dimaknai “laki-laki

berbuat zina”;

- Pasal 284 ayat (1) angka 1e. huruf b KUHP dimaknai “seorang

perempuan berbuatzina”;

Page 69: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

54

- Pasal 284 ayat (1) angka 2e. huruf a KUHP dimaknai “laki-laki yang

turut melakukan perbuatanitu”;

- Pasal 284 ayat (1) angka 2e. huruf b KUHP dimaknai “perempuan

yang turut melakukan perbuatanitu”;

- Pasal 284 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) KUHP dinyatakan

bertentangan dengan UUD 1945, yang artinyadihapuskan.

Dengan permohonan demikian, jika dikabulkan maka:

- Dalam konteks Pasal 284 ayat (1) angka 1e huruf a KUHP, yang oleh

para Pemohon dimohonkan untuk dimaknai “laki-laki berbuat zina”

maka yang akan terjadiadalah:

a. pelaku perbuatan yang dapat dipidana yang semula adalah laki-laki

yang beristri dan baginya berlaku Pasal 27 Kitab Undang-undang

Hukum Perdata berubah menjadi semua laki-laki tanpa kecuali,

termasuk jika ia belum cukup umur atau masihanak-anak;

b. sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dalam perbuatan yang

diancam pidana dalam norma ini juga berubah. Sebagaimana diketahui,

“melawan hukum” adalah salah satu elemen dari perbuatan pidana di

samping elemen “memenuhi unsur delik” dan elemen “dapat dicela”.

Oleh karena itu, terlepas dari perdebatan apakah perlu dicantumkan

secara tegas atau tidak dalam rumusan delik, elemen melawan hukum

itu harus ada. Sebab tidak mungkin suatu perbuatan dapat dipidana

(strafbaar) jika perbuatan itu tidak melawan hukum. Dalam konteks

Page 70: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

55

permohonan para Pemohon a quo, maka sifat melawan hukum umum

(general ewederre chtelij kheid)dalam Pasal 284 ayat (1) angka 1e.

huruf a KUHP itu berubah: semula dipersyaratkan laki-laki itu harus

beristri, yang secara implisit berarti sudah dewasa, dan tunduk pada

Pasal 27 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menjadi tidak harus

beristri dan tidak harus tunduk pada Pasal 27 Kitab Undang-undang

Hukum Perdata dan tidak harus sudah dewasa.

Dengan kata lain, semula jika perbuatan sebagaimana dirumuskan

dalam Pasal 284 ayat (1) angka 1e. huruf a KUHP itu dilakukan oleh

seorang laki-laki yang tidak beristri, apalagi masihanak-anak atau

belum dewasa,dan tidak tunduk padaPasal 27 Kitab Undang-undang

Hukum Perdata, tidak dianggap sebagai perbuatan melawan hukum,

berubah menjadi melawan hukum. Konsekuensinya, kalau semula

penuntut umum harus membuktikan dalam dakwaannya bahwa laki-

laki yang bersangkutan sudah beristri, yang artinya sudah dewasa,

dan tunduk pada Pasal 27 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

berubah menjadi tidak perlu lagi membuktikan semua hal itu;

c. alasan penghapusan pidana pun berubah, dalam hal ini alasan

penghapus pidana yang bersifat khusus. Semula, jika seorang laki- laki

yang meskipun terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 284 ayat (1) angka 1e. huruf a KUHP itu namun ternyata

ia tidak beristri dan tidak tunduk pada Pasal 27 Kitab Undang-undang

Hukum Perdata, lebih-lebih jika masih anak-anak atau belum dewasa,

Page 71: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

56

maka laki-laki itu harus dilepaskan dari tuntutan hukum karena

perbuatan itu bukan perbuatan pidana, berubah menjadi dipidana

karena hilangnya syarat beristri dan syarat tunduk pada Pasal 27 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata.

c) Aspek Sosiologis

Dengan seluruh pertimbangan berkenaan dengan Pasal 284,

Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP di atas maka telah nyata bahwa,

secara substansial, permohonan para Pemohon bukan lagi sekadar

memohon kepada Mahkamah untuk memberi pemaknaan tertentu

terhadap norma undang-undang yang dimohonkan, bahkan bukan

pula sekadar memperluas pengertian yang terkandung dalam norma

undang-undang yang dimohonkan pengujian itu, melainkan benar-

benar merumuskan tindak pidana baru; sesuatu yang hanya

pembentuk undang-undang yang berwenang melakukannya.

