analisis yuridis putusan mahkamah agung (kasus mandalawangi)

25
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1794 K/Pdt/2004 (KASUS MANDALAWANGI) MAKALAH HUKUM LINGKUNGAN DELI INDRA WAHYUDI 10/307370/PHK/6474 PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA

Upload: deli-indra-wahyudi

Post on 24-Jul-2015

1.660 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung (Kasus Mandalawangi)

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNGNOMOR 1794 K/Pdt/2004

(KASUS MANDALAWANGI)

MAKALAH HUKUM LINGKUNGAN

DELI INDRA WAHYUDI10/307370/PHK/6474

PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2011

Page 2: Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung (Kasus Mandalawangi)

BAB IPENDAHULUAN

I. Latar belakang

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional

mewajibkan agar sumber daya alam dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat tersebut haruslah dapat dinikmati

generasi masa kini dan generasi masa depan secara berkelanjutan.

Pembangunan sebagai upaya sadar dalam mengolah dan

memanfaatkan sumber daya alam untuk meningkatkan kemakmuran rakyat,

baik untuk mencapai kemakmuran lahir maupun untuk mencapai kepuasan

batin. Oleh karena itu, penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi,

dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup.

Hukum lingkungan adalah sebuah bidang atau cabang hukum yang

memiliki kekhasan yang oleh Drupsteen1 disebut sebagai bidang hukum

fungsional (functioneel rechtsgebeid), yaitu didalamnya terdapat unsur-

unsur hukum administrasi, hukum pidana dan hukum perdata. Oleh sebab

itu, penegakan hukum lingkungan dapat dimaknai sebagai penggunaan atau

penerapan instrument-instrumen dan sanksi-sanksi dalam lapangan hukum

administrasi, hukum pidana dan hukum perdata dengan tujuan memaksa

subyek hukum yang menjadi sasaran mematuhi peraturan perundang-

undangan lingkungan hidup. Penggunaan instrument dan sanksi hukum

administrasi dilakukan oleh instansi pemerintah dan juga oleh warga atau

badan hukum perdata. Gugatan Tata Usaha Negara merupakan sarana

1 Takdir Rahmadi, Hukum lingkungan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 207

Page 3: Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung (Kasus Mandalawangi)

hukum administrasi negara yang dapat digunakan oleh warga atau badan

hukum perdata terhadap instansi atau pejabat pemerintah yang menerbitkan

keputusan tata usaha negara yang secara formal atau materiil bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan lingkungan.

Sengketa lingkungan hidup (environmental disputes) sebenarnya tidak

terbatas pada sengketa-sengketa yang timbul karena peristiwa pencemaran

atau perusakan lingkungan hidup, tetapi juga meliputi sengketa-sengketa

yang terjadi karena adanya rencana-rencana kebijakan pemerintah dalam

bidang pemanfaatan dan peruntukan lahan, pemanfaatan hasil hutan,

kegiatan penebangan, rencana pembangunan pembangkit tenaga listrik,

rencana pembangunan waduk dan sebagainya. Sebagai contoh dalam tulisan

ini adalah kasus terjadinya tanah longsor Gunung Mandalawangi

Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut yang telah menimbulkan kerugian

berupa hilangnya harta benda, nyawa, rusaknya lahan pertanian dan ladang

dan rusaknya fasilitas umum serta kerusakan ekosistem setempat.

II. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka akan dirumuskan permasalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara

mandalawangi?

2. Bagaimana konsep reformasi penegakan hukum yang efektif dan

menimbulkan efek jera?

BAB IIPEMBAHASAN

Page 4: Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung (Kasus Mandalawangi)

I. Tinjauan Pustaka

A. Hukum Lingkungan Adminsitrasi

1. Pengawasan

Ketentuan-ketentuan tentang pengawasan ditemukan dalam

sejumlah Undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Dalam UULH

1997 ketentuan pengawasan ditemukan dalam Pasal 22, Pasal 23 dan

Pasal 24. Dari ketentuan Pasal 22 UULH 1997 dapat diketahui bahwa

Menteri Negara Lingkungan Hidup berwenang melakukan

pengawasan terhadap penataan kegiatan usaha atas ketentuan-

ketentuan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup. Sebagai

tindak lanjut dari kewenangan itu, Menteri Negara Lingkungan Hidup

dapat menunjuk pejabat yang melakukan pengawasan.

Fungsi pengawasan juga dapat diserahkan kepada Pemerintah

Daerah dan Kepala Daerah dapat menunjuk pejabat yang berwenang

melakukan pengawasan.

Di dalam UUPLH (32 Tahun 2009), pengawasan diatur dalam

Pasal 71 hingga Pasal 74. Selain terdapat persamaan, juga ditemukan

perbedaan-perbedaan tentang pengawasan antara UULH 1997 dan

UUPLH 2009. Persamaan antara lain berkaitan dengan kewenangan

pengawasan ada pada Menteri Lingkungan Hidup dan Pemerintah

daerah, baik Menteri maupun Pemerintah daerah berwenang

menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup. Dari segi perbedaan,

terdapat dua perbedaan penting. Pertama, jika dalam UULH 1997

terdapat Pasal 23 yang menjadi dasar hukum bagi BAPEDAL untuk

melakukan pengawasan, dalam UUPLH ketentuan tentang lembaga

(BAPEDAL) yang berwenang di tingkat pusat melakukan pengawasan

di bidang lingkungan hidup tidak lagi ditemukan karena Kementerian

Lingkungan Hidup sepenuhnya berwenang melakukan pengawasan

setelah BAPEDAL diintegrasikan ke dalam Kementerian Lingkungan

Hidup. Kedua, dalam UUPLH memberlakukan mekanisme

Page 5: Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung (Kasus Mandalawangi)

pengawasan dua jalur, sedangkan UULH 1997 hanya satu jalur. Yang

dimaksud dengan mekanisme pengawas dua jalur adalah bahwa

prinsipnya Gubernur dan Bupati/Walikota berwenang melakukan

pengawasanlingkungan hidup sesuai dengan lingkup kewenangan

masing-masing, tetapi jika kewenangan pengawasan lingkungan tidak

dilaksanakan sehingga terjadi “pelanggaran yang serius di bidang

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup”, Menteri

Lingkungan Hidup dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan

penanggung jawab usaha/kegiatan yang izin lingkungannya

diterbitkan oleh Pemerintah daerah.

2. Sanksi-sanksi hukum lingkungan administrasi

Sanksi hukum administrasi adalah sanksi-sanksi hukum yang

dapat dijatuhkan oleh pejabat pemerintah tanpa melalui proses

pengadilan terhadap seseorang atau kegiatan usaha yang melanggar

ketentuan hukum lingkungan administrasi.

UULH 1997 memuat tiga jenis sanksi hukum administrasi

sebagaimana diatur dalam Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 27, yaitu

paksaan pemerintah, pembayaran sejumlah uang dan pencabutan izin

usaha atau kegiatan.

UUPLH 2009 memuat empat jenis sanksi hukum administrasi

sebagaimana tercantum dalam Pasal 76 ayat (2) yaitu teguran tertulis,

paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, pencabutan izin

lingkungan. Akan tetapi dalam Pasal 81 UUPLH juga memuat

ketentuan tentang yang menjadi dasar hukum bagi pejabat pemberi

izin lingkungan atau penegak hukum lingkungan administrasi untuk

menerapkan sanksi denda atas tiap keterlambatan pelaksanaan sanksi

paksaan pemerintah. Dengan demikian UUPLH menyediakan lima

jenis sanksi hukum administrasi yaitu teguran tertulis, paksaan

pemerintah, denda, pembekuan izin lingkungan dan pencabutan izin

lingkungan.