Argumentasi bahwa proses pembentukan undang-undang memakan

waktu lama tidak dapat dijadikan alasan pembenar bagi Mahkamah

untuk mengambil-alih wewenang pembentuk undang-undang. Lagi

pula, menghilangkan frasa tertentu dan/atau menambahkan

pemaknaan baru terhadap suatu norma hukum pidana, yang berarti

mengubah pula sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid)

perbuatan itu, tanpa melakukan perubahan atau penyesuaian dalam

ancaman pidana (strafmaat)-nya dan bentuk pengenaan pidana

(stafmodus)-nya tidaklah dapat diterima oleh penalaran hukum dalam

Page 72: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

57

merancang suatu norma hukum pidana karena hal itu melekat pada

jenis atau kualifikasi perbuatan yang dapat dipidana atau tindak

pidana (strafbaarfeit) yang bersangkutan.45

Bahwa dengan seluruh pertimbangan di atas bukanlah berarti

MK menolak gagasan “pembaruan” para Pemohon sebagaimana

tercermin dalam dalil-dalil permohonannya. Bukan pula berarti MK

berpendapat bahwa norma hukum pidana yang ada dalam KUHP,

khususnya yang dimohonkan pengujian dalam Permohonan tersebut,

sudah lengkap. MK hanya menyatakan bahwa norma pasal-pasal

dalam KUHP yang dimohonkan pengujian dalam permohonan tidak

bertentangan dengan UUD1945. Perihal perlu atau tidaknya

dilengkapi, hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk

undang-undang melalui kebijakan pidana (criminal policy)-nya yang

merupakan bagian dari politik hukum pidana.46

Oleh karena itu,

gagasan pembaruan yang ditawarkan para Pemohon seharusnya

diajukan kepada pembentuk undang-undang dan hal tersebut

seharusnya menjadi masukan penting bagi pembentuk undang-

undang dalam proses penyelesaian perumusan KUHP yang baru.

45

Putusan mahkamah konstitusi no 46/PUU_XIV/2016, hlm. 439. 46

Ibid, hlm. 453.

Page 73: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

58

B. Putusan No 46/PUU_XIV/2016 Berdasarkan Kewenangan Mahkamah

Konstitusi.

Perubahan UUD 1945 telah membentuk sebuah lembaga baru yang

berfungsi mengawal konstitusi yaitu Mahkamah Konstitusi, selanjutnya

disebut “MK”, sebagaimana tertuang dalam Pasal 7B, Pasal 24 ayat (1) dan

ayat (2), serta Pasal 24C UUD 1945 dan diatur lebih lanjut dalam Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 5266), selanjutnya disebut “UU MK”.

Bahwa salah satu kewenangan yang dimiliki oleh MK adalah

melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi sebagaimana diatur

dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang

Dasar...”47

Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK menyatakan,

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk: menguji undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

....”Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

47

Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2012), hlm. 11

Page 74: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

59

Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor157,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076), selanjutnya disebut “UU KK”

menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji

undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945”48

Bahwa mengacu kepada ketentuan tersebut di atas, MK berwenang

untuk melakukan pengujian konstitusionalitas suatu Undang-Undang

terhadap UUD1945.Sebenarnya sebelum berdirinya Mahkamah Konstitusi

untuk menguji suatu undang-undang khususnya menguji KUHP sudah

diberikan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, khususnya dalam

Pasal 5- nya. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 berbunyi bahwa

peraturan-peraturan hukum pidana yang seluruhnya atau sebagian tidak dapat

dijalankan lagi atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia

sebagai negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi harus dianggap

seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku. Inti sari dari Pasal 5

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 adalah sebagai batu penguji, apakah

suatu ketentuan dalam KUHP masih layak dipertahankan atau tidak? Jadi

pasal ini mempunyai makna dan fungsi sebagai alat untuk menilai kembali,

menguji kembali ketentuan KUHP yang tidak sesuai lagi dengan keadaan

sekarang.Dengan demikian apabila ketentuan dalam KUHP itu bertentangan

48

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Page 75: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