B. Hukum lingkungan pidana

Page 6: Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung (Kasus Mandalawangi)

Delik lingkungan adalah perintah dan larangan undang-undang

kepada subyek hukum yang jika dilanggar diancam dengan penjatuhan

sanksi-sanksi pidana, antara lain pemenjaraan dan denda, dengan tujuan

untuk melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan maupun unsur-

unsur dalam lingkungan hidup. Oleh sebab itu, dengan pengertian ini delik

lingkungan hidup tidak hanya memuat ketentuan-ketentuan pidana yang

dirumuskan dalam UUPLH, tetapi juga ketentuan-ketentuan pidana yang

dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan lain sepanjang rumusan

ketentuan itu ditujukan untuk melindungi lingkungan hidup secara

keseluruhan atau bagian-bagiannya.

Rumusan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 32

tahun 2009 (UUPLH) merupakan pengembangan dan revisi terhadap

ketentuan rumusan ketentuan pidana dalam UULH 1997 dan UULH 1982.

Jika UULH hanya memuat rumusan ketentuan pidana yang bersifat delik

materiil, maka UULH 1997 memuat rumusan delik materiil dan juga delik

formiil. Delik materiil adalah delik atau perbuatan yang dilarang oleh

hukum yang dianggap sudah sempurna atau terpenuhi apabila perbuatan

itu telah menimbulkan akibat. Delik formil adalah delik atau perbuatan

yang dilarang oleh hukum yang sudah dianggap sempurna atau terpenuhi

begitu perbuatan itu dilakukan tanpa mengharuskan adanya akibat

perbuatan.

UUPLH juga memuat dua jenis delik yaitu delik materiil dan delik

formil, bahkan dibandingkan dengan UULH 1997, UUPLH memuat jenis

delik formil lebih banyak. Tidak saja yang ditujukan kepada para pelaku

usaha, tetapi juga kepada pejabat pemerintah dan orang-orang yang

menjadi tenaga penyusun AMDAL. Rumusan delik materiil UUPLH dapat

ditemukan dalam Pasal 98 ayat (1) dan Pasal 99 ayat (1), sedangkan delik

formil ditemukan mulai Pasal 100 hingga pasal 111 kemudian Pasal 113

hingga Pasal 115. Jika dihitung terdapat 16 (enam belas) jenis delik formil

dalam UUPLH. Dari uraian keenam belas delik formil tersebut dapat

diketahui bahwa pembuat Undang-Undang menciptakan delik-delik formil

Page 7: Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung (Kasus Mandalawangi)

dalam UUPLH terkait dengan pelanggaran-pelanggaran hukum

administrasi. Selain itu, dalam rumusan delik-delik formil tersebut, kecuali

delik formil keenam belas sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 115, tidak

mencantumkan unsur kesalahan.

C. Penegakan hukum lingkungan melalui gugatan perdata

Menurut Koeman2 hukum perdata khususnya gugatan berdasarkan

perbuatan melawan hukum (PMH) dan hakim perdata sesungguhnya

memiliki arti penting bagi hukum lingkungan. Pada pokoknya hal itu

berkaitan dengan empat fungsi yang relevan yaitu:

1. Penegakan hukum melalui hukum perdata.

2. Penetapan norma tambahan.

3. Gugatan untuk memperoleh ganti kerugian.

4. Perlindungan hukum tambahan.

Dari pernyataan Koeman tersebut dapat dipahami bahwa salah satu

fungsi dari gugatan perdata berdasarkan perbuatan melawan hukum adalah

untuk penegakan hukum. Tiga fungsi lainnya adalah penetapan norma

tambahan, perolehan ganti kerugian dan perlindungan hukum tambahan.

Di Belanda, konsep perbuatan melawan hukum berdasarkan ketentuan

Pasal 1402 BW lama yang mirip dengan ketentuan Pasal 1365 KUH

Perdata, sedangkan dalam BW baru dirumuskan dalam Pasal 6:162.

Namun, pengajuan gugatan perdata sebagai sarana penegakan

hukum oleh penguasa atau pemerintah terbatas pada situasi bilamana

penegak hukum administrasi tidak memadai, sehingga pada kenyataannya

pendayagunaan gugatan perdata sebagai sarana penegakan hukum

lingkungan oleh badan pemerintah di Belanda sangat jarang terjadi.

Di Belanda, gugatan perbuatan melawan hukum dapat digunakan

sebagai sarana penegakan hukum atas norma-norma hukum publik, seperti

pelanggaran terhadap ketentuan perizinan maupun ketentuan hukum

perdata. Norma-norma hukum lingkungan termasuk bagian dari norma-

norma hukum publik. Penegakan atas norma-norma hukum lingkungan

2 Ibid hlm. 260

Page 8: Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung (Kasus Mandalawangi)

dibedakan atas tiga bidang, yaitu: penegakan ketentuan bersifat larangan

dalam peraturan perundang-undangan lingkungan, penegakan ketentuan-

ketentuan atau persyaratan-persyaratan dalam izin, penegakan terhadap

sanksi-sanksi.

Di Indonesia, gugatan perdata sebagai sarana penegakan hukum

lingkungan juga dilakukan berdasarkan konsep perbuatan melawan hukum

sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1365 BW, selain dilakukan oleh

warga atau Lembaga Swadaya Masyarakat juga dapat dilakukan oleh

pemerintah. Dalam UULH 1997, kewenangan pemerintah melakukan

gugatan perdata diatur dalam Pasal 37 ayat (2), sedangkan dalam UUPLH

kewenangan itu dirumuskan dalam Pasal 90 ayat (1).

Sengketa lingkungan hidup dapat dirumuskan dalam arti luas dan

arti sempit. Dalam pengertian luas sengketa lingkungan hidup adalah

perselisihan kepentingan antara dua pihak atau lebih yang timbul

sehubungan dengan pemanfaatan sumber daya. Pemanfaatan sumber daya

alam disamping memberikan manfaat kepada sekelompok orang, juga

dapat menimbulkan kerugian kepada kelompok lain, atau setidaknya

meletakan risiko kerugian kepada kelompok lain. Sering kali manfaat dari

suatu kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dilihat secara makro,

sementara risiko atau dampak negatif dari kegiatan itu dirasakan oleh

sekelompok kecil orang.

Sengketa lingkungan hidup dalam UUPLH dirumuskan dalam

pasal 1 butir 25 sebagai “perselisihan antara dua pihak atau lebih yang

timbul dari kegiatan berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan

hidup”.

Sebagain besar ketentuan-ketentuan penyelesaian sengketa

lingkungan UUPLH mengadopsi ketentuan-ketentuan dalam UULH 1997.

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dalam UUPLH diatur dalam

Pasal 87 hingga Pasal 93. Menurut UUPLH penyelesaian sengketa

lingkungan hidup dapat ditempuh secara sukarela melalui dua pilihan

mekanisme yaitu, mekanisme proses pengadilan dan mekanisme proses

Page 9: Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung (Kasus Mandalawangi)

diluar pengadilan. Jika para pihak telah sepakat untuk memilih mekanisme

diluar pengadilan, maka gugatan keperdataan melalui pengadilan hanya

dapat ditempuh jika mekanisme diluar pengadilan dinyatakan tidak

berhasil oleh salah satu atau para pihak.

II. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1794 K/Pdt/2004

Gugatan ini diajukan oleh Dedi dan kawan-kawan (sebanyak delapan

orang termasuk Dedi) terhadap Presiden RI, Menteri Kehutanan, Perum

Perhutani, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Garut di

Pengadilan Negeri Bandung. Para penggugat dan orang-orang yang diwakili

mereka adalah korban tanah longsor Gunung Mandalawangi Kecamatan

Kadungora Kabupaten Garut dan telah menderita kerugian berupa hilangnya

harta benda, rusaknya lahan pertanian dan ladang, meninggalnya sanak saudara

dan rusaknya fasilitas umum serta kerusakan ekosistem setempat. Majelis

Hakim Pengadilan Negeri dalam pertimbangannya (Nomor

49/Pdt.G/2003/PN.BDG, Tanggal 28 Agustus 2003), antara lain mengatakan

bahwa negara memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Tanggung jawab negara itu dilaksanakan oleh pemerintah yang dipimpin oleh