60

dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, maka ketentuan

tersebut dianggap tidakberlaku.49

Dengan permohonan demikian, jika dikabulkan maka:

Dalam konteks Pasal 284 ayat (1) angka 1e huruf a KUHP, yang oleh

para Pemohon dimohonkan untuk dimaknai “laki-laki berbuat zina” maka

yang akan terjadiadalah:

a. pelaku perbuatan yang dapat dipidana yang semula adalah laki-laki

yang beristri dan baginya berlaku Pasal 27 Kitab Undang-undang

Hukum Perdata berubah menjadi semua laki-laki tanpa kecuali,

termasuk jika ia belum cukup umur atau masihanak-anak;

b. sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dalam perbuatan yang

diancam pidana dalam norma ini juga berubah. Sebagaimana diketahui,

“melawan hukum” adalah salah satu elemen dari perbuatan pidana di

samping elemen “memenuhi unsur delik” dan elemen “dapat dicela”.

Oleh karena itu, terlepas dari perdebatan apakah perlu dicantumkan

secara tegas atau tidak dalam rumusan delik, elemen melawan hukum

itu harus ada. Sebab tidak mungkin suatu perbuatan dapat dipidana

(strafbaar) jika perbuatan itu tidak melawan hukum.

Dalam konteks permohonan para Pemohon a quo, maka sifat

melawanhukumumum(generalewederrechtelijkheid)dalamPasal284

ayat (1) angka 1e. huruf a KUHP itu berubah: semula dipersyaratkan

49

Putusan mahkamah konstitusi no 46/PUU_XIV/2016, hlm. 439.

Page 76: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

61

laki-laki itu harus beristri, yang secara implisit berarti sudah dewasa,

dan tunduk pada Pasal 27 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

menjadi tidak harus beristri dan tidak harus tunduk pada Pasal 27 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata dan tidak harus sudah dewasa. Dengan

kata lain, semula jika perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal

284 ayat (1) angka 1e. huruf a KUHP itu dilakukan oleh seorang laki-

laki yang tidak beristri, apalagi masih anak-anak atau belum dewasa,

dan tidak tunduk pada Pasal 27 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,

tidak dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, berubah menjadi

melawan hukum. Konsekuensinya, kalau semula penuntut umum harus

membuktikan dalam dakwaannya bahwa laki-laki yang bersangkutan

sudah beristri, yang artinya sudah dewasa, dan tunduk pada Pasal

27 KitabUndang-undang Hukum Perdata berubah menjadi tidak perlu

lagi membuktikan semua hal itu;

c. alasan penghapusan pidana pun berubah, dalam hal ini alasan

penghapus pidana yang bersifat khusus. Semula, jika seorang laki- laki

yang meskipun terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 284 ayat (1) angka 1e. huruf a KUHP itu namun ternyata ia

tidak beristri dan tidak tunduk pada Pasal 27 Kitab Undang-undang

Hukum Perdata, lebih-lebih jika masih anak-anak atau belum dewasa,

maka laki-laki itu harus dilepaskan dari tuntutan hukum karena

perbuatan itu bukan perbuatan pidana, berubah menjadi dipidana karena

Page 77: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

62

hilangnya syarat beristri dan syarat tunduk pada Pasal 27 Kitab

Undang-undang HukumPerdata.

- Dalam konteks Pasal 284 ayat (1) angka 1e huruf b KUHP, yang oleh

para Pemohon dimohonkan untuk dimaknai “seorang perempuan

berbuat zina” maka keadaan yang serupa dengan uraian di atas akan

terjadi kepada seorang perempuan, yaitu:

a. pelaku perbuatan yang dapat dipidana berubah, semula adalah

seorang perempuan yang bersuami, yang secara implisit berarti sudah

dewasa, menjadi hanya seorang perempuan, termasuk perempuan

yang belum dewasa atau masihanak-anak;

b. sifat melawan hukum perbuatan itu juga berubah, semula jika

perbuatan itu dilakukan oleh seorang perempuan yang tidak

bersuami, yang secara implisit termasuk pula perempuan yang belum

dewasa, maka hal itu tidak dianggap sebagai perbuatan melawan

hukum, berubah menjadi melawan hukum kendatipun perbuatan itu

dilakukan oleh seorang perempuan yang tidak bersuami, termasuk

perempuan yang belum dewasa atau masihanak-anak;