Presiden RI, tetapi karena Presiden telah membentuk Menteri Kehutanan, maka

pengelolaan kehutanan sepenuhnya telah menjadi tanggungjawab Menteri

Kehutanan. Menteri Kehutanan telah memberikan kewenangan kepada Perum

Perhutani Jawa Barat untuk mengelola kawasan hutan Gunung Mandalawangi.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Garut sesuai

dengan lingkup tugas masing-masing berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, khususnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999

Tentang Pemerintahan Daerah, yang berlaku pada waktu terjadinya banjir dan

longsor di Gunung mandalawangi juga memiliki tanggungjawab untuk

melaksanakan pengelolaan kawasan hutan Mandalawangi karena kawasan

hutan itu berada dalam wilayah hukum Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten

Garut.

Page 10: Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung (Kasus Mandalawangi)

Majelis Hakim dalam pertimbangannya juga mengatakan bahwa telah

terjadi perubahan kebijakan pengelolaan kawasan hutan di Gunung

Mandalawangi yang dilakukan oleh Menteri Kehutanan, yaitu dengan

mengubah status fungsi kawasan hutan yang sebelumnya kawasan hutan

lindung kemudian menjadi kawasan hutan produksi terbatas berdasarkan SK

Menteri Kehutanan Nomor 419/KPTS/II/1999 dengan segala akibat-

akibatnya seperti berkurangnya jumlah tegakan pohon dan kegagalan reboisasi

sehingga kawasan hutan Mandalawangi tidak lagi memiliki kemampuan

resapan air. Selanjutnya Majelis Hakim mengatakan bahwa kerugian

lingkungan dan kerugian materiil para penggugat yang disebabkan oleh banjir

dan longsor di Gunung Mandalawangi telah faktual sehingga tidak perlu

dibuktikan lagi. Masalah hukum yang masih perlu dibuktikan adalah hubungan

kausalitas, yaitu perubahan fungsi kawasan hutan Gunung Mandalawangi dari

kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan produksi yang didasarkan pada

perubahan kebijakan kehutanan sebagaimana tercermin dalam SK Menteri

Kehutanan Nomor 419/KPTS/II/1999 telah menyebabkan banjir dan longsor.

Hal yang menarik adalah Majelis Hakim juga dalam pertimbangannya

merujuk pada prinsip keberhati-hatian (precautionary principle) yaitu prinsip

ke-15 dalam Deklarasi Rio sebagai dasar untuk pemecahan masalah tentang

“kurangnya ilmu pengetahuan” yang diperlihatkan dengan keterangan-

keterangan para saksi ahli dari kedua belah pihak yang saling bertentangan

sehingga keterangan mereka tidak dapat dijadikan alat bukti untuk

menyimpulkan penyebab fakta telah terjadinya banjir dan longsor di Gunung

Mandalawangi. Meskipun prinsip keberhati-hatian belum masuk ke dalam

perundang-undangan Indonesia, tetapi karena Indonesia adalah sebagai salah

satu negara peserta Konferensi Rio 1992, maka prinsip ini dapat dipedomani

dan diperkuat untuk mengisi kekosongan hukum dalam praktik.

Amar Putusan Pengadilan Negeri Bandung (Nomor

49/Pdt.G/2003/PN.BDG Tanggal 28 Agustus 2003) adalah sebagai berikut:

Page 11: Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung (Kasus Mandalawangi)

1. Mengabulkan gugatan perwakilan (class action) dari para wakil

kelompok masyarakat korban longsor Gunung Mandalawangi

Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut untuk sebagaiannya.

2. Menyatakan bahwa Tergugat I (Direksi Perum Perhutani Unit III

Jawa Barat), tergugat III (Menteri Kehutanan), tergugat IV

(Pemerintah Provinsi Jawa Barat) dan tergugat V (Pemerintah

Kabupaten Garut) bertanggungjawab secara mutlak (strict

liability) atas dampak yang ditimbulkan oleh adanya longsor

dikawasan hutan Gunung Mandalawangi, Kecamatan Kedungora

Kabupaten Garut.