alasan penghapus pidana juga berubah: semula jika perbuatan itu

dilakukan oleh seorang perempuan yang tidak bersuami, termasuk

perempuan yang belum dewasa atau masih anak-anak, hal itu dapat

menjadi alasan penghapus pidana yang bersifat khusus, sehingga

pelakunya harus dilepaskan dari tuntutan hukum, alasan demikian

menjadi tidak dapat lagi digunakan sehingga yangbersangkutan

Page 78: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

63

(perempuan yang tidak bersuami atau masih anak-anak) tetap harus

dipidana.

- Dalam konteks Pasal 284 ayat (1) angka 2e huruf a KUHP, yang oleh

para Pemohon dimohonkan untuk dimaknai “laki-laki yang turut

melakukan perbuatan itu” maka yang akan terjadiadalah:

a. pelaku perbuatan yang dapat dipidana berubah: semula, pelaku yang

dapat dipidana karena turut melakukan perbuatan yang oleh undang-

undang disebut sebagai perbuatan zina adalah laki-laki yang

mengetahui bahwa perempuan yang diajaknya berzina adalah

perempuan yang bersuami, berubah menjadi tidak perlu lagi adanya

pengetahuanitu;

b. sifat melawan hukum perbuatan itu juga berubah: semula, sifat

melawan hukum dianggap ada jika laki-laki yang turut serta

melakukan perbuatan itu mengetahui bahwa perempuan yang

diajaknya berzina itu adalah perempuan yang bersuami berubah

menjadi tetap dianggap melawan hukum terlepas dari persoalan

apakah si laki-laki itu mengetahui bahwa perempuan dimaksud

bersuami, bahkan juga terlepas dari persoalan apakah perempuan itu

bersuami atau tidak. Konsekuensinya, dalam proses persidangan, jika

semula penuntut umum harus membuktikan adanya pengetahuan si

laki-laki yang turut melakukan perbuatan bahwa perempuan

dimaksud adalah perempuan yang bersuami dan juga membuktikan

bahwa perempuan itu adalah bersuami, berubah menjadi tidak perlu

Page 79: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

64

lagi membuktikan hal-haltersebut;

Alasan penghapus pidana pun berubah: semula, jika ternyata

terbukti bahwa laki-laki yang turut melakukan perbuatan dimaksud

tidak tahu kalau perempuan yang diajaknya melakukan perbuatan itu

adalah bersuami atau kalau ternyata perempuan itu ternyata tidak

bersuami, hal itu dapat dijadikan alasan penghapus pidana yang

bersifat khusus sehingga laki-laki tersebut harus dilepaskan dari

tuntutan hukum, berubah menjadi tidak lagi dapat digunakan sebagai

alasan penghapus pidana sehingga laki-laki dimaksud tetap harus

dihukum.

Mahkamah melalui putusannya telah berkali-kali menyatakan

suatu norma undang-undang konstitusional bersyarat (conditionally

constitutional) ataupun inkonstitusional bersyarat (conditionally

unconstitutional) yang mempersyaratkan pemaknaan tertentu

terhadap suatu norma undang-undang untuk dapat dikatakan

konstitusional, yang artinya jika persyaratan itu tidak terpenuhi maka

norma undang-undang dimaksud adalah inkonstitusional. Namun,

ketika menyangkut norma hukum pidana, Mahkamah dituntut untuk

tidak boleh memasuki wilayah kebijakan pidana atau politik hukum

pidana (criminal policy).50

Pengujian undang-undang yang pada pokoknya berisikan

permohonan kriminalisasi maupun dekriminalisasi terhadap

50

Putusan mahkamah konstitusi no 46/PUU_XIV/2016, hlm. 446.

Page 80: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

65

perbuatan tertentu tidak dapat dilakukan oleh Mahkamah karena hal

itu merupakan salah satu bentuk pembatasan hak dan kebebasan

seseorang di mana pembatasan demikian, sesuai dengan Pasal 28J

ayat (2) UUD 1945, adalah kewenangan eksklusif pembentuk

undang-undang. Hal ini penting ditegaskan sebab sepanjang

berkenaan dengan kebijakan pidana atau politik hukum pidana, hal

itu adalah sepenuhnya berada dalam wilayah kewenangan

pembentuk undang-undang. Berbeda dengan bidang hukum lainnya,

hukum pidana dengan sanksinya yang keras yang dapat mencakup

perampasan kemerdekaan seseorang, bahkan nyawa seseorang, maka

legitimasi negara untuk merumuskan perbuatan yang dilarang dan

diancam pidana serta jenis sanksi yang diancamkan terhadap

perbuatan itu dikonstruksikan harus datang dari persetujuan rakyat,

yang dalam hal ini mewujud pada organ negara pembentuk undang-

undang (Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden yang keduanya

dipilih langsung oleh rakyat), bukan melalui putusan hakim atau

pengadilan.

Hanya dengan undang-undanglah hak dan kebebasan seseorang

dapat dibatasi.Sejalan dengan dasar pemikiran ini, Pasal 15 dan

Lampiran II, C.3. angka 117 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan

bahwa materi muatan mengenai pidana hanya dapat dimuat dalam

produk perundang- undangan yang harus mendapatkan persetujuan

Page 81: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

66

wakil rakyat di lembaga perwakilan, yaitu DPR atau DPRD, seperti

Undang-Undang dan Peraturan Daerah.

Sedangkan Mahkamah berada dalam posisi menguji apakah

pembatasan yang dilakukan dengan undang-undang itu telah sesuai

dengan Konstitusi atau justru melampaui batas-batas yang ditentukan

dalam Konstitusi.Oleh karena itu, sepanjang berkenaan dengan

hukum pidana, selama ini permohonan yang diajukan justru

memohon agar dilakukan dekriminalisasi terhadap suatu perbuatan

yang diatur dalam undang-undang karena dinilai bertentangan dengan

hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara sehingga

harus dapat diuji konstitusionalitasnya.Sebab, kewenangan pengujian

undang-undang memang ditujukan untuk menjaga agar hak dan

kebebasan konstitusional warga negara yang dijamin oleh Konstitusi

tidak dilanggar oleh kebijakan kriminalisasi yang dibuat oleh

pembentuk undang-undang.Oleh karena itu, meskipun secara

konstitusional memiliki kewenangan menetapkan kebijakan

kriminalisasi, pembentukundang-undang pun harus sangat berhati-

hati.

Permohonan Ditolak (Ontzigd), yakni apabila permohonan tidak

beralasan. Dalam hal ini undang-undang yang dimohonkan untuk

diuji tidak bertentang dengan UUD NRI 1945 baik mengenai

pembentukannya maupun materinya baik sebagian atau

keseluruhannya, sehingga amar putusan Mahkamah Konstitusi

Page 82: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

67

menyatakan permohonan ditolak.51

Perihal perlu atau tidaknya dilengkapi, hal itu sepenuhnya

merupakan kewenangan pembentuk undang-undang melalui

kebijakan pidana (criminal policy)-nya yang merupakan bagian dari

politik hukum pidana. Oleh karena itu, gagasan pembaruan yang

ditawarkan para Pemohon seharusnya diajukan kepada pembentuk

undang-undang dan hal tersebut seharusnya menjadi masukan penting

bagi pembentuk undang-undang dalam proses penyelesaian

perumusan KUHP yang baru.

51

Rezky Pratiwi, Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/Puu-Xi/2013 Tentang Sifat

Final Dan Mengikat Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (Dkpp), Hasil Penelitian

Kompetitif Universitas Hasanuddin Makassar, 2016, Hlm. 19

Page 83: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

68

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan,

maka hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa :

1. Para pemohon bukan lagi sekadar memperluas ruang lingkup

perbuatan atau tindakan yang sebelumnya bukan merupakan

perbuatan pidana atau tindak pidana tetapi juga mengubah sejumlah

hal pokok atau prinsip dalam hukum pidana, bahkan merumuskan

tindak pidana baru. Sebab, dengan permohonan demikian secara

implisit Pemohon memohon agar Mahkamah mengubah rumusan

delik yang terdapat dalam pasal-pasal KUHP yang dimohonkan

pengujian sehingga dengan sendirinya bukan hanya akan mengubah

kualifikasi perbuatan yang dapat dipidana tetapi juga kualifikasi

subjek atau orang yang dapat diancam pidana karena melakukan

perbuatan tersebut. Hal itu lebih jauh juga berarti akan mengubah

konsep-konsep mendasar yang berkenaan dengan suatu perbuatan

pidana atau tindak pidana.