3. Menghukum Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat

V tersebut untuk melakukan pemulihan keadaan lingkungan di

areal hutan Gunung Mandalawangi tempat terjadinya longsor

langsung dan seketika dengan ketentuan sebagai berikut:

Pertama, Pemulihan (recovery) di kawasan Gunung

Mandalawangi dibebankan kepada Tergugat I dan Tergugat III

dengan perintah supaya dilakukan rehabilitasi hutan dan lahan

agar memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan daya

dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem

penyangga kehidupan tetap terjaga, dengan biaya yang harus

ditanggung oleh Tergugat I dan Tergugat III secara tanggung

renteng, yang apabila akan diserahkan pelaksanaannya kepada

masyarakat sesuai dengan Penyelenggaraan Hutan

Kemasyarakatan berpedoman pada Knomor 31/KPTS-II/2001

Tanggal 12 Februari 2001 Tentang Penyelenggaraan Hutan

Kemasyarakatan, pendanaan tersebut tidak boleh kurang dari

jumlah Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) dengan

disetorkan kepada Tim yang akan ditetapkan dibawah ini.

Kedua, Menghukum Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV dan

Tergugat V secara tanggung renteng membayar ganti kerugian

kepada korban longsor Gunung Mandalawangi tersebut sebesar

Page 12: Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung (Kasus Mandalawangi)

Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dengan disetorkan

kepada Tim yang akan ditetapkan di bawah ini.

Ketiga, Menetapkan prosedur pelaksanaan pemulihan lingkungan

kawasan longsor di Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora

serta tata cara pengalokasian dana ganti kerugian kepada wakil

kelompok dan masyarakat korban yang tergabung ke dalam

anggota kelompok gugatan perwakilan ini melalui satu tim/panel

yang dikoordinasikan oleh Badan Perencana Pembangunan Daerah

Pemerintah Kabupaten Garut sebagai Ketua Tim Perwakilan

BAPEDALDA Pemerintah Kabupaten Garut, kuasa para wakil

kelompok serta dua orang perwakilan dari Pusat Studi Lingkungan

Hidup UNPAD Bandung masing-masing sebagai anggota.

Keempat, memerintahkan kepada Gubernur Jawa Barat (Tergugat

IV) untuk mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pembentukan

Tim tersebut lengkap dengan tugas dan tanggung jawabnya

sebagaimana isi diktum putusan ini.

Kelima, memerintahkan kepada Tim/Panel tersebut untuk

melakukan pemantauan dan melakukan upaya hukum manakala

pelaksanaan pemulihan lingkungan tidak sesuai dengan perintah

dalam putusan ini serta mengalokasikan dana ganti kerugian

tersebut kepada masyarakat korban yang tergabung dalam wakil

dan anggota kelompoknya yang jumlah dan identitasnya tercatat

dalam Berita Acara Persidangan ini, secara adil sesuai dengan

bobot dan besarnya kerugian berdasarkan jenis kerugian yang

dideritanya.

Keenam, menetapkan sebagai hukum bahwa manakala

pembentukan Tim/Panel serta pengalokasian dana ganti kerugian

sulit dilakukan, maka pelaksanaannya ditempuh proses

pelaksanaan putusan (upaya paksa) dikoordinasikan oleh Panitera

Pengadilan Negeri Kelas I B Bandung.

Page 13: Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung (Kasus Mandalawangi)

4. Menyatakan putusan atas perkara ini dapat dilaksanakan secara

terlebih dahulu walaupun ada upaya hukum dari para Tergugat

(Uit voorbaar bij voorad).

5. Menolak gugatan selain dan selebihnya.

Putusan Pengadilan Negeri Bandung ini kemudian dikuatkan oleh

Pengadilan Tinggi Bandung (Putusan Nomor

507/PDT/2003/PT.Bdg Tanggal 5 Februari 2004) dengan

perbaikan amar putusan tanpa mengubah substansi putusan.