Oleh karena itu, gagasan pembaruan yang ditawarkan para

Pemohon seharusnya diajukan kepada pembentuk undang-undang

dan hal tersebut seharusnya menjadi masukan penting bagi

pembentuk undang-undang dalam proses penyelesaian perumusan

KUHP yang baru. Dapat disimpulkan bahwasanya mahkamah

Page 84: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

69

konstitusi tidak melegalkan Lgbt dan Kumpul kebo karena

permohonan yang dimohonkan oleh pemohon sudah melampaui

kewenangan dari mahkamah konstitusi.

2. Pengujian undang-undang yang pada pokoknya berisikan

permohonan kriminalisasi maupun dekriminalisasi terhadap

perbuatan tertentu tidak dapat dilakukan oleh Mahkamah karena hal

itu merupakan salah satu bentuk pembatasan hak dan kebebasan

seseorang di mana pembatasan demikian, sesuai dengan Pasal 28J

ayat (2) UUD 1945, adalah kewenangan eksklusif pembentuk

undang-undang.

Sedangkan Mahkamah berada dalam posisi menguji apakah

pembatasan yang dilakukan dengan undang-undang itu telah sesuai

dengan Konstitusi atau justru melampaui batas-batas yang

ditentukan dalam Konstitusi.Oleh karena itu, sepanjang berkenaan

dengan hukum pidana, selama ini permohonan yang diajukan justru

memohon agar dilakukan dekriminalisasi terhadap suatu perbuatan

yang diatur dalam undang-undang karena dinilai bertentangan

dengan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara

sehingga harus dapat diuji konstitusionalitasnya.Sebab, kewenangan

pengujian undang-undang memang ditujukan untuk menjaga agar

hak dan kebebasan konstitusional warga negara yang dijamin oleh

Konstitusi tidak dilanggar oleh kebijakan kriminalisasi yang dibuat

oleh pembentuk undang-undang.Oleh karena itu, meskipun secara

Page 85: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

70

konstitusional memiliki kewenangan menetapkan kebijakan

kriminalisasi, pembentuk undang-undang pun harus sangat berhati-

hati.

Permohonan Ditolak (Ontzigd), yakni apabila permohonan

tidak beralasan. Dalam hal ini undang-undang yang dimohonkan

untuk diuji tidak bertentang dengan UUD NRI 1945 baik mengenai

pembentukannya maupun materinya baik sebagian atau

keseluruhannya, sehingga amar putusan Mahkamah Konstitusi

menyatakan permohonan ditolak.

B. SARAN-SARAN

Dari semua pembahasan dan kesimpulan yang telah didapat, penulis

menyarankan beberapa hal berikut :

Perumusan tindak pidana tentang kesusilaan khususnya pasal 284,285

serta 292 mengenai LGBT dan Kumpul kebo seharusnya memasukkan nilai-

nilai agama sehingga menciptakan hukum sesuai dengan kebutuhan yang

terus berkembang yang bertalian dengan perkembangan masyarakat. tindak

pidana kesusilaan merupakan tindak pidana yang digolongkan sebagai tindak

pidana yang bersifat kultural, artinya tindak pidana kesusilaan sangat sarat

dengan nilai-nilai budaya dan kearifal lokal.

Ironisnya dalam KUHP yang masih berlaku mengenai kesusilaan masih

mengikuti pemikiran orang Barat.Hal ini terjadi karena KUHP yang ada saat

ini adalah warisan dari Belanda.Sedangkan masyarakat Indonesia adalah

masyarakat yang religius yang tentu saja mempunyai pemikiran yang sangat

Page 86: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

71

berbeda dengan pola pikir orang Barat. Hal ini terlihat bahwa KUHP masih

tidak sesuai dengan hukum agama, adat ataupun kultur yang dianut. Indonesia

bukanlah negara yang sekuler, karena nilai-nilai agama sangat berpengaruh

pada kehidupan sehari-hari, oleh karena itu perumusan tindak pidana tentang

kesusilaan seharusnya memasukkan nilai-nilai agama sehingga bisa

mencakup seluruh aspek kehidupan bermasyarakat.

Sehingga diperlukannya untuk pembuatan undand- undang baru

mengenai kesusilaan ini dan menjadi pertimbangan DPR/DPRD permohonan

yang dimohonkan tersebut dalam pembutan UU nantinya agar permasalan

LGBT dan kumpul kebo ini bisa diatasi dan sesuai dengan ketentuan-

ketentuan yang berlaku diindonesia.

Page 87: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Al- A‟raf (7): 80-81, Al-quran dan Terjemhannya.

Al-araf (7): 179 Al-quran dan Terjemahannya.

Al-Isra (17): 32, Al-quran dan Terjemhannya.

Al-Nur (4): 2, Al-quran dan Terjemahannya.

Al-Nur (24): 2, Al-quran dan Terjemhannya.

Abdul Rahman Sholeh, Pendidikan Agama dan Pengembangn untuk

Bangsa, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.

Andi Hamzah, Delik-delik Tertentu didalam KUHP, cet. Ke- 5 Jakarta:

Sinar Grafika, 2014.

Ardian Husaini, LGBT di Indonesia, Perkembangan dan Solusinya, Jakarta:

INSISTS, 2018.

Irp.Daulay, Mahkamah Konstitusi, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2006.

Jaya Suprana, Kelirumologi Genderisme, Jakarta: PT Elex Media

Komputindo, 2014.

Mahmud,Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2011.

Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia, edisi ke-2 .Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Miriam Budiarjo, Dasar- Dasar IlmuPolitik, Edisi Revisi, Jakarta : PT

Gramedia Pustaka, 2008.

Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, .Jakarta: Pt. Raja Grafindo,

2013.

Page 88: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

Sayuti Una (ed), Pedoman Penulisan Skripsi, Edisi Revisi, jambi: syariah

press, 2014.

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu

Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001.

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang - Undang, Jakarta:

Sekertariat Jenderal dan Kepeaniteraan Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia, 2005.

ICJR, Upaya Mencegah Over kriminalisasi Tindak Pidana Kesusilaan di

Indonesia, Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2017.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Pasal 45 Ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi.

Pasal 45 Ayat (4) dan Ayat (7) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi.

Pasal 45 Ayat (5) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Pasal 45 Ayat (6) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkmah Konstitusi.

Pasal 45 Ayat (7) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Pasal 45 Ayat (9) dan Ayat (10) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi.

Pasal 48 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Pasal 284 dan 284 KUHP tentang kesusilaan.

Pasal 292 KUHP tentang kesusilaan.

Page 89: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

C. Lain-lain

Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU_XIV/2016,

Abd.Azis Ramadhani, Homoseksual Dalam Perspektif Hukum Pidana Dan

Hukum Islam. Suatu Studi Komparatif Normatif, Hasil Penelitian

Kompetitif Universitas Hasanuddin Makassar, 2012.

Agustiawan, Analisis Tindak Pidana Perzinahan (Studi Komparatif Antara

Hukum Islam Dan Hukum Nasional), Hasil Penelitian Kompetitif

Universitas Alauddin Makassar, 2016.

Andi Tenripadang, Hubungan Hukum Internasional Dengan Hukum

Nasional, Jurnal Hukum Diktum, Volume 14, Nomor 1, Juli 2016: 67

- 75.

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara

Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama, Jakarta, 2010.

AyuDesiana, Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam

Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan

Undang-Undang nomor 24 Tahun 2003, Journal volume 25, no 1,

maret 2014

Badan Pengembangan Dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan Dan

Kebuayaan Indonesia,

http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/petunjuk_praktis/18

4.

Page 90: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

Guntur Romli, Homoseksualitas& Agama. Makalah dipaparkan dalam diskusi

publik peringatan International Day Against Homophobia (IDAHO)

26 Mei 2011 di UniversitasParamadina.

Indah Lestari Dansiti Sefitri, Konseling Bagi Populasi Transgender, Jurnal

Konseling GUSJIGANG Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2016.