Mahkamah Agung Republik Indonesia (Putusan Nomor 1794 K

/Pdt/2004 Tanggal 22 Januari 2007) juga menolak permohonan

kasasi para tergugat atau para pembanding yang berarti Mahkamah

Agung Republik Indonesia memperkuat putusan Pengadilan

Negeri Bandung tersebut.

III. Konsep Reformasi penegakan hukum yang efektif dan menimbulkan

efek jera

Membaca Putusan Pengadilan Negeri Bandung tersebut, penulis sangat setuju

dengan hasil putusan yang telah ditetapkan oleh Hakim, dimana didalam

Putusan tersebut diutamakan prinsip keberhati-hatian (precautionary

principle) yaitu prinsip ke-15 dalam Deklarasi Rio sebagai dasar untuk

pemecahan masalah walaupun ada beberapa yang diubah oleh Mahkamah

Agung dalam Putusan Kasasi nomor 1794 K/Pdt/2004.

Penulis berpendapat untuk dalam rangka penegakan hukum yang efektif dan

dapat menimbulkan efek jera akan lebih baik jika mengedepankan model

pidana administratif. Latar belakang kebijakan hukum pidana yang demikian

didasarkan pada kenyataan sulitnya pembuktian tindak pidana lingkungan

hidup seperti yang saat ini dihadapi oleh Indonesia. Oleh karena itu, dibuatlah

peraturan yang mengkriminalisasi tindakan-tindakan administrasi yang

dianggap melanggar hukum.

Model penegakan hukum dengan mengoptimalkan penerapan pidana

administrasi ini memiliki banyak keuntungan, Antara lain:

Page 14: Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung (Kasus Mandalawangi)

a. akan memudahkan bagi penegak hukum dalam melakukan

pembuktian perkara disebabkan bentuk rumusan delik yang

dibuat pada umumnya adalah delik formil;

b. pada hakikatnya ketika perbuatan-perbuatan dalam rangka

persiapan untuk melakukan perbuatan pencemaran dan atau

perusakan lingkungan hidup dikriminalisasi menjadi suatu

perbuatan pidana yang berdiri sendiri, maka kita telah selangkah

lebih maju dalam mencegah terjadinya pencemaran dan atau

perusakan lingkungan hidup;

c. dengan efek pencegahan sejak dini maka niat pelaku bisnis untuk

melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup demi

pertimbangan ekonomi dapat lebih ditekan, apalagi dengan

sanksi-sanksi dalam bentuk denda diyakini lebih berdayaguna

dalam mematikan motif ekonomi ini;

d. dengan model penegakan hukum pidana administratif tersebut,

maka kita dapat menuntun kepada terciptanya rezim anti

pencemaran dan perusakan lingkungan hidup;

Harus kita sadari bahwa salah satu kunci dari penegakan hukum

lingkungan ada pada pemerintah. Hal ini berkaitan dengan keluarnya

perijinan yang merupakan kewenangan dari pemerintah. Selain itu, para

penegak hukum jangan hanya mengedepankan prinsip hukum normatif

akan tetapi lebih kepada hukum progresif.

BAB IIIPENUTUP

I. Kesimpulan

Page 15: Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung (Kasus Mandalawangi)

Dari uraian Bab-Bab sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim menggunakan

pertimbangan normatif dan mulai muncul pertimbangan progresif . hal ini

dapat dilihat dimana didalam Putusan tersebut diutamakan prinsip

keberhati-hatian (precautionary principle) yaitu prinsip ke-15 dalam

Deklarasi Rio sebagai dasar untuk pemecahan masalah dan perbaikan serta

denda.

2. Reformasi penegak hukum yang digunakan adalah Model penegakan

hukum dengan mengoptimalkan penerapan pidana administrasi.

DAFTAR PUSTAKA

Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008

Page 16: Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung (Kasus Mandalawangi)

Koesnadi Hardja Soemantri, Hukum Tata Lingkungan edisi VIII cetakan kedua

puluh, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2009

Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan Di Indonesia, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2011

F.gunarwan Suratmo, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta, 2004

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 Analisis Mengenai dampak

Lingkungan Hidup

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang UUPLH