Ishak, Analisis Hukum Islam Tentang Perbuatan Zina Dalam Pasal 284

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dalam Pembaharuan Hukum

Pidana, KanunJurnal No. 56, Th. XIV (April, 2012).

Kristian Erdianto, Penjelasan MK Soal Tuduhan Putusan Yang Melegalkan

Zina dan LGBT,

https://nasional.kompas.com/read/2017/12/18/20155601/penjelasan-

mk-soal-tuduhan-putusan-yang-melegalkan-zina-dan-lgbt.

Kumparan.com, Putusan MK: Kumpul Kebodan LGBT Tak Bisa Dipidana,

http://www.tribunislam.com/2017/12/putusan-mk-kumpul-kebo-dan-

lgbt-tak-bisa-dipidana.html.

Makalah Mahkamah Konstitusi,

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/artik

el/pdf/makalah_makalah_17_oktober_2009.pdf.

Mursyid Surya Candra, Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 93/Puu-X/2012 Tentang Perbankan Syariah, Hasil Penelitian

Kompetitif Universitas Hasanuddin Makassar, 2015.

Page 91: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

Musti'ah, Lesbian Gay Bisexual And Transgender (Lgbt): Pandangan Islam,

FaktorPenyebab, Dan Solusinya, JurnalPendidikanSosial Vol. 3, No.

2, Desember 2016.

Noviandy, Lgbt Dalam Kontroversi Sejarah Seksualitas Dan Relasi Kuasa

(Sebuah Pengantar),jurnal Volume 02 No. 02 November 2012.

Nurchakiki, Studi Kasus Perilaku Pelaku Kumpul Kebo Mahasiswa

Yogyakarta, E-Journal Bimbingandan Konseling Edisi 6 Tahun ke 5,

2016.

Proceding, Tinjauan Terhadap LGBT Dari Presfektif Hukum Pendidikan

Dan Psikologi, metro lampung : Program Pascasarjana STAIN

JuraiSiwo, 2016.

Rezky Pratiwi, Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/Puu-

Xi/2013 Tentang Sifat Final Dan Mengikat Putusan Dewan

Kehormatan Penyelenggara Pemilu (Dkpp), Hasil Penelitian

Kompetitif Universitas Hasanuddin Makassar, 2016.

RinaAntasari, Hukum Islam Dalam Ruang Sistem Hukum Di Indonesia,

Istinbath/No.16/Th. XIV/Juni/2015/89-108.

Subroto, Legislagi Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi No 46/Puu-Viii/2010 Ditinjau Dari Teori Hukum Hans

Kelsen Tentang Konstitusi, JustitiaIslamica, Vol. 11/No. 2/Jul-Des.

2014.

Sulis Winurini, Memaknai Perilaku Lgbt Di Indonesia (Tinjauan Psikologi

Abnormal), jurnal Vol. VIII, No. 05/I/P3DI/Maret/2016.

Page 92: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

Syamsul Huda, Zina Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana, Jurnal Studia Islamika Vol. 12, No. 2,

Desember 2015: 377-397.

Yulianti Mutmainnah, LGBT Human Right in Indonesia Policies, dalam

Indonesian Feminist Journal, Vol. 4, Number 1, 2016.

Page 93: ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO …

CURRICULUM VITAE

A. IdentitasDiri

Nama : ROMI SAPUTRA

JenisKelamin : Laki-laki

Tempat/tgl.lahir : KembangPaseban/ 03-11-1994

NIM : SPI141864

Alamat

1. AlamatAsal : Rt 13 Kel. KembangPasebanKec. MersamKab.

BatangHariProvinsi Jambi.

2. AlamatSekarang :Rt 36 Kel. Simpang IV SipinKec. Telanaipura Kota

Jambi Provinsijambi.

No HP : 085311709779

Nama Ayah : Muhammad Sobirin

NamaIbu :Juraiyah

B. RiwayatPendidikan

Pendidikan formal

a. SD NEGERI 68/1 SIMPANG MERSAM, tahun lulus : 2007

b. MTSs DARUSY SYAFIIYAH RANTAU PURI, tahun lulus : 2011

c. MAS DARUSY SAFIIYAH RANTAU PURI, tahun lulus : 2014